Pencarian

Dua Pendekar Buntung 2

Pendekar Kelana Sakti 12 Dua Pendekar Buntung Bagian 2


kedua telapak tangan. Pendekar Gelugut Sutra mengurungkan
niatnya. "Baiklah, aku akan bunuh diri." kata Nyi Awak Ceger tegas.
"Cepat lakukan!" perintah Pendekar gelugut Sutra.
Nyi Awak Ceger mengangkat bahu. Lalu tata-
pannya berputar mengarah pada sebuah batu terjal
bagai bukit. Ia tersenyum...
"Biarlah akan ku benturkan kepalaku ke sana.
Semoga saja kalian puas menyaksikan kematianku."
katanya lirih. Setelah itu pun ia berlari ke arah batu terjal yang berdiri
tegak. Larinya semakin cepat bagai terbang.
Kedua Pendekar Buntung menatap tanpa ber-
kedip manakala kepala Nyi Awak Ceger menjurus de-
ras. Tapi di luar dugaan mereka, perempuan itu meng-
hentakkan kedua kakinya. Lalu melesat ke atas meng-
hindari benturan kepalanya.
Jelas sekali Nyi Awak Ceger terbang menghi-
lang. Kedua Pendekar Buntung ini telah ditipunya
mentah-mentah. Keduanya pun tidak sempat lagi
mengejar. Nyi Awak Ceger telah melarikan diri entah ke mana. "Hik-hik-hik-hik-hik.... Siapa
yang sudi bunuh diri, Pendekar-pendekar tolol!" Suara perempuan itu menghilang
di kejauhan. "Keparat! Kita telah diperdaya!" gerutu Pendekar Gelugut Sutra. Amarsa Rawut
tidak perduli. Ia
nampak menaiki kudanya.
"Sudahlah, Paman. Perjalanan kita masih san-
gat jauh. Nanti setelah sampai di Perguruan 'Dewa
Tenggara' kita laporkan saja pada Kuncoro Sona." ujar Amarsa Rawut. Pendekar
Gelugut Sutra tetap mengge-rutu. "Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jika
perempuan sial itu selalu menghadang setiap orang akan menghadiri undangan.
Permainan macam apa ini" Kenapa Kuncoro Sona tidak hati-hati dalam menyebar-
kan undangan"
Jangan-jangan...." Pendekar Gelugut Sutra ti-
dak meneruskan kata-katanya.
"Mengejar perempuan itu bukan berarti menye-
lesaikan persoalan. Pada pertemuan nanti iblis jalang itu akan muncul. Pada
hematnya aku yakin ada yang
mendalangi atas perbuatannya itu." kata Amarsa Rawut sambil memberi aba-aba agar
Pendekar gelugut
Sutra segera meninggalkan tempat itu. Lelaki seten-
gah, tua ini pun langsung menunggangi kudanya.
"Aku khawatir Kuncoro Sona sendiri yang men-
jebak semua para undangan." Pendekar Gelugut Sutra membawa kudanya melangkah
mengikuti Amarsa Rawut.
"Dugaanku pun demikian. Tapi kita lihat saja
nanti." jawab Amarsa Rawut.
Keduanya meninggalkan perbatasan hutan
Kumba Rawa. Membiarkan mayat-mayat orang-orang
Perguruan Teratai Kencana' tetap bergelimpangan. Tu-
juan mereka sebuah desa terpencil. Mereka berjalan
terus menunggangi kuda. Semakin lama semakin jauh,
kemudian lenyap tersapu kabut yang mulai turun sore
itu. *** Berlari dan terus berlari, Nyi Awak Ceger terus
memegangi luka di kepalanya. Sedangkan tubuhnya
entah seperti apa rasanya. Dia sudah membayangkan
bekas-bekas hantaman Pendekar Gelugut Sutra pasti
memar di sekujur punggungnya.
Langkahnya semakin cepat ketika ia ada di de-
pan sebuah gubuk usang. Sebelum ia memasukinya,
terlebih dahulu Nyi Awak Ceger menoleh ke belakang.
Ia khawatir sekali kalau pelariannya itu dibuntuti oleh kedua Pendekar Buntung
itu. Setelah yakin betul-betul aman barulah ia ma-
suk. Dalam keadaan gelap seperti itu, tempat kedia-
man Nyi Awak Ceger sangatlah
menyeramkan. Hampir seluruh dinding bilik
serta atap jerami diselubungi oleh tanaman merambat.
Ruangan itu lebih mirip di sebut goa semak.
"Pendekar-pendekar sial! Belum pernah aku
menghadapi ilmu yang dimiliki oleh dua Pendekar
Buntung itu. Setahuku, jurus-jurus Perguruan 'Guci
Perak' maupun Pendekar Gelugut Sutra tidaklah demi-
kian." gerutu Nyi Awak Ceger.
Lalu duduk di atas sebuah balai berlapis bulu
domba. Sambil duduk begitu ia membuka pakaiannya.
Maka masih nampaklah tubuh ramping memikat, wa-
laupun dalam keadaan remang. Dia membiarkan tu-
buhnya telanjang bulat. Kedua tangannya membersih-
kan darah di sekitar kepalanya.
Saat itu pintu gubuk terbuka lagi. nampak dua
orang lelaki telanjang dada memasukinya. Mereka ti-
dak lain dua pengikut Nyi Awak Ceger, mereka pun
langsung dapat melihat tubuh bugil majikannya. Se-
perti sudah terbiasa, mereka malah mendekat.
"Kami sudah menyampaikan berita kematian
orang-orang 'Angin Manik' kepadanya, Nyai. Beliau
menugaskan lagi untuk menghadapi Maung Logaya.
Dan juga orang-orang dari 'Guci Perak'." kata Pitu Langsa yang bertubuh lebih
kekar. "Kalau tidak salah, Maung Logaya sering dis-
ebut orang: Siluman Arak Sakti. Aku belum pernah
mengukur kehebatannnya. Tapi terhadap para Pende-
kar Buntung dari 'Guci Perak' kita harus waspada."
jawab Nyi Awak Ceger. Dia sudah terbiasa dalam ruan-
gan itu membugil. Membiarkan kedua pengikutnya
menatap liar sekujur tubuh mulusnya.
"Kami tahu di mana sekarang pemabuk sial itu
berada." ujar seorang lagi.
"Heh, rupanya kalian sudah berhadapan den-
gannya." kata Nyi Awak Ceger.
"Tua bangka keparat itu tidak sendirian. Dia
bersama seorang pemuda." jawab Pitu Langsa.
"Kalau begitu besok saja kita bereskan mereka."
tukas Nyi Awak Ceger. Ia membaringkan tubuhnya di
atas balai. Kedua pengikutnya tetap berdiri menatap.
"Nyi.... He-he-he-he...." Pitu Langsa nyengir, ia menyikut lelaki di sebelahnya.
"Ada apa?" tanya Nyi Awak Ceger menggeliat.
Darah kedua laki-laki ini makin terkesiap melihat dua buah dada yang ranum yang
menyembul berguncang.
"He-he-he-he.... Malam ini giliran siapa?" Pitu Langsa menunduk. Lelaki di
sebelahnya juga. Tanpa
menoleh Nyi Awak Ceger menjawab.
"Kalian berdua boleh bermain denganku malam
ini." Nyi Awak Ceger terlentang pasrah. Kedua kakinya langsung mengangkang.
*** Hari yang ditentukan oleh Kuncoro Sona tinggal
sehari lagi. Umbul-umbul serta hiasan sudah meme-
nuhi pelataran Perguruan 'Dewa Tenggara'. Semua
muridnya hari ini begitu banyak nampak berjaga-jaga
siap menyambut.
Kuncoro Sona bersama orang-orang andalan-
nya berkumpul di sebuah ruangan yang menghadap
pelataran. Gerak-geriknya sangat resah. Begitu juga
dengan kelima orang yang sedari tadi memandangi. Ke-
tika Kuncoro Sona melangkah ke luar menuju pelata-
ran. Kelima orang ini bangkit mengikuti. Mereka men-
giring Kuncoro Sona menuju pintu gerbang. Saat me-
reka mendekati para penjaga pintu....
"Guru.... Beberapa orang mulai berdatangan."
kata salah seorang penjaga pada Kuncoro Sona. Lapo-
ran itu membuat hati majikan 'Dewa Tenggara'. cukup
senang. Dari situ mereka memang dapat melihat tiga
ekor kuda berlari sangat cepat menuju ke arah pergu-
ruan. "Bersiap-siaplah menyambut mereka." perintah Kuncoro Sona. Dia tetap
berdiri di depan pintu menan-ti kedatangan tiga orang itu. Melihat kedatangan
yang sangat tergesa-gesa itu Kuncoro Sona merasa heran.
"Mereka para pentolan di Selatan dari Pergu-
ruan 'Kilat Buana'. Apa yang membuat kedatangan
mereka seperti dikejar-kejar setan?" tanya Kuncoro pa-
da diri sendiri. perasaan itu ia simpan sampai ketiga undangan itu turun dari
kudanya. "Selamat datang, orang-orang 'Kilat Buana'. Te-
rima kasih atas luangan waktu kalian ini." sambut Kuncoro Sona. Para penjaga
pintu gerbang juga ikut
menyambut mengantarkan kuda-kuda mereka.
"Maaf kalau kedatangan kami ini terlambat.
Sudah adakah perguruan lain yang datang?" kata majikan 'Kilat Buana' langsung
melangkah mendekati
Kuncoro Sona. "Belum, justru kalian manusia-manusia perta-
ma." jawab Kuncoro Sona. Ketiga orang 'Kilat Buana'
saling tatap. "Tidak tahukah kalau di sana telah terjadi se-
suatu" Beberapa perguruan telah hancur dihadang
oleh seorang pembantai berilmu tinggi. Kami menemu-
kan mayat-mayat mereka bergelimpangan di sekitar
hutan Kumba Rawa. Di antaranya Perguruan 'Angin
Manik' dan 'Teratai Kencana'." Salah seorang menjelaskan. "Astaga...!" Kuncoro
Sona seakan tidak percaya.
"Melihat keadaan mereka pastilah itu perbua-
tan Nyi Awak Ceger. Aku jelas betul melihat tanda-
tanda adanya 'Racun Kuku Wesi' pada tiap-tiap kor-
ban." "Keparat! Lagi-lagi perempuan cabul itu yang bikin ulah. Tidak kusangka
kalau undangan pertemuan ini akan membawa bencana. Pastilah ada yang
membocorkan rahasia pertemuan ini." gerutu Kuncoro Sona. Saat itu datang lagi
beberapa ekor kuda. Kali ini dari Perguruan 'Gunung Tambur'. Mereka empat
orang, perempuan semua. Mereka pun mendapat sam-
butan yang sama. "Ada apa ini" Nampaknya tegang sekali?" ujar seorang perempuan
yang tidak lain majikan
Perguruan 'Gunung Tambur'.
"Ah, kiranya nona-nona cantik dari Gunung
Tambur. Mari silahkan masuk. Tidak baik kalau kita
bicara di sini." Kuncoro Sona menuntun mereka semua masuk ke dalam. "Wuah
rupanya kami telah keduluan dengan orang-orang 'Kilat Buana'." celetuk salah
seorang perempuan itu.
* * * 8 "Soal kehadiran kami memang selalu nomor sa-
tu. Tapi tak usah risau, kita belum terlambat mengiku-ti pertemuan. He-he-he-
he...." ujar majikan 'Kilat Buana'.
"Betul. Kalian bisa beristirahat sambil menung-
gu yang lain di sini. Kita bisa ngobrol-ngobrol untuk pembicaraan yang serius
tadi." kata Kuncoro Sona. Ia berjalan paling dulu. Sedangkan lima orang
andalannya berjalan di belakang mengiringi mereka. Namun
sebelum mereka memasuki ruangan yang menghadap
ke pelataran....
"Hoooooy...! Tunggu...!" Terdengar lagi teriakan seseorang bersama derap kaki
kuda yang menderu-deru. Semuanya serempak menoleh. Dilihatnya Pende-
kar Sapu Angin seorang diri tergesa-gesa. Ia menye-
rahkan kudanya pada penjaga pintu gerbang.
"Mentang-mentang datang sendirian, kalian ti-
dak memperdulikan aku." ujar pendekar Sapu Angin.
Senjatanya terselip di pinggang belakang. Mirip sebuah sapu berukuran kecil,
tapi semua kalangan persilatan tahu akan keampuhan senjata itu. Sebentar saja
pen- dekar itu dapat menyusul mereka.
"Kebetulan, kebetulan.... Ada Pendekar Sapu
Angin di sini. Kita bisa menyapu bersih semua kekeruhan 'Partai Dewa Tenggara'."
gurau majikan 'Kilat Buana'. "Siapa yang tahu kedatangan tokoh sakti ini,
munculnya saja kayak setan." Kuncoro Sona merangkul pendekar itu. Lalu semuanya
masuk. Dibarengi
dengan derai tawa mereka.
Di ruangan itupun mereka langsung memilih
tempat. Sengaja Kuncoro menyusun bantalan-bantalan
empuk melingkar. Sehingga mereka nampak duduk
berderet seperti lingkaran.
Nara Subala orang yang paling dipercayai Kun-
coro Sona beranjak ke dapur. Tak lama pun ia keluar
membawa nampan berisi belasan gelas bambu. Lalu ia
kembali lagi ke dapur untuk mengambil air.
"Aku sangat terpukul mendengar penjelasan
dari Saudara Kilat Buana yang mana telah menjumpai
mayat-mayat orang-orang perguruan Angin Manik
maupun Teratai Kencana." Kuncoro Sona mengawali pembicaraan mereka.
"Ah! Bagaimana mungkin mereka bisa tewas di
daerah ini"!" Majikan Gunung Tambur yang sangat cantik ini setengah kurang
percaya. "Apa yang kami lihat benar-benar kenyataan.
Lebih jelas lagi kalau itu perbuatan perempuan cabul dari golongan sesat."
Majikan Kilat Buana menimpali.
"Perempuan cabul?" ulang Pendekar Sapu An-
gin. "Ya, dia tidak lain Nyi Awak Ceger. Memiliki Racun Kuku Wesi yang sangat
mematikan. Dalam perte-
muan nanti kita akan membicarakan soal gerombolan
mereka." jawab Kuncoro Sona.
"Rasanya tidak masuk akal. Perempuan itu su-
dah lama tidak menampakkan diri. Kenapa tiba-tiba
saja dia muncul menghadangi setiap para undangan.
Maaf, Kuncoro Sona, kami yakin kalau dalam Partai
Dewa Tenggara ada seekor kutu 'Busuk' bermuka dua.
Sudah jelas maksud kutu busuk itu ingin menggagal-
kan pertemuan kita." Majikan Gunung Tambur berkata blak-blakan. Kuncoro Sona
merasa terpojok. Dia sendiri bukannya tidak tahu kalau ada yang sengaja mem-
bocorkan rahasia undangan. Tapi siapa yang harus di-
tuduh" Kelima orang andalannya tidak menandakan
rasa curiga. Selama ini mereka juga ikut memikirkan
keterlambatan para undangan. Kuncoro Sona hanya
bisa menghela nafas.
"Orang-orang Angin Manik dan Teratai Kencana
merupakan dua perguruan yang sangat kuat. Kita-kita
jauh dibanding dengan mereka. Perempuan itu benar-
benar licik. Dia menggulingkan pentolan-pentolannya
dulu. Setelah itu mungkin giliran kita." ujar majikan Kilat Buana.
"Takut apa kalau hanya menghadapi iblis beti-
na itu" Mati pun aku puas bila sudah berhadapan


Pendekar Kelana Sakti 12 Dua Pendekar Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengannya." kata Pendekar Sapu Angin. Lalu ia meneruskan kata-katanya lagi...
"Secepatnya kita harus bisa membongkar siapa
dalang di balik semua ini. Sebagai orang-orang persilatan aliran lurus, aku
bersedia membantu."
"Heh! Memangnya hanya kau yang merasa dari
golongan lurus" Aku pun tidak tinggal diam kalau ma-
salah ini belum terbongkar." Perempuan-perempuan dari Gunung Tambur tidak kalah
semangat. "Biar nanti aku yang memberi hukuman terha-
dap perempuan cabul itu!" Pendekar
Sapu Angin kertakkan rahang.
"Kita masih menunggu yang lain. Juga penda-
pat mereka nanti harus kita terima." ujar Kuncoro So-
na. "Sekarang jangan bersitegang dulu. Bukankah.
kalian masih lelah setelah beberapa hari menempuh
perjalanan" Diminum dulu-lah airnya." kata Nara Subala yang sejak tadi sudah
memenuhi gelas-gelas
bambu di hadapan mereka.
"Apakah Kakek Siluman Arak Sakti tidak kau
undang?" kata Pendekar Sapu Angin sambil meraih gelas berisi air.
"Mana bisa aku melupakan kakek itu. Biar dia
seorang pemabuk, pendapatnya selalu jernih dan te-
nang. Kemampuannya pun setaraf dengan majikan
Angin Manik. Jelas dia akan membantu kita. Entahlah
dengan orang-orang 'Guci Perak'. Seandainya mereka
tidak datang aku bisa memakluminya. Karena mereka
masih digeluti duka cita." Kata Kuncoro Sona.
"Memang malang nasib orang-orang 'Guci Pe-
rak'. Konon kabarnya Pendekar Gelugut Sutra juga
ikut bergabung dengan Perguruan Guci Perak. Sangat
disayangkan waktu munculnya 'Durjana Pemenggal
Kepala' mereka tidak memberi kabar. Itu kesalahan-
nya." ujar majikan kelompok Gunung Tambur.
"Tapi kita harus angkat jempol untuk mereka.
Buktinya mereka bisa menanggulangi si Durjana Pe-
menggal Kepala itu.
*** Mendengar berita telah berdatangan tokoh-
tokoh aliran lurus di pesanggrahan 'Dewa Tenggara',
Nyi Awak Ceger ini terus bermuram durja. Saat itu ia bersama dua orang
pengikutnya berada di dataran
tinggi berbatu. Dari situ mereka bisa mengawasi kea-
daan Partai 'Dewa Tenggara'. Dua orang pengikutnya
yang bersenjata gada berduri berdiri pada batu karang
paling tinggi. Mereka terus mengawasi sekitar tempat itu. Nyi Awak Ceger diam
memainkan kesepuluh kuku-kuku runcingnya.
"Mereka mulai berdatangan, Nyai. Aku tidak
dapat jelas siapa mereka." kata Pitu Langsa sambil mempertajam penglihatannya.
"Kita tidak ditugaskan untuk menghadang me-
reka. Berarti mereka tidak berbahaya." kata orang yang satunya lagi. Nyi Awak
Ceger bangkit, ia melangkah ke atas. Dan ikut memandangi suasana Partai Dewa
Tenggara. "Apakah racun yang kuberikan sudah kalian ki-
rimkan?" tanya Nyi Awak Ceger.
"Sudah, beliau sendiri yang menerimanya." jawab Pitu Langsa. Nyi Awak Ceger
tersenyum lebar...
"Bagus. Dalam beberapa hari ini mereka pasti
bakal tewas semua." kata perempuan itu mantap.
"Sssst.... Nyi, coba lihat di sebelah sana."
Serempak Nyi Awak Ceger dan Pitu Langsa me-
noleh ke arah lain. Nampak dua sosok menunggangi
seekor kuda melintasi jalan itu. Meski dalam jarak
jauh seperti itu Pitu Langsa dapat mengenali siapa dua penunggang kuda tersebut.
"Ho-ho.... Mereka si kakek pemabuk itu ru-
panya." Pitu Langsa tergelak-gelak.
Kebetulan, tanpa dicari mereka datang sendiri.
Ayo suami-suamiku hadang mereka!" perintah Nyi
Awak Ceger. Keduanya menurut.
Wintara menghentikan langkah kudanya ketika
di hadapannya berlompatan dua sosok telanjang dada
mengibas-ngibaskan dua gada berduri. Wintara masih
ingat betul siapa kedua orang itu. Maka ia menoleh ke belakang di mana Siluman
Arak Sakti duduk berpegangan. "Kek, musuh-musuhmu datang lagi." bisik Win-
tara. Kakek Siluman Arak Sakti tidak menyahut. Ru-
panya ia tertidur sambil berpegangan erat di pinggang Wintara. Kudanya terus
melangkah meski dua orang
bersenjata gada berduri menghadang.
"Kedua paman yang murah hati, sebaiknya
memberi jalan untuk kudaku ini. yang tidak pernah
ikut campur dalam urusan persilatan hanya bermak-
sud mengantarkan kakek ini." Wintara berusaha ramah. Dua orang penghadang ini
menyeringai. "Tidak mudah untuk mencapai Partai 'Dewa
Tenggara' anak tengik. Kau harus melewati kami dulu!"
bentak Pitu Langsa.
"Aku khawatir kakek pemabuk akan menghajar
pantatmu lagi, Paman. Wataknya bengis apalagi seka-
rang ia mabuk betul." ujar Wintara.
"Ngoceh sembarangan! Suruh dia turun, biar
kepalanya kuhancurkan! Kalau perlu kau pun akan
kubuat dendeng, anak tengik!" Seorang lagi murka, ia mengacung-ngacungkan
senjatanya. "Goblok! Kalian hanya buang-buang waktu!
Langsung saja gempur! Tidak perlu basa-basa lagi!" Jelas itu suara Nyi Awak
Ceger. Tapi perempuan itu be-
lum menampakkan diri.
Demi mendengar suara itu, kedua penghadang
ini serempak melompat sambil melepaskan hantaman
gada berduri. Sebelum hantaman itu mengena, Winta-
ra menendang salah satu hantaman itu. Kemudian ia
melompat dari kudanya. Kakek Siluman Arak Sakti te-
tap tertidur berpegangan. Kakek ini sama sekali tidak terjaga meskipun Wintara
bergerak-gerak menghadapi
dua orang lawan.
Ketika hantaman itu datang dari arah yang ber-
lawanan, Wintara merentangkan kedua tangannya.
Itulah salah satu jurus yang dinamakan 'Menyibak Ti-
rai Bayu'. Meski nampak pelan pendekar ini meren-
tangkan kedua tangannya, tak urung dua orang la-
wannya ini terjungkal hebat. Begitu juga dengan si kakek yang berpegangan erat
di pinggang Wintara. Ikut
terlempar juga. Tenaga dalam yang dikerahkan Winta-
ra ini sangat luar biasa. Mengetahui Kakek Siluman
Arak Sakti terlempar, Wintara berlari ke arahnya.
"Waaah.... Benar-benar kebluk. Kakek Siluman
Arak Sakti, bangun!" teriak Wintara. Si kakek tetap mendengkur seolah tidak
terjadi apa-apa. Manakala
dua penyerang ini makin beringas melancarkan seran-
gan. Terpaksa pula Wintara menghadapi.
Dalam menghadapi dua orang lawan ini, sebe-
narnya Wintara mudah untuk melumpuhkan mereka.
Ia hanya khawatir melihat si kakek tetap tertidur. Makanya saat mereka serempak
menerjang, Pendekar Ke-
lana Sakti sengaja menghadapinya. Dan berusaha
memancing agar pertempuran mereka jauh dari tempat
si kakek. Hantaman-hantaman gada berduri buas men-
cecar kepala. Wintara berkelit ke bawah. Sambil melepaskan pukulan 'Tinju Bayu
Delapan Penjuru'. Tanpa
bisa menghindari lagi kedua lawannya ambruk bergu-
lingan. Keduanya menyemburkan darah. Tanpa mem-
beri kesempatan mereka bangkit, Wintara menerjang
dengan hantaman-hantamannya lagi.
Saat itu dari arah lain meletik sepuluh tahi ku-
ku membara mengarah deras ke arah Pendekar Kelana
Sakti. Tapi tebaran Racun Kuku Wesi itu mendadak
berhamburan tanpa mengenai tubuh Wintara. Kakek
Siluman Arak Sakti telah menangkis dengan semburan
araknya. Wintara sendiri sudah menyadari kalau ia telah
diselamatkan Siluman Arak Sakti. Maka ia tidak tang-
gung-tanggung lagi lanjutkan niatnya untuk menghan-
tam ke dua lawannya. Meledaklah teriakan Wintara
membahana. Kedua telapak tangannya mengarah tepat
dengan jurus 'Bayu Menghembus Tebing'. Kedua len-
gan itu nampak bergulung-gulung menimbulkan su-
ara angin yang menderu-deru.
Dan ketika kedua telapak tangan Wintara
menghantam tepat mengenai mereka, tidak ampun lagi
kedua orang telanjang dada itu mencelat membentur
dataran berbatu. Satu di antaranya tewas dengan tu-
lang dada remuk. Satu lagi tewas saat kepalanya han-
cur membentur batu. Mengenaskan. Wintara sendiri
tidak bermaksud membunuh mereka. Dia tidak yakin
hantamannya sedahsyat itu. Wintara masih terheran-
heran.... "Aku yang melancarkan pukulan jarak jauh,
Wintara." Kakek Siluman Arak Sakti bangkit dari ti-durnya. Barulah Wintara tahu
kalau kematian mereka
tadi akibat hantaman si kakek pemabuk.
"Mereka memang pantas menerima kematian.
Tidak perlu dipikirkan nyawa-nyawa anjing mereka.
Entah sudah berapa banyak korban yang bergelimpan-
gan akibat ulahnya." Kakek pemabuk tersenguk-
senguk saat melangkah ke arah Wintara. Lalu ia me-
nenggak arak lagi.
"Lawan kita belum tuntas, Kek. Bukankah tadi
kau telah menyelamatkan aku dari senjata-senjata ra-
hasia?" "Prrrrrrts...!" Kakek Siluman Arak Sakti seperti terselak mendengar
ucapan Wintara.
Wajahnya yang merah hangus memandang
berkeliling sambil mendengus-dengus.
"Nyi Awak Ceger...! Kenapa harus sembunyi-
sembunyi! Ayo keluar! Jangan bertingkah macam kutu
busuk!" bentak kakek. Suaranya lantang menggema di dataran itu. Wintara ikut
mengawasi dengan pandangan yang berkeliling. Yang nampak hanya batu-batu
besar setinggi rumah menghampar.
Dari balik batu-batu itu pula melesat ke atas
sosok ramping Nyi Awak Ceger. Ia langsung berdiri di puncak batu sambil menatap
geram ke arah mereka.
"Kalian telah membunuh dua orang pengikut
setia ku! Kalian berdua harus menebus dengan nyawa
kalian!" Nyi Awak Ceger murka.
"Wuah maling teriak maling! Siapa sebenarnya
di antara kita yang berniat membunuh" Bukankah ka-
lian yang diam-diam menghadang kami" Lihat-lihat
dulu kalau mau menghadapi orang!" ujar Kakek Siluman Arak Sakti.
"Keparat...!" Nyi Awak Ceger menjentikkan jari jemarinya. Maka meletiklah Racun
Kuku Wesi yang terkenal ampuh. Benda-benda kecil namun mematikan
itu menghujan ke arah mereka. Wintara berjumpalitan
menghindar. Kakek Arak Sakti menyembur
kan arak dari mulutnya. Terlihatlah senjata-
senjata rahasia beracun itu meluruk ke bawah mem-
bakar bumi. "Segala tahi kuku macam upil saja kau pamer-
kan! Mana lagi senjata andalanmu. Tunjukkan pada si
kakek peyot ini!" Kakek Siluman Arak Sakti malah menerjang melepaskan hantaman.
Tidak kalah hebat Nyi
Awak Ceger menyambut.... "Bledaaar!" Hantaman mereka beradu. Kakek Siluman Arak
Sakti terguling ter-
kena hantamannya sendiri. Melihat itu pun Nyi Awak
Ceger terus melancarkan serangan gencar. Sudah ten-
tu Wintara tidak tinggal diam.
Dengan memberanikan diri Pendekar Kelana
Sakti. ini menggagalkan serangan Nyi Awak Ceger.
* * * 9 Terhadap Pendekar Kelana Sakti Nyi Awak Ceg-
er terlalu pandang remeh. Serampangan ia melancar-
kan pukulan. Makanya saat Wintara menangkis han-
tamannya, Nyi Awak Ceger memekik hebat. Tinjunya
serasa berdenyut hebat. Dengan begitu kakek Siluman
Arak Sakti mendapat kesempatan untuk bangkit lagi.
Sempat pula Kakek Siluman Arak Sakti melihat
kegesitan Wintara. Dia hanya tersenyum kecut melihat Nyi Awak Ceger begitu
kewalahan. Apalagi saat Wintara melepaskan pukulan 'Bayu Menghantam Karang'.
Bagi kakek pemabuk ini jurus itu sangat aneh. Karena begitu hantaman itu
mengena, Nyi Awak Ceger langsung mundur bagai diseruduk banteng, juga menyem-
burkan darah dari mulutnya.
"Aha.... Rupanya kau memiliki kepandaian ju-
ga, Wintara. Tapi sebaiknya biarkan perempuan cabul
itu menjadi bagianku!" Kakek pemabuk tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Pendekar
Kelana Sakti. "Ilmu yang kumiliki hanya untuk sekedar pen-
gusir kutu busuk! Tiada gunanya sama sekali." jawab Wintara sambil menatap
Siluman Arak Sakti mementang jurus-jurusnya yang nampak lemah dan limbung.
Nyi Awak Ceger sudah bangkit dengan tatapan yang
nanar. Kuku-kukunya yang runcing meregang siap
menebarkan Racun Kuku Wesi.
"Mustahil kalau kalian tidak mampus di tan-
ganku, pendekar-pendekar dungu! Hreeaaaaa...!" Sambil menerjang begitu Nyi Awak
Ceger menjentik-
jentikkan jari jemarinya. Setengah mati Kakek Siluman Arak Sakti maupun Wintara
menghindari hujan Racun
Kuku Wesi. Kali ini mereka baru tahu akan kehebatan
Nyi Awak Ceger. Pantaslah kalau orang-orang Angin
Manik dan Teratai Kencana tidak sanggup menghadapi
perempuan cabul ini.
Berkali-kali kakek pemabuk menyemburkan
araknya untuk meruntuhkan hujan Racun Kuku Wesi.
Bagi Wintara cukup mengandalkan hantaman Tinju
Bayu Delapan'. Maka senjata-senjata rahasia Nyi Awak Ceger seperti menghambur
berbalik. Kakek Siluman
Arak Sakti tidak sempat melangkah mundur. Jaraknya
begitu dekat dengan Nyi Awak Ceger yang tidak pernah berhenti melancarkan
serangan. Kakek itu harus repot menghindari hantaman-hantaman serta tahi kuku.
Se-saat setelah ia mendapat kesempatan menarik dirinya, sempat pula ia menenggak


Pendekar Kelana Sakti 12 Dua Pendekar Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arak. Namun Nyi Awak Ceger lebih dulu menebarkan
Racun-racun Kuku Wesinya. Tanpa bisa dihindari lagi
kakek pemabuk memekik. Saat ia menenggak arak,
pundinya hancur bersama masuknya senjata-senjata
rahasia ke wajah Kakek Siluman Arak Sakti.
Wintara terlambat menyelamatkan. Namun ia
tetap melompat melindungi. Kakek Siluman Sakti ber-
kelojotan dalam lindungan Pendekar Kelana Sakti.
Pendekar muda ini pun harus melompat berpindah-
pindah menghindari serangan-serangan Nyi Awak Ceg-
er. "Hi-hi-hi-hi.... Percuma kau selamatkan kakek
keropos itu, Anak muda! Dia sudah mampus!" kata Nyi Awak Ceger mengerikan.
Bukan main marahnya Wintara saat melihat
tubuh Kakek Siluman Arak telah biru kaku. Setelah ia melompat menghantamkan
serentetan tendangan. Tubuh kurus yang telah tewas itu diletakkan pada per-
mukaan dataran berbatu. Gerakannya yang lincah
menyongsong hantaman-hantaman Nyi Awak Ceger.
Sedari tadi perempuan ini sudah merasa kalau
anak muda yang ia hadapi ini sangatlah berilmu tinggi.
Maka ia berusaha mengelabui dengan akal genitnya.
Jurus-jurus 'Perayu Sukma' tidak putus-putusnya
menggasak Wintara. Namun selama menghadapi pe-
rempuan ini Wintara tetap konsentrasi penuh. Nyi
Awak Ceger sengaja menonjolkan gerakan-gerakan
yang amat merangsang. Hal itu guna membuyarkan
perhatian pendekar muda ini.
Tapi semua usaha Nyi Awak Ceger tidak mem-
pan. Malah tidak segan-segan Wintara menyebarkan
serentetan pukulan 'Bayu Menghempas Gelombang'.
Terlihat dua telapak tangan Wintara menyentak-
nyentak mengeluarkan tenaga dalam yang sangat dah-
syat. Akibatnya sungguh fatal pula. Sekali saja terkena hantaman itu Nyi Awak
Ceger terpelanting jatuh bangun. Di tambah lagi dengan sabetan kaki yang meng-
hantam perut. Tulang-tulangnya seperti remuk. Den-
gan lemas pula ia berusaha bangkit.
Sebelum Wintara melepaskan hantamannya,
Nyi Awak Ceger melesat ke atas puncak
bukit batu. Mengingat akan keampuhan Racun
Kuku Wesi Wintara tidak langsung menyusul. Tapi pe-
rempuan itu memancing agar Wintara mendekatinya.
Padahal ia sudah bersiap-siap menebarkan senjata
Tahi Kukunya. "Wintara...!" Terdengar sebuah teriakan, juga derap kaki kuda yang mengarah ke
tempat itu. Nyi
Awak Geger sangat terkejut melihat siapa yang datang itu. Mereka tidak lain
Pendekar Gelugut Sutra bersama Amarsa Rawut.
"Jangan biarkan perempuan cabul itu lolos!" teriak Pendekar Gelugut Sutra. Kuda-
kuda mereka ber-
lari kencang mendekat. Melihat kedatangan mereka
Wintara bertambah semangat. Lalu kedua tangannya
menjurus ke depan melepaskan hantaman. Mengeta-
hui adanya 'Penyakit' Nyi Awak Ceger cepat menying-
kir. Sekali ia berjumpalitan, hantaman Wintara nyeplos menghancurkan puncak
batu. "Anak muda...! Lain kali kita boleh bertarung
lagi! Sekarang aku tidak sempat melayanimu!" teriak Nyi Awak Ceger. Larinya
bagai angin. Sebentar saja ia sudah hilang.
Wintara tidak bermaksud mengejarnya. Ia sen-
gaja menunggu kedatangan Dua Pendekar Buntung itu
mendekati. "Sayang kau biarkan perempuan merat, Winta-
ra. Dia telah membunuhi orang-orang persilatan. Ke-
palanya harus di penggal. Hukuman itu yang pantas
untuknya." gerutu Pendekar Gelugut Sutra.
"Kakek Siluman Arak Sakti pun telah menjadi
korbannya. Perempuan itu berkemampuan sangat
tinggi. Aku yakin betul kalau ia belum mengerahkan
seluruh kemampuannya." jawab Wintara. Bibirnya
monyong mengarah pada sosok kurus kakek pemabuk
yang terbujur kaku. Dua Pendekar Buntung ini menge-
ryitkan alis mengikuti pandangan Wintara.
"Sungguh malang nasibnya. Sepak terjangnya
dalam dunia persilatan sangat di segani. Kakek ini sebenarnya dari golongan
sesat. Sepuluh tahun yang lalu ia bergabung dengan orang-orang aliran lurus.
Gerombolan aliran sesat pernah dibuat berantakan. Tapi sekarang...." Amarsa
Rawut tidak melanjutkan penjela-sannya. Karena riwayat Kakek Siluman Arak Sakti
ini lebih banyak diketahui oleh Pendekar Gelugut Sutra.
"Apakah kalian juga akan menghadiri undan-
gan Kuncoro Sona?" tanya Wintara.
"Betul. Dan nampaknya selama dalam perjala-
nan ada yang tidak beres. Seseorang telah mendalangi Nyi Awak Ceger untuk
menghadang tiap-tiap undangan. Sekarang aku malah curiga dengan Kuncoro Sona
sendiri." ujar Amarsa Rawut. "Undangan ini tidak se-
perti biasanya. Aku sendiri kurang mengerti." kata Pendekar Gelugut Sutra.
Orang-orang persilatan dari aliran lurus seperti
terperangkap." katanya lagi. "Sudah kepalang tanggung, Paman. Tadinya pun aku
berniat akan mengha-
diri undangan itu bersama Kakek Siluman Arak Sakti."
kata Wintara. "Kalau begitu kau bisa meneruskan perjalanan
bersama kami, sobat Wintara." kata Amarsa Rawut.
Wintara tidak menyahut. Ia langsung menaiki
kudanya. Dan melangkahkan kudanya beriringan den-
gan mereka. "Dunia betul-betul terasa sempit. Tidak disang-
ka-sangka kita bisa berkumpul kembali. Mari kita be-
rangkat." tukas Wintara!
"Hreeeaaa...!" Amarsa Rawut menghela kudanya kuat-kuat. Maka ketiga ekor kuda
itu berlari kencang saling susul. Derap kaki kuda mereka berderak-derak
menyentak dataran tanah berbatu. Asap debu bergu-
lung-gulung mengiringi kepergian mereka.
"Pendekar-pendekar tolol! Setibanya di sana ka-
lian akan mampus semua!" Teriak Nyi Awak Ceger
menggema. Sumbernya entah dari mana. Yang pasti
teriakan itu sertai dengan gelombang suara bertenaga dalam. Sehingga dalam
keadaan jarak yang
sangat jauh dapat terdengar jelas oleh ketiga pendekar ini. Namun mereka tidak
memperdulikan suara-suara
teriakan Nyi Awak Ceger. Mereka terus memacu ku-
danya kuat-kuat menuju pemukiman orang-orang Par-
tai Dewa Tenggara*.
"Percuma, pendekar-pendekar tolol! Mereka
semua yang ada di sana telah menjadi makanan car-
ing!" Teriakan Nyi Awak Ceger menggetarkan telinga mereka. Teriakan itu akhirnya
menghilang dengan
sendirinya. Tersapu oleh derap kaki kuda yang berta-
lu-talu bagai genderang perang.
* * * 10 Kuncoro Sona agak kecewa. Karena undangan
yang hadir hanya enam partai. itu menjadi tuntutan
pertanyaan-pertanyaan dari pihak lain. Sembilan par-
tai tidak hadir. Semuanya menjadi gusar. Apalagi me-
reka mengetahui beberapa partai perguruan tewas da-
lam perjalanan. Peristiwa itu menjadi pokok pembica-
raan dalam pertemuan hari ini.
Ruangan yang semestinya penuh dengan orang-
orang persilatan, hari itu nampak agak berkurang.
Namun begitu keadaan di luar maupun sekitar pintu
gerbang dijaga ketat oleh orang-orang Partai 'Dewa
Tenggara'. Mereka bersiap siaga kalau-kalau ada sesuatu yang tidak diinginkan.
Sampai saat ini keadaan
masih tetap aman.
Kuncoro Sona duduk berderet bersama kelima
orang kepercayaannya. Sedang para tamu undangan
duduk bersila berhadapan. Suasana dalam ruangan
khusus itu menjadi riuh saat mereka membicarakan
pokok persoalan mengenai seorang tokoh sesat macam
Nyi Awak Ceger.
Kemunculan Nyi Awak Ceger yang seperti
membuat teror itu benar-benar membuat murka kee-
nam partai yang mengikuti pertemuan. Namun dalam
mengeluarkan pendapat, mereka tetap dengan kepala
dingin. "Bukan kami tidak sanggup mencari di mana adanya Nyi Awak Ceger.
Perempuan sadis itu selalu
muncul di luar dugaan kami. Bahkan orang-orang
'Dewa Tenggara' sendiri sudah banyak yang menjadi
korban. Soal menghadapi kemampuannya, kami sudah
mengerahkan beberapa orang. Tapi selalu saja kami tidak dapat menjumpai tokoh
sadis itu." ujar Kuncoro Sona. "Sebelum terlambat atau merajalela. Kita sepa-
kati saja untuk meringkus setan cabul itu bersama-
sama. Perempuan itu memang licik. Kita tidak bisa
menyalahkan Kuncoro Sona." kata Pendekar Sapu Angin.
"Kalau kita belum bisa menemukan dia, mana
bisa kita ketahui dalang semua ini. Mana mungkin dia sendirian berani merecoki
di Tenggara. Kita semua ta-hu. Semua tokoh sesat telah digulung mentah-mentah
oleh Kuncoro Sona." sambut Majikan Kilat Buana.
"Demikian hebatnyakah dia, sehingga orang-
orang Angin Manik dan Teratai Kencana tewas di tan-
gannya?" tukas partai lain.
"Ahh.... Sehebat apapun dia, kalau kita berge-
rak kompak, niscaya dia akan terkelupas kulitnya."
jawab perempuan cantik dari Gunung Tambur.
"Betul! Kita luangkan waktu beberapa hari
sampai kita betul-betul dapat menjerat perempuan ca-
bul itu!" "Setuju! Kami setuju apa yang dikatakan oleh
Pendekar Guntur Kelud. Sebagai orang-orang aliran lurus sudah sewajarnya membela
ke langgengan dunia
persilatan." kata Partai Bukit Merak penuh semangat.
"Akuuuuuur...!" Serempak berteriak. "Terima kasih atas niat saudara-saudara yang
bermaksud akan membantu Partai 'Dewa Tenggara'. Semoga saja kita
berhasil dalam menanggulangi iblis betina itu. Dan ju-ga harap saudara-saudara
sekalian tetap tenang." Kata Kuncoro Sona. Ia bangkit berdiri. Dengan kedua tan-
gan terangkat. Maka suasana riuh itu berubah senyap.
"Dalam pertemuan ini kami akan menunjukkan
sesuatu pada kalian. Harap semua tenang." kata Kuncoro Sona lagi.
Semua undangan menatap tajam. Mereka diam
menunggu sesuatu yang akan diperlihatkan oleh maji-
kan 'Dewa Tenggara' ini. Kuncoro Sona menoleh ke
samping. Lalu ia memberi aba-aba pada Nara Subala.
Laki-laki yang telah mengerti akan aba-aba itu segera bangkit.
Tanpa menunggu perintah lebih lanjut Nara
Subala melangkah meninggalkan ruangan itu.
"Kau sengaja membuat kami tegang, Kuncoro
Sona. Apa sebenarnya yang akan kau tunjukkan pada
kami?" tanya mereka penasaran.
"Sebenarnya bukan apa-apa. Mumpung kalian
semua berada di sini. Sekali-sekali kami ingin memperlihatkan barang pusaka
milik Partai 'Dewa Tenggara'."
jawab Kuncoro Sona.
"Astaga! Dalam situasi yang begini kau ingin
mengeluarkan pusaka?" Pendekar Sapu Angin tidak menduga.
"Hal ini berguna agar sesama perguruan saling
mengenal pusaka. Situasi memang sedang ricuh, tapi
apa yang mesti ditakuti" Bukankah kalian semua be-
rada di sini" Tidak mungkin segala kutu busuk berani nyelinap merebut pusaka
milik kami." jawab Kuncoro Sona. "Yang kami takuti justru ada musuh dalam se-
limut." tukas majikan Kilat Buana." Semua undangan dalam ruangan itu saling
pandang. Tak lamapun Nara
Subala datang kembali. Ia membawa sebuah nampan
berhias. Dalam nampan itu ada sesuatu yang terselu-
bung dengan selembar sutra emas.
Nara Subala menyerahkan nampan itu pada
Kuncoro Sona. Majikan Dewa Tenggara tidak mengam-
bilnya. Ia hanya membuka kain sutra emas sebagai
penutupnya. Maka terlihatlah dua buah benda berkilat. Ben-
da itu mirip dua batang tongkat selebar dua jengkal.
Putih berkilat. Jelas tongkat-tongkat kecil bukan dari logam biasa, warnanya
yang seputih kaca menyala-nyala. "Inilah pusaka 'Dewa Tenggara' kami menama-
kannya Dua Batu Kutub Utara-Selatan. Nenek moyang
Dewa Tenggara telah menyimpannya selama beratus-
ratus tahun. Kedahsyatannya melebihi dari pedang se-
tajam apapun." jelas Kuncoro Sona. Nara Subala dipe-rintahkan berjalan
berkeliling agar semua para undangan dapat melihat jelas. Semua mata memandang
tan- pa berkedip. Manakala sinar menyilaukan memancar
dari kedua benda tersebut.
"Aku berharap saudara-saudara sekalian bisa
mengenali dan juga saling menjaga. Pusaka sangat
perlu kita ketahui." ujar Kuncoro Sona.
"Melihat dari bentuknya, pastilah kedua senjata ini sangat luar biasa." Majikan
Bukit Merak berkata kagum. "Memang!" jawab Kuncoro Sona cepat. "Tapi kami tidak
pernah menggunakannya sama sekali."
Kata-kata itu membuat para undangan berde-
cak kagum. Sementara itu di luar, suasana tetap sepi dan
tenang. Semua penjaga bersiap mengawasi sekitar
tempat itu. Dari pintu gerbang sampai sekeliling ban-gunan berderet orang-orang
Dewa Tenggara. Namun
suasana di luar pelataran mendadak dikejutkan oleh
beberapa orang penjaga yang tiba-tiba saja bergelintingan di tanah.
Melihat kejadian itu pun para penjaga yang lain
berdatangan. Mereka mendapatkan lima orang teman-
nya kelojotan sambil memegangi perut. Dan yang lebih aneh lagi semua orang yang
berdatangan itu merasakan sesuatu yang aneh dalam perut mereka. Tak la-
mapun semuanya bergelimpangan seperti menahan
sakit pada perutnya.
Begitu juga dengan para penjaga pintu gerbang.
Mereka semua mengalami hal yang sama. Satu demi
satu bergelimpangan menahan gejolak yang menga-
muk dalam perut mereka.
Jatuhnya orang-orang Dewa Tenggara itu dapat
terlihat jelas oleh para undangan. Kuncoro Sona sendi-ri jadi terkejut. Nara


Pendekar Kelana Sakti 12 Dua Pendekar Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Subala masih memegangi nampan yang berisi benda pusaka. Demi keterkejutan itu
mereka semua bangkit. Mereka mengira seseorang yang
menyerang pemukiman Dewa Tenggara. Keadaan
ruangan jadi kacau.
Serempak mereka bermaksud berlari keluar.
Tapi baru saja beberapa langkah, beberapa orang ter-
masuk Kuncoro Sona bergulingan. Mereka mengalami
nasib yang sama seperti para penjaga di luar. Entah
mengapa mendadak perut mereka tiba-tiba seperti dis-
ayat-sayat. Tak terduga pula semuanya ikut jatuh mena-
han sakit yang menyerang perut mereka. Ruangan itu
jadi kacau. Para pendekar mengerang-ngerang mena-
han sakit. Tak satupun yang dapat bangkit. Kecuali
Nara Subala. Ia tetap berdiri tegar memegangi nampan berhias.
Laki-laki yang amat dipercaya oleh Kuncoro
Sona ini memandang tenang ke arah mereka. Kuncoro
Sona menggapai-gapai berusaha bangkit. Suaranya ti-
dak dapat keluar. Kedua matanya membelalak mena-
tap Nara Subala.
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha...!" mendadak Nara Subala
tertawa terbahak-bahak. Ia meraih dua buah pusaka
'Dewa Tenggara'. Membiarkan nampan berhias ter-
banting di lantai.
"Betapa mudahnya aku menyingkirkan orang-
orang tolol ini. Selama bertahun-tahun akhirnya sam-
pai juga niatku untuk menguasai Pusaka 'Dewa Teng-
gara'...," Suara Nara Subala tajam bagai mata pedang.
Kedua tangannya erat menggenggam pusaka-pusaka
itu. "Nara Su-Ba-la...! A-apa yang kau per-buat i-
ni...!" bentak Kuncoro Sona terputus-putus.
"Ketahuilah, selama ini minuman kalian telah
kuberi Racun Pengerat Usus. Kalian sudah tahu akan
keganasan racun ini bukan" Semakin kalian banyak
bergerak semakin cepat pula kalian menuju liang ku-
bur!" ujar Nara Subala.
"Khe-pha-rhat...!" Kuncoro Sona tidak mampu berbuat apa-apa. Dan nampaknya semua
orang dalam ruangan itu sangat parah. Semuanya berusaha mene-
nangkan diri. Mereka berusaha menghimpun tenaga
untuk mematikan pengaruh racun.
"Aku yakin racun itu tidak ada artinya bagi ka-
lian. Kalau kalian gigih menyalurkan tenaga inti, maka dalam dua jam kalian akan
kembali normal. Tapi siapa yang akan bertindak bodoh. Tentu saja sebelum
meninggalkan tempat sial ini, aku mengirim kalian ke akherat terlebih dahulu.
Biarlah istriku yang akan me-
nentukan nasib kalian!" kata Nara Subala sambil me-masukkan dua benda pusaka ke
dalam balik bajunya.
Lalu ia menoleh kesatu ruangan lain...
"Istriku! Keluarlah, sekarang kau perlu sem-
bunyi-sembunyi macam anjing tumang!" teriak Nara Subala, maka dari balik pintu
ruangan itu keluar seorang perempuan setengah umur. Perempuan itu masih
nampak cantik dan mempesona, Apalagi pakaian san-
gat ketat menonjolkan tubuh yang aduhai. Semua para
undangan membelalakkan mata menatap sosok pe-
rempuan yang tidak lain Nyi Awak Ceger.
"Na-Nara Su-Suba-la khe-pharat...! Rupanya
kau yang se-sela-lu merecoki du-du-nia per-per-persilatan... Ahk...!" Pendekar
Sapu Angin berniat bangkit menyerang, tapi ia terguling kembali.
"Hik-hik-hik-hik-hik...! Apa yang harus kita lakukan terhadap para pendekar
malang ini, Kakang Na-
ra Subala?" Suara Nyi Awak Ceger lirih. Nara Subala mengangkat bahu.
"Terserah kau, Istriku. Bukankah ini semua
rencanamu?" jawab Nara Subala.
"Hik-hik-hik...! Kalau begitu, kau menyingkir-
lah, Kakang. Biar mereka jadi mangsa Tahi-tahi Kuku Wesiku." Nyi Awak Ceger
melangkah menghadapi
orang-orang itu. Kedua lengannya merentang siap
menjentikkan jari jemarinya.
"Mampus lebih cepat lebih bagus!" bentaknya.
Kali ini ia tidak main-main lagi. Sekali ia menjentikkan kesepuluh jari
jemarinya, meletiklah senjata-senjata rahasia yang mengeram di balik kuku-kuku
besi runcing Nyi Awak Ceger.
Bagai serbuk-serbuk besi membara, tahi kuku
itu menghujan pada semua pendekar yang pasrah me-
nerima nasib. Namun....
"Sreeeet...! Pruuuuul...!" Mendadak serbuk-serbuk itu meluruk ke tanah kembali.
Tanpa mengenai satu orang pun. Nyi Awak Ceger maupun Nara Subala
tersentak kaget melihat semua Racun Kuku Wesinya
terjerat oleh serat-serat halus berwarna keputihan. Serat-serat itu pun sirna
tatkala senjata-senjata rahasia Nyi Awak Ceger hangus di lantai.
* * * 11 Di hadapan mereka berdiri sosok Pendekar Ge-
lugut Sutra mementang jurus. Kedua ujung lengannya
yang kutung mengarah ke depan siap melancarkan se-
rangan lagi. Di belakang Pendekar Gelugut Sutra ber-
diam pula dua sosok pendekar yang tak lain Amarsa
Rawut bersama Wintara.
"Pendekar buntung keparat! Berani kau meng-
halangi Racun Kuku Wesiku" Bagus... Bagus.... Ada
baiknya kalian cepat ke mari. Biar sekalian aku meng-habisi kalian bersama yang
lain!" ujar Nyi Awak Ceger.
Amarsa Rawut mendekati sosok Kuncoro Sona
yang berbanjir peluh. Majikan Partai 'Dewa Tenggara'
ini tidak menyangka kalau Pendekar-pendekar dari
'Guci Perak' bakal hadir.
"Maaf atas keterlambatan ini, Saudara Kuncoro
Sona. Anjing betina ini selalu menghalangi setiap langkah kami." Amarsa Rawut
menjelaskan. "Kami semua terkena Racun Pengerat Usus.
Kami tidak dapat berbuat apa-apa." rintih Kuncoro So-na.
"Gawat. Untunglah kami cepat datang. Aku ta-
hu bagaimana mengatasinya." Amarsa Rawut langsung menotok peredaran darah bagian
ulu hati. Dengan begitu Kuncoro Sona merasa agak lebih baik. Tapi ia seperti
tidak dapat bergerak.
"Tak apa-apa. Beberapa saat pengaruh totokan
bersama racun akan lenyap." ujar Amarsa Rawut. Lalu ia menotoki lagi pada para
pendekar lainnya. Melihat itu pun Wintara ikut membantu. Tanpa di perintah ia
menotoki pula para korban keracunan.
Pendekar Gelugut Sutra tetap bersitegang
menghadapi Nyi Awak Ceger, Nara Subala kertakkan
rahang melihat Amarsa Rawut dan Wintara berusaha
menyelamatkan mereka. Maka dengan sengit ia mener-
jang ke arah pendekar-pendekar itu. Bersamaan pula
dengan terjangan Nyi Awak Ceger yang tidak kepalang
melancarkan serangan pada Pendekar Gelugut Sutra.
Amarsa Rawut menyambut hantaman Nara
Subala. Pendekar tanpa kaki ini dapat membuat Nara
Subala mundur dengan sabetan tongkatnya. Sekali
berkelebat, tongkat itu menyambar bagaikan sebilah
pedang. Namun dengan tangan kosong Nara Subala te-
tap gigih membalas. Terhadap musuhnya, Amarsa Ra-
wut menggempur dengan jurus 'Tendangan Seribu Ha-
lilintar'. Maka Nara Subala kewalahan memapaki den-
gan jurus 'Mengusir Badai'. Dan ternyata ilmu paduan Amarsa Rawut dapat
mematahkan serangan balasan
Nara Subala. Laki-laki memekik sambil berjingkat
mundur. Ia merasakan benturan hantaman mereka
begitu dahsyat. Apalagi setelah Amarsa Rawut memu-
tar sebelah tongkatnya.... "Wuuuuuuk!" Sambaran angin itu menggetarkan rambut
Nara Subala. Sementara itu hantaman Pendekar Gelugut Su-
tra bergulung-gulung menyambut tebaran Racun Kuku
Wesi Nyi Awak Ceger. Perempuan setengah umur ini
beterbangan kian ke mari. Tidak putus ia menebarkan
racun-racun mautnya. Sesekali pula ia melepaskan
cakaran serta tendangan. Tak urung Pendekar Gelugut
Sutra menepis dengan putaran kedua lengan bun-
tungnya. Wintara sudah selesai menotoki pendekar yang
terkena Racun Pengerat Usus. Dia hanya berdiri te-
nang menyaksikan kedua temannya bertarung satu
lawan satu. Dalam hal ini Pendekar Kelana Sakti me-
rasa khawatir akan tindakan Pendekar Gelugut Sutra.
Serangan-serangan Nyi Awak Ceger lebih berbahaya.
Serat-serat gelugut sutra memang sempat meruntuh-
kan semua serbuk-serbuk membara tanpa ampun. Ta-
pi Wintara dapat melihat jelas kalau pendekar tanpa
telapak tangan ini begitu kewalahan.
Maka untuk Pendekar Kelana Sakti, ia men-
gambil langkahnya sendiri. Sekali ia melentingkan tubuh. Ia langsung memapak
serangan Nara Subala.
Amarsa Rawut yang tengah menghadapi serangan Nara
Subala sampai terkejut.
"Maaf, Sobat Amarsa Rawut. Pendekar Gelugut
Sutra memerlukan bantuanmu." kata Wintara. Kibasan tangannya tidak berhenti
menyambut serangan-
serangan Nara Subala. Amarsa Rawut menyadari, tan-
pa dirinya ilmu paduan antara 'Guci Perak' dan ilmu
'Gelugut Sutra' tidak bersatu. Maka setelah mele-
paskan tusukan tongkatnya pendekar tanpa kaki ini
melompat berganti arah.
"Hati-hati terhadap penghianat ini!" Tubuh Amarsa Rawut salto mengarahkan
serangan terhadap
Nyi Awak Ceger. Wintara tidak menyahut. Ia belum
membalas serangan Nara Subala.
Menghadapi dua orang lawan, Nyi Awak Ceger
bukan main sibuknya. Perempuan ini terus melancar-
kan racun-racun Kuku Wesi. Namun Amarsa Rawut
dapat merontokkan serangan tersebut dengan jurus
Pusaran Angin. Manakala hantaman Pendekar Gelugut
Sutra mendesak pertahanan Nyi Awak Ceger.
"Perempuan cabul! Kematianmu memang harus
di tangan kami! Karena dosa-dosamu telah bertum-
puk!" hardik Pendekar Gelugut Sutra. Hantamannya tidak kepalang tanggung
mendera. Tanpa bisa mengelak Nyi Awak Ceger memekik. Belum sempat pula ia
membalas, sambaran tongkat Amarsa Rawut meng-
hantam dadanya.... "Craaaas!" Darah menyembur dari bagian dadanya yang ranum.
Meskipun ia telah malang melintang dalam du-
nia persilatan, Nyi Awak Ceger harus mengakui akan
kehebatan Dua Pendekar Buntung ini. Dia boleh mu-
dah mengalahkan pendekar-pendekar lain dengan ra-
cun-racun andalannya. Tapi terhadap pendekar-
pendekar cacat ini, sekarang dibuatnya seperti bola.
Hantaman-hantaman serat sutra membuat diri
Nyi Awak Ceger tak mampu berkutik. Dan perempuan
malang ini tidak sempat mengelak saat kedua tongkat
Amarsa Rawut bergerak menyilang menghantam Wajah
cantik itu.... "Waaaarght!" Tapak tangan bercampur darah membekas di wajah
perempuan yang bergelintingan ini. Kedua pendekar buntung hanya menyaksi-
kan dengan puas saat Nyi Awak Ceger kaku meng-
hembuskan nafasnya. Demi melihat tewasnya Nyi
Awak Ceger, Nara Subala jadi kalap. serangan-
serangannya membabi buta mengarah pada Wintara.
Baik pukulan maupun tendangan selalu nyaris men-
gena. Namun setelah Wintara mengeluarkan Menyibak
Tirai Bayu, serangan-serangan Nara Subala bagai
menghantam dorongan tenaga dalam yang sangat dah-
syat. Ia sendiri hampir tak tahan memekik.
"Bocah celaka, kau tidak tahu dengan siapa
berhadapan!" gertak Nara Subala. Wintara tidak menyahut. Ia tetap berdiri
menghadapi. Dan bersiap-siap menyambut serangan Nara Subala lagi. Saat itu
datang Dua Pendekar Buntung. Nara Subala melangkah mundur memasang jurus baru.
"Untuk kalian, pendekar-pendekar cacad, aku
tidak segan-segan untuk menghirup darah kalian. Ma-
julah kalian bertiga. Dan cepat mampus menebus ke-
matian istri ku!" kata Nara Subala dengan gerakan-gerakan yang sulit diikuti
pandangan mata.
"Itu jurus Dewa Tenggara Murka! Kalian hati-
hati menghadapinya...!" teriak Kuncoro Sona. Majikan Partai Dewa Tenggara ini
masih duduk bersila meng-
himpun tenaga inti. Begitu juga dengan para pendekar yang ada di ruangan itu.
Mereka sendiri turut menyaksikan pertarungan.
"Kalau balas dendam soal kematian istri kepa-
ratmu itu boleh! Apakah kau sanggup menghadapi
kami bertiga." sahut Pendekar Gelugut Sutra. Pendekar tua ini telah siap pula
mementang jurus.
"Arwah istriku tidak akan tenang sebelum ka-
lian semua mampus!" bentak Subala. Serta merta ia melepaskan sebuah hantaman.
Ketiga pendekar ini tidak menyangka kalau hantaman itu dapat membuat
ketiganya belingsatan.
"Segala istri sering berbuat serong kau bela ma-ti-matian. Pikirkan saja nasib
busukmu itu!" ujar Amarsa Rawut. Dia sendiri berjumpalitan menghindari
serangan Nara Subala. Pendekar Gelugut Sutra hampir
terpelanting. Kecuali Wintara. Setelah ia bergeser, sebelah telapak tangannya
maju menepis.... "Plaaak!"
Usaha itu cukup menggagalkan serangan kedua Nara
Subala. Lelaki ini agak tersentak ketika ia menerima tangkisan Wintara. Maka ia
lebih condong melancarkan serangannya lagi pada Pendekar Kelana Sakti.
Untuk menghadapi serangan-serangan selan-
jutnya, Wintara gigih memapaki sambil berkelit. Han-
taman Bayu Menghembus Tebing bergulung-gulung
mendesak Nara Subala. Manakala Dua Pendekar Bun-
tung datang lagi membantu.
Sabetan tongkat Amarsa Rawut membersit. Be-
gitu juga dengan hantaman-hantaman Gelugut Sutra
yang disebut Pukulan Tinju Kepompong. Kedua han-
taman itu mendera langsung ke tubuh Nara Subala.
Tapi entah kenapa kedua pendekar buntung itu
mencelat saat hantaman mereka mengenai perut Nara
Subala. Nara Subala sendiri terhuyung ke belakang.
Namun ia tidak merasakan kedua hantaman itu. Baru
disadari kalau benturan hantaman-hantaman mereka
berkat adanya dua buah benda pusaka di balik ba-
junya. Sebelumnya Wintara agak terheran-heran meli-
hat Dua Pendekar Buntung mencelat terbanting di lan-


Pendekar Kelana Sakti 12 Dua Pendekar Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tai. Tapi rasa heran itu mendadak sirna. Karena dalam pada itu Nara Subala
mengeluarkan kedua pusaka
'Dewa Tenggara'. Terlihatlah dua buah tongkat kecil
memancarkan sinar begitu menyilaukan mata.
"Heh. Rupanya kau pun sudah berhasil mengu-
asai Pusaka Dewa Tenggara. Benar-benar busuk jan-
tungmu, Nara Subala!" bentak Pendekar Gelugut Sutra, Amarsa Rawut sudah bangkit.
Kedua tongkatnya
siap di lancarkan.
"Sobat Amarsa Rawut, para penjaga di luar
nampaknya tengah keracunan juga. Sebaiknya kau
menolong mereka dulu." perintah Wintara. Matanya nyalang mengawasi gerak gerik
Nara Subala. Mendengar perintah itu Amarsa Rawut menoleh ke luar.
"Biadab. Orang-orang Partai Dewa Tenggara ju-
ga terkena racun Pengerat Usus. Kita harus cepat me-
nolong mereka Paman." ujar Amarsa Rawut. Ia langsung melesat ke luar dengan
diikuti oleh Pendekar Gelugut Sutra.
"Hadapi dulu olehmu manusia busuk itu, Win-
tara." sahut Pendekar Gelugut Sutra. "Setelah itu kami akan datang membantu!"
Tanpa menoleh Wintara sudah tahu kalau Dua Pendekar Buntung itu pasti meno-
toki semua para korban yang masih bergelintingan
mengerang-ngerang menahan sakit.
Tapi tindakan kedua pendekar itu dihalangi
oleh Nara Subala. Dari situ ia membenturkan dua
buah tongkat kecil. Maka terdengarlah sebuah ledakan dengan disertai lecutan
sinar yang teramat panas. Leretan sinar biru mencuat mengarah.
Dua Pendekar buntung cepat berjumpalitan
mengelak. Tapi sinar kebiruan terlanjur memakan kor-
ban lainnya. Seorang Penjaga yang masih bergelintingan hangus terbakar dengan
seketika. "Teruskan menotok mereka!" teriak Wintara.
Tendangannya menggagalkan Nara Subala memben-
turkan dua pusaka itu. Wintara hampir memekik saat
Nara Subala menangkis dengan benda pusaka itu.
Tendangannya seperti menghantam benda yang men-
geluarkan dorongan tenaga dalam. Kalau ia tidak bisa mengimbangi tubuhnya,
Wintara sudah jatuh bergulingan. Tapi mana mampu Wintara menghadapi lere-
tan-leretan sinar ganas. Manakala Nara Subala berka-
li-kali membenturkan dua pusaka. Sinar-sinar kebi-
ruan meleret ke sana ke mari. Bahkan beberapa orang
pendekar yang tanpa daya itu harus terkena hantaman
pusaka tersebut, tak urung mereka mengalami nasib
yang malang seperti penjaga di luar tadi. Kuncoro Sona yang berada di situ tidak
sanggup memandang dua
pendekar di sebelahnya, hangus terbakar.
Tidak ada pilihan bagi Wintara. Dia harus bisa
membawa ke luar Nara Subala. Dalam keadaan seten-
gah mati menghindari leretan-leretan sinar. Wintara
menerjang. * * * 12 Terjangan Wintara cepat bagaikan kilat. Kedua
telapak tangannya mengarah melepaskan hantaman
Tinju Bayu Delapan Penjuru'. Nara Subala tidak sem-
pat menghindar atau membenturkan pusaka-pusaka
itu. Maka ia tersentak saat Wintara menerjang. Dan
kedua telapak tangan Pendekar Kelana Sakti ini meng-
hantam keras. "Duaaaar!" Keduanya ambruk bersamaan. Ben-
turan itu sangat keras. Sampai dinding ruangan jebol.
Keduanya masih berguling dan berada di luar ruangan.
Dengan begitu para pendekar yang tak berdaya ini ada kemungkinan terlindung dari
leretan-leretan sinar
pembawa maut. Wintara cepat bangkit. Nara Subala berdiri ter-
huyung. Mulutnya menyemburkan darah. Kedua len-
gannya yang menggenggam dua pusaka bergetar. Ia
masih merasakan sakit akibat hantaman Wintara tadi.
Sekali lagi Wintara melesat ke atas. Benturan
sinar menjurus menghantam permukaan tanah. Sinar-
sinar mematikan itu terus mencecar ke mana Wintara
mengelak. Dan selalu luput. Namun sinar-sinar itu
menghancurkan apa saja yang menjadi sasarannya.
"Ha-ha-ha-ha-ha.... Tamat riwayatmu pendekar
ingusan!" bentak Nara Subala. Wintara memapaki hantaman-hantaman pusaka dengan
pukulan 'Bayu Menghempas Gelombang'. Setengah pula Nara Subala
menghindari serangan balasan Wintara. Dalam pada
waktu itu pun Wintara sempat melepaskan tendangan
memutar mengenai lengan kirinya.... "Deeees!" Sangat keras. Sampai sebuah pusaka
dalam genggamannya
terlempar. "Kita boleh mengadu kepandaian manusia te-
lengas! Aku ingin tahu sampai di mana ilmu curian da-ri Partai Dewa Tenggara!"
Wintara menarik nafas panjang. Dia masih yakin kalau sebuah pusaka lagi dalam
tangan musuhnya merupakan senjata andalan.
"Apa perduli mu! Jangan anggap remeh pusaka
ini!" jawab Nara Subala. Sambil berkata begitu ia me-
nyerang. Menghantamkan pusaka ke arah Wintara.
Pendekar Kelana Sakti tidak mengelak. Ia coba me-
nangkis dengan sebelah lengannya.
"Deeer...!" Tak pelak Wintara jatuh terpelanting.
Tenaga dahsyat Pusaka Dewa Tenggara tidak boleh di-
anggap enteng. Wintara sudah merasakannya. Maka ia
cepat bangkit untuk menghadapi serangan berikutnya.
Dan terpaksa pula melepaskan hantaman 'Menyibak
Tirai Bayu'. Dari hantaman itu serasa angin berputar kedua arah. Hantaman pusaka
di tangan Nara Subala
seperti tidak terasa. Nara Subala hampir tidak percaya.
Maka ia melancarkan serangan lagi. Tendangannya de-
ras. Dibarengi pula dengan hantaman Pusaka Dewa
Tenggara. Tanpa bergeser Wintara menghadapi dua han-
taman itu sekaligus. Nara Subala memang tokoh silat
berilmu tinggi. Wintara bisa mengukur. Hantaman-
hantaman yang dilancarkan sangat cepat. Wintara
hanya bisa menangkis atau mengelak. Untuk memba-
las serangan Pendekar Kelana Sakti belum mendapat
kesempatan. Tapi menghadapi sebelah Pusaka Dewa Tengga-
ra agak lebih mudah. Wintara tidak perlu repot meng-
hindari leretan-leretan sinar yang dapat menghancur
leburkan apa saja. Selama itu pula Nara Subala beru-
saha meraih pusaka satunya lagi. Tapi Wintara terus
menggagalkannya.
Bahkan Wintara sempat pula menendang pu-
saka itu ke tempat yang lebih jauh. Tindakan itu
membuat Nara Subala makin murka. Kuat-kuat ia
menghantamkan Pusaka Dewa Tenggara ke bagian ke-
pala. "Bweeeet...!" Wintara cepat merunduk. Dua tin-junya bergerak maju
menghantam perut Nara Subala.
Laki-laki itu mencelat tak kepalang. Tubuhnya berde-
gum di tanah sambil menyemburkan darah.
Sekujur tubuhnya terasa remuk. Dengan sem-
poyongan Nara Subala bangkit berdiri. Wintara me-
nambahkan lagi dengan tendangan yang bagaikan
hembusan angin.... "Deeer!" Tubuh Nara Subala melin-tir tak terkendali, kemudian
jatuh telak dengan sebelah lengan yang patah.
Saat itu Pendekar Gelugut Sutra maupun
Amarsa Rawut telah selesai menolong para korban ke-
racunan. Keduanya berlari ke arah pertarungan. Mere-
ka melihat Nara Subala berdiri limbung. Langkahnya
berat menerjang Wintara. Sebelah pusaka masih ter-
genggam di tangannya. Dengan pusaka itu pula ia
menghantam Wintara kuat-kuat.
Namun sebelum hantaman itu berkelebat,
Amarsa Rawut menyambut dengan jurus tongkat yang
dinamakan Pedang Menyapu Geledek. Sambaran tong-
kat Amarsa Rawut menghantam keras pergelangan
tangannya.... Praaaak! Pergelangan tangan Nara Sub-
ala hancur. Tulang-tulang jemari tangan yang meng-
genggam pusaka terasa remuk. Tak terasa mulai men-
geluarkan darah. Dengan mata terbelalak Nara Subala
melihat pusaka terjatuh dari genggamannya.
Nara Subala sendiri yang membenturkan tong-
katnya tadi menghantam pusaka mencelat tak kepa-
lang tanggung. Melihat itu pun Pendekar Gelugut Su-
tra melepaskan Gelugut Jaring Sutra, Akibatnya Nara
Subala seperti di rejam ribuan jarum. Belum lagi dengan serang-serangan Wintara.
Pukulan Tinju Bayu De-
lapan Penjuru benar-benar meremukkan dada Nara
Subala. Laki-laki ini dibuatnya jatuh bangun. Pandangannya juga mulai suram.
Namun begitu Nara Subala
masih bisa melihat tiga orang pendekar berdiri di hadapannya.
"Anak muda.....Pukulan apa yang kau lancar-
kan tadi" Hantaman itu benar-benar menghancurkan
tulang belulangku." kata Nara Subala.
"Pukulanku tidak seberapa dibanding dengan
hantaman Pendekar Gelugut Sutra." jawab Wintara sambil melirik ke arah Dua
Pendekar Buntung yang
berdiri di sebelahnya.
"Chis! Hantaman-hantaman manusia-manusia
buntung itu tidak ada artinya bagiku! Dalam keadaan begini pun aku masih sanggup
menghadapinya," tukas Nara Subala.
"Keparat...! Bentak Amarsa Rawut. Ucapan Na-
ra Subala membuat telinganya panas. Pendekar Gelu-
gut Sutra sudah tidak sabaran untuk melepaskan pu-
kulan menghancurkan mulut Nara Subala. Namun
mendadak saja ia mengurungkan niatnya, karena....
"Tunggu,..!" Terdengar satu bentakan. Dari dinding yang bobol bermunculan
beberapa pendekar
melangkah mendekati. Paling depan Kuncoro Sona me-
langkah cepat. Dia pula tadi yang menggagalkan han-
taman Pendekar Gelugut Sutra.
"Syukurlah kalian telah bebas dari pengaruh
Racun Pengerat Usus." tegur Amarsa Rawut, Semua pendekar itu memang telah segar
bugar. Mereka langsung berdiri mengelilingi Nara Subala.
"Kami bisa selamat berkat bantuan kalian. En-
tah bagaimana nasib kami tanpa kehadiran kalian di
sini." jawab Kuncoro Sona. Ia memunguti dua Pusaka
'Dewa Tenggara'
yang berserakan di tanah. Lalu ikut berkumpul
dengan pendekar-pendekar lainnya. "Nara Subala memang pantas menerima hukuman.
Biar aku sebagai
majikan Partai 'Dewa Tenggara' yang akan menentu-
kannya." ujar Kuncoro Sona. la memandang geram pa-da laki-laki yang duduk tak
mampu berdiri. "Mati pun aku puas, Kuncoro Sona. Silahkan
kau membunuhku!" jawab Nara Subala. Ucapannya
sangat menantang. Maka tidak segan-segan lagi Kun-
coro Sona berdiri di hadapannya. Dengan mata yang
melotot, majikan Partai Dewa Tenggara menghantam
kepala Nara Subala dengan kedua pusaka itu.
Sekaligus tubuh Nara Subala ambruk dengan
kepala hancur. Pusaka dalam tangan Kuncoro Sona
bersimbah darah. Semua mata tidak berkedip menatap
tindakan itu. "Manusia macam Nara Subala sudah sepantas-
nya hidup di akherat. Sungguh malu orang-orang Par-
tai Dewa Tenggara tidak dapat mengetahui hal ini se-
belumnya. Aku pun pantas menerima hukuman." kata Kuncoro Sona. Semua pendekar
yang berada situ melihat Kuncoro Sona berniat menghancurkan kepalanya
sendiri dengan pusaka itu. Namun sebelum pusaka itu
menghantam remuk kepalanya, Wintara bertindak
menghalangi. Kedua lengannya cepat merebut Pusaka
Dewa Tenggara. "Kenapa harus bertindak bodoh seperti ini.
Apakah semua para undangan yang datang ke sini
hanya untuk menyaksikan kematian anda?" ujar Wintara. "Jauh-jauh kami datang ke
sini untuk mengikuti pertemuan. Tanpa kau percuma saja undangan ini
disebar." tukas Amarsa Rawut. Pendekar cacat tanpa kaki ini merangkul Kuncoro
Sona. Majikan Partai Dewa Tenggara nampak menarik nafas.
"Apakah kami telah terlambat mengikuti perte-
muan?" tanya Pendekar Gelugut Sutra. Pendekar-
pendekar lain mengangkat bahu. Salah seorang dari
mereka ada yang menjawab.
"Bukan hanya terlambat, Saudara Pendekar
Gelugut Sutra. Justru dengan kehadiran kalian ini.
Semua titik persoalan telah selesai."
"Apa...?" Pendekar Gelugut Sutra menger-
nyitkan alis. "Apa lagi yang perlu dimasalahkan" Nyi Awak
Ceger telah tewas juga penghianat ini telah mampus.
Untung saja kedua Pusaka Partai Dewa Tenggara tidak
jatuh ke tangan mereka." jawab pendekar perempuan dari Gunung Tambur.
Amarsa Rawut dan Pendekar Gelugut Sutra jadi
bengong. Keduanya saling pandang mengangkat bahu.
"Tapi kedatangan kalian bertiga tidak sia-sia.
Siapa pula pendekar muda yang gagah berani ini?" ka-ta Pendekar Sapu Angin.
Wintara tidak menyahut. Ia menyerahkan kem-
bali pusaka-pusaka milik Partai Dewa Tenggara pada
Kuncoro Sona. Laki-laki ini menerimanya dengan se-
nang hati. "Nama besarnya lebih tinggi dari para pende-
kar-pendekar yang ada di desa ini. Kalian pasti tidak percaya kalau kusebutkan
siapa gerangan sobatku
ini...." sahut Amarsa Rawut.
"Ah, kalau beliau berada di pihak lurus, kau
dan aku tidak ada bedanya, Amarsa Rawut. Aku juga
pantas jadi sahabatnya." gurau majikan Perguruan Kilat Buana. Laki-laki setengah
tua ini berjalan mendekat ke arah Wintara. Ia berjabatan tangan.
"Kita semua harus tahu kalau pemuda itu ada-
lah Pendekar Kelana Sakti...." kata Pendekar Gelugut Sutra. "Astaga, sungguh
lamur mata tuaku ini. Kiranya anda sobat muda yang menyandang gelar Pen-
dekar Kelana Sakti. Sungguh tidak kusangka kalau
menjelang maut tadi aku diselamatkannya." gumam pendekar Dari Gunung Kelud.
"Siapa bilang kalau kedatangan kami ini berarti semua persoalan telah selesai?"
tanya Pendekar Gelu-
gut Sutra.

Pendekar Kelana Sakti 12 Dua Pendekar Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maksudmu?" Majikan Bukit Merak balik ber-
tanya. "Kita harus mengurusi mayat-mayat yang bergelimpangan di sana. Beberapa
perguruan telah tewas
mengerikan." kata Pendekar Gelugut Sutra tegas.
"Ha-ha.... Kalau cuma itu yang ada dalam be-
nakmu. Kami semua sudah memikirkannya." jawab
mereka hampir serempak.
Dalam suasana itu hanya kelompok pendekar-
pendekar wanita dari Gunung Tambur yang nampak
muram. Karena di dalam ruangan di mana para pen-
dekar melawan pengaruh racun, nampak dua sosok
pendekar wanita tewas hangus terbakar. Mereka masih
ingat bagaimana kedua pendekar wanita itu tanpa
daya terkena hantaman Pusaka Dewa Tenggara. Itu ju-
ga sangat disesali oleh Kuncoro Sona.
Majikan dari Gunung Tambur ini hanya meng-
hela nafas. Dia sendiri sudah menyadari kalau setiap perjuangan selalu memakan
korban. Sedikitnya dia
akan merasa kehilangan dua orang murid andalannya.
Semua terasa begitu cepat. Apakah perasaan pende-
kar-pendekar lain akan sama dengan yang dialami Ma-
jikan Gunung Tambur ini" Rasanya memang tidak.
TAMAT E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pedang Pelangi 26 Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Manusia Srigala 15
^