Pencarian

Pertarungan Di Lembah Selaksa 1

Pendekar Hina Kelana 16 Pertarungan Di Lembah Selaksa Mayat Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama,
tempat dan ide, hanya kebetulan belaka
PERTARUNGAN DI LEMBAH
SELAKSA MAYAT Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza lantai2, B69
Samanhudi No. 14, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-
tulis dari penerbit
D.Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Pertarungan Di Lembah
Selaksa Mayat 1 Pagi yang cerah, suasana di lereng perbukitan
itu masih kelihatan terbelenggu kabut dan rasa dingin
yang menggigit. Burung-burung belibis hutan pun ba-
ru kelihatan mulai mengepakkan sayapnya. Enggan.
Sesekali terdengar pula lenguh suara sapi hutan di se-
kitar tempat itu. Sebuah suasana kehidupan alam
yang sangat damai, seolah-olah tiada pernah terusik
oleh tangan-tangan yang merusak. Sementara masih di
sekitar tempat itu juga, nampak seseorang yang sudah
sangat lanjut usianya sedang berlari cepat bagai di kejar-kejar setan. Hampir
semalaman perempuan usia
lanjut yang bernama Nyai Tambak Sari ini terus men-
gerahkan ilmu lari cepatnya, Seribu Jarak Terlampaui.
Dalam pada itu tiada keinginannya untuk me-
noleh-noleh ke belakang. Bukan karena apa, dia hanya
merasa dengan kejadian yang telah di alaminya sema-
lam. Kilatan senjata pusaka dan suara lecutan cambuk
yang membuat segala-galanya jadi berubah. Setengah
pudar harapannya untuk memiliki Kitab Jurus Koreng
Seribu. Di lain pihak, ternyata nama besar Pendekar
Hina Kelana bukanlah nama kosong. Syukur dia masih
bisa meloloskan diri dari sepak terjang pemuda ber-
kuncir murid tunggal almarhum si Bangkotan Koreng
Seribu. Andai tidak sudah tentu dia benar-benar ke-
hilangan harapan untuk memiliki Kitab Jurus Koreng
Seribu, hasil ciptaan terakhir dari kakek sakti si Bangkotan Koreng Seribu.
{Dalam Episode Badai Selat Ma-
laka) Sungguh pun dia merasa jerih setelah berhada-
pan dengan Pendekar Hina Kelana. Namun itu bukan
berarti telah mematahkan semangatnya untuk meme-
nuhi ambisinya dalam merebut kitab yang sangat
langka itu. Saat itu setelah hampir tewas di tangan
Buang Sengketa dia sudah bertekad untuk pergi ke
Bukit Sambuang yang merupakan tempat pertapaan
kakang seperguruannya yang bernama Badak San-
grang. Kepada tokoh sakti yang telah lama meninggal-
kan dunia persilatan itulah dia menaruh harap dan in-
gin minta bantuan. Sebab menurut Nyai Tambak Sari,
di dalam rimba persilatan mungkin hanya Badak San-
grang sajalah yang mampu menghadapi kehebatan
Cambuk Gelap Sayuto yang dimiliki oleh Pendekar Hi-
na Kelana. Bahkan dulu pun dia pernah menyaksikan
Badak Sangrang yang saat itu berumur sembilan pu-
luh tahun bertarung dengan si Bangkotan Koreng Se-
ribu. Badak Sangrang dengan Cambuk Inti Sukmanya
masih mampu menandingi Cambuk Gelap Sayoto milik
Bangkotan Koreng Seribu yang kini diwariskan kepada
Buang Sengketa. Walaupun saat itu Badak Sangrang
memang harus mengakui keunggulan si Bangkotan
Koreng Seribu, namun pantas untuk di acungi jempol.
Dari sekian banyak lawan-lawan yang pernah binasa di
tangan Bangkotan Koreng Seribu, hanya Badak San-
grang seoranglah yang mampu bertahan hidup hingga
sampai saat kini.
Dalam keadaan berlari itu dia masih berpikir
tentang sebuah kemenangan yang akan diperolehnya.
Satu hal yang telah sama-sama kita ketahui bahwa ke-
tua Perguruan Beruang Merah ini dalam keadaan buta
kedua matanya. Mengagumkan dalam keadaan seperti
itu dia masih dapat mengerahkan ilmu lari cepat, Seri-
bu Jarak Terlampaui, tanpa takut menabrak pepoho-
nan yang berada di depannya. Keringat telah memba-
sahi sekujur tubuh Nyai Tambak Sari, begitu pun dia
masih terus mengerahkan ilmu lari cepatnya. Hingga
beberapa jam kemudian sampailah dia di sebuah dae-
rah perbukitan yang memiliki udara sangat dingin se-
kali. Itulah salah saru ciri-ciri yang sangat khas se-
buah daerah yang didiami oleh Badak Sangrang. Nyai
Tambak Sari hentikan langkah, sekejap dia menarik
nafas panjang-panjang. Lalu alis matanya yang tebal
dan telah memutih nampak berkedut-kedut. Hemm.
Tiada suara apa pun yang terdengar, agaknya kakang
Badak Sangrang tidak ada di tempat. Atau mungkin
aku belum berada tepat di depan gua tempat perta-
paannya. Ah... aku tak perlu berteriak-teriak seperti
orang kesurupan, kalau kupanggil dia dengan ilmu
menyusupkan suara. Kalau benar-benar kakang Ba-
dak Sangrang ada di tempat, tentu dia akan menden-
garnya. Batin Nyai Tambak Sari dalam hati.
"Kakang Badak Sangrang! Adakah kau di tem-
pat...?" Panggil perempuan itu dengan memperguna-
kan ilmu menyusupkan suara-nya. Sejenak tiada sa-
hutan seperti apa yang di harapkannya. Ketua partai
Beruang Merah itu menjadi ragu-ragu.
"Kakang... Ini adikmu datang... apakah kau be-
rada di dalam gua...?" Ulangnya sambil garuk-garuk rambutnya yang cuma beberapa
helai itu. Sekejap kemudian gua yang berada tidak begitu jauh di depan
Nyai Tambak Sari nampak bergetar, lalu dari dalamnya
yang serba gelap menyeramkan itu pun berhembus
asap putih yang menebarkan bau yang sangat amis
sekali. Asap yang membentuk kabut itu pun semakin
lama semakin menebal sehingga menyesakkan perna-
pasan Nyai Tambak Sari.
Dan kiranya perempuan buta itu menyadari ka-
lau dirinya sedang di uji kemampuannya oleh orang
yang berada di dalam gua itu.
Maka tanpa bicara sepatah kata pun Nyai Tam-
bak Sari lambaikan tangan kanannya. Sungguh pun
gerakan melambai itu kelihatannya hanya seperti
main-main saja tetapi sesungguhnya perempuan renta
itu telah mempergunakan sebagian tenaga dalamnya.
Akibatnya serangkum gelombang angin pukulan men-
deru pada empat penjuru mata angin. Satu letupan ke-
ras terdengar meningkahi suara tawa yang berkepan-
jangan. "Ohok... ohok... ohok...! Adi Tambak... semakin tua rupanya engkau
semakin rapuh saja, kiranya ketua partai Beruang Merah nggak ada apa-apanya. Na-
ma besar namun memiliki kekuatan yang rapuh. Nafsu
untuk mengangkangi kitab Jurus Koreng Seribu begitu
besar, tapi tenaga kurang...!" Ucapnya dengan masih mengekeh menyeramkan. Lalu
usai dengan suara tawanya itu, nampak melayang sosok tubuh lebih tua
dari perempuan buta itu. Laki-laki ini memiliki wajah
lebih menyeramkan lagi. Badannya kurus kering tiada
berdaging, rambutnya yang berwarna cokelat nampak
acak-acakan bagai tak terurus. Kedua mata menjorok
ke depan, dengan kumis dan janggutnya yang lebat
dan juga sudah berubah warna. Sepintas lalu sangat
tidak pantas bila dibandingkan dengan keadaan tu-
buhnya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang. Na-
mun siapa sangka kalau tokoh sesat yang sudah pulu-
han tahun ini banyak menghabiskan waktunya di bu-
kit Sambuang, dulunya merupakan tokoh sakti yang
memiliki kepandaian hanya tiga tingkat saja di bawah
almarhum si Bangkotan Koreng Seribu! Saat itu, laki-
laki ceking yang murah tertawa tersebut telah pula
berhadapan dengan Nyai Tambak Sari adik sepergu-
ruannya. Sejenak laki-laki berpenampilan mirip orang
yang kurang waras dan seumur hidup tak pernah me-
makai baju ini menyapu pandang pada adik sepergu-
ruannya. Lagi-lagi dia tertawa mengekeh.
"Kau datang jauh-jauh ke sini! Sesungguhnya
ada keperluan apakah, Adi...?" Tanya Badak Sangrang,
walau sudah tahu tapi masih berusaha mendengar
pengakuan adik seperguruannya.
"Berkata terus terang bahwa maksud kedatan-
ganku ke mari adalah ingin minta bantuanmu...!" Ujar Nyai Tambak Sari tanpa
malu-malu lagi.
"Ho... ho... ho...! Bantuan" Selamanya kuketa-
hui kau merupakan orang yang tak pernah minta ban-
tuan siapapun. Maaf, dulu ketika kedua matamu dibu-
takan oleh si Bangkotan Koreng Seribu, engkau pun
tak pernah minta bantuan padaku. Aneh kini kau ma-
lahan datang padaku seperti bocah kecil...?"
"Kakang! Dulu rasa sakit itu tidak seberapa bila
dibandingkan dengan rasa sakit hati yang kini sedang
ku tanggungkan... ini merupakan satu penghinaan be-
sar kakang. Bukan pada diriku saja, namun juga buat
dirimu...!" Ucap Nyai Tambak Sari berusaha manas-
manasi hati kakang seperguruannya yang mudah naik
darah tersebut. Badak Sangrang pelototkan matanya
yang menjorok ke dalam itu, sementara mulutnya
mengeluarkan bunyi berdecap tiada berketentuan.
"Apakah maksudmu, Adi...?"
"Aku menaruh dendam pada muridnya Bangko-
tan Koreng Seribu yang telah mampus itu. Murid-
muridku terbantai habis semua-nya...!" Menyela Nyai Tambak Sari dengan geramnya.
Nampaknya Badak
Sangrang agak terkejut juga begitu mendengar apa
yang dikatakan oleh adik seperguruannya. Selama be-
berapa purnama ini dia hanya bermimpi tentang lawan
besarnya yang telah berhasil menciptakan kitab Jurus-
jurus Koreng Seribu. Namun tak sedikit pun dia me-
nyangka kalau si Bangkotan Koreng Seribu bekas la-
wan besarnya itu telah meninggal dunia. Hemm. Aku
menjajal jurus-jurus ciptaanku yang paling ampuh pa-
da orang yang pernah membuat aku malu di depan be-
ratus-ratus orang persilatan tempo hari. Namun ter-
nyata orang itu kini telah kojor. Enak betul manusia
gudis itu" Maki Badak Sangrang setengah menyesal-
kan kematian musuh nomer satunya. Tapi kalau dia
kembali teringat pada apa yang baru saja di katakana
oleh adik seperguruannya. Nampaknya dia masih
mempunyai harapan untuk membalaskan rasa malu
yang pernah dialaminya dulu pada murid tokoh super
sakti itu. Akhirnya dengan semangat yang menggebu,
dia pun kembali bertanya pada Nyai Tambak Sari; "Adi Tambak! Benarkah si
Bangkotan Koreng Seribu sebelum mampus telah menciptakan kitab Jurus Koreng
Seribu?" Tanyanya dengan sangat penasaran sekali.
"Itulah persoalannya, kakang...! Aku merasa
tertarik dengan berita tentang jurus-jurus langka yang telah diciptakan oleh si
keparat itu. Muridku kuutus
untuk mengetahui tentang kebenaran cerita itu di Tan-
jung Api. Kenyataannya cerita memang benar adanya.
Seperti dugaanku, di tempat itu rupanya sudah ba-
nyak kalangan persilatan dari berbagai golongan telah
hadir di sana. Apa yang mereka inginkan tak lain ada-
lah ingin memiliki kitab yang sangat dahsyat itu. Tidak munafik kalau kukatakan
bahwa aku sesungguhnya,
juga ingin memiliki kitab itu. Tapi ternyata niat adik-mu ini telah terhalangi
dengan hadirnya Bara Seta
yang merupakan anak angkat si Bangkotan Koreng Se-
ribu, dan lebih celaka lagi setelah murid manusia pe-
murung yang berjuluk Pendekar Hina Kelana itu ikut
turun tangan...!"
Badak Sangrang menarik nafas dalam-dalam.
Baginya masih belum jelas benar siapa adanya Bara
Seta. Tapi yang lebih menarik lagi adalah tentang ma-
nusia yang berjuluk Pendekar Hina Kelana itu.
"Apakah dia mempergunakan Cambuk Gelap
Sayoto...?" Tukasnya tak sabar. Sepasang mata be-
rongga milik Nyai Tambak Sari nampak memandang
pada Badak Sangrang.
"Aku merasa begitu, namun dia bukan memiliki
cambuk yang sangat mengerikan itu saja, tapi juga dia
memiliki senjata ampuh, yang pada akhirnya mene-
waskan semua murid-muridku...!" Gigi-gigi Badak
Sangrang yang hanya tinggal beberapa gelintir itu ber-
keretukan menahan geram.
"Cambuk Gelap Sayuto, aku masih mampu
menandinginya dengan cambuk ku, Inti Sukma, tapi
senjata yang baru kau sebutkan belakangan, macam
apakah bentuknya?" Tanya Badak Sangrang.
"Kuketahui begitu senjata itu tercabut dari sa-
rungnya aku merasakan senjata itu mendengung.
Mendadak udara di sekitarnya menjadi dingin luar bi-
asa, orang-orang di sekeliling ku berteriak, Pusaka Golok Buntung...!" jawab
Nyai Tambak Sari, dan wajahnya masih membayangkan rasa jerih. Sebaliknya Ba-
dak Sangrang merasa kurang kenal dengan pusaka
yang baru saja disebutkan oleh adik seperguruannya.
Selama ini dia tak pernah melihat Bangkotan Koreng
Seribu mempergunakan senjata seperti apa yang dika-
takan oleh adiknya. Lalu dari manakah pemuda itu
memperoleh senjata itu. Mengingat sampai ke situ ce-
pat-cepat dia bertanya pada Nyai Tambak Sari.
"Adi Tambak! Manakah yang lebih hebat antara
Pusaka Golok Buntung dengan Cambuk Gelap Sayo-
to...?" Ketua Partai Beruang Merah itu geleng-
gelengkan kepalanya.
"Menurutku, dua-duanya sama dahsyat luar
biasa. Tapi mungkin dalam fungsinya Pusaka Golok
Buntunglah yang paling berperan banyak dalam mem-


Pendekar Hina Kelana 16 Pertarungan Di Lembah Selaksa Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

basmi lawan-lawan-nya...!"
Panas bukan alang kepalang hati Badak San-
grang dibuatnya, semakin bertambah penasaran pula
hatinya. "Sungguh pun senjata dari akhirat sekalipun
yang dia pergunakan untuk berhadapan denganku. Ti-
dak nantinya bocah goblok itu mampu menahan puku-
lan Tapak Setan hasil ciptaanku yang terbaru...!"
Bukan main gembiranya hati Nyai Tambak Sari
begitu mendengar keputusan kakang seperguruannya.
Dalam luapan kegembiraan itu, tiba-tiba dia berkata:
"Kakang benar-benar mau menghadapi murid-
nya Bangkotan Koreng Seribu?"
"Ya... bahkan aku pun akan merebut dan ingin
mengetahui apa sih hebatnya kitab Jurus Koreng Seri-
bu itu...!" Ucapnya mencemooh.
"Jadi kapan kita berangkat, kakang...?"
"Hmm. Kurang lebih sepuluh hari mendatang...!
Kau istirahatlah di gua sebelah. Aku akan menyiapkan
segala sesuatunya." Kata Badak Sangrang. Dan sekejap kemudian kedua orang itu
pun telah berkelebat
memasuki Gua pertapaan.
2 Matahari panas terik membakar dan apa yang
terlihat di depan mereka hanyalah sebuah kegersangan
yang sangat membosankan. Di kanan kiri jalan itu
nampak sebuah jurang yang menganga dalam. Semen-
tara jalan. yang mereka lalui pun merupakan sebuah
jalan setapak yang dipenuhi oleh batu-batu yang san-
gat runcing lagi tajam. Namun semua itu tidak meng-
halangi gerakan langkah Buang Sengketa, Bara Seta
dan seorang muridnya yang sedang melakukan perja-
lanan jauh. Seperti di ketahui, setelah meninggalkan
Tanjung Api yang merupakan tempat tinggal gurunya,
Kakek Bangkotan Koreng Seribu. Dan kemudian berta-
rung pula dengan ketua partai Beruang Merah, mereka
ini tetap melanjutkan niatnya untuk mencari tempat
baru yang benar-benar mereka anggap aman untuk
mempelajari Kitab Jurus Koreng Seribu (Dalam Epi-
sode Badai Selat Malaka).
Hari ini mereka telah sampai di sebuah lembah
yang bernama Lembah Selaksa Mayat. Seperti apa
yang pernah di katakan oleh Bara Seta, bahwa Lembah
Selaksa Mayat adalah merupakan tempat tinggal istri
dan anaknya satu-satunya. Lembah itu merupakan
sebuah daerah yang terpencil dan terletak di pedala-
man hutan yang tak pernah di jamah oleh orang lain
selain keluarganya. Dulunya anak dan istrinya sama-
sama tinggal di Lubuk Sikaping yang sekaligus meru-
pakan sebuah perguruan yang dipimpin oleh Bara Se-
ta. Namun karena sejak kecil istri Bara Seta yang ber-
nama Dewi Wulan tinggal di lembah tersebut. Maka
tak heran kalau kemudian dia memilih untuk membe-
sarkan anaknya di tempat yang sangat jauh dari ke-
ramaian dunia. Dan di sanalah putri tunggalnya yang
bernama Ayunda di besarkan dan di didik dengan ber-
bagai ilmu kanuragan selama hampir tujuh belas ta-
hun. Walaupun selama itu antara Bara Seta dan Dewi
Wulan sering memiliki beda pendapat dalam mendidik
anaknya. Namun ketua Perguruan Canduk Ginaka itu
juga sering berkunjung ke Lembah Selaksa Mayat.
Karena menurut Bara Seta hanya Lem-bah Se-
laksa Mayat sajalah yang merupakan tempat paling
aman untuk mempelajari kitab Jurus Koreng Seribu.
Maka dalam perjalanan meninggalkan Tanjung Api be-
berapa hari yang lalu, mereka telah mencapai kata se-
pakat untuk datang ke tempat itu. Dalam pada itu se-
telah melalui jurang-jurang yang sangat sulit dan lagi licin. Maka lewat
sepemakan sirih, sampailah mereka
bertiga di dasar lembah itu. Dari kejauhan Buang da-
pat melihat sebuah rumah panggung yang terbuat dari
anyaman bambu dan beratap daun kirai. Rumah itu
tingginya kurang lebih tujuh meter. Sesaat saja Buang
Sengketa memperhatikan situasi di sekitarnya. Tapi
ketika kemudian Bara Seta menarikkan tangannya,
kemudian mengajaknya terus berjalan menuju rumah
itu pemuda dari Negeri Bunian ini hanya mampu me-
nurut saja. "Dewi Wulan...! Aku yang datang...!" Kata Bara Seta setengah berteriak. Beberapa
saat setelah ucapannya itu, maka pintu depan rumah itu pun nampak
terbuka. Seorang gadis berwajah sangat cantik muncul
dari dalamnya, lalu mereka saling pandang. Begitu ga-
dis yang berada di depan pintu rumah bertonggak
tinggi itu mengenali siapa adanya orang-orang yang
datang. Maka gadis cantik yang bernama Ayunda itu
pun menghambur menuruni anak tangga.
"Ayah...!" Serunya. Lalu begitu hampir di depan Bara Seta, gadis itu langsung
memeluk tubuh gemuk
ayahnya. "Bagaimana keadaan ibumu...?" Tanya Bara Se-
ta di tengah-tengah luapan kerinduannya. Sejenak
Ayunda melepaskan pelukannya, di pandanginya wa-
jah ayahnya, lalu beralih pada Buang Sengketa. Dalam
hati dia merasa geli sendiri begitu melihat pemuda
tampan yang datang bersama ayahnya tersebut. Ba-
gaimana tidak! Ketampanan pemuda itu benar dia
akui, namun pakaiannya yang kumuh, dengan sebuah
periuk berjelaga menggelantung di pinggangnya. Se-
hingga mengesankan seorang sinting yang baru saja
pulang dari mengembara.
"Ayunda! Kenalilah, pemuda ini masih merupa-
kan kerabat kita juga. Namanya Buang Sengketa...!"
Ujar Bara Seta setelah melihat anaknya terus mem-
perhatikan Pendekar Hina Kelana.
"Buang Sengketa..." Heh, sebuah nama yang
sangat aneh...!" Desah Ayunda begitu polos. Dan tentu saja hal ini membuat wajah
Buang Sengketa berubah
menjadi merah jengah.
"Ayunda, tak boleh bersikap seperti itu, berlaku
sopanlah sedikit pada orang lain...!"
"Eeh, maaf ayah! Sebenarnya Ayu tak bermak-
sud begitu...!" Kata Ayunda lalu menjura hormat pada ayahnya. Keadaan seperti
itu sudah barang tentu tidak
mengenakkan Pendekar Hina Kelana. Maka kemudian
dia berkata pelan.
"Sudahlah paman! Tak perlu memakai perada-
tan segala. Pula kita ini berada dikalangan keluarga
sendiri...!"
Belum lagi Bara Seta maupun Ayunda sempat
mengatakan sesuatu, tiba-tiba terdengar suara teguran
dari dalam rumah yang bertonggak tinggi tersebut
"Yunda, mengapa tamu-tamu kita di biarkan
saja berdiri di luar. Suruhlah mereka masuk...!"
Mereka yang berada tidak begitu jauh dari ru-
mah bertonggak ini pun saling berpandangan. Selan-
jutnya Ayunda menggandeng tangan ayahnya menaiki
tangga rumah itu. Setelah sampai di dalam rumah ke-
cil itu, mereka duduk di atas sebuah tikar yang terbuat dari anyaman kulit
rotan. Sebagaimana lazimnya, pa-sangan suami istri ini pun saling bersalaman.
Hal ini kiranya tak luput dari perhatian Pendekar Hina Kela-
na. Sekilas dia memperhatikan Dewi Wulan yang me-
nurutnya berusia sekitar empat puluh tahun. Namun
walau usianya sudah terbilang sudah lanjut, masih ke-
lihatan sisa-sisa kecantikan membias di wajahnya. Ke-
tika selanjutnya Dewi Wulan menanyakan segala sesu-
atunya tentang pemuda yang bersama suaminya itu.
Maka secara panjang lebar Bara Seta menceritakan se-
gala sesuatunya tentang pemuda itu. Mengertilah Dewi
Wulan tentang siapa sebenarnya pemuda yang duduk
di samping Bara Seta suaminya. Perempuan setengah
baya itu angguk-anggukkan kepalanya. Selanjutnya
dia berkata lunak: "Oh... tak kusangka kalau tokoh nomer satu sekaligus
merupakan angkatan tua golongan kaum yang lurus itu telah tiada. Tapi aku mendu-
kung usulmu itu, kakang. Aku yakin kalau jejak kalian
ke mari ini tidak tercium oleh golongan persilatan ma-
na pun. Lembah Selaksa Mayat ini merupakan sebuah
daerah yang sangat aman untuk membuka kemungki-
nan tentang rahasia Kitab Jurus Koreng Seribu. Kare-
na hanya Buang sendiri yang mengerti akan makna
kata maupun tulisan-tulisan rahasia yang terkandung
dalam kitab itu. Maka tak banyak yang dapat kita la-
kukan terkecuali melindungi keselamatan Buang dari
ancaman pihak manapun yang bermaksud merampas
Kitab Rahasia Jurus Koreng Seribu...!"
"Itu memang betul, apalagi bila mengingat pe-
san bapak yang pernah di sampaikan padaku setahun
sebelum dia meninggal dunia...!" Berkata Bara Seta pada istri dan anaknya.
"Sesungguhnya kedatanganku ke sini hanya
membuat repot paman dan bibi saja!" Sahut pemuda
itu, dan dalam kesempatan yang hanya sesaat itu tan-
pa sepengetahuan yang lain-lainnya Buang sempat
melirik pandang pada Ayunda yang sejak tadi terus
memperhatikan dirinya. Wajah gadis itu berubah ke-
merah-merahan begitu mata mereka saling beradu
pandang. Sementara itu Buang Sengketa yang sesung-
guhnya mempunyai watak pemalu itu hanya menun-
dukkan kepala. Lalu dia membatin: Gadis cantik
anaknya paman Bara Seta ini wajahnya sangat mirip
dengan Wanti Sarati, entah mengapa fikiranku tiba-
tiba saja teringat akan dia, aneh... hatiku berdebar ketika tadi aku
memandangnya. Wanti Sarati, betapa ak-
hir-akhir ini aku selalu mengingatnya. Tidak seperti
dulu saat mana pertama kali dia telah begitu berani
mengatakan cinta padaku. Saat itu aku tak pernah
menaruh perasaan apa-apa padanya. Dia cantik, na-
mun juga cerdas, bahkan mungkin lebih cantik dari
Ayunda yang sekarang duduk tak jauh dari ibunya.
Wanti... semoga aku tak pernah terlambat untuk
membalas cintamu. Dan semoga pula dia dapat belajar
dengan guru setengah siluman itu dengan baik. Wanti
Sarati. Maafkanlah pamanmu ini! Desahnya setengah
menyesali. (Untuk jelasnya siapa Wanti Sarati, dalam
episode Satria Penggali Kubur).
"Buang! Apa yang kau pikirkan?" Tanya Bara
Seta tiba-tiba. Pertanyaan yang tiada di sangka-sangka itu sudah barang tentu
membuat Pendekar Hina Kelana jadi kelabakan. Lalu dengan suara terbata-bata dia
menjawab; "Ee... tid... tidak paman. Aku hanya merasa le-
tih saja, mungkin karena selama ini aku selalu mela-
kukan perjalanan yang jauh."
"Kalau begitu, baiknya kau istirahat dulu!" Berkata Dewi Wulan, sebentar dia
menoleh pada putri sa-
tu-satunya. Kemudian perintahnya; "Yunda... coba kau tunjukkan kamar buat
kakangmu...!"
Tanpa menjawab Ayunda segera melak-
sanakan apa yang di perintahkan ibunya. Buang
Sengketa hanya mengikuti dari belakangnya.
"Kakang bisa istirahat di sini, oh ya... maafkan
atas segala perlakuanku yang kurang pada tempat-
nya...!" "Tak apa... kau juga tidak bersalah...!" Tukas si pemuda apa adanya.
Sesaat kemudian Ayunda telah
meninggalkan Pendekar Hina Kelana di kamar itu seo-
rang diri. Pada dasarnya karena pemuda ini memang
sudah keadaan sangat letih, maka begitu dia mere-
bahkan tubuhnya di atas balai bambu, maka sekejap
kemudian dia telah lelap tertidur.
Sementara itu di ruangan depan, pembicaraan
antara Dewi Wulan, Ayunda dan Bara Seta masih terus
berlanjut. Nampaknya istri Bara Seta maupun putrinya
benar-benar merasa tertarik dengan kehidupan dan
sepak terjang pemuda keturunan raja dari negeri alam
gaib tersebut. Tak dapat di sangkal kalau sekejap ke-
mudian pertanyaan Dewi Wulan pun kembali terden-
gar; "Kakang sudah begitu lama kenal dengan al-
marhum bapak! Tapi pernahkan bapak Bangkotan Ko-
reng Seribu bercerita tentang muridnya...?" Tanya Dewi Wulan dengan penuh
perhatian. Yang di tanya nampak
terdiam beberapa saat lamanya. Seingatnya sebelum
meninggal, dulu si Bangkotan Koreng Seribu memang
sering bercerita tentang murid tunggalnya. Asal usul,
maupun ketika saat kakek itu menemukan bayi merah
yang terapung di tengah-tengah lautan. Sedapatnya
dia berusaha mengingat-ingat tentang apa yang pernah
di katakan oleh Kakek Bangkotan Koreng Seribu. Se-
lanjutnya begitu dia dapat mengingat kembali tentang
segala apa yang pernah di katakan oleh tokoh sakti
yang merupakan tokoh sangat di takuti oleh semua go-
longan itu, maka tanpa ragu lagi dia pun mulai berkata pada istri dan anaknya;
"Hanya beberapa purnama sebelum bapak me-
ninggalkan dunia fana ini untuk selama-lamanya. Pa-
daku dia pernah mengatakan segala sesuatunya ten-
tang murid tunggal yang sangat di sayanginya itu. Si
Bangkotan Koreng Seribu adalah tokoh sakti yang se-
lama malang melintang di rimba persilatan hampir le-
bih dari delapan puluh tahun menjadi momok dalam
kalangan persilatan golongan hitam. Dalam usianya
yang mencapai seratus delapan puluh tahun itu, bah-
kan hingga akhir hayatnya. Dia tetap merupakan to-
koh nomor satu yang tak pernah terkalahkan. Sung-
guh pun dia merupakan tokoh sakti yang pada jaman-
nya membuat geger delapan penjuru persilatan karena
Cambuk Gelap Sayutonya. Tapi dia juga merupakan
tokoh yang paling malang di atas dunia fana ini...!"
"Apa maksudmu, kakang...?" Tanya Dewi Wu-
lan keheranan. Bara Seta menarik napas pendek. Se-
lanjutnya dia menyambung;
"Dulu sebelum dia berguru oleh almarhum gu-
runya yang pada jaman ratusan tahun yang lalu me-


Pendekar Hina Kelana 16 Pertarungan Di Lembah Selaksa Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rupakan orang yang Maha Sakti tapi buruk peran-
gainya. Bapak Bangkotan Koreng Seribu bukanlah
manusia yang memiliki penyakit buruk yang di seluruh
permukaan kulitnya di tumbuhi oleh ribuan koreng.
Tapi bapak pada jaman mudanya adalah merupakan
seorang bocah yang suka mengembara dan berguru
berbagai ilmu kesaktian. Bertemulah dia dengan tokoh
Buruk Perangai yang memiliki berbagai ilmu kesak-
tian. Padanya dia berusaha menuntut berbagai ilmu
kanuragan. Mulanya tokoh Maha Sakti dari Selatan itu
tidak bersedia memberi pelajaran ilmu apapun. Tapi
karena bapak merupakan orang yang keras kemauan.
Maka si Buruk Perangai bersedia menjadi gurunya,
dengan satu syarat. Bahwa segala dosa maupun kutuk
yang telah di jatuhkan Dewata pada si Buruk Perangai,
bapak bersedia memikulnya. Tak dinyana bapak yang
haus akan ilmu sakti itu menerima. Sebagai imbalan-
nya, si Buruk Perangai memberikan segala kesaktian
yang pernah di milikinya...!"
"Karena kutuk itukah maka sampai akhir
hayatnya, bapak harus menanggungkan penyakit ko-
reng yang tiada kunjung sembuh...?" Tanya sang istri semakin tertarik saja. Bara
Seta menganggukkan kepalanya pelan.
"Benar sekali...!" Ucapnya tanpa ragu.
"Tapi ayah, apakah tokoh maha sakti si Buruk
Perangai masih hidup sampai sekarang ini...!" Sela Ayunda tiba-tiba.
"Mungkin juga. Sebab menurut bapak, gu-
runya, si Buruk Perangai memiliki ilmu yang dapat
memanjangkan umur seseorang tanpa menyalahi ko-
drat. Coba bayangkan saja kalau bapak saat meninggal
berumur seratus delapan puluh tahun, lalu bagaimana
dengan gurunya?" Tanya Bara Seta seperti pada di-
rinya sendiri. 3 "Hemm, Sebuah ilmu langka yang tak di miliki
oleh kalangan persilatan mana pun saat ini. Dalam
umur bapak yang panjang itu mungkin bapak telah
mempergunakan ilmu gurunya...!" Kata Dewi Wulan
menduga-duga. Saat itu Bara Seta cepat-cepat geleng-
kan kepala. "Tidak sama sekali. Bapak Bangkotan Koreng
Seribu, telah mewariskan ilmu awet muda yang ber-
nama Tetep Rupo pada murid tunggalnya Buang Seng-
keta...!" "Itu berarti Buang Sengketa tak pernah tua selama-lamanya." Seru Dewi
Wulan setengah terperan-
gah. "Ya, itu sudah barang tentu. Terkecuali Buang telah melakukan pelanggaran
terhadap satu pantangan yang dapat membuatnya tua menuruti kodrat...!"
Baik Ayunda maupun ibunya nampak terheran-heran
dalam rasa ketidak mengertian.
"Apakah yang ayah maksudkan dengan pelang-
garan yang pernah di katakan oleh Kakek Bangkotan
Koreng Seribu...?" sela gadis cantik itu tanpa malu-malu. "Pelanggaran itu
adalah apabila Buang sampai berzina dengan perempuan yang bukan istrinya...!"
"Apakah pantangan itu di ketahui oleh Buang
Sengketa, kakang...?" Tanya sang istri pula.
"Tidak. Semua itu sengaja di rahasiakan oleh
bapak demi untuk mengetahui sebatas mana murid
tunggalnya dapat mengekang diri dalam mengendali-
kan hawa nafsu!"
"Itu sama saja artinya merupakan satu ujian
yang berat bagi anak itu kakang...?" Ujar Dewi Wulan setengah memprotes.
"Bapak hanya menginginkan agar murid tung-
galnya benar-benar merupakan seorang pendekar seja-
ti yang berhati lurus...!" Dewi Wulan dan anaknya mengangguk-angguk tanda
mengerti. Namun selanjutnya Ayunda yang semula merasa kurang begitu senang
dengan kehadiran pendekar ini, tapi kemudian setelah
mengetahui sedikit banyaknya tentang pemuda itu.
Dengan rasa keingintahuan yang besar segera pula
menyala "Ayah! Menurut kata ayah, kakek sepanjang hi-
dupnya tak pernah merasa tertarik untuk mendidik
seorang murid. Tapi mengapa kemudian dia bersedia
mengambil Buang Sengketa menjadi muridnya" Siapa-
kah dan anak siapa pula Buang Sengketa itu...?" Tanyanya penuh semangat. Lagi-
lagi Bara Seta tunduk-
kan wajahnya, mungkin ada sesuatu yang berusaha di
ingat-ingatnya kembali tentang pemuda itu. Namun
saat mana dia teringat kembali tentang apa yang per-
nah di katakan oleh almarhum Bangkotan Koreng Se-
ribu, maka tanpa menunggu lebih lama lagi dia pun
menjawab. "Hampir kurang lebih dua puluh satu tahun
yang lalu, Tanjung Api yang memiliki bukit-bukit ka-
rang tajam, merupakan daerah yang sangat sunyi dan
hanya di huni oleh seorang tokoh sakti yang bernama
si Bangkotan Koreng Seribu. Satu ketika, hampir satu
minggu. Laut di Selat Malaka di landa badai yang san-
gat dahsyat. Hujan deras tercurah bagai tiada henti-
hentinya. Si Bangkotan Koreng Seribu yang telah lama
mendiami Tanjung Api sedikit banyaknya tentu merasa
sangat heran dengan keadaan yang tidak sebagaimana
mestinya ini. Tetapi firasatnya mengatakan bakal ada
sesuatu yang sangat besar terjadi di tempat itu. Siang dan malam orang tua sakti
ini hanya mengurung diri
di dalam gubuknya, dia pun melakukan semedi untuk
memohon petunjuk dari sang Dewata. Dalam keadaan
hujan yang tiada mengenal henti, sementara di laut di
landa badai besar-besaran, hari ketujuh dalam seme-
dinya itu, si Bangkotan Koreng Seribu di datangi oleh
sosok raja siluman yang berujud seekor Ular Piton
yang sangat luar biasa besarnya. Raja para siluman itu tinggal di alam kedua di
sebuah pesisir pantai bagian
Barat pulau Andalas. Pada si Bangkotan Koreng Seribu
raja para siluman yang menamakan dirinya sebagai
Raja Piton Utara itu berpesan bahwa akan datang pa-
danya seorang bayi laki-laki yang nantinya akan men-
jadi seorang satria pendekar pembela kebenaran. Di
katakan pula oleh raja para siluman itu bahwa bayi
merah yang telah di hanyutkan oleh ibunya ke laut
tersebut masih merupakan titisannya dari hasil per-
kawinannya dengan manusia biasa. Ibu sang bayi te-
lah binasa di tangan para peramal sinting manakala
berusaha menyelamatkan putranya, yang menurut
ramalan akan menjadi penyebab malapetaka di kalan-
gan persilatan. Sedangkan menurut pengakuan raja
para siluman itu. Para peramal yang telah membunuh
ibu si bayi yang sekaligus merupakan istri raja Piton
Utara telah pula tewas di tangannya sendiri. Pada si
Bangkotan Koreng Seribu, raja para siluman itu mem-
berikan kepercayaan penuh untuk merawat anaknya.
Sedangkan dia sendiri demi menebus kesalahan yang
telah di perbuatnya akibat perkawinannya dengan ma-
nusia biasa telah memutuskan untuk melakukan tapa
di laut Malaka. Selesai dengan kedatangan raja para
siluman itu, mendadak hujan terhenti seketika. Laut
kembali berubah tenang, keesokan harinya Pantai Tan-
jung Api yang terkenal dengan keganasan ombaknya
nampak dalam keadaan lengang bagai tak pernah ter-
jadi sesuatu. Sementara itu sesuai dengan yang dia terima,
sepanjang hari si Bangkotan Koreng Seribu berada di
pinggiran laut sambil memperhatikan keadaan di seke-
lilingnya. Dan ternyata wangsit yang di terimanya me-
mang benar adanya. Begitu laut bergerak pasang naik.
Dia melihat sebuah kotak terapung-apung di atas air
menuju ketepian pantai. Kotak berukuran setengah
meter itu ternyata memang benar berisi sosok bayi la-
ki-laki yang sangat sehat dan montok. Sesuai dengan
pesan yang di terimanya dalam wangsit, Bapak Bang-
kotan Koreng Seribu kemudian merawat dan mendi-
diknya dengan berbagai ilmu silat dan pukulan-
pukulan sakti hasil ciptaannya. Anak itu di beri nama
Buang Sengketa. Buang artinya anak yang sengaja di
buang atau di campakkan ke laut demi keselamatan-
nya. Sedangkan Sengketa, karena sejak masih dalam
kandungan ibunya, tanda-tanda kehadiran anak itu di
alam dunia di penuhi dengan kejadian yang aneh-aneh
lagi menggemparkan. Itu makanya orang-orang persila-
tan memburu ibunya. Kelahirannya memang banyak
di persoalkan oleh orang ramai...!" Kata Bara Seta, sejenak dia menarik nafas
pendek. Namun ketika dia
bermaksud melanjutkan ucapannya. Dewi Wulan tiba-
tiba menyela; "Kakang! Kalau begitu dia masih merupakan ti-
tisan para siluman...?" Kata istri Bara Seta setengah takut-takut. Ketua
Perguruan Candak Ginaka ini
hanya tersenyum saja demi melihat wajah istrinya
yang mendadak berubah pucat. Lalu dengan suara
hampir-hampir tak terdengar dia melanjutkan;
"Sungguh pun ayahnya masih merupakan raja
para siluman di Negeri Bunian, namun pada kenya-
taannya dia masih merupakan seorang manusia, yang
memiliki hati dan perasaan sebagaimana manusia ke-
banyakan."
"Jadi sejak kecil kakek Bangkotan Koreng Seri-
bu telah melatih Buang dalam berbagai ilmu sakti yang
di miliki oleh kakek itu...?" Tanya Ayunda secara diam-diam dia mulai mengagumi
keberadaan Pendekar Hina
Kelana di rumahnya.
"Ya... bahkan ketika pemuda itu masih beru-
mur satu tahun si Bangkotan Koreng Seribu telah
mendidiknya dengan berbagai ilmu kanuragan. Salah
satu diantaranya yang pertama kali dilakukan adalah
dengan merebus tubuh bocah itu di dalam sebuah te-
laga alam yang memiliki panas bersumber dari dalam
perut bumi. Hal ini menurut kakek Bangkotan Koreng
Seribu di rasa sangat perlu untuk menghilangkan un-
sur siluman yang ikut mengalir bersama darah di da-
lam tubuhnya. Dan ketika usianya menjelang tiga ta-
hun, si Bangkotan Koreng Seribu menurunkan satu
kesaktian yang pada akhirnya membuat dirinya kebal
terhadap serangan beracun mana pun.
Kemudian ilmu maupun jurus-jurus silat sakti
pun mulai dia turunkan pada Buang saat mana
usianya sudah mencapai lima tahun. Hampir setiap
hari si Bangkotan Koreng Seribu melatih bocah yang
berasal dari keturunan raja para siluman itu tiada
henti bahkan tiada pula mengenal lelah. Tahun demi
tahun pemuda bocah itu mengalami kemajuan yang
sangat pesat. Sebaliknya kakek pemurung itu semakin
memperketat waktu latihan muridnya dengan cara
menggemblengnya di pantai berbatu karang di pesisir
Tanjung Api. Di sela-sela hempasan gelombang laut
itulah si Bangkotan Koreng Seribu mendidik Buang
Sengketa. Jurus-jurus silat tangan kosong, mulai dari
jurus silat Membendung Gelombang Menimba Samu-
dra, kemudian jurus silat si Gila Mengamuk, lalu jurus si Jadah Terbuang. Hampir
setiap tiga purnama sekali
dia turunkan. Lalu setelah usianya mencapai belasan
tahun Bangkotan Koreng Seribu menurunkan ilmu
pukulan yang sangat dahsyat yang di beri nama puku-
lan Empat Anasir Kehidupan, selanjutnya
setahun berikutnya menurunkan ilmu pukulan yang
lebih dahsyat lagi yang diberi nama si Hina Kelana Me-
rana...!" "Hemm. Begitu besar perhatian kakek Bangkotan Koreng Seribu terhadap
Buang Sengketa. Sehingga
beliau menurunkan segala apa yang di milikinya pada
Buang! Tapi benarkah apa yang di katakan oleh ba-
nyak orang bahwa orang yang memiliki gelar Pendekar
Hina Kelana itu Buang Sengketa adanya...?" Tukas
Ayunda, lalu memandang tajam pada Bara Seta.
"Ya... dialah Pendekar Hina Kelana yang mewa-
risi pusaka Golok Buntung pemberian ayahandanya
yang sangat menggemparkan itu." Jawab Bara Seta begitu mantap.
"Tapi kakang... mengapa bapak Bangkotan Ko-
reng Seribu masih mewariskan satu kitab pada Buang,
padahal dia seorang pendekar yang tiada memiliki
tanding?" Tukas Dewi Wulan setengah penasaran.
"Mungkin ada beberapa hal yang tak pernah di-
ketahui oleh siapapun, namun telah terpikirkan oleh
orang sakti itu. Kitab Jurus Koreng Seribu yang masih
belum terungkap maknanya tersebut. Di dalamnya aku
merasa yakin, di samping memuat rangkaian jurus
yang maha dahsyat tentu juga mewariskan sifat-sifat
kemanusiaan sebagai mana lazimnya. Sebab walau ba-
gaimana pun unsur siluman itu masih bersisa di da-
lam-diri Pendekar Hina Kelana. Untuk menghindari
agar dirinya tak terjerumus sebagai seorang pendekar
super sadis. Maka harus di tanamkan unsur kesaba-
ran dan rasa welas asih di dalam dirinya. Dan menurut
dugaanku kesanalah almarhum Bapak Bangkotan Ko-
reng Seribu ingin menjadikan muridnya sebagai pen-
dekar tiada tanding pembela kebenaran namun memi-
liki rasa kemanusiaan yang sangat tinggi...!" Ujar Bara Seta berusaha menarik
satu kesimpulan tentang kitab
Jurus Koreng Seribu peninggalan almarhum si Bang-
kotan Koreng Seribu.
"Hemm. Sungguh besar harapan kakek Bang-
kotan Koreng Seribu, terhadap murid tunggalnya
itu...!" Bara Seta menganggukkan kepalanya.
"Ya... hal itu pun pernah di katakan oleh bapak
secara langsung pada ayahmu ini, beberapa purnama
sebelum dia menghembuskan nafasnya yang terak-
hir...!" "Kita hanya mampu berdoa pada sang Hyang Widi, semoga apa yang menjadi
harapannya dapat ter-laksana sebagaimana yang di harapkan...!" Dewi Wulan
menambahi. Saat itu hari sudah larut malam, maka Bara
Seta mengakhiri pembicaraannya. Tak sampai seten-
gah jam kemudian Lembah Selaksa Mayat kelihatan
menjadi sunyi sepi bagai tiada berpenghuni.


Pendekar Hina Kelana 16 Pertarungan Di Lembah Selaksa Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

4 Sejak tersiar berita kematian tentang tokoh
sakti si Bangkotan Koreng Seribu dan tentang sebuah
kitab ciptaannya yang sangat dahsyat itu. Dunia persi-
latan menjadi gempar karenanya. Masing-masing go-
longan persilatan yang memiliki jiwa serakah dan be-
rambisi untuk mendapatkannya. Segera bergerak dari
partai, perguruan maupun secara perorangan untuk
mencari tahu kemanakah perginya murid tunggal si
Bangkotan Koreng Seribu yang telah membawa serta
kitab Jurus Koreng Seribu yang di dalamnya sudah
barang tentu memuat jurus-jurus yang sangat dah-
syat. Tak ubahnya bagai memperebutkan harta karun
milik nenek moyangnya saja, masing-masing mereka
saling curiga-mencurigai. Bahkan tak segan-segan me-
reka dari aliran yang berbeda saling bunuh.
Keadaan dunia persilatan saat itu memang be-
nar-benar sangat runyam. Siang dan malam baik to-
koh maupun tokoh beraliran putih yang telah kepincut
dengan kabar yang mereka terima kelihatan berkelia-
ran di mana-mana. Siang itu nampak serombongan pe-
jalan kaki sedang memasuki sebuah kota kecil yang
bernama Muara Beliti. Mereka ini terdiri dari lima
orang laki-laki bertampang kejam, mengenakan pa-
kaian warna kelabu berbadan tegap dengan dada ter-
buka dan berbulu lebat. Di bagian pinggang mereka
menggelantung lima batang golok besar yang nampak
mengkilat-kilat karena ketajamannya. Dalam kalangan
persilatan, mereka di kenal sebagai si Lima Golok Maut dari Gunung Bisu.
Sementara itu di dalam sebuah kedai penjual
makanan, nampak tiga orang berpakaian putih sedang
menikmati makanan yang di pesan oleh mereka. Ketiga
orang laki-laki itu dikenal merupakan tokoh tingkat
tinggi yang berasal dari perguruan Catur Tunggal. Se-
sungguhnya mereka ini juga masih merupakan tokoh
golongan hitam, berilmu sangat tinggi dan terkenal ka-
rena jurus-jurus tangan kosongnya yang di beri nama
Jurus Jari Sakti. Ke manapun mereka tiada pernah
membawa-bawa senjata dalam bentuk apa pun. Dalam
bertarung mereka cukup mengandalkan jari-jari tan-
gannya yang dapat berubah menjadi sekeras baja. Me-
reka yang selama ini bermukim di lereng Gunung Bu-
tak, sebenarnya tak pernah turun gunung, walau da-
lam dunia persilatan sedang terjadi bencana maupun
berita yang sangat menggemparkan sekali pun. Tapi
untuk urusan yang satu ini lain lagi, delapan penjuru
mata angin dunia persilatan cukup tahu siapa sesung-
guhnya si Bangkotan Koreng Seribu yang telah me-
ninggal dunia itu. Seorang angkatan tua yang tiada
duanya. Yang dalam tindakannya tak pernah bersikap
tanggung-tanggung.
Si Bangkotan Koreng Seribu telah tiada, hal itu
bukanlah menjadi perhitungan bagi mereka, bahkan
dalam hati mereka pun bersyukur sebab orang yang
paling sangat mereka takuti telah tiada, tapi yang me-
narik perhatian mereka adalah tentang kabar kitab
ciptaan terakhir orang tua sakti itu. Yang jelas meru-
pakan sebuah kitab yang tiada memiliki tanding bagi
siapa saja yang dapat memilikinya. Sayangnya mereka
tak tahu kepada siapa mereka harus bertanya tentang
kemanakah perginya murid si Bangkotan Koreng Seri-
bu tersebut. Sepanjang jalan dalam mencari jejak ten-
tang menghilangnya murid tunggal tokoh tua itu, me-
reka telah banyak bertanya-tanya di sana sini. Bahkan
sampai pada juragan sapi pun telah mereka tanyai
namun sejauh itu mereka masih belum mendapatkan
keterangan yang cukup berarti. Begitu pun ketika me-
reka berada di kedai penjual makanan, mereka mena-
nyakan tentang orang yang mereka maksudkan pada
pemilik kedai itu. Tapi kalau pun keterangan itu dia
dapatkan, jawabannya sangat meragukan. Demikian-
lah sambil menikmati makanan dan meminum arak
yang sangat wangi, ketiga laki-laki dari Catur Tunggal itu kelihatan tenggelam
dalam fikirannya masing-masing. Hingga tak berapa lama kemudian masuklah
rombongan pejalan kaki yang di kenal sebagai si Lima
Golok Maut dari Gunung Bisu, ke dalam kedai yang
sama. Begitu telah berada di dalam kedai itu, kelima
laki-laki berbadan tegak dan angker itu pun nampak
celingak celinguk bagai lima ekor monyet yang di ting-
gal induknya. Namun begitu mata mereka beradu pan-
dang dengan ketiga laki-laki yang berpakaian putih itu maka rasa benci pun
membayang dari cara mereka
memandang. Tapi mereka tiada membatalkan niatnya untuk
memesan makanan pada pemilik kedai. Tak lama ke-
mudian seorang wanita setengah tua nampak meng-
hampiri mereka, lalu dengan sangat sopan sekali pe-
rempuan itu segera bertanya;
"Tuan-tuan mau pesan apa...!" Ucapnya dengan perasaan takut. Salah seorang dari
mereka yang jadi
pimpinan langsung saja menyahut dengan pandangan
masih saja tertuju pada ketiga laki-laki dari Catur
Tunggal. "Sediakan kami makanan yang paling enak di
warung ini, dan juga jangan lupa beberapa guci arak
wangi, cepat...!" Perintahnya setengah membentak.
"Baiklah tuan, tunggu sebentar... pesanan tuan
akan segera kami sediakan...!" Kata perempuan pemilik kedai itu dengan suara
gemetaran menahan rasa
takut. Selanjutnya dia pun segera bergegas meninggal-
kan kelima orang itu lalu menghilang dibagian bela-
kang. Sementara itu suasana di dalam warung itu
nampak semakin tegang. Masing-masing mereka terus
saling pandang. Tapi masih belum terlihat tanda-tanda
terjadinya kekerasan di tempat itu. Saat itu, si Lima
Golok Maut kelihatan saling berbisik sesamanya;
"Sialan betul kita ini. Warung cuma atu-atunya.
Pelayannya nenek-nenek peot lagi...!" Kata salah seorang diantaranya hingga
mengundang rasa geli di hati
kawan-kawannya yang lain.
"Kau ini yang ngeres-ngeres saja yang ada di
dalam pikiranmu. Apa yang kita inginkan adalah ma-
kan sekenyang-kenyangnya. Mau nenek-nenek peot
kek atau apa yang penting kita harus dapatkan kete-
rangan seperti yang kita inginkan...!"
Belum lagi, laki-laki yang pertama tadi menya-
hut, pemilik kedai itu telah kembali membawakan ma-
kanan dan arak yang mereka pesan. Cepat-cepat pe-
rempuan itu menyelesaikan pekerjaannya. Kemudian
setelah meletakkan makanan dan minuman yang di
pesan oleh orang-orang itu, dia sudah membalikkan
langkah dan bermaksud kembali ke belakang. Namun
baru saja beberapa tindak dia melangkah, salah seo-
rang dari mereka yang bernama Kuraya dan sekaligus
menjadi ketua dalam rombongan itu memanggilnya.
"Heiit, jangan pergi dulu. Coba ke sini...!" Perintahnya kasar sekali. Dengan
tergopoh-gopoh perem-
puan itu datang menghampiri.
"Ada apakah tuan-tuan...?"
"Perempuan tua...!" Bentaknya dengan suara
keras. Lalu sambungnya, "Pernahkah kau melihat seorang pemuda berkuncir dengan
sebuah periuk besar di
bagian pinggang, dan berpakaian kumuh mirip seorang
gembel lewat atau singgah di warungmu ini?" Ta-
nyanya sambil melirik pada laki-laki berpakaian putih
yang duduk tidak begitu jauh dari mereka.
"Eee... sa... saya tidak melihatnya tuan...!" Jawab perempuan itu dengan suara
terbata-bata. "Wah, tolol betul kau ini. Masak kau tak pernah
melihat orang yang ciri-cirinya seperti kusebutkan ta-
di...!" Dengus Kuraya, lalu cepat-cepat hempaskan punggungnya di atas kursi.
Demi meluapkan rasa kemarahannya, diteguknya beberapa guci arak selanjut-
nya menyantap makanan itu hingga tuntas.
"Cepat kau sediakan makanan untuk kawan-
kawanku, perempuan tua...!" Bentaknya tanpa berpaling sedikit pun. Saat itu
pemilik kedai yang sudah da-
lam keadaan ketakutan cepat-cepat bergegas ke bela-
kang untuk mengambilkan apa yang di katakan oleh
Kuraya. Kiranya hal itu tak luput dari perhatian ketiga laki-laki dari Catur
Tunggal. Mereka merasa heran
bercampur geli melihat ulah laki-laki berbulu monyet
yang sedang melahap makanan tak jauh di depannya.
Heran, karena tak ubahnya bagai seekor babi kelapa-
ran saja orang ini menyantap makanan kawan-
kawannya yang lain. Bahkan sampai tuntas tiada ber-
sisa sedikitpun. Geli karena cara pelampiasan emo-
sinya di tumpahkan pada makanan yang ada, bukan
pada barang-barang yang ada. Pantasan saja kelima
orang itu berbadan gemuk luar biasa. Kiranya mereka
tak lebih dari beberapa ekor anjing yang sangat rakus.
Batin salah seorang dari mereka, dan tanpa tertahan-
kan lagi dia pun berkata;
"Sobat-sobat! Lihatlah tikus-tikus gembrot itu
sangat rakus sekali, seperti sudah sebulan saja mereka tak pernah ketemu nasi.
Bagian kawannya pun di sikat
habis...!" Ejeknya dengan tawa mengekeh.
"Ya, maklum saja, namanya juga tikus kelapa-
ran, mana perduli bagian kawan atau lawan yang pent-
ing perut sendiri kenyang...!" sahut yang lainnya menimpali. Sudah barang tentu
ejekan itu membuat Ku-
raya dan empat orang lainnya menjadi sangat tersing-
gung. Lalu tanpa banyak basa basi, Kuraya memben-
tak: "Monyet-monyet putih. Apa pedulimu dengan
segala urusan kami" Mau kami habiskan seisi kedai ini
kau mau apa...?"
"Mengapa harus banyak kata! Kita gebuk saja
monyet-monyet tak tahu adat itu habis perkara...!" Sahut yang lainnya menimpali.
Yang di bentak keluarkan
tawa tergelak-gelak!
"Hiehe... he... he...! Kalian bisa berbuat apa pa-da orang-orang dari Catur
Tunggal...!" Bentak salah seorang yang berpakaian putih dan bernama Wahana
itu dengan sesungging senyum sinis.
"Kampret sialan. Kau kira dengan mengandal-
kan nama besar Catur Tunggal, lantas kami akan ka-
bur tunggang langgang meninggalkan kalian...! Puih
tak sekalipun kami, si Lima Golok Maut akan bertin-
dak sepengecut itu...!" Kata Kuraya, serentak mereka segera meraba bagian gagang
goloknya. Ketiga orang
dari Catur Tunggal itu pun saling pandang sesamanya.
Bagi mereka nama si Lima Golok Maut sering mereka
dengar, namun baru sekali ini mereka bertemu muka
secara kebetulan. Begitu pun mereka masih mengang-
gap kelima orang itu merupakan kaum persilatan sego-
longan yang memiliki kepandaian yang masih rendah
dan setidak-tidaknya masih berada di bawah mereka.
Selanjutnya masih dengan tergelak-gelak. Wahana
berkata ketus; "Baru saja memiliki golok karatan, beberapa
ekor tikus coba-coba unjuk gigi di depan Catur Tung-
gal. Bueeh... majulah kalian semua kalau ingin pada
kojor...!" Sela Wahana gusar.
"Sesungguhnya kami tak punya persoalan den-
gan Catur Tunggal. Berhubung kami masih banyak
urusan, maka persoalan ini kami anggap selesai sam-
pai di sini saja. Tapi ingat, di lain hari kami akan mencari kalian, walaupun
sampai ke lobang semut sekali
pun...!" Berkata Kuraya dan mereka sudah bersiap-
siap untuk meninggalkan tempat itu. Namun mereka
terpaksa menghentikan langkah ketika secara tiba-tiba
salah seorang dari Catur Tunggal melompat dan
menghadang jalan mereka.
"Enak saja kau bicara. Jangan kira kami tak
tahu kalau sesungguhnya kalian hanyalah ingin pergi
mencari Kitab Jurus Koreng Seribu. Jangan mimpi so-
bat. Kitab Jurus Koreng Seribu tidak sembarang orang
bisa memilikinya. Jangankan kalian yang hanya men-
gandalkan golok-golok karatan. Sedangkan kami dari
Catur Tunggal pun belum tentu dapat merebut kitab
yang sangat hebat itu...!"
Akhirnya mengertilah Kuraya dan keempat
orang kawannya, kalau sesungguhnya orang-orang da-
ri Catur Tunggal juga mempunyai tujuan yang sama
dengan mereka. Lalu muncullah gagasan yang sangat
baik dalam pikiran Kuraya. Menurutnya, karena mere-
ka masih terbilang satu golongan, mungkin akan lebih
baik dan lebih kuat andai mereka mengadakan sema-
cam perjanjian dan kerja sama. Maka tanpa merasa
sungkan-sungkan lagi, Kuraya kemudian berucap den-
gan nada merendah; "Tak dinyana kiranya anda semua mengetahui tujuan kami,
kebetulan kami memiliki tujuan yang sama. Kita satu golongan, mungkin ada
baiknya kalau kita bergabung kemudian sama-sama
mencari murid tunggalnya si Bangkotan Koreng Seribu
untuk merebut kitab itu dari tangannya...!" Wahana dan dua orang kembratnya
angguk-anggukkan kepa-
lanya bagai burung kondor namun hati mereka dengan
tegas menolak mentah-mentah semua gagasan yang di
berikan oleh Kuraya, bahkan sebaliknya dia merasa
mendapat saingan baru yang perlu di bereskan saat itu
juga. Lalu dengan tegas dia berkata;
"Wah enak betul. Siapa sudi bekerja sama den-
gan tikus-tikus badut yang memuakkan...!" Maka
mendidihlah darah Kuraya dan kawan-kawannya
mendapat penghinaan sedemikian rupa. Ucapan Wa-
hana mereka nilai benar-benar merupakan sebuah
penghinaan yang tak dapat di maafkan. Bahkan mere-
ka pun merasa, selama malang melintang di rimba
persilatan, baru kali inilah mereka di hina sedemikian rupa. Tak ayal lagi
keempat orang kawan Kuraya laksana kilat sudah mencabut goloknya yang berukuran
sangat besar sekali.


Pendekar Hina Kelana 16 Pertarungan Di Lembah Selaksa Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalian benar-benar monyet keparat yang harus
di basmi dari jagad ini. Cepat cabutlah senjata kalian kalau tak ingin kalian
mati penasaran...!" Maki Kuraya.
"Menghadapi tikus-tikus rakus tak perlu me-
makai segala macam senjata. Bagi kami cukuplah tan-
gan kami yang akan mengatasi segala golok karatan
yang tiada guna itu...!" Kata Wahana. Selanjutnya dia dan kambratnya sudah
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
5 Bukan main gusarnya Kuraya demi melihat
Wahana yang masih tetap saja meremehkan mereka.
Beberapa detik selanjutnya tanpa berkata-kata lagi.
Kuraya telah memberi isyarat pada keempat orang
kembrat-kembratnya. Masih di dalam kedai itu tanpa
dapat di cegah lagi terjadilah pertarungan yang sangat
seru. Perempuan pemilik kedai demi melihat gelagat
yang tak baik segera pula kabur meninggalkan kedai
miliknya. Dalam waktu sekejap saja kedai itu pun jadi
berantakan di buatnya. Tetapi nampaknya mereka su-
dah tiada memperdulikan keadaan di sekitarnya. Dari
pihak si Lima Golok Maut dalam pertarungan enam ju-
rus selanjutnya telah pula mengeluarkan jurus-jurus
golok mautnya yang sangat dahsyat itu.
Sampai sejauh itu tiga laki-laki dari Gunung
Butak masih kelihatan tenang-tenang saja, bahkan be-
rulang kali serangan maupun sambaran golok di tan-
gan lawan yang datangnya menggebu-gebu masih da-
pat dia elakkan dengan sangat baik sekali. Semakin
bertambah gusar sajalah pihak si Lima Golok Maut
demi melihat bahwa serangan-serangan gencar yang
mereka lakukan masih saja dapat di elakkan oleh pi-
hak lawannya dengan baik. Tak ayal lagi dalam gebra-
kan selanjutnya, si Lima Golok Maut telah mempergu-
nakan jurus-jurus golok andalan mereka yang sangat
ampuh. Sekali kesempatan Kuraya hantamkan telapak
tangannya ke depan, dalam pada itu golok di tangan-
nya juga berkelebat menyusul.
"Heiiit! Nguuuung!" Serangan yang bernama
Dewa Golok Turun Tangan itu terkenal sangat cepat,
dan tahu-tahu sambaran angin dari babatan golok
yang sangat tajam tersebut telah mendera pada bagian
dada lawan. Salah seorang dari Catur Tunggal kelua-
rkan seruan tertahan, tapi lebih cepat lagi dia menyu-
rut satu langkah sambil berusaha mengkelit serangan
yang datang. Sambaran golok lawan luput, tetapi pu-
kulan yang di lepaskan oleh Kuraya masih tetap mem-
burunya. Tak dapat di sangkal dia pun segera pula do-
rongkan telapak tangannya ke depan.
"Breeees!" Terdengar satu letupan kecil saat mana kedua pukulan yang terisi
setengah tenaga sakti
itu saling bertemu. Kuraya nampak terhuyung-huyung
langkahnya, di pihak lawan hanya tergetar sedikit
sambil memegangi dadanya yang terasa berdenyut.
Kembrat Wahana dengan kedua jari tangan terpentang
langsung kirimkan serangan ke arah bagian mata la-
wannya. Bersamaan dengan melesatnya tubuh salah
seorang dari Catur Tunggal maka keempat jari tangan
kirinya meluruk ke arah tubuh lawannya. Sejengkal
lebih serangan balasan itu hampir mencapai sasaran-
nya. Namun Kuraya dan kawan-kawannya bukanlah
orang-orang persilatan yang baru kemarin sore turun
gunung; Menyadari adanya ancaman bahaya terhadap
pimpinan mereka, maka dua orang di antaranya berge-
rak cepat melindungi ketuanya dengan sambaran golok
besar yang datangnya bertubi-tubi.
"Kampret sialan...!" Maki salah seorang Catur Tunggal langsung tarik balik
tangannya. Namun di
luar dugaan lawan-lawannya dengan sangat cepat pula
laki-laki itu kirimkan satu sapuan dengan mempergu-
nakan kaki kanannya.
"Ayaaa...!"
"Gabruk! Gabruk!" Dua orang dari si Lima Go-
lok Maut, jatuh terjerembab dengan wajah mencium
lantai kedai. Hidung mereka yang telah mencium lantai
yang sangat keras itu pun nampak mengalirkan darah.
Caci maki berhamburan dari mulut mereka ini, tapi
secepatnya pula mereka bangkit. Dalam kemarahan-
nya itu dengan di pimpin oleh Kuraya mereka segera
keluarkan jurus Dewa Golok Membasmi Iblis. Begitu
mereka bergerak, maka tahu-tahu ketiga laki-laki dari
Catur Tunggal itu pun telah terkurung di tengah-
tengahnya dalam posisi yang sangat rapat sekali.
"Ciaaat.... Mampus...!" Jerit dan makian tinggi melengking mengawali serangan
gencar yang datang-
nya secara bersamaan. Golok-golok di tangan mereka
menderu hingga timbulkan angin bersiuran. Serangan
itu benar-benar sangat cepat sekali, bahkan dalam me-
lancarkan serangan terlihat satu variasi kerja sama
yang terbina sangat baik. Berulang kali golok-golok
yang sangat besar dan tajam ini nyaris menghajar tu-
buh ketiga orang lawannya. Namun bagaimana pun
hebatnya serangan yang di lancarkan oleh si Lima Go-
lok Maut terhadap lawan-lawannya. Tapi nampaknya
mereka masih kalah dalam pengalaman dan ilmu silat.
Dalam keadaan terdesak hebat seperti itu, tiba-
tiba saja tubuh ketiga laki-laki dari Catur Tunggal sudah melentik ke udara,
selanjutnya dengan mengan-
dalkan ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai
taraf sempurna, sekejap kemudian mereka telah keluar
dari kepungan. Satu seruan mengejek terdengar,
membuat si Lima Golok Maut melakukan serangan
membabi buta. "Segala tikus-tikus sial mau bikin perkara den-
gan Catur Tunggal! Bueh. Kalau kalian bisa bertahan
dalam sepuluh jurus serangan di depan, biarlah hari
ini kami dengan rela menjadi budak yang paling patuh
terhadap segala perintah kalian!" Tukas Wahana. Lalu detik selanjutnya, mereka
sudah mulai menggelar jurus-jurus silat tangan kosong yang di kenal sebagai si
Jari Sakti dari lereng Gunung Butak. Begitu mereka
keluarkan suara menggembor bagai banteng terluka,
sekejap kemudian tubuh mereka telah lenyap dari
pandangan lawan-lawannya. Hanya angin sambaran
saja yang menandakan bahwa mereka sedang berusa-
ha membuyarkan konsentrasi pertahanan lawannya.
Gerakan Catur Tunggal yang sangat cepat bah-
kan membuat sakit mata yang melihatnya sudah ba-
rang pasti membuat bingung lawan-lawannya. Kata-
kata yang sangat kotor pun berhamburan menyertai
caci maki sebagai pelampiasan kekesalan mereka. Tapi
ketika Catur Tunggal telah keluarkan jurus ketiga dari Jurus Tangan Kosong Jari
Sakti yang mereka miliki. Di
pihak lawan terdengar satu jeritan panjang menyayat
hati. Salah seorang dari mereka terkapar dengan ke-
dua mata berlumur darah, sementara pada bagian le-
hernya terlihat dua lubang menganga. Dari lubang be-
kas tusukan jari itu mengalirkan darah yang tiada
henti. Tubuh salah seorang dari si Lima Golok Maut ini pun nampak berkelojotan
untuk beberapa saat lamanya, selanjutnya tiada bergerak untuk selama-
lamanya. Orang-orang Catur Tunggal sudah tiada
memperdulikan keadaan lawannya, tubuh mereka te-
rus berkelebat mencari sasaran berikutnya. Saat itu si Lima Golok Maut yang
hanya tinggal empat orang sudah membentuk satu pertahanan yang kuat dengan
memutar goloknya melindungi diri masing-masing. Be-
rulang kali orang-orang Catur Tunggal berusaha mene-
robos pertahanan lawannya. Tapi berkali-kali pula
usaha mereka mengalami kegagalan.
"Keluarkan jurus Jari Sakti Baja...!" Teriak Wahana saat mana dia menjejak
kakinya tak begitu jauh
dari tempat di mana lawan-lawannya berada. Serentak
tiga laki-laki dari Catur Tunggal itu pun mengerahkan
tenaga, dalamnya mengarah pada kedua telapak tan-
gan mereka. Tubuh orang-orang itu bergetar saat la-
manya, wajah mereka nampak menegang dan bersemu
merah. Telapak tangan itu pun telah berubah warna
menjadi kehitam-hitaman dan menebarkan bau amis
menjijikkan. Kuraya dan kawan-kawannya nampak sangat
terkejut melihat perubahan yang tiada mereka duga
sebelumnya. Sadarlah mereka, ternyata Catur Tunggal
merupakan lawan yang sangat tangguh. Bagi Kuraya
mungkin saja Catur Tunggal merupakan lawan yang
sangat berat. Tapi dalam sejarahnya, bagi si Lima Go-
lok Maut tiada sejarahnya untuk mundur teratur da-
lam menghadapi lawan yang sehebat mana pun, sudah
menjadi prinsip mereka lebih baik mati mempertahan-
kan nama besar dari pada harus lari meninggalkan
pertarungan. "Ha... ha... ha...! Inikah jurus-jurus Jari Sakti Baja! Kami jadi ingin menjajal
apa si hebatnya jurus
tangan kosong yang sangat kesohor itu...!" Berkata Kuraya sambil bersiap-siap
dengan jurus Golok Maut
Pembasmi Iblis-nya yang terkenal sangat ampuh dan
dahsyat. "Ingat tikus-tikus Golok Karatan. Apa yang ku-
janjikan masih tersisa empat jurus lagi. Jangan sebut
si Catur Tunggal andai kalian masih mampu luput dari
serangan-serangan yang akan kami lakukan...!" Teriak Wahana. Dan bersamaan
dengan teriakannya itu tubuh ketiga laki-laki dari lereng Gunung Bisu tak telah
pula melesat laksana kilat.
Di pihak lawan, Kuraya menggembor, lalu ber-
sama-sama dengan kembratnya segera kirimkan se-
rangan-serangan gencar menyongsong datangnya se-
rangan yang di lakukan oleh pihak lawan. Tak dapat di
sangkal pertarungan yang terjadi pun semakin seru.
Masing-masing lawan telah pula keluarkan jurus-jurus
silat yang sangat mereka andalkan. Di lain saat tak segan-segan pula mereka
kirimkan pukulan-pukulan keji
yang sangat mematikan. Di pihak Catur Tunggal ber-
hadapanlah Wahana dengan Kuraya, sementara dua
orang kembratnya berhadapan pula dengan tiga orang
si Lima Golok Maut.
"Caiiiit! Wiiiiing...!"
Menderu senjata di tangan tiga orang golok
maut mengarah pada bagian perut dan dada dua orang
lawannya. Dua orang dari Catur Tunggal tidak ingin
mengambil resiko yang lebih besar dan terlalu bertele-
tele. Maka keduanya pun kembang-kan jemari mereka.
Tak dapat di elakkan lagi.
"Craaak! Craaak!" Tergetar tubuh kembrat-
kembratnya Kuraya sambil keluarkan seruan tertahan.
Nampaknya mereka merasa jerih dengan apa yang ba-
ru saja mereka lihat. Bagaimana mungkin jari-jari yang terpentang itu bisa
sekeras dinding baja. Bahkan dalam adu tenaga dalam tadi tubuh orang-orang dari
Ca- tur Tunggal tiada bergeming sedikitpun. Satu kekua-
tan yang sangat aneh, kalau tak boleh di kata sebagai
ilmu setan. Batin mereka dalam hati. Tetapi mereka
sudah tak dapat berpikir panjang lagi, karena kelenga-
han mereka yang hanya beberapa detik itu telah diper-
gunakan oleh pihak lawannya untuk melakukan se-
rangan kilat. Cepat sekali gerakan orang-orang Catur
Tunggal itu hingga tak sempat bagi tiga orang lawan-
lawannya untuk menangkis gerakan dan serangan me-
reka. "Croook! Jrooos! Jrooos!" Tiga orang kembrat Kuraya menjerit-jerit bagai
setan gila saat mana jemari tangan lawan yang dapat berubah sekeras baja itu
menembus bagian jantung mereka. Sekejap saja darah
telah menyembur dari dua buah lubang yang mengan-
ga akibat tusukan jari sakti orang-orang Catur Tung-
gal. Tak berapa lama, setelah tubuh mereka ter-
huyung-huyung ke depan, kemudian ambruk di lantai
kedai dengan jiwa melayang.
Melihat kematian kawan-kawannya, kecut ber-
campur marah Kuraya di buatnya. Maka dalam luapan
kemarahan yang sudah tiada terbendung itu. Di sertai
dengan jeritan yang terasa menggetarkan kedai dan
sekitarnya. Mengamuklah tokoh si Lima Golok Maut
itu tanpa memperdulikan keselamatannya sendiri. Hal
itu merupakan satu keuntungan bagi pihak Catur
Tunggal, dua orang lainnya turun membantu Wahana.
Menghadapi Wahana saja, Kuraya sudah tak mampu
berbuat banyak selain hanya bertahan mati-matian,
jangankan kini dua orang kawannya datang memban-
tu. Maka sebentar saja Kuraya sudah terdesak hebat.
Laki-laki berbadan gemuk bagai karung butut ini putar
goloknya ke segala penjuru untuk menangkis seran-
gan-serangan jari sakti lawannya. Tapi itu pun hanya
dapat dia pertahankan hanya beberapa detik saja.
Hingga akhirnya manakala secara berbarengan Waha-
na dan kawan-kawannya melakukan serangan gencar.
Orang itu pun sudah mati langkah dan sangat sulit
untuk mengelakkannya.
"Croook! Blees! Jreees!"
"Arrrrghk...!" Lolongan panjang menyertai am-bruknya tubuh Kuraya. Dia mendapat
luka-luka yang sangat mengerikan pada bagian mata, dada, serta
pangkal lehernya. Dalam keadaan sekarat itu tubuh
ketua si Lima Golok Maut menggelepar-gelepar bagai
seekor ikan yang terlempar dari dalam air. Selanjutnya manakala darah di
tubuhnya telah berhenti menetes
pada saat itulah sang maut telah merenggutkan nya-
wanya dari jasadnya.
Orang-orang Catur Tunggal saling pandang, la-
lu keluarkan suara mengekeh tanda puas dengan apa
yang dikerjakannya. Belum lagi suara tawa itu terhen-
ti, maka tubuh ketiganya pun telah melesat pergi me-
ninggalkan tempat itu.
6 Kaki buntung sebatas betis, wajah maupun se-
kujur tubuhnya yang tiada memakai baju nampak ca-


Pendekar Hina Kelana 16 Pertarungan Di Lembah Selaksa Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cat di sana sini, bekas guratan luka-luka cambukan.
Raut mukanya rusak mengerikan, siapa pun yang me-
lihat orang yang sedang melakukan perjalanan yang
sangat jauh itu pasti akan lari ketakutan demi melihat keangkeran penampilannya
karena bekas luka-luka
itu. Walaupun laki-laki renta tersebut hanya tinggal
memiliki kaki sebelah saja, namun dia tak pernah me-
rasa terganggu dengan cacat yang di deritanya. Tanpa
bantuan tongkat dia terus mengayunkan langkah
meskipun sesekali dia harus berlompatan bagai seekor
katak yang di kejar-kejar oleh seekor ular. Di lain kesempatan dengan
mempergunakan ilmu mengentengi
tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna, laki-laki
renta tersebut mengempos tubuhnya sehingga melesat
sedemikian pesatnya. Bahkan sekali waktu dalam me-
lepas lelah dia nampak duduk ongkang-ongkang di
atas sebuah cabang pohon yang sangat tinggi. Sambil
menikmati buah-buahan hutan yang berbuah lebat,
kakek renta itu mengitarkan pandangarannya sejauh-
jauhnya ke depan sana.
Tak terlihat sebuah rumah pun seperti yang dia
harapkan. Sejauh-jauh mata memandang hanya ke-
rimbunan hutan, dan ke-dalaman lembah yang tiada
terukur dalam-nya. Lalu siapakah laki-laki renta yang
berasal dari gua monyet itu" Pada jaman jaya-jayanya
kakek Bangkotan Koreng Seribu, laki-laki cacat itu me-
rupakan tokoh sesat yang sangat di takuti oleh kalan-
gan rimba persilatan. Laki-laki cacat yang bernama
Wandiro tersebut pada saat itu terkenal sebagai seo-
rang pembunuh berdarah dingin yang sangat di kenal
dengan racun Bunga Neraka yang ganas dan memati-
kan. Karena keganasannya itu, maka dia di juluki se-
bagai Iblis Pencabut Nyawa dari Gua Monyet. Dia sela-
lu mendewa-dewakan dirinya sebagai manusia paling
sakti tanpa tanding di kolong jagat itu. Setiap kali dia mendengar ada orang
yang memiliki kepandaian tinggi.
Pasti dia akan mendatanginya, di ajak bertarung hing-
ga akhirnya semua saingannya tewas di tangannya se-
cara mengerikan. Satu saat Wandiro atau yang lebih
kesohor dengan julukan Iblis Pencabut Nyawa ini ada
mendengar kabar tentang seorang kakek sakti yang
saat itu telah bermukim di Tanjung Api. Tentang sepak
terjangnya di delapan penjuru mata angin dalam
membela kebenaran membuat dia tertantang untuk
melakukan tanding dengannya.
Satu ketika secara nekad dia datang ke Tan-
jung Api, lalu di temuinya si Bangkotan Koreng Seribu
untuk di ajaknya bertarung. Mulanya kakek sakti itu
menolak ajakan tokoh sesat yang haus akan nama ha-
rum itu. Tapi karena Wandiro terus mendesaknya den-
gan pukulan-pukulan yang sangat ganas, maka mau
tak mau akhirnya demi menjaga keselamatannya sen-
diri si Bangkotan Koreng Seribu terpaksa melayaninya
dengan segenap kemampuan yang di milikinya. Akhir-
nya Iblis Pencabut Nyawa setelah melalui pertarungan
seru yang sangat panjang harus mengakui kehebatan
kakek sakti itu. Namun sungguh pun Kakek Bangko-
tan Koreng Seribu sungguh pun merupakan tokoh
yang sudah sangat tua, namun sifat-sifat kesadisannya
nampaknya masih melekat dalam dirinya. Maka tanpa
ampun lagi-lagi dengan cambuknya yang sangat dah-
syat itu, dia melakukan penyiksaan atas diri Wandiro.
Bahkan tanpa segan-segan dia terpaksa membuntungi
kaki Iblis Pencabut Nyawa.
Sejak kekalahannya itu Wandiro terus berusa-
ha meningkatkan kemampuan ilmu silatnya. Dendam-
nya terhadap Bangkotan Koreng Seribu benar-benar
tak dapat dia padamkan. Bertahun-tahun dia berusa-
ha melatih diri dengan berbagai ilmu kanuragan dan
pukulan sakti hasil ciptaannya.
Tetapi akhirnya dia harus kecewa setelah men-
dengar tentang kabar kematian Bangkotan Koreng Se-
ribu. Berhari-hari dia merenungi kematian musuh be-
sarnya itu, sedihkah dia" Sama sekali tidak! Dia hanya menyayangkan mengapa
Bangkotan Koreng Seribu
pergi secepat itu. Padahal dia belum sempat menjajal
kehebatan ilmu sakti hasil ciptaannya yang baru. Tapi
hatinya menjadi sedikit terhibur saat mana dia men-
dengar bahwa Bangkotan Koreng Seribu memiliki seo-
rang murid yang beberapa tahun belakangan sepak
terjangnya membuat gempar dunia persilatan. Dan
menurut kabar angin yang sampai ke telinganya yang
setengah tuli itu, murid almarhum Bangkotan Koreng
Seribu tersebut telah meninggalkan Tanjung Api den-
gan membawa kitab Jurus Koreng Seribu.
"Hem... masih belum puas hatiku, andai aku
tak bertemu dengan gurunya! Tentu muridnya pun
merupakan orang yang pantas untuk mendapat hu-
kuman yang setimpal dariku. Aku selalu merasa yakin,
walaupun muridnya si keparat itu memiliki kesaktian
setinggi gunung, biarpun dia memiliki kepandaian ilmu
silat sebanyak buih di lautan. Tidak nantinya dia un-
ggulan bertarung denganku. Eeh... tapi, bocah itu ten-
tu mewarisi Cambuk Gelap Sayuto yang pernah ham-
pir mencelakaiku. Bahkan kudengar dia pun memiliki
senjata lain yang sangat ampuh, Pusaka Golok Bun-
tung...! Kehebatan senjata itu hanya kudengar dari ce-
rita orang-orang yang lewat. Aku sendiri tak pernah
percaya andai masih belum melihatnya secara lang-
sung." Batin Wandiro. Lalu di luar dugaan dia lambaikan tangannya ke arah empat
penjuru mata angin. Sa-
tu gelombang angin pukulan yang sangat dingin men-
deru bagai badai puting beliung. Badai topan itu
menghantam pohon-pohon besar yang ada di sekitar
tempat itu sehingga roboh tak berketentuan dengan
menimbulkan bunyi berisik. Bagai orang sinting Iblis
Pencabut Nyawa tergelak-gelak lalu tepuk-tepuk da-
danya yang kurus kering. Sesaat dia terbatuk-batuk.
Tapi kemudian seorang diri dia berkata; "He... ho...
haaa...! Dengan kepandaianku yang sehebat ini, tak
seorang pun yang mampu menahan pukulanku. Jan-
gankan hanya muridnya manusia berkoreng itu, sepu-
luh ekor gajah sekalipun akan binasa di tangan Iblis
Pencabut Nyawa andai berani-berani mendekat...!"
Belum lagi dia selesai dengan ucapannya. Men-
dadak terdengar suara terompet gajah. Tak lama ke-
mudian terlihatlah sosok binatang-binatang yang san-
gat besar itu. Berjalan lambat ke arah di mana Wandi-
ro berada. "Ha... gajah" Binatang itu memang tak bisa di
rasani, ya ampun besarnya nggak ketulungan. Seumur
hidup baru sekali ini aku melihat makhluk sebesar itu, tapi nampaknya binatang
itu menuju kemari. Akh, untuk apa takut, tokh aku pun tak pernah mundur
menghadapi lawan sehebat mana pun, masa aku ka-
lah!" Batin Wandiro, selanjutnya bersiap-siap melepaskan satu pukulan ke arah
makhluk-makhluk yang
sangat besar itu.
"Hiaaak... haiiiiit...!" Tak terhindarkan lagi, selarik sinar berhawa dingin
luar biasa kembali melesat
ke arah binatang-binatang yang jumlahnya tidak ku-
rang dari delapan ekor.
"Bluuuk! Dummmm...!"
"Pruuuung...!" Gajah-gajah itu menguik keras, enam ekor diantaranya rubuh dengan
menimbulkan suara berdebum. Dua ekor diantaranya yang sempat
luput dari sasaran pukulan nampaknya mengamuk
secara membabi buta. Dengan belalai dan gadingnya
yang panjang di terjangnya pohon tempat Wandira
berpijak. Sekali seruduk maka pohon yang berukuran
cukup besar itu pun tumbang. Sebelum pohon itu be-
nar-benar ambruk ke bumi. Tubuh Iblis Pencabut
Nyawa telah melesat meninggalkan pohon itu. Tapi
nampaknya dua ekor gajah itu terus memburunya
dengan kemarahan yang membabi buta. Wandiro tidak
ingin mengambil resiko yang terlalu besar. Lagi-lagi dia lepaskan pukulan Iblis
Pencabut Nyawa yang sudah
sangat sempurna itu.
"Wuss! Wuuus!" Dua pukulan beruntun di le-
paskan sekaligus, nampaknya gajah-gajah itu tidak
perduli dengan keselamatan dirinya. Namun juga bina-
tang, pukulan itu menyongsong ke arah mereka.
"Bummm... bummmm!"
"Pruuuung...!" Kembali terdengar suara berdebum saat mana binatang-binatang itu
jatuh ke bumi. Tubuh makhluk hutan itu berkelojotan sebentar, kulit
tubuhnya sekejap saja telah berubah menghitam, den-
gan nyawa melayang dari tubuhnya.
Wandiro gosok-gosokkan kedua belah tangan-
nya dengan hati lega di sertai seringai senyum menye-
ramkan. "Binatang-binatang malang! Kiranya kalian ti-
dak seberapa juga. Siapa suruh kalian bertemu dengan
Iblis Pencabut Sukma. Coba kalau menghindar, tentu
kalian masih dapat melihat hari esok!" Kata Wandiro mirip seperti orang sinting.
"Ah, kampret! Seharusnya aku cepat-cepat
mencari muridnya si keparat itu di Lembah Selaksa
Mayat. Mungkin saja apa yang di katakan orang-orang
di jalan benar adanya. Sudah gatal sekali tanganku ini untuk menjajal kehebatan
Pendekar Golok Buntung
itu...!" Gumamnya lagi. Selanjutnya tanpa menoleh-noleh lagi, Iblis Pencabut
Nyawa telah melangkah per-
gi. * * * Di bagian kiri Lembah Selaksa Mayat, terdapat
sebuah tikungan kecil yang bila di ikuti ke dalamnya
semakin sempit dan buntu. Sepanjang lorong tikungan
itu merupakan dinding alam yang terdiri dari batu
gamping yang penuh dengan tonjolan-tonjolan batu ta-
jam yang licin lagi basah oleh tetesan air yang ber-
sumber dari atasnya. Masih di tikungan yang merupa-
kan jalan buntu itu, terdapat sebuah batu besar yang
sangat mirip dengan sebuah bangku bulat. Pagi itu
seorang pemuda tampan yang sudah tak asing bagi ki-
ta, kelihatan duduk menekur di atasnya. Sementara di
atas pangkuannya terlihat sebuah kitab yang tidak se-
berapa tebalnya dia bolak-balikkan.
"Hhh. Lagi-lagi aku menemui jalan buntu. Kitab
ini sangat sulit sekali untuk kupecahkan. Sudah ber-
hari-hari aku mencobanya, hasilnya tetap nihil dan
membingungkan. Coretan-coretan yang nyata sudah
jelas tak memiliki arti apa-apa selain untuk mengecoh
bagi siapa saja yang coba-coba merampas kitab ini.
Tapi tulisan-tulisan yang tak terlihat ini pun rasa-
rasanya sangat sulit dan membingungkan. Ah, guru
sejak dulu engkau selalu membuatku bingung, aku
merasa khawatir sebelum kitab ini berhasil kupecah-
kan, sudah ada orang lain yang menyantroni daerah
ini. Ini bukan berarti aku putus asa. Tapi... ah...
yaya... ya... kau terlalu baik padaku, sedangkan aku
hingga kini masih tak dapat membalas segala kebai-
kanmu. Aku ini muridmu yang paling tolol ya, guru...!"
Katanya seorang diri. Dan tiba-tiba saja dia menjadi
sangat sedih sekali, air matanya pun tanpa dia sadari
menetes menuruni pipinya. Walau suara tangisnya tia-
da pernah terdengar, namun air matanya menetes tia-
da henti. Di antara sekian banyak air mata yang ter-
tumpah itu sebagian diantaranya jatuh tepat di atas
kitab yang berada dalam pangkuannya. Di luar sepen-
getahuan pemuda itu terjadilah perubahan di dalam
kitab tersebut. Huruf maupun tulisan yang tadinya ter-
lihat nyata kini sudah tak terlihat sama sekali. Sebagai gantinya tulisan dan
tanda-tanda yang mulanya hanya
merupakan bayang-bayang saja, kini terlihat dengan
jelas. Sungguh merupakan sebuah kitab yang memiliki
keanehan yang sangat luar biasa yang tidak ada dua-
nya di dunia persilatan saat itu.
Sementara itu Buang Sengketa kelihatannya
sudah merasa sangat letih sekali, kemudian dia me-
nyeka air matanya. Sambil mengumpat dan memaki
dirinya sendiri; "Sial... mengapa aku jadi secengeng ini.
Almarhum guru pasti sangat marah andai dia sempat
melihat kecengenganku ini...!" Batinnya lalu kembali menekuri kitab yang masih
berada di atas pangkuannya. Namun alangkah terkejutnya pemuda itu saat dia
memperhatikan halaman kitab tersebut telah menga-
lami perubahan yang sangat mengejutkan hatinya. Tu-
lisan maupun coretan yang tadinya hanya nampak
samar-samar kini kelihatan semakin nyata dan jelas.
Bukan main gembiranya hati Buang Sengketa di buat-
nya, berulang kali di pandanginya tulisan-tulisan itu
dan pada halaman pertama kitab tersebut terdapat tu-
Pedang Kayu Cendana 5 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Pendekar Bloon 25
^