Pencarian

Banjir Darah Keraton Widung 1

Pendekar Gagak Rimang 8 Banjir Darah Di Keraton Widung Bagian 1


BANJIR DARAH DI
KERATON WIDUNG Oleh Fredy S. Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting Oleh: Trianto S.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Fredy S. Serial Pendekar Gagak Rimang dalam episode:
Banjir Darah Di Keraton Widung
128 hal.; 12 x 18 cm
1 Pekat malam dengan rembulan enggan terse-
nyum, nampak satu bayangan berkuda terus memacu
kudanya dengan cepat. Sosok penunggang kuda itu
adalah seorang laki-laki kurus tinggi dengan wajah ti-rus yang menyeramkan.
Rambutnya yang tergerai pan-
jang bak milik anak perawan itu diikat dengan secarik kain merah yang nampak
lusuh. Dia memacu kudanya
bagaikan sedang dikejar wabah penyakit atau bagai-
kan sedang memburu harta karun karena kuatir dida-
hului orang lain.
Sepintas pakaian laki-laki itu mirip orang kera-
ton. Di pinggangnya terselip sebuah keris bersarung.
Angkin batiknya yang lusuh pun melilit di pinggangnya. Tubuhnya sedikit
membungkuk dengan berupaya
untuk memacu kudanya semakin cepat. Terlihat sedi-
kit wajahnya yang keletihan. Namun dia berusaha agar tetap kelihatan segar.
Kudanya memang telah dipacu dengan cepat.
Sudah tiga hari laki-laki itu memacu kudanya
tanpa berhenti. Laki-laki bernama Prakesti itu seakan tidak memperdulikan
kelelahannya. Tidak perduli betapa lapar dan dahaga dirinya. Yang dia inginkan
hanyalah mencapai tujuan yang dicarinya. Meskipun dia merasa tidak yakin dengan
apa yang dilakukannya kali ini.
Berulang kali dia terbayang kegagalan, namun
dia tidak mau bila hingga gagal.
Memang dia mempunyai kepentingan yang ti-
dak bisa ditinggalkan. Baginya ini sebuah beban yang harus dilaksanakan.
Sebenarnya Prakesti adalah salah seorang Pan-
glima perang di Keraton Widung yang telah memimpin
pasukannya dalam menumpas para perampok yang
bermukim di salah sebuah bukit. Sepak terjangnya
amat membanggakan sang Prabu. Belum lagi dengan
banyaknya jasa-jasa yang dilakukan.
Karena jasanya itu sang Prabu Keraton Widung
menganugerahkannya bintang jasa sebagai Panglima.
Sudah tentu itu membuat kebanggaan tersendiri pada Prakesti. Di samping sang
Prabu sendiri pun menyukai kecakapan Prakesti.
Hanya sayang, setelah menjadi orang keper-
cayaan dan kebanggaan sang Prabu, kesombongannya
mulai muncul. Sifatnya sudah berubah.
Dia kini seakan mengangkat kepala setiap kali
melangkah. Tidak lagi menampakkan sikap sebagai
seorang Panglima yang menjadi panutan para anak
buahnya. Tidak lagi memperlihatkan sikapnya yang
dulu akrab dengan rakyat.
Bahkan kini sikapnya justru berbalik. Dia ber-
buat semena-mena terhadap rakyat. Dengan menga-
tasnamakan prabu Keraton Widung, Prakesti selalu
berupaya mendapatkan keuntungan dari rakyat.
Ini disebabkan oleh keserakahannya. Bahkan
dia pun dengan semena-mena menikahi para perawan
orang, bahkan ada dengan secara paksa. Jumlah selirnya pun tidak terhitung lagi.
Yang lebih sadis lagi, dia terkadang pun suka memperkosa istri orang. Dan me-
ninggalkanya begitu saja.
Bila ada yang berani menghalangi atau menolak per-
buatannya tidak segan-segan dia menyiksa. Bahkan
membunuh, lalu mayatnya dibenamkan di laut Kapur.
Dia juga menjadi pengunjung tetap tempat ple-
siran Nyi Ratih Dewi. Padahal sebelumnya dia adalah orang yang paling anti
dengan hal-hal seperti itu. Bahkan dia banyak menasehati teman-temannya agar ti-
dak terjerumus ke sana.
Namun semua itu kini telah berubah sejak dia
menjadi Panglima perang Keraton Widung. Hal ini
membuat para anak buahnya banyak yang kecewa,
namun bila mereka membantah perintahnya, maka
kemarahan yang luar biasa yang didapat.
Prakesti memang dasarnya orang licik, di depan
prabu dia bisa mengambil sikap manis, sehingga cu-
kup lama rasanya sang Prabu tidak mengambil sikap
apa-apa atas ulahnya. Karena memang sesungguhnya
sang Prabu tidak mengetahui hal. Ini cukup menggelisahkan sekali.
Bahkan sang Prabu semakin bangga terhadap
Prakesti karena menurutnya Panglima Prakesti adalah satu sosok yang amat
membanggakan. Namun bukan main terkejutnya Prabu kala su-
atu hari datang sepasang suami istri setengah baya yang melaporkan anak gadis
mereka dibawa kabur
oleh Panglima Prakesti. Sang istri saat melaporkan hal itu terus menangis
terisak-isak. Semula hal ini membuat sang Prabu Kamansu-
ra tidak percaya dengan hal itu. Karena menurutnya tidak mungkin Prakesti
melakukan hal itu. Bukan apa-apa, karena dia yakin Prakesti seorang bawahan yang
amat setia. Akan tetapi dia cukup terkejut ketika beberapa
orang punggawanya maju menghadap dan mencerita-
kan semuanya. Keberanian beberapa orang punggawa
itu disebabkan karena datangnya sepasang suami istri itu.
"Punggawa! Kalian berbicara apa, hah"!" bentak Prabu Kamansura tidak suka.
Punggawa itu menunduk. "Maafkan hamba,
Paduka... sesungguhnya hal ini telah lama sekali ada di hati hamba. Namun hamba
tidak berani mengutara-kannya, karena masih memandang nama Panglima
Prakesti. Namun yang menjadi masalah sekarang, ham-
ba pun ternyata tidak bisa menutup mata atas perbuatan Panglima Prakesti yang se
makin lama semakin
semena-mena. Maafkan hamba, Paduka... hamba tidak tahan
melihat penderitaan rakyat atas ulah yang telah dilakukan oleh Panglima
Prakesti!."
Prabu Kamansura tercenung. Benarkah apa
yang telah dikatakan oleh orang-orang yang duduk
bersila di hadapannya" Benarkah perlakuan Panglima Prakesti yang amat
dibanggakan seperti itu"
Hatinya pun perlahan-lahan mulai goyah dan
ingin mencari tahu kebenaran itu. Apalagi isak tangis wanita di pangkuan laki-
laki yang berwajah sendu itu pun cukup menggoyahkan perasaannya. Menggelisahkan.
Meskipun di dasar hatinya masih ada rasa se-
dikit tidak percaya dengan omongan yang didengarnya.
"Baiklah... aku akan menyelidiki kebenaran-
nya...." katanya kemudian dengan desahan nafas yang terdengar amat berat itu,
karena dia masih tetap tidak percaya atas ulah Panglima Prakesti. Benarkah
demikian" Wanita yang terisak itu tiba-tiba mengangkat kepalanya. "Paduka...
tolong hamba, Paduka... tolong hamba... kembalikan putri hamba...
kembalikan...."
"Tenanglah, Nyai...."
"Huhuhu.... Paduka... tolong hamba Paduka...
tolonglah hamba...."
Hati Prabu Kamansura pun mulai goyah. Saat
itu juga dia memerintahkan orang-orangnya untuk
menyelidiki sepak terjang Panglima Prakesti di luar.
Prabu Kamansura tidak perlu lagi menunggu terlalu
lama karena orang-orangnya pun segera melaporkan
hal yang sama. Satu hari satu malam Sang Prabu Kamansura
berusaha menganalisa semuanya. Dan akhirnya dia
memutuskan, agar jawaban bisa lebih jelas, dari mulut Panglima Prakesti sendiri.
Dipanggilnya Panglima Prakesti untuk segera
dihadapkan padanya. Dan Panglima itu tidak bisa
mengelak lagi dari apa yang diutarakan prabu dengan suara penuh kekecewaan dan
berat yang amat sangat.
Prakesti hanya menundukkan kepala, bagaikan
orang yang menyesali sikap perbuatannya. Namun di
hatinya geram bukan main. Sepasang matanya menyi-
pit dengan sinar yang mengerikan. Nafasnya tertahan.
Hatinya memanas.
Dan perlahan-lahan dendam mulai bersemi di
hatinya. Dendam yang harus di balaskannya. Dia me-
mang tidak bisa membantah apa yang dituduhkan oleh sang Prabu. Namun yang
membuatnya geram, karena
ada yang mengadukan sepak terjangnya. Keparat!
Hhh! Dia tidak akan menerima. Dan dia tidak
hanya akan membalas kepada orang yang telah lan-
cang mengadu, tetapi juga kepada Keraton Widung!!
Sementara Prabu Kamansura meskipun dalam
keadaan geram yang luar biasa sekali hanya duduk
terkulai lemas di singgasananya. Dia betul-betul amat kecewa dengan Prakesti,
Panglima yang selama ini dibanggakannya ternyata tak lebih dari seekor ular
berbisa yang ganas menggigit.
Suaranya pelan saat berkata, "Prakesti... aku amat kecewa terhadapmu... sekarang
kau tinggal pilih kebijaksanaan yang kuberikan ini...."
"Apa, Paduka?" kata Panglima Prakesti sambil mengangkat kepalanya. Suaranya
terdengar angkuh
sekali. Hatinya membara panas dan kegeraman yang
berlipat ganda. Kesombongannya justru makin me-
ningkat, mengalahkan alam sadarnya untuk menyesali apa yang telah dilakukannya.
"Kau tinggalkan keraton ini dengan segala
pangkat dan derajat mu, ataukah kau meninggalkan
perbuatan yang selama ini telah kau lakukan?"
Dasar licik, dendam dan penuh emosi, tanpa
berkata dan hanya menganggukkan kepala, Panglima
Prakesti bangkit. Lalu beranjak meninggalkan tempat itu dengan penuh kesombongan
dan rasa percaya diri.
Kepalanya terangkat, langkahnya kaku dan te-
gap namun mencerminkan kesombongan yang luar bi-
asa. Prabu Kamansura hanya mendesah panjang.
Padahal sungguh betapa kecewanya dia dengan sikap
yang diperlihatkan oleh Panglima Prakesti.
Kali ini hatinya semakin kecewa melihat sikap
tak acuhnya Prakesti.
Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan
dia berharap Panglima Prakesti segera pergi dari keraton karena sesungguhnya dia
menginginkan wilayah
keratonnya aman, sentosa bahkan terkejut luar biasa justru Panglima Prakesti
sendiri yang membuat ulah dan teror! Luar biasa! Dia tidak pernah menyangka hal
itu. Sementara Panglima Prakesti segera menge-
maskan barang-barangnya, dengan dada membara pe-
nuh dendam, lalu pergi dengan kudanya meninggalkan keraton.
Dia tidak terima semua ini. Dia harus menun-
tut balas. Maka dipacunya kudanya tanpa tujuan yang pasti dengan kemarahan yang
semakin menggelora,
dengan niat untuk membalas semua perlakukan Kera-
ton Widung terhadapnya.
Karena tidak tahu tujuan, maka dia memacu
kudanya asal saja. Yang diinginkan hanya meninggal-
kan wilayah Keraton Widung. Melupakan semuanya
dan kala datang kembali siap dengan segala dendam
yang ada. Pada suatu malam, dia singgah di sebuah desa.
Di sebuah kedai yang cukup ramai barulah dia mengisi perutnya. Di sana pula dia
bertemu dengan seorang
kakek tua. Basa basi perkenalan pun terjadi. Memang da-
sarnya Prakesti bisa mengambil hati orang dan pandai berbicara, maka percakapan
itu pun segera terjadi dengan segera.
Dari percakapan yang terjadi, dia menangkap
ada satu hal yang amat menarik perhatiannya. Perhatiannya pun kini semakin
besar. "Hutan larangan, Orang tua?"
"Benar, Prakesti.... Hutan Larangan telah lama dibicarakan orang."
"Ada apakah dengan Hutan Larangan itu,
Orang tua?"
"Konon kabarnya di Hutan Larangan ada pe-
nunggunya yang bisa mengabulkan segala permintaan
siapa saja."
"Benarkah, Orang tua?"
"Kebenaran itu aku belum mengetahuinya. Na-
mun bila kau berminat, kau bisa datang ke sana....
Aku pun tidak tahu kepastiannya apakah memang be-
nar bisa mengabulkan permintaan kita ataukah tidak."
Karena dendam yang terus makin berkobar,
tentu saja Prakesti tidak perlu berpikir dua kali. Dia langsung mengiyakan
dengan nada suara yang pasti.
"Aku sungguh berminat dengan hal itu, Orang
tua...." "Sungguh?"
"Ya. Apakah ada sesuatu yang berbahaya,
Orang tua?"
"Aku tidak mengetahui secara pasti. Namun
konon kabarnya pula, kau harus berhati-hati di sana.
Karena banyak jebakan yang dipasang secara tersembunyi...."
"Bagaimana cara mengatasinya?"
"Aku tidak tahu tentang itu. Aku juga tidak ta-hu jebakan apa yang ada di sana.
Bila kau memang
berminat, kau bisa mencari tahu sendiri hal itu...."
"Baiklah... biar aku cari sendiri hal itu. Beritahukan arah mana yang harus
kutempuh?"
Lalu orang tua itu pun menceritakan arah yang
harus dituju Prakesti. Maka dengan penuh semangat
dan dendam yang semakin membara, langsung di-
arahkannya kudanya saat itu juga ke Hutan Larangan.
"Orang-orang keraton bangsat... kalian akan
merasakan segala akibatnya nanti!!"
Semakin kencang kudanya dipacu.
* * * 2 Hutan Larangan adalah sebuah hutan yang


Pendekar Gagak Rimang 8 Banjir Darah Di Keraton Widung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

amat menyeramkan sekali. Suasananya cukup mence-
kam. Geresek dedaunan yang dihembus angin bagai-
kan bisikan para iblis yang sedang bercengkrama. Hati Prakesti menjadi sedikit
ragu setelah menyaksikan hal itu. Benarkah ini tempatnya" Namun dengan ciri dan
tanda yang dijelaskan orang tua yang ditemuinya, tidak salah lagi. Memang inilah
tempat yang dicarinya.
Sungguh menyeramkan sekali.
Lalu dia pun turun dari kudanya dan menam-
batkannya di sebuah dahan pohon. Dia pun bergerak
maju dengan hati yang sedikit berdebar.
Langkahnya gagah namun kaku. Dia merasa-
kan hawa yang mencekam menerpanya. Pepohonan
yang tinggi bagaikan makhluk-makhluk raksasa yang
siap menerkamnya.
Namun hatinya telah bulat untuk mencari pe-
nunggu Hutan Larangan ini.
Benar-benar sebuah Hutan Larangan yang
mengerikan, atau lebih tepat Hutan Kematian. Karena barang siapa yang berani da-
tang ke sana, maka hanya kematian belaka yang akan diterimanya. Dan larangan itu
tertuju pada siapa saja. Tidak terkecuali dirinya.
Dibawanya langkahnya menyelusuri hutan
yang nampak susah sekali untuk dijangkau, karena
cahaya matahari tidak bisa masuk menembus karena
terhalang oleh pepohonan yang amat tinggi dan jalan setapak yang tidak tentu
arah. Karena pepohonan yang tumbuh bagaikan tidak teratur.
Agaknya hutan itu memang tidak pernah di-
jangkau orang. Namun tekadnya sudah bulat untuk ke sana. Hawa dingin dan suasana
yang mencekam menyambut kedatangannya begitu dia tiba di tengah-
tengah hutan. Celingukan dia sebentar sementara suara bina-
tang hutan bagaikan mengusik dan tidak menyukai
kedatangannya. Kembali dibawanya langkahnya perlahan-
lahan. Walaupun samar dan sedikit tidak percaya dilihatnya di ujung sana ada
sebuah gubuk yang jelek sekali. Gubuk itu kelihatan menyeramkan. Namun laki-
laki yang telah mantap dengan tekadnya itu terus melangkahkan kakinya.
Dilihatnya pula di sekitar gubuk itu banyak
terdapat tulang belulang. Bahkan ada satu sosok
mayat yang hancur dan belatung-belatung yang ribuan jumlahnya tengah asyik
menggerogotinya.
Pemandangan yang mendebarkan.
Sejenak Prakesti bergidik ngeri menyaksikan
hal itu. Bagaimana tidak, karena pemandangan itu
amat menakutkan sekali. Dia jadi penasaran untuk
mengetahui apa yang sesungguhnya akan terjadi nan-
ti" Kembali diayunkan langkahnya.
Beberapa meter dari gubuk itu, mendadak te-
linganya mendengar desiran angin yang menyambar
dengan cepat ke arahnya. Seketika laki-laki itu bersalto ke samping dengan
cepat. "Hiaaaatt...!!"
"Wuuuttt...! Wuuuuuuttt...!!"
Dua buah tombak yang letaknya tersembunyi
tadi melesat tidak mengenai sasaran. Dan menancap
pada sebatang pohon besar yang berdiri di dekat gubuk itu. Belum lagi Prakesti
bisa bernafas dengan lega, mendadak didengarnya kembali desiran angin yang
bertambah kuat. Kali ini bagaikan seribu lebah yang datang siap menyengat.
Memang tidak sia-sia Prakesti mendapatkan
bintang Panglima atas keperkasaannya.
Dengan gerakan yang amat sigap sekali dia ber-
salto ke sana ke mari, karena penglihatannya menangkap kilatan sebuah benda
kecil berbentuk jarum.
Jarum berbisa yang ganas dan amat beracun
itu pun gagal mengenai sasarannya.
Prakesti semakin waspada, karena dia semakin
yakin bahaya inilah yang akan menggagalkannya un-
tuk bertemu dengan Penunggu Hutan Larangan.
Maka dipasang mata, telinga dan segenap inde-
ranya untuk mengetahui sesuatu yang peka.
Kembali mendadak muncul sebuah kabut hi-
tam yang mengandung hawa beracun bertebaran ke
arahnya. Sejenak laki-laki itu terkejut lalu dengan cepat
menarik nafas, dan menahannya sekuat tenaga semen-
tara kedua tangannya bergerak ke muka, seketika terasa ada angin yang keluar dan
mengibas ke arah kabut hitam itu.
Namun angin yang keluar itu ternyata tidak
mampu mengusir gumpalan kabut yang terus mendera
ke arahnya. Prakesti menjadi kalang kabut.
Nafasnya sudah sesak sekali.
Kekuatirannya mulai muncul, belum lagi tena-
ganya yang terasa amat lelah terkuras dan keringat pun mulai bercucuran di
sekujur tubuhnya.
Namun dia terus berusaha untuk mengusir ka-
but itu. Ditahannya nafasnya di perut, diolah dan dike-luarkannya kembali
bersama hawa murni yang menga-
lir. Kembali pula dia menggerakkan tangannya
dengan sikap mendorong. Dan perlahan-lahan kabut
hitam itu menguak, menyebar dan menghilang.
Meskipun demikian, kewaspadaan Prakesti ti-
dak menghilang. Dia justru semakin waspada. Nafas-
nya dihembuskan karena terasa sudah amat sesak se-
kali. Cukup menyiksanya sedemikian rupa. Mau pecah rasanya.
Semua indera yang dimilikinya dipasang untuk
mengetahui keadaan sekelilingnya.
Tiba-tiba terdengar suara terkekeh yang menye-
ramkan, menggema ke seluruh hutan itu. Kepala Pra-
kesti berputar dengan waspada mencari asal suara itu.
Namun dia tidak bisa mengetahui yang pasti,
karena suara itu bisa berpindah-pindah tempat.
"He-he-he... laki-laki berikat kepala merah...
mau apa kau ke sini, hah"!"
Suara itu keras, dingin dan menyeramkan.
Mendengar suara itu Prakesti mendesah sedi-
kit. Bahaya apa lagi yang kini tengah mengancamnya.
"He-he-he... kau tidak perlu takut, laki-laki berikat kepala merah! Aku muncul
dengan senang hati
menyambut kedatanganmu itu... he-he-he...."
Kali ini mendadak saja Prakesti menjatuhkan
tubuhnya bagaikan menjura. Meskipun dia masih be-
lum mengerti apa yang akan terjadi kemudian.
Namun mendengar kata-kata tadi, dia bagaikan
dihadapkan oleh satu kenyataan, bahwa kedatangan-
nya disambut oleh Penunggu Hutan Larangan.
"Eyang... aku datang menghadap pada mu...."
"He-he-he... bagus, bagus...." "Terima kasih, Eyang...." "Ada keperluan apa kau
datang menghadap?" "Betul, Eyang... aku memang sengaja datang menghadap padamu,
Eyang...."
"Katakanlah... dengan suka rela aku menyam-
butnya...."
"Aku butuh pertolonganmu, Eyang...."
"Pertolongan apa?"
"Ada masalah rumit yang mengganggu pikiran-
ku... dan aku tidak kuasa menghadapinya sendiri...."
"Katakanlah... kau telah lulus menghadapi
ujian yang telah kulakukan! Banyak yang telah datang ke mari untuk meminta
bantuanku, namun banyak
pula yang mati karena tidak lulus menghadapi rintangan dari Kabut Beracun...
sementara kau telah lulus dengan selamat.
Kau bisa melihat betapa banyaknya tulang be-
lulang manusia-manusia bodoh yang datang dengan
kesombongannya. Hhh! Aku tidak pernah menyukai
manusia-manusia bodoh seperti itu! Biarlah mereka
mampus! Kaulah satu-satu yang berhasil lulus dari ujian
yang telah kuberikan. Hhh! Lima belas tahun aku
menjadi penunggu Hutan Larangan, baru kali ini aku mendapatkan seorang manusia
yang hebat dan cerdik.
Nah, katakanlah apa yang kau inginkan...."
Wajah Prakesti berbinar gembira. Kini dia su-
dah tidak tegang dan takut lagi.
"Baiklah, Eyang... sebelumnya aku mengu-
capkan terima kasih, Eyang.... Sebelumnya, aku adalah seorang Panglima di
Keraton Widung, namun telah disingkirkan.
Hal ini menjadikan aku mendendam Eyang dan
aku tidak akan bisa hidup tenang bila dendam ini belum kubalas. Sampai kapan pun
Eyang, karena ini
adalah menyangkut harga diriku yang paling dalam...."
"Lalu maksudmu?"
"Aku ingin membalas dendam pada mereka,
Eyang... agar mereka tahu kalau aku tidak bisa di-
mainkan begitu saja. Aku tidak puas, Eyang...."
"He-he-he... jadi itu masalah yang sedang
mengganggu pikiranmu?"
"Benar, Eyang.... Bantulah aku membalaskan
semua dendam ini...."
"He-he-he... soal itu gampang sekali, gampang sekali... tidak jadi soal
buatku...."
"Terima kasih, Eyang...."
"Karena kau telah lulus dari ujian yang kula-
kukan, maka secara otomatis aku akan membantu-
mu... aku menyukaimu.... Nah, siapakah namamu...."
"Namaku Prakesti, Eyang...."
"Nah, dengarlah Prakesti... dengan mudahnya
pula kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan
dan membalas semua dendam yang mengganggu hi-
dupmu...."
"Terima kasih, Eyang...."
"Majulah lagi, lebih dekat dengan istanaku yang jelek ini...." Kali ini suara
itu terdengar dari gubuk yang makin menyeramkan.
Perlahan Prakesti berdiri dari berlututnya, lalu
dengan sikap yakin, dia melangkah ke gubuk itu.
"He-he-he... bagus, bagus... kau akan menjadi pengabdi ku yang setia....
Berlututlah, Prakesti!!"
Kembali Prakesti berlutut. Dendam di hatinya
semakin membara pada Keraton Widung.
"Bagus! Pejamkan matamu sekarang!"
Dia pun memejamkan matanya namun hatinya
bergemuruh hebat dan kuatir kejadian apa yang akan terjadi. "He-he-he... tak
lama lagi kau akan menjadi penguasa tunggal di muka bumi ini.... Kau suka,
bukan?" "Benar, Eyang... dan aku akan lebih suka lagi bila Keraton Widung telah
rata dengan tanah...."
"He-he-he... tak lama lagi kau bahkan akan
menguasai semuanya...."
"Terima kasih, Eyang...."
"Sekarang, konsentrasikan pikiranmu pada su-
atu hal yang amat kosong sekali, kosongkan pikiran-mu! Jangan ada satu pikiran
pun yang akan meng-
ganggu konsentrasi mu ini. Lakukanlah...."
"Baik, Eyang...." Mata itu semakin rapat terpejam. "Memang, telah lama aku
menunggu saat yang tepat untuk menitis kepada manusia. Sekarang aku tidak akan
bertindak tanggung lagi.
Dan agaknya engkaulah yang menjadi titisan
ku.... Bersiaplah, aku akan menitis padamu.
Kita bersatu untuk membuat onar di muka
bumi ini dan memporak-porandakan siapa pun juga
yang berani mengganggu kerja kita... Ha-ha-ha...!!"
Prakesti pun melakukan apa yang diisyaratkan
oleh Penunggu Hutan Larangan, meskipun dia amat
penasaran sekali hendak melihat seperti apa wujud
Penunggu Hutan Larangan ini.
Akan tetapi pikiran itu pun sekarang menguap.
Yang penting baginya, dia bisa membalaskan dendam
pada Keraton Widung. Pada orang-orang yang telah
menghinanya. Dia pun berkonsentrasi penuh. Perlahan-lahan
dirasakannya sesuatu memasuki tubuhnya melalui
ubun-ubunnya, dirasakan pula ada sesuatu yang
mengalir dalam darahnya.
Tubuhnya sedikit bergetar kala dia merasakan
hal itu menggelora.
Dan dirasakannya getaran panas namun aneh
di sekujur tubuhnya. Semakin lama semakin panas.
Tubuhnya bergetar hebat, berguncang sementara ali-
ran darahnya dirasakan semakin kuat dan cepat.
Jantungnya berpacu lima kali cepat dari semu-
la. Menggetar ke sekujur tubuhnya.
Hal itu berlangsung cukup lama. Keringat di
tubuhnya terus mengalir dan mengalir kian deras. Perlahan-lahan gelombang
tubuhnya yang bergerak ber-
henti. Tak lama kemudian dia membuka matanya,
dan dirasakannya tubuhnya lebih bergairah dan rin-
gan. Sorot matanya dirasakan lebih tajam dari semula.
Hatinya terasa lega karena apa yang diingin-
kannya telah berhasil.
Penunggu Hutan Larangan telah menitis di tu-
buhnya, menjadikannya semakin perkasa.
Dia merasa gembira karena apa yang menjadi
tujuannya akan benar-benar terjadi.
Mendadak dia menengadahkan kepalanya ke
langit yang kelam. Karena hari telah datang menjadi malam. Suara binatang malam
kian ramai terdengar,
menjadikan hutan larangan itu bertambah mengeri-
kan. Namun dia tidak kuatir lagi dengan hal itu, tak ada lagi yang akan di
takutkannya karena dia merasa dirinya telah menjadi amat perkasa.
Perlahan dia jatuh terduduk dengan kedua lu-
tut yang tertekuk. Kedua tangannya di angkat ke atas, lalu terdengar tawanya
terbahak-bahak dengan kerasnya. Suaranya menggema ke pelosok hutan, menga-
lahkan suara binatang malam yang berlomba seakan
unjuk gigi. "Ha-ha-ha.... ya, ya... akulah yang akan men-
guasai rimba persilatan ini!
Manusia-manusia busuk, kalian telah membu-
atku malu terhadap diriku sendiri! Aku tak akan pernah memaafkan apa yang telah
kalian perbuat terha-
dapku! Tak akan pernah!
Sampai kapan pun satu persatu kalian akan


Pendekar Gagak Rimang 8 Banjir Darah Di Keraton Widung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kucari dan kubunuh!!"
Masih tertawa keras penuh kemenangan yang
luar biasa, Prakesti menjatuhkan kepalanya ke tanah.
Menyembah tiga kali ke arah gubuk itu. Lalu
dia pun kembali keluar dari Hutan Larangan.
Gema tawanya masih terdengar keras.
"Lihat nanti kalian, manusia-manusia busuk!
Kalian akan merasakan akibatnya dari yang akan ku-
lakukan!!"
* * * 3 Dua bulan setelah pengusiran Panglima Prakes-
ti dari Keraton Widung.
Desa Kaung adalah desa yang letaknya paling
dekat dari Keraton Widung. Keraton Widung memba-
wahi tiga puluh buah desa yang menjadikan batas wi-layahnya.
Desa Kaung dikenal sebagai desa yang paling
dekat hubungannya dengan Keraton Widung, karena
secara tidak langsung dengan kedudukannya yang ti-
dak jauh dari keraton menjadikan orang-orangnya
amat dekat. Malam ini langit di awan nampak kelam. Bulan
tertutup oleh awan. Suasana betapa gulita. Belum lagi udara yang berhembus
dingin seakan mengisyaratkan
akan terjadi sesuatu. Hal ini pun menyelimuti suasana Desa Kaling yang sunyi
senyap bagaikan mati, seperti tak ada penghuninya. Bagaikan desa mati.
Padahal desa itu adalah sebuah desa yang
makmur dan ramai bila siang hari. Juga biasanya desa itu pada malam hari selalu
ramai. Namun entah mengapa malam ini keadaan desa itu menyeramkan.
Sunyi. Hening bagaikan mati.
Hanya suara binatang malam yang terdengar
ramai bagaikan sedang unjuk diri.
Mereka bergembira menikmati keheningan ma-
lam ini yang dapat mereka manfaatkan untuk mencari makan, bermain, bersenda
gurau maupun saling melepaskan hasrat birahinya. Karena bila siang hari, mereka
merasa terganggu sekali dengan kegiatan para
manusia. Langit di atas muram. Bulan pun hanya sepo-
tong, seakan malam ini sudah diisyaratkan akan terjadi sesuatu.
Dan keheningan itu semakin mencekam belaka,
semakin membuat para penduduk lebih suka menarik
selimut dan mendekap guling mereka erat-erat daripa-da keluar rumah
atau memikirkan hal-hal yang tidak-tidak. Atau
lebih suka saling melepaskan syahwat mereka pada
pasangan masing-masing di alam yang dingin seperti ini.
Bukankah ini lebih mengasyikkan" Daripada
memikirkan yang tidak-tidak. Dan ini hanya meng-
ganggu tidur mereka saja. Maka kadang dari bilik
bambu itu terdengar desahan nafas terengah-engah
disusul dengan erangan penuh kenikmatan.
Namun mendadak saja desa yang sunyi dengan
sinar bulan yang bersinar temaram itu tiba-tiba menjadi kacau balau.
Bermula dari terdengarnya tawa panjang yang
amat mengerikan sekali, menggema menebarkan hawa
kematian disusul dengan api yang berkobar di atap
beberapa rumah hingga membuat penghuninya harus
berlarian menyelamatkan diri.
Seketika desa yang sepi menghening itu beru-
bah total, bagaikan kegiatan siang hari.
Jeritan-jeritan keras terdengar.
"Api...! Api!!"
"Tolong....! Tolong...!"
"Cepat padamkan...!!"
"Gila! Dari mana datangnya api itu..."!"
"Tolong...! Tolong...!!"
Seruan ramai terdengar ditingkahi dengan ge-
rak cepat para penduduk yang membantu memadam-
kan api semakin membahana. Sementara angin ter-
hembus kencang.
Kerja cepat dan bantu membantu pun terjadi.
Mereka bergerak dengan cepat. Berantai memadamkan
api. Namun belum lagi api yang satu berhasil dipa-
damkan, belum lagi para penduduk dapat menarik na-
fas lega, mendadak saja api-api itu menyambar lagi rumah-rumah yang lain. Cepat,
karena angin yang
berhembus demikian kuat. Menebarkan api-api itu
membakar atap-atap rumah.
Keadaan semakin kacau balau saja.
Kepanikan semakin menjadi-jadi.
"Tolong...! Api...!!"
"Air! Air...!"
"Cepat padamkan...!!"
Kembali seruan-seruan ramai terdengar. Dan
yang paling menyayat hati, salah seorang penduduk
berlarian dari rumahnya dengan tubuh terbakar. Api dengan cepat menyambar tubuh
laki-laki itu. "Tolong...! Tolong...!!" serunya kepanasan dan berlarian ke sana ke mari. Para
penduduk berusaha
untuk memadamkan api di tubuh orang itu, namun
api lebih cepat menyambar dan membakarnya. Mem-
buat tubuh itu berlarian sementara api terus membakar dengan ganasnya.
Karena api yang semakin besar dan jasad yang
kepanasan, orang itu pun terhempas ke tanah dan terguling kepanasan di tanah
dengan lolongan yang amat panjang sekali.
"Aa-aaaakkkh...!! Tolong...! Tolong...!!"
Jeritan itu amat menyayat hati sekali.
Orang-orang hanya terpana sehingga mereka
lupa untuk menolong laki-laki.
Dan belum lagi mereka tersadar dari keterpa-
naan mereka, kembali dari rumah yang terbakar dan
puing yang ambruk itu terdengar jeritan yang amat
menyayat. Lalu disusul dengan sosok anak beranak yang
berlarian keluar dalam keadaan terbakar. Api bagaikan menjilat-jilat tubuh
keduanya. Rupanya mereka tadi tertidur sementara laki-
laki yang terbakar lebih dulu berupaya hendak mem-
bangunkan anak istrinya, namun api telah menyambar seluruh tubuhnya.
Anak beranak itu pun berlarian dengan api
yang berkobar menyala.
Jeritan mereka amat menyayat.
Kali ini para penduduk berusaha untuk meno-
longnya, namun gagal karena api telah membesar dan membakar tubuh anak beranak
itu. Bau hangus yang sangit pun menguar menu-
suk hidung. Para penduduk yang menyaksikan hanya bisa
mendesah dengan hati pilu. Beberapa kaum wanita
histeris melihatnya. Mereka tundukkan kepala dengan terisak. Api terus berkobar.
Hal ini membuat para penduduk menjadi cemas
dan lambat laun kecurigaan mereka pun muncul. Dari mana datangnya api itu" Tidak
seperti biasanya hal seperti ini terjadi.
Belum lagi keheranan mereka terjawab, men-
dadak saja melayang satu sosok tubuh dengan gera-
kan yang amat ringan sekali ke arah mereka.
Melenting dari satu tempat dengan gerakan
yang amat fantastik sekali. Diiringi dengan gema tawa yang amat keras, panjang
dan bertalu-talu.
* * * 4 Sosok itu tinggi kurus. Rambutnya yang pan-
jang terikat di keningnya secarik kain merah. Tubuh itu berdiri gagah berkacak
ping-gang. Dia adalah Prakesti, atau Panglima pengkhianat yang telah di titisi
oleh Penunggu Hutan Larangan.
Karena dendamnya yang telah membludak me-
luap, dia pun sudah melaksanakan aksinya.
Desa Kaung yang terdekat dengan Keraton Wi-
dung, makanya dia langsung membuat onar di sana.
Lalu terdengar suaranya terkekeh.
"He-he-he...! Jangan kaget, manusia-manusia
goblok! Manusia-manusia desa Kaung yang bodoh me-
lompong! Bila hendak cari-
mencari siapa yang telah berbuat seperti itu,
akulah orangnya!!" Suaranya nyaring dan terdengar cukup mengerikan.
Para penduduk desa pun tidak perlu memper-
hatikan lebih jelas siapa yang tengah berdiri di hadapan mereka, karena api yang
berkobar dapat meneran-gi suasana.
"Panglima Prakesti!!"
"Panglima pengkhianat!!"
"Dia rupanya yang membuat onar!!"
Seruan-seruan itu pun terdengar. Namun men-
dengar pengakuannya yang terus terang dengan nada
yang amat sombong sekali, membuat para penduduk
menjadi marah. "He-he-he... ya, aku adalah Panglima Prakesti yang datang untuk membalaskan
sakit hatiku!!"
"Keparat! Kurung dia!!"
"Tangkap!!"
Mereka dengan serempak segera mengepung
sosok Prakesti yang hanya terkekeh saja. Merasa lucu melihat keberanian orang-
orang itu yang menurutnya hanya suatu kesia-siaan belaka.
"He-he-he... kalian mau apa, hah"! Mau cari
mampus rupanya!!"
"Manusia busuk! Pengkhianat! Seharusnya kau
berpikir apa yang selama ini telah kau lakukan, hah"!"
"Perbuatanmu sungguh-sungguh keji!!"
"Keparat hina! Kematianlah yang tepat untuk-
mu!!" Seruan-seruan marah itu terdengar gegap gempita. Para penduduk mengambil
sikap siap menyerang.
Bahkan ada pula yang kembali dulu ke rumah untuk
membawa senjata. Mereka semakin geram mengetahui
siapa yang membuat ulah.
Namun semua itu hanya disambut dengan ke-
kehan belaka oleh Prakesti. Dia merasa misinya berhasil. Dengan cara seperti
ini, maka beritanya pun akan tersebar hingga ke Keraton Widung bahwa dia datang
untuk menuntut balas.
"He-he-he... tidak salah, kalian memang tidak salah! Kemunculanku ini memang
untuk membalas dendam! Dendam yang semakin hidup di hatiku terha-
dap Keraton Widung! Namun aku tidak akan membu-
nuh kalian bila kalian mau menuruti semua keinginan dan kata-kataku!"
"Keparat! Tak akan pernah kami mau mengiku-
ti apa keinginanmu, Pengkhianat busuk!"
"Aku pun tidak akan memaksa!"
"Sekali pun kau memaksa, kami tidak akan
pernah menurutinya!"
"Bagus, itu berarti kalian akan mendapatkan
akibatnya!!" "Anjing buduk! Bunuh dia!!"
Serentak orang-orang yang mengepung itu me-
nyerbu dengan gebrakan yang cepat dan suara yang
gegap gempita. Agaknya mereka tidak mengetahui ka-
lau Panglima pengkhianat itu kini sudah menjadi titisan dari Penunggu Hutan
Larangan. Kesaktiannya amat berlipat ganda.
Dia hanya mengibaskan tangan kanannya saja
sambil terkekeh-kekeh. Dan beberapa sosok tubuh
terpental ke belakang dengan kepala putus.
"Keparat!"
"Keji!"
"Cincang!!"
"Bunuh!!"
Namun lagi-lagi hal seperti itu terjadi. Bahkan
terdengar lima orang sekaligus menjerit dan ambruk dengan kepala buntung. Dan
sepasang mata mereka
mendelik pertanda mereka tidak rela untuk mati.
"Iblis!"
"Keparat!"
"Jangan takut, Saudara-saudara! Bunuh
dia...!!" Seruan-seruan itu terdengar amat bersemangat sekali. Dan kembali
dengan gigih dan gagah berani mereka menyerbu ke arah Prakesti yang hanya
tertawa karena merasa lucu melihat kenekatan mereka.
Dia amat senang sekali dengan perbuatannya.
Sepasang matanya bersinar bagaikan mata iblis.
Dia memang telah di rasuki iblis. Hatinya kini
dikendalikan oleh dendam yang amat sangat.
Kali ini berkelebatan senjata-senjata tajam di
tangan. Namun tanpa berpindah tempat dari posisinya, seakan menganggap enteng
belaka senjata-senjata
yang bergerak ke arahnya Prakesti terkekeh-kekeh.
Dan dengan gerakan yang amat cepat sekali,
tangannya bergerak.
"Wuuut...!! Plak.... Plakk...!!".
Beberapa buah senjata terlepas disusul dengan
gamparan beberapa kali. Rasa sakit yang amat luar biasa mereka rasakan kala
tamparan tangan itu mampir di pipi mereka.
Pikir mereka, rasa sakit itu akan segera meng-
hilang. Namun justru malah semakin menjadi-jadi.
Bahkan yang membuat mereka kaget, karena mereka
rasakan pusing yang amat luar biasa dan kepala yang amat berat.
Belum lagi secara pasti mereka menyadari apa
yang terjadi, tiba-tiba saja tubuh mereka limbung dan ambruk dengan meregang
nyawa tanpa mengerti dan
tak sempat menjerit.
Lalu muncrat darah dari tubuh mereka dengan
jantung yang menguak lebar keluar seperti mau lepas.
Pemandangan yang amat mengerikan sekali.
Justru orang-orang yang menyaksikan yang
menjerit ketakutan. Hingga mereka akhirnya menyada-ri dengan siapa mereka sedang
berhadapan. Bukan Prakesti yang dulu, yang hanya men-
gandalkan kekuatannya sebagai Panglima Keraton Wi-
dung, namun sosok iblis yang telah bersemayam di hatinya. "Bangsat!"
"Iblis...!! Kau manusia iblis...!!"
"He-he-he... bukankah sejak tadi sudah kuka-
takan, aku akan membunuh siapa saja yang mengha-


Pendekar Gagak Rimang 8 Banjir Darah Di Keraton Widung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langi niatku untuk membalas. Dan semua ini akan kulakukan sampai kapan pun juga!
Hingga Keraton Wi-
dung runtuh! Kalian lihatlah sendiri nanti, betapa semua desa yang berada di
wilayah Keraton Widung
akan ku bumi ratakan dengan tanah!!
Meskipun mereka menyadari betapa tingginya
ilmu manusia iblis ini, namun mereka tidak takut.
Bahkan mereka menjadi geram yang amat luar biasa
sekali. Bagi mereka, mati adalah sebuah kata yang
amat menyenangkan.
Mereka rela mati membela kebenaran, karena
mereka tidak ingin kezaliman yang disebarkan oleh
Panglima pengkhianat ini akan terus berlanjut.
Mereka semakin nekat menyerang.
Namun lagi-lagi semuanya itu hanyalah sia-sia
belaka saja, karena manusia itu amat tangguh dan
sakti. Hingga tak lama kemudian terlihatlah peman-
dangan yang amat mengerikan. Puluhan sosok tubuh
yang tak berdosa harus bergelimang tanah dengan
nyawa yang melayang.
Tanah telah bersimbah darah.
Kekejian telah melanda.
Sungguh mengerikan. Prakesti adalah manusia
yang diamuk dendam dan diliputi titisan iblis!!
Sosok tak dikenal itu terkekeh-kekeh. Terlihat
sekali kalau dia begitu amat senang dengan apa yang telah dilakukannya. Nyawa
telah dianggap murah.
Dendamnya makin berlipat ganda.
"He-he-he.., rasakan itu! Rasakan! Sudah kupe-ringatkan jangan sekali-sekali
berani menantangku!
He-he-he... tak akan pernah. kuberikan kesempatan
kalian untuk hidup!!"
Tiba-tiba dia menengadah menatap langit yang
pekat. Tawanya berkumandang.
Lalu terdengar seruannya yang keras. "Orang-
orang Keraton Widung, nasib kalian tidak akan lama lagi akan rata dengan bumi!!"
Suara itu menggema mengerikan.
Diiringi dengan kekehan yang amat kuat. Nyar-
ing. Tiba-tiba saja sosok itu berhenti tertawa. Dan sepasang matanya yang berada
di balik rambut panjang yang terikat secarik kain merah di keningnya mendengus.
Lalu, "Wuuuuuuuttt...!!" tubuhnya bergerak,
melayang dengan cepat menyambar dua orang anak
perawan yang langsung dilarikannya.
Sementara kedua anak perawan itu meronta-
ronta hendak membebaskan diri. Dan gerakan mereka
pun terhenti ketika dengan gerakan yang tak terlihat pula, sosok tubuh itu telah
menotoknya hingga mereka terdiam kaku.
Kekehannya terus berkumandang keras. Amat
keras. Sejak peristiwa itu menyusul kembali peristiwa-peristiwa yang mengerikan
di setiap desa yang masuk wilayah Keraton Widung. Desa-desa itu telah menjadi
simbahan darah yang amat deras. Dalam jangka waktu yang tidak lama, banyak desa-
desa yang habis dima-kan api dan mayat-mayat yang bergelimpangan.
Sosok-sosok yang tak berdosa pun bergeletakan
tanpa nyawa. Burung-burung pemakan bangkai ber-
terbangan ke sana ke mari siap menikmati hidangan
makan mereka. Semakin lama semakin berkumpul bu-
rung pemakan bangkai.
Dan mereka pun dengan bergembira ria me-
nikmati apa yang telah terhidang.
*** Hingga suatu hari tibalah di desa itu seorang
penunggang kuda yang langsung menghentikan laju
kudanya. Sosok yang menunggang kuda itu mengenakan
caping bambu yang menutupi hampir sebagian wajah-
nya. Di punggungnya terdapat sebilah golok yang ber-sarungkan batang kayu
berwarna kekuningan. Dia
memperhatikan sekelilingnya.
Di balik caping itu nampak kerutan pada ke-
ningnya. Heran melihat mayat-mayat yang bergelim-
pangan dengan api yang masih tersisa membakar ru-
mah-rumah di sana. Bau anyir darah dan sangitnya
mayat membusuk menguar.
"Oh, Tuhan... ada apa gerangan yang telah terjadi di desa ini?" desisnya pilu.
Lalu dia pun melompat dari punggung ku-
danya. Sosok bercaping yang tidak lain adalah Pandu atau Pendekar Gagak Rimang
melangkah melihati
mayat-mayat itu untuk menyaksikan lebih dekat lagi.
Dia menahan nafasnya agar bau busuk yang
menguar dari mayat-mayat itu tidak masuk ke hi-
dungnya. Dan mengibas-ngibaskan tangannya mengu-
sir burung-burung pemakan bangkai yang sedang
asyik menikmati hidangan mereka. Lalu berkepakan
terbang karena merasa keasyikan mereka terganggu.
Berterbangan di atas areal itu.
"Tuhan siapakah yang telah berbuat kekejian
seperti ini?" desisnya pilu.
Matanya seakan tidak percaya dengan kekejian
itu kala melihat beberapa tubuh tanpa kepala. Mayat-mayat itu sudah amat
membusuk, bahkan banyak be-
latung-belatung yang hinggap di beberapa sosok
mayat. Asyik menggerogotinya hingga nampak tulang
belulangnya. Dia juga melihat mayat-mayat anak perawan
yang mati dalam keadaan mengerikan.
Telanjang bulat, bertanda sebelum dibunuh
mereka diperkosa terlebih dahulu. Karena terlihat ada di antara para wanita itu
kemaluannya berdarah. Dan terlihat pula ada beberapa wanita yang puting payuda-
ranya hilang! Keji! Murid Eyang Ringkih Ireng dan Gunung Kidul
menggeleng-gelengkan kepalanya. Rasanya dia tak
percaya melihat kenyataan yang terjadi.
"Bangsat!!" tiba-tiba dia menggeram. Hatinya panas dan marahnya pun muncul.
"Hhh! Mungkin ada seorang atau beberapa orang kejam yang telah berbuat keji di
sini!! Tetapi siapakah dia" Mengapa kejam sekali?"
Kembali dia melangkahkan kaki, mengamati si-
sa-sisa api yang masih membakar beberapa puing.
Hatinya panas, sedih, dan geram melihat ke-
nyataan ini. Tak pernah diterimanya!!
Tiba-tiba Pandu mendesah, "Eyang... masih ba-
nyak rupanya keangkaramurkaan yang terjadi di dunia ini.... Maafkan aku,
Eyang... aku tidak bisa berpangku tangan saja melihat kenyataan yang menyedihkan
ini.... Aku akan mencari orang yang telah membuat onar ini, Eyang.... Berilah
restumu pada kami...."
Lalu kembali dia menaiki kudanya dan dipa-
cunya kudanya, sementara untuk saat ini dia tidak ta-hu harus ke mana mencari
keterangan. * * * 5 Pandu terus memacu kudanya. Wajahnya ma-
sih geram. Dan di benaknya terbayang sosok-sosok
mayat yang tak berdosa bergeletakan secara mengerikan. Betapa kejinya manusia
yang telah berbuat seperti itu! Sungguh biadab! Tak ubahnya bagaikan binatang
yang rakus dan tak mengenai perikemanusiaan!
Hatinya tidak pernah menerima kenyataan itu.
Dia tetap bertekad untuk mengetahui siapa yang telah
berbuat seperti itu. Sampai kapan pun dia akan men-carinya! Di sebuah tempat
yang cukup sepi, dia menghentikan kudanya di samping dia pun tidak tahu arah
mana yang harus dituju. Dia pun bermaksud beristi-rahat. Di tambatkannya kudanya
di sebuah pohon
yang rindang. Kerindangan yang temaram dengan uda-
ra yang sejuk membuatnya menjadi lapar.
Dibuka bekalnya yang tadi dibelinya di sebuah
desa. Tadi pun dia bertanya mengenai hal yang telah dilihatnya pada warga desa
di sana, namun mereka
semuanya mengaku tidak tahu.
Bahkan mereka terlihat keheranan, dengan apa
yang dikatakan oleh Pandu. Merasa tak ada gunanya
untuk bertanya lebih lanjut, maka dia pun langsung menggebrak kudanya setelah
membayar apa yang dibelinya. "Hmm... agaknya kejahatan itu belum sampai ke desa
ini," gumam Pandu.
Di bawah pohon yang rindang ini dia bermak-
sud hendak mengisi perutnya. Selera makannya sema-
kin timbul setelah melihat betapa nasi dan lauk yang dibelinya mengundang nafsu
makannya. Perutnya ber-keruyukan.
Akan tetapi belum sempat dia menikmati ma-
kannya, tiba-tiba pendengarannya yang tajam dan ter-latih mendengar suara
jeritan minta tolong.
Suara wanita yang ketakutan ditingkahi dengan
beberapa suara laki-laki yang terkekeh-kekeh.
Semula Pandu tidak menanggapi hal tersebut.
Namun setelah mendengar jeritan minta tolong yang
keras dan berkali-kali, Pandu mengurungkan makan-
nya, lalu dia menggebrak kudanya mencari sumber
suara itu. Di tepi sebuah sungai, dilihatnya sosok tubuh
mungil milik seorang gadis desa yang manis sedang mundur ketakutan. Di
hadapannya melangkah secara
perlahan-lahan mendekatinya tiga sosok laki-laki dengan wajah yang menyeramkan
dengan seringaian buas
dan kekehan yang panjang.
Salah seorang laki-laki itu berkata, "He-he-he...
kau tak akan bisa melarikan diri, Manis... ayo, turuti-lah kata-kataku...
bersikaplah yang manis... atau kau ingin merasakan akibatnya nanti...."
"Ya, ya... bila tidak, desa tempat kau tinggal akan kami ratakan dengan bumi,
seperti apa yang telah kami lakukan selama ini...."
Pandu yang mendengar dari tempatnya terce-
kat. Merekalah yang telah membuat onar"
Dia jadi bermaksud hendak mendengarnya le-
bih lanjut ketimbang untuk langsung menolong gadis itu. Didengarnya lagi suara
salah seorang berkata,
"Bukankah kau lebih baik menuruti permin-
taan kami.... Daripada keluargamu dan orang-orang di desamu akan mampus
bergelimang darah...."
Wajah gadis yang ketakutan itu semakin pucat.
Tak ubahnya mayat belaka. Gadis yang bernama Suri
itu mundur terus, kakinya semakin masuk ke sungai.
"Tidak, tidak... jangan, jangan ganggu aku...!
Pergi, pergi kalian!!"
Ketiga laki-laki dengan wajah menyeramkan itu
terkekeh-kekeh. Wajah Suri makin pucat. Matanya
makin terbelalak dan pias. Dia sungguh tidak me-
nyangka kalau akan menghadapi hal seperti ini.
Sungai ini memang biasa dijadikannya sebagai
tempat mencuci, maupun mandi. Selama ini tidak ada gangguan apa pun. Dia bahkan
tidak menyangka kalau orang-orang ini muncul karena tidak pernah terjadi apa-
apa. Semula dia hendak mandi, namun urung kala
didengarnya suara bergeresek di belakangnya dan ketika dia menolehkan kepalanya
dilihatnya tiga sosok menyeramkan secara perlahan-lahan mendekat ke
arahnya sambil terkekeh-kekeh.
Kontan dia mengetatkan kainnya dengan wajah
ketakutan dan pias. Hatinya berdebar karena dia yakin kalau ketiga laki-laki itu
bermaksud jahat.
Benar saja dugaannya, karena ketiga laki-laki
itu mendekatinya dan berkata meminta dilayaninya.
Ngeri Suri mendengar permintaan yang bernada halus namun di balik semua itu
terdengar bagaikan anca-man belaka.
Salah seorang dari ketiga itu perutnya besar,
terguncang-guncang hebat dengan kekehan yang amat
kuat sementara sepasang matanya yang melotot lebar itu seakan siap untuk
menerkam. Terbuka bagaikan
ingin melompat keluar.
Sementara kedua temannya menyeringai den-
gan tatapan buas bak seekor srigala melihat mangsa di hadapannya yang ciut
ketakutan. Wajah buas dengan
mata yang siap menerkam itu membuat Suri rasanya
mati berdiri. "He-he-he... sudah kukatakan, Manis... kau tak akan bisa melarikan diri dari
tangan ku...." terkekeh laki-laki yang bernama Parango. "Jangan kau anggap aku
bodoh, Manis... he-he-he... ketahuilah... aku bukanlah laki-laki goblok yang
akan melepaskan mangsa yang sudah ada di tangan! Bukan begitu, teman-teman"
Apakah kita akan melepaskan kelinci bulat
dan mengasyikkan yang sudah ada di mata kita ini?"
Kedua temannya menyeringai lalu terkekeh-
kekeh. "Tentu, Kakang... ayam bulat ini membuat sele-raku semakin memuncak
saja." "Aku pun tidak tahan untuk segera mengga-
rapnya, Kakang...."
"He-he-he... kau dengar itu, Manis" Mereka saja sudah tidak sabar menunggu,
apalagi aku"! Nah, ber-siaplah...."
Pucat pasi wajah Suri. Dia terus mundur ke be-
lakang dan berkali-kali terjatuh karena semakin lama sungai itu semakin dalam.
"Tolong... tolong aku, tolong...!!" seru gadis itu celingukan ketakutan.
Bagaikan anak ayam kehilangan induk dia ce-
lingukan, mencari jalan untuk melarikan diri.
Namun semuanya sudah terbatas. Di sekeli-
lingnya hanya ada air dan air. Sungai telah jadi batas yang menggelisahkan.
Lainnya pohon-pohon besar
yang bagaikan orang tengah berusaha mendekatinya.
Menyadari kenyataan itu, dia hanya bisa men-
desah panjang. Sedih. Kuatir dan bingung. Sebagai
akhirnya gadis itu segugukan mengisak.
"Tolong.... tolong jangan ganggu aku.... Jangan ganggu aku orang jahat...."
"He-he-he... aku tak pernah mengganggu mu,
Manis...." seru Parango sambil terus mendekati Suri masuk ke sungai, sementara
kedua temannya hanya
menyeringai. Dan dengan gerakan yang amat cepat sekali Pa-
rango bersalto dengan ringannya dan "hup!" dia bersalto ke belakang dua kali.
Kala dia hinggap di tanah, di punggungnya telah tersandar tubuh Suri.
Karena gadis itu terendam ke air sehingga pa-
kaiannya basah dan mencetak lekuk tubuhnya yang
menawan. Semakin membuat mereka bertambah ber-
nafsu. Gadis itu meronta-ronta minta dilepaskan sementara Parango hanya
terkekeh-kekeh belaka.
"He-he-he... maafkan aku, teman-teman... ter-
paksa aku yang pertama kali membelah durian ini...


Pendekar Gagak Rimang 8 Banjir Darah Di Keraton Widung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

he-he-he...."
"Sisanya pun kami suka, Kakang... kami tak
akan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang ada...."
Sebelum mereka tiba di sini dan berniat hendak
memperkosa Suri, Krona telah menemukan sebuah
gubuk yang tak jauh dari sana.
Dia pun segera mengemukakannya.
"Tempat itu lumayan, Kakang.... Dapat dijadi-
kannya sebagai tempat kita berpesta," katanya sambil terkekeh-kekeh.
Parango pun terkekeh, "Ingat, kalian tak ada
yang boleh mengikutiku ke sana. Lebih baik kalian
tunggu di sini, dan bila sudah selesai aku akan me-manggil kalian...."
"Soal itu beres, Kakang...."
Parango pun segera membawa Suri ke gubuk
yang disebutkan Krona.
Sementara Suri hanya pasrah dengan kea-
daannya. Suasana di sekitar sana sunyi. Tak terlihat pun seorang manusia kecuali
mereka. Sekuat tenaga
meronta-ronta sambil menggebuk-gebuk tubuh Paran-
go. Namun semuanya sia-sia belaka, bahkan sam-
bil terkekeh-kekeh panjang Parango merasakan suatu kenikmatan kala kedua tangan
mungil itu menyentuh-nyentuh tubuhnya.
Nikmat. Bagaikan dipijit.
Tak lama kemudian Parango sudah menemu-
kan gubuk yang dikatakan Krona tadi. Lalu sambil
menyeringai dia menurunkan tubuh gadis itu di gubuk yang sepi dan langsung
menciuminya penuh nafsu.
Dalam ketakutan yang amat mencekam, Suri
mencoba terus berusaha memberontak, namun justru
berontakannya malah menambah nafsu Parango se-
makin kuat dan menjadi-jadi. Semakin membuatnya
tidak sabar untuk segera memangsa korbannya.
"He-he-he... mengapa harus berontak, Manis....
Kaulah istriku yang tersayang...." Lalu dengan gerakan yang cepat tangannya
sudah menotok urat kaku di
leher Suri sehingga gadis itu terdiam. Hanya matanya saja yang melotot,
menampakkan kekecewaan, kesedihan, kemarahan dan ketakutan yang menggumpal
menjadi satu. Parango terkekeh lagi dengan seringaian yang tak lepas dari
bibirnya, "He-he-he... sebenarnya aku tidak suka menikmati tubuhmu dalam keadaan
tertotok ini, namun apa daya... terpaksa semua kulakukan...."
Lalu dengan leluasa dia menciumi tubuh gadis
itu dengan penuh gairah. Suri hanya memejamkan
matanya dan pasrah saat laki-laki menyeramkan itu
mulai melucuti pakaiannya satu persatu sambil terkekeh-kekeh.
Dengusan nafasnya mirip srigala kelaparan
buas, dan siap menyiangi mangsanya.
Kengerian seakan memuncak dialami gadis itu.
Batinnya menjerit. Hatinya berontak. Jiwanya mencari pegangan. Tragedi ini amat
mencekam. Namun pada saat yang kritis bagi kehormatan
gadis itu, mendadak saja dia mendengar suara jeritan keras. Lalu disusul dengan
ambruknya tubuh Parango di atas tubuhnya.
Gadis itu yang sudah pasrah dengan apa yang
akan terjadi, menjerit keras. Kaget.
Lebih kaget lagi ketika di bagian dadanya ter-
tetes cairan berwarna merah. Darah. Menjerit gugup gadis itu.
"Aaaaaakkkhhhhhkh! Tolong...!!" Lalu dia men-
dorong tubuh Parango yang gemuk itu pindah dari tubuhnya. "Tolong...!
Tolong...!"
Sambil menjerit-jerit dia menggerak-gerakkan
kakinya menendang dan menggeser tubuh Parango
dan merapikan pakaiannya. Gadis itu meskipun gembira namun juga heran, siapa
yang telah membunuh
laki-laki gemuk itu. Serta ketakutan.
Namun dia tidak perduli siapa pun orangnya
yang telah menolongnya, yang penting dia sudah terbebas dari orang ini. Jahanam
yang hampir saja
menghancurkan masa depannya. Hanya satu yang di-
inginkannya sekarang, lari sejauh-jauhnya!
Akan tetapi begitu dia tiba di luar gubuk, la-
rinya tertahan, karena di hadapannya telah berdiri dua orang laki-laki teman
Parango tadi! * * * 6 Krona dan kawannya Mawang semula hanya
terkekeh saja setelah Parango membawa pergi Suri.
Namun keduanya sungguh amat terkejut ketika men-
dengar jeritan keras bagaikan kematian. Jeritan" Ya, jeritan! Serentak keduanya
segera bergerak karena jeritan itu jelas milik Parango.
Benar saja, karena keduanya melihat gadis itu
telah berdiri di ambang pintu dan siap melarikan diri.
Krona segera menangkap gadis itu yang meski-
pun meronta-ronta namun sia-sia belaka, sementara
Mawang segera masuk ke dalam gubuk itu.
Terdengarlah jeritannya, "Kakang Paran-
goooo...!!"
Sambil menyeret tubuh Suri yang terpaksa
mengikutinya, Krona pun melihat mayat Parango yang tertelungkup dalam keadaan
setengah telanjang.
Hatinya geram bukan main. Tangannya lang-
sung melayang ke pipi Suri hingga dia terpelanting.
"Gadis keparat! Mampuslah kau!!"
Terjengkang gadis itu ke tanah dan kala dia
mengangkat kepalanya darah sudah bersimbah di bi-
birnya. Ketika Krona hendak mengangkat kakinya
dengan maksud hendak menghabisi Suri, Mawang ti-
ba-tiba membentak.
"Tahan!!"
Krona mendengus. "Hhh! Kenapa kau larang
aku untuk membunuh gadis keparat ini, hah"!"
"Benar, aku memang melarangmu...."
"Keparat kau, Mawang! Kenapa, hah"!"
Mawang menyeringai.
"Kurasa terlalu ringan bagi gadis itu untuk mati begitu saja. Dia telah
menghabisi Kakang Parango entah dengan apa. Sudah layaknya dia pun kita nikmati
dulu sebelum kita bunuh.
"Bagaimana, Krona" Kau setuju, bukan?"
Krona terkekeh.
"He-he-he... ya, ya... sungguh bodoh sekali...
mengapa aku sampai lupa dengan hal itu. Kau benar, Mawang! Bagus, mari kita
nikmati gadis itu!!"
Lalu dengan buasnya Krona menerkam Suri
yang masih tergeletak di tanah. Di samping geram melihat kakangnya mati, juga
timbul kembali gairah naf-sunya. Pakaiannya yang sudah kacau balau semrawut
dengan memperlihatkan beberapa bagian tubuhnya
ngablak terbuka, semakin membuat orang-orang itu
bernafsu sekali.
"Rasakan pembalasan kami, Manis.... Hhh! Tu-
buhmu begitu ranum dan sungguh menggairahkan se-
kali...." ujar Krona sambil menciumi tubuh Suri yang berusaha meronta.
"Jangan... hu-hu-hu... jangan, tolong... le-
paskan... lepaskan aku...!!"
Dia berharap keajaiban seperti tadi terulang
kembali, namun sia-sia karena tidak ada kejadian apa-apa. Tenaganya sudah makin
habis, kelelahannya ma-
kin terasa. Namun mendadak saja sebelum kehormatan
gadis itu berhasil dirampas, terdengar bentakan yang amat kuat, "Keparat...!
Lepaskan gadis itu...!!"
Tersentak Krona mendengarnya. Mendengus
dia menghentikan aksinya dan melihat siapa yang telah membentak itu. Wajahnya
menampakkan kegera-
man. Keningnya berkerut, karena dia merasa tidak
pernah mengenai pemuda mengenakan caping yang
menutupi sebagian wajahnya dan duduk di atas kuda
hitam yang gagah itu. Dipicingkannya matanya agar
bisa melihat lebih jelas siapa yang datang.
Namun dia yakin tidak pernah mengenai atau
melihat laki-laki ini sebelumnya.
Begitu pula dengan Mawang yang langsung
mendengus. Sementara Suri hanya terisak belaka. Ketakutan akan tragedi yang
menyeramkan ini amat me-
nakutkannya sekali.
"Hhh! Siapa kau, Ki Sanak"!" bentaknya ber-campur geram sementara tangan
kanannya memegang
tangkai golok di pinggangnya.
Pemuda bercaping itu tersenyum. Namun di ba-
lik senyumnya terdapat kebencian yang amat sangat
akan perbuatan yang sedang mereka lakukan.
"Nam aku Pandu, dan aku adalah orang yang
tidak pernah menyukai perbuatanmu itu...."
Mawang mendengus.
"Pandu... lebih baik kau segera menyingkir saja dari tempat ini. Jangan coba-
coba mencari keributan dengan kami!"
"Baiklah, dengan senang hati aku akan me-
ninggalkan tempat ini, tetapi bila aku yakin kalau kau pun menghentikan
perbuatan busukmu itu!"
"Keparat! Agaknya kau adalah manusia usil
yang kerjanya hanya mengganggu orang saja!"
"Tidak. Kerja ku pengelana, asalku dari Gu-
nung Kidul. Dan aku bukanlah orang usil yang ker-
janya mengganggu kesenangan orang lain. Juga meng-
ganggu orang lain!"
"Bila sudah begini, apakah kau tidak meng-
ganggu kami" Atau kau memang ingin
mampus"!"
"Maafkan aku, Ki Sanak... sungguh aku tidak
pernah menyukai perbuatanmu" Hmm... bila kau mau
menjawab pertanyaanku ini, dengan senang hati aku
akan pergi meninggalkan kalian...."
"Bagus! Kemukakan cobalah apa yang hendak
kau tanyakan?"
"Hmm... apakah kalian yang telah membuat
onar di desa-desa dengan membunuhi mereka secara
kejam?" Mendengar kata-kata itu wajah Mawang dan Krona bersinar. Senyum bangga
mengembang di bibir
mereka. "Memang, kamilah yang telah melakukannya.
Nah, bila kau sudah mengetahui hal itu, mengapa kau tidak segera pergi dari
sini, hah?"
"Mengapa kalian melakukan hal itu?" "Hhh! Karena kamilah yang perkasa!" "Apakah
kalian suka menantang orang lain?"
"Ha-ha-ha... kau makin pintar saja. Orang Bercaping! Yah, karena kamilah yang
perkasa...."
Hati Pandu berdebar. Berarti merekalah yang
hampir seminggu lamanya dia cari.
Pandu melangkah setindak ke depan.
"Ki Sanak... sekali lagi kukatakan, aku bukanlah orang yang usil dan mau
mencampuri urusan
orang lain. Namun bila kulihat kejahatan sedang berlangsung di mataku, apakah
aku harus berdiam diri"
Membiarkan saja?" Pandu tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. "Nampaknya tidak
mungkin, Sobat....
Aku tidak akan pernah tinggal diam melihat kejahatan yang sedang berlangsung di
mataku! Apalagi kalian
sekarang nampaknya begitu memaksa sekali kepada
gadis itu!! kata Pandu.
"Hei, apa maksudmu, hah"!" "Mengapa kalian masih bertanya lagi, hah?"
Murid tunggal Eyang Ringkih Ireng dari Gu-
nung Kidul itu tetap tersenyum. Namun dia geram bukan main. Dia tidak pernah
suka akan hal ini. Maka dia pun bertekad untuk ikut campur urusan orang
lain. "Keparat! Kau menantang kami, hah"!"
"Bukankah kalian yang berkata tadi, kalian su-ka menantang orang lain untuk
menunjukkan keper-
kasaan kalian" Dan aku bersedia melayani kalian!"
"Anjing buduk!"
Pandu tersenyum. "Bila kalian takut, lebih baik kalian segera menyingkir... atau
kalian akan menjadi mayat seperti laki-laki gembrot yang mampus di dalam!"
Mendengar kata-kata itu wajah Krona dan Mawang menggeram. Mereka sadar, kalau
yang telah membunuh kakang mereka adalah pemuda ini. Bukan
gadis yang nampak hampir mati itu.
Begitu pula dengan Suri, meskipun ketakutan
namun hatinya cukup bisa mendesah lega mendengar
kata-kata tadi.
"Keparat! Rupanya kaulah yang membunuh
Kakang Parango!"
"Dan aku pun akan membunuh kalian bila ka-
lian tidak segera menyingkir dari sini!!"
"Anjing buduk! Demi Kakang Parango, kau ha-
rus mampus, Keparat!!"
Setelah berkata begitu, maka dia pun maju me-
nyerbu dengan kepalan tangan yang penuh tenaga di-
iringi dengan jeritan yang cukup keras.
Namun murid Eyang Ringkih Ireng dengan ge-
rakan yang manis menggerakkan tubuhnya ke kiri.
Pukulan yang dilepaskan oleh Krona meleset. Namun
dia tidak mau hanya sampai di sana saja. Kembali tangannya mencecar menyerang
dengan ganasnya.
Pandu sendiri tidak mau tubuhnya dijadikan
sasaran pukulan-pukulan yang ganas itu. Dia pun
menggunakan jurus menghindarnya. Jurus Gagak
Terbang Lalu. Tubuhnya bagaikan seekor burung bangau
dengan lincah dan cepatnya menghindari serangan-
serangan ganas yang dilancarkan oleh Krona.
Hasilnya memang sungguh luar biasa. Krona
cukup pontang panting menyerang namun tak satu
pun serangannya yang berhasil mengenai sasaran.
Melihat hal itu Mawang pun segera membantu.
Bara Diatas Singgasana 17 Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Pendekar Wanita Penyebar Bunga 1
^