Pencarian

Banjir Darah Keraton Widung 2

Pendekar Gagak Rimang 8 Banjir Darah Di Keraton Widung Bagian 2


Namun hasilnya tetap sama, dia pun sia-sia dalam melakukan aksi penyerangannya.
Hatinya menjadi geram sekali.
"Keparat bercaping! Mengapa bisa kau sejak ta-di hanya menghindar saja" Mengapa
kau tidak balas
menyerang?" serunya untuk menutupi kejengkelannya.
Wajah yang sebagian tertutupi caping itu me-
nyeringai. "Hmm... tak kusangka, kau berani juga berkata demikian."
"Settannn...! Kau pikir kami takut, hah"!" geram Mawang dengan wajah yang
semakin memerah.
"Kau dan kawanmu itu sebenarnya jeri meng-
hadapiku, bukan" Kata-katamu tadi itu sebagai penutup rasa ketakutan kalian!"
Pandu tertawa. "Keparat! Coba serang kami!!"
"Hhh! Bila itu yang kau inginkan, maka dengan senang hati aku akan
melakukannya!!" seru Pandu.
Dan dengan tiba-tiba dia bersalto ke belakang
dan langsung melenting kembali saat kedua kakinya
menyentuh permukaan tanah. Kedua tangannya mem-
bentuk kuncup paruh bangau yang siap mematuk
dengan cepatnya. Gerakannya sungguh mengejutkan.
Penuh tenaga dan gebrakan bersemangat.
Mawang yang tidak menyangka kalau lawannya
demikian cepat mengubah jurusnya menjadi terkejut.
Dia sejenak kebingungan, lalu dicobanya untuk me-
mapaki. "Plak...!!"
Benturan itu terjadi. Dirasakannya tangannya
ngilu. Belum lagi dia bisa menguasai dirinya yang ter-dorong ke belakang, Pandu
sudah mencecar dengan
serangan beruntun. Seakan tidak mau memberi ke-
sempatan bagi lawannya untuk bernafas.
Dia pun bagaikan terdesak mencoba mundur
beberapa langkah untuk menghindari serangan itu secara perlahan.
Namun serangan yang dilakukan Pandu demi-
kian cepat. Dan hebat. Hingga mau tidak mau bagi
Mawang kembali dia memapaki karena memang tidak
ada jalan lain.
Dia pun segera membendung serangan itu den-
gan kedua tangan memapaki ke atas.
"Wuut...!! Plak...! Plak...!!"
Benturan itu kembali terjadi. Karena Pandu be-
rada di posisi atas sedangkan Mawang di bawah, maka benturan itu menjadikan
tubuh Mawang tertekan.
Dan Pandu pun segera memutar tubuhnya ba-
gaikan terbang, serangannya mengarah pada kepala
Mawang. Mawang yang sudah tidak bisa menguasai ke-
seimbangan tubuhnya pun pasrah melihat serangan
itu. "Mampukah kau, keparat!!" geram Pandu.
Namun, "Wuuut...! Plak...!"
Benturan itu terjadi, cukup mengejutkan Pan-
du. Di saat yang kritis, Krona mencoba menyela-
matkan kawannya. Dan ini cukup berhasil.
Pandu sendiri tidak menyangka hal itu. Begitu
tangannya membentur tangan Krona, dia merasakan
tangannya bagaikan menabrak sebuah dinding yang
tebal. Dan mau tidak mau dia pun langsung bersalto ke belakang karena getaran
benturan yang dirasakan pada tangannya itu bagaikan menghunjam dada. Pandu pun
tidak mau dalam keadaan tidak siap bila ma-
nusia itu mendadak menyerangnya.
Krona sendiri merasakan tangannya menjadi
kaku dari benturan itu.
Namun belum lagi dia hinggap di bumi, Ma-
wang yang marah bukan alang kepalang dan bisa
mengambil kesempatan itu untuk menguasai keseim-
bangannya sudah menyerbu dengan goloknya. Golok
tajam berkilat itu bagaikan memiliki mata yang tajam untuk segera melaksanakan
tugasnya. Berkelebat ke sana ke mari dengan hebatnya.
Kali ini Pandu cukup kerepotan dibuatnya. Be-
lum lagi dengan serangan-serangan Krona yang ganas dan memiliki tenaga dalam
yang cukup besar.
Dia yang pontang panting dibuatnya.
"He-he-he... itulah akibatnya bila terlalu banyak mau tahu urusan orang lain,
dan sok menjadi
pahlawan! Kami paling tidak suka dengan orang yang sok menjadi pahlawan! Dan kau
perlu tahu, pemuda
keparat.... kami tidak pernah memaafkan perbuatan-
mu itu... apalagi kau telah membunuh kakang kami, hah"! Lebih baik kau membunuh
diri saja daripada
harus mati kami siksa!"
Wajah di balik caping bambu itu meskipun ha-
rus berusaha menyelamatkan diri dengan gerakan-
gerakan menghindar yang cepat, tersenyum.
"Hmm... nampaknya kalian sudah begitu gem-
bira sekali dengan apa yang telah kalian lakukan ini!!
Namun kalian lupa, kalian belum melihat kelanjutan dari pertarungan kita...!!
Dan sebentar lagi kalian akan segera melihatnya...."
"Hhh! Aku pun sudah tidak sabar ingin segera
melihat kau mampus!!" seru Krona dan terus semakin gencar mencecar. Begitu pula
dengan Mawang. Keyakinan mereka untuk mengalahkan pemuda
ini semakin kuat. Dan mereka berjanji akan mencin-
cang tubuh pemuda sialan ini sebelum mereka bunuh!
Kembali pertarungan itu terjadi.
Sengit dan hebat.
Kali ini Pandu memang tidak mau bertindak
tanggung-tanggung lagi. Hatinya geram bukan main
dengan apa yang telah keduanya lakukan. Keduanya
jelas tidak memberinya kesempatan untuk menghindar dan membalas.
Maka dia pun bermaksud memberikan pelaja-
ran pada kedua laki-laki beringas. Di samping dia pun geram karena merasa yakin
kedua laki-laki inilah yang
telah membuat teror di desa-desa hingga memakan
korban jiwa yang banyak.
"Maafkan aku, Eyang..." desisnya. "Aku tidak bisa menahan diri lagi untuk
memberi pelajaran kepada manusia-manusia kejam ini....
Tiba-tiba saja Pandu melenting ke angkasa, lalu
dia berputar dua kali. Lalu sambil berseru hebat dia pun mulai mengadakan
serangan balasan.
Gencar menyerang, membuat kedua lawannya
menjadi terkejut, karena mereka tidak menyangka pemuda itu masih bisa pula untuk
membalas. Hal ini
menjadikan keduanya kalang kabut dan diam-diam
mereka pun menyadari kalau ternyata pemuda itu
amat tangguh sekali.
Namun meskipun demikian, kedua terus beru-
saha untuk bertahan sekaligus menyerang. Hingga akhirnya nampak keduanya
bersiaga dengan sepasang
tangan mengepal penuh tenaga.
Nampak jelas keduanya tengah menghimpun
tenaga sakti. Krona menggeram, "Pemuda sialan! Rasakanlah
ilmu Sepasang Setan Kembar kami ini!!"
Pandu hanya menyeringai meskipun dia tahu
apa yang akan terjadi. Meskipun dia tidak bisa mengetahui secara pasti ilmu apa
Sepasang Setan Kembar
itu, namun dia bisa menduga kalau ilmu itu tentulah ilmu yang amat dahsyat
sekali. Dilihatnya kedua lawannya secara bersamaan
menengadah, lalu mengangkat kedua tangan mereka
ke atas dan melipatnya dengan gerakan tangan masuk ke perut, lalu bergerak ke
depan. Membentuk sebuah jurus dengan kaki kiri di depan sementara kaki kanan
menekuk, menopang berat tubuh dan kedua tangan
yang membentuk sepasang cakar.
"Manusia keparat! Bersiaplah kau untuk mam-
pus!!" geram Mawang.
"Kakang Parango... lihatlah, kami akan memba-
las semua dendam dan kesal di hatimu!!" seru Krona keras. Dan mendadak angin
berkesiur cepat, dingin
dan menebarkan hawa kematian. Mampu membuat
bulu roma berdiri.
Lalu keduanya menderu maju ke depan dengan
pekikan yang amat kuat. Sepasang Setan Kembar pun
diperlihatkan. Ternyata gerakan silat Sepasang Setan Kembar
adalah sebuah gerakan dua menjadi satu yang dilakukan dengan cepat dan penuh
tenaga dahsyat. Mereka menyerang silih berganti dengan maksud untuk men-gaburkan
perhatian lawan dan membuat lawan menja-
di kebingungan. Selain itu dengan gerakan yang cepat dan gesit pula, seakan
keduanya hendak menghalau
sebuah serangan yang dilakukan dengan cepat pula.
Pandu sendiri yang sejak tadi hanya menghin-
dar dengan jurus Bangau Terbang Lalu pun sekarang
bisa menebak, kalau ilmu Sepasang Setan Kembar itu hanya bisa dikalahkan dengan
cara memporak porandakan barisan lawan. Dengan memisahkan keduanya
agar tidak menjadi satu kembali.
Maka dia pun segera melakukan hal itu dengan
menyerang Krona namun tiba-tiba mendadak berbalik
menyerang Mawang. Membuat keduanya menjadi ter-
kejut, karena pemuda bercaping itu bisa menebak kelemahan dari ilmu mereka.
Akan tetapi itu bukanlah suatu hambatan bagi
keduanya, karena dengan tiba-tiba saja mereka merubah jurus, kali ini menjaga
jarak dan menyerang sambil bersalto. Membuat Pandu yang justru kebingungan.
Namun murid Eyang Ringkih Ireng bukanlah
seorang pendekar sembarangan, mendadak saja dia
mengibaskan tangan kanannya.
"Wuuut!! selarik sinar putih berkelebat ke arah Mawang, membuat Mawang sejenak
kebingungan. Dan
mendengus terkejut.
"Keparaattt.!!"
Itu adalah Pukulan Sinar Putih warisan dari
gurunya dari Bukit Paringin di Gunung Kidul.
Kali ini dia berhasil membuat keduanya menja-
di panik dan kebingungan.
Namun mendadak keduanya mengubah seran-
gannya dan kembali bersatu sambil bersalto ke sana ke mari. Suatu ketika
mendadak saja keduanya sudah menderu maju ke depan dengan tangan yang terangkum
tenaga yang berlipat ganda, siap memusnahkan
Pandu dari muka bumi ini.
Pandu tidak mau tubuhnya dijadikan sasaran
serangan itu. Dia pun bersiap. Namun begitu kedua-
nya hampir berbenturan, mendadak saja Pandu me-
lenting ke atas, bersalto dan menghindari adu tenaga yang dahsyat itu!
Sementara keduanya tidak bisa mengerem lagi
tenaganya. Tak ayal tangan keduanya yang telah te-
rangkum tenaga sakti itu menderu terus dan mener-
jang sebuah pohon besar di hadapannya.
"Duaaaarr...! Brakkk...! Buuuummm...!!"
Pohon besar itu patah dan ambruk berdebum
ke tanah. Keduanya merasakan tangannya cukup ngi-
lu, namun belum lagi mereka menyadari apa yang
akan terjadi, mendadak saja dirasakannya sesuatu
menghantam leher mereka. Keras.
"Prakkk...! Prakk...!!"
Tubuh keduanya menjerit sejenak, lalu mengge-
losoh ambruk dengan leher patah. Pandu tidak dapat menguasai kemarahannya, di
samping rasa kekesa-lannya karena kedua manusia itu amat mengesalkan
juga telah membuat teror yang amat kejam.
Pandu mendesah panjang. "Maafkan aku,
Eyang...." desisnya pada angin.
Pemuda itu mendesah panjang dan kala dia
membalikkan tubuhnya hendak menjumpai Suri, ter-
nyata gadis itu telah berdiri di hadapannya.
Kepalanya tertunduk dan kedua tangannya
mendekap bagian dadanya, karena pakaiannya yang
compang camping menampakkan beberapa bagian tu-
buhnya dengan jelas. Dia cukup malu dengan kea-
daannya seperti ini, Namun apa boleh buat, dia me-
mang harus menerima semua ini.
Lagi pula dia ingin sekali mengetahui siapa
yang telah menolongnya.
Sekali lagi dia meyakinkan, kalau dia tidak
pernah mengenai pemuda itu sebelumnya. Apalagi wa-
jahnya sebagian tertutup oleh caping bambu, justru membuatnya semakin penasaran
sekali ingin mengetahui rupa pemuda penolongnya. Meskipun demikian
begitu besarnya rasa terima kasihnya pada pemuda
itu. Pandu mendesah panjang, Hatinya merasa te-
renyuh melihat keadaan gadis itu. Dia pun tersenyum, mencoba agar gadis yang
kelihatan masih ketakutan
itu merasa nyaman.
"Tenanglah, Dik... semuanya sudah berlalu...."
katanya lembut sambil menampakkan senyumnya.
"Kau aman sekarang, Dik... orang-orang yang meng-ganggumu telah mampus!"
Dan kelembutan itu mampu membuat Suri
mengangkat kepalanya. Hatinya sedikit merasa tenang dan lebih berani menghadapi
pemuda itu. Sementara
hatinya yakin, kalau pemuda itu benar-benar ikhlas menolongnya.
"Kakang...." desisnya pelan. "Maafkan aku... kalau kejadian tadi justru malah
menyusahkanmu...."
"Mengapa kau berkata demikian, Dik" Itu me-
mang sudah kewajibanku.... Kewajiban siapa saja untuk saling tolong menolong.
Tak terkecuali siapa pun orangnya...."
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kakang...."
"Sudahlah... tidak perlu dipikirkan...." "Terima kasih, Kakang...." "Namaku
Pandu...."
"Namaku Suri, Kakang.... Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu,
Kakang...."
Pandu tersenyum. "Sudah lebih dari tiga kali
kata terima kasih itu kau ucapkan, Dik Suri..."
"Aku tulus mengucapkannya, Kakang...."
"Baiklah, sekarang ceritakanlah bagaimana ke-
jadian itu sampai menimpamu, dan katakan pula apa
yang telah menimpa dirimu?"
Mendengar pertanyaan itu, kepala Suri kembali
tertunduk. Nampak jelas kalau dia tidak mau lagi


Pendekar Gagak Rimang 8 Banjir Darah Di Keraton Widung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengingat kejadian tadi. Kejadian yang menakutkan.
Seperti menyadari keberatan gadis itu untuk
berkata, Pandu yang merasa gadis itu masih sock akibat kejadian yang barusan
menimpanya, segera beru-
cap. "Bila pertanyaan itu menyinggung dan membe-ratkan hatimu... maafkanlah aku,
Dik.... Kau tidak perlu menjawabnya bila kau tidak mau...."
Dan perlahan-lahan pula kepala gadis itu te-
rangkat kembali. Sepasang matanya berbinar, menam-
pakkan sedikit kesedihan. Masih terlihat bias ketakutan di wajahnya.
Perlahan-lahan pula kepalanya menggeleng.
"Tidak, Kakang... sungguh, aku tidak keberatan untuk menceritakannya.... Namun
sekali lagi maafkan aku, setelah ini jangan kau buat aku teringat lagi kejadian
tadi...." "Baiklah, Dik... aku hanya ingin mengetahui
secara pasti, bahwa kau tidak mengalami sesuatu yang bisa merusak masa depanmu
nanti...."
Lalu dengan suara yang tersendat gadis itu pun
menceritakan apa yang telah dialaminya dan di akhir ceritanya gadis itu menangis
segugukan. Hati Pandu menjadi tak enak, karena seper-
tinya dia membangkitkan lagi kenangan buruk yang
telah menimpa gadis itu. Walau dia sedikit lega karena gadis itu belum sampai
terusak kehormatannya.
Lalu dengan hati-hati dia merangkulnya semata
untuk menenangkan gadis itu.
"Tenanglah, Dik... semuanya sudah berlalu....
Kau aman bersamaku...."
Gadis itu mendesah. "Iya, Kakang...."
"Nah, marilah kuantar kau pulang...."
Mendengar kata-kata itu, Suri menundukkan
kepalanya. Apalagi saat itu hatinya tengah bergetar merasakan rangkulan pemuda
itu. Meskipun dia sesungguhnya penasaran ingin melihat wajah yang ada
di balik caping bambu itu.
Namun dia merasa sudah cukup damai berada
dalam rangkulannya, dia bagaikan mendapat sebuah
tempat untuk berlindung dan bernaung. Nyaman seka-
li rasanya. Dirasakannya sensasi ganjil penuh kenikmatan mengalir di sekujur
tubuhnya, yang tak pernah dirasakan sebelumnya selama ini.
Penuh pesona. "Mari, Nimas.... Kurasa... orang tuamu sudah
cukup cemas menunggumu...."
"Kau tidak keberatan mengantarkan aku,
Kakang?" desis gadis itu bagaikan desahan.
Pandu tersenyum. "Mengapa mesti keberatan"
Mengantar gadis cantik sepertimu, siapa pun akan su-ka rela melakukannya bukan"
Atau kau sesungguhnya
yang tidak mau?"
"Aku mau, Kakang!" kata gadis itu cepat namun buru-buru menundukkan kepalanya
dengan wajah memerah. Malu karena ketahuan sebenarnya dia me-
mang mengharapkan dan gembira menyambut semua
itu. Dengan dibimbing oleh Pandu, gadis itu pun
naik ke kuda. Lalu Pandu sendiri duduk di belakangnya. Di gebraknya kuda itu
dengan cepat. Hati Suri merasa nyaman sekali. Malah dia in-
gin tidak segera sampai ke rumahnya. Dia masih ingin menikmati kebersamaan ini
lebih lama lagi.
Hari pun semakin naik, sementara ketegangan
yang baru saja terjadi, sudah berganti dengan kegembiraan yang mempesona,
singgah di hati perawan yang baru saja nyaris menjadi korban nafsu binatang
manusia durjana.
Betapa nyamannya andaikata dia memiliki pe-
muda seperti Kakang Pandu ini. Hatinya makin bergetar galau menyadari dia tengah
duduk berdua bersama pemuda ini dalam satu kuda.
* * * 7 Sudah tiga hari Pandu tinggal di rumah Suri.
Kehidupan gadis itu sungguh amat sederhana sekali.
Tidak ada barang yang bisa dikatakan mewah berada
di sana. Desanya pun terkesan desa yang miskin. Ayahnya hanyalah seorang
penebang kayu di hutan. Yang
begitu gigih dalam mempertahankan hidup.
Kartogulo, ayah Suri, seorang laki-laki perkasa.
Usianya kira-kira 52 tahun. Sejak Suri berusia dua bulan, dialah yang mengasuh
bayi kecil itu, karena istrinya meninggal dua bulan setelah melahirkan Suri,
putrinya semata wayang. Karena kasih yang besar dan cinta yang dalam terhadap
istri dan anaknya, Kartogulo tidak menikah lagi.
Bahkan dia dengan penuh sayang mengasuh
Suri hingga seperti sekarang ini.
Dan tiga hari belakangan ini, dia seringkali me-
lihat putrinya amat gembira. Tidak seperti biasanya.
Yang jelas sejak pemuda yang bernama Pandu itu
menginap di sana. Bahkan terkadang Kartogulo juga sering melihat keduanya
bercanda di halaman belakang. Hal ini diam-diam membuat hatinya cukup ba-
hagia, bahkan dia ingin sekali mengangkat pemuda itu sebagai menantunya. Sebagai
pendamping Suri.
Diam-diam dia pun amat menyukai pemuda
itu. Menurut Kartogulo, sudah saatnya Suri menikah.
Sebenarnya sudah banyak yang melamar anak gadis-
nya, namun setiap kali ditolak. Terlihat pula kalau putrinya enggan untuk
menikah dengan pemuda yang
banyak telah melamarnya.
Namun kedatangan Pandu, pemuda yang telah
menyelamatkan putrinya dari orang-orang jahat itu, agaknya membawa angin segar
pada hari-hari putrinya. Putrinya terlihat ceria sekali.
Sementara sebenarnya Pandu sudah ingin me-
ninggalkan tempat ini. Dia bukannya tidak tahu kalau gadis itu diam-diam menaruh
hati padanya. Jelas dari sikap dan gayanya yang manja padanya.
Inilah yang membuatnya hendak pergi dari sini,
karena dia tidak mau gadis itu akan kecewa. Sudah
banyak gadis-gadis yang menaruh hati padanya, na-
mun harus kecewa.
Pandu sendiri sebenarnya punya angan-angan
untuk hidup tenang bersama anak dan istri serta rumah mungil yang sederhana.
Namun dia tidak mung-
kin melakukan hal itu, karena kelananya belum selesai dia lakukan.
Pada suatu malam, Kartogulo mengajaknya
bercakap-cakap. Dalam kesempatan itu Pandu pun
mencoba mengorek keterangan mengenai teror yang
terjadi. Dia masih beranggapan, kalau tiga orang yang telah mati dibunuhnya
itulah yang membuat teror.
Namun yang mengejutkan adalah jawaban yang dibe-
rikan oleh Kartogulo.
"Maafkan aku, Pandu... kupikir... bukan mere-
kalah yang membuat teror...."
"Mengapa demikian, Paman?"
"Karena dua malam yang lalu, desa di sebelah
Utara Keraton Widung pun dilanda kerusuhan. Banyak korban yang mati. Namun tak
seorang pun yang bisa
menjelaskan siapa yang telah membuat onar seperti itu...." "Bagaimana, Paman?"
"Jadi dugaanku... ketiga orang yang hendak
berbuat jahat kepada putriku itu... bukanlah orang yang selama ini kau cari.
Bila memang mereka, mana mungkin mereka bisa berbuat onar lagi. Bukankah
mereka telah mati?"
Pandu terdiam. Mendesah. "Benar, Paman... berarti masih ada
orang lain yang melakukannya...."
"Ya... ketiga orang itu hanya berlagak sebagai pembuat teror yang mengerikan,
agar orang-orang
yang hendak dijadikan sasaran kejahatan mereka
menjadi ketakutan...."
"Benar, Paman... tetapi saya belum mengerti...
mengapa hal seperti ini terjadi" Dan kapan pertama kali kejadian ini dimulai,
Paman?" Kartogulo mendesah. Suri datang dengan bebe-
rapa gelas teh pahit dan ubi rebus. Dia pun sudah
berdandan demikian manisnya. Dan dengan gaya yang
anggun dia menghidangkan semua itu. Menatanya.
"Silahkan, Bapak... Kakang...."
"Terima kasih, Dik Suri...."
Kartogulo tersenyum. Tidak biasanya anak ga-
disnya berdandan demikian cantik. Dia tersenyum ketika anak gadisnya itu duduk
di sampingnya. "Boleh saya mendengarkan percakapan itu, Ba-
pak?" tanya gadis itu dengan suara yang lembut namun sambil menundukkan kepala.
Karena rasanya ti-
dak pantas dan terlalu lancang bagi seorang gadis
ikut-ikut berbicara, apalagi mendengarkan percakapan seorang pemuda dengan
ayahnya. "Kau harus meminta izin pada Nak Pandu,
Nduk.... Bila Pandu mengizinkan, silahkan...." kata Kartogulo sambil tersenyum.
Gadis itu mengangkat kepalanya pada Pandu.
"Bagaimana, Kakang" Boleh aku mendengar?" katanya dengan suara yang terdengar
malu-malu. Dan wajahnya yang cantik, alami milik seorang gadis desa mero-na
merah. Pandu hanya mengangguk. Pemuda itu tidak
mengenakan capingnya. Wajahnya yang demikian
tampan membuat batin Suri makin terguncang.
Pandu sendiri dapat melihat kilatan mata pe-
nuh cinta yang terpancar dari sepasang mata indah
itu. Ini membuatnya menjadi resah.
"Silahkan, Dik Suri..." katanya pelan, lalu berkata pada Kartogulo. "Bagaimana
dengan pertanyaanku tadi, Paman" Apakah Paman bisa menceritakan-
nya?" Kartogulo menghisap dan menghembuskan
asap tembakaunya. "Baiklah.... tentu aku bisa menceritakannya, tetapi ini hanya
dugaanku saja, Pandu...."
"Maksud, Paman?"
"Dugaan sementara karena sesungguhnya aku
sendiri tidak yakin dengan apa yang ada dalam benak-ku ini. Terus terang, ini
memang hanya dugaanku...."
"Tidak apa-apa, Paman... ceritakanlah pada-
ku...." "Sebenarnya, desa ini adalah wilayah dari ke-kuasaan Keraton Widung...
yang banyak membawahi
desa-desa lainnya.... Keraton Widung adalah sebuah keraton yang penuh
kegembiraan, di mana sang Prabu Kamansura memerintahkan negaranya penuh dengan
rasa perikemanusiaan dan kasih sayang.
Di samping itu, Keraton Widung memiliki seo-
rang Panglima yang gagah berani. Dia bernama Prakes-ti. Hanya sayang, sikap dan
tingkah laku Prakesti setelah diangkat menjadi Panglima jauh berubah...."
"Maksud, Paman?"
"Dia bertindak sewenang-wenang pada pendu-
duk dengan mengatasnamakan Keraton Widung. Se-
pak terjangnya sungguh sudah di luar batas. Karena ulahnya itulah dia dipanggil
menghadap Prabu Kamansura dan diusir dari keraton.
Beberapa bulan sejak pengusiran itu, mulailah
terjadi teror pembunuhan yang melanda desa-desa.
Aku sendiri tidak mengerti siapa yang berbuat seperti itu. Namun sejak Panglima
Prakesti pergilah terjadinya tragedi seperti itu.... Mungkin karena selama ini
tidak ada yang langsung turun tangan menghadapi kejadian seperti itu.
Biasanya Panglima Prakesti sendiri yang turun
tangan menghadapi masalah seperti itu selama ini,
hingga cukup aman rasanya tanpa gangguan apa
pun...." "Apakah bukan dia yang datang membalas dendam, Paman?" tanya Pandu
hati-hati. "Bisa jadi. Namun siapa yang bisa melakukan
hal seperti itu, bahwa desa-desa itu bagaikan diinjak-injak oleh segerombolan
gajah liar...."
"Mengapa Paman beranggapan seperti itu?"
"Bila hal itu memang dilakukan oleh Prakesti...
tentunya dengan bantuan orang lain...."
"Mungkinkah bila dia melakukannya sendiri?"
"Tidak mungkin."
"Mengapa?"
"Karena ilmu yang dimilikinya tidak mungkin
dia bisa berbuat seperti itu...."
"Kenapa?"
"Karena ilmunya tidak sampai seperti itu...."
Pandu hanya mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. Dia pun menjadi bingung dengan apa yang diceritakan oleh Kartogulo,
sehingga dia menjadi penasaran untuk mengetahui kejadian yang sesungguhnya.
"Paman... di manakah letak Keraton Widung?"
"Di sebelah tenggara desa ini. Mengapa kau
bertanya seperti itu, Pandu?"
"Aku sendiri tidak tahu untuk apa, Paman... tetapi firasat ku mengatakan akan
terjadi sesuatu di Keraton Widung."
"Lalu?"
"Aku akan menyelidikinya ke sana."
"Kakang!" Terdengar suara Suri bagaikan tertahan. Dia tidak mau kalau Pandu akan
meninggalkan- nya. Dengan berkata-kata seperti itu, dia yakin Pandu akan melaksanakan niatnya.
Dan dia tidak mau pemuda yang diam-diam dicintainya itu pergi meninggalkannya.
"Mengapa, Dik Suri?"
Mendengar pertanyaan itu Suri langsung me-
nundukkan kepalanya. Malu.
"Dia menggeleng-gelengkan kepalanya resah.
"Ah, tidak, tidak.... Kakang... aku tidak apa-apa...." desisnya dengan nada
gugup. Pandu hanya tersenyum walau dia sesungguh-
nya tahu apa yang dimaui oleh gadis itu. Namun dia tidak hendak memberikan
harapan padanya. Dia tidak mau mengecewakan gadis itu. Makanya dia harus pergi
meninggalkan rumah ini. Ini adalah alasan yang
amat tepat sekali.
"Paman... kalau begitu, besok pagi aku hendak pergi ke Keraton Widung...."
"Untuk apa, Pandu?" tanya Kartogulo yang juga dapat meraba apa yang menyebabkan
putrinya bersikap seperti itu. Sebenarnya dalam hati dia pun tidak ingin pemuda
ini pergi dari rumahnya.
"Entahlah... namun perasaanku tetap menga-
takan, kalau akan terjadi sesuatu di Keraton Wi-
dung...." kata Pandu bersikeras dengan berbagai alasan. "Hmm... aku tidak bisa
memaksakan kehen-dakmu untuk membatalkan niatmu itu... tapi bila boleh, aku
hendak memintamu untuk tetap saja tinggal di sini...."
Pandu mendesah panjang. Masalah ini sudah
menjurus ke hal yang rumit. Dan dia tidak mau bila terlibat terlalu jauh di
dalamnya. "Paman... bukan maksudku sekali-sekali untuk
menolak permintaanmu, namun aku hanyalah seorang
kelana yang kerjanya berkelana entah sampai kapan.


Pendekar Gagak Rimang 8 Banjir Darah Di Keraton Widung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jadi maafkan aku, bila aku tidak bisa memenuhi permintaanmu, Paman.
Dan kuucapkan banyak terima kasih atas ban-
tuanmu itu.... Aku tak akan pernah melupakannya.
Kartogulo hanya tersenyum sambil melirik pu-
trinya yang kian tertunduk.
"Kalau itu maumu, aku pun tidak bisa memak-
sa.... Hmm, sudah larut rupanya. Lebih baik kita segera saja tidur...."
Belum habis kalimat Kartogulo, Suri tiba-tiba
saja sudah berlari masuk ke dalam sambil terisak.
Pandu hanya mendesah panjang sementara Kartogulo
tidak bisa berbuat apa-apa. Apa yang bisa dia perbuat untuk menenangkan anak
gadisnya, karena Pandu
sendiri tidak memperlihatkan sikap bahwa dia hendak mengambil putrinya sebagai
istri. Maka dia hanya di-am saja. Sementara itu sepanjang malam Suri menan-
gis di kamarnya. Dia telah jatuh cinta pada Pandu dan bila pemuda itu pergi akan
merana hatinya. Nelangsa.
Namun sejauh ini dia pun sadar kalau pemuda itu
bersikap selalu baik padanya. Bahkan amat baik.
Meskipun demikian tak sekali pun dia pernah men-
dengar kata-kata cinta yang diucapkan oleh Pandu pa-dahal dia begitu amat
mengharapkannya sekali.
Gadis itu terus terisak. Dia tidak sanggup
membayangkan perpisahan dengan pemuda yang di-
cintainya, pemuda yang mampu mengusik cintanya
yang selama ini terpendam. Dalam hati dia berdoa se-moga hari tidak cepat
berganti. Biar lebih lama Pandu berada di rumahnya.
Namun mau dibuat seperti apa pun hari tetap
berganti. Kokok ayam jantan sudah terdengar di ke-
jauhan. Menandakan ufuk sudah mulai menyingsing.
Dan sepanjang malam itu sekejap pun mata
Suri tidak mau terpejam. Pikirannya selalu terbayang bahwa pemuda yang
dicintainya akan pergi mening-galkannya.
Lemas tubuhnya bangkit dari kamarnya, lalu
mandi di sumur belakang. Tak ada kegairahannya se-
perti hari-hari lalu selama Pandu berada di sana. Benar-benar telah hilang
gairahnya yang berbinar-binar itu.
Hatinya lelah. Jiwanya nelangsa.
Bahkan dia merasa tak bertenaga, semua se-
mangatnya pudar. Namun dia tidak mau menunjuk-
kan semua itu di hadapan Pandu maupun ayahnya.
Dia harus kelihatan tegar.
Dia harus memperlihatkan sikap biasa saja.
Karena bukankah pagi ini dia masih sempat melihat
dan berbincang-bincang meskipun sejenak pada pu-
jaannya" Setelah mandi dan berdandan, dia pun me-
nyiapkan teh pahit dan ubi rebus seperti biasanya. La-lu dibawanya ke beranda
depan di mana biasanya
ayahnya bercakap-cakap bersama pemuda yang dicin-
tainya. Namun tak dilihatnya Pandu berada di sana.
Hanya ayahnya yang sedang asyik menghisap dan
menghembuskan asap rokoknya sambil menatap ke
depan, sepertinya tengah memikirkan sesuatu yang
amat mengganggunya.
"Bapak..." desisnya.
Kartogulo mengangkat wajahnya dan terse-
nyum melihat putrinya telah berada di sampingnya.
"Sudah bangun, Nduk?"
"Sudah, Bapak.... Bapak di mana Kakang Pan-
du?" Kartogulo mendesah panjang. Dia merasa tidak tega untuk memberitahukan hal
ini pada putrinya,
namun dia memang harus memberitahunya.
"Dia sudah pergi sejak pagi tadi, Nduk...."
"Oh!" Wajah itu pucat. "Mengapa dia tidak memberitahukan hal itu padaku, Bapak?"
"Karena pikirnya kau masih tidur."
"Sepanjang malam aku tidak bisa tidur, Bapak!
Aku tidak mau dia pergi... aku... aku mencintainya, Bapak...." Dan bobollah air
mata Suri. Kartogulo mendesah panjang. Diapun sebenar-
nya tahu maksud dari Pandu mengapa pergi pagi-pagi sekali, karena dia tidak mau
mengecewakan Suri.
Namun gadis itu telah kecewa.
Mendadak dia berbalik lari ke kamarnya sambil
terisak berkepanjangan. Hatinya luluh lantak. Jiwanya melayang. Cintanya tak
terbalas. Mengapa Kakang Pandu tidak bilang padanya"
Mengapa tidak berpamitan" Mengapa harus juga me-
ninggalkannya" Mengapa meninggalkan cinta yang
mestinya dipenuhi" Masih banyak sejuta mengapa
yang lainnya. Namun gadis itu telah menangis tersedu-sedu.
Kartogulo hanya mendesah panjang dengan ha-
ti yang masygul. Menyesali rasa cinta putrinya.
Namun dia pun tak bisa memaksakan apa pun
terhadap Pandu. Hanya masih terngiang kata-kata
pemuda itu, "Sampaikan salamku pada Suri, Paman...
bila dia memang jodohku, pasti aku akan kembali...
dan tak akan ke mana meskipun lautan telah ku sebe-rangi dan gunung ku daki...."
Kartogulo hanya menganggukkan kepala saja.
Dia sudah cukup senang mendengar kata-kata pemu-
da itu. Namun bisakah diharapkan lagi pemuda itu
kembali" Karena semuanya terasa tidak mungkin. Pemu-
da itu adalah pengelana sejati. Kartogulo merasa bersyukur bisa bertemu dengan
pemuda seperti Pandu.
"Selamat jalan, Nak...."
* * * 8 Berita tentang teror yang terjadi di desa-desa
pun terdengar hingga ke telinga Prabu Kamansura. Dia amat sedih sekali
memikirkan semua itu. Kesedihan-nya karena ulah Panglima Prakesti dan pengusiran
Panglima yang amat dibanggakannya itu belum meng-
hilang, kini ditambah lagi dengan laporan-laporan yang masuk. Bahwa wilayah
Keraton Widung sedang dilanda bencana.
Ini semakin memusingkan kepalanya. Ada apa
sebenarnya" Apa yang telah terjadi di wilayah keratonnya" Siapa yang telah
membuat teror seperti itu"
Pertanyaan-pertanyaan itu hinggap di kepa-
lanya. Prabu Kamansura pun segera mengumpulkan
beberapa orang kepercayaannya. Dari hasil musyawa-
rah yang dilakukan, lalu di utuslah beberapa orang untuk menyelidiki hal itu.
Karena inilah cara yang ter-baik. Namun hingga seminggu lamanya mereka tidak
kembali ke keraton, juga tak ada berita yang masuk.
Menyusul Prabu Kamansura menyuruh yang lainnya.
Dan berita pun di dapat kala mereka kembali, bahwa kelompok yang pertama telah
mampus dengan mengerikan di tepi jurang!
Bukan main cemasnya Prabu Kamansura me-
mikirkan hal ini. Dia pun segera memerintahkan un-
tuk menjaga segenap penjuru Keraton Widung, karena Prabu Kamansura mencium
sesuatu yang tidak enak
yang nampaknya akan segera terjadi di Keraton Wi-
dung ini. Sebuah hal yang mengerikan.
Penjagaan ketat pun dilakukan.
Keamanan semakin dijaga.
Selama seminggu terakhir ini tidak ada keja-
dian apa pun juga. Semuanya nampak biasa-biasa saja tanpa ada kejadian yang
menggelisahkan.
Namun pada suatu malam, berkelebatlah satu
sosok tubuh dengan gerakan yang amat ringan sekali dari balik semak ke semak
lain. Sepasang mata yang memerah dan liar itu
memperhatikan sekelilingnya. Sepi. Namun dia melihat betapa banyaknya penjaga
yang lalu lalang di segenap penjuru Keraton Widung.
Sosok itu mendesah. Pancaran matanya me-
nampakkan sinar dendam yang amat sangat. "Hmm...
rupanya kedatanganku sudah siap disambut" Baik-
lah... aku pun tidak ingin bertindak tanggung-
tanggung lagi terhadap manusia-manusia ini. Aku
akan tetap menuntut balas!!"
Tiba-tiba dia muncul dari persembunyiannya
dan berjalan ke arah Keraton Widung dengan langkah ringan namun pasti, seolah
tak ada yang perlu ditaku-tinya. Tiga orang penjaga segera melihatnya dan salah
seorang membentak.
"Berhenti! Siapa kau"!"
Namun sosok itu terus saja melangkah. Mem-
buat ketiganya menjadi siaga dan siap menggunakan
tombak di tangan, karena mereka pun sulit melihat
wajah sosok itu disebabkan rembulan yang bersinar
redup dan langit yang kelam.
"Berhenti! Atau terpaksa kami tangkap!!"
Akan tetapi mendadak saja, sosok itu mengi-
baskan tangannya. "Wuuutt...!!" Serangkum angin keras mengibas ke depan dan
bagaikan sebilah pisau
bergerak ke leher ketiganya. "Cras...!!" Angin yang seperti pisau itu menyambar
dan membuat putus leher
ke tiga penjaga itu.
Darah segar mengalir, lalu disusul dengan tu-
buh yang ambruk tanpa sempat menjerit lagi. Sungguh gerakan dan ilmu yang amat
hebat sekali. "Sosok tubuh yang baru saja menurunkan tan-
gan telengas itu, berkelebat kembali setelah memperhatikan sekelilingnya.
Melompati tembok tinggi dan tebal yang mengurung empat persegi panjang Keraton
Widung. Dengan sekali melompat dia sudah tiba di ha-
laman Keraton Widung. Namun belum lagi dia sempat
berbuat apa-apa, mendadak berpuluh punggawa men-
gurungnya dengan tombak di tangan. Wajah mereka
demikian buas. Sosok itu mendengus. Dan baru sadar kalau
kedatangannya memang sudah diketahui. Dia juga me-
rasa kalau tiga nyawa penjaga tadi sengaja dikorbankan untuk memancingnya masuk
ke halaman keraton.
Dia melihat dari pintu depan keraton, muncul
Prabu Kamansura disertai oleh tiga pengawal setianya.
Mahesa Bungaran atau yang bergelar si Tangan Kilat.
Ki Abdi Suro yang bergelar Dewa Tongkat Api dan Nyai Lastri Harum yang bergelar
Bidadari Bulan Purnama.
Ketiganya adalah orang-orang yang mengabdikan diri pada Prabu Kamansura segenap
jiwa dan raga. Sosok itu makin terkejut, dan baru menyadari
kalau dia tengah terjebak.
"Prakesti... sudah kuduga, kau akan datang
menuntut balas...." kata Prabu Kamansura. "Aku pun telah menduga, kalau kaulah
yang telah membuat
onar di berbagai desa di wilayah Keraton Widung ini!!
Sosok yang datang itu memang tak lain adalah
Panglima Prakesti yang datang untuk membalaskan
dendamnya. Meskipun dia terkejut, namun dia terke-
keh dengan penuh kesombongan.
"He-he-he... bagus, kau memang benar, Pra-
bu... aku, Prakesti tidak pernah menerima apa yang telah kau perbuat
terhadapku!" katanya congkak.
"Prakesti... mengapa kau masih berbuat seperti itu" Masih menaruh dendam" Apakah
kau lupa, bahwa semua ini adalah kesalahan yang telah kau perbuat sendiri?"
"Persetan dengan semua itu! Yang pasti, aku tidak akan pernah menerima apa yang
telah kau dan rakyat mu perbuat! Sampai ka-pan pun aku akan
membalas dendam dan sakit hatiku ini!"
Mahesa Bungaran atau si Tangan Kilat rupanya
orang yang tidak sabar sekali.
Dia maju selangkah dan membentak, "Prakes-
ti... kau sudah selayaknya untuk mampus! Pergilah
dari sini sebelum kemarahan kami naik!"
"He-he-he... mengapa kau nampak begitu pe-
marah sekali, Mahesa Bungaran?" suara itu terdengar amat mengejek, membuat
telinga Mahesa Bungaran
memerah dan semakin bertambah kesal. Dia sudah
kesal dengan kesombongan yang diperlihatkan oleh
Prakesti, dan kini semakin kesal karena dia di ejek seperti itu" Tidak sadarkah
kau" He-he-he... juga dengan dua aki dan nini yang nampaknya sudah layak untuk
menghuni liang kubur! Kalian memang sudah sepatut-
nya untuk mampus! Nah, bukankah lebih baik kalian
membunuh diri saja daripada harus bersusahpayah
mati secara mengerikan" Apalagi di tanganku... he-he-he...." Memerah wajah tiga
pengawal setia Prabu Kamansura itu. Sementara Ki Abdi Suredan Nyai Lastri Harum
secara bersamaan melangkah setindak ke depan. "Prakesti... kau tidak bisa
belajar menghormati orang tua nampaknya" Baiklah... sebagai orang tua...
aku hendak memberimu pelajaran!" kata Ki Abdi Suro
sambil mendengus.
"He-he-he... tidak salahkah pendengaran ku"
Bagus, bagus... aku akan lebih cepat mengantarkanmu untuk pergi ke liang kubur!
Begitu pula dengan kau, Nyai pesot!!"
Memerah wajah Nyai Lastri Harum. Mendadak
saja dia mengibaskan tangan kanannya ke arah Pra-
kesti. Serangkum angin dingin keras menderu me-
nerpa ke arah sosok yang tegak jangkung berikat kepala merah itu. Rupanya Nyai
Lastri Harum mengelua-
rkan ilmu Bidadari Memainkan Angin dalam tingkat
tinggi karena dia bermaksud memang hendak mengha-
jar Prakesti. Dalam pikirannya, Prakesti tidak akan berhasil
menghindari serangannya itu. Namun dia terbelalak
dengan mata yang seakan ingin melompat keluar, ka-
rena mendadak saja dengan satu gerakan yang amat
lincahnya Prakesti melesat melayang sementara Bidadari Memainkan Angin yang
dilepaskan oleh Nyai La-
stri Harum menghantam tembok yang mengelilingi Ke-
raton Widung. Keras.
Dan menimbulkan suara berdebat dengan ke-
rasnya.. "Duuuaarr...!" Tembok itu jebol dan runtuh.
Bersamaan dengan itu terdengar suara terke-
keh yang amat keras, "He-he-heh... jangan terkejut, Nini peot! Tak akan mudah
kau untuk membunuh
aku! Justru ajalmu yang telah tiba juga dengan kedua temanmu yang bagaikan
kambing ompong!"
Lalu sosok yang melayang itu hinggap di tanah
dengan ringannya. Dan terkekeh seolah bangga dengan demonstrasi yang baru saja


Pendekar Gagak Rimang 8 Banjir Darah Di Keraton Widung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditunjukkannya.
Semakin terbelalak mereka melihat kenyataan
itu. Mereka tidak pernah menyangka Prakesti memiliki
ilmu yang begitu tinggi. Nyai Lastri Harum yang bisa menguasai dirinya hanya
mendengus, sedikit merasa
terkejut karena Prakesti ini bukan lagi Prakesti yang dulu. Justru Mahesa
Bungaran yang menjadi penasaran. "Bangsat busuk!!" geramnya. "Jangan merasa
berbangga dulu karena kau bisa menghindari serangan Bidadari Bulan Purnama,
hah"!!"
Prakesti terkekeh yang terdengar begitu nyaring
dan menyeramkan. Dingin, menebarkan hawa kema-
tian. Cukup mengundang rasa ngeri yang luar biasa.
"Bidadari Bulan Purnama" He-he-he... nenek
peot itu kau katakan bagai bulan purnama" Ha-ha-
ha... rupanya kau sudah kena pelet dan terbalik matamu melihat betapa buruknya
wajah itu dan kau ka-
takan sebagai bulan purnama" Benar-benar tolol."
"Seetttaaannn!!"
"He-he-he... salahmu sendiri, Mahesa goblok!
Mengapa kau mau kena pelet nenek peot itu, hah" Tawanya mengejek. "Kalau begini,
apakah aku bersalah"
He-he-he... dasar goblok! Dan biasanya orang goblok seperti kalian ini tidak
akan pernah mau mengaku salah! Yah... memang goblok! Dan tak ku sangka kau se-
goblok itu, Mahesa Bungaran!! Kau terkena guna-guna nenek peot itu rupanya...
ha-ha-ha...!!"
"Keparat!" Wajah Mahesa Bungaran memerah.
"He-he-he... mengapa mesti marah" Itu salah-
mu! Salahmu sendiri! Kau ini memang manusia gob-
lok, tapi tidak mau mengakui kegoblokkan kalian! Dasar seperti keledai dungu!"
Mahesa Bungaran mendengus, kata-kata itu
amat menyakitkan sekali. "Keparat! Untuk menebus kesalahanku itu, kusarankan
agar kau lebih baik
membunuh diri saja!" serunya geram. "Hhh! Atau aku
yang akan membunuhmu" Dan agaknya Dewata me-
mang telah menakdirkan kau untuk mati di tanganku!"
"He-he-he... mati di tanganmu" Jangan asal
mengumbar bacot! Dengan apa kau hendak membu-
nuhku, Mahesa Bungaran?" serunya dengan suara mengejek. "Aku bukanlah orang yang
kau lihat beberapa bulan yang lalu!"
"Sombong! Dengan ini kau akan kubunuh, Ma-
nusia laknat!!" geram Mahesa Bungaran sambil mengangkat kedua tangannya yang
terkepal dengan keras menandakan kemarahan Mahesa Bungaran yang sudah pada
puncaknya. Lagi-lagi Ki Ronggo Jibus terkekeh-kekeh. Ma-
lah sekali-sekali menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sikap yang meremehkan
sekali. "Bukan main.... Tangan Kilat, hah" He-he-he...
hendak membunuhku dengan ilmu taik kucing itu"
Jangan bermimpi di siang bolong kau!"
Kukatakan sekali lagi, aku bukanlah Prakesti
yang dulu! Dan jangan menganggap ringan yang seka-
rang! Ketahuilah bahwa kaulah dengan dua cecoro mu itu yang akan mampus!!"
"Bangsat keparat!" geram Mahesa Bungaran dengan wajah yang memerah buas.
Kemarahannya sudah amat memuncak sekali. Dia merasa ditertawakan
dan dianggap remeh. Dia adalah seorang pendekar
yang gagah. Tak pernah dia mundur menghadapi tan-
tangan siapa pun juga. Lagipula, dia memang begitu benci dengan Prakesti sejak
belangnya yang dulu ketahuan. Maka mendengar ejekan itu dia pun segera
mengerahkan tenaga pada kedua tangannya, lalu
membentak nyaring. "Tahan serangan, Manusia busuk...!! Ciiiaaaaaaatttt...!!!!"
serunya pula dan bersamaan dengan itu tubuhnya pun melesat menerjang
dengan cepat ke arah Prakesti yang masih terbahak.
* * * 9 Ilmu Tangan Kilatnya sudah siap terangkum di
dada. Sebuah permainan ilmu silat yang amat hebat
sekali. Gerakannya sungguh cepat dan tangguh, layak disebut bagaikan gerakan
kilat. Di samping itu kedua tangannya yang telah dialirkan tenaga dalam yang
kuat terhimpun, siap menjebol dada kerempeng Pra-
kesti hingga berantakan.
Pukulan itu amat kuat sekali dan dengan pu-
kulan semacam itu Mahesa Bungaran akan mampu
membuat pecah sebongkah batu sebesar kambing atau
menumbangkan sebatang pohon kelapa.
Namun kali ini yang dihadapinya bukanlah
Prakesti yang dikenalnya, namun Prakesti yang telah di titisi oleh Penunggu
Hutan Larangan yang siap membantunya.
Sosok itu hanya tetap terkekeh-kekeh. Dia ti-
dak mengelak atau menangkis serangan itu, melainkan diterimanya pukulan Mahesa
Bungaran yang mengandung tenaga dalam yang kuat di dadanya.
"Wuuuuuuutttt... bukkkkk!!"
Seharusnya alam perkiraan Mahesa Bungaran,
dada itu akan jebol berantakan, namun betapa terkejutnya dia ketika merasa
betapa tangannya seolah bertemu dengan benda yang bukan main kerasnya.
Membuatnya sejenak kaget. Dan tak sadar dia
menjerit kecil sambil menarik kembali tangannya.
"Ilmu iblis!!" geramnya sambil berjumpalitan
menjauh dari sosok itu.
Prakesti terbahak.
"Mahesa Bungaran atau si Tangan Kilat yang
telah malang melintang di rimba persilatan dan menjadi pengawal setia Prabu
Kamansura, rupanya tidak ta-hu betapa tingginya langit dan betapa dalamnya
lautan! Sudah kukatakan sejak tadi, aku bukanlah
Prakesti yang dulu.... He-he-he... kali ini baru terbuka bukan mata kalian,
bukan" Bahwa aku tidak bisa dianggap sepele dan main-main!! Nah, mengapa kalian
tidak segera saja membunuh diri, hah"!"
"Keparat! Ilmu apa yang telah kau gunakan ta-
di"!" seru Mahesa Bungaran yang masih kaget.
"He-he-he... kau jeri, bukan?" "Rupanya kau penganut ilmu iblis! Tidak mungkin
dalam waktu pendek kau bisa menguasai ilmu seperti itu, hah"!"
"Itulah yang dinamakan ilmu Bobot Penghancur
Dunia! Di muka bumi ini, hanya akulah seorang yang memiliki ilmu itu! Jangan
terkejut, karena ilmu inilah yang akan memusnahkan kalian! Memusnahkan manusia-
manusia busuk yang hanya besar bacot belaka!!"
"Anjing keparat! Kita akan melihat siapa yang mati duluan menghadapi Dewata! Ku
bunuh kau, bangsat!!" seru Panggoro seraya melesat menyerbu kembali, kali ini dengan
kecepatan dan tenaga penuh.
"He-he-he... mengapa hanya kau saja yang me-
nyerang" Mengapa kedua temanmu itu tidak, hah"!
Apakah kedua teman hanya ingin jadi penonton saja"
Ataukah takut menghadapiku"!"
Mendengar kata-kata yang mengejek itu, mem-
buat Ki Abdi Suro segera melesat menyerang dengan
tongkatnya. Begitu pula dengan Nyai Lastri Harum.
Sebenarnya mereka malu dengan cara menge-
royok seperti ini. Namun apa boleh buat, karena mere-
ka pun mulai yakin dengan kehebatan Prakesti seka-
rang. "Bagus! Itulah yang aku inginkan" Mengapa tidak sejak tadi kalian
melakukannya, hah"!"
Prakesti hanya tertawa belaka. Lagi-lagi dia ti-
dak berbuat apa-apa. Tetap di posisinya semula sambil berucap ringan, "He-he-
he... kalian akan sia-sia belaka menyerang aku! Lebih baik kalian membunuh diri
sa-ja!!" Tiga serangan yang dilancarkan sekaligus itu
pun segera bergerak mencari sasaran. Berkelebat amat cepat. Dari berbagai
penjuru siap memusnahkan manusia itu.
"Buk...!!"
"Trak...!!"
"Des...!!"
Tiga serangan itu telah mencari sasarannya.
Namun seperti yang dialami oleh Mahesa Bungaran ta-di kalau pukulannya mengenai
sasaran yang amat
kuat, begitu pula yang sekarang. Mereka amat terkejut karena serangan yang
mereka lancarkan bagaikan
menghantam gunung batu!
"He-he-he... kalian akan sia-sia saja menyerang dan melawan aku, hah"!"
Meskipun cukup terkejut, namun tidak mem-
buat ketiganya jeri. Ketiganya adalah jago golongan putih yang selalu membela
kebenaran dan pantang mun-
dur. Mereka tidak takut menghadapi ilmu semacam
yang dimiliki oleh Prakesti. Namun tak urung mereka seakan disadarkan oleh
betapa tingginya ilmu yang
dimiliki oleh manusia bejat durjana itu. Namun meskipun demikian mereka tidak
gentar meskipun mereka
tahu Prakesti yang sekarang bukanlah Prakesti yang dulu. Dan bersamaan dengan
itu serentak ketiganya
bersalto ke belakang dengan gerakan yang amat ringan sekali. Prakesti terkekeh-
kekeh, merasa lawan-lawannya jeri dan ketakutan dengan apa yang dimilikinya.
Akan tetapi kekehannya itu terhenti karena matanya langsung terbelalak melihat
tiga sosok tubuh yang bersalto ke belakang tadi kini melompat kembali ke arahnya
dengan pukulan lurus ke depan.
Namun sama seperti halnya tadi, Ki Ronggo Ji-
bus tidak berusaha untuk mengelak ataupun menang-
kis serangan itu. Dia tetap terkekeh-kekeh mengejek.
Namun mendadak terdengar seruannya, "Hei...
hiaaaaatttt!!"
Sebelum ketiga pukulan itu siap menghantam
tubuhnya bagaikan melihat setan Prakesti bersalto
menghindar. Gerakannya cepat dan ringan. Karena dirasakannya dorongan tenaga
angin yang amat panas
yang siap hinggap di tubuhnya dari salah satu serangan itu. "Api Tongkat
Neraka!" serunya keras sambil hinggap di tanah bagaikan sesobek kapas dengan
ringannya. Rupanya Ki Abdi Surolah yang telah mengeluarkan jenis pukulan panas
yang rupanya ditakuti oleh Prakesti.
Ilmu andalannya pun telah digunakan. Walau-
pun sesungguhnya tadi pun dia sebenarnya ragu, apakah ilmu andalannya itu memang
bisa diandalkan un-
tuk menghadapi Prakesti.
Namun kenyataannya membawa hasil!
"Ha-ha-ha... untuk kau cepat menghindar, Ma-
nusia busuk! Bila tidak, kau akan mampus terbakar
dengan tubuh hangus!" bentak Ki Abdi Suro. "Rupanya itulah kelemahan ilmu kebal
yang kau miliki, hah"!"
Wajah yang mengerikan itu semakin menye-
ramkan kala menyeringai. "He-he-he... memang, ilmu api panas mu itulah yang
membuka jalan keluar bagi kalian! Karena ilmu kebal ku ini hanya bisa dikalahkan
oleh hawa panas. Dan aku sungguh tidak meng-
hendaki bila kenyataannya demikian...." Dia terkekeh lagi. "Akan tetapi kalian
tidak boleh lupa, kalau yang kalian hadapi kali ini adalah Prakesti, manusia
yang telah memiliki berjuta ilmu yang hanya beberapa ge-lentir saja dipergunakan
untuk menghadapi sekaligus membunuh kalian!"
"Jangan banyak omong kau, Keparat!" geram Ki Abdi Suro sambil mengibaskan
tangannya. "Mahesa Bungaran, keluarkan ilmu Tangan Sambar Kilat yang
bisa menimbulkan panas! Nyai Lastri Harum, gunakan ilmu Bidadari Memainkan Apimu
itu! Ayo kita gempur kembali manusia jahanam ini! Prakesti.... Sambut
serangan... hiiiaaaaattt!!" Tubuh itu melesat kembali dengan gerakan yang amat
cepat. Permainan Api
Tongkat Neraka yang hebat itu telah meluncur dari
kanan kiri mengarah ke arah kedau pelipis kepala lawan. "Wuuuutttt....
Plaaakk...!!!"
Kedua serangan itu tertahan dengan dua buah
tangan yang cepat digerakkan oleh Ki Ronggo Jibus.
Dan secepat itu pula dia memutar kedua tangannya
untuk menangkap pergelangan tongkat Ki Abdi Suro.
Namun Ki Abdi Suro dengan lihainya menge-
lakkan sambaran tangan Prakesti pada tongkatnya.
Lalu mengayunkannya lagi dengan posisi menggebuk.
Namun serangan itu berhasil dielakkan oleh
Prakesti. Akan tetapi belum lagi dia menginjakkan kakinya ke bumi, Mahesa
Bungaran dan Nyai Lastri Ha-
rum telah menyerbu ke muka dengan seruan yang ke-
ras. Pertempuran yang amat sengit pun terjadi.
Orang-orang yang menonton-nya kadang berdecak ka-
gum. Sementara Prabu Kamansura mendesah pan-
jang seraya mengelus dada. Dia tidak pernah me-
nyangka kalau ilmu yang dimiliki Prakesti itu maju begitu pesatnya.
Kembali diperhatikannya pertempuran yang
sengit itu. Mendadak Prakesti memapaki serangan yang
dilakukan oleh Mahesa Bungaran.
Dan dengan gerakan yang amat cepat dia ber-
hasil menangkap kedua tangan Mahesa Bungaran,
memuntirnya hingga tubuh Mahesa Bungaran mengi-
kuti gerak tubuhnya.
Ki Abdi Suro dan Nyai Lastri Harum sendiri
menjadi sangat terkejut sekali.
Dan sebelum mereka sempat berbuat apa-apa,
tiba-tiba saja Prakesti kembali menggerakkan kedua tangannya ke belakang hingga
tubuh Mahesa Bungaran kembali mau tidak mau mengikutinya. Bersamaan
tubuh Mahesa Bungaran membelakanginya, dengan
cepat tangan kanan Prakesti bergerak.
"Praaakkk...!!!"
Tangan yang penuh tenaga sakti itu menghan-
tam hingga pecah kepala Mahesa Bungaran yang lang-
sung ambruk tanpa sempat berteriak, dia hanya merasakan sakit yang luar biasa.
Lalu sakit itu lenyap selama-lamanya karena nyawanya sudah melayang me-
nemui Sang Penciptanya.
Orang-orang terkejut. Terpana, karena tidak
mengira Prakesti dapat melakukan hal itu.
Begitu pula dengan Prabu Kamansura yang
mendesis di hati, "Kejam!"
Hanya terdengar seruan Ki Abdi Suro kalap dan
tubuhnya melayang menerjang, "Manusia keparat! Kau
benar-benar manusia iblis!!"
Prakesti hanya terkekeh melihat keterpanaan
yang lainnya. Namun menghadapi serangan tongkat
api Ki Abdi Suro dia hanya menghindar ke kiri dan
langsung menangkis dengan kibasan tangan kanannya
kala dirasakannya ada hawa panas menyambar dari
belakang tengkuknya, karena Ki Abdi Suro langsung
bersalto ke muka dengan maksud menghabisi Prakesti.
Namun laki-laki itu dengan ringannya berhasil
menghindari serangan Ki Abdi Suro. Dan langsung
bergulingan kala dirasakannya dorongan angin panas sudah menyerbu.
Nyai Lastri Harum telah datang membantu ka-
wannya untuk menghabisi Prakesti.


Pendekar Gagak Rimang 8 Banjir Darah Di Keraton Widung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"He-he-he... rupanya kalian amat penasaran
sekali denganku! Baiklah, aku pun sudah jenuh den-
gan permainan ini! He-he-he... lebih baik kalian mampus saja sekarang!"
* * * 10 Bersamaan Prakesti berkata demikian, dia pun
berkelebat cepat. Kali ini tidak bertindak tanggung lagi.
Dia memang bermaksud hendak menghabisi Ki Abdi
Suro dan Nyai Lastri Harum.
Kedua tokoh itu terkejut karena serangan yang
dilakukan oleh Prakesti demikian gencarnya, disusul pula dengan serangan-
serangan yang berbahaya. Keduanya menjadi panik dan kalang kabut.
Mereka sia-sia mempertahankan diri. Karena
suatu ketika tubuh Prakesti berputar ke angkasa, ber-
salto dua kali dan langsung menyerang ke arah keduanya. Sejenak keduanya menjadi
gugup. Sebisanya
mereka bertahan, namun apa daya karena kelihaian
dan kesaktian yang dimiliki oleh Prakesti demikian tingginya.
Maka tanpa ampun lagi keduanya terhantam
pukulan sakti Prakesti dan terpelanting beberapa meter. Seruan jerit kesakitan
terdengar. Lalu ambruk untuk selamanya.
Prakesti terbahak. "He-he-he... itulah sebabnya bila berani menantang aku!"
Tiba-tiba dia mendengus, matanya yang terpancar sinar dendam mengarah pada
Prabu Kamansura, "Hhh! Prabu brengsek! Kini gili-ranmu-lah memetik ajal!!"
geramnya. Lalu dia pun langsung menyerbu ke muka, na-
mun beberapa orang prajurit segera menghadangnya.
Terjadi kembali pertempuran yang amat sengit. Sementara sebagai seorang
pemimpin, Prabu Kamansura
hanya terpaku di tempatnya berdiri. Dia tidak mencoba untuk melarikan diri atau
berusaha menyelamatkan
diri. Baginya tidak mungkin dia melakukan hal itu sementara para punggawa-nya
harus menyabung nyawa.
Banjir darah pun memenuhi halaman Keraton
Widung diiringi dengan jeritan kematian. Prakesti
mengamuk membabi buta. Setiap kali tangannya ber-
kelebat langsung mampus dengan kepala buntung be-
berapa sosok tubuh.
Dia membabi buta dengan kemarahan yang
memuncak, namun para punggawa yang jumlahnya
begitu banyak pantang menyerah meskipun mereka
harus mengorbankan nyawa. Bahkan mereka semakin
gigih mempertahankan diri.
Namun apalah artinya bagi mereka, karena ke-
saktian Prakesti sungguh tiada batasnya.
Tiba-tiba terdengar seruan keras, "Hentikan!!"
Sejenak pertempuran itu berhenti. Para pung-
gawa Keraton Widung mundur beberapa langkah. Pra-
bu Kamansura yang berseru tadi melangkah dengan
gagahnya. "Prakesti, lebih baik kini kau hadapi aku!" katanya gagah.
Prakesti terbahak. "Bagus, bagus... mengapa
bukannya dari tadi, justru setelah banyak punggawa mu yang mampus kau baru
berani mengorbankan dirimu! Hhh! Mampuslah kau!!"
Lalu tubuh Prakesti melayang ke muka, me-
nyerbu dengan ganasnya ke arah Prabu Kamansura.
Sang prabu pun sebenarnya memiliki ilmu kanuragan.
Namun ilmu yang dimilikinya ternyata tidak ada ar-
tinya bagi Prakesti.
Dia pun mendesak hebat. Sebentar saja desa-
kan itu sudah membawa hasil. Prabu Kamansura ha-
rus pontang-panting mempertahankan diri.
Hingga suatu ketika tak ada lagi kesempatan
baginya untuk menghindar. Prakesti sudah menyerbu
dengan suara yang lantang dan ganas.
"Mampuslah kau!!"
Namun belum lagi tubuhnya menghajar Prabu
Kamansura, mendadak melesat selarik sinar putih ke arahnya.
"Wuuuuutt...!!"
Membuat Prakesti harus bersalto bila tidak in-
gin tubuhnya tersambar sinar putih itu.
"Bangsat!" geramnya sambil memandang berke-liling dan dilihatnya satu sosok di
atas kuda hitam yang mengenakan caping bambu. Dia adalah Pandu
yang telah tiba di Keraton Widung dan langsung me-
motong serangan dari Prakesti terhadap Prabu Kamansura.
Pemuda itu tersenyum. Melompat ringan dari
kudanya. Menyembah hormat pada Prabu Kamansura
yang bersyukur. Lalu mendengus pada Prakesti.
"Hhh! Rupanya inilah tampang manusia yang
berkhianat! Bagus! Dosamu sudah tidak terhimpun
banyaknya, kau lebih baik mampus!!"
"Keparat! Siapa kau, hah?"
"Aku adalah Pandu... orang kebanyakan me-
nyebutku dengan sebutan Pendekar Gagak Rimang!"
"Hhh! Pendekar taik kucing! Lebih baik kau
pergi dari sini, sebelum kemarahanku justru memun-
cak padamu!"
"Tidak, aku justru ingin merasakan kemarahan
mu, Panglima khianat!"
"Anjing buduk! Mampuslah kau!!"
Prakesti pun mengalihkan serangannya pada
Pandu. Pendekar Gagak Rimang mencoba menghinda-
rinya, namun terkejut bukan kepalang karena menda-
dak saja Prakesti mengibaskan tangannya dan serangkum angin dingin berkesiur
dengan hebat. "Keparat!" seru Pandu kaget dan menghindar dengan jalan bersalto.
Namun manusia itu dengan gencarnya terus
mencecar hebat. Pandu menjadi pontang panting di-
buatnya. "Hahaha... mampuslah kau, Manusia usil!!"
Serangan-serangan yang berbahaya itu sema-
kin gencar mengarah pada Pandu. Murid Eyang Ring-
kih Ireng terkejut semakin kaget. Tiba-tiba terdengar suara di telinganya.
"Cucuku... bila kau ingin mela-wannya, hantamlah matanya... karena dia adalah
titisan dari Penunggu Hutan Larangan...."
"Eyang...."
"Lakukanlah...."
Pandu pun bersalto menghindari gempuran itu,
hingga suatu ketika dia pun terbebas dan seperti yang dibisiki oleh gurunya itu
dia pun mencecar kedua mata Prakesti. Benar saja, karena manusia itu
berulangkali menghindarkan kedua matanya dari serangan Pandu.
Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena
Pandu sudah mengeluarkan ilmu Cakar Gagak Ri-
mang. Dan pada suatu kesempatan dia pun berhasil
menghantamkan ajiannya itu ke wajah Prakesti dan
kedua jarinya terbuka, mencolok mata Prakesti.
Terdengar seruan keras bagaikan lolongan sri-
gala. Lalu tubuh itu ambruk. Pandu mendesah pan-
jang dan melihat ada bayangan yang lepas dari tubuh Prakesti.
"Hahaha... aku, Penunggu Hutan Larangan
akan terus memperdaya manusia untuk bersekutu
denganku! Sampai kapan pun!"
Semuanya terkejut. Tak terkecuali Prabu Ka-
mansura. Namun yang membuatnya lebih terkejut, ka-
rena sosok pemuda yang telah menolongnya telah le-
nyap. Hanya terdengar ringkik kudanya belaka.
TAMAT E-Book by Abu Keisel Jejak Di Balik Kabut 3 Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Dari Lembah Liar 5
^