Pencarian

Bencana Goa Iblis 2

Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis Bagian 2


adalah orang-orang jahat! Mereka menculik aku!
Mereka membakar rumahku! Bahkan mereka
memperkosa dan membunuh ibuku!!" seru Sekar Perak kalap hingga suaranya hilang.
Lalu tubuhnya terjatuh dan dia terguguk sedih yang berke-
panjangan. Pandu mendesah panjang.
Rondeng dan Mangkoro hanya menunduk-
kan kepalanya. Keduanya kini benar-benar sadar
bahwa yang telah mereka lakukan selama ini ada-
lah hanya kebejatan belaka.
Pandu menatap keduanya.
"Ki Sanak... ceritakanlah apa yang se-
sungguhnya telah terjadi" Aku tidak mengerti
mengapa gadis ini mengatakan kalian orang-
orang jahat" Benarkah apa yang telah dikatakan
oleh gadis ini, Ki Sanak" Ceritakanlah... jangan membuatku jadi semakin
bertanya-tanya ada apa
gerangan...."
Rondeng dan Mangkoro kini bagaikan anak
kecil belaka. Tidak terlihat lagi kegarangan dan kekejamannya. Mereka semakin
sadar bahwa selama ini mereka telah salah melangkah. Langkah
mereka telah terlalu jauh menyimpang dari jalan kebenaran. Semua ini mereka
lakukan karena mereka takut pada Bojo Mayit, ketua Perkumpu-
lan Sangkur Baja.
Bila mereka keluar dari perkumpulan itu,
sudah tentu Bojo Mayit akan mencari dan mem-
bunuh mereka. Ini merupakan di lema buat me-
reka. Karena tidak tahu sikap yang bagaimana
yang harus mereka perlihatkan.
Rondeng mendesah sebelum angkat bi-
cara. "Maafkan kami sebelumnya, Ki Sanak....
Kami memang telah banyak berbuat kesalahan.
Dan apa yang dikatakan oleh gadis itu adalah benar adanya...."
"Jadi?"
"Sekarang kami sadar, Ki Sanak... bahwa
apa yang telah kami lakukan selama ini salah besar. Dan kami seakan baru melihat
titik terang itu pada dirimu... sehingga kami menyadari apa yang telah kami
jalani hanyalah membuat dosa dan kesalahan...."
Pandu mendesah. Walaupun baru kalimat
itu yang dilontarkan oleh Rondeng, dia dapat
memakluminya. Gadis itu benar. Dan mereka te-
lah sadar serta mengerti bahwa apa yang telah
mereka lakukan adalah sebuah kesalahan besar.
"Dan kami ingin minta maaf atas kesalahan
yang telah kami perbuat selama ini...."
Pandu sekali lagi mendesah. Lalu berpaling
pada Sekar Perak yang masih terduduk di tanah
sambil terisak.
"Nona... kau dengar kata-kata itu?"
Sekar Perak tetap terguguk. Bayangan ru-
mahnya yang terbakar, ibunya yang mati terbu-
nuh dan diperkosa, semuanya bersatu di benak-
nya. Dia masih tidak bisa menerima keadaan itu.
Perlahan-lahan diangkatnya kepalanya un-
tuk menatap Pandu.
"Pendekar budiman... hatiku hancur oleh
semua yang telah dilakukan mereka.... Sulit bagi-ku untuk memaafkan mereka....
Aku tak kuasa menahan semua ini.... Dan dendamku akan terus
ada sebelum mereka mati...."
"Mereka sudah menyesali semua kesa-
lahannya...."
"Mengapa mereka tidak sadar bahwa yang
mereka lakukan itu berdosa" Mengapa kesadaran
itu tidak muncul sebelumnya, sehingga ibuku
masih hidup" Keluargaku tentram dan aman"
Mengapa"!" Kali ini suara itu bagaikan menuntut.
"Itu kesalahan mereka, Nona...."
"Dan kesalahan itu hanya bisa ditebus bila mereka sudah mati!"
"Mereka sudah minta maaf, Nona...."
"Kata maaf hanya kamuflase saja. Bila
keadaan sudah amat mendesak, kata maaf itu ba-
ru dilontarkan. Tapi, Tuan pendekar... apakah ka-ta maaf itu bisa dijadikan
pegangan" Apakah
yang dimintai maaf itu langsung menerima" Ti-
dak, tak akan pernah aku memaafkan mereka!!"
kata Sekar Perak tegas dengan mata beringas.
Pandu hanya mendesah panjang.
Mendadak terdengar jeritan yang amat ke-
ras dan menyayat sekali. Pandu terkejut dan lebih terkejut lagi ketika melihat
Rondeng dan Mangkoro sudah terkapar dengan leher hampir putus.
Keduanya secara diam-diam memungut golok
yang tergeletak di dekat kaki mereka.
Dan menggorok lehernya sendiri untuk bu-
nuh diri. Sekar Perak sendiri terkejut. Dan menjerit,
"Akkhhhhh!!" Sebenarnya dia tidak ingin melihat hal itu. Dia tidak ingin melihat
orang-orang itu mati. Tadi yang dilontarkan hanyalah emosi-nya belaka. Dia pun
menangis panjang karena ngeri
dan menyesal. Dengan hati-hati Pandu merangkulnya.
"Nona.., kau lihatlah... betapa mereka begitu tu-lus untuk meminta maaf dan
menyesali perbua-
tannya.... Sudahlah, tak ada yang perlu ditangisi lagi.
Lebih baik, kuantar kau kembali ke rumahmu...."
* ** 7 Bulan di langit sepotong. Sebagian tersaput
oleh awan gelap. Suasana langit begitu suram.
Suasana sepi. Mendadak dari Istana Kediri me-
lompat sosok tubuh dengan ringannya. Dan ber-
kelebat dengan cepat menerobos kepekatan ma-
lam. Rupanya orang itu memiliki ilmu merin-
gankan tubuh yang amat sempurna, karena gera-
kannya hampir-hampir tidak menimbulkan suara.
Orang itu terus berlari dengan cepatnya,
menuju ke arah sungai yang sepi, yang jaraknya
lumayan jauh dari Kerajaan Kediri.
Di dekat sebuah sungai ada satu pondokan
yang kecil. Dari kejauhan terlihat ada sinar yang agak remang-remang. Menandakan
pondokan itu berpenghuni. Orang yang berlari itu bergegas ke pondo-
kan tadi. Lalu dengan hati-hati dia mengetuk pin-tu perlahan. Delapan kali.
Diketuk secara lambat-lambat. Seperti merupakan satu ketukan isyarat.
Agak berapa lama terdengar pula sahut-an
ketukan dari dalam dua kali. Dan orang yang ba-
ru datang itu pun kembali mengetuk tiga kali. Barulah kemudian pintu itu
terbuka. Sosok tubuh kecil berdiri di ambang pintu.
Dia menyuruh orang yang baru datang itu
agar segera masuk, dan dia sendiri melihat sekelilingnya, sedang mencari apakah
ada yang melihat kedatangan tamu itu.
Ketika akan menutup pintu lagi, tiba-tiba
dia mengibaskan tangan kirinya ke depan. Dan
semak-semak yang bergerak hingga membuatnya
curiga, hancur berantakan terkena pukulan jarak jauhnya. Dan seekor binatang
malam menggelepar lalu mati dengan tubuh hancur lumat.
Orang itu mendengus. Lalu menutup pintu.
Orang yang datang tadi segera menegur.
"Bagaimana, Nimas" Barang itu aman?"
Yang dipanggil ikutan duduk.
"Kemungkinan besar masih aman, Kawan.
Tapi..." "Tapi kenapa, Nimas?"
"Ada kejadian yang memalukan."
"Apa maksudmu?"
"Maafkan aku, Kawan. Yah... tempat itu
sudah dikuasai oleh orang-orang Kediri."
"Hei, kenapa bisa begitu?"
"Kami gagal mempertahankannya."
"Apa maksudmu?" Suara orang yang baru datang itu meninggi. Wajahnya meradang.
"Maafkan aku, Kawan... sebenarnya kami
mampu menghabisi Rondeng, Mangkoro, dan seo-
rang gadis cantik...."
"Rondeng dan Mangkoro"!" Orang itu me-motong dengan suara terkejut.
"Ya! Dia yang menyerang kami!"
"Lalu?"
"Saat itu kami sudah berada di atas angin
dan mampu mengalahkan mereka. Tetapi kemu-
dian mendadak muncul seorang pemuda yang ga-
gah perkasa. Dia membuat barisan kami porak
poranda. Bahkan dia berhasil melukai kaki kiriku ini dengan Pukulan Sinar
Putihnya. Yah... Goa
Alas Bantan berhasil mereka rebut."
Dari rasa terkejut kembali orang itu me-
maki geram. Nafasnya mendengus-dengus. Tan-
gannya mengepal.
"Kau bodoh, Nimas! Kau tidak bisa men-
jalankan tugas yang kuberikan!"
"Maafkan aku, Kawan.... Aku sudah mela-
kukannya semampuku. Sebisaku. Dengan tekad
bulat untuk menangkapnya. Tetapi pemuda itu
benar-benar tangguh. Di samping tenaga kami
sudah terkuras, juga kehebatan pemuda itu se-
pertinya amat sakti. Seperti seorang dewa. Dan
dia menguasai Pukulan Patuk Gagak yang amat
tangguh. Delapan orang anak buahku mampus di
tangan mereka. Tetapi bila Pendekar Gagak Ri-
mang...." "Pendekar Gagak Rimang?" potong orang itu lagi.
"Ya, dialah pendekar muda yang berjuluk
Pendekar Gagak Rimang. Bila saja dia tidak ada, mungkin Goa Alas Bantan masih
berada di tangan kita!"
"Lalu bagaimana dengan barang itu"!"
"Barang itu aman!"
"Bagaimana kau bisa seyakin itu, hah"!"
"Ingat, Kawan... aku sudah lama men-
diami Goa Alas Bantan dan aku tahu seluk beluk
rahasianya."
"Kau bisa menjamin?"
"Jiwa dan ragaku sebagai taruhannya! Goa
Alas Bantan hanya akulah yang mengetahui ra-
hasianya. Di sana pula aku mendapatkan ilmu-
ilmu yang sangat berbahaya dan tangguh. Barang
itu pasti aman. Mereka tidak ada yang tahu di
mana barang itu ku sembunyikan. Kau sendiri
pun tidak tahu, bukan?"
Orang yang baru datang itu mendesah. Ke-
lihatan lega. "Tapi ingat, Nimas... barang itu jangan
sampai hilang. Sudah lama aku mengidamkan-
nya. Dan tak lama lagi aku akan menjadi raja di dunia persilatan yang gagah
perkasa. Hmmm...
maksud kedatanganku ke sini begini, Nimas. Se-
benarnya, aku masih dan ingin mengambil barang
itu sekarang. Aku sudah tidak sabar untuk mem-
pelajarinya. Dan bila selesai akan ku tantang semua jago-jago di rimba
persilatan ini. Ingat, Nimas... tak ada yang boleh tahu siapa yang telah mencuri
Kitab Lembayung Naga Langit itu."
"Hihihi... tak seorang pun yang akan tahu.
Dan kau bisa mempelajarinya dengan seksama.
Dan bila sudah tamat, jurus Dewa Ular Putih
yang ku temukan secara tidak sengaja di Goa Alas Bantan pun dapat kau
taklukkan...."
"Ya, ya... inilah mungkin yang bisa ku lakukan...."
"Hihihi.... dan tentunya kau tidak akan lu-pa bukan dengan upah yang akan kau
janjikan?"
"Hhh! Kau selalu mengeruk bagian dari-
ku" Menjaga barang itu saja kau tidak mampu!"
"Hihihi... jangan kuatir, aku akan segera
mengambilnya. Tetapi bagianku kurang.... Kau
tentunya tidak lupa dengan bagianku, bukan?"
"Apa maksudmu?"
"Hihihi... kau lupa kalau begitu...."
"Menurut perasaanku, semua yang kau
minta telah kuberikan padamu. Apa lagi yang ku-
rang?" "Hihihi... mana lagi wanita-wanita yang akan kau kirimkan padaku, hah"
Mana" Kau lu-pa dengan janjimu itu" Dan sialan, salah seorang wanita yang kau
kirimkan padaku pekan lalu sudah tidak perawan! Tetapi... hihihi... ya, enak
juga untuk dicicipi!"
"Sialan!"
Keduanya terbahak.
"Hahaha... baiklah, bila kau berhasil me-
rebut kembali Goa Alas Bantan dan mengambil
barang itu atau Kitab Lembayung Naga Langit,
semua yang kau inginkan akan terpenuhi. Kau
akan mendapatkan harta yang banyak dan pera-
wan-perawan cantik yang akan menemanimu se-
tiap saat. Kau suka itu, bukan?"
"Hihihi... kau membuatku malu, Kawan...
aku ini seorang gadis, masa kau akan memberi-
kan para gadis cantik?" Banci itu tertawa ngikik.
Tersipu-sipu bagaikan seorang gadis yang
tengah dilamar oleh pemuda idamannya.
Dan banci itu adalah seorang laki-laki yang
penuh nafsu birahi!! Banci itu menampilkan wa-
jah tersipu-sipu.
Orang yang datang itu tertawa keras. Nam-
pak lucu mendengar kata-kata si banci.
"Hua-ha-ha... kau ini, Nimas... kau ini laki-laki tulen, biar seperti wanita
lagakmu, tapi naf-sumu gede jika lihat perempuan cantik! Sudah-
lah, jangan berlagak seperti wanita! Lakukan pe-rintahku ini dengan cepat. Dan
aku tidak ingin
kau melaporkan hal ini dalam usaha yang gagal.
Aku harus kembali sekarang. Aku tidak in-
gin ada yang tahu siapa aku sesungguhnya. Na-


Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mun rencanaku ini sudah kau ketahui semuanya.
Nah, Nimas. Kau rebut kembali Goa Alas
Bantan dan jangan sampai lupa tentang Kitab
Lembayung Naga Langit. Aku sudah tidak sabar
untuk mempelajarinya.
Tak lama lagi aku akan menjadi jago di
rimba persilatan! Aku akan menjadi raja....! Hua-ha-ha-ha...."
Kedua orang yang punya rencana busuk
itu tertawa panjang lebar. Nimas Andini berjanji akan menjalankan perintah itu
dengan baik. Tak lama kemudian, laki-laki yang datang
tadi segera berpamitan. Dia bergerak dengan cepat menuju istana dan masuk ke
sana tanpa seo-
rang pun melihat dan mengetahuinya, siapa
orang itu. Sementara itu Nimas Andini menutup pin-
tu kembali. Dan berpikir bagaimana caranya un-
tuk membunuh Prabu Kediri. Dia harus berhasil.
Harus berhasil.
Dia sudah malu karena gagal memper-
tahankan Goa Alas Bantan. Dia berjanji akan me-
rebutnya lagi. Dan dia tidak ingin kegagalan itu terjadi lagi, maka dia harus
berhasil membunuh
sang Prabu Kediri!
Setelah berhasil menemukan caranya, tiba-
tiba dia bangkit, membuka pintu dan memperha-
tikan keadaan sekelilingnya. Sepi. Sunyi.
Tiba-tiba dia berkelebat ke luar.
Hanya lima menit dia keluar dan kembali
lagi. Kali ini bersama seorang perempuan muda
yang terkulai lemah di bahunya karena tertotok.
Wajah perempuan muda itu amat cantik. Matanya
kelihatan habis menangis dan sayu.
Nimas Andini tertawa. Dia laki-laki tulen!
Bahkan kadar gairah birahinya begitu be-
sar sekali. Daripada terbengong sendirian tanpa ada kerjaan, lebih baik dia
puaskan nafsunya sa-ja. Urusan pembunuhan itu gampang dan sudah
ditemukan caranya.
Dan keesokan harinya, desa itu gempar ka-
rena seorang perempuan muda ditemukan tewas
di tengah sawah dalam keadaan telanjang bulat
dan darah di selangkangannya!
Para gadis-gadis di sana menjadi ngeri me-
lihatnya. Dan para laki-lakinya berjaga-jaga agar jangan kejadian itu sampai
terulang lagi, Namun sore harinya, ditemukan lagi se-
sosok mayat wanita dalam keadaan tergantung di
pohon dengan tubuh telanjang bulat dan selang-
kangan berdarah pula.
Benar-benar kejam banci itu!
Dia sudah memperkosa, kini membunuh
pula! Hanya Dewata yang tahu hukuman apa
yang pantas untuk manusia kejam seperti Nimas
Andini! * * * 8 Bojo Mayit adalah seorang laki-laki yang
berwajah seram. Di kepalanya terdapat sebuah
ikatan berwarna merah. Di kedua tangannya yang
besar dan gempal melingkar gelang-gelang yang
terbuat dari akar bahar. Tubuhnya gempal dan
kekar. Dia memiliki ilmu Sangkur Baja, yang
mampu membuat tubuhnya kebal terhadap senja-
ta dan ilmu apa pun.
Sudah tiga hari ini Bojo Mayit menunggu
para anak buahnya yang disuruhnya untuk men-
culik Sekar Perak dan membuat huru hara di de-
sa itu. Namun hingga kini, belum seorang pun
yang menampakkan diri. Dia menjadi amat marah
karena merasa dipermainkan.
Anak buahnya tidak ada yang berani untuk
menenangkannya. Begitu pula dengan para selir-
nya yang berjumlah 12 orang yang hanya bisa
mengelus dada saja dan harus melayani kemauan
Bojo Mayit. Karena bila dia sudah teramat kesal, dia pun menggumuli selirnya
dengan penuh ke-biadaban.
Hari ini pun dia marah-marah.
"Gembolo! Ke sini kau"!" bentaknya uring-uringan sambil hilir mudik. Dia sudah
tidak sabar ingin menggumuli diri Sekar Perak yang pernah
dilihatnya beberapa bulan yang lalu.
Dia memang sudah mengirimkan utusan
untuk melamar Sekar Perak, namun hasilnya ni-
hil. Dan ini membuatnya geram, hingga dia pun
memerintahkan anak buahnya untuk membuat
onar di desa itu.
Yang membuatnya geram, karena orang-
orang desa seperti bersatu. Dan malam itu dia
pun menyuruh langsung untuk menculik Sekar
Perak. Namun hingga kini utusannya belum ada
yang kembali membawa kabar yang menggembi-
rakan. Yang dipanggil Gembolo tadi muncul den-
gan tergesa-gesa. Dia menjatuhkan diri di depan Bojo Mayit setelah menjura
dengan hormat. "Ada apa, Ketua?"
"Hhh! Kau cari orang-orang yang ku utus
untuk menculik calon istriku itu! Harus dapat!
Dan ingat, bila kau gagal, kau akan mampus se-
cara mengerikan, Gembolo!"
"Baik, Ketua!"
"Sekarang pula kau berangkat mencari me-
reka!" "Baik, Ketua!"
"Dan ingat dengan sangsi yang akan ku-
jatuhkan padamu itu!"
"Baik, Ketua!" sahut Gembolo dengan penuh hormat. Lalu dia pun mundur untuk
melak- sanakan tugas yang diberikan oleh ke-tuanya.
Sungguh suatu tugas yang dirasakan amat sulit
sebenarnya. Apalagi dengan ancaman yang cukup
mengerikan. Gembolo pun membawa beberapa orang
teman untuk mendampinginya. Dia pernah ikut
dalam satu serangan yang mereka lakukan, dan
orang-orang desa sudah bersatu dan bersiap un-
tuk menghadapi mereka. Itulah sebabnya dia
membawa teman. Sementara itu Bojo Mayit segera bangkit
dan berjalan sambil menyeret salah seorang selirnya untuk dibawa ke kamar.
Sang selir hanya bisa mendesah panjang
dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dia yakin, tu-
buhnya akan semakin hancur diganyang oleh
manusia biadab ini!
* * * "Kau tetap tidak mau kembali ke rumah-
mu?" tanya Pandu dengan suara yang ramah.
Sekar Perak menundukkan kepalanya. La-
lu memandang sekeliling hutan. Mereka baru saja keluar dari Goa Alas Bantan.'
Sudah dua hari mereka berada di sana.
Dan dua hari pula Pandu membujuk Sekar
Perak untuk segera pulang. Karena dari peristiwa yang terjadi, Pandu dapat
membayangkan bagaimana bingungnya orang tua Sekar Perak si Banyu
Biru. Namun gadis itu malah menolak. Dia tidak
mau kembali ke rumah dengan alasan tidak mau
melihat lagi pertumpahan darah yang mengeri-
kan. Bunuh diri yang dilakukan Rondeng dan
Mangkoro masih membekas di hatinya. Dia amat
menyesal hingga keduanya nekad membunuh di-
ri. Seharusnya dia memaafkannya.
Namun dia begitu keras kepala. Dan sung-
guh, Sekar Perak terus menyesali kejadian itu.
Hati-hati diangkatnya kepalanya. Di tatap-
nya Pandu yang membuka capingnya. Wajah itu
begitu tampannya. Sekar Perak sebenarnya lebih
suka berada di tempat ini berduaan dengan Pan-
du. Dua hari mereka tinggal bersama, sudah me-
numbuhkan benih kasih di hati Sekar Perak.
Pemuda ini begitu baik padanya.
Namun sudah tentu sebagaimana seorang
gadis, amat malu untuk menunjukkan bahwa dia
menyayangi lawan jenisnya bila lawan jenisnya
belum memulai. "Tidak, Kakang... aku tidak ingin kembali
ke rumah...." katanya.
"Rayi, Sekar... tidakkah kau kasihan pada
ayahmu yang sudah tentu amat cemas menanti
kedatanganmu dan berpikir-pikir tentang diri-
mu?" "Aku tahu soal itu, Kakang?"
"Lalu mengapa kau tidak ingin kembali pu-
lang?" "Aku merasa lebih baik di sini."
"Mengapa?"
"Di sini jauh dari keramaian. Di sini aman, tenang dan damai. Tidak ada orang-
orang jahat yang selalu berkeliaran. Aku menyukai tempat ini, Kakang...."
Aku juga menyukai tempat ini, Rayi... kata
Pandu dalam hati. Namun jiwa yang sudah mele-
kat pada diriku adalah jiwa petualang. Jiwa yang selalu mengembara. Dan aku
tidak pernah menyukai tempat untuk berdiam diri kecuali Bukit
Paringin, di mana aku merasa tentram di sisi
Eyang Ringkih Ireng.
Eyang... aku rindu padamu....
Sekar Perak yang melihat Pandu terdiam
jadi bertanya, "Ada apa, Kakang" Mengapa kau diam" Adakah kata-kataku yang
salah?" Pandu buru-buru tersenyum.
"Tidak, Rayi... tidak ada apa-apa...."
"Kakang marah karena aku tidak mau pu-
lang?" "Tidak."
"Atau... atau Kakang tidak mau menema-
niku di sini?"
"Mengapa kau berkata begitu?"
"Jawablah, Kakang... bukankah begitu?"
Pandu tersenyum. Tangannya disentuh-
kan kepada bahu Sekar Perak. Yang disentuh jadi merinding. Karena dia memang
amat mengharapkan sentuhan tangan dari Pandu.
"Tidak, Rayi... sungguh aku suka me-
nemanimu di sini. Namun aku tidak mau bila
ayahmu begitu menjadi cemas terhadapmu
Sekali lagi bukannya aku melarangmu atau
tidak suka kau tinggal di sini, namun aku tidak ingin terjadi apa-apa di antara
kita...." "Apa maksudmu, Kakang?"
"Rayi... tidak sadarkah kau bahwa kita
hanya berdua?"
"Lalu?"
"Aku kuatir... akan terjadi apa-apa di anta-ra kita. Kita masih sama-sama
berjiwa muda, ge-
jolak nafsu birahi kadang bisa muncul kapan saja dan aku kuatir kita tidak akan
bisa mengekang-nya." "Mengapa demikian, Kakang?"
"Aku pun tidak mengerti. Yang pasti hal
itulah yang aku kuatirkan, Rayi...."
Sekar Perak menundukkan kepalanya.
"Malah aku suka bila hal itu benar terjadi, Kakang. Aku malah mengharapkannya.
Kakang Pandu... diam-diam aku semakin kagum padamu.
Rasa simpati dan benih kasih yang tumbuh di ha-
tiku bisa menjadi subur, Kakang."
Namun tiba-tiba Pandu terdiam. Telinganya
menangkap satu gerakan yang mencurigakan.
Namun dia tetap tenang, karena tidak ingin mem-
buat Sekar Perak menjadi cemas.
Maka dengan hati-hati dia berkata, "Rayi...
sebaiknya kau masuk ke dalam saja."
"Mengapa, Kakang" Aku suka berada di si-
ni?" "Aku ingin berdiam sendiri di sini."
"Oh, kau tidak suka bila kita berdua, Ka-
kang?" "Bukan itu maksudku, Rayi... aku kuatir bila kita selalu berdua, akan
terjadi apa-apa. Kau mengerti bukan maksudku, Rayi?"
* ** Sekar Perak mengangguk. Lalu perlahan-
lahan dia bangkit masuk ke dalam goa. Di am-
bang mulut goa dia masih menoleh ke belakang
untuk melihat Pandu.
Pandu hanya tersenyum. Setelah Sekar Pe-
rak hilang dari pandangan, dia pun segera berjalan ke arah hutan. Karena
telinganya menangkap
gerakan yang mencurigakan.
Lalu dia berkata pelan. "Yang mengintai...
silahkan keluar, mengapa harus pakai sembunyi
segala?" Mendadak satu sosok tubuh melompat dari
atas pohon. Dia adalah Nimas Andini yang datang kembali untuk membalas dendam
sekaligus merebut "barang" yang ada di Goa Alas Bantan.
Sejak tadi dia sudah mengintip keduanya.
Pikirnya dia aman-aman saja. Karena sikap Pan-
du sepertinya tidak mengetahui kedatangannya.
Namun dia salah sangka. Dia terlalu remeh
menganggap Pandu. Inilah akibatnya.
Dan sekarang, laki-laki itu ternyata me-
mergokinya, tak ada jalan lain bagi Nimas Andini untuk menampakkan diri.
Pandu tertawa melihat Nimas Andini mun-
cul. "Ha... ha... rupanya Banci Murah Senyum yang main kucing-kucingan."
Wajah Nimas Andini memerah, benar-
benar dia yang bodoh, pengintaiannya rupanya
sejak semula diketahui Pandu. Tetap dia hanya
mendengus, menganggap remeh Pandu.
Pandu berkata lagi. "Nona yang gagah per-
kasa, ternyata masih suka bermain sembunyi-


Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sembunyian. Ada apakah gerangan?"
Semakin memerah wajah Nimas Andini.
Matanya melotot gusar, tetapi Pandu hanya ter-
tawa. Dia tahu kenapa Banci Murah Senyum ini
mengintainya. Dendam! Namun sebelum dia ber-
kata, Nimas Andini sudah membentak keras.
"Aku memang sengaja datang lagi... Pandu.
Kau tahu kenapa?"
Pandu tersenyum.
"Aku ingin membunuhmu!" Suara Nimas
Andini kejam dan menusuk. Matanya me-
mancarkan nafsu membunuh. Apalagi teringat
kekalahannya beberapa hari yang lalu.
Pandu melengak sebentar tapi kemudian
tenang, "Aku tak mengerti mengapa kau hendak berbuat demikian" Padahal aku tahu,
kita tak pernah berselisih!"
"Hhh! Kau harus mampus, Pandu! Seka-
rang bersiaplah kau! Sudah lama aku ingin men-
jajal kesaktian Pendekar Gagak Rimang. Tahan
serangan!" membentak Nimas Andini dan melesat
dengan pukulan lurus ke wajah Pandu. Tak ada
jalan lain buat Pandu kecuali melawan. Dia pun
merunduk dan menangkis lalu balas menyerang
lebih cepat. Nimas Andini berkelit dengan cekatan dan kakinya menyambar. Pandu
memperlihatkan ilmu meringankan tubuhnya dengan melompat ke
sana ke mari menghindari serangan Nimas Andi-
ni. Nimas Andini pun meningkatkan serangan-
serangannya. Terjadilah di tempat itu pertempu-
ran yang hebat dan seru. Masing-masing sudah
memperlihatkan kelincahannya dan kesaktian-
nya. Dan keduanya sama-sama masih bertahan.
Tiba-tiba keduanya sama-sama memekik panjang.
Nimas Andini maju menyerbu dengan dorongan
kedua tangannya. Pandu tidak mengelak, dia ma-
lah menyambut dengan dorongan yang sama.
"Dess...!"
Kedua tenaga besar itu saling bertemu
dengan hebatnya. Tubuh Nimas Andini mental ke
belakang dengan deras, sedangkan Pandu hanya
terhuyung lima langkah. Itu saja sudah menan-
dakan, kalau tingkat tenaga dalam Nimas Andini
masih jauh berada di bawah Pandu.
Nimas Andini mengusap darah yang ke-
luar melalui mulutnya. Dia sekarang yakin dan
menyadari kalau lawannya bukanlah orang sem-
barangan dan tidak boleh diang-gap ringan. Nama besar Pandu memang suatu
kenyataan yang tidak
bisa dipungkiri.
Namun biar begitu Nimas Andini tidak gen-
tar, dia malah penasaran. Tiba-tiba dia membuka angkinnya. Angkin itu diuraikan
dan menjadi sebuah selendang. Dia mengebut-ngebutkan selen-
dangnya, rupanya akan dijadikan senjata.
Pandu hanya tersenyum saja.
"Kalau aku boleh tahu, Nimas. Siapa yang
menyuruhmu untuk membunuhku?" tanyanya
sebelum Nimas Andini menyerang. Namun Nimas
Andini tidak mau menjawab. Dia malah terkikik.
Dan mengibaskan angkinnya dengan cepat.
Angkin itu bagaikan digerakkan oleh tena-
ga magnit, bisa bergerak dan menangkis dengan
cepat. Rupanya itu memang senjata andalan Ni-
mas Andini. Pandu pun bergerak dengan cepat meng-
hindarkan serangan selendang itu yang kadang
melemas namun penuh tenaga dan kadang tegang
seperti tombak. Namun dengan jurus Gagak Ter-
bang lalu kembali Pandu bisa menghindarkan se-
rangan-serangan itu dan membuat Nimas Andini
semakin penasaran.
Suatu ketika Pandu membentak keras dan
tubuhnya melentik ke atas, bersamaan dengan itu Nimas Andini mengibaskan
angkinnya yang mendadak menjadi tombak dan siap menembus leher
Pandu. Masih di udara Pandu bersalto dan ber-
balik menyambar ujung angkin itu. Terjadilah adu tenaga yang kuat, masing-masing
hendak mempertahankan ujung angkinnya yang dipegangnya.
Nimas Andini yakin dia akan kalah dalam
hal adu tenaga dalam. Maka dia membiarkan
angkinnya dibetot oleh Pandu. Dan bersamaan
dengan itu dia menggenjot tubuhnya ke depan
dengan tangan dan kaki menyerang.
Pandu sedikit terkejut dengan serangan
demikian. Dia tidak menduga sama sekali.
Dengan gerakan yang amat cepat dia me-
lempar tubuhnya ke samping. Namun Nimas An-
dini telah" lebih dulu memburu dengan cepat.
"Des!" Tangan kanannya menghantam dada Pandu hingga bergulingan.
"Hihihi... hanya begitu saja kehebatan Pendekar Gagak Rimang rupanya!"
Pandu mendengus seraya bangkit.
"Kau memang hebat, Banci! Sayang... ilmu
yang amat hebat itu kau gunakan untuk jalan ke-
sesatan!" "Jangan banyak omong!"
"Hmm... agaknya aku pun menjadi pena-
saran terhadapmu!" *
"Aku akan lebih penasaran bila belum
membunuhmu, Pandu!" geram Nimas Andini.
"Hhh! Tahan serangan!!" serunya pula.
Lalu dia menyerbu kembali diiringi dengan
pekikan yang amat keras. Pandu pun segera me-
mapakinya. Kembali keduanya saling serang den-
gan cepat. Hebat. Tangkas. Berbahaya. Penuh dengan serangan-serangan tipuan.
Sejauh ini nampak keduanya berimbang.
Tiba-tiba Nimas Andini bersalto ke belakang dan begitu hinggap di tanah langsung
menggenjot tubuhnya kembali. Kali ini jurus Dewa Ular Putih-
nya sudah siap hendak dijotoskan kepada Pandu.
Pandu sendiri melihat keadaan yang amat
kritis itu. Tak ada jalan lain. "Maafkan aku, Eyang. Terpaksa kugunakan Pukulan
Cakar Gagak Rimang untuk menghadapi lawan yang se-
dang gila ini."
Lalu dia pun menderu maju memapaki se-
rangan Nimas Andini. Dapat dibayangkan betapa
dahsyatnya dua ilmu yang amat tinggi itu berte-
mu dalam gempuran tenaga yang hebat. Suasana
menjadi amat mencekam.
"Duaaarrrr!!"
Terdengar suara bagaikan ledakan belaka
kala kedua ilmu itu bertemu.
Terlihat pula asap putih mengepul tebal.
Daun-daun berguguran. Dan dari balik asap tebal itu terlontar dua sosok tubuh ke
belakang. Nimas Andini muntah darah begitu jatuh
ke tanah. Nafasnya terasa sesak. Dia tidak me-
nyangka Pandu berani memapakinya dan tenaga
Pandu demikian hebat.
Sementara Pandu pun merasakan hal yang
sama. Dia tidak menyangka Pukulan Cakar Ga-
gak Rimang mampu ditandingi oleh Dewa Ular
Putih. Berarti di atas langit masih ada langit.
Bagi Nimas Andini bila dia masih nekad
untuk melawan, pastilah dia akan berakhir. Lalu dengan dipaksakan atas sisa-sisa
tenaga yang ada, perlahan-lahan dia bangkit sambil meme-
gang dadanya. "Kau... hhh... hari ini... kau menang kem-
bali, Pandu... tetapi ingat... sampai kapan pun aku akan datang untuk membalas
semua ini...."
Lalu tubuhnya pun melesat dengan cepat,
membawa luka di dadanya.
Sementara bagi Pandu itu adalah suatu hal
yang amat baik sekali. Karena dia pun merasakan nyeri di dadanya. Lalu dengan
terhuyung diba-wanya langkahnya ke Goa Alas Bantan.
Sudah tentu Sekar Perak amat terkejut me-
lihat keadaannya yang terluka. Sebelum gadis itu berkata apa-apa, Pandu sudah
ambruk pingsan.
"Kakang!!"
* * * 9 Sesosok tubuh itu menyelinap di kege-
lapan malam. Berlari menuju sebuah gubuk kecil
yang di belakangnya ada sebuah sungai. Orang
itu meninggalkan kudanya tak jauh dari gubuk
itu. Angin malam berhembus dingin. Suara aliran
sungai agak keras terdengar.
Dia mengetuk pintu gubuk itu delapan kali.
Sebuah isyarat untuk temannya yang di dalam,
bahwa dia yang datang.
Dari dalam pun terdengar ketukan ba-
lasan sebanyak tiga kali. Tanda orang di dalam
gubuk itu mengiyakan. Dan perlahan pintu itu
terbuka. Orang yang datang tadi segera menyelinap
masuk. Perlahan pintu tertutup kembali.
"Bagaimana, Nimas" Kau berhasil membu-
nuhnya?" tanyanya kepada Nimas Andini yang ja-di serba salah. Orang ini menjadi
penasaran. Dia mendekati Nona Berwujud Lain itu.
"Bagaimana, Nimas" Kau sudah berhasil
membunuhnya, bukan" Katakan secepatnya, aku
tidak punya waktu banyak sekarang. Malam ini
pula aku harus segera pergi."
Orang itu menunggu dengan gelisah kare-
na Nimas Andini tidak segera menjawab.
Banci itu berkali-kali menghela nafas. Dan
dia perlahan mengangkat wajahnya. Sorot ma-
tanya penuh penyesalan, sehingga orang itu sege-ra bisa menebaknya.
"Kau gagal lagi, Nimas?" tekannya dengan suara geram.
"Maafkan aku, Kawan," Suara Nimas Andi-ni pelan.
"Bagaimana kau sampai gagal" Kau adalah
orang kepercayaan ku, Nimas!"
"Lagi-lagi pemuda itu datang bagai setan,
Kawan." "Pemuda yang mengalahkanmu dan mere-
but Goa Alas Bantan?" seru orang itu panas.
Nimas Andini mengangguk.
"Bangsat! Siapa dia adanya?"
"Yang ku tahu dia bernama Pandu. Dia
memiliki kesaktian yang tinggi. Juga Golok Cin-
darbuana."
Seketika orang itu berpaling dan dengan
suara kaget berkata, "Apa?"
"Golok Cindarbuana, Kawan."
"Golok Cindarbuana" Golok pusaka yang
hilang 20 tahun yang lalu" Bagaimana kau bisa
tahu dia memilikinya?"
"Dia menyerangku dengan golok itu. Ilmu
goloknya pun hebat dan tangguh, hingga menyu-
litkanku untuk menaklukkannya."
"Hhh!" Orang itu mendengus. "Siapa pemuda itu sebenarnya. Dia bisa jadi 'duri
penghalang bagi kita untuk menjadi jago nomor satu,
Nimas... secepatnya kau harus mengetahui siapa
sebenarnya pemuda itu. Di mana posisi dia sebe-
narnya." "Secepatnya, Kawan."
"Aku tidak mau kau gagal lagi, Nimas. Kita harus bergerak dengan cepat."
"Aku berjanji akan melaksanakannya den-
gan baik."
"Aku tidak mau hanya janji saja. Kau ha-
rus membuktikan!"
"Aku akan membuktikan."
"Bagus!"
"Dan secepatnya kau akan mendapat ke-
terangan lengkap mengenai pemuda itu."
"Baik! Aku pergi sekarang!" kata orang itu dan keluar menyelinap di kegelapan
malam dan banyaknya pepohonan. Dia menaiki kudanya
kembali. Padahal dia betapa geramnya karena
orang suruhannya itu gagal kembali. Hhh! Seha-
rusnya dibunuh saja Nimas Andini itu. Tapi dia
tidak mau melakukannya sekarang, karena tena-
ga Nimas Andini masih diperlukan. Kalau dia su-
dah tidak memerlukan atau banci itu gagal lagi
menjalankan tugasnya, akan segera dihabisinya
manusia yang tak berguna itu.
Lalu orang itu menggebrak kudanya den-
gan kencang. Menerobos malam dan angin yang
dingin. Dan angin dingin itu menusuk kulit Nimas Andini yang masih berdiri di
ambang pintu, menatap hilangnya orang yang datang tadi.
Ini gara-gara pemuda yang bernama Pandu
itu. Bah! Dia harus bisa membalaskan dendam
ini. Dia tidak ingin mengalami kegagalan terus
menerus. Dia akan mencari pemuda itu sebelum pe-
muda itu menemukan atau mencarinya di gu-
buknya ini. Tapi toh gubuknya ini terhalang oleh pepohonan yang rimbun. Dia
pasti amam dan tempat ini tidak bisa diketahui orang.
Hawa dingin yang menusuk itu memer-
cikkan gairah birahi di hati si banci. Dalam kea-
daan dingin begini, lebih asyik mendekap seorang gadis cantik dan menggumulinya
sampai puas. Sampai tergeletak dengan peluh berluruhan.
Dia tersenyum sendiri.
Lalu menutup pintu.


Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan berkelebat dengan cepat menerobos
malam yang pekat. Seperti biasa kalau birahinya sudah datang, dia sukar untuk
membendungnya. Dia harus melampiaskannya. Apalagi hatinya se-
dang geram begini, melihat gadis cantik yang di-gumulinya nanti menangis dan
menjerit-jerit an-
tara sakit dan nikmat, bisa menghilangkan kege-
ramannya. Apalagi juga karena udara yang sangat
dingin ini. Seorang gadis bertubuh padat dan mulus lebih enak dirasakan
menggelinjang dalam
dekapannya. Menggairahkan darahnya yang bisa
mengalir panas.
Dan di tengah kegelapan malam itu terden-
gar pekikan keras.
"Tolong... tolong...!"
Dan dalam bayangan bulan nampak se-
sosok tubuh tengah memanggul seorang gadis
manis. Sosok tubuh itu adalah Nimas Andini yang karena terlalu bernafsu lupa
untuk menotok si
gadis, yang kini meronta-ronta dalam panggulan-
nya. Namun pekikan gadis itu sudah terdengar
dan memecahkan keheningan malam. Menarik
perhatian para peronda yang sedang berpatroli
dan menjaga di posnya.
Mereka segera bergerak mencari sumber
suaranya itu. Samar-samar nampak di sebuah rumah
kecil seorang laki-laki dan wanita tua tengah
menjerit-jerit minta tolong dan me-manggil-
manggil sebuah nama.
"Priatsih! Priatsih! Hu-hu-hu... tolong, tolong anak gadisku...!"
Para peronda itu sampai ke dekat mereka.
Salah seorang bertanya tergesa.
"Apa yang terjadi, Pak tua?"
Laki-laki tua itu menyahut tersendat,
"Anakku... anakku.... Priatsih... dia diculik orang. Oh, tolong, tolong
anakku...."
Para peronda itu segera bergerak dengan
cepat, setelah ditunjukkan ke mana arah larinya penculik itu. Dengan membawa
obor dan parang
mereka bergegas. Mereka geram sekali. Sudah
sering terjadi penculikan para gadis remaja di si-ni. Dan sampai sekarang belum
diketahui siapa
yang telah melakukannya. Itulah sebabnya sudah
beberapa minggu ini penjagaan diperketat. Tapi
toh mereka masih kecolongan juga.
Kasihan para gadis remaja di desa itu. Me-
reka selalu ngeri dibayangi penculikan dan perkosaan. Karena jika malamnya ada
penculikan, ma-
ka besok paginya gadis itu ditemukan sudah mati dengan selangkangan berdarah.
Rupanya penculik itu memperkosa begitu kejam, hingga darah
itu terus menetes dari kemaluan sang perawan
meskipun dia sudah meninggal. Tentunya meru-
pakan satu siksaan bagi si perawan di kala dia
masih hidup dan disiksa.
Ini sudah tentu membuat para peronda
semakin geram. Mereka bersumpah, bila mene-
mukan penculik dan pemerkosa itu akan mencin-
cangnya sampai mati. Bahkan mayatnya akan
diseret oleh kuda!!
Sementara itu, Nimas Andini sudah ma-kin
menjauh dari sana. Dia sudah menotok gadis
yang dipanggulnya, yang kini terdiam kaku.
Dia menyesali kecerobohannya tadi. Bang-
sat! Mengapa dia sampai lupa untuk menotok ta-
di" Juga kedua orang tua gadis itu. Sialan! Hampir saja dia terpergoki!
Tetapi Nimas Andini yakin kalau sekarang
dia sedang dicari, sedang menjadi buronan. Apa-
lagi samar-samar dari kejauhan dilihatnya cahaya yang sedang berjalan ke
arahnya. Sialan! Ini bisa mengganggu keasyikan-ku
saja! Makinya jengkel. Lalu dia bergegas berlari lagi. Di suatu tempat yang
cukup sepi, Nimas
Andini melompat ke balik semak. Gadis itu dire-
bahkannya di rumput. Dia terkekeh. Hmm... me-
lihat gadis yang montok ini, nafsu birahinya seketika muncul dan sukar untuk
dibendung lagi.
Tetapi kalau disikat di sini, orang-orang
yang mencarinya bisa memergokinya. Dia hanya
mampu menelan liurnya saja melihat dada gadis
yang montok itu dan pahanya yang mulus karena
kainnya sudah tersingkap.
Berdebar hati Nimas Andini melihatnya.
"Sialan! Aku hanya jadi penonton saja tu-
buh yang mulus dan aduhai ini!!" makinya jengkel. Dia menggaruk-garuk kepalanya.
Sekali lagi dia menelan ludahnya. Jakun-
nya turun naik. Debaran jantungnya semakin ke-
ras terdengar. Bergedebuk.
"Kurap! Monyet! Sialan!!" makinya karena jengkel. Nafsu birahinya sudah benar-
benar naik. Gara-gara orang-orang yang mengejarnya itu dia
tidak berani langsung menggarap korbannya. Pa-
dahal hidangan itu sudah tersedia di hadapan-
nya. ' Nimas Andini tidak mau menanggung resi-ko untuk berkelahi. Padahal
baginya tentu mudah untuk membunuh para pengejarnya itu. Namun
dia enggan untuk membuang tenaga banyak
menghadapi mereka. Untuk menikmati hidangan
ini saja, bukankah membutuhkan tenaga yang
banyak" Nimas Andini terkikik karena merasa geli
sendiri. Dan kembali dia memaki-maki.
Orang-orang yang mencarinya sudah se-
makin dekat padanya. Nampak karena obor yang
dibawa mereka menampakkan cahaya yang me-
nandakan mereka sudah semakin dekat.
Sekali-sekali mereka melihat ke kanan dan
ke kiri. Barangkali saja penculik itu berada tak jauh dari mereka.
Nimas Andini terkikik.
Namun tiba-tiba telinganya yang terlatih
menangkap sebuah langkah dari arah kirinya.
Langkah yang ringan dan tenang.
"Hhh! Siapa lagi ini" Kayaknya bukan dari
para pengejar itu?" geramnya gusar.
Lalu dengan hati-hati dia menyibakkan
semak itu sedikit, untuk mengintip siapa yang datang!
* * * 10 Tiba-tiba nampak wajahnya yang terkejut
begitu melihat dan mengenali siapa yang datang.
Pemuda yang dibencinya! Pemuda yang berkali-
kali mempercundanginya.
Bangsat! Yang datang itu memang Pandu. Setelah
pingsan dan terluka akibat perkelahiannya den-
gan Nimas Andini, selama dua malam dia beristi-
rahat. Dan Sekar Perak dengan penuh kasih
sayang merawatnya.
Sudah tentu dengan penuh kasih sayang,
karena gadis itu memang mencintainya. Dia begi-
tu telaten sekali. Dan berkali-kali di menatap wajah Pandu selagi pemuda itu
pingsan. Ingin didekapnya.
Ingin dibelainya. Ingin dikecupnya.
Namun dia tidak berani melakukannya
meskipun Pandu dalam keadaan pingsan.
Ketika pemuda itu siuman, betapa gem-
biranya Sekar Perak. Barulah saat itu dia meme-
luk Pandu karena terlalu gembira. Tetapi kemu-
dian buru-buru dilepaskannya sambil menjerit
kecil tersipu. "Oh!"
Pandu hanya tersenyum kecil walau di-
rasakannya kasih sayang yang terpancar dari wa-
jah Sekar Perak. Dan kehangatan rangkulan yang
baru saja dia rasakan.
Namun Pandu tetap menahan perasaan-
nya. Kalau mau jujur dia pun sebenarnya menyu-
kai gadis itu. Namun dia tidak berani pula untuk mengatakannya. Bukannya tidak
berani, namun bagi Pandu bercinta dan berpacaran itu pun bila sampai berakhir ke pernikahan,
akan membuatnya terbelenggu dan tidak merasa bebas me-
layang bagaikan burung terbang lepas.
Dan yang membuat Sekar Perak terkejut,
ketika malam harinya Pandu berkata: "Rayi... aku bermaksud untuk keluar dari
hutan ini...."
"Mengapa, Kakang?" "Aku tidak bisa terlalu lama berdiam di-sini. Aku semakin
tidak mengerti dan tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi."
kata Pandu. "Lalu bagaimana denganku, Kakang?"
"Kau tetap saja di sini."
"Mengapa, Kakang?"
"Karena kupikir kau lebih aman di sini."
"Tanpa mu kau yakin aku akan aman, Ka-
kang?" "Ya, Rayi..."
"Lalu kau sendiri?"
"Aku hanya ingin mengetahui mengapa
semua ini terjadi" Siapa sebenarnya orang yang
berdiri di balik semua ini."
"Sudah kuceritakan padamu, Kakang....
Bojo Mayitlah yang menjadi momok semua itu."
"Mungkin dia. Mungkin pula bukan."
"Apa maksudmu, Kakang?"
"Aku tidak mengerti tentang Nimas Andini.
Mengapa dia begitu mendendam."
"Karena kau mengalahkannya."
"Bukan itu maksudku."
"Lalu apa, Kakang?"
"Ada rahasia apa di goa ini."
"Bukankah kau sudah mengeceknya" Dan
tak ada satu pun yang mencurigakan?" Pandu mendesah.
"Benar."
"Lalu?"
"Aku ingin mencari tahu di luar sana, ten-
tang Goa Alas Bantan."
"Jadi?"
"Ya, aku akan tetap keluar."
"Berarti aku sendiri di sini?"
"Untuk sementara ya, Rayi. Aku tidak la-
ma. Bila sudah kudapatkan informasi tentang
Goa Alas Bantan. Aku akan cepat kembali."
Sekar Perak menunduk.
"Aku yakin, kau adalah gadis yang pem-
berani, Rayi. Dan aku yakin pula bahwa kau akan menungguku di sini."
"Benarkah kakang akan kembali?"
"Selama kau mengenalku, pernahkah aku
berbohong padamu, Rayi?"
Sekar Perak menggelengkan kepala.
"Belum."
"Bahkan tidak dan tidak akan pernah. Per-
cayalah padaku, Rayi."
"Baiklah, Kakang.... Kapan kakang akan
pergi mencari informasi itu...."
"Malam ini, Rayi...."
"Malam ini?"
"Ya."
"Oh!"
"Kenapa, Rayi?"
"Secepat itu, Kakang?"
"Ya, biar aku semakin cepat kembali ke si-
ni," kata Pandu.
"Tapi, Kakang...?"
Pandu tersenyum.
"Baiklah, Rayi... besok pagi aku akan per-
gi...." Dan keesokan paginya Pandu pun berangkat. Sekar Perak hanya bisa
memperhatikan dengan hati yang sedih. Tetapi dia berbahagia karena Pandu berjanji untuk
kembali. Pandu pun tidak menggunakan kuda-nya.
Dia berjalan kaki. Dan tak terasa dia sudah berjalan cukup jauh.
Sementara itu Nimas Andini masih mem-
perhatikan pemuda yang datang itu. Dia lalu
mendengus. Hhh! Lagi-lagi manusia itu!
Tiba-tiba bibir Nimas Andini membentuk
seulas senyum. Dia mendapat satu pikiran yang
jahat. Ya, dia akan melakukannya sekarang ini
juga! Tanpa memperdulikan resiko bahaya-nya,
pikiran Nimas Andini berbalik seratus delapan
puluh derajat. Dengan buasnya dia memperkosa
gadis itu saat itu juga. Dengan buas tanpa men-
genal ampun. Gadis itu hanya menahan sakitnya. Me-
nangis, namun air matanya tidak keluar. Dia me-
nahan rasa sakit yang luar biasa. Sakit di hatinya lebih-lebih lagi, bagai di
rejam oleh ribuan jarum yang sangat tajam.
Tadi dia mengira penculiknya itu tidak
akan memperkosanya karena sejak tadi dia ter-
diam. Dan gadis itu berharap para pencarinya segera menemukannya. Namun harapan
itu hanya- lah kosong belaka.
Sementara Nimas Andini semakin buas
memperkosanya. Kegeramannya seakan di-
tumpahkan kepada gadis itu. Hancurlah pertaha-
nan perawan yang menjaga kehormatannya, yang
akan mempersembahkan kepada suaminya nanti.
Hancur sudah! Berkeping!
Dan karena tak kuasa menahan sakit dan
malunya, dia pingsan sementara Nimas Andini
masih asyik memperkosanya.


Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hmmm... kebetulan sekali gadis ini ping-
san," desisnya setelah selesai memuaskan nafsunya. Tubuhnya agak lemas. Dan saat
itulah Pandu tiba di dekatnya. Berjalan dengan tenang.
Namun tiba-tiba sebuah serangan bergerak
ke arahnya. Pandu yang pendengarannya pun te-
lah terlatih, segera reflek berguling ke kiri. Justru inilah yang dikehendaki
oleh Nimas Andini, karena pemuda itu berguling ke tempat Priatsih pingsan. Dan
dengan satu gerakan yang cepat, Nimas
Andini bergerak dan tangannya menyambar baju
Pandu. Pandu yang terkejut karena melihat sosok tubuh yang terdiam di dekatnya,
tidak sempat mengelakkan sambaran tangan si Banci.
"Brek!!"
Baju itu robek di bagian dada. Setelah ber-
hasil, Nimas Andini pun segera berkelebat pergi.
Pandu berusaha mengejar.
"Hei!"
Namun bayangan itu sudah berkelebat
dengan cepat dan sebentar saja menghilang.
Sedikit pun Pandu tidak sempat melihat
siapa orang itu sebenarnya.
Pandu mengurungkan niatnya untuk men-
gejar, mengingat seorang gadis yang di lihatnya tadi kala dia bergulingan. Gadis
itu sepertinya pingsan.
Entah apa yang telah dilakukan orang tadi
terhadap gadis itu. Lalu Pandu pun segera meng-
hampiri ke balik semak untuk melihat keadaan
gadis itu. Benar, gadis itu pingsan. Keadaan gadis itu begitu menyedihkan.
Pakaiannya robek,
dengan kain yang tersingkap hingga ke atas. Pan-du terkejut melihat ada noda
darah di kain gadis itu. Setelah dia dapat mengerti mengapa terjadi seperti itu.
Pandu semakin terkejut. Ya Tuhan...
orang tadi telah memperkosanya! Ya, ya... sung-
guh kejam! Buas dan tega!
Pandu menggeram. Ah, kalau saja dia da-
tang tidak terlambat" Sesalnya dalam hati. Orang itu telah memperkosa gadis ini
dengan kejam, hingga pingsan pula! Biadab!
Sungguh biadab! Hatinya pilu melihat kea-
daan gadis ini. Betapa mengenaskannya. Kasihan
gadis manis ini. Wajah gadis itu memang cantik.
Ah, kasihan kau, Manis.
Nyatanya badai besar telah menghadang
mu sebelum sampai ke tujuan.
Tiba-tiba Pandu melihat cahaya terang da-
tang mendekatinya.
Pandu yang tidak tahu apa sebenarnya
yang tengah terjadi, berdiri, menyembulkan kepalanya dari semak itu.
"Bapak.... Bapak...." Panggilnya tanpa merasa akan terjadi sesuatu pada dirinya.
Orang-orang itu segera menoleh. Dan se-
rentak wajah mereka menjadi beringas. Dengan
marah mereka mengacungkan parang yang dipe-
gangnya. Salah seorang yang ternyata pimpinan pe-
ronda itu, membentak, "Di mana kau sembunyikan Priatsih"!"
Pandu yang tidak tahu apa-apa, kebingun-
gan. "Saya tidak tahu apa... apa maksud an-da...?" Orang yang bernama Barejo itu
menggeram marah. "Jangan berpura-pura, penculik busuk! Di mana kau sembunyikan
Priatsih! Atau... parang-parang ini akan ikut menanyakan mu"!"
Pandu semakin bingung. Ada apa sebenar-
nya ini" Ada apa" Tadi ada orang yang menye-
rangnya. Lalu gadis yang pingsan diperkosa ini.
Belum lagi orang yang muncul ini dan marah-
marah padanya. Oh... ada apa ini"
Tiba-tiba setitik kesadaran memercik mun-
cul. Dan membuat Pandu menjadi kuatir akan di-
rinya. Orang yang memperkosa ini ternyata seo-
rang bajingan tulen. Dia ingin melemparkan kesalahannya pada dirinya. Ingin
membuat kambing
hitam pada dirinya. Dan orang-orang inilah yang mencari gadis itu. Sudah tentu
dia tidak bisa mengelak dari tuduhan yang dilontarkan mereka.
Karena hanya dirinyalah yang berada di sini.
"Hhh! Bangsat orang tadi!"
"Hei, katakan di mana Priatsih"!" bentak Barejo gusar.
Tiba-tiba seorang temannya meloncat ke
semak itu. Dan dia terkejut melihat Priatsih da-
lam keadaan pingsan dengan baju yang compang-
camping. "Kakang Barejo!" serunya sambil meme-
riksa tubuh Priatsih. "Jangan lepaskan pemuda itu! Dia telah memperkosa
Priatsih!"
Serentak orang-orang itu segera me-
ngurung Pandu. Pandu yang merasa sulit meng-
hindari mencoba menerangkan apa yang telah
terjadi. Sudah tentu orang-orang yang geram itu tidak percaya dengan apa yang
dikatakannya. Bukti telah nyata, itu yang penting bagi mereka.
Bukannya penjelasan.
"Sungguh, Bapak-bapak. Begitulah keja-
dian yang sebenarnya."
"Jangan mungkir, Anak muda!" geram Barejo. "Semua sudah jelas dan terbukti!!"
"Tapi... bukan saya yang melakukan per-
kosaan kejam itu. Seseorang telah menyerang
saya dan membuat kambing hitam pada saya!"
"Hhh! Kau tidak bisa lari dari bukti itu,
Anak muda. Kami mendengar suara ribut-ribut
tadi!" "Karena aku berkelahi melawan orang ta-di."
"Jangan berpura-pura!" bentak salah seorang yang memegang obor. Dia sudah ingin
mem- bakar saja wajah pemuda yang tampan itu. "Keri-butan tadi pasti antara kau
dengan Priatsih! Karena Priatsih menolak apa yang hendak kau laku-
kan padanya! Perbuatan keji!"
"Percayalah, Bapak-bapak," kata Pandu se-bisanya. Dia masih berusaha untuk
meyakinkan keadaan yang sebenarnya. Dia pun tidak ingin
bentrok dengan penduduk di desa ini. "Bukan aku yang melakukannya. Bebaskan aku
sekarang, aku akan mencari orang itu."
"Bangsat! Membebaskan"! Enak sekali kau
bicara, Anak muda! Dari pakaianmu yang robek
itu pun sudah merupakan sebuah bukti bahwa
Priatsih menolak apa yang hendak kau lakukan
padanya!" "Tapi...!"
"Bangsat! Kau masih mungkir juga! Se-
rang dia!" seru Barejo panas.
Dan serentak ketujuh parang itu berke-
lebat ke arah Pandu. Pandu segera bersalto ke
depan. Namun mereka segera mengurungnya
kembali. Mereka adalah peronda-peronda keper-
cayaan yang juga memiliki kepandaian bersilat.
Sudah tentu tidak mudah bagi Pandu untuk lari
dari kepungan itu. Namun dia tidak bisa lagi
menghindari perkelahian ini. Orang-orang itu sudah marah besar. Dan mereka
merasa telah me-
nemukan orang yang selama ini membuat onar di
desa mereka. Sudah tentu mereka tidak akan me-
lepaskan manusia bejat ini. Mereka harus bisa
membekuk dan memberi pelajaran baginya. Atau
paling tidak, hukuman yang setimpal bagi si pe-
merkosa. Tetapi rupanya para peronda itu belum ta-
hu siapa yang dihadapinya. Nimas Andini berhasil
membuat kambing hitam pada Pandu. Dan Pandu
tidak memiliki kesempatan lagi untuk membela
diri. Parang-parang itu terus berkelebatan dengan cepat. Kilatannya nyata
terlihat karena cahaya
rembulan. Para peronda itu geram sekali karena
sudah beberapa lama tapi si pemuda bejat ini belum juga mampu mereka lumpuhkan.
Pandu sendiri biarpun berhasil meng-
hindari setiap serangan itu merasa lama kela-
maan dia bisa terdesak pula. Tenaganya makin
lama semakin melemah. Apalagi orang-orang itu
banyak, tenaga mereka masih besar. Mereka me-
nyerang secara beruntun dan bergantian. Sudah
tentu menghemat tenaga.
Dia pun mulai berusaha membalas namun
tidak dengan pukulan mematikan. Hanya berusa-
ha untuk meloloskan diri. Tetapi biarpun telah
berhasil, orang-orang itu telah mencapnya seba-
gai pemerkosa. Dan mereka tentu tak akan melu-
pakannya. Pemuda yang memakai baju putih-
putih dan berikat kepala biru.
Tiba-tiba salah seorang dari penyerang-nya
itu mengibaskan tangan kirinya, melempar obor-
nya dengan gerakan cepat.
Pandu terkejut. Apalagi jaraknya dengan
orang itu begitu dekat. Hanya refleknya sajalah yang membuatnya bisa
menghindarkan api itu.
Dia berguling dengan cepat dan kakinya menyapu
orang yang melemparkan obor itu.
"Des!"
Orang itu berguling ambruk. Melihat te-
mannya berhasil dilumpuhkan, keenam orang itu
semakin garam. Serangan mereka semakin kacau
balau namun sangat mematikan.
Dengan mengandalkan jurus berkelit-nya
Kijang Kumala, Pandu berhasil menghindari se-
rangan itu. Sementara api obor yang dilempar orang
tadi, sudah mulai membakar rerumputan. Namun
orang-orang itu seakan tak perduli, mereka terus mencecar pemuda bejat ini.
Mereka harus berhasil membekuknya dan mengadilinya seberat-
beratnya. Melihat api itu semakin besar, Pandu me-
rasa hanya api itulah yang bisa menolong. Selain tidak mau melukai orang-orang
ini, dia juga sudah mulai letih. Hampir dua jam dia menghindari serangan itu.
Juga hal ini menghambat perjala-nannya menuju Goa Alas Bantan.
Sambil menghindar serangan itu, dia ber-
seru, "Api! Api! Api itu semakin besar!"
Dan seperti tersadar orang-orang itu
menghentikan serangannya. Mereka terkejut me-
lihat api yang sudah membesar. Lebih terkejut la-gi kalau di semak itu ada
Priatsih yang masih dalam keadaan pingsan.
Barejo berseru, "Padamkan api itu! Sela-
matkan Priatsih!"
Tiga orang segera berusaha memadamkan
api, sementara Barejo sendiri beserta kedua te-
mannya menghadapi Pandu. Hal ini mengun-
tungkan Pandu, karena serangan tidak begitu lagi
rapat. Sambil mengibaskan tangan dan kakinya,
dia membuat jalan keluar. Dan tiba-tiba dengan
sangat ringannya dia melenting ke atas, meng-
hindari kepungan itu. Dan dengan cepat dia su-
dah menghilang dalam kegelapan malam.
Barejo terkejut dan berusaha mengejar,
namun bayangan pemuda itu telah menghilang.
Dia memaki-maki sendiri. Jengkel. Semen-
tara api sudah berhasil dipadam-kan. Priatsih sudah diangkat dan dipindahkan ke
tempat yang agak lapang. Dengan menghentakkan kakinya jengkel,
Barejo kembali menemui teman-temannya.
"Kita gagal lagi, Kawan-kawan. Bangsat itu ternyata pemuda yang berkepandaian
tinggi," katanya dengan suara menyesali.
"Kita tidak bisa tinggal diam, Kakang Bare-jo. Kita harus segera mencari pemuda
itu." "Kita laporkan kejadian ini kepada Ki Lu-
rah." "Ya, kita laporkan kejadian ini pada Ki Lurah. Mudah-mudahan Ki Lurah bisa
membawa persoalan ini kepada Prabu Sri Jayarasa."
Barejo masih kelihatan geram. Tetapi ke-
mudian dia segera memerintahkan teman-
temannya untuk kembali. Apalagi nampak fajar
sudah mulai menyingsing. Lalu mereka segera
meninggalkan tempat itu. Tiga orang membopong
Priatsih dan tiga orang lagi membopong teman
mereka yang pingsan.
Hati mereka geram dan marah.
Sementara Barejo masih menyesali ke-
kalahan mereka sehingga tidak bisa membekuk
Durjana Pemetik Bunga itu. Berarti manusia bu-
suk itu masih berkeliaran. Dan ini tidak bisa di-biarkan berlarut-larut. Karena
amat membahaya-
kan jiwa para anak perawan.
Dan Barejo tidak bisa menahan pilunya
mendengar tangis dan ratapan orangtua Priatsih.
Mereka malah lebih rela kalau anak-nya mening-
gal saja, daripada hidup tetapi menanggung malu yang teramat menyiksanya. Yang
bisa merendah-kan harga diri anak tunggal mereka. Yang harus menanggung malu
seumur hidup. Yang harus
melahirkan bila hasil perko-saan itu membuah di rahimnya.
Tuhan... kesalahan apa yang telah di laku-
kan anaknya itu. Dan kesalahan apa yang telah
mereka lakukan" Tangis dan ratapan itu masih
terdengar. Memilukan dan menyayat hati.
Diam-diam Barejo meninggalkan tempat itu
dengan kepala menunduk: Dia tak akan pernah
melupakan wajah pemuda bejat itu.
Sampai kapan pun dia akan mencarinya.
Ketika dia sampai di rumahnya, terdengar bunyi
kokok ayam jantan yang keras. Peristiwa itu akan diingatnya sampai kapanpun
juga. Dia tak akan
pernah memaafkannya.
TAMAT E-Book: Abu Keisel
http://duniaabukeisel.blogspot.com


Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kisah Membunuh Naga 6 Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt Pengelana Rimba Persilatan 3
^