Pencarian

Siasat Yang Biadab 1

Pendekar Gagak Rimang 7 Siasat Yang Biadab Bagian 1


SIASAT YANG BIADAB Oleh Fredy S. Cetakan Pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trianto S.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Fredy S.
Serial Pendekar Gagak Rimang
dalam episode Siasat Yang Biadab
1 Pandu terus berlari dengan kencang. Kepalanya
penuh dengan berjuta pikiran. Kesalahan apa yang telah dilakukannya sehingga dia
harus mengalami hal
seperti ini" Terlibat dalam satu perkelahian dengan Nimas Andini atau si Banci
Murah Senyum. Terlibat
masalah dengan Sekar Perak dan kini terlibat dengan satu fitnahan yang amat
keji. Yang jadi masalah, dia tidak tahu siapa orang
yang telah memfitnahnya. Rencananya untuk mencari
tahu tentang rahasia Goa Alas Bantan kini seakan lenyap begitu saja.
Pandu merasa amat pusing memikirkan semua
itu. Dia merasa lebih baik kembali ke Goa Alas Bantan di mana Sekar Perak sudah
menunggu. Gadis manis itu sudah tentu kaget, karena me-
nurut perkiraannya Pandu akan meninggalkannya se-
lama tiga hari. Namun di samping itu dia pun merasa amat bahagia karena diam-
diam dia memang mencintai murid Eyang Ringkih Ireng, majikan Gunung Kidul.
"Kakang... mengapa kau sudah kembali?" tanyanya dengan nada suaranya tidak bisa
menyembu- nyikan betapa bahagianya dia.
Pandu hanya tersenyum.
"Karena aku tidak mau meninggalkan mu terla-
lu lama, Rayi...."
Dada Sekar Perak semakin bergemuruh ken-
cang. Benarkah apa yang dikatakannya" Tidak tahu-
kah pemuda itu bila dia benar-benar mencintainya"
"Kau nampaknya lelah sekali, Kakang... sebaik-
nya kau makan saja dulu. Kebetulan aku baru saja selesai masak," kata Sekar
Perak sambil menundukkan
kepalanya. Dia benar-benar sudah jatuh hati pada pe-nolongnya ini.
Dari balik caping yang dikenakannya, Pandu
dapat melihat pancaran mata kebahagiaan pada sepa-
sang mata jernih milik Sekar Perak. Hatinya bergu-
mam pelan, "Kau memang cantik, Rayi Sekar... diam-diam aku pun menaruh hati
padamu." Lalu murid Eyang Ringkih Ireng itu mengajak
Sekar Perak untuk masuk ke dalam goa. Goa Alas
Bantan yang telah direbutnya dari tangan Nimas Andi-ni secara tidak disengaja.
Sekar Perak dalam melayani Pandu begitu tela-
ten dan penuh perasaan. Dia pun bagaikan seorang istri yang sedang melayani
suaminya yang baru saja pulang dari bekerja. Padahal dari cerita yang didengar
da-ri mulut Sekar Perak sendiri, Pandu yakin kalau orang tua gadis itu adalah
orang yang kaya.
"Kakang Pandu... bila kau sudah mengantuk,
lebih baik tidurlah...." kata Sekar Perak sambil menundukkan kepala kala Pandu
sudah selesai bersan-
tap. Pandu tersenyum.
"Rayi Sekar... aku belum mengantuk. Masih
banyak pikiran yang menghantui benakku. Sungguh,
amat memusingkan sekali," kata Pandu sambil menatap wajah Sekar Perak. Oh,
betapa cantiknya wajah
itu. Wajah yang diingini oleh Bojo Mayit atau ketua Sangkur Baja yang membuat
teror hingga semuanya
jadi berantakan. Dan secara tidak sengaja dia bertemu dengan Sekar Perak yang
tengah diculik.
Hati-hati Sekar Perak duduk bersimpuh di ha-
dapan Pandu yang duduk bersila dan telah membuka
capingnya. Lalu hati-hati pula dia mengangkat wajahnya.
"Ada apakah, Kakang" Boleh aku tahu masalah
apa yang sedang mengganggu pikiranmu?"
"Rayi... biarlah pikiran ini menemaniku. Aku tidak ingin kau pun menjadi ikut
memikirkannya."
"Kakang... atau tidak pantas bagiku untuk
mengetahui masalah yang sedang kau hadapi?"
"Bukan itu masalahnya, Rayi...."
"Lalu apa, Kakang?"
"Rayi...."
Sekar Perak menundukkan kepalanya. Dia tahu
kalau Pandu sedang tidak mau diganggu. Diam-diam
dia menjadi malu sendiri dengan sikapnya yang nam-
pak bagaikan memaksa. Pandu bukan apa-apanya.
Mereka baru saja saling kenal selama dua minggu kala Pandu menyelamatkan secara
tidak sengaja dari penculikan yang dilakukan oleh anak buah Bojo Mayit
atau ketua dari Sangkur Baja.
Begitu pula dengan Pandu yang baru juga men-
genal Sekar Perak. Namun bagi Sekar Perak, perkena-
lan yang singkat itu dia sudah dapat mengetahui sikap dan tutur sapa dari Pandu
yang begitu arif dan bijaksana. Dan perkenalan yang singkat itu pula telah
menumbuhkan benih kasih di hatinya. Dia bahkan ti-
dak ingin kembali ke rumahnya, karena dia ingin tinggal di sini bersama Pandu
atau Pendekar Gagak Ri-
mang. Namun diam-diam Sekar Perak pun sadar ka-
lau pemuda yang tengah duduk di hadapannya ini bu-
kan apa-apanya. Bukan pula adik atau kakaknya. Dia
hanyalah seorang pemuda yang baru dikenalnya. Seo-
rang pemuda yang begitu arif tingkah lakunya. Dan
seorang pemuda yang diam-diam telah meruntuhkan
hatinya. Itulah sebabnya mengapa Sekar Perak diam-
diam menjadi malu sendiri karena merasa Pandu bu-
kan apa-apanya. Bahkan menganggap dia bukan apa-
apa selain teman belaka.
"Maafkan aku, Kakang...." desisnya pelan dengan suara bergetar.
Pandu mendesah panjang. Dia menjadi serba
salah. Di satu segi dia tidak ingin memberitahukan
masalah apa yang baru saja dialaminya. Dia difitnah memperkosa seorang gadis.
Dan warga desa kini telah mencarinya.
Di segi lain, dia pun tak ingin kegelisahannya
ini menjadi miliknya sendiri. Dia memang hendak
mencari orang yang telah memfitnahnya, yang telah
membuatnya terperangkap dalam kesulitan. Yah, dia
pun tak ingin memberati gadis secantik Sekar Perak
yang baru saja mengalami kejadian yang amat menge-
rikan. Dia dilamar oleh Bojo Mayit, ketua Sangkur Ba-ja yang kejam. Siapa pun
pasti akan menolak lamaran Bojo Mayit. Begitu pula yang dilakukan oleh Juragan
Banyu Biru. Namun akibat dari penolakannya, dia harus membayar dengan harga yang
mahal. Berulang kali orang-orang Sangkur Baja mem-
buat onar. Namun kepala desa Ki Lurah Pandu Kelana
dengan semangat bajanya berhasil mengusir orang-
orang jahat itu. Dia pun mengajak warga desa lainnya untuk saling membantu,
terutama membantu Juragan
Banyu Biru. Namun semuanya itu pun gagal mereka laku-
kan. Karena orang-orang Sangkur Baja dengan tiba-
tiba menyerang rumah Juragan Banyu Biru. Para jago
bayaran yang disewa oleh Banyu Biru semuanya te-
was. Rumahnya dibakar. Meskipun warga desa den-
gan dipimpin oleh Ki Lurah Pandu Kelana dan Kendala Yoro, orang yang
dinomorsatukan setelah Ki Lurah
Pandu Kelana berhasil menyelamatkan, namun istri
dari Banyu Biru telah diculik oleh orang-orang kejam itu bersama putrinya Sekar
Perak. Yang lebih mengerikan lagi, mereka menemu-
kan istri Banyu Biru dalam keadaan yang amat me-
nyedihkan. Dia diperkosa sebelum dibunuh.
Pandu mendengar semua itu dari Sekar Perak
yang kala itu diculik oleh dua orang anak buah Bojo Mayit dan bertemu dengannya
kala mereka berkelahi
dengan Nimas Andini, hingga Pandu pun akhirnya ter-
libat perkelahian dengan banci itu.
Karena perasaan tidak enak, hati-hati Pandu
berkata: "Maafkan aku, Rayi...."
"Tidak apa-apa, Kakang... aku mengerti.... Ka-
rena aku bukanlah apa-apamu...." Suara Sekar Perak terdengar tersendat. Nampak
dia amat malu dan kecewa dengan perlakuan dari Pandu. Namun dia pun ti-
dak bisa menyalahkan pemuda itu, karena memang
bukan salah pemuda itu. Dan dia sungguh malu kare-
na dia yakin Pandu akan menganggapnya lancang ber-
tanya. "Maafkan aku, Kakang... bila aku begitu men-desak di matamu...."
Pandu mendesah.
"Mengapa kau berkata begitu, Rayi?"
"Bukankah memang seperti itu yang kau mak-
sudkan, Kakang?"
"Tidak, sungguh tidak, Rayi... aku tidak ber-
maksud begitu...."
Sekar Perak tetap menundukkan kepalanya.
Dia tetap berkeyakinan kalau pemuda yang duduk di
hadapannya menganggapnya lancang. Oh, mau dita-
ruh di mana wajahnya ini memang bila benar demi-
kian" Pandu jadi serba salah. Dia selama ini tidak pernah mendapatkan kesulitan
dengan seorang gadis.
Dan di kala dia mengalaminya terasa begitu susah sekali. Dia tahu, Sekar Perak
tentunya seorang gadis yang manja. Namun beberapa hari hidup bersama
dengannya, Pandu tidak melihat tanda-tanda itu. Se-
kar Perak bagaikan seorang gadis yang telah matang, yang banyak ditimpa oleh
pengalaman hidup yang penuh suka dan duka.
"Rayi... tak pernah aku menganggap kau orang
lain seperti yang kau sangka itu," katanya sambil mendesah. "Beberapa hari saja
hidup denganmu, aku sudah yakin, kalau kau bisa menghadapi segala tan-tangan
kehidupan ini. Kau seorang gadis yang tegar, Rayi. Kau punya kemauan dan
pendirian yang kukuh.
Maka ku mohon sekali lagi, hilangkan pikiran di be-nakmu yang mengira aku
menganggapmu hanya orang
lain belaka."
Dada Sekar Perak berdebar.
Lalu dengan suara yang terdengar amat pelan
dia berkata lirih:
"Lalu... kau menganggap aku sebagai apa, Ka-
kang...?" Kali ini Pandu benar-benar mendesah panjang.
Bingung harus menjawab apa. Bila dia mau jujur, dia sebenarnya menaruh hati pada
Sekar Perak. Namun
apakah kejujurannya itu harus dikatakan terus te-
rang" Rasanya mustahil. Pandu sekali waktu memang
pernah berpikir, untuk menghentikan petualangannya.
Dan hidup rukun dengan seorang istri dan anak-anak
yang manis yang menemaninya sepanjang hidupnya.
Namun sekarang, di kala dia sudah mencintai
petualangannya, sanggupkah dia menghentikan dan
mewujudkan keinginan yang pernah timbul di benak-
nya dulu" Rasanya tidak mungkin. Bila dia menikah,
Pandu tidak mau anak dan istrinya harus selalu di-
tinggalkannya. "Rayi Sekar... kau adalah seorang gadis yang
manis. Cantik dan berwatak lembut. Siapa pun akan
menyukaimu, Rayi.... Yah, aku pun menyayangi mu,
Rayi.... Hanya saja...."
"Hanya apa, Kakang?" Terburu-buru Sekar Perak mengangkat kepalanya, menatap
wajah tampan di
hadapannya. Caping yang selalu dikenakan Pandu su-
dah dibuka. Pandu menebarkan senyum. Maksudnya agar
Sekar Perak tenang. Namun dari senyum itu justru
semakin memikat hati Sekar Perak dan sukar baginya
untuk melupakan.
"Aku memang menyayangi mu, Rayi Sekar...
namun aku tidak bisa menyayangi mu seperti halnya
seorang laki-laki terhadap seorang wanita. Aku hanya menyayangi mu terbatas
seorang kakak dengan seorang adik. Kasih sayang yang tulus antara seorang kakak
dengan adiknya. Kau mengerti, Rayi Sekar?"
"Oh!"
"Kenapa, Rayi?"
Terburu-buru Sekar Perak menggelengkan ke-
palanya: Di hatinya ada sesuatu yang hancur yang dirasakannya mampu membuat
hatinya berkeping-
keping. Diusahakannya agar air matanya tidak jatuh.
Kata-kata itu betapa menyakitkannya, betapa memus-
nahkan segala harapan dan impiannya. Betapa satu
kejadian yang tak pernah dibayangkan dan diharapkan sebelumnya.
Pandu jadi kebingungan sejenak. Namun tiba-
tiba dia pun tersadar, kalau kata-kata yang di-
ucapkannya terlalu amat menyakitkan Sekar Perak.
Tetapi dia bisa berbuat apa lagi" Tak mungkin dia
mengatakan mencintai gadis itu meskipun dia tahu betapa gadis itu amat
mengharapkan cintanya.
Namun dia tetap menjadi tidak enak karena ga-
dis itu nampak begitu bersalah dan amat tertekan sekali. Makanya dengan hati-
hati Pandu menjulurkan
tangannya, mengangkat dagu gadis itu hingga mena-
tapnya. Dari sepasang mata bening yang jernih itu terlihat riak kesedihan, malu
dan galau yang menyatu di dada. Ini semakin membuat Pandu menjadi semakin
tidak enak. "Rayi... adakah kata-kataku yang salah hingga
menyinggung perasaanmu?" tanyanya berlagak tidak mengerti, karena dia tidak
ingin menambah rasa gelisah di hati Sekar Perak.
Karena memang tidak ada kata-kata Pandu
yang menyinggung perasaannya maka gadis itu pun
menggelengkan kepala.
"Tidak, Kakang...." desisnya lirih bagaikan de-sahan belaka.
"Lalu mengapa tiba-tiba kau terdiam?" "Oh, tidak, Kakang... tidak ada apa-
apa...." "Rayi... katakanlah, bila ada sesuatu yang
mengganjal di hatimu. Bicarakanlah padaku, seperti


Pendekar Gagak Rimang 7 Siasat Yang Biadab di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

halnya masalah yang sedang kuhadapi ini. Ini pun ku-bicarakan denganmu. Bukankah
dengan cara seperti
itu akan memudahkan kita untuk mencari jalan keluar
bagi permasalahan yang ada?" ujar Pandu dengan suara lembut. "Bukankah begitu,
Rayi?" Tetapi gadis itu lagi-lagi malah menundukkan
kepalanya. Yah, dia pun harus menyadari kalau den-
gan sikapnya yang seperti ini sudah tentu akan mem-
buat Pandu heran. Dan murid Eyang Ringkih Ireng
yang dijuluki oleh orang-orang rimba persilatan dengan julukan Pendekar Gagak
Rimang itu pun menjadi
semakin tidak enak hati.
Perlahan-lahan Sekar Perak kembali mengang-
kat wajahnya. "Maafkan aku, Kakang...." "Rayi Sekar... apa pula yang harus ku maafkan" Kau
tidak mempunyai
salah sedikit pun terhadapku. Mana mungkin aku bisa memaafkan bila aku sendiri
tidak tahu apa yang harus dimaafkan" Katakanlah, Rayi...."
"Aku... aku...." "Kenapa denganmu, Rayi?" Gadis itu menggeleng-gelengkan
kepalanya dan perlahan Pandu mendengar isaknya. Hatinya menjadi terenyuh
dan tidak tahan melihat Sekar Perak gelisah.
Dengan hati-hati dirangkulnya gadis itu.
"Maafkan aku, Rayi... aku bukannya tidak
mencintaimu... namun aku tetap tidak bisa mencin-
taimu...." kata Pandu akhirnya karena tidak mau melihat gadis itu terus menerus
nampak gelisah dan galau.
Terdengar suara lirih gadis yang berada dalam
dekapan dada yang bidang itu. "Mengapa, Kakang?"
"Rayi... kau tahu siapa aku bukan" Aku hanyalah seorang kelana yang tidak
memiliki tempat naungan yang indah dan memuaskan. Memang, sekali waktu aku
pernah berpikir untuk menghentikan pengembaraan-
ku. Berhenti dalam satu rumah yang indah dengan
memiliki seorang istri dan beberapa orang anak yang lucu...."
Tiba-tiba Sekar Perak menarik kepalanya. Ma-
tanya lekat menatap Pandu.
"Mengapa tidak kau wujudkan keinginanmu itu
sekarang, Kakang" Aku... aku bersedia membantu...."
Ketika mengucapkan kata-kata terakhir gadis itu me-
nundukkan kepalanya.
Pandu mendesah panjang.
"Yah., sesungguhnya hati kecilku memang
menginginkan demikian. Namun aku tak kuasa untuk
melakukannya."
"Kenapa?"
"Karena... yah, aku sudah tentu tak akan bisa
berdiam diri di rumah. Jiwaku seakan terpanggil un-
tuk menolong sesama. Juga untuk bersatu dengan
alam bebas merdeka ini...."
"Kakang... aku bersedia mengikuti mu ke mana
saja...." "Perjalananku masih cukup panjang, Rayi...
kau tak akan kuasa untuk mengikuti langkahku...."
"Kakang... tekadku sudah bulat untuk hidup
bersamamu... aku rela meskipun kita selalu singgah
dari satu tempat ke tempat lain. Aku rela, Kakang...
asal... bersama mu...."
Hati Pandu semakin terenyuh mendengarnya.
Gadis ini sudah pasrah padanya. Sudah bertekad akan menyerahkan seluruh jiwa dan
raganya untuknya.
Namun tetap masih ada yang mengganjal di hatinya.
Kalau memang Sekar Perak akan menjadi istrinya atau dia akan memiliki seorang
istri sudah tentu tak akan dibiarkan istrinya mengikuti langkahnya. Langkah
yang belum tentu selalu mulus. Karena kendala atau pun kejahatan masih
merajalela di muka bumi ini.
"Rayi...."
"Kakang...."
Keduanya saling tatap. Dua pasang mata itu
bertemu, seakan memperlihatkan satu bentuk yang
ada. Di mata Sekar Perak terlihat gelora cinta, kepa-srahan dan keinginan yang
mendalam. Sedangkan di
mata Pendekar Tangan Malaikat terlihat satu riak cinta yang berpadu dengan
keraguan. Sepasang mata itu semakin lekat. Dan entah
siapa yang memulainya lebih dulu, kedua kepala itu
saling mendekat. Dan bibir mereka pun bertemu dalam satu cinta yang suci.
Namun ketika keesokan paginya Sekar Perak
terbangun, dia tidak menemukan Pandu berada di si-
sinya. Semula dia menyangka Pandu sedang mandi di
sungai. Namun hingga matahari sepenggalah pemuda
itu tidak muncul-muncul juga.
Hatinya pun menjadi galau dan cemas.
Dia pun bangkit untuk mencari pemuda itu.
Namun di sungai tidak terlihat sosok tubuh siapa pun.
Hatinya mulai risau dan merasa tidak enak.
"Kakang.... Kakang Pandu...." serunya keras namun hanya gema suaranya saja yang
terdengar me-mantul kembali. Dia makin bertambah galau. "Kakang Pandu!
Kakaaaanggggg!!!" Kembali hanya gema suaranya saja yang terdengar. Tak ada nada
lain kecuali bunyi gemuruh air sungai dan suara burung-burung
pagi yang berdendang riang.
Gadis itu merasakan sekujur tubuhnya menjadi
lemas. Dan dia pun kini menyadari kalau pemuda itu
sudah tidak ada di sisinya. Sekar Perak jatuh terduduk. Dia hanya bisa menangis
terguguk. "Kakang... kakang...."
* ** 2 Lima orang laki-laki itu terus melangkah den-
gan cepatnya, karena mereka melihat cuaca yang bu-
ruk sementara langit di atas sana menggumpal hitam
dan bergerak cepat dihembus angin yang kencang.
Nampak sebentar lagi akan turun hujan. Yang mereka
kuatirkan, bila mereka kehujanan di tengah jalan sementara tugas yang mereka
emban belum terlihat titik hasilnya.
"Ki Lurah...." memanggil salah seorang pada la-ki-laki setengah baya gagah yang
melangkah di depannya. "Apakah tidak sebaiknya kita berhenti dulu" Saya melihat
di sana ada hutan yang cukup lebat, mungkin dedaunan pepohonannya bisa menangkal
air hujan."
"Memang, maksudku seperti itu," sahut laki-laki yang dipanggil Ki Lurah. "Ayo
kita ke sana. Tapi perlu diingat, konon Hutan Alas Bantan menyimpan
satu misteri yang mengerikan...."
Kelima orang itu pun bergerak dengan cepat
mengikuti langkah Ki Lurah yang tak lain adalah Ki
Lurah Pandu Kelana. Setelah menyadari istri dan putri dari Juragan Banyu Biru
diculik oleh anak buah Bojo Mayit atau ketua Sangkur Baja, Ki Lurah pun segera
memimpin warga desa untuk mencari. Hingga tidak te-
rasa mereka kini tiba di Hutan Alas Bantan.
Begitu kaki mereka memasuki hutan itu, seki-
las bulu kuduk mereka meremang. Hutan ini sungguh
amat menyeramkan sekali. Padahal hari masih siang.
Bila saja langit tidak menggumpal hitam, mungkin
akan terlihat jelas sang matahari yang berdiri tegak tepat di atas kepala. Namun
Ki Lurah Pandu Kelana
sendiri yakin, bila matahari bersinar, tetap saja sinar-
nya tidak bisa menembus hutan luas dengan pohon-
pohon jati yang berdiri tegak menjulang seakan ingin memperlihatkan
keperkasaannya untuk menantang
langit. "Ki Lurah... saya merasa kita seperti diintip oleh ribuan mata yang
bersinar kejam," kata salah seorang.
"Ya, Ki Lurah... hutan ini benar-benar menyim-
pan misteri yang mengerikan," kata salah seorang.
"Tenanglah kalian. Memang, aku pun sudah
mendengar tentang Hutan Alas Bantan yang mengeri-
kan ini. Menurut kabar konon di penghujung hutan ini terdapat sebuah goa yang
cukup lebar dan mengerikan. Konon pula goa itu dulunya sebagai tempat
pertarungan para pendekar sakti yang meninggal semua se-
cara mendadak. Konon pula ada kabar bahwa di sana
terdapat banyak peninggalan ilmu-ilmu silat yang ma-ha tinggi, terutama jurus
Dewa Ular Putih milik men-diang si Dewa Ular. Hanya kini terdengar kabar goa itu
tidak berpenghuni, karena tak seorang pun yang berani untuk singgah maupun
tinggal di sana," sahut Ki Lurah Pandu Kelana sambil terus melangkah sementara
matanya amat waspada di samping kesal dan me-
nyesali karena hujan nampak sebentar lagi akan tu-
run. "Ki Lurah... apakah tidak sebaiknya kita mempercepat langkah untuk tiba di
sana. Meskipun goa itu menyeramkan, nampaknya lebih baik sebagai tempat
berteduh karena cuaca yang amat buruk seperti ini?"
"Ya, sebaiknya kita cari saja goa itu. Kalau tidak salah, letaknya memang di
penghujung hutan le-
bar ini...." sahut Ki Lurah. "Ayo!"
Lalu kelima orang itu pun segera mempercepat
langkah mereka. Di samping udara yang semakin din-
gin juga rasanya tidak enak berada di hutan seperti
ini. Pohon-pohon besar yang berdiri tegak bagaikan
raksasa-raksasa yang siap untuk bangun dari tidur
mereka. Juga langit kelam dan hujan yang sebentar la-gi akan menumpahkan ribuan
airnya dengan deras.
Namun mendadak saja Ki Lurah menghentikan
langkahnya. Dia memasang telinganya. Lapat-lapat diiringi dengan desir angin
yang menggesek daun-daun
jati dia mendengar suara orang menangis.
Suara orang menangis" Di hutan lebat menge-
rikan seperti ini" Dan terdengar seperti suara seorang perempuan" Nampaknya amat
mustahil. Mustahil ada
wanita yang mau bermain-main ke hutan seperti ini.
Empat laki-laki lainnya pun mendengar suara
tangis itu, dan mereka pun berpandangan dengan hati bertanya-tanya. Kala
kesimpulan mereka singgah pada sesuatu yang mengerikan, mereka menjadi tegang.
Agaknya Ki Lurah pun mengalami hal yang sa-
ma. Namun dia bisa bersikap lebih tenang.
"Tenang... jangan panik...." desisnya waspada dan telinganya jelas-jelas
menangkap suara orang
mengisak. Suara yang semakin lama semakin lirih.
"Suara apakah itu, Ki Lurah?"
"Suara seorang wanita sedang menangis."
"Mungkinkah ada seorang wanita yang iseng
bermain-main ke sini?"
"Mungkin dia tersasar."
"Kalau pun tersasar mengapa harus tiba di hu-
tan seperti ini?"
"Entahlah."
"Ki Lurah...."
"Ya?"
"Jangan-jangan...." Orang itu ragu untuk meneruskan kata-katanya.
"Joko... jangan mengada-ngada. Sebaiknya kita
cari saja dari mana datangnya sumber suara itu. Ba-
gaimana?" tanya Ki Lurah sambil memperhatikan
keempat laki-laki yang ikut serta dengannya.
Keempat laki-laki itu berpandangan, lalu saling
mengangguk. Joko mewakili teman-temannya. "Baiklah... kami tidak takut dengan
segala macam hantu.
Kami percaya kepada Gusti Allah yang akan melindun-
gi umat-Nya dari segala resiko gangguan hantu. Bu-
kankah begitu adanya, Ki Lurah?"
"Benar. Ayo!"
Lalu mereka pun melangkah kembali. Mungkin
dalam pikiran masing-masing hanya terpusat dari ma-
na dan siapa orang yang sedang menangis itu. Pikiran tentang yang lain-lainnya
lenyap entah ke mana.
"Suara itu berasal dari arah kiri," kata Ki Lurah pelan. Kembali semuanya
melangkah. Bahkan dari ra-sa tegang karena kuatir menjumpai makhluk yang
mengerikan, mereka akhirnya pun tegang bila ternyata yang menangis itu adalah
manusia yang hendak berbuat jahat dengan cara memancing mereka. Itulah se-
babnya masing-masing telah siap menggenggam hulu
golok yang terselip di balik angkin yang mereka kenakan. Kini semakin lama suara
isak itu semakin jelas terdengar. Langkah mereka pun kini makin diperlam-bat,
dengan jalan melangkah perlahan.
Tak jauh dari mereka ada sebuah sungai yang
cukup deras airnya. Gemuruh suaranya yang mengalir
deras telah menerpa telinga mereka. Dan nampaknya
suara isak itu berasal dari sana. Terbawa oleh angin yang bertiup ke arah mereka
hingga mereka semua
mendengarnya. Kini mereka pun melihat sosok tubuh yang ten-
gah terduduk di tanah. Sosok itulah yang menangis.
Ini membuat hati mereka menjadi bertambah tegang.
Seorang perempuan" Di hutan lebat" Seorang diri"
Hiii... pastilah hantu adanya.
Namun karena Ki Lurah Pandu Kelana sudah
melangkah, mereka pun mau tak mau mengikutinya.
Suara langkah mereka itu memancing pendengaran
dari gadis yang sedang terisak. Serentak gadis itu
mengangkat kepalanya.
Dua orang menjerit kaget karena saking te-
gangnya. Ki Lurah pun menjerit. Namun bukan jeritan
terkejut, tegang maupun heran. Jeritan gembira kare-na dia mengenali sosok tubuh
yang tengah terduduk
sambil menangis itu.
"Dik Sekar Perak?" serunya dengan suara yang sedikit ragu dan sedikit gembira.
Sosok tubuh yang menangis itu memang tak
lain dari Sekar Perak adanya. Dia sudah satu harian berada di tempat itu dan
menangis. Hatinya masih galau karena ditinggal oleh murid Eyang Ringkih Ireng.
Sekar Perak pun mengenali Ki Lurah Pandu Ke-
lana. "Paman Lurah...." desisnya pelan.
Ki Lurah Pandu Kelana pun segera memburu,
begitu pula dengan yang lainnya. Kegembiraan itu me-luap karena yang mereka cari
secara tidak sengaja mereka temukan di sini.
Ki Lurah pun bertanya bagaimana cara Sekar
Perak bisa meloloskan diri dari dua orang penculik
anak buah dari Bojo Mayit. Dengan tersendat-sendat, Sekar Perak pun menceritakan
semuanya. "Lalu di mana sekarang pemuda itu, Sekar?"
tanya Ki Lurah sambil memperhatikan sekelilingnya
dan tak melihat orang lain kecuali mereka.
Kali ini Sekar Perak menundukkan kepalanya
dan kembali isaknya terdengar lagi.
"Huhuhuhu.... dia pergi, Paman Lurah... dia
pergi meninggalkan aku.... Pemuda itu jahat... huhu-hu... dia jahat, Paman
Lurah... dia jahat."
Ki Lurah Pandu Kelana mendesah. Dia dapat
memaklumi dan mengerti apa yang sedang dialami


Pendekar Gagak Rimang 7 Siasat Yang Biadab di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh putri Banyu Biru ini. Pasti Sekar Perak sedang jatuh cinta dan merana
karena pemuda itu meninggal-
kannya. Dalam hati Ki Lurah mendesah, "Hmm... bodoh sekali pemuda itu menyia-
nyiakan cinta seorang gadis secantik Sekar Perak ini...."
Hati-hati dirangkulnya gadis itu yang merasa
damai karena ada yang mau mendengar ceritanya, di
samping sebenarnya sejak tadi dia sudah amat ketakutan dengan suasana mengerikan
di hutan ini. "Dik Sekar... lebih baik kita pulang saja. Ayah-mu sudah amat cemas menunggu.
Marilah, Dik Se-
kar...." Sekar Perak mengangkat kepalanya, menatap Ki Lurah. Ki Lurah dapat
melihat sepasang mata indah yang nampak memerah bengkak karena terlalu lama
menangis. "Mengapa ayah tidak mencariku, Paman Lurah
...?" tanyanya pelan. Kali ini di matanya terlihat sinar kecewa. "Ayahmu sedang
menunggumu, Sekar...."
"Tetapi mengapa dia tidak mencari dan men-
jemputku, Paman Lurah... apakah ayah tidak sayang
padaku?" "Sudah tentu dia sayang padamu, Dik Sekar...."
sahut Ki Lurah sambil menundukkan kepala. Dia me-
mang menyembunyikan sesuatu tentang diri Juragan
Banyu Biru dan dia tidak tega untuk mengatakan yang sebenarnya pada Sekar Perak.
Karena saat ini Juragan Banyu Biru sedang terbaring sakit karena shock dengan
apa yang telah dialaminya. Kesehatannya setiap
hari semakin memburuk. Makannya pun tak beratu-
ran lagi hingga tubuhnya nampak makin kurus. Dan
setiap malam dia selalu mengigau panjang.
Memang pada dasarnya Sekar Perak adalah ga-
dis yang manja, tetap saja dalam keadaan seperti ini dia masih bermanja.
"Ayah jahat... jahat... kalau dia sayang padaku sudah tentu dia akan
menjemputku, bukan" Tetapi
mengapa ayah tidak datang menjemputku" Hhh! Aku
tidak mau pulang!" Gadis itu merengut. Hilang sudah tanda-tanda bahwa dia habis
menangis panjang.
"Jangan begitu, Dik Sekar... ayahmu amat rin-
du padamu... dan dia selalu menanti kedatanganmu,
Dik Sekar.... Lebih baik ayo kita pulang daripada harus terus menerus berada di
hutan yang menyeramkan
ini...." kata Ki Lurah masih tetap merahasiakan keadaan diri Juragan Banyu Biru.
Namun Sekar Perak tetap pada keputusannya.
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gerakan
yang cepat. Wajahnya masih tidak sedap dipandang.
"Tidak, aku tidak akan mau pulang bila bukan
ayah yang menjemputku ke mari...." katanya sambil merengut.
"Ayolah, Dik Sekar... lebih baik kita kembali sekarang sebelum hujan turun...."
"Tidak, aku tidak mau... aku baru pulang bila
ayah yang menjemput ke mari...."
Ki Lurah Pandu Kelana mendesah panjang. Dia
menjadi serba salah menghadapi kekeraskepalaan ga-
dis ini. Bila dia menceritakan keadaan diri Juragan
Banyu Biru sesungguhnya, dia kuatir gadis ini akan
kaget. Terlihat jelas kalau jiwa gadis ini sedang labil.
Namun bila dia tidak menceritakan yang sesungguh-
nya, gadis ini akan tetap menolak untuk diajak pulang.
Padahal dia berharap kesehatan Banyu Biru akan
membaik bila melihat putrinya kembali dalam. kea-
daan selamat. Namun gadis manja ini memang keras
kepala sekali. Yang lain pun tidak bisa berbuat apa-apa. Me-
reka pun menyadari bagaimana bingungnya Ki Lurah
sekarang ini. Sedikit banyaknya mereka bersyukur karena bukan mereka yang
membujuk gadis keras kepala
ini. "Dik Sekar... apakah kau tidak lihat kalau se-
bentar lagi hujan akan turun?"
"Aku tahu."
"Lalu mengapa kau tidak ingin segera kembali
padahal ayahmu menunggu di rumah?"
"Kalau bukan ayah yang datang menjemputku
ke mari, aku merasa lebih baik tinggal di sini...."
Ki Lurah mendesah panjang. Tak ada jalan lain.
Apalagi gemuruh petir sudah terdengar sambar me-
nyambar. Bila seperti ini torus menerus, niscaya tak akan selesai dan hujan
pasti akan segera turun dengan lebatnya. Dan bila hujan sudah turun, kemungki-
nan mereka untuk lekas kembali akan terlambat.
Tak ada jalan lain. Dia memang harus menga-
takan yang sesungguhnya bila tidak ingin berlarut-
larut. Karena menghadapi gadis keras kepala ini harus berterus terang dan tegas.
Tidak perlu bertele-tele.
Ki Lurah masih melirik empat orang warganya
yang juga tegang menunggu seakan meminta pendapat
mereka. Keempatnya bagaikan sudah mengetahui
maksud dari Ki Lurah. Tanpa berucap banyak keem-
patnya mengangguk secara bersamaan.
Bersamaan dengan helaan nafasnya, dia pun
berkata dengan hati-hati.
"Dik Sekar... ketahuilah... kalau kesehatan
ayahmu sudah amat payah sekali karena memikirkan
nasibmu...."
"Apa"!" Suara itu terdengar cukup keras. Kepala yang tak acuh itu menoleh cepat
ke arah Ki Lurah Pandu Kelana yang sudah menduga hal seperti ini
akan terjadi. Sepasang mata yang indah meskipun te-
lah terbalut bengkak, membelalak tak percaya. "Apa, Paman Lurah" Ayah sakit"
Ayah sakit" Oh, tidak... tidak.... Paman Lurah... benarkah ucapanmu itu?"
Ki Lurah Pandu Kelana hanya mendesah pan-
jang. Benar dugaannya, gadis ini akan terkejut. Namun memang tak ada jalan lain
agar gadis ini mau pulang bersama-sama mereka.
Ditatapnya gadis itu yang juga balas menatap-
nya, menunggu jawabannya dengan tegang. Perlahan-
lahan Ki Lurah Pandu Kelana menganggukkan kepa-
lanya. "Benar ayah sakit, Paman Lurah?"
"Benar, Dik Sekar... sejak penculikan dirimu
dan ibumu, apalagi setelah mengetahui ibumu mati dibunuh dengan diperkosa
terlebih dahulu, ayahmu ja-
tuh sakit...."
"Oh, tidak... tidak.... Ayaaaaahhhhh!!!" seru Sekar Perak memekik kuat. Dan
mendadak tubuhnya
limbung lalu ambruk. Untunglah Ki Lurah Pandu Ke-
lana dengan cepat menangkap tubuh itu.
Bersamaan dengan itu hujan pun turun dengan
lebatnya. "Ayo cepat, kita cari goa itu!" seru Ki Lurah mengomando sambil membopong tubuh
Sekar Perak yang dalam keadaan pingsan. Serentak mereka berla-
rian mencari goa dan mendapatkannya.
* ** 3 Pengemis yang melangkah dengan pincang den-
gan tubuh yang sedikit bongkok itu terus saja dengan santainya melangkah, tanpa
menghiraukan ejekan dan
cemooh orang-orang yang kebetulan berpapasan den-
gannya. Dia tak acuh saja, sepertinya tidak ada kejadian apa-apa.
"Cih! Mau apa pengemis busuk itu datang ke
desa kita"!" ejek seorang gadis yang berdandan cukup menor itu pada teman
pemudanya yang berdiri di
sampingnya. Gayanya pun genit, sama halnya dengan
si pemuda. "Hhh! Tak layak nampaknya desa kita dimasuki
oleh gembel bongkok dan pincang itu!" sahut si pemuda dengan suara yang mengejek
pula. Namun si pengemis itu tetap dengan santainya
melangkah. Kaki kanannya yang pincang memang ter-
lihat jelas sebagai penghambat dari langkahnya. Na-
mun tetap saja dia menyeretnya dengan ringan. Kata-
kata ejekan dari pemuda-pemudi sombong itu diang-
gapnya hanyalah angin lalu belaka.
"Hei, dia tuli juga rupanya!" seru si pemudi.
"Atau... dia tengah mengejek kita dengan ber-
pura-pura menjadi tuli!" sahut si pemuda dengan suara yang terdengar sedikit
mangkel. "Sialan kalau begitu! Hajar saja dia! Biar dia
tahu rasa dan kapok berbuat seperti itu!" kata si pemudi memanas-manasi si
pemuda. Pemuda itu memang seorang yang panasan.
Yang merasa tak seorang pun boleh merendahkannya
atau pun menyamainya. Maka diapun menjadi panas.
Dengan gusar dia memburu si pengemis yang terpin-
cang-pincang melangkah itu dan berdiri di depannya
dengan sikap sok jago dengan kedua kaki terbuka le-
bar. "Berhenti!" serunya keras.
Si pengemis bongkok itu pun berhenti melang-
kah. Wajahnya yang nampak penuh luka mengering
itu diangkatnya untuk menatap si pemuda yang som-
bong menghadang langkahnya. Sementara si pemudi
nampak sudah tidak sabar ingin melihat si pemuda
menghajar pengemis bongkok itu.
"Sudah, hajar saja! Hajar!" serunya mengomando yang membuat si pemuda semakin
panas. "Hhh! Gembel busuk! Lebih baik kau angkat
kaki saja dari desa ini sebelum aku marah!!" serunya kasar. Pengemis itu hanya
memamerkan senyumnya.
"Hei, tersenyum lagi kau"!"
"Sobat... mengapa kau melarang aku untuk
singgah sejenak di desa ini?" tanya pengemis itu dengan suara yang terdengar
sopan. Namun malah mem-
buat si pemuda menjadi berang, karena merasa pen-
gemis itu tidak pantas untuk bicara dengannya.
"Hei, berani bicara pula kau ini!"
"Mengapa, Sobat" Apakah di desa ini ada laran-
gan bagi seorang pengemis untuk singgah?"
"Karena kau hanya mengotori desa ini saja!
"Apakah orang sepertiku ini tak layak untuk
mencari makan di sini?"
"Ya! Karena kau hanya mengemis, pekerjaan
bagi orang yang malas!"
Pengemis itu menggelengkan kepalanya, masih
tetap tersenyum.
"Tidak, Sobat... aku datang untuk membeli se-
dikit makanan untuk mengganjal perutku yang kelapa-
ran ini...."
Pemuda itu tiba-tiba terbahak. Dia menoleh
sama si pemudi lalu berkata dengan sombongnya.
"Kau dengar apa katanya tadi" Dia hendak membeli makanan di sini" Ha ha ha...
hei, Pengemis busuk!
Mana mampu kau membeli makanan bila tidak dengan
cara mengemis, hah"! Kau ini sedang mengigau atau
sedang bermimpi menjadi orang kaya...?"
"Aku mempunyai sedikit uang, Sobat.... Yang
kupikir dapat ku tukarkan dengan sedikit makanan...."
"Hahaha... kau memang tengah mengigau ru-
panya!" Masih tertawa si pemuda itu mengejek. "Perlihatkan padaku, bila kau
memang punya uang?"
"Apakah bila benar aku punya uang kau mem-
perkenankan aku untuk singgah di desa ini untuk
mencari makan?"
"Sudah tentu, asal tidak dengan cara menge-
mis! Tetapi nampaknya mustahil kau memiliki uang
meskipun hanya sedikit!"
"Kupegang kata-katamu itu, Sobat...."
"Hhhh! Perlihatkanlah padaku!" seru pemuda itu setengah geram dan setengah geli.
Sekali lagi pengemis itu menatap si pemuda.
Lalu dengan hati-hati pula dia memasukkan tangan-
nya ke tas kumal yang tersampir di bahu kirinya.
Kala tangan itu keluar dari tas kumalnya, di
genggamannya sudah ada beberapa keping uang emas
yang disodorkannya di depan wajah pemuda itu yang
jadi terbelalak tak percaya.
"Hei, kau mencuri di mana uang emas itu,
hah"!" Pengemis itu menyeringai. Memperlihatkan wajah yang tegang tak percaya.
Belum pula dengan si
pemudi yang sempat meneriakkan kata terkejut dan
tak percaya. "Aku tidak mencurinya, Sobat.... Uang ini me-
mang milikku, pemberian seorang sahabat yang baik
hati padaku...."
"Tidak mungkin! Kau bukan hanya seorang
pengemis, tetapi juga seorang pencuri! Dosamu tak
akan pernah dimaafkan!"
"Hmm... kau mengada-ada, Sobat.... Bukankah
tadi kau mengatakan, bila aku bisa membuktikan
bahwa aku memiliki uang, maka kau akan memperbo-
lehkan aku untuk mencari makan di sini" Apakah kau
lupa dengan kata-kata yang baru saja kau ucapkan
itu, Sobat?"
Wajah pemuda itu merah padam. Sebenarnya
dia menuduh pencuri itu untuk menutupi keterkejutan dan kekalahannya. Namun dia
memang seorang pemuda yang sombong, yang tak pernah mau mengalah
atau dikalahkan.
"Pencuri busuk! Berikan uang itu pada ku!" serunya geram dengan tangan terkepal.
"Mengapa pula harus kuberikan pada mu?"
"Anjing buduk! Rasakan ini!" serunya si pemuda sambil melayangkan pukulannya
lurus ke wajah si
pengemis. Namun sungguh di luar dugaannya, karena
mendadak saja pukulannya tidak mengenai sasaran.
Melompong mengenai angin.
"Hei!" serunya terkejut.
Dan dia lebih terkejut lagi karena menyadari si
pengemis sudah tidak berada di dekatnya. Pemuda itu celingukan dan melihat si
pengemis tengah berjalan
dengan santainya meninggalkannya. Hal itu membuat
si pemuda semakin menjadi geram.
"Anjing keparat! Kau ingin bermain-main den-
ganku rupanya, hah!" serunya sambil mencegat langkah si pengemis. Namun pengemis
itu tetap saja te-
nang. Dia hanya tersenyum.
"Mengapa kau masih marah kepadaku?" ujar-


Pendekar Gagak Rimang 7 Siasat Yang Biadab di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya lembut. "Bukankah kau sudah mengizinkan aku untuk mencari makan di sini?"
"Pengemis sialan! Rupanya kau punya kebisaan
juga, hah"!" bentak si pemuda jengkel. "Bagus, aku ingin melihat sampai di mana
kebisaan mu itu, hah"!"
"Sobat... mengapa jadi begini" Mengapa kau ja-
di berang seperti ini" Apakah aku mempunyai salah
kepadamu"!"
"Setttaaannn! Berikan uang itu padaku, hah"!
Dan kau boleh meninggalkan tempat ini dalam kea-
daan selamat!"
"Hmmm... aku tahu sekarang, rupanya uang ini
yang membuatmu menjadi berang kepadaku" Mengapa
kau masih berbasa-basi menuduhku sebagai pencuri?"
"Kau memang pencuri! Berikan uang itu kepa-
daku!!" Pengemis itu tersenyum.
"Tak akan pernah kuberikan kepadamu uang
milikku ini...."
"Hhhh!" Pemuda itu mendengus. "Rupanya kau memang ingin mengenalku lebih dalam!
Baik! Lihat serangan!!"
Sesudah berkata begitu, si pemuda dengan ge-
rakan yang sungguh cepat menggerakkan tangan ka-
nannya lurus ke wajah si pengemis. Namun sama se-
perti halnya tadi, pukulannya pun tidak mengenai sasarannya. Dan lagi-lagi tanpa
terlihat si pengemis sudah berpindah tempat. Hal ini semakin membuat si
pemuda menjadi marah besar.
"Anjing! Rupanya kau memang hendak menjual
lagak di depanku, hah"!" serunya berang dan dengan kalapnya dia kembali
menyerang. Kali ini dengan kecepatan yang tinggi dan serangan yang membabi buta.
Kejadian itu perlahan-lahan banyak mengun-
dang minat orang untuk menonton. Maka sebentar sa-
ja sudah ramai mereka bersorak sorai membentuk
lingkaran. Rata-rata mengejek si pemuda yang selalu gagal dalam menyerangnya.
Dan semua itu mereka lakukan karena sebenarnya mereka sendiri tidak suka
dengan sikap si pemuda yang selalu membuat onar
dan menyombongkan diri. Sementara si pemudi men-
jadi tegang memperhatikan. Namun sedikit banyaknya
dia menjadi malu karena pemuda itu selalu menyerang pada sasaran kosong belaka.
"Prangkulo... kau hanya besar mulut saja!" Akhirnya terlontar kata-kata itu dari
mulut si pemudi yang tidak tahan karena banyak yang mengejek si pemuda.
Mendengar seruan itu, si pemuda yang berna-
ma Prangkulo menjadi semakin kalap. Dia terus me-
nyerang secara membabibuta. Namun sejauh itu tak
satu pun serangannya yang mengenai sasaran. Hanya
nafasnya yang kini terdengar terengah-engah. Gera-
kannya pun mulai terlihat kacau. Hanya semacam do-
rongan kesombongannya saja yang ada.
Sorak-sorakan mengejek semakin ramai.
"Prangkulo... kau hanya berani bila bersama teman-temanmu!"
"Hahaha... menghadapi seorang pengemis saja
kau gagal! Tahu rasa kau!"
"Lebih baik pulang saja dan rubah kelakuanmu
yang sombong itu!"
"Kena batunya kau sekarang, Prangkulo!"
Sorakan mengejek yang diiringi dengan tepukan
gemuruh itu semakin membahana. Meskipun geram
bukan alang kepalang, namun Prangkulo masih beru-
saha untuk menjatuhkan pukulannya pada si penge-
mis. Agaknya pengemis pincang yang bungkuk itu bu-
kanlah pengemis sembarangan, karena gerakan-
gerakan yang dilakukannya untuk menghindari seran-
gan itu tidak terlihat oleh mata.
Agaknya pula kalau pengemis itu memang ber-
niat hendak memberi pelajaran pada Prangkulo si pe-
muda sombong. Maka dia pun terus menerus meng-
hindar dengan maksud membuat si pemuda jera akan
tingkah lakunya selama ini yang lama kelamaan men-
jadi kelelahan karena tenaganya terus menerus terkuras. Hingga lambat laun dia
menjadi sempoyongan dan gerakannya semakin kacau.
Mendadak tubuhnya limbung.
Lalu ambruk setelah sempoyongan dua kali ke
kiri dan ke kanan. Bersamaan dengan itu terdengar sorakan ramai dari pada
penonton. "Hahaha... lebih baik kau mampus saja!"
"Prangkulo... kau hanya besar mulut!"
Sementara itu si pemudi menjadi jengkel bukan
kepalang di samping malu yang tak terhingga karena
kekasihnya itu kini menjadi bahan ejekan. Agaknya
pula kalau para penduduk telah lama menunggu ke-
sempatan untuk mengejek Prangkulo yang diam-diam
mereka tidak suka karena seringkali membuat onar.
Belum lagi tingkahnya yang memuakkan sekali. Bah-
kan dia sering meminta pajak pada para pedagang.
Setelah pemuda itu ambruk dan pingsan kare-
na kecapaian, si pengemis pun dengan santainya me-
ninggalkan tempat itu. Sikapnya benar-benar tenang
luar biasa. Seperti tidak mengalami hal apa-apa.
Para penduduk pun seakan tidak memperduli-
kannya. Namun ada seseorang yang sejak tadi mem-
perhatikan. Dia adalah seorang laki-laki setengah
baya, bertubuh tegap. Dia adalah Barejo ayah dari
Priatsih, yang diperkosa lalu dibunuh. Barejo masih ingat wajah dan ciri pemuda
yang memperkosa anak-nya. Dia laki-laki tampan, di punggungnya terdapat
sebilah pedang. Dan dia adalah Pandu atau Pendekar
Gagak Rimang yang difitnah oleh Nimas Andini atau si Banci Murah Senyum.
Sebenarnya Nimas Andinilah
yang memperkosa Priatsih lalu membunuhnya yang
kemudian memfitnah Pandu karena beberapa kali dia
dikalahkan oleh Pendekar Gagak Rimang itu dalam
perkelahian. Hingga sekarang Barejo masih amat menden-
dam pada pemuda yang telah menghancurkan hidup
putrinya. Dia tak akan pernah menerima. Siang dan
malam dia terus mencari pemuda itu. Tak akan pernah puas hatinya bila belum bisa
membalas sakit hati putrinya. Dan kini dia melihat ada seorang yang amat
sakti. Meskipun dia hanyalah seorang pengemis na-
mun kesaktiannya patut diperhitungkan. Timbul minat dalam hati Barejo untuk
meminta pertolongan dari si pengemis untuk mencari pemerkosa putrinya.
Dia memang sudah lama menunggu orang yang
amat perkasa. Namun dia menjadi ragu sendiri, pa-
tutkah dia meminta pertolongan dari seorang penge-
mis" Namun dia tidak perduli, yang penting dia bisa
menemukan pemerkosa dan penghancur hidup pu-
trinya. Dan bila ini tidak dilakukannya maka dendamnya tak akan pernah tuntas,
dendam yang amat abadi.
Maka dengan hati-hati dia mengikuti langkah si
pengemis dari belakang. Pengemis itu terlihat sedang memasuki sebuah kedai.
Nampaknya dia ingin makan.
Di kedai, tak seorang pun yang kembali mengejeknya.
Malah si pengemis disambut dengan baik. Mereka sea-
kan mengerti kalau pengemis itu adalah bukan semba-
rangan pengemis.
Barejo menunggunya hingga selesai makan. La-
lu dia kembali mengikutinya. Tiba di jalan setapak, dia menjadi celingukan.
Karena mendadak saja pengemis
itu telah lenyap dari pandangannya.
"Hei, ke mana dia"!" serunya terkejut.
"Aku berada di belakangmu, Sobat!" Terdengar suara bernada bersahabat dari
belakangnya. * * * 4 Seketika Barejo membalikkan tubuhnya ke be-
lakang dan melihat si pengemis telah berdiri di belakangnya. Gila, luar biasa,
dia tidak melihat gerakan si pengemis yang demikian cepatnya!
Dia kuatir pengemis itu akan menjadi marah
karena dibuntuti. Dan yang lebih membuatnya kuatir, bila si pengemis menganggap
perbuatannya adalah sebuah perbuatan yang salah. Dia ingin meminta ban-
tuan pengemis itu, bukannya ingin mencari sikap permusuhan. Namun Barejo cukup
bisa bernafas dengan
lega karena terlihat pengemis itu tersenyum.
"Ada apakah gerangan, Sobat" Mengapa kau
mengikutiku?" tanyanya dengan suara yang tetap bersahabat, tidak terkesan
sedikit pun kalau dia marah karena dibuntuti secara diam-diam.
Barejo menjadi sedikit tenang. Dia pun menye-
barkan senyumnya sebagai tanda persahabatan.
"Maafkan aku, Sobat... yang telah lancang
mengikuti langkahmu. Namaku Barejo... tidak mem-
punyai maksud jahat terhadapmu. Percayalah...."
"Sobat Barejo... sudah tentu aku percaya. Nah, kau bisa memanggilku si Tanpa
Nama. Katakanlah...
ada keperluan apa hingga kau mau bersusah payah
mengikuti langkahku yang terseok-seok ini...."
"Sekali lagi maafkan aku... tak ada maksudku
untuk berbuat jahat padamu. Hmm... bagaimana bila
kita ke rumahku saja. Agaknya di sana kita bisa lebih leluasa bercerita panjang
lebar daripada di jalan ini."
"Kelihatannya kau sedang kebingungan, Bare-
jo.... Nampak jelas sekali masalah itu terbayang di matamu. Bila memang itu yang
kau inginkan, baiklah...
kita bisa segera ke rumahmu dan berbicara panjang
lebar...."
"Oh, terima kasih, Sobat. Mari!" sahut Barejo gembira. Lalu dia pun melangkah
diiringi dengan langkah si pengemis yang terseok-seok karena kaki sebelah
kanannya pincang.
Sesampai di rumah istri Barejo yang sebelum-
nya sudah diterangkan siapa si pengemis itu segera
menyiapkan hidangan. Lalu dia pun menemani sua-
minya untuk bercakap-cakap dengan si pengemis.
"Maafkan aku, Sobat...." kata Barejo sebelum bicara pada pokok persoalan.
"Sekali lagi maafkan aku karena telah mengganggu mu..."
"Tidak apa-apa... bukankah sebagai manusia
kita harus saling bantu membantu" Nah, Sobat Bare-
jo... kemukakanlah masalah mu, barangkali saja aku
bisa membantu...."
"Benar, aku memang membutuhkan bantuan-
mu.... Baiklah, lebih baik kuceritakan saja padamu,"
kata Barejo sambil mendesah. Lalu dia pun menceritakan kejadian beberapa minggu
yang lalu di mana pu-
trinya Priatsih telah diculik, diperkosa dan dibunuh orang. Barejo merasa yakin
kalau dia mengenali orang jahat itu. "Nah, maksudku adalah ingin meminta ban-
tuanmu, Sobat... meminta pertolonganmu untuk men-
cari orang jahat yang telah menghancurkan putri ter-sayang ku...."
"Hmm... secara pasti aku belum bisa mengeta-
hui duduk permasalahannya... namun aku sudah pa-
ham. Bagaimanakah ciri-ciri orang yang telah berbuat jahat pada putri mu itu?"
"Dia seorang pemuda yang gagah. Berwajah
tampan. Di punggungnya terdapat sebilah golok. Dia
mengenakan pakaian berwarna putih. Dan dia pun
memiliki caping menutup kepala yang tergantung di
punggungnya...."
"Kau sudah yakin kalau pemuda itu yang ber-
buat jahat pada putri mu?"
"Ya."
"Bagaimana kau bisa yakin?"
"Karena dari balik semak di mana kutemukan
mayat putri ku dalam keadaan menyedihkan, pemuda
itu muncul dengan pakaian yang robek-robek...."
"Lalu?"
"Bukankah pakaian yang robek itu sudah seba-
gai tanda kalau putri ku melawan kala hendak diperkosa?"
"Hmm... baiklah.... Bila aku bisa bertemu den-
gan pemuda jahanam itu... aku akan menangkap-
nya...." "Terimakasih atas pertolongan mu, Sobat...."
"Masih adakah yang perlu dibicarakan lagi?"
"Kurasa tidak. Sekali lagi terima kasih atas ke-sediaanmu untuk membantu kami,"
kata Barejo setu-lus hati.
Begitu pula dengan istrinya.
"Terima kasih, Saudara pengemis...."
"Bila tak ada yang dibicarakan lagi, sebaiknya aku pergi saja... karena
perasaanku mengatakan akan terjadi sesuatu. Perasaanku tidak enak," kata si
pengemis seraya bangkit dari duduknya.
Dan perasaannya memang benar. Karena keti-
ka kakinya tiba di luar rumah Barejo, di halaman rumah itu telah berdiri dengan
sikap garang beberapa
pemuda dengan memegang golok yang amat tajam.
Dan salah seorang pemuda itu adalah Prangkulo!!
Prangkulo amat mendendam sekali. Setelah si-
uman dari pingsannya, dia segera mencari teman-
temannya untuk menghabisi si pengemis. Dan kebetu-
lan salah seorang temannya melihat si pengemis pergi bersama Barejo ke rumahnya.
Maka serentak Prangkulo memerintahkan ke sana.
Barejo menjadi panik melihat keadaan itu. Is-
trinya langsung merangkulnya erat-erat karena keta-
kutan. Dan sikap orang-orang yang berdiri di halaman rumahnya dengan golok di
tangan, siap untuk menya-bet siapa saja yang berani membangkang.
Prangkulo terbahak.
"Hahaha... rupanya kau memang mempunyai
nyali, Pengemis busuk! Kau masih berani berada di si-ni! Dan kau akan merasakan
akibat yang amat pedih
dari perbuatan mu terhadapku!" serunya sambil ber-kacak pinggang.
Pengemis itu tersenyum, sedikit pun tidak terli-
hat kesan bahwa dia sedang ketakutan. Malah begitu
tenang. "Rupanya kau masih penasaran terhadapku, Sobat...."
"Aku akan tetap penasaran bila belum membu-
nuhmu!" "Oh! Keji sekali keinginanmu itu, Sobat____"
"Anjing buduk! Kau memang pandai berbicara!"
"Hmm... bila kau memang berniat untuk mem-
bunuhku, mengapa harus kau bawa teman-temanmu"
Apakah kau takut untuk menghadapiku sendiri" Di
mana nyalimu, Sobat...."
"Setttaaannn!" "Hmm... bila tadi aku hanya menghindar saja, kali ini kau akan ku
pukul hingga merangkak! Nah, perintahkanlah kepada teman-temanmu itu untuk
segera menghajar dan membu-
nuhku!" Tidak bisa dilukiskan lagi keberangan Prangku-
lo mendengar kata-kata si pengemis yang mengejek-
nya. Dengan penuh geram dan dendam yang amat
sangat, dia pun berseru:
"Hajar pengemis itu hingga mampus!!"


Pendekar Gagak Rimang 7 Siasat Yang Biadab di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Serentak teman-temannya menyerbu dengan
golok di tangan. Golok-golok yang tajam itu pun berke-lebatan dengan cepat.
"Wuuutt!!"
"Wuuutt!!"
Si pengemis itu pun tak mau kalau dirinya
menjadi sasaran empuk golok-golok yang tajam. Maka
dia pun segera menghindar dengan cepat dan tangkas.
"Hahaha... mengapa kalian hanya menyerang
angin saja?" serunya mengejek sambil terus menghindar yang membuat para
penyerangnya menjadi buas
dan kalap. "Mampuslah kau!!"
Namun hingga sejauh itu tak satu pun golok ta-
jam di tangan teman-teman Barejo yang mengenai sa-
sarannya. Karena si pengemis dengan lincahnya
menghindar. Bahkan kini terlihat kalau dia pun mulai membalas. Agaknya kakinya
yang pincang dan tubuhnya yang bungkuk bukan merupakan satu halangan
yang berarti baginya untuk menghindar maupun
membalas. Karena tidak terlihat seperti beban. Malah den-
gan ringannya dia bergerak ke sana ke mari. Dan beberapa kali tangannya pun
mulai bergerak mencari sasaran. "Des!"
"Des!"
Dua kali tangannya bergerak, dua kali pula
mengenai sasaran. Dan dua jeritan pun terdengar be-
runtun disusul dengan tubuh yang sempoyongan.
Pengemis itu terbahak mengejek. "Hahaha...
orang seperti inikah yang kau andalkan untuk mem-
bunuhku"!"
Wajah Prangkulo merah padam. Dia berseru-
seru geram, "Hei, bunuh dia! Kalian kubayar bukannya untuk berjoget di depannya!
Bunuh dia!!"
Mendengar seruan itu semangat teman-
temannya makin berkobar, namun mereka tak punya
daya lagi untuk menghadapi si pengemis. Karena kini mereka yang menjadi bulan-
bulanan tinju dan kaki si pengemis. "Buk!" "Buk!" "Des!"
Sementara itu Barejo kini bisa bernafas dengan
lega karena rupanya si pengemis bisa mengatasi orang-
orang itu. Terlihat pula di wajah Barejo pengharapan yang semakin besar kalau si
pengemis itu mampu menangkap pemerkosa putrinya. Begitu halnya dengan istrinya
yang kini perlahan-lahan melepaskan rangku-
lannya dari tangan suaminya. Harapan untuk mene-
mukan pemerkosa putrinya kini semakin menguak dan
mendapatkan jalan.
Prangkulo kini yang menjadi cemas dan men-
ciut nyalinya. Ketika temannya yang terakhir pun harus terjengkang dan pingsan
karena dua pukulan si
pengemis bersarang di dadanya, dia pun bermaksud
untuk melarikan diri.
Buru-buru dia membalikkan tubuhnya untuk
mengambil langkah seribu. Namun belum lagi kakinya
melangkah, tiba-tiba saja si pengemis sudah berdiri menghadang di hadapannya.
Prangkulo menjadi panik. Dia celingukan ke
sana ke mari tanpa tahu apa yang bisa diperbuatnya.
Pengemis itu menyeringai.
"Hmm... agaknya orang seperti kau ini tidak patut untuk diberi ampun! Kau hanya
patut bila dibunuh saja!" Semakin jeri Prangkulo mendengar kata-kata.
Nyalinya sudah hilang sama sekali. Kesombongannya
tidak terlihat lagi. Tiba-tiba dia jatuh terduduk. Lalu meratap-rapat menangis
minta ampun. "Ampun... ampunkan aku... jangan, jangan pu-
kul... jangan bunuh aku.... Ampun... ampunkan
aku...." Pengemis itu menyeringai.
"Orang seperti kau ini tak patut untuk diampu-
ni... kau memang harus diberi pelajaran, Prangkulo.
Agar kau tidak bersikap terus menerus seperti ini...."
"Ampun... ampunkan aku...."
"Aku tak akan pernah mengampuni orang som-
bong seperti kau! Di samping itu, kau begitu congkak dan merasa sok jago! Aku
tidak pernah menyukai
orang yang bersikap demikian seperti kau ini, Prangkulo!" "Maafkan... maafkan
aku... ku mohon ampunkan aku... ampunkan aku...."
"Hhh! Kau hanyalah memohon satu permintaan
yang sia-sia, Prangkulo...."
Mendengar ucapan itu kali ini Prangkulo bukan
hanya meratap dan memohon, namun dia juga me-
nangis tersedu-sedu. Menangis bagaikan bocah kecil
karena ibunya tidak membelikan permen seperti kein-
ginannya. "Huhuhu... ampun aku... ampunkan aku...."
"Aku akan mengampunkan dan memaafkanmu,
Prangkulo... hanya saja kau mau berjanji padaku...."
"Ya, ya... aku berjanji padamu...."
"Benar kau mau berjanji?"
"Ya, ya... aku akan berjanji...."
"Apa saja?"
"Apa saja!"
"Nah, berjanjilah bahwa kau mau ku bunuh!"
"Oh!" Terbelalak Prangkulo. "Tidak, tidak aku tidak mau berjanji yang itu!"
"Bukankah kau tadi sudah mengatakannya,
bahwa kau mau berjanji apa saja!"
"Iya, iya... aku mau berjanji... tapi tidak yang itu... aku belum mau mati...."
"Lalu kau mau berjanji seperti apa?"
"Apa saja... di luar itu!"
"Bagaimana bila kau berjanji mau ku pukul
sampai sekarat?"
"Oh, tidak... jangan... aku tidak mau berjanji
yang itu! Jangan!"
"Kau berdusta padaku, Prangkulo!"
"Jangan, jangan paksa aku berjanji yang itu!
Aku tidak mau, aku tidak mau!"
Pengemis itu tersenyum. Kini dia tahu siapa
sebenarnya Prangkulo. Pemuda itu hanyalah seorang
yang besar mulut saja. Yang hanya mengandalkan ke-
sombongan dan teman-temannya saja. Rasanya sudah
cukup bagi si pengemis untuk mempermainkan Prang-
kulo. Lalu dia pun berkata, "Baiklah... berjanjilah di hadapanku sekarang....
Sementara Barejo dan istrinya menjadi saksi. Bagaimana?"
"Ya, ya...." sahut Prangkulo cepat.
"Berjanjilah untuk tidak membuat onar lagi.
Bersikaplah biasa saja. Jangan terlalu angkat kepala dan juga jangan terlalu
tundukkan kepala. Jadilah
manusia yang berguna. Janganlah bersikap sombong.
Jangan pula menjadi manusia yang merasa jago dan
memiliki segalanya. Bagaimana" Maukah kau berjanji
hal yang ringan seperti itu?"
"Ya, ya... aku berjanji...." sahut Prangkulo cepat sambil menganggukkan
kepalanya berkali-kali. Dia
merasa sudah tidak berdaya. Dan perlahan-lahan di
hatinya tumbuh rasa penyesalan yang mendalam akan
sikapnya selama ini. Maka dia pun menganggukkan
kepalanya dengan sikap yang tulus.
"Bagus! Aku akan pegang janjimu itu, dan Ba-
rejo beserta istri menjadi saksi! Bila kau kulihat atau kudengar melanggar janji
itu, maka akan ku cabut semua sikapku sekarang ini. Bagaimana" Kau setuju?"
Perlahan Prangkulo menganggukkan kepa-
lanya. "Ya, aku setuju... dan aku amat menyesal den-
gan sikapku yang sombong selama ini...." katanya dengan suara yang tulus dan
penuh penyesalan.
"Bagus! Nah, kau sekarang boleh pergi dari sini.
Bersikaplah sebagaimana yang di inginkan Gusti Allah kepada umat-Nya. Dia tentu
akan marah bila kita melanggar keinginanNya. Jadilah pemuda yang baik dan
berguna bagi desa ini...."
"Ya... terima kasih, Sobat... kau mau memban-
tuku untuk menyadari kekeliruan ku selama ini...." ka-ta Prangkulo sambil
perlahan-lahan berdiri. Ditatapnya pengemis itu yang juga sedang menatapnya.
"Terima kasih, Sobat...." "Pulanglah...."
Lalu dengan langkah tegap yang pasti, Prang-
kulo pun meninggalkan tempat itu. Dia merasa amat
menyesal dan malu mengingat sikapnya selama ini.
Dan dia sungguh-sungguh berjanji tidak akan mengu-
langi lagi sikapnya selama ini.
Sementara itu Barejo dan istrinya mendesah le-
ga, karena si pengemis ternyata tadi hanya menggertak saja. Kala keduanya
mengangkat kepala hendak melihat si pengemis, mendadak saja mereka terkejut. Ka-
rena si pengemis sudah tidak berada di tempatnya
berdiri! Dan hal ini semakin membuat keduanya ber-
tambah kagum. Mereka jadi bertanya-tanya, siapakah
sesungguhnya pengemis pincang dan bongkok yang
sakti dan arif bijaksana itu"
* ** 5 Keadaan Juragan Banyu Biru semakin lama
semakin bertambah menguatirkan sekali. Dia terus
tergolek sepanjang hari di kamarnya. Tubuhnya sema-
kin lama semakin kurus. Sudah puluhan tabib yang
mencoba mengobatinya, gagal. Dan siang malam dia
hanya menggumamkan nama istri dan putrinya. Agak-
nya peristiwa yang telah terjadi itu amat mengganggu pikirannya dan membuat
jiwanya goncang. Semakin
lama dirinya semakin tak bertenaga. Terlihat pula dia amat tak berdaya.
Sementara itu laki-laki setengah baya yang di-
pertuan selain Ki Lurah Pandu Kelana di desa itu,
Kendala Yoro, hanya bisa mendesah panjang. Hatinya
pun galau dan bingung memikirkan nasib Juragan
Banyu Biru. Kendala Yorolah yang selama ini menjaga Juragan Banyu Biru di
samping warga desa yang siang dan malam bergantian menjaga di sekeliling rumah
Juragan Banyu Biru. Karena yang dikuatirkan, orang-
orang Sangkur Baja akan datang menyerang secara ti-
ba-tiba. Yang lebih dikuatirkan lagi bila Bojo Mayit yang memiliki ilmu kebal
itu yang turun tangan sendiri. Ini akan menjadi suatu peristiwa yang amat
mengerikan, meskipun Kendala Yoro sendiri yakin akan ke-
mampuan dirinya. Namun dia menguatirkan keadaan
warga yang lainnya.
Makanya di kala ada waktu senggang, Kendala
Yoro melatih para penduduk desa dalam hal ilmu bela diri. Karena dia berpikir,
di samping para penduduk bisa menjaga dirinya sendiri, juga akan bisa memban-
tunya menghadapi orang-orang Sangkur Baja bila sua-
tu waktu mereka muncul menyerang.
Sore ini Kendala Yoro sedang berada di beranda
rumah Juragan Banyu Biru. Dia tengah bercakap-
cakap dengan dua orang warga desa yang baru saja
melaporkan hal yang amat menarik menurutnya. Ter-
lihat pula kalau Kendala Yoro manggut-manggut men-
dengarkan kata-kata salah seorang dari dua lawan bi-caranya.
"Benarkah demikian, Subra?" tanyanya setelah orang itu selesai bicara.
"Benar, Puan," sahut yang dipanggil Subra.
"Saya sendiri menyaksikan pengemis sakti itu mempermainkan pemuda sombong di
desa sebelah Tengga-
ra sana. Saya pikir, pengemis itu bisa menolong diri Juragan Banyu Biru. Karena
sudah tentu bila dia hebat memainkan ilmu kanuragan, tentu pula dia memi-
liki ilmu pengobatan yang amat hebat."
"Sungguh menarik sekali. Mudah-mudahan apa
yang kau pikirkan itu memang benar adanya, Subra."
"Saya yakin soal itu, Puan."
"Bisakah kau menemuinya dan memintanya
untuk mengobati Juragan Banyu Biru?" tanya Kendala Yoro. "Karena aku sendiri
sebenarnya sudah bingung dengan keadaan Juragan Banyu Biru. Kesehatannya
semakin lama semakin memburuk sekali."
"Kalau soal itu saya bisa, Puan.:. namun saya
tidak tahu apakah dia mau datang ke mari untuk
mengobati Juragan Banyu Biru atau tidak.... Bukan-
kah dia sendiri yang menentukan hal itu?"
"Kau benar, Subra.... Memang dia yang menen-
tukannya dan kita tidak bisa memaksanya untuk mau
datang ke mari dan mengobati Juragan Banyu Biru.
Namun bukankah kau bisa mencobanya, Subra" Siapa
tahu dia bersedia.... Bagaimana, Subra?"
"Bisa, Puan...."
"Nah, berangkatlah kau bersama Jagar. Jangan
banyak membuang waktu dalam perjalanan. Lekaslah
temukan pengemis sakti itu."
"Baik, Puan...."
"Pergilah dan lekaslah kembali dengan penge-
mis sakti itu!" kata Kendala Yoro.
"Baik, Puan...." kata Subra sambil menghormat dan undur diri. Begitu pula dengan
Jagar yang sejak tadi hanya diam saja mendengarkan percakapan itu.
Dan sore itu pula dia memacu kudanya bersa-
ma Jagar menuju desa di sebelah Tenggara. Keduanya
dengan cepat memacu kuda mereka seakan sedang di-
kejar wabah penyakit yang amat mengerikan.
Kendala Yoro mendesah panjang, dia memang
tidak bisa berharap banyak. Namun meskipun demi-
kian dia tetap menaruh harapan pada pengemis sakti
itu. Karena memang hanya dialah yang kini bisa dijadikan harapan.
Harapan yang masih belum terlihat wujudnya.
Hanya bayangannya saja yang bisa dirasakan.
Belum lagi dia bisa memikirkan hal itu lebih
lama, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari belakang rumah Juragan Banyu
Biru yang memiliki hala-
man demikian luasnya. Suara itu demikian keras, di-
iringi dengan bunyi senjata beradu dan suara teriakan disusul dengan jerit
Tiga Dara Pendekar 14 Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Pertemuan Di Kotaraja 1
^