Bencana Goa Iblis 1
Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis Bagian 1
http://duniaabukeisel.blogspot.com
BENCANA GOA IBLIS oleh Fredy S. Cetakan Pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trianto S.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Alam telah gulita. Kesenyapan begitu hen-
ing terasa. Angin pun seakan enggan berhembus,
memberikan titik makna yang hilang.
Entah mengapa suasana mencekam me-
nyelimuti desa di lereng Gunung Kelud. Desa
yang biasanya ramai dan tentram, kini bagaikan
tengah menunggu datangnya hantu-hantu yang
hendak berbuat jahat.
Semua penduduk seakan merasakannya.
Namun di keheningan yang mencekam dan ma-
lam yang semakin larut, di balai desa suasana
cukup ramai. Karena nampak beberapa orang
pemuda dan laki-laki setengah baya tengah ber-
kumpul di sana. Hadir pula seorang laki-laki yang berwajah lembut dan berwibawa.
Dia adalah Pandu Kelana, seorang lurah yang tengah menginjak
usia 45 tahun. Sikapnya yang bijaksana dan pe-
nuh kewibawaan membuat orang-orang desa di
sana begitu menaruh hormat padanya.
Di balai desa itu hadir pula beberapa orang
tua yang nampaknya seperti sesepuh. Dari ra-
mainya keadaan di balai desa ditimpali dengan
wajah-wajah yang tegang, nampak jelas kalau di sana tengah dibicarakan dan
dibahas satu masa-lah yang nampaknya amat rumit.
Laki-laki tua yang bernama Kendala Yoro
mendehem, membuat semua mata tertuju pa-
danya. "Semakin hari kita semakin dicekam oleh
ketakutan dan teror yang mengerikan. Teror yang setiap saat datang," katanya
dengan suara pelan namun berat. "Yah... kita memang tidak bisa menyalahkan
Juragan Banyu Biru yang menolak pi-
nangan dari ketua Sangkur Baja, terhadap pu-
trinya. Siapa pun orangnya tentu akan menolak
pinangan gerombolan kejam yang sadis itu.
Namun akibat dari semua ini, berulang-kali
orang-orang Sangkur Baja menebarkan terornya.
Sudah tentu Bojo Mayit, ketua Sangkur Baja me-
rasa terhina dan tidak bisa menerima apa yang
telah dikatakan Juragan Banyu Biru terhadap
utusan yang membawa pinangan nya. Jelas kita
tidak bisa menyalahkan Juragan Banyu Biru yang
mana akibat dari semua ini, seisi desa yang akan bisa terkena sasaran...."
Hening, tak ada yang bersuara. Hanya an-
gin malam yang berkesiuran dingin. Siapa pun
akhirnya tahu, karena secara mendadak beberapa
kali desa mereka diserang oleh orang-orang yang mengaku dari golongan Sangkur
Baja. Namun se-jauh itu mereka dapat menghalaunya. Dan kare-
na serbuan itu diadakan berulangkali, dan beru-
langkali pula mereka melihat sasaran yang dituju adalah rum ah Juragan Banyu
Biru. Ini membuat
mereka menjadi heran.
Lambat laun akhirnya mereka pun mulai
membicarakannya, akhirnya diambil keputusan
untuk bertanya langsung pada Juragan Banyu
Biru yang secara ragu-ragu pun menceritakan ke-
jadian sesungguhnya.
Mereka cukup terkejut mendengarnya. Di
samping tidak menyalahkan sikap diam Juragan
Banyu Biru juga amat geram mengingat putri
Juragan Banyu Biru yang bernama Sekar Perak,
putri jelita yang manis itu. Mereka pun seakan tidak rela bila Sekar Perak harus
menjadi pen- damping manusia kejam Bojo Mayit yang berdiam
di sebelah Tenggara Gunung Kelud.
Dan mulai malam itu pula mereka semua
berjaga-jaga. Juragan Banyu Biru sendiri telah
menyewa beberapa orang jago-jago bayaran untuk
melindungi keluarganya.
Memang serangan dari orang-orang Sang-
kur Baja itu kembali datang, namun berkat kegi-
gihan mereka dibantu dengan jago-jago bayaran
yang didatangkan oleh Juragan Banyu Biru, se-
muanya bisa dihalau.
Tetapi biarpun begitu, mereka cukup te-
gang dan kuatir, bila suatu waktu orang-orang
Sangkur Baja datang dengan jumlah yang besar.
Selama ini Bojo Mayit memang belum turun tan-
gan. Dan inilah yang dikuatirkan mereka.
Di balai desa itu keheningan masih terasa.
Juragan Banyu Biru yang hadir pula di sa-
na, hanya mendesah panjang mendengar kata-
kata Kendala Yoro. Dia pun tidak menyalahkan
apa yang telah dikatakan Kendala Yoro itu. Kare-na memang dia yang menjadi
penyebab pangkal
semua ini. Kembali Kendala Yoro berkata:
"Biarpun demikian, kita semua akan tetap
berusaha untuk menghalau sepak terjang mere-
ka. Kita tidak bisa berpangku tangan begitu saja.
Ini sudah menjadi kewajiban kita bermasyarakat."
Orang-orang yang hadir membenarkan ka-
ta-kata Kendala Yoro itu. Mereka pun berniat untuk menghalau dan bersiaga penuh
terhadap orang-orang Sangkur Baja.
Sementara Juragan Banyu Biru tersentuh
hatinya. Mereka adalah orang-orang yang bersa-
habat, yang membuat satu arti hidup menjadi le-
bih matang. "Saudara-saudaraku, terima kasih atas ke-
relaan kalian untuk membantuku. Terus terang,
aku tidak ingin menyusahkan kalian, tidak ingin membuat kalian resah. Namun apa
daya, aku tak kuasa untuk membendungnya. Bila aku mau,
aku pun rela mengorbankan putriku untuk dija-
dikan istri oleh Bojo Mayit. Namun aku tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya
nanti berada di tangan seorang suami seperti dirinya, yang banyak bergelimang dosa dan
melakukan sepak ter-
jang yang mengerikan. Sekali lagi, terima kasih atas bantuan kalian...." Ki
Lurah Pandu Kelana mendehem. "Banyu Biru... sudah sepatutnya ka-mi melakukan hal
itu. Karena kami pun harus
mempertahankan diri. Kau dan keluargamu me-
rupakan bagian dari kami warga di sini. Tak perlu kau risaukan kembali, karena
kami siap untuk
membela...." "Terima kasih, Ki Lurah...."
"Dalam hal ini, aku minta," kata Ki Lurah
Pandu Kelana kemudian sambil memandang se-
mua yang hadir. "Kalian harus bersiap siaga. Kalian harus menjaga desa ini
hingga titik darah te-rakhir. Kita jangan hanya melimpah kesalahan ini pada
Juragan Banyu Biru.
Dalam hal ini dia tidak bersalah. Ini bu-
kan kesalahan dan kemauannya. Bagi kita yang
mempunyai seorang anak perawan, pasti juga ti-
dak rela bila anak kita jatuh ke tangan seorang laki-laki kejam seperti Bojo
Mayit. Di samping itu pula, kita harus bersatu.
Dengan bersatu kita akan menjadi lebih berarti."
Semua yang hadir rata-rata mengangguk-
kan kepalanya mendengar wejangan dari Ki Lu-
rah Pandu Kelana. Mereka semakin menaruh
hormat padanya.
Sejak semula mereka memang sudah me-
naruh hormat. Ini membuktikan bahwa Ki Lurah
Pandu Kelana mempunyai wibawa dan kharisma
yang besar. Kendala Yoro, orang yang di pertua di desa
itu pun diam-diam dalam hati bangga terhadap
Pandu Kelana. Dia tahu siapa Pandu Kelana. Tak
lain adalah seorang laki-laki yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Disegani
baik lawan mau-pun kawan.
Kendala Yoro sendiri merasa yakin, bahwa
seorang seperti Pandu Kelana akan menjadi orang yang dihormati siapa saja
selamanya, karena jiwa kepemimpinan nya, karena rasa simpatinya dan
wibawanya yang besar.
"Lalu apa rencanamu, Pandu?" tanyanya kemudian.
Pandu Kelana menatap Kendala Yoro.
"Puan... tentunya kita harus bersiaga pe-
nuh. Untuk itu, aku akan mengatur beberapa
penjagaan yang lebih ketat. Agar kita bisa me-
mantau keadaan."
"Cara apa yang akan kau lakukan?"
"Pertama, kita akan menempatkan lima
orang di pintu masuk desa sebelah Utara, Timur, Barat dan Selatan pun hal yang
sama. Selain itu, kita pun akan memberi bantuan khusus di rumah
Juragan Banyu Biru untuk membantu para jago-
jago bayaran- Aku tahu siapa Bojo Mayit. Dia seorang la-
ki-laki kejam yang memiliki ilmu Sangkur Baja
yang amat hebat. Tubuhnya bisa menjadi kebal
dan tahan terhadap segala macam senjata. Juga
pukulan yang amat berbahaya sekalipun.
Untuk menghadapi hal ini, agaknya kita
masih perlu dan harus berani berkorban. Karena
aku tahu siapa Bojo Mayit itu."
Suasana kembali hening. Mereka seakan
mendengar nada suara kecut yang diucap-kan
oleh Ki Lurah Pandu Kelana. Namun diam-diam
mereka pun yakin akan kehebatan ilmu yang di-
miliki oleh Ki Lurah.
Mereka pun menjadi tenang.
Namun sebelum pembicaraan itu berlan-
jut, tiba-tiba muncul satu sosok tubuh tergesa-
gesa, bahkan terlihat sempoyongan. Tangan ka-
nannya mendekap tubuh bagian dada. Terlihat
pula tangan dan dada itu bersimbah cairan me-
rah. Darah! Darah yang keluar dari dada itu.
Sosok itu tiba di balai desa dan langsung
ambruk setelah mendesis terbata-bata.
"Hei!" seru Ki Lurah Pandu Kelana terkejut dan sigap bangkit menolong sosok
tubuh yang sedang menahan rasa sakit.
Yang lebih terkejut lagi adalah Juragan
Banyu Biru. Karena sosok yang terluka parah itu adalah salah seorang jago
bayaran yang dis-ewanya.
"Kranggan!!" desisnya memburu. "Ada apa, Kranggan" Ada apa"!" lanjutnya tergesa-
gesa. Seketika terlihat di wajahnya kepanikan. Hatinya ti-ba-tiba menjadi tidak
enak. Sosok itu membuka matanya yang me-
mancarkan rasa kesakitan. Wajahnya seolah me-
nahan rasa sakit.
"Tuan...." desisnya.
"Ada apa, Kranggan" Katakan cepat! Apa
yang telah terjadi" Apa yang terjadi"!"
Kranggan menahan rasa sakitnya.
"Hgggh. Tuan... akh... mereka datang,
Tuan... mereka... akh...."
"Siapa"! Siapa, Kranggan"!"
"Mereka... mereka, Tuan.... Orang-orang
Sangkur Baja... akh... tiba-tiba saja mereka muncul dan menyerang... kami secara
membabi bu- ta.... Teman-teman sedang... berusaha me-
nyelamatkan Putri Sekar dan Nyonya...."
Kepanikan itu semakin kentara di wajah
Juragan Banyu Biru. Tanpa berkata apa-apa dia
langsung berlari dengan cepat, menyusul di belakangnya dua orang jago bayarannya
yang nampak sudah tidak sabar.
Ki Lurah Pandu Kelana segera bertindak
cepat. "Urus orang ini!" serunya lalu dia sendiri berlari dengan ilmu
meringankan tubuhnya.
Di belakangnya berlarian pula orang-orang
dengan hati geram dan marah. Mereka sudah ti-
dak sabar ingin segera melumat manusia-
manusia kejam itu.
Bangsat! Manusia-manusia yang lebih
layak mati daripada hidup di muka bumi ini
membuat onar dan merugikan manusia lain.
Beberapa orang segera menolong Kranggan
yang kini pingsan karena kekurangan darah.
Kendala Yoro pun dengan cepat menotok bebera-
pa bagian tubuh dari Kranggan agar darah yang
keluar tidak mengalir lagi.
Lalu dia sendiri setelah itu segera berlari
menuju rumah Juragan Banyu Biru.
Tongkatnya yang berwarna putih seakan
membantunya dalam berlari karena dijadikan
tumpuan. * * * 2 Rumah Banyu Biru adalah rumah yang te-
rindah dan terbagus di desa itu. Namun di malam ini, rumah indah itu seakan
tidak nampak kein-dahannya. Dari kejauhan malah terlihat api ber-
kobar menyala menjilat-jilat udara.
Api itu merayap di atas rumah Juragan
Banyu Biru. Di halaman rumahnya terdengar suara
orang menjerit dan senjata beradu keras.
Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Trang!"
"Trang!"
"Hahaha... lebih baik kalian menyerah saja, Bodoh!" Terdengar makian keras
sambil tertawa membahana.
"Bangsat! Kalian adalah orang-orang bi-
adab yang kerjanya hanya mengganggu orang sa-
ja!" Seruan-seruan itu semakin kuat terdengar.
Yang membentak pertama seorang laki-laki yang
berwajah seram. Seluruh wajahnya nampak ba-
gaikan berbulu. Dia bernama Rondeng, seorang
tangan kanan dari ketua Sangkur Baja, Bojo
Mayit. Sedangkan yang membentak kedua adalah
salah seorang dari jago bayaran yang disewa oleh Juragan Banyu Biru. Hanya
tinggal dia sendiri!
Teman-temannya yang lain sudah mampus lebih
dulu. Mereka memang cukup terkejut ketika tiba-
tiba orang-orang itu hadir dan melancarkan se-
rangan yang membabi buta.
Namun bagi seorang jago bayaran yang te-
lah mencurahkan dirinya pada orang yang mem-
bayarnya, maka nyawalah taruhannya. Jago
bayaran itu pun semakin memperhebat seran-
gannya, meskipun dia yakin perbuatannya itu
akan sia-sia. Namun dia tak akan pernah mau
menyerah begitu saja.
"Hahaha... lebih baik kau membunuh diri
saja, Goblok!!" maki Rondeng sambil tertawa.
"Bunuh diri" Hahaha... kau bermimpi, Ka-
wan. Tak akan pernah aku mundur sejengkal pun
dari hadapanmu!" serunya sambil menghindar dan membalas menyerang.
Serangan demi serangan dengan cepat ter-
jadi. Saling serang dan mengelak dengan hebat.
Sungguh suatu hal yang luar biasa diperlihatkan oleh jago bayaran itu. Karena
kini Rondeng dibantu oleh dua orang teman-nya.
"Kau masih main-main saja, Rondeng! Ha-
bisi!!" seru salah seorang temannya sambil maju menyerang.
Jago bayaran itu pun dengan segenap ke-
kuatannya mencoba untuk bertahan.
"Kalian memang manusia-manusia pe-
ngecut!" makinya sambil terus bertahan dan sekali-sekali menyerang.
Namun karena kini lawannya bertiga, maka
dia jelas keteter dengan hebat. Senjata-senjata lawannya sudah berkali-kali
mengenai bagian-
bagian tubuhnya. Darah pun merembas ke luar.
Tubuhnya sudah sempoyongan dengan hebat.
"Hahaha... mampuslah kau!!" seru Ron-
deng keras membahana.
Sungguh malang nasib jago bayaran itu.
Dirinya dijadikan bulan-bulanan dengan hanta-
man-hantaman yang keras pada tubuhnya. Na-
mun sungguh mengagumkan ke-beranian yang
diperlihatkan oleh jago bayaran itu. Dengan beraninya dia terus bertahan dan
menyerang. Kini dia melihat beberapa orang-orang itu
mulai masuk ke dalam rumah. Seketika pikiran-
nya tentang Sekar Perak dan istri majikannya.
Dengan sigap sambil menahan rasa sakitnya, dia
bersalto ke arah orang-orang yang hendak masuk
itu. Dan langsung menyabetkan pedangnya.
Namun hal itu tidak berlangsung lama, ka-
rena pisau yang dilemparkan oleh Rondeng telah
menancap tepat di jantungnya!
Dan tubuh itu pun langsung menggelepar
dengan hebat diiringi suara menjerit mengerikan.
Lalu diam tak berkutik dengan sepasang mata
terbuka mendelik.
"Hhh! Mampuslah kau!!" bentak Rondeng.
Namun dia langsung berbalik ke kiri. Dan
matanya terbelalak tak percaya. Dari kejauhan
terdengar suara ramai dan derap kaki berdatan-
gan mendekat. Orang-orang Sangkur Baja yang
berjumlah delapan orang itu menjadi saling pan-
dang. Betapa banyaknya orang-orang yang berda-
tangan. "Hancurkan!" "Bunuh!" "Ganyang!!"
"Jangan beri ampun manusia-manusia ke-
jam itu!!"
Seruan-seruan kalap itu sudah terdengar.
Membuat orang-orang Sangkur Baja menjadi ber-
siaga. Tiba-tiba terdengar seruan Rondeng,
"Mangkoro! Ikut aku! Kalian hadang mereka!"
Rondeng dan Mangkoro segera menyelinap
ke dalam rumah itu. Mereka mencari Sekar Perak
dan ibunya. Sementara yang lain segera berhan-
tam dengan para penduduk yang kalap. Ki Lurah
Pandu Kelana dengan tangkasnya segera mener-
junkan diri dan bergerak dengan cepat.
Tangan dan kakinya bergerak dengan cepat
mencari sasarannya, bagaikan memiliki mata be-
laka. Dia seakan mencari sasaran yang empuk.
Sasaran dari orang-orang yang telah berulangkali meneror mereka.
Sungguh hebat apa yang dilakukan Ki Lu-
rah Pandu Kelana. Kendala Yoro sendiri segera
menerjunkan diri. Begitu pula dengan yang lain.
Kembali di halaman depan rumah Juragan
Banyu Biru terjadi pertarungan yang hebat.
Banyu Biru sendiri bermaksud menyelinap masuk
ke dalam rumahnya, untuk menyelamatkan putri
dan istrinya. Namun orang-orang Sangkur Baja itu sea-
kan mengetahui maksudnya. Karena mereka ber-
kali-kali menghalanginya dengan sabetan-sabetan senjatanya.
Sehingga membuat Banyu Biru menjadi ra-
gu untuk masuk. Dia pun lama kelamaan menja-
di geram adanya. Dengan seruan yang keras, dia
melompat menerjang orang yang menghalanginya.
"Mampuslah kau manusia busuk!"
Serangan yang dilancarkan oleh Banyu Bi-
ru sungguh hebat. Dan cepat. Bahkan orang-
orang seakan baru tahu kalau Banyu Biru sebe-
narnya memiliki kesaktian yang cukup lumayan.
Namun selama ini ditutupi-nya.
Orang yang menghalanginya masuk itu
pun keteter dengan cepat. Dan harus meregang
nyawa karena tangan Banyu Biru yang mengan-
dung tenaga dalam yang kuat menghantam tepat
di wajah dan jantungnya.
"Akkhhhhh!!"
Orang itu pun ambruk. Banyu Biru segera
masuk ke dalam rumahnya. Sementara pertarun-
gan itu semakin seru berjalan. Masing-masing berusaha untuk mempertahankan diri
dan menga- lahkan lawan-lawannya.
Malam yang gulita kini bagaikan terang
benderang. "Jangan beri ampun manusia-manusia ini!"
Terdengar seruan dari Pandu Kelana yang mem-
beri semangat. Namun jelas terlihat lama kelamaan orang-
orang Sangkur Baja tergeser. Di samping mereka
sudah lelah, juga jumlah penduduk desa yang
banyak yang dengan geram hendak mencabut
nyawa mereka. Sebentar saja mereka sudah terdesak. Se-
ruan-seruan keras kini berpadu dengan jerit ke-
sakitan. Dan akhirnya satu per satu pun harus te-
was setelah menjerit dengan hebat.
Bersamaan dengan berakhirnya lawan-
lawan itu, muncul Banyu Biru dari dalam. Wa-
jahnya kelihatan amat panik. Dia bagaikan anak
ayam kehilangan induk.
Ki Lurah Pandu Kelana sigap segera men-
dekatinya. "Ada apa, Bayu?"
"Anakku... istriku...." desis Banyu Biru bagaikan orang bodoh belaka. Kepalanya
berkeliling seakan yakin kalau anak dan istrinya berada di
sekitar sana. "Mengapa mereka?" desis Pandu Kelana
cemas. "Apakah mereka... oh, tidak!"
"Mereka... mereka tidak ada, Pandu.... Me-
reka tidak ada.... Oh! Ke mana kalian permata hatiku?" Pandu Kelana segera
menenangkan Banyu Biru. "Bawa dia masuk ke rumahnya."
Beberapa orang penduduk segera mem-
bawa Banyu Biru ke kamarnya. Lalu mereka
kembali ke halaman depan, di mana Pandu Kela-
na dan yang lainnya masih berada di ^ Hana dan
sedang terlibat dalam satu obrolan yang panjang.
"Hmmm... agaknya kita harus mencari ma-
lam ini juga, Saudara-saudaraku!" kata Pandu Kelana lantang.
Sahutan-sahutan setuju pun terdengar
ramai. "Benar, kita harus mencari mereka!"
"Ya, kita pun akan menyerang orang-orang
Sangkur Baja!"
"Bunuh mereka!"
"Hancurkan mereka!"
"Tenang, tenang, Saudara-saudaraku...."
kata Pandu Kelana menenangkan warga-nya. "Ki-ta memang harus berusaha untuk
menghancur- kan Sangkur Baja. Namun pada saat ini, tugas ki-ta adalah untuk mencari dan
menemukan Sekar
Perak serta istri dari Banyu Biru. Bila semuanya sudah berhasil, barulah kita
mendatangi Perkumpulan Sangkur Baja! Kita hancurkan mereka!
Setuju"!!"
"Setuju!!!"
"Bagus, malam ini pula kita harus segera
berangkat mencari. Jangan sampai luput satu
tempat pun!"
"Setuju!!"
"Bagus, marilah kita mulai!!"
Orang-orang itu pun segera berpencar un-
tuk mencari Sekar Perak dan istri dari Banyu Bi-ru. Sementara Pandu Kelana dan
Kendala Yoro masuk menemui Banyu Biru yang terbaring le-
mah seakan tiada daya.
Sepasang matanya memancarkan sinar ke-
pedihan dan ketidakberdayaan. Dia seperti kehi-
langan hatinya hingga membuatnya terdiam da-
lam kepasrahan.
Ki Lurah Pandu Kelana hanya berkata pe-
lan, "Banyu... mudah-mudahan putri dan istrimu ditemukan dalam keadaan selamat."
Hanya pancaran mata Banyu Birulah yang
berkata. Mudah-mudahan. Selebihnya hanya pa-
srah. Kendala Yoro pun mendehem. Lalu berka-
ta: "Kuatkanlah hatimu, Banyu.... Banyaklah
berdoa kepada Gusti Allah, bahwa anak dan is-
trimu dalam keadaan selamat."
Namun tepat ketika ayam jantan berkokok
menandakan waktu telah pagi, terdengar kabar,
istri Juragan Banyu Biru telah ditemukan. Na-
mun dia telah tewas dalam keadaan yang amat
menyedihkan. Diperkosa terlebih dulu sebelum dibunuh!
* * * 3 "Tolong... tolong... ampun... aku mau di-
bawa ke mana... huhuhu.... Bapa tolong aku... tolong aku, Bapa...." Seruan keras
di iringi dengan isak tangis itu terdengar. Dan sosok tubuh yang dipanggul di
bahu yang kekar itu meronta-ronta
minta dilepaskan. "Tolong... tolong aku!!"
"Bangsat!!" Sosok yang memanggul itu
menggeram marah. "Diam!"
"Tolong! Lepaskan... lepaskan aku!!"
"Anjing kurapan! Diaaam!!"
Meskipun dibentak seperti itu, namun so-
sok itu terus menjerit-jerit. Membuat orang yang memanggulnya dengan lari ter-
gesa-gesa menjadi
jengkel. Tiba-tiba saja dia berhenti, lalu menyen-takkan turun sosok tubuh yang
dipanggulnya itu.
"Diam! Bila kau tidak diam juga, kami akan menyeretmu dengan paksa!"
"Huhuhu... lepaskan aku, lepaskan aku!!"
"Setttannnn!!" Orang itu semakin jengkel dan dengan paksa kini menyeretnya.
"Lepaskan, lepaskan!!" seru sosok tubuh itu sambil mencoba menahan dirinya,
namun tenaga laki-laki yang menyeretnya amat kuat dan
mau tak mau kakinya harus terseret mengikuti
tarikan tangan laki-laki itu bila dia tidak mau ter-jerembab.
"Brengsek! Jangan ribut!!"
"Huhuhu... aku mau dibawa ke mana...."
"Diam!!"
Seruan-seruan itu terlontar dari mulut Se-
kar Perak dan Rondeng. Ternyata Rondeng dan
Mangkoro masuk ke rumah Banyu Biru untuk
membawa lari Sekar Perak dan ibunya, yang telah mereka perkosa sebelum mereka
bunuh. Rondeng dan Mangkoro tidak berani me-
lakukan hal itu terhadap Sekar Perak, karena Bo-jo Mayit menginginkannya. Bila
mereka mengusik
Sekar Perak sedikit saja, maka mautlah taruhan-
nya. Itulah sebabnya mereka memperkosa dan
membunuh ibu Sekar Perak daripada hanya me-
nyusahkan mereka saja.
Rondeng mengusulkan untuk menyem-
bunyikan Sekar Perak di Goa Alas Bantan sebe-
lum membawanya kepada ketua mereka. Karena
dia yakin, saat ini keduanya tengah dicari oleh warga desa.
Goa Alas Bantan adalah sebuah goa yang
berada amat jauh dari desa itu. Sebuah goa yang dikelilingi oleh hutan yang amat
lebat.
Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebuah goa yang amat mengerikan.
Konon goa itu dulu tempat bertempurnya
para tokoh sakti antara golongan putih dan hi-
tam. Mereka hendak memperebutkan goa itu se-
bagai kekuasaan. Di mana golongan putih amat
menentang sekali perbuatan orang-orang golon-
gan hitam. Pertempuran itu amat hebat dan ber-
langsung selama berhari-hari. Namun di saat pertempuran itu terjadi, mendadak
saja semua orang-orang itu meninggal. Dan tak seorang pun
yang tahu sebab musabab yang sesungguhnya
sehingga orang-orang itu mati. Mereka hanya
menduga, para jago itu mati karena saling bunuh dalam pertempuran.
Berita tentang goa itu hingga sekarang ti-
dak terdengar lagi. Namun Rondeng diam-diam
tahu tentang hal itu. Dan dia yakin goa itu masih ada dan hingga sekarang belum
ada yang memili-
ki. Itu merupakan sebuah tempat persembu-
nyian yang amat aman sekali.
"Masih jauhkah goa itu, Rondeng?" tanya Mangkoro sambil terus mengikuti langkah
Rondeng. "Cukup jauh juga!"
"Kita harus lebih cepat! Karena aku yakin, orang-orang desa akan tetap mencari
kita! Dan bi-la suasana sudah aman, barulah kita muncul dari goa itu dan
menyerahkan gadis cantik ini untuk
ketua. Hmm... sayang sekali... bila bukan untuk ketua, sudah ku-ganyang gadis
ini. Tubuhnya amat menggiurkan sekali...."
"Hahaha... bila kau nekad, nyawamu akan
mampus di tangannya!"
"Ya, ya... aku pun masih sayang dengan
nyawaku!" "Hhh! Lebih baik kau bopong gadis ini,
Mangkoro! Lumayan, tubuhnya yang meng-
giurkan itu akan menempel di tubuhmu!"
"Hhh! Keenakan dia! Biar saja sini aku
yang ganti menyeret!" seru Mangkoro. "Biar dia tahu rasa, sejak tadi aku tidak
tahan mendengar jeritannya!!"
Lalu dengan kasarnya Mangkoro menyeret
Sekar Perak. Hal ini semakin membuat Sekar Pe-
rak menjadi ketakutan. Dia tidak pernah mem-
bayangkan hal seperti ini akan terjadi. Menurutnya. keluargnya baik pada siapa
pun. Dan tak pernah punya silang sengketa.
Namun lamaran yang datang dari ketua
penjahat itu membuat semuanya berubah. Dan
ketakutannya semakin menjadi. Makanya dia
menjerit-jerit untuk menghilangkan rasa takut-
nya. "Tolong... tolong! Lepaskan, lepaskan aku, Orang jahat!" jeritnya keras.
Dia amat takut sekali dengan orang-orang jahat ini.
Apalagi dengan orang yang kini menyeret-
nya, yang tak punya perikemanusiaan. Kakinya
sampai lecet-lecet karena harus tergesa-gesa
mengikuti langkah orang itu.
Tubuhnya sudah amat lemah. Sempo-
yongan, mau tak mau dia terus melangkah se-
mentara pergelangan tangannya terasa sakit se-
kali akibat cekalan yang keras.
Dia terus tersaruk-saruk mengikuti
langkah laki-laki yang menyeretnya. Tenaganya
dirasakan sudah hilang sama sekali. Kini dia
bahkan terhuyung belaka.
"Tolong... lepaskan aku... lepaskan aku...
ampuni aku...." Kini suaranya bukan lagi jeritan, tetapi permohonan belas
kasihan. "Jangan rewel!" membentak Mangkoro karena jengkel. "Kalau kau masih bicara
terus, ku perkosa dan kubunuh kau seperti ibu mu, hah"!"
"Oh! Lepaskan aku... ku mohon lepaskan
aku... huhuhu... apa salahku" Apa salah keluar-
gaku" Kalian adalah manusia-manusia laknat!
Jahat!" "Diam!"
"Huhuhu... lepaskan aku... kalian jahat!
Kalian jahat!!" "Diam! Diam!" "Lepaskan aku...."
"Plak!" Tamparan itu melayang di pipinya. Meskipun dirasakannya sakit, Sekar
Perak tetap merin-tih memohon dilepaskan.
"Bangsat! Bila kau tidak mau diam juga...
kubunuh kau"!" bentak Mangkoro saking jeng-kelnya. Telinganya benar-benar tidak
tahan men- dengar rengekan seperti itu.
Kini Sekar Perak hanya terdiam dan me-
nangis terguguk karena tidak mau dibentak dan
dipukuli lagi. Dia sudah tak mampu lagi untuk
berkata-kata. Dia hanya bisa memaksakan sisa-
sisa tenaganya untuk melangkah, mengikuti
langkah kedua orang yang berada di depannya
itu. Tiba-tiba Mangkoro berhenti melangkah.
Sekar Perak yang hanya mengikuti dengan lang-
kah sempoyongan terkejut hingga menabrak
Mangkoro. "Bangsat! Kubunuh kau"!" bentak Mangko-ro.
"Oh!"
"Diam!!"
"Sudahlah, Mangkoro... aku pun tidak ta-
han sebenarnya, tapi karena dia milik ketua, mau apa lagi?" kata Rondeng.
Mangkoro mendengus.
"Hhh! Masih jauhkah tempatnya, Ron-
deng?" tanyanya malas-malasan. Rasanya ingin
dibunuh saja gadis itu yang membuatnya jengkel
dan harus menyeret-nyeret yang dirasakan bagai-
kan beban belaka.
"Cukup lumayan."
"Aku sudah bosan menyeret-nyeret gadis
yang cerewet ini"!" makinya sambil melirik Sekar Perak yang menggunakan
kesempatan itu untuk
bisa bernafas dengan lega.
"Hahaha... itu sudah tugasmu, bukan?"
"Hhh! Jangan tertawa!"
"Hahaha... bukankah lebih asyik mem-
bawa seorang gadis montok seperti dia dari pada membawa seorang laki-laki
seperti aku?"
"Sialan! Baiknya diapakan gadis ini, hah"!"
"Terserah! Asal jangan kau perkosa dan
kau bunuh! Karena nyawamu sebagai taruhan-
nya!" "Bangsat!"
"Sudahlah! Ayo kita terus! Kita nanti akan sampai di hutan Alas Bantan. Di ujung
hutan itulah, Goa Alas Bantan yang amat tersembunyi be-
rada!" "Baiklah!"
Kembali Mangkoro menyeret tubuh Sekar
Perak yang lagi-lagi harus tersaruk-saruk mengikuti langkahnya. Dia benar-benar
sudah merasa amat tidak berdaya.
Rondeng yang melangkah di belakang ke-
duanya terbahak-bahak. Dan diam-diam dia
memperhatikan bentuk tubuh Sekar Perak dari
belakang. Sebuah tubuh yang amat menggiurkan.
Gairahnya seakan bangkit perlahan-lahan.
Namun dia masih bisa bertahan dan sadar
kalau gadis ini adalah milik ketuanya. Bila saja bukan, sudah dinikmatinya tubuh
yang menggiurkan dan mengundang selera itu.
"Sialan!" makinya dalam hati.
Hutan Alas Bantan yang kini mereka ma-
suki hampir sama lebatnya dengan Hutan Alas
Roban. Tetapi hutan Alas Bantan lebih nampak
bagaikan menyimpan misteri yang amat mengeri-
kan. Entah apa misteri itu. Yang pasti, Goa Alas Bantan terletak di ujungnya,
yang pasti, Rondeng merasakan bulu remangnya berdiri.
Hutan itu seakan hidup dan kesal karena
dimasuki oleh tamu-tamu yang tak di undang.
Karena begitu mereka memasukinya, angin ber-
hembus kencang, menggesek dedaunan yang me-
nimbulkan irama mengerikan.
Wajah Sekar Perak seketika pucat karena
ketakutan. Dia benar-benar ngeri mengalami hal
seperti ini. Sungguh suatu kejadian yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Dan dia tak per-
nah mengerti mengapa justru dia yang harus
mengalaminya. "Oh, Tuhan... kapankah berakhirnya ketegangan ini?"
Mendadak saja terdengar suara tawa yang
amat mengerikan. Yang mampu membuat bulu
roma berdiri. "Hik... hik... hik...!!"
Tawa itu menggema ke seluruh hutan. Ter-
bawa angin hingga ke segenap penjuru. Tawa
yang seakan mengundang dan menyebarkan ha-
wa maut! * * * 4 Tawa itu terdengar lagi. "Hik... hik... hik...!"
Mengerikan. Seketika Sekar Perak men-
jerit dengan tubuh lemas. Takutnya bukan alang
kepalang. Dia seorang gadis yang jarang sekali ke luar rumah. Bila pun iya,
paling diantar oleh em-bannya. Namun sekarang, selagi dia ke luar ru-
mah, merupakan sebuah kejadian yang amat me-
nyiksanya. Sementara Rondeng dan Mangkoro segera
waspada. Keduanya mencium sesuatu yang akan
terjadi. "Bersiap, Rondeng...."
"Ya... demikian pula dengan kau, Mangko-
ro...." Dan benar saja, tiba-tiba di hadapannya berlompatan delapan orang laki-
laki seram dengan golok besar di tangan. Bukan, bukan para
warga desa. Orang-orang ini bagaikan makhluk
mengerikan yang siap mencabut nyawa. Mata me-
reka begitu buas, lebih-lebih setelah menatap Sekar Perak yang semakin
menggigil. Tiba-tiba dari salah sebuah pohon ber-salto
satu sosok tubuh dengan lincahnya dan hinggap
di hadapan orang-orang itu dengan ringannya.
Rondeng sudah menduga, betapa tingginya ilmu
meringankan tubuh orang Itu. Dia pun memper-
hatikan dengan seksama.
Orang yang bersalto itu bertubuh ramping
dan gemulai. Rambutnya terurai indah. Wajahnya
cantik dan bibir yang mungil. Di pinggangnya ter-lilit sebuah angkin berwarna
merah. Dan di punggungnya terdapat sebuah pedang tipis yang amat
tajam. Rondeng segera mendapat kesimpulan, ga-
dis inilah yang memimpin delapan orang seram
itu. Hanya satu yang dikuatirkannya. Sekar Perak bila diganggu orang-orang itu.
Makanya Rondeng
merasa lebih baik mati mempertahankan Sekar
Perak daripada harus mati di tangan Bojo Mayit.
Gadis yang berdiri di hadapan mereka itu
terkikik. Wajahnya sungguh cantik sekali.
"Hik... hik... siapakah kalian yang berani-beraninya memasuki hutan ini, heh"!"
tanyanya dengan suara yang genit dan lirikan mata yang
mengundang gairah. "Agaknya kalian belum ta-hu... kalau hutan ini akulah
pemiliknya. Akulah yang berkuasa. Segala sesuatu yang terjadi atau akan terjadi
di hutan ini, harus melalui aku. Hi-hi... kalian mengerti, bukan?"
Kedua laki-laki itu berpandangan.
Rondeng yang tidak mau mencari ribut se-
gera menjura dengan hormat. "Maafkan kami, Nona...."
Belum habis kalimatnya, gadis itu sudah
tertawa. "Hik... hik... dia memanggilku Nona. No-
na... hik... hik... Nona... Nona...." Seperti orang gi-la gadis itu menari
dengan gembira. Mulutnya terus berucap "Nona".
Rondeng menjadi keheranan. Juga Mang-
koro, kenapa gadis ini senang dipanggil Nona"
Apakah baru kali ini ada yang memanggilnya
dengan sebutan itu"
Gadis edan itu sudah berhenti menari. Dan
kembali matanya dengan genit melirik.
"Karena kau sudah memanggilku Nona,
kau kuterima dengan baik. Tapi katakan dulu apa maksud kalian datang ke mari?"
"Kami... ingin ke Goa Alas Bantan." kata Rondeng.
Mendengar kata Goa Alas Bantan, wajah
gadis itu berubah. Menjadi serius dan sengit.
Orang-orang di belakangnya pun segera bersiap.
Nampaknya mereka tidak suka ada orang yang
menyebutkan nama goa itu.
"Apa maksud kalian hendak ke sana?" suaranya tinggi.
"Kami tidak bisa mengatakannya kepada
kalian...."
"Hhh! Kalau kalian hendak ke sana, lain
persoalan! Tak seorang pun yang kami izinkan ke sana!" "Apakah sekarang sudah
menjadi goa la-rangan?"
"Ya! Dan kalian tidak boleh tahu apa pe-
nyebabnya?"
"Tapi kami perlu sekali ke sana."
"Dan kalian harus melalui kami!" Kedua tangan gadis itu terangkat ke atas.
Serentak Orang-orang yang di belakangnya menyebar den-
gan posisi mengepung, Rondeng dan Mangkoro
pun segera bersiap. Dilarang begini, membuat keduanya menjadi semakin penasaran.
Ada apa se- benarnya di goa itu"
"Apakah pertempuran ini harus terjadi?"
seru Mangkoro. Gadis itu menatapnya dengan lekat. "Ya!
Selagi kalian terus memaksa!"
"Baik! Tak ada jalan lain! Kami memang in-
gin ke sana, dan harus ke sana!"
Sehabis Mangkoro berkata demikian, gadis
itu sudah mengibaskan tangannya ke depan. Se-
buah angin besar datang dengan cepat ke arah
Mangkoro. Mangkoro segera berguling dengan
menarik tangan Sekar Perak. Akibatnya, pohon
yang berada di belakangnya, rubuh seketika.
Suatu pukulan jarak jauh yang menga-
Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gumkan! "Hmmm... rupanya kau punya jurus an-
dalan juga, Orang jelek!" bentak si gadis sementara Mangkoro sudah membuka
jurusnya. "Kalian boleh mengganyang kami! Tapi
kuminta, kalian jangan mengganggu gadis ini!"
bentak Ki Mangkoro.
Kata-katanya itu hanya disambut dengan
tertawa oleh gadis itu.
"Hihihi... tidak mengganggu gadis itu" hi-
hihi...." "Apa maksudmu"!"
"Hihihi... orang jelek, orang jelek... laki-laki mana yang tidak suka dengan
gadis secantik dia, hah"! Kami suka padanya".
"Gadis macam apa kau suka dengan seo-
rang gadis, hah"!" bentak Rondeng setengah jengkel dan setengah heran.
"Hihihi... kalian telah tertipu rupanya...."
"Apa maksudmu"!"
"Hihihi... namaku Nimas Andini atau yang
bergelar, Nona Berwujud Lain...."
"Hah"!"
"Hihihi... ya, ya... gelarku Nona Berwujud Lain!" Rondeng makin tersentak kaget.
"Kau... banci...?"
Dan meradanglah gadis itu dengan gusar.
Tatapannya memerah karena murka. Dia paling
pantang disebut banci!
Dia memang seorang laki-laki yang pernah
berguru pada seorang wanita yang kesemua mu-
ridnya wanita pula.
Semula guru wanita itu menolaknya untuk
dijadikan murid. Namun Nimas Andini yang sebe-
lumnya bernama Jaka Purnama meyakinkan
guru wanita itu, kalau dia akan belajar dengan
baik dan sopan.
Akhirnya guru wanita itu pun meng-
izinkannya menjadi murid di perguruannya.
Karena semua temannya wanita, lambat
laun pun Jaka Purnama bertingkah laku seperti
wanita. Namun dia tetap seorang laki-laki. Dan
dia tetap tidak bisa meninggalkan nafsu birahi la-ki-lakinya terhadap wanita.
Mulailah dia merayu beberapa orang murid
wanita. Dan hampir semua murid di perguruan
itu pernah dinodainya. Dan tak satu pun yang
mengadu pada guru mereka, karena mereka sen-
diri pun menyukainya. Bahkan kedatangan Jaka
Purnama dirasakan sebagai angin segar yang
membawa kenikmatan di dalam Perguruan Pera-
wan Mustika. Namun sepintar-pintarnya orang me-
nyembunyikan bangkai, baunya akan tetap me-
nusuk pula. Akhirnya sang guru pun mengetahui
semua perbuatannya. Dia tak mungkin mengu-
sir hampir semua muridnya. Maka Jaka Purna-
malah yang diusirnya karena telah merusak citra Perguruan Perawan Mustika.
Hal ini membuat Nimas Andini marah be-
sar. Dengan kepandaiannya dia berhasil menun-
dukkan delapan orang kepala perampok dari ber-
bagai tempat. Dan dia pun segera menyusun ren-
cana untuk menyikat habis Perguruan Perawan
Mustika. Perguruannya sendiri di mana selama
tiga tahun tinggal di sana dia telah mendapatkan banyak ilmu.
Dan kala malam telah larut, mereka pun
segera menyerang. Dengan buas orang-orang itu
menyerang dan menghancurkan mereka. Sia-sia
perlawanan mereka karena orang-orang itu da-
tang kala mereka masih mengantuk dan tidak
siap. Dalam waktu singkat mereka berhasil di-
kuasai. Jaka Purnama sendiri dengan bernafsu
memperkosa gurunya sendiri. Buas dan kejam
hingga pingsan.
Lalu dia menyuruh anak buahnya untuk
bergantian memperkosa gurunya. Masih dalam
keadaan pingsan, gurunya yang setengah baya,
namun berwajah cantik dan masih perawan, diga-
rap bergantian. Lalu Jaka Purnama sendiri
menghilang beserta anak buahnya.
Ketika wanita setengah baya itu bangun
dari pingsannya, melihat keadaan di sekelilingnya membuat hatinya serasa hancur
ber-keping-keping. Terlalu mengerikan!
Hampir semua muridnya mati di tangan
orang-orang biadab itu. Dan sebagian besar di-
perkosa dengan buas.
Menyadari dirinya mengalami hal yang sa-
ma, wanita itu bergidik ngeri dan menangis. Hancur! Hancur sudah semuanya!
Tak tahan melihat semua itu dan kejadian
yang menimpa dirinya, dia segera menggigit li-
dahnya sendiri hingga putus. Dan nyawanya pun
melayang. Hilanglah nama Perguruan Perawan
Mustika!! Sementara itu wajah si Banci Nimas Andini
semakin memerah.
Lalu terdengar bentakannya.
"Bangsat! Apa kau bilang"!!"
Rondeng kini terbahak. "Hahaha... rupanya
aku bertemu banci! Kau banci, bukan"!"
"Banci"!" Menggeram murka Nimas Andini kata-kata yang dibencinya itu terdengar
lagi. "Bangsaaattt!!"
"Hahaha... ada banci marah rupanya!"
"Anjing kurap! Hancurkan mereka!! Serah-
kan gadis itu untukku!!"
Setelah mendengar perintah dari Nimas
Andini, orang-orang yang tadinya perampok, sege-ra maju menerjang dengan golok
mereka. Delapan
buah golok yang amat tajam berkilatan di timpa
cahaya matahari. Begitu mengerikan dan begitu
cepat. Sekar Perak menjerit ketakutan meli-
hatnya. Rondeng segera mengambil tempat yang
agak terbuka. Dia bersalto ke depan dengan lincahnya. Dan empat buah golok
segera menyam- bar berbalik ke arahnya. Lagi-lagi dia bersalto dan sambil bersalto itu dia
mematahkan batang kayu
yang agak besar. Dengan senjata kayu itu dia
menghadapi lawan-lawannya dengan jurus yang
amat hebat. Begitu hebat dan tangguh, mampu mem-
buat keder hati para penyerangnya. Namun mere-
ka bukanlah orang-orang yang pengecut. Mereka
terus mencecar dengan membabi buta.
* ** 5 Sementara itu Mangkoro segera menyusuli
Sekar Perak untuk menjauh ketika serangan da-
tang ke arahnya. Dia pun segera mengambil tem-
pat yang agak lapang dan menghadapi lawan-
lawannya dengan jurus Tangan Bayangannya.
Mangkoro mempunyai keuntungan sedikit,
karena ilmu meringankan tubuhnya jauh di atas
lawan-lawannya. Dengan mengandalkan ilmunya
itu dia menghindar dan sekali-sekali menghantam dengan jurus Lengan Delapannya.
Pertarungan dua orang penculik itu dengan
delapan orang bekas perampok itu benar-benar
hebat. Masing-masing terus melancarkan seran-
gan demi serangan dengan seruan yang keras.
Nimas Andini atau Nona Berwujud Lain
tertawa menyaksikan pertempuran itu.
"Hihihi... kalian tidak akan bisa lari dari kejaran kami" Hihihi... lebih baik
kalian mampus daripada membuang tenaga dengan percuma!"
"Banci buduk! Jangan hanya tertawa saja
kau"!" maki Rondeng geram.
"Hihihi... kau kini masih bisa memaki juga, Orang jelek"!" Makin tertawa lebar
Nimas Andini setelah melihat Rondeng terdesak. Batang kayu
yang dipakai sebagai senjata sudah terlepas. Dan kilatan golok semakin sering
datang padanya.
Rondeng terus berusaha untuk meng-
hindar. Namun empat penyerangnya bukanlah
lawan yang patut diremehkan. Mereka lebih baik
mati daripada kalah. Itulah sebabnya mereka
dengan nekat terus menyerang.
"Aaaaaahhh!!" Tiba-tiba terdengar jeritan Rondeng keras. Kakinya terkena sedikit
sabetan golok lawannya.
Rondeng bersalto ke belakang. Dan me-
naikkan jurus Garuda pada tingkat akhir. Men-
dadak tangannya mengeluarkan asap putih.
Orang-orang itu berpandangan sejenak, tetapi segera menyerbu kembali dengan
pekikan yang ke-
ras. Rondeng pun menyongsong. Kembali terja-
di pertempuran yang hebat, hingga suatu ketika
Rondeng berhasil menyarangkan sebuah puku-
lannya ke tubuh pengeroyoknya yang langsung
membiru dan mati.
Ketiga lawannya yang lain sejenak meng-
hentikan serangannya. Agak ngeri melihat puku-
lan yang ampuh itu. Tetapi mereka segera menye-
rang kembali, tidak memperdulikan maut yang
siap menjemputnya. Setan telah menebarkan ha-
wa kematian yang sip mengundang mereka.
Benar saja, belum sepuluh jurus, dua
orang sudah terkena pukulan maut Rondeng. Dan
keduanya ambruk dengan pekikan melolong. Se-
kar yang sangat ketakutan tak kuasa melihatnya.
Dia menjerit-jerit dia menangis.
Mangkoro pun sudah merubuhkan dua
Orang lawannya. Jurus tangan kosong Lengan
Bayangannya begitu hebat. Tangannya seakan
menjadi banyak dan bergerak dengan kecepatan
luar biasa. Mengandung kekuatan yang luar biasa pula. Melihat hal itu, Nimas
Andini menggeram
marah. Dia bersalto ke depan seraya membentak.
"Mundur!!"
Anak buahnya yang bersisa tiga orang itu
pun bersalto ke belakang. Rondeng dan Mangkoro
saling mendekat. Nimas Andini atau Nona Berwu-
jud Lain memperhatikan keduanya dengan sikap
seorang jagoan. Tiba-tiba dia tersenyum. Dan
mendadak kedua tangannya mengibas ke depan.
Serangkum angin besar datang dari masing-
masing tangannya ke arah kedua pentolan Bojo
Mayit itu. Keduanya terkejut dan reflek saling ber-
gulingan. Kembali dua buah pohon di belakang
mereka tumbang seketika.
Nimas Andini terkekeh.
"Kalian jangan harap bisa keluar dari sini!"
Suaranya tajam dan penuh ancaman. "Nyawa
anak buahku yang terbunuh, harus kalian bayar
lunas!" "Banci, jangan banyak bacot kau!" bentak Mangkoro yang lebih bernafsuan
daripada Rondeng. Dia memang tidak sabaran. Apalagi merasa
perjalanan menuju Goa Alas Bantan terhambat
total. Belum lagi harus menguras tenaga!
Wajah Nimas Andini memerah seperti ke-
piting rebus dipanggil dengan sebutan yang san-
gat dibencinya.
Dengan memekik dia menerjang ke depan.
Kedua tangannya mengembang mengancam ke
arah tenggorokan lawan. Mangkoro langsung me-
rebahkan tubuhnya dan kakinya menyapu ke ba-
gian bawah Nimas Andini. Sedangkan Rondeng
menangkis dan membalas dengan pukulan ke
arah kepala. Kedua serangan balasan itu dielakkan den-
gan bagus sekali oleh Nimas Andini. Dan tokoh
banci yang sakti itu ternyata mampu mengimban-
gi kedua jurus-jurus dari kedua orang Kediri itu.
Bahkan dia bisa berada di atas angin.
Selain tenaga keduanya sudah terkuras ta-
di, juga kalah sakti ilmu silat mereka. Rondeng sendiri heran, baru kali ini dia
melihat seorang tokoh muda yang kosen. Yang begitu tangguh dan
matang dalam setiap gerakannya. Yang secara tak disangka mampu melebihi tingkat
kesaktian mereka. Jurus-jurus Naga yang diperlihatkan Nimas Andini sangat ampuh.
Gerakannya aneh dan
mengandung tenaga yang sangat besar. Juga ilmu
meringan tubuhnya yang luar biasa tinggi. Kece-
patan geraknya pun luar biasa. Salah satu keun-
tungan untuk Nimas Andini, dia masih muda ma-
sih bisa bergerak demikian lincah.
Pada jurus yang ketiga puluh, sebuah pu-
kulannya mampir di bahu Mangkoro yang ter-
huyung beberapa tindak. Dia merasa seperti di-
hantam oleh godam yang besar. Dan ketika se-
rangan selanjutnya menyusul. Rondeng berusaha
memapaki dengan jurus Rajawali Tiwikrawanya.
"Des! Duaaarrr!"
Luar biasa. Benturan kedua jurus yang
ampuh itu menimbulkan bunyi seperti ledakan.
Dan yang amat mengagumkan, Rajawali Tiwikra-
wa Rondeng tak mampu untuk merubuhkan Ni-
mas Andini! Orang itu terkekeh.
"Sudah kubilang tadi', kalau nyawa kalian
akan kupetik saat ini juga! Nah, bersiaplah sekarang! Aku tidak akan bertindak
tanggung lagi!!"
Keduanya pun bersiap. Masih menahan ra-
sa sakitnya. Mangkoro membuka jurusnya lagi.
Nimas Andini hanya memperhatikan sambil ter-
tawa. Tiba-tiba dia terdiam. Menatap dengan tajam penuh ancaman. Mendadak
mulutnya menge-
Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
luarkan desisan mirip ular. Dan tangannya pun
bergerak bagai ular, membentuk kepala ular yang siap mematuk.
"Kalian akan merasakan keampuhan jurus
Dewa Ular Putih...."
Sampai di situ Nimas Andini bicara, kedu-
anya terpekik kaget. Jurus Dewa Ular Putih!! Jurus yang tak asing lagi di
telinga keduanya. Jurus yang dimiliki oleh si Dewa Ular Putih. Tokoh sakti yang
menjadi legendaris. Si Dewa Ular Putih, tokoh yang menjadi momok setiap lawan
dan ka- wan. Jurus-jurusnya sangat ampuh. Dengan se-
kali totok dia mampu menghancurkan batu sebe-
sar kerbau. Dan dengan sekali kibas, pohon bisa tumbang. Jurus Dewa Ular Putih
yang ditakuti. Lalu bagaimana bisa dikuasai oleh si banci ini.
Sedangkan Dewa Ular Putih sudah meninggal le-
bih dari lima puluh tahun!
Bagaimana caranya" Melihat kedua lawan-
nya tercengang dan nampak kaget, Nimas Andini
terkekeh. "Jangan heran, hai monyet-monyet!
Dewa Ular Putih adalah guruku yang ter-amat
sakti!" Rondeng tak kuasa menahan untuk bertanya, "Bagaimana mungkin hal itu
bisa terjadi"!"
"Hik... hik... hik... itulah sebabnya kalian ku larang masuk ke Goa Alas Bantan,
karena semua rahasia itu kudapat dari sana! Aku telah
menemukan buku silat yang aneh, yang terdiri
dari, ilmu meringankan tubuh, jurus Naga dan
jurus Dewa Ular Putih! Lima tahun lamanya aku
mendiami goa itu untuk mempelajari isi buku.
Dan kalian lihat hasilnya, aku benar-benar telah menjadi seorang manusia yang
sakti! Dan kalian
beruntung karena akan kuperlihatkan jurus De-
wa Ular Putih!"
"Tunggu!" bentak Mangkoro. "Kau manusia iblis, kau telah mengacak kesucian Goa
Alas Bantan!" "Hik... hik... bukankah kalian hendak ke sana" Apakah kalian tidak
ingin mengacak! Sudah, jangan banyak bacot aku sudah ingin me-
renggut nyawa kalian!!"
Dan si banci pun membuka jurus sakti
yang ditakuti hampir oleh seluruh jagoan di za-
man dulu dan zaman sekarang. Mau tak mau ke-
duanya pun segera bersiap untuk menyambut se-
rangan itu. Dan benar-benar luar biasa, si Banci me-
mainkan jurus yang ampuh dengan cepat dan
dahsyat. Keduanya hanya mempergunakan kelin-
cahan mereka bergerak saja dan sekali-sekali berusaha untuk membalas. Dalam lima
jurus saja, nampak keduanya terdesak hebat. Pohon dan ba-
tu besar sudah ambruk terhantam pukulan dah-
syat Itu. Tak terasa mereka bertempur sudah sekian
lama, karena malam mendadak saja turun, meng-
ganti senja yang mulai redup. Malam pun meng-
gantikan pekerjaan matahari yang nampak sudah
lelah pula. Tapi pertempuran itu masih terus berjalan. Akhirnya dapat terlihat,
kalau keduanya itu terdesak hebat. Nimas Andini tidak menyianyia-kan kesempatan
itu untuk mendesak terus kedu-
anya. Dan akibatnya amat mengerikan!
Mangkoro yang nampak lelah, terjatuh be-
berapa tindak. Dan kesempatan itu dipakai Nimas Andini untuk menghantam kati Ki
Manggada. "Heittt!!"
Tak ada kesempatan lagi bagi Mangkoro
untuk mengelak atau pun menyongsong serangan
itu. Begitu tiba-tiba dan amat cepat.
Saat yang menentukan bagi Mangkoro.
Rondeng hanya mampu menghalangi se-
bentar dengan melemparkan kayu besar yang te-
lah dialiri tenaga dalamnya. Kayu itu kini ibarat baja yang siap merenggut nyawa
lawannya. Namun kayu besar yang dialiri tenaga da-
lam itu, hanya dikibaskan saja oleh Nona Berwu-
jud Lain dengan satu tangannya, dan selebihnya
hanya membuat Rondeng pasrah.
Tubuhnya pun sudah letih. Tidak ada ke-
kuatan lagi untuk menyelamatkan Mangkoro dari
ancaman maut Nimas Andini.
Maut bagi Ki Manggada memang sudah di
ambang mata. Tubuh Nimas Andini meluncur
dengan deras! Tangannya siap mencabut nyawa
Ki Manggada!! "Mampuslah kau, Orang busuk!!"
Mangkoro hanya bisa memejamkan ma-
tanya, menanti ajal yang siap menjemputnya.
* ** 6 "Sreeett!!"
Mendadak selarik sinar putih melesat,
menghalangi langkah tubuh Nimas Andini hingga
membuat si banci itu buru-buru bersalto ke belakang. Rondeng terkejut melihat
hal itu. Mangkoro yang menyangka dirinya akan
mampus, perlahan-lahan membuka mata-nya ke-
tika dia merasakan tidak ada sesuatu yang men-
genai tubuhnya. Dan kini dia melihat Nimas An-
dini sedang bersalto ke belakang.
Tak jauh dari mereka, tiba-tiba muncul
seorang pemuda bertubuh gagah dengan menge-
nakan caping hingga sebagian wajahnya tertutup.
Di punggungnya terdapat sebilah golok yang
aneh. Golok itu bersarung dari kulit kayu yang
bersinar kekuningan. Pemuda yang tak lain murid tunggal Eyang Ringkih Ireng dari
Bukit Paringin itu menjura. Dia adalah Pandu atau yang digelari oleh orang-orang
rimba persilatan sebagai Pendekar Gagak Rimang.
Dan Nimas Andini yang bersalto dengan
lincah menghindari serangan pukulan sinar putih yang dilepaskan Pandu.
"Siapa kau, hah"!" menggeram banci itu marah. "Berani-beraninya kau mengganggu
urusanku! Orang yang berani berbuat seperti itu, ma-tilah sebagai ganjarannya!"
Meskipun dalam gelap, Pandu bisa melihat
kalau gadis yang berdiri di hadapannya lumayan
cantik. "Maafkan saya, Nona... saya hanya kebetulan lewat... dan sungguh, saya
tidak menyukai perbuatan nona yang sungguh kejam...."
"Sombong! Itu urusanku!"
"Dan menjadi urusan saya, Nona!" Suara Pandu terdengar berwibawa.
"Hmm... jadi dengan kata lain, kau ingin di anggap sebagai pahlawan?"
Pandu hanya tersenyum. Sementara Ron-
deng dan Mangkoro merasa tidak mengenal laki-
laki itu. Namun biarpun mereka orang kejam,
namun mereka masih punya rasa terima kasih.
Bila terjadi apa-apa dengan pemuda itu, mereka
rela membantu. "Terserah apa kata-kata nona! Yang pasti,
aku tak pernah menyukai kekerasan! Bila lawan
sudah kalah, tidak sepatutnya untuk dibunuh!!"
"Hhh! Baik, Pahlawan. Kini kau harus me-
nerima ganjarannya! Dan mengganti nyawa anak
buahku!!" bentaknya keras. Lalu berseru pada anak buahnya yang bersisa tiga
orang. "Kalian ganyang keduanya! Dan cabut nyawa mereka! Bi-ar pemuda usil ini
aku yang menangani!!"
Sehabis berkata begitu, Nimas Andini ber-
salto ke arah Pandu yang langsung mengirimkan
satu pukulan. Pandu menjadi serba salah. Mak-
sudnya tadi menghalangi serangan gadis itu pada orang tua yang tak berdaya itu,
agar menyelesai-kan persoalan secara damai.
Tetapi kini persoalan menjadi runyam. Dan
dia tidak mungkin dapat menghindar lagi. Mau
tak mau terpaksa dia harus melawan.
Kini sasaran Nimas Andini adalah langsung
memusnahkan lawan. Dia tetap menggunakan ju-
rus Dewa Ular Putih!
"Anak muda!!" seru Ki Runding Alam. "Hindarkan dirimu untuk bersentuhan
dengannya!!"
"Bangsat kau!!" geram Nimas Andini seraya mengibaskan tangannya. Dengan cepat Ki
Runding Alam bersalto ke samping. Angin besar
yang datang ke arahnya itu menghantam sebuah
pohon hingga tumbang. Dan ketika kakinya hing-
gap di bumi, anak buah si banci itu sudah me-
nyerangnya dengan bertubi-tubi.
Menghadapi orang-orang ini, bagi Ki Rund-
ing Alam dan Ki Manggada amatlah mudah. Apa-
lagi kini mereka berdua menggempur. Dan sisa
lawannya pun tinggal tiga orang.
Dalam waktu yang singkat saja ketiganya
berhasil mereka bantai. Rondeng buru-buru
menggotong tubuh Sekar Perak yang masih ping-
san. Dan membawanya ke tempat yang agak jauh
dari pertempuran itu.
Mangkoro sendiri langsung terjun mem-
bantu Pandu menghadapi Nimas Andini.
"Hati-hati, Kawan!!" serunya memper-
ingatkan. "Jurus-jurusnya amat mengerikan! Sekali saja kau bersentuhan
dengannya, maka kau
bisa mati dibuatnya!"
"Terima kasih, Kawan!" sahut Pandu semakin berhati-hati.
Justru Nimas Andini yang menjadi murka.
Dia menyerang keduanya dengan hebat dan ce-
pat. Meskipun dikeroyok, namun banci itu benar-
benar tangguh. Jurus-jurus Dewa Ular Putihnya
membuat kedua lawannya ngeri. Pandu sendiri
merasakan angin panas menerpa ke arahnya ke-
tika tangan Nimas Andini bergerak.
Itu menandakan satu jurus yang dahsyat!!
Pandu sendiri sudah mengeluarkan jurus
berkelitnya yang teramat hebat, jurus Gagak Terbang Lalu. Dia berusaha
menghindari serangan
Nimas Andini dengan lincah.
Namun lama kelamaan Pandu berfikir, te-
naganya bisa terkuras habis karena selalu meng-
hindar. Dan tiba-tiba dia melenting ke angkasa.
Kali ini dia melontarkan Pukulan Sinar Putihnya.
"Sreeet!!"
"Sreeet!!"
Serangan sinar putih itu ternyata memba-
wa hasil. Nimas Andini tunggang langgang meng-
hindarinya. "Bangsat!!" geramnya marah dan kembali pontang panting menghindari Pukulan Sinar
Putih yang dilepaskan oleh Pandu.
"Hahaha... mau lari ke mana kau, Gadis"!"
terkekeh Pandu. Sementara Mangkoro bisa berna-
fas lega melihat apa yang dilakukan anak muda
itu. Dengan sinar putih itu, Pandu bisa mem-
buat jarak yang cukup bagi Nimas Andini untuk
mendekat. Dan cukup kerepotan banci itu di-
buatnya. Sedikit pun tidak diberi kesempatan untuk maju.
Ini merupakan satu keuntungan bagi Pan-
du. Dia terus mempergencar serangannya.
"Bangsat! Kubalas kau nanti!" geram Nimas Andini terus menghindar.
"Hahaha... mengapa tidak segera kau la-
kukan, hah" Mengapa kau masih bermain akro-
bat seperti itu"!"
"Anjing sialan!!"
"Hahaha... dan kini anjing itu mampu
membuat kau jatuh bangun, bukan"!"
Nimas Andini menggeram hebat. Namun
sulit baginya untuk menerobos ke depan. Hingga
suatu ketika kakinya terserempet Pukulan Sinar
Putih itu. Seketika banci itu ambruk sambil me-
ringis kesakitan.
Barulah Pandu menghentikan serangan-
nya. "Hmm.... Nona... aku bisa membunuhmu saat ini juga! Tapi aku bukan seorang
pemuda yang telengas menurunkan tangan! Aku bukan
seorang pembunuh! Maka pergilah kau dari sini,
jangan sampai aku menjadi seorang pembunuh!
Cepat!!" serunya dengan nafas kembang kempis!
Nimas Andini memandang dengan geram.
Dia bermaksud hendak memberi perlawanan lagi,
tapi kakinya terasa perih sekali.
"Aku mengakui kalah, Sobat! Tapi nanti...
kau tunggu pembalasanku! Goa Alas Bantan kini
menjadi milik kalian, tapi aku akan datang kem-
bali untuk merebutnya!"
Setelah berkata begitu, Nimas Andini
bangkit dan pergi meninggalkan tempat yang te-
lah didiaminya selama lima tahun. Rondeng dan
Mangkoro menghela nafas lega.
Pandu sendiri menggeleng-gelengkan ke-
palanya, secara tidak disengaja dia sudah mena-
namkan bibit permusuhan pada diri gadis itu.
Sungguh sulit menjadi pembela kebenaran. Untuk
menjadi orang pendamai. Karena tidak setiap
orang suka karena ada yang membenci sikap se-
perti itu! Sementara Rondeng dan Mangkoro seakan
disadarkan oleh kesalahan-kesalahan yang sela-
ma ini mereka perbuat. Mereka telah banyak ber-
buat dosa dan kejahatan. Kini semua itu seperti disadarkan oleh satu hal, di
mana mereka melihat betapa pemuda ini dengan suka rela membela
mereka. Padahal bila pemuda ini tahu siapa mere-
ka, apakah pemuda ini akan tetap membelanya"
Namun melihat dari sikap dan tutur kata pemuda
itu, mereka yakin bila pemuda itu adalah seorang yang bijaksana dan pemaaf.
Tiba-tiba Rondeng berkata. "Ki Sanak... be-ribu terima kasih kami ucapkan kepada
mu yang telah menolong kami dari maut...."
Pandu tersenyum.
"Ki Sanak... tak perlulah kau mengucap-
kan terima kasih seperti itu padaku, karena me-
mang sudah kewajibankulah untuk menolong se-
Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama..." sahut Pandu. "Yah... aku hanya kebetulan lewat. Lagipula, bila kalian
tidak membantu pun aku akan sukar untuk mengalahkan manusia sakti itu...."
Betapa rendahnya hati pemuda ini. Hal itu
pun semakin membuat Rondeng dan Mangkoro
sadar, kalau selama ini mereka telah bersikap
congkak dan sombong. Telah bergelimang banyak
dosa dari hasil kejahatan yang mereka perbuat.
Mereka menjadi malu dan menyesal. Pa-
dahal bila mereka tidak membantu pun mereka
yakin kalau pemuda ini akan mampu menakluk-
kan banci itu. Mereka bahkan merasa hanya
mengganggu gerak pemuda itu saja tadi.
Dan keduanya merasa amat rendah sekali
berhadapan dengan pemuda bercaping ini.
"Siapakah sebenarnya kisanak ini?" tanya Rondeng.
"Hmm... namaku Pandu!"
"Pandu... sekali lagi kami ucapkan banyak
terima kasih padamu. Namaku Rondeng dan ini
kawanku.... Mangkoro...."
Belum lagi Pandu berkata, tiba-tiba mun-
cul Sekar Perak yang langsung memaki-maki
Rondeng dan Mangkoro.
"Manusia-manusia jahat! Jahat! Kalian le-
bih baik mampus!" serunya, lalu berpaling pada Pandu. "Ki Sanak... mengapa kau
menolong orang-orang jahat seperti mereka" Mereka tak
layak untuk hidup! Bunuh mereka! Bunuh!"
Pandu yang tidak mengerti hanya kerut-
kan kening. Sekar Perak masih membentak-bentak.
"Bunuh mereka! Bunuh! Mereka adalah orang-
orang jahat yang tidak patut dibela! Mengapa kau membela mereka, hah" Apakah kau
orang jahat juga yang saling sekongkol"!"
Sekar Perak terus menjerit-jerit kalap.
Pandu akhirnya berkata karena dia semakin bin-
gung. "Maafkan aku, Nona... siapakah nona sebenarnya?"
"Hhh! Tak perlu kau tahu siapa aku sebe-
narnya" Yang perlu kau tahu, kedua manusia ini
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 19 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Pedang Keadilan 27
http://duniaabukeisel.blogspot.com
BENCANA GOA IBLIS oleh Fredy S. Cetakan Pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trianto S.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Alam telah gulita. Kesenyapan begitu hen-
ing terasa. Angin pun seakan enggan berhembus,
memberikan titik makna yang hilang.
Entah mengapa suasana mencekam me-
nyelimuti desa di lereng Gunung Kelud. Desa
yang biasanya ramai dan tentram, kini bagaikan
tengah menunggu datangnya hantu-hantu yang
hendak berbuat jahat.
Semua penduduk seakan merasakannya.
Namun di keheningan yang mencekam dan ma-
lam yang semakin larut, di balai desa suasana
cukup ramai. Karena nampak beberapa orang
pemuda dan laki-laki setengah baya tengah ber-
kumpul di sana. Hadir pula seorang laki-laki yang berwajah lembut dan berwibawa.
Dia adalah Pandu Kelana, seorang lurah yang tengah menginjak
usia 45 tahun. Sikapnya yang bijaksana dan pe-
nuh kewibawaan membuat orang-orang desa di
sana begitu menaruh hormat padanya.
Di balai desa itu hadir pula beberapa orang
tua yang nampaknya seperti sesepuh. Dari ra-
mainya keadaan di balai desa ditimpali dengan
wajah-wajah yang tegang, nampak jelas kalau di sana tengah dibicarakan dan
dibahas satu masa-lah yang nampaknya amat rumit.
Laki-laki tua yang bernama Kendala Yoro
mendehem, membuat semua mata tertuju pa-
danya. "Semakin hari kita semakin dicekam oleh
ketakutan dan teror yang mengerikan. Teror yang setiap saat datang," katanya
dengan suara pelan namun berat. "Yah... kita memang tidak bisa menyalahkan
Juragan Banyu Biru yang menolak pi-
nangan dari ketua Sangkur Baja, terhadap pu-
trinya. Siapa pun orangnya tentu akan menolak
pinangan gerombolan kejam yang sadis itu.
Namun akibat dari semua ini, berulang-kali
orang-orang Sangkur Baja menebarkan terornya.
Sudah tentu Bojo Mayit, ketua Sangkur Baja me-
rasa terhina dan tidak bisa menerima apa yang
telah dikatakan Juragan Banyu Biru terhadap
utusan yang membawa pinangan nya. Jelas kita
tidak bisa menyalahkan Juragan Banyu Biru yang
mana akibat dari semua ini, seisi desa yang akan bisa terkena sasaran...."
Hening, tak ada yang bersuara. Hanya an-
gin malam yang berkesiuran dingin. Siapa pun
akhirnya tahu, karena secara mendadak beberapa
kali desa mereka diserang oleh orang-orang yang mengaku dari golongan Sangkur
Baja. Namun se-jauh itu mereka dapat menghalaunya. Dan kare-
na serbuan itu diadakan berulangkali, dan beru-
langkali pula mereka melihat sasaran yang dituju adalah rum ah Juragan Banyu
Biru. Ini membuat
mereka menjadi heran.
Lambat laun akhirnya mereka pun mulai
membicarakannya, akhirnya diambil keputusan
untuk bertanya langsung pada Juragan Banyu
Biru yang secara ragu-ragu pun menceritakan ke-
jadian sesungguhnya.
Mereka cukup terkejut mendengarnya. Di
samping tidak menyalahkan sikap diam Juragan
Banyu Biru juga amat geram mengingat putri
Juragan Banyu Biru yang bernama Sekar Perak,
putri jelita yang manis itu. Mereka pun seakan tidak rela bila Sekar Perak harus
menjadi pen- damping manusia kejam Bojo Mayit yang berdiam
di sebelah Tenggara Gunung Kelud.
Dan mulai malam itu pula mereka semua
berjaga-jaga. Juragan Banyu Biru sendiri telah
menyewa beberapa orang jago-jago bayaran untuk
melindungi keluarganya.
Memang serangan dari orang-orang Sang-
kur Baja itu kembali datang, namun berkat kegi-
gihan mereka dibantu dengan jago-jago bayaran
yang didatangkan oleh Juragan Banyu Biru, se-
muanya bisa dihalau.
Tetapi biarpun begitu, mereka cukup te-
gang dan kuatir, bila suatu waktu orang-orang
Sangkur Baja datang dengan jumlah yang besar.
Selama ini Bojo Mayit memang belum turun tan-
gan. Dan inilah yang dikuatirkan mereka.
Di balai desa itu keheningan masih terasa.
Juragan Banyu Biru yang hadir pula di sa-
na, hanya mendesah panjang mendengar kata-
kata Kendala Yoro. Dia pun tidak menyalahkan
apa yang telah dikatakan Kendala Yoro itu. Kare-na memang dia yang menjadi
penyebab pangkal
semua ini. Kembali Kendala Yoro berkata:
"Biarpun demikian, kita semua akan tetap
berusaha untuk menghalau sepak terjang mere-
ka. Kita tidak bisa berpangku tangan begitu saja.
Ini sudah menjadi kewajiban kita bermasyarakat."
Orang-orang yang hadir membenarkan ka-
ta-kata Kendala Yoro itu. Mereka pun berniat untuk menghalau dan bersiaga penuh
terhadap orang-orang Sangkur Baja.
Sementara Juragan Banyu Biru tersentuh
hatinya. Mereka adalah orang-orang yang bersa-
habat, yang membuat satu arti hidup menjadi le-
bih matang. "Saudara-saudaraku, terima kasih atas ke-
relaan kalian untuk membantuku. Terus terang,
aku tidak ingin menyusahkan kalian, tidak ingin membuat kalian resah. Namun apa
daya, aku tak kuasa untuk membendungnya. Bila aku mau,
aku pun rela mengorbankan putriku untuk dija-
dikan istri oleh Bojo Mayit. Namun aku tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya
nanti berada di tangan seorang suami seperti dirinya, yang banyak bergelimang dosa dan
melakukan sepak ter-
jang yang mengerikan. Sekali lagi, terima kasih atas bantuan kalian...." Ki
Lurah Pandu Kelana mendehem. "Banyu Biru... sudah sepatutnya ka-mi melakukan hal
itu. Karena kami pun harus
mempertahankan diri. Kau dan keluargamu me-
rupakan bagian dari kami warga di sini. Tak perlu kau risaukan kembali, karena
kami siap untuk
membela...." "Terima kasih, Ki Lurah...."
"Dalam hal ini, aku minta," kata Ki Lurah
Pandu Kelana kemudian sambil memandang se-
mua yang hadir. "Kalian harus bersiap siaga. Kalian harus menjaga desa ini
hingga titik darah te-rakhir. Kita jangan hanya melimpah kesalahan ini pada
Juragan Banyu Biru.
Dalam hal ini dia tidak bersalah. Ini bu-
kan kesalahan dan kemauannya. Bagi kita yang
mempunyai seorang anak perawan, pasti juga ti-
dak rela bila anak kita jatuh ke tangan seorang laki-laki kejam seperti Bojo
Mayit. Di samping itu pula, kita harus bersatu.
Dengan bersatu kita akan menjadi lebih berarti."
Semua yang hadir rata-rata mengangguk-
kan kepalanya mendengar wejangan dari Ki Lu-
rah Pandu Kelana. Mereka semakin menaruh
hormat padanya.
Sejak semula mereka memang sudah me-
naruh hormat. Ini membuktikan bahwa Ki Lurah
Pandu Kelana mempunyai wibawa dan kharisma
yang besar. Kendala Yoro, orang yang di pertua di desa
itu pun diam-diam dalam hati bangga terhadap
Pandu Kelana. Dia tahu siapa Pandu Kelana. Tak
lain adalah seorang laki-laki yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Disegani
baik lawan mau-pun kawan.
Kendala Yoro sendiri merasa yakin, bahwa
seorang seperti Pandu Kelana akan menjadi orang yang dihormati siapa saja
selamanya, karena jiwa kepemimpinan nya, karena rasa simpatinya dan
wibawanya yang besar.
"Lalu apa rencanamu, Pandu?" tanyanya kemudian.
Pandu Kelana menatap Kendala Yoro.
"Puan... tentunya kita harus bersiaga pe-
nuh. Untuk itu, aku akan mengatur beberapa
penjagaan yang lebih ketat. Agar kita bisa me-
mantau keadaan."
"Cara apa yang akan kau lakukan?"
"Pertama, kita akan menempatkan lima
orang di pintu masuk desa sebelah Utara, Timur, Barat dan Selatan pun hal yang
sama. Selain itu, kita pun akan memberi bantuan khusus di rumah
Juragan Banyu Biru untuk membantu para jago-
jago bayaran- Aku tahu siapa Bojo Mayit. Dia seorang la-
ki-laki kejam yang memiliki ilmu Sangkur Baja
yang amat hebat. Tubuhnya bisa menjadi kebal
dan tahan terhadap segala macam senjata. Juga
pukulan yang amat berbahaya sekalipun.
Untuk menghadapi hal ini, agaknya kita
masih perlu dan harus berani berkorban. Karena
aku tahu siapa Bojo Mayit itu."
Suasana kembali hening. Mereka seakan
mendengar nada suara kecut yang diucap-kan
oleh Ki Lurah Pandu Kelana. Namun diam-diam
mereka pun yakin akan kehebatan ilmu yang di-
miliki oleh Ki Lurah.
Mereka pun menjadi tenang.
Namun sebelum pembicaraan itu berlan-
jut, tiba-tiba muncul satu sosok tubuh tergesa-
gesa, bahkan terlihat sempoyongan. Tangan ka-
nannya mendekap tubuh bagian dada. Terlihat
pula tangan dan dada itu bersimbah cairan me-
rah. Darah! Darah yang keluar dari dada itu.
Sosok itu tiba di balai desa dan langsung
ambruk setelah mendesis terbata-bata.
"Hei!" seru Ki Lurah Pandu Kelana terkejut dan sigap bangkit menolong sosok
tubuh yang sedang menahan rasa sakit.
Yang lebih terkejut lagi adalah Juragan
Banyu Biru. Karena sosok yang terluka parah itu adalah salah seorang jago
bayaran yang dis-ewanya.
"Kranggan!!" desisnya memburu. "Ada apa, Kranggan" Ada apa"!" lanjutnya tergesa-
gesa. Seketika terlihat di wajahnya kepanikan. Hatinya ti-ba-tiba menjadi tidak
enak. Sosok itu membuka matanya yang me-
mancarkan rasa kesakitan. Wajahnya seolah me-
nahan rasa sakit.
"Tuan...." desisnya.
"Ada apa, Kranggan" Katakan cepat! Apa
yang telah terjadi" Apa yang terjadi"!"
Kranggan menahan rasa sakitnya.
"Hgggh. Tuan... akh... mereka datang,
Tuan... mereka... akh...."
"Siapa"! Siapa, Kranggan"!"
"Mereka... mereka, Tuan.... Orang-orang
Sangkur Baja... akh... tiba-tiba saja mereka muncul dan menyerang... kami secara
membabi bu- ta.... Teman-teman sedang... berusaha me-
nyelamatkan Putri Sekar dan Nyonya...."
Kepanikan itu semakin kentara di wajah
Juragan Banyu Biru. Tanpa berkata apa-apa dia
langsung berlari dengan cepat, menyusul di belakangnya dua orang jago bayarannya
yang nampak sudah tidak sabar.
Ki Lurah Pandu Kelana segera bertindak
cepat. "Urus orang ini!" serunya lalu dia sendiri berlari dengan ilmu
meringankan tubuhnya.
Di belakangnya berlarian pula orang-orang
dengan hati geram dan marah. Mereka sudah ti-
dak sabar ingin segera melumat manusia-
manusia kejam itu.
Bangsat! Manusia-manusia yang lebih
layak mati daripada hidup di muka bumi ini
membuat onar dan merugikan manusia lain.
Beberapa orang segera menolong Kranggan
yang kini pingsan karena kekurangan darah.
Kendala Yoro pun dengan cepat menotok bebera-
pa bagian tubuh dari Kranggan agar darah yang
keluar tidak mengalir lagi.
Lalu dia sendiri setelah itu segera berlari
menuju rumah Juragan Banyu Biru.
Tongkatnya yang berwarna putih seakan
membantunya dalam berlari karena dijadikan
tumpuan. * * * 2 Rumah Banyu Biru adalah rumah yang te-
rindah dan terbagus di desa itu. Namun di malam ini, rumah indah itu seakan
tidak nampak kein-dahannya. Dari kejauhan malah terlihat api ber-
kobar menyala menjilat-jilat udara.
Api itu merayap di atas rumah Juragan
Banyu Biru. Di halaman rumahnya terdengar suara
orang menjerit dan senjata beradu keras.
Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Trang!"
"Trang!"
"Hahaha... lebih baik kalian menyerah saja, Bodoh!" Terdengar makian keras
sambil tertawa membahana.
"Bangsat! Kalian adalah orang-orang bi-
adab yang kerjanya hanya mengganggu orang sa-
ja!" Seruan-seruan itu semakin kuat terdengar.
Yang membentak pertama seorang laki-laki yang
berwajah seram. Seluruh wajahnya nampak ba-
gaikan berbulu. Dia bernama Rondeng, seorang
tangan kanan dari ketua Sangkur Baja, Bojo
Mayit. Sedangkan yang membentak kedua adalah
salah seorang dari jago bayaran yang disewa oleh Juragan Banyu Biru. Hanya
tinggal dia sendiri!
Teman-temannya yang lain sudah mampus lebih
dulu. Mereka memang cukup terkejut ketika tiba-
tiba orang-orang itu hadir dan melancarkan se-
rangan yang membabi buta.
Namun bagi seorang jago bayaran yang te-
lah mencurahkan dirinya pada orang yang mem-
bayarnya, maka nyawalah taruhannya. Jago
bayaran itu pun semakin memperhebat seran-
gannya, meskipun dia yakin perbuatannya itu
akan sia-sia. Namun dia tak akan pernah mau
menyerah begitu saja.
"Hahaha... lebih baik kau membunuh diri
saja, Goblok!!" maki Rondeng sambil tertawa.
"Bunuh diri" Hahaha... kau bermimpi, Ka-
wan. Tak akan pernah aku mundur sejengkal pun
dari hadapanmu!" serunya sambil menghindar dan membalas menyerang.
Serangan demi serangan dengan cepat ter-
jadi. Saling serang dan mengelak dengan hebat.
Sungguh suatu hal yang luar biasa diperlihatkan oleh jago bayaran itu. Karena
kini Rondeng dibantu oleh dua orang teman-nya.
"Kau masih main-main saja, Rondeng! Ha-
bisi!!" seru salah seorang temannya sambil maju menyerang.
Jago bayaran itu pun dengan segenap ke-
kuatannya mencoba untuk bertahan.
"Kalian memang manusia-manusia pe-
ngecut!" makinya sambil terus bertahan dan sekali-sekali menyerang.
Namun karena kini lawannya bertiga, maka
dia jelas keteter dengan hebat. Senjata-senjata lawannya sudah berkali-kali
mengenai bagian-
bagian tubuhnya. Darah pun merembas ke luar.
Tubuhnya sudah sempoyongan dengan hebat.
"Hahaha... mampuslah kau!!" seru Ron-
deng keras membahana.
Sungguh malang nasib jago bayaran itu.
Dirinya dijadikan bulan-bulanan dengan hanta-
man-hantaman yang keras pada tubuhnya. Na-
mun sungguh mengagumkan ke-beranian yang
diperlihatkan oleh jago bayaran itu. Dengan beraninya dia terus bertahan dan
menyerang. Kini dia melihat beberapa orang-orang itu
mulai masuk ke dalam rumah. Seketika pikiran-
nya tentang Sekar Perak dan istri majikannya.
Dengan sigap sambil menahan rasa sakitnya, dia
bersalto ke arah orang-orang yang hendak masuk
itu. Dan langsung menyabetkan pedangnya.
Namun hal itu tidak berlangsung lama, ka-
rena pisau yang dilemparkan oleh Rondeng telah
menancap tepat di jantungnya!
Dan tubuh itu pun langsung menggelepar
dengan hebat diiringi suara menjerit mengerikan.
Lalu diam tak berkutik dengan sepasang mata
terbuka mendelik.
"Hhh! Mampuslah kau!!" bentak Rondeng.
Namun dia langsung berbalik ke kiri. Dan
matanya terbelalak tak percaya. Dari kejauhan
terdengar suara ramai dan derap kaki berdatan-
gan mendekat. Orang-orang Sangkur Baja yang
berjumlah delapan orang itu menjadi saling pan-
dang. Betapa banyaknya orang-orang yang berda-
tangan. "Hancurkan!" "Bunuh!" "Ganyang!!"
"Jangan beri ampun manusia-manusia ke-
jam itu!!"
Seruan-seruan kalap itu sudah terdengar.
Membuat orang-orang Sangkur Baja menjadi ber-
siaga. Tiba-tiba terdengar seruan Rondeng,
"Mangkoro! Ikut aku! Kalian hadang mereka!"
Rondeng dan Mangkoro segera menyelinap
ke dalam rumah itu. Mereka mencari Sekar Perak
dan ibunya. Sementara yang lain segera berhan-
tam dengan para penduduk yang kalap. Ki Lurah
Pandu Kelana dengan tangkasnya segera mener-
junkan diri dan bergerak dengan cepat.
Tangan dan kakinya bergerak dengan cepat
mencari sasarannya, bagaikan memiliki mata be-
laka. Dia seakan mencari sasaran yang empuk.
Sasaran dari orang-orang yang telah berulangkali meneror mereka.
Sungguh hebat apa yang dilakukan Ki Lu-
rah Pandu Kelana. Kendala Yoro sendiri segera
menerjunkan diri. Begitu pula dengan yang lain.
Kembali di halaman depan rumah Juragan
Banyu Biru terjadi pertarungan yang hebat.
Banyu Biru sendiri bermaksud menyelinap masuk
ke dalam rumahnya, untuk menyelamatkan putri
dan istrinya. Namun orang-orang Sangkur Baja itu sea-
kan mengetahui maksudnya. Karena mereka ber-
kali-kali menghalanginya dengan sabetan-sabetan senjatanya.
Sehingga membuat Banyu Biru menjadi ra-
gu untuk masuk. Dia pun lama kelamaan menja-
di geram adanya. Dengan seruan yang keras, dia
melompat menerjang orang yang menghalanginya.
"Mampuslah kau manusia busuk!"
Serangan yang dilancarkan oleh Banyu Bi-
ru sungguh hebat. Dan cepat. Bahkan orang-
orang seakan baru tahu kalau Banyu Biru sebe-
narnya memiliki kesaktian yang cukup lumayan.
Namun selama ini ditutupi-nya.
Orang yang menghalanginya masuk itu
pun keteter dengan cepat. Dan harus meregang
nyawa karena tangan Banyu Biru yang mengan-
dung tenaga dalam yang kuat menghantam tepat
di wajah dan jantungnya.
"Akkhhhhh!!"
Orang itu pun ambruk. Banyu Biru segera
masuk ke dalam rumahnya. Sementara pertarun-
gan itu semakin seru berjalan. Masing-masing berusaha untuk mempertahankan diri
dan menga- lahkan lawan-lawannya.
Malam yang gulita kini bagaikan terang
benderang. "Jangan beri ampun manusia-manusia ini!"
Terdengar seruan dari Pandu Kelana yang mem-
beri semangat. Namun jelas terlihat lama kelamaan orang-
orang Sangkur Baja tergeser. Di samping mereka
sudah lelah, juga jumlah penduduk desa yang
banyak yang dengan geram hendak mencabut
nyawa mereka. Sebentar saja mereka sudah terdesak. Se-
ruan-seruan keras kini berpadu dengan jerit ke-
sakitan. Dan akhirnya satu per satu pun harus te-
was setelah menjerit dengan hebat.
Bersamaan dengan berakhirnya lawan-
lawan itu, muncul Banyu Biru dari dalam. Wa-
jahnya kelihatan amat panik. Dia bagaikan anak
ayam kehilangan induk.
Ki Lurah Pandu Kelana sigap segera men-
dekatinya. "Ada apa, Bayu?"
"Anakku... istriku...." desis Banyu Biru bagaikan orang bodoh belaka. Kepalanya
berkeliling seakan yakin kalau anak dan istrinya berada di
sekitar sana. "Mengapa mereka?" desis Pandu Kelana
cemas. "Apakah mereka... oh, tidak!"
"Mereka... mereka tidak ada, Pandu.... Me-
reka tidak ada.... Oh! Ke mana kalian permata hatiku?" Pandu Kelana segera
menenangkan Banyu Biru. "Bawa dia masuk ke rumahnya."
Beberapa orang penduduk segera mem-
bawa Banyu Biru ke kamarnya. Lalu mereka
kembali ke halaman depan, di mana Pandu Kela-
na dan yang lainnya masih berada di ^ Hana dan
sedang terlibat dalam satu obrolan yang panjang.
"Hmmm... agaknya kita harus mencari ma-
lam ini juga, Saudara-saudaraku!" kata Pandu Kelana lantang.
Sahutan-sahutan setuju pun terdengar
ramai. "Benar, kita harus mencari mereka!"
"Ya, kita pun akan menyerang orang-orang
Sangkur Baja!"
"Bunuh mereka!"
"Hancurkan mereka!"
"Tenang, tenang, Saudara-saudaraku...."
kata Pandu Kelana menenangkan warga-nya. "Ki-ta memang harus berusaha untuk
menghancur- kan Sangkur Baja. Namun pada saat ini, tugas ki-ta adalah untuk mencari dan
menemukan Sekar
Perak serta istri dari Banyu Biru. Bila semuanya sudah berhasil, barulah kita
mendatangi Perkumpulan Sangkur Baja! Kita hancurkan mereka!
Setuju"!!"
"Setuju!!!"
"Bagus, malam ini pula kita harus segera
berangkat mencari. Jangan sampai luput satu
tempat pun!"
"Setuju!!"
"Bagus, marilah kita mulai!!"
Orang-orang itu pun segera berpencar un-
tuk mencari Sekar Perak dan istri dari Banyu Bi-ru. Sementara Pandu Kelana dan
Kendala Yoro masuk menemui Banyu Biru yang terbaring le-
mah seakan tiada daya.
Sepasang matanya memancarkan sinar ke-
pedihan dan ketidakberdayaan. Dia seperti kehi-
langan hatinya hingga membuatnya terdiam da-
lam kepasrahan.
Ki Lurah Pandu Kelana hanya berkata pe-
lan, "Banyu... mudah-mudahan putri dan istrimu ditemukan dalam keadaan selamat."
Hanya pancaran mata Banyu Birulah yang
berkata. Mudah-mudahan. Selebihnya hanya pa-
srah. Kendala Yoro pun mendehem. Lalu berka-
ta: "Kuatkanlah hatimu, Banyu.... Banyaklah
berdoa kepada Gusti Allah, bahwa anak dan is-
trimu dalam keadaan selamat."
Namun tepat ketika ayam jantan berkokok
menandakan waktu telah pagi, terdengar kabar,
istri Juragan Banyu Biru telah ditemukan. Na-
mun dia telah tewas dalam keadaan yang amat
menyedihkan. Diperkosa terlebih dulu sebelum dibunuh!
* * * 3 "Tolong... tolong... ampun... aku mau di-
bawa ke mana... huhuhu.... Bapa tolong aku... tolong aku, Bapa...." Seruan keras
di iringi dengan isak tangis itu terdengar. Dan sosok tubuh yang dipanggul di
bahu yang kekar itu meronta-ronta
minta dilepaskan. "Tolong... tolong aku!!"
"Bangsat!!" Sosok yang memanggul itu
menggeram marah. "Diam!"
"Tolong! Lepaskan... lepaskan aku!!"
"Anjing kurapan! Diaaam!!"
Meskipun dibentak seperti itu, namun so-
sok itu terus menjerit-jerit. Membuat orang yang memanggulnya dengan lari ter-
gesa-gesa menjadi
jengkel. Tiba-tiba saja dia berhenti, lalu menyen-takkan turun sosok tubuh yang
dipanggulnya itu.
"Diam! Bila kau tidak diam juga, kami akan menyeretmu dengan paksa!"
"Huhuhu... lepaskan aku, lepaskan aku!!"
"Setttannnn!!" Orang itu semakin jengkel dan dengan paksa kini menyeretnya.
"Lepaskan, lepaskan!!" seru sosok tubuh itu sambil mencoba menahan dirinya,
namun tenaga laki-laki yang menyeretnya amat kuat dan
mau tak mau kakinya harus terseret mengikuti
tarikan tangan laki-laki itu bila dia tidak mau ter-jerembab.
"Brengsek! Jangan ribut!!"
"Huhuhu... aku mau dibawa ke mana...."
"Diam!!"
Seruan-seruan itu terlontar dari mulut Se-
kar Perak dan Rondeng. Ternyata Rondeng dan
Mangkoro masuk ke rumah Banyu Biru untuk
membawa lari Sekar Perak dan ibunya, yang telah mereka perkosa sebelum mereka
bunuh. Rondeng dan Mangkoro tidak berani me-
lakukan hal itu terhadap Sekar Perak, karena Bo-jo Mayit menginginkannya. Bila
mereka mengusik
Sekar Perak sedikit saja, maka mautlah taruhan-
nya. Itulah sebabnya mereka memperkosa dan
membunuh ibu Sekar Perak daripada hanya me-
nyusahkan mereka saja.
Rondeng mengusulkan untuk menyem-
bunyikan Sekar Perak di Goa Alas Bantan sebe-
lum membawanya kepada ketua mereka. Karena
dia yakin, saat ini keduanya tengah dicari oleh warga desa.
Goa Alas Bantan adalah sebuah goa yang
berada amat jauh dari desa itu. Sebuah goa yang dikelilingi oleh hutan yang amat
lebat.
Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebuah goa yang amat mengerikan.
Konon goa itu dulu tempat bertempurnya
para tokoh sakti antara golongan putih dan hi-
tam. Mereka hendak memperebutkan goa itu se-
bagai kekuasaan. Di mana golongan putih amat
menentang sekali perbuatan orang-orang golon-
gan hitam. Pertempuran itu amat hebat dan ber-
langsung selama berhari-hari. Namun di saat pertempuran itu terjadi, mendadak
saja semua orang-orang itu meninggal. Dan tak seorang pun
yang tahu sebab musabab yang sesungguhnya
sehingga orang-orang itu mati. Mereka hanya
menduga, para jago itu mati karena saling bunuh dalam pertempuran.
Berita tentang goa itu hingga sekarang ti-
dak terdengar lagi. Namun Rondeng diam-diam
tahu tentang hal itu. Dan dia yakin goa itu masih ada dan hingga sekarang belum
ada yang memili-
ki. Itu merupakan sebuah tempat persembu-
nyian yang amat aman sekali.
"Masih jauhkah goa itu, Rondeng?" tanya Mangkoro sambil terus mengikuti langkah
Rondeng. "Cukup jauh juga!"
"Kita harus lebih cepat! Karena aku yakin, orang-orang desa akan tetap mencari
kita! Dan bi-la suasana sudah aman, barulah kita muncul dari goa itu dan
menyerahkan gadis cantik ini untuk
ketua. Hmm... sayang sekali... bila bukan untuk ketua, sudah ku-ganyang gadis
ini. Tubuhnya amat menggiurkan sekali...."
"Hahaha... bila kau nekad, nyawamu akan
mampus di tangannya!"
"Ya, ya... aku pun masih sayang dengan
nyawaku!" "Hhh! Lebih baik kau bopong gadis ini,
Mangkoro! Lumayan, tubuhnya yang meng-
giurkan itu akan menempel di tubuhmu!"
"Hhh! Keenakan dia! Biar saja sini aku
yang ganti menyeret!" seru Mangkoro. "Biar dia tahu rasa, sejak tadi aku tidak
tahan mendengar jeritannya!!"
Lalu dengan kasarnya Mangkoro menyeret
Sekar Perak. Hal ini semakin membuat Sekar Pe-
rak menjadi ketakutan. Dia tidak pernah mem-
bayangkan hal seperti ini akan terjadi. Menurutnya. keluargnya baik pada siapa
pun. Dan tak pernah punya silang sengketa.
Namun lamaran yang datang dari ketua
penjahat itu membuat semuanya berubah. Dan
ketakutannya semakin menjadi. Makanya dia
menjerit-jerit untuk menghilangkan rasa takut-
nya. "Tolong... tolong! Lepaskan, lepaskan aku, Orang jahat!" jeritnya keras.
Dia amat takut sekali dengan orang-orang jahat ini.
Apalagi dengan orang yang kini menyeret-
nya, yang tak punya perikemanusiaan. Kakinya
sampai lecet-lecet karena harus tergesa-gesa
mengikuti langkah orang itu.
Tubuhnya sudah amat lemah. Sempo-
yongan, mau tak mau dia terus melangkah se-
mentara pergelangan tangannya terasa sakit se-
kali akibat cekalan yang keras.
Dia terus tersaruk-saruk mengikuti
langkah laki-laki yang menyeretnya. Tenaganya
dirasakan sudah hilang sama sekali. Kini dia
bahkan terhuyung belaka.
"Tolong... lepaskan aku... lepaskan aku...
ampuni aku...." Kini suaranya bukan lagi jeritan, tetapi permohonan belas
kasihan. "Jangan rewel!" membentak Mangkoro karena jengkel. "Kalau kau masih bicara
terus, ku perkosa dan kubunuh kau seperti ibu mu, hah"!"
"Oh! Lepaskan aku... ku mohon lepaskan
aku... huhuhu... apa salahku" Apa salah keluar-
gaku" Kalian adalah manusia-manusia laknat!
Jahat!" "Diam!"
"Huhuhu... lepaskan aku... kalian jahat!
Kalian jahat!!" "Diam! Diam!" "Lepaskan aku...."
"Plak!" Tamparan itu melayang di pipinya. Meskipun dirasakannya sakit, Sekar
Perak tetap merin-tih memohon dilepaskan.
"Bangsat! Bila kau tidak mau diam juga...
kubunuh kau"!" bentak Mangkoro saking jeng-kelnya. Telinganya benar-benar tidak
tahan men- dengar rengekan seperti itu.
Kini Sekar Perak hanya terdiam dan me-
nangis terguguk karena tidak mau dibentak dan
dipukuli lagi. Dia sudah tak mampu lagi untuk
berkata-kata. Dia hanya bisa memaksakan sisa-
sisa tenaganya untuk melangkah, mengikuti
langkah kedua orang yang berada di depannya
itu. Tiba-tiba Mangkoro berhenti melangkah.
Sekar Perak yang hanya mengikuti dengan lang-
kah sempoyongan terkejut hingga menabrak
Mangkoro. "Bangsat! Kubunuh kau"!" bentak Mangko-ro.
"Oh!"
"Diam!!"
"Sudahlah, Mangkoro... aku pun tidak ta-
han sebenarnya, tapi karena dia milik ketua, mau apa lagi?" kata Rondeng.
Mangkoro mendengus.
"Hhh! Masih jauhkah tempatnya, Ron-
deng?" tanyanya malas-malasan. Rasanya ingin
dibunuh saja gadis itu yang membuatnya jengkel
dan harus menyeret-nyeret yang dirasakan bagai-
kan beban belaka.
"Cukup lumayan."
"Aku sudah bosan menyeret-nyeret gadis
yang cerewet ini"!" makinya sambil melirik Sekar Perak yang menggunakan
kesempatan itu untuk
bisa bernafas dengan lega.
"Hahaha... itu sudah tugasmu, bukan?"
"Hhh! Jangan tertawa!"
"Hahaha... bukankah lebih asyik mem-
bawa seorang gadis montok seperti dia dari pada membawa seorang laki-laki
seperti aku?"
"Sialan! Baiknya diapakan gadis ini, hah"!"
"Terserah! Asal jangan kau perkosa dan
kau bunuh! Karena nyawamu sebagai taruhan-
nya!" "Bangsat!"
"Sudahlah! Ayo kita terus! Kita nanti akan sampai di hutan Alas Bantan. Di ujung
hutan itulah, Goa Alas Bantan yang amat tersembunyi be-
rada!" "Baiklah!"
Kembali Mangkoro menyeret tubuh Sekar
Perak yang lagi-lagi harus tersaruk-saruk mengikuti langkahnya. Dia benar-benar
sudah merasa amat tidak berdaya.
Rondeng yang melangkah di belakang ke-
duanya terbahak-bahak. Dan diam-diam dia
memperhatikan bentuk tubuh Sekar Perak dari
belakang. Sebuah tubuh yang amat menggiurkan.
Gairahnya seakan bangkit perlahan-lahan.
Namun dia masih bisa bertahan dan sadar
kalau gadis ini adalah milik ketuanya. Bila saja bukan, sudah dinikmatinya tubuh
yang menggiurkan dan mengundang selera itu.
"Sialan!" makinya dalam hati.
Hutan Alas Bantan yang kini mereka ma-
suki hampir sama lebatnya dengan Hutan Alas
Roban. Tetapi hutan Alas Bantan lebih nampak
bagaikan menyimpan misteri yang amat mengeri-
kan. Entah apa misteri itu. Yang pasti, Goa Alas Bantan terletak di ujungnya,
yang pasti, Rondeng merasakan bulu remangnya berdiri.
Hutan itu seakan hidup dan kesal karena
dimasuki oleh tamu-tamu yang tak di undang.
Karena begitu mereka memasukinya, angin ber-
hembus kencang, menggesek dedaunan yang me-
nimbulkan irama mengerikan.
Wajah Sekar Perak seketika pucat karena
ketakutan. Dia benar-benar ngeri mengalami hal
seperti ini. Sungguh suatu kejadian yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Dan dia tak per-
nah mengerti mengapa justru dia yang harus
mengalaminya. "Oh, Tuhan... kapankah berakhirnya ketegangan ini?"
Mendadak saja terdengar suara tawa yang
amat mengerikan. Yang mampu membuat bulu
roma berdiri. "Hik... hik... hik...!!"
Tawa itu menggema ke seluruh hutan. Ter-
bawa angin hingga ke segenap penjuru. Tawa
yang seakan mengundang dan menyebarkan ha-
wa maut! * * * 4 Tawa itu terdengar lagi. "Hik... hik... hik...!"
Mengerikan. Seketika Sekar Perak men-
jerit dengan tubuh lemas. Takutnya bukan alang
kepalang. Dia seorang gadis yang jarang sekali ke luar rumah. Bila pun iya,
paling diantar oleh em-bannya. Namun sekarang, selagi dia ke luar ru-
mah, merupakan sebuah kejadian yang amat me-
nyiksanya. Sementara Rondeng dan Mangkoro segera
waspada. Keduanya mencium sesuatu yang akan
terjadi. "Bersiap, Rondeng...."
"Ya... demikian pula dengan kau, Mangko-
ro...." Dan benar saja, tiba-tiba di hadapannya berlompatan delapan orang laki-
laki seram dengan golok besar di tangan. Bukan, bukan para
warga desa. Orang-orang ini bagaikan makhluk
mengerikan yang siap mencabut nyawa. Mata me-
reka begitu buas, lebih-lebih setelah menatap Sekar Perak yang semakin
menggigil. Tiba-tiba dari salah sebuah pohon ber-salto
satu sosok tubuh dengan lincahnya dan hinggap
di hadapan orang-orang itu dengan ringannya.
Rondeng sudah menduga, betapa tingginya ilmu
meringankan tubuh orang Itu. Dia pun memper-
hatikan dengan seksama.
Orang yang bersalto itu bertubuh ramping
dan gemulai. Rambutnya terurai indah. Wajahnya
cantik dan bibir yang mungil. Di pinggangnya ter-lilit sebuah angkin berwarna
merah. Dan di punggungnya terdapat sebuah pedang tipis yang amat
tajam. Rondeng segera mendapat kesimpulan, ga-
dis inilah yang memimpin delapan orang seram
itu. Hanya satu yang dikuatirkannya. Sekar Perak bila diganggu orang-orang itu.
Makanya Rondeng
merasa lebih baik mati mempertahankan Sekar
Perak daripada harus mati di tangan Bojo Mayit.
Gadis yang berdiri di hadapan mereka itu
terkikik. Wajahnya sungguh cantik sekali.
"Hik... hik... siapakah kalian yang berani-beraninya memasuki hutan ini, heh"!"
tanyanya dengan suara yang genit dan lirikan mata yang
mengundang gairah. "Agaknya kalian belum ta-hu... kalau hutan ini akulah
pemiliknya. Akulah yang berkuasa. Segala sesuatu yang terjadi atau akan terjadi
di hutan ini, harus melalui aku. Hi-hi... kalian mengerti, bukan?"
Kedua laki-laki itu berpandangan.
Rondeng yang tidak mau mencari ribut se-
gera menjura dengan hormat. "Maafkan kami, Nona...."
Belum habis kalimatnya, gadis itu sudah
tertawa. "Hik... hik... dia memanggilku Nona. No-
na... hik... hik... Nona... Nona...." Seperti orang gi-la gadis itu menari
dengan gembira. Mulutnya terus berucap "Nona".
Rondeng menjadi keheranan. Juga Mang-
koro, kenapa gadis ini senang dipanggil Nona"
Apakah baru kali ini ada yang memanggilnya
dengan sebutan itu"
Gadis edan itu sudah berhenti menari. Dan
kembali matanya dengan genit melirik.
"Karena kau sudah memanggilku Nona,
kau kuterima dengan baik. Tapi katakan dulu apa maksud kalian datang ke mari?"
"Kami... ingin ke Goa Alas Bantan." kata Rondeng.
Mendengar kata Goa Alas Bantan, wajah
gadis itu berubah. Menjadi serius dan sengit.
Orang-orang di belakangnya pun segera bersiap.
Nampaknya mereka tidak suka ada orang yang
menyebutkan nama goa itu.
"Apa maksud kalian hendak ke sana?" suaranya tinggi.
"Kami tidak bisa mengatakannya kepada
kalian...."
"Hhh! Kalau kalian hendak ke sana, lain
persoalan! Tak seorang pun yang kami izinkan ke sana!" "Apakah sekarang sudah
menjadi goa la-rangan?"
"Ya! Dan kalian tidak boleh tahu apa pe-
nyebabnya?"
"Tapi kami perlu sekali ke sana."
"Dan kalian harus melalui kami!" Kedua tangan gadis itu terangkat ke atas.
Serentak Orang-orang yang di belakangnya menyebar den-
gan posisi mengepung, Rondeng dan Mangkoro
pun segera bersiap. Dilarang begini, membuat keduanya menjadi semakin penasaran.
Ada apa se- benarnya di goa itu"
"Apakah pertempuran ini harus terjadi?"
seru Mangkoro. Gadis itu menatapnya dengan lekat. "Ya!
Selagi kalian terus memaksa!"
"Baik! Tak ada jalan lain! Kami memang in-
gin ke sana, dan harus ke sana!"
Sehabis Mangkoro berkata demikian, gadis
itu sudah mengibaskan tangannya ke depan. Se-
buah angin besar datang dengan cepat ke arah
Mangkoro. Mangkoro segera berguling dengan
menarik tangan Sekar Perak. Akibatnya, pohon
yang berada di belakangnya, rubuh seketika.
Suatu pukulan jarak jauh yang menga-
Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gumkan! "Hmmm... rupanya kau punya jurus an-
dalan juga, Orang jelek!" bentak si gadis sementara Mangkoro sudah membuka
jurusnya. "Kalian boleh mengganyang kami! Tapi
kuminta, kalian jangan mengganggu gadis ini!"
bentak Ki Mangkoro.
Kata-katanya itu hanya disambut dengan
tertawa oleh gadis itu.
"Hihihi... tidak mengganggu gadis itu" hi-
hihi...." "Apa maksudmu"!"
"Hihihi... orang jelek, orang jelek... laki-laki mana yang tidak suka dengan
gadis secantik dia, hah"! Kami suka padanya".
"Gadis macam apa kau suka dengan seo-
rang gadis, hah"!" bentak Rondeng setengah jengkel dan setengah heran.
"Hihihi... kalian telah tertipu rupanya...."
"Apa maksudmu"!"
"Hihihi... namaku Nimas Andini atau yang
bergelar, Nona Berwujud Lain...."
"Hah"!"
"Hihihi... ya, ya... gelarku Nona Berwujud Lain!" Rondeng makin tersentak kaget.
"Kau... banci...?"
Dan meradanglah gadis itu dengan gusar.
Tatapannya memerah karena murka. Dia paling
pantang disebut banci!
Dia memang seorang laki-laki yang pernah
berguru pada seorang wanita yang kesemua mu-
ridnya wanita pula.
Semula guru wanita itu menolaknya untuk
dijadikan murid. Namun Nimas Andini yang sebe-
lumnya bernama Jaka Purnama meyakinkan
guru wanita itu, kalau dia akan belajar dengan
baik dan sopan.
Akhirnya guru wanita itu pun meng-
izinkannya menjadi murid di perguruannya.
Karena semua temannya wanita, lambat
laun pun Jaka Purnama bertingkah laku seperti
wanita. Namun dia tetap seorang laki-laki. Dan
dia tetap tidak bisa meninggalkan nafsu birahi la-ki-lakinya terhadap wanita.
Mulailah dia merayu beberapa orang murid
wanita. Dan hampir semua murid di perguruan
itu pernah dinodainya. Dan tak satu pun yang
mengadu pada guru mereka, karena mereka sen-
diri pun menyukainya. Bahkan kedatangan Jaka
Purnama dirasakan sebagai angin segar yang
membawa kenikmatan di dalam Perguruan Pera-
wan Mustika. Namun sepintar-pintarnya orang me-
nyembunyikan bangkai, baunya akan tetap me-
nusuk pula. Akhirnya sang guru pun mengetahui
semua perbuatannya. Dia tak mungkin mengu-
sir hampir semua muridnya. Maka Jaka Purna-
malah yang diusirnya karena telah merusak citra Perguruan Perawan Mustika.
Hal ini membuat Nimas Andini marah be-
sar. Dengan kepandaiannya dia berhasil menun-
dukkan delapan orang kepala perampok dari ber-
bagai tempat. Dan dia pun segera menyusun ren-
cana untuk menyikat habis Perguruan Perawan
Mustika. Perguruannya sendiri di mana selama
tiga tahun tinggal di sana dia telah mendapatkan banyak ilmu.
Dan kala malam telah larut, mereka pun
segera menyerang. Dengan buas orang-orang itu
menyerang dan menghancurkan mereka. Sia-sia
perlawanan mereka karena orang-orang itu da-
tang kala mereka masih mengantuk dan tidak
siap. Dalam waktu singkat mereka berhasil di-
kuasai. Jaka Purnama sendiri dengan bernafsu
memperkosa gurunya sendiri. Buas dan kejam
hingga pingsan.
Lalu dia menyuruh anak buahnya untuk
bergantian memperkosa gurunya. Masih dalam
keadaan pingsan, gurunya yang setengah baya,
namun berwajah cantik dan masih perawan, diga-
rap bergantian. Lalu Jaka Purnama sendiri
menghilang beserta anak buahnya.
Ketika wanita setengah baya itu bangun
dari pingsannya, melihat keadaan di sekelilingnya membuat hatinya serasa hancur
ber-keping-keping. Terlalu mengerikan!
Hampir semua muridnya mati di tangan
orang-orang biadab itu. Dan sebagian besar di-
perkosa dengan buas.
Menyadari dirinya mengalami hal yang sa-
ma, wanita itu bergidik ngeri dan menangis. Hancur! Hancur sudah semuanya!
Tak tahan melihat semua itu dan kejadian
yang menimpa dirinya, dia segera menggigit li-
dahnya sendiri hingga putus. Dan nyawanya pun
melayang. Hilanglah nama Perguruan Perawan
Mustika!! Sementara itu wajah si Banci Nimas Andini
semakin memerah.
Lalu terdengar bentakannya.
"Bangsat! Apa kau bilang"!!"
Rondeng kini terbahak. "Hahaha... rupanya
aku bertemu banci! Kau banci, bukan"!"
"Banci"!" Menggeram murka Nimas Andini kata-kata yang dibencinya itu terdengar
lagi. "Bangsaaattt!!"
"Hahaha... ada banci marah rupanya!"
"Anjing kurap! Hancurkan mereka!! Serah-
kan gadis itu untukku!!"
Setelah mendengar perintah dari Nimas
Andini, orang-orang yang tadinya perampok, sege-ra maju menerjang dengan golok
mereka. Delapan
buah golok yang amat tajam berkilatan di timpa
cahaya matahari. Begitu mengerikan dan begitu
cepat. Sekar Perak menjerit ketakutan meli-
hatnya. Rondeng segera mengambil tempat yang
agak terbuka. Dia bersalto ke depan dengan lincahnya. Dan empat buah golok
segera menyam- bar berbalik ke arahnya. Lagi-lagi dia bersalto dan sambil bersalto itu dia
mematahkan batang kayu
yang agak besar. Dengan senjata kayu itu dia
menghadapi lawan-lawannya dengan jurus yang
amat hebat. Begitu hebat dan tangguh, mampu mem-
buat keder hati para penyerangnya. Namun mere-
ka bukanlah orang-orang yang pengecut. Mereka
terus mencecar dengan membabi buta.
* ** 5 Sementara itu Mangkoro segera menyusuli
Sekar Perak untuk menjauh ketika serangan da-
tang ke arahnya. Dia pun segera mengambil tem-
pat yang agak lapang dan menghadapi lawan-
lawannya dengan jurus Tangan Bayangannya.
Mangkoro mempunyai keuntungan sedikit,
karena ilmu meringankan tubuhnya jauh di atas
lawan-lawannya. Dengan mengandalkan ilmunya
itu dia menghindar dan sekali-sekali menghantam dengan jurus Lengan Delapannya.
Pertarungan dua orang penculik itu dengan
delapan orang bekas perampok itu benar-benar
hebat. Masing-masing terus melancarkan seran-
gan demi serangan dengan seruan yang keras.
Nimas Andini atau Nona Berwujud Lain
tertawa menyaksikan pertempuran itu.
"Hihihi... kalian tidak akan bisa lari dari kejaran kami" Hihihi... lebih baik
kalian mampus daripada membuang tenaga dengan percuma!"
"Banci buduk! Jangan hanya tertawa saja
kau"!" maki Rondeng geram.
"Hihihi... kau kini masih bisa memaki juga, Orang jelek"!" Makin tertawa lebar
Nimas Andini setelah melihat Rondeng terdesak. Batang kayu
yang dipakai sebagai senjata sudah terlepas. Dan kilatan golok semakin sering
datang padanya.
Rondeng terus berusaha untuk meng-
hindar. Namun empat penyerangnya bukanlah
lawan yang patut diremehkan. Mereka lebih baik
mati daripada kalah. Itulah sebabnya mereka
dengan nekat terus menyerang.
"Aaaaaahhh!!" Tiba-tiba terdengar jeritan Rondeng keras. Kakinya terkena sedikit
sabetan golok lawannya.
Rondeng bersalto ke belakang. Dan me-
naikkan jurus Garuda pada tingkat akhir. Men-
dadak tangannya mengeluarkan asap putih.
Orang-orang itu berpandangan sejenak, tetapi segera menyerbu kembali dengan
pekikan yang ke-
ras. Rondeng pun menyongsong. Kembali terja-
di pertempuran yang hebat, hingga suatu ketika
Rondeng berhasil menyarangkan sebuah puku-
lannya ke tubuh pengeroyoknya yang langsung
membiru dan mati.
Ketiga lawannya yang lain sejenak meng-
hentikan serangannya. Agak ngeri melihat puku-
lan yang ampuh itu. Tetapi mereka segera menye-
rang kembali, tidak memperdulikan maut yang
siap menjemputnya. Setan telah menebarkan ha-
wa kematian yang sip mengundang mereka.
Benar saja, belum sepuluh jurus, dua
orang sudah terkena pukulan maut Rondeng. Dan
keduanya ambruk dengan pekikan melolong. Se-
kar yang sangat ketakutan tak kuasa melihatnya.
Dia menjerit-jerit dia menangis.
Mangkoro pun sudah merubuhkan dua
Orang lawannya. Jurus tangan kosong Lengan
Bayangannya begitu hebat. Tangannya seakan
menjadi banyak dan bergerak dengan kecepatan
luar biasa. Mengandung kekuatan yang luar biasa pula. Melihat hal itu, Nimas
Andini menggeram
marah. Dia bersalto ke depan seraya membentak.
"Mundur!!"
Anak buahnya yang bersisa tiga orang itu
pun bersalto ke belakang. Rondeng dan Mangkoro
saling mendekat. Nimas Andini atau Nona Berwu-
jud Lain memperhatikan keduanya dengan sikap
seorang jagoan. Tiba-tiba dia tersenyum. Dan
mendadak kedua tangannya mengibas ke depan.
Serangkum angin besar datang dari masing-
masing tangannya ke arah kedua pentolan Bojo
Mayit itu. Keduanya terkejut dan reflek saling ber-
gulingan. Kembali dua buah pohon di belakang
mereka tumbang seketika.
Nimas Andini terkekeh.
"Kalian jangan harap bisa keluar dari sini!"
Suaranya tajam dan penuh ancaman. "Nyawa
anak buahku yang terbunuh, harus kalian bayar
lunas!" "Banci, jangan banyak bacot kau!" bentak Mangkoro yang lebih bernafsuan
daripada Rondeng. Dia memang tidak sabaran. Apalagi merasa
perjalanan menuju Goa Alas Bantan terhambat
total. Belum lagi harus menguras tenaga!
Wajah Nimas Andini memerah seperti ke-
piting rebus dipanggil dengan sebutan yang san-
gat dibencinya.
Dengan memekik dia menerjang ke depan.
Kedua tangannya mengembang mengancam ke
arah tenggorokan lawan. Mangkoro langsung me-
rebahkan tubuhnya dan kakinya menyapu ke ba-
gian bawah Nimas Andini. Sedangkan Rondeng
menangkis dan membalas dengan pukulan ke
arah kepala. Kedua serangan balasan itu dielakkan den-
gan bagus sekali oleh Nimas Andini. Dan tokoh
banci yang sakti itu ternyata mampu mengimban-
gi kedua jurus-jurus dari kedua orang Kediri itu.
Bahkan dia bisa berada di atas angin.
Selain tenaga keduanya sudah terkuras ta-
di, juga kalah sakti ilmu silat mereka. Rondeng sendiri heran, baru kali ini dia
melihat seorang tokoh muda yang kosen. Yang begitu tangguh dan
matang dalam setiap gerakannya. Yang secara tak disangka mampu melebihi tingkat
kesaktian mereka. Jurus-jurus Naga yang diperlihatkan Nimas Andini sangat ampuh.
Gerakannya aneh dan
mengandung tenaga yang sangat besar. Juga ilmu
meringan tubuhnya yang luar biasa tinggi. Kece-
patan geraknya pun luar biasa. Salah satu keun-
tungan untuk Nimas Andini, dia masih muda ma-
sih bisa bergerak demikian lincah.
Pada jurus yang ketiga puluh, sebuah pu-
kulannya mampir di bahu Mangkoro yang ter-
huyung beberapa tindak. Dia merasa seperti di-
hantam oleh godam yang besar. Dan ketika se-
rangan selanjutnya menyusul. Rondeng berusaha
memapaki dengan jurus Rajawali Tiwikrawanya.
"Des! Duaaarrr!"
Luar biasa. Benturan kedua jurus yang
ampuh itu menimbulkan bunyi seperti ledakan.
Dan yang amat mengagumkan, Rajawali Tiwikra-
wa Rondeng tak mampu untuk merubuhkan Ni-
mas Andini! Orang itu terkekeh.
"Sudah kubilang tadi', kalau nyawa kalian
akan kupetik saat ini juga! Nah, bersiaplah sekarang! Aku tidak akan bertindak
tanggung lagi!!"
Keduanya pun bersiap. Masih menahan ra-
sa sakitnya. Mangkoro membuka jurusnya lagi.
Nimas Andini hanya memperhatikan sambil ter-
tawa. Tiba-tiba dia terdiam. Menatap dengan tajam penuh ancaman. Mendadak
mulutnya menge-
Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
luarkan desisan mirip ular. Dan tangannya pun
bergerak bagai ular, membentuk kepala ular yang siap mematuk.
"Kalian akan merasakan keampuhan jurus
Dewa Ular Putih...."
Sampai di situ Nimas Andini bicara, kedu-
anya terpekik kaget. Jurus Dewa Ular Putih!! Jurus yang tak asing lagi di
telinga keduanya. Jurus yang dimiliki oleh si Dewa Ular Putih. Tokoh sakti yang
menjadi legendaris. Si Dewa Ular Putih, tokoh yang menjadi momok setiap lawan
dan ka- wan. Jurus-jurusnya sangat ampuh. Dengan se-
kali totok dia mampu menghancurkan batu sebe-
sar kerbau. Dan dengan sekali kibas, pohon bisa tumbang. Jurus Dewa Ular Putih
yang ditakuti. Lalu bagaimana bisa dikuasai oleh si banci ini.
Sedangkan Dewa Ular Putih sudah meninggal le-
bih dari lima puluh tahun!
Bagaimana caranya" Melihat kedua lawan-
nya tercengang dan nampak kaget, Nimas Andini
terkekeh. "Jangan heran, hai monyet-monyet!
Dewa Ular Putih adalah guruku yang ter-amat
sakti!" Rondeng tak kuasa menahan untuk bertanya, "Bagaimana mungkin hal itu
bisa terjadi"!"
"Hik... hik... hik... itulah sebabnya kalian ku larang masuk ke Goa Alas Bantan,
karena semua rahasia itu kudapat dari sana! Aku telah
menemukan buku silat yang aneh, yang terdiri
dari, ilmu meringankan tubuh, jurus Naga dan
jurus Dewa Ular Putih! Lima tahun lamanya aku
mendiami goa itu untuk mempelajari isi buku.
Dan kalian lihat hasilnya, aku benar-benar telah menjadi seorang manusia yang
sakti! Dan kalian
beruntung karena akan kuperlihatkan jurus De-
wa Ular Putih!"
"Tunggu!" bentak Mangkoro. "Kau manusia iblis, kau telah mengacak kesucian Goa
Alas Bantan!" "Hik... hik... bukankah kalian hendak ke sana" Apakah kalian tidak
ingin mengacak! Sudah, jangan banyak bacot aku sudah ingin me-
renggut nyawa kalian!!"
Dan si banci pun membuka jurus sakti
yang ditakuti hampir oleh seluruh jagoan di za-
man dulu dan zaman sekarang. Mau tak mau ke-
duanya pun segera bersiap untuk menyambut se-
rangan itu. Dan benar-benar luar biasa, si Banci me-
mainkan jurus yang ampuh dengan cepat dan
dahsyat. Keduanya hanya mempergunakan kelin-
cahan mereka bergerak saja dan sekali-sekali berusaha untuk membalas. Dalam lima
jurus saja, nampak keduanya terdesak hebat. Pohon dan ba-
tu besar sudah ambruk terhantam pukulan dah-
syat Itu. Tak terasa mereka bertempur sudah sekian
lama, karena malam mendadak saja turun, meng-
ganti senja yang mulai redup. Malam pun meng-
gantikan pekerjaan matahari yang nampak sudah
lelah pula. Tapi pertempuran itu masih terus berjalan. Akhirnya dapat terlihat,
kalau keduanya itu terdesak hebat. Nimas Andini tidak menyianyia-kan kesempatan
itu untuk mendesak terus kedu-
anya. Dan akibatnya amat mengerikan!
Mangkoro yang nampak lelah, terjatuh be-
berapa tindak. Dan kesempatan itu dipakai Nimas Andini untuk menghantam kati Ki
Manggada. "Heittt!!"
Tak ada kesempatan lagi bagi Mangkoro
untuk mengelak atau pun menyongsong serangan
itu. Begitu tiba-tiba dan amat cepat.
Saat yang menentukan bagi Mangkoro.
Rondeng hanya mampu menghalangi se-
bentar dengan melemparkan kayu besar yang te-
lah dialiri tenaga dalamnya. Kayu itu kini ibarat baja yang siap merenggut nyawa
lawannya. Namun kayu besar yang dialiri tenaga da-
lam itu, hanya dikibaskan saja oleh Nona Berwu-
jud Lain dengan satu tangannya, dan selebihnya
hanya membuat Rondeng pasrah.
Tubuhnya pun sudah letih. Tidak ada ke-
kuatan lagi untuk menyelamatkan Mangkoro dari
ancaman maut Nimas Andini.
Maut bagi Ki Manggada memang sudah di
ambang mata. Tubuh Nimas Andini meluncur
dengan deras! Tangannya siap mencabut nyawa
Ki Manggada!! "Mampuslah kau, Orang busuk!!"
Mangkoro hanya bisa memejamkan ma-
tanya, menanti ajal yang siap menjemputnya.
* ** 6 "Sreeett!!"
Mendadak selarik sinar putih melesat,
menghalangi langkah tubuh Nimas Andini hingga
membuat si banci itu buru-buru bersalto ke belakang. Rondeng terkejut melihat
hal itu. Mangkoro yang menyangka dirinya akan
mampus, perlahan-lahan membuka mata-nya ke-
tika dia merasakan tidak ada sesuatu yang men-
genai tubuhnya. Dan kini dia melihat Nimas An-
dini sedang bersalto ke belakang.
Tak jauh dari mereka, tiba-tiba muncul
seorang pemuda bertubuh gagah dengan menge-
nakan caping hingga sebagian wajahnya tertutup.
Di punggungnya terdapat sebilah golok yang
aneh. Golok itu bersarung dari kulit kayu yang
bersinar kekuningan. Pemuda yang tak lain murid tunggal Eyang Ringkih Ireng dari
Bukit Paringin itu menjura. Dia adalah Pandu atau yang digelari oleh orang-orang
rimba persilatan sebagai Pendekar Gagak Rimang.
Dan Nimas Andini yang bersalto dengan
lincah menghindari serangan pukulan sinar putih yang dilepaskan Pandu.
"Siapa kau, hah"!" menggeram banci itu marah. "Berani-beraninya kau mengganggu
urusanku! Orang yang berani berbuat seperti itu, ma-tilah sebagai ganjarannya!"
Meskipun dalam gelap, Pandu bisa melihat
kalau gadis yang berdiri di hadapannya lumayan
cantik. "Maafkan saya, Nona... saya hanya kebetulan lewat... dan sungguh, saya
tidak menyukai perbuatan nona yang sungguh kejam...."
"Sombong! Itu urusanku!"
"Dan menjadi urusan saya, Nona!" Suara Pandu terdengar berwibawa.
"Hmm... jadi dengan kata lain, kau ingin di anggap sebagai pahlawan?"
Pandu hanya tersenyum. Sementara Ron-
deng dan Mangkoro merasa tidak mengenal laki-
laki itu. Namun biarpun mereka orang kejam,
namun mereka masih punya rasa terima kasih.
Bila terjadi apa-apa dengan pemuda itu, mereka
rela membantu. "Terserah apa kata-kata nona! Yang pasti,
aku tak pernah menyukai kekerasan! Bila lawan
sudah kalah, tidak sepatutnya untuk dibunuh!!"
"Hhh! Baik, Pahlawan. Kini kau harus me-
nerima ganjarannya! Dan mengganti nyawa anak
buahku!!" bentaknya keras. Lalu berseru pada anak buahnya yang bersisa tiga
orang. "Kalian ganyang keduanya! Dan cabut nyawa mereka! Bi-ar pemuda usil ini
aku yang menangani!!"
Sehabis berkata begitu, Nimas Andini ber-
salto ke arah Pandu yang langsung mengirimkan
satu pukulan. Pandu menjadi serba salah. Mak-
sudnya tadi menghalangi serangan gadis itu pada orang tua yang tak berdaya itu,
agar menyelesai-kan persoalan secara damai.
Tetapi kini persoalan menjadi runyam. Dan
dia tidak mungkin dapat menghindar lagi. Mau
tak mau terpaksa dia harus melawan.
Kini sasaran Nimas Andini adalah langsung
memusnahkan lawan. Dia tetap menggunakan ju-
rus Dewa Ular Putih!
"Anak muda!!" seru Ki Runding Alam. "Hindarkan dirimu untuk bersentuhan
dengannya!!"
"Bangsat kau!!" geram Nimas Andini seraya mengibaskan tangannya. Dengan cepat Ki
Runding Alam bersalto ke samping. Angin besar
yang datang ke arahnya itu menghantam sebuah
pohon hingga tumbang. Dan ketika kakinya hing-
gap di bumi, anak buah si banci itu sudah me-
nyerangnya dengan bertubi-tubi.
Menghadapi orang-orang ini, bagi Ki Rund-
ing Alam dan Ki Manggada amatlah mudah. Apa-
lagi kini mereka berdua menggempur. Dan sisa
lawannya pun tinggal tiga orang.
Dalam waktu yang singkat saja ketiganya
berhasil mereka bantai. Rondeng buru-buru
menggotong tubuh Sekar Perak yang masih ping-
san. Dan membawanya ke tempat yang agak jauh
dari pertempuran itu.
Mangkoro sendiri langsung terjun mem-
bantu Pandu menghadapi Nimas Andini.
"Hati-hati, Kawan!!" serunya memper-
ingatkan. "Jurus-jurusnya amat mengerikan! Sekali saja kau bersentuhan
dengannya, maka kau
bisa mati dibuatnya!"
"Terima kasih, Kawan!" sahut Pandu semakin berhati-hati.
Justru Nimas Andini yang menjadi murka.
Dia menyerang keduanya dengan hebat dan ce-
pat. Meskipun dikeroyok, namun banci itu benar-
benar tangguh. Jurus-jurus Dewa Ular Putihnya
membuat kedua lawannya ngeri. Pandu sendiri
merasakan angin panas menerpa ke arahnya ke-
tika tangan Nimas Andini bergerak.
Itu menandakan satu jurus yang dahsyat!!
Pandu sendiri sudah mengeluarkan jurus
berkelitnya yang teramat hebat, jurus Gagak Terbang Lalu. Dia berusaha
menghindari serangan
Nimas Andini dengan lincah.
Namun lama kelamaan Pandu berfikir, te-
naganya bisa terkuras habis karena selalu meng-
hindar. Dan tiba-tiba dia melenting ke angkasa.
Kali ini dia melontarkan Pukulan Sinar Putihnya.
"Sreeet!!"
"Sreeet!!"
Serangan sinar putih itu ternyata memba-
wa hasil. Nimas Andini tunggang langgang meng-
hindarinya. "Bangsat!!" geramnya marah dan kembali pontang panting menghindari Pukulan Sinar
Putih yang dilepaskan oleh Pandu.
"Hahaha... mau lari ke mana kau, Gadis"!"
terkekeh Pandu. Sementara Mangkoro bisa berna-
fas lega melihat apa yang dilakukan anak muda
itu. Dengan sinar putih itu, Pandu bisa mem-
buat jarak yang cukup bagi Nimas Andini untuk
mendekat. Dan cukup kerepotan banci itu di-
buatnya. Sedikit pun tidak diberi kesempatan untuk maju.
Ini merupakan satu keuntungan bagi Pan-
du. Dia terus mempergencar serangannya.
"Bangsat! Kubalas kau nanti!" geram Nimas Andini terus menghindar.
"Hahaha... mengapa tidak segera kau la-
kukan, hah" Mengapa kau masih bermain akro-
bat seperti itu"!"
"Anjing sialan!!"
"Hahaha... dan kini anjing itu mampu
membuat kau jatuh bangun, bukan"!"
Nimas Andini menggeram hebat. Namun
sulit baginya untuk menerobos ke depan. Hingga
suatu ketika kakinya terserempet Pukulan Sinar
Putih itu. Seketika banci itu ambruk sambil me-
ringis kesakitan.
Barulah Pandu menghentikan serangan-
nya. "Hmm.... Nona... aku bisa membunuhmu saat ini juga! Tapi aku bukan seorang
pemuda yang telengas menurunkan tangan! Aku bukan
seorang pembunuh! Maka pergilah kau dari sini,
jangan sampai aku menjadi seorang pembunuh!
Cepat!!" serunya dengan nafas kembang kempis!
Nimas Andini memandang dengan geram.
Dia bermaksud hendak memberi perlawanan lagi,
tapi kakinya terasa perih sekali.
"Aku mengakui kalah, Sobat! Tapi nanti...
kau tunggu pembalasanku! Goa Alas Bantan kini
menjadi milik kalian, tapi aku akan datang kem-
bali untuk merebutnya!"
Setelah berkata begitu, Nimas Andini
bangkit dan pergi meninggalkan tempat yang te-
lah didiaminya selama lima tahun. Rondeng dan
Mangkoro menghela nafas lega.
Pandu sendiri menggeleng-gelengkan ke-
palanya, secara tidak disengaja dia sudah mena-
namkan bibit permusuhan pada diri gadis itu.
Sungguh sulit menjadi pembela kebenaran. Untuk
menjadi orang pendamai. Karena tidak setiap
orang suka karena ada yang membenci sikap se-
perti itu! Sementara Rondeng dan Mangkoro seakan
disadarkan oleh kesalahan-kesalahan yang sela-
ma ini mereka perbuat. Mereka telah banyak ber-
buat dosa dan kejahatan. Kini semua itu seperti disadarkan oleh satu hal, di
mana mereka melihat betapa pemuda ini dengan suka rela membela
mereka. Padahal bila pemuda ini tahu siapa mere-
ka, apakah pemuda ini akan tetap membelanya"
Namun melihat dari sikap dan tutur kata pemuda
itu, mereka yakin bila pemuda itu adalah seorang yang bijaksana dan pemaaf.
Tiba-tiba Rondeng berkata. "Ki Sanak... be-ribu terima kasih kami ucapkan kepada
mu yang telah menolong kami dari maut...."
Pandu tersenyum.
"Ki Sanak... tak perlulah kau mengucap-
kan terima kasih seperti itu padaku, karena me-
mang sudah kewajibankulah untuk menolong se-
Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama..." sahut Pandu. "Yah... aku hanya kebetulan lewat. Lagipula, bila kalian
tidak membantu pun aku akan sukar untuk mengalahkan manusia sakti itu...."
Betapa rendahnya hati pemuda ini. Hal itu
pun semakin membuat Rondeng dan Mangkoro
sadar, kalau selama ini mereka telah bersikap
congkak dan sombong. Telah bergelimang banyak
dosa dari hasil kejahatan yang mereka perbuat.
Mereka menjadi malu dan menyesal. Pa-
dahal bila mereka tidak membantu pun mereka
yakin kalau pemuda ini akan mampu menakluk-
kan banci itu. Mereka bahkan merasa hanya
mengganggu gerak pemuda itu saja tadi.
Dan keduanya merasa amat rendah sekali
berhadapan dengan pemuda bercaping ini.
"Siapakah sebenarnya kisanak ini?" tanya Rondeng.
"Hmm... namaku Pandu!"
"Pandu... sekali lagi kami ucapkan banyak
terima kasih padamu. Namaku Rondeng dan ini
kawanku.... Mangkoro...."
Belum lagi Pandu berkata, tiba-tiba mun-
cul Sekar Perak yang langsung memaki-maki
Rondeng dan Mangkoro.
"Manusia-manusia jahat! Jahat! Kalian le-
bih baik mampus!" serunya, lalu berpaling pada Pandu. "Ki Sanak... mengapa kau
menolong orang-orang jahat seperti mereka" Mereka tak
layak untuk hidup! Bunuh mereka! Bunuh!"
Pandu yang tidak mengerti hanya kerut-
kan kening. Sekar Perak masih membentak-bentak.
"Bunuh mereka! Bunuh! Mereka adalah orang-
orang jahat yang tidak patut dibela! Mengapa kau membela mereka, hah" Apakah kau
orang jahat juga yang saling sekongkol"!"
Sekar Perak terus menjerit-jerit kalap.
Pandu akhirnya berkata karena dia semakin bin-
gung. "Maafkan aku, Nona... siapakah nona sebenarnya?"
"Hhh! Tak perlu kau tahu siapa aku sebe-
narnya" Yang perlu kau tahu, kedua manusia ini
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 19 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Pedang Keadilan 27