Pencarian

Bencana Pedang Asmara 1

Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara Bagian 1


BENCANA PEDANG ASMARA Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza Lt. II, B52/69
Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-
ruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D. Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Bencana Pedang Asmara
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Perguruan Kerudung Biru merupakan sebuah
perguruan silat beraliran putih, yang memiliki sejum-
lah murid yang terdiri dari kaum wanita. Sejak berpu-
luh-puluh tahun yang lalu, perguruan yang terletak di kaki bukit Arjuna ini
sangat disegani baik oleh kawan maupun lawan, justru karena kehebatan Jurus
Pedang Delapan Penjuru Mautnya. Tak seorang pun berani
mengusik ataupun mencari perkara dengan Perguruan
Kerudung Biru yang dipimpin oleh nenek sakti berju-
luk Bidadari Pedang Maut ini. Kalaupun ada, mereka
itu tak lebih merupakan manusia-manusia nekad yang
ingin mencari mati.
Pagi itu bukit Arjuna diguyur hujan lebat, kea-
daan seperti ini memang sering terjadi di daerah yang sangat subur ini. Tanah-
tanah di sekitarnya nampak
lembab dan becek. Dalam keadaan hujan lebat seperti
itu, biasanya murid-murid Perguruan Kerudung Biru
lebih suka berada di dalam pondok perguruan, mengu-
rung diri dalam bilik kamar masing-masing. Atau ber-
kumpul dengan sesama anggota perguruan sambil
menikmati singkong rebus, yang mereka peroleh dari
kebun di belakang pondok. Tradisi seperti itu telah
berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu.
Namun tidak demikian halnya yang terjadi pada
saat itu. Dalam keadaan hujan lebat, tiga sosok tubuh berjubah hitam nampak
bermunculan dari balik bukit
Arjuna. Mereka ini dengan mempergunakan ilmu men-
gentengi tubuh terus berlari-lari mendekati pondok.
Ketika jarak mereka sudah berada begitu dekat dengan
pondok Perguruan Kerudung Biru. Serta merta mereka
hentikan langkah, tiap pasang mata berkilat-kilat aneh langsung memusatkan
perhatiannya di seputar pondok
yang lengang. "Shinta...! Menurut laporanmu, murid-murid
Perguruan Kerudung Biru jumlahnya mencapai bela-
san orang... tapi tak kulihat seorang pun di luar sa-
na...?" tanya salah seorang yang memiliki tubuh ramping dengan wajah coreng
moreng. "Tiga orang diantaranya pasti berada di dalam
pondok itu. Sedangkan lainnya seperti yang kuketahui
selalu pulang ke tempat tinggal masing-masing tidak
jauh dari tempat ini...!" jawab gadis yang bernama Shinta. Perempuan bertubuh
ramping yang memiliki
nama Peri Lingga nampak mengeluarkan suara guma-
nan yang tak begitu jelas.
"Satu kemudahan bagi kita! Tak perlu mengoto-
ri tangan dengan banyak darah...!"
"Bagaimana kalau perawan-perawan yang be-
rada di dalam itu mengadakan perlawanan sengit?"
tanya Jubah Hitam wajah coreng moreng yang lainnya.
"Kau tak perlu resah Santy, aku telah mempela-
jari semua situasi di tempat ini. Pula guru mereka Bidadari Tangan Maut sedang
tak berada di tempat! Wa-
kil ketua, Lingga! Lebih baik kita memulainya sekarang juga...!" "Sebuah usul
yang sangat baik! Mari kita urus orang-orang yang berada di dalam pondok
itu...!" Tiada jawaban, tapi secara serentak tubuh jubah hitam wajah coreng
moreng bergerak mengepung pondok. Pada
saat mereka melakukan pengepungan itu, hujan lebat
nampak sudah mulai reda. Walaupun gerakan mereka
tidak menimbulkan suara mencurigakan, sebagai mu-
rid-murid yang sudah terlatih baik. Mereka yang bera-
da di dalam pondok seperti mengetahui kehadiran me-
reka. "Hhh. Dengar! Seperti ada sesuatu di luaran
sana?" sentak salah seorang murid yang paling tua.
Kemudian memberi isyarat pada tiga orang kawannya.
"Mungkin guru yang datang...!" sahut yang
lainnya. Sambil berkata begitu gadis berpakaian kun-
ing ini melangkah ringan ke sudut kamarnya untuk
mengambil senjatanya yang berupa pedang Kembar.
"Kepulangan guru masih begitu lama, mereka
pastilah orang-orang yang mempunyai maksud-
maksud tak baik. Mari kita keluar...!"
Belum lagi langkah mereka mencapai pintu, sa-
tu pukulan yang begitu keras dari arah bagian luar
pondok telah melabrak pintu itu sehingga hancur ber-
keping-keping. Secepatnya empat murid Perguruan Ke-
rudung Biru membuang tubuhnya ke belakang dengan
jalan bersalto beberapa kali. Tiada terduga-duga, dari bagian pintu belakang
pukulan yang sama pun membuat porak poranda pintu yang terletak di bagian
belakang. "Pendatang-pendatang tengik, siapakah kalian ini...?" Bentak murid
tertua bernama Sekar Asih, lalu membuang tubuhnya ke samping kiri untuk
menghindari sambaran pukulan yang menebarkan rebawa aneh
itu. "Jangan banyak mulut! Perguruan Kerudung
Biru telah kami kepung...! Sebaiknya kalian menyerah
saja...!" perintah Peri Lingga sambil menyeruak mema-suki pondok itu.
"Kurang ajar! Manusia muka hantu jubah hi-
tam! Enyahlah...!" Sebuah bentakan nyaring terdengar.
Empat orang murid Perguruan Kerudung Biru lang-
sung menyongsong kedatangan Jubah Hitam dengan
sambaran pedang kembar mereka. Tapi tiga orang
pendatang itu lihainya bukan main, dengan gerakan
yang sangat gesit mereka selalu berhasil menghindari
serangan jurus Pedang Delapan Penjuru Maut, yang
selama ini dikenal karena pamornya yang tinggi. Ge-
brakan-gebrakan seru terus berlangsung, menjelang
pertarungan lima belas jurus, empat orang murid Ke-
rudung Biru sudah mulai nampak terdesak.
"Hemm! Tak disangka hanya segitu saja kehe-
batan jurus Pedang Delapan Penjuru Maut yang sangat
ditakuti oleh tikus-tikus persilatan itu...!" gumam si tubuh ramping, terus
merangsak dalam jarak yang
sangat dekat sambil lancarkan totokan-totokan ganas.
Pada satu kesempatan yang kritis, murid-murid
Perguruan Kerudung Biru, dengan satu lompatan
langsung menerjang ke arah lawan-lawannya. Gerakan
serentak itu sebenarnya merupakan titik awal untuk
membuka jurus 'Delapan Penjuru Maut" yang mereka miliki. Demikianlah dengan
dimulainya gerakan berbareng seperti itu, maka senjata di tangan mereka pun
bergerak cepat. Tusukan senjata maupun babatan pe-
dang yang bertubi-tubi. Membuat lawan yang bertan-
gan kosong untuk beberapa jurus di depan hanya
mampu mengelak dan menangkis. Empat murid Pergu-
ruan Kerudung Biru merasa mendapat angin, serangan
senjata mereka pun semakin lama semakin bertambah
gencar. Tanpa disadari oleh murid Kerudung Biru ki-
ranya tiga orang lawan wajah coreng moreng sedang
mencari titik lemah jurus pedang yang mereka miliki.
"Hiih....! Breeet...!"
Satu sambaran pedang kembar di tangan gadis
itu berhasil merobek pangkal lengan salah seorang si
jubah hitam. Orang itu terhuyung-huyung, murid-
murid Kerudung Biru merasa mendapat angin untuk
melakukan gebrakan berikutnya. Tapi tiada mereka
sangka-sangka, lawannya yang bernama Peri Lingga
yang sudah mengetahui kelemahan jurus pedang me-
reka lancarkan serangan balasan.
"Haiit...!"
"Tuuk...!"
"Gabruuk...!"
Satu totokan berhasil mengenai jalan gerak di
bagian tubuh lawannya. Sehingga membuat salah seo-
rang murid Kerudung terjatuh dengan keadaan terto-
tok. "Keparaat...!" maki Sekar Asih merasa semakin terdesak.
"Gebrak murid-murid Kerudung Biru. Jangan
lukai, ketua pasti menyukai orang-orang yang cantik-
cantik ini...!"
Sadarlah Sekar Asih dan kawan-kawannya, apa
yang bakal terjadi andai sampai mereka tak dapat
memenangkan pertarungan itu. Kenyataannya, sung-
guhpun mereka sudah berusaha mengerahkan sege-
nap kepandaian yang mereka miliki, namun dengan
gerakan-gerakan menghindar yang sangat manis. Se-
rangan gencar yang mereka lancarkan selalu saja
mencapai sasaran yang kosong. Bahkan secara hampir
bersamaan si jubah hitam tubuh ramping berhasil me-
notok urat gerak di tubuh mereka.
"Tuuuk! Tuuuuk! Tuuuk...!"
"Ahhh...!"
Tiga orang murid Kerudung Biru kembali ter-
jengkang dalam keadaan tertotok. Jubah hitam muka
coreng moreng sunggingkan senyum sinis. Lalu mem-
beri perintah pada dua orang lainnya.
"Mereka tak mungkin kita bawa semua! Pilih
saja yang tercantik di antara keempat gadis ini...!"
Tanpa membantah, orang-orang itupun langsung men-
gadakan pemeriksaan atas diri empat orang murid Ke-
rudung Biru. Sekar Asih, Sekar Taji dan Sekar Kencana ter-
nyata gadis-gadis yang termasuk dalam daftar orang-
orang yang mereka anggap cantik. Akhirnya dengan
gerakan yang gesit dengan memanggul tubuh gadis-
gadis itu. Tiga orang perempuan wajah coreng moreng
berlari-lari cepat meninggalkan bukit Arjuna.
Tinggallah Sekar Sari, yang terus berguling-
guling di atas lantai pondok dalam keadaan tertotok
dan menangisi kepergian saudara-saudaranya yang te-
lah dibawa lari oleh si jubah hitam.
*** Kematian Seranggana, Tapak Api dan belasan
prajurit Katemenggungan ketika sedang melakukan
tugas penyitaan di rumah saudagar Legawa. Membuat
semua kerabat Jayeng Rono dan Lesmana menjadi
gempar. Siang itu dalam suasana tegang, pembicaraan
berlangsung di ruangan tengah. Dalam keadaan ber-
kabung, Tumenggung Jayeng Rono. Lesmana dan Jela-
tu nampak berkumpul mengelilingi sebuah meja beru-
kuran panjang. "Paman Jelatu! Coba ceritakan padaku menga-
pa tugas yang telah saya perintahkan kepada rombon-
gan yang dipimpin oleh Uwa Senggerana sampai men-
dapat musibah seperti ini...?" Tanya Tumenggung
Jayeng Rono, dengan muka merah. Namun hatinya di-
liputi oleh kedukaan yang mendalam. Jelatu yang
sempat luput dari kematian nampak menundukkan
wajahnya. Ada rasa penyesalan membersit di sana.
"Begini tetua! Saat kami sampai di rumah sau-
dagar Legawa, nampak-nampaknya saudagar itu me-
mang tak ingin menyerahkan harta bendanya begitu
saja. Hal ini terbukti saudagar yang telah membuat
malu keluarga Katemenggungan itu telah pula me-
nyiapkan para pembantunya dengan senjata lengkap.
Dugaan saya kemudian terbukti dengan kemunculan
seorang pemuda yang tidak kami kenal di tempat
itu...!" "Pemuda tak dikenal! Bagaimanakah yang pa-
man maksudkan?" tanya Lesmana merasa curiga.
"Pemuda itu berpakaian kumal, bagai sudah
berbulan-bulan nggak pernah ganti. Wajahnya sangat
tampan sekali. Rambutnya panjang dikuncir menjela
sampai ke bahu. Sedangkan di bagian pinggangnya
tergantung sebuah periuk berjelaga, pemuda itu memi-
liki senjata yang memancarkan sinar merah menyala,
dan senjata itu pulalah yang telah menewaskan Ka-
kang Senggerono dan Adik Tapak Api...!" Mendengar laporan Jelatu Tumenggung
Jayeng Rono semakin
memerah wajahnya karena dilanda kemarahan yang
meluap-luap. Sebaliknya, putranya yang bernama
Lesmana sedang berusaha mengingat-ingat siapakah
gerangan pemuda yang disebut-sebut sebagai pembu-
nuh orang-orang katemenggungan. Namun ciri-ciri
yang disebutkan oleh Jelatu memang sama sekali tidak
di kenalinya. Bahkan bertemupun rasa-rasanya belum
pernah. Setelah lebih dari sepemakan sirih mereka saling berdiam diri, akhirnya
suara Lesmana pun terden-
gar memecah keheningan.
"Paman Jelatu, dan ayahanda...! Aku merasa
tak pernah mengenali orang yang baru saja disebut-
sebut oleh paman...! Mungkin pemuda itu sengaja dis-
ewa dari daerah lain oleh saudagar Legawa yang telah
menipuku itu. Ananda tau, saudagar keparat itu pasti-
lah tidak menginginkan harta bendanya disita oleh pi-
hak Katemenggungan. Bahkan secara terang-terangan
mereka telah membunuh orang-orang kita. Ini benar-
benar sangat keterlaluan sekali. Mereka telah mengo-
barkan api peperangan pada pihak kita. Sebagai anak
yang tahu berbakti pada orang tua dan bumi persada,
ananda tidak akan tinggal diam. Dalam waktu dekat
ini, ananda akan mengumpulkan seluruh sahabat
kaum persilatan untuk menggantung saudagar Lega-
wa, dan pemuda yang telah bergabung dengan sauda-


Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gar itu...!"
"Usul yang sangat baik! Memang sesungguh-
nya, sekarang ini sudah saatnya bagimu untuk me-
nunjukkan bakti pada orang tua. Pula ini menyangkut
persoalan pribadimu, layak saja kalau kau berusaha
mengatasinya...!"
"Tat... tapi Den Lesmana! Orang berperiuk itu
memiliki ilmu kepandaian yang bermacam-macam.
Saya takut, kalau pasukan kita tidak benar-benar
tangguh. Usaha kita hanya akan menjadi sia-sia...!"
"Jangan memandang remeh. Paman Jelatu be-
lum mengetahui tokoh-tokoh yang akan kuhubungi
itu. Lihatlah! Tak sampai dua minggu mendatang me-
reka telah berkumpul di Katemenggungan ini...!" sahut Lesmana. Ada rasa kurang
senang dalam nada uca-pannya.
"Sudahlah, anakku Lesmana! Aku tak mengin-
ginkan kalian berbantahan dengan orang-orang sendi-
ri. Kalau memang benar saudagar Legawa memiliki ke-
kuatan yang tangguh. Ada baiknya mulai saat seka-
rang kita mempersiapkan diri...!"
"Baiklah tetua! Katemenggungan telah menda-
pat satu penghinaan yang sangat besar. Hal ini tidak
mungkin kita biarkan begitu saja...!" kata Jelatu. Tumenggung Jayeng Rono dan
Lesmana nampak men-
gangguk setuju. Setelah mereka menganggap tidak ada
lagi pembicaraan yang perlu. Lesmana segera bermo-
hon diri pada ayahandanya untuk pergi menghubungi
tokoh-tokoh persilatan yang dikatakan oleh Lesmana
sebagai sahabat baiknya. Entah tokoh persilatan yang
bagaimana yang akan dihubungi oleh putera Tumeng-
gung Jayeng Rono yang memiliki watak aneh ini.
Hanya Lesmana sendirilah yang tahu. Sementara itu
Jelatu dan Tumenggung Jayengrono, mulai saat itu
mulai mempersiapkan pasukannya dalam jumlah yang
lebih besar. *** 2 Di atas kubur belasan orang prajurit-prajurit
Katemenggungan, sudah hampir tiga hari pemuda
berwajah tampan itu berada di sana. Pabila dilihat se-pintas lalu, maka pemuda
ini tak ubahnya bagai se-
buah arca berdiri tegak, tak pernah bergeming walau
sengatan panas matahari dan dingin angin malam me-
landa tubuhnya hampir setiap waktu. Sesungguhnya
apakah yang sedang dilakukan oleh pemuda itu, di
tempat sunyi seperti di daerah pekuburan keramat ini"
Setelah menguburkan jenazah prajurit-prajurit
Katemenggungan beberapa hari bersama Legawa dan
Indah Dewi. Entah mengapa secara tiba-tiba pemuda
berbaju merah dengan rambut dikuncir ini teringat
kembali pada almarhum gurunya, Si Bangkotan Ko-
reng Seribu. Lalu teringat pula olehnya akan sebuah
kematian. Teringat kematian, teringat pula olehnya
tentang dirinya sendiri. Di sepanjang pengembaraan-
nya selama ini, sudah beratus-ratus jiwa melayang di
tangannya. Mereka semua terdiri dari berbagai golon-
gan sesat yang selama hidupnya selalu membuat resah
kaum persilatan dan masyarakat banyak. Namun pabi-
la dia kembali berpaling pada dirinya sendiri. Benar-
kah pembunuhan-pembunuhan yang telah dilakukan-
nya tidak membawa dosa" Satu koreksi diri yang dila-
kukannya di tempat itu hanyalah ingin bertemu den-
gan roh si Kakek Bangkotan Koreng Seribu. Cara satu-
satunya yang dapat dilakukannya adalah hanya den-
gan mempergunakan ajian Tinggal Rogo, yang sebe-
narnya masih belum dia kuasai dengan baik.
Tidak seperti waktu dulu, kali ini dia merasa
begitu sulit untuk memisahkan diri antara raga yang
kasar dengan rohnya yang tiada terlihat. Sungguhpun
hal itu telah dia lakukan berulang kali. Hingga tanpa disadarinya pekerjaan
konyol seperti itu telah berlangsung hampir tiga hari. Karena selama itu pemuda
ke- turunan Raja Ular dari negeri alam gaib (Bunian) su-
dut-sudut matanya pun nampak cekung.
Roh di dalam jiwa yang tenang Sesaat aku ingin
bertemu dengan guruku. Guru tua yang sudah tiada
memiliki jasad. Dan tak terlihat dengan kasat mata....
Berilah aku Ridho, hai Sang Hyang Widi Perkenankanlah hajat seorang hamba Adalah
diri kasarku si Hina Kelana Pertemukanlah dengan guruku, Bangkotan Koreng
Seribu... Sekejap tubuh pendekar ini nampak menggele-
tar bagai orang yang sedang dilanda badai salju. Alam pikiran kosong dari segala
permasalah yang berhu-bungan dengan keduniawiaan, kosong tanpa beban
apapun yang memberati. Sampai pada klimaksnya:
"Plaaass...!"
Roh Buang Sengketa meninggalkan jasad ka-
sarnya, namun baru saja dalam jarak yang tak dapat
diperhitungkan, di hadapan pemuda itu. Kakek Bang-
kotan Koreng Seribu dalam tubuh halusnya sudah
menghadang perjalanan roh Pendekar Hina Kelana.
Sebagaimana tabiat kakek aneh itu. Maka kini setelah
bertemu terjadilah dialog alam gaib:
"Bocah Guoblok! Sekali lagi kau bertingkah ko-
nyol seperti dulu, ada apa kau memanggil-manggil di-
riku...?" tanya badan halus si Bangkotan Koreng Seribu.
"Eee... anu kek! Aku cuma ingin bertemu den-
ganmu, sekalian jalan-jalan melihat alam asing yang
sebelumnya tak pernah dilihat oleh siapapun terkecua-
li orang-orang yang sudah mati...!" ujar si pemuda je-naka. "Weiii...! Bocah ini
benar-benar semakin keblin-ger...! Tahukah kau resiko apa yang bakal kau hadapi
andai jasad kasarmu sampai diketahui oleh orang
lain...?" Bentak Kakek Bangkotan Koreng Seribu, semakin bertambah murung.
"Tau kek! Tapi salah kakek sendiri, nggak mau
muncul! Mencari tempat tapa ayah juga sejak dulu be-
lum ketemu... hidupku selalu diwarnai dengan kese-
pian kek...!" kata pemuda itu mengeluh.
"Tolol! Kita sudah berada dalam alam yang ber-
beda, mana mungkin aku bisa menemuimu. Pula ka-
lau aku masih hidup siapa sudi menjumpai murid ber-
periuk sepertimu...!"
"Ah kakek! Aku sendiri sekarang bisa mene-
muimu. Mengapa engkau tidak...?"
"Semua itu berkat ilmu Tinggal Rogo yang kau
pelajari. Andai tidak jangan harap kau dapat berbuat
seperti sekarang ini...! Pula kalau kamu merasa kese-
pian, mengapa nggak cepat-cepat kawin saja...?"
"Siapa sudi dengan pemuda Hina seperti ini,
Kek! Hanya seorang pengelana yang tiada berharta, ke-
setiaan dan kejujuran di jaman ini mana dipandang
mata oleh kaum wanita, Kek...!"
"Hhh. Bicara denganmu selamanya memang
membuat kuping berdenyut-denyut...!" sentak Kakek Bangkotan Koreng Seribu gusar.
"Kek...!" Buang Sengketa merengek seperti anak kecil.
"Ada apa...?" dengus si kakek.
"Menurutmu, benarkah apa yang telah kulaku-
kan selama ini...?" tanya si pemuda, ragu-ragu.
"Kalau tidak benar! Sungguhpun aku sudah be-
rada di alam lain pasti akan menegurmu...!" ujar si kakek begitu yakin.
"Kalau sekarang aku membela saudagar Lega-
wa, apakah tindakanku itu juga benar?" Kakek Bangkotan Koreng Seribu terdiam
beberapa saat lamanya.
Kemudian dengan berwibawa diapun berkata: "Selama pertolonganmu itu tanpa pamrih
dan mengharapkan
imbalan atas jerih payahmu, aku menganggap hal itu
baik. Sebab akupun tahu kalau saudagar yang baru
insap dari gemerlapnya dunia itu memang sedang dili-
ciki oleh putranya katemenggungan. Nah tunggu apa
lagi, cepat-cepatlah merat dari hadapanku. Sebentar
lagi tentu anak saudagar yang patah hati itu telah datang menyusulmu...!"
"Baa... baik kek...! Akupun tak pernah mengha-
rapkan apa-apa dari mereka. Kalaupun aku mengaju-
kan persaratan seperti yang pernah kuucapkan itu, hal ini semata-mata hanya
untuk mengetahui seberapa
jauh niat saudagar Legawa dengan segala keinginan-
nya..." Si Bangkotan Koreng Seribu yang memang sudah begitu hapal dengan watak
muridnya, hanya men-
dengus. "Sudah muak aku melihatmu! Cepat kembali ke dalam jasadmu, orang-orang
itu segera sampai di tempat ini...!" Tanpa berkata-kata lagi, pendekar dari
negeri Bunian segera kembali pada jasadnya.
"Plaaas...!"
Roh dan jasad itupun kembali menyatu, seben-
tar kemudian tubuh pemuda itu sudah bergerak-gerak
kembali. Lalu sepasang matanya yang terpejam pun te-
lah membuka pula.
Kenyataannya memang benar seperti apa yang
dikatakan oleh roh Kakek Bangkotan Koreng Seribu.
Tak lama setelah bersatunya antara jasad dan roh si
pemuda, dari jalan setapak pinggiran kuburan itu,
muncul beberapa orang berkuda yang sudah sangat
dikenali oleh si pemuda.
"Kakang Kelana...!" seru wanita berpakaian un-gu, lalu melompat dari atas
punggung kudanya diikuti
oleh empat orang pengiring.
"Indah Dewi! Mengapa kau justru menyusulkan
kemari...?" tanya si pemuda keheranan. Gadis yang di-hianati oleh suami yang
tidak dicintainya itupun hanya tersenyum dikulum, kemudian dia mendekati si
pemuda. (Untuk jelasnya siapa Indah Dewi, terdapat pada
episode terdahulu dalam judul 'Ksatria Pedang Asma-
ra') Setelah mereka saling berhadap-hadapan: "Ayah yang menyuruhku menyusulmu!
Sudah tiga hari kakang tidak pulang. Ayah khawatir kalau ada sesuatu
yang terjadi denganmu...!"
"Ternyata aku tak kekurangan sesuatu apapun.
Ada baiknya kalau kau pulang duluan saja."
"Apa yang kau lakukan di tempat ini...?" tanya Indah Dewi curiga.
"Aku tidak apa-apa...!" ujar Buang Sengketa tawar. "Tapi ayah mengharap agar
kakang bisa pulang ke rumah saat ini juga, katanya dia takut kalau sewak-tu-
waktu orang-orang dari Katemenggungan datang
menyerbu...!" Pemuda dari negeri Bunian itu geleng-geleng kepalanya: "Ayahmu tak
perlu khawatir. Setidak-tidaknya orang dari Katemenggungan masih perlu
waktu yang agak lama untuk melakukan penyerangan.
Aku tak bisa pulang ke rumahmu sekarang, karena
aku perlu melakukan penyelidikan terlebih dahulu...!"
"Baiklah kalau kakang Kelana sudah memu-
tuskan begitu, maka sekarang juga aku akan kembali.
Tapi ingat, jangan terlalu lama bepergian, tanpamu
kami pasti akan mengalami nasib yang sulit untuk di-
bayangkan...!" katanya wanti-wanti.
"Aku akan menepati janjiku...!" jawab Buang Sengketa tanpa ragu-ragu lagi.
Setelah memberikan
perbekalan buat si pemuda, Indah Dewi kemudian
membalikkan langkah. Berjalan cepat menghampiri
kudanya dengan diikuti oleh empat orang pembantu.
Setelah melompat ke punggung kuda masing-masing,
Indah Dewi pun langsung membedal kudanya tanpa
menoleh-noleh lagi.
"Ah, gadis malang! Korban keegoisan orang tua
yang selalu silau dengan harta benda, pangkat serta
kedudukan. Tak disangka-sangka kalau akhirnya ma-
lah menimbulkan malapetaka...!" gumam pemuda itu, selanjutnya menjauh
meninggalkan Kuburan Kramat
menuju ke arah Tenggara.
*** Langit terang resik tiada berawan, di langit le-
pas bintang berkerlap kerlip memancarkan cahaya pu-
tih kebiruan. Dan bulan purnama, baru saja menam-
pakkan diri dari balik bukit.
Pada saat itu di sebuah gua batu cadas yang
terletak tidak begitu jauh dari lereng bukit. Suasana di dalam sana nampak
lengang, seolah gua yang selalu
diterangi dengan cahaya lampu minyak yang berwarna
merah tiada berpenghuni. Keadaan itu berlangsung se-
lama beberapa jam sampai akhirnya beberapa orang
berjubah hitam wajah coreng moreng menyeruak me-
masuki gua itu. Orang-orang tersebut kemudian du-
duk di sebuah altar yang berukuran sangat luas. Da-
lam waktu yang sangat singkat jumlah merekapun se-
makin bertambah banyak hingga mencapai belasan
orang. Orang bercadar dengan jubah hitamnya yang
menjela sampai ke tanah itu. Kemudian secara seren-
tak seperti sedang mengucapkan kalimat doa. Tapi ka-
ta-kata yang keluar dari mulut mereka tak begitu jelas.
Bagai suara gumanan.
Sementara itu di dalam sebuah ruangan lain,
tiga orang gadis nampak terbaring lemah di atas ran-
jang dalam keadaan tertotok dan tubuh menelentang.
Tiga orang gadis berwajah cantik itu tak lain, Sekar
Asih, Sekar Taji dan juga Sekar Kencana. Yang meru-
pakan murid-murid Perguruan Kerudung Biru yang
bermarkas di kaki bukit Arjuna. Sebagaimana diketa-
hui tiga orang murid Bidadari Pedang Maut ini berhasil diculik oleh wakil
kerudung Hitam dan kawannya setelah kalah dalam pertarungan yang cukup sengit.
Kini dalam ruangan yang hanya diterangi oleh
beberapa lampu minyak itu, tiga orang gadis murid
Perguruan Kerudung Biru seperti sedang menunggu
ponis hukuman mati. Hati masing-masing diliputi ber-
bagai tanda tanya bagaimanakah rupanya laki-laki
yang menjadi ketua perserikatan jubah hitam.
Dalam menunggu dengan diliputi ketegangan
ini, mendadak muncul seorang laki-laki berusia sangat muda, dengan wajah coreng
moreng dan juga mengenakan jubah hitam menjela. Laki-laki muda bertam-
pang dingin ini nampak berjalan menghampiri mereka
bertiga. Beberapa saat pemuda itu memperhatikan ca-
lon-calon korbannya satu persatu.
"Gadis-gadis cantik! Tubuhnya padat berisi...
sayang aku tak pernah mendambakan kehangatan tu-
buh gadis manapun! Darah mereka sangat pantas un-
tuk kupersembahkan pada Pedang Asmara...!" gumam pemuda bernama Andika dalam
hati. Namun apa yang sedang bergolak di dalam ha-
tinya, serta merta pemuda berjubah hitam ini nampak


Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengatupkan gerahamnya erat-erat, lalu terdengar pu-
la suaranya yang begitu pelan, namun membuat
mengkirik bulu kuduk tiga orang gadis itu:
Gadis-gadis malang...
Dulu pernah kusimpan cinta di selembar harap
Saat kasih sayang selalu kudamba
Tapi mengapa semuanya membuat aku kecewa
Kini lihatlah mataku yang tiada tetes tangis
Dan luka-luka yang dulu tiada kunjung sembuh
Karena asmara celaka
Yang telah membawa sebuah derita teramat
panjang... Usai berkata begitu, pemuda wajah coreng mo-
reng jubah hitam ini menatap sinis pada ketiga gadis
yang terlentang di atas ranjang tiada berdaya.
"Sriiing...!"
Serta merta Andika mencabut senjatanya yang
menggelantung di bagian pundaknya. Pedang itu ber-
warna hitam kebiru-biruan, yang membuat gadis-gadis
yang dalam keadaan tertotok itu menjadi ketakutan se-
tengah mati justru karena Pedang Asmara di tangan
Andika nampak menggeletar dan menimbulkan bunyi
yang sangat aneh.
"Bocah-bocah cantik! Sesungguhnya aku ingin
meniduri kalian satu persatu. Sering kubayangkan be-
tapa indahnya bersama-sama seorang wanita. Namun
keinginan seperti itu kini tiada lagi. Anak-anak ma-
nis... lantunkanlah doa, sebelum maut menyambut.
Semoga kematian tak ubahnya bagai sebuah tidur
yang teramat panjang... Hiaaat...!"
Seusai mengucapkan segala sesuatunya, tubuh
Andika nampak berputar-putar. Di salah sebuah ran-
jang calon korbannya. Pandangan matanya yang ko-
song dan dingin itu memandang tiada berkedip ke se-
kujur tubuh gadis yang bernama Sekar Taji. Yang di-
pandang kelihatan semakin bertambah ketakutan, jan-
tung berdetak kian cepat. Nafas tersengal-sengal, hing-ga membuat bagian dadanya
yang padat berisi itu ter-
guncang-guncang turun naik. Tiada rangsangan birahi
atas diri pemuda ini, sebaliknya sorot matanya beru-
bah menjadi sinis. Pelan namun cukup pasti, pemuda
jubah hitam menjela-jela ini menggerakkan senjatanya
ke arah bagian dada.
"Breet...!"
"Auuu...!"
Gadis yang bernama Sekar Taji itupun kelua-
rkan jeritan tertahan saat mana, pakaiannya di bagian dada robek lebar di sambar
pedang. Yang membuat
wajahnya semakin memerah adalah akibat terobeknya
pakaian di bagian depan itu membuat dua bukit kem-
barnya yang halus mulus padat dan berwarna putih
itu tersingkap, menantang. Tapi pemuda dari Lembah
Patah Hati ini nampaknya tiada menghiraukan pe-
mandangan seperti itu. Sekar Taji yang dalam keadaan
tertotok bagian urat geraknya hanya mampu menjerit-
jerit. "Lepaskan kami, laki-laki keparat! Kami akan mengadu jiwa atas
perlakuanmu yang memalukan
ini...?" teriak gadis itu, namun tetap tak memiliki kemampuan untuk menutupi
bagian dadanya yang ter-
singkap begitu lebar.
"Jangan banyak tingkah! Tak banyak pilihan
yang dapat kulakukan untuk kalian. Darah perawan
memang sangat dibutuhkan oleh Pedang Asmara mi-
likku. Agar lebih ampuh untuk membasmi siapapun
yang coba-coba berani menghalangi sepak terjang-
ku...!" gumam si pemuda. Selanjutnya tanpa ampun lagi pedang di tangan pemuda
itupun terangkat tinggi-tinggi, kemudian laksana kilat. Senjata itu melesat ke
arah bagian dada si gadis. Gadis itu hanya membelalakkan matanya saat pedang di
tangan Andika melun-
cur. Cepat ke tengah-tengah dada.
"Haaiiit...!"
"Jrooos...!"
"Ahhkkgh...!"
Hanya pekik tertahan yang terdengar, saat ma-
na senjata di tangan Andika menembus bagian dada
Sekar Taji. Tiada pula darah yang menetes, tubuh Se-
kar nampak berkelojotan untuk sesaat lamanya. Lalu
diam tiada berkutik-kutik lagi.
Melihat kematian kawannya, Sekar Asih dan
Sekar Kencana nampak membelalakkan kedua ma-
tanya. Sama sekali mereka tiada menyangka kalau
pemuda yang mereka hadapi kiranya tak ubahnya ba-
gai seorang pembunuh berdarah dingin. Namun mere-
ka juga nampaknya tiada memiliki pilihan lain. Tubuh
mereka tertotok, ini yang membuat mereka tak memi-
liki kemampuan untuk berbuat banyak.
"Manusia terkutuk...! Begitu kejam perbuatan-
mu itu... Sang Hyang Widi pasti tak pernah mengam-
puni dosa-dosamu...!" teriak Sekar Asih, dengan kemarahan yang tiada tertahankan
lagi. "Kaummu juga pernah berbuat lebih dari apa
yang kulakukan. Wajar saja kalau kini aku melakukan
sesuatu yang sesuai dengan apa yang pernah ku rasa-
kan dulu! Hemm...!" kata Andika, lalu dari sela-sela bi-birnya terdengar suara
geraman yang begitu aneh. Tu-
buh kembali bergetar hebat, pedang di tangannya
mendengung-dengung dan mulai terasa sulit untuk di-
kendalikan. "Baiklah! Kuturuti segala keinginanmu, hei Pe-
dang Asmara...!" teriak Andika bagai sedang berbicara dengan sesuatu yang tiada
terlihat. Selanjutnya dengan disertai satu bentakan yang sangat keras. Tubuh
pemuda itu melompat ke atas, dan sebelum bagian ke-
palanya menyentuh langit-langit gua. Maka tubuh laki-
laki wajah coreng moreng itu telah kembali melesat ke bawah sambil lakukan dua
babatan menyilang dalam
waktu berbarengan:
"Hiaaat...!"
"Jrooos! Jreees...!"
Luka akibat sabetan senjata Andika nampak
begitu memanjang, tapi sama seperti yang terjadi atas korban yang pertama tadi.
Kali ini pun bekas luka itu tiada berdarah sama sekali. Mungkin inilah kharisma
yang dimiliki Pedang Asmara di tangan Andika. Dan
anehnya setelah pedang itu menghirup darah korban-
korbannya, maka senjata yang memancarkan prabawa
aneh itupun tidak lagi mengeluarkan bunyi menden-
gung-dengung seperti pertama tadi. Dengan gerakan
yang sangat cepat Andika memasukkan senjata itu ke
dalam sarungnya. Selanjutnya terdengarlah suara ta-
wanya yang begitu dingin, lalu menjauh dan menuju
ke arah ruangan lain.
Sesampainya di ruangan lain, suara bergemu-
ruh menyambut kehadirannya. Mereka itu merupakan
anak buah dan pembantunya sendiri. Orang-orang itu
sama seperti dirinya juga mengenakan jubah berwarna
hitam. "Terima kasih atas bakti yang telah kalian lakukan selama ini! Tetapi aku
tak pernah puas sebelum
semua kalangan persilatan bertekuk lutut di bawah
kakiku...!" kata pemuda itu, setelah agak lama memperhatikan anggotanya yang
berjumlah lebih dari dua-
puluh orang. "Ketua! Beberapa murid maupun guru di ka-
langan persilatan telah kita culik. Bahkan hampir se-
mua orang-orang itu telah kita bunuh pula...! Sebe-
narnya yang manakah di antara sekian banyak kaum
persilatan yang menjadi musuh besar ketua...?" tanya perempuan berwajah cantik,
tubuh ramping yang bernama Peri Lingga. Andika tidak buru-buru menjawab,
sebaliknya sepasang matanya terbuka lebar-lebar. Ada
rasa tidak senang yang terpancar lewat tatapan mata
itu. "Kau benar! Peri Lingga... memang telah begitu
banyak kaum persilatan berbagai golongan yang telah
tewas di tanganku. Tapi aku tak pernah merasa puas
atas kematian mereka...?"
"Justru mengapa ketua membunuh mereka be-
gitu saja tanpa ada keinginan untuk merasakan ke-
hangatan tubuh mereka...!"
"Heeh... kau tau apa! Sisa-sisa hidupku tak
pernah membutuhkan kehangatan apa-apa. Satu yang
ingin kulakukan bahwa setiap wanita yang berada di
kolong langit ini harus patuh di bawah perintahku...!"
Pemuda bertubuh tegap itu pun mendengus.
"Sebuah ide yang bagus ketua! Tapi cuma sebe-
gitukah cita-citamu...?" tanya Peri Lingga lebih jauh la-gi.
"Hoo... tentu tidak...! Dalam waktu tidak begitu lama lagi aku ingin menunjukkan
bakti pada orang tuaku yang telah tiada... ha... ha... ha...! Keparat saudagar
Legawa! Selain begitu tega menghinakan diriku, kiranya dia juga telah membunuh
kedua orang tuaku...!
Mereka adalah orang-orang yang telah masuk dalam
daftar kematian. Begitu pun halnya dengan Lesmana
dan Tamenggung Jayeng Rono yang telah menghan-
curkan semua harapanku... ya mereka memang pantas
mati... harus...!" geram pemuda itu dengan geraham berkerokotan.
"Kami selalu mendukung segala rencanamu,
ketua yang kami hormati...!" teriak pengikut-pengikut Andika secara serentak.
"Bagus...! Namun sebelum rencana besar itu ki-
ta mulai, alangkah baiknya kekuatan lain yang tiada
seberapa itu kita hancurkan...!"
"Kami pun mendukung gagasan baru yang ke-
tua rencanakan itu...!" ujar Peri Lingga merasa setuju.
"Hhh. Kurasa untuk saat ini, hanya itulah dulu
yang perlu kusampaikan pada kalian. Dan jangan lu-
pa, mulai dari sekarang hancurkan kaum persilatan
golongan manapun. Seret setiap perempuan yang ka-
lian jumpai, hingga berhadapan dengan aku...!" kata pemuda itu begitu tandas.
"Kami akan melakukannya, ketua...!" sahut mereka hampir bersamaan.
"Heiii... jangan semuanya yang berangkat! Ting-
galkan beberapa orang untuk tetap menemaniku di si-
ni...!" "Aku hanya membutuhkan enam orang yang memiliki kepandaian tinggi...!"
ujar Peri Lingga, sambil menunjuk pada orang-orang yang dimaksudkan.
"Kalau begitu, cepatlah kalian pergi... kukira
saatnya sekarang ini kita mulai melakukan kejutan-
kejutan itu...!" katanya dengan suara semakin bertambah dingin menggidikkan.
Tak lama setelahnya, rombongan itu pun be-
rangkat meninggalkan gua merah yang merupakan
markasnya orang-orang patah hati. Sesungging se-
nyum sinis menyertai kepergian orang-orangnya. En-
tah apa makna dari senyum itu, hanya Andika sendiri-
lah yang mengetahuinya.
*** 3 Tiga kawan-kawan persilatan berhasil dihu-
bungi oleh Lesmana dalam upayanya untuk menghan-
curkan saudagar Legawa bekas mertuanya sendiri.
Adapun orang-orang yang berhasil dihubungi oleh
Lesmana antara lain, Baja Kuning yaitu kelompok
Begal dan bajak sungai dari daerah sungai Bilah Hulu.
Kemudian Roda Paksi, yaitu sekelompok pemburu wa-
nita yang dikenal karena kejahatannya dalam mencu-
lik dan memperkosa anak istri orang. Sedangkan satu
kelompok lagi adalah merupakan kelompok Maling
Durjana. Tak jauh bedanya dengan maling-maling
lainnya, maka pekerjaan mereka pun mencuri segala
bentuk harta benda.
Dapat dibayangkan orang yang bagaimana pu-
tranya Tumenggung Jayeng Rono ini. Kawan-
kawannya di dunia persilatan saja kebanyakan terdiri
dari golongan hitam. Yang pasti berbagai kelicikanlah yang selalu bercokol di
dalam hati Lesmana. Demikianlah siang itu, orang-orang yang telah berhasil dihu-
bungi oleh Lesmana nampak sedang berkumpul di ha-
laman rumah Kincir Mabur, yaitu salah seorang tokoh
sesat yang sangat sakti dan merupakan sahabat baik
Lesmana sejak puluhan tahun. Sebagaimana pembica-
raan terdahulu, yang telah sama-sama mereka sepaka-
ti. Kincir Angin mengatakan kesanggupannya untuk
membantu Lesmana dalam menyelesaikan masalahnya
dengan saudagar Legawa.
Demikianlah ketika mereka telah berkumpul di
halaman rumah Kincir Angin yang begitu luas, maka
pembicaraan seriuspun berlangsung: "Kami sengaja mengumpulkan saudara-saudara
sekalian di rumah
kediaman Paman Kincir Angin, tak lain karena saya
membutuhkan uluran tenaga saudara-saudara seka-
lian untuk menghadapi saudagar Legawa yang telah
membuat malu bahkan berani menentang kewibawaan
Katemenggungan...!"
"Eee... iiyee... mulutku yang tua bangka ini...
saudagar Legawa merupakan seorang saudagar yang
tiada memiliki kepandaian apa-apa..! Jadi bagaimana
mungkin orang-orang Katemenggungan dapat dikalah-
kan oleh orang itu..."!" tanya si Kincir Angin dengan suaranya yang agak sengau.
"Mestinya orang-orang kepercayaan ayahanda
tidak mungkin dapat dikalahkan oleh saudagar Legawa
dan pembantunya, Paman Kincir Angin...! Namun ka-
rena ada seorang pemuda tak dikenal dengan penam-
pilannya yang aneh telah turut membantu saudagar
Legawa. Maka mau tak mau orang-orang kepercayaan
ayahanda menjadi kucar kacir...!" jawab Lesmana ber-bohong, karena yang
sesungguhnya hampir seluruh
orang-orang kepercayaan ayahandanya tewas, ketika
sedang berusaha melakukan penyitaan di rumah sau-
dagar Legawa beberapa hari yang lalu.
"Tuan Lesmana!" Kali ini yang membuka suara adalah ketua dari Kepala Bajak
Sungai Bilah Hulu
yang bernama Baja Kuning. "Maksud tuan menghu-
bungi kami, telah dapat kami mengerti maknanya.
Namun setiap kerja sama pasti akan ada balas jasa se-
bagai imbalannya. Maaf... kami tanyakan hal ini den-
gan arti bukan kami tak mempercayai Tuan Lesmana!
Tapi kami kira itu perlu demi menghindari terjadinya
sesuatu yang tidak diingini terjadi di kemudian hari...!"


Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajah Lesmana maupun, Kincir Angin, Roda
Paksi maupun Maling Durjana nampak memerah seke-
tika begitu mendengar kata-kata yang baru saja di-
ucapkan oleh Baja Kuning. Walau bagaimana pun me-
reka sesama golongan sendiri pertanyaan yang baru
saja diucapkan oleh Baja Kuning sebagai kata-kata
yang dianggap sangat keterlaluan sekali.
"Saudara Baja Kuning! Mengumbar kata-kata
seperti itu, adalah sesuatu yang tak pantas diucapkan oleh seorang sahabat
sesama kaum kepada sahabatnya yang sedang ditimpa kesusahan...!" tukas Roda
Paksi nampak sangat marah. Dan memang pada kenyataannya, kelompok Bajak Sungai
ini memang ter-
masuk kalangan persilatan segolongan yang banyak
menentang segala tindak tanduk kawan yang lainnya.
"Ah... Saudara Roda Paksi terlalu polos dan ju-
jur. Masakan anda tidak tahu, bahwa apa yang akan
diperjuangkan ini menyangkut sejumlah harta yang
tak pernah habis walau dimakan tujuh turunan...!" tukas Baja Kuning dengan
sesungging senyum licik.
"Memang tidak salah! Tapi apa yang diperjua-
ngkan adalah menyangkut nama baik keluarga Kate-
menggungan. Kalaupun harta itu ada, semuanya juga
tidak dapat diganggu gugat. Karena merupakan barang
sitaan...!" kilah Lesmana semakin merasa tak enak sa-ja hatinya.
"Hemm. Sungguhpun terhadap sahabat sendiri,
kami tak ingin membantu tanpa pamrih apa-apa, ter-
kecuali kami menolong orang-orang yang hendak ma-
suk ke liang kubur!" kata Baja Kuning tanpa memperhitungkan akibatnya.
"Keparat! Kau benar-benar telah menghinaku
kaummu sendiri, Baja Kuning...!" teriak Kincir Angin.
Sambil berkata begitu laki-laki berumur lima puluh li-ma tahun ini dorongkan
telapak tangannya ke depan.
Begitu tangan itu berkiblat, maka serangkum gelom-
bang angin pukulan yang begitu dingin menusuk tu-
lang sungsum Baja Kuning dan sepuluh orang anggo-
tanya. Laki-laki yang memiliki tampang mirip Tikus
Warok itu keluarkan seruan tertahan. Namun dia pun
tidak tinggal diam. Dengan satu gerakan yang manis
tubuhnya melenting ke udara. Masih dalam keadaan
seperti itu Baja Kuning berucap:
"Tak pernah kusangka, kalau akhirnya memilih
jalan kekerasan hanya untuk membela orang yang se-
lama ini telah menyuapi kalian dengan janji yang mu-
luk-muluk."
"Baja Kuning! Sedari dulu kau dan kaummu
memang merupakan orang-orang yang paling suka
membangkang pada kawan sendiri. Maka tidak salah
andai hari ini kami berusaha memberi sedikit gamba-
ran atas kecerobohanmu itu,..!" sentak Maling Durjana. Dan nampaknya orang itu
pun tidak tinggal diam.
Dengan cepat Maling Durjana hantamkan tinjunya
mengarah pada bagian dada Baja Kuning. Sambaran
angin yang sangat kencang menyertai datangnya pu-
kulan yang dilakukan oleh Maling Durjana.
Seperti diketahui, selama ini Maling Durjana
sangat disegani oleh lawan-lawannya justru karena
pukulan Tinju Guntur yang mampu membuat remuk
dada setiap lawannya. Baja Kuning nampaknya mak-
lum akan kelebihan yang dimiliki oleh lawannya. Itu
sebabnya begitu mengelak dia langsung cabut senja-
tanya dan memapaki datangnya pukulan menggeledek
yang dilancarkan oleh Maling Durjana.
"Weees! Cleeeng...!" terdengar satu benturan yang sangat keras begitu, pedang di
tangan Baja Kuning yang juga memiliki warna kuning saling berbentu-
ran dengan pukulan lawannya. Baja Kuning menjadi
tercengang justru pedang di tangannya dia rasakan tak ubahnya bagai membentur
batu gunung. Secara kenyataan Maling Durjana kiranya sangat kebal terhadap
berbagai senjata tajam.
"Minggir saudara-saudara semua! Sekali sekali,
begal dari sungai Bilah Hulu ini memang perlu diberi
pelajaran...!" teriak Maling Durjana memberi peringatan pada orang-orang yang
hadir di situ. "Sekali waktu, seorang maling pengecut me-
mang perlu berhadapan dengan seorang bajak sungai
sepertiku...!" guman Baja Kuning dengan sesungging seringai sinis.
"Jangan banyak bacot! Majulah...!" tantang
Maling Durjana sambil bersiap-siap membangun se-
buah serangan. "Hiaaat...!"
Sekali saja tubuh Baja Kuning menerjang ke
depan. Maka pedang ditangannya pun berbicara. Mal-
ing Durjana tergelak-gelak begitu melihat berkelebat-
nya senjata di tangan Baja Kuning yang nyaris mem-
babat buntung bagian kakinya. Dengan gerakan yang
manis Maling Durjana membuang tubuhnya ke samp-
ing kiri. Serangan lawan luput, sebagai gantinya Mal-
ing Durjana kirimkan satu tendangan dengan disertai
satu jotosan mengarah bagian pelipis lawannya.
"Sial...!" maki Baja Kuning begitu berhasil menghindari tendangan yang dilakukan
oleh Maling Durjana, sebaliknya satu jotosan keras yang datang
menyusul tendangan itu tak dapat di hindari oleh laki-laki muka tikus warok dari
Sungai Bilah Hulu ini.
"Dess...!"
"Gusraak...!"
Tubuh Baja Kuning terpelanting tiga tombak,
bagian wajahnya yang kena dijotos oleh Maling Durja-
na, memar bengkak dan membiru. Namun orang ini
nampaknya sudah tiada menghiraukan rasa sakit yang
mendera tubuhnya. Secepat kilat dia bangkit kembali,
dan langsung kirimkan satu pukulan 'Si Raja Air Me-
nerjang Pusara.' Begitu cepat sekali pukulan yang dilepas oleh Baja Kuning.
Sehingga dalam waktu hanya
sekedipan mata, serangkum gelombang sinar yang
menimbulkan hawa panas luar biasa telah mengancam
diri si Maling Durjana. Namun seperti meremehkan
pukulan yang dilakukan oleh pihak lawannya untuk
kali ini pun Maling Durjana keluarkan suara tawa ter-
gelak-gelak. Hal ini membuat orang-orang yang me-
nyaksikan pertandingan itu menjadi kebat kebit ha-
tinya. Di luar dugaan, Maling Durjana julurkan tan-
gannya ke depan. Selanjutnya melakukan satu gera-
kan memukul. "Weeer...!"
"Deeerr...!"
Maling Durjana nampak terhuyung-huyung tiga
tindak. Sebaliknya tubuh Baja Kuning kembali terpe-
lanting tujuh tombak. Begitu tubuh gembong bajak
sungai itu membentur batu, maka tak ayal lagi, dari
mulut, lubang hidung serta dari bagian telinganya
mengalir darah kental.
"Baja Kuning! Kuperingatkan bagimu untuk
menyudahi pertengkaran yang tiada arti ini. Jika tidak aku takkan pernah mau
mengampuni jiwamu lagi...!"
bentak Maling Durjana ketika menyadari pihak lawan
yang sebenarnya masih kawan sendiri ini tak mungkin
mampu menahan pukulan berikutnya. Namun Baja
Kuning sungguhpun telah menderita luka dalam yang
cukup parah tidak pernah mengindahkan peringatan
Maling Durjana. Dengan tubuh terhuyung-huyung. Ba-
ja Kuning memberi isyarat pada kawan-kawannya.
"Berhenti! Jangan kalian turuti keinginan ketua
kalian. Berhenti kataku...!" bentak Kincir Angin dengan suaranya yang tak begitu
jelas. Antara memenuhi ke-wajiban dan mematuhi perintah tokoh kosen yang ber-
nama Kincir Angin itu. Membuat belasan orang anak
buah Baja Kuning menjadi ragu-ragu. Dalam keadaan
seperti itu. Baja Kuning kembali keluarkan suara ben-
takan menggelegar:
"Orang-orang tolol! Jangan hiraukan perintah
mereka. Lebih baik kita mengadu jiwa dengan seorang
maling yang telah melakukan penghinaan terhadap
kaum bajak sungai...!" teriak pemimpinnya. Benar saja seperti dugaan Kincir
Angin dan Roda Paksi, orang-orang dari Sungai Bilah Hulu ini kemudian menuruti
segala perintah atasannya. Namun nampaknya Kincir
Angin dan Roda Paksi tidak tinggal diam begitu saja.
Dengan masih tetap berdiri tegak di tempatnya, secara bersamaan kedua orang itu
kirimkan pukulan mengarah pada anak buah Baja Kuning yang sedang berusa-
ha membantu ketuanya. "Wuuut...!"
Karena pukulan yang dilepas oleh dua tokoh
sesat itu hanya dengan tujuan untuk menghalau
orang-orang Baja Kuning, tanpa maksud melukai. Ma-
ka akibatnya cuma membuat belasan orang begal sun-
gai terpelanting roboh tanpa mengalami luka dalam
yang cukup serius. Dengan kerengkangan mereka be-
rusaha bangkit kembali, namun satu bentakan keras
kembali terdengar: "Kalian harus berhenti menyerang!
Andai tidak, nyawa kalian tidak pernah kami ampu-
ni...!" Yang berkata sekali ini adalah Kincir Angin, yaitu orang yang memiliki
pengaruh tinggi di antara mereka.
Mau tak mau orang-orang bajak sungai itu menghenti-
kan serangannya.
Namun lain halnya lagi dengan Baja Kuning
yang sudah dilanda kemarahan besar. Dengan mem-
pergunakan jurus Sekawanan Bajak membunuh Anai
Anai, pedang di tangan laki-laki muka tikus itu berputar cepat membentuk perisai
diri. Detik-detik selanjutnya senjata itu menerjang Maling Durjana dengan tu-
juan mengincar bagian punggungnya. Lagi-lagi secara
nekad Maling Durjana yang kebal terhadap senjata je-
nis apapun ini, hantamkan tinjunya secara beruntun.
"Traak...!"
"Ihhk...!"
Karena saat menghantamkan pukulan itu dis-
ertai dengan tenaga dalam yang cukup tinggi, begitu
juga halnya yang dilakukan oleh lawannya. Maka saat
pukulan tangan dengan pedang itu saling bertemu,
maka tubuh mereka sama-sama tergetar hebat. Bah-
kan Maling Durjana sendiri merasakan tangannya
sampai terasa sakit dan berdenyut-denyut nyeri. Akan
tetapi di luar dugaan, Maling Durjana kirim satu ten-
dangan satu pukulan susulan yang memiliki kecepatan
luar biasa. Baja Kuning yang masih dalam keadaan
terhuyung-huyung itu kiranya masih belum siap den-
gan posisinya. "Weees...!"
"Deees...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, akibat pukulan yang
dilakukan lawannya membuat tubuh Baja Kuning ter-
lempar begitu jauh. Sangat telak sekali pukulan yang
dilakukan oleh Maling Durjana, sehingga membuat Ba-
ja Kuning tak mampu bergerak-gerak lagi untuk sela-
ma-lamanya. Mengetahui ketuanya tewas di tangan si
Maling Durjana. Pucatlah wajah belasan anak buah
Baja Kuning. "Hemm...! Hanya kalian yang masih hidup,
apakah kalian ingin panjang umur atau mau mampus
sekarang menyusul ketua kalian?" sentak Kincir Angin bukanlah hanya gertakan
kosong. "Kami ingin panjang umur, Tuan...! Jangan bu-
nuh kami... kami bersedia melakukan semua perintah
yang akan tuan-tuan berikan kepada kami. Asal saja
kami diberi hidup untuk melihat hari esok...!" ujar salah seorang di antara
mereka terbata-bata.
"Baik. Kalau kalian memang ingin tetap hidup,
mulai dari sekarang harus mengikuti semua perintah
yang kami berikan pada kalian... dan jangan sekali-kali
meninggalkan kami terkecuali ada ijin dari kami...!"
"Kami semua akan patuh kepada tuan...!" janji orang-orang sungai itu dengan
kepala mengangguk-angguk. Roda Paksi untuk selanjutnya memandang
pada kawan-kawannya yang berada di tempat itu.
"Kakang Kincir Angin, Adi Maling Durjana dan
Adi Lesmana...!" Semua-semuanya telah terjadi dengan keadaan yang begini
menyedihkan! Kakang Baja Kuning telah tewas, di tangan Adi Maling Durjana...!
Hal itu kukira tak perlu di sesalkan. Apa yang sekarang ini mengganggu pikiranku
adalah, apakah kita masih menunggu waktu terbaik untuk menyerang saudagar Le-
gawa itu...?" tanyanya, lalu melirik pada Lesmana yang sedari tadi hanya diam
saja. "Ttt... tidak begitu Kakang Roda Paksi! Menu-
rutku karena tak ada lagi persoalan di antara kita,
maka ada baiknya kalau kita berangkat sekarang ju-
ga...!" jawab Lesmana.
"Usul yang baik! Akupun merasa setuju kalau
kita berangkat sekarang juga...!" kata Kincir Angin.
Nampaknya masing-masing mereka yang berada di
tempat itu saling menyetujui apa yang baru saja dika-
takan oleh Lesmana. Itu makanya tak begitu lama ke-
mudian berangkatlah rombongan itu, untuk bergabung
dengan orang-orang Katemenggungan yang sudah ten-
tu telah pula bersiap-siap untuk melakukan penyeran-
gan ke rumah kediaman Saudagar Legawa.
*** 4 Matahari mengintip di upuk Timur, embun
yang menempel di ujung-ujung dedaunan luruh satu-
satu. Dan burung-burung masih tetap bermalas-
malasan di dalam sangkarnya. Udara memang terasa
begitu sejuk, karena daerah sekitarnya merupakan da-
taran tinggi yang sangat langka oleh musim kemarau.
Karena daerahnya yang subur. Maka tak begitu heran
jika di daerah itu tumbuh bermacam-macam kayu hi-
tam dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Dalam suasana
pagi seperti itu biasanya daerah Cagak Langit ini sunyi sepi. Tak seorang pun
kelihatan sedang melakukan ke-sibukan di sana.
Namun tidak demikian halnya yang terjadi di
pagi itu, dari kejauhan nampak berkelebat sesosok
bayangan tubuh menuju ke arah Utara. Orang yang
sedang melakukan1 perjalanan itu nampaknya dalam
keadaan tergesa-gesa. Terbukti, hampir sepanjang ja-
lan yang di tempuhnya. Secara terus-menerus dia
mengerahkan ilmu lari cepatnya. Kalau dilihat secara
seksama, maka semakin jelaslah bahwa orang yang


Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang melakukan perjalanan itu ternyata seorang
wanita, dengan rambut disanggul, badan kurus kering.
Sedangkan di bagian punggungnya menggelantung dua
bilah pedang yang tidak seberapa panjang dan besar-
nya. Karena badannya sedemikian kurus, maka dalam
keadaan berlari seperti itu tubuhnya nampak seperti
melambai-lambai ditiup angin. Namun perempuan tua
berusia sekitar lima puluh lima tahun ini sudah tiada menghiraukan hal itu. Dia
terus berlari-lari, semakin lama tubuhnya semakin menjauh melewati hutan-hutan
di sekitarnya. Di luar sepengetahuan si nenek, kiranya dalam
jarak yang tak begitu jauh. Nampak berkelebat pula
bayangan merah mengikuti kemana saja si nenek ber-
lari. Semakin lama jarak di antara mereka nampaknya
sudah semakin bertambah dekat. Sampai pada satu
kesempatan yang tiada dapat diduga-duga, sambil ber-
lari-lari. nenek bertubuh kerempeng itu menggempos
badannya. "Weeess...!"
Mendadak saja tubuh perempuan itu lenyap
bagai ditelan bumi. Orang yang menguntit di bela-
kangnya merasa kehilangan jejak. Kemudian celingu-
kan memandang ke arah sekelilingnya. Tapi pemuda
berkuncir itu tak melihat siapapun bersembunyi di
tempat itu. Sambil garuk-garuk kepalanya, pemuda ini
pun kemudian berucap seperti untuk dirinya sendiri:
"Wei... perempuan itu lenyap begitu saja. Pa-
dahal aku belum melihat tampangnya. Entah nenek-
nenek atau masih perawan... Sayang semestinya aku
tanyakan hal itu ketika masih berlari tadi. Jangan-
jangan orang itu sebangsanya kuntilanak kesian-
gan...!" gumam si pemuda masih tetap memperhatikan suasana di sekelilingnya.
"Tapi kuntilanak biasanya rambutnya panjang,
sedangkan orang itu disanggul. Pula di bagian pung-
gungnya menyandang dua bilah pedang...!"
"Bocah! Sejak tadi kau mengikuti terus, apa
yang kau inginkan!"
"Ee... aku hanya ingin melihat-lihat pemandan-
gan di sini...!" sahut si pemuda yang tak lain Buang Sengketa adanya.
"Hanya ingin melihat-lihat, tapi mengikuti aku
terus ke mana pun aku melangkah...?"
"Mungkin kita hanya kebetulan belaka...!" jawab si pemuda, lalu tersenyum-
senyum. "Kurang ajar... kau bilang hanya kebetulan..."
Kau kira aku tak tau sejak tadi kau terus mengekor di belakangku...?"
"Maaf orang tua! Sungguh aku tak punya niat
apa-apa, walau aku mengikutimu sejak tadi...!" ujar Pendekar Hina Kelana, lalu
mengangguk hormat.
Perempuan tua itu hentakkan kakinya bebera-
pa kali. Di luar dugaan tanah di sekitar tempat itu terasa bergetar bagai
dilalui lintasan gempa. Tingkah si nenek yang semula dianggap hanya iseng saja
oleh si pemuda sudah tentu berbalik dengan rasa kagumnya
terhadap tenaga dalam yang dimiliki oleh perempuan
ini. Dan akhirnya dia mengetahui bahwa nenek yang
sedang berdiri di hadapannya itu tak dapat dianggap
sembarangan, maka dengan gugup pemuda ini kembali
menjura hormat beberapa kali. Kemudian lanjutnya:
"Siapakah engkau ini orang tua" Maafkan aku karena aku yang bodoh ini telah
begitu berani mempermain-kanmu...!" Yang diajak bicara nampak diam saja,
sebaliknya matanya yang cekung menjorok ke dalam rong-
ga itu memandang sinis pada Buang Sengketa dari
ujung rambut hingga ke ujung kaki.
"Melihat tampangmu, rasanya aku baru kali
bertemu dengan seorang gembel berperiuk sepertimu!
Kalau kulihat lagi dengan mata hatiku, sungguhpun
gembel namun kau bukan pemuda sembarangan. Aku
si Bidadari Pedang Maut yang telah kehilangan bebe-
rapa orang murid kesayangan jadi ingin tahu. Apakah
kau cukup pantas melakukan sebuah penculikan
ataukah lebih pantas lagi untuk bersedia membantuku
dalam mencari murid-muridku yang hilang...!" kata si nenek berpedang kembar yang
ternyata ketua Perguruan Kerudung Biru yang berjuluk Bidadari Pedang
Maut. Buang Sengketa yang masih baru satu purnama
berada di daerah yang masih merupakan kekuasaan
Tumenggung Jayeng Rono, sudah barang tentu tidak
mengenal siapa adanya 'Bidadari Pedang Maut' ini. Apa yang dia ketahui dari
setiap gelagat yang tak baik adalah, mempertahankan diri dari segala kemungkinan
yang dapat mencelakakan dirinya sendiri.
"Orang tua, kurasa aku tak memiliki kesalahan
apa-apa denganmu, tapi mengapa secara tiba-tiba kau
malah bermaksud menyerangku...?" Nampaknya sia-
sia saja kata-kata bernada memberi peringatan yang
diucapkan oleh Buang Sengketa. Si nenek bagai orang
tuli sudah membuka jurus-jurus silatnya.
"Ah... orang tua ini agaknya jenis manusia sint-
ing! Susah diajak kompromi, dan bukan tak mungkin
dia memiliki maksud untuk membunuhku...!" batin
Buang Sengketa. Masih dalam keadaan terlolong-
lolong. "Bocah geblek! Kau jangan merasa mampu
mengatasi jurus-jurus silatku. Bersiap-siaplah!
Hiaaaat...!"
"Wuuus...!"
Begitu melakukan gebrakan pertama, Bidadari
Pedang Maut telah pula menurunkan pukulan tangan
kosong yang bernama, 'Bidadari Cakar Seribu'. Buang
Sengketa merasakan adanya sambaran angin pukulan
mengancam bahu sebelah kiri. Namun hatinya yang
dalam keadaan ragu-ragu itu, kiranya juga tidak men-
dukung posisi kuda-kuda si pemuda. Akibatnya sam-
baran angin yang sangat keras membuat tubuh si pe-
muda terdorong ke belakang dan terjengkang. Bidadari
Pedang Maut dari Perguruan Kerudung Biru ini nam-
paknya merasa belum puas sampai di situ saja. Dia te-
rus memburu, dan hantamkan pukulan-pukulan
mautnya secara gencar. Melihat gelagat yang ada,
Buang Sengketa menyadari bahwa nenek ceking ini
memang bermaksud untuk mengakhiri hidupnya. Sia-
papun adanya nenek berkepandaian tinggi ini, yang je-
las Buang Sengketa tak mungkin mau menerima begi-
tu saja. Selanjutnya dengan mempergunakan jurus
'Membendung Gelombang Menimba Samudra', Buang
Sengketa nampak mulai membuat satu pertahanan
yang sangat kokoh dengan jalan memutar kedua tan-
gannya sedemikian cepat. Sedangkan bagian kaki ka-
nan melakukan sapuan yang telak pada bagian perta-
hanan tubuh lawan bagian bawah.
Bidadari Pedang Maut kembali lakukan satu
sodokan keras, kaki si pemuda datang menyambut.
"Deees...!"
"Gubraaak...!"
Kali ini tubuh kurus Bidadari Pedang Maut ter-
lempar dua tombak. Celakanya bagian kepala perem-
puan itu ini menghantam sebatang pohon, dan pohon
sebesar dua pelukan orang dewasa itu pun tergetar,
tapi bukan itu yang membuat Bidadari Pedang Maut
menjadi uring-uringan, tetapi karena akibat benturan
dengan pohon tadi dia mendapat benjol di kepalanya
sebesar telur angsa. Bahkan selain itu, kepalanya juga jadi berkunang-kunang.
"Sudahlah orang tua! Di antara kita tak ada
permusuhan, untuk apa kita bertengkar?" kata Buang Sengketa mengingatkan. Tapi
sebaliknya Bidadari Pedang Maut menjadi gusar dan marah atas teguran
Buang Sengketa. Kemudian dengan rahang gemerta-
kan menahan amarah, nenek berbadan ceking ini
mencabut pedang kembarnya, "Sriiing... Sriiing...!"
Pedang di tangan Bidadari Pedang Maut nam-
pak berkilat keemasan ditimpa cahaya matahari yang
baru saja menampakkan diri di upuk Timur.
"Kau harus merasai dulu kehebatan jurus pe-
dang yang kumiliki...!"
"Aku tak memiliki kepandaian apa-apa, orang
tua. Aku bisa celaka di tanganmu...!"
"Kalau kau tak memiliki kepandaian apa-apa...!
Mungkin kau luput dari daftar orang-orang yang kucu-
rigai, namun tak pernah lepas dari maut...!" teriak Bidadari Pedang Maut.
Belum sempat si pemuda mengucapkan kata-
kata protes, senjata kembar di tangan ketua Perguruan Kerudung Biru itupun telah
berkelebat menyambar
bagian-bagian tubuh si pemuda dengan gencarnya.
Mempergunakan jurus Si Gila Mengamuk, pendekar
keturunan raja Ular Piton Utara ini mencoba menghin-
dari setiap babatan maupun tusukan pedang yang da-
tangnya secara sambung menyambung dan tiada kun-
jung henti. Tubuh Buang Sengketa terkadang nampak me-
liuk-liuk, di lain saat terhuyung-huyung dan bagai
orang yang akan terjerembat. Tetapi di saat lain, dengan gerakan yang tiada
terduga-duga pemuda ini me-
nerjang lawannya dengan kecepatan yang sangat sulit
untuk diikuti kasat mata.
"Hiaat...!"
"Weuuus...!"
"Kurang ajar! Nyeploss lagi...!" teriak si nenek begitu mengetahui serangannya
berhasil dihindari oleh pihak lawannya.
"Nih jurus Bidadari Menimba Sumur...!" gumam Bidadari Pedang Maut. Lalu sekali
saja tubuhnya melompat ke udara dengan satu gerakan yang sangat
manis, maka ketika tubuh kurus itu kembali melayang
turun. Dengan gerakan secepat Burung Walet me-
nyambar ikan. Bidadari Pedang Mautpun hantamkan
pedangnya mengarah pada bagian kepala si pemuda.
Buang merasakan adanya satu sambaran angin yang
sangat keras dari bagian atas kepalanya. Tanpa mera-
sa sungkan-sungkan lagi pemuda ini hantamkan tan-
gannya ke arah atas. Serangkum gelombang Ultra Vio-
let melesat sedemikian pesatnya ke arah si nenek cek-
ing yang hampir saja membacok bagian kepala lawan-
nya. Namun akhirnya dia harus mengurungkan niat-
nya, lalu membuang tubuhnya ke samping kiri saat dia
sendiri merasakan adanya sambaran hawa yang begitu
panas ke arah bagian dadanya.
"Weiii...!"
"Zeeet... serr...!"
Pukulan yang dilepas oleh Buang Sengketa le-
nyap begitu saja ditelan udara. Sebaliknya, begitu
menjatuhkan diri Bidadari Pedang Maut terus bergul-
ing-guling sambil babatkan pedang kembarnya ke arah
bagian kaki. "Wuuuk...!"
"Jreep...!"
Pedang yang menghantam kaki Buang Sengketa
melekat sedemikian erat, nenek ceking yang merupa-
kan ketua Perguruan Kerudung Biru menjadi terkejut
bukan alang kepalang. Namun kiranya diapun menjadi
penasaran juga. Tanpa menunggu lebih lama perem-
puan ini hantamkan pedang yang satunya lagi.
"Creep...!"
Tak jauh bedanya dengan apa yang telah terjadi
pada pedang pertama tadi. Kali inipun senjata di tan-
gan si nenek melekat sedemikian eratnya di bagian ka-
ki si pemuda. Bidadari Pedang Maut nampaknya juga
tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Dengan mem-
pergunakan sebagian tenaga dalamnya dia berusaha
menarik senjatanya yang semakin menempel erat di
kaki Buang Sengketa.
Namun sehebat apapun Bidadari Pedang Maut
mengeluarkan tenaga untuk membetot senjatanya. Ta-
pi tetap saja tidak mendatangkan hasil yang sebagai-
mana dia harapkan. Bahkan serang ketua Perguruan
Kerudung Biru itu mulai merasakan kehilangan tenaga
yang begitu besar. Pada kenyataannya saat itu Buang
Sengketa memang telah mempergunakan jurus Koreng
Seribu, peninggalan terakhir almarhum Gurunya, Si
Bangkotan Koreng Seribu.
"Heh...! Ilmu iblis... mengapa sekarang ini aku
menjadi sedemikian bodoh. Aku merasakan sejak tadi
tenagaku tersedot keluar. Ini berarti sifat ilmu yang dimiliki oleh pemuda aneh
ini menarik sebanyak
mungkin tenaga dalam yang dimiliki oleh lawannya. Itu sama saja artinya dengan
membuang tenaga dalam
percuma. Seharusnya aku menarik balik tenagaku...!"
batin ketua Perguruan Kerudung Biru ini. Kemudian:
"Chaaat...!"
Dengan tiada mengerahkan kekuatannya, si
nenek ceking menyentakkan senjatanya. Pedang terle-
pas, tubuh Bidadari Pedang Maut terguling-guling
dengan wajah pucat seputih kain kapan. Namun pe-
rempuan ini segera pula bangkit, lalu memandang ta-
jam pada Buang Sengketa yang tetap tegak di tempat-
nya sambil cengengesan.
"Bocah berperiuk! Siapakah engkau ini...?"
tanya ketua Perguruan Kerudung Biru tanpa merasa
malu. "Untuk apa kau tanyakan namaku, nenek pi-
kun...!" tukas si pemuda bersungut-sungut.
"Ah... kau masih marah dengan segala tinda-
kanku tadi...?"
"Mungkin saja tidak! Tapi karena engkau ham-
pir saja membelah kepalaku, sudah selayaknya kalau
aku marah...!" Sambutnya ketus.
"Hemm...! Maafkanlah aku...! Karena aku telah
berperasangka buruk padamu. Penampilanmu yang ti-
dak meyakinkan itu membuat aku mencurigaimu...!"
"Aku tak mengerti mengapa justru kau malah
mencurigaiku...! Padahal aku tak pernah membuat ke-
salahan di daerah ini...!"
"Omong kosong...! Pekerjaanmu membantu
saudagar Legawa saja sudah merupakan satu kesala-
han bagimu. Masihkah kau mau mungkir...?"
"He... orang ini mengetahui, aku membantu
saudagar Legawa! Padahal sebelumnya aku tak pernah
bertemu dengannya...!" batin Buang Sengketa.


Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tak perlu berpura-pura! Aku telah meli-
hatnya...!"
"Tapi aku hanya ingin menjernihkan suasana
yang keruh dalam keluarga kedua belah pihak...!"
"Omong kosong...!" dengus Bidadari Pedang
Maut. "Mereka yang kau bela, dan mereka yang memu-suhi sama-sama memiliki sifat
tamak. Tak berguna
kau membela mereka mati-matian... kau harus ingat
Katemenggungan sebagaimana biasanya tentu tidak
tinggal diam melihat orang-orang kepercayaannya te-
was di tanganmu..."
"Aku tak takut menghadapi siapapun...!" kata si pemuda ketus.
"Ah, sayangnya aku sedang banyak urusan
orang muda, kalau tidak aku ada minat melihat kehe-
batan seorang pendekar yang berjuluk, Si Hina Kelana
itu. Nantilah kalau urusanku mencari murid-murid
yang hilang sudah kutemukan. Dan nyawa masih me-
lekat di badanku, mudah-mudahan kau dapat bertemu
denganku...!" kata nenek ceking ketua Perguruan Kerudung Biru, lalu seperti tak
pernah terjadi sesuatu apapun di tempat itu, Bidadari Pedang Maut segera
pergi meninggalkan tempat itu.
"Aku seperti mengenali suaranya...! Suaranya
seperti seorang gadis muda. Tapi wajahnya sudah ke-
riputan dan tua... jangan-jangan dia merupakan...! Ah tak mungkin Wanti Sarati
berkeliaran di tempat ini...!"
batin si pemuda. (Untuk jelasnya siapa si Cantik Wanti Saraty, terdapat dalam
Episode Satria Penggali Kubur).
"Mudah-mudahan bukan dia...!" ujar si pemu-
da, kemudian tanpa menoleh-noleh lagi langkahnya
pun terayun menuju rumah kediaman Saudagar Lega-
wa. 5 Di atas batu-batu yang terdapat di depan gua,
setiap hari mayat-mayat yang terdiri dari kaum wanita berumur belasan tahun
bergelimpangan. Dan setiap
kali pembunuhan itu terjadi. Selalu saja diakhiri dengan sebuah doa yang
diucapkan dengan gumaman-
gumaman yang tak jelas. Biasanya setelah melam-
piaskan kemarahannya, Andika atau yang berjuluk Sa-
tria Pedang Asmara itu selalu menyunggingkan seulas
senyum puas. Selanjutnya terdengar pula untaian ka-
ta-katanya yang berpangkal dari galau masa lalunya:
Di sepanjang jalan berselimut kabut
Dalam lorong sepi tiada pelita...
Kegelapan menyambut datangnya sang Aku
Di sini ini... Dalam jurang nestapa,
Ada jiwa dibakar angkara murka.
Duh... Andai masih mungkin, ingin kugapai
bintang dan rembulan
Yang sunggingkan senyum mengejek,
Setiap diri berada dalam belengguh cinta...
Tapi mungkinkah"
Hari-hariku kini, sudah enggan bicara...
Tangan menyapa dengan ujung pedang berlu-
mur darah... Oh... Angkara, kau datang coba tepiskan dendam
Sebuah dendam lama yang membuat jiwa berge-
limang tanpa nyawa
Puaskah aku dengan semua yang kudapat"
Kujawab dengan kata puas...
Namun Pedang Asmara mengatakannya tidak
Lalu siapakah yang akan kuturut...
Andai setiap waktu maut datang menjemput...
Selalu saja seusai melantunkan bait-bait syair-
nya pemuda ini tergelak-gelak. Sebuah tawa yang se-
sungguhnya hanyalah merupakan penjelmaan rasa
pedih yang menyelimuti hatinya. Hanya dia sendiri
yang tau, apa sesungguhnya sedang terjadi di dalam
hatinya; Tak sampai sepeminum teh, pemuda berjubah
hitam dengan wajah coreng moreng ini memandangi
mayat-mayat tanpa darah yang saat itu sedang di-
usung oleh para anak buahnya, menuju jurang tempat
pembuangan mayat yang berada tak begitu jauh dari
tempat itu. "Peri Lingga!" sapanya, dingin. Perempuan yang berada tak begitu jauh dari
tempat si pemuda berdiri
nampak menoleh.
"Ada apa ketua...?" tanya perempuan wajah coreng moreng dengan sikap sungkan.
"Aku merasakan kehadiran tamu tak diundang
di sekitar tempat kita ini. Coba kalian periksa...!" perintah pemuda dari Lembah
Patah Hati ini dengan si-
kap acuh. "Kami akan melakukannya, Ketua...!" jawab Pe-ri Lingga. Selanjutnya dengan
gerakan yang sangat
ringan tubuh Peri Lingga dalam sekejaban saja telah
lenyap dalam kerimbunan pohon. Namun tiada dis-
angka-sangka, dari arah lain nampak melompat bebe-
rapa sosok tubuh menghampiri si pemuda yang berdiri
tegak dengan sikap menunggu.
"Jleeek...!"
"Jliiik...!"
Begitu menjejakkan kakinya di atas tanah dua
orang pendatang yang terdiri dari seorang kakek dan
nenek tua renta langsung menyerang Andika dengan
senjatanya yang berupa sebuah ruyung berwarna kun-
ing emas. Pemuda wajah coreng moreng ini memang
merasa terkejut dengan kehadiran dua tokoh ini. Na-
mun dia tak begitu terkejut dengan adanya serangan
yang dilakukan secara tiba-tiba ini. Dengan gerakan
yang sangat indah, Andika geser tubuhnya ke samping
satu langkah. Tapi senjata di tangan lawannya terus
memburu ke arahnya. Satu sambaran angin yang di-
timbulkan oleh senjata di tangan lawannya terasa me-
nerpa bagian wajah Andika. Ada hawa keji yang me-
nyertai berkelebatnya senjata itu.
"Haiiit!"
"Hemmm...!"
Dengan sekali lompatan yang tiada menimbul-
kan suara sedikitpun. Sepasang kakinya yang kokoh
berotot telah mendarat dengan mulus di atas sebong-
kah batu. Kakek nenek dengan ruyung mautnya terus
memburu. Dan secara hampir bersamaan hantamkan
ruyungnya ke arah bagian pinggang lawannya.
"Hiaaat...!"
Sekali lagi, pemuda wajah coreng moreng den-
gan sangat mudahnya menghindar. Senjata di tangan
Kisah Para Pendekar Pulau Es 12 Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Pendekar Pengejar Nyawa 13
^