Pencarian

Dendam Bidadari Bercadar 2

Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar Bagian 2


pekerti," gumam Ki Martanu setelah berdecak kagum.
Matanya masih memandang ke arah Pendekar Gila berkelebat pergi.
*** Sena Manggala melangkah masuk ke dalam kedai dengan tingkah lakunya yang lucu.
Pagi itu, kedai masih kelihatan sepi. Hanya ada empat lelaki yang tengah duduk
sambil menyantap makanan.
Melihat seorang pemuda tampan berpakaian
rompi kulit ular, pemilik kedai segera menemuinya.
Orang tua setengah baya itu menjura hormat. Dia memang sudah tahu siapa pemuda
itu. Cerita tentang
diri Sena sering didengarnya dari percakapan orang-orang persilatan yang singgah
di kedainya. "Selamat datang di kedaiku, Tuan. Silakan duduk.
Apakah yang bisa saya bantu, Tuan?" sambutnya dengan penuh hormat.
Sena menggaruk-garuk kepalanya ketika mendapatkan penghormatan begitu rupa.
"Ki, bisakah aku meminta sepiring nasi dan lauknya?" pinta Sena dengan bibir
cengar-cengir. Orang tua pemilik kedai tersenyum.
"Dengan senang hati, Tuan...."
Kemudian pemilik kedai segera berlalu me-
ninggalkan Pendekar Gila. Tak lama kemudian, seora gadis cantik jelita anak
pemilik kedai keluar dengan membawakan sepiring nasi dan sepotong ayam bakar.
"Silakan, Tuan," kata gadis cantik itu mem-persilakan.
"Ah, mengapa ayam bakar" Padahal uangku tidak cukup untuk membayarnya. Untuk
arak saja, rasanya masih kurang," gumam Sena dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Pemilik kedai tersenyum. Kemudian menghampiri Sena.
"Untuk Tuan, tidak bayar pun tak apa," katanya, membuat kening Sena berkerut.
Dipandanginya wajah pemilik kedai dan putrinya yang tersenyum manis. Keduanya
menganggukkan kepala dengan bibir terhias senyum.
"O, tidak bisa begitu, Ki. Bagaimanapun juga, kau berdagang. Tentu aku harus
membayarnya. Ah, aku ada uang hanya segini," Sena mengeluarkan tiga keping uang
emasnya, membuat mata pemilik kedai membelalak. "Bagaimana, Ki" Cukup...?"
"Ah, mengapa Tuan repot-repot" Saya memberinya dengan rela," kata pemilik kedai,
berusaha menolak bayaran yang besar itu.
Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala.
Bibirnya tersenyum.
"Tidak, Ki. Siapa pun harus membayar kalau makan di kedaimu. Terimalah...."
Pemilik kedai akhirnya menerima juga pembayaran itu. Sedangkan Sena dengan lahap
menyantap makanannya.
Saat itu, tiga lelaki berpakaian rompi hitam masuk ke kedai. Di pinggang mereka
terselip trisula. Mereka adalah Tiga Barka Kembar. Ketiganya melangkah penuh
kesombongan, dengan mata memandang
tajam ke sekeliling tempat itu.
"Aha, rupanya di sini ada bunganya juga, Kakang,"
kata Barka Bungsu ketika melihat seorang anak gadis pemilik kedai. Tangannya
mengelus-elus dagunya yang kasar. Matanya memandang tajam dan nakal pada gadis
itu. Mata gadis itu memandang dengan takut-takut seraya merapat pada tubuh ayahnya.
Begitu pula dengan pemilik kedai, setelah tahu siapa yang datang ke kedai
mereka. "Tiga Barka Kembar," desis pemilik kedai tegang.
"Hm.... Rupanya gadis itu anakmu, Ki?" tanya Barka Panengah.
Sedangkan Barka Sulung menghampiri pemuda berpakaian rompi kulit ular yang
gerak-geriknya lucu.
"Bagaimana kalau anakmu untukku, Ki?" lanjut Barka Panengah, lancang.
Barka Panengah dan Barka Sulung tertawa tergelak-gelak saat menyaksikan pemilik
kedai dan putrinya ketakutan. Lalu dengan mata berbinar nakal,
Barka Bungsu mendekati pemilik kedai dan anak gadisnya. Tangannya membelai dagu
gadis cantik itu.
"Cantik sekali kau, Cah Ayu...."
"Ah...! Kurang ajar...!" maki gadis cantik itu takut-takut.
"Jangan takut, Cah Ayu... Kalau kau menurut maka kau akan kujadikan istriku.
Kedai ayahmu, akan kami bangun menjadi kedai paling besar di wilayah ini.
Bukan begitu, Kakang?" kata Barka Bungsu pada kedua kakaknya. Tangannya semakin
nakal, bergerak ke arah dada gadis itu.
"Kurang ajar! Tuan, tolong...!" seru gadis itu ketakutan.
"Eh, siapa yang kau panggil tuan" Pemuda tolol itukah" Ah, mana berani dia pada
kami, Cah Ayu. Siapa nama anakmu, Ki?" tanya Barka Panengah.
"Milah, Tuan...," jawab pemilik kedai, masih ketakutan. "Jangan ganggu anakku,
Tuan." Kedua kakak beradik kembar itu tertawa bergelak-gelak. Semakin membuat pemilik
kedai dan anaknya ketakutan. Begitu juga dengan empat pengunjung kedai. Satu
persatu mereka meninggalkan tempat itu.
"Aku tak akan mengganggu, Ki. Asal kau berikan anakmu padaku untuk kujadikan
istri," kata Barka Panengah seenak perut.
Sementara, Pendekar Gila tampak mendengus.
Jelas, hatinya tak senang melihat tingkah ketiga orang itu.
"Rupanya ada tiga ekor lalat yang mengganggu makanku, Ki" Mengapa tidak kau usir
saja?" Tersentak Tiga Barka Kembar mendengar gerutuan pemuda berpakaian rompi kulit
ular yang ditujukan pada mereka.
"Kurang ajar! Siapa kau"! Berani benar kau
berkata lancang pada Tiga Barka Kembar, heh"!"
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tangan kirinya menggaruk-garuk kepala.
"Aha, rupanya tiga lalat itu semakin brengsek!
Huh...!" Pendekar Gila menyentak piring makannya.
seketika, benda itu melayang deras ke arah Barka Panengah dan Barka Bungsu yang
dekat dengan pemilik kedai.
Zwing! Mata Tiga Barka Kembar terbelalak menyaksikan hal itu. Cepat-cepat Barka
Panengah dan Barka Bungsu memiringkan tubuh ke belakang untuk mengelakkan
serangan piring yang dihentakkan oleh Pendekar Gila.
Jlep! Piring itu menancap telak di bangku penyangga kedai, membuat Tiga Barka Kembar
semakin membelalakkan mata.
"Kurang ajar! Kurencah tubuhmu, Pemuda Sombong!" maki Barka Sulung.
"Dia perlu dihajar, Kakang!" tambah Barka Bungsu.
Pendekar Gila tertawa tergelak-elak. Tuak yang ada di atas meja ditenggaknya,
kemudian sebelum ketiganya menyerang, disemburkannya tuak itu arah mereka.
"Cuihhh...!"
Semburan tuak itu menghantam wajah mereka, membuat Tiga Barka Kembar kepedihan.
Mulut mereka mencaci-maki sambil mendekap wajah.
"Setan alas! Sebutkan siapa namamu, sebelum kami kirim kau ke akhirat"!" bentak
Barka Sulung. Tubuhnya lalu berkelebat menyerang Sena, yang dengan cepat berkelit dengan
tangan menggaruk-garuk kepala.
"Kalianlah yang harus dikirim ke akhirat, Manusia-manusia Cabul!" dengus Sena.
"Tapi baiklah, agar kalian tidak penasaran di neraka sana, akan ku-jelaskan
siapa aku. Aku Sena Manggala. Orang-orang sering menyebutku Pendekar Gila dari
Gua Setan!"
"Kurang ajar! Rupanya kau...! Heaaa...!"
Tiga Barka Kembar menyerang serempak. Mereka tidak tanggung-tanggung untuk
mengeluarkan jurus-jurus andalan. Namun Pendekar Gila dengan enteng mengelakkan
serangan mereka. Jurus-jurusnya yang aneh, membuat Tiga Barka Kembar mengerutkan
kening. "Hai, aneh sekali jurus-jurusnya. Lalu, siapakah pemuda berbaju kuning yang
kutemui waktu itu?"
gumam Barka Sulung. Dengan kaget dia melompat mundur, mengelakkan serangan-serangan Pendekar Gila yang aneh.
Tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk laksana menari.
Sesekali tangannya menepuk. Gerakannya terlihat sangat lambat namun kenyataannya
mampu membuat Tiga Barka Kembar terperanjat kaget.
"Jurus gila!" maki Barka Panengah jengkel, ketika tangan Pendekar Gila menepuk
ke arah dadanya secara tiba-tiba. Kalau saja tidak segera melompat, sudah pasti
dadanya remuk terkena tepukan tangan itu.
Pendekar Gila masih bergerak. Tubuhnya meliuk-liuk mengelakkan serangan ketiga
lawannya. Tangannya sesekali menepuk.
"Heaaa...!"
Plak! "Ukh...!" keluh Barka Sulung. Tubuhnya terlontar deras keluar, kemudian jatuh
setelah menabrak orang. Yang ditabrak langsung pingsan. Sedangkan
Barka Sulung meringis dengan bibir berdarah.
Melihat Barka Sulung dalam beberapa gebrakan saja dapat dikalahkan oleh pemuda
tampan yang tingkahnya seperti orang gila itu, seketika nyali Barka Panengah dan
Barka Bungsu ciut. Dengan segera, keduanya berkelebat meninggalkan kedai.
Mengambil tubuh kakaknya, lalu melesat pergi.
"Hai, tunggu...!" seru Sena, berusaha menghentikan Tiga Barka Kembar. Namun
ketiganya yang sudah ketakutan, tak mau menghiraukan seruan itu.
Mereka terus berlari.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya.
Dengan tersenyum-senyum, dihampirinya pemilik kedai dan putrinya yang juga
tersenyum padanya.
"Maafkan apa yang telah kuperbuat, Ki," kata Sena, menyesali hal yang telah
terjadi di kedai itu.
"Ah, tidak apa-apa, Tuan. Bahkan kami sangat berterima kasih atas pertolongan
Tuan," jawab pemilik kedai.
"Sudahlah, Ki. Tak usah berkata begitu. Siapakah ketiga orang kembar itu, Ki?"
tanya Sena kemudian.
"Mereka orang jahat yang cabul. Mereka bernama Tiga Barka Kembar."
"Baiklah, Ki. Aku hendak mengejar mereka. Aku mohon pamit."
Usai berkata begitu, Pendekar Gila berkelebat laksana terbang meninggalkan
pemilik kedai dan anaknya yang terperangah menyaksikan bagaimana pendekar itu
menghilang dengan cepat
LIMA Waktu berlalu dengan cepat. Tidak terasa dua tahun telah berlalu. Saat itu di
sebuah gua, seorang wanita muda dengan tekun mempelajari ilmu-ilmu yang
diturunkan oleh gurunya. Wanita muda yang tidak lain Wulandari, dengan cepat
dapat menyerap semua ilmu Nyi Kendil. Penyebabnya adalah dendam yang terus
membara di hatinya, menjadikan semangatnya untuk berlatih bagaikan api yang tak
pernah padam. Setiap hari dia berlatih hingga dalam waktu singkat semua ilmu si
nenek dapat dikuasainya.
Wulandari yang dulu lemah, kini telah menjadi sosok wanita cantik yang memiliki
ilmu tinggi. Pakaian yang dikenakannya bukan lagi pakaian wanita desa, melainkan pakaian
seorang pendekar.
Berbaju merah jambu dan celana dengan warna sama. Kepalanya juga bertudung merah
jambu. Sedangkan wajahnya tertutup secarik kain merah darah sebatas kelopak mata.
"Semua ilmu yang kumiliki, telah semuanya kau kuasai. Maka kini kau harus
menggantikanku, Wulan..."
Sesaat Nyi Kendil menghentikan ucapannya.
Dihelanya napas dalam-dalam.
"Semula aku hendak turun ke rimba persilatan.
Namun kini aku urungkan, sebab aku telah mendapat pengganti. Nah, berangkatlah.
Carilah musuh-musuhmu," lanjutnya.
"Terima kasih, Guru. Wulan mohon pamit..."
Nyi Kendil mengangguk, kemudian mengiringi
langkah muridnya ke pintu gua yang masih tertutup.
Ditekannya telapak tangan pada dinding gua, lalu pintu gua itu seketika terbuka.
"Pergilah dengan hati yang tetap. Ingat, jangan, kembali lagi kemari...," pesan
Nyi Kendil setelah melepas muridnya yang akan turun ke rimba persilatan.
"Baik, Nek...," jawab Wulandari. Setelah menjura, Wulandari meninggalkan gua
tempat gurunya dengan dendam membara di hati.
Wulandari terus berlari meninggalkan tempat itu menerobos hutan yang ada di
hadapannya tanpa merasakan gentar sedikit pun.
Ketika telah berada di tengah hutan, tiba-tiba telinganya yang sudah terlatih
mendengar suara gemerisiknya daun kering terinjak kaki manusia.
Wulandari cepat menghentikan larinya. Matanya yang tajam menyapu ke
sekelilingnya. Telinganya dipasang tajam pula, berusaha mengetahui di arah mana
suara itu berasal.
Kresek! "Hm, ada tiga orang lelaki. Nampaknya mereka!
bukan bermaksud baik. Kebetulan sekali," gumam Wulandari. Matanya terus
mengawasi semak-semak yang ada di sekelilingnya dengan tajam.
Benar juga dugaannya. Dari semak-semak,
berlompatan tiga orang lelaki bertampang angker mengenakan rompi hitam. Tak
urung membuat wanita berpakaian merah jambu itu terkejut.
Napasnya turun naik, sedangkan matanya
memandang tajam penuh kebencian pada tiga orang itu.
"He he he...! Rupanya di hutan seperti ini menemukan seorang wanita, Kakang...!"
seloroh salah seorang dari ketiga lelaki bertampang kasar itu, yang tiada lain Barka
Bungsu. "Ya, kebetulan sekali.... Lama kita bersembunyi di hutan ini dari kejaran
Pendekar Gila. Akhirnya kita dapat juga seorang wanita," timpal Barka Sulung
sambil terkekeh, menunjukkan giginya yang kuning.
Wulandari masih diam. Hanya matanya yang tajam memperhatikan gerak-gerik ketiga
lelaki yang nengingatkan kembali akan peristiwa dua tahun silam. Ketiga lelaki
inilah yang telah menyiksa suaminya dan hampir saja memperkosanya.
"Hendak ke manakah kau, Nona" Mengapa mesti terburu-buru" Bukankah lebih baik
bersama kami dulu...?" goda Barka Panengah dengan bibir cengengesan. Ketika
tangannya hendak menjamah dada wanita itu, tiba-tiba si wanita menyentak.
Trak! "Auh...!" Barka Panengah memekik, matanya melotot tegang memandang wajah wanita
itu. Dia tidak nenduga kalau hentakan tangan wanita itu mampu membuat tulang
tangannya terasa nyeri.
Bukan hanya Barka Panengah saja yang terbelalak menyaksikan gerakan si wanita
yang begitu cepat dan keras. Kedua saudaranya juga terkejut.
"Heh, rupanya kau bukan wanita sembarangan, Nona," gumam Barka Sulung sambil
mengelus dagunya. "Tapi aku lebih senang dengan wanita sepertimu."
"Kalian memang laki-laki bajingan yang harus kusingkirkan dari dunia ini!
Bersiaplah. Heaaa...!"
Wulandari yang sudah tidak dapat menahan amarah dan dendamnya, segera
melancarkan serangan.
Tubuhnya membungkuk, sementara tangan kanannya menyambar ketiga lelaki itu.
Sedangkan tangan kiri
bergerak mencengkeram ke arah kemaluan mereka.
Bukan alang-kepalang terkejut ketiga lelaki berpakaian rompi hitam menyaksikan
gerakan serangan wanita berpakaian merah jambu itu. Mereka tak menduga sama
sekali, kalau wanita itu akan melakukan serangan yang cepat.
''Heaaa...!"
Hampir saja selangkangan mereka menjadi korban cengkeraman tangan kiri wanita
itu, kalau saja mereka tidak segera mengelak ke belakang. Mata mereka saling
pandang, kemudian dengan cepat ketiganya balik menyerang.
"Heaaa...!"
Tiga Barka Kembar merangsek Wulandari berbareng dengan melancarkan pukulan yang
masih ringan. Sengaja mereka menggunakan seperempat tenaga dalam, karena
menganggap lawan yang mereka hadapi bukanlah lawan berat. Apalagi mereka belum
tahu kehebatan wanita itu di rimba persilatan.
Tubuh Tiga Barka Kembar bergerak memutari Wulandari yang masih diam dengan
membuka kedua tangannya. Sesekali mereka menggoda. Tangan Tiga Barka Kembar
serentak menjulur ke dada wanita itu, namun dengan cepat Wulandari mencelat ke
atas. Kedua tangannya direntang lebar, kemudian ditarik ke atas dan dilanjutkan dengan
menghentak ke bawah.
"Heaaa...!"
Serangan pembuka yang dilancarkan Tiga Barka Kembar seketika morat-marit,


Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manakala Wulandari melakukan serangan balasan yang tak mereka duga sama sekali.
Serangan yang dilakukan oleh Wulandari benar-benar mengagetkan mereka. Dengan
melompat mundur, Tiga Barka Kembar berseru
kaget... "'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap'...!"
Mata Tiga Barka Kembar terbuka lebar, dan tak percaya dengan apa yang mereka
lihat. Setahu mereka, yang memiliki jurus seperti itu adalah seorang tokoh
wanita tua yang akhir-akhir ini tak terdengar lagi rimbanya. Namun kini, tiba-
tiba jurus itu kembali nampak. Tapi dimainkan oleh seorang wanita yang dilihat
dari penampilannya masih muda belia.
"Nona, ada hubungan apa kau dengan Nyi Kendil?"
tanya Barka Sulung dengan mata memandang heran pada Wulandari yang tersenyum
sinis. "Apa pun hubunganku dengan wanita yang kau sebut, kau tak perlu tahu! Yang
jelas, nyawa kalian harus kurenggut! Heaaa...!"
Tanpa menunggu lawan bersiap-siap lebih dahulu, Wulandari kembali melancarkan
serangan. Jurus
'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap' yang
mengejutkan Tiga Barka Kembar, kini semakin dipercepat. Lagi-lagi ketiganya
tersentak kaget. Mau tak mau, mereka harus mengelakkan serangan lawan yang ganas
dan mematikan. Wulandari tak berhenti sampai di situ. Tangannya yang mengembang kian membabat
gencar. Tangan kanannya menyerang ke ulu hati, sedangkan tangan kiri bergerak
untuk mencengkeram selangkangan lawan. Gerakannya sangat cepat, hingga mampu
membuat Tiga Barka Kembar tersentak.
"Celaka! Dia benar-benar ingin membunuh kita!"
pekik Barka Bungsu sambil mengelakkan serangan lawan yang cepat dan mematikan.
Sesekali Barka Bungsu menggeser ke samping, kemudian kakinya menendang ke arah
dada lawan. Namun serangan
yang dilancarkannya senantiasa berantakan, sebab lawan telah mendahuluinya
dengan cepat. "Heaaa...!"
Jurus yang digunakan lawan memang bukan jurus sembarangan. Kehebatan dan
keganasan jurus
'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap', sudah mereka dengar sejak lama.
Barka Sulung dan Barka Panengah membantu.
Namun, kembali mereka harus melontarkan tubuh ke belakang, sebab wanita bercadar
merah darah itu telah berbalik menyerang dengan cepat arah mereka.
"Heaaa...!"
Tubuh Wulandari yang merunduk, bergerak cepat.
Kedua tangannya yang menyerang bergantian bantu dan susul. Hal itu membuat kedua
lawannya tak memiliki kesempatan untuk balas menyerang satu kali pun.
"Celaka! Wanita ini benar-benar telah menguasai semua ilmu yang dimiliki Nyi
Kendil...!" keluh Barka Sulung semakin kaget, saat menyaksikan ke-sempurnaan
jurus-jurus yang dikeluarkan Wulandari.
Sepertinya, mereka tengah berhadapan dengan Nyi Kendil sendiri.
Wulandari yang dendamnya masih membara, tak banyak omong. Dia benar-benar
berusaha membunuh ketiga lelaki itu secepat mungkin. Serangan-serangannya kian
lama kian ganas. Tangannya yang mencengkeram dan menyodok, laksana dua buah
senjata tajam yang digerakkan dengan tenaga dalam penuh.
Kedua tangan wanita itu bergerak laksana tiada henti. Satu ke ulu hati lawan,
sedangkan yang kedua selangkangan. Bukan itu saja. Kakinya pun tidak tinggal
diam. Kakinya turut bergerak, menyapu, atau
menendang ke arah selangkangan.
Barka Sulung dan Barka Panengah berusaha
mengelit, kemudian dengan cepat keduanya
menyodorkan pukulan ke dada lawan. Namun
keduanya segera mengurungkan niat, manakala secara cepat dan tiba-tiba tangan
lawan telah mendahului menyerang. Kalau saja mereka meneruskan serangannya,
tidak ampun lagi buah
selangkangan mereka akan hancur tercengkeram tangan Wulandari.
"Awas Panengah...!" seru Barka Sulung mengingatkan adiknya. Sedangkan tubuhnya
dengan cepat melompat. Sementara kakinya berusaha menepiskan tangan lawan.
Rupanya gerakan yang dilancarkan Barka Sulung dimanfaatkan Wulandari dengan
baik. Wanita muda bercadar merah itu secepat kilat menarik tangan kanannya,
kemudian seluruh serangannya tertuju pada Barka Panengah.
"Heaaat..!"
Mendapatkan serangan cepat yang ditujukan padanya, Barka Panengah tersentak. Dia
berusaha melompat mundur untuk mengelakkan serangan lawan. Tangannya melepas
satu pukulan maut Tapi Wulandari menepiskan pukulan itu dengan
entengnya. Hanya dengan mengebutkan selendang-nya, pukulan maut 'Serat Sapta
Geni' tingkat kelima yang dilancarkan Barka Panengah dapat dimusnahkan.
Mata Barka Panengah membelalak kaget. Sama sekali tak diduga kalau pukulan
mautnya dapat dimusnahkan hanya oleh kebutan selendang. Saking terpana
menyaksikan pukulan mautnya dapat dimusnahkan awan, Barka Panengah tak sempat
mengelakkan serangan susulan lawan. Hingga....
Crak! "Akh...!" Barka Panengah memekik keras, ketika tangan lawan mencengkeram
kemaluannya. Seketika kemaluan laki-laki itu pecah berantakan dan menyemprotkan darah. Barka
Panengah langsung memegangi kemaluannya dengan mata membelalak. Sesaat tubuhnya meregang,
kemudian ambruk ke tanah. Tewas!
"Panengah...!" seru kedua saudaranya dengan mata membelalak saat menyaksikan
Barka Panengah mati dengan keadaan mengerikan. Kemaluannya hancur akibat
cengkeraman tangan wanita bertudung merah jambu.
Melihat kedua lawan lain masih terkesiap
menyaksikan kematian saudaranya, tanpa membuang waktu lagi Wulandari kembali
melancarkan serangan.
"Heaaa...!"
Tangannya bergerak semakin cepat. Satu
mengancam dada lawan, sedangkan tangan yang lain arah selangkangan.
Barka Sulung dan Barka Bungsu terkejut
mendapat serangan tiba-tiba itu. Beruntung keduanya segera mengelak. Sehingga
mereka tidak mengalami nasib seperti Barka Panengah. Kemudian dengan penuh
amarah, keduanya balik menyerang berbareng.
"Heaaa...!"
"Kubunuh kau! Heaaa...!" Wulandari yang memendam dendam kepada Tiga Barka
Kembar, semakin ganas melancarkan serangan" Wanita bercadar merah itu, laksana
seekor harimau betina yang garang. Tangannya mencakar ke arah lawan bertubi-
tubi. Menjadikan serangan kedua lawannya
porak-poranda. "Kalian harus mampus! Yeaaa...!"
Wulandari terus merangsek dengan cengkeraman-cengkeraman ke arah selangkangan
lawan, membuat kedua lawannya semakin terdesak hebat.
Dalam keadaan di ujung tanduk itu, Barka Sulung dan Barka Bungsu segera
mengeluarkan senjata masing-masing. Tangan kedua saudara kembar itu kini
tergenggam trisula. Keduanya berusaha menusukkan senjatanya ke arah lawan, namun
tetap saja mengalami kegagalan. Gerakan lawan terlalu cepat dan sulit diterka.
Lincah laksana kupu-kupu terbang. Gesit laksana harimau betina yang mengamuk.
"Celaka...!" pekik Barka Bungsu kaget dengan wajah tegang ketika serangan lawan
yang cepat mengarah padanya. Tangannya berusaha membabatkan trisulanya ke tangan
lawan. Ternyata dugaannya meleset.
Wulandari menarik tangannya menyerang, lalu segera mengirim tendangan telak ke
selangkangan lawan. Tanpa ampun lagi, tendangan keras Wulandari tidak sempat
dihindari Barka Bungsu.
Begk! "Aaakh...!" Barka Bungsu memekik keras. Trisula di tangannya lepas. Tangannya
kini memegangi selangkangannya yang pecah. Matanya membelalak tegang. Mulutnya
hendak bersuara, namun nyawanya telah melayang. Tubuh Barka Bungsu ambruk dengan
keadaan mengerikan.
"Kau..."!"
Menyaksikan kedua saudaranya mati, nyali Barka Sulung ciut. Tanpa berpikir
panjang, tubuhnya segera berkelebat untuk lari meninggalkan tempat itu.
Namun Wulandari tidak mau melepas lawan begitu saja.
"Mau lari ke mana kau, Bajingan"! Heaaa...!"
Tubuh Wulandari melesat cepat, bersalto di udara lalu tangannya bergerak cepat
menghantam tubuh Barka Sulung dengan keras.
Desss! "Aaakh...!" Barka Sulung memekik keras.
Kemudian, sambil membalikkan tubuh dipandanginya Wulandari dengan mata melotot.
Kemudian tubuhnya ambruk dengan nyawa melayang.
"Ha ha ha...! Akhirnya aku dapat membalas semuanya! Kakang, lihatlah! Lihatlah
dari akhirat, kala istrimu akan mencabut jantung mereka!"
Bagaikan orang gila, Wulandari tertawa tergelak-gelak. Kemudian dengan penuh
kebengisan, tangan Wulandari bergerak menusuk dada Tiga Barka Kembar yang telah
binasa. Crakkk! Tangan Wulandari menyeruak masuk ke dalam dada Barka Sulung, kemudian tangannya
mencengkeram jantung lawan. Ditariknya jantung lawan, rongga dadanya. Kemudian
dengan tangan berlepota darah, Wulandari mencengkeram kemaluan lawannya dan
dibetotnya sampai putus. Diangkatnya jantung dan kemaluan lawan tinggi-tinggi.
"Kakang Selo, lihatlah! Ini jantung dan kemaluan mereka yang kupersembahkan
padamu! Semoga kau tenang di alam sana!"
Wulandari kembali tertawa tergelak-gelak sambil meremas-remas jantung dan
kemaluan lawan yang telah dibetot dari tubuh Barka Sulung. Setelah itu, kembali
Wulandari membetot kemaluan dan jantung Barka Bungsu dan Barka Panengah dengan
buas. Diremasnya sampai hancur. Kemudian mulutnya mengumandangkan tawa bagai orang
gila. Setelah puas melakukan semuanya, Wulandari berlalu. Tempat itu kembali sepi.
Tinggal tiga tubuh tergeletak mengerikan. Dada mereka berlubang dan kemaluan
mereka hilang. ENAM Seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular melangkah menyelusuri hutan belukar.
Pemuda tampan dengan tingkah laku seperti orang gila itu tiada lain Sena
Manggala yang lebih terkenal dengan sebutan Pendekar Gila dari Gua Setan. Saat
itu Sena tengah memburu tiga orang yang telah lama dicari-carinya. Matanya
sempat melihat mereka masuk ke dalam hutan itu.
"Ah, bodoh sekali aku ini! Mengapa aku membiarkan mereka lolos begitu saja"
Tolol...!" Sena sambil menggaruk-garuk kepala bagai orang bodoh.
Kemudian keningnya ditepuk dengan tangan
sedangkan tangan kanannya masih menggaruk-garuk kepala. Kakinya terus melangkah
untuk memasuki hutan lebat itu.
Langkah Sena tertahan kctika melihat seorang wanita berpakaian merah jambu
berlari ke arahnya.
Tangan wanita bercadar merah itu berlumuran darah.
Mata Sena seketika membelalak, sedangkan
mulutnya menganga bodoh.
Hai, mengapa tangan wanita itu berlumuran darah" Apa yang telah dilakukannya..."
Gumamnya, masih belum percaya pada apa yang baru saja dilihatnya. Kemudian
terdengarlah gelak tawa dari mulutnya.
"Ha ha ha...!" .
Sena tertawa bergelak sehingga tubuhnya turut terguncang-guncang. Tangan
kanannya menggaruk-garuk kepala, sedangkan tangan kirinya mengorek
telinga. Hal itu membuat wanita yang tak lain Wulandari itu menghentikan
langkahnya. Matanya memandang tajam ke arah Sena yang masih tertawa terpingkal-
pingkal. "Diam...!" bentak Wulandari keras.
Sena menghentikan tawanya. Namun tangannya masih menggaruk-garuk kepala.
Mulutnya cengengesan. Kemudian terdengar dari mulutnya suara cekikikan....
"Hi hi hi...!"
Mata Wulandari semakin tajam memandangi
wajah pemuda di hadapannya. Tingkah laku serta gerak-gerik pemuda itu tak ada
bedanya dengan orang gila. Inikah Pendekar Gila itu" Hm, sungguh berbeda dengan
pemuda yang telah memperkosa dan membunuh suamiku. Gumam Wulandari dalam hati.
Sena masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Tatapannya mengarah tak
menentu. Terkadang pada daun-daun pohon menghijau. Dan sesekali tertuju pada Wulandari.
Kemudian Sena kembali tertawa tergelak-gelak, ketika matanya tertuju pada cadar
yang dikenakan Wulandari.
"Lucu.... Lucu sekali dunia ini. Ah ah ah.... Rupanya dunia ini penuh kelucuan.
Mengapa wanita secantikmu menutupi wajah dengan cadar. ." Aneh....
Hi hi hi...!" Sena cekikikan. Lalu tubuhnya melompat-lompat seperti kera dengan
tangan menggaruk-garuk kepala.
Wulandari mengerutkan kening. Dia masih belum percaya pada apa yang kini
dilihatnya. Pendekar Gila yang dulu memperkosanya dan membunuh suaminya, bukan
pemuda gila yang kini berada di hadapannya.
"Siapa kau"!" bentak Wulandari. "Apa urusanmu
dengan perbuatan yang kulakukan?"
Sena terus tertawa. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan menarik
napas panjang ditatapnya Wulandari lekat-lekat.
"Ah, apalah artinya namaku. Hi hi hi.... Lucu..., mengapa kau menanyakan namaku"
Bukankah kau tak ada urusan denganku?" kata Sena balik bertanya.
"Ah, sudahlah.... Aku tak ada waktu. Maaf, aku harus pergi."
"Tunggu...!"
Sena segera menghentikan langkahnya. Tubuhnya berbalik menghadap ke arah
Wulandari. Kepalanya digaruk-garuk dengan mulut memperlihatkan senyum bodoh.
"Ah, apakah ada sesuatu yang membuat kau menghentikan langkahku?" tanya Sena.
"Ya!" jawab Wulandari ketus.
Sena tersenyum.
"Ah, kurasa antara kita tak pemah saling kenal.
Ada apa...?"
Wulandari tak langsung menjawab pertanyaan pemuda tampan namun bertingkah laku
gila itu. Matanya malah mengawasi Sena dari ujung rambut hingga ujung kaki. Semuanya lain
dengan pemuda yang memperkosanya dan membunuh suaminya.
Pakaian pemuda itu berlengan panjang, berwarna kuning. Sedangkan pemuda
bertampang gila ini mengenakan baju rompi terbuat dari kulit ular.
Wajahnya pun lain. Lebih tampan pemuda di hadapannya sekarang.
Sena yang diperhatikan begitu rupa oleh wanita yang sebagian wajahnya tertutup
secarik kain merah itu kembali cengengesan sambil garuk-garuk kepala.
Wajahnya ditengadahkan, memandang ke atas.
Lama juga Wulandari ragu. Hatinya diusik
pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa secepatnya dijawab. Mungkinkah pemuda
berbaju kuning yang dicarinya telah mengubah penampilan dan wajahnya menjadi
pemuda yang kini di hadapannya"
Tapi dendam yang menggelegak di dadanya
membuat dia tidak ingin berpikir lebih lama. Dia menjadi yakin kalau pemuda yang
kini dihadapinya adalah lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.
"Melihat tingkah lakumu, sepertinya kau orang gila.
Namun dari pakaian yang kau kenakan, tampaknya kau dari orang rimba persilatan.
Maka itu, aku yakin kaulah orang yang kucari. Mesti kau berganti muka seribu
kali, aku tak akan dapat kau kibuli. Hiaaat..!"
Tanpa banyak kata lagi, Wulandari melabrak Sena dengan ganas. Tubuhnya
membungkuk, dengan kedua tangan mengembang dan menyerang. Tangan kanannya
menyambar ke ulu hati, sedangkan tangan kirinya bergerak mencengkeram ke
selangkangan Sena.
Sena yang tak tahu apa-apa, terkejut menyaksikan wanita tak dikenal itu
menyerangnya. Sambil menggaruk-garuk kepala serta kening berkerut, pendekar muda
itu melompat ke belakang
mengelakkan serangan lawan.
"Eh, mengapa kau menyerangku, Nisanak?" tanya Sena berusaha memahami apa
kesalahannya. Namun Wulandari yang sudah yakin kalau pemuda itulah yang memperkosanya serta
membunuh suaminya tak mau berhenti. Apalagi di hatinya tersirat api dendam pada orang-
orang rimba persilatan.


Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wulandari terus menyerang dengan jurus 'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap' yang
telah mampu membinasakan Tiga Barka Kembar. Tangannya
bergerak cepat, satu menyambar ke arah ulu hati, sedangkan yang satunya
mencengkeram ke arah selangkangan Pendekar Gila. Tubuhnya membungkuk, sedangkan
kaki-kakinya bergerak menyapu dan terkadang menendang.
"Hei, mengapa wanita cantik ini menyerang ke arah selangkangan?" tanya Sena
heran. Dia terheran-heran menyaksikan jurus-jurus yang dilancarkan Wulandari.
"Apa yang ingin dilakukannya?"
"Nisanak, tunggu...! Mengapa kau menyerangku?"
tanya Pendekar Gila sambil mengelakkan serangan Wulandari dengan cara
menggerakkan tubuhnya ke sana kemari dan berputar laksana menari. Kadang
tubuhnya membungkuk, tengadah atau limbung ke samping.
"Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Gila! Kau harus mampus di tanganku!
Heaaat..!"
Wulandari semakin bemafsu untuk secepatnya menjatuhkan Pendekar Gila.
Serangannya dilipat-gandakan. Tangannya yang menebas dan men-
cengkeram semakin cepat bergerak. Begitu juga dengan sepasang kakinya.
Pendekar Gila yang masih belum mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh
wanita itu, mau tidak mau harus bergerak mengelitkan serangan-serangan lawan
yang mengarah pada tempat-tempat mematikan. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari.
Kakinya melangkah ke belakang dan ke samping mengelakkan sambaran kaki lawan.
"Nisanak, mungkin kau salah sangka! Tunggu, hentikan seranganmu!" pinta Sena
berusaha menyadarkan wanita berpakaian merah jambu dengan sebagian wajah
tertutup kain merah.
"Pengecut! Keluarkan jurus-jurus yang dulu pernah
kau tunjukkan di depanku! Jangan hanya mengelak saja...!" bentak Wulandari
semakin berang, menyaksikan Pendekar Gila hanya mengelak dan belum berusaha
menyerang. Pendekar Gila yang kebingungan mendapatkan serangan itu hanya menggaruk-garuk
kepala. Tubuhnya terus meliuk-liuk sambil sesekali tangannya menggaruk-garuk kepala. Dia
masih kebingungan dan bertanya-tanya mengapa wanita yang baru saja bertemu
dengannya tiba-riba menyerang.
Sambil terus mengelakkan serangan lawan,
Pendekar Gila menguras pikirannya. Jurus-jurus aneh.
Mengapa selalu mengarah ke selangkangan" Ah, mengapa wanita secantik ini berlaku
begitu" Tanyanya dalam hati.
"Nisanak, hentikanlah! Sungguh aku tak mengerti akan maksudmu...!" seru Pendekar
Gila sambil melompat ke belakang. Kemudian dia berdiri sambil menggaruk-garuk
kepala. Wulandari yang melihat Pendekar Gila menghindar dan melompat ke belakang, dengan
cepat memburu. Tangan dan kakinya masih bergerak menyerang. Hal itu membuat Pendekar Gila
semakin kebingungan.
Dia sama sekali tidak memahami keinginan wanita itu. "Nisanak, kenapa kau ini"
Tak ada hujan, tak ada badai, mengapa kau menyerangku?" tanya Pendekar Gila
masih berusaha menyadarkan wanita yang meyerangnya. Namun semuanya sia-sia,
wanita itu tetap saja menyerangnya.
"Jangan banyak omong! Keluarkan ilmumu, kalau kau tak ingin mati percuma...!"
sentak Wulandari sambil terus bergerak menyerang.
Pendekar Gila mengangkat kakinya tinggi-tinggi
kemudian melompat ke samping kanan mengelakkan serangan tangan kiri lawan.
Sedangkan tubuhnya dicondongkan ke samping, kemudian tangannya menepis serangan
tangan kanan lawan.
Desss! Benturan terjadi, membuat keduanya melangkah dua tindak ke belakang. Pendekar
Gila garuk-garuk kepala. Sedangkan Wulandari melotot penuh amarah pada Sena.
"Bagus! Memang itulah yang aku inginkan! Jadi aku tidak percuma membunuhmu!
Heaaa..." Usai berkata begitu, Wulandari kembali melancarkan serangan. Kali ini gerakannya
sangat cepat. Kedua tangannya menyerang ke arah bawah, dengan cengkeraman-cengkeraman yang
mengarah ke titik kematian. Itulah jurus 'Kupu-kupu Hinggap Sambil Menghisap
Madu'. Kedua tangan Wulandari bergerak cepat saling bergantian dengan cengkeraman-
cengkeraman yang mematikan ke selangkangan lawan. Tubuhnya membungkuk, kakinya
menyapu dan menendang.
Kemudian kedua tangannya bergerak naik ke arah dan berakhir ke muka lawan.
Pendekar Gila yang merasakan desiran angin serangan wanita itu, dengan cepat
bergerak mengelit.
Dia tidak ingin menjadi korban kesalahpahaman. Itu sebabnya, sampai sejauh itu
dia belum juga melakukan serangan balasan. Pendekar Gila hanya mengelit dengan
meliuk-liukkan tubuh, menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
*** "Keparat! Rupanya kau benar-benar ingin mempermainkan aku, Pendekar Gila! Jangan
salahkan kalau aku akan membunuhmu seperti membunuh anjing! Heaaa...!"
Dengan penuh amarah, Wulandari yang merasa dipermainkan Pendekar Gila
mempercepat serangannya. Tangannya bergerak kian cepat, disambung oleh tendangan
dan sapuan kakinya.
Pendekar Gila yang masih belum tahu duduk persoalannya, mengerutkan kening
sambil bergerak mengelak.
"Heaaa...!"
"Nisanak, tidak bisakah kau hentikan seranganmu" Kita bicara baik-baik...."
Belum juga selesai Pendekar Gila, tiba-tiba Wulandari telah merangsek kembali ke
arahnya dengan serangan-serangan yang mengarah ke kemaluan. Kalau Pendekar Gila
tidak cepat mengelak, niscaya kemaluannya akan tercengkeram tangan lentik tapi
garang itu. "Jangan banyak omong! Heaaa...!"
Wanita itu benar-benar tak dapat diajak bicara baik-baik lagi. Serangan-
serangannya sangat berbahaya, disertai tenaga dalam yang cukup sempurna.
Lengah sedikit saja, celakalah Pendekar Gila. Yang lebih mengerikan, sasaran
serangannya tertuju ke selangkangan, tepatnya ke arah kemaluan.
"Edan! Dunia ini memang sudah gila. Hi hi hi...
Bagaimana mungkin wanita secantikmu meng-
gunakan jurus cabul...?" Sena tertawa tergelak-gelak sambil terus bergerak
mengelakkan serangan yang dilancarkan oleh Wulandari. Tubuhnya meliuk-liuk
laksana menari. Ketihatannya lamban, namun setiap kali Wulandari berusaha
menyerang, tahu-tahu
tubuhnya telah berpindah tempat.
Mendapatkan serangannya tak mengenai sasaran, Wulandari semakin bertambah marah.
Serangannya dipercepat, berusaha menjatuhkan lawan dengan cepat. Namun hasilnya
tetap saja nihil.
"Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar mencari mampus! Jangan harap kau akan
lepas dari tanganku! Heaaa...!"
Wulandari semakin penasaran mendapatkan
lawan yang aneh. Meski gerakan lawan kelihatan lemah namun senantiasa sulit
diduga. Setiap kali dia menyerang, dengan cara meliuk pemuda tampan itu
mengelak. Liukan tubuh Pendekar Gila terlihat lentur sekali namun tahu-tahu
tubuh pemuda itu telah berpindah tempat.
"Nisanak, maaf... aku tak ada waktu lagi bercanda denganmu! Heaaa...!" Pendekar
Gila menggerakkan tangannya ke depan dan menepuk. Sebuah rangkaian gerakan dari
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
Gerakannya pelan dan lamban.
Wulandari yang melihat gerakan tangan lawan yang menepuk lamban, segera memapaki
dengan pukulan telapak tangannya. Kedua tangan mereka saling beradu.
Desss! "Ukh...!" Wulandari mengeluh tertahan.
Tubuhnya terhuyung ke belakang. Sedangkan tangannya terasa panas bagai membara.
Belum juga keseimbangannya dapat dijaga, tiba-tiba Pendekar Gila telah menepuk
kembali punggungnya. Hingga dalam waktu cepat, tubuh Wulandari telah tertotok.
"Nah, Nisanak! Aku tak ada waktu untuk meladeimu. Antara kita tak ada silang
sengketa. Dalam waktu sebentar, totokan itu akan hilang
dengan sendirinya. Selamat tinggal."
Usai berkata begitu, sambil menggaruk-garuk kepala Pendekar Gila meninggalkan
Wulandari yang masih memperlihatkan sinar penasaran pada wajahnya. Mulutnya
mengumpat tak menentu.
Sedangkan Pendekar Gila meninggalkan tempat itu dengan menerobos hutan.
Pendekar Gila terus melangkah, menyelusuri hutan untuk mencari ketiga orang yang
tengah diburunya.
Dia telah jauh meninggalkan Wulandari yang masih tertotok dan berdiri mematung
dengan pandangan penuh amarah.
Sambil bernyanyi-nyanyi, Pendekar Gila terus melangkah. Telinganya dipasang
tajam-tajam. Matanya pun menyapu ke sekelilingnya dengan pandangan tajam. Tangannya
menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
Kakinya terus melangkah, semakin bertambah jauh meninggalkan Wulandari. Sejauh
itu, belum juga Pendekar Gila menemukan tanda-tanda ketiga lelaki yang
dikejarnya. "Ah, bodoh sekali aku ini!" seru Sena tiba-tiba sambil menepuk keningnya.
"Mengapa aku tidak menanyakan pada wanita itu, apakah dia melihat tiga lelaki
berompi hitam" Huh, tolol... tolol sekali.
Sesaat Sena menghentikan langkahnya. Dan
berdiri tegak dengan kening berkerut Tangannya menggaruk-garuk kepala. Sementara
wajahnya nampak cengengesan seperti orang bodoh. Kemudian kepalanya digeleng-
gelengkan. Lalu perjalanannya dilanjutkan mencari ketiga orang itu.
"Ah, biarlah... Akan kucari sendiri. Aku yakin mereka masuk ke dalam hutan ini,"
gumamnya seperti orang bodoh sambil melangkah menyelusuri
jalan setapak di dalam hutan.
Baru beberapa langkah Pendekar Gila melanjutkan perjalanannya, tiba-tiba matanya
melihat tiga sosok tubuh tergeletak berpencar.
"Hei, bukankah tiga orang itu yang kucari"'
tanyanya pada diri sendiri.
Pendekar Gila mempercepat langkahnya agar segera sampai di tempat ketiga tubuh
itu tergeletak.
Sesampainya di tempat itu, betapa terkejut Pendekar Gila menyaksikan pemandangan
yang mengerikan.
Sampai-sampai matanya membelalak dengan mulut menganga. Tangannya menggaruk-
garuk kepala dengan wajah terlihat bodoh. Dari mulutnya keluar gumaman setengah
mengeluh.... "Wuah..., mengapa jadi begini" Ah, rupanya aku telah didahului orang lain...."
Pendekar Gila memandangi ketiga mayat yang keadaannya mengerikan.
"Ah, benar!" ujarnya seketika. "Ini pasti perbuatan wanita bercadar merah itu.
Ck ck ck..., keji! Sungguh keji sekali! Hm, ternyata dia bukan wanita
sembarangan. Dia berbahaya... Tapi, siapa dia sebenarnya..." "
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan menggunakan ilmu larinya,
pemuda tampan itu melesat meninggalkan ketiga mayat Tiga Barka Kembar menuju
tempat Wulandari tertotok.
"Aku harus menanyakan pada wanita itu, mengapa dia melakukan perbuatan keji,"
bisik Sena sambil mempercepat larinya, dengan harapan dapat menemukan Wulandari.
Namun sesampainya di tempat itu, Pendekar Gila tidak menemukan wanita berbaju
merah jambu itu lagi.
Sesaat pandangan Sena beredar ke tempat itu,
namun tidak juga ditemukan tanda-tanda kalau wanita itu masih berada di sana.
"Hei, ke mana wanita itu?" gumamnya sambil menggaruk-garuk kepala. "Huh, bodoh
lagi! Ah mengapa aku bodoh terus" Dia bukan wanita baik-baik. Aku harus
mencarinya...."
Kemudian dengan tertawa tergelak-gelak
mengejutkan hewan penghuni hutan, Pendekar Gila me meninggalkan tempat itu untuk
mengejar wanita cadar merah yang sangat telengas perbuatannya.
TUJUH Di sebuah tempat yang jauh dari hutan di mana Pendekar Gila tengah mengejar
wanita bercadar merah yang tindakannya keji, nampak dari kejauhan sebuah pedati
ditarik dua ekor kuda melaju dengan pelan dan tenang. Sebagaimana ketenangan
wajah laki setengah baya yang menjadi kusir pedati itu.
Mata lelaki itu memandang tajam ke depan. Sesekali menyapu ke kanan dan kirinya.
Pakaiannya berwarna putih perak. Kumisnya tebal melintang di atas bibir.
Sedang kepalanya diikat dengan kulit rusa.
Melihat dari ciri-cirinya, kusir pedati itu bukanlah orang biasa. Dia tidak lain
Ki Martanu, yang lebih terkenal dengan sebutan Sabit Kembar dari Timur.
Seperti julukannya, Ki Martanu bersenjatakan sepasang sabit, dan berasal dari
wilayah timur. Ki Martanu dengan tenang mengendarai
pedatinya. Sesekali mulutnya berdecak, dengan tangan menghentakkan tali kekang
kuda. "Hiya, hiya...! Ayo, jalanlah dengan tenang,"
katanya pada kedua kuda yang menarik pedatinya.
Bagaikan mengerti, kedua kuda penarik pedati itu pun melangkah dengan tenang.
Di belakang pedati, berjalan lima orang murid utamanya. Pakaian mereka sama,
hanya bedanya tidak berlengan. Kalau Ki Martanu mengenakan lengan panjang putih
perak, kelima muridnya rompi putih perak. Di tangan kanan kelima murid utama itu
terdapat peti berukir indah. Tangan kiri memegang tombak. Pedang tersandang di
punggung mereka.
Wajah mereka masih muda, kuning bersih dan tampan. Mata mereka tajam memandang
lurus ke depan.
Di dalam pedati, sepasang mempelai muda tengah bercanda penuh kebahagiaan. Yang
lelaki, adalah anak Ki Martanu. Sedangkan perempuan cantik di sisinya adalah
anak Ki Genda Aren yang menjadi tumenggung di Pandan Laras.
Kedua mempelai itu baru melangsungkan pernikahan beberapa puluh hari yang lalu.
Belum sampai sebulan, atas permintaan Ki Tumenggung, mereka diboyong dari
rumahnya. Saat pedati melaju dengan tenang, tiba-tiba kuda penarik pedati itu meringkik.
Kemudian kedua kuda itu ambruk dan mati. Hal itu membuat Ki Marta tersentak
kaget, matanya membelalak dan dengan ringan melompat turun dari pedatinya.
Tubuhnya salto, kemudian turun dengan enteng menjejak kaki di tanah.
"Keparat!" maki Ki Martanu marah, manakala melihat kuda-kudanya mati karena
jarum-jarum beracun yang dilontarkan seseorang. Sedangkan di Di dalam pedati,
terdengar jerit ketakutan menantunya.
Mata Ki Martanu memandang tajam ke sekelilingnya. Napasnya kelihatan memburu,
menunjukkan kalau lelaki setengah baya itu benar-benar marah.
Dari belakang, kelima murid utamanya berlari ke arahnya.
"Ada apa, Guru?" tanya Wikala.
"Ada yang menyerang kuda-kuda kita," dengus Ki Martanu masih menampakkan
kemarahannya. Matanya kembali menyapu ke sekelilingnya, mencari orang yang telah melontarkan
jarum-jarum beracun.
"Pengecut yang telah menyerang kuda-kudaku,
keluarlah!"
Didahului desingan puluhan jarum yang melesat ke arah mereka, sebuah bayangan
warna merah jambu berkelebat keluar dari balik semak-semak.
Zwing! Zwing...!
Ki Martanu dan kelima muridnya tersentak kaget, cepat-cepat mereka melontarkan
tubuh ke belakang dan bersalto untuk mengelakkan serangan jarum-jarum maut itu.
Setelah kaki mereka menjejak tanah kembali, Ki Martanu dan kelima muridnya
dengan gusar memandang wanita yang kini tegak di hadapan mereka dengan sikap
menantang. Wanita itu berpakaian merah jambu dengan separuh wajah tertutup kain
merah. "Siapakah kau, Nisanak" Kenapa kau menyerang kami?" tanya Ki Martanu dengan
suara tenang. Matanya mengawasi wanita yang berdiri tiga tombak di depannya.
"Hi hi hi...! Siapa pun aku, kau tak perlu tahu! Yang jelas, kau harus
menyerahkan anak lelakimu yang ada di dalam pedati!" dengus Wulandari setelah
tertawa cekikikan.
Mendengar jawaban tak bersahabat tadi, lima murid utama Ki Martanu merasa kalau
wanita itu telah mempermainkan guru mereka. Lima murid utama itu hendak
menyerang. Dengan cepat orang tua itu mencegahnya.
"Nisanak, antara kita tak ada silang sengketa.
Kuharap Nisanak sudi memberi jalan pada kami,"


Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata Ki Martanu.
Wulandari kembali tertawa. Matanya kemudian memandang tajam ke arah Ki Martanu.
"Orang tua, sebelum kau menyerahkan mempelai lelaki padaku, aku tak akan
membiarkan kalian
lewat!" "Kurang ajar!" maki murid Ki Martanu yang bernama Aji Genter. Wajahnya seketika
memerah, pertanda kemarahannya telah memuncak. "Guru, wanita ini kutampar
mulutnya."
"Sabar, Genter," kata Ki Martanu tenang.
Kemudian pandangannya dialihkan pada wanita di hadapannya. "Nisanak, untuk apa
kau meminta anakku" Antara kau dan anakku tak ada silang sengketa juga, kan?"
"Ya!" jawab Wulandari ketus.
"Lalu, untuk apa kau memintanya" Sedar anakku sudah beristri?"
Wulandari tertawa melengking, membuat Ki
Martanu dan kelima muridnya mengerutkan kening.
Mereka tak mengerti dengan sikap wanita itu.
"Untuk apa" Hi hi hi.... Jelas untuk kujadikan budak yang akan memuaskan
keinginanku!" Wulandari seenaknya sambil tertawa cekikikan.
"Wanita jalang!" maki murid Ki Martanu yang bernama Abiyani. Ketika pemuda itu
hendak menyerang wanita di depannya, Ki Martanu cepat mencegahnya dengan
merentangkan tangan.
"Nisanak, kalau itu yang kau inginkan, dengan menyesal aku tak dapat
mengabulkan...."
Bibir Wulandari tersenyum sinis mendengar jawaban orang tua setengah baya itu.
"Kalau begitu, kalian harus mampus! Heaaa...!"
bentaknya tiba-tiba.
Wanita berpakaian merah jambu dengan sebagian wajah ditutupi oleh kain merah
darah itu dengan cepat melakukan serangan. Kedua tangannya mengembang, kemudian
bergerak menyilang. Tangan kanan ke arah ulu hati, sedangkan tangan kiri
mencengkeram ke arah selangkangan. Sementara tubuhnya agak membungkuk, dengan
kedua kaki bergerak teratur, yang terkadang melakukan tendangan.
Melihat serangan itu Ki Martanu terkejut dengan mata membelalak.
'"Kupu-kupu Emas Merentang Sayap'...!" desis Ki Martanu tanpa sadar.
Ada senyum angkuh di bibir Wulandari
menyaksikan Ki Martanu terkejut melihat jurusnya.
Ki Martanu yang sudah tahu kehebatan serangan lawan, cepat-cepat mengelak ke
belakang. Dia bermaksud menahan kelima muridnya, namun
mereka telah melesat untuk memapaki serangan wanita itu dengan tombak.
"Heaaa...!"
Dengan tombak di tangan, kelima murid utama Ki Martanu berusaha merangsek lawan.
Mereka melakukan gerakan mengurung. Tombak di tangan mereka menusuk serentak ke tubuh
lawan yang membungkuk.
Mendapat serangan kelima lawannya, dengan cepat Wulandari melenting ke atas.
Kemudian turun dengan enteng di luar kurungan mereka.
Melihat lawan telah lolos dari kurungan, cepat-cepat kelima murid utama Ki
Martanu bergerak mengurung kembali. Tombak di tangan mereka kembali menusuk
dengan ganas. "Tembus...! Heaaa...!"
Sebatang tombak mengancam tubuh Wulandari.
Dengan cepat Wulandari memiringkan tubuh ke samping. Hingga tombak itu melesat
di sampingnya. Kemudian dengan cepat Wulandari melompat ke atas lalu tubuhnya hinggap di tombak
itu bagai seekor
cicak. Melihat wanita muda itu berada di atas tombak temannya, murid utama Ki Martanu
yang berada belakang bergerak menyerang. Tombaknya ditusuk-kan ke arah tubuh
lawan. Namun dengan cepat Wulandari kembali melompat ke atas. Tak ampun lagi
tombak itu menusuk dada temannya sendiri.
Jrab! "Akh...!"
Murid Ki Martanu yang bernama Lanang Jingga memekik. Tangannya melepaskan golok
yang digenggamnya. Kini kedua tangannya memegangi tombak yang menembus dadanya.
Sedangkan rekannya yang bernama Seta Gawe terperangah. Dia tidak menyangka kalau
tombaknya akan menusuk teman sendiri. Wulandari tak menyia-nyiakan kesempatan
itu. Kakinya yang masih mengambang di udara, direntangkan untuk menendang wajah
Seta Gawe. Dugk! "Ukh...!" Seta Gawe memekik. Tubuhnya terhuyung ke belakang dengan tangan
menutupi wajahnya yang terasa sangat sakit dan perih.
Menyaksikan kedua temannya jatuh, ketiga murid lainnya kembali menyerang dengan
ganas. Tombak di tangan mereka berkelebat menusuk dan membabat ke arah lawan.
Namun Wulandari dengan mudah mengelakkannya. Kemudian wanita berpakaian merah
jambu itu balik menyerang dengan jurus 'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap'.
Sepasang tangannya bergerak cepat. Yang kanan menusuk ke arah ulu hati Abiyani.
Sedangkan tangan kirinya, bergerak mencengkeram ke arah selangkangan Rudali.
Dibarengi tendangan ke belakang,
kaki kanannya mengancam Sengkapi.
"Heaaa...!"
Mendapat serangan balik yang begitu cepat, ketiga murid utama Ki Martanu yang
belum siap menjadi terkejut. Dengan cepat tangan mereka memutar tombak di depan
tubuh, berusaha menangkis serangan lawan.
"Heaaa...!"
Tombak di tangan mereka berputar cepat laksana baling-baling, hingga tak lagi
terlihat. Yang nampak hanyalah warna gading bulat yang melindungi tubuh
ketiganya. Melihat ketiga lawannya memerisai diri dengan tombaknya, Wulandari tidak
kehilangan akal. Cepat-cepat serangannya ditarik, kemudian dengan cepat tubuhnya
melenting ke udara. Lalu menukik ke bawah, tepat di belakang salah seorang dari
mereka. Tangan kanannya langsung menyerang arah
punggung, sedangkan tangan kirinya mengarah kemaluan lawan.
Menyadari ada bahaya, pemuda itu membalikkan tubuh. Namun tiba-tiba sebuah
tendangan cepat melesat ke wajahnya.
Pemuda itu berusaha menepiskan tendangan
wanita muda itu dengan membabatkan tombak di depan wajahnya. Tapi serangan itu
rupanya hanya sebuah pancingan Wulandari belaka. Ketika pemuda itu memutar
tombak di depan wajahnya, secepat itu pula Wulandari menarik tendangannya.
Sedangkan tangan kirinya yang bebas, segera bergerak mencengkeram kemaluan
lawan. Crak! "Akh...!"
Pemuda itu menjerit, ketika terdengar suara
pecahnya alat kemaluannya. Matanya seketika melotot tegang, dan tubuhnya
meregang, kemudian ambruk tanpa nyawa. Darah mengalir dari selangkangannya.
Mata Ki Martanu terbelalak menyaksikan perbuatan keji wanita muda itu.
"Keji! Biadab...!" makinya gusar.
*** Wanita bercadar merah itu tersenyum sinis.
Matanya melotot menunjukkan kebengisan. Sepertinya tak gentar sedikit pun
menghadapi lelaki setengah baya yang namanya cukup kondang itu.
Bahkan dengan suara sinis dan sombong, wanita itu bertanya...
"Bagaimana, Ki" Apakah kau mau menyerahkan anakmu?"
"Bedebah! Jangan kau kira semudah itu, Betina!"
maki Ki Martanu gusar.
Kesabaran lelaki setengah baya itu sudah habis.
Napasnya turun-naik dengan rahang terkatup rapat.
Matanya yang tajam, semakin bertambah tajam memandang ke arah wanita bercadar
yang masih tersenyum sinis.
"Jadi kau menolaknya, Ki"!" tanya wanita itu tengah mengancam.
"Kurang ajar! Langkahi dulu mayatku! Heaaa...!"
Ki Martanu yang sudah tak dapat menahan
amarah segera melabrak Wulandari yang tertawa mengejek.
Melihat Ki Martanu mulai menyerang, kedua muridnya yang masih hidup segera
membantu. Hingga Wulandari harus kembali menghadapi
keroyokan tiga orang.
"Heaaa...!"
Meski dikeroyok tiga orang, tidak menjadikan nyali Wulandari ciut. Dengan tenang
wanita itu mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan Ki Martanu dan kedua
muridnya. Bahkan sesekali Wulandari balik menyerang dengan jurus 'Kupu-kupu Emas
Merentang Sayap' yang telah mampu
menjatuhkan tiga murid Ki Martanu.
Ki Martanu yang mengetahui ilmu lawan setingkat dengannya, tidak mau gegabah
dalam menyerang.
Dengan menggunakan jurus 'Rusa Melompat
Menyeruduk', Ki Martanu bergerak menyerang.
Kakinya melangkah lebar dengan kaki di depan ditekuk. Tangannya memukul ke arah
dada. Sedangkan tangan kirinya membuat pertahanan dengan membentuk siku.
"Heaaa...!"
Kedua muridnya yang turut menyerang tak tinggal diam. Keduanya pun segera
menusukkan tombaknya ke arah lawan dari samping kiri dan kanan. Seakan hendak
memanggang wanita itu hidup-hidup. Melihat serangan serentak yang dilancarkan
oleh Ki Martanu dan kedua muridnya, dengan cepat Wulandari merundukkan tubuh
sambil menggeser kaki dua tindak ke belakang. Sedangkan tangannya bergerak
menyambar ke samping. Tombak di tangan murid-murid Ki Martanu melewati beberapa
rambut di atas punggungnya. Sedangkan pukulan yang dilancarkan Ki Martanu
mengenai tempat kosong beberapa jengkal di depan tubuhnya.
Setelah berhasil mengelakkan serangan ketiga penyerangnya, Wulandari kembali
menggebrak. Kini, tangannya yang membentang digerakkan menyilang.
Tangan kanan ke atas, mengarah ke dada lawan di sebelah kiri. Dan tangan kirinya
mengarah ke selangkangan lawan di sebelah kanan. Sedangkan tubuhnya masih
merunduk, dengan kaki kiri menendang ke depan.
Ki Martanu tersuruk mundur sambil mengebaskan tangan kirinya ke arah kaki lawan.
Sedangkan kedua muridnya berusaha memagari tubuh yang menjadi sasaran dengan
tombaknya. Melihat kenyataan itu, cepat-cepat Wulandari menarik semua serangannya. Kemudian
dengan berguling ke tanah, Wulandari memusatkan serangan pada lawan di samping
kanannya. Tangannya bergerak cepat. Mencengkeram dan menghantam ke perut serta
selangkangan lawan.
"Heaaa...!"
Lawan yang diserang terkejut Dia berusaha melindungi tubuh dengan tebasan
tombaknya. Namun gerakannya kalah cepat. Tangan kiri Wulandari telah lebih dulu meremas
selangkangannya dengan keras.
Crak! "Akh...!"
Pemuda itu memekik. Tangannya yang memegang tombak, seketika beralih memegangi
kemaluannya yang pecah. Matanya melotot, tubuhnya menegang.
Kemudian ambruk ke tanah dengan darah meleleh dari selangkangannya.
Menyaksikan hal itu, Ki Martanu semakin bertambah marah. Orang tua separuh baya
itu dengan garang kembali melancarkan serangannya.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu, Perempuan iblis! Heaaa...!"
Dengan pukulan dan tendangan keras dan
beruntun, Ki Martanu terus berusaha merangsek lawannya. Sepertinya lelaki
setengah baya itu tak mau membeikan kesempatan sedikit pun pada lawan untuk
mengembangkan serangan.
Wulandari yang mendapatkan serangan beruntun seperti itu, tidak nampak gentar.
Tubuhnya meliuk-liuk bagai menari. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri
mengelakkan pukulan dan tusukan tangan lawan.
Kakinya pun bergerak lincah, terkadang melebar dan menutup untuk menghindari
sambaran-sambaran kaki lawan.
Untuk sementara Ki Martanu mampu mendesak lawan. Hingga lawannya kini hanya
mengelak dan menghindar dari serangan serangan yang dilancarkannya.
"Kau harus mampus, Wanita Iblis! Heaaa...!"
"Apakah tidak sebaliknya, Ki"! Heiiit...!" ejek Wulandari sambil berkelit ke
samping untuk mengelakkan serangan lawan. Kemudian dengan cepat dia balas
menyerang. Tangannya bergerak membuka. Tangan kanan ke arah pinggang lawan,
sedangkan tangan kiri mengarah ke selangkangan lawan.
Ki Martanu yang sudah melihat kehebatan
serangan itu, dengan cepat menarik mundur kakinya, berusaha mengelakkan serangan
itu. Kemudian tangannya meluncur ke dada lawan.
"Jebol dadamu, Iblis! Heaaa...!"
"Uts...!"
Wulandari menarik tangan kanan yang menyerang ke pinggang lawannya. Kemudian
dengan cepat menangkis tangan lawan yang memukul ke arah dada. Sedangkan tangan
kiri dan kaki kanannya masih melancarkan serangan.
Melihat lawan menangkis, Ki Martanu segera menarik pukulan tangan kanannya.
Kemudian disusul dengan tendangan kaki kanan ke arah lawan.
Pertarungan terus berlangsung dengan serunya.
Puluhan jurus telah mereka keluarkan untuk dapat menjatuhkan lawan. Sejauh itu,
nampaknya belum ada yang akan memenangkan pertarungan itu.
Keduanya masih sama-sama gesit dan lincah.
Ki Martanu terus berusaha merangsek dengan serangan-serangannya. Namun wanita
berpakaian merah jambu pun tak mau kalah. Setelah berhasil mengelakkan serangan
lawan, dengan cepat
Wulandari balas menyerang.
Tubuh Wulandari kini melenting ke angkasa, kemudian menukik ke bawah dengan
tangan siap meremukkan tubuh Ki Martanu.
"Heaaa...!"
Ki Martanu yang melihat jurus lawan, segera memapakinya dengan memukulkan kedua
Seruling Sakti 9 Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Pengelana Rimba Persilatan 4
^