Pencarian

Dendam Bidadari Bercadar 3

Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar Bagian 3


tangan ke atas. Tanpa dapat dicegah, bentrokan tangan mereka pun terjadi.
Degkh! Tubuh Wulandari terlontar kembali ke angkasa, sedangkan kaki Ki Martanu
terpendam sebatas betis ke dalam tanah. Rupanya ketika terjadi bentrokan tadi,
keduanya sama-sama mengerahkan tenaga dalam penuh.
Wulandari terhuyung ke belakang beberapa tindak.
Mulutnya melelehkan darah. Matanya masih
memandang tajam ke arah Ki Martanu yang juga melelehkan darah dari mulutnya.
"Heaaa...!"
Murid utama Ki Martanu yang masih hidup
melesat untuk menyerang lawan yang belum siap.
Namun belum juga tubuhnya sampai, Wulandari telah mengebutkan lengan bajunya.
Dan dari dalam bajunya, mendesing ratusan jarum maut ke arah pemuda itu.
Si pemuda tersentak dengan mata melotot. Dia tak mampu lagi mengelakkan serangan
jarum itu. Tanpa ampun lagi, jarum-jarum itu menghunjam sekujur tubuhnya.
Jlep, jlep, jlep!
"Aaakh...!"
Murid Ki Martanu memekik. Sesaat tubuhnya meregang dengan warna biru, kemudian
ambruk ke tanah tanpa nyawa.
Menyaksikan muridnya mati, Ki Martanu memekik keras. Tubuhnya melesat cepat ke
arah Wulandari yang saat itu ikut memekik sambil bergerak ke arah lelaki
setengah baya itu.
"Heaaa...!"
"Yiaaat..!"
Keduanya siap dengan pukulan maut di tangan masing-masing. Tangan mereka
kelihatan membara bagai sinar bintang, melesat di udara. Kemudian dengan sama-
sama menggunakan tenaga dalam penuh, keduanya kembali bertarung. Pukulan-pukulan
maut tangan mereka, bergerak mencari sasaran.
Desss! "Ukh...!" Wulandari mengeluh. Tubuhnya terdorong mundur.
"Akh...!" mulut Ki Martanu memekik keras.
Tubuhnya juga terdorong mundur beberapa langkah.
Namun keadaan lelaki setengah baya itu nampak parah. Di dadanya terhunjam
puluhan jarum maut.
Mata Ki Martanu melotot. Dari mulutnya semakin banyak darah berwarna hitam
mengalir. "Kau.... Li..., cik.... Akh...!" ujar Ki Martai terbata.
Kemudian, tubuhnya ambruk dengan warna biru.
Menyaksikan lawan-lawannya telah binasa,
Wulandari tersenyum sinis. Kemudian dengan cepat tubuhnya bergerak ke dalam
pedati di mana sepasang mempelai berada. Tidak begitu lama, terdengar jeritan
seorang wanita. Disusul oleh pekik kematian yang menyayat.
Ternyata Wulandari telah membunuh mempelai wanita, sedangkan mempelai lelaki,
kini dalam keadaan tertotok. Dibopongnya tubuh mempelai lelaki itu pergi.
Tinggallah tempat pembantaian yang kembali sepi, dengan gelimpangan mayat-mayat
bermandi darah.
Di angkasa, burung-burung pemakan bangkai berteriak girang, melihat mayat-mayat
yang menunggu disantap.
DELAPAN Seorang pemuda tampan berompi kulit ular sanca tampak berlari sambil tertawa
tergelak-gelak seperti orang gila. Terkadang sambil melompat, pemuda itu
menepuk-nepuk pantat atau menggaruk-garuk kepalanya. Pemuda tampan bertampang
gila itu tiada lain Sena Manggala atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Gila dari
Gua Setan. Dia tengah mencari seorang wanita berpakaian merah jambu dengan
sebagian wajah tertutup cadar merah.
"Celaka..., celaka...! Mengapa aku begitu tolol?"
gumam Sena berulang-ulang, menyesali diri yang dianggapnya telah melakukan
ketololan. Bagaimana mungkin dia melepas begitu saja seorang wanita yang sepak
terjangnya terlalu telengas dan keji"
Sena terus berlari, berusaha memburu Wulandari.
Namun sampai sejauh itu, belum juga ditemukan tanda-tanda akan bertemu dengan
wanita itu. "Weleh, kalau begini terus, tidak ubahnya main petak umpet. He he he...!" Sena
kembali tertawa sambil garuk-garuk kepala. Kemudian pemuda itu melangkah biasa.
Kepalanya menggeleng-geleng lemah.
Ketika kakinya hendak meneruskan langkah, tiba-tiba matanya yang tajam melihat
sesuatu yang menarik perhatiannya. Seketika langkahnya berHenti.
Dari ke-jauhan tampak sosok-sosok tergeletak.
Sepertinya telah terjadi sesuatu di tempat itu.
"Heh, seperti habis terjadi pertarungan. Ah, benar...."
Sena segera melangkah ke tempat itu.
Sesampainya di sana, ditemukannya beberapa sosok tubuh tergeletak tanpa nyawa
dan dua ekor kuda yang juga telah mati dengan tubuh membiru.
Diamatinya mayat-mayat itu dengan seksama.
Wajahnya menjadi tegang dengan mata membelalak, manakala melihat sesuatu yang
mengerikan di selangkangan beberapa mayat.
"Ah, rupanya dia telah datang di tempat ini...,"
gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian matanya menyapu ke sekeliling, berusaha meyakinkan kalau-kalau wanita
itu sudah tidak ada di di sekitar tempat itu.
Setelah merasa yakin tak ada wanita bercadar merah di sekitar tempat itu, Sena
memperhatikan kembali mayat-mayat yang tergeletak mengerikan.
"Hm, wanita itu benar-benar keji...," gumamnya lirih dengan mata masih
memperhatikan mayat-mayat yang bergelimpangan. Ada empat mayat lelaki muda dan
seorang lelaki tua berpakaian putih perak. Juga seorang wanita tanpa nyawa dalam
sebuah pedati dengan kuda-kuda yang mati.
Lama Sena memperhatikan mayat lelaki setengah baya yang ada di tempat itu.
Sepertinya pemuda tampan itu berusaha mengingat-ingat sesuatu. Hal itu terlihat
dari keningnya yang agak berkerut.
"Ah...!" pekiknya sambil menepuk kening dengan tangan kiri. "Bukankah orang tua
ini Ki Martanu" Ada urusan apa wanita liar itu dengannya?"
Sena kembali menggaruk-garuk kepala. Dia
semakin tak mengerti dengan tingkah laku wanita bergaun merah jambu itu. Kemarin
Tiga Barka Kembar dari aliran sesat dibantai. Kini Ki Martanu dan keempat
muridnya terbantai. Padahal mereka
dari aliran lurus.
"Wah, kacau kalau begini.... Huh, mengapa kejadiannya begini rumit?"
Kembali Sena bergumam sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan tangan kanan.
Sedangkan tangan kirinya menepuk-nepuk kening.
"Siapa dia sebenarnya" Ini tidak boleh dibiarkan!"
gumamnya kemudian.
Ketika Sena masih memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan dengan keadaan
mengerikan, tiba-tiba terdengar suara seruan dari arah belakang pedati
"Itu dia orangnya!"
"Serang...!"
"Cincang manusia keji itu...!"
Pendekar Gila tersentak kaget, manakala matanya melihat puluhan orang dari
perguruan yang dipimpin oleh Ki Martanu.
Pendekar Gila berusaha memberi tahu bahwa dia bukan pelakunya. Namun belum
sempat dia berkata, murid-murid Ki Martanu yang sudah kalap menyerang serentak
dengan pedangnya.
"Cincang dia!"
"Jangan biarkan hidup...!"
"Heaaa...!"
Pendekar Gila benar-benar tidak diberi
kesempatan sedikit pun untuk berkata. Mereka benar-benar kalap, menyaksikan
mayat gurunya dan juga saudara-saudara seperguruannya yang sangat mengerikan.
"Celaka! Mengapa jadi begini...?" keluh Pendekar Gila sambil mengelitkan
serangan-serangan yang dilancarkan murid-murid Ki Martanu yang beringas.
Pedang-pedang di tangan mereka bergerak cepat, membabat dan menusuk ke arah
Pendekar Gila. Hingga pemuda tampan itu harus berjumpalitan untuk mengelakkan setiap serangan
yang datang ke arahnya, kalau tidak ingin tubuhnya menjadi sasaran pedang-pedang
itu. "Tunggu...! Beri aku kesempatan untuk bicara!"
pinta Sena sambil bersalto menjauhi mereka. Namun rupanya murid-murid Ki Martanu
sudah tak mau peduli.
"Jangan biarkan bangsat itu lolos!"
"Cincang saja!"
"Heaaat..!"
Semua murid Ki Martanu yang dilanda oleh
amarah dan dendam atas kematian saudara-saudara seperguruan dan gurunya, kembali
melesat ke arah Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka kembali berkelebat,
menyerang dengan sabetan dan tusukan ke tubuh pendekar muda itu.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Dia benar-benar bingung dan tak tahu harus
berbuat apa. Orang-orang yang mengeroyoknya kini, semata-mata karena salah paham belaka.
Mereka tak tahu apa-apa. Jelas tidak mungkin baginya menurunkan tangan kasar.
Terpaksa Pendekar Gila mengelak ke sana kemari dengan ilmu meringankan tubuhnya.
"Heaaa...!"
"Tembus tubuhmu, Iblis! Yeaaat...!"
"Remuk kepalamu! Hiaaat...!"
Puluhan pedang menghujani tubuhnya dengan babatan, tusukan, dan sabetan. Kalau
saja bukan Pendekar Gila yang dikeroyok begitu rupa oleh mereka, sudah barang
tentu akan mengalami celaka.
Serangan mereka yang didasari dendam, benar-benar beringas dan ganas. Sepertinya
nyawa orang tak ada artinya bagi mereka, yang penting membalas
kematian guru dan saudara-saudara seperguruan mereka dapat terbalas.
"Pemuda iblis, keluarkan ilmumu yang keji! Hadapi kami...!"
"Ya, jangan hanya bisa mengelit saja! Apakah kau pengecut"!"
Caci maki terus terdengar, keluar dari mulut murid-murid Ki Martanu yang dilanda
amarah. Pedang-pedang di tangan mereka turut bicara, berusaha menyerang ke arah
lawan. Pendekar Gila benar-benar dibuat kebingungan.
Bukannya dia takut menghadapi keroyokan puluhan orang. Namun masalah sebenarnya
memang belum jelas. Mereka belum mengerti apa yang terjadi, dan dia hanya
ketiban sial. Orang lain yang melakukan kejahatan, sedangkan dia yang baru
sampai menjadi tempat tuduhan.
"Kisanak sekalian, sabarlah! Hentikan dulu serangan kalian...!" seru Sena sambil
terus berjumpalitan berusaha mengelakkan serangan-
serangan lawan. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari.
Rupanya gerakan menghindar Pendekar Gila
begitu lincah dan cepat, membuat murid-murid Ki Martanu semakin penasaran.
Mereka semakin yakin, pemuda itulah yang telah melakukan tindakan terhadap guru
dan saudara-saudara seperguruan mereka.
"Lihat, Teman-teman. Memang pemuda orangnya!"
seru salah seorang dari mereka, membuat teman-temannya bertambah yakin.
"Ya! Buktinya dia seperti orang gila! Hanya orang gila yang tega berbuat sekeji
itu!" sambung lainnya.
"Sudah, jangan banyak kata lagi... Serang dan
cincang dia!"
Pendekar Gila tersentak, dengan cepat tubuhnya bergerak untuk mengelitkan
serangan-serangan lawan dengan menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
Tubuhnya meliuk-liuk tak ubahnya seorang penari.
"Sabarlah, Kawan... Uts...!"
Hampir saja Pendekar Gila menjadi rencahan senjata lawan-lawannya, ketika dia
bermaksud menyadarkan mereka. Cepat-cepat tubuhnya
melenting, bersalto lalu menjejakkan kakinya pada sebatang pohon yang tidak
terlalu tinggi.
"Serbu terus...!"
Serentak semua menyerbu ke arah pohon yang dijejaki Pendekar Gila. Pedang di
tangan mereka berkelebat cepat, membabat ke tubuh Sena.
"Uts...! Rupanya kalian benar-benar mau men-cincangku, Sobat. Hup...!"
Pendekar Gila mencelat dari pohon, lalu bersalto di udara untuk mengelakkan
tebasan-tebasan pedang lawan. Setelah bersalto di udara beberapa saat, tubuhnya
turun dengan tenang. Mulutnya nyengir, sedangkan kepalanya menggeleng-geleng
dengan tangan menggaruk-garuk.
"Itu dia...!"
"Wah wah wah..., ruwet sudah! Mereka benar-benar tak bisa diajak kompromi,"
gumam Sena sambil menepuk-nepuk pantatnya. Sedangkan mulutnya masih nyengir
dengan kepala menggeleng-geleng. "Ck ck ck.... Sungguh mengerikan jika orang
sudah gelap mata."
"Serang dia...!" perintah seseorang, yang dengan segera dipatuhi teman-temannya.
Mereka kembali menyerbu Pendekar Gila.
"Heaaat..!"
Puluhan pedang kembali bergerak bareng,
berusaha menusuk dan membabat ke tubuh
Pendekar Gila. Dengan cepat Pendekar Gila mengelit ke samping. Tubuhnya meliuk-
liuk laksana menari.
Hal ini tak dapat dibiarkan. Kalau begini terus, bisa-bisa aku menjadi korban.
Gumam Sena dalam hati. Aku harus berbuat sesuatu! Tapi.... Ah, seandainya aku
memukul mati, tentunya mereka semakin yakin kalau akulah yang melakukan
semuanya. Biarlah aku hanya menjatuhkan mereka saja....
Usai berpikir demikian, Pendekar Gila berusaha mendobrak pertahanan lawan-
lawannya sambil berkelit dari serangan mereka. Tubuhnya terus meliuk-liuk
laksana menari. Kemudian disusul oleh tepukan-tepukan aneh.
Lawan-lawannya tersentak menyaksikan gerakan aneh yang dilancarkan pemuda
bertampang gila itu.
Gerakan-gerakannya laksana menari dengan sesekali menepuk. Kelihatannya lambat,
namun kenyataannya mampu menghasilkan angin pukulan yang keras dan menyentak.
"Hai, seperti orang main-main gerakannya,"
gumam salah seorang dari mereka.
"Lihat! Bukankah itu gerakan main-main"!"
sambung yang lainnya.
"Dia benar-benar ingin mempermainkan kita!
Serang...!" seru orang pertama yang dengan cepat ditanggapi oleh teman-temannya.
Kembali Pendekar Gila harus menghadapi
serangan-serangan yang dilancarkan lawan-lawannya.
Puluhan pedang mengarah ke tubuhnya, menusuk, dan membabat. Hal itu memaksanya
harus menggunakan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat'
dengan sepenuhnya, agar tubuhnya tidak terjangkau oleh tusukan dan sabetan
pedang. "Hiaaat..!"
"Maaf, tidurlah dulu, Sobat!" Sambil berseru begitu, Pendekar Gila menepuk pelan
di dada sebelah kiri lawan.
Tukkk! "Hukh...!"
Satu orang kena tertotok. Tubuhnya seketika kaku, dengan mata melotot. Sena
menggaruk-garuk kepala sambil terus meliuk-liukkan tubuh, berusaha mengelakkan
serangan pedang lawan.
Serangan-serangan gencar terus dilancarkan oleh murid-murid Ki Martanu. Mereka
bagai tidak mau peduli dengan salah seorang temannya yang tertotok.
Pedang di tangan mereka berkelebat cepat, menusuk dan menebas.
Pendekar Gila terus meliuk-liukkan tubuhnya, dan sesekali melompat ke sana
kemari. Kemudian dengan gerakan aneh, kembali ditepuknya seorang lawan yang
dekat dengan jangkauannya.
"Kini kau yang tidur, Sobat! Maaf...!"
Tukkk! Orang itu seketika mematung dengan mata
melotot. Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil menepuk-nepuk pantat. Kemudian
dengan cepat tubuhnya dilemparkan ke samping, mengelakkan serangan yang kembali
datang mendera ke arahnya.
"Pemuda ini benar-benar harus mampus!
Heaaa...!"
"Jangan biarkan lolos!"
"Hiaaat..!"
Puluhan pedang terus menyerbu ke arah Pendekar Gila yang meliuk-liukkan tubuhnya


Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil menggaruk-garuk kepala. Gerakannya yang kelihatan lamban, membuat lawan bertambah penasaran.
Hingga lawan-lawannya kian bernafsu untuk segera menjatuhkannya.
"Wah, gawat kalau begini... Bisa-bisa korban semakin bertambah banyak," gumam
Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan bergerak untuk mengelakkan serangan
lawan-lawannya.
Tubuh Pendekar Gila segera mencelat ke samping, bersalto di udara dan hinggap di
cabang pohon randu sambil tertawa tergelak-gelak. Tangannya tak henti-henti
menggaruk kepala dan menepuk pantat.
"Ha ha ha...! Hoi.... Aku di sini...!" serunya memanggil para penyerang yang
mencari-carinya.
Setelah mereka melihat, dengan tingkah konyol dan kocak Sena menunggingkan
pantatnya. "Nih...!"
Pendekar Gila kembali tergelak-gelak. Sedangkan murid-murid Ki Martanu yang
merasa dipermainkan semakin marah. Mereka serentak mengejar ke arah pohon di
mana Sena berada. Ada yang berusaha naik, Ada pula yang mencoba menebang
pohonnya. Sementara, Pendekar Gila masih tergelak-gelak sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Kalian semua lucu! Ayo, kita main panjat pinang! Ha ha ha...!"
Murid-murid Ki Martanu terus berusaha menebang pohon randu di mana Pendekar Gila
berada. Sedikit demi sedikit pohon itu akhirnya dapat ditebang.
Namun ketika pohon itu hampir roboh, dengan cepat tubuh Sena bersalto menjauh.
Kini tinggallah murid-murid Ki Martanu yang ketakutan, sebab pohon besar
itu tumbang ke arah mereka.
"Awas, pohon tumbang...!" seru Pendekar Gila sambil tertawa terpingkal-pingkal,
hingga tubuhnya terguncang-guncang. Tangannya menggaruk-garuk kepala dan
menepuk-nepuk pantat.
Semua murid Ki Martanu kocar-kacir mencari selamat. Namun tak urung, dua atau
tiga orang tersambar ranting pohon itu. Mereka menjerit-jerit minta tolong.
Pendekar Gila semakin terpingkal-pingkal
menyaksikan kejadian di depannya. Kepalanya menggeleng-geleng, membuat murid Ki
Martanu yang lain semakin jengkel.
"Pemuda edan! Serang dia...!"
Mereka kembali bergerak untuk menyerang
Pendekar Gila. Namun dengan cepat, Sena yang tidak mau berurusan dengan mereka,
kembali melompat lalu bertengger di cabang pohon randu lainnya.
"Ke mana dia...?"
"Hilang..!"
Mereka celingukan mencari-cari ke mana perginya pemuda bertingkah laku gila itu.
Namun mereka tidak juga dapat menemukannya.
Pendekar Gila tertawa keras di atas pohon membuat pengeroyok seketika mendongak.
Mata mereka melihat pemuda itu berada di atas cabang paling atas pohon itu.
Dilihat dari cabang kecil yang dijadikan tumpangan berpijak, seharusnya mereka
sadar kalau pemuda bertampang gila itu bukan pemuda sembarangan.
Kalau seorang berilmu tanggung, tidak mungkin dapat berdiri sambil tertawa
tergelak-gelak di atas sebuah cabang pohon sebesar jari tangan orang dewasa.
Namun mereka tak peduli. Kegelapan mata
mereka membuat mereka terus berusaha memburu.
"Awasi terus, jangan sampai dia pergi!"
"Ha ha ha...! Kenapa kalian tidak tebang lagi pohon ini?" ledek Sena sambil
tertawa terpingkal-pingkal dengan tangan sesekali menepuk-nepuk pantat.
"Hentikan...!"
Tiba-tiba dari arah pedati muncul tiga lelaki berpakaian sama dengan orang-orang
yang mengeroyok Pendekar Gila. Pengeroyok yang tengah memutar pohon seketika menjura
hormat pada ketiganya.
"Tuan pendekar, turunlah!" seru salah satu dari ketiga orang yang baru datang.
Lelaki itu berpakaian jubah. Wajahnya terhias kerutan pertanda usianya sudah
cukup tua, dengan kumis dan jenggot putih yang memanjang.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak, kemudian dengan ringan melompat ke bawah.
Tahu-tahu pemuda tampan itu telah berdiri di hadapan ketiga orang yang baru
datang, yang langsung menjura ke arahnya.
Hal itu membuat murid-murid Ki Martanu yang tadi mengeroyoknya mengerutkan dahi.
"Eyang, bukankah pemuda ini yang membunuh guru dan saudara-saudara kami?" tanya
salah seorang dari mereka, memberanikan diri.
Lelaki yang dipanggil eyang menggelengkan kepala.
"Toh Gendis, ceritakan pada mereka, siapa pendekar muda ini," ujarnya seraya
menatap salah satu dari dua orang yang bersamanya.
Toh Gendis yang merupakan adik seperguruan Ki Martanu dengan singkat
menceritakan siapa pemuda yang bertampang gila itu. Mendengar penuturan Toh
Gendis, murid-murid Ki Martanu yang tadi menyerang Pendekar Gila melotot dan
langsung memberi penghormatan.
"Sudahlah..., sudahlah.... Mengapa kalian membesar-besarkan julukanku" Ah ah ah,
terlalu lama dan bertele-tele. Baiklah, aku harus mem-beritahukan pada kalian,
bahwa mungkin ada kesalahpahaman yang terjadi antara kita," kata Sena sambil
cengengesan. "Aku harus pergi untuk mengejar pembunuh yang telah membantai guru
dan saudara seperguruan kalian dengan keji. Kalau tidak, bahaya besar akan terus
terjadi. Nah, aku mohon pamit..."
Pendekar Gila menjura, kemudian dengan cepat berkelebat meninggalkan mereka yang
berdecak kagum menyaksikan bagaimana anak semuda itu memiliki ilmu yang tinggi,
namun tidak sombong.
"Ck ck ck.... Sungguh bukan sembarang pendekar,"
gumam lelaki tua yang dipanggil eyang sambil menggeleng-geleng kepala. Sedangkan
matanya masih mengikuti Pendekar Gila yang berlari menembus hutan.
SEMBILAN Pendekar Gila yang sedang mencari Wulandari terus berlari menerobos hutan dan
sungai. Sepertinya tiada rasa lelah sedikit pun baginya. Pikirannya hanya satu,
secepatnya mendapatkan wanita yang tindak-tanduknya terlalu telengas itu.
Mentari tepat berada di atas ubun-ubun, ketika Sena melintas di jalan yang
lengang. Angin siang menghembuskan debu, hingga beterbangan dan menghempas ke
tubuhnya. Mau tak mau, Sena harus menghentikan larinya. Kini dia hanya berjalan
pelan dengan tangan menutupi wajahnya agar tak terkena serbuan debu.
"Debu sialan! Huh, terlambat lagi...!" rutuknya sambil terus menutupi wajahnya
dengan kedua tangan. Kakinya terus melangkah, berusaha melawan angin badai yang
menerbangkan debu-debu itu.
Setelah angin mereda, Sena membersihkan
pakaiannya yang penuh debu. Tiba-tiba dari arah samping terdengar seruan....
"Anak muda, berhenti...!"
Sena tersentak. Tubuhnya langsung dibalikkan ke arah asal suara itu. Nampak
seorang lelaki berkepala botak di bagian atas. Rambutnya hanya tumbuh di bagian
samping serta belakang kepala. Lelaki itu berlari ke arahnya. Tubuhnya tinggi
besar dengan wajah dihiasi cambang bauk lebat. Hidungnya yang besar, menambah
angker penampilannya. Sedangkan matanya lebar, bagai burung hantu.
Lelaki itu mengenakan pakaian berwarna hitam
berbentuk rompi. Dadanya menonjol dan berotot. Di pinggangnya terselip sepasang
senjata berbentuk trisula besar.
Senjata dan pakaian yang dikenakan lelaki setengah baya itu mengingatkan Sena
pada tiga orang kembar yang dikejarnya namun kedapatan mati dengan keadaan
mengerikan. Ya, pakaian dan senjata orang itu sama dengan pakaian dan senjata
Tiga Barka Kembar.
Bibir Sena cengengesan. Matanya memandang dengan seksama lelaki tinggi besar
yang masih berlari ke arahnya.
"Anak muda, apakah kau yang berjuluk Pendekar Gila?" tanya lelaki setengah baya
berwajah seram itu dengan mata tajam.
Sena tertawa tergelak-gelak. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala. Sedangkan
tangan kirinya menepuk-nepuk pantat. Tingkahnya sangat aneh, mirip seekor kera
gila. Lelaki tinggi besar itu jadi mengerutkan kening dan menyipitkan mata.
Kesal juga hatinya menyaksikan tingkah laku pemuda di depannya.
"Anak muda, apakah kau tak punya sopan santun, heh"!" bentak lelaki setengah
baya itu. "Apakah kau tak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Bocah Edan"!
Akulah Ki Kempala atau Trisula Setan, guru dari Tiga Barka Kembar!"
"Aha... Rupanya aku bertemu dengan seorang tokoh hitam yang tersohor. Ah,
terimalah hormatku.
Sungguh aku yang bodoh telah berlaku kurang sopan," kata Sena, seraya menjura
hormat Kemudian setelah berkata begitu, Sena kembali tertawa tergelak-gelak,
membuat Ki Kempala semakin gusar.
"Bocah edan! Kaukah Pendekar Gila dari Gua Setan itu?"
Sena menghentikan tawanya. Matanya me-
mandang tajam ke arah Ki Kempala. Kemudian kembali tawanya diteruskan.
Tingkahnya membuat kemarahan lelaki setengah baya itu semakin memuncak.
"Anak muda, cepat katakan, di mana aku harus menemui pendekar itu"!" bentaknya
keras dengan mata melotot penuh kemarahan.
"Kisanak, untuk apa kau mencarinya?" tanya Sena dengan kata sopan. Sepertinya
dia berbicara sungguh-sungguh.
"Membunuhnya!" tegas Ki Kempala.
"Membunuhnya"!" ulang Sena.
"Ya!"
"Ah, mengapa pula kau hendak membunuhnya?"
tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dengan wajah cengengesan.
"Karena dia telah membunuh ketiga muridku!"
Masih keras dan kasar suara Ki Kempala.
Wajahnya yang beringas semakin menyeramkan untuk dipandang. "Hei, apakah kau
Pendekar Gila dari Gua Setan itu"!"
Sena tak langsung menjawab. Kembali tangannya menggaruk-garuk kepala dengan
nyengir kuda. "Apakah kau punya bukti menuduh Pendekar Gila melakukan pembunuhan terhadap
ketiga muridmu?"
"Kalaupun bukan dia, aku tetap akan me-nantangnya bertempur. Sebab, aku memang
berniat untuk menjajaki ilmunya, yang katanya tinggi dan dijadikan buah bibir
orang-orang rimba persilatan!"
jawab Ki Kempala, masih menunjukkan keangkeran dan ketegasannya.
"Ah, sungguh picik sekali. Mengapa ilmu manusia yang belum seberapa dibandingkan
ilmu Hyang Widhi harus dijajal"! Ah ah ah..., sungguh menyedihkan,"
gumam Sena, membuat Ki Kempala semakin naik pitam. Dianggapnya pemuda ingusan
itu telah berani menggurui.
"Lancang sekali mulutmu, Anak Muda"! Apakah kau yang berjuluk Pendekar Gila itu,
heh"!" bentaknya sengit
"Ya, memang aku orangnya, Ki...," jawab Sena tenang.
"Kalau begitu, kau harus mampus! Heaaat...!"
Tanpa banyak kata lagi, Ki Kempala langsung membuka serangan. Kedua tangannya
membentang ke atas. Kemudian tangan kanannya dengan cepat mencakar ke arah
Pendekar Gila, sedangkan tangan kiri membentuk siku.
Mendapatkan serangan yang tiba-tiba, Pendekar Gila yang sudah waspada segera
memiringkan tubuh ke samping. Tangannya bergerak menangkis.
Kemudian dengan cepat, tubuhnya sedikit dirundukkan ke depan, sedangkan kedua
kakinya melangkah ke belakang dengan teratur.
Mendapatkan serangan permulaannya gagal, Ki Kempala kembali melakukan serangan
susulan. Tangan kanannya diangkat ke atas, kemudian dengan jari-jari membentuk cakar,
segera menyerang ke dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya kini
menggenggam, kemudian menghentak ke muka lawan.
"Hiaaat..!"
"Uts...!"
Pendekar Gila tidak mau tinggal diam. Dia tahu, tentunya lelaki tinggi besar itu
tidak main-main dan bukan orang sembarangan. Dengan menggunakan
jurus 'Kera Gila Melempar Batu', dibalasnya serangan lawan. Tangannya bergerak
cepat ke bawah seperti mengambil sesuatu, kemudian bergerak ke depan layaknya
melempar. Sedangkan tangan kirinya turut bergerak dan sesekali menggaruk-garuk kepala.
Terkadang ditekuk ke dalam, kemudian menjentik ke depan. Kakinya pun tak tinggal
diam, menyambar dan menendang ke arah perut lawan.
Melihat gerakan aneh yang dilancarkan lawan, Kempala sesaat mengerutkan kening.
Namun menyaksikan gerakan Pendekar Gila yang kelihatan lamban Ki Kempala kembali
merangsek. Kedua tangannya menyerang bergantian. Kedua kakinya secara bergantian
turut bergerak menendang. Namun semuanya tak menghasilkan apa-apa. Serangan-
serangannya pupus tertiup angin. Setiap kali dia melancarkan serangan, tiba-tiba
Pendekar Gila telah menjauh atau berkelit ke samping.
"Edan! Jurus edan...!" makinya marah.
Cepat-cepat Ki Kempala mengejar tubuh pemuda itu, disusul oleh tendangan kakinya
yang panjang dan cepat ke arah tubuh Pendekar Gila yang kelihatan bergerak
lambat. Tapi lagi-lagi tak berhasil. Pemuda gila itu tahu-tahu telah berada di
sampingnya. Ki Kempala kembali bergerak untuk menyerang ke arah samping. Tangan kirinya
lurus memukul, sedangkan tangan kanannya berada di atas kepala.
Setelah serangan pertama tak berhasil, dengan cepat Kempala memutar tubuh.
Tangan kanannya yang semula di atas kepala, kini memukul ke arah lawan.
"Pecah batok kepalamu! Heaaa...!"
"Uts! Masih lemah, Ki."
Sambil berkata begitu, dengan cepat Pendekar
Gila berguling ke bawah. Lalu kembali melakukan serangan seperti melempar. Ki
Kempala mau tak mau harus menyurutkan tubuh ke belakang. Kakinya digeser ke
samping, seraya memiringkan tubuhnya.
"Meskipun ilmumu tinggi, namun aku tak akan kalah olehmu! Hiaaat..!"
Ki Kempala kembali menghentak dengan
serangan-serangan bawah. Kedua kakinya menendang bergantian, dan terkadang
menyapu ke tubuh Pendekar Gila yang terus berguling.
Pendekar Gila terus melakukan gaya kera
berguling sambil mencakar. Dengan berguling tangannya sesekali mencakar ke arah
kaki lawan yang menendang. Atau kakinya menjejak ke arah kaki lawan. Hal itu
memaksa Ki Kempala untuk menarik mundur serangannya.
Hm, kalau begini terus, sulit bagiku untuk menyerangnya. Gumam hati Ki Kempala.
Dengan cepat dia merubah jurusnya. Kali ini digunakannya jurus 'Musang Berguling
Menangkap Mangsa'.
"Heaaa...!"
Tubuh Ki Kempala berguling, sejajar dengan tubuh Pendekar Gila. Sementara
keduanya berguling di tanah, mereka terus bergerak saling menyerang.
Tangan dan kaki mereka saling mencakar dan menendang.
Pertarungan dengan cara berguling itu berlangsung lama. Tangan dan kaki mereka
terus saling cakar dan menendang. Namun sejauh itu, Pendekar Gila belum berusaha
melancarkan serangan yang mematikan. Dia masih mencoba mengukur sampai sejauh
mana ilmu lawan. Padahal Ki Kempala telah mengerahkan hampir tiga perempat
ilmunya untuk dapat mengalahkan pemuda itu, sekaligus mem-
bunuhnya. "Hiaaat..!"
"Hup! Heaaa...!"
Ki Kempala terus mengikuti cara bertarung lawannya dengan berguling. Tanpa
terasa, mereka telah jauh meninggalkan tempat semula. Tangan Ki Kempala terus
mencakar ke arah wajah dan dada lawan. Namun Pendekar Gila dengan cepat selalu
dapat berkelit. Tangannya menyilang, kemudian membuat gerakan melempar yang mau
tak mau harus dielakkan Ki Kempala.
Setelah beberapa jurus mereka kerahkan untuk melakukan pertarungan dengan cara
berguling, tiba-tiba tangan mereka berbenturan keras. Diikuti pekikan
menggelegar, kedua tubuh itu melompat ke atas dahan laksana terbang.
"Heaaat..!"
"Hup, heaaa...!"
Dua tubuh itu berkelebat ke atas, kemudian salto ke belakang. Wajah Ki Kempala
nampak pucat menandakan betapa kagetnya dia. Sama sekali tidak diduganya kalau
lawan yang masih muda memiliki tenaga dalam yang sempurna, hingga mampu
melontarkan tubuhnya jauh.
"Hm, rupanya dia bukan pemuda sembarangan.
Pantas namanya saat ini melambung. Tapi aku tidak akan mundur. Heaaa...!"
Tubuh Ki Kempala yang baru saja menjejak tanah, kini telah berkelebat lagi untuk
melakukan serangan.
Dicabutnya kedua senjata kembarnya yang berbentuk trisula.
Melihat lawan telah menggenjot kakinya untuk menyerang, Pendekar Gila tak mau
tinggal diam. Tanpa mengeluarkan senjatanya, Pendekar Gila
memapaki serangan lawan.
"Heaaa...!"


Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Kempala menyodokkan ujung trisula di tangan kanannya ke dada lawan. Sedangkan
trisula di tangan kirinya menyabet ke arah kepala.
Pendekar Gila dengan cepat meliukkan tubuh ke samping. Sedangkan kepalanya
ditundukkan dalam-dalam. Tangan kanannya melakukan hentakan ke dada lawan dengan
tepi telapak tangan. Sedangkan tangan kirinya menghentak ke dagu lawan dengan
telapak tangan.
"Hiaaat..!"
Ki Kempala tersentak kaget Dia tidak menduga sama sekali akan mendapatkan
serangan yang begitu cepat. Dengan cepat Ki Kempala menarik
serangannya. Tangan kirinya ditebaskan di depan dadanya. Sedangkan tangan
kanannya melakukan tusukan ke dada lawan.
Mendapatkan lawan melakukan tangkisan,
Pendekar Gila menarik serangannya. Dengan cepat tubuhnya memutar ke samping
tubuh Ki Kempala.
Dan dengan cepat pula, lutut kaki kanannya menyodok ke arah pinggang Ki Kempala.
"Uts...! Celaka...!" pekik Ki Kempala dengan mata melotot kaget. Cepat-cepat
tubuhnya diegoskan, mengelakkan sodokan lutut lawan. Kemudian kembali trisulanya
ditebaskan ke kaki lawan.
Pendekar Gila menarik lututnya ke belakang.
Dengan kaki kanan masih mengambang di udara, tangan kirinya menyerang ke dagu
lawan. Sedangkan tangan yang kanan, memukul ke perut lawan.
"Akh...! Gila! Benar-benar gila...!" seru Ki Kempala, kaget menyaksikan gerakan
yang dilancarkan Pendekar Gila. Kelihatannya sangat lambat pemuda
itu melakukan serangan, namun tahu-tahu tangannya yang menyentak ke dagu dan
perut telah tepat pada sasaran.
Ki Kempala memiringkan tubuh ke belakang
hingga agak mendongak. Kemudian kembali tubuhnya dimiringkan ke samping kanan.
Dilanjutkan dengan tendangan ke selangkangan lawan.
Cepat-cepat Pendekar Gila mengelit ke samping kiri, sedangkan kaki kanannya yang
masih mengambang dengan cepat menendang ke pinggang lawan.
"Hiaaat..!"
Ki Kempala terkejut bukan kepalang. Cepat-cepat dia mencelat ke belakang untuk
mengelak. Kalau terlambat, pinggangnya tentu sudah remuk terkena tendangan kaki
lawan. Sambil berdiri, matanya memandang tegang ke arah Pendekar Gila yang
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar! Jangan dikira aku akan kalah olehmu, Gila!"
Usai membentak begitu, Ki Kempala segera
menjatuhkan diri ke tanah, kemudian dengan cara berbaring dia melakukan serangan
ke arah lawan. "Heaaa...!"
Tangan Ki Kempala yang menggenggam trisula bergerak menusuk dan membabat,
membuat Pendekar Gila berlompatan ke sana kemari
mengelakkan sabetan senjata lawan. Dengan jurus
'Kera Gila Menari Menggoda Ular' Pendekar Gila terus bergerak. Kedua kakinya
berirama menari-nari, dengan tangan tak ketinggalan melakukan gerakan menghempas
ke bawah. Repot juga Ki Kempala menghadapi jurus yang dimainkan Pendekar Gila. Tangan
kanannya harus bisa menangkis serangan-serangan yang dilancarkan lawannya. Sedangkan tangan
kirinya terus berusaha menyerang.
Ki Kempala menyilangkan kedua tangannya ke atas, manakala tangan Pendekar Gila
menyerang. Hingga kedua tangan mereka saling beradu. Lalu Ki Kempala menendang ke wajah
Pendekar Gila, yang dengan cepat memiringkan tubuh ke samping.
Kemudian balas menyerang dengan dupakan kaki kanannya.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaat..!"
Kedua tangan itu masih menyatu, ketika Pendekar Gila menyentakkan tubuh ke atas.
Sehingga tubuh Ki Kempala turut tersentak melesat ke atas.
Saat tubuh mereka melayang di atas, keduanya kembali saling menyerang. Tangan
mereka yang semula menyatu, kini saling menghantam dan menangkis. Sedangkan kaki
mereka turut bergerak menyerang.
"Heaaat..!"
"Hup! Heaaa...!"
Keduanya memapaki serangan dengan telapak tangan masing-masing, sehingga kedua
telapak tangan mereka beradu keras.
Degkh! "Ukh...!"
"Hhh...!"
Tubuh keduanya mencelat ke belakang, bersalto di atas kemudian menjejakkan
kakinya di tanah. Tubuh Ki Kempala terhuyung ke belakang dua langkah.
Mulutnya melelehkan darah. Sementara Pendekar Gila tersenyum acuh sambil garuk-
garuk kepala. "Ki Kempala, kurasa tak ada gunanya pertarungan
ini. Lebih baik kita sudahi saja. Aku masih banyak urusan," ucapnya sambil
mengorek-ngorek telinga.
"Tidak! Aku tak akan membiarkan kau pergi! Huh jangan kira aku telah kalah
olehmu! Hiaaa...!"
Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak diduganya kalau lawan benar-benar hendak
mengadu nyawa. Telinganya terasa agak berdengung mendengar teriakan yang menggelegar tadi.
Pendekar Gila berusaha menahan getaran teriakan itu dengan mengerahkan tenaga
dalamnya. Kemudian dengan cepat dicabut Suling Naga Sakti dari pinggangnya.
"Heaaa...!"
Dengan melompat untuk menghindari serangan lawan, Pendekar Gila meniup
sulingnya. Suara tiupan suling itu berubah melengking. Sekaligus menghancurkan
teriakan Ki Kempala yang menggelegar.
Hingga lelaki tinggi besar itu tersentak dan menghentikan teriakannya.
Melihat Ki Kempala telah menghentikan teriakan, Pendekar Gila pun menghentikan
tiupan sulingnya.
Setelah itu tubuh keduanya kembali melesat untuk saling menyerang.
Dengan tangan menggenggam senjata masing-
masing, keduanya bergerak menyerang. Ki Kempala menusukkan trisulanya ke dada
lawan. Namun dengan cepat Pendekar Gila membabatkan Suling Naga Sakti ke arah
senjata lawan. Dan terjadilah benturan keras yang memekakkan telinga.
Trang! Ki Kempala tersentak kaget. Tubuhnya melompat mundur dengan mata membelalak
lebar. Tangannya kesemutan dan terasa sangat panas. Napasnya mendengus semakin
marah. Lalu dengan segenap tenaga dalamnya, Ki Kempala kembali menyerang
dengan memekik dahsyat.
"Hiyaaat..!"
"Heit..!"
Ki Kempala kembali berusaha menusukkan
trisulanya ke tubuh Pendekar Gila. Namun dengan cepat Pendekar Gila membabatkan
sulingnya untuk mementahkan tusukan itu. Sedangkan tangan kirinya memukul dengan
telapak tangan ke dada lawan yang kosong.
Ki Kempala tersentak kaget. Dia berusaha
menutupi dadanya dengan tangan kiri. Namun gerakannya kurang cepat, hingga
pukulan telapak tangan Pendekar Gila menghajar dadanya.
Degk! "Akh...!" Ki Kempala memekik keras. Tubuhnya terlontar jauh ke belakang,
melayang dengan dada gosong. Kemudian tubuh itu membentur bukit cadas hingga
terdengar suara patahnya tulang punggung dan pecahnya tulang kepala.
Krak Pendekar Gila terpaku diam sambil menggaruk-garuk kepala.
"Sungguh kau seorang lelaki yang perkasa, Seharusnya tak perlu terjadi hal
seperti ini kalau saja kau tidak memaksa...," desah Pendekar Gila sambil
memandangi tubuh Ki Kempala yang tewas secara mengerikan. Kemudian dengan cepat
kakinya melangkah meninggalkan tempat itu.
SEPULUH Seorang wanita cantik bertubuh kuning langsat tengah menggeluti tubuh seorang
lelaki muda tampan. Wanita itu adalah Wulandari, sedangkan lelaki tak berdaya
dalam pelukannya adalah putra Ki Martanu yang berhasil dibawanya.
"Ayo, Sayang....!" desis Wulandari sambil menggeluti tubuh pemuda itu.
Sementara itu, lelaki di pelukannya hanya diam.
Matanya memandang hampa, seakan-akan tidak ada gairah sama sekali. Benaknya
terus terbayang pada istrinya yang dibunuh oleh Wulandari dua hari yang lalu.
Namun, lelaki tetap lelaki. Menghadapi godaan wanita secantik Wulandari,
akhirnya pupus juga bayangan tentang kematian istri tercinta di benaknya.
Perlahan-lahan pemuda itu terbawa anus birahi yang mulai tercipta oleh iblis
dalam dadanya. Hingga pemuda itu mulai membalas kecabulan yang diberbuat Wulandari. Dan
keduanya terhanyut di tengah gelombang nafsu laknat.
Saat keduanya hendak mencapai puncak
kenikmatan duniawi, tiba-tiba....
Jlep, jlep, jlep!
"Aaa...!" si pemuda menjerit. Tubuhnya meregang dengan kepala mendongak. Matanya
melotot mengerikan, membuat Wulandari tersentak kaget.
Lalu tubuh pemuda itu ambruk ke samping. Di punggungnya tertancap tiga bilah
pisau beracun. "Kurang ajar! Siapa cecunguk yang telah berani
mengganggu kesenanganku"!" maki Wulandari.
Dengan cepat dia mengenakan pakaiannya kembali, kemudian berkelebat ke luar.
Di luar telah berdiri sesosok tubuh dengan wajah bertopeng. Seorang lelaki muda
berpakaian kuning, yang mengingatkan Wulandari pada lelaki yang telah
memperkosanya. Lelaki muda bertopeng itu tertawa ngakak.
"Mengapa kau harus susah-susah mencari kepuasan" Bukankah aku telah siap"
Bagaimana dulu" Nikmat bukan?" tanyanya sambil meneruskan gelak tawa.
Mara Wulandari melotot penuh kebencian.
Pemuda ini yang dicari-carinya. Kini dia telah datang kembali, tanpa harus
susah-susah mencarinya.
"Rupanya kau yang dulu mengaku Pendekar Gila"!
Hm, kau harus mampus, Bajingan! Hiaaat...!"
Dengan penuh kemarahan, Wulandari menyerang pemuda bertopeng yang memang
dicarinya. Serangan yang dilakukannya tidak tanggung-tanggung. Jurus-jurus maut
yang didapatinya dari Nyi Kendil kini dikeluarkannya untuk menggempur pemuda
bertopeng yang mengaku sebagai Pendekar Gila.
Mendapat serangan cepat dan keras dari
Wulandari, pemuda bertopeng itu malah tertawa.
Kemudian dengan pongah dan sombong pemuda itu berkata...
"Percuma kau melawanku, Perempuan Tolol.
Pendekar Gila bukanlah tandinganmu!"
Sambil berkata begitu, pemuda bertopeng yang mengaku-ngaku sebagai Pendekar Gila
itu berkelit mengelakkan serangan Wulandari yang bertubi-tubi
"Bedebah! Kau kira aku akan percaya kalau kau Pendekar Gila"! Kau salah besar!
Aku telah berhadapan langsung dengan Pendekar Gila yang sesungguhnya. Dan dia tidak bejat
seperti kau! Heaaat..!"
Wulandari yang dendamnya terus membara tak mau banyak omong lagi. Tangannya yang
membentuk sayap kupu-kupu terus menyambar. Sedangkan kakinya menendang dan
menyapu. "Ha ha ha...! Rupanya kau tak percaya, kalau aku Pendekar Gila! Hm, baiklah! Kau
lihatlah buktinya."
Usai berkata begitu, pemuda bertopeng itu melakukan gerakan yang aneh. Tubuhnya
meliuk-liuk bagai menari. Namun gerakannya kasar dan keras, tidak seperti
gerakan yang dilakukan Sena untuk mengelak.
"Pembohong! Iblis...! Jangan kira aku tak tahu siapa Pendekar Gila! Heaaa...!"
Wulandari yang merasa telah ditipu mentah-mentah oleh pemuda itu, terus
melancarkan serangan. Pukulan dan sambaran maut dilancarkannya. Namun pemuda
bertopeng itu dengan mudah mengelakkan setiap sambaran dan pukulan lawan.
Wulandari terus merangsek dengan serangan-serangannya. Namun setiap kali
melakukan serangan, secepat itu pula lawan dapat me-matahkannya. Hal itu membuat Wulandari
semakin marah dan penasaran.
"Aku belum puas sebelum membetot kemaluanmu, Iblis! Heaaa...!"
Kini Wulandari membuka serangan baru dengan jurus yang lebih keras dan dahsyat.
Jurus 'Kupu-kupu Hinggap Sambil Menghisap Madu'. Kakinya yang mengambang,
sedikit ditekuk. Sedangkan kedua tangannya bergerak membuka dan menyambar
dengan cepat. "Hiaaat..!"
Pemuda bertopeng itu kembali tertawa. Tubuhnya melompat ke sana kemari untuk
mengelakkan setiap serangan lawan.
"Sudah kukatakan, percuma saja kau melawan Pendekar Gila!" katanya lagi.
"Bedebah! Jangan kira mulutmu tak dapat kurobek! Heaaat..!"
Saat keduanya bertarung seru, tiba-tiba terdengar suara gelak tawa membahana.
Bersamaan dengan itu, seorang lelaki berpakaian rompi kulit ular sanca telah
hinggap di atas sebuah ranting pohon di hutan itu, Gerak-geriknya seperti orang
gila. Tangannya menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
"Ha ha ha...! Jadi inikah orang yang mengaku sebagai Pendekar Gila?" tanya Sena
sambil menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk
membuat kedua orang yang tengah bertarung seketika menghentikan pertarungannya.
"Siapa kau" Berani benar kau berkata begitu di depan Pendekar Gila, heh"!"
bentak pemuda bertopeng.
Sena kembali tertawa tergelak-gelak. Tangannya menggaruk-garuk kepala dan
menepuk pantat kemudian dengan cengengesan sambil menggelengkan kepala, Sena
menjawab.... "Aku..." Ha ha ha.... Entahlah. Maaf, aku berlaku tak sopan di depan lelaki
busuk yang ngaku-ngaku sebagai Pendekar Gila!" usai berkata Sena melompat ke
bawah dan menjejakkan kakinya di depan kedua orang tadi. "Hm, rupanya ini orang
yang membuat cemar nama Pendekar Gila. Ah ah.... Mengapa Pendekar Gila harus
bertopeng?"
"Kurang ajar! Siapa kau sebenarnya"!" bentak
pemuda bertopeng.
"Siapa pun aku, yang jelas aku ingin menangkap-mu, Manusia Busuk! Ha ha ha...!
Enak sekali kau mengaku-ngaku Pendekar Gila," ancam Sena.
"Bedebah! Rupanya kau mencari mampus, berani kurang ajar pada Pendekar Gila.
Heaaa...!"
Pemuda bertopeng bergerak menyerang ke arah Sena yang masih tertawa-tawa sambil
menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk pantat. Gerak-geriknya persis orang
gila, membuat Wulandari terpaku di tempat.
Wulandari benar-benar bingung. Dilihatnya kedua orang lelaki muda yang sama-sama
tampan. Yang satu mengenakan baju rompi terbuat dari kulit ular sanca. Sedangkan
yang satunya berbaju lengan panjang warna kuning dengan wajah bertopeng.
Kalau dilihat dari gerak-geriknya, tentunya pemuda yang mengenakan rompi kulit
ular sanca adalah Pendekar Gila, pikir Wulandari.
Pemuda bertopeng terus melancarkan serangan.
Tangannya bergerak menyambar dada lawan.
Sedangkan tangan yang lain memukul ke arah muka.
Kedua kakinya tak tinggal diam, menyapu dan menendang ke arah kaki Pendekar
Gila. Mendapat serangan cepat dan bertubi-rubi, tidak membuat Pendekar Gila gentar.
Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', dielakkannya serangan lawan.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. Sementara tangannya terkadang menepuk.
Gerakan meliuk dan menepuknya kelihatan sangat pelan dan lamban. Hal itu membuat
pemuda bertopeng semakin yakin kalau dalam beberapa gebrakan saja pemuda yang
bertingkah seperti orang gila itu akan dapat
dijatuhkannya. Pemuda bertopeng semakin mempercepat
serangan. Tangannya mengembang ke samping dengan satu kaki menekuk. Itulah jurus
'Belalang Mencakar'.
Dengan cepat tangannya membentuk kaki-kaki belalang yang mencakar dan menjentik
ganas ke arah Pendekar Gila. Sedangkan kakinya turut menendang dan menyapu.
Menghadapi serangan yang begitu gencar, sambil menggaruk-garuk kepala Pendekar
Gila terus berkelit.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. Lucu sekali gerakan yang dilakukannya,
sampai-sampai

Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wulandari yang menyaksikannya jadi terkesima dan tak dapat berbuat apa-apa.
"Heaaat..!"
"Yeaaat..!"
Tangan pemuda bertopeng itu terus bergerak mencakar dan menyentuh ke dada dan
wajah Pendekar Gila. Namun dengan cepat Pendekar Gila berkelit. Tubuhnya dimiringkan
ke samping untuk mengelak kemudian tangannya bergerak menyambar topeng pemuda
itu. "Heaaa...!"
*** Breeet! Topeng yang dikenakan pemuda berbaju itu
terlepas dari wajahnya. Dan nampaknya seraut wajah tampan.
"Hm... Tidak kusangka lelaki setampan dia harus menyembunyikan wajah di balik
topeng. Tentunya kau bermaksud buruk...?" gumam Pendekar Gila.
Melihat lawannya lengah, dengan cepat pemuda berbaju kuning mengirimkan
tendangan cepat.
Pendekar Gila tersentak kaget. Dia berusaha mengelak, namun terlambat. Tendangan
pemuda itu begitu cepat dan tiba-tiba. Tanpa ampun lagi, dadanya terhantam
tendangan lawan.
Degk! "Hukh...!"
Pendekar Gila terhuyung ke belakang dengan mata melotot kaget. Kepalanya
digeleng-gelengkan untuk mengusir rasa mual yang sampai ke kepala. Mulutnya
menyeringai, kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala.
Pemuda berbaju kuning yang mengira Pendekar Gila terkena luka dalam akibat
tendangannya, kembali menyerang dengan gabungan pukulan dan tendangan.
Gerakannya cepat dan mematikan.
Nampaknya pemuda berbaju kuning itu merasa yakin kalau dia akan dapat
menjatuhkan Pendekar Gila.
"Hiaaat..!"
"Celaka! Pemuda itu dalam bahaya...!" seru Wulandari tersadar dari keterpakuan.
Bagai ada yang mendorong, Wulandari dengan cepat berkelebat menghadang serangan
pemuda berbaju kuning. Pendekar Gila yang tidak menduga kalau Wulandari berbuat
nekat, tersentak kaget. Dia berusaha mencegah, namun wanita itu telah melesat
cepat. "Heaaa...!"
"Yeaaat...!"
Kedua tubuh itu melesat cepat menuju satu tirik.
Rasanya sulit bagi Pendekar Gila untuk meng-halanginya. Akhirnya Pendekar Gila
hanya mampu menonton apa yang akan terjadi.
Jlegar! "Aaakh...!"
"Aaa...!"
Keduanya memekik dengan tubuh terlontar
beberapa tombak ke belakang. Tubuh Wulandari terhuyung-huyung ke belakang dengan
tangan memegangi dada. Dari mulutnya meleleh darah segar, membasahi bibir dan
dagunya. Sementara itu, pemuda berbaju kuning pun
mengalami hal yang sama. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mata
memandang tegang. Sepertinya dia tidak percaya kalau wanita yang dulu lemah dan dapat
diperkosanya dengan mudah, kini telah memiliki tenaga dalam yang seimbang
dengannya. Pendekar Gila hanya dapat memandangi kedua orang yang kini sama-sama terhuyung.
Dia tak tahu harus berbuat apa. Pantang baginya menyerang orang yang lemah dan
tidak mampu menyerang lagi.
Pemuda berbaju kuning mendengus marah. Tanpa diduga oleh Pendekar Gila, dia
kembali menyerang ke arahnya. Pendekar Gila tersentak, karena sama sekali tak
menduga diserang oleh pemuda itu.
"Hiaaat..!"
"Uts...! Hampir saja...!" ucapnya sambil bergerak mengelitkan serangan lawan
yang tiba-tiba dan cepat.
Tubuhnya dimiringkan ke samping, kemudian dengan cepat balas menyerang dengan
tepukan tangan ke dada lawan.
Mendapatkan serangan balasan yang kelihatannya lemah namun tahu-tahu telah dekat
ke dadanya, pemuda berpakaian kuning tersentak. Cepat-cepat serangannya ditarik
mundur dengan menggeser kaki ke belakang dua langkah. Setelah itu, pemuda
berpakaian kuning ini kembali melancarkan serangan.
"Hiaaat..!"
Jurus 'Ular Kobra Mematuk' dilancarkan pemuda berbaju kuning itu. Gerakan
tangannya yang mematuk begitu cepat, dibarengi oleh sabetan-sabetan tangan yang
lain. Kakinya laksana ekor ular kobra yang turut menyerang.
Melihat serangan lawan tidak main-main lagi, Pendekar Gila segera mengubah
jurusnya. Dengan jurus 'Kera Gila Menari dan Mencengkeram', dihadapinya jurus
lawan. Kakinya bergerak tak ubahnya seperti kaki kera. Sedangkan tangannya
sesekali mencengkeram ke lengan lawan yang mematuk seperti ular kobra.
Pertarungan itu tidak ubahnya pertarungan sengit antara seekor kera gila yang
menari-nari melawan seekor ular kobra ganas.
"Heaaat...!"
"Yeaaat...!"
Pendekar Gila dengan sesekali menggaruk-garuk Kepalanya, terus meladeni jurus
ular yang dilancarkan pemuda berbaju kuning itu. Tangannya mencengkeram ke
tangan lawan yang tak ubahnya kepala kobra yang mendesis-desis berusaha mematuk.
Jurus keras yang dilancarkan lawan, kini dihadapi oleh gerakan-gerakan lucu
seperti seekor kera.
Tangan lawan kembali mematuk ke arah dada, disusul dengan tebasan tangan yang
lain. Namun dengan cepat Pendekar Gila mencengkeramkan tagan kanannya ke arah
tangan lawan. Sedangkan tangan kirinya menepis serangan. Kakinya berjingkat-
jingkat mengelakkan sambaran kaki lawan.
Pertarungan itu masih berjalan dengan seru.
Masing-masing berusaha menjatuhkan. Pemuda berpakaian kuning semakin bernafsu
untuk segera menjatuhkan Pendekar Gila. Namun dengan gerakan-gerakan aneh dan
lucu, Pendekar Gila dengan mudah mematahkan serangan lawan. Bahkan ketika
melihat ada bagian yang lowong, tangannya ditepuk ke dada lawan. Sedangkan
tangan lain mencakar ke arah wajah.
Degk! Bret! "Ukh...!"
Tubuh pemuda berbaju kuning itu terlontar ke belakang dengan deras, laksana
terdorong kekuatan yang maha dahsyat. Tubuhnya terus meluncur menuju sebatang
pohon besar. Pemuda berbaju kuning menjerit keras ketika tubuhnya hampir membentur pohon
besar yang akan meremukkan tubuhnya. Tapi tiba-tiba sebuah bayangan hitam
berkelebat cepat menyambar tubuhnya sambil berseru....
"Pendekar Gila, kutunggu kau purnama yang ketiga di Puncak Lawu!"
Pendekar Gila tersentak. Segera tubuhnya
berkelebat, berusaha mengejar lelaki yang membawa tubuh pemuda berpakaian kuning
itu. "Tunggu! Jangan lari...!" cegah Sena sambil mengejar dengan mengerahkan ilmu
larinya. Namun lelaki berpakaian jubah hitam berambut putih itu ternyata telah
melesat cepat meninggalkannya.
"Huh, orang aneh.... Mengapa dia menyuruhku datang ke Puncak Lawu" Dan mengapa
pula harus purnama ketiga yang berarti tiga bulan lebih" Ah, mengapa aku
pikirkan" Aku harus kembali untuk menemui wanita itu!"
Pendekar Gila kembali melesat dengan ilmu larinya menuju tempat Wulandari. Namun
sesampainya di sana, wanita muda itu telah tiada.
Sena hanya menemukan sebaris tulisan yang digurat di sebatang pohon besar.
Sena mengerutkan kening, sambil menggaruk-garuk kepala. Didekatinya pohon besar
itu, kemudian dibacanya tulisan yang kelihatannya masih baru, sehingga getahnya
nampak masih menetes.
Tuan Pendekar, maaf aku telah salah menuduh.
Izinkanlah aku menebus kesalahan yang telah kuperbuat selama ini. Namun aku tak
akan diam, sebelum pemuda keparat itu kudapatkan. Dialah yang telah
menghancurkan masa depanku.
Merenggut kehormatanku, serta membunuh suamiku.
Sena kembali menggaruk-garuk kepalanya sesaat Kemudian dia kembali membaca
lanjutan tulisan Wulandari.
Mulanya aku percaya kalau pemuda laknat itu adalah Pendekar Gila dari Gua Setan,
yang sebenarnya Tuan sendiri orangnya. Itu sebabnya aku dendam pada orang-orang
persilatan. Hal itu kulakukan, semata-mata untuk melampiaskan kebencianku pada
Pendekar Gila. Sebab kutahu kalau Pendekar Gila bukan orang sembarangan.
Sekali lagi, maafkan aku. Sampai ketemu di Puncak Lawu tiga pumama yang akan
datang. Sena menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan lesu melangkah memasuki gubuk yang
berada di dalam hutan itu. Hati Sena terkesiap saat melihat
sesosok mayat lelaki muda tanpa pakaian berada di dalam gubuk itu.
"Tentunya ini perbuatannya. Huh, semoga dia benar-benar sadar," gumam Sena
lirih, lalu kembali melangkah keluar sambil menutup pintu gubuk itu.
Sesaat wajahnya ditengadahkan, kemudian tubuhnya melesat meninggalkan tempat
itu. Siapakah pemuda berpakaian kuning itu sesungguhnya" Dan, siapa lelaki tua
berpakaian jubah hitam yang menolong pemuda berpakaian kuning itu" Untuk apa
lelaki tua itu mengundang Pendekar Gila ke Puncak Lawu" Lalu bagaimana nasib
Wulandari selanjutnya" Sadarkah dia akan perbuatannya selama ini" Siapa pula
pemuda berpakaian kuning"
Untuk dapat menjawabnya, silakan ikuti kisah Pendekar Gila selanjutnya dalam
episode "Duel di Puncak Lawu".
SELESAI Created ebook by
Sean & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Nurseta Satria Karang Tirta 8 Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Menuntut Balas 7
^