Pencarian

Pembalasan Maha Durjana 1

Pendekar Hina Kelana 32 Pembalasan Maha Durjana Bagian 1


PEMBALASAN MAHA DURJANA Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Pembalasan Maha Durjana
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Hutan Komering Ilir terasa sepi di pagi itu.
Namun pemuda berwajah tampan berpakaian me-
rah ini terus melangkahkan kakinya dengan man-
tap. Sebagaimana keterangan yang didapatnya dari
beberapa penduduk setempat, padepokan Gunung
Ungkur letaknya tidak seberapa jauh lagi dari hu-
tan lebat yang sekarang sedang dilaluinya. Tanpa
merasa curiga pada keadaan disekelilingnya, si
pemuda dengan rambut dikuncir itu terus melang-
kah. Tidak kurang setengah jam ia menelusuri ja-
lan itu, mendadak ia mendengar suara jerit terta-
han jauh di belakang sana. Si pemuda yang tidak
lain Pendekar Hina Kelana, langsung menghenti-
kan langkahnya lalu menoleh ke arah suara tadi
berasal. Sesaat berlalu sepi. Suara jerit perempuan tadi digantikan dengan suara
denting beradunya
senjata tajam. Tanpa menunggu lebih lama lagi Buang
Sengketa segera berbalik langkah, dan berlari ce-
pat menuju tempat terjadinya keributan. Se-
sampainya di sana ia melihat seorang gadis sedang
menghadapi keroyokan seorang laki-laki muda dan
seorang gadis berusia sebaya. Buang Sengketa be-
rusaha menajamkan pandangan matanya untuk
mengenali gadis yang berusaha membebaskan diri
dari tekanan-tekanan serangan dua orang lawan-
nya. Pemuda itu merasa terperanjat. Saat pandan-
gan matanya yang setajam mata elang itu menge-
nali ciri-ciri si gadis.
"Cempaka...?" serunya tertahan. Sampai sejauh itu ia dapat melihat bahwa
siapapun yang menjadi lawan Cempaka. Yang jelas mereka memi-
liki kepandaian lebih tinggi bila dibandingkan dengan kepandaian yang dimiliki
oleh gadis yang di-
kenalnya. Pemuda itu masih tertegun di tempatnya
ketika terdengar suara jeritan Cempaka. Saat itu
kiranya ujung pedang yang berada dalam gengga-
man gadis yang menyertai pemuda berbaju cokelat
berhasil melukai bagian tangan Cempaka. Tetapi
nampaknya yang menjadi lawannya tidak ingin
berhenti sampai disitu saja. Ia segera memburu
Cempaka dengan pedang terhunus.
Karena jarak pertempuran dengan posisi
Buang Sengketa agak berjauhan. Maka pemuda
itu cepat mengambil sebatang ranting. Dengan
mempergunakan setengah dari tenaga dalam yang
dimilikinya. Buang Sengketa menyambitkan rant-
ing tersebut ke arah senjata lawan yang menderu
ke arah Cempaka.
Siiing...! "Traaak...!"
"Akghh...!"
Perempuan yang menyertai pemuda berpa-
kaian cokelat itu mengeluarkan jeritan tertahan,
saat mana ia merasakan adanya sebuah benda
menyambar deras ke arah bagian pedangnya. Se-
mentara tubuhnya sendiri terhuyung beberapa
tindak ke belakang. Dengan cepat ia menoleh. En-
tah dari mana datangnya perempuan itu melihat
seorang pemuda berpakaian merah telah berdiri
dua batang tombak darinya. Pemuda itu terse-
nyum-senyum begitu melihat gadis yang baru saja
digagalkan niatnya nampak merah sekali.
"Kakang Kelana...!" desis Cempaka ketika melihat kehadiran Buang Sengketa. Namun
Buang yang sudah merasa kesal karena ternyata gadis itu
terus membuntuti kepergiannya, nampak acuh-
acuh saja. Dalam pada itu gadis yang hampir saja
membunuh Cempaka sudah membentaknya.
"Hei, pemuda usilan. Siapakah engkau ini
hingga begitu lancang mencampuri urusan orang
lain...?" sentaknya dengan suara tergetar.
"Siapapun adanya aku ini, yang jelas aku
tidak ingin melihat gadis itu mengalami hal-hal
yang tidak diharapkan oleh orang tuanya!" jawab si pemuda begitu tenang.
"Mungkin dia merupakan kekasih gadis usi-
lan ini, adik Kurnia...!" pemuda berpakaian cokelat yang tak lain merupakan
Pramesta ikut bicara.
"Kakang Kelana. Hampir setengah hari dua
orang ini terus membuntutimu. Wajarkan bila aku
menyerangnya. Karena gerak geriknya yang men-
curigakan...!" celetuk Cempaka merasa tidak senang. "Bicara soal buntut
membuntuti. Sebenarnya sejak beberapa hari yang lalu aku melihat kau
telah menguntitku, menyusul dua orang pemuda
dan pemudi gagah ini. Hem. Sebenarnya aku tidak
punya apa-apa yang pantas kubagi-bagikan buat
kalian. Tidak ada alasan bagi kalian untuk meng-
ganggu perjalananku. Bahkan aku sendiri merasa
tidak punya persoalan dengan kalian. He... he...
he... apa sih yang kalian inginkan dariku?" tanya si pemuda, kemudian memukul
periuknya berulang-ulang hingga menimbulkan suara berkeron-
tangan. "Eeh, siapa yang membuntuti siapa" Kami
memang sedang melakukan perjalanan jauh. Kebe-
tulan saja kami memang hendak pulang ke pade-
pokan Gunung Ungkur. Karena kulihat si gembel
berperiuk ini menuju ke arah padepokan, kami pi-
kir wajar jika mencurigainya." kata Kurnia Dewi ketus. Buang Sengketa langsung
menjura hormat manakala mengetahui siapa sebenarnya orang
yang telah menyerang Cempaka. Karena memang
pada dasarnya ia ingin pergi ke padepokan Gu-
nung Ungkur, ia merasa tidak perlu membantah
apa yang dikatakan oleh gadis yang berada di sisi
pemuda berpakaian cokelat itu.
"Maafkan kami saudara dan saudari. Kua-
kui terus terang, bahwa sebenarnya kami memang
ingin datang ke padepokan Gunung Ungkur. Kare-
na kebetulan anda berdua merupakan keluarga
padepokan. Kukira tak ada salahnya jika aku
numpang bertanya pada kalian...!"
"Uuuh. Enak saja, kawanmu telah menye-
rang kami. Sekarang kau meminta agar kami men-
jawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermutu
itu...?" sentak Pramesta ikut menimpali.
"Kakang, orang itu telah melukaiku. Menga-
pa kakang Kelana harus berbaikan kepadanya...?"
Cempaka yang tidak begitu senang dengan sikap
mereka, kali ini malah membentak.
"Sabarlah Cempaka. Luka yang kau alami
tidak begitu parah, untuk sementara kita harus
melupakan masalah pribadi. Dunia persilatan se-
perti yang telah kita ketahui sedang dilanda kere-
sahan. Sebagai pribadi akupun tidak dapat mem-
biarkan hal itu berlarut-larut. Nah saudara dan
saudari. Kalaulah memang anda berasal dari pa-
depokan Gunung Ungkur saya punya beberapa
pertanyaan yang barangkali anda berdua sudi
menjawabnya...!" ujar Buang Sengketa penuh harap. Pramesta dan Kurnia Dewi
nampak saling berpandangan. Lalu timbul kesimpulan dalam hati
mereka. Pemuda yang berdiri di hadapan mereka
itu meskipun berpakaian dekil dan kotor tetapi
nampaknya merupakan seorang pemuda yang ju-
jur. Dan melihat gelagatnya mungkin pula seorang
pemuda yang beraliran lurus di samping berke-
pandaian tinggi pula. Rasanya bagi Pramesta tidak
ada alasan untuk mencurigainya. Berpikir sampai
ke situ, akhirnya Pramesta pun berucap: "Sauda-ra. Siapakah saudara ini" Dan ada
keperluan apa- kah dengan padepokan Gunung Ungkur?"
Buang Sengketa tersenyum ramah, setelah
tercenung sebentar.
"Aku yang hina ini bernama Buang Sengke-
ta. Orang-orang selalu memanggilku sebagai si Hi-
na Kelana. Adapun maksud tujuanku datang ke
Gunung Ungkur adalah ingin mendapatkan bebe-
rapa keterangan yang kurasa perlu demi menye-
lamatkan sekian banyak penduduk yang menjadi
korban pembangunan Kerajaan manusia iblis...!"
Mendengar disebut-sebutnya tentang Kera-
jaan Iblis, terkejutlah Kurnia Dewi dan Pramesta.
Selama mereka melakukan perjalanan memang
banyak mereka dengar tentang hilangnya pendu-
duk laki-laki perempuan berusia masih sangat
muda. Desas-desus yang mereka dengar seseorang
yang bergelar Maha Diraja Setan Bumi-lah yang
bertanggung jawab dalam penculikan-penculikan
itu. Namun nampaknya pemuda berpakaian kumal
ini tahu lebih banyak tentang perkembangan du-
nia luar, hal ini menunjukkan sesungguhnya pe-
muda itu memiliki pengalaman yang luas dan be-
rilmu tinggi pula.
"Saudara Kelana. Kami memang benar mu-
rid padepokan Gunung Ungkur. Saya Pramesta
dan adik seperguruan saya ini bernama Kurnia
Dewi. Oh ya, kami juga mohon maaf atas kesalah-
pahaman yang telah terjadi." sambil berkata Pramesta memandang sejenak pada
Cempaka yang saat itu sedang berusaha membalut lengannya
yang terluka. Kurnia Dewi pun ketika melihat
Cempaka sedang membalut lukanya segera datang
menolong. Sementara pembicaraan terus berlan-
jut. "Kita sama-sama bersalah, lupakanlah. Oh ya apakah si Topi Terbang
merupakan murid padepokan Gunung Ungkur...?" tanya si pemuda
kembali pada pokok persoalan.
Beberapa saat Pramesta terdiam. Ia me-
mang sama sekali tiada menduga kalau pemuda
yang bernama Buang Sengketa ini menanyakan
orang yang telah melarikan diri dari penjara ber-
sama-sama kekasihnya, (Dalam Episode
GERHANA DI MALAM JAHANAM). Haruskah ia
mengatakan hal yang sebenarnya" Pramesta nam-
pak diliputi kebimbangan. Namun setelah menim-
bang sekian saat lamanya, pemuda inipun memu-
tuskan untuk berterus terang.
"Benar saya akui bahwa si Topi Terbang
atau Sakapala merupakan murid tertua padepo-
kan Gunung Ungkur. Namun sesungguhnya ia
merupakan murid murtad yang mungkin saja di
luar sana telah bertindak secara sesat. Beberapa
pekan yang lalu bahkan ia pernah kembali ke pa-
depokan dengan membawa niat tak baik. Saya
sendiri yang meringkusnya kemudian memenjara-
kannya selama beberapa hari." sampai disini Pramesta hentikan ucapannya. Tiba-
tiba ia menarik
nafas dalam-dalam, seperti ada sesuatu yang tera-
sa menghimpit perasaannya.
"Apakah kakang seperguruanmu ada di pa-
depokan hingga sampai sekarang ini?" tanya si pemuda berharap.
Pramesta gelengkan kepalanya berulang-
ulang. "Sayangnya ia telah melarikan diri dari penjara bersama kekasihnya. Ah...
menyesal sekali
kedatanganmu sangat terlambat sobat...!"
"Karena itukah maka anda berdua mening-
galkan padepokan...?"
"Ya... kami bermaksud melakukan pengeja-
ran. Namun ternyata kami kehilangan jejak sama
sekali...!"
"Sungguh sulit memang untuk memburu si
Topi Terbang. Dan sekarangpun aku merasa yakin
orang itu telah sampai di Istana Iblis. Cepat atau lambat ia akan menyeret Maha
Diraja Setan Bumi
datang meluruk ke perguruan kalian...!" gumam Buang Sengketa, parau.
"Hh... bagaimana engkau bisa mengetahui
kalau kakang Sakapala merupakan pembantunya
manusia iblis itu?" tanya Kurnia Dewi yang baru saja selesai memberi bantuan
pada Cempaka. "Beberapa pekan yang lalu aku melakukan
penyelidikan di sebelah bukit Iblis. Dari pembica-
raan yang sempat kudengar, mereka menyebut-
nyebut tentang tidak kembalinya si Topi Terbang
selama lebih dari setengah purnama. Hal lain yang
kuketahui bahwa di sana terdapat beratus-ratus
orang yang bekerja membangun sebuah istana
yang kemudian kuketahui sebagai istana miliknya
Maha Diraja Setan Bumi. Yang membuat aku he-
ran adalah mereka nampak begitu penurut di
samping memiliki tenaga bagai siluman...!" kata si pemuda secara panjang lebar.
"Hemm. Sungguh sangat berbahaya sekali.
Lalu apakah yang harus kita lakukan?" tanya Kurnia Dewi.
"Tiada jalan lain terkecuali kita menyerbu
ke markas mereka...!" ujar Pramesta merasa geram bukan main.


Pendekar Hina Kelana 32 Pembalasan Maha Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan. Kita bisa mati konyol berada di sa-
rang lawan yang memiliki kepandaian yang tiada
terukur itu...!" bantah Pendekar Hina Kelana.
"Lalu bagaimana?"
Buang Sengketa kembali terdiam. Dalam
hatinya ia berpendapat, walau bagaimanapun se-
buah kekuatan siluman harus pula di lawan den-
gan siluman pula. Bahkan ia masih ingat ketika
berada di bukit Iblis. Para pekerja itu nampaknya
memiliki ketidak wajaran. Tatapan mata mereka
kosong, tiada gairah hidup. Bahkan mengerjakan
apa saja yang di perintahkan oleh beberapa orang
mandor yang menjaganya
Ketika ia teringat sesuatu, maka tak lama
setelahnya iapun kembali berucap: "Menurutku
bagaimana kalau kita berangkat ke padepokan dan
menanyakan segala sesuatunya dengan guru an-
da...?" Mendapat pertanyaan seperti itu tentu saja baik Pramesta maupun Kurnia
Dewi langsung terperangah.
"Bagaimana mungkin kita dapat menanya-
kan segala sesuatunya pada guru, sedangkan se-
lama menjadi muridnya sekalipun kami belum
pernah bertemu"' ujar Pramesta polos.
Seumur hidup baru kali inilah Buang men-
dengar ada sebuah padepokan yang memiliki seo-
rang guru namun sangat jarang dapat ditemui. Ini
juga merupakan sebuah persoalan baru sekaligus
merupakan keanehan yang perlu dicari jawaban-
nya. "Ini merupakan keanehan lain yang perlu mendapat jawaban. Ee... maaf
saudara Pramesta.
Apakah selama ini murid-murid padepokan Gu-
nung Ungkur tidak pernah merasa curiga dengan
keberadaan guru kalian sendiri...?" tanya si pemuda berhati-hati.
"Sebagian besar mungkin tidak. Namun aku
sebagai pribadi selalu merasa curiga atas kebera-
daan Eyang Guru...!" jawab Pramesta.
"Apapun yang akan terjadi ada baiknya ka-
lau kita segera pergi ke padepokan. Sesampainya
di sama kita dapat membicarakan segala sesua-
tunya secara leluasa...!" ujar Kurnia Dewi mengan-jurkan. Selanjutnya
berangkatlah empat orang ber-
sahabat ini menuju padepokan Gunung Ungkur
yang letaknya tidak seberapa jauh lagi.
*** 2 Gending Sora yang baru saja sembuh dari
lukanya akibat bagian tangan tertebas senjata mi-
lik Pendekar Hina Kelana. Para pembantu dan
mandor Maha Diraja Setan Bumi. Juga manusia
iblis yang mereka sebut-sebut sebagai Kanjeng
Guru, hadir di dalam ruangan Kerajaan yang baru
saja selesai pembuatannya. Puluhan bahkan ratu-
san laki-laki maupun perempuan berusia sangat
muda, nampak duduk di depan singgasana raja.
Dalam ruangan yang sama, tidak begitu jauh dari
singgasana Maha Diraja Setan Bumi. Nampak du-
duk bersimpuh seorang pemuda berpakaian serba
kuning serta seorang gadis yang berada di sisi si
Topi Terbang tak lain Asih Anggraeni, kekasih pe-
muda berpakaian serba kuning itu.
Tidak lama setelah kesunyian mewarnai
ruangan besar tersebut. Maha Diraja Setan Bumi
dengan suaranya yang besar, serak namun berwi-
bawa mulai berucap.
"Para abdiku yang setia! Sengaja kalian se-
mua kukumpulkan di ruangan kehormatan ini
adalah untuk merayakan pembangunan Kerajaan
yang kita cintai. Usaha kalian dalam melaksana-
kan tugas yang kuberikan ternyata tidak sia-sia.
Atas pengabdian kalian dan kesetiaan kalian sela-
ma ini padaku, maka aku akan mengangkat kalian
menjadi prajurit Kerajaan. Dengan adanya tugas
yang kuberikan ini, kalian mempunyai tanggung
jawab untuk melindungi Kerajaan Iblis dari setiap
ancaman musuh...!" sejenak Maha Diraja Setan
Bumi menghentikan ucapannya. Sorot matanya
yang bengis sebentar nampak memperhatikan me-
reka yang hadir di dalam ruangan itu. Lalu ia me-
lanjutkan ucapannya kembali. "Seperti yang kalian lihat, beberapa orang saudara-
saudara kalian.
Bahkan termasuk orang penting Kerajaan telah
terlibat pertempuran dengan beberapa tokoh go-
longan lurus. Aku tidak mau melihat mereka ber-
tindak sewenang-wenang terhadap orang-orang
Kerajaan. Apalagi mereka sempat melukai, bahkan
membuat cacat saudara-saudara kita. Kejadian
seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Aku sebagai Maha Diraja
Kerajaan iblis telah merenca-nakan untuk menggulung semua golongan putih,
demi kejayaan Kerajaan Iblis, dan juga demi mem-
balas kekalahan yang telah kita alami...!" dengus Maha Diraja Setan Bumi dengan
mata berbinar- binar. Sebentar laki-laki berkulit hitam legam ini melirik pada si Topi Terbang
serta gadis yang duduk di sampingnya.
"Topi Terbang! Siapakah orang yang telah
melukaimu?" tanyanya bersemangat. Sebagaimana kebiasaannya, Sakapala alias si
Topi Terbang nampak membungkukkan tubuhnya beberapa
kali. Lalu dengan tenang ia berucap, "Apakah Ma-ha Diraja Setan Bumi masih ingat
tentang pembu- nuhan dan pembakaran beberapa purnama yang
lalu?" "Pembunuhan telah banyak kita lakukan dimana-mana. Nah pembunuhan yang
mana kau maksudkan?" Maha Diraja Setan Bumi merasa be-
gitu bangga dengan apa yang baru saja di-
ucapkannya. "Pembunuhan terhadap orang-orang berke-
pala gundul itu?"
Mendengar Sakapala menyebut-nyebut
orang berkepala gundul, maka Maha Diraja Setan
Bumi langsung tertawa mengekeh.
"Hhh, Mereka yang telah melukaimu?" Ma-
ha Diraja Setan Bumi menggumam tidak jelas.
"Hanya sebangsa tikus kudisan itu rupanya
yang telah membuatmu terluka...!"
Lagi-lagi Maha Diraja Setan Bumi Kerajaan
iblis menggumam. Namun kali ini wajahnya telah
berubah merah. "Tapi orang itu telah kubunuh, yang mu-
lia...!" si Topi Terbang menjelaskan duduk persoalannya. "Sudah kau bunuh?" Maha
Diraja Setan Bumi mengerutkan alisnya. Dalam hati manusia
sesat itu tidak dapat memungkiri kemampuan
yang dimiliki oleh si Topi Terbang. Bahkan selama
ini dalam setiap melakukan tugasnya pembantu
setia ini belum pernah mengalami hambatan yang
berarti. Namun Maha Diraja Setan Bumi dapat
menarik kesimpulan siapapun yang menjadi lawan
si Topi Terbang, pastilah orang itu memiliki ke-
pandaian yang tinggi.
"Aku percaya dengan laporanmu itu. Topi
Terbang! Tetapi apakah kau dapat memastikan
bahwa orang asing itu masih memiliki kekuatan
lain yang sewaktu-waktu datang menuntut balas
kepadamu?"
"Maksud yang mulia...?" si Topi Terbang tidak mengerti.
"Maksudku, apakah kau tidak menjumpai
kawan-kawan laki-laki asing berkepala gundul itu
bersamanya...?"
"Waktu itu saya tidak melihatnya, yang mu-
lia!" jawab Sakapala tegas. Maha Diraja Setan Bu-mi menggelengkan kepalanya
berulang-ulang.
"Kalau begitu kau belum pernah berjumpa
dengan saudara seperguruan laki-laki botak yang
kau bunuh itu...!"
"Maaf yang mulia. Sama sekali saya tidak
mengira orang itu memiliki kawan atau pun sau-
dara. Karena pada saat itu saya memang tidak me-
lihat adanya orang lain bersamanya...!"
"Sudahlah. Semua itu bukan kesalahanmu,
yang terpenting. Mulai saat sekarang kita harus
berhati-hati..."
Belum lagi Maha Diraja Setan Bumi selesai
mengucapkan kata-katanya, tiba-tiba Sakapala
berkata sambil menjura beberapa kali. "Kanjeng Guru! Bagaimana halnya dengan
kegagalan saya menyeret murid-murid padepokan Gunung Un-
gkur kemari...?"
"Hemm...!" Maha Diraja Setan Bumi meng-
gumam pelan. Sesaat lamanya ia memandang pa-
da laki-laki berpakaian putih yang mereka sebut
sebagai Kanjeng Guru.
"Bagaimana pendapat anda, Kanjeng?" ta-
nyanya dengan sikap sopan. Laki-laki berkumis
tebal ini terdiam sesaat, pandangan matanya ta-
jam menusuk kepada Maha Diraja Setan Bumi.
"Sebenarnya menurutku, kita tidak perlu
mengusik padepokan Gunung Ungkur. Apalagi
sampai menghancurkan padepokan itu. Walau ba-
gaimanapun kita harus sadar, bahwa Topi Terbang
dan gadis yang bersamanya ini berasal dari sana
juga. Kau juga harus ingat, Setan Bumi! Topi Ter-
bang telah begitu banyak membantumu...!" tegas laki-laki itu berwibawa.
"Tapi murid-murid padepokan itu pernah
memenjarakan aku. Bahkan hampir membuat
saya celaka!" ungkap Sakapala merasa tidak puas
"Tapi bukankah semua itu mereka lakukan
karena, kau terlalu memaksa mereka?" sentak
Kanjeng Guru berapi-api.
Sakapala langsung terdiam. Ucapan Kan-
jeng Guru memang tidak dapat disangkalnya. Te-
tapi ia melakukan semua itu karena mendapat pe-
rintah dari Maha Diraja Setan Bumi.
"Kanjeng. Topi Terbang datang ke Gunung
Ungkur atas perintahku. Aku yang memintanya
untuk membawa murid-murid padepokan itu ke
sini. Tetapi siapa sangka si Topi Terbang kalah
bertarung dengan adik seperguruannya sendiri...!"
gumam Maha Diraja Setan Bumi seolah tidak per-
caya. "Sebagaimana guru mereka yang misterius.
Mata bathinku mengatakan bahwa murid-murid
padepokan Gunung Ungkur yang bernama Pra-
mesta telah menciptakan ilmu silat yang sangat
hebat...!" jelas Kanjeng Guru. Untuk diketahui, la-ki-laki berpakaian serba
putih ini dapat melihat
sesuatu yang tidak tampak oleh mata biasa.
"Tetapi apakah kita. harus membiarkan
penghinaan yang mereka lakukan terhadap kebe-
saran Kerajaan Iblis...?" tanya Setan Bumi. Nada bicaranya menunjukkan rasa
tidak senang. Namun Kanjeng Guru hanya tersenyum tipis.
"Aku tahu Setan Bumi, ilmu yang kau miliki
mungkin saja melebihi kepandaian yang kumiliki.
Namun dalam hal-hal tertentu akupun mempunyai
kelebihan yang tidak dimiliki oleh semua yang ha-
dir di sini. Tapi kalau kau bersikeras juga, kau tidak perlu menyuruh orang-
orangmu untuk me-
ringkus mereka. Kita tunggu saja disini, cepat atau lambat mereka pasti datang
ke sini..."!" Kanjeng Guru memberi penjelasan secara panjang lebar.
"Siapakah yang Kanjeng Guru maksudkan
mereka itu?"
"Ha... ha... ha...! Mereka tentu saja orang-
orang yang punya urusan denganmu. Atau bahkan
seluruh kaum persilatan akan datang kemari un-
tuk mengadakan perhitungan denganmu. Tapi...
he... he... he... aku yakin kau mampu mengatasi
semua persoalan yang bakal terjadi di sini...!"
"Hhh. Begitukah" Ingin kulihat sampai di
mana keberanian mereka datang ke sarang iblis...!"
gumam Setan Bumi sambil memberi isyarat kepa-
da semua bawahannya agar meninggalkan ruan-
gan pertemuan itu.
* * * Tepat seperti apa yang pernah diramalkan
oleh Kanjeng Guru. Beberapa purnama kemudian
berbagai golongan persilatan memang mulai terli-
hat berkeliaran di sekitar bukit Neraka. Tujuan
mereka sudah jelas. Yaitu ingin menghentikan se-
pak terjang Maha Diraja Setan Bumi yang selama
ini telah begitu banyak melakukan pembunuhan,
penculikan terhadap ratusan penduduk yang tiada
berdosa, serta menghancurkan Kerajaan besar mi-
lik Setan Bumi.
Namun usaha mereka nampaknya harus
kandas di tengah jalan. Apa yang mereka perhi-
tungkan benar-benar jauh dari kenyataan yang
mereka harapkan. Kerajaan iblis selain memiliki
prajurit-prajurit yang sangat tangguh, juga berte-
naga bagai siluman. Juga mereka tidak mampu
menembus benteng gaib yang menyelubungi Kera-
jaan itu. Kalaupun ada beberapa orang tokoh yang
berhasil menerobos benteng gaib yang menjadi pe-
risai Kerajaan itu. Tapi mereka tidak pernah ada
yang berhasil keluar dari Kerajaan itu dengan se-
lamat. Telah begitu banyak tokoh persilatan hilang raib di bukit Neraka. Tidak
terhitung sudah berapa banyak mayat-mayat bergelimpangan di sekitar
bukit itu. Sehingga banyak kaum persilatan yang
bermaksud menghentikan sepak terjang Maha Di-
raja Setan Bumi terpaksa menghentikan usa-
hanya. Mereka akhirnya hanya mampu menunggu
perkembangan selanjutnya.
Bukit Neraka yang tadinya merupakan dae-


Pendekar Hina Kelana 32 Pembalasan Maha Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rah yang sangat subur. Sekarang telah berubah
menjadi sebuah daerah yang angker bahkan terse-
lubung misteri. Kejadian-kejadian yang serba
anehpun sering terjadi di sana. Kerajaan Iblis tidak dapat dilihat lagi dengan
mata biasa. Lebih dari itu sejak gagalnya para kaum persilatan menghancurkan
Kerajaan berselubung kegaiban itu, maka
penculikanpun merajalela di mana-mana. Kejaha-
tan yang dilakukan oleh prajurit-prajurit Kerajaan Iblis menimbulkan kematian di
mana-mana. Semua itu menimbulkan kemarahan di hati
tokoh persilatan baik golongan hitam terlebih-lebih golongan putih. Tanpa
membeda-bedakan golongan dan aliran bahkan diantara mereka ada yang
bersatu padu melakukan penyerangan ke bukit
Neraka. Siang itu tiga sosok bayangan berkelebat
cepat mendaki bukit Neraka. Mereka ini terdiri dari dua orang laki-laki
berpakaian serba hijau, bersenjata clurit dan yang lainnya merupakan seorang
perempuan berbadan pendek ramping, di bagian
punggung menggelantung sebuah jala panjang
menjuntai ke tanah.
Di lihat sepintas lalu penampilan perem-
puan berpakaian hijau lumut ini sangat lucu seka-
li. Tubuhnya yang pendek sangat tidak sebanding
dengan senjata andalannya yang berupa jala yang
panjangnya lebih dari empat meter. Kalangan per-
silatan mengenalnya dengan julukan 'Si Penjerat
Sukma' dari kawah api abadi gunung Semeru. Se-
dangkan dua orang lainnya dikenal sebagai
'Sepasang Clurit Dewa' penguasa hutan belantara
Negeri Lama. Selama malang melintang di rimba
persilatan mereka ini disegani baik oleh kawan
maupun lawan karena kecepatannya dalam mem-
pergunakan senjata mautnya yang sewaktu-waktu
dapat berubah memanjang.
Demikianlah dengan gerakan sangat ringan
sekali mereka terus mendaki bukit Neraka. Namun
setelah sekian saat lamanya mereka menelusuri
bukit itu hingga hampir mencapai puncaknya. Me-
reka tidak juga menemukan Kerajaan Maha Diraja
Setan Bumi di sana. Akhirnya ketiga orang ini sal-
ing berpandangan sesamanya.
"Ternyata apa yang digembar-gemborkan
orang tentang Kerajaan Iblis ternyata hanya omong
kosong belaka. Terbukti kita tidak melihat apa-apa di sini. Jangankan sebuah
Kerajaan. Rumah seorang gembelpun tidak terlihat...!" kata salah seorang dari
mereka dengan perasaan kecewa.
"Jangan terlalu tergesa-gesa mengambil ke-
simpulan, sobat Jayalaga...!" perempuan pendek yang berjuluk 'Penjerat Sukma'
menegur. "Mustahil begitu banyak kalangan persilatan yang tiada
pernah kembali itu hilang raib begitu saja. Jika di
sini memang tidak ada apa-apanya?"
"Hhh. Apanya yang mustahil! Walaupun
mereka memiliki kepandaian sehebat bapak
moyangnya iblis. Mana mungkin sebuah Kerajaan
dibangun tanpa terlihat keberadaan-nya...!"
"Tapi engkau pun tidak dapat memungkiri
bahwa keberadaan alam gaib itu memiliki kebena-
ran yang tidak dapat dibantah!"
"Ah, persetan dengan semua itu...!" dengus Jayalaga tak mampu menutupi
kekesalannya. "Lalu sekarang apa yang harus kita laku-
kan?" tanya Jayasembara dengan sikap lebih lunak bila dibandingkan dengan
saudara sepergu-
ruannya itu. "Kita telah menempuh perjalanan yang san-
gat jauh. Sebenarnya aku bukanlah manusia yang
begitu perduli dengan segala monyet persilatan.
Namun aku tidak menghendaki manusia iblis itu
merajalela dengan segala sepak terjangnya...!"
ucap si Penjerat Sukma.
"Tetapi kita tidak menemukan apa-apa di
sini...!" bantah Jayalaga. Laki-laki itu sekarang telah membalikkan tubuhnya dan
bersiap-siap me-
ninggalkan bukit Neraka.
"Tunggu, sobat Jayalaga! Aku tidak ingin
usaha ini sia-sia. Terlebih-lebih kita melakukan
semua ini demi ketenteraman kaum persilatan...!"
cegah si Penjerat Sukma.
"Apa yang hendak kita lakukan di sini, Ni-
ni...?" tanya Jayalaga urung.
"Kurasa Kerajaan Iblis dilindungi oleh keku-
atan gaib yang tidak mungkin dapat ditembus oleh
penglihatan biasa. Namun aku merasa begitu ya-
kin, hanya kegelapan sajalah yang mampu me-
nyingkapkan tabir misteri yang menyelimutinya...!"
"Kalau begitu kita harus menantikannya
sampai datangnya malam!" tebak Jayasembara
mulai memahami arah pembicaraan si Penjerat
Sukma. "Tepat sekali. Kita memang harus menung-
gu datangnya malam. Sebab menurutku hanya ke-
gelapan sajalah yang mampu mengungkap tabir
yang menyelimuti Istana Iblis." jelas si Penjerat Sukma.
Sepasang Clurit Maut saling berpandangan
sesamanya. Lalu secara hampir bersamaan mereka
menganggukkan kepala
*** 3 Waktu terus berlalu bagai berputarnya roda
pedati. Malampun telah menggantikan kedudukan
siang. Sekarang kegelapan merambah kaki langit.
Tidak terkecuali bukit Neraka yang senantiasa
menampilkan kesan angker. Walaupun begitu na-
mun tiga orang pendatang itu masih tetap berta-
han di tempat persembunyiannya. Tiada sepatah
katapun yang terucap, tiga pasang mata memu-
satkan perhatiannya ke segala arah. Tiba-tiba saja si Penjerat Sukma
membelalakkan matanya. Perhatiannya sekarang sepenuhnya tertuju pada satu
arah. "Sungguh sangat sulit untuk dipercaya andai aku tidak melihatnya dengan
mata kepala sen-
diri...!" gumamnya penuh keterkejutan.
"Apa yang kau lihat, Nini...?" tanya Sepasang Clurit Dewa hampir bersamaan.
"Lihatlah...!" kata si Penjerat Sukma menunjuk ke satu arah.
"Haah...!" pekik Jayasembara. "Siang tadi kita tidak melihat apa-apa di sini,
terkecuali pohon-pohon besar menjulang tinggi. Tetapi seka-
rang sebuah singgasana yang sangat megah telah
berdiri di situ. Itukah yang disebut-sebut orang
sebagai singgasana milik Maha Diraja Setan Bu-
mi...?" tanya Jayalaga seolah pada dirinya sendiri.
"Kukira tidak salah lagi. Hemm... nampak-
nya istana itu sangat ramai sekali. Kita semua ti-
dak tahu secara pasti, apakah para pembantu Ma-
ha Diraja Setan Bumi merupakan bangsanya ma-
nusia biasa ataukah para siluman. Tapi...!"
"Beberapa orang bersenjata lengkap menda-
tangi tempat kita bersembunyi...!" potong Jayalaga.
"Ssst...! Tenang, barangkali mereka hanya
kebetulan saja mendatangi tempat ini. Kita tunggu
saja apa yang akan dilakukan oleh mereka..." ujar si Penjerat Sukma sambil
memberi isyarat pada
'Sepasang Clurit Dewa'.
Sementara beberapa orang yang terdiri dari
laki-laki dan perempuan berpakaian pengawal Ke-
rajaan itu dengan sikap waspada terus melangkah
ke arah mereka. Kehadiran mereka yang terasa
ganjil ini tentu saja membuat si perempuan pen-
dek dan Sepasang Clurit Dewa menjadi heran. Pe-
rempuan-perempuan diangkat menjadi prajurit ke-
rajaan. Seumur hidup baru kali ini mereka melihat
kejadian yang sangat ganjil ini. Namun rasanya
mereka tidak perlu mempersoalkan hal-hal seperti
itu lebih jauh lagi. Karena tidak lama setelah itu terdengar suara bentakan dari
seorang laki-laki
berpakaian serba hitam berbadan gemuk tinggi.
"Tiga ekor tikus busuk pencari penyakit.
Kuharap mau menunjukkan diri. Kehadiran kalian
telah kami ketahui sejak siang tadi...!" bentak laki-laki itu dengan suara
bergetar. "Sial dangkalan. Kita, mereka bilang tikus
pencari penyakit. Benar-benar bangsanya memedi
yang perlu diajar adat...!" geram si Penjerat Sukma. Sampai sejauh itu dia masih
belum mengam- bil tindakan apa-apa.
"Mengapa kita harus bertahan di sini. Kalau
mereka sudah mengetahui kehadiran kita. Bukan-
kah lebih baik kita gebuk saja begundalnya Kera-
jaan Iblis itu...!" kata Jayalaga merasa tidak sabar lagi. "Betul. Kalau perlu
sekaranglah saat yang tepat untuk menyerbu ke dalam istana itu...!"
"Kalau begitu baiklah...!" kata si Penjerat Sukma. "Akupun merasa tidak enak
jika kalian menganggapku sebagai seorang pengecut...!"
Selanjutnya tanpa menunggu lebih lama la-
gi, ketiga orang itu segera berlompatan dari tem-
patnya bersembunyi. Sekali mereka bergerak, ma-
ka posisi mereka sekarang telah mengurung para
pengawal yang jumlahnya lebih dari lima orang.
Namun para pengawal Kerajaan itu nam-
paknya tenang-tenang saja. Seolah mereka tidak
merasa gentar melihat kehadiran para pendatang
yang tiada mereka kenal sama sekali. Bahkan sa-
lah seorang diantaranya yang bertindak sebagai
pimpinan, dengan sikap tenang langsung berucap.
Pelan namun mengancam.
"Telah begitu banyak orang-orang tiada gu-
na datang ke bukit Neraka ini tidak berumur pan-
jang. Mengherankan! Hari ini tiga ekor tikus yang
sudah bosan hidup masih juga ingin jual lagak di
wilayah singgasana Iblis...!"
"Kurang ajar! Berani sekali kau menghina si
Penjerat Sukma dan Sepasang Clurit Dewa. Tanpa
memandang sedikitpun juga...!" bentak Jayalaga dengan wajah merah padam.
"Siapa yang mau perduli dengan segala ma-
cam setan persilatan. Tokh pada akhirnya kalian
juga akan menjadi santapan cacing tanah...!" tukas si gemuk tinggi tidak kalah
sengitnya. "Sobat! Mengapa harus melayani prajurit-
prajurit iblis. Hajar...!" Jayalaga yang sudah tidak dapat membendung emosinya
menerjang lima orang prajurit-prajurit Kerajaan Iblis, langsung
melancarkan serangan dahsyat dengan memper-
gunakan jurus-jurus tangan kosong. Menghadapi
kenyataan ini, prajurit-prajurit Kerajaan Iblis
nampaknya tidak ingin bertindak setengah-
setengah. Dengan cepat mereka mengayunkan
senjata mereka yang berupa tombak ke arah Jaya-
laga. Dua orang lainnya tidak tinggal diam. Den-
gan memandang remeh mereka menghadang se-
rangan-serangan prajurit Kerajaan Iblis secara
sembarangan. Tidak begitu lama merekapun di-
buat terkejut manakala tangan mereka membentur
senjata-senjata yang dihantamkan oleh prajurit-
prajurit itu. Bagaimana tidak, prajurit-prajurit Kerajaan Iblis ternyata
memiliki tenaga dalam yang
sangat tinggi. Hal ini benar-benar di luar perhitungan mereka. Sekarang sadarlah
tiga pendatang itu,
meskipun yang menjadi lawannya hanyalah seo-
rang prajurit biasa, namun pada dasarnya mereka
memiliki tenaga bagai siluman.
Sekarang dengan sikap bersungguh-
sungguh mereka membangun serangan kembali.
Bahkan kali ini merekapun mulai mengerahkan
jurus-jurus andalannya. Hasilnyapun segera ter-
bukti, karena dalam beberapa gebrakan kemudian
lima orang prajurit Kerajaan Iblis yang terdiri dari laki-laki dan perempuan
mulai berjatuhan. Bahkan dua diantaranya langsung terjungkal roboh
tanpa dapat bangun lagi untuk selama-lamanya.
Sedangkan tiga orang pengawal lainnya segera
memberi tanda dengan sebuah suitan panjang.
Pertempuran terus berlangsung, sementara
itu begitu mendengar adanya isyarat bahaya. Maka
beberapa orang jago-jago istana berserabutan me-
nuju tempat terjadinya pertempuran.
"Munduuur...!" teriak salah seorang laki-laki bertubuh tegap berwajah bengis
serta buntung bagian lengan kirinya. Serentak dengan terdengarnya
suara teriakan itu, maka tiga orang pengawal yang
sedang melakukan perlawanan segera melompat
mundur tiga langkah. Salah seorang diantara me-
reka memberi laporan pada laki-laki yang melaku-
kan bentakan tadi.
"Lapor...! Tiga ekor tikus cecurut telah be-
rani menyatroni daerah kekuasaan Kerajaan Iblis.
Mereka telah membunuh dua orang prajurit. Bah-
kan jika tetua tidak segera datang, mungkin saja
kami telah menjadi pecundang...!"
"Hemm. Goblook... hiiih...!" laki-laki bertangan buntung yang tidak lain Gending
Sora adanya kelihatan marah sekali. Lalu tanpa terduga-duga
langsung meninju wajah laki-laki yang memberi
laporan, hingga menyebabkan orang itu jatuh ter-
pelanting dengan wajah hancur dan jiwa melayang.
Baik si Penjerat Sukma maupun Sepasang Clurit
Maut kelihatan sangat terkejut sekali begitu meli-
hat kekejaman laki-laki bertangan buntung itu.
Yang membuat mereka heran, justru karena para
prajurit-prajurit lainnya tidak memperlihatkan wa-
jah ketakutan ataupun merasa jerih melihat segala
apa yang dilakukan oleh atasannya. Ataukah ka-
rena mereka telah terbiasa melihat kejadian-
kejadian seperti itu" Tiga orang pendatang itupun
tidak berani mengambil kesimpulan sampai sejauh
itu. Sementara itu Gending Sora dengan sikap


Pendekar Hina Kelana 32 Pembalasan Maha Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angker sekarang nampak memperhatikan lawan-
lawannya. "Berani mati kalian datang ke daerah keku-
asaan Maha Diraja Setan Bumi...!" bentaknya berapi-api.
"Huh. Telah begitu banyak orang yang tiada
berdosa telah kalian culik. Bahkan akhirnya men-
jadi budak di sini...! Wajar saja kami tidak dapat
menutup mata melihat ulah bangsat iblis yang
menamakan dirinya sebagai Maha Diraja Setan
Bumi!" teriak si Penjerat Sukma tidak kalah sengitnya. "Huaa... ha... ha...!
Kalian tidak mungkin dapat bertemu dengan junjungan kami, terkecuali
kalian mampu mengalahkan aku...!" kata Gending Sora dengan sikap angkuh.
"Puih. Bangsat! Jangankan hanya menga-
lahkan kau, membunuhmu sekalipun aku masih
sanggup...!" tukas si Penjerat Sukma tanpa dapat menahan kesabarannya lagi.
"Tikus cacingan! Buktikanlah...!" Gending Sora menutup kata-katanya dengan satu
tendangan telak mengarah pada bagian dada si perem-
puan bertubuh pendek. Sebagai orang yang sudah
berpengalaman dalam segala macam pertempuran.
Tentu saja tendangan kilat itu masih dapat dielak-
kan oleh si Penjerat Sukma. Bahkan sambil mem-
buang tubuhnya ke samping kiri, perempuan be-
rusia enam puluh tahun ini masih sempat han-
tamkan tinju kanannya mengarah bagian dada
Gending Sora. Laki-laki itu kelihatannya memang
tidak pernah mengira kalau lawannya dapat men-
gelakkan tendangan mautnya bahkan sempat pula
menghantamkan pukulan ke arahnya. Segera pula
menarik balik serangannya. Namun tetap saja tin-
ju yang dihantamkan oleh lawannya sempat me-
nyambar. Buuuk! Gending Sora mengumpat panjang pendek
saat tubuhnya hampir saja terjerembab ke tanah.
Dengan cepat ia segera memperbaiki kuda-
kudanya. Tetapi pada saat itu serangan lainnya te-
lah menderu ke arahnya. Hanya dengan mengan-
dalkan ilmu mengentengi tubuh yang sangat men-
gagumkan. Gending Sora dapat menghindari se-
rangan lawannya yang datang dari bagian samping
kiri dan kanan. Setelah berhasil membebaskan diri
dari kepungan lawan-lawannya. Tak pelak lagi ia
segera memberi aba-aba pada prajurit-prajurit Ke-
rajaan Iblis. Mendapat komando dari atasannya.
Maka tiada terbendung lagi mereka segera menca-
but berbagai jenis senjata yang mereka miliki. Da-
lam waktu yang singkat, pertarungan sengitpun
terjadi. Menghadapi keroyokan sedemikian rupa da-
ri orang-orang yang dikendalikan iblis. Mau tak
mau dalam beberapa jurus selanjutnya mereka
mula nampak terdesak. Baik Sepasang Clurit De-
wa maupun si Penjerat Sukma kelihatan sangat
gusar sekali. Selama malang melintang di dunia
persilatan. Mereka merasa baru kali inilah melihat betapa tangguhnya orang-orang
yang melakukan pengeroyokan itu. Meskipun mereka hanya memi-
liki kedudukan sebagai seorang prajurit belaka.
Bahkan sekarang mereka mulai merasa yakin
bahwa mungkin saja para prajurit yang melakukan
pengeroyokan itu telah dikendalikan oleh sebuah
kekuatan yang tidak terlihat.
Dalam keadaan terdesak dan mendapat te-
kanan dari segala penjuru. Tak ayal lagi mereka-
pun segera mencabut senjata andalannya masing-
masing. Dengan mempergunakan jala penjerat
sukma. Nenek bertubuh pendek kelihatan mulai
menjaring lawan-lawannya. Sedangkan Sepasang
Clurit Dewa nampak pula mengumbar kemara-
hannya dengan menebaskan senjatanya ke arah
prajurit-prajurit Kerajaan Iblis. Dalam waktu yang sangat singkat korbanpun
berjatuhan. Namun begitu lawan-lawan mereka berhasil dibuat porak po-
randa. Entah dari mana datangnya, datang pula
berpuluh-puluh prajurit lainnya. Seakan-akan pa-
ra prajurit itu tidak ada habis-habisnya, mereka
kembali melakukan pengeroyokan terhadap para
pendatang yang sekarang kelihatan semakin ber-
tambah terdesak.
Yang membuat Sepasang Clurit Dewa dan si
Penjerat Sukma keheranan adalah setiap prajurit-
prajurit pertama berhasil di tumpas oleh mereka.
Maka kedatangan prajurit yang baru selalu memi-
liki kekuatan lebih hebat. Bahkan terasa sangat
sulit untuk dijatuhkan karena mereka ternyata ti-
dak dapat-dibunuh dengan begitu saja. Andaipun
mereka dapat dihancurkan. Namun setiap tubuh-
tubuh yang bergelimpangan itu dilompati oleh ka-
wan-kawannya. Dengan segera mereka bangkit
kembali. Bahkan serangan-serangan yang mereka
lancarkan malah berubah lebih dahsyat dan berin-
gas dari serangan mereka tingkat permulaan.
Jayalaga, Jayasembara maupun nenek Pen-
jerat Sukma merasa kehabisan akal untuk menga-
tasi lawan-lawannya yang ternyata sangat sulit se-
kali mereka tumpas.
"Mundur...!" teriak Gending Sora yang bertindak sebagai pengendali dari semua
prajurit yang berada di sana. Serentak para prajurit-prajurit itu berserabutan meninggalkan
gelanggang pertempuran. Tiga orang pendatang itu sekarang bergerak
menyatu dengan posisi berpunggung-punggungan.
Detik-detik selanjutnya suasana terasa hening
mencekam. Namun keheningan itu tidak berlang-
sung lama. Karena sesaat kemudian terdengar su-
ara tawa tergelak-gelak berasal dari bagian depan
istana. "Kalian terlalu gegabah, orang-orang malang. Hanya ada dua pilihan bagi
kalian mampus atau menjadi para abdi Kerajaan Iblis...!" suara yang dikerahkan dengan
mempergunakan tenaga
dalam itu menggema di kegelapan malam. Bahkan
andai saja si Penjerat Sukma dan Sepasang Clurit
Maut tidak cepat-cepat mengerahkan tenaga da-
lamnya. Dapat dipastikan mereka sudah terjung-
kal sejak tadi. Dalam menghadapi situasi seperti
itu. Sebenarnya mereka merasa heran sekali kare-
na suara teriakan yang disertai tenaga dalam itu
tidak berpengaruh apa-apa bagi prajurit-prajurit
Kerajaan Iblis.
"Kami datang hanya dengan satu tujuan ib-
lis keparat! Yaitu ingin memenggal kepalamu yang
penuh dengan kelicikan itu...!" bentak si Penjerat Sukma.
"Hemm. Begitu banyak orang yang meng-
hendaki kepalaku. Begitu berhargakah kepalaku
bagi kalian, orang-orang persilatan...?" gumam sebuah suara yang tak lain suara
Maha Diraja Setan
Bumi adanya. "Sesungguhnya nyawamu tidak berharga
sama sekali. Tetapi karena sepak terjangmu yang
telah membuat sengsara seluruh rimba persilatan.
Itulah yang membuat kami harus membunuh-
mu...!" "Ha... ha... ha...! Jangan sebut aku calon penguasa jagad jika aku tidak
mampu membunuh semua penghalangku sekarang juga...!" kata Maha Diraja Setan Bumi dengan suara
menggeledak. Selanjutnya tanpa berkata lagi. Masih di
depan istananya penguasa Kerajaan Iblis, Maha
Diraja Setan Bumi kepalkan kedua tangannya di
depan muka. Selanjutnya secara perlahan kedua
tangan yang terkepal itu ia dorongkan ke arah de-
pan. Dari tempatnya berdiri nampaknya tiga orang
pendatang ini menyadari adanya bahaya datang
mengancam. Maka dengan cepat mereka memutar
senjata masing-masing untuk membentuk sebuah
pertahanan yang sangat kokoh.
Dari bagian telapak tangan Maha Diraja Se-
tan Bumi menderu segelombang angin pukulan
yang menimbulkan hawa panas luar biasa. Den-
gan telak pukulan 'Iblis Perenggut Sukma' meng-
hantam pertahanan lawannya.
Dweerr... dweerr... blaaam!
Terdengar tiga ledakan yang sangat keras
ketika pukulan maut itu menghantam si Penjerat
Sukma dan Sepasang Clurit Dewa. Tidak dihindari
lagi tubuh ketiga pendatang itu jatuh terpelanting dengan menderita luka dalam
yang cukup parah.
Bahkan mereka tidak mampu berbuat banyak ke-
tika para prajurit Kerajaan Iblis meringkus mere-
ka. Untuk kemudian memenjarakannya di bawah
tanah. *** 4 Bukit Neraka pagi itu berselimut kabut teb-
al. Sejauh-jauh mata memandang yang kelihatan
hanyalah kelebatan pohon cemara yang melambai-
lambai ditiup angin. Sesekali semilir angin sepoi-
sepoi terasa membelai kepala laki-laki bermata si-
pit yang tiada berambut barang sedikitpun juga.
Sesaat lamanya laki-laki asing berkepala botak itu menajamkan penglihatannya
pada satu arah. Dan
matanya yang sipit itu semakin bertambah menyi-
pit ketika ia melihat sesuatu yang sangat samar-
samar, jauh di atas bukit sana.
"Amitaba! Seumur hidup baru kali ini aku
melihat sebuah ilmu sakti yang dapat diperguna-
kan membentengi sebuah Kerajaan yang sedemi-
kian besarnya. Aku tidak tahu apakah orang-orang
yang telah membunuh saudara-saudara sepergu-
ruanku berada di sana. Hemm. Akupun masih be-
lum dapat memastikan apakah semua kekuatan
yang kumiliki mampu mengatasi mereka. Telah
begitu jauh aku melakukan perjalanan, baru di
daerah Jawa Dipa ini aku melihat berbagai ilmu
kesaktian yang beraneka ragam. Seharusnya aku
tidak perlu terlalu mengikuti nafsu angkara mur-
ka. Namun membalaskan kematian untuk saudara
segolongan dan sepaham. Rasanya hal itu meru-
pakan sebuah kewajiban yang harus kulaksanan-
kan...!" gumam laki-laki berkepala botak itu dengan sesungging senyum tipis.
Kemudian tanpa berpikir panjang lagi, ma-
ka laki-laki asing yang tidak lain merupakan Biksu Beng Lee adanya segera
mengerahkan ilmu lari cepatnya mendekati bangunan istana yang berseli-
mut kabut tebal itu. (Untuk lebih jelasnya siapa
Biksu Beng Lee ini, terdapat dalam Episode Ger-
hana di Malam Jahanam). Tidak sampai sepema-
kan sirih. Laki-laki berkepala botak itupun telah
mendekati benteng Istana Iblis yang pada hake-
katnya tidak dapat ditembus oleh mata biasa ter-
kecuali mereka-mereka yang telah memiliki keah-
lian rohani yang tinggi.
Di luar benteng Istana Iblis keadaan terasa
sunyi sepi, namun pada bagian dalam benteng su-
ara hiruk pikuk terdengar di mana-mana. Tiba-
tiba laki-laki itu mendengar derap langkah kaki
menuju ke arahnya. Dengan cepat laki-laki berke-
pala gundul ini menyelinap di balik semak-semak
yang terletak tidak begitu jauh dari pinggir tembok itu. "Yang mulia Topi
Terbang mengatakan ada seekor keledai berkepala gundul telah berani me-nyusup ke
tembok istana. Betulkah itu...?" tiba-tiba saja beberapa orang pengawal
bersenjata lengkap telah muncul di pinggir tembok istana.
Masih untung Biksu Beng Lee cepat-cepat bersem-
bunyi, jika tidak sudah tentu kehadirannya telah
diketahui oleh para prajurit-prajurit itu. Begitupun ia sudah mulai dapat
menduga. Bahwa orang yang
sedang diperbincangkan oleh para pengawal itu
tak lain pastilah dirinya. Mengingat betapa ketat-
nya penjagaan yang dilakukan di daerah Kerajaan
Iblis. Mau tak mau Biksu Beng Lee terpaksa meli-
pat gandakan kewaspadaannya. Bahkan sekarang
demi untuk menghindari segala sesuatu yang tidak
diingini, laki-laki itu kelihatan semakin mera-
patkan tubuhnya ke permukaan tanah.
"Aku yakin keledai gundul itu bersembunyi
di sekitar tempat ini...!" kata salah seorang pengawal wanita. Bagian hidungnya
kelihatan kem- bang kempis, tak ubahnya seekor binatang pelacak
yang siap mencari jejak buruannya.
"Kalau begitu kita periksa seluruh tempat
ini...!" perintah salah seorang di antara mereka berwibawa. Dengan cepat
prajurit-prajurit itupun
menyebar. Rasanya Biksu Beng Lee tidak mungkin
berdiam diri selamanya menunggu sampai para
prajurit itu menemukan tempat persembunyian-
nya. Akhirnya tanpa menunggu lagi, Biksu Beng
Lee segera merogoh beberapa buah supit beruku-
ran tidak begitu panjang. Senjata rahasia sejenis
itu di dataran Tiongkok sana di kenal sebagai se-
buah senjata andalan yang dapat dipergunakan
sewaktu-waktu dalam keadaan terdesak ataupun
kepepet. Dua tombak jarak para prajurit Kerajaan Ib-
lis dengan dirinya, Biksu Beng Lee langsung me-
nyambitkan beberapa batang supit yang telah siap
ditangannya. "Jeeest...!" karena senjata rahasia itu dilem-parkan dengan segenap tenaga dalam
yang dimiliki oleh sang Biksu. Maka tidak heran jika senjata-
senjata maut itu pun melesat melebihi kecepatan
anak panah. Tiga orang pengawal langsung ter-
jengkang ketika senjata rahasia milik Biksu Beng
Lee menembus pangkal tenggorokan mereka. Bah-


Pendekar Hina Kelana 32 Pembalasan Maha Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan para prajurit-prajurit itupun tidak mampu lagi menjerit ataupun melolong.
Namun yang membuat
Biksu Beng Lee terheran-heran adalah karena ti-
dak begitu lama setelahnya tubuh para prajurit
yang terkena serangan senjata rahasia itu telah
bergerak-gerak kembali. Bahkan kemudian bang-
kit pula seolah mereka bagai orang yang baru ter-
jaga dari sebuah mimpi buruk yang menyeramkan.
Sebagai seorang ahli rohani, laki-laki berke-
pala gundul itu nampaknya tidak perlu berlama-
lama untuk mengetahui sebab-sebab mengapa pa-
ra prajurit-prajurit itu dapat hidup kembali setelah terkena serangan senjata
rahasia miliknya. Kesimpulan laki-laki itu adalah karena mungkin saja
prajurit-prajurit itu telah digerakkan oleh seorang tokoh sesat yang memiliki
kesaktian tiada terukur
kehebatannya. Tanpa berpikir panjang sekali lagi
Biksu Beng Lee mencabut enam buah supit dari
balik jubahnya. Setelah menusukkannya di atas
tanah. Laki-laki itu kembali melontarkan tangan
kanannya ke segala arah.
Weeert...! Dengan tepat senjata-senjata maut itu
menghantam tubuh prajurit di berbagai bagian.
Sekali ini terdengar jeritan tinggi menyayat mana-
kala senjata-senjata itu menembus bagian tubuh
mereka. Tak pelak lagi enam orang prajurit Kera-
jaan Iblis yang terdiri dari laki-laki dan perempuan tersungkur ke tanah dengan
jiwa melayang. Di lain
pihak suara teriakan tadi sudah jelas mengundang
perhatian prajurit-prajurit lainnya. Tidak terkecua-li mereka yang berada di
dalam benteng istana.
Berpuluh-puluh orang kemudian berhamburan ke-
luar dari bagian pintu utama. Dalam waktu yang
sangat singkat tempat persembunyian Biksu Beng
Lee telah terkepung rapat dari segala penjuru.
"Cincang kaum persilatan yang berusaha
merongrong kewibawaan Maha Diraja...!" terdengar suara riuh rendah memecah
keheningan pagi.
"Kepada orang yang bersembunyi di dalam
semak-semak. Harap berani tunjukkan diri secara
ksatria...!" perintah seorang pemuda berpakaian serba kuning. Melihat
penampilannya tidak salah
lagi, dialah si Topi Terbang pembantu utama Maha
Diraja Setan Bumi bersama kekasihnya Asih An-
graeni. Biksu Beng Lee bukanlah jenis manusia
pengecut. Begitu mendengar perintah si pemuda
berpakaian serba kuning. Dengan cepat ia segera
melompat berdiri. Kemudian dengan tatapan pe-
nuh welas asih. Dipandanginya mereka yang bera-
da di tempat itu satu persatu.
"Ha... ha... ha...! Hanya seekor tikus gundul seperti ini rupanya yang telah
begitu berani menyatroni Istana Iblis, lebih lancang lagi telah pula membunuh
beberapa orang prajurit Kerajaan. Hebat! Sungguh hanya manusia yang sudah bosan
hidup saja yang begitu berani mencari urusan
dengan Maha Diraja Setan Bumi!" kata Sakapala alias si Topi Terbang tanpa
ekspresi. "Amitaba!" Biksu Beng Lee rangkapkan ke-
dua tangannya persis di depan dada.
"Seorang anak manusia memiliki gelar yang
sedemikian menyeramkan. Heh... hanya manusia
yang paling sesat sajalah yang suka memakai gelar
itu...!" "Puiih. Bicara muter-muter. Sebenarnya apakah yang kau ingin orang
asing sehingga begitu
berani datang ke daerah Bukit Neraka ini?" bentak si Topi Terbang merasa tidak
sabar lagi. "Dunia ini memang penuh kepura-puraan.
Mata melihat tapi berpura-pura buta. Aku sengaja
datang dari sebuah negeri yang jauh ke daerah ini
hanya ingin menawarkan sebuah kebaikan. Tidak
disangka mereka telah merusak sebuah itikad baik
kami. Bahkan secara langsung aku berani menga-
takan bahwa kaulah orangnya yang telah begitu
tega membunuh adik seperguruanku, Beng Ju...
Amitaba... Sang Hyang Widi pasti mengutuk segala
perbuatanmu yang keji itu...!" ujar Biksu Beng Lee dengan sikap tenang.
Merah padam wajah Sakapala demi men-
dengar apa yang dikatakan oleh Biksu Beng Lee.
Sama sekali ia tidak menyangka laki-laki berkepa-
la gundul itu mengetahui apa yang pernah ia la-
kukan terhadap Biksu Beng Ju. Namun sebagai
tokoh muda beraliran sesat ia tidak ingin semua
yang dilakukannya membawa akibat yang berke-
panjangan. Apalagi sekarang saudara seperguruan
dari orang yang telah dibunuhnya berada di wi-
layah kekuasaan Kerajaan Iblis. Baginya tidak ada
jalan lain terkecuali membunuh atau setidak-
tidaknya meringkus pendeta asing itu dalam wak-
tu secepatnya. "Keledai gundul. Kuakui baru kau seorang
yang mampu melihat singgasana iblis di siang ha-
ri. Bahkan aku merasa salut. Namun kau harus
ingat! Siapapun orang yang telah berani memasuki
wilayah kekuasaan kami. Tak seorang-pun dapat
kembali ke dunia ramai dengan selamat. Nah se-
karang bersiap-siaplah kau menghadapi serangan
kami berdua...!" setelah berkata begitu Sakapala memberi isyarat pada Asih
Angraeni. Tanpa berkata apa-apa, gadis itupun akhirnya menerjang Bik-
su Beng Lee dengan jurus-jurus andalannya.
Hanya dalam waktu yang sangat singkat terjadilah
pertempuran sengit di tempat itu. Masing-masing
lawan saling melancarkan pukulan-pukulan
mautnya. Bahkan Asih Angraeni dengan penuh
nafsu berusaha menjatuhkan lawannya dengan
cara memperhebat serangan. Namun Biksu Beng
Lee, bukanlah seorang tokoh silat sembarangan.
Laki-laki berkepala gundul itu memiliki berbagai
pengalaman yang luas dalam setiap pertempuran.
Bahkan di negeri leluhurnya dia di kenal sebagai
Alap-Alap Putih yang telah begitu banyak meng-
hancurkan markas golongan hitam. Sekarang
menghadapi serangan lawan yang hanya memiliki
beberapa jenis jurus-jurus maut. Maka dalam
waktu yang singkat ia telah mengetahui kelema-
han permainan silat lawannya.
Setelah lima belas jurus ia hanya bertahan
menghindari serangan-serangan lawannya. Maka
sekarang ia malah berbalik merangsak Asih An-
graeni dengan mempergunakan senjatanya yang
berupa tasbih. Hanya dalam beberapa gebrakan
saja, Asih Angraeni mulai jatuh di bawah angin.
"Hiaaat...!" Asih Angraeni terpaksa melompat mundur tiga langkah saat tasbih di
tangan Biksu Beng Lee menderu ke arah bagian dadanya.
Gadis itu memutar pedangnya lebih sebat lagi. Pa-
da saat itu si Topi Terbang yang telah melihat be-
tapa kekasihnya tidak mampu mengatasi lawan-
nya segera membentak.
"Munduur...!" teriaknya sambil melompat
dan sekarang telah berhadapan dengan Biksu
Beng Lee. Laki-laki berkepala gundul itu rang-
kapkan kedua tangannya persis di depan dada.
"Amitaba! Mengapa tidak sejak tadi kau
menghadapiku, kisanak...!" kata Biksu Beng Lee dengan tatapan teduh.
"Manusia keparat! Jangan merasa menang
dulu! Sebentar lagi kau segera dapat merasakan
betapa kepandaian yang kau miliki tidak ada ar-
tinya di depanku...!" bentaknya marah.
"Haeees...!" Sakapala tanpa membuang-
buang waktu lagi langsung menerjang pendeta as-
ing itu dengan segenap kemampuan yang dimiliki.
Pertempuran dua tokoh persilatan itu berlangsung
sengit dan seru. Beberapa kali baik pukulan mau-
pun tendangan kaki yang mereka lancarkan saling
menghantam bagian pertahanan mereka yang le-
mah. Bahkan tidak jarang si Topi Terbang harus
jatuh terguling-guling saat mana serangan Biksu
Beng Lee menghantam rusuk kirinya.
"Keparaaat...!" maki si Topi Terbang marah
bukan main. Selanjutnya pemuda ini merang-
kapkan kedua tangannya ke depan dada. Melihat
apa yang dilakukan oleh lawannya mengertilah
Biksu Beng Lee bahwa saat itu lawannya sedang
bersiap-siap melepaskan pukulan andalan. Laki-
laki ini tentu saja tidak tinggal diam. Dengan cepat pula ia segera mengangkat
kedua tangannya persis
di atas kepala. Dengan mempergunakan pukulan
'Naga Merah Memburu Burung Hong'. Pendeta dari
daratan Tiongkok itu segera menghantamkan tan-
gannya ke arah depan ketika pukulan yang dile-
paskan oleh Sakapala menderu keras ke arahnya.
"Bldeeer...!"
Satu ledakan keras terdengar saat mana
dua pukulan yang menimbulkan udara dingin dan
panas itu saling bertemu. Tubuh mereka sama-
sama terlempar tujuh batang tombak. Biksu Beng
Lee kelihatan tertatih-tatih sambil memegangi da-
danya yang terasa sesak dan sakit. Sementara da-
rah kental nampak meleleh dari sela-sela bibirnya.
Sebentar ia kelihatan berusaha mengerahkan ha-
wa murni untuk menghilangkan rasa sakit yang
mendera tubuhnya.
Di lain pihak Sakapala juga menerima aki-
bat yang tidak ringan. Namun laki-laki itu seda-
patnya berusaha menyembunyikan apa yang dira-
sakannya di depan para prajurit Kerajaan. Teru-
tama kepada kekasihnya. Sungguhpun begitu Bik-
su Beng Lee sebagai orang yang berpengalaman
dapat melihat bahwa lawannya juga mengalami
luka dalam yang serius.
"Orang asing! Sengaja aku tidak ingin men-
gerahkan orang-orangku untuk menghadapimu.
Ha... ha... ha...! Sungguhpun begitu kau tetap ti-
dak punya kemungkinan untuk lolos dari kema-
tian...!" kata Sakapala dengan sesungging senyum sinis. Sesaat kemudian pemuda
itu telah melepaskan senjata andalannya yang berupa sebuah
tongkat baja bergerigi mirip gergaji. Laki-laki itu kelihatan menimang-nimang
senjata andalannya.
Sementara seluruh perhatiannya tertuju pada Bik-
su Beng Lee yang nampaknya tetap mengembang-
kan senyum kearipan kepada mereka yang hadir di
situ. "Sekarang aku semakin bertambah yakin.
Kaulah orangnya yang telah membunuh saudara
seperguruanku, juga para pengikutku...!"
"Kalau memang benar kau bisa apa, orang
asing...?" ejek Sakapala mencemooh.
"Aku akan menunjukkan sebuah jalan lurus
kepadamu, shaaaa...!" teriak laki-laki berkepala gundul itu, lalu menerjang
Sakapala. Bekas murid
perguruan gunung Ungkur ini tertawa tergelak-
gelak. Tanpa menunggu lebih lama lagi Sakapala
segera menyambitkan senjatanya ke arah Biksu
Beng Lee. Terdengar suara menggaung dan me-
nimbulkan angin sangat kencang manakala senja-
ta maut itu melayang di udara. Biksu Beng Lee ti-
dak tinggal diam. Sambil mengebutkan tasbih di-
tangannya tubuh laki-laki itu melompat ke udara.
Celakanya senjata milik Sakapala terus memburu
kemanapun tubuhnya bergerak.
Traaang! Traaang!
Dua senjata saling beradu, karena masing-
masing senjata itu dialiri tenaga dalam. Terlihat
bunga api berpijaran di udara ketika senjata itu
saling membentur. Anehnya senjata milik Sakapa-
la yang dapat dikendalikan dari jarak tertentu te-
rus memburu kemanapun lawannya berusaha
menghindar. Biksu Beng Lee rasanya tidak mempunyai
pilihan lain lagi terkecuali segera mempergunakan
jurus 'Selaksa Budha Menipu Jarak'. Dengan cepat
laki-laki itu menghantamkan tangannya ke arah
depan. Selanjutnya kedua tangannya disilangkan
ke depan dada. Bibir laki-laki itu sekarang telah
berkomat-kamit. Akibatnya tentu saja membuat
mereka yang hadir di situ membelalakkan ma-
tanya. Bagaimana tidak. Sekarang tubuh Biksu
Beng Lee telah menjadi beberapa orang yang sama.
"Ilmu iblis...!" gumam Sakapala tanpa sadar.
Namun pemuda itu tetap menghantamkan senja-
tanya ke arah Beng Lee. Walaupun Sakapala tidak
dapat memastikan yang manakah ujud asli lawan-
nya dari lima orang sosok yang sama itu. Namun
ia berharap cepat atau lambat dia dapat menemu-
kan sosok asli pendeta itu.
"Ngiiing...!"
Angin kencang menderu keras mengikuti
berputarnya topi terbang milik Sakapala.
Wuees! Sreeess...!
Topi Terbang milik Sakapala berhasil meng-
gulung salah seorang dari ujud Beng Lee palsu.
"Keparat...!" maki Sakapala merasa terke-coh. Sekarang Biksu Beng Lee dan empat
kem- barannya telah bergerak cepat mengurung Saka-
pala. Laki-laki itu tentu saja menjadi kelabakan.
Untung Asih Angraeni cepat datang membantu.
Begitupun dua pukulan yang telak datang berun-
tun menghantam dadanya.
Dess! Buuuk! Tubuh Sakapala terpelanting roboh. Dari
mulutnya menggelogok darah kental. Wajahnya
pucat bagai kain kapan. Rasanya ia tidak mungkin


Pendekar Hina Kelana 32 Pembalasan Maha Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu menghindari serangan selanjutnya andai
saat itu tidak terdengar suara tawa yang serasa
bagai meruntuhkan lereng bukit. Sebaliknya Biksu
Beng Lee merasa terkejut sekali. Ia merasakan be-
tapa suara tawa yang disertai dengan pengerahan
tenaga dalam itu sangat mempengaruhi kosentra-
sinya. Sekarang sadarlah ia bahwa sebenarnya su-
ara tawa itu bertujuan menghancurkan kekuatan-
nya. Biksu Beng Lee segera menarik balik kekua-
tannya. Selanjutnya dengan mempergunakan ilmu
'Selubung Penglihatan'. Laki-laki itupun dengan
cepat meninggalkan tempat itu.
"Keparat! Keledai gundul itu telah merat da-
ri hadapan kita...!" teriak Sakapala merasa gusar.
"Dengan ilmunya itu. Dia bukanlah tandin-
ganmu, Topi Terbang...!" terdengar sebuah suara serak mengumandang. Suara itu
bagi mereka sudah tidak asing lagi.
"Dia dapat membahayakan Kerajaan Iblis,
yang mulia...!" ujar Sakapala khawatir.
"Orang itu tidak bisa berbuat banyak, sela-
ma aku berkuasa di sini. Nah sekarang kau harus
kembali ke dalam benteng bersama prajurit-
prajurit itu...!" perintah Maha Diraja Setan Bumi dengan suara bergetar.
Akhirnya tanpa berani
membantah, Sakapala segera memerintahkan para
prajurit itu kembali ke dalam istana. Sementara ia sendiri berikut kekasihnya
mengiringi mereka dari
belakang. *** 5 Gunung Ungkur tiga hari telah ditinggalkan
oleh Pendekar Hina Kelana. Bahkan ia harus pula
menitipkan Cempaka pada Pramesta serta Kurnia
Dewi di padepokan itu. Pada kenyataannya mereka
memang harus menunggu hasil penyelidikan
Buang Sengketa mengenai kekuatan yang dimiliki
oleh Kerajaan Iblis. Sekarang dengan penuh ke-
waspadaan pemuda berkuncir itu mulai mendaki
bukit Neraka yang menimbulkan kesan angker itu.
Hanya dengan mengerahkan kekuatan batinnya
saja pemuda itu dapat melihat keberadaan Kera-
jaan Iblis tidak jauh didepannya sana. Selebihnya
adalah kabut tipis yang senantiasa menyelimuti
Kerajaan itu. Beberapa saat pemuda tampan keturunan
Raja Piton Utara dari Negeri Bunian itu menghen-
tikan langkahnya. Sekarang seluruh perhatiannya
tertuju pada sebuah tempat di atas bukit sana.
"Benar-benar hebat kekuatan yang dimiliki
oleh Maha Diraja Setan Bumi itu. Aku hampir me-
rasa yakin pastilah usaha kaum persilatan untuk
menghancurkan tempat itu hanya merupakan se-
buah kesia-siaan belaka. Hanya orang yang memi-
liki kesaktian luar biasa saja yang mungkin mam-
pu menerobos Kerajaan itu...!" gumam Buang
Sengketa sambil geleng-gelengkan kepalanya.
Buang Sengketa kemudian kembali melangkah,
sementara panas mulai terasa menyengat. Hanya
sesekali saja angin kencang dari arah Utara ber-
hembus mengibarkan anak-anak rambut si pemu-
da. "Rasanya aku tidak mungkin hanya berpu-
tar-putar saja di sini! Lama kelamaan mereka pasti mengetahui kehadiranku...!"
gumamnya lagi. Buang Sengketa baru saja hendak mengerahkan
ilmu lari cepatnya. Ketika dari arah belakangnya
terdengar suara bentakan yang disertai dengan
pengerahan tenaga dalam.
"Berhenti...!"
Tanpa diperintah dua kali pemuda itu pun
menghentikan langkahnya. Dengan sikap enggan
iapun segera menoleh ke belakangnya. Lalu tam-
pak olehnya beberapa orang laki-laki bertampang
kasar berjalan cepat ke arahnya. Melihat penampi-
lan orang-orang itu tahulah Buang Sengketa bah-
wa orang-orang berpakaian serba cokelat itu tidak
lain merupakan para prajurit Kerajaan Iblis. Ketika jarak mereka telah begitu
dekat dengan Pendekar
Hina Kelana. Dengan senjata terhunus mereka se-
gera bergerak melakukan pengepungan. Buang
Sengketa hanya tersenyum saja begitu melihat ge-
lagat yang tidak baik ini. Apalagi ketika ia melihat
seorang laki-laki bertangan buntung yang pernah
ia kenal beberapa purnama yang telah lalu. (Dalam
episode Gerhana di Malam Jahanam).
"Selamat bertemu sobat lama! Hem... apa-
kah tanganmu yang buntung sekarang telah sem-
buh...?" ejek si pemuda berusaha memanas-
manasi laki-laki bertangan buntung yang tidak
lain Gending Sora adanya. Diejek sedemikian rupa,
terlebih-lebih di depan para prajurit-prajurit Kerajaan yang menjadi bawahannya.
Gending Sora kontan berubah parasnya. Walau bagaimanapun
ia masih mendendam pada pemuda yang telah
membuntungi sebelah tangannya. Apalagi seka-
rang ia merasa berada di dalam wilayahnya sendi-
ri. Betapapun hebatnya pemuda itu ia yakin dapat
dikalahkan oleh mereka.
"Kunyuk pembawa periuk nasi. Sadarkah
kau di mana saat ini kau bicara...?" bentak Gending Sora dengan tatapan tajam
Manusia Harimau 5 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Sembilan Pusaka Wasiat Dewa 2
^