Pencarian

Goa Mulut Naga 1

Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga Bagian 1


GOA MULUT NAGA Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Pendekar Kembar
Dalam Episode 003 :
Goa Mulut Naga 128 Hal.; 12 x 18 Cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 MATAHARI sore mulai mendekati batas
perairan samudera di cakrawala. Gemuruh ombak berpadu dengan deru angin, membuat
suara-suara percakapan di pantai itu
menjadi samar-samar.
"Apakah sudah kau pertimbangkan
masak-masak rencanamu itu"!"
"Sudah!"
"Juga sudah kau perhitungkan bahaya yang menghadangmu di sana?"
"Sudah!"
"Kalau begitu kau sudah siap untuk mati!"
"Sangat siap!" Jawab suara tegas itu.
"Jika begitu tekadmu, aku tak bisa menahanmu lagi."
"Kau tak perlu menahanku!"
"Semula aku hanya
tak ingin kehilangan dirimu."
"Kau telah kehilangan diriku sejak kehadiran Luhmini di sampingmu"
"Luhmini hanya seorang sahabat biasa bagiku."
"Bagimu memang sahabat biasa, tapi baginya kau bukan sekadar sahabat biasa!"
"Persetankan dia, mengapa harus kau hiraukan?"
"Tak biasa! Aku tak suka padanya!"
suara itu lebih tegas lagi.
"Kepergianmu hanya akan membuka
kesempatan lebih lebar lagi bagi Luhmini untuk mendekatiku."
"Sesempit apa pun ia akan tetap bisa mendekatimu, karena kau tak mau jauh
darinya." "Tak mungkin aku harus melupakan sahabat lamaku itu."
"Tak mungkin pula aku harus berada di antara kalian berdua"
Pemilik suara tegas bernada dingin
itu masih tetap pandangi cakrawala dengan sorot pandangan mata yang hampa. Ia
tak pernah mau berpaling ke arah kirinya,
sebab di sebelah kirinya berdiri seorang pemuda berpakaian serba biru dan
berambut ikal. Pemuda itu tampak sudah tak punya harapan lagi. Akhirnya IA
berkata sambil membuang napas lewat hidung.
"Jika begitu kekerasan hatimu, aku hanya bisa mengucapkan selamat jalan
padamu, Anggiri. Semoga kau menemukan apa yang kau cari di Gua Mulut Naga itu.
Semoga pula hatimu masih menyimpan sisa cinta yang pernah kita jalin bersama."
"Tak ada sisa lagi di hatiku" ujar Anggiri dengan dingin dan datar.
"Jika nanti kau berhasil mendapatkan Bunga Pucuk Dara di Gua Mulut Naga itu,
jangan harapkan aku akan tunduk padamu.
Dari semua pria yang akan tunduk padamu, hanya aku yang tak akan sudi menyerah
padamu, Anggiri!"
"Kita buktikan saja nanti! Sekarang pergilah dan jangan sampai bertemu
denganku lagi. Jika kita bertemu lagi, pastikan saja bahwa saat itu adalah saat
kematianmu tiba, sebagai kematian seorang pengkhianat cinta!"
"Kurasa kau telah...."
"Tinggalkan aku sekarang juga, Arya Semirang!" potong gadis itu dengan suara
menghentak, tapi pandangan tetap tertuju ke cakrawala. Pemuda yang bernama Arya
Semirang itu hanya bisa menarik napas
dalam-dalam. Setelah memandang Anggiri selama dua helaan napas, ia pun segera
pergi tinggalkan pantai tersebut.
Wesss...! Ombak lautan yang bergulung-gulung
itu, akhirnya pecah setelah menghantam gugusan batu karang sebesar rumah.
Pecahan ombak Itu menjadi riak, dan riak pun menghampar di pasir pantai dengan
lembutnya. Sepasang kaki berbetis indah tersapu
percikan air pantai. Sekalipun basah, namun sepasang kaki itu tetap tak mau
menyingkir dari tepian pantai. Betisnya yang indah itu dililit pengikat alas
kaki separo bagian, menimbulkan rasa penasaran untuk melihat bentuk keutuhannya.
Tapi bagi seorang lelaki akan lebih
suka memandang bagian atas betis itu.
Lutut yang telanjang mempunyai batas
pandang sekitar satu jengkal ke atas.
Bagian atas lutut itu umumnya disebut
paha. Dan paha putih berbulu lembut itu ternyata hanya dibungkus sebagian kecil
saja. Pembungkusnya selembar kain merah dibentuk celana pendek yang mini sekali.
Bagian tepi celana pendek Itu berserat-serat mirip celana pengemis, tapi justru
menambah daya tarik tersendiri bagi kedua paha tersebut.
Celana pendek Itu berpinggang ketat
dan ditutup sabuk hitam dengan hiasan
paku-paku metal. Celana dan sabuk tak
sampai menutup bagian pusarnya. Pusar di perut putih berbulu samar-samar itu
juga tidak sampai tertutup kain rompi yang
dikenakan. Rompi itu bagai terkatung-
katung di atas pusar, seakan takut
menyentuh permukaan pusar cekung itu.
Rompi itu juga dibuat dari kain merah
tebal. Tepian rompi berserat-serat
seperti rompinya pengemis. Belahan depan dikancingkan sebagian, terutama dua
kancing di bawah, sedangkan kancing di atasnya dibiarkan terbuka, membuat tepian
dada tampak tersembul bak mengintai
mangsa atau siap mangsa kemontokannya.
Sosok tubuh yang sekal, padat dan
tampak berisi Itu ternyata milik seorang gadis berusia sekitar delapan belas
tahun. Tetapi perawakannya yang tinggi
dan sigap Itu membuatnya tampak Jauh
lebih dewasa dari usia sebenarnya.
Bukan berarti gadis itu tampak tua,
namun justru sebaliknya, ia kelihatan
cantik dan muda, namun punya daya pikat yang cukup dewasa. Gadis itu berhidung
mancung, bermata sedikit lebar namun
Indah bentuknya dengan bulu mata yang
lentik dan lebat, alisnya agak tebal
namun tersusun rapi, bibirnya sedikit
tebal tapi justru menghadirkan khayalan menggemaskan bagi setiap lelaki, dan
rambutnya berpotongan pendek, cepak,
membuat lehernya yang putih mulus Itu
terbuka lebar seakan siap menerima
kecupan setiap saat. Gadis itu mempunyai dagu sedikit terbelah, membuat
kecantikannya tampak berbeda dari gadis-gadis cantik lainnya.
Gadis itulah yang bersuara tegas dan
datar tadi. Ia bernama Anggiri, tetapi di rimba persilatan ia lebih dikenal
dengan nama: Perawan Hutan.
Rupanya ia baru saja putus cinta
dengan seorang pemuda tampan berbadan
tegap yang bernama Arya Semirang.
Putusnya hubungan cinta
kasih itu merupakan awal permusuhan bagi Perawan Hutan. Luka di hatinya tak akan sembuh
jika membiarkan Arya Semirang tetap hidup jika nanti berhadapan dengannya lagi.
Sekalipun hati terluka, namun Perawan
Hutan tak mau kehilangan semangat
hidupnya. la tak ingin menitikkan air
mata untuk seorang kekasih yang berjiwa pengkhianat. Ia tetap ingin tegar dan
lebih bersemangat lagi meraih tujuannya, agar suatu saat nanti dapat unjuk gigi
di depan sang pengkhianat cinta itu.
"Aku tak ingin diperbudak oleh cinta Aku bukan seorang gadis yang cacat dan tak
berilmu!" tegasnya dalam hati.
"Seribu lelaki yang lebih dari Arya Semirang bisa kudapatkan dalam waktu
singkat dengan cara mengobral kecantikan dan kemolekan tubuhku. Tapi apa artinya
Jika aku harus hancurkan diri dengan cara seperti itu"! Lebih baik aku memburu
Bunga Pucuk Dara itu, agar aku dapat
tundukkan semua lelaki di dunia, dan
menjadikan Arya Semirang menjadi alas
kakiku!" Dari sikap berdirinya, Anggiri tampak
tak tetap tegar dan tak tergoyahkan oleh kehancuran cintanya. Matanya yang
memandang penuh pancaran dendam telah
membuat wajah cantiknya kelihatan galak, angkuh dan tak punya rasa takut kepada
siapa pun. Tak ada lagi senyum yang perlu dipamerkan olehnya, karena ia tak
ingin dinilai sebagai gadis ganjen dan mudah ditaklukkan oleh lelaki.
"Akulah yang akan hadir sebagai sang penakluk jika Bunga Pucuk Dara telah
kudapatkan!" ujarnya di dalam hati dengan penuh semangat, seakan sudah merupakan
tekad yang tak bisa diguncang oleh siapa pun.
"Aku harus temui guru lebih dulu
untuk minta petunjuk ke Gua Mulut Naga."
Perawan Hutan segera bergegas
meninggalkan pantai. Tetapi baru saja
badannya berbalik dan ingin melangkah, tiba-tiba gerakannya terhenti begitu
matanya berbenturan dengan sorot
pandangan mata seorang pemuda yang duduk di atas batu setinggi perut. Rupanya
pemuda berbaju tanpa lengan warna putih dan bercelana putih pula itu sudah sejak
tadi duduk di batu itu. Tapi karena tadi posisinya dipunggungi Perawan Hutan,
maka gadis itu tak mengetahui bahwa dirinya sudah agak lama diperhatikan oleh
pemuda berambut panjang lurus sepundak itu.
Perawan Hutan merasa asing dengan
pemuda tampan berjarak enam langkah
darinya itu. Ketampanannya tak pernah
dijumpai di rimba persilatan. Ketampanan itu seperti kekuatan gaib yang mampu
menghadirkan kesejukan di hati. Bahkan sorot pandangan mata si pemuda bagai
memancarkan keteduhan yang meresap di
hati. "Ah, persetan dengannya!" geram hati Perawan Hutan. Kemudian ia paksakan diri
untuk tetap melangkah tinggalkan pantai
berlangit merah.
Perawan Hutan tak tahu bahwa pemuda
yang duduk di batu dan memandang dengan senyum nakal itu adalah salah satu dari
sepasang anak kembar yang dibesarkan dl pucuk Gunung Merana. Pemuda itu adalah
Soka Pura, adik kembar dari Raka Pura
yang cenderung tak senakal adiknya. Kala itu Soka memang tidak bersama kakaknya.
Sang kakak sedang sempatkan diri singgah di sebuah pondok milik seorang tokoh
tua yang mengenal ayah angkat mereka si
Pawang Badai. Soka tak begitu
tertarik dengan
wajahnya si tokoh tua yang bernama Ki Marunda. Suara debur ombak yang terdengar
samar-samar dari pondok Ki Marunda
membuat Soka tertarik untuk menikmati
pemandangan senja di tepi pantai
tersebut. Namun begitu la tiba di pantai itu,
ia melihat seorang gadis berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit merenggang dan
kedua tangan bersidekap di dada. Soka tak berani menegurnya, karena ia tahu
gadis itu sedang menikmati renungannya. Rasa penasaran untuk melihat raut wajah
si gadis membuat Soka duduk di batu itu
secara diam-diam. Secara tak langsung ia menghadang si gadis hanya untuk melihat
adakah kecantikan di wajah gadis
berperawakan bongkok itu.
Ketika wajah itu berbalik dan
terlihat jelas, Soka nyaris tersentak
kaget, karena wajah Itu mempunyai
kecantikan yang amat memukau. la tak
menyangka kalau gadis itu akan mempunyai kecantikan setinggi itu.
"Kukira kecantikannya biasa-biasa saja, tak tahunya lebih dari biasanya,"
ujar Soka dalam hati. "Tapi kelihatannya dia gadis yang galak dan angkuh. Jika
kudekati dan kucoba mengenalnya, bisa-bisa yang kudapat hanya tamparan belaka!
Ah, ngeri. Biar saja dia pergi!"
Ketika Soka Pura tiba di tempat itu,
Arya Semirang sudah pergi meninggalkan Perawan Hutan sendirian. Karenanya, Soka
tak tahu bahwa gadis itu sedang
membendung dendam dan duka akibat
pengkhianatan cintanya, sehingga wajah itu menjadi cantik-cantik galak dan
sangar. Gadis Itu menyusuri pantai, semakin
lama semakin menjauh dari tempat Soka
duduk. Tapi anak muda berusia tujuh belas tahun itu masih tetap memandanginya
bagai terpaku oleh kekaguman.
Perawan Hutan benar-benar tak
pedulikan si wajah tampan
berpakaian putih Itu. Pikirannya tertuju kepada sang guru yang akan dimintai keterangan
tentang Gua Mulut Naga. Kabar tentang
tumbuhnya Bunga Pucuk Dara setiap delapan
tahun sekali itu telah membuat Perawan Hutan bernafsu untuk memilikinya.
Terlebih setelah ia merasa disakiti oleh Arya Semirang, ia berharap sekali untuk
memiliki bunga tersebut, karena bunga Itu mempunyai kekuatan menundukkan semua
lawan jenisnya.
"Aku harus berhasil! Harus bisa
mendapatkan bunga itu! Kalau guru tak
izinkan aku ke Gua Mulut Naga, aku akan nekat dan tak peduli lagi murka guru
nanti!" Ucapan batin yang bertujuan
membulatkan tekadnya Itu terpaksa
dihentikan karena tiba-tiba sekeping
logam melesat ke arahnya.
Ziingg...! Sekeping logam itu melesat dari arah
samping kirinya. Ekor mata si Perawan
Hutan yang menangkap gerakan benda
terbang itu telah membuat kakinya
menyentak secara refleks hingga tubuhnya melambung ke atas.
Wuuutt...! Traakk, trrakk...!
Senjata rahasia yang sebenarnya
berbentuk bintang segi enam itu tak
berhasil kenai tubuh Perawan Hutan.
Karena gadis itu menghindar dengan
gerakan lincah dan cepat, maka senjata rahasia itu menghantam sebongkah karang
yang mencuat di perairan pantai. Pucuk
karang Itu terpotong
oleh senjata tersebut, bahkan sisi pinggir batu karang di seberangnya juga Ikut terpotong
oleh terjangan senjata tersebut. Dapat
dibayangkan betapa tajamnya logam


Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbentuk bintang Itu hingga bisa
memotong batu karang walau hanya sepotong kecil. Jika senjata itu tak dialiri
tenaga dalam dan tentunya mengandung
racun tertentu, tak mungkin batu karang Itu bisa terpotong sebagian.
Perawan Hutan hanya memandang sekejap
larinya senjata rahasia itu, kemudian ia segera memandang ke arah semak-semak
hutan tepi pantai. la yakin senjata Itu datang dari seseorang yang bersembunyi
di semak-semak tersebut. Maka si Perawan
Hutan segera kirimkan pukulan jarak
jauhnya yang dapat menghancurkan tubuh manusia.
Dengan berang tangannya disentakkan
ke depan dalam keadaan telapak tangan
terbuka. Dari telapak tangan itu melesat sinar hijau lurus sebesar jarl
telunjuk. Slaap...! Duaarrr...! Sebatang pohon tak terlalu besar
segera tumbang karena terhantam sinar
hijau tersebut. Dari semak-semak yang
rusak karena hancur Itu tampak sekelebat bayangan melesat keluar dan melayang di
udara dengan gerakan bersalto dua kali.
Kejap berikut, Perawan Hutan segera
kenali sosok bayangan yang kini hinggap di atas sebongkah batu setinggi pundak
orang dewasa itu.
Jeegg...! Ternyata bayangan yang menghindari
sinar hijau tadi adalah seorang lelaki berperawakan tinggi besar dengan rambut
ikal sepundak yang meriap tak beraturan.
Lelaki berpakaian serba hitam itu
mempunyai wajah yang cukup angker, karena kumis brewoknya tumbuh dengan lebat,
nyaris menutupi mulut. Alisnya lebat dan lebar, sehingga kedua matanya yang
lebar Itu kelihatan kecil namun punya ketajaman yang menyeramkan dalam
memandang. Perawan Hutan bersikap tenang dan
waspada. la tak merasa gentar sedikit pun berhadapan dengan lelaki berwajah
beringas dan bersenjata golok besar di pinggangnya itu. Dengan suara lantang si
Perawan Hutan menyapa tanpa keramahan.
"Apa maksudmu menyerangku, Iblis
Bongsor"!"
Kaki kanannya ke belakang dan
mengambil posisi berdiri menyamping.
Mereka beradu pandangan mata sesaat.
Sementara itu .di kejauhan sana, Soka
Pura sempat terkejut mendengar suara
ledakan tadi. la menjadi tegang dan
segera bangkit dari duduknya begitu
melihat si gadis berompi merah dihadang
lelaki berperawakan tinggi besar.
"Oh, ada yang mengganggunya"!
Dapatkah dia menghadapi gangguan Itu"!
Ah, sebaiknya aku tak perlu Ikut campur.
Kulihat saja seberapa kemampuannya
menghadapi orang bertubuh besar itu!"
Soka bicara sendiri dengan pelan, lalu melangkah seenaknya mengambil tempat
lebih dekat lagi kedua orang tersebut.
Dari tempatnya berdiri bersandar batu
tinggi, Soka Pura mendengar suara Iblis Bongsor membentak gadis itu.
"Jangan berlagak bodoh kau, Perawan Hutan! Kematian istriku di tangan Arya
Semirang patut ditebus dengan nyawamu!"
"Hei, jangan melibatkan diriku dalam kematian Nyai Baruni, istrimu, tidak ada
sangkut pautnya dengan pribadiku. Kau jangan cari-cari perkara denganku, Iblis
Bongsor!" "Arya Semirang adalah kekasihmu! Dia harus merasakan bagaimana menderitanya
kehilangan orang yang dikasihi!"
"Aku sudah tidak ada hubungan apa-apa dengan Arya Semirang! Jika kau Ingin
menuntut balas kematian istrimu,
tuntutlah dia dan bunuhlah sesuai dengan seleramu! Tapi jangan sekali-kali kau
coba menyentuhku jika tak ingin
kehilangan nyawamu sendiri
Soka Pura membatin, "Gila Gadis Itu berani sekali bicara begitu"! Mungkin
karena namanya Perawan Hutan, maka
keberaniannya seperti perawan di tengah hutan."
Perawan Hutan memang tak punya rasa
takut sedikit pun dalam menghadapi Iblis Bongsor. Lawannya sengaja dibuat lebih
marah lagi dengan sikapnya yang ketus dan sinis itu. Menurutnya kemarahan
seseorang yang meluap-luap dapat dimanfaatkan untuk melumpuhkan orang itu
sendiri. Maka ketika Iblis Bongsor berkata,
"Jika begitu, tentukan saja siapa yang akan kehilangan nyawanya hari ini! Kau
atau aku"!"
Perawan Hutan menjawab dengan
seenaknya, "Sebaiknya kau saja!"
"Bangsat! Makin lama makin memuakkan caramu bicara di depanku. Mulutmu harus
diremukkan sekarang juga, Perawan Hutan!
Heeah...!"
Iblis Bongor mencabut goloknya sambil
menerjang Perawan Hutan dalam satu
lompatan cepat.
Wuuuss...! Beett...! Tebasan golok besar itu nyaris kenal
pundak Perawan Hutan Jika gadis itu hanya memiringkan badannya. Tapi karena si
gadis lakukan lompatan ke samping, maka tebasan golok Itu mengenai tempat
kosong. Pada saat Perawan Hutan lakukan lompatan, tiba-tiba kakinya berkelebat menendang
ke arah samping secara tak diduga-duga.
Wuuttt...! Plook...! Tubuh besar si Iblis Bongsor
terlempar keras, seperti segumpal kapas dihembus angin kencang. Tendangan gadis
itu pasti bertenaga dalam cukup besar, sehingga
mampu membuat iblis Bongsor
terpental sebegitu jauhnya.
"Edan!" gumam Soka dalam hati. "Orang sebesar itu bisa terpental sejauh sekitar
lima belas langkah" Tenaga dalam seperti apa yang dipakai gadis itu hingga dapat
melemparkan tubuh lawan sebegitu
jauhnya"!"
Iblis Bongsor memang terlempar sejauh
lima belas langkah. Itu merupakan jarak yang cukup jauh dari sebuah tendangan.
Tubuh besar itu terbanting begitu saja, seakan benda tak bernyawa. Golok
lebarnya nyaris merobek pinggang sendiri kalau tak segera dilepaskan dari
genggamannya. Sementara lawannya jatuh, Perawan Hutan berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit
merenggang dan tampak menunggu balasan dari lawannya.
Iblis Bongsor berteriak, "Bangsat busuk kau, Perawan Hutan! Kurebus tubuhmu dan
kusiramkan di kuburan istriku dalam waktu sekejap lagi! Heaaah...!"
Kedua tangan yang tak pegangi golok
lagi itu kini menyentak ke atas dalam
keadaan diangkat di atas kepala dan
membentuk cakar yang kokoh.
Wuuutt...! Zraaabs...! Dari kedua tangan yang membentuk
cakar kokoh itu keluar puluhan keping
logam putih mengkilap yang menyerang
Perawan Hutan secara menyebar. Si Perawan Hutan segera lepaskan pukulan bersinar
dari telapak tangan kanannya.
Wut....!! Clap...!! Seberkas sinar hijau tua menyebar
keluar dari telapak tangan gadis itu.
Claaap...! Sinar hijau membentang lebar dan
menghadang kepingan-kepingan logam
berbentuk bintang itu.
Blaaarrr...! Terdengar bunyi ledakan yang
menggelegar akibat
puluhan lempengan
logam itu menghantam sinar hijau lebar tadi. Akibatnya, Perawan Hutan sendiri
terpental ke belakang dan jatuh
telentang, sedangkan Iblis Bongsor juga terlempar oleh gelombang sentakan daya
ledak tadi. Tubuh besarnya terbanting
kembali untuk yang kedua kalinya.
"Aaahk...!" Iblis Bongsor sempat mengerang dikejauhan sana, jaraknya yang
semakin jauh dari Perawan Hutan
sebenarnya memberikan peluang bagi si
Perawan Hutan untuk melarikan diri. Tapi agaknya gadis itu tak sepengecut itu.
la segera bangkit dan menghampiri lawannya dengan langkah cepat.
"Biadab kau, Perempuan jalang!
Heeah...!"
Iblis Bongsor sentakkan tangan
kanannya dalam keadaan telapak tangan
terbuka. Dari tengah telapak tangan itu melesat sinar merah sebesar tongkat
gembala. Slaap...! Perawan Hutan pun segera hentikan
langkah dan rendahkan kaki. Tangan
kirinya menyentak ke depan dan dari
telapak tangannya keluar sinar hijau lagi dalam ukuran sama lebar dengan
sinarnya Iblis Bongsor. Sinar hijau dan sinar
merah tak terputus dari telapak tangan masing-masing. Kedua sinar itu pun segera
beradu dipertengahan jarak.
Blaaabb...! Cahaya jingga membias sekejap
mengelilingi pertemuannya kedua sinar
yang sama-sama belum padam Itu. Iblis
Bongsor gemetar menahan desakan sinar
hijaunya Perawan
Hutan. Sementara si
Perawan Hutan juga tampak bergetar karena kerahkan tenaga dalamnya untuk
kalahkan kekuatan sinar merah lawan. Mereka saling mengeraskan urat, mengerahkan
tenaga dan saling memusatkan perhatian pada jurus
yang mereka adu saat itu.
"Hhhggerrh...!"
"laaahhk...!" Perawan Hutan masih bertahan dan tak mau lepaskan sinar
hijaunya atau menghindar sedikit pun.
Tubuh mereka yang sama-sama bergetar
dan berkeringat itu membuat ketenangan tersendiri di hati Soka Pura. Rasa ingin
membantu dipihak Perawan Hutan membuatnya telah mengangkat tangan, namun niat
tersebut segera dibatalkan mengingat
urusan mereka bukan urusan pribadinya.
Maka murid si Dewa Kencan itu hanya
berpindah tempat lebih dekat lagi agar dapat melihat ekspresi si gadis yang
cantik dan berpeluh segar itu.
Bruusk...! Tubuh Iblis Bongsor tiba-tiba
terdorong mundur. Kakinya terbenam ke
tanah sampai sebatas betis. Namun ia
masih berusaha menahan desakan sinar
hijaunya Perawan Hutan yang terasa makin lama semakin berat itu.
Bruuusk...! Bahkan sekarang si Iblis Bongsor
terdorong mundur lagi dalam keadaan kedua kaki terbenam sebatas lutut, sementara
tanah yang tadi dipijaknya menjadi
gundukan kecil di belakang Iblis Bongsor.
Tanah itu menggunduk akibat kedua kaki Iblis Bongsor terdorong ke belakang tanpa
melalui geseran sedikit pun.
Tetapi telapak kaki Perawan Hutan
mulai berasap. Tanah yang dipijak
bagaikan terbakar oleh suatu kekuatan
yang cukup panas. Asap yang mengepul dari kaki tersebut makin lama semakin
banyak, namun Perawan Hutan tetap tak mau
hentikan desakan sinar hijaunya.
Brruuussk...! "Aaahk..." Iblis Bongsor terdorong lagi. Kali ini tubuhnya terkubur ke dalam
tanah sebatas pinggulnya.
"Gila! Mereka sama-sama kuat"!" gumam Soka dalam hati yang berdebar-debar
tegang. "Uuhk...!" Perawan Hutan tersentak dan mulutnya keluarkan darah walau hanya
sedikit. Tapi keadaan tubuhnya tetap
seperti tadi dengan sinar hijau yang
masih bertahan mendesak sinar merahnya lawan.
Melihat keadaan Perawan Hutan mulai
keluarkan darah, kecemasan hati Soka Pura tak bisa disembunyikan lagi. Maka
dengan satu gerakan tangan menyentak cepat ke arah depan, Soka Pura keluarkan
'Cakar Matahari' berupa sinar putih berbentuk pisau runcing yang melesat dari
tangannya yang membentuk cakar itu.
Slaaaps...! Sinar putih itu memotong pertemuan
sinar hijau dan sinar merah itu.
Blegaaarr...! Dentuman dahsyat terjadi, suaranya
menggelegar seolah-olah
sampai menggetarkan langit senja. Tanah pantai terguncang bagal dilanda gempa kecil.
Air laut bergolak, ombak mengamuk dalam satu golakan. Beberapa pohon hutan ada
yang rubuh akibat getaran gelombang ledak
tadi. Batu-batu karang pun ada yang
pecan, ada yang tetap cuek dengan ledakan tersebut.
Iblis Bongsor terlempar keluar dari
tanah dan melayang-layang tanpa
keseimbangan badan,
lalu jatuh dalam
keadaan tengkurap.
Buuuehk...! "Heeahk..."!" suara pekik tertahan terdengar dari mulut Iblis Bongsor.
Ketika ia mencoba bangkit, ternyata
mulutnya semburkan darah segar berkali-kali.
Perawan Hutan sendiri terpelanting ke
belakang dan membentur batu tinggi.
Buuuhk, brruuk...! la jatuh bersimpuh
dalam keadaan memuntahkan darah segar, namun
tak sebanyak Iblis Bongsor.
Napasnya terengah-engah, wajahnya pucat pasi. Sekujur tubuhnya bagai tak
bertulang lagi.
"Aduh, celaka! Kenapa malah bikin si gadis terluka parah begitu"!" Soka Pura
tampak cemas sekali dan salah tingkah. la mau dekati gadis itu, takut dihantam


Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Iblis Bongsor, mau diam di tempat, takut gadis itu mati. Soka Pura hanya bisa
clingak-clinguk dan garuk-garuk kepala.
Sementara itu, Iblis Bongsor merasa
telah kehilangan tenaga cukup banyak.
Seluruh tenaganya nyaris terkuras. la
sadar akan luka dalam tubuhnya. Maka
pertimbangan otaknya memutuskan untuk
tinggalkan tempat itu sebelum mendapat serangan dari lawannya lagi.
"Bangsat tengik! Ada yang ikut campur dalam perkara ini. Oooh...! Sebaiknya aku
cepat-cepat pergi sebelum kematianku
tiba!" ujar si Iblis Bongsor.
Wess, wuut...! Golok besarnya sempat disambar dan
Iblis Bongsor pun menghilang ke dalam
hutan tepi pantai. Saat itulah Soka Pura baru berani mendekati Perawan Hutan
yang terbatuk-batuk dalam keadaan masih
bersimpuh dan tertunduk.
Setibanya di depan Perawan Hutan,
pemuda tampan bersabuk kain merah itu menjadi tambah salah tingkah. Wajah
cantik itu mendongak sedikit, matanya
memandang tajam dan menggetarkan jantung.
Wajah cantik itu seakan menggeram dan
ingin melepaskan murkanya.
"Hmm, eeh... aku... aku... maksudku, aku...," Soka Pura menggeragap karena
merasa bersalah, menganggap jurus 'Cakar Matahari'-nya tadi adalah penyebab
terlukanya si gadis.
Soka semakin panik lagi melihat mata
gadis itu makin lama semakin sayu,
wajahnya kian seperti mayat, dan akhirnya gadis itu terkulai lemas dengan mulut
ternganga dan napas menyentak-nyentak.
"Aduh, celaka! Tubuhnya menyentak-nyentak karena luka dalam atau karena
sakit ayan"!" pikir Soka sambil clingak-clinguk lagi.
* * * 2 JURUS 'Sambung Nyawa' yang dimiliki
oleh si kembar Raka dan Soka, kali ini berhasil pulihkan kekuatan seorang gadis
lagi. Luka yang diderita gadis itu lenyap dalam beberapa kejap setelah tangan
kiri Soka Pura ditempelkan ke dada Perawan
Hutan. Tangan itu memancarkan cahaya
ungu, lalu cahaya itu membias menjadi ke tubuh Perawan Hutan. Setelah cahaya
ungu itu padam dari tubuh Perawan Hutan, gadis cantik itu pun merasakan tubuhnya
segar dan sehat kembali. Tak ada rasa sakit
atau gangguan apa pun dalam jaringan
tubuhnya. Gadis itu menatap dengan pandangan
dingin. Tak ada senyum, tak ada suara, tak ada pula keramahan. Datar sekali.
Tapi kecantikannya semakin memancarkan daya pikat yang bikin lelaki penasaran.
"Maaf kalau aku tadi ikut campur
dalam pertarunganmu dengan orang yang kau sebut Iblis Bongsor itu," ujar Soka
mengawali bicara agar terjalin percakapan lebih panjang dan lebih akrab lagi.
Tetapi nyatanya gadis itu tetap membisu.
la hanya bangkit berdiri, merapikan
rompinya yang tersingkap ke atas,
merapikan pedangnya yang mengganggu
langkah dan merapikan rambut pendeknya yang sempat acak-acakan tadi.
Soka Pura cengar-cengir menunjukkan
keramahannya. Bahkan tanpa diminta ia berani memperkenalkan diri kepada gadis
itu dengan harapan si gadis akan
memperkenalkan dirinya pula.
"Namaku Soka Pura, dari Gunung
Merana! Hmm, eeh... tadi aku kebetulan saja ingin melihat suasana pantai di
senja hari seperti ini. Lalu, kulihat kau pergi dari pantai, dan tahu-tahu
kulihat lagi kau sudah berhadapan dengan Iblis Bongsor."
Perawan Hutan memandang dalam
bungkam, datar, tajam, dan dingin.
Pandangan matanya itu membuat Soka
semakin salah tingkah dalam senyumnya.
Tapi tatapan mata Soka sendiri sering
melirik ke tempat-tempat yang rawan oleh sentuhan lelaki. Khayalannya pun
melayang-layang, membuatnya tampak
semakin gelisah dan penasaran.
"Tadi kulihat jurus-jurusmu sungguh dahsyat. Sekali tendang, orang sebesar itu
bisa terlempar sebegitu jauhnya. Hmm, eeh... aku kagum pada kehebatan jurusmu
itu. Boleh kutahu, kau belajar jurus itu dari siapa?"
Perawan Hutan tak menjawab. Bibirnya
tetap terkatup rapat. Tapi matanya tetap pandangi Soka tanpa berkedip, mirip
mayat hidup. Soka jadi merinding sendiri. Untuk menutupi kegugupannya, ia
berlagak batuk-batuk kecil dan mengalihkan pandangan ke arah ombak-ombak lautan
yang bergulung-gulung di kejauhan sana.
"Semakin senja, semakin cantik
bentangan samudera Ini, ya?" ujarnya tanpa memandang ke arah si gadis. Sok
cuek. "Lihatlah gulungan ombak memutih itu, mirip lukisan alam yang cantik dan
anggun... seperti seraut wajah yang baru dikenal belum lama ini. Biasan cahaya
merah saga dari langit, memantul di
permukaan air laut sehingga mirip sapuan warna kemesraan.
He, he, he, he...
mungkin juga di sana memang ada kemesraan tersendiri yang belum pernah ditemukan
oleh siapa pun. Barangkali kau ingin
menemukan kemesraan itu dan...."
Kata-katanya terhenti begitu
berpaling menatap si gadis. Soka Pura
terperangah bengong dengan rasa kaget
yang membuat hatinya menjadi jengkel
sendiri. "Konyol!" gerutunya dalam geram, karena gadis itu ternyata sudah tidak ada di
tempatnya semula. la telah pergi tanpa timbulkan suara apa pun.
"Apa dia sangka aku ini orang gila, bicara sendiri, tertawa sendiri, cengar-
cengir sendiri, aah... Benar-benar konyol kau, Perawan Hutan!" sambil mata Soka
memandang ke sana-sini mencari
kemungkinan si gadis sedang bersembunyi di balik semak-semak.
"Perawan Hutan! Hai, judes...! Dimana kau"! seru Soka tanpa basa-basi lagi. la
mencari sekeliling tempat Itu. Tapi si cantik berompi merah dan bercelana pendek
sekali itu benar-benar menghilang dari tempat itu.
"Hilang secara gaib atau melesat
pergi dengan menggunakan jurus peringan tubuh yang sangat tinggi"! Hmmm...
jangan-jangan dia disedot setan tanah"!"
Soka Pura pandangi tanah sekelilingnya, walau ia tahu hal
itu tak mungkin
terjadi. "Persetan dengan dia! Pulang saja ke rumah Ki Mandura! Untuk apa aku
mencarinya terus di sini"! Siapa tahu dia bukan manusia, melainkan arwah yang
penasaran! Hiihh...!" Soka Pura bergidik sendiri, mengingat senja makin menua
dan petang mulai datang.
Perjalanan si kembar Raka dan Soka
menuju Gua Mulut Naga sengaja
dirahasiakan oleh mereka. Karena ternyata bukan hanya mereka yang ingin menuju
ke sana, melainkan banyak pihak lain yang juga ingin ke gua tersebut. Tetapi tak
banyak orang mengetahui jalan menuju Gua Mulut Naga itu.
Mereka mempunyai kepentingan yang
berbeda dengan si kembar Raka dan Soka.
Selama mencari tahu jalan menuju Gua
Mulut Naga, si kembar telah menemukan dua orang tokoh rimba persilatan tingkat
atas yang berusaha mencari keterangan tentang jalan ke gua tersebut. Diantaranya
adalah Peri Kenanga dan Hantu Muka Tembok, ( Baca serial Pendekar Kembar dalam
episode: "Kencan Dl Ujung Maut"). Kini ada satu lagi tokoh yang agaknya punya Ilmu tak
bisa diremehkan yang ingin menuju ke Gua Mulut Naga, yaitu si Perawan Hutan.
Tujuan mereka sama dengan tujuan
Perawan Hutan. Sekuntum bunga yang tumbuh dan mekar delapan tahun sekali kini
menjadi incaran mereka. Bunga Pucuk Dara itu tumbuh di sekitar Gua Mulut Naga.
Namun gua itu sendiri sukar ditemukan.
Sedangkan si kembar Raka dan Soka
datang ke Gua Mulut Naga bukan untuk
mencari Bunga Pucuk Dara, melainkan
diutus oleh mendiang gurunya, si Dewa Kencan, untuk mengambil sepasang pusaka di
dalam gua tersebut. Pusaka itu adalah Pedang Tangan Malaikat yang semula adalah
milik ayah dan pamannya si Dewa Kencan.
Bagi orang lain, mungkin menemukan
jalan menuju Gua Mulut Naga adalah
pekerjaan yang sulit sekali, karena
selama ini arah tempat tersebut hanya
bisa diduga-duga saja. Munculnya banyak dugaan membuat keadaan menjadi semakin
simpang siur, Tetapi si kembar Raka dan Soka tak merasa bingung lagi. Mereka
tahu persis ke mana arah yang harus dituju
untuk mencapai Gua Mulut Naga, karena
peta wasiat pemberian Nini Sawandupa yang mencatat jalan menuju gua tersebut
sudah ada di tangan si kembar Raka dan Soka.
Berdasarkan peta itulah mereka dipandu untuk mencapai sasaran yang dimaksud.
Peta itu sekarang berada di tangan Raka Pura, sebagai kakak dari Soka Pura.
Perjalanan itu ternyata tidak cukup
ditempuh dalam waktu sehari semalam saja.
Belum lagi ada beberapa keterangan dalam peta tersebut yang tidak mudah dipahami
oleh si kembar Raka dan Soka.
Karenanya, ketika mereka bertemu
dengan tokoh tua bernama Ki Mandura, dan
ternyata Ki Mandura adalah sahabat lama ayah angkat mereka si Pawang Badai, maka
mereka pun sempatkan diri untuk bermalam di rumah Ki Mandura yang kurus dan
gemar mengenakan jubah abu-abu.
Rupanya Ki Mandura sendiri masih
menyimpan perkara lama yang belum
diselesaikan. Ketika Raka Pura sedang
asyik membicarakan tentang beberapa tanda yang tertera di peta dan menjadi
patokan langkah mereka itu, tiba-tiba mata Raka Pura menangkap kilatan cahaya
merah kecil yang ingin menerjang Ki Mandura.
"Ki, awaaas...!" pekik Raka kepada lelaki tua berjenggot putih itu. Melihat mata
anak muda didepannya terbelalak, Ki Mandura segera tanggap datangnya bahaya dari
arah belakangnya. Serta merta
tubuhnya yang kurus melesat berpindah tempat tanpa terlihat gerakannya.
Zaap...! Cahaya merah kecil itu kini mengarah
ke dada Raka Pura, sebab tubuh Ki Mandura menyingkir dari depannya.
Mau tak mau Raka Pura segera
sentakkan tangan kanannya dalam keadaan membentuk cakar tengkurap. Lalu dari
tangan itu keluar sinar putih seperti
pisau runcing. Claap...! Jurus 'Cakar Matahari' melesat dan
bertabrakan dengan sinar merah kecil Itu.
Blaaarr...! Raka Pura terlempar ke belakang,
bahkan terbanting keras dalam keadaan
terkapar. Rupanya sinar merah kecil itu bertenaga dalam cukup besar, sehingga
gelombang ledakannya saat dihantam jurus
'Cakar Matahari' menyentak sangat kuat dan menerbangkan tubuh Raka Pura.
Buuhk...! "Auuuh...!" Raka Pura mengerang kecil sambil menyeringai. Tulang punggungnya
seakan dihantamkan ke tanah hingga patah.
Zaap, zaap...! Ki Mandura berkelebat menuju ke arah
datangnya sinar merah tadi. Ia ingin
memburu penyerang gelap yang bermaksud curang itu. Tetapi beberapa saat kemudian
si tua bermata kecil itu telah kembali menemui Raka Pura pada saat Raka
menggeliat bangkit dengan berpegangan
pada sebatang pohon johar.
"Bagaimana keadaanmu, Nak?"
"Bisa kuatasi, Ki," jawab Raka Pura yang memang merasa bisa mengatasi rasa
sakitnya dengan melakukan pengobatan
melalui napas sendiri.
"Pasti si keparat Tandu Sangrai yang melakukannya!" ujar Ki Mandura sambil
menahan kegeraman dalam hatinya.
"Siapa itu Tandu Sangrai, Ki"!"
"Perempuan gila yang masih menyangka diriku menyimpan Kitab Guntur Bayangan."
Raka Pura kerutkan dahi, hatinya
tertarik dengan nama kitab pusaka itu.
"Apa isi Kitab Guntur Bayangan itu, Ki?"
Sambil melangkah menuju ke dalam
pondokannya, Ki Mandura yang didampingi Raka itu menjawab dengan pelan.
"Kitab itu berisi jurus guntur tanpa suara dan rupa."
"Apakah benar kau memilikinya?"
"Mendiang kakakku yang memilikinya.
Tapi ketika kakakku tewas, Kitab Guntur Bayangan pun lenyap entah ke mana. Aku
menduga, kitab itu dicuri oleh salah satu muridnya Rayap Sewu, kakakku Itu."
"Mengapa tak kau kejar orang itu"
Maksudku, si pencuri kitab pusaka
tersebut"!"
"Tak jelas siapa pelaku sebenarnya, bagaimana harus mengejarnya"! Pencuri itu
pasti pandai menghilang seperti si Tandu Sangrai tadi menyerang dan pergi tanpa
bisa dikejar lagi."
"Apakah kau tadi tak menemukan siapa pun di tempat datangnya sinar merah
itu"!"
"Yang kutemukan hanya bau wangi
cendana. Kukenal wangi cendana itu adalah aroma pedang si Tandu Sangrai.
Perempuan itu.... Uuhkk!"
"Ki Mandura..."!" pekik Raka ketika sahabat ayah angkatnya itu tiba-tiba
terbungkuk saat ingin mendekati pintu
masuk. Kata-katanya terhenti seketika dan mulutnya semburkan darah kental hingga
memercik ke daun pintu.
Tubuh tua yang segera limbung itu
ditangkap oleh Raka Pura memakai dua
tangan dari belakang. Seketika itu pula Raka Pura terbelalak lebar-lebar karena
melihat leher depan Ki Mandura telah
menghitam. Tiga jarum merah menancap di leher tersebut, tepat di sela-sela
tulang kerongkongannya.
Tiga jarum merah itu pasti beracun
ganas dan sangat mematikan. Terbukti
dalam tiga helaan napas saja Ki Mandura sudah tidak bergerak selama-lamanya.
Tubuhnya dingin bagai bongkahan es batu, kulitnya menjadi kebiru-biruan. Raka
Pura tak sempat lakukan pengobatan karena tak menyangka nyawa si tua berjubah
abu-abu itu akan melayang secepat itu.
"Jahanam!" geram Raka Pura dengan berangnya. "Siapa yang melakukannya"!
Tandu Sangrai itukah pelakunya"! Hmm...
dari mana dia bisa menyerang Ki Mandura sedangkan...."
Brraas...! Tiba-tiba Raka Pura dikejutkan oleh
suara gaduh di atap rumah. la segera
memandang ke arah sana. Ternyata sesosok tubuh terbungkus jubah hijau muda telah
melesat dari dalam rumah menerobos atap,
bahkan sempat berdiri sebentar untuk


Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandangi Ki Mandura. Begitu hatinya yakin bahwa Ki Mandura telah tewas, sosok
terbungkus jubah hijau muda itu pun
melesat ke atas pohon seperti seekor
merpati. "Keparat! Rupanya dia masuk dari pintu belakang dan menghadang di ruang tengah
itu"!" geram Raka Pura. "Akan kukejar dia"
Wuuz, wuuz, wuuz...!
Jurus 'Jalur Badai' yang kecepatannya
menyerupai hempasan badai tercepat segera digunakan oleh Raka Pura untuk
mengejar si jubah hijau dengan rambut panjang yang tersanggul rapi tadi.
Perempuan tersebut melesat dari pohon kepohon dengan sangat cepat. Tetapi
kecepatannya itu masih bisa tersusul oleh jurus 'Jalur Badai'-nya
Raka Pura yang juga dimiliki oleh Soka Pura. Saat itu, adik kembarnya belum
pulang dari pantai dan cahaya senja masih tersisa. Pada saat Raka mengejar
perempuan berjubah hijau muda itu, kira-kira bertepatan dengan Soka Pura sedang
berusaha mengajak bicara si Perawan
Hutan. Gerakan si jubah hijau itu menjauhi
pantai, sehingga Raka Pura
pun tak pedulikan keadaan adiknya yang tadi pamit ke pantai. Perhatian Raka tertuju pada
gerakan si jubah hijau yang sepertinya
lebih suka bergerak melintas dari pohon kepohon sehingga sukar dikejar. ia tidak
tahu bahwa pengejarnya sudah berada di depan langkah berikutnya. Raka Pura
sentakkan kaki dan tubuhnya melayang naik dengan gerakan tak bersalto.
Wuuut...! Jleeg...! Si jubah hijau terperanjat kaget
melihat Raka Pura ada di pohon depan yang akan dilaluinya. Maka dengan gerakan
melayang indah dan cepat, si jubah hijau turun ke tanah dan melesat menerabas
semak bagaikan bayangan angin berwarna hijau.
Weess, weees...!
Wuuz, wuuuz...!
Raka Pura memotong jalan dan dalam
waktu sangat singkat sudah berada di
depan langkah perempuan itu lagi. Agaknya perempuan itu kesal dengan tingkah si
pemuda tampan berpakaian serba putih itu, sehingga ia pun akhirnya hentikan
langkah dan mencoba menghadapi kemauan
penghadangnya. Perempuan cantik bermata sayu itu
sengaja sunggingkan senyum sinis sambil melangkah ke samping. Raka Pura tak
membalas senyuman itu karena hatinya
marah sekali membayangkan kematian Ki
Mandura setragis itu. Pemuda tanpa
senjata itu hanya ikuti gerakan perempuan
berjubah hijau dengan sorot pandangan
mata setajam pedang.
"Apa maumu mengejarku, hah"!"
perempuan itu mulai bersuara dengan nada ketus.
"Kau telah membunuh sahabat ayahku tanpa alasan yang pasti"
"Kau tidak tahu bahwa dia seorang pencuri kitab pusaka"
"Kitab Guntur Bayangan, maksudmu"!"
Perempuan itu terkesiap sesaat.
Langkahnya terhenti, tangannya mulai
memegang gagang pedang. Mata Raka pun
terarah ke pedang yang sarungnya terbuat dari kayu berukir. la mulai sadar bahwa
sejak tadi ia telah mencium aroma wangi cendana. Ingat kata-kata Ki Mandura
tadi, Raka pun yakin bahwa perempuan itu adalah Tandu Sangrai, si pemburu kitab
pusaka. "Rupanya kaulah orang yang dipercaya oleh Ki Mandura untuk menyimpan kitab
itu!" "Keliru!" tegas Raka singkat.
"Rupanya kau perlu dipaksa dulu, Anak muda!" geram perempuan berusia dua puluh
tujuh tahun itu.
Tangan yang pegangi gagang pedang
berkelebat ke depan.
Wuut...! Gagang pedang tidak tercabut, tapi
telapak tangan itu semburkan bunga api cukup deras.
Joorss...! Raka Pura sentakkan kaki dan tubuhnya
melayang di udara berjungkir balik ke
depan melewati atas kepala Tandu Sangrai.
Wuk, wuk...!! Begitu mendarat, kaki kanannya
menendang kebelakang dengan kuat.
Duuhk...! "Heehk...!" Tandu Sangrai tersentak kedepan dan terhuyung-huyung menjaga
keseimbangan tubuhnya. Tapi Raka Pura
segera memutar tubuh dalam satu lompatan dan kaki yang satunya berkelebat bagai
menyabet kepala Tandu Sangrai.
Wuuut, plaakk...!
Tendangan kaki yang menyabet itu
tepat kenai wajah Tandu Sangrai. Pipi
kanan perempuan itu menjadi merah
seketika, tubuhnya terbanting ke samping dan cepat berguling-guling.
la buru-buru bangkit sambil menahan
rasa sakit. Dalam keadaan satu kaki
berlutut, kedua jari tangan kanannya
mengeras dan dari ujung jari itu
keluarlah dua jarum merah yang melesat dengan cepat.
Wuuutt...! Ketajaman mata Raka pada saat itu
dalam kondisi prima, sehingga gerakan dua batang jarum sepanjang kelingking itu
tampak jelas menuju ke dadanya. Raka Pura segera
putar tubuhnya dengan cepat
kesamping kanan. Begitu berhenti,
langsung berlutut satu kaki dan melompat ke depan dalam gerakan berguling di
tanah. Wuk, wuk...! Gerakan bergulingnya yang cepat Itu
membuat Tandu Sangrai terperanjat, karena tahu-tahu pemuda tampan itu sudah ada
dl depannya dan melepaskan pukulan ke arah wajah.
Wuuutt...! Taab...! Tangan perempuan Itu berkelebat cepat
menangkap kepalan Raka Pura, sehingga
pukulan itu tak sampai menyentuh wajah cantiknya. Tapi serta merta Tandu Sangrai
gulingkan badan dan menendang ke wajah lawan.
Ploook...! Tendangan telak itu kenai dagu Raka.
Pemuda tersebut terpental ke belakang.
Brruk...! "Uuuhf...!"
Raka menyeringai kesakitan sambil
bergegas bangkit kembali.
Blaaas...! Perempuan berjubah hijau itu
melarikan diri dengan lakukan lompatan ke atas pohon. Sebelum tinggalkan pohon
itu, ia sempat lepaskan kembali dua jarum dari ujung kedua jarinya yang
dikibaskan bagai melempar pisau.
Wuuutt...! Jeerb...! Kedua jarum itu menancap ke tanah,
karena Raka Pura segera gulingkan badan kekiri hingga lolos dari sentuhan jarum
beracun tinggi itu.
Melihat lawannya lari, Raka Pura yang
masih penasaran segera lakukan pengejaran kembali.
"la harus dibuat lumpuh sebagai
hukumannya membunuh Ki Mandura!" geram hati Raka Pura.
"Rupanya anak muda itu tak bisa
dianggap enteng! la mampu hindari jarum mautku dua kali, berarti ia berilmu
tinggi. Kalau kupaksakan melawannya,
mungkin aku bisa celaka sendiri.
Sebaiknya kuberi kelengahannya saja, dan kubuat tubuhnya yang gagah itu membusuk
perlahan-lahan supaya ia mau serahkan
kitab itu padaku!"
Kecamuk hati si Tandu Sangrai itu
terhenti mendadak, karena lagi-lagi ia dikejutkan oleh munculnya Raka Pura dl
pohon berikutnya.
"Tanggung!" geram Tandu Sangrai. Maka la pun segera mencabut pedangnya.
Weer...! Bau candana semakin kuat. Tandu
Sangrai menerjang pemuda yang berdiri di dahan pohon depannya.
Wees...! Pedang siap ditebaskan ke dada Raka
Pura. Tapi tiba-tiba seberkas sinar hijau kecil melesat dari bawah dan mengenai
pinggang kiri Tandu Sangrai.
Jubbs...! "Aaahk...!" Tandu Sangrai memekik, tubuhnya melayang tanpa keseimbangan
badan lagi. Ia jatuh terhempas bagai
dahan kering patah dari pohonnya.
Brrruk...! Sedangkan Raka Pura segera
mengejarnya turun dengan hati menyimpan rasa heran.
"Siapa yang membantuku dengan
melepaskan sinar hijau tadi?"
Jleeg...! Raka Pura daratkan kakinya dalam
jarak tiga langkah dari Tandu Sangrai!
Raka Pura ingin lepaskan tendangannya
lagi. Tapi tiba-tiba sebuah suara
terdengar menyentak tegas.
"Cukup"
Raka Pura tak jadi lepaskan
tendangannya. Wajahnya segera berpaling ke arah suara dari balik semak-semak
sebelah kirinya. Dari semak-semak itu
muncullah seraut wajah cantik berambut cepak, mengenakan rompi merah dan celana
pendek sekali warna merah juga.
Perawan Hutan memandang Raka sebentar
dengan tajam. Raka Pura berkerut dahi, merasa asing dengan gadis itu. Sementara
si gadis merasa tak asing dengan wajah dan penampilan Raka Pura, sebab ia
menyangka pemuda itu adalah Soka Pura.
Bahkan ia sempat membatin dalam hatinya.
"Ternyata gerakannya lebih cepat
dariku. Tahu-tahu ia sudah berada di
sini. Padahal tadi baru saja kutinggalkan dengan jurus Kabut Jantan"!"
Perawan Hutan melangkah dengan tegak,
menampakkan ketegasannya dalam bersikap Raka nyaris terkesima oleh kemunculan
gadis berompi cekak itu. la buru-buru
ingat lawannya yang sewaktu-waktu dapat melepaskan serangan ke arahnya.
Tapi ketika la berpaling ke arah
Tandu Sangrai, ternyata perempuan itu
telah menghilang. Dalam sekejap pandangan mata Raka temukan sosok tubuh berjubah
hijau sedang berlari menyelinap dari
pohon ke pohon sambil mendekap
pinggangnya yang agaknya terluka cukup berbahaya dan harus segera diobati. Raka
Pura tak mau melepaskan lawannya. la
bergegas mengejar Tandu Sangrai.
"Tunggu...!"
Lagi-lagi suara Perawan Hutan menahan
langkahnya. Raka Pura menjadi jengkel, dahinya semakin berkerut, napasnya
ditarik panjang-panjang, lalu dihembuskan dalam satu sentakan keras, menandakan
hatinya sangat jengkel dengan sikap
penahanan gadis rompi merah Itu.
"Apa maksudmu menahanku, hah"! Kau bersekongkol dengannya"!" suara Raka Pura
agak membentak keras ketika Perawan Hutan berdiri di depannya dalam jarak dua
langkah. Raka Pura bertolak pinggang dan tak menampakkan keramahannya, sedangkan
Perawan Hutan menatap terus tanpa
berkedip, sehingga membuat Raka Pura
akhirnya lepaskan tolak pinggangnya.
"Siapa kau"!" tanya Raka Pura dengan ketus.
"Tak perlu kusebutkan kau sudah tahu namaku!"
"Aku...."
"Jangan lagi berhadapan dengan Tandu Sangrai!" potong Perawan Hutan.
"Mengapa kau...."
"Dia kakakku!"
"Apa...?"
"Walau kakak tiri, tapi dia satu ayah denganku!"
"Jadi kau juga...."
"Dia tak akan berani mengganggumu lagi jika aku ada bersamamu!"
"Tapi dia...."
"Lupakan masalahmu dengannya," potong Perawan Hutan lagi membuat hati Raka
semakin jengkel.
"Kau belum tahu bahwa...."
"Aku lebih tahu tentang dia!"
"Diam!" hardik Raka. "Bukan hanya kau yang bisa bicara. Aku pun bisa bicara dan
punya hak untuk bicara!" ucap Raka dengan cepat hingga tak bisa terpotong oleh
si gadis. Perawan Hutan pun hembuskan napas
sebagai tindakan menahan diri untuk tidak lakukan pemotongan kata lagi. Tapi
pandangan matanya masih tetap tajam dan mengarah ke wajah Raka Pura yang tampak
gusar sekali itu.
"Dengar, siapa pun dirimu, aku tak peduli lagi!" kata Raka Pura. "Yang jelas,
dia telah membunuh tuan rumah yang sedang kukunjungi.
Ki Mandura adalah sahabat ayahku. Baru saja beliau tewas.
Dia yang membunuhnya!"
Perawan Hutan terperanjat, namun
buru-buru bersikap dingin lagi. Raka
menjadi curiga melihat kekagetan yang
buru-buru disembunyikan itu. Maka ia
segera ajukan tanya dengan tegas.
"Mengapa terkejut"! Kau juga
mengincar kitab pusaka Itu"!"
Si gadis hanya kerutkan dahi,
pandangan matanya berubah menjadi seakan merasa heran mendengar tuduhan itu.
* * * 3 PADA saat Soka Pura tiba di pondok Ki
Mandura, ia sangat terkejut menemukan
mayat Ki Mandura di depan pintu.
Jantungnya nyaris terhenti seketika itu juga. la buru-buru menarik napas
panjang-panjang dan mengendalikan guncangan
jiwanya. "Raka..."!" panggil Soka Pura.
"Rakaaa...! Di mana kau!"


Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seruan itu adalah seruan menegangkan.
Soka Pura sempat panik ketika kakak
kembarnya tak ditemukan disekitar pondok Ki Mandura. Repotnya lagi, kala itu
petang telah tiba dan kegelapan mulai
menguasai belahan bumi. Hanya ada cahaya redup yang memancar dari bulan sabit
yang muncul di langit biru.
"Siapa yang menewaskan KI Mandura"
Apakah kakakku sendiri" Oh, tak mungkin!
Raka tak mungkin lakukan hal sekeji itu.
Pasti orang lain! Lalu, bagaimana dengan Raka" ikut terbunuh juga"! Oh, setan
belang! Kenapa harus mengalami hal
seperti itu"!" Soka Pura terengah-engah diburu ketegangan. Dalam keadaan panik
begitu, Soka pun akhirnya mengikuti
langkah nalurinya untuk mencari Raka.
Hati kecilnya yakin, Raka tidak ikut
terbunuh seperti Ki Mandura. Hanya saja,
di mana Raka saat itu, Soka tak dapat
menduganya. Padahal seandainya Soka mau diam di
tempat, menunggu kemunculan Raka, pasti ia tak akan salah arah. Seandainya saat
itu ia menggali lubang kubur untuk
memakamkan jenazah Ki Mandura, pasti ia akan bertemu dengan Raka, kakaknya.
Karena beberapa saat setelah Soka
meninggalkan pondok Ki Mandura, Raka
datang ke tempat itu bersama Perawan
Hutan. Gadis itu ternyata kenal baik
dengan Ki Mandura, dan nyaris tak percaya mendengar Ki Mandura tewas di tangan
Tandu Sangrai. Tapi setelah ia melihat luka di leher jenazah Ki Mandura dan
melihat tiga jarum di leher korban yang belum dicabut Raka itu, barulah ia
percaya bahwa luka tersebut memang milik Tandu Sangrai.
"Tetapi mestinya Ki Mandura dapat hindari tiga jarum ini!" kata Perawan Hutan.
"Aku tak habis pikir melihat kenyataan ini, sebab setahuku Ki Mandura berilmu
lebih tinggi dari Tandu Sangrai.
Tandu Sangrai punya tiga ilmu unggulan, jarum Penjemput Ajal, jurus 'Pedang
Bayu' dan jurus 'Retak Gegana'. Selebihnya
hanya biasa-biasa saja. Tapi mengapa ia bisa menewaskan Ki Mandura"!"
"Serangan itu datangnya sangat tak diduga-duga dan sulit dihindari. Ki
Mandura sempat terkejut sekejap. Mungkin pada saat itulah Tandu Sangrai lepaskan
ketiga jarum 'Penjemput Ajal' ini! Siapa orangnya yang menyangka bahwa sang
musuh ada di dalam rumahnya sendiri!"
Perawan Hutan mengusap rambutnya
sendiri dikebelakangkan. Napasnya
terbuang lewat hidung.
Wajahnya tampak memendam duka atas
kematian Ki Mandura.
"Sudah lama mereka bermusuhan," gumam Perawan Hutan, seakan bicara pada diri
sendiri. "Tandu Sangrai tetap menyangka Ki Mandura menyimpan Kitab Guntur
Bayangan. Padahal sudah kukatakan
berulang kali padanya agar jangan
mengganggu Ki Mandura, karena Ki Mandura telah berterus terang padaku bahwa ia
tidak menyimpan kitab pusaka itu,"
Perawan Hutan mendesah lagi, seakan ingin membuang kesedihannya.
Mereka memakamkan jenazah Ki Mandura
malam itu Juga di belakang rumah
berdinding kayu itu. Sampai mereka
selesai memakamkan jenazah tersebut. Soka Pura masih belum pulang. Hal itu
membuat Raka diam-diam sembunyikan kegelisahan yang menyiksa jiwa. Sementara si
Perawan Hutan masih menganggap Raka adalah Soka, sebab Raka lupa jelaskan bahwa
sang adik yang ditunggunya itu berwajah dan
berperawakan persis dengannya, bahkan
pakaian dan potongan rambutnya pun tak ada bedanya dengan dirinya.
Di bawah siraman cahaya pelita yang
ada di pekarangan depan rumah tersebut, Raka Pura duduk menahan keresahan akibat
berbagai pemikiran. la sengaja duduk di sebatang kayu pohon yang diberi kaki
sebagai bangku panjang.
"Jika aku pergi mencarinya, maka ia akan pergi mencariku setelah tahu aku tak
ada di rumah Ini. Akhirnya tak akan ada habisnya, aku dan dia akan saling cari-
carian! Hmmm... sebaiknya kutunggu saja di sini sampai ia datang. Kalau Soka
belum kembali, perjalanan ke Gua Mulut Naga belum akan kulanjutkan."
Dari dalam rumah muncul seorang gadis
berperawakan tinggi, sekal dan mempunyai gerakan lincah seperti lelaki. Perawan
Hutan akhirnya tak bisa menahan
kesendiriannya di dalam rumah Ki Mandura.
Kini ia ikut duduk di samping kiri Raka dengan gaya duduk seperti seorang lelaki
perkasa. "Bagaimana jika selama tujuh hari adikmu belum pulang Juga?"
"Selama tujuh hari juga aku tetap akan menempati rumah ini!" jawab Raka
menunjukkan kesetiaannya kepada sang adik kembar.
"Aku tak bisa ikut menunggu sampai sebegitu lama."
"Aku tak memintamu menungguku."
"Esok pagi aku sudah harus pergi tinggalkan tempat Ini."
"Esok pagi...?" Raka sedikit terperanjat, namun cepat-cepat bisa
menetralkan diri.
"Ke mana arah langkahmu esok pagi, Perawan Hutan?" tanya Raka, ia mengetahui
nama gadis itu ketika dalam perjalanan menuju rumah KI Mandura.
"Aku akan menemui guruku dulu, baru berangkat mencari Gua Mulut Naga!"
Kini pemuda itu yang tampak
terperanjat mendengar nama Gua Mulut Naga disebutkan oleh gadis itu.
"Untuk apa kau ke sana?" desak Raka.
"Seperti beberapa tokoh lainnya, aku pun ingin kuasai lawan jenisku dan
mendapatkan ilmu 'Tiga Sukma' dengan
memakan bunga keramat yang dikenai dengan nama Bunga Pucuk Dara itu."
"Hanya bunga itukah yang kau cari ke dalam Gua Mulut Naga itu nanti?"
"Ya. Kau pikir apa lagi yang bisa diperoleh
lagi" seseorang yang sudah
berhasil temukan gua tersebut" Hanya
bunga dan bunga itu harus dipetik sebelum malam purnama tiba. Sebab bunga itu
akan layu dan mengering setelah satu bulan
penuh la tumbuh dengan mekar."
"Kalau begitu, sebenarnya kita punya tujuan yang sama," kata Raka Pura.
Duduknya tetap berjarak dua jengkal dari si Perawan Hutan. Dalam hati Raka
merasa bersyukur karena ternyata Perawan Hutan tidak memburu pusaka juga,
seperti yang dilakukan Raka dan Soka.
Tetapi si gadis kaget ketika Raka
katakan bahwa ia pun sedang dalam
perjalanan menuju Gua Mulut Naga.
"Jadi kau juga menghendaki bunga
keramat itu?"
"O, bukan! Aku dan adikku pergi ke gua itu karena ada urusan pribadi yang sulit
ku jelaskan."
"Ooo...," Perawan Hutan manggut-manggut. la mulai tak bersikap bermusuhan
terhadap Raka yang dianggap sebagai Soka Pura itu.
"Apakah kau tahu jalan menuju ke
sana?" tanya Perawan Hutan setelah termenung beberapa saat.
Karena merasa satu arah lain tujuan,
maka Raka Pura tidak menganggap Perawan Hutan sebagai pihak yang perlu dimusuhi.
Raka merasa tak rugi jika pergi ke Gua Mulut Naga bersama dengan gadis bercelana
sangat pendek itu.
"Tentunya kau lebih tahu jalan ke sana daripada aku," pancing Raka.
"Tidak. Aku belum tahu secara pasti jalan ke sana. Justru aku Ingin menemui
guruku dan menanyakannya arah yang pasti.
Tapi jika kau tahu, kurasa aku tak perlu
menemui guru dulu. Lebih balk kita
berangkat bersama saja!"
Raka sunggingkan senyum tipis. Cahaya
pucat si bulan sabit membuat senyum itu terlihat indah bagi Perawan Hutan. Hati
gadis Itu pun berdesir lembut,
menyenangkan bila diresapi.
"Jadi kau mau numpang perjalananku?"
"Kau keberatan"!" Perawan Hutan ganti bertanya.
Senyum Raka kian melebar, hati gadis
itu semakin berdebar.
"Aku hanya bercanda. Jangan
tersinggung," kata Raka. "Kau boleh saja ikut bersama kami, tapi tak boleh ikut
campur urusan kami."
"Kurasa aku punya urusan sendiri yang belum tentu bisa kuselesaikan dengan
mudah, mengapa harus ikut campur urusan kalian?" tegas Perawan Hutan.
Mata pemuda tampan itu memandang
dalam keceriaan. "Kau meyakinkan sekali.
Tegas dan berani. Aku suka punya sahabat yang seperti itu!"
Kini senyum Perawan Hutan tersungging
sinis, menutupi debaran hati yang
menaburkan bunga-bunga indah kala
mendengar pujian Raka itu. Pandangan mata gadis itu sengaja dilempar ke arah
lain agar tak mudah diketahui perasaannya.
Tapi hati Perawan Hutan saat Itu
berkata, "Sikapnya berbeda sekali dengan
saat di pantai tadi. Disini ia tak
menampakkan kenakalannya, cenderung sopan namun mengesankan sekali. Kuharap dia
dapat kujadikan penutup lukaku agar tak terbayang wajah Arya Semirang lagi!"
Malam semakin kelam, tapi justru
bulan sabit semakin terang. Raka Pura dan Perawan Hutan semakin hanyut
dalam percakapan malam yang banyak membicarakan tentang para tokoh kondang di rimba
persilatan. Perawan Hutan ternyata juga kenai baik kepada Nini Sawandupa dan
cucunya Ratih Selayang. Bahkan gadis itu juga bermusuhan dengan Peri Kenanga
serta orang-orang Kuil Darah Perawan itu. Namun sejauh itu Perawan Hutan tetap
menyangka Raka adalah Soka Pura, dan dia tak pernah menyebutkan nama Soka atau
menyinggung pertemuan di pantai, sehingga Raka pun menyangka gadis itu mengenal
dirinya sebagai Raka Pura.
Seandainya Soka malam ini lekas
kembali ke pondoknya Ki Mandura, pasti Perawan Hutan akan tercengang dan bingung
membedakan mana Soka dan mana Raka.
Sayangnya, malam itu Soka yang berusaha mencari kakaknya telah bertemu dengan
Tandu Sangrai di sela kerimbunan hutan pantai. Tandu Sangrai yang terluka itu
sempat terhuyung-huyung dan jatuh
beberapa kali, namun masih tetap berusaha lanjutkan pelariannya.
Soka Pura melihat perempuan yang
terhuyung-huyung itu pada saat ia
melintasi pantai lagi untuk mencari
kemungkinan sang kakak berada dl sana.
Begitu ia melihat seorang perempuan
berjubah hijau dalam keadaan terhuyung-huyung, ia segera tahu bahwa perempuan
itu dalam keadaan terluka.
Soka Pura segera hampiri Tandu
Sangrai dari arah depan. Perempuan Itu terperanjat kaget saat melihat Soka sudah
berdiri di depan langkahnya. la menyangka dihadang oleh Raka untuk lanjutkan
pertarungan tadi. Maka dengan sisa tenaga ia bertahan diri
sambil mencabut
pedangnya. Sreet...! Wangi cendana menyebar dan tercium
lembut oleh Soka. Aroma cendana itu
membuat Soka berkhayal tentang kemesraan yang menggairahkan. Terlebih setelah
Soka memperhatikan perempuan itu selama dua helaan napas tanpa bicara, hati
kecilnya mengakui kecantikan perempuan itu
ternyata punya daya tarik tersendiri,
terutama pada matanya yang sayu dan
bibirnya yang lebar tapi menggemaskan
itu. "Majulah kalau kau ingin kehilangan nyawa sekarang Juga!" gertak Tandu Sangrai
sambil acungkan pedang ke arah Soka.
Pemuda itu tersenyum dalam ketenangan
dan keceriaan wajah yang mengherankan
bagi Tandu Sangrai. Perempuan itu merasa aneh melihat perubahan sikap pemuda
yang disangka sebagai Raka Itu menjadi tak
seganas tadi. Keramahan yang ada di wajah Soka, membuat Tandu Sangrai semakin
waspada, karena tadi Raka tak punya
keramahan sedikit pun. Tandu Sangrai tak mau terjebak dalam siasat lawan yang
menggunakan keramahan seperti itu.
"Sarungkan pedangmu, Nyai. Aku tidak bermaksud jahat padamu!"
tutur Soka dengan suara dan nada yang lembut.
"Tinggalkan aku atau pedangku akan bertindak sekarang juga!" ancam Tandu Sangrai
sambil menahan sakit secara diam-diam.
"Kulihat kau terluka di pinggang yang kau dekap itu. Aku ingin menolongmu,
Nyai. Bukan ingin bermusuhan denganmu."
"Aku tak mudah jatuh dalam jebakan busukmu! Cepat tinggalkan aku!" bentak Tandu
Sangrai. Lalu ia menyeringai dan menggigit bibirnya sendiri, karena
semakin dipakai untuk membentak semakin sakit luka hangus yang terasa menyayat-
nyayat sekujur tubuhnya.
"Aku tidak bermaksud menjebakmu,
Nyai. Aku juga tidak bermain siasat. Kau pikir aku perampok yang ingin merampas
hartamu" Kalau aku mau bertindak jahat
padamu, tentunya saat ini kau sudah
kuserang, dan kurasa kau juga menyadari bahwa keadaanmu yang terluka itu akan
memudahkan musuhmu untuk membunuhmu. Tapi hal itu toh tidak kulakukan!"
Tandu Sangrai membenarkan ucapan itu
dalam hatinya. "Sangat mudah bagi siapa pun yang ingin membunuh dalam keadaan
seperti sekarang ini. Tapi mengapa ia seperti telah melupakan pertarungan tadi
dan ingin bersikap baik padaku"! Apakah karena ia sudah diberi tahu oleh si
Perawan Hutan bahwa aku adalah kakaknya, sehingga pemuda ini menjadi sungkan
bermusuhan denganku karena tak enak
kepada Perawan Hutan"!"
Soka berdiri dengan santai, tangannya
bersidekap di dada, wajahnya dihiasi
senyum tipis yang memantulkan cahaya
sinar bulan sabit. Sikapnya yang rada-
rada konyol itu membuat hati Tandu
Sangrai diliputi kebimbangan yang
meresahkan. Dalam satu sisi ia membutuhkan
pertolongan siapa pun yang bisa
meringankan rasa sakit pada lukanya. Di sisi lain ia merasa tak ingin tampak
lemah di depan lawannya. Kebimbangan itu ternyata justru membuat rasa sakitnya
bertambah dan lututnya mulai tak sanggup dipakai untuk berdiri. la terhuyung mau
jatuh, namun lengannya segera bersandar
pada sebatang pohon. HP!
"Kalau kau masih tak percaya dengan maksudku, baiklah...!"
Soka melangkah mundur dan mengangkat tangan
kanannya.".... Selamat tinggal, selamat menderita, dan... jangan lupa kirim
kabar jika kau sudah berada di neraka nanti!"
Soka pun melangkah tinggalkan Tandu
Sangrai. Tapi tiba-tiba ia
mendengar

Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seruan yang dilontarkan dengan suara
berat. "Tunggu...!"
Senyum Soka pun kembali dipamerkan di
depan Tandu Sangrai yang menyeringai
menahan rasa sakit. Pemuda itu tampak
kalemdan menjengkelkan hati Tandu
Sangrai. "Setan busuk dia! Cengar-cengir
seenaknya di depanku membuat keadaanku jadi serba salah begin!! Awas nanti jika
lukaku ini telah sembuh, kuhajar wajah tampannya yang menggemaskan hatiku itu,
biar tak punya daya tarik lagi bagi
perempuan mana pun! Uuh...! Sakitnya
bukan main."
"Hei, mengapa diam saja"!" sapa Soka.
"Apa maksudmu menahan kepergianku, Nyai"
Apakah kau ingin aku menonton
kematianmu?"
Beberapa saat kemudian, Tandu Sangrai
berkata dengan lirih.
"Lakukanlah jika kau ingin
menolongku."
"Ah, untuk apa menolong orang yang tidak percaya padaku?"
"Aku percaya padamu! Tolonglah, dan buktikan kemampuanmu mengobati luka
seperti ini."
Soka Pura akhirnya tertawa dengan
suara pelan, membuat Tandu Sangrai
menjadi tersipu malu. Bibirnya digigit lagi sebagai langkah menahan rasa sakit
yang kian menyayat-nyayat tubuh itu. Soka pun akhirnya mendekati Tandu Sangrai
yang telah merosot
dari berdirinya dan
terduduk ditanah dengan bersandar pohon.
"Singkirkan
pedangmu, salah-salah
mataku bisa kecolok pedangmu!" ujar Soka bernada canda, membuat kecurigaan buruk
Tandu Sangrai semakin berkurang. la pun segera singkirkan pedangnya yang tadi
melintang di dada.
"Buka tanganmu, aku ingin melihat lukanya"
Tandu Sangrai menuruti perintah Soka.
Dipandanginya wajah pemuda itu dari jarak dekat. Tandu Sangrai semakin tidak
menemukan niat buruk diwajah tampan
berhidung bangir itu. Justru hati
perempuan Itu sempat rasakan desiran
lembut yang muncul disela rasa sakitnya.
"Aku harus menempelkan telapak
tanganku ke dadamu. Apakah kau tidak
keberatan?" tanya Soka sambil menunjukkan
telapak tangan kirinya. Perempuan cantik bermata sayu itu menatap dalam
keraguan. "Baiklah, kalau
kau keberatan tanganku di dadamu,
bagaimana jika menempel dl perutmu saja?"
"Aku... aku tidak mengatakan
keberatanku," ucap Tandu Sangrai sambil menyingkapkan jubah hijaunya sehingga
dadanya yang dilapisi pinjung merah itu terbuka, seakan la mempersilakan Soka
untuk segera menempelkan tangannya kedada tersebut.
Setelah lebarkan senyum sekejap, Soka
Pura pun segera tempelkan telapak tangan kirinya ke pertengahan dada perempuan
Itu. Mata Soka pun segera terpejam, dan Tandu Sangrai masih tetap memperhatikan
wajah pemuda itu.
Beberapa saat kemudian telapak tangan
Soka yang menempel di dada Tandu Sangrai membiaskan cahaya ungu. Cahaya ungu itu
lama-lama meresap ke dada Tandu Sangrai membuat tubuh Tandu Sangrai mulai
diliputi cahaya ungu.
"Ooh... tubuhku"! Tubuhku menjadi begini" Tapi... tapi rasa sakitnya mulai
berkurang. Oh, ternyata dia tidak main-main dan tidak bermaksud Jahat padaku.
Mengapa ia tidak menuntut kematian Ki
Mandura lagi" Apakah... apakah dia benar-benar hanya seorang tamu dan tidak
tahu-menahu tentang kitab pusaka itu"!"
Tangan Soka ditarik dari dada Tandu
Sangrai. Tangan itu sudah tidak
memancarkan cahaya ungu lagi, tetapi
tubuh Tandu Sangrai masih memancarkan
cahaya ungu bagaikan berubah menjadi
kristal ungu. Wajah perempuan itu menjadi tegang, tapi justru ditertawakan Soka
dengan tawa mirip orang bergumam.
Beberapa saat kemudian, cahaya ungu
itu padam. Tubuh Tandu Sangrai normal
kembali. Perempuan itu menjadi terheran-heran karena ia tak merasakan sakit
sedikit pun, bahkan badannya merasa lebih segar dari sebelumnya. Sedangkan luka
hangus yang membekas di pinggang itu pun lenyap tanpa sisa seujung jarum pun.
"Luar biasa...," gumam Tandu Sangrai.
Lalu ia pun membatin, "Luka memar di wajahku akibat tendangannya pun tak
terasa lagi. Rupanya ia benar-benar
menguasai ilmu pengobatan sedahsyat itu!
Oh, mengagumkan sekali dia. Dalam usia semuda itu ia sudah kuasai ilmu setinggi
itu. Bagaimana jika ia berusia sebayaku"
Pasti akan lebih tinggi lagi Ilmunya."
Pedang segera disarungkan, karena
tadi hanya disingkirkan saja dari
dadanya. Tandu Sangrai semakin percaya dengan sikap baik pemuda yang dianggap
sebagai musuhnya tadi. Tapi Tandu Sangrai tidak segera bangkit. la tetap duduk
di bawah pohon berdaun rindang itu, karena
Soka Pura juga duduk di atas akar pohon yang berbentuk seperti bangku kecil itu.
Jaraknya dengan Tandu Sangrai sangat
dekat, tepat di samping kanan agak ke
depan, sehingga Soka dapat menangkap
wajah cantik yang sudah cukup matang itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu,"
ujar Tandu Sangrai.
"Bagaimana rasa badanmu, Nyai?"
"Enak sekali"!"
"Maksudnya enak... enak bagaimana?"
"Segar dan rasa-rasanya kekuatanku pulih kembali."
"Ooo...," Soka manggut-manggut,
"Maksudnya enak begitu?"
"Hei, aku tahu kau mulai berkhayal nakal, ya"!" sambil Tandu Sangrai sunggingkan
senyum. Soka Pura justru
deraikan tawanya yang terbahak pelan.
"Barangkali karena usiaku masih muda jadi khayalanku sering nakal yang bukan-
bukan." "Yang bukan-bukan bagaimana itu?"
"Yaah... ya yang bukan-bukan," jawab Soka sambil tertawa lagi membuat
perempuan itu tertawa geli juga seraya mencolekkan telunjuknya ke pipi Soka.
Pemuda itu tidak mengelak, tidak pula
menangkis colekan yang semakin mengakrab itu.
"Sejak tadi kau belum sebutkan
namamu, sedangkan, kau sudah tahu kalau
namaku Tandu Sangrai."
"Ah, aku belum tahu siapa namamu
kok," kata Soka, tapi dianggap bercanda bagi Tandu Sangrai.
"Jadi aku harus memanggilmu apa?"
tanya Tandu Sangrai.
"Soka Pura. Tapi aku lebih sering dipanggil Soka saja."
"Ooo...," perempuan itu menggumam pelan. "Kau seorang tabib?"
"Tabib apa?" Soka tertawa. "Tabib asmara"!"
"Mungkin saja. Karena selama ini aku baru menemui anak semuda kau sudah bisa
sembuhkan luka seajaib tadi. Aku sungguh kagumi"
"Hanya kagum?"
"Hmmm..., yah, selain kagum juga
terkesan sekali. Kurasa aku tak akan
mudah melupakan saat-saat telapakmu
menempel di dadaku?"
"Mengapa kau tak mudah melupakannya?"
Sambil sunggingkan senyum malu Tandu
Sangrai menjawab, "Hangat sekali! Tak sehangat tangan mantan suamiku yang telah
meninggal itu."
"Tentu saja, sebab tadi saat tanganku menempel
di dadamu, kusalurkan hawa
murniku dan kekuatan inti gaib untuk
melenyapkan rasa sakit dan memulihkan
kekuatanmu."
"Ooo...," Tandu Sangrai manggut-
manggut sambil pandangi wajah Soka dengan mata sayunya.
"Kenapa" Kau suka menerima sentuhan hangat seperti tadi?"
Tandu Sangrai lebarkan senyum. "Aku tadi sempat merinding."
"Mengapa merinding" Kau pikir yang menyentuhmu tangan malaikat"!"
"Bukan begitu. Sudah lama aku tak pernah disentuh lelaki, sehingga saat kau
sentuh aku merasa seperti sedang kau
goda." "Apakah kau merasakan godaan itu?"
"Ya. Hatiku berdesir indah. Sayang sekali tadi aku sedang menahan sakit,
sehingga keindahan itu tak bisa kunikmati se...."
"Sekarang kau tidak merasakan sakit lagi," potong Soka. Kemudian ia
menempelkan tangannya ketengkuk Tandu
Sangrai yang tak tertutup kain jubah.
"Sekarang bagaimana rasanya tanganku ini?"
"Hmmm...," Tandu Sangrai tersenyum-senyum. "Hangat sekali dan menimbulkan
desiran indah di hatiku."
"Aneh. Padahal hawa murniku tidak kusalurkan ke tangan ini, melainkan ke tangan
sebelahnya," gumam Soka sengaja agak keras agar didengar Tandu Sangrai.
"Bagaimana jika disertai gerakan
mengusap-usap begini?" pancing Soka.
"Oh, semakin indah lagi," jawab Tandu Sangrai pelan. Kini perempuan itu menatap
Soka. Diam-diam hati Soka pun berdesir-desir karena sentuhan tangannya dan
menerima tatapan mata sayu itu.
Senyum Tandu Sangrai bukan senyum
keramahan lagi, melainkan senyum
pembangkit gairah. Kepalanya menggeliat ketika usapan tangan Soka merayap di
pipinya, seakan pipi Itu ingin lebih
rapat lagi bersentuhan
dengan tangan Soka. Gerakan tangan Soka dan kepala yang
menggeliat membuat sanggul itu terlepas dan rambut panjangnya pun terurai meriap
sepinggang. Dalam keadaan rambut terlepas, mata
sayu disinari rembulan
pucat, Tandu Sangrai tampak semakin menantang gairah.
Kepalanya yang menggeliat pelan itu
membuat bibirnya tersentuh oleh tangan Soka. Perempuan itu menggigit telapak
tangan Soka. Yang digigit hanya
tersenyum-senyum nakal dengan mata mulai ikut sayu juga.
Bibir perempuan itu menghangat di
telapak tangan Soka, bahkan lidahnya
sengaja dijulurkan dan menari-nari di
telapak tangan itu. Soka menikmati
dengan, jantung berdetak-detak, mata
semakin terbeliak, napas kian memburu dan pemuda tampan itu akhirnya menggigit
bibirnya sendiri.
"Aahhh...!" suara keluhan Soka terdengar pelan saat lidah Tandu Sangrai menjalar
ke pergelangan tangan dan terus merayapi
lengan Soka sambil sesekali
lakukan pagutan-pagutan lembut, membuat jiwa mulai terasa melayang-layang.
Kini perempuan itu semakin tergoda
oleh suara desah seorang pemuda tampan bertubuh kekar Itu. la bergeser lebih
dekat lagi dengan cara merangkak sambil menyapu
hangat lengan Soka dengan
lidahnya. Sapuan itu merayap terus hingga keleher Soka. Kepala Soka dimiringkan
dengan sedikit tengadah. Akibatnya sapuan lidah Tandu Sangrai semakin menemukan
lahan bekas hantaman. Leher itu pun
disapu oleh lidah Tandu Sangrai hingga memutar menyeluruh. Bahkan sesekali leher
itu dipagut pelan oleh bibir Tandu
Sangrai. "Oouh, indah sekali, Nyai..."
"Jangan panggil aku Nyai! Namaku
Tandu Sangrai, dengar"!" gertak perempuan itu berlagak galak, namun akhirnya
tertawa sendiri ketika Soka mencibir.
Bahkan cibiran itu membuat Tandu Sangrai bernafsu untuk melumat bibir Soka. Maka
bibir pemuda itu pun segera dikecupnya pelan-pelan, lumatannya begitu lembut
bersama tarian lidahnya yang gemulai
membakar gairah Soka.
Tangan Soka pun tak mau tinggal diam.
Tangan itu menyelusuri tubuh Tandu
Sangrai dari dalam jubah. Dari pinggang sampai ke belakang. Di belakang tangan
itu melepaskan kancing pengait pinjung.
Tees...! Pengait itu terlepas dan pinjung itu
pun melonggar, akhirnya tangan Soka
berhasil merayap ke depan dan menemukan gumpalan dada yang sekal dan montok itu.
"Ouh, Soka...!" Tandu Sangrai mengerang kecil dengan kepala
didongakkan. la berlutut di depan Soka, sehingga Wajah Soka tepat berada di
depan dadanya. Tangan Tandu Sangrai menekan
kepala Soka dari belakang, sehingga mulut Soka pun menempel di atas bukit
dadanya. "Soka, habiskan tempat itu. Habiskan, Sayang.... Ooh...."
Tandu Sangrai mengerang panjang
dengan tangan meremas punggung Soka
karena saat itu ia merasakan bagian dari dadanya sedang ditelan Soka. Pucuk-
pucuk bukit itu digelitik oleh ujung lidah
Soka, membuat desiran indah mengalir
deras di sekujur tubuhnya.
"Oouh, Soka... Soka, nikmat sekali itu. Ooh, Sayang... Sayang, uuhf...!"
Tandu Sangrai sengaja menarik
kepalanya sedikit kebelakang sehingga ia bisa memandangi bibir Soka yang sedang
memberikan pagutan nikmat. Bahkan gairah
perempuan itu kian berkobar begitu
melihat lidah Soka pun merayapi
sekeliling bukit secara bergantian.
"Sokaaa...," desahnya memanjang.
"Sokaaa... teruskan ke bawah, Sayang. Ke bawah lagi. oouh... tanganmu nakal,
Soka! Uuuhk...!" Tandu Sangrai merintih ditikam kenikmatan
karena tangan Soka telah
mencapai titik keindahannya. Tandu


Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sangrai melebarkan diri supaya tangan
Soka lebih leluasa lagi. Ternyata hal itu membuat tangan Soka semakin liar dan
ganas. Tandu Sangrai memekik-mekik dengan tubuh meliuk kegirangan, sesekali
terlonjak dalam satu pekikan kecil.
"Soka, ooh... tunggu dulu, Sayang.
Uuhmm... lepaskan dulu, akan kubuka
semuanya biar kau semakin bebas, Sayang.
Uuh, uuh..."
Jubah hijau itu digelar di
rerumputan. Tandu Sangrai berbaring
bagaikan dahan pohon besar yang menunggu hinggapnya sang burung. Namun
pengalaman yang diperoleh Soka saat bercumbu dengan Ranum Sani membuat pemuda
itu tak mau buru-buru hinggap di dahan kemesraan itu.
la menyusuri sekujur tubuh Tandu Sangrai dengan kecupan-kecupan lembutnya,
bahkan menjadi seekor kucing yang sedang
memandikan anaknya. Kemesraan Itu membuat Tandu Sangrai mengerang-ngerang dengan
hamburan napas yang menderu.
"Oouh, nikmat sekali, Sayang... baru sekarang kudapatkan yang terindah dari yang
Kitab Pusaka 8 Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 8
^