Pencarian

Gadis Penyebar Cinta 3

Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta Bagian 3


mudian tongkat itu memancarkan cahaya biru berkila-
tan bagaikan petir menyambar-nyambar. Kilatan ca-
haya biru itu keluar dari lubang rongga mata tengko-
rak yang bolong dan mulut tengkorak yang bergigi ge-
ripis itu. Craap, claaap, cralap, belgaaaar...! Blaaarr...!
Cahaya-cahaya biru yang saling berloncatan
seenaknya itu menyambar tubuh Soka Pura beberapa
kali. Walaupun Soka sudah menghindar ke sana-sini,
namun ledakan yang timbul akibat sebatang pohon
yang dihajar oleh cahaya biru itu melepaskan gelom-
bang hawa panas. Gelombang hawa panas itulah yang
menyambar tubuh Soka Pura dan membuat pemuda
itu terjungkal beberapa kali. Sekujur tubuhnya bagai
disiram minyak panas. Soka Pura mengalami luka ba-
kar yang membuat kulit tubuh, terutama bagian len-
gannya, melepuh, dan matang.
"Modar kau, Bangsat Cilik! Heeeaaah...!" Jenggot Bajang berteriak liar sambil
masih melompat dekati Soka, memutar tongkat di atas kepala hingga terdengar
suara dengung di sela-sela suara ledakan menggelegar.
Soka Pura terdesak, disergap puluhan cahaya
biru petir. Ia kewalahan, dan akhirnya lengannya ter-
sambar salah satu sinar biru itu. Craas, blegaaar..!
"Aaakh.!" pekiknya sambil tubuh melayang tangan terbakar.
Tepat pada saat tubuh itu melayang, sekelebat
bayangan datang menyambar tanpa permisi dulu ke-
pada Jenggot Bajang. Weeees, wuuuut...! Bayangan
yang menyambar Soka itu segera lenyap dari pandan-
gan si Jenggot Bajang. Blaasss...!
"Monyet buruk, babi panggang, tikus kurap...!
Kembalikan anak itu, aku belum selesai menghajar-
nya!" teriak Jenggot Bajang. Tapi bayangan yang menyambar Pendekar Kembar bungsu
tak pedulikan te-
riakan itu. Ia membawa pergi pemuda tersebut ke sua-
tu tempat yang jauh dari Jenggot Bajang. Si tua berju-
bah hitam garis-garis merah itu segera mengejarnya.
Tapi ia sempat kehilangan arah dan tak mengerti ha-
rus memburu ke mana.
"Jahanam busuk! Siapa orang yang ikut cam-
pur urusanku itu"!" geramnya dengan napas ngos-
ngosan karena diburu kemarahan. Jenggot Bajang ma-
sih membatin. Gerakannya sangat cepat! Sepertinya
aku pernah mengenali gerakan secepat itu! Hrnmm...,
tapi siapa dia sebenarnya"!" Jenggot Bajang berkerut dahi tajam-tajam.
Rupanya si penyambar Soka Pura memang su-
dah mengenal Jenggot Bajang. Tapi entah mengapa ia
tak mau menyerang Jenggot Bajang, selain hanya me-
nyelamatkan Pendekar Kembar bungsu ke suatu tem-
pat yang aman. Di sana ia membaringkan Soka Pura
yang masih dalam keadaan terluka parah. Kakek yang
menyambar Soka itu hanya geleng-geleng kepala meli-
hat luka mengerikan di tubuh Soka Pura.
"Kau terlalu gegabah dan kelewat berani, Nak,"
ujar si kakek bertudung hitam itu. Tudungnya yang
lebar sedikit menutupi wajahnya, sehingga Soka Pura
yang sempatkan membuka mata dengan suara eran-
gan kecil, tak dapat melihat jelas wajah si kakek. Ia
hanya melihat jubah biru sang kakek yang bermotif
kotak-kotak putih itu. Jubah tersebut berlengan pan-
jang, menutup sebagian pakaian dalamnya yang ber-
warna putih krem.
"Jangan banyak bergerak dulu, ku coba menya-
lurkan hawa murni ku ke dalam tubuhmu, Nak!" ujar si kakek bertudung hitam.
"Tak usah, Kek. Ak... aku akan lakukan sendi-
ri," ujar Soka Pura, kemudian segera menggunakan jurus 'Sambung Nyawa' untuk
mengobati lukanya dan
memulihkan tenaganya. Dalam waktu beberapa saat,
ternyata Soka Pura masih mampu lakukan hal itu, se-
hingga sang kakek bertudung hitam itu merasa heran
serta kagum melihat kemampuan Soka Pura mengatasi
lukanya sendiri.
"Terima kasih atas bantuanmu, Kek," ujar Soka Pura setelah pulih seperti
sediakala. Sang kakek membuka tudungnya, tudung itu menggantung di belakang
lehernya karena tali tudung masih belum dilepas. Ter-
nyata kakek berjubah biru kotak-kotak putih itu mem-
punyai rambut panjang yang dikonde sebagian ber-
warna putih rata. Kumis dan jenggotnya yang pendek
juga berwarna putih rata, ia mempunyai sepasang ma-
ta teduh yang kelihatan enak dipandang orang lain.
Keriput kulit pembungkus tubuh kurusnya membuat-
nya tampak seperti berusia sekitar tujuh puluh tahun,
ham pir sebaya dengan si Jenggot Bajang tadi.
"Aku tak tahu apa persoalannya sehingga kau
bentrok dengan si Jenggot Bajang. Yang jelas, itu langkah yang keliru, Nak.
Jenggot Bajang bukan tandingan
mu. Aku sendiri pernah nyaris mati di tangannya, apa-
lagi kau yang masih muda belia begini!"
"Dia ingin membalas kekalahan muridnya,
Kek." "O, itu sudah waktunya si Jenggot Bajang. Ia selalu ikut campur urusan
muridnya, dan tak rela jika
muridnya dilukai orang lain. Tapi dia tak pernah mela-
rang muridnya melukai orang lain. Memang begitulah
watak si tokoh aliran hitam yang satu itu. Memua-
kkan, sekaligus menjengkelkan."
"Ya, dia juga tadi berkata begitu padaku ten-
tang sikapnya terhadap sang murid," ujar Soka Pura sambil membetulkan letak
pedangnya. "Lain kali jika kau bertemu dengan murid si
Jenggot Bajang, lebih baik menyingkir saja dan jangan
layani tantangannya. Karena sang guru akan ikut
campur jika sang murid kalah."
"Itu tak bisa kulakukan, Kek. Sebab si Raksa
Braja, murid Jenggot Bajang itu, ingin membunuh ga-
dis yang bersamaku! Raksa Braja yang melukai Rara
Wulan lebih dulu, sehingga membuatku murka dan...."
"Siapa nama gadis yang bersamamu, Nak"!" po-
tong sang kakek.
"Rara Wulan, Kek," jawab Soka Pura.
"Hmmm...," sang kakek manggut-manggut den-
gan sikap bijaknya yang tampak keluar dari pancaran
pandangan matanya. "Sudah lama kau mengenal Wu-
lan?" "Belum, Kek. Tapi kami sudah saling terpikat."
"Kalian sedang dalam perjalanan pulang, ten-
tunya?" "Tidak. Kami justru sedang dalam perjalanan ke suatu tempat yang jauh
dari sini. Dan...."
"Mengapa kau tak membawa Rara Wulan pu-
lang ke orang tuanya" Apakah kau tak ingin menikah
dengan gadis itu?"
"Menikah..."!" Soka Pura berkerut dahi, heran sekali mendengar ucapan yang
nadanya seirama dengan apa yang pernah diucapkan Lodayu.
"Apakah kau belum tahu Siapa Rara Wulan
itu?" Soka Pura tampak seperti orang linglung yang bingung menjawab pertanyaan
sang kakek berjubah
biru. Bahkan setelah diam beberapa saat, Soka Pura
justru ajukan tanya tentang si kakek itu sendiri.
"Kalau boleh ku tahu, siapakah dirimu sebe-
narnya, Kek"!"
"Aku sering dipanggil dengan nama: Eyang
Guru Wejang!"
"O, baru sekarang aku mendengar nama itu,"
ujar Soka seperti bicara pada diri sendiri.
"Aku sendiri belum tahu siapa dirimu, Nak. Ta-
pi dari sorot matamu aku dapat menduga kau tokoh
muda dari aliran putih."
"Namaku: Soka Pura, Eyang. Aku berasal dari
Puncak Gunung Merana dan...."
"Puncak Gunung Merana"!" Eyang Guru We-
jang terkejut. "Apakah kau muridnya sahabatku; si Pawang Badai"!"
"Aku dan kakakku adalah anak angkat, Pawang
Badai, Eyang."
"Ooo.. pantas, pantas...!" Guru Wejang mang-
gut-manggut sambil tepuk-tepuk pundak Soka Pura.
Wajahnya memancarkan rasa simpati tinggi terhadap
anak muda yang tadi diselamatkan dari amukan si
Jenggot Bajang itu.
"Sekarang aku bisa menebak siapa dirimu se-
benarnya," ujar Guru Wejang. "Pasti tak salah lagi, kau adalah Pendekar Kembar
yang sedang menjadi bahan
pembicaraan para tokoh tua di rimba persilatan akhir-
akhir ini!"
"Benar, Eyang. Tapi kebetulan kali ini aku sen-
dirian, kakakku sedang semadi di Gerojogan Sewu.
Aku mendengar teriakan Rara Wulan yang akan dibu-
nuh oleh Dirgayana, dan dari situlah mula perkenalan
ku dengan Rara Wulan. Sampai akhirnya, aku harus
mencari Daun Sirih Buntu untuk sembuhkan si Rara
Wulan. Ia terkena racun 'Kala Tungging' akibat puku-
lan si Raksa Braja."
"Sekarang di mana gadismu itu, Soka Pura?"
"Ku tinggalkan di utara. Ia dijaga oleh seseo-
rang yang ingin membantuku, dan yang memberitahu
tentang adanya Daun Sirih Buntu."
Wajah sang kakek tampak gelisah. "Jadi kau
belum tahu siapa sebenarnya Rara Wulan itu"!"
"Secara lengkap memang, Eyang. Tapi aku akan
menentang pendapatmu jika kau katakan bahwa Rara
Wulan adalah gadis terkutuk, penyebar bencana dan
wabah penyakit, seperti yang dikatakan Raksa Braja
dan Jenggot Bajang!"
Soka Pura menampakkan pembelaannya terha-
dap Rara Wulan. Guru Wejang hanya sunggingkan se-
nyum tipis namun tidak berkesan sinis. Kakek bijak-
sana itu akhirnya menepuk-nepuk punggung Soka lagi
sambil berkata pelan.
"Rara Wulan adalah gadis terkutuk, penyebar
bencana dan wabah penyakit, tapi khusus untuk pi-
hak Perguruan Cakar Petir! Untuk orang lain, tidak!"
"Mengapa bisa begitu, Eyang"!"
"Karena gadis itu menjadi penghalang niat si
Bintari Ayu yang ingin menjadi pengganti ibunya. Bin-
tari Ayu berusaha memikat hati ayahanda Rara Wulan.
Sang ayah agaknya terpikat dan ingin mengawini Bin-
tari Ayu. Tetapi Rara Wulan tidak setuju. Ia menentang keras perkawinan itu.
Sang ayah sendiri ngotot, tetap
ingin beristri Bintari Ayu tanpa peduli dari perguruan mana dan dari aliran mana
perempuan itu."
"O, jadi karena persoalan itulah maka Rara Wu-
lan pergi dari rumahnya"!"
"Benar. Dia minggat, sudah satu bulan lebih.
Sang ayah merasa cemas dan tak mau lanjutkan per-
cintaannya dengan Bintari Ayu jika putri tunggalnya
belum kembali."
"Anak siapa Rara Wulan itu sebenarnya,
Eyang?" "Dia putri seorang adipati yang bernama Adipati
Damardikan di kadipaten Wilujaga!"
"Edan!" sentak Soka tak sadar, lalu segera menutup mulutnya sendiri dengan rasa
malu. Ia benar-
benar kaget, karena tak pernah menyangka bahwa Ra-
ra Wulan adalah putri seorang adipati. Ia hanya men-
duga, Rara Wulan anak seorang saudagar kaya atau
bangsawan yang derajatnya tak setinggi adipati.
"Adipati Damardikan akhirnya sadar, bahwa
perkawinan yang tidak dikehendaki putrinya kelak
akan membawa bencana tersendiri bagi sang putri, ka-
renanya sang adipati pun membatalkan niatnya secara
diam-diam. Ia hanya ingin agar Rara Wulan kembali
lagi ke istananya dan hidup bersama sang ayah. Untuk
itu, maka sang adipati membuka sayembara, barang
siapa yang bisa membawa pulang Rara Wulan, jika pe-
rempuan itu akan dijadikan anak angkat atau saudara
angkat Rara Wulan sendiri, tapi jika lelaki akan dika-
winkan dengan putrinya, seandainya sang putri berse-
dia. Jika sang putri tidak bersedia, maka orang terse-
but akan diberi hadiah sebidang tanah di Lembah Da-
mai yang sekarang masih menjadi wilayah Kadipaten
Wilujaga itu."
"Ooo... pantas Lodayu ingin membawa pulang
Rara Wulan. Rupanya ia bermaksud ingin memperistri
Rara Wulan sebagai hadiah atas keberhasilannya
membawa pulang gadis itu," gumam Soka seakan bica-ra pada diri sendiri.
"Banyak pemuda yang mencari Rara Wulan
dengan maksud mendapatkan hadiah tanah Lembah
Damai atau dikawinkan dengan Rara Wulan. Tapi di
satu pihak, Perguruan Cakar Petir ingin membunuh
Rara Wulan, karena gadis itu dianggap biang kegaga-
lan maksud Bintari Ayu untuk. menjadi istri sang Adi-
pati. Pihak perguruan itu sangat setuju jika Bintari
Ayu menjadi istri sang Adipati, karena mereka bisa
memperalat kedudukan Bintari Ayu untuk memperbe-
sar kekuasaan dan pengaruh perguruan tersebut. Se-
tidaknya dapat mendapatkan uang dengan mudah un-
tuk keperluan-keperluan perguruannya!"
"Edan! Gadis itu ternyata menjadi bahan inca-
ran orang banyak, baik yang ingin membunuhnya
maupun yang ingin mengawininya."
"Tentunya lebih banyak yang berminat untuk
mengawini Rara Wulan, sebab gadis itu adalah gadis
penyebar cinta. Artinya, wajahnya selalu mengundang
kaum lelaki ingin mengabdikan cintanya kepada Rara
Wulan. Tak heran jika kau kasmaran dengan gadis itu,
Soka Pura. Dan... menurutku memang cocoknya dia
menjadi pasangan mu."
"Ah, Eyang...!" Soka Pura berdebar indah mendengar ucapan sang kakek berjubah
biru itu. Tapi ia
tiba-tiba ingat tentang keadaan Rara Wulan. Hatinya
pun segera berkata,
"Rara Wulan bersama Paman Bandar Getih. Oh.
celaka! Mengapa kubiarkan lelaki itu menjaga Wulan,


Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padahal aku belum tahu siapa Bandar Getih itu sebe-
narnya"! Bisa saja dia di pihak Bintari Ayu, atau bisa saja seorang lelaki yang
berburu gadis untuk diserahkan kepada orangtua si gadis biar dikawinkan! Wah,
alangkah tololnya aku sebenarnya! Aku harus segera
kembali temui Bandar Getih. Hatiku menjadi tak enak
setelah tahu siapa Rara Wulan dan tentang
sayembara dari ayah gadis itu...." Blaaas...!
"Hei, Soka... mau ke mana kau"!" seru Eyang
Guru Wejang. "Rara Wulan dalam bahaya, Eyang!" jawab Soka sambil larikan diri, dan Guru
Wejang akhirnya mengikuti. Ketika tiba di tempat Rara Wulan dibaringkan
dan dijaga oleh Bandar Getih, ternyata mereka berdua
tak ada. Soka Pura menjadi berang karena segera
mengerti bahwa dirinya telah tertipu oleh siasat Ban-
dar Getih. Pasti gadis itu dibawa lari oleh Bandar Getih yang mengincar hadiah
dari sang Adipati itu.
"Kita cari ke arah timur!" ujar Guru Wejang.
"Sebab arah timur adalah arah Kadipaten Wilujaga berada!" Soka Pura tak bisa
banyak protes, karena piki-rannya menjadi kacau sekali.
* * * 6 BATU yang berada di bawah curah air terjun
Gerojogan Sewu menjadi kosong. Raka Pura tidak lan-
jutkan semadinya begitu ia mengetahui tak ada gera-
kan sedikit pun di belakangnya. Napas sang adik kem-
bar tidak terdengar sedikit pun. Ia curiga, lalu mem-
buyarkan semadinya dan mengetahui sang adik kem-
bar tidak ada di tempat.
"Bocah bodong!" maki Raka Pura, si Pendekar
Kembar sulung itu. "Disuruh semadi malahan minggat ke mana anak itu"!"
Sesungguhnya hati Raka Pura tak pernah bisa
berpisah dari adik kembarnya. Perpisahan yang terlalu
lama membuat hati Raka Pura selalu cemas dan tidak
bisa tenang. Walaupun jika bertemu mereka sering
cekcok dan saling mengejek, tapi hati mereka sebenar-
nya saling memeluk dalam damai.
Raka Pura sebagai kakak selalu ingin melin-
dungi adiknya. Ia tak ingin adiknya menemui kesulitan
atau menghadapi bahaya sendirian, walaupun untuk
itu Raka memang selalu ngomel kepada sang adik.
Maka hilangnya Soka Pura dari tempat semadi mem-
buat Raka pun segera meninggalkan tempat itu men-
cari si Pendekar Kembar bungsu. Ia menggeram-geram
dan berjanji ingin menghajar adiknya jika nanti mere-
ka bertemu. Pencarian Raka Pura diawali dari arah datang-
nya suara jeritan seorang gadis. Pada waktu Rara Wu-
lan menjerit karena terancam bahaya Dirgayana, sebe-
narnya Raka Pura juga mendengarnya, tapi ia tak am-
bil peduli jeritan itu. Setelah ia tahu adiknya tak ada di tempat, maka ia dapat
menyimpulkan bahwa sang adik
pasti lari ke arah suara jeritan seorang gadis itu.
"Kalau kuadukan kepada ayah bisa kena hu-
kuman dia! Perempuan melulu yang dipikirkan! Aku
saja yang sebagai kakak belum mencicipi perempuan,
eeeh... dia yang sebagai adik sudah menjelajahi sekian banyak perempuan! Dasar
pendekar buaya kampun-gan!" gerutu Raka Pura sambil mencari adiknya.
Tanpa disangka-sangka pencarian Raka Pura
terhenti oleh suara teriakan seorang lelaki yang tam-
paknya menderita siksaan. Pendekar Kembar sulung
segera berlari ke arah tersebut, dan mengendap-endap
di balik semak ilalang. Ternyata di seberang semak ilalang itu Raka dapat
melihat seorang lelaki berpakaian
abu-abu berkepala botak tengah sedang di hajar habis-
habisan oleh seorang perempuan berjubah jingga.
"Kejam sekali perempuan itu"! Orang sudah tak
berdaya masih dihajarnya terus! Kasihan orang berpa-
kaian abu-abu itu. Mulutnya sampai rusak dan men-
gucurkan darah. Aku harus segera bertindak tapi...
tunggu dulu, aku harus tahu siapa yang berada di pi-
hak yang benar" Apa persoalan mereka sebenarnya"!"
gumam hati Raka Pura.
Perempuan cantik berjubah jingga yang memi-
liki tubuh sexy itu berambut pirang, tapi disanggul ke atas sebagian, sisanya
terjuntai seperti ekor kuda. Perempuan berjubah jingga itu adalah perempuan
cantik yang mempunyai daya pikat tinggi dengan bola mata
sayu seakan mengundang ajakan bercumbu bagi la-
wan jenisnya. Perempuan itulah yang bernama Bintari
Ayu dalam usia sekitar dua puluh delapan tahun. Ia
membawa senjata kipas merah yang terselip di ping-
gang kanannya. Tetapi mata perempuan itu kali ini membelalak
lebar menampakkan kemarahannya kepada lelaki ber-
pakaian abu-abu yang tak lain adalah si Bandar Getih.
Lelaki itu dalam keadaan bersimpuh di tanah sambil
mengerang kesakitan dan berusaha meyakinkan Bin-
tari Ayu. "Aku... aku berkata yang sesungguhnya, Binta-
ri... Wulan sudah dibawa oleh Dirgayana ke... ke mana
aku tak tahu, sebab aku tak boleh ikut."
"Bohong! Dirgayana tak membawa Wulan! Ia
justru dihajar oleh seorang pemuda yang sok jago!"
"Sungguh, Bintari. Wulan telah dibawa lari see-
kor ayam jago yang, ehh... maksudku... maksudku,
Dirgayana benar-benar telah membawa lari jago, eh...
membawa lari Wulan untuk diadu dengan ayam jago,
aeh... maksudku...."
Ploook...! "Aooow...!" Bandar Getih memekik kesakitan,
tak sempat betulkan ucapannya yang selalu gugup
menghadapi siapa pun itu. Mulutnya mengucurkan
darah lagi sampai-sampai Bandar Getih tak bisa bicara
dengan jelas. "Sekali lagi kalau kau tak mau tunjukkan di
mana Wulan bersembunyi, ku habisi nyawamu seka-
rang juga, Bandar Getih!" ancam Bintari Ayu.
"Fuuuh, fuah... aafu, fuu, fuuu, fuaah...!"
"Bicara yang betul!"
"Mulufku sakif... mana fisa ficaya...." ("Mulutku sakit, mana bisa bicara?")
Bintari Ayu tak sabar lagi, ia segera mengang-
kat tangan kanannya. Tangan kanan itu menyala me-
rah dan berasap samar-samar. Raka Pura tahu apa
yang akan terjadi jika tangan itu digunakan memukul
Bandar Getih. Maka dengan cepat Raka Pura muncul
dari persembunyiannya. Ia berkelebat menyambar Bin-
tari Ayu yang ingin melepaskan pukulan ke arah Ban-
dar Getih. Jurus 'Sambung Nyawa' digunakan Raka
untuk menerjang perempuan itu. Wuuzz...! Bruuuus...!
"Aaaah...!" Bintari Ayu memekik sambil tubuh-
nya terpental enam langkah dari tempatnya berdiri
semula. Perempuan berjubah jingga itu jatuh terbant-
ing di atas tanah berbatu. Ia mengerang panjang den-
gan wajah cantiknya menyeringai menahan rasa sakit.
Tangannya sudah tidak memancarkan cahaya merah
lagi. Raka Pura segera dekati Bandar Getih dengan
maksud ingin menolong. Tapi Bandar Getih merangkak
mundur dengan ketakutan. Ia menyembah-nyembah
sambil paksakan diri bicara dalam keadaan mulut
hancur. "Amfuuun.... Amfun! Jangan... jangan siksa aku lagi! Mulutku sudah
bonyok begini, afa, masih kurang wonyok lagi..."!"
"Hei, aku ingin menolongmu! Mengapa kau ta-
kut padaku, Paman?" Raka memanggilnya 'paman' ka-
rena merasa orang itu lebih tua darinya, lebih dari seorang kakak. Tapi sebutan
'paman' itu bagi Bandar Ge-
tih semakin membuatnya yakin bahwa pemuda berpa-
kaian putih itu adalah Soka Pura yang ditipunya itu.
Tiba-tiba datang serangan dari Bintari Ayu be-
rupa pukulan jarak jauh tanpa sinar. Wuuut...! Hawa
padat itu menyerang Raka Pura dari belakang. Tetapi
naluri Raka Pura menangkap datangnya bahaya dari
belakang sehingga ia segera balikkan badan sambil le-
paskan pukulan bertenaga dalam pula, yaitu jurus
'Tangan Batu'-nya. Wuuus...! Blaaam...! Suara bera-
dunya pukulan tenaga dalam menggema tak keras,
namun cukup membuat Bintari Ayu mempertimbang-
kan kekuatan lawannya.
"Keparat kau, Pemuda liar! Apa maksudmu
mencampuri urusanku, hah"!" seru Bintari Ayu den-
gan mata jalangnya semakin tampak ganas. "Apakah
kau yang menghajar Dirgayana untuk mendapatkan
gadis binal itu"!"
"Maaf, aku memang tak tahu persoalanmu, Bi-
bi. Tapi kau sudah kelewatan, menghajar orang yang
sudah tak punya daya apa-apa! Aku terpaksa hentikan
tindakan kejam mu itu, Bibi!"
"Kepalamu peot, memanggilku seenaknya saja!
Kau sangka aku sudah tua, sehingga kau memanggil
ku Bibi"!" berang Bintari Ayu yang berhidung mancung itu.
Si Pendekar Kembar sulung justru tersenyum
geli melihat perempuan cantik itu marah di panggil se-
bagai bibi. Sikapnya yang tenang membuat Bintari Ayu
menjadi ragu-ragu untuk menyerang Raka Pura.
Kurasa ia bukan pemuda sembarangan! Ia be-
rani bersikap tenang sekali di depanku. Gerakannya
menerjang ku pun membuatku menjadi menahan sakit
di bagian ulu hati. Gila! Pemuda mana dia sebenarnya"
Hmmm... sebaiknya tak perlu kulayani dia. Agaknya si
Bandar Getih sudah tak dapat mengaku lebih dari itu.
Tentunya ia tak berani berdusta lagi saat ku ancam
tadi. Berarti Rara Wulan ada di tangan Dirgayana! Ke-
parat juga si Dirgayana, mengapa ia tidak segera se-
rahkan Rara Wulan kepadaku" Jangan-jangan ia ber-
cengkerama dulu dengan gadis itu! Kurang ajar!"
"Kau mau teruskan tindakan kejam mu" Kalau
mau teruskan, silakan kau bertindak terhadap diriku,
Nenek!" "Jahanam!" geram Bintari Ayu, kemudian ia melepaskan pukulan bersinar
kuning memanjang.
Claaap...! Raka Pura segera menghajar sinar kuning
itu dengan jurus 'Mata Bumi' yang memancarkan sinar
merah seperti piringan berputar dan memercikkan
bunga api. Cralaaap...! Jegaaar...!
Ledakan dahsyat terjadi menyemburkan hawa
panas ke arah Bintari Ayu. Namun sayang Bintari Ayu
sudah terpental dan terbanting di tempat jauh oleh
daya sentak ledakan tadi, sehingga ia tak sempat ra-
sakan hawa panas yang berhembus ke arahnya.
"Biadab kau!" teriak Bintari Ayu di kejauhan.
"Tunggu saatnya, kita akan bertemu lagi dengan bertaruh nyawa jika sudah
kuselesaikan urusanku dengan
gadis laknat itu!"
Raka Pura hanya sunggingkan senyum sambil
pandangi kepergian Bintari Ayu yang tampak terburu-
buru itu. Setelah perempuan itu hilang dari pandan-
gan matanya, Raka Pura segera hampiri Bandar Getih
yang sedang merintih menahan rasa sakit di mulutnya.
Rupanya Bandar Getih bukan hanya terluka di bagian
mulut saja, tapi kedua kakinya telah bengkak dan tak
bisa dipakai berjalan. Mata kaki telah dicederai oleh
Bintari Ayu sebelum Raka muncul di tempat itu. Kare-
nanya, Bandar Getih tak bisa melarikan diri pada saat
Raka yang dianggap Soka itu berhadapan dengan Bin-
tari Ayu. "Duduklah dengan tenang, akan kuobati luka-
mu!" kata Raka Pura, tapi Bandar Getih sangsi dengan ucapan itu, karena ia
merasa habis menipu Soka dengan mengarang cerita tentang racun 'Kala Tungging'
dan Daun Sirih Buntu.
"Terus terang saja, kalau kau memang ingin
membunuhku, bunuhlah dirimu... eh, bunuhlah diri-
ku... jangan pakai berpura-pura mengobati ku," kata Bandar Getih dengan paksakan
diri untuk bisa bicara
benar walau untuk itu ia harus menahan rasa sakit di
mulutnya mati-matian.
"Aku bukan orang kejam seperti perempuan ta-
di," ujar Raka seraya menempelkan telapak tangannya ke tengkuk Bandar Getih.
Telapak tangan itu memancarkan cahaya ungu bagai beling kristal. Tiba-tiba tu-
buh Bandar Getih pun mulai memancarkan cahaya
ungu, makin lama makin ke seluruh tubuh, sehingga
Bandar Getih menjadi tegang melihat tubuhnya beru-
bah menjadi ungu seperti beling kristal. Itulah jurus
pengobatan yang dinamakan 'Sambung Nyawa' dan
mempunyai kekuatan sakti sungguh ajaib.
Beberapa saat kemudian, luka di mulut Bandar
Getih telah mengering, bahkan menjadi lenyap sama
sekali. Rasa sakit di kedua mata kakinya juga hilang
tanpa bekas. Tubuh Bandar Getih merasa segar dan
tak mengalami rasa sakit di bagian mana pun. Hal itu
membuat Bandar Getih mulai percaya dan mengagumi
kehebatan ilmu pemuda yang masih dianggapnya Soka
Pura itu. "Tak kusangka kau punya kesaktian setinggi
ini!" ujarnya sambil memandangi kakinya dan menggerak-gerakkan kaki itu dengan
lincah. "Nyaris tak terasa sakit sedikit pun," gumamnya kepada diri sendiri.
"Siapa perempuan yang menghajarmu tadi?"
tanya Raka Pura.
"Apakah kau belum dikenal perempuan itu"!
Hmmm... maksudku, kau belum kenal dengannya?"
"Kalau sudah kukenal tak mungkin kutanya-
kan lagi padamu!"
"Benar. Dia memang tak menanyakan padaku
siapa dirimu, dan, ehh... maksudku... hhmm.... Ia be-
lum bertanya, eeeh... anu...."
"Sebutkan saja namanya!" hardik Raka dengan
tak sabar. "Binarti, eeh... Bintari Ayu!" jawab Bandar Getih masih dengan gugup, karena
hatinya selalu diliputi rasa malu dan mudah takut, termasuk takut bersalah
terhadap ucapannya, namun justru banyak berkata
salah. "Siapa Bintari Ayu itu?"
"Seorang perempuan, eeh... anu... tapi, iya,


Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang betul dia seorang perempuan yang... yang...."
"Yang ku maksud orang daerah mana atau dari
perguruan mana dia"!"
"Dari Perguruan Cakar Langit, eeh... Cakar Pe-
tir! Dia ingin membunuh Rara Wulan. Bukankah kau
tadi juga telah berhadapan dengan kakak perguruan-
nya si Rara Wulan, eeeh... si Bintari Ayu?"
"Aku..."! Oh, mungkin kau salah duga. Aku tak
pernah berhadapan dengan orang perguruan cakar-
cakaran itu. Mendengar namanya saja baru sekarang!"
"Lho, bukannya kau tadi bilang bahwa... eh,
maksudku, aku sendiri melihatmu bertarung dengan
Raksa Braja, murid Perguruan Cakar Petir itu! Kau ta-
di melarikan Rara Petir, eeeh... maksudku Rara Wulan
kau bawa lari setelah terkena pukulan beracun dari si
Raksa Cakar, eeh... Raksa Braja"!"
Raka Pura sunggingkan senyum geli melihat
kegugupan Bandar Getih yang segera diketahui seba-
gai kegugupan bawaan. Raka pun segera paham mak-
sud Bandar Getih. Ia tahu bahwa Bandar Getih tadi
sudah bertemu dengan Soka Pura, dan sekarang ma-
sih menganggap Raka sebagai Soka Pura.
"Kau pernah bertemu dengan adikku yang ber-
nama Soka Pura?"
"Bukankah kau yang bernama Soka Wulan,
eeh... Soka Pura"!" Bandar Getih memandang dengan penuh keheranan.
"Aku Raka Pura, kakak kembar Soka!"
"Kakak kembar..."!"
"Ooo...," Bandar Getih manggut-manggut. sekarang ia percaya kalau pemuda yang
dihadapinya itu
bukan Soka Pura yang tadi ditipu tentang Daun Sirih
Buntu yang sebenarnya tak pernah ada itu. Kini rasa
takut Bandar Getih terhadap dosanya tidak ada, tapi
rasa takut salah bicara masih ada, sehingga banyak
kata-kata yang justru diucapkan dengan salah.
Bandar Getih jelaskan persoalan sebenarnya,
Rara Wulan diburu oleh orang-orang Bintari Ayu, atau
orang-orang Perguruan Cakar Ayu, eeeh... Cakar Petir,
karena Rara Wulan ingin dibunuh. Aku adalah abdi
sang Adipati yang mendampingi Rara Wulan dan beru-
saha menyelamatkan gadis itu dari ancaman orang-
orangnya Bintari Petir, eeh... Bintari Ayu!"
Akhirnya lelaki berkepala botak tengah yang
ternyata adalah abdi sang Adipati yang mendampingi
kepergian Rara Wulan dari mulai pertama gadis itu
minggat, kini menceritakan semua perkara yang diha-
dapi gadis itu, termasuk kemelut cinta di kadipaten.
Apa yang diceritakan Bandar Getih dengan gugup itu
adalah sama dengan apa yang diceritakan Guru We-
jang kepada Soka Pura.
"Lalu, di mana gadis itu sekarang?" tanya Raka Pura. "Ku sembunyikan di dalam
gua, tak jauh dari sini. Ia dalam keadaan sangat menderita dan belum
sadar dari pingsannya. Ia terkena pukulan beracun
yang bernama racun 'Kala Tungging'. Kali ini aku bica-
ra benar. Tapi soal obat penyembuhnya, aku tidak ta-
hu, sebab aku belum pernah terkena racun itu...."
Bandar Getih menceritakan tipuannya kepada
Soka Pura dengan maksud untuk selamatkan Rara
Wulan dari tangan-tangan orang tak bertanggung ja-
wab. Karena pada waktu itu, Bandar Getih menyangka
Soka Pura pemuda yang bermaksud sama dengan Dir-
gayana. Sejak ia melarikan diri dari ancaman Dirgaya-
na, ia selalu mencurigai setiap orang sebagai utusan
Bintari Ayu untuk membunuh Rara Wulan, atau pihak
lain yang ingin memanfaatkan sayembara dari sang
Adipati untuk mempersunting Rara Wulan.
Raka Pura tertawa geli mendengar adik kem-
barnya tertipu mentah-mentah oleh orang yang selalu
berkata gugup itu. Akhirnya, Raka Pura minta dian-
tarkan ke gua tempat Bandar Getih menyembunyikan
Rara Wulan. "Aku akan mengobatinya seperti aku
mengobati mu. Kau percaya"!"
"Oh, tentu! Tentu aku percaya, kau pasti tidak
akan tertipu oleh ku!"
Racun 'Kala Tungging' memang ada, Tetapi ke-
kuatan racun itu yang nyaris membusukkan seluruh
tubuh Rara Wulan itu berhasil dilawan dan ditangkal
dengan jurus 'Sambung Nyawa' yang dimiliki oleh mas-
ing-masing Pendekar Kembar. Tetapi keadaan Rara
Wulan masih belum bisa sadar, karena racun itu terla-
lu lama menguasai seluruh jaringan dalam tubuh Rara
Wulan. "Noda merah dan kulit yang membusuk itu sudah tak ada, tapi mengapa ia
belum busuk juga,
eeeh... maksudku, mengapa dia belum siuman juga?"
"Beberapa saat lagi dia akan siuman. Sebaik-
nya, sekarang bawalah ia pulang ke kadipaten. Kau
tak perlu takut disalahkan oleh sang Adipati, karena
terbukti kau bisa menyelamatkan putri Adipati dari
tangan si Bintari Ayu dan orang-orang Perguruan Ca-
kar Petir."
"Aku... aku tetap tidak berani. Aku... aku takut
dihukum oleh Kanjeng Adipati karena dituduh membe-
la dan membantu pelarian Rara Wulan."
"Kalau begitu, sebaiknya kau kuantarkan pu-
lang bersama Rara Wulan. Aku yang akan bicara sen-
diri kepada sang Adipati!"
"Kalau aku... kalau aku dihukum gantung, kau
mau ikut" Eh... maksudku, kau mau selamatkan nya-
waku"!" Raka Pura anggukkan kepala. "Sebelum kau digantung, biarlah sang Adipati
menggantung ku lebih
dulu!" "Lho, jangan...! Nanti yang menyelamatkan
nyawaku siapa kalau kau sudah digantung lebih du-
lu"!" "Itu hanya istilah. Artinya, aku berdiri di depanmu dan menjadi perisai
bagi kau dan Rara Wulan
yang... yang...."
"Jangan ikut-ikutan gugup, itu jatah ku!" sergah Bandar Getih. Raka Pura hanya
tertawa pelan, tapi
dalam hatinya melanjutkan ucapannya yang terpotong
oleh rasa gugupnya itu.
"Rara Wulan yang memang cantik itu... ah, se-
baiknya tak perlu ku pikirkan! Biarlah dia cantik sen-
diri, tak perlu diusik-usik lagi kecantikannya. Tapi...
mengapa hatiku berdebar-debar begitu melihat kecan-
tikannya setelah sembuh dari lukanya itu" Ah, kurasa
hatiku berdebar-debar karena sudah beberapa hari be-
lum makan, maklum habis bertapa. Kurasa bukan
deg-degan karena kecantikan gadis itu yang... yang...
yang, aduh, kenapa aku jadi ikut-ikutan gugup"!"
* * * 7 BINTARI AYU sempat berang kepada Dirgayana.
Bintari Ayu menuduh Dirgayana sembunyikan Rara
Wulan di suatu tempat untuk kepuasan pribadinya.
Tetapi Dirgayana membantah keras tuduhan itu.
"Biar kau mendapat kabar dari Bandar Getih,
tapi aku tetap tidak merasa berbuat serendah itu, Bin-
tari. Kau boleh bedah dadaku dengan pedangku atau
kipas, saktimu itu! Lihat betul-betul apa yang ada di
dalam hatiku ini, Bintari!"
Sreet...! Dirgayana mencabut pedang dari sa-
rungnya yang ada di punggung. Bahkan sarung pe-
dang pun dilepaskan dari punggungnya. Pedang itu
diserahkan kepada Bintari Ayu.
"Bunuh aku daripada kau menuduhku berbuat
seperti itu!"
Bintari Ayu tak mau menerima pedang terse-
but. Ia hanya memandang tak berkedip dengan wajah
masih cemberut memendam kecemburuan.
"Pegang pedangku ini dan koreklah isi hatiku.
Biarlah aku mati di tanganmu asal kau percaya bahwa
aku tidak sembunyikan Wulan untuk ku gauli sendiri!
Terlalu hina aku kau tuduh begitu, Bintari!"
Akhirnya perempuan itu kendurkan ketegan-
gannya. Kini yang ada rasa sesal karena telah ngotot
menuduh Dirgayana berselingkuh dengan Wulan. Bin-
tari akhirnya memeluk Dirgayana sambil berkata lirih,
"Maafkan aku! Aku benar-benar takut kalau
kau kecanduan kehangatannya."
"Kau yang membuatku kecanduan! Tak ada pe-
rempuan lain yang bisa membuatku lebih kecanduan
dari kehangatan tubuhmu, Bintari!"
"Maafkan aku, Dirgayana...," sambil Bintari Ayu menciumi pemuda itu dengan
kecupan-kecupan pelan
di sekitar pipi Dirgayana. Ia tak tahu bahwa di atas sebuah pohon ada sepasang
mata yang mengintai. Sepa-
sang mata itu ternyata milik Pendekar Kembar bungsu;
Soka Pura. Dalam usahanya mencari Bandar Getih, untuk
merebut kembali Rara Wulan, ternyata Soka Pura me-
mergoki adegan syur itu di luar dugaan. Kini ia menja-
di tahu, seperti apa wajah perempuan yang ingin men-
jadi istri sang Adipati itu. Dalam hatinya, Soka menga-ku bahwa Bintari Ayu itu
memang ayu. Wajar saja jika
sang Adipati ingin memperistri perempuan berdada
montok itu. Tetapi rupanya di balik cinta sang calon istri
adipati itu terdapat perselingkuhan yang rapi dan tak
diketahui siapa pun. Tetapi perselingkuhan itu seka-
rang dipergoki oleh Soka Pura sendiri dan seorang le-
laki tua yang mengikuti langkah Soka Pura dalam
mencari Rara Wulan, yaitu Eyang Guru Wejang.
Kehadiran Eyang Guru Wejang yang tidak ter-
dengar gerakannya itu nyaris membuat Soka Pura ja-
tuh dari pohon karena kagetnya. Padahal waktu itu
Guru Wejang hanya perdengarkan suaranya lirih ber-
nada bisik. "Perempuan lacur rupanya...!" "Eyang..."!"
"Ssst...! Dengarkan dulu percakapan mereka!"
bisik Guru Wejang yang berada dalam satu dahan po-
hon bersama Soka Pura.
Kerimbunan dedaunan pohon membuat Bintari
Ayu tak mengetahui bahwa ada dua pasang mata yang
memperhatikan percumbuannya dengan Dirgayana.
Mereka pikir semak ilalang tinggi yang mengelilingi
tempat itu sudah cukup menjadi dinding penutup per-
cumbuan mereka. Maka Dirgayana pun tak segan-
segan menciumi wajah Bintari Ayu dengan penuh gai-
rah. Sesekali ciumannya terhenti dan mereka sem-
patkan bicara. Suara mereka terdengar samar-samar
dari tempat Soka dan Guru Wejang berada.
"Apakah nanti jika kau menjadi suami sang
Adipati, juga akan melakukan hal seperti ini?"
"Itu tak mungkin, Dirgayana. Aku bisa meng-
hindari ajakan bercumbu sang Adipati dengan berba-
gai alasan. Yang penting, seluruh kekayaan kadipaten
akan mengalir ke perguruan kita dan perguruan kita
akan menjadi besar, bahkan melebihi wilayah kekua-
saan sang Adipati. Kau akan kuangkat sebagai pen-
gawal pribadiku, sehingga kau bisa bercumbu terus se-
tiap kesempatan sambil menyusun rencana-rencana
untuk menguras kekayaan sang adipati."
"Kau harus lekas bercerai, aku tak mungkin
kuat melihatmu duduk bersama sang adipati berta-
hun-tahun!"
"O, itu sudah ku atur bersama guruku...! Sang
adipati akan kubuat menyerahkan surat wasiat ten-
tang pelimpahan kekuasaan dan kekayaannya kepa-
daku. Jika sudah begitu, biar nanti si Raksa Braja
yang menghabisi nyawa adipati."
"Bagus! Jangan sampai meleset rencana ini,
Bintari!" "Tidak akan meleset selama gadis itu sudah ki-
ta musnahkan! Oleh karena itu, seharusnya kau tak
gagal membunuh Rara Wulan!"
"Sekali ini pasti tak akan gagal lagi, Bintari.
Aku sempat kacau karena merindukan cumbuan mu
yang... ooouh, Bintari kau mulai nakal, ya"!"
"Hik, hik, hik...!'" Bintari Ayu tertawa cekikikan.
Tangannya semakin nakal sementara Dirgayana yang
berdiri bersandar pohon itu hanya menerima ciuman
Bintari Ayu dengan pasrah. Bahkan pemuda itu tak
meronta sedikit pun ketika perempuan tersebut mele-
pasi apa yang melekat di tubuhnya.
Menyadari keadaan Dirgayana sudah seperti
bayi baru lahir, Bintari Ayu semakin menggelora diba-
kar gairah bercinta. Ciumannya mengganas di sekitar
leher Dirgayana. Ciuman yang memagut-magut itu ak-
hirnya turun di sekitar dada, lalu ke perut, lalu ke ma-na lagi kalau bukan
menuju ke alam keindahan bagi
Dirgayana. Perempuan itu tak pedulikan erangan dan
desahan kenikmatan Dirgayana, mulutnya tetap sibuk
menaburkan sentuhan-sentuhan indah di tempat yang
mudah terbakar oleh kehangatan itu.
"Oh, Bintari... indah sekali permainan lidahmu.
Aku... aku, eouuh... tak kuat berdiri terus, Bintari!" ce-loteh Dirgayana dalam
keadaan berdiri bersandar po-
hon. Tangannya meremas habis dada Bintari yang ma-
sih nekat berkeliaran dengan lidahnya di tempat yang
terpeka itu. Bintari Ayu sendiri akhirnya kedodoran, penu-
tup dadanya terlepas, jubahnya jatuh di rerumputan.
Kain lainnya pun tak sempat melekat lagi di tubuh
yang berkulit kuning langsat itu. Bintari Ayu akhirnya terkapar dengan dengus
napas dan suara rintihan
yang membakar gairah Dirgayana semakin menggila.
Pemuda itu jatuh dalam pelukan Bintari Ayu, namun
akhirnya menyapu habis sekujur tubuh perempuan
tersebut.

Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oouh, Dirga... aku suka di tempat itu, yaaah...
yah, teruskan, teruskan Dirga... oouuuuh... nikmat se-
kali, Sayaaang ..!" pekik Bintari Ayu dengan mata terbeliak dan kaki terpisah.
Soka Pura panas dingin. Keringatnya tersumbul
dari pori-pori dahinya. Eyang Guru Wejang segera ber-
bisik kepada pemuda itu.
"Nak, jangan lupa berkedip!"
"Ah, Eyang,..!"
"Sebaiknya jangan teruskan tontonan mu itu,
nanti kau tak sempat bernapas lagi! Ada baiknya jika
kita lanjutkan mencari orang yang membawa lari Rara
Wulan saja!"
"Sebentar, Eyang. Sebentar lagi...!"
"Mereka tak akan sebentar, Nak. Percayalah,
dulu aku pernah muda juga!"
Soka Pura tertawa geli, namun tak berani le-
paskan tawa itu. Akhirnya ia mengikuti saran Guru
Wejang setelah Bintari Ayu memekik panjang-panjang
bersama suara jeritan Dirgayana yang menandakan
mereka sama-sama tiba di puncak kenikmatan yang
sebenarnya. Namun sebelum Soka dan Guru Wejang ting-
galkan pohon itu, tiba-tiba ia mendengar seseorang
berseru dari kejauhan. Orang itu tak lain adalah Raksa Braja yang sudah
disembuhkan oleh si Jenggot Bajang.
"Bintari...! Bintariii..., di mana kau"!"
Karuan saja sepasang sejoli yang sedang me-
nukar kenikmatan itu segera kelabakan dan bergegas
mengenakan busananya tanpa menyeka keringat lebih
dulu. Mereka segera temui Raksa Braja setelah Bintari
Ayu membalas seruan Raksa Braja tadi.
"Aku di sini, Brajaaa...!"
Raksa Braja terpaksa lakukan lompatan melin-
tasi ketinggian semak ilalang. Wuuus...! Ketika ia sampai di depan Bintari Ayu,
keadaan perempuan itu dan
Dirgayana sudah rapi. Namun agaknya Raksa Braja
mengetahui apa yang telah diperbuat oleh kedua orang
tersebut, sehingga ia sempat menggeram jengkel.
"Apakah tak bisa kalian lakukan setelah uru-
san ini selesai"!"
"Ketahanan kami ada batasnya, Braja!" jawab
Bintari Ayu tanpa sungkan-sungkan. "Ada apa kau
berteriak-teriak mencariku"!"
"Guru pergi ke Kadipaten Wilujaga! Ia melihat
Rara Wulan dibawa ke sana. Sekarang Guru sedang
mengejarnya. Biar sampai ke dalam kadipaten juga
akan di buru, karena Guru sudah muak sekali dengan
gadis itu!"
"Kalau begitu kita harus segera menyusul ke
sana, Bintari. Bantulah gurumu!" ujar Dirgayana.
Kata-kata itu didengar oleh Soka dan Eyang
Guru Wejang. Tanpa banyak berunding, mereka ber-
dua segera melesat tinggalkan tempat itu. Soka Pura
tak ingin Rara Wulan dihabisi oleh si Jenggot Bajang,
demikian pula halnya dengan Guru Wejang. Kecepatan
gerak mereka sangat tinggi, sehingga keduanya seperti
dua sosok bayangan yang berkelebat melintasi pepo-
honan hutan. "Kita harus bisa menghadang Jenggot Bajang
sebelum ia menyentuh Rara Wulan!" ujar Soka Pura
penuh semangat.
"Ku pertaruhkan nyawaku jika Jenggot Bajang
sampai menyentuh cucuku!"
"Oooh..."!" Soka Pura sempat hentikan langkah sesaat karena terkejut mendengar
ucapan Guru Wejang. "Jadi... jadi kau adalah kakeknya Rara Wulan, Eyang"!"
"Tak perlu terkejut. Adipati Damardikan adalah
menantuku! Mendiang ibunya Wulan adalah putri ku!
Dan aku masih dipercaya sebagai penasihat sang Adi-
pati sampai sekarang!"
"Ooh..."! Sungguh tak kusangka kalau...!" "Kalau sudah tak disangka ya sudah,
tak perlu di bicara-
kan lagi! Kejar si Bajang Jenggot itu!"
"Jenggot Bajang, Eyang!"
"Orang tergesa-gesa kalau salah ucap tak jadi
masalah, Nak!"
Wuuuzz...! Blaasss ..! Mereka pun berkelebat
lagi menuju ke arah timur. Eyang Guru Wejang ternya-
ta mempunyai kecepatan gerak yang hampir menyamai
jurus 'Jalur Badai'-nya Pendekar Kembar, sehingga
mereka dapat selalu beriringan. Dengan tudung hi-
tamnya masih dikenakan di kepala, Guru Wejang me-
mandu Soka mencari jalan pintas agar cepat sampai di
kadipaten. Mereka tak tahu bahwa Rara Wulan bukan di-
bawa oleh Bandar Getih saja. Ketika Soka menye-
butkan nama Bandar Getih, Guru Wejang jelaskan
siapa si Bandar Getih, sehingga hati Soka sedikit te-
nang. Tetapi kecepatan yang membuat Bandar Getih
dan Rara Wulan lekas tiba di kadipaten adalah kecepa-
tan dari jurus 'Jalur Badai' juga, sehingga Jenggot Bajang merasa ketinggalan
jauh oleh orang yang dikejar-
nya. Jenggot Bajang menyangka, orang yang memang-
gul Rara Wulan dan Bandar Getih di kedua pundaknya
itu adalah Soka Pura. Padahal pemuda itu tak lain
adalah kakak kembar Soka, yaitu Raka Pura.
Maka tak heran jika Raka Pura cepat sampai di
Kadipaten Wilujaga. Ia segera diizinkan menghadap
sang Adipati, karena membawa Rara Wulan serta Ban-
dar Getih yang sudah ditotok sebelumnya. Ketika ingin
menghadap sang Adipati, totokan itu dilepaskan oleh
Raka Pura. Maka sang abdi setia yang gugup itulah
yang menjadi jembatan antara sang Adipati dengan
Raka Pura. Melihat keadaan Rara Wulan selamat, hanya
sedikit lemas karena habis pingsan lama, sang Adipati
merasa sangat bangga dan girang hatinya. Ia segera
memeluk dan menciumi putri tunggalnya. Sang putri
diam saja, masih cemberut dan tak mau bicara apa
pun. Namun hati sang putri merasa lega begitu melihat
pemuda tampan di ruang paseban itu. Ia menyangka
pemuda itu adalah Soka Pura.
Rara Wulan baru sekarang siuman, jadi tak ta-
hu saat Raka Pura mengobatinya dan membawanya la-
ri bersama Bandar Getih. Raka pun tak akan sampai
ke istana kadipaten jika sebelumnya Bandar Getih ti-
dak memberi tahu arah yang harus ditujunya.
"Anakku, Wulan... jangan pergi ke mana-mana
lagi, Sayang. Tetaplah tinggal di kadipaten bersama
Ayah. Percayalah, Ayah tak akan jadi menikah dengan
Bintari Ayu! Ayah lebih baik kehilangan perempuan itu
ketimbang kehilangan kau, Permata hatiku!" "Ayah tidak berbohong"!" "Tidak.
Anakku! Tidak!" '
"Oh, Ayah... aku bahagia sekali jika Ayah tak
jadi menikah dengan Bintari Ayu!" Rara Wulan pun
akhirnya memeluk ayahnya. Namun ia segera menam-
bahkan ucapannya dalam bisikan lembut di telinga
ayahnya. "Tapi ku mohon padamu, Ayah...."
"Katakan apa keinginanmu akan ku turuti,
Anakku." "Kawinkan aku dengan pemuda itu!"
"Oooh..."! Benarkah kau punya keinginan se-
perti itu"!"
"Ya, Ayah. Karena... karena selama dalam pela-
rian, dialah yang setia menemani dan menghibur hati-
ku, Ayah. Aku jatuh cinta padanya," ujar Rara Wulan sambil tersipu malu. Sang
ayah pun segera tertawa
dengan gembira. Lalu, sang Adipati yang berusia seki-
tar lima puluh tahun itu segera temui Raka.
"Pendekar budiman, selain aku mengucapkan
terima kasih padamu, aku juga Ingin menyampaikan
sesuatu yang kuharap kau sudi menerimanya!"
"Kanjeng Adipati, saya tidak tertarik dengan
hadiah dalam sayembara yang Kanjeng sebar luaskan
itu. Saya cukup senang jika Kanjeng mau menuruti
keinginan Rara Wulan," tutur Raka Pura dengan so-
pan. "Justru apa yang ingin kusampaikan ini adalah demi menuruti keinginan putri
ku, Rara Wulan itu."
"Apa yang ingin Kanjeng Adipati sampaikan ke-
pada saya"!"
"Putri ku ingin menikah denganmu!"
"Haaahhh..."!" Raka Pura mendelik kaget den-
gan wajah menjadi pucat pasi. "It... itu tak mungkin, Kanjeng. Sebab... sebab
kami belum kenal dan belum
saling menyelami pribadi masing-masing...."
Sang Adipati akhirnya sampaikan alasan kebe-
ratan pemuda tampan itu kepada Rara Wulan. Tapi
gadis itu cemberut sewot dan mendesak sang ayah
agar tetap mengawinkannya dengan pemuda tersebut.
"Kalau dia tak mencintaimu, untuk apa kau
mau menjadi istrinya, Wulan"!"
"Dia pasti mencintai ku, hanya saja dia mung-
kin minder atau merasa rendah diri, sehingga tak mau
mengatakan isi hatinya yang sebenarnya!"
"Apakah tidak sebaiknya pemuda lainnya saja,
Wulan"!"
"Tidak, tidak! Aku tidak mau menikah dengan
pemuda lain!"
Jika sang putri sudah sewot sampai kakinya
menghentak-hentak di lantai. sang ayah pun mulai
kewalahan. Akhirnya sang ayah menjadi- bingung sen-
diri. Ia diam dan berpikir bagaimana baiknya mengata-
si keinginan putrinya itu. Sang putri tiba-tiba berbisik kepada ayahnya.
"Ayah, katakan kepadanya, bahwa aku sebe-
narnya sudah... hamil, dan...."
Apaaa..."! Kau sudah hamil"!" wajah sang Adi-
pati menjadi merah. "Kalau begitu bagaimanapun juga dia harus ku paksa agar
segera mengawini mu!"
Sang Adipati segera keluar dari kamar, berge-
gas temui Raka yang masih ada di bangsal paseban
bersama Bandar Getih dan beberapa orang lainnya, te-
rutama para pejabat istana yang sangat gembira meli-
hat pulangnya Rara Wulan.
"Nakmas Raka Pura... bagaimanapun kuminta
kau tetap harus menikah dengan Rara Wulan, sebab
putri ku itu ternyata telah hamil oleh bibit mu!"
"Huaaah..."!" Raka Pura sempat terkejut, ma-
tanya mendelik bagaikan melihat petir gancet di depan
hidungnya. "Mak... maksudnya.. maksudnya... bagaimana,
Kanjeng"!"
"Aku tak mau putri ku hamil tanpa ada yang
bertanggung jawab. Percuma saja kau membawa putri
ku pulang jika hanya ingin mencemarkan nama baik
keluarga kadipaten ini, Nakmas Raka...."
"Tapi,.. tapi, saya tidak menghamilkan, eeh,
menghamili Wulan, Kanjeng. Saya belum pernah hamil
dan, eeeh .. maksud saya... aduh, kenapa aku jadi
ikut-ikutan Bandar Getih"!"
Plok, Raka menampar mulutnya sendiri, mak-
sudnya biar bicaranya tak menjadi gugup. Namun beri-
ta yang sangat mengejutkan itu telah membuat selu-
ruh tubuhnya gemetar, sehingga lidah dan bibir pun
sulit dipakai bicara dengan lancar. Hanya batin yang
bisa berkata lancar tanpa kegugupan.
"Celaka tujuh belas kalau begini! Pasti ini ulah
si Soka, akhirnya aku yang dituntut mengawini gadis
itu! Kurang ajar betul si jelek Soka itu! Dia yang ma-
kan nangkanya, aku yang kena getahnya. Dia yang
mencuri mangga, aku yang ditangkap penjaga!"
Sang Adipati segera berkata lagi, "Kurasa kau
tak perlu malu dan tak perlu takut dengan keadaan
kami, Nakmas. Kami tetap akan menghormatimu seba-
gai keluarga istana tanpa memandang siapa dirimu se-
benarnya."
"Masalahnya bukan soal malu atau tidak malu,
Kanjeng. Begini...."
Belum sempat Raka Pura jelaskan persoalan
sebenarnya, tiba-tiba seorang penjaga pintu gerbang
datang menghadap sang Adipati dengan wajah tegang.
"Eyang Guru Wejang bertarung di depan istana,
Kanjeng!" "Hah..."!" Kanjeng Adipati Darmadikan terkejut.
"Mengapa mertuaku berkelahi seperti anak kecil saja"!
Siapa lawannya, Prajurit"!"
"Jenggot Bajang, Kanjeng!"
"Celaka! Tak mungkin mertuaku menang mela-
wan gurunya Bintari Ayu"!"
"Boleh saya yang menghadapi, Kanjeng"!" ujar Raka dengan semangat jika urusan
pertarungan. "Baiklah. Hadapi si Jenggot Bajang itu, Calon
menantuku!"
"Yaaaah...," keluh Raka begitu disebut sebagai calon menantu.
Sang prajurit berkata lagi, Tapi Eyang Guru
Wejang sudah dibantu oleh...."
"Oleh siapa"!" sergah sang Adipati begitu prajurit hentikan ucapannya sambil
memandang Raka Pura.
Prajurit itu justru bicara kepada Raka Pura.
"Lho, Kang..." Kok sampean sudah ada di situ,
Kang"! Sepertinya tadi sedang sibuk hadapi amukan si
Jenggot Bajang"!"
"Sejak tadi aku ada di sini, Prajurit!"
"Lalu... lalu siapa pemuda yang berpedang ba-
gus seperti pedangmu itu dan bertarung melawan
Jenggot Bajang"!"
"Nah, itu dia adik kembar ku! Kuhajar dia seka-
rang juga! Bikin malu saja!"
"Nakmas Raka... siapa yang ingin kau hajar?"
"Adik kembar saya, Kanjeng!"
"Lho..."l Kok malah adik kembarnya" Mengapa


Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan si Jenggot Bajang"!"
"O, iya! Maaf, salah nafsu, Kanjeng!"
Raka Pura segera melesat pergi tanpa pamit lagi
kepada sang Adipati. Mendengar pertarungan terjadi di
depan istana, Rara Wulan segera keluar dari kamarnya
dan mencemaskan keselamatan Soka Pura, sebab ia
tahu kekuatan si Jenggot Bajang sangat berbahaya ba-
gi jiwa Soka Pura. Ia segera lari keluar istana, menerobos pintu gerbang,
menyelinap di antara kerumunan
para prajurit yang membentengi bagian depan gerbang,
Sang adipati berlari-lari mengejar putrinya, takut kalau minggat lagi.
Pertarungan itu sudah terjadi beberapa saat.
Jenggot Bajang mengamuk dengan melepaskan teng-
koraknya yang dapat menyerang Guru Wejang dengan
melayang-layang. Guru Wejang sempat kebingungan
hadapi tengkorak itu, sehingga Soka Pura segera tam-
pil melepaskan pukulan bersinar putih menyerupai pi-
sau runcing. Claaap...!
"Mundur, Eyang...!" teriak Soka Pura. Eyang
Guru Wejang melompat mundur dan akhirnya kepala
tengkorak itu terhantam sinar putih perak dari jurus
'Cakar Matahari'-nya Soka Pura.
Blegaaar...! Pyaaar...!
Tengkorak itu hancur tak berbentuk lagi. Jeng-
got Bajang murka melihat 'temannya' dihancurkan.
Dengan berteriak liar, Jenggot Bajang melayang ber-
sama tongkatnya. Tongkat itu diarahkan ke punggung
Soka Pura. Ujung tongkat segera keluarkan besi runc-
ing berwarna hitam berkarat. Craaak...!
"Soka, awaaas...!" teriak suara wanita yang tak lain adalah Rara Wulan. Teriakan
itu mengejutkan So-ka, dan ia segera berpaling, tepat saat itu besi runcing dari
ujung tongkat Jenggot Bajang menghujam ke dadanya. Untung Soka segera menepiskan
tongkat itu dengan gerakan tangannya menyamping. Wees, plak!
"Aaaa...!" Rara Wulan menjerit karena me-
nyangka Soka tertusuk besi runcing itu, Kenyataannya
pemuda itu hanya terkena tendangan kaki si Jenggot
Bajang saat tongkatnya tertepis ke samping. Buukh...!
"Huaaakh...!" Soka Pura terlempar lima langkah ke belakang. Ia langsung
memuntahkan darah kehi-tam-hitaman.
"Sokaaa...l Bangun, Soka! Lekas bangun! Hajar
dial Awas, dia mendekatimu! Hajar dia, Sokaaa...!" te-
riak Rara Wulan. Orang-orang yang memandang perta-
rungan beralih pandang sebentar ke arah Rara Wulan
sambil mereka sunggingkan senyum geli. Namun per-
hatian mereka segera tertuju pada pertarungan lagi.
karena waktu itu Jenggot Bajang melakukan lompatan
bersalto dengan tongkat runcingnya menyala seperti
besi membara. Soka Pura tertunduk karena keluarkan darah
terlalu banyak dari mulutnya. Melihat keadaan seperti
itu, tiba-tiba sekelebat bayangan putih menerjang
Jenggot Bajang dari samping kiri. Wuuuzz...!
Brreess...! Jenggot Bajang tahu-tahu terbanting dalam
jarak sepuluh langkah. Sesosok tubuh kekar berwajah
kembar dengan Soka Pura muncul. Orang-orang terpe-
rangah kaget, termasuk Rara Wulan sendiri. Mereka
baru tahu bahwa Soka ternyata adalah Pendekar Kem-
bar dan yang baru hadir itu adalah kakaknya; Raka
Pura. "Soka, menyingkirlah kau!" teriak Raka Pura.
Lalu ia segera hadapi lawannya yang menjadi ganas se-
telah terbanting tadi, sebab pada saat itu Bintari Ayu, Dirgayana, dan Raksa
Braja baru saja tiba di tempat
itu. Melihat lawannya menyerang dengan tongkat
membara merah, tangan pun membara merah dan ma-
ta mulai tampak memancarkan cahaya kemilau merah
muda, maka Raka Pura pun segera mencabut Pedang
Tangan Malaikat. Sreeet...! Pedang itu memancarkan
sinar ungu indah bagaikan lampu kristal yang menyala
ungu. "Modar kau. Bangsaaat...! Heeeah...!" teriak Jenggot Bajang sambil
menghujamkan tongkatnya ke
arah dada Raka Pura. Namun Pedang Tangan Malaikat
segera berkelebat menghantam tongkat itu. Duaaar..!
Tongkat itu segera hancur berkeping-keping,
sementara tangan Jenggot Bajang yang membara me-
rah pun menjadi terpotong oleh angin tebasan pedang
pusaka tersebut.
"Aaaaah...!" Jenggot Bajang berteriak keras-
keras saat tangan kanannya terpotong sebatas siku, ia
bukan menjadi jera melainkan menjadi bertambah ga-
nas. Seberkas sinar hijau dilepaskan dari tangan ki-
rinya. Claaap! Raka Pura hindari sinar itu sambil lakukan
lompatan bersalto ke depan. Wuuus...! Sinar hijau itu
menuju ke arah Guru Wejang yang ada di kejauhan.
Maka dengan cepat tangan Guru Wejang pun menyen-
tak, keluarkan sinar kuning seperti telur yang mengha-
jar sinar hijau itu. Claaap...! Blegaaar...!
Raka Pura mendaratkan kakinya tak jauh dari
Jenggot "Bajang. Melihat lawannya mendekat, Jenggot Bajang segera menerjang
dengan gerakan tubuh memutar cepat melebihi baling-baling. Weeerrs...! Raka
Pura tak segan-segan menebaskan pedangnya.
Wuuut...! Craasss...!
"Ooohh..."!" gumam setiap orang dengan mata
mendelik. Tubuh Raka masih menggeliat ke samping
sebagai tanda habis menebaskan pedangnya, tapi tu-
buh Jenggot Bajang roboh di tempat dalam keadaan
terpotong menjadi dua bagian.
"Guruuu..."!" teriak Bintari Ayu begitu melihat gurunya menjadi dua bagian yang
tentunya tak bernyawa lagi itu. Bintari Ayu ingin menerjang Raka Pura, tapi ia
segera disambar oleh Raksa Braja. Wuuut...!
Jleeg...! "Jangan lakukan pembalasan sekarang! Tunggu saat yang baik! Kita harus
bisa mencari tandingan pusaka pedang laknat itu!"
"Bintari, tinggalkan tempat ini sebelum ia men-
gejar kita dan membantai habis agar tak ada balas
dendam di kemudian hari! Lekas pergi, Bintari!" seru Dirgayana, yang akhirnya
membuat mereka bertiga
pun segera larikan diri dari Kadipaten Wilujaga.
Soka Pura akhirnya disembuhkan oleh sang
kakak, walaupun sebenarnya Soka mampu sembuh-
kan lukanya sendiri. Raka sembuhkan Soka sambil
membisikkan omelan kepada sang adik.
"Gadis itu hamil! Aku disuruh mengawininya.
Bagaimana"!"
"Kau berani bertarung melawanku, Raka"!"
Sang kakak justru tertawa sambil menjulekkan
kepala adiknya.
"Lain kali jangan rakus begitu! Hampir saja aku
yang harus menanggung getahnya!"
"Ah, aku cuma.. cuma sekali kok. Tak mungkin
dia hamil!"
"Dia mengaku begitu!"
"Itu hanya siasat untuk menjerat ku!"
"Kau mau dijerat apa tidak"!"
"Hummm... tak mau aku! Tak mau! Aku belum
siap!" "Kalau belum siap ya jangan berbuat begituan!"
"Cuma iseng-iseng kok...."
Mereka akhirnya berdebat tanpa diketahui sia-
pa pun. Soka pun menemui Wulan dan menyatakan
belum siap untuk menikah saat itu. Ia meminta waktu
beberapa saat karena masih harus lakukan beberapa
tugas dari sang guru. Akhirnya Rara Wulan mengaku
kepada sang ayah, bahwa ia sebenarnya tidak hamil.
Semua itu hanya siasat untuk menjerat Soka. Tapi ia
segera sadar bahwa Soka tak mau dijerat, dan jika hal
itu dilakukan justru akan membuat pemuda itu lari
tak kembali lagi. Maka, hubungan mereka pun ber-
langsung tanpa jerat yang mengikat. Namun hati me-
reka tetap saling terpikat.
SELESAI Segera terbit!!!
IBLIS PEMBURU WANITA
E-Book by Abu Keisel Dendam Empu Bharada 39 Istana Yang Suram Karya S H Mintardja Dewi Penyebar Maut I I 1
^