Pencarian

Jago Jago Rogo Jembangan 1

Pendekar Kelana Sakti 5 Jago Jago Rogo Jembangan Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan be-
laka JAGO-JAGO ROGOJEMBANGAN Oleh Buce L. Hadi
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Hak Cipta ada pada Penerbit
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-
ruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
Buce L. Hadi Serial Pendekar Kelana Sakti
dalam episode: Jago-Jago Rogojembangan
1 Dua ekor kuda yang menarik sebuah gerobak
kayu itu meringkik berbarengan ketika melewati pa-
dang tandus. Di mana-mana banyak berserakan tulang
belulang. Entah bekas kerangka apa. Yang jelas di situ ada bermacam-macam tulang
belulang. Di antara tulang belulang binatang, ada juga terselip kerangka
manusia. Bahkan beberapa roda pedati yang telah
usang sekalipun ikut berserakan di situ.
Gerobak itu berhenti mendadak. Pengendalinya
yang hanya seorang itu geram sekali memecuti kuda-
kudanya. Dua ekor kuda itu masih terus meringkik,
membuat gerobak yang ditariknya bergoyang-goyang
dan hampir terbalik. Pengendali kuda itu makin ken-
cang mencambuki kuda-kudanya.... Hreaaaa!
Hreaaaaa! Hreaaaa! Teriakannya menggelegar meme-
cah kesunyian padang tandus. Burung-burung Nazar
beterbangan mendengar suara yang menakutkan itu.
Bersamaan dengan beterbangan burung-
burung pemakan bangkai, kuda-kuda itu berlari ken-
cang. Debu-debu pun menggumpal bagai asap mengi-
kuti ke mana arah gerobak kayu itu melaju. Pengenda-
linya merasa lega. Sesekali ia menoleh ke belakang.
Beberapa peti besar masih utuh pada tempatnya di-
tambahkan memenuhi ruang belakang gerobak. Sete-
lah itu ia kembali mencambuki kuda-kudanya.
Beberapa saat kemudian kereta gerobak ber-
henti lagi. Kali ini bukan karena kuda-kudanya. Si
pengendali sendiri yang menghendaki. Di hadapannya
membentang sebuah jembatan kayu yang menyebe-
rangi jurang menghubungkan pada puncak jurang be-
rikutnya. Hati-hati sekali ia mengendalikan kuda-
kudanya menyeberangi jalan itu. Roda-roda gerobak
berderak-derak saat melindas jembatan kayu. Jemba-
tan itu cukup kuat, di kedua sisinya terdapat dua utas tambang sebesar lengan
memanjang sebagai pembatas
lebarnya jembatan itu.
Udara yang berhembus dari jurang seberang
begitu segar. Dataran itu nampak lebih subur dari padang tandus yang ia lewati
tadi. Di situ banyak pepohonan, tanahnya pun berumput. Dari kejauhan nam-
pak seperti permadani hijau yang membentang di kaki
langit. Kereta gerobak itu kembali melaju dengan cepat setelah melewati jembatan
penghubung. "Huh kalau tahu keadaan Rogojembangan be-
gini, aku tak mau lagi ke sini..." keluh si pengendali gerobak dalam hati. Kedua
lengannya memacu tali kekang. Derap kaki kuda semakin cepat menelusuri jalan
yang berliku. Melalui pohon-pohon besar yang tumbuh
banyak di kedua sisi jalan.
"Mudah-mudahan saja ini untuk yang terakhir
kalinya..." keluhnya lagi ketika ia melihat sebuah bangunan yang hampir roboh
termakan usia. Dari kejau-
han nampak bangunan itu begitu kotor dan tak teru-
rus. Kereta gerobak itu berjalan perlahan meng-
hampiri halaman bangunan. Si pengendali menghapus
keringat yang membanjir di sekitar keningnya. Seluruh bajunya telah basah oleh
keringat yang mengucur sedari tadi. Belum kereta gerobak itu berhenti, seorang
lelaki berperawakan kurus keluar dari bangunan. Melihat sosok berkulit hitam
dengan rambut yang semra-
wut, si pengendali kereta gerobak begitu tercengang...
Bukan karena takut! Tapi baru kali ini ia melihat seseorang berkulit yang
demikian hitamnya. Kuda-kuda
itu tidak meringkik begitu mendekati sosok hitam yang
berdiri tepat di muka pintu bangunan.
"Kaukah Umbara Komang dari lereng Ungaran
yang terkenal itu...?" sapa sosok hitam ketika kereta gerobak berhenti di
hadapannya. Orang yang duduk di
atas gerobak menjawab dengan anggukan kepala.
"Aku Wadak Keling akan membawa masuk ba-
rang-barang yang kau bawa... Mana barang-barang
itu...?" kata sosok hitam yang menamakan dirinya Wadak Keling. Si pengendali
kereta yang ternyata Umbara Komang menunjuk ke belakang gerobak dengan ibu ja-
rinya. Wadak Keling mengangkat wajahnya melongok
ke belakang gerobak. Dilihatnya dua buah peti berukuran besar terikat kuat
saling tindih. Umbara Komang
turun dari gerobak, ia menambatkan kuda-kudanya
pada sebatang tonggak. Ia sempat melirik ke arah Wa-
dak Keling yang mulai membuka ikatan peti-peti di belakang gerobak.
Tanpa minta bantuan Umbara Komang, Wadak
Keling menurunkan satu demi satu peti-peti itu. Lalu memanggul peti itu memasuki
ruangan bangunan yang
nampak begitu gelap. Umbara Komang sengaja me-
nunggu di luar. Ia membiarkan Wadak Keling mema-
sukkan peti-peti itu sendirian. Suatu kesempatan un-
tuk menghemat tenaga.
Peti kedua telah masuk ke dalam bangunan.
Umbara Komang menghela nafas. Ingin rasanya ia ce-
pat-cepat meninggalkan tempat ini. Bau kemenyan
yang sedari tadi keluar dari ruangan sejak pintu bangunan itu terbuka sangat
menyesakkan hidungnya.
Sebentar-sebentar ia mengendus mengusir aroma yang
sangat membangunkan bulu roma. Namun Umbara
Komang sengaja menunggu di luar. Menunggu Wadak
Keling keluar dengan membawa sesuatu yang menjadi
imbalan untuknya.
Lama sekali Wadak Keling tidak menampakkan
diri. Setelah ia membawa masuk peti kedua Wadak
Keling tidak muncul-muncul lagi. Umbara Komang jadi
tidak sabar. "Wadak Keling...! Aku tidak bisa lama-lama di
sini! Tolong sampaikan salamku kepada Ki Rondo
Mayit! Bagianku harus ku terima sekarang...!" teriak Umbara Komang. Ia membenahi
tali-tali pengikat peti
yang malang melintang di sekitar roda gerobak.
"Aku mendengar suaramu, Umbara Komang...!
Terimalah ini!" Terdengar suara dari dalam bangunan.
Jelas bukan suara Wadak Keling. Bersamaan dengan
itu desiran angin sangat kencang menjurus keluar...
"Wwwwes!" Tiba-tiba saja Umbara Komang memekik dengan tubuh terbanting. Terasa
sesuatu menghantam
dadanya... Dengan tubuh yang masih seloyongan, ia
berusaha bangkit.
"Apa-apaan kau, Ki Rondo Mayit! Aku tidak
pernah mengecewakan kau, kenapa malah menye-
rangku sampai sedemikian rupa...!" bentak Umbara Komang. Ia melangkah memasuki
bangunan itu. Wajahnya merah padam menahan amarah yang luar bi-
asa... Tapi baru saja ia melangkah pada garis depan
pintu yang terkuak lebar...
"Deeeeees!" Sebuah pukulan angin menghan-
tam lagi. Tanpa dapat menghindari, tubuh Umbara Ko-
mang terlempar lebih jauh. Kali ini ia tidak dapat bangun lagi. Umbara Komang
terkapar di tanah dengan
berlumuran darah di mulutnya. Kedua kuda yang ter-
tambat di samping pintu meringkik hebat. Keduanya
menyepak-nyepakkan kaki seakan-akan hendak pergi
dari tempat itu.
Ringkikan kuda terhenti seketika saat dua
orang keluar dari balik pintu. Wadak Keling bersama
majikannya Ki Rondo Mayit. Mereka berdua sama se-
ramnya. Rambutnya sama-sama tak terurus. Hanya
kelainan pada Ki Rondo Mayit dengan rambut yang
awut-awutan memutih. Raut wajah Ki Rondo Mayit
sendiri tidak menggambarkan bahwa ia telah termakan
usia. Tidak ada kerut-kerut sedikit pun pada kulit mu-kanya. Tapi sewaktu Ki
Rondo Mayit menyeringai meli-
hat tubuh Umbara Komang terkapar, terlihat kedua
gusinya tanpa sebutir gigi. Wadak Keling yang berdiri di samping majikannya
melangkah menghampiri tubuh Umbara Komang.
"Dia tidak mati, Ki... Jantungnya masih berde-
nyut halus...!" katanya setelah memeriksa tubuh berlumuran darah itu.
"Memang itu yang kuharapkan! Aku tidak sam-
pai hati untuk membunuhnya, karena ia telah banyak
berjasa untukku..." jawab Ki Rondo Mayit ikut melangkah mendekat.
"Bawa saja ia masuk ke dalam... Aku masih
membutuhkan dirinya..." katanya lagi. Ia langsung berbalik memasuki bangunan
lebih dulu. Wadak Keling menuruti perintah majikannya.
Tanpa banyak bicara ia memanggul tubuh Umbara
membawa masuk ke dalam ruangan yang sedikit gelap.
Ruangan itu tidak seberapa besar. Tapi ketika ia memasuki ruangan yang kedua.
Ruangan itu gelap lagi.
Meskipun hanya diterangi dengan sebuah lampu obor,
cukup membuat keadaan di situ nampak jelas. Ki
Rondo Mayit telah menunggunya di samping meja
kayu yang di atasnya banyak berserakan alat-alat pendupaan. Salah satu pendupaan
itu masih mengepul-
kan asap menyebar bau kemenyan.
Dua buah peti berdiri bersandar pada dinding
batu. Ki Rondo Mayit memandangnya. Pandangannya
beralih ketika Wadak Keling masuk membawa tubuh
Umbara Komang ke ruangan itu. Wadak Keling mele-
takkannya pada sebuah balai di sudut ruangan.
"Penutup peti-peti itu harus kau buka Wadak
Keling. Aku ingin melihatnya! Jangan-jangan ia meni-
puku..." Majikannya berseru.
Wadak Keling tidak pernah membantah perin-
tah majikannya. Ia pun melangkah ke arah dua peti
yang bersandar pada dinding Hanya dengan sekali ta-
rik saja penutup peti itu terbuka. Maka terlihatlah dua sosok tubuh yang telah
membiru berdiri membujur dalam peti-peti itu. Ki Rondo Mayit tersenyum. Kembali
gusi tanpa gigi terlihat. Rambut yang putih beruban tidak bergeming. Lalu.....
"Baringkan kedua mayat itu di samping tubuh
Umbara Komang... Awas. hati-hati Wadak Keling! Jan-
gan sampai kulit mereka rusak...!"
* ** 2 Wintara yang tadi berjalan di tengah-tengah ja-
lanan, melompat ke pinggir ketika mendengar suara
derap kaki kuda yang berjalan cepat dari arah bela-
kang. Ia sengaja berhenti dan melihat beberapa kuda
yang melaju dengan cepat melintasi jalan itu.
Ketiga para penunggang itu tidak perduli saat
Wintara memperhatikan mereka. Ketiganya berlalu
tanpa berpaling barang sekejap pun ke arah Wintara
yang berdiri di sisi jalan. Sepertinya ada sesuatu yang mereka buru. Wintara pun
masa bodoh. Sama acuh-nya. Setelah kuda-kuda itu menjauh, barulah Win-
tara meneruskan perjalanannya. Debu-debu bekas de-
rap langkah-langkah kuda masih mengepul.
"Sombong! Mentang-mentang memakai lencana
kerajaan, berjalan seenaknya saja!" gerutu Wintara sambil mengibas-ngibaskan
telapak tangan pada baju
bulunya. Matanya masih tertuju pada ketiga ekor kuda yang mulai hilang dari
pandangan mata. Debu-debu
yang melekat pada baju bulunya tidak hilang.
Dengan kesal Wintara berlari kencang menyu-
sul mereka. Kecepatan larinya membuat rumput-
rumput yang tumbuh di pinggir jalan seperti merebah
tidur saat ia melewatinya. Itu karena terjangan angin yang begitu deras.
Langkah-langkah Wintara sendiri
tidak jelas kelihatan. Tahu-tahu saja ia sudah berada jauh di depan sana.
Menyusul ketiga kuda yang berlari di hadapannya.
Sekali hentak, kedua kaki Wintara melejit ke
udara. Tubuhnya berputar berkali-kali. Kemudian
hinggap tanpa menimbulkan suara di atas tanah. Keti-
ga penunggang kuda itu tercengang. Karena tahu-tahu
saja telah muncul di hadapan mereka seorang pemuda
mengenakan baju bulu binatang berdiri menghalangi
perjalanan mereka.
"Minggirlah, anak muda! Kami tengah mengejar
seseorang. Orang itu amat berbahaya sekali... Jadi
kami tidak ingin kehilangan jejaknya." kata salah seorang penunggang yang berada
paling tengah. "Begitu pentingkah orang itu sehingga kalian
tidak menghormati orang yang berjalan kaki di jalan
ini..." Kalian lihat pakaian ku! Aku memang seorang
jembel yang tidak patut dihormati... Tapi justru kalian orang-orang dari
kerajaan tidak memiliki rasa sopan
sedikit pun...!" Bicara Wintara blak-blakan.
"Oh... maafkanlah kami, Anak muda! Bukan
sengaja kami mengotori pakaian mu... Sungguh! Kami
kelewat terburu-buru... Sekali lagi maafkanlah kami..."
kata orang yang menunggangi kudanya di pinggir.
"Betul, anak muda. Kami tengah mengemban
tugas dari kerajaan... Sebenarnya kami bukan orang-
orang kerajaan, kami hanya orang-orang pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka...
Bukan hanya kami bertiga
orang-orang pilihan beliau. Masih banyak lagi orang-
orang seperti kami."
"Orang-orang pilihan...?" Wintara jadi heran.
Ketiganya tidak luput dari tatapan Wintara. Ia melangkah ke samping jalan


Pendekar Kelana Sakti 5 Jago Jago Rogo Jembangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seolah-olah memberi jalan pada
mereka. "Kami tidak dapat menjelaskannya sekarang,
Anak muda... Maaf, kami harus mengejar buruan yang
telah lepas dari pengamatan... Permisi... Mudah-
mudahan kita bisa bertemu lagi." kata penunggang kuda yang paling tengah. Orang
itu segera menghela
kudanya, maka kuda itu pun berlari lagi. Yang lain
mengikuti mengejar. Wintara terpaku diam melihat ke-
pergian mereka. Sebentar saja kuda-kuda itu jauh
menghilang dengan asap-asap debu yang berterbangan
di sekitar langkah-langkah kuda.
Di depan sana sebuah perkampungan tampak
sepi. Binatang-binatang peliharaan dari sapi, kambing sampai ayam berkeliaran
seperti tidak diurus oleh pe-miliknya. Binatang-binatang itu simpang siur di
sepanjang jalan yang menghubungkan ke arah perkampun-
gan. Ketiga penunggang kuda itu pun merasa aneh
dengan keadaan yang seperti mereka lihat sekarang.
Binatang-binatang peliharaan itu segera menyingkir
saat ke tiga kuda memasuki perkampungan. Ketiganya
tersentak kaget melihat suasana dalam perkampungan
yang sangat di luar dugaan.
Para penduduknya telah terkapar bergelimpan-
gan tanpa nyawa. Darah segar masih menetes dari
tiap-tiap tubuh yang bergelimpangan itu.
"Pastilah si pembunuh terkutuk itu yang mela-
kukannya... Dia masih ada di sekitar sini! Cepat cari!
Kalau tidak dapat menangkapnya hidup-hidup, bunuh
saja!" Penunggang kuda yang sampai lebih dulu turun dari kudanya. Lengan
kanannya langsung mencabut
pedang dari pinggang dengan ke dua sorot mata yang
tajam. "Begitu cepat ia menghabisi orang-orang kampung ini...! Dasar pembunuh!
Padahal dirinya telah
menjadi buruan kita! Masih saja sempat menurunkan
tangan jahil....!" Temannya yang mulai turun dari kudanya ikut mendongkol.
"Mungkinkah ia masih di sini, Mogeni Kalpa...."
Rasanya aku tidak yakin...."
"Kau bisa melihat mayat-mayat ini... Nampak-
nya pembantaian baru saja terjadi...." jawab Mogeni Kalpa yang berdiri di antara
mayat-mayat penduduk
kampung itu. Dua orang yang berdiri di belakangnya
memperhatikan mayat-mayat itu... Memang benar, lu-
ka-luka pada setiap mayat masih mengeluarkan darah
segar. Hampir rata-rata leher para mayat itu berlumuran darah.
"Baru kali ini kulihat pembantaian sadis...! Buronan itu mesti dicincang habis!"
Salah satu penunggang kuda itu geram. Tangannya cekatan menyambar
sebilah pedang tajam berkilat menyilaukan.
"Cepat menyebar...!" Mogeni Kalpa memberi
komando. Dua orang yang berdiri di belakangnya ber-
lari berlainan arah. Pandangan mereka hati-hati sekali.
Setiap sudut maupun pelosok tidak luput dari penga-
wasan mereka. Ketiganya telah bersiap-siap dengan
pedang terhunus di tangan.
Mogeni Kalpa memasuki tiap-tiap gubuk yang
telah kosong. Ia berpindah-pindah terus. Dari satu
gubuk ke gubuk yang lain. Namun tetap saja ia tidak
menemukan orang yang dicari. Pedangnya berkelebat
ke nana ke mari menyibakkan kain-kain yang menu-
tupi tiap-tiap ruangan. Amarahnya makin meluap keti-
ka ia melihat sosok tubuh seorang bayi yang hampir
tidak terbentuk lagi. Mogeni Kalpa cepat beringsut dari tempat itu.
"Mogeni Kalpa...! Mogeni Kalpa...! Cepat ke ma-
ri...!" Salah seorang temannya berteriak-teriak. Mogeni Kalpa langsung melompat
ke luar. "Ada apa..." Apakah kalian menemukan manu-
sia keparat itu...?" Mogeni Kalpa berlari ke arah suara orang yang memanggil-
manggil namanya. Dan ia cukup terperanjat ketika tiba di samping kedua teman-
nya. "Kau lihat itu, Mogeni Kalpa... Dia ada di si-ni...!" Mogeni Kalpa seperti
tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Sosok tubuh seseorang yang tengah
mereka cari telah terkapar di hadapan mereka.
Tubuh itu penuh dengan luka-luka. Pada batang le-
hernya terlihat jelas goresan-goresan luka yang mengalirkan darah segar.
Tubuh penuh luka itu bergerak-gerak. Mulut-
nya terbuka seperti hendak mengeluarkan kata-kata.
Mogeni Kalpa menariknya berdiri.
"Susah payah aku mencarimu, Bala Tlenges!
Ternyata demikian mudahnya kami mendapatkan di-
rimu di sini...! Sebelum ku kirim ke akherat, apakah ada pesan yang akan kau
sampaikan" Katakanlah
Bala Tlenges! Cepat! Orang-orang kampung yang telah
kau bantai itu pasti akan menuntut mu dari alam baka sana...!" Mogeni Kalpa
geram. Tiba-tiba saja tinjunya melayang menghantam perut, membuat Bala Tlenges
tersungkur ke tanah dengan menghamburkan darah
dari mulutnya. Bala Tlenges merangkak bagai binatang melata. "Anjing! Tunjukkan
kebolehan mu... Ayo!" Mogeni Kalpa menendang keras tubuh lelaki itu.
"Buuuuug!" Bala Tlenges terlempar lagi. Kali ini tubuhnya membentur dinding kayu
sebuah gubuk. Namun tetap saja lelaki itu berusaha bangkit walau-
pun dengan susah payah. Darah menyembur lagi dari
mulutnya. Mogeni Kalpa bermaksud memberi hanta-
man lagi. Tapi salah seorang temannya menghalangi...
"Sudahlah...! Ia sudah terluka parah! Mungkin
orang-orang kampung telah mengeroyoknya sewaktu ia
membantai di sini...!"
"Kalau saja ia dapat bicara aku sudah cukup
senang! Tapi ia tetap bungkam! Itu yang membuat aku
naik darah!" jawab Mogeni Kalpa.
"Ia pasti sedang mengucapkan sesuatu, Mogeni
Kalpa... Kau lihat gerak bibirnya. Hanya sayang sua-
ranya tidak keluar, mungkin karena tenggorokannya
robek." "Bagaimana pun keadaannya ia tetap buronan!
Cepat atau lambat ia pasti dihukum mati! Apa bedanya kalau ia kubikin mampus
sekarang!" Mogeni Kalpa menatap geram ke arah Bala Tlenges yang sudah berdiri
dengan seloyongan.
"Kau harus berkepala dingin, Mogeni... Seka-
rang buronan telah kita tangkap, biar saja Raden Mas
Kinanjar Swantaka yang menentukan hukumannya.
Kau harus ingat, kita hanya orang-orang pilihan...."
* ** 3 Ketiga kuda itu meninggalkan perkampungan
di mana mayat-mayat berserakan bergelimpangan
dengan darah. Mogeni Kalpa masih terdiam menguasai
perasaannya. Ia tetap menunggangi kudanya paling
tengah. Dua orang temannya mengiringi di samping
kanan dan kiri. Di belakang mereka, tubuh Bala
Tlenges terseret tak berdaya. Manakala ketiga kuda itu berlari semakin kencang
berpacu. Tubuh itu tidak bedanya bagai sebatang tonggak yang terbawa arus per-
jalanan yang kadang-kadang membentur bebatuan
menonjol di sepanjang jalan.
Diperlakukan seperti itu pastilah Bala Tlenges
bakal mampus, pikir Mogeni yang masih menaruh
amarah terhadap buronannya.
Bagaimana tidak" Bala Tlenges seorang peram-
pok dan juga pembunuh sadis. Dalam satu hari selalu
saja ada yang menjadi korbannya. Apalagi hari ini.
Bala Tlenges telah membantai seluruh orang-orang
kampung terpencil. Ini merupakan kejadian yang san-
gat luar biasa. Begitu tega Bala Tlenges membunuh
habis para korbannya. Tidak perduli memandang usia,
dari anak-anak sampai kakek-nenek pun habis diban-
tai. Tubuh Bala Tlenges masih terseret kencang.
Seluruh pakaiannya yang memerah bersimbah darah
mulai koyak. Kedua matanya kadang terpejam kadang
terbeliak menahan sakit. Jelaslah Bala Tlenges masih hidup. Saat itu tanpa
sepengetahuan ketiga penunggang kuda, sosok bayangan berkelebat dari atas seba-
tang pohon yang cukup tinggi. Sosok bayangan itu
menukik menyambar memutuskan tali yang menyeret
tubuh Bala Tlenges dan sekaligus membawanya pergi.
Mogeni Kalpa yang menyadari ikatan talinya telah ko-
song langsung menoleh ke belakang. Dan ia terkejut
bukan main. Tapi ia masih sempat melihat sosok
bayangan membawa kabur tubuh Bala Tlenges. Keti-
ganya memutar arah. Dua orang temannya dapat me-
lihat kecepatan lari sosok bayangan itu.
"Bangsat...! Bala Tlenges dicuri orang! Cepat ki-ta kejar...!" Hreaaaaa!
Hreaaaaa!! Mogeni Kalpa memacu kudanya. Yang lain mengikuti menuju ke mana la-
rinya bayangan tersebut. Ketiga ekor kuda itu saling kejar dan saling mendahului
mengejar sosok bayangan
yang makin lama makin mereka dekati.
Tiba-tiba saja ketiga kuda itu berhenti berlari.
Kuda-kuda itu meringkik hebat, para penunggangnya
hampir terpelanting dari atas pelana. Untunglah mere-ka cukup mahir menunggangi
kuda milik mereka. Ku-
da-kuda mereka terus meringkik dengan kedua kaki
yang terangkat ke atas seakan enggan meneruskan
perjalanan. Mogeni Kalpa maupun dua orang teman-
nya berteriak-teriak menghela kudanya. Namun tetap
saja kuda-kuda itu seperti mengamuk. Mereka betul-
betul sudah tidak dapat mengendalikan lagi.
Dalam pada itu dua sosok tubuh pucat berja-
tuhan dari atas pohon. Tubuh-tubuh itu terbanting keras ke tanah. Kedua sosok
tubuh pucat itu diam ter-
kapar di tanah. Mogeni Kalpa bersama dua orang te-
mannya memandang keheranan. Mereka menatap dari
mana asal mereka jatuh, kemudian beralih pandang
mereka pada kedua sosok tubuh yang terkapar tak
bergeming. Kuda-kuda tidak mengamuk lagi. Ringki-
kannya tidak sekeras tadi.
"Mayat-mayat siapa ini..." Mengapa berjatuhan
dari atas pohon, apakah kalian lihat ada orang yang
sengaja melemparkannya?"
"Mayat-mayat ini tidak begitu penting bagi kita!
Yang jelas sekarang kita harus mendapatkan kembali
Bala Tlenges! Ayo kejar lagi...!" Setelah kuda-kuda itu cukup tenang, Mogeni
Kalpa menghela kudanya. Kuda-kuda mereka berlari lagi.
Di luar dugaan, bahkan tanpa sepengetahuan
mereka kedua sosok mayat yang telah pucat membiru
bangkit dan melesat ke arah kuda-kuda itu. Kedua
mayat itu dapat menyergap dua penunggang kuda
yang berada di samping kiri dan kanan Mogeni Kalpa.
Mereka bergulingan.
Mogeni Kalpa turun dari kudanya dengan ka-
lap. Cepat ia menarik gagang pedangnya dari pinggang.
Ia tidak berani membabatkan pedangnya ke arah
mayat-mayat hidup itu. Karena kedua temannya ten-
gah bergelut melawan. Ia sendiri tersentak kaget ketika dilihatnya salah seorang
temannya terlempar terkena
hantaman dari mayat hidup yang amat menyeramkan
itu. Mogeni Kalpa langsung menerjang dengan ba-
batan pedangnya yang menyambar cepat...
"Bwwwes!" Bagai mengerti ilmu silat, mayat hidup itu dapat mengelakkan babatan
pedang. Malah sempat membalas serangan itu dengan sambaran ca-
kar yang berkuku sangat runcing.
Kalau saja Mogeni Kalpa tidak cepat menarik
mundur tubuhnya, sudah pasti perutnya robek. Ia ti-
dak menyangka sama sekali kalau mayat hidup yang ia
hadapi demikian tangkasnya. Sukar sekali Mogeni Kal-
pa melancarkan serangannya. Sekalipun babatan-
babatan pedangnya terus berkelebat menyambar ke
sana ke mari. Begitu juga dengan kedua orang temannya. Se-
kalipun mereka berdua mengeroyok salah satu mayat
hidup itu dengan menggunakan senjata. Seleret sinar
berkelebat menyambar perut mayat hidup itu...
"Breeeeet!" Mayat hidup yang berperawakan gemuk ini mundur beberapa langkah.
Lambungnya robek mele-bar. Tapi tidak ada setetes darah pun yang keluar. Kecuali
isi perut berupa sekumpulan belatung-belatung
yang menjijikkan.
Bau busuk menyebar dari lambung yang robek.
Mayat hidup itu tetap berdiri tegar dengan mata terbelalak. Kedua bola matanya
putih dengan kelopak mata
yang cekung ke dalam. Serentetan giginya yang telah
menghitam menyeringai... Lalu dengan sekali gerakan, tubuh busuk itu melesat ke
atas. Dua orang yang bersenjatakan pedang menyambutnya dengan babatan-
babatan pedang...
"Weeees...! Weeees!" Bagaikan kilatan seleret sinar dari babatan pedang mencerca
tubuh busuk. Na-
mun tubuh gemuk pucat membiru itu tetap berputar
menghindari dengan mudah babatan pedang dari la-
wannya yang berjumlah dua orang.
Salah seorang dari mereka berhasil menikam
pedangnya ke dada tubuh berbau busuk. Pedang itu
menembus sampai ke pangkalnya. Seperti tidak mera-
sakan sakit, mayat hidup itu menyeringai menyeram-
kan. Kedua lengannya terjulur ke depan mencengke-
ram leher orang yang menikamnya.
Salah seorang lagi berusaha mencegahnya. Ba-
batan-babatan pedangnya melanda di punggung mayat
hidup itu. Sekalipun punggungnya hampir hancur ter-
koyak, tubuh gemuk tak bernyawa itu makin kencang
mencengkeram leher seorang lawannya. Orang itu pun
meronta-ronta. Kuku-kuku jari yang runcing bagai mata jarum
merejam batang leher. Salah seorang temannya ber-
maksud membabatkan pedangnya ke arah lengan yang
mencengkeram kuat, namun belum sempat niatnya
terlaksana... "Bug!" Sebelah kaki tubuh gemuk yang tak bernyawa itu menyambar ke
samping. Orang itu
pun terlempar jauh. Begitu juga dengan pedangnya.
Darah mulai mengalir dari batang leher yang
terkoyak. Orang itu masih meronta-ronta. Setelah lengan mayat hidup melepas kan
cengkeramannya. Tapi
tak lama kemudian lengan itu menghantam lagi sam-
pai kepala itu terputus menggelinding ke tanah. Tubuh tanpa kepala itu kelojotan
dalam cengkeraman mayat


Pendekar Kelana Sakti 5 Jago Jago Rogo Jembangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidup. Darah menyembur bagai air mancur yang ke-
luar dari batang leher yang buntung.
Mogeni Kalpa terbelalak melihat seorang saha-
batnya tewas secara mengerikan. Babatan pedangnya
dipercepat sehingga membentuk seperti kitiran angin.
Mayat hidup yang dihadapinya pun tidak kalah gesit,
hanya dengan tendangan memutar pedang yang berge-
rak cepat itu terlepas dari genggaman Mogeni Kalpa.
Bersamaan dengan itu sosok tubuh yang tak bernyawa
itu melesat menerjang. Terjangan itu tak bisa di hindari lagi. Mogeni Kalpa
berontak menghindari namun terlambat, sederetan gigi yang menghitam menggigit
pu- tus tenggorokan Mogeni Kalpa.
Mayat hidup itu belum juga melepaskan rang-
kulannya yang membawa maut. Keduanya nampak
bergelindingan di tanah. Mogeni Kalpa menjerit-jerit.
Seorang temannya yang tadi terlempar datang mem-
bantu. Dengan cepat ia menyambar pedang yang terge-
letak di tanah ia menerjang. Babatan pedangnya siap
di arahkan pada batok kepala mayat hidup yang
menggigit tenggorokan Mogeni Kalpa....
"Craaak!" Sekali babat, batok kepala itu hampir terkelupas. Ketika ia mengangkat
pedangnya lagi,
mendadak tubuhnya terlempar. Sosok tubuh gemuk
tak bernyawa datang melancarkan serangannya. Den-
gan menyeringai mayat busuk itu maju menerjang
orang yang sudah terlempar. Orang itu cepat bangkit, pedangnya siap menyambut
terjangan mayat hidup.
Begitu mayat hidup mendekat, pedang berkele-
bat menyambar. Sebelum mata pedang itu menggores,
mayat hidup itu telah melesat ke atas lebih dahulu...
Tahu-tahu saja kelima kuku yang runcing bagai mata
jarum menembus tepat di atas kepala orang itu. Dan
seketika telapak tangan itu menarik ke atas. Isi kepala ikut ke luar dari rongga
otak dengan tubuh yang kelojotan. Bersamaan dengan itu pula tubuh Mogeni Kal-
pa telah terkapar kaku tak bernyawa. Tubuhnya nam-
pak koyak bekas cakaran-cakaran, tenggorokannya
hampir putus. Kedua mayat hidup itu menyeringai
mengeluarkan suara yang amat mengerikan. Lengan-
lengan mereka terjulur ke atas menunjukkan kuku-
kukunya yang runcing, tiba-tiba saja...
"Suiiiiiiiit!" terdengar siulan panjang mengu-mandang di udara. Maka dengan
serempak kedua mayat hidup melompat-lompat meninggalkan tempat
itu. Sedangkan di depannya nampak sesosok bayangan
berlari kencang membawa sesuatu. Kedua tubuh yang
menyebarkan bau busuk itu menuju ke sana. Ke mana
sosok itu pergi, ke sanalah tujuan mereka.
* ** 4 Dari kejauhan Wintara sudah dapat melihat ti-
ga ekor kuda berdiri menghalangi jalan. Ia sendiri berjalan menyusuri jalan itu.
Tidak ada kesan apa-apa setelah melihat ketiga ekor kuda.... Pandangannya malah
menatap jauh mengarah pada perbukitan tandus berwarna keemasan tertimpa sinar
matahari. Di atasnya
membentang cakrawala nan biru dengan awan keputi-
han bergumpal bergeser tertiup angin.
Kuda-kuda itu meringkik kencang ketika lang-
kah-langkah Wintara makin dekat. Pandangan Wintara
teralih ke situ. Pada jarak yang sangat jauh ia dapat melihat tiga sosok tubuh
bergelimpangan di sekitar
kaki-kaki kuda. Jelas ketiga orang itu adalah orang-
orang yang mereka temui tadi. Langkahnya dipercepat, ia telah menduga bahwa
telah terjadi sesuatu pada
mereka. Wintara betul-betul tersentak ketika sampai di
tempat itu. Ia melihat tiga sosok si penunggang kuda bergelimpangan tan nyawa.
Keadaan mereka sangat
mengerikan. Salah satu di antaranya tewas dengan ke-
pala terpisah. Ada juga yang batok kepalanya pecah
dengan isi kepala yang berhamburan ke luar. Satu
orang lagi yang pernah berbicara dengan Wintara te-
was dengan tenggorokan yang hampir putus, tubuhnya
pun habis terkoyak oleh sesuatu yang sangat tajam...
Seperti cakaran, itu pendapat Wintara setelah meme-
riksa ketiga sosok berlumuran darah.
"Sadis! Perbuatan siapa ini..." Masih ada juga
manusia yang berdarah dingin di muka bumi ini! Meli-
hat dari luka-luka mereka, tentulah bukan dikarena-
kan dengan senjata! Tapi..." Wintara tidak habis pikir.
Ia sendiri tidak tahu mesti berbuat apa terhadap ketiga mayat itu.
"Tadi mereka mengatakan, bahwa mereka akan
mengejar seorang buronan! Apakah mereka telah me-
nemukan buronan itu sehingga terjadi pertarungan
yang begini seru" Kalau demikian, sungguh hebat bu-
ronan itu!" gumam Wintara. Mata Wintara tertuju pada sebuah lencana yang
melingkar di setiap lengan kiri
mereka. Semua lencana itu sama. Tanda orang-orang
kepercayaan kerajaan.
Ada pemikiran Wintara untuk mengantarkan
mereka pada pesanggrahan Raden Mas Kinanjar Swan-
taka. Tapi cepat ia membatalkan niatnya. Ia tidak ingin terlibat urusan ini. Toh
ketiga orang ini sama sekali tidak dikenalnya. Apalagi dengan Raden Mas Kinanjar
Swantaka... Macam apa dia orangnya, Wintara tidak
tahu sama sekali. Berniat mengantarkan mayat-mayat
ini sama saja mencari penyakit! Sudah tentu dirinya
akan dilimpahkan beribu-ribu pertanyaan yang memu-
singkan. Sekarang Wintara hanya menaikkan tiap-tiap
mayat ke atas kuda. Ia merasa ada kesulitan ketika
menaikkan tubuh tanpa kepala. Tidak mungkin ia
membiarkan kepala itu tetap tertinggal di situ. Sebentar kemudian Wintara
menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Setelah rambut gondrongnya menjadi kusut, ia mendapatkan satu
cara. Tanpa merasa jijik, Wintara meraih kepala yang
buntung itu dari tanah. Tentu saja ia hanya memegang
rambutnya. Lalu ia menyelipkan ke dalam balik baju
tubuh tanpa kepala itu. Ketiga tubuh tanpa nyawa te-
lah terikat di atas pelana kuda-kuda mereka. Wintara tersenyum ia merasa puas
akan tindakannya itu.
"Aku yakin, kuda-kuda ini sangat patuh... Me-
reka akan sampai ke tempat tinggal tuannya..." kata Wintara dalam hati setelah
itu ia menepuk salah satu kuda yang berdiri paling depan. Kuda itu pun berlari.
Dua kuda lainnya mengikuti. Meskipun lari kuda-kuda
itu tidak kencang, tidak jadi masalah. Lambat laun
mereka akan sampai ke tempat tujuan.
Wintara belum beranjak dari situ, ia masih me-
natap kepergian ketiga kuda yang kian menjauh. Pan-
dangannya menggambarkan rasa iba. Ketiga wajah
orang itu belum lepas dari ingatannya. Begitu cepatnya hidup ini. Sepertinya
Tuhan telah mengutuk!
* ** Nafas Wadak Keling terengah-engah ketika tiba
di depan bangunan yang hampir roboh. Sosok tubuh
yang dibawanya, diletakkan begitu saja di depan pintu.
Punggungnya terasa sekali berdenyut. Sebentar kemu-
dian ia menoleh ke belakang. Ia melihat dua sosok melompat-lompat menyusul ke
tempat itu. "Dasar mayat! Gerakannya lambat kayak
keong!" gerutunya. Kembali ia mengangkat sosok tubuh yang berlumuran darah,
sosok itu mengerang-
ngerang menahan sakit. Luka-lukanya sudah tidak ka-
ruan parahnya. Tapi ia masih bertahan hidup. Sung-
guh luar biasa!
Wadak Keling tidak perduli kedua sosok mayat
melompat-lompat ikut memasuki ruangan bangunan.
Setelah ia menembus ruangan yang agak gelap, ia
memasuki ruangan lain yang cukup terang disinari
lampu obor. Di situ telah menunggu sosok berambut
putih kusut duduk menghadapi sebuah pendupaan
yang mengepulkan asap kental menyebarkan bau ke-
menyan. Kedua mayat hidup itu melompat-lompat me-
masuki ruangan itu. Seperti telah terkendali mereka
memasuki peti-peti yang bersandar pada dinding batu.
Sesaat kemudian dua sosok dalam peti itu diam sea-
kan tertidur pulas. Kedua mata mereka yang tadi sela-lu membelalak menyeramkan,
kini terpejam rapat. So-
sok berambut putih kusut itu meniup asap pendupaan
dalam-dalam. Bara api dalam pendupaan itu mati den-
gan seketika. "Ki Rondo Mayit, sebaiknya cepat kau tolong
putra mu ini... Luka-lukanya sangat parah..." kata Wadak Keling ketika melihat
sosok berambut putih kusut itu berdiri.
"Jangan khawatir, Wadak Keling... Bala Tlenges
akan segera pulih dari luka-lukanya. Baringkan saja di atas balai. Buka
pakaiannya dan jangan sekali-kali
kau membuka ikat pinggangnya... Ingat itu!"
"Aku mengerti, Ki Rondo Mayit!" Wadak Keling membawa tubuh Bala Tlenges ke arah
balai. Di situ telah duduk seseorang bertubuh kekar. Sedari tadi ia
memperhatikan mereka sambil tersenyum cengenge-
san. Ketika Wadak Keling mendekati balai, sosok tu-
buh kekar itu langsung beringsut menyingkir. Orang
itu kembali duduk di atas lantai.
"Begitulah, Umbara Komang! Meskipun kau te-
lah gila harus punya rasa tahu diri!" Wadak Keling membentak. Ia membaringkan
tubuh Bala Tlenges di
atas balai. Ki Rondo Mayit mendekati.
"Bawa ke luar, Umbara Komang! Aku khawatir
ia akan mengganggu pekerjaanku! Selama aku tidak
memanggil jangan masuki ke mari." kata Ki Rondo Mayit. Wadak Keling menurut, ia
melangkah mendekati Umbara Komang yang duduk di lantai. Lalu menye-
retnya ke luar dengan kasar. Umbara Komang malah
tertawa. "Manusia gila! Ayo kita main di luar! Ada kau di sini malah merepotkan aku!"
Lengan Wadak Keling menarik makin keras. Sebentar saja mereka sudah berada di
luar. Umbara Komang berjingkrak-jingkrak ke-
girangan. Ada sesuatu yang tidak beres dalam otak Um-
bara Komang. Kesadarannya telah berputar seratus
delapan puluh derajat. Tidak di sangkal lagi semua ke-tidakberesan yang ada pada
diri Umbara Komang aki-
bat ulah Ki Rondo Mayit. Ki Rondo Mayit sengaja me-
lakukannya. Sewaktu ia merapalkan ajian membang-
kitkan mayat yang telah hampir membusuk. Tubuh
Umbara Komang yang hanya pingsan diikutsertakan.
Mayat-mayat itu dapat hidup meskipun tidak sempur-
na. Tapi mayat-mayat itu dapat diperintah sebagaima-
na Ki Rondo Mayit suka. Umbara Komang lain! Ajian Ki Rondo Mayit memang mengena,
tapi Umbara Komang
bukan mayat! Ia manusia yang masih hidup... Ketika
Umbara Komang siuman ia telah kehilangan kesada-
rannya. Sampai sekarang... Ia telah gila!
"Langit akan runtuh...! Bumi akan belah...! He-
he-he-he... jangan takut... jangan takut...! Ki Rondo Mayit akan merobah
segalanya...! Wuaaaaaa! Jangan!
Jangan...! Roh jahat pergi...!" Umbara Komang berteriak-teriak. Wadak Keling
yang menjaganya jadi kesal.
Dengan telengas ia menendang tubuh Umbara Ko-
mang. Tubuhnya menggelinding.
"Kau siluman hitam yang jahat...! Hiiii... Nanti juga aku jadi siluman! Aku
tidak takut! Hua-ha-ha...!"
"Nanti kau jadi siluman gila!" jawab Wadak Keling setengah membentak. Ia
membiarkan Umbara Ko-
mang berjungkir balik di halaman gedung. Kelakuan-
nya memang selalu begitu. Wadak Keling sudah tidak
heran lagi. Melihat tingkah Umbara Komang yang san-
gat menggelikan itu, Wadak Keling merasa terhibur. Ia membiarkan Umbara Komang
bertingkah apa saja. Ia
sengaja hanya duduk pada undakan batu di bagian te-
ras bangunan. Tubuh hitamnya berkilat tertimpah ca-
haya matahari. Rambutnya yang kusut kaku tidak
bergerak walau dihembus angin. Kedua matanya terus
mengawasi Umbara Komang.
"Aku mau pergi...! Di sini tidak enak rasanya
panas seperti di neraka! Selamat tinggal siluman hitam yang jahat...." Umbara
Komang mengoceh sambil kedua kakinya berlari menjauh.
Langkah-langkahnya yang tidak karuan mem-
buat larinya tak tentu arah.
* ** 5 Sudah tentu Wadak Keling tidak akan mem-
biarkan Umbara Komang meninggalkan tempat itu.
Dengan cepat tubuhnya melesat dan berputar di atas
kepala Umbara Komang. Tahu-tahu saja ia sudah ber-
diri di hadapan Umbara Komang sambil menjambak
rambutnya. "Kau mau menyusahkan aku... Ayo kembali...!"
Wadak Keling membentak. Ia mendorong kuat-kuat
tubuh Umbara Komang kembali ke arah bangunan.
"Aku tidak mau main dengan siluman hitam
yang jahat macam kau! Aku mau main sendiri...!" Umbara Komang berteriak-teriak.
Tubuhnya meronta-
ronta. Wadak Keling melancarkan hantaman ke pung-
gung agar Umbara Komang tenang, tapi sebelum pu-
kulan itu mengenai punggungnya, Plaaak!" Umbara Komang menangkis dengan lengan
kirinya. Hantaman
itu beradu. Wadak Keling merasakan lengannya berde-
nyut. "Ha-ha-ha-ha... Siluman jahat kesakitan! Ra-sain...! Ha-ha-ha-ha....!
Umbara Komang tertawa ter-
bahak-bahak sambil berjingkrak-jingkrak di teras ge-
dung. Wadak Keling jadi geram. Sekali lagi ia melan-
carkan pukulan....
"Des!" Umbara Komang terbanting. Tapi ia malah tertawa mengejek.
"Kalau mau memijit bukan begitu caranya...
Mari aku ajarkan...!"


Pendekar Kelana Sakti 5 Jago Jago Rogo Jembangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba saja tubuh Umbara Komang melesat
ke arah Wadak Keling. Tahu-tahu... Plaaaakkkkk! telapak tangan Umbara Komang
menghantam keras kepa-
la Wadak Keling. Terasa sekali hantaman itu.
Tentu saja Wadak Keling jadi kalap. Segera ia
maju menerjang....
"Hreeeaaaaahhh!" Kedua lengannya siap menghantam, tapi....
"Wadak Keling! Apa-apaan kau!?" Ki Rondo
Mayit sudah berada di situ.
Wadak Keling membatalkan serangannya. Mu-
kanya memerah menatap Umbara Komang yang tetap
cengengesan. "Bantu aku sebentar! Biarkan saja ia bermain
sesukanya di sini!..! Ayo!" Ki Rondo Mayit masuk lagi.
Wadak Keling tidak segera ikut masuk. Pandangannya
masih menatap tajam pada Umbara Komang.
"Ingat Umbara Komang.... Jangan coba-coba
melarikan diri dari sini! Aku tidak segan-segan mem-
bunuhmu...!" ancam Wadak Keling sambil melangkah masuk. "Whueeeeeeee!" Umbara
Komang menjulurkan lidahnya.
Ketika Wadak Keling memasuki ruangan ten-
gah, Ki Rondo Mayit menyerahkan sebuah pundi yang
mengepulkan asap putih. Wadak Keling langsung me-
nerimanya. "Borehkan semua ramuan ini di tubuh Bala
Tlenges! Sementara itu aku membuat ramuan lain agar
ia kuat kembali."
Wadak Keling mengangguk. Ia pun melangkah
ke arah tubuh Bala Tlenges yang masih terbaring. Bala Tlenges sudah tidak
mengerang lagi. Matanya terpejam, namun nafasnya kian memburu. Wadak Keling
menuangkan ramuan obat ke telapak tangannya, lalu
ia memborehkan ke seluruh tubuh yang dipenuhi den-
gan luka-luka yang cukup parah.
Cairan berwarna kehijauan melapisi kulit Bala
Tlenges yang diam terlentang. Dadanya naik turun
mengeluarkan nafas yang demikian berat. Dua kelopak
matanya berkedutan ketika cairan berwarna kehijauan
membasahi di luka-lukanya.
"Kenapa Bala Tlenges sampai terluka be-gini,
Wadak Keling..." Setahuku, Bala Tlengas tidak mung-
kin bakal dikalahkan orang. Aku telah menempa di-
rinya sekuat batu ka-rang dan seteguh gunung... Apa-
lagi ia menguasai ilmu membaca pikiran orang!" kata Ki Rondo Mayit sambil
menumbuk dedaunan di atas
meja. "Semuanya di luar dugaan, Ki... Sewaktu aku membawa kedua mayat hidup itu
ke desa terpencil, ti-ba-tiba saja Bala Tlenges datang di saat kedua mayat-mayat
itu mengamuk!" kata Wadak Keling menunjuk ke arah kedua mayat yang berdiri kaku
dalam dua buah peti. "Lantas?" tanya Ki Rondo Mayit. Lengannya sibuk menumbuk ramuan daun.
"Kedua mayat hidup itu mengira Bala Tlenges
adalah orang kampung itu juga, maka ia pun tidak lu-
put dari amukan mayat hidup! Bala Tlenges mengada-
kan perlawanan. Tapi sia-sia menghadapi mereka.
Mayat hidup bergerak tanpa berpikir. Tapi setiap gerakannya membawa maut." Wadak
Keling menjelaskan.
Ki Rondo Mayit tersenyum.
"Aku khawatir luka di tenggorokannya tak akan
sembuh. Sekalipun sembuh mungkin ia tidak dapat
mengeluarkan suaranya..." kata Wadak Keling setelah memeriksa luka robek di
tenggorokan Bala Tlenges.
"Mau dikata apa! Semua sudah terlanjur. Lagi pula, tidak perlu disesalkan.
Sesuatu yang akan berhasil sela-lu memerlukan pengorbanan." Ki Rondo Mayit
selesai menumbuk dedaunan. Lalu ia mengairi tumbukan
daun itu dengan cairan berwarna hitam.
"Beri dia minuman ini... Kalau tidak habis, si-
sakan buat nanti sore!" kata Ki Rondo Mayit. Ia menuang ramuan obat yang telah
di beri cairan hitam ke dalam gelas bambu. Wadak Keling menerima gelas
bambu itu. Kemudian ia melangkah lagi ke arah tubuh
Bala Tlenges. Sebelah lengan Wadak Keling mengangkat tu-
buh Bala Tlenges bangun. Sebelah lengannya lagi
mencekoki ramuan obat ke mulutnya. Tapi cairan ken-
tal hitam itu keluar lagi melalui tenggorokannya yang robek. Cepat Wadak Keling
menutup tenggorokannya
yang robek itu dengan telapak tangannya. Dengan be-
gitu barulah cairan kental berwarna hitam kental ma-
suk semua ke perut Bala Tlenges.
"Kalau sudah, kau boleh keluar Wadak Keling...
Aku sudah tidak membutuhkan mu lagi."
Wadak keling bangkit dari bale-bale, ia tidak
menyerahkan gelas bambu pada Ki Rondo Mayit. Sen-
gaja ia menaruh sendiri gelas bambu itu di atas meja yang banyak berserakan
alat-alat keperluan Ki Rondo
Mayit. Setelah itu ia keluar tanpa bicara apa-apa.
Sepeninggal Wadak Keling, Ki Rondo Mayit
mendekati tubuh putranya yang terbaring di atas balai.
Tubuhnya telah penuh dengan cairan berwarna hijau.
Ia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Len-
gannya meraba ikat pinggang Bala Tlenges yang me-
lingkar kendor di pinggang. Lalu ia mengikat kencang kembali ikat pinggang itu.
"Ki Rondo Mayit... Ki Rondo Mayit...!" Tiba-tiba saja Wadak Keling kembali masuk
ke dalam ruangan
itu sambil berteriak-teriak.
"Ada apa!" Ki Rondo Mayit membalikkan tubuh.
"Umbara Komang sudah tidak ada di luar.... Ia
kabur!" jawab Wadak Keling tergagap.
"Budak tolol! Cari sampai dapat...!" bentak Ki Rondo Mayit.
Wadak Keling segera berlari ke luar. langkah-
nya berdetak-detak menginjak
lantai. Pandangannya memutar sesampainya
luar bangunan. Ia betul-betul mengawasi tiap-tiap pelosok. Jauh di sana di
antara rerimbunan pepohonan,
sosok tubuh berjingkrak-jingkrak kian lama kian men-
jauh. Itulah sosok Umbara Komang. Wadak Keling me-
rasa lega. Ia pun segera mengejar.
"Umbara Komang...! Kembali...!" Wadak Keling berteriak-teriak. Larinya makin
cepat. Umbara Komang yang mendengar suara itu
makin cepat pula melarikan diri. Sebentar-sebentar ia menoleh ke belakang sambil
berjingkrak-jingkrak. Setelah itu ia berlari lagi. Wadak Keling memacu larinya
lebih cepat, terkadang pula ia melompat.
Umbara Komang memang berada jauh di de-
pannya. Namun Wadak Keling tidak putus asa menge-
jarnya. Dalam hatinya ia mendongkol. Mengapa Ki
Rondo Mayit tidak menjadikannya mayat hidup saja
sekalian. Daripada ia gila seperti ini, akhirnya membuat repot! Untung saja ia
gila. Coba kalau ia sadar seperti dulu. Sudah pasti akan lebih merepotkan lagi.
Karena Umbara Komang bukanlah orang yang mudah
diremehkan. Paling tidak ia memiliki kepandaian yang tidak rendah. Lihat saja
sekarang. Meski pun ia gila kecepatan larinya sangat luar
biasa. Setengah mati Wadak Keling mengejar.
"Sampai di mana pun kau akan kudapat, ma-
nusia gila...!" teriak Wadak Keling emosi.
"Siluman hitam mana becus lari... Hua-ha-ha-
ha-ha...!" jawab Umbara Komang. Suaranya yang keras hanyut terbawa angin.
Mendengar ucapan yang demikian Wadak Keling amat gusar. Maka ia mengerahkan
seluruh tenaganya. Dan kecepatan larinya cepat bagai angin. Sosok tubuhnya
berkelebat bagai bayangan hitam. Yang Umbara Komang tahu hanyalah siluman
hitam mengejar. Ia semakin ketakutan saat sosok hi-
tam itu mulai mendekat. Langkah-langkah Umbara
Komang yang tidak karuan memperlambat kecepatan
larinya. Bahkan ia sempat terjerembab ke dalam se-
mak yang rimbun. Begitu panik ia berusaha mele-
paskan dirinya dari libatan-libatan akar-akar pohon
yang merambat. Dari kejauhan Wadak Keling dapat melihat
Umbara Komang jatuh ke dalam semak. Teriakannya
pun terdengar. Begitu juga dengan gemerisiknya daun-
daun yang nampak bergerak-gerak.
"Wuaaaaaaa...! Ular...! Tolong ular-ular ini me-libat ku... toloooong!" Umbara
Komang menjerit-jerit.
Wadak Keling sudah berdiri di situ dengan pandangan
sadis. Ia menatap garang ke arah Umbara Komang
yang repot menyingkirkan akar-akar pohon merambat
yang telah kering. Makin banyak bergerak, akar-akar
pohon itu makin kusut membelit.
* ** 6 Sekali tendang tubuh Umbara Komang mence-
lat berikut akar-akar pohon yang putus berantakan.
Wadak Keling melompat lagi ke arah Umbara Komang.
Kepalannya siap mengarah ke bagian muka. Umbara
Komang kalap, ia mendorong kuat-kuat tubuh Wadak
Keling... "Brweeeek!" Wadak Keling terpelanting. Ia tidak menyangka kalau dorongan itu
begitu deras. "Siluman jahat! Nanti kalau aku telah menjadi
siluman boleh kita main-main...!" kata Umbara Ko-
mang sambil kacak pinggang. Hidungnya kembang
kempis. Diam-diam Wadak Keling bangkit berdiri, den-
gan gerakan yang sangat cepat ia menerjang. Umbara
Komang hanya diam menghadapi sergapan itu. Maka
keduanya bergulingan. Umbara Komang malah tertawa
terkekeh-kekeh. Sebuah tamparan mendarat di pi-
pinya... Umbara Komang meringis. Sosok hitam den-
gan rambut kusut menjambak rambutnya, lalu...
"Deeees!" Sebuah hantaman mendarat di dada. Tubuh Umbara Komang mental
menggelinding. Dan tepat
berhenti di bawah kaki seseorang yang berdiri di situ.
Dengan tubuh yang terlentang, Umbara Komang me-
natap wajah orang itu. Seorang anak muda yang men-
genakan pakaian bulu binatang, Wintara!
Wintara membantu Umbara Komang bangkit
berdiri. Kedua matanya tertuju pada seorang yang
berkulit hitam dengan rambut yang kusut tak terurus.
Alisnya mengernyit.
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha... Untung ada dewa peno-
long! Ayo siluman jahat tangkap aku kalau berani...
Ha-ha-ha-ha-ha...!" Umbara Komang tertawa di samping Wintara. Wadak Keling
menatap anak muda itu.
"Siluman jahat tidak mungkin berani terhadap
dewa...! Kalau berani melawan bisa kuwalat!" celoteh Umbara Komang. Wintara
sudah menyadari kalau
orang yang berdiri di sampingnya adalah orang yang
rada kurang beres otaknya. Namun begitu Wintara per-
lu melindunginya. Karena sejak tadi
Wintara sudah melihat penganiayaan Wadak
Keling terhadap Umbara Komang. Sekarang ia melihat
Wadak Keling berdiri angkuh.
"Anak muda jangan mencampuri urusan ku...
Lebih baik menyingkirlah! Orang gila itu salah satu
anggota keluargaku, aku harap kau mau mengerti...!"
"Bohong! Dia bukan anggota keluarga! Dia si-
luman jahat yang mau membawa diriku ke neraka!
Aku tidak mau...! Aku tidak mauuuu!"
"Umbara Komang! Ayo kembali!" bentak Wadak Keling. Lengannya siap menghantam.
Sebelum hantaman itu mengena... "Plaak!" Wintara menepis dengan tangan kirinya.
Wadak Keling melotot. Lengannya tadi memutar menyerang Wintara... "Weeees!"
Wintara menggeser tubuhnya.
"Sudah kubilang kau tidak perlu ikut campur!"
Wadak Keling melancarkan tendangan. Wintara me-
nyambut dengan kakinya pula. Tendangan mereka be-
radu. Wadak Keling menahan sakit.
"Kalau dia anggota keluargamu tidak mungkin
kau menganiaya, sobat!" jawab Wintara mengangkat tangannya menangkis serangan
Wadak Keling yang
kian membabi buta. Kedua lengan hitam itu berkelebat menyilang mengarah ke
bagian kepala. Hanya dengan
memutar lengannya, Wintara dapat menggeser kedua
lengan hitam itu sampai melesat ke samping.
Melihat itu Umbara Komang berjingkrak-
jingkrak kegirangan. Mimiknya bagaikan bayi. Apalagi saat Wintara berhasil
menghantam perut Wadak Keling... "Bug!" Meskipun tidak keras tapi tubuh hitam
itu mundur seloyongan. Umbara Komang ngakak tidak
kepalang tanggung.
"Hua-ha-ha-ha-ha... Mana ada siluman jahat
mengalahkan dewa..." Kau bakal mampus siluman ja-
hat! Kau akan tertimbun oleh langit dan awan! Ha-ha-
ha-ha..." Wajah hitam Wadak Keling makin kelam diper-
lakukan begitu oleh Wintara. Maka sebelum ia melan-
carkan serangannya lagi, ia menghimpun tenaganya.
Dari mulutnya terdengar raungan yang sangat hebat.
Wintara mundur selangkah. Umbara Komang nampak
menutup kedua telinga dengan kedua telapak tangan-
nya. Sesaat kemudian Wadak Keling melompat sam-
bil lengannya menyambar. Wintara yang bermata jeli
langsung menepis sambaran tangan itu, tapi ia tidak
dapat mengelakkan serangan lengan lainnya... "Bug!"
Menghantam telak di punggung. Wintara hampir ter-
sungkur. Hantaman itu sangat keras, punggungnya
seperti berdenyut.
Wintara berusaha berdiri tegar sambil mengge-
rak-gerakkan punggungnya yang masih berdenyut.
Matanya menatap mengawasi setiap gerakan Wadak
Keling. Tubuh hitam itu maju lagi menyerang, sebelum ia melancarkan
tendangannya, jotosannya bergerak
maju... "Wes!" Wintara melesat ke atas berputar di udara dengan kaki ke atas.
Sebelah lengannya menangkis jotosan Wadak Keling. Namun tubuh hitam itu
menyambut lagi dengan tendangannya yang berputar
dua kali mengarah kepada Wintara yang masih bersal-
to di udara... "Bwet...! Bwet!" Dua tendangan yang berturut-turut itu mengenai tempat yang
kosong. Dan ketika Wintara menginjakkan kakinya ke
tanah, ia mendorong telapak tangannya kuat-kuat.
Wadak Keling tidak sempat lagi menghindar...
"Deeeees!" Tepat menghantam tenggorokannya.


Pendekar Kelana Sakti 5 Jago Jago Rogo Jembangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sosok hitam itu pun memekik keras. Pernafasannya
seperti putus. Sebentar kemudian ia menyeringai sa-
dis. Wintara yang berdiri di hadapannya cepat merun-
duk saat Wadak Keling menubruk dengan serentetan
hantaman. Dalam keadaan seperti itu, sebelah kaki
Wintara menyabet memutar bagian bawah...
"Plaaak!" Tak urung lagi tubuh hitam itu terpelanting. Namun sebelum Wadak
Keling terbanting ke
tanah, ia sempat menghantam Wintara dengan kedua
kakinya... "Bug...!Bug!" Wintara sendiri yang akhirnya terpelanting hebat.
Wintara menyeka darah yang mulai mengalir dari lubang hidungnya. Ia baru
menyadari lawan yang dihadapi ini tidak boleh dianggap remeh.
Wadak Keling masih tetap berdiri. Sebelah kakinya
nampak gemetar menahan sakit akibat sapuan kaki
Wintara tadi. Ia bergeser ke kiri, kaki yang gemetar itu terasa seperti kaku.
Wintara sudah menduga paling tidak tulang keringnya patah. Meskipun begitu Wadak
Keling masih bernafsu untuk melancarkan serangan
berikutnya. Dengan tenang Wintara menyambut se-
rangan itu. Jotosannya tahu-tahu menghantam ulu
hati. Wadak Keling ambruk celentang tanpa mengelua-
rkan suara. Wintara membiarkan tubuh hitam itu ter-
geletak. Ia sendiri beranjak mendekati Umbara Ko-
mang yang menutupi wajahnya dengan kedua telapak
tangannya. Wintara merasa ingin tertawa melihat tingkah
Umbara Komang yang sangat aneh itu. Sewaktu mere-
ka berhadapan, Umbara Komang cepat menyelinap ke
balik pohon. Tapi sebentar-sebentar ia melongok melihat Wintara yang masih
berdiri di situ. Wintara tersenyum. Tanpa perduli ia melangkah meninggalkan Um-
bara Komang yang sembunyi di balik pohon.
Setelah Wintara berjalan agak jauh, barulah
Umbara Komang berani keluar. Dengan perlahan ia
melangkah ke arah tubuh hitam yang terlentang di ta-
nah. Dilihatnya sosok hitam itu masih bernafas,
meskipun perlahan... Maka...
"Dewaaaaa...! Siluman jahat masih hidup... Aku
takut! Dewaaaaa... Tungguuuu!" Umbara Komang ber-
lari menyusul kepergian Wintara. Larinya yang begitu cepat hampir menabrak
Wintara yang berjalan tenang.
"Ada apa lagi...?" tanya Wintara. "Siluman itu masih hidup...! Siluman itu harus
dilemparkan ke dalam api yang sangat panas... Jangan dibiarkan hidup di surga!"
"Kau ini bicara apa, sobat..." Aku memang ti-
dak membunuhnya, hanya membuat dia jera agar ti-
dak berbuat sewenang-wenang lagi terhadap kamu..."
jawab Wintara sambil melangkah. Umbara Komang
mengikuti. "Kalau begitu langit bakal runtuh, bumi bakal
goncang! Lihat saja nanti... Sayang aku bukan silu-
man...!" Kata Umbara Komang ngawur. Wintara hanya tersenyum. Mereka berjalan
beriringan. Mereka berdua makin jauh melangkah. Menuju
ke perbukitan yang nampak subur. Arus kali terdengar menderu-deru menerjang
bebatuan yang menonjol di
permukaan air. Dari kejauhan nampak kali itu berliku-liku menuju sebuah jeram.
"Dewa... coba dengar suara itu.. Itu tandanya
langit akan runtuh dan bumi akal berguncang... Apa-
kah kau tidak takut?"
"Itu suara arus air yang deras! Kau pikir itu suara apa!" jawab Wintara.
"Apakah kau pernah melihat air?" kata Wintara lagi. Umbara Komang menggeleng
Lalu... "Apakah air itu jenis siluman yang jahat?"
tanya Umbara Komang seakan betul-betul tidak men-
gerti.. Parah! Parah sekali gilanya, pikir Wintara. Terhadap air saja ia tidak
mengenalnya. Semua yang dilihatnya dianggap siluman. Malang benar dia. Lelaki
se-tegar ini mesti kehilangan ingatan. Cacat sejak lahir-kah" Atau...
Wintara sengaja mengajak Umbara Komang
menuju kali yang mengalirkan airnya dengan deras. Di situ ia akan memperkenalkan
apa yang disebut air.
Mungkin dengan cara itu ia bisa membedakan siluman
dengan apa saja yang selama ini dianggap siluman.
Seperti anak kecil, Umbara Komang mengikuti langkah
Wintara. Makin lama makin terdengar jelas suara air
menderu-deru. Wintara sengaja pula berjalan lebih du-lu, sebab ia yakin laki-
laki berpenyakit saraf ini pasti mengikuti. Dugaan Wintara tidak meleset.
Mendadak Wintara berlari... Umbara Komang dengan spontan
ikut berlari mengejarnya.
* ** 7 Sampai di tepi kali, Wintara melompat ke atas
batu yang cukup besar di tengah permukaan air yang
mengalir deras. Batu-batu di situ banyak sekali menghampar Umbara Komang berdiri
menatap Wintara. Ia
gemetar mendengar suara arus air.
"Tunggu saja di situ, aku akan mencari sesuatu
yang bisa untuk dijadikan pengisi perut..." seru Wintara. Umbara Komang tetap
diam, lalu ia duduk bersila
di pinggiran kali.
"Tentunya kau pun lapar, bukan?" kata Winta-ra lagi. Kedua matanya tertuju ke
bawah. Menatap riak air yang begitu bening. Kemudian ia turun ke dalam
air. Kali itu tidak dalam dan juga tidak berlumpur. Di dasarnya banyak
berserakan batu-batu kerikil.
Kedalaman kali itu hanya sebatas pinggang.
Umbara Komang termangu menatapnya, sebenarnya ia
ingin sekali ikut menyeburkan diri ke kali itu. Tapi ia takut sekali dengan
suara air yang menderu bagaikan
guntur di siang bolong.
Wintara menarik nafas. Kedua lengannya te-
rangkat ke atas saat ia melihat beberapa ekor ikan
berseliweran di sekitar kakinya. Lalu dengan cepat sekali kedua tangan itu masuk
ke dalam air... Permu-
kaan air menciprat ke atas membasahi muka Wintara
saat kedua lengannya masuk menangkap ikan-ikan
itu. Umbara Komang berseri ketika Wintara mengang-
kat kedua lengannya berhasil menangkap dua ekor
ikan sekaligus.
"Hari ini kita makan besar, sobat! Nah, tangkap ini... Ikan-ikan di sini masih
banyak." ujar Wintara sambil melemparkan ikan-ikan itu ke pinggiran kali.
Umbara Komang langsung bangkit memunguti ikan-
ikan yang menggelepar-gelepar di tanah berbatu. Bu-
kan main senangnya Umbara Komang menangkapi
ikan-ikan itu. "Ha-ha-ha-ha...!" Wintara tertawa melihat keto-lolan Umbara Komang. Dari tadi ia
belum juga dapat
menangkap ikan-ikan itu. Wintara membiarkannya,
kembali ia mengawasi sekitar kakinya. Ikan-ikan di si-tu memang banyak, dan juga
cukup besar-besar. Dan
di saat Wintara berhasil menangkap ikan lagi, ia mendengar sesuatu... "Byuuuur!"
Cepat Wintara menoleh.
Ternyata Umbara Komang terjun masuk ke kali. Kedua
lengannya menyusup ke dalam air. Seluruh pakaian-
nya telah basah kuyup.
"Siluman-siluman kecil itu melarikan diri... Itu dia! Ha-ha-ha... Jangan harap
kau bisa lolos dariku..."
teriak Umbara ketika melihat dua ekor ikan berenang
cepat di air. Air yang menggenang sebatas pinggang tidak diperdulikan. Langkah-
langkahnya yang cepat di-
bantu arus air mengejar ke mana ikan-ikan itu bere-
nang. Wintara menggelengkan kepala, ia melempar-
kan dua ekor ikan lagi ke tepi kali. Kembali pandan-
gannya mengarah ke bawah mengawasi sekitar ka-
kinya. Kedua kakinya menahan kuat arus air yang
makin lama makin kencang mendorong tubuhnya. Se-
saat kemudian ia tersentak kaget. Ada sesuatu yang ia lupakan. Pandangannya
menoleh cepat ke arah Umbara Komang. Astaga! Ia memekik. Dilihatnya Umbara
Komang sudah berada jauh darinya. Meskipun air
hanya menelan sebatas pinggang, namun arusnya
yang demikian kencang mampu membawa tubuh Um-
bara Komang yang masih bersorak-sorak kegirangan.
Ia tidak tahu sama sekali bahaya yang ada di depan.
Kurang lebih lima tombak lagi sebuah jeram
menganga siap menelan tubuh Umbara Komang. Um-
bara Komang sendiri tidak menyadari kalau tubuhnya
sudah terbawa jauh oleh arus air. Wintara jadi kalap.
Ia melesat cepat dan melompat berkali-kali untuk
mencapai Umbara Komang. Ia melompati tiap-tiap ba-
tu yang ada di permukaan air. Untuk menyelamatkan
Umbara Komang sudah tidak mungkin lagi. Wintara
benar-benar putus asa. Apalagi ketika dilihatnya tu-
buh Umbara Komang berdiri tepat di tepi jeram yang
menerjunkan airnya ke dasar yang sangat tinggi.
"Sobat gila...!" Wintara memekik saat Umbara Komang ikut jatuh ke dasar jurang
bersama air yang
membawanya. Harapannya telah putus. Ia sudah
membayangkan sesuatu yang bakal terjadi terhadap
sahabatnya. Dan sudah membayangkan pula batu-
batu cadas yang siap menyambutnya di dasar jurang
sana. Wintara terdiam kaku. Tubuhnya tidak bergem-
ing melawan arus. Manakala suara air yang jatuh ke
dasar jeram terdengar bergemuruh menakutkan.
"Maaf, sobat... Aku tidak dapat menyelamatkan mu! A-aku sendiri tidak berani
membayangkan apa yang ter-
jadi atas dirimu di sana...! Semoga saja kau dapat te...
Hah"! ucapan Wintara terputus. Kedua matanya terbe-
lalak seakan tidak percaya dengan penglihatannya
sendiri. Sosok tubuh Umbara Komang melesat ke atas
dari dasar jeram tanpa luka sedikit pun. Tubuh itu terus melesat ke atas. Lalu
ia hinggap tepat di bibir jeram yang masih menerjunkan airnya dengan deras.
Umbara Komang berlari melawan arus meski-
pun air menelannya sebatas pinggang. Arus air tidak
berpengaruh sama sekali, gerak larinya nampak seper-
ti biasa. Kedua lengannya mengacung-ngacung ke
atas. Dua telapak tangannya menggenggam dua ekor
ikan. "Sudah kubilang, Dewa! Siluman-siluman kecil ini pasti kudapat kembali!
Lihat ini!" Umbara Komang menunjukkan dua ekor dalam genggamannya kepada
Wintara yang masih terlolong menatap kedatangan la-
ki-laki itu. "Kau tidak apa-apa, sobat?" tanya Wintara pe-nasaran. Ikan-ikan dalam
genggamannya terlepas.
Membiarkan ikan-ikan itu bebas berenang.
"Siluman air ternyata tidak sejahat siluman hi-
tam! Cakar-cakarannya yang lembut melempar diriku
ke atas kembali..." kata Umbara Komang sambil mem-peragakan dengan tangannya.
Wintara tidak percaya
dengan apa yang dibicarakan Umbara Komang. Men-
gapa tiba-tiba saja tubuhnya dapat melesat ke atas, tidak tahukah kalau dirinya
sudah merasa khawatir se-
tengah mati..." Mungkinkah ada orang yang kebetulan
menyelamatkan di dasar jeram sana" Rasanya tidak
mungkin! Wintara dapat melihat jelas saat Umbara
Komang hinggap di tepi jurang. Jelas itu perbuatannya sendiri. Siapa pun tidak
ada yang menyelamatkan di
bawah sana! Gerakannya tadi cukup membuktikan
bahwa Umbara Komang memiliki ilmu peringan tubuh
yang sangat sempurna. Hanya saja dia tidak menyada-
ri! Itu pendapat Wintara. Tanpa banyak bicara Wintara melesat ke tepi kali.
Kedua kakinya hinggap di tanah berbatu tanpa mengeluarkan suara.
Wintara berharap Umbara Komang mengikuti
gerakannya. Ia ingin melihat lagi kesempurnaan ilmu
peringan tubuh yang di miliki Umbara Komang. Na-
mun Wintara sangat kecewa sekali, Umbara Komang
hanya melemparkan ikan-ikannya kemudian ia me-
langkah perlahan ke pinggir dengan sangat hati-hati
sekali. Susah payah ia mencapai pinggiran kali. Arus yang begitu kuat membuat
gerakan Umbara Komang
semakin lamban.
Kedua lengannya menjulur. Wintara memban-
tu menarik tubuh itu ke atas pinggiran kali. Ia tidak merasa kedinginan walaupun
seluruh bajunya telah
basah. Sekarang ia membantu Wintara mengumpulkan
ikan-ikan yang menggelepar-gelepar di tanah. Sekali
pun tidak pernah berhasil. Wintara cukup senang
akan sifat kegotong royongannya.
Wintara sempat melirik ke arah Umbara Ko-
mang yang susah payah menangkap ikan-ikannya.
Wintara pun pura-pura merasa kesulitan di hadapan
Umbara Komang. Dengan sengaja ia melepaskan see-
kor ikan dengan sikap seolah-olah ikan itu terlepas.
Ikan itu mencelat ke atas dan bakal jatuh ke dalam
kali. Umbara Komang yang melihatnya langsung
menghentakkan kakinya, maka tubuh Umbara Ko-
mang melesat ke arah ikan itu yang hampir nyemplung
ke air. Dengan gerakan yang di luar kesadarannya,
Umbara Komang dapat menangkap ikan itu kembali.
Lalu kedua kakinya menghentak dari atas batu besar
yang ada di permukaan air. Tubuhnya melesat berpu-
tar di udara. Kemudian turun tepat di hadapan
Wintara. Umbara Komang menyerahkan ikan
itu padanya. "Dewa kurang berhati-hati... Siluman kecil san-
gat licin dan mudah terlepas!" ujar Umbara Komang.
"Cukup, sobat. Kau tidak perlu lagi menyem-
bunyikan dirimu! Sekarang katakan siapa dirimu yang
sebenarnya...!" tanya Wintara setengah membentak.
"Orang lain tak ada yang tahu siapa aku... He-
he-he-he...!" jawabnya sambil tertawa. Wintara menunggu kata-kata itu, tapi
Umbara Komang tidak me-
lanjutkannya. "Yah orang lain tak boleh tahu, kecuali aku,
bukan?" kata Wintara lagi.
"Ya... ya... Hanya dewa yang boleh tahu...! De-wa lihat sendiri... miripkah aku
seperti siluman...?"
Wintara diam mendengar jawaban yang mulai
kacau. Umbara Komang mundur, lalu...
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha..." Tiba-tiba Umbara Komang tertawa ngakak.
"Bagaimana aku tahu siapa diriku" Dewa tidak
tahu... Orang lain tidak ada yang tahu... Aku ini seekor siluman, hanya sayang


Pendekar Kelana Sakti 5 Jago Jago Rogo Jembangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum jadi!" Umbara ngoceh.
"Kau bukan siluman!" bentak Wintara.
"Tidak! Aku siluman! Aku ingin jadi siluman!"
Umbara Komang tidak kalah membentak.
Wintara geram. Tinjunya melayang menghan-
tam sebuah batu di bawah kakinya. Batu itu hancur
sampai mengeluarkan percikan api. Rumput-rumput
kering yang bertebaran di situ ikut terbakar. Wintara
menambahkannya dengan ranting kayu. Membuat api
itu makin besar bagai api unggun.
* ** 8 Tubuh hitam itu mengejang kejang saat Ki
Rondo Mayit membalut luka di sekitar tulang kering-
nya. Ia sengaja menahan jeritannya agar tidak keluar dari mulutnya. Kalau saja
Ki Rondo Mayit tidak menahannya kuat-kuat, mungkin Wadak Keling sudah me-
ronta-ronta. "Tulang yang patah ini sudah ku sambung,
Wadak Keling! Tapi kau jangan banyak berjalan du-
lu..." pesan Ki Rondo Mayit. Wadak Keling meringis meskipun rasa sakitnya sudah
berkurang. Luka-lukanya nampak merembeskan darah ke kain pemba-
lut yang melilit di betisnya.
"Soal kaburnya Umbara Komang lupakan saja,
ia sudah tidak berarti apa-apa bagi kita... Toh dia sudah gila! Mana mungkin dia
bisa menceritakan kegia-
tan kita di sini!" tutur Ki Rondo Mayit. Wadak Keling mencoba turun dari kursi.
Bahkan ia mencoba bangkit
berdiri. Sungguh ajaib! Tulang keringnya yang patah
sudah tidak terasa apa-apa.
Ki Rondo Mayit meninggalkan Wadak Keling
yang masih mencoba melangkahkan kakinya dengan
berjalan-jalan di sekitar ruangan itu. Lelaki berambut putih kusut itu tersenyum
menatap sosok tubuh yang
terlentang telanjang dada di atas balai. Laku-laki itu melangkah mendekatinya.
Tubuh yang terlentang itu
masih berlumuran cairan berwarna hijau. Nafasnya te-
ratur naik turun. Dua kelopak matanya nampak berge-
tar. Perlahan sekali ia membuka matanya. Samar-
samar ia melihat sosok tubuh berambut putih kusut
berdiri di sampingnya. Lama kelamaan sosok tua itu
nampak jelas. "A-a-ayah..." Suaranya keluar pelan dan hampir tidak kedengaran. Ia mencoba
bangkit dengan sebelah
telapak tangannya memegangi tenggorokan yang terba-
lut terasa sakit. Lelaki berambut putih kusut itu langsung membantu tubuh
anaknya duduk bersandar pa-
da dinding batu di atas balai. "A-ayah...."
"Aku masih mendengar suaramu, Bala
Tlenges...! Maafkan ayah, Nak! Bukan maksud ayah
menyuruh mereka menganiaya dirimu!" kata Ki Rondo Mayit sambil menunjuk ke arah
dua buah peti yang
bersandar pada dinding batu. Mata Bala Tlenges mena-
tap ke situ. Melihat dua sosok tubuh pucat biru berdiri seakan tidur. Bala
Tlenges langsung melompat dari
atas balai. Langkahnya yang cepat meluruk ke situ
dengan kedua lengan yang siap menghantam. Ki Ron-
do Mayit cepat pula menyambar tubuh yang berlumu-
ran cairan hijau...
"Sabar, Bala Tlenges...! Semua memang salah-
ku! Tapi ini terjadi di luar perkiraan! Mereka cuma
mayat-mayat. Kau hancurkan dia tak akan melawan...!
Sabarlah dan tahan emosi mu, Bala Tlenges!" Ki Rondo Mayit merangkul tubuh Bala
Tlenges. Bala Tlenges tak dapat bergerak lagi. Nafasnya kian memburu menahan
amarah yang meluap-luap setelah melihat kedua sosok
yang telah melukai dirinya. Namun dua sosok tubuh
itu tetap diam berdiri dalam dua buah peti.
"Mereka tak dapat berbuat sesuatu tanpa ayah
mengendalikannya! Dan aku tidak mengira kalau kau
ada di perkampungan kecil itu sewaktu mencoba me-
reka...!" Bala Tlenges masih menatap garang ke arah dua sosok dalam peti. Ingin
rasanya ia menghancur
lumatkan tubuh mereka. Tapi amarahnya cepat mere-
da setelah sang ayah menjelaskannya.
"Luka-lukamu akan segera sembuh! Dan tak
lama lagi kita akan menguasai tanah Rogojembangan
ini! Percayalah, kedua mayat itu pasti dapat membantu banyak." Bala Tlenges
masih ingat akan kehebatan kedua mayat hidup itu sewaktu ia menghadapinya di se-
buah perkampungan terpencil. Tindakan kedua mayat
itu lebih keji dari apa yang pernah dilakukannya. Bahkan lebih dahsyat! Mereka
tidak pandang bulu dalam
membunuh. Betul-betul berdarah dingin.
"Untuk menguasai tanah Rogojembangan ini,
kita harus memusnahkan dahulu Raden Mas Kinanjar
Swantaka. Dia satu-satunya orang sangat berpengaruh
dan memiliki banyak anak buah yang berilmu tinggi...
Itulah sebabnya aku memilih mereka, kedua mayat hi-
dup itu untuk membantumu...."
"Bagaimana aku bisa menguasai mereka,
Ayah!" Bala Tlenges mulai tertarik dengan ucapan Ki Rondo Mayit.
"Untuk menguasainya kau tak mungkin bisa.
Aku yang mengendalikannya dan sini... Tapi kau tak
usah khawatir akan mereka. Mereka tidak akan men-
gulangi perbuatannya, karena ajian anti pati mayit telah meresap ke dalam
tubuhmu. Bahkan kau akan le-
bih cepat menjatuhkan orang-orang pilihan Raden Mas
Kinanjar Swantaka." jawab Ki Rondo Mayit.
"Mengapa ayah memilih kedua mayat yang
hampir busuk itu" Apakah tidak ada manusia biasa
yang berilmu tinggi untuk membantu kita?"
"Di tanah Rogojembangan ini mana ada orang-
orang berilmu tinggi dari golongan hitam. Kecuali ki-ta...! Untuk itulah aku
memilih kalian berempat men-
jadi Jago-jago Rogojembangan, termasuk Wadak Keling
dan kedua mayat itu. Kalian berempat harus bersatu
menghancurkan kekuatan Raden Mas Kinanjar Swan-
taka!" "Aku berjanji, Ayah...! Kita harus menjadi pen-guasa Rogojembangan!" kata Bala Tlenges penuh
semangat. Wadak Keling sudah berdiri dekat mereka.
Wajah hitamnya menyeringai menakutkan membuat
Bala Tlenges tambah semangat!
"Untuk sekarang ini kalian tidak perlu keluar!
Suasana masih kacau. Aku yakin kematian tiga orang
pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka pasti menggem-
parkan pesanggrahan! Beliau pasti mengerahkan
orang-orangnya untuk mencari pembunuh mereka.
Dalam hal ini sudah tentu Bala Tlenges menjadi kamb-
ing hitam. Karena sebelumnya kau memang seorang
pengacau yang selalu membunuh!"
"Itu lebih bagus! Biar mereka semua mencari
aku. Memang dari dulu aku bersumpah akan memba-
suh kedua lenganku ini dengan darah mereka!" kata Bala Tlenges.
"Ha-ha-ha-ha... Bagus! Bagus! Kau memang
anakku. Dalam bertindak memang harus demikian!
Jangan tanggung-tanggung! ujar Ki Rondo Mayit.
Ki Rondo Mayit melangkah ke samping meja.
Lalu ia membereskan peralatannya yang berantakan.
Dua buah pendupaan dibiarkan berada di tengah-
tengah meja. Begitu juga dengan dua buah boneka dari sabut kelapa. Keduanya
tergeletak masing-masing di
depan pendupaan itu. Selembar batang anak lidi ikut
tergeletak di samping meja.
Bala Tlenges maupun Wadak Keling sudah ti-
dak heran lagi dengan isi yang ada di atas meja. Se-
muanya itu memang peralatan milik Ki Rondo Mayit.
Dan mereka tidak berani menyentuhnya meskipun
dengan maksud untuk membereskan atau membersih-
kannya dari debu dan sarang laba-laba yang menyelu-
bungi semua peralatan itu.
Lagi pula Ki Rondo Mayit tidak pernah menyu-
ruhnya. Bahkan tidak ingin sama sekali benda-benda
miliknya disentuh orang. Sekalipun oleh Bala Tlenges anaknya. Untuk Wadak
Keling, ia jarang memasuki
ruangan itu kalau bukan diperintah atau dipanggil.
Kalau bukan karena luka tidak mungkin Wadak Keling
akan berada lama dalam ruangan khusus Ki Rondo
Mayit. Seperti halnya siang itu.
Ruangan itu kembali sepi saat Wadak Keling
meninggalkan ruangan itu, Ki Rondo Mayit masih si-
buk membenahi mejanya. Bala Tlenges kembali naik
ke atas balai. Ia tidak lagi tidur terlentang tapi duduk bersila. Tubuhnya masih
berlumuran cairan hijau yang mulai menghilang terhapus oleh keringat.
Tenggorokannya yang robek telah terbalut dengan sobekan kain usang. Darah merah
masih merembes dari situ. Tapi ia tidak merasakan sakit sama sekali. Kedua
lengannya yang juga dilumuri cairan hijau bergerak-gerak memu-
tar bergantian. Menarik nafas dalam-dalam kemudian
dihembuskan perlahan. Begitu seterusnya berulang-
ulang. "Sungguh cerdik! Dengan mengatur nafas, lu-ka-lukamu akan cepat pulih!"
kata Ki Rondo Mayit setelah merapikan meja kerjanya. Lalu ia melangkah
mendekati Bala Tlenges. Ia pun naik ke atas balai dan duduk bersila di belakang
anaknya yang mengatur
pernafasannya. "Kalau saja kau tidak memakai ikat pinggang-
mu, kau sudah tewas, Anakku...!" bisik Ki Rondo Mayit perlahan sambil
menjulurkan kedua telapak tangannya ke punggung Bala Tlenges. Terasa sekali
kedua telapak tangan itu panas ketika menyentuh punggung-
nya. "Tahan. Tenaga dalammu akan ku jernihkan..."
bisiknya lagi. Bala Tlenges menganggukkan kepala.
Namun bibirnya menyeringai menahan sakit yang luar
biasa. Keduanya sama-sama duduk bersila tak berge-
rak. Rambut putih kusut Ki Rondo mengeluarkan
asap hitam mengepul ke atas, Penyaluran tenaga da-
lam terus berlangsung. Tubuh Bala Tlenges mengu-
curkan keringat yang begitu deras membuat cairan hi-
jau itu luntur di tubuhnya.
Ada sesuatu yang membuat Ki Rondo Mayit
berlega hati. Semula ia menduga Bala Tlenges anaknya akan cacat bisu atau tidak
dapat mengeluarkan suara
karena tenggorokannya robek. Tapi ternyata tidak.
Mungkin karena balutan di lehernya yang menyumbat
luka robekan itu. Namun Ki Rondo Mayit tetap menye-
sali akibat ulahnya yang di luar perkiraannya. Kalau saja Bala Tlenges tidak ada
di kampung terpencil itu, tidak akan terjadi hal yang seperti ini.
* ** 9 Lolongan serigala di atas bukit membuat dua
orang peronda malam berhenti berbicara. Keduanya
saling pandang menunjukkan rasa ngeri. Suara
jangkrik ikut pula membisingkan suasana malam itu.
Bulan yang bersinar penuh, mengambang di balik bu-
kit di mana di atasnya bertengger beberapa ekor serigala yang melolongkan suara
panjang mengerikan.
Udara berhembus makin dingin menyengat ku-
lit. Dan saat serigala-serigala itu melolong kembali, bu-lu kuduk mereka
berdiri. Salah seorang dari mereka
membetulkan kain sarung yang menutupi tubuhnya
sebagai penahan dingin. Satu lagi mengeluarkan se-
bungkus daun bakau. Setelah melinting daun bakau
itu, ia menyulutnya.
Tanpa ditawari orang yang berkerudung kain
sarung itu menyambar bungkusan daun bakau yang
tergeletak di atas balai. Ia pun melakukan hal yang
sama seperti temannya.
Rumah-rumah penduduk nampak sunyi di te-
rangi pelita yang berkelap kelip sejak sore tadi. Sesekali terdengar pula
tangisan bayi yang terjaga dari tidur-nya. Sesaat kemudian tangisan itu lenyap.
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 9 Tugas Rahasia Karya Gan K H Lentera Maut 4
^