Pencarian

Kemelut Di Karang Galuh 1

Pendekar Gila 23 Kemelut Di Karang Galuh Bagian 1


KEMELUT DI KARANG GALUH
Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Firman R Serial Pendekar Gila
dalam episode 23:
Kemelut di Karang Galuh
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Senja itu cuaca tampak mendung. Kesunyian menyelimuti daerah sekitar Hutan
Merawan. Angin yang menerpa dedaunan menimbulkan suara gemerisik. Di mana-mana
tampak dedaunan kering berserakan. Langit gelap. Suasana kian mencekam ketika
beberakali terdengar suara guntur menggelegar, diiringi kilat-kilat petir yang
menyambar. Pada sebuah tanah yang agak lapang di dalam hutan itu tampak seorang pemuda
sedang bersila menghadapi dua buah kuburan yang nisannya nampak sudah rusak.
Pemuda itu nampak sedang tepekur, wajahnya penuh kesedihan. Matanya menatapi
kedua kuburan itu. Wajah pemuda itu belum begitu jelas, karena kepalanya yang
masih tertunduk.
Namun dilihat dari pakaian yang dikenakannya, tak salah lagi, pemuda itu adalah
Sena Manggala atau yang dikenal dengan julukan Pendekar Gila.
Kini Sena tampak bersujud di samping kuburan itu. Ternyata itulah kuburan tempat
kedua orangtuanya bersemayam. Dalam hatinya pemuda itu meminta restu dan
kekuatan serta keselamatan dalam menjalankan tugas kehidupan sebagai pendekar
yang bertanggung jawab menegakkan kebenaran dan keadilan.
"Maafkan anakmu ini, Ayah, Ibu...! Karena baru kali ini aku bisa datang kemari,"
gumam Sena perlahan dengan perasaan sedih. Pendekar muda berwajah tampan itu
sepertinya berat untuk segera meninggalkan tempat itu, walaupun sudah hampir
setengah hari dirinya bersila di samping kuburan kedua orang-tuanya. Seakan-akan
tak dipedulikannya malam yang hampir tiba. Kalau saja tak ingat akan tugasnya
yang masih perlu diselesaikan, mungkin Sena tak akan beranjak dari tempat itu.
Perlahan-lahan Sena mulai berdiri. Namun matanya tak lepas, terus menatap kedua
kuburan itu. Sampai akhirnya ia berdiri tegak.
"Kalau saja kedua orangtuaku masih hidup, alangkah bahagianya aku. Ayah, Ibu,
lindungi dan berilah kekuatan pada anakmu ini!" ujar Sena dalam hati. Kemudian
ditariknya napas dalam-dalam.
Sementara itu langit mulai gelap. Petir sebentar-sebentar menyambar permukaan
bumi. Suaranya keras menyakitkan telinga. Angin pun semakin kencang tertiup
menerpa dedaunan pohon dan wajah Sena. Rambutnya yang panjang sebahu tersapu
angin, hingga sebagian menutupi wajah Sena. Namun pemuda berompi kulit ular itu
membiarkannya. Matanya terus memandangi kedua nisan itu.
"Aku pergi dulu, Ayah, Ibu...," ucap Sena pelan sekali.
Kemudian tubuhnya melesat pergi, bagai burung elang terbang ke udara. Rupanya
Sena mengerahkan ilmu lari 'Sapta Bayu'. Hingga dalam waktu singkat pendekar
muda itu sudah berada di luar Hutan Merawan.
Di sebuah dataran luas yang sunyi Sena berjalan cepat ke arah timur. Saat itu
malam pun mulai tiba.
Terpaksa Sena harus mencari tempat untuk bermalam. Langkahnya semakin dipercepat
agar segera sampai di desa terdekat.
Malam makin sunyi dan sepi. Tidak ada seorang manusia pun yang berjalan di malam
itu, kecuali Sena. Ketika Sena sampai di suatu jalan lurus yang di kanan kirinya terbentang sawah
yang luas, hati Sena sedikit lega karena merasa yakin sudah dekat dengan daerah
pedesaan. Sena memang merasa masih asing dengan daerah itu. Karena ketika dirinya datang
mengunjungi kuburan orangtuanya, dia datang dari arah barat, Dan karena ingin
melanjutkan petualangan ke timur Pulau Jawa maka Sena lewat jalan yang belum
pernah dilaluinya.
"Kurasa tak jauh lagi di depan sana ada desa,"
gumam Sena dalam hati.
Pemuda gagah itu terus melangkahkan kakinya dengan mantap dan lebih cepat lagi.
*** Sena masih melangkah menyelusuri jalan
pematang sawah, ketika tiba-tiba ada sosok bayangan berkelebat di depan matanya.
Karena suasana malam gelap, bayangan itu hanya nampak hitam. Sena menghentikan
langkahnya. Matanya memandang ke sekeliling mencoba mengawasi keadaan. Begitu
pula telinganya, dipasang untuk mendengar. Namun sesaat kemudian pemuda berambut
gondrong itu kembali mengayunkan langkah dengan mantap. Matanya memandang lurus
ke depan, seakan tak menghiraukan apa pun yang baru saja dilihatnya.
Ketika sampai perempatan jalan menuju desa, tiba-tiba matanya melihat lagi dua
sosok bayangan berkelebat. Namun, Sena tetap tenang tak menanggapi sedikit pun.
Kakinya terus melangkah
dengan mantap. Tangannya mulai menggaruk-garuk kepala dan mulutnya tersenyum-
senyum cengengesan.
"Hi hi hi...!"
Sena mengambil jalan yang ke kanan. Di kanan-kiri sepanjang jalan itu ditumbuhi
pepohonan rindang dan semak belukar.
"Berhenti...!"
Suara bentakan keras tiba-tiba terdengar, disusul kemunculan dua sosok bayangan
menghadang di depan Sena.
Sena berhenti. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan. Kilatan
petir sekejap menerangi tempat itu. Saat itu Sena dapat melihat kedua orang yang
berdiri lima tombak di hadapannya.
Wajah mereka seperti kera. Sedangkan pakaian keduanya serba hitam dengan ikat
pinggang merah.
Rambut mereka terurai panjang melewati bahu.
Kedua sosok berwajah kera itu tampak memegang golok bergigi seperti gergaji di
ujungnya. "Hah"! Manusia kera...!" gumam Sena setelah sempat mengamati kedua penghadang
itu sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Dua penghadang itu dikenal dengan nama
'Sepasang Manusia Kera' yang ditakuti orang-orang Kadipaten Singa Raja dan para
tuan tanah. "Apa maksud tujuanmu memasuki daerah ini?"
tanya salah seorang dari mereka yang bertubuh agak tinggi.
"Hi hi hi...! Aku hanya ingin lewat, Kisanak," jawab Sena dengan cengengesan,
"Kalau boleh tahu, apa nama desa ini?"
"Bohong! Apa maksud tujuanmu" Untuk apa kau datang kemari"! jawab!" bentak yang
lebih pendek. Suaranya lebih kasar dan keras.
"Hi hi hi lucu sekali! Bukankah sudah kukatakan, aku hanya ingin lewat. Aku tak
punya maksud lain,"
jawab Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Melihat sikap Sena
itu, orang yang bertanya menjadi geram, dan ingin segera menyerang. Namun
kawannya segera melarang dengan merentangkan tangan kanan.
"Orang gila! Sebaiknya kau bilang terus terang!
Apa tujuanmu datang ke Desa Karang Galuh ini?"
tanya manusia kera bertubuh tinggi, yang mencegah temannya, ketika hendak
menyerang Sena.
Sena tak langsung menjawab. Mulutnya cengar-cengir sambil tangan kanannya
menggaruk-garuk kepala.
"Jawab! Sebelum hilang kesabaran kami...!"
bentak orang yang bertubuh agak pendek. Dirinya memang berperangai lebih keras
dibandingkan kawannya.
"Hi hi hi...! Lucu sekali, Kisanak! Apa yang kukatakan tadi rasanya sudah jelas
terdengar di telinga kalian," sahut Sena agak sinis. Hal itu membuat kedua orang
bermuka kera itu bertambah marah.
Hampir bersamaan dengan suara geledek yang di-dahului kilatan cahaya kedua orang
berwajah kera itu melesat menyerang. Lompatan cepat yang mereka lakukan mirip
kera. Sena terkesima sesaat, karena serangan kedua manusia kera itu begitu cepat.
Jurus-jurusnya pun aneh, seperti gerakan kera. Kedua golok berkelebat cepat
memburu di muka Sena.
Wrt! Wrt! Wrt! "Hah"! Hi hi hi...!"
Pendekar Gila cepat melompat mundur untuk
mengelak, lalu membalas dengan tendangan kedua kakinya.
"Hea...!"
Degk! Degk! "Huk!"
"Ukh!"
Kedua manusia kera itu terhuyung dua tombak ke belakang terkena tendangan.
Pendekar Gila kembali cengengesan. Kedua manusia kera itu makin geram dan marah,
melihat tingkah laku lawan yang dianggap mengejek mereka. Cepat-cepat keduanya
membenarkan kedudukan. Mata mereka yang tajam menatap penuh kegeraman.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah Edan!" dengus keduanya hampir bersamaan.
Kedua manusia kera itu, kemudian mengeluarkan jurus-jurus pembukaan dengan
gerakan mirip kera.
Keduanya menggaruk-garuk ketiak sambil merundukkan kepala.
"Nguk...! Nguk...!"
"Nguk...!"
Sena mengerutkan kening, melihat jurus-jurus lucu dan aneh kedua manusia kera
itu. Seakan-akan tengah memikirkan sesuatu. Kemudian cengengesan sambil meniru
gaya mereka. Kedua manusia kera itu kembali menyerangnya dengan terus berteriak
seperti kera. Dengan cepat kedua manusia kera melancarkan pukulan maut. Sebentar kemudian
gerakan mereka berubah mencakar dan menendang ke tubuh Sena.
"Nguk...!"
"Nguk...!"
Melihat serangan yang cepat dan membahayakan, dengan cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala
Pendekar Gila segera berkelit. Kemudian dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat'
segera melancarkan serangan balasan.
"Nguk...!"
"Hi hi hi...! Hea...!"
Plakkk! Brettt!
Tangan mereka beradu, saling pukul dan tangkis dengan cepat. Salah seorang dari
manusia kera membabatkan goloknya ke kaki Pendekar Gila. Sedangkan satunya lagi
menebas kepala. Kalau saja yang dihadapi bukan Pendekar Gila, golok-golok itu
sudah memutuskan kaki dan kepala lawan. Namun dengan kecepatan yang sukar
ditangkap mata biasa pendekar itu melenting ke udara sambil kakinya menendang
kedua manusia kera itu.
Degk! Degk! "Aaa...!"
"Ukh...!"
Kedua manusia kera itu terhuyung dua tombak ke belakang. Keduanya saling
pandang. Lalu kembali membuat gerakan untuk menyerang Pendekar Gila.
"Aha, Kisanak sebaiknya kita tak perlu adu kekuatan begini! Aku tak bermaksud
jahat, percayalah!" ujar Pendekar Gila berusaha untuk tak melanjutkan bentrokan
dengan kedua lawannya.
Namun rupanya kedua manusia kera itu tak menghiraukan ucapan Pendekar Gila.
Mereka kembali menyerang dengan jurus-jurus maut. Kedua manusia kera itu
membabatkan golok mereka dengan cepat.
Golok itu bagaikan kipas diputar, kemudian ditusuk-kan ke tubuh Pendekar Gila.
Wrttt! "Hea...!"
Wrttt! "Aits! He he he...!"
Pendekar Gila mengelak dengan melompat ke atas dan bersalto di udara. Kemudian
Pendekar Gila mendaratkan kakinya lima tombak dari kedua manusia kera yang kini
berada di belakang Pendekar Gila.
"Nguik...! Ger!"
"Heaaa...! Herrr!"
Kedua manusia kera itu pun berbalik cepat dengan berjumpalitan di tanah.
Keduanya bagai seekor kera, bergulingan di tanah sambil menyerang.
Suara mereka yang keras seperti kera sedang ngamuk.
Wuttt! Wuttt! Kedua manusia kera itu membabatkan golok menyerang lawan.
Pendekar Gila mengelak dengan merundukkan kepala, kemudian dengan cepat kedua
kakinya direntangkan lebar-lebar ke tanah. Sehingga serangan lawan melewati
kepalanya. Pada saat kedua manusia kera itu berada di atasnya, dengan cepat
Pendekar Gila melancarkan serangan dengan pukulan 'Gila Menari Menepuk Lalat'.
Deg! Deg! "Aaa...!"
"Hrrr...!"
Kedua manusia kera itu terpekik. Tubuh mereka terdorong ke belakang, lalu
bergulingan sampai akhirnya membentur batang pohon besar.
Brak! Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Hi hi hi...! Ha ha ha...! Lucu...! Lucu sekali...!"
Darah meleleh di sela bibir kedua manusia kera
itu. Keduanya merasakan sesak di dada. Namun, seperti tak menghiraukan keadaan,
mereka segera bangkit berdiri. Dengan geram mata kedua manusia kera itu menatap
Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Jangan kau anggap kami tak dapat menangkap-mu, Pemuda Gila!" dengus salah
seorang dari manusia kera itu sambil membuat kuda-kuda untuk menyiapkan jurus
lain. Kedua tangan mereka menjulur ke depan. Sedang kedua kaki mereka bergeser,
bersamaan bergerak ke depan. Tangan-tangan terbalur pakaian hitam itu bergerak-
gerak bagaikan menari. Kemudian bersamaan dengan hentakan keras kaki mereka
terdengar teriakan keras menggelegar....
"Hea...! Hrrr...!"
Wusss! Wusss! Serangan angin ganas, datang dari telapak tangan kedua manusia kera itu. Itulah
jurus 'Topan Beracun', Ilmu andalan kedua manusia kera itu. Pendekar Gila
nelompat ke udara. Serangan itu dapat dihindari.
Namun keduanya segera mengejar Pendekar Gila dengan melompat pula ke udara.
Terjadilah pertarungan di udara beberapa saat lamanya. Kedua manusia kera itu
mengapit di sebelah kanan dan kiri Pendekar Gila.
"Hea...!"
"Grrr. .!"
Setelah saling pukul dan tangkis. Pendekar Gila akhirnya sempat memasukkan
pukulan ke dada kedua manusia kera itu.
Degk! "Akh..!"
"Akh...!"
Bersamaan dengan terdengarnya pekikan
panjang, tubuh kedua manusia kera terlempar jauh dan bergulingan di tanah.
Dengan cepat Pendekar Gila meluncur. Dengan ringan kakinya mendarat di atas
tanah. Mulutnya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, Kisanak sekalian! Kurasa antara kita tak ada urusan apa-apa," ujar
Pendekar Gila dengan tingkah lakunya yang masih konyol.
Belum sempat kedua manusia kera itu berkata, Pendekar Gila telah melesat
meninggalkan tempat itu. Saat itu petir menyambar-nyambar, dengan kilatnya yang
menerangani bumi. Kedua manusia kera menggeram, merasa kecewa atas kekalahan
mereka dengan pemuda bertingkah laku seperti orang gila. Kedua manusia kera itu
masih mematung dengan mata menatap ke arah melesatnya Pendekar Gila. Seakan
mereka tengah bertanya-tanya, siapa sebenarnya pemuda gila itu.
"Dimas Anila, siapa sebenarnya pemuda itu" Rasa-rasanya aku pernah mendengar
namanya yang disebut-sebut banyak orang."
"Maksud Kakang Anggada...?" tanya Anila dengan kening berkerut.


Pendekar Gila 23 Kemelut Di Karang Galuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku pernah mendengar namanya. Nama gelarnya yang sama dengan tingkah lakunya,"
tutur Anggada. "Maksud Kakang, Pendekar Gila?"
"Benar."
"Kurasa juga begitu, Kang."
"Kau yakin, Dimas Anila?" tanya Anggada.
"Entahlah," sahut Anila.
"Kalau begitu, kita selidiki saja!"
"Ayo, Kakang!"
Kedua manusia kera yang ternyata bernama Anila
dan Anggada segera melesat dari tempat itu.
Keduanya menembus kegelapan malam yang
nampaknya akan segera turun hujan.
*** Pagi nampak sangat cerah. Seperti biasa, Desa Karang Galuh yang aman dan subur
itu mulai nampak sibuk. Penduduk desa berlalu-lalang dengan ke-sibukan masing-
masing. Di desa itu udara cukup sejuk, karena terletak di kaki Gunung Anjasmara.
Sena nampak tengah duduk di serambi depan sebuah rumah bilik cukup besar, yang
terletak agak di tengah desa. Tidak jauh dari rumah tempat Sena berada, ada
sebuah kedai nasi. Di kedai itu nampak empat lelaki sedang bersantap.
"Aku sangat berterima kasih padamu, Ki. Karena kau telah sudi menerimaku
bermalam di rumah ini...,"
ucap Sena dengan sopan dan kalem. Tidak menunjukkan tingkah lakunya yang seperti
orang gila. "Ah...! Itu biasa bapak lakukan pada orang yang membutuhkan, Nak. Asal kau
bermaksud baik,"
jawab Ki Praba, yang tak lain Kepala Desa Karang Galuh itu.
"Terima kasih, Ki!" ucap Sena sambil menganggukkan kepala, "Saya sangat senang
melihat desa yang aman tenteram seperti Desa Karang Galuh ini.
Tentunya semua ini tak luput dari kepemimpinan Ki lurah sebagai kepala desa..."
Ki Praba hanya mengusap-usap jenggotnya yang tak begitu panjang. Wajahnya nampak
kalem, penuh kebapakan tapi tegas. Dari bentuk tubuh dan pancaran sinar matanya,
menyiratkan bahwa dirinya memiliki ilmu silat yang cukup lumayan. Meski begitu,
lelaki tua itu sangat ramah. Dan itu sebabnya penduduk Desa Karang Galuh sangat
menghormati dan menyegani Ki Praba.
"Ah, bisa saja, Nak Sena. Sebenarnya bukan bapak saja yang membuat desa ini aman
dari gangguan orang-orang jahat," tutur Ki Praba dengan polos.
"Oh... jadi, siapa yang membantu Bapak dalam mengamankan desa ini?" tanya Sena
ingin tahu sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Ada dua saudara. Sanjaya dan Purnama yang selalu membantuku," jawab Ki Praba.
Sena mengangguk-anggukkan kepala perlahan. Mulutnya tersenyum ramah
menggambarkan rasa kagum terhadap lelaki tua, kepala desa itu.
"Ah, beruntung Ki Praba memiliki warga desa seperti mereka berdua. Aku ikut
senang men-dengarnya. Sayang aku belum bisa berkenalan dengan mereka," ujar Sena
dengan ramah. Mulutnya tersenyum dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Biasanya Sanjaya dan Purnama datang kemari, jika ada sesuatu masalah. Keduanya
selalu minta pendapat padaku," tutur Ki Praba dengan tenang.
"Selamat pagi, Ki...?"
Terdengar suara dari samping rumah. Ki Praba menoleh untuk mengetahui siapa yang
baru saja memberi salam.
"Selamat pagi! Nah, ini dia orang yang kukatakan tadi, Sena," kata Ki Praba
dengan wajah gembira, lalu menyilakan kedua bersaudara Sanjaya dan Purnama.
Sejenak Sanjaya dan Purnama menatap wajah Sena dengan pandangan penuh selidik.
Seakan keduanya menaruh curiga pada tamu Ki Praba.
Sena yang merasa dicurigai hanya tersenyum-
senyum. Sebentar kemudian berubah cengengesan sambil tangannya menggaruk-garuk
kepala. Sikapnya itu membuat, Sanjaya dan adiknya mengerutkan kening. Matanya
semakin tajam menatap wajah Sena. Kemudian kedua lelaki yang memakai pakaian
serba kuning itu saling pandang. Tampaknya mereka merasa tak senang menyaksikan
tingkah laku Sena yang konyol itu.
"Hhh!" Sanjaya yang berkumis tebal dengan blangkon hitam mendesah. Sementara
adiknya hanya menarik napas dalam-dalam. Sepertinya Purnama berusaha sabar.
Memang di antara kedua kakak beradik itu, ada perbedaan. Kalau Sanjaya berwatak
keras dan cepat marah, sebaliknya Purnama agak penyabar.
Keadaan semakin kaku di antara mereka.
Beruntung Ki Praba cepat tanggap.
"Ayo, duduklah! Kebetulan kami sedang membicarakan kalian berdua...," kata Ki
Praba sambil menggeser duduknya di dekat Sena. Mereka duduk di bale-bale lebar
beralaskan tikar pandan.
Mendengar ucapan Ki Praba, kedua bersaudara itu saling pandang. Keduanya seakan
kurang senang. Namun karena Ki Praba sudah dianggap seperti orang-tua sendiri, Sanjaya dan
Purnama menurut.
Mereka duduk di sebelah kiri Ki Praba, berhadapan dengan Sena.
"Nak Sena ini, ingin berkenalan dengan kalian.
Tadi kuceritakan sedikit tentang kalian berdua. Nak Sena merasa ikut senang desa
ini aman karena kalian berdua...," tutur Ki Praba membuka per-cakapan.
"Terima kasih, Kisanak! Kami berdua juga ingin berkenalan dengan Kisanak,"
sambut Sanjaya sambil
menatap Sena dengan pandangan menyelidik.
Sena yang ditatap begitu hanya tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala.
Sementara Purnama yang lebih tenang hanya diam menundukkan kepala.
"Namaku Sanjaya, dan ini adikku Purnama...,"
kata Sanjaya memperkenalkan diri.
"Aku Sena. Senang aku dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian berdua. Sebab
orang-orang macam kalian sangat dibutuhkan oleh orang-orang yang lemah dan perlu
pertolongan, untuk ke-tenteraman desanya," kata Sena bernada memuji.
"Terima kasih...," sahut Sanjaya datar, "Namun kalau boleh aku tahu, apa tujuan
Kisanak datang ke Desa Karang Galuh ini...?"
"Nak Sena hanya menumpang nginap di rumah ini tadi malam," sela Ki Praba.
"Kebetulan semalam Nak Sena ini ketemu bapak di kedai sebelah. Dia perlu tempat
untuk bermalam. Dan bapak tahu, Nak Sena bukan orang jahat. Percayalah,
Sanjaya...!"
Sanjaya manggut-manggut. Namun tatapannya masih menunjukkan perasaan curiga.
Sena melawan tatapan mata Sanjaya. Sesaat keduanya saling tatap dengan tajam.
Namun, akhirnya Sanjaya mengalihkan pandangannya ke wajah Ki Praba.
"Ki Lurah, sudah waktunya aku mohon pamit Terima kasih atas segala kesediaan dan
keramahan dalam menerimaku untuk bermalam di sini," kata Sena tiba-tiba, "Aku
harus segera pergi. Masih banyak tugas yang harus saya kerjakan."
Sena bangkit dari duduknya.
"Lho, kok buru-buru..." Bapak tak keberatan kalau Nak Sena mau tinggal di desa
ini satu dua hari lagi...,"
sahut Ki Praba dengan penuh persahabatan. Lelaki tua itu lalu berdiri dari
duduknya serta diikuti Sanjaya
dan Purnama. "Mungkin kisanak ini ada tugas yang sangat penting, Ki," sindir Sanjaya dengan
nada sinis. "Ah, kamu ini...," ujar Ki Praba sambil memegang bahu Sanjaya.
Sena hanya nyengir kuda mendengar ucapan Sanjaya. Hatinya sudah mengerti apa
maksud ucapan Sanjaya itu. Namun dirinya membalas dengan senyuman sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Terima kasih, Ki! Mungkin lain waktu aku mampir kemari. Aku mohon diri...,"
kata Sena sambil menyalami tangan Ki Praba. Kemudian mengangguk pada Sanjaya dan
Purnama yang memandanginya dengan pandangan agak sinis.
Baru saja Sena melangkahkan kakinya dua tindak, tiba-tiba....
"Tolong...! Tolong...! Tolong...!"
Terdengar teriak seorang wanita setengah baya yang berlari ketakutan menuju
rumah Ki Lurah Praba.
Sena menghentikan langkahnya. Matanya mem-perhatikan wanita setengah baya yang
berlari mendekati Ki Praba. Sanjaya dan Purnama nampak sedikit cemas. Matanya
terus menatap tajam pada Sena.
"Tolong, Ki! Tolong, Ranti dibawa oleh Raden Kumbara bersama anak buahnya!" kata
wanita itu sambil menangis.
"Raden Kumbara"! dari mana kau tahu, kalau dia Kaden Kumbara?" tanya Ki Praba,
kaget. "Lelaki muda itu menyebutkan namanya! Membawa Ranti dengan kereta kuda. Mereka
juga membunuh suamiku, Ki!" ujar Nyi Karti sambil terus menangis.
Kontan Sanjaya dan Purnama melesat cepat bagai
terbang, tanpa permisi dulu pada Ki Praba.
Sena segera mendekati Ki Praba yang masih berusaha menenangkan Nyi Karti. Wanita
setengah baya itu terus menangis. Hal itu karena mencemas-kan anak gadisnya,
yang pasti tidak akan kembali lagi. Dirinya tahu kalau Ranti, anaknya akan
dijadikan gundik setelah direnggut keperawanannya oleh Raden Kumbara.
"Ki Lurah, kalau boleh aku bertanya, siapakah Raden Kumbara itu" Dari kadipaten
atau kerajaan mana?" tanya Sena ingin tahu.
"Hm...! Dia sebenarnya bukan raden. Dia manusia yang berkhianat!" jawab Ki Praba
dengan suara sedikit bergetar, menunjukkan kemarahannya.
Mendengar ucapan Kepala Desa Karang Galuh itu Sena mengerutkan kening, tak
mengerti. "Apa maksud Ki Lurah...?" tanya Sena dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. "Panjang ceritanya, Nak Sena. Sebaiknya kita menyusul Sanjaya dan Purnama dulu!"
ajak Ki Praba. Sena masih merasa heran. Kenapa tiba-tiba desa yang katanya aman dan tenteram
ini, tiba-tiba saja kacau karena ulah seorang yang disebut Raden Kumbara.
"Siapa Raden Kumbara itu?" tanya Sena dalam hati.
"Nyi Karti tunggulah di sini! Biar aku menyusul mereka...," ujar Ki Praba
berusaha menenangkan hati Nyi Karti yang masih terus menangis sedih. "Nyimas,
tolong jaga Nyi Karti!" seru Ki Praba kepada istrinya yang keluar ketika
mendengar tangis Nyi Karti. Wanita itu hanya menganggukkan kepala.
"Ayo, Nyi!" ajak Nyi Praba sambil membimbing masuk wanita berusia lima puluh
tahun itu. Dengan langkah cepat, Ki Praba segera pergi diikuti Sena menuju utara desa, arah
yang dituju Sanjaya dan Purnama.
*** 2 Kereta kuda yang membawa Ranti dipacu kencang oleh sang Kusir. Di belakang
kereta itu enam orang penunggang kuda mengiringi. Mereka semua berpakaian hijau-
hijau dengan blangkon yang juga berwarna hijau. Keenam pengawal itu bersenjata
golok berukuran panjang, terselip di pinggang. Tampang mereka garang, semuanya
berkumis tebal.
Sesampai di jalan yang cukup lapang menuju pantai, tiba-tiba kereta kuda itu
berhenti. Kuda-kuda yang menarik kereta itu mengangkat kedua kaki depan sambil
meringkik. Dua orang lelaki yang tak lain Sanjaya dan Purnama, menghadang lajunya kereta
kuda. Hal itu membuat kusir kereta kuda itu terkejut, hingga jatuh bergulingan
ke tanah. Sedangkan di dalam kereta itu terdengar teriakan Ranti yang meratap ketakutan.
"Tolong...! Tolong...!".
Sanjaya yang berwatak lebih keras dan cepat naik darah dibandingkan Purnama,
segera membabatkan goloknya ke kusir kuda itu.
"Mampus kau! Heaaa...!" bentak Purnama.
Wrt! Crak! "Aaa...!"
Seketika kusir kereta kuda itu terkapar tewas ber-lumuran darah. Golok Sanjaya
mendarat telak di lehernya. Tidak lama kemudian keluarlah lelaki muda bertampang
culas dengan sedikit kumis di bibirnya,
wajahnya yang bengis menunjukkan jiwanya yang licik.
"Bedebah! Siapa yang telah berani melawanku!"
dengus lelaki berpakaian hitam yang baru keluar dari kereta.
"Kami!" bentak Sanjaya gusar. Matanya menatap tajam wajah Raden Kumbara, seakan
menyimpan kebencian yang meluap-luap. Gigi-giginya saling gemerutuk menahan
kegeraman. Lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun, bermuka bengis yang di tangannya
memegang keris, seketika memandang kedua kakak beradik itu. Mata lelaki yang
mengaku sebagai Raden Kumbara itu terbelalak, selelah tahu siapa yang
menghadangnya. "Hai..., Cecurut-cecurut..! Jangan coba-coba men-dekatiku. Wanita ini akan
kugorok lehernya...!" ancam Raden Kumbara dengan pongahnya, sambil mendekap
Ranti dengan menempelkan keris di leher gadis cantik itu.
"Biadab kau, Kumbara! Pengkhianat...!" dengus Sanjaya dengan geram dan marah,
"Dimas Purnama, Kita harus menggunakan siasat untuk menghadapinya, dia sangat
licik!" Purnama mengangguk. Matanya terus menatap tajam wajah Raden Kumbara yang mulai
melangkah mundur, membawa Ranti dengan ancaman akan membunuhnya.
Enam orang anak buah Raden Kumbara segera mengepung Sanjaya dan Purnama dengan
senjata terhunus.
"Tunggu apa lagi...! Habisi kedua monyet busuk itu!" perintah Raden Kumbara pada
anak buahnya yang menunggu perintahnya.
Keenam anak buahnya langsung menyerang
Sanjaya yang masih dengan tenang berdiri di tempatnya.
"Serang...!" teriak pimpinan dari keenam anak buah Raden Kumbara itu.
"Heaaa...!"
Trang! Trang! Trang!
Senjata mereka saling beradu. Sanjaya nampak dengan tenang menghadapi keenam
anak buah Raden Kumbara. Dirinya hanya berkelit ke kiri dan ke kanan, serta
melompat mundur dan menangkis serangan mereka. Kemudian sesekali melancarkan
serangan balik yang mematikan.
"Heaaa...!"
"Aaa...!"
"Ukh...!"
Maka terdengarlah teriakan kematian dari anak buah Raden Kumbara yang ilmu
silatnya memang jauh di bawah Sanjaya. Sehingga hanya dalam beberapa gebrakan
Sanjaya sudah dapat menghabisi empat orang.
Sementara itu Purnama melenting ke udara sambil bersalto, mencoba menghadang
Raden Kumbara yang berusaha lari dari tempat itu menuju pantai.
"Heaaa...!"
Raden Kumbara terkejut ketika ia berbalik ternyata Purnama sudah ada di
hadapannya. Dituding-kan kerisnya lurus ke arah Purnama yang dengan tenang
melangkah mendekati. Lelaki berpakaian serba hitam itu melangkah mundur sambil
mengancam Purnama.
"Ha ha ha...! Kau mau jadi pahlawan untuk gadis ini, hah"! Gadis ini akan jadi
gundikku. Tak ada seorang pun yang bisa menghalangiku! He he he...!"
ujar Raden Kumbara sambil menempelkan keris ke
leher Ranti yang sudah makin pucat wajahnya.
Karena begitu ketakutan gadis itu nampak seperti pasrah, tak berdaya.
Raden Kumbara terus mundur menuju pantai. Di sana terlihat sebuah perahu
berukuran besar tertambat di pinggiran pantai.
"Rupanya bangsat ini sudah menyiapkan perahu untuk membawa Ranti ke Pulau Neraka
itu...!" gumam Purnama dalam hati.
Raden Kumbara terus menyeret Ranti dengan kasar menuju perahu itu. Purnama pun
terus mengawasi gerak-gerik Raden Kumbara sambil menahan rasa geram.
Sementara itu Sanjaya terus berusaha melumpuh-kan dua pengawal Raden Kumbara
yang ilmu silatnya lumayan tangguh. Dengan cepat Sanjaya membabatkan golok
bergigi itu ke perut kedua lawannya.
"Heaaa...! Mampus kau...!" seru Sanjaya dengan penuh kegeraman.
Wret! Jrabs! "Aaakh...!"
"Aaa...!"
Perut kedua pengawal Raden Kumbara terkoyak lebar terbabat senjata Sanjaya.
Namun orang kepercayaan Kepala Desa Karang Galuh itu tampaknya belum puas.
Dengan bengis kembali dibabarkan goloknya ke leher kedua lawan.
Crak! Crak! "Aaa...!"
Darah segar muncrat dari leher kedua pengawal Raden Kumbara yang terjungkal ke
tanah. Mereka langsung tewas seketika dengan leher putus.
Sanjaya tertawa puas, kemudian melesat meninggalkan dua mayat tersebut.
***

Pendekar Gila 23 Kemelut Di Karang Galuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baru saja Sanjaya pergi, Ki Praba dan Sena tiba di tempat itu.
"Ya, Tuhan...!" gumam Ki Praba ketika melihat keenam pengawal Raden Kumbara yang
mati dengan keadaan mengerikan. Apalagi ketika melihat dua di antara enam mayat
itu kepalanya putus.
Sena menggaruk-garuk kepala melihat mayat-mayat tergeletak di jalan itu, Ki
Praba tiba-tiba melesat cepat meninggalkan Sena. Melihat kepala desa itu telah
hilang dari dekatnya, Sena cengengesan.
"Hebat juga lelaki tua itu...," gumamnya dalam hati.
Kemudian Sena pun melesat dengan ilmu lari
'Sapta Bayu'-nya. Bagai terbang Sena melesat dari tempat itu.
Sementara itu di tepi Pantai Karang, Raden Kumbara sudah berada di atas perahu.
Namun ketika siap membawa kabur Ranti, tiba-tiba saja lelaki muda itu terpekik
keras. Bersamaan dengan itu Ranti terlepas dari pegangannya. Gadis malang itu
terjatuh di dalam perahu. Rupanya senjata rahasia yang sempat dilontarkan
Purnama mendarat telak di bahu Raden Kumbara.
Ranti yang terbebas dari ancaman Raden
Kumbara dengan ketakutan berusaha lari meninggalkan pesisir.
Raden Kumbara yang kesakitan, tak mampu mengejar Ranti, sehingga gadis itu
dengan aman berlari berusaha menjauhi perahu Raden Kumbara.
Kesempatan itu dipergunakan Purnama dengan baik. Tubuhnya melesat bagai seekor
elang menuju perahu untuk menyelamatkan Ranti. Namun sial baginya, Raden Kumbara rupanya
telah mengetahui maksud Purnama. Maka...,
"Heaaa...!"
Bukkk! Plakk! Purnama tak menyangka kalau Raden Kumbara akan dapat menyerangnya setelah
terkena senjata rahasianya. Sehingga dirinya tak mampu melakukan gerakan untuk
menghindar ketika pukulan telapak tangan Raden Kumbara mendarat di dadanya.
"Huk!"
Purnama terhuyung ke belakang lalu terjengkang ke pasir pantai. Sambil merintih,
tangannya meraba dada yang berbekas telapak tangan biru kehitaman.
Seketika mata Purnama terbelalak kaget.
"Hah"! Pukulan 'Tapak Maut'!" gumam Purnama sambil menahan sakit
Tepat ketika Purnama menghadapi keadaan bahaya, Sanjaya datang. Melihat adiknya
dalam keadaan terluka parah Sanjaya langsung menyerang Raden Kumbara dengan
sabetan dan tusukan goloknya.
Raden Kumbara yang sudah berada di pasir pantai dengan cepat melakukan lompatan
untuk mengelak sambil balas menyerang dengan sebatang kerisnya ke rusuk Sanjaya
yang berada di sebelah kirinya.
Sanjaya tersentak kaget mendapat serangan balik dari Raden Kumbara.
"Heaaa...!"
Bret! Baju Sanjaya tersambar keris Raden Kumbara.
Robek! Kalau saja Sanjaya terlambat mengelak ke belakang, tak pelak lagi
rusuknya akan tergores senjata tajam itu.
"Bangsat! Hampir igaku remuk!" gumam Sanjaya dalam hati.
Kemudian Sanjaya kembali dengan kuda-kudanya untuk siap melakukan serangan
dengan jurus mautnya. Kaki kanan dan kirinya bergerak perlahan ke kanan dan ke
kiri. Sedang tangannya yang memegang golok dipermainkan dengan cepat, diputarnya
hingga golok itu bagai kipas.
Wukkk! Wukkk! Sementara itu, Raden Kumbara tak mau kalah.
Dirinya juga mempersiapkan kuda-kuda yang mantap.
Kaki kirinya diangkat sambil ditekuk, kemudian diturunkan kembali dengan mantap
bersama dengan gerakan tangannya yang memegang keris. Tampaknya lelaki
berpakaian serba hitam itu hendak mengerahkan jurus ampuhnya.
Mata kedua lelaki ini saling tatap dengan tajam.
Tak berkedip sedetik pun. Sebab sekali berkedip saja serangan lawan dapat
membuyarkan dirinya. Setelah cukup lama mereka berpandangan dan mempersiapkan
kuda-kuda, tiba-tiba keduanya saling memekik keras.
"Heaaa...!"
"Heaaa...!"
Trangngng! Keduanya sama-sama menyerang maju, dan saling papak. Golok dan keris beradu.
Saling tebas dan tusuk. Sanjaya kemudian melenting ke udara sambil membabatkan
goloknya ke kepala Raden Kumbara.
Wrettt! "Ukh...!" pekik Raden Kumbara.
Blangkonnya rusak dan terlepas dari kepala.
Sehingga rambutnya terurai. Belum lagi Raden Kumbara sempat melancarkan serangan
balik, Sanjaya sudah mendahului dengan tendangan keras ke punggungnya
"Heaaa...!"
Bluk! "Akh...!"
Raden Kumbara terhuyung-huyung hingga me-nabrak perahu yang masih berada di atas
pasir pantai. Sanjaya yang sudah sangat marah dan benci terhadap Raden Kumbara,
kembali melancarkan serangan susulan.
"Heaaa...! Sekarang mampus kau, Pengkhianat!"
teriak Sanjaya sambil melompat ke tubuh Raden Kumbara yang berusaha mengelak
serangan Sanjaya.
Namun, karena Raden Kumbara sudah terluka, babatan golok Sanjaya yang cepat
bagai kilat menyambar leher Raden Kumbara....
Jrabs! "Aaa...!"
Leher Raden Kumbara terkoyak hampir putus!
Namun tak hanya sampai di situ. Sanjaya yang sudah kalap dan dihinggapi oleh
kebencian yang mendalam menghujani tusukan ke perut dan membabat tangan kanan
Raden Kumbara yang masih menggenggam keris.
Crak! Crakkk! Darah segar muncrat ke wajah dan pakaian Sanjaya. Raden Kumbara mati dengan
keadaan mengerikan. Tangan kanannya putus dengan masih menggenggam keris.
Sanjaya tertawa terbahak-bahak. Hatinya benar-benar merasa puas.
Kemudian diambilnya keris dalam genggaman tangan Raden Kumbara yang sudah kaku
itu dengan jalan memotong jari-jarinya dengan bengis dan sadis sekali.
Diselipkan keris itu ke pinggang dengan
tangan kirinya. Sanjaya mengangkat goloknya hendak memotong kepala Raden
Kumbara. "Tunggu...!"
Terdengar seruan dari seorang lelaki! Suara itu begitu berwibawa. Sanjaya
mengurungkan niatnya.
Kepalanya menoleh ke belakang. Ternyata Ki Praba yang berseru tadi. Di
belakangnya nampak Sena tengah menggaruk-garuk kepalanya, sambil memandangi
mayat Raden Kumbara yang tergeletak di dekat perahu dengan leher hampir putus.
"Aku tak menyangka kalau kau akan melakukan semua ini dengan keji, Sanjaya,"
ucap Ki Praba dengan nada suara agak marah.
"Dia pantas mendapat ganjaran seperti ini, Ki.
Sudah banyak harta, nyawa, serta kemerdekaan kita diinjak-injak oleh kelompok
orang-orang yang mengaku seorang raden, ini. Yang sebenarnya adalah pengkhianat-
pengkhianat Kadipaten Singa Raja,"
jawab Sanjaya dengan napas terengah-engah.
Dadanya naik turun pertanda kemarahannya yang menggelegak.
"Aku mengerti. Tapi bagaimana nantinya, jika terdengar ayah Raden Kumbara bahwa
putranya mati oleh orang Karang Galuh!" ujar Ki Praba sambil menunjuk ke wajah
Sanjaya. Lalu bergeleng kepala,
"baru berjalan lima bulan ini desa kita aman.... Kini kembali akan menjadi
neraka bagi kita...," tambahnya sambil terus menggeleng-gelengkan kepala.
Sementara itu Sena sedang menolong Purnama yang sudah nampak pucat dan agak
kebiruan. Lelaki berpakaian kuning itu terkena racun keris Raden Kumbara. Sena
berusaha menyembuhkan dan menghilangkan racun itu dengan ilmu 'Penawar Racun
Ungu'. Tangan Sena menotok bagian tubuh tempat racun itu bersarang. Tubuh Purnama
bergoncang bagai kena setrum bertegangan tinggi. Mulutnya berteriak-teriak
keras, mendengar itu, Sanjaya dan Ki Praba segera mendekati Sena yang sedang
mengobati Purnama.
"Hai...! Kau! Mau kau apakan adikku"! Kau rupanya orang-orang dari Pulau Neraka
itu...!" bentak Sanjaya marah dan ingin menyerang Sena. Namun Ki Praba cepat
melarang dengan menahan Sanjaya.
Sanjaya tak berani melawan, karena Ki Praba sudah seperti orangtuanya sendiri.
Karena sejak Sanjaya dan Purnama jadi anak-anak yatim, Ki Praba yang tak
mempunyai keturunan, mengangkat mereka sebagai anak angkat.
Sanjaya hanya dapat menahan rasa cemas, khawatir terhadap keadaan adiknya.
Setelah beberapa lama Sena mengobati, Purnama yang tadinya pucat, kini nampak
mulai sehat kembali.
Wajahnya sudah kembali berubah segar. Bahkan sesaat kemudian Purnama tertidur
dengan tenang. Sanjaya menarik napas lega. Begitu pula Ki Praba.
Lelaki tua itu menyalami Sena.
"Nak Sena..., kalau ada kata-kata yang lebih ber-harga dari terima kasih, itulah
yang akan kuucapkan kepadamu...," ujar Ki Praba dengan wajah gembira.
"Ah, sudah kewajiban bagiku menolong sesama manusia, Ki. Bukan hanya Purnama,
tapi semua orang yang perlu pertolongan... " jawab Sena dengan santai sambil
mengusap wajahnya yang berkeringat, setelah mengeluarkan tenaga dalam cukup
banyak. "Begitu mulia hatimu, Nak Sena...!" puji Ki Praba lagi sambil menepuk-nepuk bahu
Sena yang hanya cengar cengir.
"Jangan terlalu memujiku, Ki! Aku hanyalah manusia biasa yang bisa saja
melakukan kesalahan.
Semua ini kehendak Yang Maha Kuasa. Tanpa bantuan dan kehendak-Nya, tak mungkin
aku bisa menyembuhkan Purnama...," ujar Sena dengan mantap.
Ki Praba manggut-manggut sambil memegangi jenggotnya. Lelaki tua itu nampak
begitu kagum akan jawaban Sena yang tulus dan polos itu.
"Baru kali ini kudengar ucapan anak muda seperti ini.... Siapa sebenarnya pemuda
gagah ini. Walaupun tingkah lakunya terkadang seperti orang sinting, gila...,
tapi...," ujar Ki Praba dalam mulai bertanya-tanya sendiri.
Sanjaya pun mulai sadar, bahwa Sena bukanlah pemuda sembarangan. Dan dirinya pun
tak lupa mengucapkan terima kasih pada Sena, dan ber-jabatan tangan erat,
menunjukkan bahwa keduanya mengikat persahabatan yang dalam.
Ki Praba memandangi dengan hati penuh gembira dan haru. Lelaki tua itu
tersenyum-senyum.
"Jaya...," panggil Ki Praba pada Sanjaya.
"Ya, Ki..."
"Sebaiknya kita kubur dulu mayat Raden Kumbara itu...! Biar pun jahat, pernah
melukai hati dan memeras kita, dia juga manusia.... Ayo!" perintah Ki Praba lalu
melangkah mendekati mayat Raden Kumbara, diikuti Sanjaya dan Sena.
"Oh, ya. Ke mana si Ranti...?" tanya Sanjaya yang tiba-tiba teringat gadis anak
Nyi Karti itu. "He he he...! Kulihat gadis itu tadi sudah pergi meninggalkan tempat ini," sahut
Sena dengan cengengesan.
"Iya. Mungkin dia tak tega menyaksikan tindakan-
mu, Sanjaya," ujar Ki Praba.
Setelah mengubur mayat Raden Kumbara tak jauh dari pantai itu, Sena dan Sanjaya
menggotong Purnama yang belum sadarkan diri.
*** 3 Malam-itu suasana Desa Karang Galuh yang biasanya tenang, seketika diselimuti
ketegangan. Semenjak kejadian tadi pagi, yang menyebabkan tewasnya Raden
Kumbara, para penduduk terutama Ki Praba justru tak tenang. Hal itu karena
mereka takut kalau-kalau pimpinan Raden Kumbara yang tiada lain Kala Bendana
akan kembali memerintah anak buahnya untuk membuat kekacauan di Desa Karang
Galuh. Malam itu, di rumah kepala desa, nampak masih ada tiga orang berkumpul. Dua
duduk di bale-bale, sedangkan seorang lagi ngobrol bersama Ki Praba di dalam.
Kedua orang yang duduk di bale-bale, tak lain Purnama dan Sena, sedangkan yang
tengah berbincang di dalam bersama Ki Praba, tiada lain Sanjaya.
Purnama bersandar di dinding rumah, duduk bersila. Sedangkan Sena duduk di
sebelah kanannya.
"Hhh...! Aku telah berhutang budi padamu," desah Purnama lirih dengan penuh
perasaan terima kasih.
Wajahnya menoleh kepada Sena yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, mengapa kau bicara begitu, Kisanak?" tanya Sena seraya menggeleng-
gelengkan kepala.
"Ya, jika tidak kau tolong, mungkin aku sudah mati."
"Aha, tidak juga, Kisanak. Kurasa, aku bukan apa-apa. Semua hanya karena Hyang
Widi semata," ujar Sena dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ya, aku tahu. Tapi kalau tak ada kau dan Ki Praba, tak mungkin ada orang yang
bisa menyembuhkan dan membunuh racun keris milik Raden Kumbara," kata Purnama
masih tetap berkeyakinan, kalau semua perbuatan Sena merupakan budi baik yang
tak terhingga. "Aha, lupakanlah!"
Beberapa saat kemudian, keduanya terdiam.
Hanya perasaan dan pikiran mereka yang berbicara.
Keduanya saling tatap penuh persahabatan.
Kemudian di bibir keduanya mengurai senyum.
"Ah, tak kusangka, kalau pemuda bertingkah laku gila ini memiliki budi pekerti
yang luhur," gumam Purnama dalam hati, "Sungguh bukan sembarangan pendekar.
Betapa berdosanya aku, yang semula menaruh syak wasangka yang tak baik
kepadanya."
"Aha, kau termenung, kenapa...?" tanya Sena sambil mengambil bulu burung yang
terselip di ikat pinggang. Kemudian dikorek telinganya dengan bulu burung.
Tampak mulutnya cengar-cengir kegelian.
Matanya merem-melek memandang wajah Purnama yang menggeleng-geleng kepala sambil
mendesah berat.
"Tidak..., tidak apa-apa," sahut Purnama lirih, berusaha menutupi apa yang
sebenarnya berkecamuk dalam pikirannya.
"Ah ah ah...! Kurasa tak baik melamun, Kisanak,"
seloroh Sena sambil terus mengorek telinga. Mulutnya cengengesan, membuat
Purnama tersenyum menggeleng-gelengkan kepala.
Purnama benar-benar tersindir mendengar selorohan yang diucapkan Sena. Namun
hatinya senang, karena tiba-tiba merasa terhibur kelucuan Sena.
"Aha, kalau boleh kutahu, mengapa kakakmu Sanjaya begitu benci pada Raden
Kumbara" Sampai-sampai tadi pagi Sanjaya seperti hendak melumatkan Raden
Kumbara. Sepertinya ada dendam di hatinya...," tanya Sena berusaha ingin tahu.
Tersentak Purnama mendengar ucapan Sena.
Keningnya mengerut, matanya menyipit memandang Sena dengan agak menyelidik.
Namun Sena nampak masih tenang, cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, janganlah berprasangka buruk, Kisanak! Aku hanya ingin tahu. Mungkin kita
sejalan, karena aku pun tak senang pada penindasan dan pemerasan terhadap kaum
lemah," ujar Sena sebelum Purnama menyahut. Sena melihat tatapan mata Purnama
agak menaruh prasangka tak baik terhadap dirinya.
Purnama tercenung diam. Sepertinya dia tengah berpikir dan menerka-nerka siapa
Sena sebenarnya.
Setelah yakin kalau Sena bukan orang yang patut dicurigai, dengan helaan napas
panjang, Purnama menuturkan apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirinya dan
Sanjaya. "Baiklah, sahabat. Aku akan menceritakan padamu mengenai kami berdua, juga
mengenai desa ini.
Karena semua kejadian ini ada sangkut pautnya,"
ujar Purnama. *** Lima tahun yang silam, Sanjaya dan Purnama pulang dari mencari kayu di hutan.
Hal itu dilakukan mereka setiap tiga hari sekali. Istri Sanjaya yang bernama
Lestari, anak Tumenggung Kalisewu, selalu menyambut kedatangan suami dan adik
iparnya dengan senyum manis dan ramah. Hal itu menjadikan rasa lelah kedua kakak-beradik
itu hilang. Antara Sanjaya dan Lestari sangat saling men-cintai. Hal itu dibuktikan Lestari,
yang sudi meninggalkan ketumenggungan dan kekayaan untuk hidup miskin bersama
lelaki yang sangat dicintainya.
Namun, hubungan mereka tidak direstui orangtua Lestari.


Pendekar Gila 23 Kemelut Di Karang Galuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah kabur dari ketumenggungan, Sanjaya dan istri serta adiknya hidup di
lereng bukit yang jauh dari keramaian. Hal itu dimaksudkan agar orang-orang
ketumenggungan tak ada yang tahu tempat mereka.
Di lereng Bukit Kadal, mereka hidup bersama dua tetangga lain. Beruntung kedua
tetangga mereka sangat baik, bahkan menganggap anak pada mereka.
Hari demi hari kehidupan mereka tenang, terlepas dari perasaan was-was. Hal itu
karena mereka terlarut dalam suasana kekeluargaan yang erat, yang satu sama lain
tolong-menolong. Hingga sampai pada suatu hari....
"Purnama," panggil Sanjaya pada adiknya.
"Ada apa, Kang?"
"Aku tiba-tiba mendapat firasat tak baik," desah Sanjaya dengan wajah diluputi
kecemasan. Sepertinya ada sesuatu yang sedang dipikirkan. Hal itu membuat
Purnama mengerutkan kening, menatap pada kakaknya dengan perasaan tak mengerti.
"Tentang apa, Kang?" tanya Purnama ingin tahu.
"Duduklah dulu!" perintah Sanjaya.
Purnama menurut duduk di samping kakaknya yang tampak murung. Beberapa kali
Sanjaya menarik napas dalam-dalam, atau terkadang menengadah ke atap rumahnya.
Seakan-akan hatinya sangat berat untuk berbicara.
"Katakanlah, Kang!" pinta Purnama.
"Aku mendapat firasat, kalau orang-orang jahat akan datang ke tempat kita,"
desah Sanjaya setelah termenung agak lama. Mendengar ucapan itu Purnama
tersentak kaget.
"Maksudmu, Kang!" tanya Purnama semakin penasaran.
"Entahlah, sejak kakakmu melahirkan, perasaanku mengatakan bencana akan datang."
"Mungkin itu hanya perasaanmu, Kang. Karena kau sangat menyanyangi Mbakyu
Lestari," tukas Purnama berusaha menghibur Sanjaya dari ke-gelisahan.
"Mungkin juga," tukas Sanjaya, "Kuharap tak ada apa-apa."
"Begitu juga denganku, Kang."
"Ah, sudahlah! Hari sudah larut, bukankah kita besok akan mencari kayu?" ujar
Sanjaya mengingatkan adiknya.
"Biarlah aku saja yang pergi, Kang! Sementara Kakang tetap di rumah saja menjaga
mbakyu," kata Purnama mengusulkan. Dirinya tak ingin Lestari yang baru tiga
bulan melahirkan harus ditinggal seorang diri. Meski di tempat itu ada Ki Praba
dan Nyi Bawok serta suaminya. Namun alangkah baiknya jika Sanjaya menjaga istri
dan bayinya. "Itu gampang. Sekarang tidurlah."
Purnama menuruti kata-kata kakaknya. Dia pun berlalu meninggalkan Sanjaya yang
masih duduk termenung memikirkan firasatnya.
*** Purnama menarik napas dalam-dalam, seakan-akan berusaha mengisi rongga paru-
parunya yang kering. Sedangkan Pendekar Gila nyengir dengan tangan menggaruk-
garuk kepala. Matanya melihat perubahan wajah Purnama, yang tengah mengenang
kejadian pahit yang pernah dialami.
"He he he...!" Sena tertawa terkekeh-kekeh.
Purnama mencoba tersenyum, meski senyumannya terasa sangat hambar. Matanya
menatap wajah Pendekar Gila yang bertingkah laku konyol. Kemudian Purnama
tersenyum-senyum. Ada perasaan senang, bisa berteman dengan pemuda lucu yang
mampu menghibur hatinya di kala duka seperti itu.
"Aha, lalu bagaimana selanjutnya?" tanya Sena ingin tahu. Purnama tersenyum.
"Baiklah, kurasa tak ada salahnya kau mengetahui semuanya."
Setelah menarik napas dalam-dalam, Purnama pun melanjutkan ceritanya.
Pagi itu, Purnama melihat kebimbangan di wajah kakaknya. Hal itu membuat Purnama
mengerutkan kening. Dirinya yang sudah siap mencari kayu, melangkah menghampiri
Sanjaya. "Kang, kalau Kakang bimbang, biarlah aku saja yang pergi mencari kayu!" pinta
Purnama. Sanjaya menghela napas panjang, kemudian ia menggelangkan kepala sambil
memandang wajah adiknya.
"Tidak, Adikku. Aku akan turut bersamamu."
"Tapi, Kang. Bagaimanapun Kakang harus menjaga mbakyu dan Ragil. Mereka baru
tiga bulan lepas dari perjuangan hidup," Purnama berusaha mencegah niat
kakaknya. "Lagi pula, bukankah Kakang merasa ada firasat tak enak?"
Sanjaya menarik napas dalam-dalam. Seolah-olah dirinya masih dalam kebimbangan.
Saat itu Nyi Tarsih dan suaminya datang. Seperti biasanya, kedua suami istri itu
setiap pagi berkunjung untuk menjenguk bayi Sanjaya. Keduanya memang sangat
menyayangi Ragil, dan menganggap cucu mereka sendiri.
Sanjaya menuturkan pada Nyi Bawok dan suaminya, bahwa dia dalam keadaan bimbang
untuk pergi mencari kayu. Hal itu karena dia masih memikirkan istri dan anaknya.
"Ah, Nak Sanjaya tak perlu khawatir. Biarlah kami yang menjaga mereka! Pergilah
mencari kayu! Percayalah, kami akan menjaga keduanya dengan sebaik mungkin!" saran Nyi Bawok
berusaha menenangkan hati Sanjaya.
Sanjaya tercenung. Sepertinya tengah mempertimbangkan saran Nyi Tarsih.
"Baiklah kalau begitu, Nyi. Tolong jaga mereka!"
ujar Sanjaya. Kemudian Sanjaya melangkah mendekati Lestari yang sedang menidurkan bayinya.
"Diajeng, hati-hati, ya! Kakang pergi mencari kayu."
"Kakang juga harus hati-hati," sahut Lestari.
Pagi itu juga, Sanjaya dan Purnama pergi untuk mencari kayu bakar.
*** Dari kedua belah mata Purnama, nampak meleleh air mata. Sepertinya Purnama
merasa duka, jika mengingat kejadian yang pernah dialaminya.
Melihat hal itu, Sena meringis. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Disimpannya
bulu burung di ikat pinggang. Wajahnya pun turut berduka.
"Oh, kenapa kau sedih, Kisanak?" tanya Sena dengan wajah sedih. Namun secepat
itu pula, kembali pada tingkahnya yang konyol. Cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. Melihat tingkah laku Sena yang lucu, meski menangis Purnama tersenyum juga.
Dirinya benar-benar tak mengerti, mengapa Sena yang tadi ber-sedih tiba-tiba
tersenyum-senyum.
"Benar-benar gila!" pikir Purnama dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Aha, kurasa tak sebaiknya menangis, Kisanak. Hi hi hi...! Zaman ini memang
aneh. Hi hi hi... lucu sekali," gumam Sena dengan cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepalanya.
Purnama menarik napas dalam-dalam. Disekanya air mata yang meleleh. Bibirnya
semakin melebarkan senyum, geli menyaksikan ucapan dan tingkah laku pemuda mirip
orang gila di sampingnya. Baru kali ini Purnama melihat tingkah laku konyol itu.
"Ah, kau memang benar-benar mampu menghibur orang yang sedang sedih, Kisanak,"
ujar Purnama polos, memuji Sena yang semakin cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. "Ah ah ah...! Memang aku gila. Tetapi, kurasa ada yang lebih gila. Ya, orang-
orang yang berhasrat besar dengan keduniaan. Hi hi hi...! Bukankah begitu,
Kisanak?" tanya Sena masih cengengesan.
"Ya, kau benar, Pendekar."
"Aha, mengapa kau panggil aku pendekar" Sebut saja kawan atau Sena. Hi hi
hi...!" "Baiklah," sahut Purnama.
"Aha, lalu apa yang terjadi selanjutnya?" tanya Sena ingin tahu.
Purnama tak langsung bercerita. Lama dirinya
terdiam dengan mata menatap lepas ke depan.
Dihelanya napas dalamnya.
"Kejadian keji itu kami tak tahu. Tapi kami men-dengarnya dari Ki Kerta, yang
masih hidup dan menyaksikan kejadian itu dengan sembunyi."
Purnama menarik napas dalam-dalam. Kemudian menceritakan apa yang diceritakan Ki
Kerta kepadanya.
Sore itu Lestari merasa tak betah diam di rumah, badannya terasa tambah lemas
kalau tak bekerja.
Maka dirinya segera membawa bakul berisi pakaian kotor untuk dicuci di sungai.
"Lho...! Mau ke mana kamu Lestari...?" tanya Nyi Bawok yang sedang memberesi
kayu-kayu bakar di halaman rumahnya.
"Mau mencuci pakaian kotor, Nek...!" jawab Lestari lemah sambil melangkah
mendekati wanita tua itu.
"Sudah...! Sudah...! Cari penyakit. Kamu kan sudah dipesan sama suamimu" Agar
jangan ke mana-mana," kata Nyi Bawok mengingatkan Lestari. "Dan lagi anakmu di
dalam sendirian..., walah Tari, Tari..."
Bagaimana kamu ini. Ayo, jangan pergi, nanti aku kena salah kalau kamu pergi...
Sana masuk lagi...!"
kata Nyi Bawok dengan nada memerintah pada Lestari.
"Tapi Nek... saya juga ingin mandi. Badan terasa panas dan tak enak rasanya.
Sebentar kok Nek....
Tolong jagakan si Ragil ya, Nek...!" kata Lestari.
Nyi Bawok menghela napas panjang dan meng-gelengkan kepala, tanda tak menyetujui
maksud Lestari. Namun Lestari dengan manjanya meminta agar N Bawok mau
memberikan izin untuknya.
"Kamu ini memang bandel Tari! Tapi Nenek juga
kasihan. Baiklah..., tapi jangan lama-lama! Tuh, lihat mendung...!" ujarnya pada
Lestari sambil menunjuk ke atas. Langit memang mulai mendung. Walaupun biasanya
sinar matahari masih dapat menerangi bumi.
Lestari tertawa senang karena Nyi Bawok meng-izinkannya.
"Terima kasih, Nek...!"
Selesai berkata demikian, Lestari segera berlalu meninggalkan Nyi Bawok sambil
membawa bakul tempat pakaian kotor. Perempuan muda itu menuju sungai yang ada di
bawah bukit, tak berapa jauh dari rumahnya.
Kaki Lestari menuruni jalan setapak yang berumput. Langkah kakinya cepat. Dan
tak lama kemudian Lestari sudah sampai di sungai yang tak begitu besar. Airnya
jernih dan bersih. Di pinggir sungai itu ada batu-batu hitam. Di situlah Lestari
mencuci pakaian-pakaian kotor itu. Selesai mencuci Lestari mulai mandi dengan
hanya mengenakan kain sarungnya.
Tanpa disadarinya sepasang mata mengamati tubuh mulus yang sedang mandi itu dari
balik semak-semak di seberang sungai.
Lestari masih asyik mandi dengan tenang sambil bersenandung kecil, menggosoki
tubuh dan wajahnya. Kemudian dibenamkan wajahnya ke air sungai yang jernih itu.
Lalu timbul lagi dengan menggerak-gerakkan kepalanya ke kiri dan kanan, meremas-
remas rambutnya yang panjang dengan kedua belah tangannya.
Setelah merasa cukup segar merendam di air sungai itu, Lestari segera
mengeringkan tubuhnya dengan kain kering. Menggelung rambut sedemikian
rupa, lalu melangkah meninggalkan tempat itu.
Wajahnya nampak puas, karena merasa segar habis mandi. Kembali Lestari
melangkahkan kakinya di jalan setapak yang berumput itu. Namun kali ini ia
menaiki jalan yang menanjak menuju rumahnya.
Tanpa dia sadari, ada langkah-langkah kaki mengikuti jejaknya. Dan ketika
Lestari ingin mencapai bukit, kakinya tiba-tiba menginjak duri pohon.
"Aaa...!"
Lestari memekik lirih, lalu menghentikan langkah dan mengangkat kaki kirinya
yang menginjak duri tadi. Darah keluar tak begitu banyak ketika duri di telapak
kaki dicabutnya.
"Aneh, tak biasanya ada duri di jalan..."!" gumam nya dalam hati.
Setelah selesai mengikat kaki yang terkena duri dengan sobekan kain bekas
mengeringkan badan tadi, Lestari kembali melanjutkan langkah menuju rumah.
"Hah..."!"
Lestari sangat terkejut ketika melihat kandang ayam dan tempat penyimpanan kayu
bakar berantakan. Segera Lestari berlari menuju rumahnya.
Dengan, perasaan cemas dan khawatir.
Benar, ketika Lestari masuk rumah, anaknya tak ada di tempat tidurnya. Dengan
panik Lestari kembali keluar.
"Nek...! Nek Bawok...!" panggil Lestari sambi berlari menuju rumah Nyi Bawok
yang tak jauh dari rumahnya. Karena ia pikir bayinya pasti ada di rumah Nyi
Bawok. Namun apa yang dilihatnya sangat mengejutkan.
Nyi Bawok bersama suaminya Ki Harja telah mati dengan leher terbabat senjata
tajam. Kedua orang itu
terkapar di lantai pondoknya.
"Hah"! Aaaa..!"
Lestari menjerit karena ketakutan dan kaget.
Kakinya segera berlari ke luar sambil berteriak minta tolong.
Pada saat itu Ki Kerta yang sejak tadi bersembunyi di semak-semak, ingin
menolong dan memberitahukan Lestari. Namun dirinya takut. Karena empat orang
lelaki tak dikenal telah membunuh Nyi Bawok dan Ki Harja.... Serta menyandera
bayi Lestari yang baru berumur tiga bulan itu.
Ketika Lestari ingin kembali ke rumahnya, tiba-tiba muncul lelaki muda berwajah
culas dengan kumis tipis di atas bibirnya. Matanya menatap penuh birahi sambil
tertawa terbahak-bahak. Di tangan kirinya menjinjing bayi Lestari.
"Siapa kau"! Kembalikan anakku...!" bentak Lestari dengan marah. Lalu mencoba
merebut anaknya lari tangan lelaki muda itu. Namun lelaki itu mempermainkan
Lestari dengan tertawa-tawa men-jauhinya sambil menjinjing anak yang tak berdosa
itu. "Ha ha ha...!" lelaki muda itu tertawa-tawa diikuti ketiga temannya yang
berpakaian serba hijau dengan ikat kepala hitam. Wajah ketiganya tak sedap di-
pandang alias buruk rupa. Salah seorang bermata juling. Ketiganya bersenjatakan
tombak. Lelaki yang menjinjing bayi Lestari rupanya pimpinan mereka. Dilihat dari
pakaiannya, lebih bagus.
Kepalanya ditutupi blangkon hitam. Rambutnya dibiarkan lepas sepanjang bahu.
Sedang bajunya yang hitam berlengan panjang. Kancing bagian atas sengaja dibuka,
hingga terlihat dadanya yang penuh bulu itu, terselip sebilah keris di
pinggangnya. "Kau tentunya sangat sayang dengan anakmu ini, bukan..." He he he...!" ejek
lelaki muda itu.
Lestari menangis sambil terus berusaha mendapatkan bayinya. Wanita itu mencakar
dan me-mukuli lelaki muda itu. Namun tiba-tiba Lestari didorongnya dengan kasar,
hingga terhuyung dan jatuh. Kainnya yang hanya diikatkan sampai ke dada dengan
mudah terlepas dan terselip. Tubuh kuning dan kedua paha, serta betisnya yang
mulus jelas terlihat oleh keempat lelaki itu.
Mata mereka membelalak melihat keindahan tubuh Lestari yang cantik itu.
Keempatnya menelan ludah. Lestari yang sadar kalau kainnya terlepas, dengan
cepat merapikannya kembali. Lalu lari ke dalam rumah bermaksud ingin mengambil
golok. Ketika Lestari keluar memegang golok, salah seorang berpakaian hijau yang
bermata juling merenggutnya dengan kasar. Lestari berontak sambil berteriak-
teriak. Karena lelaki itu lebih kuat usaha Lestari sia-sia. Namun karena
didorong tekadnya untuk menyelamatkan diri dan mengambil anaknya, wanita itu
akhirnya berhasil, digigitnya lengan lelaki juling itu.
Lalu dengan cepat membabatkan goloknya sembarangan menyerang lelaki juling itu.
"Aaa... ukkk!" pekikan panjang terdengar dari lelaki juling. Perutnya ternyata
tergores golok Lestari.
Dan melihat wanita itu mulai kalap. Lelaki lainnya segera melompat dan mengepung
Lestari. Karena Lestari tak punya ilmu silat, dalam sekejap wanita itu dapat
dijinakkan oleh kedua lelaki berpakaian hijau.
Kaki Lestari dipegang kedua lelaki berbaju hijau yang berhasil menangkapnya,
Si Rajawali Sakti 3 Pendekar Pemanah Rajawali Sia Tiauw Eng Hiong Karya Jin Yong Pedang Darah Bunga Iblis 9
^