Pencarian

Keris Naga Sakti 1

Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti Bagian 1


KERIS NAGA SAKTI Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Keris Naga Sakti
128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Seorang pemuda berpakaian serba putih
sedikit kotor melompat-lompat dengan ringan di
atas batu-batu cadas pada sebuah perbukitan. Ge-
rakannya yang gesit dan ringan menunjukkan ka-
lau pemuda itu memiliki ilmu peringan tubuh yang
cukup tinggi. Terkadang dengan gerakan silat dia
menendang dan memukul ke depan dan ke samp-
ing. Kemudian tubuhnya melenting sambil bersalto
dua atau tiga kali di udara. Lalu mendarat dengan kedua kakinya di atas tanah
atau bebatuan dengan sempurna.
Keringat tampak membasahi sekujur tu-
buhnya. Rambutnya yang panjang sebatas bahu
diikat dengan kain warna hitam, menambah kega-
gahan pemuda bertubuh tegap itu.
Rupanya pemuda itu sudah cukup lama
berlari sambil melakukan latihan jurus-jurus silat.
Sejenak kemudian tampak dia menghentikan ge-
rakannya. Dihelanya napas beberapa saat, lalu
kembali melakukan gerakan silat dengan menen-
dang batu yang ada di hadapannya, untuk menguji
kebolehan ilmunya.
Glarrr! Ledakan keras terdengar memecah kesu-
nyian seiring dengan hancurnya bebatuan, karena
terkena tendangan dahsyat pemuda itu. Hal yang
sama juga dilakukan terhadap batang pohon yang
ada di sekitar perbukitan itu.
"Aku telah dapat melakukannya. Tentunya
Kakek Guru senang melihatku...," gumam pemuda itu dengan wajah cerah. Mulutnya
tampak tersenyum puas.
Kemudian si pemuda gagah berpakaian ser-
ba putih melesat melompati bebatuan yang ada di
perbukitan itu.
"Aku harus cepat kembali, karena Guru
pasti telah menantiku.... Waktu yang diberikan,
sebelum matahari tenggelam aku sudah harus ada
di hadapan Kakek Guru. Sekarang aku harus per-
gi...!" Pemuda gagah berpakaian serba putih itu terus melesat cepat dengan ilmu
meringankan tubuhnya yang cukup tinggi. Namun waktu lebih ce-
pat berlalu. Sehingga pada saat matahari tengge-
lam dan mulai gelap, dirinya baru sampai di pun-
cak bukit. "Waduh...! Kakek Guru bisa marah besar,
aku tak dapat menepati waktu yang ditentukan-
nya...," gumamnya dengan wajah cemas dan tampak ketakutan.
Pemuda itu menduga pasti akan mendapat
ganjaran berupa hukuman dari gurunya. Dalam
keremangan dia berlari menuju arah barat, hingga
akhirnya sampai di sebuah bangunan batu yang
pintunya tertutup oleh sejenis pohon merambat.
Dia tidak berani menyibakkan daun-daun pepoho-
nan itu, apalagi masuk ke dalam.
Wajahnya nampak semakin cemas dan te-
gang. Namun kemudian dia tersenyum pahit. Ke-
dua matanya memandangi pintu yang tertutup pe-
pohonan merambat. Sementara itu langit tampak
semakin gelap. Setelah menarik napas panjang,
pemuda itu berseru,
"Kakek...! Kakek Guru...!"
Tak ada sahutan. Suasana tetap hening dan
sepi. Pemuda itu menggelengkan kepala perlahan.
"Kek...! Kakek Guru, aku Purwadhika.
Maafkan aku, Kakek...! Aku terlambat... Aku siap
menerima hukuman!" seru pemuda yang ternyata bernama Purwadhika itu.
Namun tetap tak ada sahutan. Yang terden-
gar hanya suara binatang malam, meramaikan su-
asana menjelang malam itu.
"Apakah Kakek Guru pergi" Atau...," pikir Purwadhika sambil melangkahkan kaki
perlahan mendekati pintu bangunan batu yang tertutup po-
hon menjalar. Dia terus berjalan dengan langkah
tegap. Sepertinya pemuda itu telah siap menerima
hukuman apa saja atas keterlambatannya. Namun
belum sempat pemuda itu masuk, tiba-tiba...
Wusss! Ada deru angin yang sangat kencang. Dan
daun-daun bergelantungan menutupi pintu ban-
gunan batu itu rontok semuanya.
"Kau cucuku, Purwadhika. Masuklah...!"
terdengar suara serak dari seorang lelaki tua.
Purwadhika tampak terkesima dan masih
berdiri di tempatnya. Pemuda itu semakin kaget
ketika deru angin kembali datang dengan sangat
kencangnya. Tempat itu terasa berguncang kuat,
hingga bebatuan berjatuhan menutupi pintu ma-
suk. "Hah..."!" Purwadhika kaget. Kemudian dia
menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah cem-
berut. Namun mendadak pemuda itu menggerak-
kan kedua tangannya, berusaha mengumpulkan
tenaga dalam. Tampak otot-otot tubuhnya menge-
ras dan bersembulan keluar. Lalu segera diangkat
kedua tangannya ke atas, disusul dengan meren-
tang ke samping. Dan diakhiri dengan lompatan
sambil menghantamkan telapak tangan kanannya
ke arah batu-batu yang menutupi pintu itu.
Jlegarrr...! Ledakan keras terjadi. Seketika batu-batu
yang menutupi pintu mirip sebuah goa itu hancur
dan berhamburan. Pemuda itu ternyata menge-
rahkan ajian 'Tapak Sakti' yang ampuh dan dapat
menghancurkan batu sekeras apa pun.
Tiba-tiba dari dalam bangunan mirip goa itu
terdengar suara tawa terkekeh-kekeh.
"Maafkan aku, Guru! Aku siap menerima
hukuman, karena keterlambatanku...," kata Purwadhika sambil menjura di hadapan
gurunya. Seorang lelaki tua berambut putih dengan
janggut panjang tampak tersenyum-senyum men-
dengar ucapan muridnya. Tangan kirinya mengu-
sap-usap janggut yang sudah putih itu. Pakaian-
nya yang serba putih diselempangkan begitu saja.
Seperti Resi. Matanya yang tua tapi tajam, mena-
tap tak berkedip pada Purwadhika.
Lelaki tua itu duduk di atas tanah bera-
laskan tikar yang sudah agak usang. Tangan ka-
nannya memegang sebilah keris yang memancar-
kan sinar keperakan. Dialah tokoh tua yang dulu
dikenal dengan julukan Pendekar Bijaksana. Pada
masa mudanya dulu lelaki yang bernama asli
Tunggul Segara ini merupakan seorang pendekar
yang punya nama besar di kalangan rimba persila-
tan. Karena kebijaksanaannya dalam setiap meng-
hadapi persoalan serta setia membela kaum lemah
dari gangguan para durjana, maka Ki Tunggul Se-
gara dijuluki Pendekar Bijaksana.
"Purwadhika," tegur Ki Tunggul Segara. Suaranya terdengar berat, mengandung
kewibawaan. "Ya, Kakek Guru...."
"Jangan kau merasa cemas dan takut, sebe-
lum kenyataan itu datang. Kau sudah cukup me-
nepati batas waktu yang kuberikan. Sebenarnya,
waktu yang kuberikan masih panjang. Hanya saja
aku ingin mengujimu. Apakah kau bisa lebih cepat
dengan waktu yang kuberikan. Kau telah menja-
lankan dengan baik. Aku bangga sekali pada-
mu...," tutur Ki Tunggul Segara. Segurat senyum tersungging di bibirnya yang
dihiasi kumis tebal berwarna putih.
"Terima kasih, Kakek Guru...." jawab Purwadhika seraya menjura. Pemuda itu
tampak me- naruh hormat sekali pada gurunya.
"Purwadhika, kau telah menjalani ujian
yang terakhir itu dengan baik. Dari pagi-pagi buta sampai matahari tenggelam
telah kau laksanakan
sesuai dengan keinginanku. Ternyata aku tidak
sia-sia melatih dan memberimu ilmu-ilmu silat,
serta budi pekerti. Semua itu merupakan bekal
bagi langkahmu dalam mengarungi kehidupan
rimba persilatan yang penuh rintangan. Apalagi
tokoh-tokoh sesat golongan hitam akhir-akhir ini
lebih sering membuat ulah lagi." Sejenak Ki Tunggul Segara menghela napas. "Dan
tokoh-tokoh sesat yang kejam dan berilmu cukup tinggi itu, tiga di antaranya
sudah aku kenal. Merekalah orang-orang yang...."
Ki Tunggul Segara tak meneruskan uca-
pannya. Hal itu membuat Purwadhika menge-
rutkan kening keheranan serta bertanya-tanya da-
lam hati. Kenapa gurunya tiba-tiba nampak sedih
dan bergeleng kepala perlahan.
"Kakek Guru, ada apa..." Apakah ada sesu-
atu yang membuat hatimu sedih" Atau...," tanya Purwadhika dengan suara lemah.
"Sebenarnya aku ingin menceritakan keja-
dian lima belas tahun silam, seperti yang pernah
kujanjikan padamu. Ya. Karena saat ini kau telah
menguasai semua ilmu yang kuberikan, Cucu-
ku...," tutur lelaki tua berjuluk Pendekar Bijaksana itu. "Maksud Kakek Guru
tentang orangtua
ku...?" tanya Purwadhika dengan suara sedikit bergetar, karena rasa ingin
tahunya yang besar.
Cerita gurunya itu telah ditunggu-tunggu. Kini
saatnya dia akan mendengar cerita itu. Seketika
hatinya merasa cemas dan tegang.
Dengan wajah menyiratkan keharuan, Ki
Tunggul Segara akhirnya memulai cerita itu....
*** Di tepi sebuah danau. Langit saat itu nam-
pak mendung sejak pagi. Matahari tampak re-
mang-remang tertutup awan mendung. Suasana
saat itu seolah menjelang malam hari. Di pinggir
danau nampak seorang wanita muda sedang men-
cuci pakaian di air danau yang jernih. Dari sikapnya nampak wanita itu tengah
gelisah. Sebentar-
sebentar mendongak ke atas melihat langit yang
berselimut mendung. Lalu segera wanita itu mem-
beresi pakaian yang habis dicuci, memasukkannya
ke keranjang. Ketika perempuan muda itu baru melang-
kah tiga tindak ke atas tanah yang lebih tinggi dari danau mendadak muncul tiga
orang lelaki meng-hadangnya.
Salah seorang berwajah pucat. Namun tam-
pangnya tidak garang, kalem dan dingin. Hanya
sinar matanya yang seolah mengandung kekuatan
gaib. Pakaian yang dikenakannya serba kuning.
Dua temannya pun berpakaian sama dengan lelaki
bermuka pucat itu.
"Oooh..."!" pekik perempuan itu pendek.
Mendadak wajahnya tegang. "Mandra, Cilung, Sadiro...! Ada apa kalian
menghadangku" Minggir!"
ujarnya dengan suara lantang.
Rupanya ketiga lelaki itu tak menjawab.
Malah mata mereka nakal memandang dada pe-
rempuan yang pakaian atasnya sedikit terbuka.
Bentuk tubuhnya yang indah membangkitkan se-
lera setiap lelaki yang memandangnya. Apalagi bi-
birnya yang sensual, membuat ketiga lelaki itu
semakin tertarik dan mendekatinya.
"Minggir kataku! Aku akan teriak dan kalian
akan mendapatkan ganjaran...! Minggir, jangan
sentuh aku...!" perempuan muda itu kian gusar dan marah.
Ketika ketiga lelaki itu semakin dekat, tiba-
tiba perempuan itu bergerak cepat. Sebagai istri
bekas seorang tumenggung dia ternyata mengua-
sai ilmu bela diri, meskipun tidak bisa dikatakan tinggi tingkatannya.
Bug! Bug...! "Aaaa...!"
Ketiga lelaki memekik keras. Tendangan pe-
rempuan itu ternyata mengenai telak selangkan-
gan mereka. Perempuan itu lalu cepat kabur me-
ninggalkan ketiganya.
Ketiga lelaki itu meringis kesakitan sambil
memegangi selangkangan mereka.
"Sundal...! Awas, aku akan buat perhitun-
gan...!" gerutu Cilung.
"Dasar perempuan...! Yang diarah selang-
kangan!" sungut Mandra yang masih memegangi
selangkangannya.
"Urusan kita bukan perempuan itu, Sobat.
Urusan kita pada Ramapati, suaminya! Kita harus
segera menentukan rencana kita. Bekal kita sudah
cukup kuat untuk melawan Ramapati. Ayo...!" ujar Sadiro yang berwajah pucat.
Seketika ketiganya melesat cepat mening-
galkan tempat itu.
Sementara perempuan tadi sudah sampai di


Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumahnya yang besar dan berlantai tinggi. Karena
suaminya bekas tumenggung. Kekayaan Ramapati
cukup untuk menghidupi sanak keluarga tujuh
turunan. Itulah yang membuat saingan dan bahkan
bekas bawahannya seperti Sadiro, Cilung, dan
Mandra merasa iri. Mereka ingin merebut sebuah
senjata pusaka bernama Keris Naga Sakti. Yang
menurut mereka ada pada Ramapati.
"Kakang...! Kakang Ramapati...!" teriak perempuan yang berlari-lari memasuki
ruangan ten- gah rumahnya. "Diajeng Laras..."!" seru Ramapati begitu melihat istrinya berlarian dengan
wajah gusar dan tegang, bercampur marah. Pakaian Laras pun
tampak tak karuan. Pikiran Ramapati langsung
menduga yang tidak-tidak. Seketika hatinya mera-
sa panas. "Ada apa, Diajeng" Apa yang telah terja-
di..."!" tanya Ramapati dengan perasaan cemas.
"Mereka mengejarku, kurang ajar...!" kata Laras mengadu pada suaminya.
"Mereka siapa..."! Siapa yang berani meng-
ganggumu" Kita kan tak punya musuh. Dan tidak
pernah menyakiti orang lain, Diajeng...."
"Tapi mereka sepertinya kini telah berubah,
berani kurang ajar terhadapku...!" tutur Laras dengan nada kesal, matanya
berkaca-kaca. "Untung aku bisa lolos dari mereka, kalau tidak...,"
lanjut Laras lemah
"Kurang ajar...! Lalu siapa yang kau mak-
sud itu, Diajeng" Katakan, tentunya mereka orang-
orang dari aliran sesat...," kata Ramapati menduga.
Baru selesai Ramapati mengakhiri kalimat
terakhirnya, tiba-tiba muncul tiga lelaki tadi.
"Ha ha ha...! Rupanya penjaga rumah ini
orang-orang tak memiliki ilmu yang diandalkan.
Pasti pemilik rumah ini orang yang bernyali tikus.
Ha ha ha...!" ujar Sadiro yang bermuka pucat. Diikuti tawa kedua temannya,
Mandra dan Cilung.
"Kurang ajar! Mengapa kalian berani ber-
buat kurang ajar pada istriku..."!" bentak Ramapati begitu melihat Sadiro,
Mandra, dan Cilung.
"Ha ha ha...! Aku tidak berniat kurang ajar
terhadap Nyi Laras. Tapi, aku ada urusan penting
dengan kau, Ramapati...!" jawab Sadiro si Muka Pucat dengan nada dingin.
"Ya, ada urusan penting yang ingin kita bi-
carakan. Tapi, sebaiknya Ki Ramapati ikut bersa-
ma kami. Karena ini sangat rahasia," tambah Cilung dengan suara penuh penekanan
pada setiap katanya. "Betul, karena tak boleh orang lain tahu.
Cukup kita saja yang mengetahui...," sambung Mandra yang berkumis tipis dan mata
agak kero, menyipit sebelah.
Ramapati nampak berpikir sejenak.
"Kakang, jangan percayai mereka! Aku
punya firasat buruk terhadap mereka. Walaupun
mereka bekas orang kepercayaanmu...," bisik Laras dengan hati dan perasaan yang
sangat cemas. Ramapati hanya manggut-manggut. Dipe-
gangnya bahu istrinya.
"Aku mengerti, Diajeng...," terdengar suara Ramapati lembut.
"Rahasia apa yang ingin kau sampaikan..."
Apa tidak sebaiknya dibicarakan di sini saja...?"
tanya Ramapati kemudian.
"Rupanya kau tidak mempercayai kami lagi.
Kami tidak punya maksud buruk...," jawab Sadiro si Muka Pucat dengan kalem dan
dingin. Sementara itu Laras coba mengisyaratkan
pada suaminya agar tidak menuruti keinginan ke-
tiga orang itu. Namun Ramapati yang bekas tu-
menggung itu tak mau dianggap pengecut. Maka
kembali Ramapati berkata,
"Sadiro, kau Mandra, dan Cilung. Mintalah
maaf pada istriku dulu! Jika tidak, aku tak bersedia menuruti kemauan kalian.
Karena kalian telah
membuatnya ketakutan dan marah. Semestinya
kalian kuberi ganjaran...," ujar Ramapati tegas.
Sadiro, Cilung, dan Mandra saling pandang
sejenak, lalu mereka menghadap Laras dan menju-
ra seraya sama-sama minta maaf. Laras hanya di-
am dengan wajah sinis.
Ramapati mendekati sang Istri lalu dipe-
gangnya pundak Laras.
"Diajeng, biar ku turuti kemauan mereka.
Mungkin dengan caraku ini mereka bisa sadar.
Dan tidak lagi berbuat seperti itu lagi. Biar bagai-manapun mereka bekas anak
buahku, orang ke-
percayaanku!" tutur Ramapati dengan sabar. Laras tak dapat lagi mencegah
suaminya. Wanita itu
hanya bisa menyimpan rasa cemas dan khawatir
di hatinya. "Ayo, kita berangkat...!" ajak Ramapati pada Sadiro dan teman-temannya.
Segeralah mereka pergi. Dan ketika berada
di luar rumah, tiba-tiba Sadiro berkata pada Ra-
mapati. "Lebih baik kita bicara di rumah kami, ka-
rena ada seseorang yang menunggu dan ingin ber-
temu dengan Ki Ramapati...,"
"Siapa orang itu?" tanya Ramapati sambil mengerutkan kening agak curiga.
"Nanti Ki Ramapati akan tahu sendiri. Mari,
jangan sampai dia keburu pergi...!" sahut Cilung.
Ramapati berpikir sejenak, lalu dia men-
gangguk dan melangkah diikuti oleh Cilung dan
Mandra. Mereka akhirnya memasuki sebuah hutan.
"Sebenarnya apa yang akan dibicarakan,
Sadiro?" tanya Ramapati kembali.
"Tentang keris pusaka itu," jawab Sadiro tegas. Tersentak kaget Ramapati
mendengarnya. Langkahnya terhenti, dengan mata memandang ta-
jam ke arah Sadiro dan kedua kawannya.
"Apa,.." Aku tak pernah menyimpan keris
itu. Kenapa kau tanyakan padaku"!" kata Ramapati dengan hati cemas dan mulai tak
tenang. "Ayo...! Jangan banyak bicara! Kami sudah
muak dengan semua kebohonganmu!" tiba-tiba Cilung membentak.
"Kurang ajar kau, berani membentakku!
Apa sebenarnya maksud kalian..."!"
Ramapati mulai kesal dan kembali meng-
hentikan langkah kakinya.
"Tenang saja Ki Ramapati, tak jauh lagi, su-
dah dekat Sebentar lagi kau akan tahu, apa mak-
sud kami. Ha ha ha...!" sambar Mandra lalu terta-
wa-tawa. Mereka semakin jauh memasuki hutan. Tak
ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut mereka.
Terutama Ramapati yang sudah merasakan keti-
dakberesan bekas orang-orang kepercayaannya.
Namun, karena dia memiliki sifat tak mau mundur
sebelum melihat kenyataan, maka dengan langkah
lebar Ramapati mengikuti Sadiro dan kawan-
kawannya. *** Di tengah hutan, karena tidak menduga
sama sekali kalau ketiga bekas anak buahnya
bermaksud jahat, Ramapati sempat lengah dan
kurang waspada. Dengan tanpa basa-basi lagi Sa-
diro, Cilung, dan Mandra secara bersama-sama
membunuh bekas tumenggung itu. Mereka mem-
babat dan menusukkan golok ke tubuh Ramapati.
Crass! Crass! Jlep! Jlep! "Aaaa...!"
Tubuh Ramapati ambruk dengan usus ter-
burai dari perutnya. Kepalanya hampir putus kena
tebasan golok Sadiro si Muka Pucat yang ternyata
pembunuh darah dingin.
"Kini semuanya telah dapat kita selesaikan
dengan baik, Sobat. Ayo, kembali ke rumah Rama-
pati, kita ancam istri dan semua penghuni rumah
itu. Jika membangkang, kita bunuh saja...!" kata Sadiro dengan wajah dingin,
lalu melesat pergi.
Pada saat itu, tanpa diketahui Sadiro dan
kedua kawannya, ternyata ada sepasang mata
yang menyaksikan perbuatan keji mereka. Dengan
diam-diam sosok itu pergi meninggalkan semak-
semak tempatnya bersembunyi.
Sementara di rumahnya, Laras dan para
penjaga serta adik ipar yang bernama Abisona,
merasa tegang menanti kedatangan Ramapati.
"Kenapa kau tadi tidak menyertai kakakmu,
Abisona" Aku khawatir Sadiro, Cilung, dan Man-
dra mempunyai maksud jahat. Hatiku merasakan
itu...," keluh Laras dengan wajah cemas. Matanya berkaca-kaca, nampak bingung
dan gelisah sekali.
"Maafkan saya, Kak! Saya pun menyesal...,"
jawab Abisona sambil menunduk. Lalu kembali
mengangkat mukanya. "Tapi saya akan menuntut balas jika sampai terjadi apa-apa
terhadap Kakang Ramapati...," lanjut Abisona dengan nada geram.
Wajahnya keras penuh amarah.
Pada saat itu seorang perempuan setengah
baya muncul menggendong anak laki-laki berumur
tiga tahun yang sedang tidur pulas.
"Laras, jangan kau mempunyai perasaan
yang bukan-bukan! Sebaiknya kau berdoa, agar
Ramapati suamimu tak mendapatkan musibah
atau celaka...," ujar wanita setengah baya yang menggendong anak Laras.
"Tapi firasatku ini rasanya benar, Nyi Nin-
grum," sahut Laras dengan suara tegas. Lalu mendekati Nyi Ningrum, dan menciumi
anaknya. Ketika Laras dan semuanya yang ada di situ
dicekam ketegangan, tiba-tiba terdengar suara pin-tu didobrak. Sehingga tiga
orang punggawa terpen-
tal jatuh dengan luka parah akibat sabetan golok.
Muncul Sadiro si Muka Pucat dengan tata-
pan mata dingin, diikuti Cilung, dan Mandra yang
berdiri di sisi kiri dan kanan Sadiro.
"Ha ha ha...! Kalian terkejut melihat keda-
tangan kami bertiga tanpa Ramapati, bukan..."!
Ha ha ha...!" seru Mandra yang bermulut besar dan bibir tebal.
"Bedebah! Kalian manusia tak tahu sopan
santun dan kejam!" bentak Laras lantang dengan mata melotot marah sekali.
"Ha ha ha...! Aku senang melihat wanita se-
cantik kau marah. Membuat kelelakianku makin
terusik. Ha ha ha, hi hi hi ha ha...!" goda Cilung sambil tertawa cekikikan.
"Hei, Manusia Laknat! Mana kakakku..."!
Jawab!" bentak Abisona yang mulai tak sabar.
"Kalau kau menanyakan kakakmu, terus te-
rang kukatakan, dia kini mungkin sudah berada di
surga atau neraka...!" jawab Sadiro si Muka Pucat dengan tenang. Raut wajahnya
yang dingin seakan
tak pernah melakukan kejahatan atau dosa.
"Biadab...!" teriak Laras histeris. Lalu dengan penuh amarah dia menyerang
Sadiro. Namun lelaki itu dengan tenang menangkis tangan kiri
dan menangkap tangan kanan Laras yang men-
gayun ke arahnya.
"Hem...! Huh!" gumam Sadiro, lalu mendekap Laras. Dipelintirnya tangan Laras
kemudian ditarik ke belakang, hingga wanita itu tak bisa bergerak lagi. Tubuhnya hanya
bisa meronta-ronta
dan berteriak minta tolong.
Sementara itu Mandra dan Cilung berta-
rung melawan Abisona. Adik kandung Ramapati
itu masih bisa meladeni kedua lawannya. Pada
saat itu pula Nyi Ningrum berlari ke dalam, ber-
maksud menyelamatkan anak Laras yang digen-
dongnya. Anak itu anehnya tetap tidur pulas.
"Lepaskan! Lepaskan Biadab...! Kau tak ta-
hu balas budi. Bajingan!" teriak Laras sambil me-mukuli dan mencakar Sadiro
dengan tangan ki-
rinya. Sebab tangan kanannya telah dicekal erat
oleh lelaki berwajah pucat itu.
Sadiro tampak mulai murka. Dengan sekali
hajar, seketika Laras memekik panjang, lalu tak
bernyawa lagi Lelaki berwajah sadis dan dingin itu kini telah menjadi salah satu
murid seorang tokoh sesat berilmu iblis.
Lalu Sadiro yang mengetahui Nyi Ningrum
menghilang, segera mencarinya ke semua ruan-
gan. Pada saat itu terlihat sesosok lelaki berpa-
kaian jubah putih berkelebat, diikuti seorang pembantu yang bekerja di rumah
Ramapati. Lelaki tua
berjubah putih itu ternyata Ki Tunggul Segara. Ke-datangannya ke rumah Ramapati
karena diberita-
hu oleh Ki Suro, salah seorang pembantu di rumah
bekas tumenggung itu. Ternyata Ki Suro-lah yang
tadi sempat menyaksikan pembunuhan terhadap
tuannya di dalam hutan.
Namun kedatangan Ki Tunggul Segara ter-
lambat. Laras telah terbunuh, begitu pula Abisona, adik iparnya. Lelaki tua itu
hanya sempat menemukan Sadiro yang baru saja membunuh Nyi Nin-
grum. Ki Tunggul Segara yang juga berjuluk Pen-
dekar Bijaksana menghajar Sadiro dengan puku-
lan beruntun. Sehingga lelaki pucat dan berdarah
dingin itu tak sempat melakukan serangan balik.
Ki Tunggul Segara yang lebih memusatkan untuk
menyelamatkan anak Ramapati yang masih beru-
mur tiga tahun, hanya sempat melukai Sadiro.
Kemudian dia berusaha menyelamatkan anak kecil
itu yang terus menangis tak henti-hentinya. Lalu


Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya menghilang dari rumah itu.
Mandra dan Cilung yang baru datang terke-
jut melihat Sadiro pingsan. Tampak dada Sadiro
luka bertanda telapak tangan berwarna biru kehi-
taman. "Hah..."! Tapak Sakti!" seru Mandra kaget
"Gawat, sebaiknya kita cepat bawa Sadiro pergi da-ri sini. Kita harus mencari
obat untuknya, kalau
tidak dia akan mati. Dan kita juga akan mampus
jika orang yang memiliki ilmu ini kembali...," tutur Cilung dengan tegang.
Mereka dengan cepat menggotong tubuh
Sadiro yang pingsan karena luka yang sangat
membahayakan jiwanya.
"Sial! Kita belum sempat menanyakan di
mana keris itu. Sadiro terlalu mengikuti nafsu
membunuhnya. Tunggu di sini, biar aku kembali
mencari keris itu...!" kata Cilung begitu teringat akan Keris Naga Sakti. Orang
yang dapat memiliki
keris pusaka itu akan menjadi sakti luar biasa.
Begitulah berita yang tersebar di kalangan rimba
persilatan. Oleh karena itulah keris itu dipere-
butkan para tokoh persilatan, baik dari golongan
beraliran lurus maupun hitam.
Cilung sudah berada di dalam rumah Ra-
mapati yang sudah kosong. Hanya mayat-mayat
yang tampak tergeletak di lantai rumah itu. Dia
langsung mengobrak-abrik perabotan rumah dan
apa saja yang dianggap tempat menyimpan benda
pusaka itu. Namun Cilung tak menemukan apa-apa.
Malah dirinya menjadi seperti orang gila berteriak-teriak sambil menendang dan
menghancurkan apa
saja. Brakkk! Prang...! Prang!
"Huh! Sial! Rupanya sudah ada orang lain
yang mendahului. Atau memang keris itu tak ada
di rumah ini...!" sungut Cilung marah, lalu melesat pergi dengan hati dongkol.
2 Purwadhika masih termangu mendengar
penuturan gurunya, Ki Tunggul Segara.
"Itulah awal dari kesedihanku. Ayahmu ada-
lah putra tunggalku. Tapi kuharap, kau tidak me-
naruh dendam terhadap mereka, Cucuku. Kalau
bisa sadarkan mereka, itulah tujuan kita. Ajaran
kita sejak dulu.... Namun jika mereka tidak dapat mengerti, terserah padamu....
Hanya usahakan jangan kau bunuh mereka, jika mereka sudah
minta ampun dan bertobat!" pesan Ki Tunggul Segara dengan suara penuh wibawa.
Purwadhika mengangkat kepalanya perla-
han, menatap sang Guru yang juga kakeknya sen-
diri. Dihelanya napas dalam-dalam, seakan tengah
mencoba menenangkan perasaannya.
"Cucuku, apa yang ada dalam benakmu se-
karang, hah...?" tanya Ki Tunggul Segara.
"Saya dapat mengerti, Kek. Apa yang telah
Kakek katakan, akan saya patuhi. Tapi, bagaima-
na arwah Ayah, jika aku tidak membalaskan ke-
matian Ayah dan Ibu...?" kata Purwadhika, lalu menundukkan kepala.
"Hemm.... Aku mengerti. Ayahmu juga tak
ingin kau membunuh atau menuntut balas, Cucu-
ku. Mereka hanya inginkan keris pusaka ini. Keris Pusaka Naga Sakti. Karena para
tokoh persilatan,
baik aliran putih maupun hitam sampai kini masih
terus mencari keris pusaka ini...," tutur Ki Tunggul Segara. "Apakah keris itu
benar-benar memiliki kesaktian, Kek...?" tanya Purwadhika kemudian dengan
mengerutkan kening sambil memandangi keris
di tangan kakeknya.
Ki Tunggul Segara menganggukkan kepala.
Dia mengangkat keris itu dengan kedua tangan ke
atas kepalanya, kemudian perlahan diturunkan-
nya sampai di dada. Dipandanginya keris itu den-
gan seksama. "Keris ini sebenarnya titipan dari saudara
seperguruanku, Aji Sena. Keris ini tak sempat di-
berikan pada menantunya yang bernama Citra
Yudha. Yang telah mati di tangan manusia iblis,
Segoro Wedi." (Tentang Citra Yudha dan Segoro Wedi, silakan baca serial Pendekar
Gila pada epi- sode; 'Suling Naga Sakti').
"Lantas untuk apa Kakek Guru terus me-
nyimpannya, hingga mengakibatkan petaka ke-
luarga kita...?" tanya Purwadhika dengan suara agak tinggi.
"Kau belum mengerti, Cucuku. Keris ini ku-
simpan di sini agar tokoh-tokoh persilatan tak dapat menemukan. Dan mereka tak
akan percaya kalau aku masih hidup. Para tokoh aliran hitam
umumnya menyangka aku telah mati, karena luka
dalamku, akibat pertarunganku dengan orang-
orang berilmu tinggi yang memiliki ilmu iblis. Namun berkat bantuan Aji Sena-lah
aku bisa sem- buh...," tutur Ki Tunggul Segara.
Sejenak Ki Tunggul Segara menghela napas
panjang. Keris pusaka itu kini dipegang dalam
genggaman tangan kanannya. "...dan aku dapat hidup sampai sekarang. Keris ini
menjadi milikku.
Dan sejak itu aku telah berjanji, tak akan muncul lagi di rimba persilatan yang
penuh amarah dan
pertentangan. Maka aku berjanji keris ini akan
kuwariskan pada cucu pertamaku, tak peduli laki-
laki atau perempuan. Aku memang merasa bersa-
lah, menyesal. Putra tunggalku sendiri, ayahmu
itu serta ibumu mati karena keris pusaka ini. Tapi semua itu kulakukan bukan
bermaksud untuk
mencelakakan kedua orangtuamu, Purwadhika.
Hanya sayang, rahasia keris ini tercium oleh to-
koh-tokoh aliran hitam yang selalu ingin mencari
masalah di dunia persilatan...."
Purwadhika menghela napas dalam-dalam.
Dia menatap wajah sang Kakek yang juga guru
tunggalnya. Purwadhika bisa memaklumi apa yang
telah diperbuat kakek gurunya.
"Maafkan saya, Kakek..!" ucap Purwadhika lemah dengan tetap menundukkan kepala.
"Sudahlah, yang lalu biar berlalu. Kini kau
telah mewarisi ilmuku. Enam belas tahun lamanya
kau tinggal bersamaku. Kini sudah waktunya kau
turun. Keluarlah, cari pengalaman hidup! Setialah pada kebenaran dan membela
kaum lemah yang
membutuhkan.... Aku tak melarangmu, apa pun
yang kau kehendaki. Ketiga orang pembunuh ke-
dua orangtuamu, pamanmu, dan bibimu memang
perlu kau cari. Dan seperti yang telah kusampai-
kan tadi, semua kuserahkan padamu, Purwadhi-
ka. Jangan membunuh, jika orang itu sudah me-
nyerah. Kecuali jika mereka bertindak kejam dan
kasar serta ingin membunuhmu...."
Panjang lebar wejangan yang disampaikan
Ki Tunggul Segara pada cucu tersayang yang juga
murid tunggalnya.
Kemudian Pendekar Bijaksana itu menye-
rahkan Keris Naga Saki pada sang Cucu. Purwad-
hika menerimanya dengan kedua tangan lalu men-
cium keris pusaka itu.
"Kuserahkan keris pusaka itu padamu. Ja-
galah baik-baik, jangan sampai jatuh ke tangan
orang jahat. Mereka akan lebih jahat dan kejam,
karena Keris Pusaka Naga Sakti itu mengandung
kesaktian yang luar biasa...," tutur Ki Tunggul Segara lagi.
"Saya mengerti Kakek Guru...," jawab Purwadhika sambil menundukkan kepala.
"Sekarang pergilah, tapi pakailah bekas pa-
kaianku! Agar kau nampak lebih gagah dan bersih.
Gantilah dulu...!" kata Ki Tunggul Segara sambil menyerahkan sepasang pakaian
silat berlengan
panjang berwarna coklat muda.
Segera Purwadhika bangkit dari duduknya,
lalu menuju ke salah satu sudut. Sementara itu, Ki Tunggul Segara masih duduk
bersila di tempatnya,
dengan kedua tangan ditopangkan pada kedua
pahanya. Purwadhika sudah selesai memakai pakaian
pemberian Ki Tunggul Segara. Nampak pemuda itu
bertambah gagah dan berwibawa. Wajahnya sea-
kan memancarkan cahaya terang. Sorot matanya
tajam. Mungkin pengaruh pakaian bersejarah dari
Pendekar Bijaksana itu. Sebab, di masa mudanya
Ki Tunggul Segara sangat disegani dan ditakuti karena kesaktiannya. Apalagi
setelah dia mendapat
warisan Keris Pusaka Naga Sakti, dari saudara se-
perguruannya Aji Sena.
"Kau nampak bertambah gagah, Cucuku.
Sudah lama aku ingin melihat kau memakai pa-
kaian kebesaranku itu," kata Ki Tunggul Segara dengan wajah cerah. Dia merasa
bangga melihat cucunya yang gagah dan tampan itu.
"Apakah saya pantas memakai pakaian ini,
Kakek Guru...?" tanya Purwadhika, sambil memperhatikan pakaiannya.
"He he he... kenapa tidak" Tapi, ingat. Jika ada yang mengenali pakaian yang kau
pakai itu, dan mendesakmu untuk menjelaskan, katakan sa-
ja kau muridku! Karena, aku yakin tokoh-tokoh
persilatan seangkatanku sampai generasi sekarang
mengenali pakaian warna coklat muda dengan sa-
rung batik bergambar jatayu itu...," kata Ki Tunggul Segara.
"Tapi, Kakek tadi bercerita bahwa Kakek in-
gin tenang dan tak ingin lagi berurusan dengan
dunia persilatan. Jika nanti mereka tahu kalau
Kakek Guru masih hidup, apakah tidak berbahaya
bagi Kakek Guru...?" nada suara Purwadhika begitu khawatir terhadap keberadaan
kakeknya. "He he he... Aku sudah siap kini, Cucuku.
Jangan kau khawatirkan aku. Pergilah, doaku me-
nyertaimu. Dan satu hal lagi yang harus kau ingat.
Jika nanti kau bertemu seorang pendekar muda
berpakaian rompi kulit ular, dengan tingkah laku
yang konyol seperti orang gila. Katakan bahwa kau cucuku...!" kata Ki Tunggul
Segara. "Siapa pendekar muda itu, Kek...?" tanya Purwadhika ingin tahu.
"Sena. Sena Manggala. Dia putra tunggal Ci-
tra Yudha, cucu Kakang Aji Sena. Pemilik keris
pusaka pertama, yang kini kau sandang itu. Sena
pendekar yang sangat ditakuti dan disegani, kare-
na ilmunya yang tinggi dan aneh. Karena tingkah
lakunya itu dia disebut Pendekar Gila...," tutur Ki Tunggul Segara.
"Pendekar Gila...?" gumam Purwadhika.
"Jika kau bertemu dengan dia, katakan
bahwa keris pusaka itu sudah kau sandang. Kare-
na dia pasti akan menanyakan hal itu padamu,
untuk meyakinkan dirinya, bahwa kau benar cu-
cuku dan satu aliran."
"Lantas apa lagi yang akan saya katakan,
Kek...?" "Jika dia ingin menemuiku, ajaklah kemari!"
jawab Ki Tunggul Segara tegas. "Sudah, kini pergilah...! Hati-hati dan ingat
semua pesanku...," tambah Ki Tunggul Segara.
Purwadhika segera menjura beberapa kali,
lalu mencium tangan Ki Tunggul Segara dengan
penuh perasaan kasih.
"Pergilah!" suara lelaki tua itu terdengar perlahan.
*** Tokoh-tokoh rimba persilatan ternyata ma-
sih saja membicarakan Keris Naga Sakti yang
sampai kini belum juga diketemukan. Terutama,
tokoh-tokoh sesat yang sangat ingin memiliki keris itu, kini membentuk kelompok
dalam usahanya mencari pusaka yang kini berada di tangan Pur-
wadhika. Seperti pada suatu sore di sebuah bangu-
nan yang bentuknya seperti kuil Cina. Sudah tua
sekali, dinding-dindingnya sebagian berlumut dan
berwarna kelabu.
Di dalam kuil itu ada delapan orang tokoh
aliran hitam. Di antaranya, Sadiro dan Cilung yang sudah tua. Rambut mereka
sebagian sudah putih.
Mereka duduk melingkar. Salah satu dari kedela-
pan tokoh itu dikenal dengan nama Sindang Ma-
nik, namun nama aslinya sebenarnya Wongso Gu-
no. Lelaki tua itu sengaja merubah nama dan dan-
danan dengan yang menyeramkan, untuk lebih le-
luasa menjalankan rencananya yang jahat. Dia in-
gin memiliki keris itu dengan cara lain. Wongso
Guno mempunyai seribu akal bulus. Dia tak se-
gan-segan membunuh dan berbuat curang terha-
dap kawan sendiri.
Sore itu mereka berkumpul, karena men-
dengar bahwa keris itu ada di tangan seorang lela-ki tua yang sakti. Saat itu
mereka sedang berdebat mengenai Keris Pusaka Naga Sakti. Sebenarnya di
antara mereka saling tidak percaya, saling mencu-
rigai. Seperti pada saat ini, antara empat saudara yang dikenal dengan julukan
'Empat Jin Botak da-ri Selatan' bertengkar mulut dengan Wesi Geni
yang berilmu tinggi.
"Sobat Sindang Manik, kau sebagai pimpi-
nan pertemuan itu tak usah ragu akan keteguhan
imanku. Tampaknya kau masih belum percaya
akan ucapanku, bukan?" sergah Wesi Geni dengan bangga, kedua matanya melirik
sinis ke arah Empat Jin Botak yang ada di sebelah kiri Wesi Geni.
"Tetapi selama sepuluh tahun terakhir ini,
aku belum pernah meninggalkan pertapaanku. Ka-
rena persoalan Keris Pusaka Naga Sakti yang akan
kita perebutkan itu, aku sengaja menghentikan
pertapaan. Aku tak mau setan-setan rakus yang
sudah berada di sini menjadi kelompok kita...!"
Kembali mata Wesi Geni melirik sinis ke


Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah Empat Jin Botak dari Selatan.
"Hm, sombong!" ujar Jin Kobra yang dikenal mempunyai ludah beracun.
"Kami Empat Jin Botak dari Selatan me-
mang tergolong manusia-manusia yang tak beri-
man," sela Jin Soka yang berjuluk Topan Bergulung. "Tapi kelicikan Wesi Geni pun
sudah sangat terkenal," sambungnya menyindir.
"Semua orang tahu bagaimana kotornya ha-
timu, Wesi Geni," tuding Jin Sudra atau si Racun Lima Naga.
"Siasatmu tentu hendak menggunakan ma-
tamu yang kotor, untuk membutakan mata para
jago yang bening, bukan" Sungguh menggelikan,"
ejek Jin Kala atau si Mata Merah sambil tertawa-
tawa. Mendengar Empat Jin Botak dari Selatan
itu memakinya secara bergantian, menyindir, dan
mengejek dirinya, hati Wesi Geni menjadi gusar
bukan main. Dengan sorot mata yang tajam dan
berapi-api, dia memandangi keempat orang ber-
saudara itu secara bergantian.
"Nama kalian berempat pun sudah demi-
kian jeleknya di rimba persilatan. Dosa kalian sudah menggunung setinggi langit.
Karena itu sudah
sepantasnya kalian dilenyapkan dari permukaan
bumi ini," kata Wesi Geni dengan kasar dan suaranya yang bergetar.
Dan selesai kalimat terakhir, Wesi Geni
dengan cepat menggerakkan kedua tangan bagai
membuat jurus. Lalu ditepukkan kedua telapak
tangannya dengan keras disusul dengan mene-
pukkan telapak tangan kanannya ke dada yang
sebelah kiri. Dan bersamaan dengan itu, terlihat-
lah seekor kumbang berwarna keperakan berteng-
ger di ujung gagang pedang yang tersandang di
punggungnya. Kumbang Perak itu melebarkan
sayapnya, lalu terbang cepat menyerang Jin Mata
Merah. Kian lama kecepatan terbang Kumbang Pe-
rak kian cepat. Luar biasa sekali. Menyambar-
nyambar tubuh Jin Mata Merah.
Semua yang ada di situ tercengang, terma-
suk Sindang Manik dan Sadiro, lelaki bermuka
pucat yang kini bersekutu dengan Sindang Manik.
Mereka terpaksa berdiri dan mundur ke belakang.
Jin Mata Merah belum sempat meloloskan
pedang ketika Kumbang Perak itu telah beberapa
kali berhasil menggigit tubuhnya.
Begitu pedang tergenggam di tangannya, Jin
Mata Merah dengan cepat menggerakkannya un-
tuk membentuk ratusan bunga-bunga pedang
yang berwarna merah menyala bagai api membara.
Maksudnya untuk melindungi dirinya dari seran-
gan Kumbang Perak yang sangat berbahaya itu.
Trakkk! Dengan keras pedang Jin Mata Merah
menghantam Kumbang Perak yang sedang me-
nyambar-nyambar itu. Akibatnya, Kumbang Perak
terpental dan terjatuh ke atas lantai, setelah terlebih dahulu membentur keras
ke dinding. Melihat serangannya berhasil, Jin Mata Me-
rah langsung tersenyum dingin.
"Aku tak yakin seekor kumbang mampu
mencabut nyawaku," katanya bernada meremeh-
kan. Akan tetapi, rasa penasaran Jin Mata Merah
belum selesai. Matanya seketika terbelalak, karena
melihat Kumbang Perak ternyata sudah kembali
berkelebat menyambar dengan amat cepat, bagai-
kan anak panah.
Menjadi gugup juga Jin Mata Merah, karena
kewalahan dibuatnya.
Kini Kumbang Perak sudah semakin cepat
terbang berputaran di atas Empat Jin Botak dari
Selatan itu. Terbangnya kian lama kian cepat, se-
hingga yang terlihat kini cuma rentetan sinar ke-
perakan dan menyilaukan. Disertai suara siulan
panjang melengking dan semakin meninggi dari
mulut Wesi Geni. Ruangan rumah tua yang lebih
mirip kuil Cina itu kini hanya dipenuhi ekor sinar keperakan sehingga
mengaburkan penglihatan.
Tiba-tiba, dari ekor sinar keperakan itu, ter-
sebarlah asap hitam yang tidak terlalu tebal. Na-
mun baunya sangat amis dan menusuk hidung. Di
samping bau, asap itu pun membuat mata terasa
perih dan pedas.
Sadiro yang berwatak keras dan gampang
marah, segera menyerang Wesi Geni, bermaksud
agar menghentikan serangan Kumbang Peraknya.
Namun baru saja Sadiro hendak mencengkeram
tangan Wesi Geni, dalam sekejap saja lelaki ber-
muka pucat itu terpental, karena sinar keperakan
itu ternyata dapat pula menghajar tubuhnya.
Plarrr! "Aaaa...!" pekik Sadiro lalu roboh.
Cilung kaget dan hendak menolongnya, tapi
ragu. Sedangkan Sindang Manik nampak tenang-
tenang saja. Dia sebenarnya lebih suka mereka
saling bunuh. Dengan begitu dia nanti akan dapat
menguasai Keris Pusaka Naga Sakti seorang diri.
Meskipun sampai sekarang belum dapat diketahui
siapa yang menyimpan keris itu.
Tiba-tiba Cilung dan satu tokoh lagi yaitu
Burisrawa, lelaki bermuka lebar rambut keriting
panjang diikat dengan kain warna merah, sama-
sama memegangi kepala.
"Waduh...! Kepalaku..., pusiiing...!" pekik Burisrawa dan Cilung.
Sindang Manik dan Sadiro merasakan hal
yang sama. Sedangkan Empat Jin Botak dari Sela-
tan tampak masih bisa bertahan.
Kini, Jin Soka dan Jin Kala secara serentak
melakukan perlawanan, dengan membentuk suatu
barisan pedang untuk menghalangi sambaran
Kumbang Perak milik Wesi Geni.
Pada saat bersamaan Jin Kobra memba-
batkan pedang ke depan ketika melihat Kumbang
Perak hendak menyambar Jin Sudra.
Trakkk! Kuat sekali hantaman pedang Jin Kobra
dan tepat mengenai Kumbang Perak. Sehingga
Kumbang Perak terpental sejauh sepuluh depa di
depan pintu rumah tua itu.
Akan tetapi, Kumbang Perak kembali mem-
buat kejutan. Binatang itu tiba-tiba telah mampu
merentangkan sayapnya dan terbang melakukan
serangan susulan yang dahsyat.
"Hah..."!" Empat Jin Botak dari Selatan kaget. Sambaran kumbang yang begitu
cepat mem- buat mereka hanya bisa menundukkan kepala
sambil menebas sebisanya. Sial bagi Jin Soka....
"Aaakh...!"
Jin Soka memekik, ketika melihat jari telun-
juk tangan kanannya sudah menghitam dan mem-
bengkak. "Aa... aku kena racun itu! Racun Kumbang
Perak!" seru Jin Soka gugup sambil mundur ter-seok-seok.
"Ha ha ha..., itu sudah pasti!" sahut Wesi Geni tertawa-tawa.
Jin Sudra, yang melihat hal itu segera
membabat jari tangan Jin Soka, sehingga terputus.
Darah segar berceceran di atas lantai.
"Terima kasih, Sudra!" seru Jin Soka. Karena dia menyadari maksud baik
saudaranya. Sebab
bila tak dilakukan, tentulah racun itu akan me-
rambat ke sekujur tubuhnya. Dan itu sangat ber-
bahaya karena bisa membuatnya mati!
Baru saja Jin Sudra menyahut, Kumbang
Perak ternyata sudah berhasil menerobos masuk
ke dalam pagar bayangan pedang yang dibentuk
oleh Jin Sudra, Jin Kala, dan Jin Kobra. Dengan
cepat Jin Sudra menebaskan pedangnya untuk
menghajar ke samping sambil mundur selangkah.
Jin Kobra, yang melihat situasi gawat, sege-
ra menghalau Jin Soka yang jari tangannya putus
itu. "Cepat balut lukamu itu!" teriak Jin Kobra sambil membuat pagar di depan
Jin Soka. Kini, tiga bilah pedang terus berkelebat me-
nyambar-nyambar membentuk suatu pagar perta-
hanan yang amat rapat, guna melindungi diri me-
reka, serta mencari kesempatan melakukan seran-
gan. Melihat serunya pertarungan itu, para tokoh lainnya menjadi sama-sama
tegang, sekaligus kagum. Sindang Manik alias Wongso Guno dan Sadi-
ro yang berdampingan sama-sama menatap tanpa
berkedip. "Kita harus selalu waspada. Terutama pada
Wesi Geni. Dia memiliki ilmu yang sukar ditandin-
gi...!" bisik Sadiro yang memang dekat dengan Sindang Manik. Karena mereka
berdualah yang mem-
punyai rencana jahat pada kelompoknya sendiri,
bila kelak sudah menemukan orang yang menyim-
pan Keris Naga Sakti itu.
"Hm...," gumam Sindang Manik pendek,
"Tapi kecerdikan dan kelicikanku lebih unggul dari ilmu Wesi Geni dan Empat Jin
Botak dari Selatan
itu...," tambah Sindang Manik. "Jangan kau terlalu khawatir..., Sadiro!"
Sadiro tersenyum mendengar ucapan saha-
batnya itu. Matanya kembali memperhatikan per-
tarungan. Namun pertarungan akhirnya terhenti, keti-
ka Mandra muncul sambil berteriak.
"Berhenti...!" seru Mandra dengan napas ngos-ngosan.
Seketika semuanya menoleh ke arah Man-
dra. Sindang Manik dan Sadiro segera mengham-
pirinya. "Bagaimana" Apakah penyelidikanmu
membawa berita baik...?" tanya Sadiro dengan dingin. "Mandra tak pernah gagal.
Sebaiknya sabar
dulu, aku akan memberi kabar baik pada sobat
sekalian...," jawab Mandra membanggakan dirinya.
"Cepat katakan, apa yang kau dapat..!" ujar Sindang Manik dengan nada berat
"Baiklah.... Kita rupanya harus menempuh
perjalanan jauh. Memerlukan waktu lima hari un-
tuk mencapai tempat itu. Di lereng Gunung Maja-
laya," kata Mandra menjelaskan.
"Apakah kau tahu siapa orang yang me-
nyimpan keris itu...?" tanya Sadiro perlahan.
"Ya. Seorang kakek yang dikenal dengan
nama Pendekar Bijaksana...!" jawab Mandra tegas, sambil merentangkan kedua
tangannya dan tersenyum lebar.
"Hanya seorang kakek..." Ha ha ha...!" sahut Wesi Geni sombong.
"Jangan kau bersenang hati, Wesi Geni!
Apakah kau lupa atau kurang dengar bahwa ka-
kek itu adalah Pendekar Bijaksana yang memiliki
ilmu cukup tinggi. Apalagi kini keris itu ada di
tangannya...," tukas Sindang Manik dengan nada berat Wesi Geni mengerutkan
kening sejenak, lalu menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tahu, tapi dengan Kumbang
Perak, tak mungkin kakek itu
akan mampu melawanku. Tapi keris itu...?" Wesi Geni tak melanjutkan ucapannya.
Dia kemudian nampak berpikir. Karena kesaktian Keris Naga
Sakti akan bisa menghancurkan Kumbang Perak-
nya. Maka itu seketika Wesi Geni diam membisu.
Empat Jin Botak dari Selatan tersenyum-
senyum mengejek Wesi Geni.
"Sudahlah, sebaiknya kita membuat renca-
na yang matang, agar kelak tak ada hambatan.
Hanya kelompok kita yang mengetahui rencana
itu. Jangan sampai tercium orang luar...!" kata Sindang Manik. Lalu melirik ke
arah Sadiro dengan penuh arti. Sadiro mengedipkan sebelah ma-
tanya. "Ayo, sebaiknya kita berkumpul...!" kata Sadiro tiba-tiba.
Mereka segera berkumpul kembali, merun-
dingkan rencana besar mereka. Sampai jauh ma-
lam. 3 Kutareja merupakan sebuah kota kecil yang
cukup ramai didatangi para pendatang dari semua
penjuru Jawadwipa. Siang itu sinar matahari tera-
sa terik dan menyengat. Namun tak membuat para
pendatang merasa terganggu. Mereka asyik dengan
kesibukan masing-masing. Ada yang berbelanja,
nonton tukang obat, atau menikmati makanan di
kedai-kedai di kota itu.
Dari kejauhan, tepatnya di ujung Kutareja,
nampak seorang pemuda berambut gondrong,
dengan ikat kepala dan pakaian rompi kulit ular.
Pemuda tampan itu tampak cengar-cengir sambil
menggaruk-garuk kepala, melangkah dengan san-
tai di antara orang-orang yang simpang-siur di jalanan Kutareja itu.
Rumah-rumah di Kutareja itu memiliki ke-
miripan bentuknya dengan bangunan Cina kuno.
Sebagian memang ada yang dari bilik, tapi banyak
pula yang berdinding tembok.
"Aha, ramai juga Kutareja ini. Baru kali ini aku datang kemari," gumam pemuda
berpakaian rompi kulit ular. Matanya terus memandang ke ki-
ri dan ke kanan sambil menggeleng-gelengkan ke-
pala yang berambut ikal.
Orang-orang yang kebetulan berpapasan
dengan pemuda itu, pasti merasa heran dan berge-
leng-geleng kepala. Karena melihat tingkah pemu-
da tampan yang terkadang tertawa-tawa sendiri,
cengengesan, dan menggaruk-garuk kepala.
"Ah, lebih baik aku istirahat sejenak. Teng-
gorokan haus...," gumam pemuda bertingkah laku seperti orang tidak waras yang
tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila.
Sena langsung memasuki rumah makan.


Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bangunan cukup besar itu dipadati pengunjung,
yang kebanyakan orang dari luar daerah, bukan
warga Kutareja. Mereka kebanyakan pedagang.
Ada juga beberapa pedagang dari Cina, duduk di
salah satu sudut menikmati hidangan pesanan-
nya. Di antara para pengunjung, ada dua lelaki
yang nampak sinis ketika Sena memasuki rumah
makan itu. Tampaknya mereka curiga akan keda-
tangan Sena. "Hei! Kau lihat pemuda yang baru masuk
itu. Rasanya aku pernah ingat. Tingkahnya kaya
bocah edan...!" ucap lelaki yang bermata jalang, berhidung betet, dengan pakaian
serba hijau. Ku-
misnya tipis melintang di atas bibir.
"Hmmm...," kawannya hanya bergumam
sambil menoleh ke arah Sena yang sudah duduk
tak jauh dari tempat duduk mereka, "Kayaknya pemuda itu bukan pemuda
sembarangan.... Tapi,
kita harus selidiki dia, Burisrawa..."
"Ya. Heh, Cilung. Rasanya aku pernah den-
gar ciri-ciri seorang pendekar sakti yang sedang
kondang di rimba persilatan. Apakah pemuda
itu...," Burisrawa tak meneruskan ucapannya, karena kawannya menyelak.
"Aah, sudahlah! Jangan hiraukan pemuda
itu. Makan dulu, nanti makananmu keburu din-
gin. Kau terlalu terbawa oleh pikiranmu saja. Yang lebih penting keris pusaka
itu...!" kata Cilung lalu menggigit daging ayamnya dengan rakus. Mulutnya penuh
dengan nasi dan lauk. Nampak jorok,
cara kedua orang itu makan.
Sena yang duduk terpaut dua meja di sebe-
lah kiri mereka, dengan ilmu 'Sapta Pangringu'
yang dapat mendengar percakapan orang dalam
jarak jauh, mengetahui percakapan dua orang itu.
Dia mengerutkan kening dan menggaruk-garuk
kepala, kemudian melirik sejenak ke arah Cilung
dan Burisrawa. Pada saat itu datang pelayan membawa hi-
dangan yang dipesan Sena. Dia segera tersenyum
pada pelayan lalu mulai menyantap makanannya.
"Aku penasaran.... Perasaanku mengatakan
bahwa pemuda itu seorang pendekar. Aku yakin
itu," gumam Burisrawa yang nampak masih curiga pada Sena.
Dia sebenarnya mengenal siapa sebenarnya
pemuda itu. Namun lelaki bermuka lebar dan ber-
kumis tebal yang wajahnya selalu memerah itu
agak mabuk, karena terlalu banyak minum arak
yang selalu dibawanya dalam guci berukuran kecil.
Hal itu membuat ingatannya agak kabur.
"Terserah kau sajalah! Masa' kau tidak ma-
lu cari perkara dengan pemuda yang kayak begi-
tu..."!" kata Cilung yang baru selesai meneguk mi-numannya. Kemudian melirik ke
Sena. Sena nampak tenang, seakan tidak men-
dengar ucapan mereka. Dia baru saja selesai
menghabiskan makanannya. Lalu meneguk air
minum. Setelah mengelap mulut dan tangannya,
Pendekar Gila menghela napas panjang.
Ketika Sena hendak meneguk minuman la-
gi, tiba-tiba sebuah benda sebesar kelereng meng-
hantam tempat minum yang terbuat dari bambu
itu. Trakkk! Sena sebenarnya sudah memperhitungkan
dan tahu kalau Burisrawa akan berbuat sesuatu
padanya. Maka Pendekar Gila pura-pura kaget dan
seperti orang ketakutan. Dia menoleh ke arah Bu-
risrawa dan Cilung yang tertawa-tawa mengejek.
Sena nyengir dan menggaruk-garuk kepala.
Semua orang yang ada di situ hampir se-
muanya menoleh ke arah Sena. Ada yang mener-
tawainya, tapi ada pula yang merasa kurang se-
nang dengan tingkah laku Burisrawa dan Cilung
yang sok dan tak sopan sejak mereka masuk ke
rumah makan itu.
"Apa kubilang, pemuda itu tak punya nyali.
Mungkin dia anak gunung yang baru masuk ke
Kutareja ini. Ha ha ha...!" ejek Cilung yang juga mulai mabuk.
Burisrawa hanya mendengus. Rupanya dia
masih penasaran, karena merasa mengenal pemu-
da yang tingkahnya nampak aneh dan seperti
orang sinting itu.
"Dugaanku pasti tak salah. Dia, pemuda itu
tak lain...," kata-kata Burisrawa terhenti, ketika melihat seorang pemuda
berpakaian serba coklat,
rambut panjang dengan ikat kepala coklat muda
pula, memakai kain batik bergambar jatayu atau
garuda. Di pinggangnya terselip sebilah keris. Pemuda itu dengan tenang
melangkah masuk mele-
wati tempat Burisrawa dan Cilung.
"Hah..."!" gumam Cilung memandang pe-
muda berpakaian coklat muda itu dengan mata
mendelik, "Hei! Kau lihat pemuda berpakaian coklat itu. Perhatikan apa yang
terselip di pinggangnya...!" bisiknya kemudian.
Sementara pemuda berpakaian coklat muda
sudah duduk di kursi yang ada di depan Sena. Ja-
di pemuda itu membelakangi Sena yang masih pu-
ra-pura ketakutan. Namun mata Sena terus men-
gamati gerak-gerik kedua orang jahat itu sambil
pula memperhatikan pemuda yang baru datang.
"Hm, siapa pemuda ini. Sepertinya dari go-
longan lurus, mungkin seorang pendekar...," gumam Sena dalam hati.
Pelayan datang menghampiri pemuda ber-
pakaian coklat muda, bermaksud untuk mena-
warkan makanan. Namun, tiba-tiba saja Cilung
datang mendekati dan mendorong dengan kasar
dada pelayan. Tubuh pelayan terhuyung ke bela-
kang dengan muka kaget.
"Tidak tahu adat...!" kata pelayan marah.
Cilung yang mendengar jadi naik pitam. Dia berba-
lik dan langsung menghajar pelayan dengan tam-
paran tangan kanannya.
"Kau sudah bosan hidup, ya...!" bentak Cilung dengan mata melotot. Ketika Cilung
hendak kembali menampar pelayan yang tak berani mela-
wan itu, tiba-tiba tangannya dicengkeram oleh
tangan seseorang dengan keras dan kuat. Cilung
cepat berbalik sambil menghantarkan pukulan ke
arah wajah dan disusul sabetan kaki kanan ke
arah orang yang menghalanginya.
Namun dengan gerakan cepat orang itu
membalas melancarkan pukulan ke arah Cilung.
Plak! Bukkk! Dua pukulan balasan tepat mendarat di da-
da Cilung. Membuat Cilung yang menganggap re-
meh lawannya terhuyung dan menabrak beberapa
orang yang ada di belakangnya. Hingga orang-
orang itu kabur. Keadaan seketika menjadi kacau.
Para pengunjung mulai panik. Sebagian kabur ke-
luar dan sebagian lagi malah ingin melihat perke-
lahian itu. "Kurang ajar...! Siapa kau..."!" bentak Cilung sambil mendelik dan segera
mendekati pe- muda berpakaian coklat muda yang tak lain Pur-
wadhika. Pemuda itu tahu-tahu sudah duduk
kembali di tempatnya dengan tenang dan menatap
tajam pada Cilung.
Sementara itu Sena hanya cengar-cengir
dan menggaruk-garuk kepala. Burisrawa yang se-
jak tadi hanya menyaksikan Cilung dihajar Pur-
wadhika, masih nampak penasaran terhadap Se-
na. Matanya terus mengamati gerak-gerik pemuda
bertingkah aneh itu. Sementara Sena sendiri su-
dah merasakan kalau lelaki berwajah lebar dan be-
rambut keriting itu memperhatikannya. Sena terus
berlagak seperti orang ketakutan, lalu menjauh ke belakang dan duduk di kursi
lain. "Hai, jawab! Siapa kau Anak Muda" Apakah
kau mau mengantar nyawa padaku..."! Kurasa
kau belum mengenalku, hah"!" bentak Cilung kasar sambil menendang meja. "Kau
tahu, tak ada seorang pun di sini yang berani kurang ajar dengan Cilung...!
Penguasa daerah Kutareja, Cilung
atau si Setan Golok Maut!"
Mendengar nama yang disebut Cilung, seke-
tika Purwadhika teringat akan cerita kakeknya.
Bahwa Cilung satu di antara orang yang ikut
membunuh ibu-ayahnya. Darah Purwadhika seke-
tika itu mendidih. Dengan perlahan dia berdiri
menatap tajam Cilung yang membusungkan dada.
Namun pemuda tampan itu kemudian menghela
napas panjang, kembali duduk. Sebab, tiba-tiba
dia teringat pesan kakeknya, Ki Tunggal Segara.
Bahwa dia tak boleh dendam, atau membalas den-
gan membunuh orang yang telah menghabisi ke-
dua orangtuanya. Di sini hati dan jiwa Purwadhika bertarung, melawan rasa dendam
dan pesan gurunya. Lalu terngiang-ngiang di telinganya suara
sang Kakek, "Hadapi lawanmu dengan tenang,
jangan menaruh dendam berlebihan. Tapi jika
orang itu ingin melukai atau membunuhmu, itu
urusanmu. Kuserahkan padamu untuk bertin-
dak...." Purwadhika tersentak, ketika Cilung kembali membentak sambil menendang
kursi dan meja lain yang ada di kanan dan kirinya.
"Hai! Kau ini mau melawanku atau menye-
rah.... Bengong kaya ayam sakit...!" kata Cilung pongah dan membusungkan
dadanya. "Maafkan, aku tidak bermaksud melawan,
Sobat," sahut Purwadhika tegas.
"Ha ha ha...! Kalian dengar! Pemuda gunung
ini minta maaf padaku. Ha ha ha...! Baru kali ini aku mendengar seorang yang
gagah dan tadi sempat menghajarku minta maaf. Ha ha ha...!" kata Cilung sambil
tertawa terbahak-bahak. Sejenak dia menghela napas kemudian berkata lagi, "Hei!
Pera-turan di sini tak ada istilah minta maaf. Ganjaran orang yang sudah
melukaiku. Mati!"
Cilung segera mencabut golok pusaka, yang
dikenal dengan Golok Maut Pencabut Nyawa.
Namun Purwadhika masih nampak tenang.
Hanya matanya menatap tajam Cilung yang sudah
menggenggam golok.
Sementara itu Burisrawa masih duduk den-
gan menghadap ke arah mereka yang akan berta-
rung. Sebentar-sebentar matanya melirik ke arah
Sena yang terus cengengesan sendiri sambil meng-
garuk-garuk kepala.
"Sekarang jantungmu akan kukeluarkan,
Anak Muda! Heaaat..!" dengan gerakan cepat Cilung yang tampak beringas langsung
memba- batkan goloknya ke arah kepala Purwadhika. Na-
mun dengan gerakan cepat pula Purwadhika me-
nundukkan kepala, lalu disusul dengan melompat
ke samping sambil membawa kursi yang didudu-
kinya. Kemudian dengan gerakan secepat kilat dan
sukar ditangkap mata biasa, pemuda itu meng-
hantamkan kursi yang dipegangnya ke punggung
Cilung. Prakkk!
"Ukh...!" Cilung memekik, lalu cepat berbalik.
Purwadhika sudah berdiri tegak menunggu
serangan Cilung.
"Orang inilah salah satu dari tiga orang
yang membunuh kedua orangtua ku! Ingin ra-
sanya aku cepat menghabisinya. Tapi pesan Kakek
Guru membuatku bimbang. Tapi...."
Belum lagi Purwadhika habis bicara dalam
hati, tiba-tiba serangan gencar dilakukan oleh Cilung yang semakin naik darah.
Lelaki yang sudah
mulai menua itu mendesak Purwadhika. Dan pada
kesempatan yang baik, Cilung sempat merobek
lengan baju Purwadhika sebelah kiri. Ketika pe-
muda itu agak lengah. Karena dia sebenarnya tak
ingin ribut atau membuat masalah dengan Cilung.
Brettt! "Huh...!"
Purwadhika hanya mendengus sambil meli-
hat lengan bajunya yang sobek. Lalu tersenyum.
Dan dengan gerakan cepat yang tak bisa dilihat
dengan mata biasa, tahu-tahu Purwadhika sudah
menendang tangan Cilung yang memegang golok-
nya. Sehingga golok itu terlepas. Dengan gerakan
cepat sekali Purwadhika menangkap golok Cilung
sebelum menyentuh tanah. Dalam sekejap pemuda
itu tahu-tahu sudah menempelkan golok ke leher
lawan. "Heh..."!"
Cilung terbelalak kaget. Wajahnya seketika
pucat pasi. Keringat membasahi wajahnya yang je-
lek itu. "Aku tak ingin membunuhmu, walaupun aku bisa. Sebaiknya kalian pergi
saja.... Sebelum pikiranku berubah!" kata Purwadhika yang masih menempelkan
golok ke leher Cilung.
Para pengunjung rumah makan itu merasa
kagum dan berbisik-bisik satu sama lainnya.
"Edan! Pemuda itu ternyata memiliki ilmu
yang luar biasa!" kata seorang lelaki setengah tua sambil bergeleng kepala.
"Ya, biar si Manusia Sombong dan pengacau
seperti Cilung cepat mati di tangan pemuda itu!
Biar penduduk tenang!" sahut temannya dengan muka sinis memandangi Cilung.
Purwadhika melempar golok Cilung ke lan-
tai, kemudian dengan tenang melangkah ke arah
tempat duduknya tadi. Untuk sesaat Cilung hanya
bisa memandang Purwadhika, seakan merasa ter-
kesima. Namun, kemudian dia cepat mengambil
goloknya, ketika melihat Burisrawa melangkah
sambil menggeser letak goloknya.
"Bangsat! Mulutmu keterlaluan, Anak Mu-


Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

da! Perlu disobek dengan ini!" bentak Burisrawa sambil mencabut goloknya,
kemudian tanpa basa-basi lagi menyerang Purwadhika diikuti oleh Ci-
lung. "Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Cilung dan Burisrawa menyerang secara
bersamaan dari sisi kiri dan kanan. Purwadhika
dengan ketenangannya dapat mengelak dan me-
nangkis pukulan dan sabetan golok kedua lawan-
nya. Pada kesempatan yang baik, Purwadhika
sempat mendaratkan pukulan ke dada Burisrawa
dengan keras, hingga lelaki berambut keriting itu memekik dan terhuyung. Cilung
dengan cepat menyerang Purwadhika yang sedikit membelakan-
ginya. "Heaaattt...! Mampus kau, Bocah Ingusan!"
teriak Cilung menderu keras di atas kepala Pur-
wadhika. Kalau saja pemuda itu terlambat sekejap, kepalanya mungkin tertebas
golok Cilung. Purwadhika melompat ke belakang dan
mendarat di atas meja. Burisrawa yang semakin
marah, menggeram dan melompat diikuti oleh Ci-
lung. Keduanya memutar-mutar golok dengan ce-
pat sebelum membabatkan dan menusuk ke arah
Purwadhika. Ketika keduanya membabat dan menusuk-
kan golok masing-masing ke arah kepala dan perut
lawan, Purwadhika memapaki dengan pukulan te-
lapak tangan kanan, menggunakan 'Ajian Tapak
Sakti'. Glarrr! Terjadi ledakan akibat pukulan 'Tapak Sak-
ti' Purwadhika yang mengandung hawa panas ba-
gai api, menghantam lawannya. Burisrawa dan Ci-
lung terpental empat tombak ke belakang, lalu ja-
tuh membentur meja dan kursi.
Brakk! Sementara Pendekar Gila menyaksikan
dengan tersenyum-senyum di antara orang-orang
yang masih ada di rumah makan itu. Purwadhika
yang sebenarnya ingin membunuh Cilung, kembali
mengurungkan niatnya, karena teringat pesan
sang Guru. Maka dengan melangkah tegap dan
tanpa bicara apa-apa lagi, pemuda itu keluar setelah membayar dengan kepingan
uang pada pemilik
rumah makan. Sena segera melesat keluar pula dari rumah
makan itu. Sementara Cilung dan Burisrawa su-
dah kembali berdiri. Dan ketika melihat Purwadhi-
ka tidak ada di ruangan itu, keduanya segera me-
lesat ke luar. Muka keduanya tampak mengelua-
rkan darah. Sedangkan di dada mereka membekas
telapak tangan berwarna merah kehitaman.
Purwadhika belum jauh dari rumah makan
itu. Sementara Pendekar Gila sengaja menguntit-
nya dari jarak agak jauh dengan sesekali merapat
ke rumah penduduk.
"Hei Anak Muda, berhenti...!" bentak Cilung dengan marah.
Purwadhika menghentikan langkahnya dan
membalik badan. Matanya menatap tajam ke arah
Cilung dan Burisrawa yang mulai nampak pucat
akibat pukulan 'Tapak Sakti' Purwadhika.
"Ada apa lagi, Sobat..?" tanya Purwadhika kalem. "Kau harus menerima kematian
hari ini...! Kau telah mencoreng mukaku di depan orang ba-
nyak. Rasakan ini!"
Selesai berkata begitu, Cilung dan Burisra-
wa melompat ke udara dan bersalto dua kali, ke-
mudian ketika sampai di atas Purwadhika, kedua-
nya membabatkan golok ke kepala pemuda itu.
Wuttt, wuttt! Namun Purwadhika yang sudah dapat
membaca serangan lawan, dengan mudah dapat
mengelakkan. Purwadhika menjatuhkan tubuh
bergulingan di tanah, lalu berdiri kembali dengan cepat Begitu Cilung dan
Burisrawa mendarat,
Purwadhika melakukan gerakan membuka jurus
'Tapak Sakti'. Cilung dan Burisrawa tak peduli, keduanya
menyerang kembali dengan serentak. Cilung me-
lompat-lompat seperti rusa sambil mempermain-
kan goloknya, sedangkan Burisrawa memutar tu-
buhnya cepat bagai gangsing. Itulah ilmu 'Angin
Puyuh Pembawa Kematian' dan 'Rusa Iblis'.
"Hah..."!" gumam Purwadhika yang sempat kaget menyaksikan ilmu kedua lawannya.
Melihat begitu cepatnya serangan kedua to-
koh hitam itu Purwadhika sempat terganggu piki-
rannya, karena merasa terkesima. Belum sempat
pemuda itu mengerahkan 'Ajian Tapak Sakti'-nya
tiba-tiba saja....
"Akh...!"
Purwadhika menjerit keras. Rupanya golok
Cilung dan Burisrawa sempat menggores kaki ki-
rinya dan dadanya. Untung pemuda itu masih
sempat mengelak, kalau tidak perutnya sudah ter-
tusuk golok Burisrawa. Dengan secepat kilat Pur-
wadhika melenting ke atas melewati kepala kedua
orang lawannya.
Burisrawa dan Cilung membalikkan badan
dan kembali menyerang lawan yang kaki kirinya
sudah terluka. Namun Purwadhika seperti tak me-
rasakan rasa sakit sedikit pun.
"Heaaa...!"
"Kucincang kau, Bocah...!" bentak Cilung dengan membabatkan goloknya dibarengi
tusukan golok Burisrawa. Kini mereka tidak hanya meng-
gunakan senjata, tapi kedua kaki yang terkadang
menendang ke arah muka dan menyabet kaki
Purwadhika. Namun Purwadhika dengan lincah meliuk-
liuk mengelakkan serangan dahsyat kedua lawan-
nya. Hingga pada suatu kesempatan, Purwadhika
yang sudah tak sabar lagi, kembali menghantar-
kan pukulan telak ke arah rusuk Cilung. Sedang-
kan kaki kirinya menendang keras ke punggung
Burisrawa. Bug! Bluk! "Aaakh...!"
Burisrawa dan Cilung memekik keras. Tu-
buh mereka terhuyung-huyung dan jatuh ke ta-
nah. Namun keduanya segera bangkit berdiri dan
kembali melancarkan penyerangan. Sementara itu,
entah kenapa tiba-tiba Purwadhika berdiri dalam
keadaan goyah dan gemetaran. Ternyata goresan
golok Cilung yang sempat melukai kaki kirinya
mengandung racun bisa ular kobra. Pemuda itu
mulai limbung dengan tangan memegangi kepala
seperti merasa pusing.
Melihat keadaan itu Sena terkejut. Semen-
tara Burisrawa dan Cilung sudah mulai bergerak
hendak menghabisi Purwadhika yang tengah sem-
poyongan. Namun, ketika keduanya melompat
sambil berteriak hendak mengayunkan golok, se-
cepat kilat Pendekar Gila melesat menghajar Ci-
lung dan Burisrawa dengan tamparan serta ten-
dangan kaki kanannya yang keras.
Mencari Bende Mataram 20 Pengelana Rimba Persilatan Karya Huang Yi Aji Wisa Dahana 1
^