Pencarian

Lambang Penyebar Kematian 1

Pendekar Gagak Rimang Lambang Penyebar Kematian Bagian 1


1 Desa Kali Sunyi terletak di Utara Gunung
Pengging. Desa itu adalah sebuah desa yang aman
dan tentram. Para penduduknya sebagian besar
bertani. Mereka selalu rukun dan damai. Dan
ketentraman itu semakin dirasakan oleh para
penduduknya sejak berdirinya Perguruan Silat
Cempaka Biru. Perguruan Cempaka Biru dipimpin oleh
Andikabirata. Dia seorang laki-laki setengah baya
yang gagah perkasa. Tubuhnya masih nampak
kekar. Dalam memimpin perguruannya dia begitu
arif dan bijaksana, sehingga semakin lama nama
perguruannya semakin tinggi menjulang.
Tidak hanya di sana saja, Andikabirata pun
selalu aktif hadir setiap kali ada undangan di Balai
Desa. Sehingga penduduk desa menyukainya dan
menyukai pula para anggota dari Perguruan
Cempaka Biru. Nama Andikabirata pun semakin dihormati. Ki
Lurah Pati Negoro setiap kali ada sesuatu yang
mengganggu ketentraman desa selalu meminta
bantuannya. Dan Andikabirata dengan senang hati membantu. "Karena aku telah lama berada di sini, dan aku
berhak dan berkewajiban untuk membantu apapun
yang terjadi!" katanya suatu hari di Balai Desa.
Memang, sebenarnya Andikabirata putra asli
yang dilahirkan di Desa Kali Sunyi ini. Namun sejak
berusia 17 tahun, dia pergi merantau. Dan dalam
perantauannya dia banyak belajar akan ilmu
kanuragan. Dalam setiap perantauannya pula dia
selalu membela kebenaran dan memerangi
kebatilan. Itu dilakukan karena merasa itulah kewajibannya. Namanya dan gelarnya si Toya Maut
pun mulai dikenal oleh banyak jago-jago rimba
persilatan. Bahkan dia disegani dalam setiap
pertemuan yang dihadiri oleh para jago.
Bukan hanya ilmunya saja yang tinggi, namun
juga kewibawaannya yang menjadikan dia disegani
oleh siapa pun. Dan itu merupakan ciri khasnya.
Dia selalu berpikir panjang bila menghadapi satu
persoalan. Tidak pernah main hantam begitu saja.
Dan setelah merasakan cukup dia pun kembali
ke Desa-Kali Sunyi dan mendirikan perguruan silat
yang diberi nama Perguruan Cempaka Biru.
Perguruan yang menggunakan senjata toya.
Bagi Andikabirata sendiri, memang dia ingin
menyumbangkan kebisaannya bagi banyak orang.
Karena dia merasa, bila ilmu yang dimilikinya tidak
disumbangkan pada orang lain, .maka ilmu akan
tumpul dan sia-sia.
Namun di balik semua itu sebenarnya ada yang
menyusahkan pikiran Andikabirata. Pikiran yang
telah lama mengganggu dan menyiksanya.
Di mana Perguruan Silat Cakram Maut telah
menuduh mereka mencuri pusaka kebanggaan
Cakram Maut. Sudah tentu Andikabirata menolak
tuduhan itu kala beberapa orang utusan Perguruan
Cakram Maut datang menanyakan hal itu. Bila
semata-mata hanya bertanya, mungkin Andikabirata masih bisa menerima. Namun mereka
langsung memvonis dengan menuduh yang terasa
keji dan menyakitkan.
Akhirnya pertarungan pun tak bisa dihindari lagi
karena beberapa murid Perguruan Cempaka Biru
sudah tidak kuasa lagi menahan amarah.
Dalam pertarungan itu utusan dari Cakram Maut
berhasil dipukul mundur dan luka-luka. Begitu pula
halnya dengan beberapa murid Cempaka Biru.
Andikabirata sendiri tidak turun tangan, karena dia
tidak mau semua ini mengakibatkan sesuatu yang
mengerikan. Namun akibat dari semua itu, beberapa hari
kemudian datang surat tantangan dari Perguruan
Cakram Maut, yang mana isinya menyatakan
bertarung dan bermusuhan dengan Perguruan
Cempaka Biru. "Rupanya pertarungan ini tak akan bisa kita
dihindari lagi," kata Andikabirata pada para
muridnya setelah membicarakan perihal surat
tantangan dari Perguruan Cakram Maut.
"Apakah memang benar tidak bisa dihindari lagi,
Bapak," kata Juwitasari putri tunggalnya. Dia
adalah seorang gadis jelita yang cantik luar biasa.
Pesonanya sukar sekali untuk ditepiskan bagi
pemuda yang melihatnya.
"Mungkin sulit, Wita... kita jelas-jelas tidak bisa
menghindari semua ini. Dan sebaiknya kita bersiap-
siap bila suatu saat, para orang Cakram Maut
datang menyerang ke sini," kata Andikabirata
sambil mengusap dagunya.
Yang mendengarkan hanya mendesah. Kemungkinan itu memang bisa terjadi. Dan pasti
akan terjadi. Namun yang sungguh mengerikan
adalah akibat dari semua itu.
Yang ingin dihindari oleh Andikabirata, adalah
pertarungan yang akan membawa bencana bagi
para penduduk yang tak berdosa. Ini merupakan
sebuah beban yang berat baginya. Beban yang
mungkin akan terbawa terus bila suatu ketika
pertarungan yang tak terelakkan itu tiba waktunya.
Ini merupakan satu pemikiran yang menyulitkan. Jalan pemecahan pun sudah
berulangkah dia lakukan. Dengan cara menjelaskan
pada ketua Perguruan Cakram Maut, Ki Renggono
Paksi. Namun tetap tuduhan yang dilontarkan Ki
Renggono Paksi jatuh pada Perguruan Cempaka
Biru. Alasan Ki Renggono Paksi karena dia
menemukan beberapa toya yang berlambangkan
bunga cempaka di kedua ujungnya. Dan itu adalah
ciri khas dari senjata toya milik Perguruan Cempaka
Biru. Andikabirata berpikir, mungkin ada orang yang
telah mencuri dan mengkambinghitam-kan
Perguruan Cempaka Biru. Namun satu pemikiran
lain pun tersirat di benak Andikabirata. Mungkinkah
bila ada murid Perguruan Silat Cempaka Biru yang
berkhianat"
Karena berpikir seperti inilah dia tidak berani
untuk meneruskan pikirannya lagi tentang orang
yang hendak mengkambinghi-tamkan
perguruannya. Namun bukannya dia tidak perduli
lagi dalam hal itu, dia sebenarnya masih
memikirkannya pula. Namun tidak berani secara
total. Begitu pula halnya dengan Juwitasari. Sebagai
putri satu-satunya dari Andikabirata, dia pun dapat
merasakan kesulitan yang sedang dialami ayahnya.
Namun dia pun tidak bisa pula memikirkan lebih
lama. "Tetapi yang kukuatirkan... bila benar pertarungan itu terjadi. Ah, mengapa sejahat itu
orang-orang Cakram Maut menuduh kami?"
desisnya pilu di suatu malam. "Namun bila
memang demikian adanya, aku tidak akan tinggal
diam. Aku pun benci pada mereka karena tuduhan
keji yang mereka lontarkan. Tuduhan yang amat
menyakitkan sekali. Dan ini jelas tidak bisa
dibiarkan begitu saja. Mereka harus diberi
pelajaran!"
Wajah gadis yang cantik itu menjadi geram.
Tadi sore dia melihat ayahnya duduk melamun di
pendopo. Namun dia tidak berani untuk
mendekatinya. Karena kuatir ayahnya akan
terganggu. Karena jelas sekali ayahnya tengah
berpikir, terlihat dari keningnya yang berkerut.
"Kasihan, Bapak... kasihan dia.... Seharusnya di
usianya yang semakin senja ini.... Bapak tidak perlu
mengalami hal yang demikian rumit. Dia
seharusnya bersantai dan tenang-tenang menikmati masanya."
Dan kegeraman Juwitasari terhadap orang-
orang Cakram Maut menjadi berlipat ganda. Karena
merekalah yang menyebarkan fitnah yang amat
keji. Fitnah benar-benar bisa membawa petaka
berkepanjangan.
Di samping itu pun Juwitasari tidak mau
merasakan akibat dari semua ini. Darah dan darah
yang akan mengalir. Semua ini terjadi karena
mempertahankan harga diri.
Namun bisakah harga diri itu dipertahankan
tanpa mengorbankan apa-apa" Apalagi mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah.
Sebagai gadis belia dengan darah muda yang
menggejolak, Juwitasari marah dengan semua
tuduhan yang dilontarkan oleh Perguruan Cakram
Maut. Tetapi jelas dia tidak mau pertarungan ini
terjadi. Pertarungan yang bisa pula dikatakan
peperangan, yang hanya menelan korban-korban
tak bersalah dan menimbulkan kepedihan serta
kesengsaraan yang berkepanjangan.
"Oh... mungkin hanya Gusti Betara Agunglah
yang tahu siapa yang benar dan bersalah. Hanya
Dia pula yang bisa menghentikan semua ini.
Gusti... bila semua ini menjadi ke-hendak-Mu...
berikanlah jalan ke luarnya. Cobaan yang Kau
berikan ini terlalu besar dan berat bagi kami untuk
memikulnya. Namun kami tidak bisa mengelak bila
semua ini sudah Kau kehendaki. Karena hanya
Engkaulah yang menjadi tumpuan kami. Yang
mengatur semua permainan hidup di dunia ini...."
desisnya sambil merebahkan tubuhnya di ranjang.
Namun dia tetap berharap, semua ini tidak akan
terjadi. Juwitasari tidak bisa lagi memperpanjang
lamunannya tentang perang dan akibatnya. Dia
pun terlelap. Dan pagi harinya gadis itu muncul dari dapur
dengan membawa dua buah cangkir berisikan kopi
pahit dan sepiring ubi rebus untuk ayahnya yang
sedang duduk sambil menghisap rokok tembakaunya di Pendopo.
Sikap ayahnya nampak sedang memikirkan
sesuatu. Kasihan Bapak... desis Juwita dalam hati.
Tetapi aku akan membantunya sekuat tenaga
dengan resiko apapun. Dengan penuh tanggung
jawab. Lalu dengan anggunnya gadis itu
menghidangkan apa yang dia bawa di hadapan
ayahnya. Dia pun tersenyum manis sekali. Siapa
pun akan terkesan melihat senyum itu.
Andikabirata sendiri jadi terpecah pikirannya.
Dia membetulkan letak duduknya.
Andikabirata memperhatikan putrinya itu
menyediakan hidangan pagi untuknya. Betapa
senangnya dia. Putrinya kini telah tumbuh sebagai
gadis jelita dan berkepandaian tinggi.
Ah... dia mirip ibunya ketika muda dulu.


Pendekar Gagak Rimang Lambang Penyebar Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Andikabirata tersenyum sendiri mengenang
masa lalunya ketika dia mengejar-ngejar Ratih
Sudati, ibu putrinya ini. Ah, dia bagaikan orang gila
jika tidak bertemu dengan pujaannya itu. Melatinya
yang dia takut keburu dipetik orang lain. Siang
malam dia selalu menjaganya dengan hati-hati dan
merindukannya. Sampai dia berhasil memetik dan
menyuntingnya. Ah... senyum itu mengembang lagi di bibirnya.
Juwitasari yang sudah selesai meletakkan
hidangan itu, heran melihat ayahnya tersenyum
sendiri. Tatapan ayah seperti kosong namun
bercahaya gembira. Ayah seperti orang yang
sedang mendapatkan suatu khayalan atau
renungan yang menyenangkan hati.
Pelan-pelan Juwitasari memanggil, "Bapak...."
Tetapi ayahnya masih tersenyum sendiri.
Kenangan itu begitu indah bagi Andikabirata. Di
malam pengantin itu pula dia berhasil memetik dan
mengambil apa yang dipersembahkan dengan
penuh kasih sayang dan ikhlas dari Ratih Sudati.
Namun benih yang ditanamnya sekian lama tidak
bertunas. Membuatnya gelisah dan malu, karena
ternyata tidak mampu memberikan Ratih Sudati
bibit yang unggul. Begitu pula dengan Ratih Sudati
sendiri. Dia malu karena ladangnya ternyata tidak
subur. Namun berkat cinta kasih mereka yang tulus
dan mendalam, juga dengan panjatan doa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, benih itu tertanam pula
dengan sempurna. Betapa gembira mereka berdua.
Dalam perkawinan mereka yang ke-20 itulah baru
ada sebuah bibit yang tumbuh di ladang istrinya.
Dan ini membuat mereka seperti pengantin baru
lagi. Bercanda dengan keriangan sepanjang hari.
Juwitasari semakin heran karena sudah dua kali
dia memanggil ayahnya namun ayahnya masih
tetap tersenyum sendiri. "Bapak... Bapak...:"
Andikabirata masih mengenang masa lalu yang
indah itu. Juwitasari semakin penasaran. Hati-hati dia
menyentuh lengan ayahnya."
"Bapak...."
Baru sekaranglah Andikabirata tersentak. Dia
mengerjap-ngerjapkan matanya dan buru-buru
mengisap rokok tembakaunya.
--ooo0dw0ooo---
Juwitasari menghela napas lega.
"Oh... ada apa, Wita?" tanya Andikabirata
setelah berhasil menenangkan diri.
"Bapak melamun?"
"Bapak tidak melamun."
"Bagaimana bapak tidak melamun" Ju-wita
sudah berulangkali memanggil bapak namun bapak
diam saja. Apakah yang bapak lamunkan" Itu pun
kalau bapak mau menerangkan dan Wita boleh
mendengarkannya."
Andikabirata tersenyum. Menatap wajah putrinya yang seperti purnama di malam 15. Begitu
bercahaya dan membuat orang mudah terpesona.
Apalagi saat ini putrinya tengah memakai pakaian
kain kebaya yang ketat, sehingga nyata mencetak
tubuhnya yang padat dan menggairahkan. Putrinya
seakan menjadi dua manusia dalam satu waktu.
Kadang dia menjadi seorang gadis anggun dan
cantik. Kadang dia menjadi seorang gadis yang
keras dan pemarah. Itu kalau dia sedang
menghadapi lawan-lawannya. Juga nampak seperti
seorang pendekar wanita yang gagah andaikata dia
memakai baju hitam dan celana panjang hitamnya
dengan toya pendek di bahunya.
Betapa cantiknya kau anakku.
Betapa beruntungnya aku memilikimu, Nak.
Betapa indahnya mata itu.
Alangkah beruntungnya kumbang yang berhasil
menyuntingmu, Nak.
"Bapak melamun lagi," kata Juwitasari yang sej
ak tadi menunggu jawaban bapaknya.
"Ah... Bapak sedang merenungi dirimu, Nak."
"Kenapa pula dengan diriku, Bapak" Apakah ada
sesuatu yang aneh" Atau yang salah pada diriku?"
tanya Juwitasari was-was. Dia kuatir tingkah
lakunya ada yang tidak berkenan pada hati
ayahnya. Padahal dia sudah berbuat sebaik
mungkin. Dia juga yakin tingkah lakunya tidak ada
yang jelek di mata ayahnya.
Tetapi dia kembali menghela napas lega setelah
melihat ayahnya menggelengkan kepala.
"Bukan ada yang aneh atau ada yang salah
padamu Juwita anakku."
"Lalu kenapa bapak menatapi diriku?" tanya
Juwitasari penasaran
"Kau...." Andikabirata terdiam sesaat
"Ya, Bapak."
Tiba-tiba Andikabirata menarik napas. Matanya
tak lepas dari wajah putrinya yang jelita. Ia
menghisap rokok tembakaunya, lalu mematikannya
dengan diinjak.
Dan menyeruput sedikit kopi pahitnya.
"Bapak... Bapak semakin membuatku penasaran. Apa sih yang bapak lihat dalam diriku
ini" Katakanlah, Bapak, biar aku bisa melihat apa
kekuranganku."
Andibirata tertawa pelan.
"Sedikit pun tak kulihat kekurangan pada dirimu,
Wita. Kau begitu pandai, anggun, cantik, tegar, ah,
sulit untuk mengatakan semua kelebihanmu."
Juwitasari tersipu, "Ah, Bapak. Kau membuatku
malu saja, Bapak."
"Kau cantik sekali, Wita. Mirip dengan ibumu."
Mendengar kata ibunya disebutkan, Juwita tak
berkedip memandang ayahnya. "Apakah Bapak
memikirkan soal ibu?"
Kali ini Andikabirata tidak bisa mengelak lagi.
Dia menganggukkan kepalanya.
"Yah... aku memikirkan ibumu. Alangkah
bahagianya kita jika ibumu berada di sisi kita
semua. Ah, sesuatu yang tak mungkin bisa kita
lakukan sekarang. Karena ibumu hampir 18 tahun
pulang ke tempat asalnya, kembali ke pangkuan
pemiliknya. Yah... dan tak mungkin kembali...."
Wajah Andikabirata nampak sendu. Ia
menyalakan lagi rokok tembakaunya. Lalu
menyeruput kembali kopi pahitnya. Angin sore
berhembus semilir, masuk melalui jendela pendopo
itu. Sayup-sayup terdengar suara bentakan di
halaman depan. Andikabirata menatap muka anaknya. "Kau tidak
berlatih, Juwita?"
"Tadi pagi sudah, Bapak. Sore ini aku ingin
menemanimu duduk di pendopo ini."
"Aku yakin, kemajuan ilmu toyamu akan sukar
dicari tandingannya, Wita." kata Andikabirata
sambil tersenyum. Dan dia memang sungguh yakin
dengan kata-katanya, melihat putrinya setiap hari
semakin giat berlatih.
"Ah, Bapak...." desis Juwitasari malu tersipu
karena dipuji seperti itu. "Aku hanya seorang anak
gadis, manalah bisa memainkan ilmu toya tanpa
tandingan, Bapak... Bapak terlalu mengada-ada
dan memuji demi menyenangkan aku...."
Andikabirata tertawa.
"Aku tidak sedang memujimu, Wita... aku
mengatakan apa adanya...."
"Bapak...."
Kembali Andikabirata tersenyum melihat putrinya tersipu. Senang dia melihat putrinya selalu
merendah. Namun di balik sikapnya itu,
tersembunyi sifat keras kepala dan keperkasaan
seorang wanita. Ah, siapakah kelak yang akan
berhasil menyunting dan mencuri hati si Jelita ini.
Andikabirata masih tersenyum kala putrinya
bertanya, "Bapak... bagaimana dengan tantangan
dari Perguruan Cakram Maut. Apakah kita hanya
diam berpangku tangan saja" Ataukah membiarkan
mereka menuduh kita dengan keji tanpa bukti yang
kuat" Bagaimana, Bapak?"
Mendengar pertanyaan putrinya, senyum
Andikabirata menghilang seketika. Namun dia tidak
menyalahkan putrinya yang bertanya seperti itu.
Memang sudah sepatutnyalah bila putrinya
bertanya. Lagi pula, bukankah dengan sikap seperti itu
menunjukkah bahwa putrinya punya perhatian
yang besar terhadapnya"
"Aku pun tidak tahu apa yang harus kita
lakukan, Wita" Namun semua ini telah terjadi. Dan
kita harus bersiap-siap menghadapi "egala
kemungkinan yang ada. Bila memang benar terjadi,
kita pun tidak akan bisa menghindarinya...."
"Apakah tidak ada jalan lain, Bapak?"
"Kemungkinan tidak ada, Wita... Bukankah kau
tahu, usaha yang aku lakukan semuanya sia-sia
belaka. Dan sedikit pun tidak menunjukkan hasil
yang memadai...."
Juwitasari mendesah pelan, masygul. Terbayang
kembali akibat perang yang mengerikan.
"Kalau memang demikian kenyataannya Bapak...
apa yang bisa kita perbuat dalam hal ini?"
"Tak ada jalan lain, Wita... kita tetap akan
menyambut kedatangan mereka."
"Bapak... apakah bapak tidak tahu akibat
perang" Perang yang akan terjadi di antara kita ini
dengan Perguruan Cakram Maut, hanya akan
menimbulkan korban dan membuat orang ketiga
tertawa melihat perpecahan ini."
"Apa maksudmu dengan orang ketiga itu, Wita?"
tanya Andikabirata sambil tersenyum. Diam-diam
dia kagum terhadap putrinya yang berpikiran sudah
sejauh itu. Bukankah dia sendiri pun telah
memikirkan hal yang sama" Hanya mungkin, dia
masih dipenuhi pikiran bahwa bisa saja salah
seorang murid atau beberapa murid Perguruan
Cempaka Biru yang berkhianat"
"Bapak... apakah bapak benar tidak tahu,
ataukah hanya ingin menguji saya?" Andikabirata
terbahak. "Kau memang pintar, Wita... Tidak, tidak
ada maksud Bapak untuk mengujimu. Nah, bila kau
punya pendapat lain, katakanlah biar bapak
tahu...." "Bapak... Perguruan Cakram Maut telah
menuduh kita mencuri pusaka milik mereka. Dan
kita tetap bersikeras membantah, karena pada
kenyataannya kita memang tidak mencuri apa-apa
seperti tuduhan mereka...."
"Lalu apa maksudmu, Wita...."
"Belum mengertikah Bapak?"
Andikabirata kembali terbahak.
"Jadi maksudmu... ada orang lain atau kelompok
lain yang telah mencuri pusaka Perguruan Cakram
Maut dan membuat kambing hitam kepada kita?"
"Begitulah dugaanku, Bapak... Betapa enaknya
orang ketiga itu yang tertawa berhasil melihat
kerjanya mengadu domba antara kita dengan
Cakram Maut."
"Mungkin dugaanmu itu benar, Wita...."
"Mengapa mungkin, Bapak?"
Andikabirata mendesah panjang.
"Wita... tidak sampaikah pikiran bila memang
benar ada di antara kita yang mencuri pusaka milik
Perguruan Cakram Maut?"
"Apa maksudmu, Bapak...."
"Mungkin ini hanya dugaan. Bukankah kita
berbicara tentang dugaan, Wita" Nah, Bapak pun
mempunyai dugaan seperti itu. Ada di antara murid
Perguruan Cempaka Biru yang memang berbuat
seperti itu. Hal inilah yang sebenarnya
memusingkan bapak, Wita...."
"Memang benar demikian adanya, bukankah
sebaiknya kita selidiki saja, Bapak...."
"Itu pun secara diam-diam telah aku lakukan,
Wita... Hanya saja aku tidak tega dan sampai hati
bila benar memang ada murid Perguruan Cempaka
Biru yang berkhianat."
Juwitasari terdiam. Baru dia berpikir sampai ke
sana Selama ini dia tidak berpikir tentang itu
karena tidak menduga hal itu. Dalam pikiran
Juwitasari, mana mungkin ada murid Perguruan
Cempaka Biru yang berkhianat.
Namun memang bila pada kenyataannya seperti


Pendekar Gagak Rimang Lambang Penyebar Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, .ini adalah suatu hal yang amat menjengkelkan
sekali. "Bapak...."
"Ya, Wita...."
"Tahukah Bapak siapa kira-kira yang telah
berbuat seperti itu?"
"Aku sedang menyelidikinya, Wita. Kau memang
putriku yang memiliki otak yang cerdas...."
"Aku hanya mencari kemungkinan yang mungkin
terlewatkan, Bapak... Dan aku tidak ingin
ketegangan ini makin merayap dan bisa menyebar
kepada para penduduk...."
Andikabirata tersenyum.
"Kau memang gadis yang cerdas, Juwita. Ya,
ya... kemungkinan itu bisa saja terjadi. Tetapi
siapakah kira-kira orang yang telah membuat
perpecahan ini" Wita... aku pun tidak menyukai
adanya peperangan. Sudah kenyang rasanya aku
makan derita dari hasil perang. Tetapi semua
sudah terbayang. Bukankah kita tidak mau tanah
ini diserang begitu saja" Kita punya dua tangan
dan dua kaki, kita bisa membela diri. Dan kita
harus mempertahankannya, bukankah begitu,
Wita?" "Ya, Bapak."
"Nah, sekarang aku hendak bertanya."
"Silahkan, Bapak."
"Maukah kau membela Cempaka Biru jika orang-
orang Cakram Maut menyerang ke sini?"
Juwitasari tidak langsung menjawab. Kelihatan
ia agak bingung untuk menjawab.
"Kau ragu, Wita?" tanya ayahnya.
"Aku tidak ragu, Bapak. Kalau memang untuk
membela negara, aku bersedia melakukannya. Yah,
aku bersedia... Di tanah ini aku hidup. Aku akan
membelanya, Bapak."
"Bagus. Jika pertempuran memang tidak bisa
dihindarkan lagi, kau toh tidak akan ragu lagi.
Karena aku sudah mendengar jawaban seperti ini
dua kali dari mulutmu. Bukan begitu, Wita?"
"Ya, Bapak."
Angin berhembus pelan. Suara murid-murid
Cempaka Biru yang sedang latihan di halaman
depan terdengar. Juwitasari mengangkat kepalanya. "Ubi rebusnya masih hangat, Bapak. Si-lahkan
dicicipi. Saya sendiri yang merebusnya, Bapak."
"Lho, ke mana Nyai Asih?"
"Biarkan dia beristirahat Bapak. Kasihan wanita
tua itu, nampaknya terlalu letih bekerja."
"Ya, ya...." Andikabirata mengambil sepotong
ubi rebus. Belum lagi dia mencicipinya, tiba-tiba
muncul salah seorang murid Perguruan Cempaka
Biru. Andikabirata meletakkan kembali ubi yang
dipegangnya. Menatap pemuda yang baru datang
itu. Nampaknya begitu lelah seperti habis berlari
karena napasnya terengah-engah juga peluhnya
yang mengalir di sekitar wajahnya. Pemuda itu
menunduk hormat.
"Ada apa, Priatna?" tanya Andikabirata dengan
suaranya yang terdengar berwibawa. Matanya lekat
menatap pemuda yang baru datang itu.
Sikap Juwitasari sendiri pun sudah serius sekali
ingin mendengarkan apa yang sebenarnya telah
terjadi. Pemuda yang bernama Priatana itu mengatur
napasnya. Dia adalah salah seorang murid terbaik
Perguruan Cempaka Biru. Yang ditugaskan oleh
Andikabirata untuk menjaga di perbatasan Desa
Kali Sunyi. Bersama salah seorang murid Perguruan
Cempaka Biru lainnya yang bernama Yan-tara,
Priatna pun menjaga di ujung perbatasan Desa Kali
Sunyi, untuk memata-matai orang-orang yang
bermaksud jahat, sehingga setiap kejahatan yang
akan terjadi bisa segera diketahui dan segera dapat
ditanggulangi. Karena penjagaan yang ketat dan
sistem pengawasan yang hebat itu sampai
sekarang ini Desa Kali Sunyi selalu aman dari
gangguan orang-orang jahat.
Namun tugas yang diberikannya kepada Priatna
dan Yantara adalah untuk memata-matai orang-
orang Cakram Maut yang kemungkinan besar
sudah datang menyerang Desa Kali Sunyi.
Kembali dia menatap Priatna dan melihat mulut
pemuda itu terbuka, "Maafkan kami Ketua... yang
mengganggu ketenangan Ketua bersama Rayi
Juwita...."
Juwitasari tersenyum. "Kau tidak perlu berbasa
basi seperti itu, Kakang Priatna. Katakanlah, apa
yang me-nyebabkanmu sampai terengah-engah
begitu. Katakanlah, Kakang Priatna... biar kami
tidak bertanya-tanya lagi...."
Mendengar suara Juwitasari hati Priatna diam-
diam bergetar. Sebenarnya sejak lama dia sudah
menaruh hati pada putri gurunya yang jelita itu.
Namun hingga saat ini, Priatna tidak berani untuk
mengutarakan cintanya.
Karena dia tahu siapa dirinya dan siapa
Juwitasari. Meskipun begitu, siang dan malam
Priatna selalu menyimpan rasa cintanya pada
Juwitasari. Dan yang membuatnya makin tidak
mengerti, semakin lama dia simpan cinta itu, malah
semakin besar terasa.
Dan semakin dia berusaha untuk menghilangkannya, malah semakin sukar sekali.
Namun dia tetap untuk memendamnya. Karena dia
belum punya keberanian untuk mengutarakan isi
hatinya pada Juwitasari.
Tadi pun dia melihat Juwitasari tersenyum
padanya. Duh, ini seakan menambah rasa cintanya
saja pada gadis itu.
Priatna pun membalas tersenyum.
"Baik, Rayi...." Lalu katanya pada Andikabirata.
"Ketua... di perbatasan desa sana, kami melihat
anggota Cakram Maut yang akan segera memasuki
desa kita ini, Ketua...." kata Priatna setelah
mengatur napasnya. "Dan jumlah mereka sungguh
demikian banyak jumlahnya, Ketua...."
"Apa"!" Suara Andikabirata terdengar demikian
keras pertanda dia sungguh-sungguh terkejut.
Juwitasari pun terkejut. Priatna cuma mendesah.
---ooo0dw0ooo---
2 Lalu dengan hati-hati dia menceritakan apa yang
telah dilihatnya di perbatasan ujung Desa Kali
Sunyi. Andikabirata mendesah panjang. Dia sampai
bangkit dari duduknya karena kaget tadi.
"Orang-orang Cakram Maut sudah tiba di sini"!"
ulangnya lagi. Lalu mengusap-usap dagunya. Benar
dugaannya kalau begitu, dan ini tidak bisa
dibiarkan begitu saja.
"Begitulah kenyataannya, Ketua...." kata Priatna
tetap dengan suara hormat.
"Kau yakin?"
"Yakin sekali, Ketua. Kami melihat lambang
Perguruan Cakram Maut dari bendera yang dibawa
beberapa orang anggotanya. Agaknya, mereka
hendak menyerang desa kita ini, Ketua. Dan
kemungkinan besar desa kita ini dijadikan markas
oleh mereka."
Andikabirata manggut-manggut. Dia mengusap-
usap dagunya sambil memandang ke luar jendela.
Nampak di halaman para muridnya sudah selesai
berlatih, karena hari sudah menjelang malam.
Kegeraman nampak jelas di wajah Andikabirata.
Juwitasari memperhatikan ayahnya dengan hati
yang geram pula.
"Tepat dugaanku semula," desis Andikabirata.
"Pasti orang-orang itu akan terus menyerang
perguruan kita. Hhh! Anjing-anjing Cakram Maut!"
"Apa yang bisa kita lakukan, Bapak?" tanya
Juwitasari. Andikabirata terdiam. Lalu berkata pada Priatna.
"Priatna, kita akan menyambut kedatangan
mereka! Beri mereka pelajaran!!" "Baik, Guru!"
sahut Priatna hormat. "Pimpin teman-temanmu ke
perbatasan Desa Kali Sunyi!" perintahnya lagi. "Jangan
sampai terlambat! Sebelum orang-orang Cakram
Maut itu tiba di perbatasan desa ini'"
"Baik, Guru! Saya akan melakukannya dengan
baik!" "Nah, lakukanlah!"
"Baik, Guru!" kata Priatna seraya hendak
meninggalkan tempat itu.
"Kakang!"
Terdengar suara Juwitasari memanggil dan membuat Priatna membalik dan
memandangnya. Duh, wajah itu demikian cantik.
Sementara Andikabirata memperhatikan putrinya.
"Oh, ada apa, Rayi?" tanya Priatna. Kembali
hatinya berdebar.
"Apakah Kakang yakin mereka adalah orang-
orang Cakram Maut?"
"Begitulah kenyataannya, Rayi.... Lambang
perguruan mereka yang tertera di bendera yang
mereka bawa, sudah cukup sebagai bukti!"
"Hm... berapa jumlah mereka?"
"Kira-kira... seratus orang lebih, Rayi. Mereka
nampaknya sudah dalam keadaan siap tempur!"
Juwitasari mengangguk-angguk. Semakin cantik
saja di mata Priatna. Tetapi pemuda itu tidak mau
untuk memikirkan kecantikan Juwitasari lebih lama.
Dia pun buru-buru menyingkir. Lalu segera
mengumpulkan te-m an-temanny a.
Tak lama kemudian tiga puluh pemuda dengan
bersenjatakan toya telah berkumpul di halaman
pendopo. Priatna segera memimpin teman-
temannya itu untuk langsung bergerak ke
perbatasan Desa Kali Sunyi.
Sementara itu di pendopo, Juwitasari sedang
berkata pada ayahnya, "Saya akan segera
membantu Kakang Priatna, Bapak.... Jumlah
mereka terlalu banyak. Saya kuatir, banyak di
antara kita yang akan menjadi korban...."
"Mereka murid-murid pilihan, Juwita...." kata
Andikabirata. "Percayalah... kalau mereka mampu
menjaga dan mempertahankan nyawa mereka...."
"Tetapi jumlah mereka sedikit, Bapak...."
"Karena hanya sekian orang yang dibawa oleh
Priatna, Juwita?" sahut Andikabirata sambil
tersenyum. Padahal dalam hatinya dia tengah
gembira dan berkata, "Hmm... agaknya jiwa
kepahlawanan dalam hati anakku begitu besar. Dia
tidak mau jika terjadi perang, namun ketika orang-
orang itu datang menyerang, dia tidak bisa
mengekang rasa perikemanusiaan dalam dirinya.
Biar kuuji lagi keinginannya itu, jangan-jangan
hanya dorongan karena ingin menunjukkan
kehebatannya saja di depan murid-murid yang lain.
Hal ini tidak boleh terjadi. Tetapi bila itu timbul dari
rasa jiwa kesatriamu, Wita... Bapak salut dan
bangga padamu...."
Juwita yang tidak tahu akan hal itu, terus
mendesak ayahnya ingin membantu. Memang dia
sendiri bukannya ingin menunjukkan kepandaiannya, tetapi dia jelas tidak suka jika
desanya atau dirinya diserang orang-orang itu. Dia
harus mempertahankan, karena dengan begini
bukan dia yang memulai bertempur. Dia
mempertahankan haknya dan hal itu diperbolehkan. "Bagaimana, Bapak?" tanyanya lagi karena
ayahnya masih diam saja. "Aku ingin sekali
membantu mereka, Bapak. Mereka teman-temanku
sejak kecil" Aku tidak bisa berdiam diri saja melihat
mereka semua bertempur dan rela berkorban
nyawa dan tenaga mereka, Bapak."
"Bukankah kau tidak menginginkan pertempuran
atau pertumpahan darah, Anakku?" tanya
Andikabirata pula.


Pendekar Gagak Rimang Lambang Penyebar Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu tidak bisa kupungkiri, Bapak. Tetapi aku
tidak bisa berpangku tangan saja jika orang
menyerang desa kita ini, Bapak."
"Lalu kau hendak menyusul mereka?"
"Ya, Bapak."
Semakin berbunga-bunga hati Andikabirata.
Perlahan dia menarik senyumnya dan menganggukkan kepala.
"Kalau kau yakin dan mantap akan kepu-
tusanmu itu, pergilah. Bantulah mereka. Bapak
yakin akan kemampuanmu. Cuma ingat, jangan
terkejut jika kau melihat darah."
"Baik, Bapak."
Lalu gadis jelita itu undur diri. Juwitasari masuk
ke kamarnya dan mengganti pakaiannya. Kali ini
dia memakai pakaian seperti seorang pria. Dia pun
memakai ikat kepala. Lalu menyangkutkan toya
kecil yang jika ditarik kedua ujungnya bisa menjadi
panjang. Saat memakai baju itu, secara tak sengaja dia
berhadapan dengan sebuah cermin besar. Dan,
ah... buah dadanya telah semakin subur tumbuh,
mengkal dan membulat. Sejenak dikaguminya buah
dadanya itu. Dan tak sadar dia membuka kembali
seluruh pakaiannya hingga bertelanjang bulat di
hadapan cermin itu.
Ah betapa indah dan bagusnya bentuk
tubuhnya. Begitu ramping pinggangnya dan begitu
indah pinggulnya. Padat dan menggairahkan. Juga
sepasang buah dadanya yang bergelayut indah,
mengkal dan mengundang I birahi bagi yang
melihatnya. Sejak kapan dia mulai mengagumi tubuhnya ini"
Yah, sejak dia sering melihat teman-teman
gadisnya yang selalu pergi ke sawah, mencuci di
sungai dan mandi telanjang bulat bersama-sama
dengan riangnya. Mereka pun sering minum jamu
untuk menjaga keindahan tubuh mereka.
Sedangkan dia" Ah, dia sepertinya tidak pernah
merawat tubuhnya, meskipun dia berlaku seperti
seorang gadis lazimnya di rumah. Dia lebih sering
berlatih ilmu olah kanuragan daripada memikirkan
bentuk tubuhnya. Tapi nyatanya sekarang, dia
memiliki bentuk tubuh yang indah dan bagus. Ah...
betapa senangnya dia memandangi tubuhnya yang
indah di cermin. Lalu sayangkah dia hendak
melukai tubuhnya sendiri jika bertempur dengan
orang-orang Kediri" Ah, jangan, jangan kau lukai
tubuhku ini. Namun bayangan teman-temannya yang
mungkin saat ini sedang bertempur antara hidup
dan mati membuatnya segera memakai pakaiannya
kembali. Tidak, biar bagaimana pun dia harus berhati-hati
dan membantu mereka.
Bukankah ayahnya sendiri akan terjun
langsung" Mengingat itu buru-buru dia mempersiapkan
segala sesuatunya dan masih sempat sekilas
mengagumi kembali bentuk payudaranya yang
indah dan bulat dengan putingnya yang merah dan
keras. Lalu dia keluar kamar.
Ayahnya sudah menunggu di halaman dengan
siap di kudanya.
Juwitasari pun segera menaiki kudanya.
Saat dia menaiki kudanya ayahnya sedang
berkata-kata pada salah seorang muridnya.
"Kalian harus mempertahankan Perguruan
Cempaka Biru ini! Jangan biarkan orang-orang itu
sampai ke sini! Ingat, kami bisa gagal. Dan kalian
jangan mengulangi kegagalan itu."
"Baik, Guru. Kami akan menjaga kemegahan
Perguruan Cempaka Biru sebagai abdi Singasari."
"Bagus! Mari, Wita! Kita segera berangkat!"
Juwita menggebrak kudanya mengikuti lari kuda
ayahnya. Dia adalah seorang gadis yang tangkas
dan berpendirian tegar.
Dia mampu menggunakan kuda dengan lihai.
Dalam lari kencang pun dia bisa melompat menaiki
punggung kudanya. Juwitasari adalah gadis yang
bisa segalanya. Di satu segi dia bisa tampil sebagai
seorang pria. Di segi lain dia bisa pula tampil
sebagai seorang gadis.
Seperti gadis-gadis lain, dia pun suka
mengagumi tubuhnya sendiri dan berupaya untuk
merawatnya. Namun untuk membela desa, negara
dan harga dirinya, dia bisa melupakan hal itu. Lupa
bahwa dia seorang gadis. Lupa bahwa dia harus
selalu merawat bentuk tubuhnya, agar kelihatan
menarik. Biarpun wajah seorang gadis itu jelita
namun jika tidak memiliki bentuk tubuh yang
bagus, masih kurang sedap dipandang mata.
Angin berhembus dingin.
Kuda Juwitasari sudah bisa menjajari kuda
ayahnya. Dan keduanya memacu terus kuda-kuda
mereka menuju perbatasan Desa Kali Sunyi.
Juwitasari bertekad akan menghancurkan orang-
orang Kediri itu. Orang-orang yang suka mencari
gara-gara. Orang yang suka menuduh tanpa bukti.
Betapa harga diri itu harus dijaga dan
dipertahankan. Sejak lama Juwitasari setuju akan hal itu.
Dan dia tetap tidak mau perang itu terjadi.
Namun mau diapakan lagi, karena kini semuanya
sudah jelas di ambang mata. Bukankah inilah yang
dinamakan dilema" Bila mereka diam, maka
hancurlah mereka dibantai lawan. Bahkan bila
mereka pun menye-
rang dan membalas, bisa pula hancur karena
lawan begitu kuat.
Perang tidak enak. Amat menyedihkan
akibatnya. Namun semua kini sudah ada di depan
mata. Tak akan bisa untuk dihindari lagi.
---ooo0dw0ooo---
3 Murid-murid Perguruan silat Cempaka Biru yang
dipimpin oleh Priatna sudah tiba di perbatasan
Desa Kali Sunyi. Yantara yang sejak tadi mengintai
terus, memberitahu kalau pasukan itu sekitar lima
menit lagi akan *iba di perbatasan ini. Dan jumlah
mereka pun cukup banyak.
"Kita harus bersiaga, Priatna," kata Yantara.
"Baik! Kita harus mempertahankan tanah Desa
Kali Sunyi ini!"
"Apa kata Guru?"
"Seperti yang kuucapkan tadi!" Lalu Priatna
segera bergerak cepat. Dengan sigapnya dia
memerintahkan teman-temannya untuk berpencar.
Sekaligus mencari posisi untuk menyerang dan
bertempur. Dan masing-masing pun segera mengambil
posisi yang baik dan mempersiapkan senjata
mereka. Mereka bersenjata toya, senjata andalan
Perguruan Cempaka Biru.
Priatna sendiri ditemani lima orang temannya.
Mereka pun nampak bersiaga. Yan-tara yang
bersembunyi di sampingnya, hampir-hampir tidak
mendengar desah napas Priatna. Rupanya
ketegangan itu sudah mulai merambat. Dan
masing-masing pun memang merasakan ketegangan yang sama. Benar-benar satu kejadian
yang amat mencekam.
Untunglah hari sudah semakin sore. Dan mulai
merangkak malam sehingga orang-orang sudah
kembali ke rumah masing-masing dari pekerjaan
mereka. Ini menguntungkan, karena tentunya
orang-orang itu tidak akan merepotkan mereka.
Suasana benar-benar semakin hening. Benar-
benar mencekam. Orang-orang yang bersembunyi
dan menunggu di sana seolah tidak merasakan
hembusan angin yang dingin. Dan masing-masing
merasakan detak jantung mereka semaki keras.
Tak ada yang bersuara, bahkan desah napas
mereka saja seolah tertelan kembali. Mereka
seakan tidak menghiraukan teman lagi yang ada di
samping mereka. Semua tatapan mata tertuju ke
depan menanti pasukan Kediri yang datang.
Hanya itu satu-satunya yang kini ada di hati
mereka menanti munculnya pasukan Kediri dan
bertempur mati-matian!
Tiba-tiba terdengar suara derap langkah dari
kejauhan dan semakin lama suaranya terdengar
semakin mendekat. Dengan hati-hati Priatna
mengintip dari tempat persem-bunyiaannya.
Orang-orang Cakram Maut sudah tiba dengan
pasukannya yang berjumlah banyak.
Priatna mendesah panjang.
Dalam hatinya ada rasa ciut juga mengingat
jumlah teman-temannya. Tiga berbanding satu.
Duh, mampukah mereka menghadapi sekian
banyak orang-orang Cakram Maut yang nampak
beringas dan kejam"
Orang-orang Cakram Maut memang bagaikan
binatang buas belaka. Siap untuk mencakar habis
siapa saja yang berada di dekatnya.
Tetapi Priatna yakin, mereka adalah murid-
murid Perguruan Cempaka Biru yang tidak
mengenal takut dan putus asa. Meskipun jumlah
mereka sedikit, namun mereka adalah manusia-
manusia yang berjiwa kesatria. Dan punya
keinginan sekuat baja untuk menunjukkan rasa
kemanusiaan dan kesatriaan mereka yang tinggi.
Mereka tak mengenal takut dan berani
menghadapi orang-orang yang telah memfitnah
Perguruan Cempaka Biru. Yang sekaligus
mengotori pula Desa Kali Sunyi. Di mana mereka
dilahirkan untuk menjadi manusia yang berguna.
Manusia gagah berani dan perkasa. Manusia yang
dilahirkan dari rahim seorang bunda yang welas
asih ke tanah Kali Sunyi ini.
Tiba-tiba saja Priatna bersalto keluar dari
tempat persembunyiannya. Sekali bersalto dia
sudah berdiri di jalan berumput itu dengan sikap
gagah. Toyanya tersampir di punggung dan
dengan sigap akan dipergunakannya bila keadaan
amat memaksa. Pandangannya amat geram sekali
terhadap orang-orang yang dengan kejinya
memfitnah Perguruan Cempaka Biru.
Orang-orang yang tak akan pernah bisa
dimaafkannya. Namun di balik kegeraman dan
ketegangannya itu tersimpan satu ketenangan
yang luar biasa dalam menghadapi lawan-
lawannya. Matanya waspada dan bagaikan elang
menyambar. Bukankah sikap yang ditujukan oleh Priatna itu
sudah merupakan bukti kalau dia seorang yang
gagah berani. Sementara teman-temannya hanya memperhatikan saja. Dan bersiap membantu bila
terjadi sesuatu pada kawan yang mereka hormati
itu. Orang-orang Cakram Maut yang telah tiba dan
siap menggempur Perguruan Kali Sunyi dipimpin
oleh seorang laki-laki gagah perkasa. Dia sebaya
dengan Priatna. Namanya Marayuda. Seorang
pemuda yang tampan.
Dari kejauhan pemuda itu pun segera melihat
seseorang yang berdiri gagah. Dengan kedua kaki
terbuka melintang. Sikapnya menantang dan semu
itu menunjukkan kalau dia memang sedang
menghadang. "Manusia keparat!" geram Marayuda mendengus. Geram hatinya bila mengingat pusaka
Perguruan Cakram Maut yang berupa Cakram Emas
hilang dari perguruan mereka. Sebagai orang
kepercayaan ketua Perguruan Cakram Maut,
Marayuda sudah tentu geram bukan main. Dan dia
siap menghadapi semuanya dengan resiko apapun
juga. "Cempaka Biru keparat! Akan kubumiratakan
kalian dengan tanah!"
Marayuda segera mengangkat tangan kanannya
ke atas, tanda menghentikan para anak buahnya
yang di wajah masing-masing memperlihatkan
kegeraman. Mereka pun telah melihat seorang
pemuda yang berdiri di tengah jalan berumput itu.
Hal ini semakin membuat mereka bertambah


Pendekar Gagak Rimang Lambang Penyebar Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

geram adanya. Di samping muak dengan sikap
Priatna juga geram karena mereka yakin orang-
orang perguruan Cempaka Birulah yang telah
mencuri pusaka milik mereka.
Pusaka Cakram Emas yang amat mereka
agungkan dan mereka banggakan.
Marayuda sendiri pun segera maju menghampiri
Priatna. Langkahnya tegang dan kaku. Sikapnya
gagah. Senjata cakramnya tersampir di pinggangnya. Dari sorot matanya kegeraman itu
terpancar kuat dan penuh kemarahan.
Dia sekarang sudah berdiri di hadapan Priatna.
Kedua pemuda itu kini saling bertatapan, mata
mereka menyambar bagaikan mata elang. Kedua
pemuda itu seperti sedang mengukur tingkat
kepandaian masing-masing.
Dan bila diperhatikan lebih seksama, keduanya
sebaya. Sama-sama tampan dan gagah perkasa.
Marayuda memasang wajah angker. Kegeraman
di wajahnya kian nyata. Begitu pula dengan
Priatna. Suasana cukup tegang dan mengalirkan
hawa kengerian ke seluruh tubuh.
Sikap keduanyajelas dan tidak bersahabat.
Masing-masing jengkel terhadap mereka. Terutama
Marayuda. Karena sikap pemuda di hadapannya ini
seperti melecehkannya. Mengejeknya. Dan menganggapnya ringan.
Begitu pula dengan Priatna. Dia pun tak kalah
jengkelnya melihat sikap pemuda yang berdiri di
hadapannya ini seperti menantang. Settannn!
Makinya dalam hati!
Priatna pun tidak mau kalah. Dia pun memasang
wajah yang tak kalah angkernya. Kedua tangannya
terpancang di pinggang. Si- j kapnya itu benar-
benar menjengkelkan Ma-rayuda. Namun Priatna
seolah tak acuh saja. Malah dia memang sengaja
ingin memancing kemarahan Marayuda.
Benar saja, beberapa saat kemudian, anak
muda yang pemarah itu berkata, "Hm... siapa
gerangan adanya Ki Sanak" Kenapa sikap Ki Sanak
seperti sedang menghadang perjalanan kami"
Apakah Ki Sanak memang bermaksud demikian?"
Priatna hanya memperhatikan pemuda yang
berdiri, di hadapannya. Mulutnya tidak terbuka.
Terkatup rapat dengan kegeraman yang amat
sangat. Tatapannya dingin, sedingin wajahnya
yang tak bersahabat. Marayuda mendengus dalam
hati. "Ki Sanak... Tidak dengarkah Ki Sanak kalau aku
bertanya"!" desisnya menahan geram.
Tetapi Priatna tetap terdiam. Hanya tatapannya
yang dingin yang bicara.
"Ki Sanak... apakah Ki Sanak tidak bisa
menjawab pertanyaanku?" Marayuda sudah mulai
jengkel. Namun Priatna yang memang' sengaja ingin
membuatnya jengkel tetap terdiam.
Dan ini membangkitkan kemarahan Marayuda.
"Bangsat! Kiranya Ki Sanak memang sedang
menghadang perjalanan kami!"
Priatna tetap terdiam.
"Anjing kurap! Apa maumu sebenarnya, lah"!"
membentak Marayuda dengan kejengkelan yang
luar biasa. Kali ini Priatna membuka suaranya, angker.
"Mauku, kalian tinggalkan tempat ini dengan
segera!" "Apa maksudmu"!"
"Tadi kau bertanya bukan, apa mauku" Nah,
mauku menyuruh kalian untuk pergi meninggalkan
Desa Kali Sunyi ini sekarang j juga. Tanpa kecuali!"
"Hmm."
"Orang-orang Cakram Maut yang tidak tahu diri.
Berani-beraninya kalian lancang J menginjak Desa
Kali Sunyi ini!"
"Hmm...."
"Orang-orang lancang tukang membuat fitnah!"
"Hem...."
"Seenaknya saja menuduh Cempaka Biru
sebagai pencuri!"
"Hmmm...."
"Jangan hanya bergumam saja, Ki Sanak!"
bentak Priatna yang mulai jengkel dan sebal
mendengar kata-katanya hanya disambut dengan
gumaman saja oleh Marayuda.
"Hmmm...."
Hawa panas pun makin mengalir.
Hawa kemarahan pun menebar.
Wajah Priatna memerah.
"Kami orang-orang Desa Kali Sunyi sekaligus
abdi setia Perguruan Cempaka Biru... tidak akan
membiarkan kalian, orang-orangl busuk Cakram
Maut memasuki wilayah Kali Sunyi ini!" serunya
berapi-api. "Hmm....."
"Dan akan membela Cempaka Biru dengan
segenap kemampuan kami!" "Hmmm...."
"Kau memuakkan aku, Ki Sanak!" geram Priatna
penuh dengan kemarahan yang membludak. Dan
segera saja dia menyerang Marayuda dengan
gebrakan cepat dan hebat. "Mampuslah kau,
manusia sombong!"
Tetapi Marayuda pun di samping sikapnya yang
acuh tak acuh itu sebenarnya telah bersiaga penuh.
Maka dengan gerakan yang cepat pula Marayuda
menarik kepalanya ke belakang, menghindari
jotosan tangan kanan Priatna yang mengarah pada
wajahnya. "Heit!"
Lalu dia pun dengan cepat segera kirimkan
serangan balasan.
Priatna sendiri segera melayaninya dengan
ketangkasannya. Tidak percuma dia menjadi murid
unggulan pertama di Perguruan Silat Cempaka
Biru. Dengan tangkasnya dia menghadapi
serangan-serangan Marayuda dengan gebrakan
yang cepat dan tangguh pula.
Keduanya pun memperlihatkan ketangguhan
dan kehebatan mereka.
"Hahaha... kau rupanya memiliki kebisaan pula,
Ki Sanak!" tertawa Marayuda sambil melayani pula
gebrakan-gebrakan
dahsyat yang dilakukan Priatna. "Nah, mengapa kau tidak segera mengajak anak
buahmu untuk angkat kaki dari Desa Kali Sunyi ini,
hah"! Apakah kau ingin mati konyol"!"
"Hahaha... jangan terlalu sesumbar dulu, Ki
Sanak! Kau belum merasakan kelanjutan-
"Sombong! Mengapa tidak segera kau keluarkan
semua kemampuanmu, hah"! Kalian memang
manusia-manusia busuk yang bisanya hanya
memfitnah saja!"
"Hhhh! Ini bukan fitnah, Ki Sanak! Namun
kalianlah yang telah mencuri Cakram Emas milik
perguruan kami! Dan kami tak akan pernah
mengampuni siapa pun orang yang berada di
bawah naungan Perguruan Cempaka Biru!"
"Bangsat!"
Dan gebrakan-gebrakan yang keduanya lakukan
semakin cepat dan hebat. Masing-masing
memperlihatkan segenap kemampuan yang meraka
miliki. Saling serang. Saling tangkis.
Seakan mereka tidak ingin memberi kesempatan
pada lawan-lawannya untuk bisa bernapas sejenak.
Karena serangan-serangan yang mereka lakukan
beruntun dan cepat.
Sementara teman-teman Priatna sudah tidak
sabar untuk membantu. Namun Yantara menyuruh
mereka untuk bisa menahan diri, karena dia sendiri
yakin Priatna akan mampu menghadapi pemuda
pemarah dan memuakkan itu.
Juga karena pasukan Kediri tak satu pun yang
bergerak membantu. Rupanya mereka terlalu taat,
jika belum diperintahkan, maka mereka tidak akan
bergerak. Perkelahian antara Priatna dengan Marayuda
semakin seru. Ketangkasan, kepandaian dan
kelihaian keduanya sudah mereka tampilkan.
Benar-benar indah dan mengagumkan. Sampai
saat ini keduanya nampak seimbang dan masih
menggunakan tangan kosong.
Malam pun sudah merambat turun.
Dan tiba-tiba saja Marayuda menyerang dengan
gencar, membuat Priatna agak kewalahan. Namun
dia masih bisa menghindar dengan lincah. Suatu
saat, ketika dia sedang bersalto di udara, Marayuda
mendadak berguling mengejar. Dan tempat di
tempat yang akan dipakai Priatna untuk
menjejakkan kaki, mendadak saja Marayuda
mencabut pedangnya dan mengelebatkan ke atas.
Sudah tentu Priatna terkejut bukan main, tidak
menyangka serangan yang demikian itu. Namun
sedetik dia terlambat, hilanglah nyawanya.
Teman-temannya pun sudah membayangkan
hal-hal yang mengerikan bagi Priatna. Terlalu
menakutkan. Namun kemudian semuanya menghela nafas
lega. Karena dengan tangkasnya Priatna melolorkan toyanya dan dengan ujung toya itu dia
menangkis sabetan pedang Marayuda. Dan,
"Trak!"
Dengan lincahnya kemudian Priatna menggenjot
tubuhnya dengan tumpuan toya itu pada tanah.
Dan bersalto ke depan dan berdiri dengan sigap.
Menghadap Marayuda dengan penuh tantangan.
Bibirnya menyungging senyum ejekan.
Marayuda sendiri sangat terkejut karena tidak
menyangka pemuda itu bisa meloloskan diri.
"Bangsat! Rupanya kau punya kepandaian pula
hingga berani menghadang perjalanan kami! Baik!
Kami adalah orang-orang Kediri yang akan
membantai Singasari dan merebut kembali pusaka
milik kami! Dan kami akan bergerak perlahn-lahan
dengan menduduki setiap desa yang berada di sini.
Satu per satu kami akan menguasainya. Dan
kesempatan pertama, Desa Kali Sunyi ini yang akan
kami gulung!"
"Mimpi di siang bolonglah kau dengan anak
buahmu itu!" balas Priatna tak kalah kerasnya.
"Hanya Tuhanlah yang bisa meratakan Desa Kali
Sunyi ini!"
Merah padam wajah Marayuda. Dia meludah
dengan tatapan geram.
"Bangsat!" bentaknya kalap. "Kami akan
buktikan kekuatan ini!"
"Kami?" ejek Priatna tenang. "Bukannya kau"
Hmm.... rupanya tak ada keberanianmu lagi
menghadapiku sekarang! Bagus! Perempuanlah
kau semestinya! Dan berlarilah pulang dengan
tunggang langgang bagai perempuan yang buah
dadanya dipegang tangan laki-laki jahil!"
Semakin panas wajah Marayuda dirasakannya.
Untungnya malam mulai menyelimuti. Dan cahaya
rembulan pun hanya redup saja, seperti enggan
menyaksikan pertempuran itu. Ah, rembulan pun
enggan melihat darah yang sebentar lagi akan
tumpah. Namun mengapa manusia itu lebih suka
berperang daripada berdamai. Apakah mereka lupa
kalau Tuhan menciptkan mereka untuk saling
mengasihi satu sama lain" Mereka telah dibuai oleh
ambisi diri sendiri. Perang. Perang. Perang. Terlalu
menakutkan untuk dibayangkan. Terlalu mengerikan untuk dihadapi. Terlalu mematikan
untuk terjun ke dalamnya, namun mereka masih
menyukai perang. Seakan tanpa perang arti hidup
tidak ada lagi, tidak ada lagi yang akan bisa
mereka perlihatkan. Karena dalam perang
kepandaian, kegagahan dan kejantanan diperlihatkan. Begitukah caranya untuk meyakinkan


Pendekar Gagak Rimang Lambang Penyebar Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri, meyakin pada orang lain, meyakinkan pada
dunia, bahwa dia adalah lelaki jantan" Tidak
adakah cara lain" Perang.... kau hanya membawa
berita kematian pada orang-orang yang tak
bersalah. "Baik! Akan kubuktikan sekarang!" terdengar
suara Marayuda geram. Dan dengan pedang di
tangannya dia pun kembali menyerang.
Kali ini dengan toya di tangannya pula Priatna
memapaki serangan itu. Dan dengan kedua senjata
di tangan masing-masing, keduanya nampak
semakin tangguh dan hebat. Toya yang dipegang
Priatna sukar sekali ditebak ke mana arahnya.
Begitu cepat dan berulang-ulang. Kadang-kadang
toya itu menusuk, memukul, menyabet, berdiri
tegak dan kadang-kadang bergerak baling-baling
yang menimbulkan suara keras dan berde-sing-
desing. Bagaikan ribuan tawon yang menyerbu.
Sungguh luar biasa apa yang diperlihatkan
Priatna. Dia benar-benar membuktikan diri, bahwa
dia memang patut menjadi murid nomor satu di
Perguruan Silat Cempaka Biru.
Gebrakan toya yang begitu hebat diperlihatkan
Priatna, membuat Marayuda sejenak tertegun. Dan
dia menjadi agak kewalahan. Sekaligus juga
keheranan melihat jurus-jurus toya yang ditampilkan oleh Priatna. Toya itu seakan
mempunyai mata. Karena ke mana tubuhnya pergi,
ke sana pula toya itu mengejar.
Amat hebat! Dengan pedang di tangannya, Sebisanya
Marayuda mencoba mengimbangi serangan-
serangan yang berbahaya, aneh dan cepat itu.
Namun ujung toya di tangan Priatna memiliki dua
kutub. Satu berkelebat, yang lainnya cepat
menyusul, secepat apa yang digerakkan oleh
pemiliknya. Lain halnya dengan pedang di tangan
Marayuda yang hanya memiliki satu kutub yang
bisa digunakan.
Dan hal ini benar-benar membuatnya kewalahan. Karena selain toya itu memiliki dua
kutub yang keras, juga lebih panjang dari
pedangnya. Sehingga menyulitkan Marayuda untuk
menyerang dari jarak dekat, karena kedua ujung
toya itu seakan menghentikan gerakannya bila
ingin mendekat.
Sedangkan Priatna semakin berada di atas angin
dengan memperlihatkan kehebatan permainan ilmu
toyanya. "Hahahah... sudah kukatakan sejak tadi, lebih
baik kau angkat kaki dari sini!!" ejeknya sambil
terus mencecar.
"Wut!"
"Wut!"
Dua sambaran itu berhasil dielakkan oleh
Marayuda, dengan jalan melompat. Dan masih
melompat dia mencoba menyerang dengan satu
tusukan ke arah wajah Priatna.
Namun dengan manisnya Priatna memutar
toyanya. "Traaaaakkk!"
Dan dengan gerakan yang cepat dan sulit, tiba-
tiba ujung toyanya sudah menggedor perut
Marayuda hingga terhuyung.
"Heikkk!!"
"Hahahah.... lumayan bukan apa yang kau
rasakan itu"!" mengejek Priatna yang semkin
membuat Marayuda bukan main marahnya.
Tanpa menghiraukan rasa mual di perutnya,
Marayuda kembali menyerbu dengan pekikan yang
cukup keras. Priatna pun segera melayaninya
dengan permainan toyanya yang hebat.
Kembali keduanya bertarung bagaikan dua ekor
ayam di dalam kalangan.
Namun Marayuda benar-benar kewalahan
menghadapi permainan ilmu toya yang diperlihatkan oleh Priatna. Kini dia hanya bisa
mencoba menggerakkan pedangnya saja untuk
menangkis, tanpa bisa menyerang lagi.
Sampai suatu ketika, toya di tangan Priatna
dengan cepat bergerak memutar, mencoba
mengancam bagian leher Marayuda. Marayuda
cepat merunduk. Namun tiba-tiba saja Priatna
sudah melompat ke atas dengan kedua tangan
yang menggenggam ujung toyanya dan siap
menghantam kepada Marayuda.
Gerakan yang cepat itu membuat Marayuda
terkejut dan dengan memegang kedua pedangnya
dia mengangkat ke atas dan menangkis pukulan
toya Priatna. Namun selagi kedua tangannya yang memegang
pedang itu berada di atas, dengan tidak terduga
tiba-tiba tubuh Priatna dan kakinya dengan cepat
menyambar ke dada Marayuda. Pemuda itu
terkejut, namun sulit baginya untuk menghindari
serangan itu! Dan tanpa ampun lagi kaki Priatna menghantam
sasarannya dengan keras.
"Des! Heiikkk!!"
Seketika tubuh Marayuda terdorong oleh sebuah
tenaga yang cukup kuat ke belakang dengan deras.
Lalu terbanting ke tanah. Debu mengepul dan
langsung hinggap di bagian baju dan sedikit
wajahnya. Melihat lawannya sudah terjatuh, Priatna
menarik kakinya dan berdiri dengan senyum
mengejek. Tidak menyerang lagi. Toyanya diputar
sebelum dipancangkan di sebelah kaki kanannya
dengan tangan kanannya memegang bagian toya
itu. "Maafkan aku, Ki Sanak. Sebenarnya bukan
salah aku. Tetapi kau yang lengah. Dan dalam hal
ini, kau harus lebih banyak lagi belajar."
Marayuda geram bukan main. Dia mengusap
bibirnya yang mengeluarkan darah. Dadanya terasa
sesak. Namun yang lebih menyakitkan ejekan yang
dilakukan Priatna tadi.
Perlahan-lahan dia bangkit.
Tatapannya demikian geram.
Dan dengan tiba-tiba dia mengangkat tangan
kanannya ke atas. Dengan serentak | anak
buahnya yang sejak tadi menunggu dengan tidak
sabar berlarian menyerbu Priatna | dengan suara
yang gegap gempita.
Melihat pasukan Kediri sudah menyerang,
Yantara pun tidak mau kalah. Dengan memekik
keras dia beserta teman-temannya segera keluar
dari persembunyiannya dan segera menyambut
orang-orang Kediri itu.
"Serrrbuuuu!!"
Di malam yang sunyi ini, pertempuran besar
terjadilah. Perbatasan Desa Kali Sunyi yang
biasanya sepi kali ini ramai dengan teriakan yang
hiruk pikuk, juga suara senjata yang ramai beradu.
Suasana amat gegap gempita.
Kadang terdengar suara memekik.
Kangan terdengar suara menjerit.
Kadang terdengar suara mengaduh.
Kadang terdengar suara senjata bertemu.
Keras dan menyayat.
Semua menjadi satu dengan kegelapan malam.
Namun orang-orang itu terus saja saling
menyerang dengan buas. Masing-masing ingin
segera melumpuhkan lawannya. Semakin buas dan
kejamlah mereka.
Mereka yang tengah bertempur itu tidak
memperdulikan malam yang semakin merambat.
Hanya satu keinginan mereka, mengalahkan lawan
mereka masing-masing.
Jumlah pasukan Kediri yang lebih banyak tidak
membuat gentar murud-murid Cempaka Biru,
dengan beraninya mereka menghalau setiap
serangan lawan. Tak sedikit yang mendapat
sekaligus dua orang.
Dalam hal ini, Priatna dan Yantara bergerak
dengan cepat. Merekalah yang menjadi motor
penggerak teman-teman mereka yang lain..
Toya-toya yang berada di tangan mereka, bagai
hidup saja. Ke mana lawan bergerak, ke sana
pulalah toya itu bergerak. Membuat keduanya
ditakuti. Karena setiap toyanya bergerak, pasti ada
yang mengaduh. Melihat hal itu Marayuda menjadi geram.
Dengan mengibaskan pedangnya ke sana ke mari
dia berusaha mencapai Priatna. Dia masih geram
karena pemuda itu mampu menendangnya tadi.
Apalagi sekarang mempo-rak porandakan pasukannya. "Hadapi aku, setan!" geram Marayuda ketika
sudah berhadapan dengan Priatna dan langsung
menyerang dengan pedangnya. Buas dan bernafsu.
Priatna sendiri pun segera meninggalkan lawan-
lawannya. Dia pun menyambut kembali serangan
Marayuda. Kembali kedua pemuda gagah itu
bertempur dengan tangkas.
Sementara kedua kelompok itu sudah semakin
menenggelamkan diri dalam pertempuran. Sudah
banyak pula yang berguguran baik dari pihak Kediri
maupun murid-murid Cempaka Biru.
Dan pertempuran itu sudah berjalan hampir dua
jam. Tiba-tiba terdengar suara derap langkah kuda
yang cepat. Andikabirata dan Juwitasari yang baru
saja tiba. Keduanya terkejut melihat pertempuran
itu. Dan tanpa banyak cakap lagi keduanya segera
melompat turun dan menerjunkan diri ke dalam
pertempuran itu.
Melihat guru dan Rayu Juwitasari datang,
memberi semangat bagi murid-murid Cempaka
Biru. Mereka kembali menyerang dengan cepat
seolah mendapatkan tenaga baru.
Andikabirata atau si Toya Kilat dengan gerakan
Walet Besi 4 Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan Giok Bun Kiam Lu Karya Chin Yung Kisah Sepasang Rajawali 30
^