Pencarian

Lambang Penyebar Kematian 2

Pendekar Gagak Rimang Lambang Penyebar Kematian Bagian 2


yang sangat cepat sudah merubuhkan lima orang
prajurit Kediri. Begitu pula dengan putrinya, yang
sudah menarik toya kecilnya menjadi panjang.
Dengan gerakan yang manis dan tangkas pula
dia menghajar setiap lawan yang mendekat
padanya. Dengan bantuan kedua orang gagah itu,
kemenangan sudah nampak di ambang pintu bagi
Perguruan Cempaka Biru, walaupun banyak pula
murid-murid perguruan itu yang gugur dan luka-
luka. Sementara itu Priatna masih bertarung dengan
Marayuda. Wajah pemuda pemarah itu pias melihat
kedatangan dua orang sakti itu, yang membuat
pasukannya porak poran-da dan sebentar saja
sudah dipukul ambruk. Mereka tidak berani lagi
mengangkat senjata.
Namun biar bagaimana pun dia tidak gentar. Dia
tidak memperdulikan dirinya yang kini sudah
benar-benar terkepung dalam lingkaran murid-
murid Cempaka Biru. Sedangkan pasukannya
sudah menyerah kalah, bahkan yang takut mati
lebih rela ditawan. Atau pura-pura pingsan.
Marayuda tetap menahan dan membalas
serangan Priatna. Pertempuran keduanya sudah
memakan waktu yang lama. Ini membuat
Juwitasari menjadi jengkel.
Kalau dia yang melawan, tak lebih dari lima
jurus orang Kediri itu akan ambruk, begitu katanya
dalam hati. Dan pertarungan kedua pemuda itu
terasa membosankannya. Dengan tiba-tiba saja dia
menggerakkan tangan kirinya.
Siung!' Sebuah jarum berbisa melayang ke arah
Marayuda yang sedang terdesak dan menancap di
bahunya. "Aduh!"
Marayuda terhuyung sambil menekap bahunya.
Dan pedangnya terlepas karena terkejut, sehingga
serangan Priatna selanjutnya tidak bisa dibendung
lagi. "Des! Des!"
Dua kali dadanya dihantam dengan keras oleh
kaki Priatna, membuatnya terhuyung dan ambruk.
Namun sambil menahan rasa sakit yang bukan
main, dia berusaha untuk bangkit dan menyeringai
kesal pada Juwitasari. Namun tubuhnya benar-
benar lelah, tenaganya telah habis diperas
sehingga dia pun ambruk kembali.
Priatna tidak tahu kalau lawannya itu telah
terkena jarum berbisa milik Juwitasari. Dia
tersenyum puas karena bisa membuktikan diri di
hadapan guru dan putri gurunya bahwa dia mampu
mengalahkan orang Kediri.
Tetapi Juwitasari tidak sekali pun meliriknya.
Gadis itu seolah tidak mau tahu akan kebanggaan
Priatna yang berhasil mengalahkan lawannya.
Begitu pula dengan Andikabirata. Walaupun
sukar untuk diikuti oleh mata gerakan yang
dilakukan Juwitasari tadi, namun dia sempat
melihat sekilas gerakan tangan putrinya. Dan dia
pun menduga bahwa putrinya sedang menyerang
dengan senjata rahasianya. Benar saja, orang
Cakram Maut itu tiba-tiba menekap tangan
kanannya. Sambil berbisik tenang, Andikabirata berkata
pada putrinya, "Kau tidak boleh berbuat curang,
Wita...." Juwitasari sedikit kaget. Oh, ayahnya mengetahui perbuatannya tadi. Buru-buru dia
menunduk, lalu perlahan-lahan kembali mengangkat kepalanya. Dan terlihat wajahnya
yang cantik tersaput ketersipuan.
"Aku tidak sabar melihat Kakang Priatna yang
lambat begitu, Bapak.... hanya lawan seperti itu
saja dia sulit untuk menjatuhkannya."
Andikabirat tersenyum. Hatinya sedikit bangga
karena putrinya menuruni sifatnya yang sedikit
keras. Namun dia tidak mau putrinya melakukan
hal seperti itu. Menyerang musuh secara diam-
diam adalah pengecut.
"Tapi kau telah berbuat curang, Wita... Dan
seingatku, aku tak pernah mengajarkan kau
berbuat seperti itu. Kau pun tentunya tahu hal itu,
Wita....."
"Biarkan saja, Bapak.... aku muak dengan
orang-orang Cakram Maut. Mereka seenaknya saja
berbuat dan bersikap seperti itu. Apakah aku
terima dengan senang hati?" Suara Juwitasari
sedikit mengandung keras kepala.
Andikabirata menghela napas. Putrinya sudah
benar-benar terbawa arus jiwa mudanya, yang
tidak bisa membendung rasa marahnya jika hal
yang tidak bisa diterimanya. Apalgi dalam hal ini,
kejadian yang amat menyinggung jiwa dan
raganya. Akhirnya Andikabirata mendiamkan saja putrinya
yang masih nampak sebal. Lalu dia berjalan
menghampiri Marayuda yang sedang meringis
kesakitan. Andikabirata mencoba tersenyum.
"Maafkan putriku, Anak muda... dia terlalu
lancang mencampuri perkelahianmu...."
Tetapi Marayuda mendengus marah. Matanya
bersinar mengejek. Biar bagaimana pun laki-laki
yang berdiri di hadapannya ini adalah orang yang
telah mencuri pusaka Cakram Emas milik
Perguruan Cakram Maut.
"Hhh! Tak perlu berbasa basi dan menjual lagak,
Orang tua! Katakan pada anakmu itu, kalau ingin
membunuh aku, lakukan saja! Tidak perlau
melakukan serangan keji dan pengecut ini! Hhh!
Memang sudah kuduga, orang-orang Cempaka Biru
adalah manusia curang dan pengecut!!"
"Dia masih muda, Anak muda... jiwanya masih
mudah dikuasai emosi," suara Andikabirata masih
pelan dan bibirnya tetap tersenyum.
Namun Marayuda yang geram itu tidak
memperdulikannya. Dia tengah dendam. Tengah
menyimpan kemarahan yang berat. Malah dia
meludah dengan sikap menyakitkan.
"Cih! Biar mampus anakmu, Orang tua!!"
Andikabirata untunglah seorang laki-laki yang
sabar. Sikap Marayuda sebenarnya sudah amat
kurang ajar sekali. Namun dia masih bersikap
santai. Dengan bibir yang selalu tersenyum.
"Anak keras kepala," desisnya dalam hati sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
Tetapi dia tetap sabar dan tersenyum. "Bisa
jarum itu bisa menjalar ke seluruh tubuhnya, Anak
muda. Dalam waktu setengah jam lagi, kau akan
menemui ajalmu dengan tubuh menegang biru."
"Lalu apa urusanmu, Orang tua!" geram
Marayuda. "Biar dosanya ditanggung oleh anakmu
itu!" "Aku bermaksud hendak mengobatinya. Marilah,
ikut aku ke rumahku. Di sana lebih leluasa untuk
mengobati luka-lukamu dan menghilangkan bisa
jarum itu."
"Cih! Tak sudi aku menerima bantuan dari orang
yang hendak mencelakakanku dan abdi Singasari
yang telah mencuri Pusaka Patung Pualam milik
kerajaan Kediri! Tak sudi aku!!"
Melihat ayahnya dibentak dengan suara yang
keras itu, Juwitasari menghampiri dengan jengkel.
"Kenapa tidak dibunuh saja orang ini, Bapak?"
serunya marah. "Biar mampus sekalian di sini
daripada merepotkan kita!"
"Ya, bunuh saja aku! Bunuh saja! Kenapa kau
menunggu waktu lagi, hah" Kenapa"!" bentak
Marayuda keras. "Ayo lakukan, lakukan!!"
"Bangsat!" seru Juwitasari. "Kau pikir aku main-
main, hah"!"
"Lakukan, lakukan! Aku muak berada dalam
tawananmu! Lebih baik aku mati daripada hidup
bersama orang-orang yang tak beradab! Secara
curang menyerang orang selagi lengah! Mana
keberanian kalian, selain hanya membokong saja,
hah"! Mana"!"
Dengan geram Juwitasari mencabut toya-nya
dan menggerakkan dengan cepat. Pemuda ini
membuatnya sangat jengkel. Biar mampus saja.
Sedangkan Marayuda dengan tenang saja
menerima apa yang akan terjadi pada dirinya.
Bahkan dia memejamkan matanya saja pun tidak.
Biar dia mati daripada ditawan oleh musuh Kediri
ini. Namun mendadak saja sebuah benda menghalangi laju toya Juwitasari.
"Traaak!"
Tangan Juwitasari agak bergetar menerima
tangkisan yang bertenaga itu pada toya-nya. Dan
dia sangat terkejut begitu tahu siapa yang
menahan tongkat toyanya.
"Bapak"!" suaranya bergetar, tak percaya. "Aku
tidak pernah mengajarkan kau untuk menyerang
orang yang telah kalah, Juwita. Apakah kau lupa
kalau itu tak pernah kuajarkan padamu?"
"Tetapi dia menghinaku, Bapak!" suara
Juwitasari tersendat, bagai menangis belaka.
Malunya bukan main karena yang menahan
serangannya itu ayahnya sendiri. Dan ini sulit
baginya untuk marah. Malu di hatinya semakin
bertambah besar saja. Mengapa bapak membuatku
malu" mengapa" Isaknya di hati tidak mengerti.
"Tetapi dia telah kalah, Wita. Kau tidak boleh
menyerangnya lagi. Bila kau masih melakukannya,
kau tidak ksatria. Seorang ksatria sejati, pantang
menjatuhkan tangan telengasnya pada lawan yang
sudah kalah. Dan kau harus bersikap seperti itu,
Wita. Jangan main sembarang menurunkan tangan
telengas pada lawan yang telah kalah...."
"Tapi, Bapak...."
"Bapak yakin, kau akan menuruti kata-kata
bapak," kata Andikabirata sambil tersenyum. Dia
tahu sifat putrinya ini yang keras kepala dan
manja. Namun dia tidak suka bila putrinya
menurunkan tangan telengasnya pada lawan yang
sudah kalah. Andikabirata menginginkan putrinya
agar menjadi seorang kesatria sejati.
"Bapak...."
Juwitasari tidak meneruskan kata-katanya
karena mendengar suara tawa Marayuda yang
mengejeknya. Dan kala tatapan Juwitasari beradu
dengan tatapan mata yang mengejeknya itu,
membuatnya ingin menangis karena malu.
Betapa menjengkelkannya.
Dan begitu mengejeknya! "Heheheh.... lakukanlah, Nona.... lakukanlah....
bukankah kau ingin membunuhku" Heheheh....
ayo, bunuhlah aku.... lakukanlah... ayo, Nona....
ayo...." Juwitasari hanya bisa menghentakkan kakinya
dengan jengkel ke bumi. Lalu dia berpaling pada
ayahnya. "Bapak.... kau dengar itu, dia mengejekku"!"
Andikabirata hanya tersenyum.
Sementara Marayuda masih terkekeh-kekeh
dengan kata-kata ejekannya.
"Heheheh.... mengapa kau diam saja, Nona"
Ayo, mana kepandaianmu" Apakah kau takut untuk
membunuhku, hah" Heheheh.... maka-nya jangan
terlalu sesumbar, Nona... Hehehe... atau kau
memang pengecut hingga tak mau melakukannya"
" Merah padam seluruh wajah Juwitasari.
Kegeramannya amat luar biasa. Sayang dia pun
amat menghormati ayahnya, bila tidak, sudah tentu
akan dibunuhnya pemuda yang mengejeknya dan
membuat sakit hatinya ini.
"Kau"!" Hanya itu yang bisa terlontar dari
sepasang bibir memerah yang mungil itu.
Tersendat. Matanya memerah. Begitu pula dengan
wajahnya. Untunglah rembulan tidak begitu terang
bersinar, kalau cukup terang, mungkin pemuda


Pendekar Gagak Rimang Lambang Penyebar Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ceriwis itu akan terus mengejeknya. Namun
suaranya yang tersendat itu bisa dengan mudah
diketahui kalau dia ingin menangis.
Hati Juwitasari benar-benar kesal dan mangkel.
Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Marayuda masih terkekeh.
"Hehehe.....menangis, ya" Hehehe... bunuhlah
aku, Nona... Hehehe... cengeng sekali kau!!"
Kali ini Juwitasari tidak bisa lagi menahan
kemarahannya. "Kubunuh kau"!" serunya keras
sambil menggerakkan toyanya ke arah Marayuda.
Malunya tidak ketulungan lagi. Dia harus melenyap
pemuda ini dari muka bumi!!
Dan toya itu pun melesat ke arah Marayuda!
Namun belum toya itu mengenai sasarannya,
Juwitasari merasakan satu benda menghalangi laju
toyanya. Dan bukan main terkejut dan malunya,
karena lagi-lagi ayahnya yang menahan serangan
itu. Membuat rasa malunya semakin besar.
"Bapak!" serunya tersendat.
Dan tiba-tiba dia berlari melompat ke kudanya
sambil terisak. Lalu menggebraknya sehingga kuda
itu melesat bagaikan anak panah yang lepas dari
gendewanya. Dia malu. Malu karena diejek seperti itu.
Malu karena justru ayahnya yang menahan
setiap serangan yang dilakukannya. Oh, mengapa
ayahnya membuatnya malu" Mengapa" Ayahnya
jahat kalau begitu! Tega membuat putrinya sendiri
menanggung malu di depan pemuda ceriwis itu.
Kalau setiap serangannya tidak ditahan ayahnya
sendiri, tentunya pemuda itu akan dibunuhnya!
Priatna yang baru mendekat setelah pertempuran itu, mencoba menahannya karena
dilihatnya Juwitasari begitu kesal. Namun gadis itu
mendorongnya hingga jatuh. Dan pemuda itu
hanya bisa berdiri kembali sambil memanggil-
manggil. "Wita! Juwita! Juwita!"
Namun bayangan gadis itu beserta kudanya
sudah menghilang dari pandangannya. Ada apa
dengan gadis itu" Desis Priatna dalam hati.
Akh, dia tidak pernah suka melihat gadis itu
bermuram durja atau pun kesal.
Dengan tidak mengerti Priatna menghampiri
gurunya. "Ada apa dengan Juwita, Guru?"
Andikabirata hanya tersenyum.
"Tidak ada apa-apa. Rayimu memang begitu?"
"Tetapi dia seperti menangis, Guru...."
"Biarkan saja."
"Saya tidak mengerti, Guru."
"Aku sendiri tidak mengerti apa maunya putriku
itu, Priatna," kata Andikabirata sambil tersenyum.
"Tapi, Guru...."
Namun sebelum Andikabirata sempat membuka
mulut, Marayuda sudah terkekeh. "Heheheh...
kasihan gadis cantik itu. Dia malu, pasti malu
sekali. Heheheh... ingin sekali aku melihatnya
dalam keadaan malu begitu. Pasti wajahnya yang
cantik itu akan memerah dan begitu mempesona.
Gadis itu memang cantik. Sungguh cantik.
Wajahnya begitu mempesona. Ah, sayang
rembulan sedang segan bersinar. Jika dia lebih
berbaik hati padaku, pasti dia akan menerangi
wajah rupawan itu. Ah, sayang, sayang...."
Kata-kata Marayuda membuat keberangan
Pritna menjadi naik kembali. Bangsat! Pemuda
pemarah itu mendadak menjadi perayu sekali. Dan
dia berani memuji Juwitasari di hadapannya.
Sungguh keterlaluan!
Priatna yang diam-diam mencintai gadis itu
menjadi amat tersinggung. Sejak lama dia
mencintai Juwitasari. Mungkin sudah hampir tiga
tahun. Waktu yang cukup lama baginya untuk
memendang cinta itu di lubuk hatinya yang teramat
dalam. Tersimpan rapat.
Setiap malam dia selalu membayangkan wajah
cantik milik Juwitasari. Betapa senangnya
andaikata dia bisa menatap wajah itu lebih lama.
Betapa senangnya andaikata dia bisa mengecup
bibir mungil yang indah itu.
Ah, ah.... Dan sekarang gadis pujaannya itu dipuji lelaki
lain di hadapannya. Ini membuatnya tersinggung.
Namun lain bagi Andikabirata. Diam-diam dia
tersenyum dalam hatinya. Betapa lucunya pemuda
ini menurutnya. Seperti dirinya di masa muda dulu
ketika merayu Ratih Sudati gadis yang dicintainya.
Begitu nekad. Begitu lucu.
Lucu, lucu. Dan tanpa sadar bibirnya membentuk sebuah
senyuman. Namun begitu mendengar dengusan
Priatna buru-buru dia menghilangkan senyum itu.
Dan didengarnya suara Priatna yang menekan.
"Kau laki-laki ceriwis! Kau beraninya hanya pada
seorang gadis!"
Marayuda yang masih terbaring di tanah dengan
menahan rasa nyeri di sekujur tubuhnya terkekeh
pelan. "Hehehe... tak ada salahnya bukan, kalau aku
memuji gadis secantik dia?"
"Tetapi kau telah membuatnya tersinggung!"
"Apa yang telah kulakukan kepadanya, hah"
Gadis itu yang menangis dan berlari meninggalkan
tempat ini. Kau pikir aku menggodanya heh" Tidak,
sama sekali tidak. Aku tidak akan bisa mencintai
gadis jahat itu. Maaf, lain kali saja!" Terkekeh lagi
membuat Priatna semakin bertambah geram.
"Kau pikir gadis itu mencintaimu, hah"!" seru
Priatna makin jengkel.
"Siapa tahu"!" jawaban yang dilontarkan
Marayuda itu begitu santai dan ringannya.
Bahkan di dalam suaranya tersimpan nada yang
amat yakin sekali. Hal ini membuat Priatna semkin
geram dan jengkel. Ingin rasanya dia segera
menghantamkan kepalannya kepada manusia
ceriwis ini. Sayang ada gurunya di dekatnya, bila
tidak dia tak akan kompromi lagi.
"Jangan terlalu banyak berharap, Kawan!" sahut
Priatna padahal hatinya cemas dan cemburu.
"Heheheh.... aku tak prnah berharap. Tetapi...
hehehe... tentunya gadis itu yang mengharapkan
aku, bukan?"
"Brengsek...!"
"Hei, hei... mengapa kau harus marah" Apakah
kau tidak yakin kalau sesungguhnya gadis itu jatuh
cinta padaku?"
Sebelum Priatna membuka mulut, Andikabirata
segera menenangkan persoalan itu. Dia berkata
pada Marayuda, "Anak muda... siapa namamu
sebenarnya?"
Suara yang bertanya itu amat lembut, namun
dibalas dengan suara yang kasar oleh Marayuda.
"Buat apa kau mengetahui namaku, Orang tua"
Dan kau pikir aku mau mengatakannya, heh"!
Tidak akan pernah aku mengatakannya padamu,
Orang tua! Kau boleh berharap banyak, tapi jangan
kau pikir akan tercapai harapanmu itu!"
Priatna menyangka gurunya akan marah karena
kata-kata itu diucapkan dengan kasar. Tetapi
malah kelihatannya gurunya tenang-tenang saja.
"Kau tidak mau mengatakannya?"
"Buat apa, hah"!"
Andikabirata tersenyum.
"Baiklah... mari ikut aku ke Perguruan Cempaka
Biru. Bila terlambat, jarum berbisa itu akan segera
menyerangmu dan bisa mematikanmu."
"Biarkan saja! Apa urusannya denganmu, Orang
tua" Biarkan aku di sini! Biarkan aku mampus! Apa
perdulimu sebenarnya" Kau toh malah senang
bukan, karena anak gadis itu berhasi membunuhku
dengan jarum bangsatnya" Bukan, begitu" Hei,
jangan hanya diam saja, Orang tua! Apa kau takut
mengakuinya, heh"! Dan kau tak mau disalahkan
kalau sebenarnya kau suka dan bangga melihat
hasil kerja jarum anak gadis itu, bukan"!"
Mendengar kata-kata itu jantung Priatna
berdetak lebih cepat. Seakan dia habis berlari jauh
sekali. Jarum berbisa" Juwitasari" Oh, kalau begitu
pemuda ini telah diserang oleh jarum berbisa yang
dilepaskan Juwitasari. Oh, betapa malunya karena
dia menyangka pemuda itu telah berhasil
dijatuhkannya. Betapa malunya!
Padahal dia sudah amat bangga tadi. Pantas,
kala itu Juwitasari tidak membalas senyumnya.
Rupanya tangan gadis itulah yang telah mengakhiri
perlawanan Marayuda terhadapnya.
Ini sungguh-sungguh amat memalukan sekali!
Dan dengan perasaan yang amat geram sekali,
dia ingin segera menyumpal mulut pemuda yang
mendadak berubah menjadi ceriwis itu!
Namun sudah tentu tidak akan mungkin
dilakukannya sekarang.
"Tetapi bisa yang terdapat pada jarum itu akan
mematikanmu, Anak muda," Didengarnya lagi
suara gurunya berkata. Betapa lembutnya. Oh,
gurunya kenapa menjadi begitu bersimpati pada
pemuda ini" Mengapa" Desis Priatna geram dan
heran dalam hati.
Bukankah pemuda itu musuh mereka" Orang
Cakram Maut yang hina" Orang yang telah
menyerang Perguruan Cempaka Biru" Mengapa
harus bertindak sungkan-sungkan" Mengapa tidak
dibunuh saja" Priatna menjadi bingung dengan
semunya. ---ooo0dw0ooo---
4 Lagi-lagi kekehan yang terdengar dari mulut
Marayuda. Ini kebali membuat Priatna menjadi
jengkel. Sebenarnya maksud dari Marayuda adalah
hendak mengulur waktu. Dia mencoba tengah
mencari sela untuk melarikan diri.
Namun sejak tadi, rasanya tidak mungkin dia
bisa melarikan diri.
Maka dia pun bersikap semakin kurang ajar
pada Andikabirata, yang membuat Priatna menjadi
geram adanya. "Hehehe... mengapa kau menghiraukan aku,
Orang tua" Apakah dengan cara seperti ini kau
pikir aku akan tunduk padamu" Hehehe... tak akan
pernah, Orang tua! Tak akan pernah! Aku muak
melihat wajahmu, tahu!!"
Andikabirata mendesah panjang.
"Kau tak pernah berterima kasih, Anak muda...."
"Terima kasih" Untuk apa aku berterima kasih"
Apa lagi terhadap orang sepertimu" Hehehe...
jangan terlalu mengkhayal, Orang tua! Bila kau
berani, bunuhlah aku! Biarkan aku mampus!
Bukankah itu lebih baik untukmu daripada aku
hidup" Hehehe... jangan jual lagak, Orang tua!"
"Kau keras kepala, Anak muda...." kata
Andikabirata tetap dengan suara yang terdengar
sabar. "Hehehe... mengapa kau masih berpura-pura,
Orang tua" Mengapa" Jangan kau pikir aku tidak
tahu permaianan sandiwaramu ini, hah"! Biarkan
saja! Biarkan aku mampus di sini! Bukankah
putrimu akan gembira bila mendengar aku
mampus" Nah, mengapa kau masih berpura-
pura"!" Marayuda terkekeh dengan suara yang
mampu membuat singa jinak sekalipun menjadi
murka. Tetapi suara Andikabirata tetap lembut.
"Kau sungguh keras kepala...."
"Heh" Keras kepala" Hehehe... bukankah ini
yang kau tunggu" Bunuh saja aku! Bunuh saja! Aku
sudah bosan dengan permainan sandiwaramu itu!
Biarkan putrimu senang mendengarnya bila aku
sudah mati! Mengapa kau masih belum
melakukannya, hah" Mengapa" Atau kau
menghendaki aku bunuh diri" Ciih! Pantang aku
melakukannya di depan orang-orang hina seperti
kalian! Ayo bunuh saja aku! Bunuh saja! Hehehe....
kau memang pengecut, Orang tua! Ayo, bunuh
aku! Putrimu akan senang, bukan" Dan kau juga
senang bukan melihatnya"!"
"Dia tidak seperti yang kau duga, Anak muda...."
"Apa yang tidak seperti aku duga, heh?"
Marayuda mengejek menyakitkan. "Dia menyerangku seperti itu sudah jelas, bahwa


Pendekar Gagak Rimang Lambang Penyebar Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

putrimu itu seorang gadis yang jahat! Dia....
aughkk!!!"
Tiba-tiba saja Marayuda muntah darah. Rupanya
bisa jarum itu sudah menjalar ke seluruh tubuhnya.
Mendadak dia merasakan tubuhnya menggigil.
Bergetar. Namun dia berusaha untuk tertawa.
Dan lagi-lagi dia munta darah. "Augghkhghh!!"
"Kau tidak menuruti kata-kataku, Anak muda."
"Biarkan aku di sini!"
"Guru.... kita biarkan saja pemuda ini di sini.
Toh dia musuh kita. Dia bukan apa-apa kita, Guru."
kata Priatna yang sudah geram bukan main. Kalau
tidak ada gurunya akan disepak sampai mampus
pemuda ini. Biarkan saja dia tergeletak di sini!
Tetapi gurunya menggeleng.
"Tidak, aku tidak akan membiarkannya di sini.
Dia menjadi tanggung jawabku, Priatna."
"Tetapi dia manusia yang tak berguna, Guru.
Dia hanya membuat onar saja."
Lagi-lagi Andikabirata menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku akan membawanya ke Perguruan
Cempaka Biru."
"Tidak, aku tidak mau! Aku tidak mau kau
rawat! Biarkan aku mampus di sini! Biarkan!"
bentak Marayuda yang menahan rasa nyerinya
yang sakit luar biasa. Dia menggeliat ngilu. Tulang-
tulangnya dirasakan bagai direjam jarum tajam
yang jumlahnya ribuan. Dan napasnya pun mulai
dirasakan sesak.
Rupanya bisa yang terdapat di jarum itu sudah
menyerang tubuhnya.
Dan mendadak dia kembali muntah darah. Kali
ini darahnya lebih banyak yang keluar. Kental. Ini
membuat Andikabirata semakin kuatir dan
dilihatnya pemuda itu pingsan, tergolek dengan
lemah. "Yantara! Bawa pemuda ini dengan kuda. Cepat!
Bisa jarum beracun itu bisa mengakibatkan
kematian pada dirinya! Cepat!"
Yantara segera bergerak sigap. Dia mengambil
kuda yang ditunggangi gurunya dan membopong
tubuh Marayuda ke atas kudanya.
Setelah selesai dengan sigap Andikabirata
meloncat ke kudanya dan menggeprak kudanya
hingga lari begitu kencang setelah menyuruh
Priatna dan Yantara memimpin dan membawa
murid-murid Perguruan Cempaka Biru yang luka-
luka. Sementara para tawanannya pun digiring.
Kuda yang membawa Andikabirata telah tiba di
rumahnya. Dengan bergegas dia membawa masuk
pemuda itu dan membaringkannya di pendopo.
Lalu dengan cepat pula dia meramu obat-
obatan. Dan begitu selesai meminumkannya pada
pemuda itu. Terlihat kerja obat itu begitu cepat dan
berkhasiat. Karena dalam waktu lima menit, biru-
biru di sekujur tubuh pemuda itu mulai
menghilang. Dan dia pun bernapas dengan normal kembali.
Andikabirata menghela napas panjang.
"Akh... hampir saja aku terlambat. Pemuda ini
paling sedikit harus beristirahat selama dua hari."
Di dalam kamarnya, Juwitasari yang sedang
menangis di bantal akibat perbuatan Marayuda tadi
mengintip perbuatan ayahnya. Dia mendengar
ketika ayahnya pulang tadi.
Betapa jengkelnya dia ketika melihat ayahnya
tengah mengobati pemuda itu!
Huh! Ayahnya rupanya hendak membuat dia
malu lagi. Bukankah dengan begitu pemuda itu
harus tinggal di sini untuk memulihkan tenaganya
dan memulihkan racun yang menyerangnya itu.
Ini membuat Juwitasari tidak menyenangi hal
itu. Dia- bertekad akan membalas sakit hatinya.
Dia belum puas bila belum membalas semua
perlakukan pemuda itu padanya. Sungguh panas
dan malu hatinya dibuat bahan ejekan seperti itu.
Dan Juwitasari sungguh-sungguh
tidak mengerti, mengapa ayahnya mau merawat dan
mengobati pemuda yang sudah jelas-jelas
penyebar fitnah pada Cempaka Biru.
Pemuda yang datang untuk menyerang Desa
Kali Sunyi! Lalu mengapa harus ditolong" Ini benar-
benar membingungkan Juwitasari.
"Aneh Bapak ini... bukannya dibunuh saja
pemuda itu, malah ditolongnya," desisnya dalam
hati. Dan keesokan harinya pun Juwitasari melihat
sikap yang sama diperlihatkan ayahnya pada
pemuda itu. Bahkan terlihat jelas kalau ayahnya
begitu telaten memeriksa keadaan tubuh pemuda
itu. Ini membuatnya semakin jengkel saja.
Dan perasaannya untuk membalas dendam
semakin lama semakin besar saja. Hanya sayang,
ayahnya selalu berada di dekat pemuda itu. Ini
membuat Juwitasari hanya bisa menunggu saat
yang tepat. Dia berjanji, akan tetap membalas sakit hatinya
atas perlakuan pemuda itu.
Bila saatnya yang tepat tiba"
---ooo0dw0ooo---
5 Derap langakah kuda itu memecah kesunyian
malam. Kecepatan larinya amat sukar untuk diikuti
oleh mata. Terlihat walaupun samar satu sosok
tubuh yang menunggang kuda itu. Melihat bentuk
tubuhnya jelas dia seorang pemuda. Di punggung
penunggang kuda itu terdapat sebilah golok yang
nampak agak aneh. Sarungnya terbuat dari kulit
kayu yang berlapiskan timah berwarna kuning.
Pemuda ini pun terlihat mengenakan caping. Dia
adalah Pandu, murid dari Eyang Ringkih Ireng
majikan Gunung Kidul.
Secara tidak sengaja pemuda itu telah
memasuki batas Desa Kali Sunyi. Dan karena
terlalu penat, dia pun bermaksud hendak
beristirahat. "Kita beristirahat dulu di sini, Hitam." katanya
pada kudanya serya melompat turun. Namun
belum lagi dia melangkah, mendadak telah muncul
di hadapannya beberapa orang laki-laki yang
memegang toya. Kening Pandu berkerut. Apa-apaan ini" Apalagi
setelah dilihatnya wajah mereka yang tidak
menandakan tanda persahabatan.
Wajah mereka tegang dan kaku.
"Hmm.... kesulitan apa yang akan kuhadapi lagi
ini?" desisnya dalam hati.
"Manusia lancang, berani-beraninya
kau menyatroni Desa Kali Sunyi malam hari, hah"!"
bentak salah seorang. Dia adalah Priatna yang
tengah bertugas berjaga-jaga di perbatasan Kali
Sunyi. Dan bisa ditebak, yang lainnya adalah teman-
teman seperguruannya. Priatna sebenarnya masih
jengkel dan dendam pada Marayuda. Namun
hingga tiga hari pemuda musuh itu berada di
tengah-tengah mereka, gurunya belum juga
menjatuhkan hukuman.
Ini membuat Priatna heran.
96 LAMBANG PENYEBAR KEMATIAN
Dan kali ini Pandu yang heran. Murid Eyang
Ringkih Ireng itu menebarkan senyum. Wajahnya
sebagian tertutup oleh capingnya.
"Hmm.... maafkan aku, Ki Sanak.... aku
hanyalah pengelana yang sedang kemalaman. Dan
bermaksud hendak beristirahat di sini...." sahutnya
sopan. "Manusia busuk, jangan jual lagak di depan
kami! Jangan kira kami tidak tahu siapa kau
sebenarnya, hah"! Jangan berlagak!"
Eyang.... kesulitan apa yang akan kualami ini....
"Maafkan aku, Ki Sanak... Mungkin aku lancang
karena memasuki desa ini tanpa izin. Namun bila Ki
Sanak tidak berkenan mengizinkan aku untuk
melepas lelah di sini, tak apa... lebih baik aku pergi
saja...." Belum lagi Pandu melangkah, terdengar
bentakan yang amat keras. "Tunggu!"
"Ada apa lagi, Ki Sanak?"
"Jangan kau pikir semudah itu kau bisa
meninggalkan tempat ini. Kau sudah memasuki
kalangan, dan berarti kau siap menerimanya!"
Pandu mendesah. Dia merasa memang sedang
terlibat dalam satu kesulitan.
Namun dia tak ingin kesulitan itu lagi-lagi
membelenggunya. Maka dia pun berpikir, lebih baik
segera pergi saja. Maka tanpa mengacuhkan
bentakan dari Priatna, dia bermaksud hendak
melompat ke kudanya.
Tetapi datang sambaran angin keras ke arah
kakinya. Sigap Pandu melompat dan bersalto sekali
kemudian hingga di bumi dengan ringannya.
Priatna mendengus.
"Hhh! Pantas kau berani jual lagak! Rupanya
kau punya kebisaan juga, hah!"
"Ki Sanak... kita tidak saling kenal adanya, lalu
mengapa kau hendak membunuhku" Dari sikapmu
itu, kau nampak begitu murka!"
"Ya, selama orang-orang Cakram Maut masih
menebarkan fitnahnya, selamanya aku akan
murka!" "Orang Cakram Maut" Ooo.... Ki Sanak....
rupanya kau salah duga, aku bukanlah orang dari
perguruan yang kau sebutkan itu. Aku adalah
seorang pengelana. O ya, namaku Pandu, dari
Gunung Kidul...."
"Siapa pun kau adanya, kau tetap menjual lagak
di depanku! Nah, orang Cakram Maut, bersiaplah
untuk mampus di sini!"
"Tahan!" seru Pandu.
Tetapi Priatna telah menderu maju dengan toya
di tangannya. Sudah tentu Pandu tidak ingin
tubuhnya dijadikan sasaran toya yang nampaknya
amat keras dan telah dialiri tenaga dalam itu.
Maka dia pun segera menghindarinya dengan
satu gerakan yang hebat dan cepat, membuat
Priatna menjadi semakin marah dan murka.
"Anjing keparat!"
Dia pun segera meningkatkan kemampuannya.
Serangan-serangan toyanya amat dahsyat. Angin
yang keluar setiap kali toya itu berkelebat sungguh
amat keras dan menebarkan hawa kematian.
Pandu sendiri dengan susah payah menghindari
serangan toya itu. Namun sejauh ini dia belum
membalas, karena merasa orang yang menyerangnya tengah kalap dan berada dalam
satu kesalahpahaman.
Hal ini justru yang membuat Priatna semakin
marah. "Jangan hanya menghindar saja, Setaa-annnn!"
makinya dan semakin membabi buta. Melihat sejak
tadi Priatna masih belum juga berhasil mendesak
lawannya, teman-temannya yang berjumlah lima
orang itu segera datang membantu.
"Ini tidak dianggap main-main lagi rupanya,"
desis Pandu dalam hati.
Dia pun dengan jurus Gagak Terbang, lalu
menghindari serangan-serangan yang datang
dengan cepat dan beruntun itu. Namun mereka
adalah murid-murid Perguruan Cempaka Biru yang
telah mendapat kepercayaan dari Andikabirata
untuk mengawasi Desa Kali Sunyi.
Sudah tentu ilmu yang mereka miliki tidak
tanggung-tanggung lagi. Tentu tangguh.
Pandu sendiri akhirnya berinisiatif untuk
menyerang. Karena bila begini terus-menerus,
maka dia akan kewalahan. Tenaganya perlahan-
lahan akan terkuras habis.
Maka tiba-tiba dia bersalto dua kali ke belakang,
menjaga jarak serang dari orang-orang yang kalap
itu. "Maafkan aku, Ki Sanak sekalian... kalian yang
telah memaksaku untuk membalas...."
"Setttaaaaan!" maki Priatna. "Tangkap dan
bunuh orang itu!" serunya pula.
Lalu mereka pun kembali menerjang, dan kali ini


Pendekar Gagak Rimang Lambang Penyebar Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pandu sendiri dengan tiba-tiba menyongsong
terjangan orang-orang itu.
Kebali mereka bertempur dengan hebat. Namun
kali ini Pandu pun mulai membalas.
Jurus Patuk Rimang warisan gurunya Eyang
Ringkih Ireng dipergunakannya dengan hebat.
Membuat para penyerangnya menjadi kaget.
Namun mereka pun diam-diam amat kagum,
dan dalam hati mereka pula terbersit satu
kenyataan, bahwa orang ini bukanlah orang
Cakram Maut yang amat mereka benci.
Puluhan jurus telah berlalu. Pandu sendiri
akhirnya bermaksud menyudahi perlawanan
mereka. Maka dengan satu gerakan yang amat
cepat dan hebat, dia pun bersalto dan melompat
menotok. Lima orang tertotok.
Priatna berhasil meloloskan diri namun dengan
cepat Pandu terus mendesaknya dan berhasil
mendaratkan satu tendangan ke dadanya, yang
membuat Priatna terguling ke; belakang dan
muntah darah. Pandu sendiri telah berdiri sigap.
"Maafkan aku, Ki Sanak.... Engkaulah yang telah
memaksaku untuk berbuat seperti itu...." katanya
lembut dan sedikit menyesal, karena dia yakin
orang itu dalam satu kesalah pahaman.
Priatna yang telah bangkit menatap murka dan
tangan kirinya mengusap darah yang mengalir dari
mulutnya. "Katakan siapa kau sebenarnya"!"
"Tadi sudah kukatakan, Ki Sanak. Namaku
Pandu, pengelana dari Gunung Kidul...."
"Hhh! Bila kau memang benar bukan orang
Cakram Maut, beranikah kau kuhadapkan kepada
guruku"!"
Pandu terdiam sejenak. Dia kini malah jadi
penasaran untuk mengetahui apa yang sebenarnya
tengah terjadi.
---oo0dw0ooo---
"Bila itu maumu, tentu dengan senang hati aku
akan menurut padamu."
"Bagus!"
"Tetapi... bisakah kau menjelaskan mengapa
terjadi hal seperti ini"!"
"Persetan dengan permintaanmu itu! Sebaiknya
kau ikut kami menghadap guru!"
"Baiklah...!"
"Lepaskan totokanmu pada teman-temanku!"
Pandu hanya menurut dan rasa penasarannya
semakin besar. Dia pun ikut saja kala kudanya
dipegang tali kekangnya oleh Priatna. Sementara
dia berjalan kaki bersama lima orang murid
Perguruan Cempaka Biru yang berjalan di
belakangnya. Hati Pandu semakin bertanya-tanya, ada apa
sebenarnya ini" Mengapa orang-orang yang
nampak dari satu perguruan itu begitu membenci
Perguruan Cakram Maut"
Dugaan Pandu, mereka berada dalam satu
sengketa. Yang nampaknya sudah amat mendarah
daging;vdan menimbulkan kemarahan yang luar
biasa. Dilihat dari sikap orang-orang itu kala
menyambutnya tadi. Sepertinya mereka amat
berhati-hati sekali. Ataukah orang Cakram Maut itu
dalam menebarkan terornya selalu menyamar"
Pandu jadi semakin ingin mengetahui duduk
persoalannya lebih lanjut.
Maka dia pun segera mengikutinya saja tanpa
banyak bertanya lagi.
Ada apa sebenarnya ini"
Andikabirata sudan tentu heran begitu melihat
rombongan yang mendekati pendopo-nya. Sejak
kejadian yang ditebarkan oleh orang-orang Cakram
Maut terhadap Cempaka Biru, dia jadi tidak bisa
tidur dengan tenang.
Dan setiap malam datang, dia selalu gelisah tak
menentu. Akhirnya setelah kejadian itu yang terus-
menerus datang, dia jadi tidak bisa tidur.
Dia pun sigap segera bangkit dari duduk
bersilanya dan menghampiri rombongan yang
datang. Priatna menjura hormat, "Maafkan kami, Guru...
yang mengganggu kesendirianmu...."
"Ada apa, Priatna?" tanya Andikabirata sambil
memperhatikan satu sosok yang asing di matanya.
Hatinya bertanya-tanya, siapakah pemuda itu"
Priatna segera menceritakan kejadian yang baru
saja terjadi. Andikabirata manggut-manggut.
Dia menatap Pandu.
"Siapakah gerangan kau adanya, Anak muda...."
tanyanya dengan tutur suara yang lembut.
Pandu pun menjura dan bersikap dengan sopan.
"Maafkan saya, Paman... Saya pun tidak
menyangka akan terjadi hal seperti ini...."
"Ceritakanlah...."
Pandu pun bercerita yang sesungguhnya.
"Nama saya Pandu, Paman... pengelana dari
Gunung Kidul...."
Tiba-tiba terlihat kening Andikabirata berkerut.
Nampaknya dia seperti tengah memikirkan sesuatu
yang mengganggu pikirannya.
Mendadak dia bertanya, "Apakah.... bila aku
tidak salah... Kau Pandu yang bergelar.... Pendekar
Gagak Rimang?"
"Ah, Paman... itu hanyalah sebuah gelar yang
tak banyak arti...."
"Jadi benar kau Pandu... Pendekar Gagak
Rimang itu?" Kali ini suara Andikabirata
mengandung kekaguman.
"Orang-orang yang menggelari aku seperti itu,
Paman...."
"Oh, Gusti Betara Agung... sudah lama aku
mendengar namamu Pandu... namun tak pernah
kusangka kalau aku pun mempunyai kesempatan
untuk bertemu denganmu...."
Pandu tersenyum.
"Paman... janganlah terlalu membesarkan
namaku... Aku bukanlah orang seperti yang kau
duga... Aku tak pernah menganggap sesuatu itu
terjadi dengan pasti... Dalam hal ini adalah julukan
yang diberikan oleh orang-orang... Itu hanyalah
julukan belaka...."
Diam-diam dalam hatinya Andikabirata tersenyum. "Anak muda... nama besarmu sudah melekat di
hatiku... Dan sikapmu itu semakin membuatku
bertambah pasti dan yakin, bahwa kau memang
orang pilihan yang begitu hebat dan pantas
menyandang gelar seperti itu....
Pandu kembali menjura.
"Bila memang demikian anggapanmu, Paman...
aku mengucapkan banyak terima kasih...."
Mereka pun masuk ke pendopo. Priatna dan
kawan-kawannya segera mengucapkan maaf pada
Pandu. Pandu bertanya tentang kesalah paham-an yang
terjadi. Dari penjelasan yang disampaikan
Andikabirata, dia pun akhirnya tahu apa yang telah
terjadi. "Lalu bagaimana, Paman?"
"Orang-orang Cakram Maut tetap pada terornya.
Dan mereka pun tetap berkeyakinan, bahwa orang-
orang Cempaka Birulah yang telah mencuri pusaka
Cakram Emas...."
"Dan hingga saat ini belum terlihat atau
terdengar kabar, bahwa ada orang ketiga yang
berbuat seperti ini?"
Belum lagi Andikabirata menjawab, tiba-tiba
didengarnya suara derap langkah tergesa-gesa. Ki
Lurah Pati Negoro datang bersama beberapa orang
anak buahnya. "Maafkan kelancanganku, Andikabirata...." kata
Ki Lurah begitu berdiri di depan Andikabirata.
"Oh, silahkan masuk, Ki Lurah... Nampaknya ada
kejadian yang telah menyusahkan Ki Lurah?"
"Benar, Andikabirata. Tiba-tiba saja datang
segerombolan orang-orang bersenjatakan cakram
menyerbu ke balai desa...."
Andikabirata terkejut.
"Benarkah itu, Ki Lurah?"
"Memang benar adanya. Dan saya tidak
mengerti mengapa tiba-tiba saja desa kita diserang
oleh orang-orang bersenjata cakram itu...."
Memang jelas Ki Lurah Pati Negoro tidak
mengerti akan hal itu, karena selama ini
Andikabirata belum memberitahukan masalah yang
tengah dihadapinya.
"Maafkan aku sebelumnya, Ki Lurah.... memang
aku selama ini mendiamkan saja masalah yang
tengah kuhadapi. Karena aku tak ingin masyarakat
desa gempar karena masalah yang tengah terjadi
ini...." "Masalah apa gerangan?"
Andikabirata pun segera menceritakan kejadian
yang sesungguhnya. Setelah itu dia memerintahkan
Priatna untuk mengumpulkan hampir semua murid
Perguruan Cempaka Biru.
Setelah itu mereka pun segera bergerak ke
sumber yang mengerikan. Pandu sendiri segera
menaiki kudanya.
Hiruk pikuk terjadi dengan cepat dan gencar.
Suasana menjadi kacau balau. Api pun membakar
atap-atap rumah sehingga penghuninya berlarian
ke luar. Suasana tegang dan kacau balau.
Jerit tangis yang mengerikan menyayat
terdengar dari segala penjuru. Orang-orang
Cakram Maut memang hebat. Dia memasuki Desa
Kali Sunyi lewat desa seberang, dan menyeberangi
kali besar yang dijadikan harapan oleh Perguruan
Cempaka Biru untuk menghambat mereka.
Namun mereka salah perhitungan, karena
orang-orang Cakram Biru sudah memasuki Desa
Kali Sunyi. Mereka sengaja meng-obrak abirk desa
agar orang-orang Cempaka Biru keluar dari sarang.
Di tengah-tengah kacau balau yang amat sangat
itu, terlihat seorang laki-laki berwajah seram.
Dengan kumis dan cambang yang lebat tengah
terbahak-bahak.
Dia adalah Ki Renggono Paksi ketua dari
Perguruan Cakram Maut.
"Hancurkan semuanya!" serunya. "Hancurkan
hingga rata dengan bumi!"
Semakin kacaulah keadaannya.
Senjata cakram berkelebat berulangkah menyambar nyawa rakyat yang tak berdosa. Yang
mempunya keberanian sedikit pun nekad untuk
melawan. Namun semuanya itu sia-sia belaka
karena mereka pun harus meragang nyawa dengan
bersimbah darah yang mengalir deras.
Orang-orang Cempaka Biru tiba di sana.
Andikabirata segera memerintahkan para muridnya
untuk maju menyerang. Kini pertarungan.antara
dua perguruan itu pun tak dapat dihindari lagi.
Keadaan semakin membahana dalam satu
kengerian yang menyengat.
Ki Renggono Paksi langsung merah padam
wajahnya dengan kegeraman yang membludak
begitu melihat Andikabirata. Dia pun dengan sigap
melompat maju ke arah Andikabirata.
Andikabirata hanya tersenyum saja, semakin
membuat Ki Renggono Paksi marah.
"Manusia busuk!" makinya. "Akhirnya kau
menampakkan diri juga!"
"Hm.... apa kabar, Renggono" Lama kita tidak
berjumpa. Nampaknya di saat perjumpaan ini kita
dalam suasana yang tidak enak dan memanas...."
"Bangsat! Kau masih bisa menjual mulut manis
juga rupanya, Andikabirata! Apakah kau tidak tahu
kalau ajalmu sudah tiba hingga di sini"!"
"Hmm... agaknya bila kita memakai darah
panas, sudah tentu semua ini tidak akan berjalan
dengan lancar. Bagaimana bila kita membicarakan
masalah ini dengan kepala dingin, Renggono"!"
Wajah Ki Renggono Paksi semakin memerah
dengan kegeraman yang luar biasa. Dia melirik
pemuda yang sejak tadi diam berdiri di sisi
Andikabirata. Namun kemudian dia meludah tak
acuh: "Andikabirata sebaiknya kau kembalikanlah
pusaka Cakram Emas milikku. Bila semuanya beres,
aku akan tenang dan tak akan mengganggu hidup


Pendekar Gagak Rimang Lambang Penyebar Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalian lagi!"
"Renggono...
bagaimana caraku untuk mengembalikan pusaka itu bila aku sendiri tidak
mengetahuinya...."
"Kau memang bisa menjual lagak, Andikabirata!"
"Renggono... dasar tuduhanmu karena kau
menemukan toya lambang Perguruan Cempaka
Biru.... tidak terpikirkah olehmu, bila ada orang
ketiga yang tengah mengadu domba kita" Aku
yakin, sebenarnya kau sudah singgah pada pikiran
itu. Namun kau tidak mau menggunakan akal
sehatmu untuk mengetahui lebih lanjut!"
"Jangan berlagak, Andikabirata! Kembalikan
pusaka milikku, atau bila tidak... kumusnahkan
kalian hingga ke akar-akarnya...."
Andikabirata mendengus. Namun belum lagi dia
bicara, tiba-tiba dilihatnya Ki Renggono Paksi
bersalto dua kali ke belakang. Sekilas Andikabirata
melihat beberapa batang jarum berbisa mengarah
pada Ki Renggono Paksi. Dan tiba-tiba saja di
sisinya telah berdiri Juwitasari yang melihat dengan
geram ke arah Ki Renggono Paksi yang telah
berhasil menyelamatkan diri dari serangan
gelapnya. Dia marah dan jengkel karena serangannya
gagal. "Wita...." desis Andikabirata karena merasa tidak
senang dengan perbuatan putrinya. Dengan begitu,
putrinya memancing kemarahan yang membludak
dari Ki Renggono Paksi.
"Maafkan aku, Bapak...." desis Juwitasari yang
yakin ayahnya marah atas perbuatannya.
Namun dimaafkan atau tidak, Ki Renggono Paksi
sudah sampai pada puncak kemarahannya.
"Manusia keparat! Kubunuh kalian semua!"
serunya sambil menderu maju ke arah Juwitasari.
Andikabirata tanggap, kalau putrinya ini tak
akan pernah menang melawan Ki Renggono Paksi.
Maka dia pun segera bergerak memapaki
serangan Ki Renggono Paksi.
"Des!"
"Des!"
Tenaga keduanya berbenturan dengan keras.
Namun masing-masing langsung sa4 ling
menyerang. Pertarungan antara dua jago itu
sungguh hebat dan cepat.
Saling menghindar.
Saling menyerang.
Yang dilakukan dengan gerakan yang amat
fantastis. Pandu hanya memperhatikan saja. Hingga saat
ini dia belum tahu harus berpihak pada siapa.
Begitu pula dengan Juwitasari. Meskipun dia
geram, namun dia diam saja. Karena memang jelas
dia tak akan menang bila melawan Ki Renggono
Paksi. Hingga kemudian baru disadarinya, kalau di
sisinya sejak tadi berdiri seorang pemuda
bercaping. Siapa dia" Mau apa dia" Karena merasa
pemuda ini asing baginya, sikap Juwitasari pun
menjadi kasar. Dia menatap Pandu dengan geram. Yang ditatap
hanya memperhatikan pertarungan antara Andikabirata dengan Ki Renggono Paksi tanpa
melirik Juwitasari sedikit pun.
Hal ini membuat Juwitasari menjadi jengkel.
"Hei, siapa kau gerangan adanya"!" bentaknya.
Pandu hanya diam saja. Dia tetap mengikuti
gerak dan laga kedua jago itu.
"Hei! Kau tuli, ya"!" bentak Juwitasari pula.
Namun Pandu tetap berdiam.
Masih berkonsentrasi memperhatikan pertarungan Andikabirata dengan Ki Renggono
Paksi. Hal ini semakin membuat Juwitasari bertambah
geram. Tiba-tiba saja dia menggerakkan tangannya ke
dada Pandu. Namun yang membuatnya terkejut,
karena serangannya mengenai tempat kosong.
---oo0dw0ooo---
Padahal sungguh mati, dia tidak melihat pemuda
itu bergerak atau pun bergeser sedikit pun. Kini
malah pemuda itu tetap dengan perhatiannya pada
pertarungan Andikabirata dengan Ki Renggono
Paksi. "Settaaannnn!"
geram Juwitasari setelah menyadari kalau pemuda ini tengah mempermainkannya. Lalu diambilnya senjatanya
yang tersampir di punggung dan ditariknya
memanjang. Kembali diserangnya Pandu dengan cepat.
Namun belum lagi satu gebrakan, toya itu sudah
berhasil ditangkap. Dan sulit dilepaskan oleh
Juwitasari. "Aku tidak memihak siapa pun, Nona....
Janganlah memusuhiku.... aku adalah tamu
ayahmu...."
Lalu dilepaskannya genggamannya dari toya
milik Juwitasari, yang langsung menariknya dengan
bibir cemberut.
Pertarungan antara Andikabirata dengan Ki
Renggono Paksi sudah pada puncaknya.
Keduanya kini sudah menggunakan senjata
masing-masing. Berulangkah Ki Renggono melemparkan cakramnya ke arah Andikabirata
yang juga telah berulangkah pula menghalau
cakram itu dengan toyanya.
"Trang!"
"Trang!"
"Trang!"
Kini masing-masing memperlihatkan kehebatan
mereka dengan serangan-serangan
yang berbahaya. "Renggono.... tidak bisakah kita menghadapi
semua ini dengan kepala dingin" Dengan satu
penjelasan yang mungkin bisa kitajadikan jalan
keluar"!" seru Andikabirata sambil menghindari laju
cakram dan mengayunkan toyanya ke leher Ki
Renggono Paksi.
Ki Renggono Paksi merunduk dengan sigap.
"Bila kau sudah mengembalikan pusaka Cakram
Emas, bolehlah kita berbincang dengan kepala
dingin!" "Sejak semula sudah kukatakan, kalau aku
maupun murid-murid Perguruan Cempaka Biru
tidak pernah berbuat licik dan keji seperti itu!"
"Kau memang bisa menjual lagak, Andikabirata.
Bila belum kau kembalikan pusaka itu, maka aku
pun tak akan menghentikan pertikaian di antara
kita!" Kembali pertarungan keduanya semakin sengit
dan menjadi-jadi. Masing-masing sudah memperlihatkan dan mengeluarkan segenap
kemampuan mereka.
Pandu masih tenang memperhatikan.
Dia tidak bisa menentukan siapa yang keluar
sebagai pemenang dalam pertarungan itu.
Namun tiba-tiba matanya menangkap satu
gerakan aneh yang dilakukan oleh Ki Lurah Pati
Negoro. Gerakan yang menurutnya janggal.
Sejak tadi dia memang memperhatikan Ki Lurah
Pati Negoro membantu melawan orang-orang
Cakram Maut. Namun gerakan itu sungguh diluar
dugaannya. Karena tiba-tiba saja Ki Lurah Pati
Negoro berputar dan perlahan-lahan tubuhnya
melenyap. "Oh, Tuhan!" desisnya. "Ada apa ini?"
Pandu pun segera membuka mata batinnya
setelah mengeluarkan dan mengalirkan hawa
murninya. Terlihat bayangan Ki Lurah
Pati Negoro menyelinap ke luar dari
pertempuran itu.
"Hmm.... sebaiknya kuikuti saja apa maunya, Ki
Lurah itu?" desisnya.
---ooo0dw0ooo---
6 Melalui mata batinnya pula Pandu mengikuti
langkah Ki Lurah yang demikian cepat menuju ke
rumahnya. Pandu pun melompat berjingkat dengan
ilmu peringan tubuhnya untuk hinggap di atap
rumah Ki Lurah.
Dibukanya sedikit atap di sana, dan dia melihat
Ki Lurah tengah tergesa-gesa memasuki kamarnya.
"Mau apa Ki Lurah ini" Sikapnya begitu misterius
sekali?" tanyanya dalam hati.
Dan dia melihat Ki Lurah Pati Negoro tengah
membuka sebuah laci. Dia pun melihat Ki Lurah
mengambil sesuatu yang terbungkus kain hitam.
Pandu melihat sebuah benda bergerigi yang
terbuat dari emas. Keningnya berkerut. Itukah
Cakram Emas milik Perguruan Cakram Maut.
Lalu mengapa ada pada Ki Lurah" Namun Pandu
tak perlu lagi mencari jawabnya karena dia
mendengar Ki Lurah Renggono Paksi mengoceh,
"Hahahah.... biarlah kalian berdua saling gontok-
gontokkan. Ini akibatnya bila kau menolak
lamaranku terhadap putrimu, Andikabirata.... Kau
merasakan akibat yang amat mengerikan.
Hahaha.... dengan senjata toya yang kucuri dari
perguruanmu, kubuat satu fitnah yang bagus pula.
Kucuri Cakram Emas ini dari Perguruan Cakram
Maut dan kutebarkan fitnah padamu.... Andikabirata... agaknya kau kurang paham siapa
aku sebenarnya. Sialan kau ini, berani-beraninya
menolak lamaranku terhadap putrimu!"
Pandu yang mendengar kata-kata itu menjadi
geram. Anjing buduk! Rupanya biang keladi semua
ini adalah orang yang amat dipercaya dan
dihormati seisi desa.
Pandu pun tak mau bertindak membuang waktu
lagi. Maka dia pun segera menjebol atap rumah itu,
yang membuat Ki Lurah terkejut.
Namun kemudian dia terbahak.
"Hahahah.... mengapa kau baru masuk
sekarang, Anak muda" Sejak tadi kau sudah
mengetahui kalau congormu itu mengikuti jejakku.
Kau sungguh berani, Anak muda. Aku kagum
padamu. Namun karena kau sudah mengetahui
semua ini, maka nyawamu sebagai taruhannya!"
Maka Ki Lurah pun segera menyerang Pandu
yang dengan sigap menghindar.
"Kau lurah keparat rupanya! Lurah yang
menghisap darah daging wargamu sendiri! Kau
menyebar fitnah yang terlalu kejam dan keji!"
"Hahaha... itu akibatnya bila berani menentang
dan menolak permintaanku!"
"Mampus rupanya jalan yang terbaik untukmu,
Ki Lurah!" dengus Pandu seraya menerjang.
"Hahaha.... kau terlalu meremehkan aku
rupanya. Kau belum tahu siapa aku, Anak muda...."
"Biar aku cari tahu siapa ku sesungguhnya!
Namun sebagian aku sudah tahu, bahwa engkau
adalah orang yang pengecut dan memiliki akal
busuk yang keji!"
"Bangsat!"
Dengan geram Ki Lurah Pati Negoro bergerak
menyerang kembali. Serangannya amat berbahaya.
Rupanya dia memiliki ilmu kanuragan yang amat
hebat. Pandu pun bergerak mengimbanginya dengan
satu gerakan yang cepat dan tangkas pula. Dia
sudah memainkan jurus Patuk Gagak Rimang


Pendekar Gagak Rimang Lambang Penyebar Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam tingkat tinggi.
"Anjing! Kau bisa pula mengimbangi ilmuku,
hah"!"
"Kau terlalu sesumbar rupanya!"
"Hhh! Terimalah ilmu yang satu ini, Anak
muda!" dengus Ki Lurah.
Tiba-tiba dia bersalto ke belakang. Dan saat
hinggap di bumi, dia memutar kedua tangannya ke
atas. Menyatukannya dan memutar tiga kali ke
arah kanan. Lalu tangan itu dibukanya dan dikibas-kannya ke
arah Pandu. Asap hitam mengepul dan bergerak ke
Pandu. Pandu tanggap dan yakin, kalau asap itu
mengandung racun. Maka dia pun bersalto
menghindar, namun asap itu dengan pekat terus
mengejar ke arahnya.
"Settaaan! Ilmu beracun yang kau punya, Ki
Lurah! Keji! Kau teramat keji!"
"Hahahaha... kau jerih rupanya denganku, Anak
muda.... Hhh! Lebih baik kau bunuh diri saja di
depanku daripada harus mampus dengan
mengerikan!"
"Tak akan pernah aku mundur setapak pun, Ki
Lurah! Orang seperti kau harus ditangkap dan
diadili!" seru Pandu sambil terus menghindari
kejaran asap hitam itu.
Namun asap itu seakan memiliki mata yang
amat tajam. Ke mana pun Pandu lari, ke sana pula
dia mengejar. Tiba-tiba Pandu bersalto ke belakang. Dan
sambil bersalto itu dia mengibaskan tangan
kanannya. Selarik sinar putih melesat dengan
cepat, menerpa ke arah asap hitam itu.
---ooo0dw0ooo---
Asap itu memang tidak bisa pecah, malah
semakin menggumpal. Namun Ki Lurah Pati Negoro
yang harus menghindari sinar putih itu bila tidak
ingin dirinya dihantam hancur oleh pukulan sinar
putih itu. Dan secara mendadak asap hitam itu
menghilang. Kini Pandu paham, rupanya asap
hitam itu digerakkan oleh tenaga dalam Ki Lurah
Pati Negoro. Maka dia pun semakin mencecar dengan hebat.
Namun Ki Lurah pun dengan sigap dan tangkas
menghindari serangan-serangan sinar putih milik
Pandu yang berbahaya.
Dia berpikir, ilmu menghilangkannya akan sia-sia
bila diperlihatkan pada pemuda itu. Maka tiba-tiba
dia duduk bersila bersemedi.
Mendadak saja terlihat asap putih keluar dari
jasadnya. Rupanya dia memiliki Ilmu Pendua Roh
yang kejam. Pandu sendiri sedikit terkejut. Karena
ini terlihat asap putih itu berubah menjadi makhluk
raksasa yang mengerikan.
"Ilmu sihir!" dengus Pandu seraya menghindari
serangan-serangan yang dilakukan makhluk
jejadian itu. Rumah milik Ki Lurah menjadi hancur
berantakan. Porak poranda.
Pandu terus menghindar dengan cekatan.
Namun saat menghindar itu, Ki Lurah yang
nampaknya tengah bersemedi, melemparkan
Cakram Emas yang dicurinya dari Perguruan
Cakram Maut. Sigap Pandu menghindar dan kini dia pun harus
menghadapi dua serangan yang sama-sama
berbahaya. Tiba-tiba saja Pandu mencabut golok
yang tersampir di punggungnya. Itu adalah Golok
Cindarbuana yang diwarisi oleh gurunya dan
menyebar petaka.
Sambil menghindari serangan makhluk jejadian
itu, dia pun menangkis serangan Cakram Emas
yang menderu deras.
"Trang"
Sungguh sakti Golok Cindarbuana yang
dimilikinya, karena cakram itu langsung lumpuh tak
bergerak. Lalu Pandu pun meneruskan serangannya pada Ki Lurah Pati Negoro. Lagi-lagi
asap yang menjelama menjadi makhluk jejadian itu
dikendalikan oleh tenaga dalam Ki Lurah.
Dan langsung hancur seketika. Pandu segera
cepat bergerak. Dia menotok Ki Lurah Pati Negoro
hingga kaku. "Hmmm.... agaknya aku tak patut untuk
mengadilimu, Lurah jahanam! Sebaiknya biarlah
warga desa dan dua perguruan itu yang
mengadili!"
Pandu cepat-cepat membopong Ki Lurah Pati
Negoro yang dalam keadaan tertotok. Dia pun
mengambil pula Cakram Emas milik Perguruan
Cakram Maut. Sesampainya di tempat yang telah menjadi
arena pertempuran, Pandu bergerak sigap
memisahkan pertarungan yang terjadi antara
Andikabirata dan Ki Renggono Paksi.
Keduanya terlontar ke belakang dan terkejut
karena merasa ada tenaga yang amat dahsyat
melontarkan mereka.
Namun sebelum keduanya berkata, Pandu
segera melemparkan Cakram Emas pada Ki
Renggono Paksi yang terkejut dan gembira.
"Hentikan pertempuran yang tak ada gunanya
ini! Bila kalian ingin mengetahuinya lebih jelas,
kalian bisa tanyakan pada Ki Lurah Pati Negoro!
Karena dialah biang keladinya!" Sesudah berkata
begitu, Pandu segera melompat ke kudanya dan
melarikannya kencang-kencang.
Tanpa sempat orang-orang itu bertanya.
Malam pun hampir menjelang pagi.
Pembuat Ebook :
Djvu : Abu Keisel
Convert & Pdf : Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
Pedang Sakti Tongkat Mustika 7 Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien Kesatria Berandalan 2
^