Pencarian

Sepasang Iblis Bermata Dewa 1

Pendekar Hina Kelana 11 Sepasang Iblis Bermata Dewa Bagian 1


SEPASANG IBLIS BERMATA DEWA
Oleh D. Affandi
Cetakan Pertama
Penerbit Mutiara, Jakarta
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
D. Affandi Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam Episode 011 :
Sepasang Iblis Bermata Dewa
1 Bila pemuda itu duduk di tepian pantai itu, dan
manakala sepasang matanya yang selalu mencorong seta-
jam mata elang, memandang ke samudra nan luas. Ra-
sanya dia ingin menyatu di dalamnya, bergulung bersama
deburan ombak, berayun di atas alun dalam semilir hem-
busan angin yang hangat. Ah. Betapa saat itu rasa-
rasanya sang waktu berlalu begitu cepat, padahal saat itu begitu indah.
Kini dia berada di salah sebuah tanjung juga, Tan-
jung. Kait namanya. Dan semua itu mengingatkan dia
akan sebuah masa lalu. Saat di mana dia dalam asuhan si Kakek Super Sakti
Gurunya yang tua, bahkan orang yang
paling sangat mencintai dirinya. Siapa lagi kalau bukan Si Bangkotan Koreng
Seribu, Tanjung Api di sana dia terbuang dan dibesarkan, di tempat itu pula
gurunya pernah dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Mendidik
dirinya dengan berbagai jurus-jurus silat dan ilmu sakti yang tiada landing.
Tanjung Api, yang terletak di pantai sebelah Barat Nusantara, dengan batu-batu
karangnya yang tajam, di sela-sela deburan ombaknya yang selalu
menggila. Di sanalah dia pernah menyatu dengan suasana
laut yang maha ganas namun memberinya kehidupan.
Kakek Bangkotan Koreng Seribu, ah. Sudah lebih
dari sepuluh tahun pemuda berkuncir dan berwajah san-
gat tampan itu tak pernah menyambanginya. Bagaimana-
kah keadaannya, masih hidupkah dia. Pertanyaan-
pertanyaan itulah yang selama ini membuat galau di ha-
tinya. Di hatinya sering menyesak rindu, bahkan sering
timbul pula rasa tak tega untuk meninggalkannya. Tetapi semua itu sudah menjadi
kehendak dan merupakan perintah gurunya sendiri, pemuda yang selalu menyandang
se- buah periuk besar ke mana pun dia pergi. Mana pernah
berani kembali ke Tanjung Api. Pula usahanya untuk
mencari tempat di mana ayahnya berada belum pernah ke-
temu sampai saat itu. Raja Ular Piton Utara, itulah aya-handanya, sungguh pun
hanya seekor ular dan berasal
dari alam kedua. Tetapi itulah ayahnya. Orang yang mem-
buat dirinya terlahir ke dunia ini. Ayahanda nya yang berasal dari sebuah negeri
yang tak dapat dilihat oleh kasat mata, kini mengasingkan diri di sebuah lautan
yang maha luas lagi dalam. Samudra begitu luas, ke mana dia harus mencari"
Dia merasakan betapa hidup ini sunyi, dalam se-
panjang petualangan yang dia lalui. Hanya kekerasan dan kekejaman yang dia
temui. Satu pihak ingin menguasai
pihak lain. Golongan besar berkuasa di atas sekelompok
kecil. Benar dan salah hanyalah merupakan sebuah bata-
san setebal kulit ari. Nilai kemanusiaan merupakan se-
buah keberadaban yang tersamar. Ah mengapa dia memi-
kirkan sampai sejauh itu" Tolol betul. Bukankah dia sendiri baru saja
kehilangan, dan selamanya pernah kehilangan orang-orang yang dia cintai seperti
Sri Pamuja. Gadis yang untuk pertama kalinya pernah dia cinta. Dia juga telah
meninggalkannya. Tewas di tangan si Jubah Hitam.
(Untuk lebih jelasnya siapa Sri Pamuja yang sangat cantik itu, anda
dipersilahkan mengikuti judul Neraka Gunung
Dieng). Dalam pada itu, tiba-tiba si pemuda tampan yang
tak lain Buang Sengketa atau si Pendekar Hina Kelana
adanya, nampak tepuk-tepuk keningnya.
Untuk yang kesekian kalinya, dipandanginya ham-
paran laut yang begitu luas. Tetapi sesaat kemudian perhatiannya menjadi
terpecah manakala pendengarannya
yang tajam itu mendengar langkah-langkah tapak kaki
mendekat ke arahnya. Sekejap pemuda itu menoleh, maka
tampaklah olehnya seorang laki-laki berbadan tinggi ke-
kar, berpakaian rompi warna merah. Tegak bagaikan area
berjarak beberapa meter saja di belakangnya. Laki-laki berompi merah itu
memandang pada Buang Sengketa tiada
berkedip sedikitpun juga. Dari sepasang matanya yang
memerah saga. Terasa ada yang sesuatu, yang membuat
dada pendekar itu berdebar. keras. Pembuluh darah me-
remang, kenyataan ini benar-benar mengejutkan hati Pen-
dekar Hina Kelana. Tiada kata yang terucap dari bibirnya yang tertutup. kumis
kecoklatan. Hanya jenggotnya saja
yang nampak bergerak-gerak manakala mulutnya berko-
mat kamit. Ada beberapa keadaan yang mengundang tan-
da tanya di hati si pemuda. Karena pada kenyataannya la-ki-laki berompi merah
ini tidak memiliki kedua tangan,
sementara itu rambutnya yang sudah memutih nampak
dibiarkan tumbuh memanjang. Tentang siapa adanya to-
koh ini, kalangan persilatan mengenalnya sebagai salah, seorang dari Sepasang
Iblis Bermata Malaikat. Selama puluhan tahun pekerjaan laki-laki berompi merah
ini hanya mengembara mengikuti kehendak kaki ke mana pun ingin
melangkah. Konon setelah dia berpisah dengan istrinya
yang juga merupakan lawan yang membuat dirinya seng-
sara. Dia sudah cuci tangan dari segala macam urusan
dunia persilatan. Apalagi kini dia sudah kehilangan kedua tangannya, yang semua
itu dilakukan oleh bekas istrinya.
Dia merasa sangat kehilangan muka di depan tokoh persi-
latan dari semua golongan, pada saat itu. Pihak istri atau yang dikenal sebagai
Pri Kumala Dewi itu, kini benar-benar sebagai tokoh sesat kelas satu. Sungguh
pun begitu, tiada sedikit pun berkurang semangatnya untuk menyadarkan bekas
istrinya tersebut. Tiada rasa jera, sungguh pun kedua tangannya pernah
dibuntungi oleh Pri Kumala
Dewi. Pada saat itu, laki-laki berompi merah atau yang
lebih dikenal sebagai Mambang Sadewa. Lama setelah
memandang pada si pemuda beberapa saat kemudian se-
gera berkata: "Pemuda aneh! Pembawa periuk dan berpakaian
sepertiku...! Ah, agaknya engkau keturunan orang sinting...!" Kemudian setelah
tak ada tanggapan dari si pemuda, maka laki-laki yang terkutung kedua tangannya
ini pun kembali bergumam, seperti pada dirinya sendiri.
"Di mana-mana, mataku yang sudah lamur ini mir-
ing melihat orang-orang yang aneh. Perempuan-
perempuan berdandan laki-laki, bayi merah terbuang tan-
pa tahu siapa bapaknya. Orang tua itu terlunta-lunta merana. Apa arti nya hidup
kalau cuma menumpuk dosa"
Apakah aku masih pantas untuk hidup?"
"Sambil berkata begitu, si laki-laki bertangan buntung itu menoleh pada Buang
.Sengketa. Sudah barang
tentu pemuda itu nampak sangat terkejut, apalagi kata-
kata yang sesungguhnya membutuhkan perenungan itu
seolah-olah ditujukan buat dirinya.
"Apakah aku masih pantas untuk hidup, hai orang
tuli...?" ulangnya setelah Buang Sengketa hanya terdiam saja.
"Maaf, orang tua, aku tak tahu bagaimana harus
menjawabnya!" kata si pemuda berusaha jujur.
"Mengapa engkau sampai tak tahu!" bentak si laki-laki berompi, tiba-tiba menjadi
marah. "Aku tak tahu karena aku sendiri pun tak bisa me-
nilai apakah diriku ini pantas hidup atau tidak" Tetapi menurut aku yang bodoh
ini sesuatu yang dihidupkan
pasti memiliki arti, jangankan manusia, semut pun kebe-
radaannya di atas dunia pasti mempunyai arti. Setidak-
tidaknya untuk dirinya sendiri!" kata Pendekar. Hina Kelana seadanya.
Nampaknya si laki-laki bertangan buntung atau
Mambang Sadewa itu tiada terpengaruh dengan ucapan-
nya. Masih dengan penasaran dia bertanya lagi.
"Mengapa segala semut kau bawa-bawa. Aku tanya
padamu, apakah aku yang sudah kehilangan segala-
galanya ini masih pantas hidup atau tidak...?" bentaknya sangat jengkel sekali.
Memerah wajah Buang Sengketa begitu mendengar pertanyaan yang sesungguhnya
sangat konyol itu. Tetapi sungguh pun hatinya sangat dongkol sekali, namun dia masih
berusaha untuk bersabar.
"Orang tua, sekali lagi maafkan aku! Aku bukan
seorang dewa, dan bukan pula seorang ahli agama. Untuk
semua pertanyaanmu itu, ada baiknya kalau engkau me-
nanyakannya pada seorang ahlinya!"
"Aku tak pernah bilang kalau bocah gembel seper-
timu ahli agama. Tampangmu yang dekil membuatmu le-
bih pantas menjadi seorang ketua partai gembel!"
Mendengar kata-kata yang begitu menghina, hilan-
glah kesabaran yang dimiliki oleh si pendekar ini. Dia berusaha bangkit, dengan
bermaksud untuk memaki Mam-
bang Sadewa. Namun alangkah terkejutnya pemuda ini,
karena dia merasakan ada kekuatan raksasa yang mene-
kan tubuhnya sehingga merasakan tubuhnya sangat sulit
untuk digerakkan.
Buang Sengketa menoleh pada si Mambang Sade-
wa. Pendekar Dari Negeri Bunian itu nampak geram bukan
main. Merasa dipermainkan seperti itu, sebaliknya Mam-
bang Sadewa malah tertawa tergelak-gelak.
"Bocah, kalau kau mau bangun dari tempat du-
dukmu silahkan saja. Mengapa harus sungkan-sungkan?"
kata si laki-laki berompi setengah mengejek.
Si pemuda panas hatinya, sedapatnya dia berusaha
bangkit. Tetapi sia-sia belaka. Semakin dia mencoba, maka semakin besar tenaga
raksasa itu menekan tubuhnya. Tak
lama kemudian secara perlahan tubuh pemuda itu pun
sedikit demi sedikit mulai amblas ke dalam pasir di pinggi-ran pantai itu.
Sedapat mungkin pendekar ini berusaha
mempertahankan diri dengan mengerahkan sepertiga dari
tenaga dalam yang dimilikinya. Alangkah terkejutnya pe-
muda ini, karena sungguh pun dia sudah mengerahkan
sebagian besar kekuatannya, namun tetap saja tubuhnya
secara perlahan-lahan terus amblas ke bumi.
"Kakek tua bertangan buntung ini memiliki kesak-
tian yang tidak terukur kehebatannya. Apa maksudnya
memperlakukan diriku seperti ini, juga masih belum kuketahui. Tetapi siapa pun,
adanya orang tua aneh ini, masakan aku harus tinggal diam mendapat perlakuan
seperti ini?" batin pemuda itu. "Tidak. Aku tidak ingin bersikap lemah dalam menghadapi
kekasaran orang lain." Mengingat sampai sebegitu jauh, tiba-tiba Pendekar Hina
Kelana kerahkan tenaga dalamnya, dia bermaksud bersiap-siap
dengan Ajian Pemenggal Roh untuk membubarkan kon-
sentrasi lawan. Sesaat badan Buang nampak menggigil
bagai orang yang terserang demam malaria. Kedua mata
terpejam, sementara keringat mulai menetes membasahi
pakaiannya. Hanya sedetik setelahnya, tanpa disangka-
sangka oleh Mambang Sadewa. Satu lengkingan keras dari
jeritan Ilmu Pemenggal Roh pun menggelegar bagai hendak meruntuhkan gendang-
gendang, telinga. Sungguh besar
sekali pengaruhnya pada keadaan di sekelilingnya. Bebe-
rapa ekor bangau laut yang kebetulan berada tak begitu jauh dari tempat itu
nampak menggelepar mati. Bumi serasa bagai dilanda badai topan prahara. Laki-
laki cacat tangan itu nampak terkejut sekali demi menyaksikan kejadian yang sama
sekali tiada pernah dia duga itu. Tubuh-
nya nampak tergetar sesaat saja, sementara pembuluh da-
rahnya pun hanya meremang pula. Andai saja dia bukan-
lah seorang tokoh yang sangat sakti, pada saat itu sudah barang tentu jiwanya
pasti melayang. Sebab seperti diketahui, selama ini belum ada seorang pun di
empat penjuru mata angin yang mampu bertahan hidup menghadapi pe-kikan
menggeledek dari ilmu langka yang dimiliki oleh Pendekar Hina Kelana.
Kalau kini ada seorang laki-laki memiliki mata se-
merah saga dapat bertahan hidup dari serangan yang am-
puh itu, Sudah barang tentu membuat pemuda ini menjadi
terkagum-kagum.
Hanya dalam waktu seketika saja si kakek bertam-
pang angker ini nampak terperangah, sejurus kemudian
dia sudah tergelak-gelak.
"Bocah pentil! Ilmu lengkingan monyet hutan saja
kau pamerkan padaku, sekali pun kau menjerit bagai
orang gila mana ada pengaruhnya padaku...!" kata Mambang Sadewa di sela-sela
tawanya. Si pemuda kesal bukan main, terlebih-lebih dalam
keadaan bicara seperti itu, laki-laki bertangan buntung tersebut tidak juga
melepaskan tekanan jarak jauhnya.
Sehingga membuat tubuh Buang Sengketa semakin lama
semakin terbenam bertambah dalam.
"Orang tua, sejauh ini aku masih bisa mengalah
padamu. Tetapi engkau telah memperlakukan aku seperti
ini, apakah salahku?"
Mambang Sadewa mendengus seketika sepasang
matanya yang selalu memerah ini melirik pada Pendekar
Hina Kelana. Agaknya dia merasa kurang begitu yakin ka-
lau pemuda itu bukan salah seorang dari yang dia curigai.
"Bocah, sungguh pun engkau orang yang memiliki
ilmu sakti tiada tanding. Namun kalau engkau utusan dari Kayu Agung, aku tak kan
berpangku tangan...!"
Mendengar kata-kata si kakek bertangan buntung
maka tahulah Buang Sengketa kiranya kakek cacat itu se-
dang menaruh dendam pada seseorang. Atau mungkinkah
orang itu bekas istrinya, keluarganya atau...!
Buang Sengketa belum habis mereka-reka, Mam-
bang Sadewa sudah bicara lagi:
"Cepat kau katakan apakah kau murid-muridnya
Pri Kumala Hijau, atau bahkan muridnya si Iblis Joma?"
bentak Mambang Sadewa. Pendekar Hina Kelana geleng-
kan kepalanya berulang-ulang.
"Aku tak kenal dengan orang-orang yang anda se-
butkan tadi...!" bentaknya tegas. Tetapi nampaknya Mambang Sadewa masih belum
juga percaya dengan apa yang
dikatakan oleh si pemuda.
"Bohong...!" tukas laki-laki cacat itu geram.
* * * 2 "Aku tidak berbohong, orang tua...!" bantah Pendekar Hina Kelana merasa sangat
tersinggung sekali,


Pendekar Hina Kelana 11 Sepasang Iblis Bermata Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kurang ajar, jangan kau kelabuhi aku lagi! Dulu
mereka juga berkata begitu. Tetapi setelah mereka mendapat apa yang mereka
inginkan dariku. Bangsat itu men-
campakkan aku bagaikan sampah, bahkan iblis dan setan-
setan itu telah membuntungi kedua tanganku pula." jerit-nya histeris. Dalam pada
itu dia kembali memandang pada Pendekar Hina Kelana. Sesaat setelahnya dia pun
sudah membentak, "Bocah, kalau kau tidak mau mengaku, maka aku
akan membunuhmu...!" tukasnya penuh ancaman.
"Aku tak mengerti apa yang engkau katakan itu,
untuk apa aku berbohong!" bantahnya kesal sekali.
Kerut merut di wajah si Mambang Sadewa semakin
bertambah banyak manakala dia mendengar jawaban Pen-
dekar Hina Kelana. Sesungguhnya sepintas lalu dia dapat melihat kejujuran hati
pemuda itu, tetapi sikapnya yang selalu menaruh curiga terhadap orang lain
membuat dia. merasa kurang percaya dengan pengakuan pemuda itu.
Mungkin hanya ada satu cara untuk membuktikan bahwa
pemuda itu murid seorang musuhnya. Adapun cara terse-
but adalah dengan mengenali jurus-jurus yang. dimain-
kannya. Teringat sampai ke situ, laki-laki bertangan bun-
tung itu kembali menyela dengan ucapan sedikit lunak.
"Bocah! Aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja,
aku baru percaya dengan pengakuanmu andai kita sudah
melakukan pertarungan yang sangat menyenangkan" kata laki-laki berjenggot dan
berkumis kelabu itu dengan sesungging senyum penuh arti.
"Maaf orang tua. Aku tak memiliki kepandaian apa-
apa, Pula aku bukanlah tukang jago berkelahi".
"Jadi kau tak mau menuruti keinginanku?" tanya si
Mambang Sadewa tampak sangat gusar sekali. Buang
Sengketa kembali gelengkan kepalanya.
"Sial! Engkau benar-benar menolak bertarung den-
ganku...?" katanya sambil pelototkan mukanya.
"Betul, karena aku merasa tak pernah mempunyai
persoalan denganmu, bertemu pun kita baru kali ini...!"
Semakin bertambah beranglah kakek bertangan
buntung itu dibuatnya. Tak ampun lagi dalam kemara-
hannya yang berkobar-kobar itu dia pun berteriak:
"Bocah... mau tidak mau. Suka tidak suka... eng-
kau harus bertarung denganku. Jika tidak, jangan salah-
kan aku kalau dengan sangat terpaksa aku harus mem-
bunuhmu...!"
Terkesiaplah darah pendekar dari Negeri Bunian ini
demi mendengar keputusan Mambang Sadewa. Sebab
seandainya hal itu benar-benar terjadi dia tak habis mengerti bagaimana caranya
laki-laki tua berbadan kekar itu menghindari serangan-serangannya. Kalau pun
mungkin sudah barang tentu pendekar ini tak berani bahkan tak
tega untuk melakukannya. Akhirnya dia pun telah tetap
dengan pendiriannya.
"Orang tua yang mulia. Sungguh pun engkau me-
misahkan kepala dari badanku tidak nantinya. aku me-
layani keinginanmu yang gila-gilaan itu...!"
"Hemm... Agaknya aku harus membongkar ketolo-
lanmu itu...!"
Setelah. berkata begitu, tanpa diduga-duga Mam-
bang Sadewa atau yang dulunya dikenal sebagai Sepasang
Iblis Bermata Dewa, langsung menjejakkan kakinya. Da-
lam sekejap itu, Buang Sengketa merasa dirinya telah ter-bebas dari pengaruh
tenaga dalam lawan yang menghimpit
pundaknya. Dan pada saat yang bersamaan tubuh Mam-
bang Sadewa sudah bergerak dengan sangat cepat sekali.
Buang sempat dibuat terbelalak tak percaya, ma-
nakala dia melihat bahwa kakek berjenggot kecoklatan
yang tiada memiliki kedua tangan, nampak melakukan
serangan-serangan gencar dengan kedua kakinya. Sung-
guh pun begitu, andai Pendekar Hina Kelana tidak cepat-
cepat berkelit dan menghindari terjangan-terjangan dari sepasang kakinya, sudah
barang tentu pendekar ini mendapat nasib yang sangat mengenaskan. Bukan sampai
di situ saja, beberapa saat berikutnya manakala rambut
Mambang Sadewa secara tiba-tiba melecut kearah pende-
kar itu! Anehnya lagi rambut Mambang Sadewa yang ter-
gerai panjang itu sewaktu-waktu dapat melentur sebagaimana lazimnya dapat
melentur. Namun di saat yang lain
rambutnya yang panjang itu dapat berubah menjadi san-
gat kaku tak ubahnya bagaikan kawat baja.
Hal itu jelas-jelas di luar perhitungan Pendekar Hi-
na Kelana, dan yang pasti serangan rambut yang sekeras
kawat baja dan datang secara tiba-tiba itu membuat si
pemuda berperiuk semakin bertambah kerepotan. Beru-
lang-ulang libasan-libasan rambut Mambang Sadewa yang
dapat melemas dan mengejang hampir saja menusuk bah-
kan melibat tangan dan tubuhnya. Buang Sengketa cepat-
cepat menghindar, lalu dengan mempergunakan jurus
Membendung Gelombang Menimba Samudra, maka tu-
buhnya sekejap saja telah berkelebat lenyap. Tangan berputar bagai sebuah
baling-baling. Semakin lama semakin bertambah cepat hingga pada kenyataannya
hanya merupakan bayang-bayang saja.
Sungguh pun Mambang Sadewa sudah mengetahui
bahwa pemuda yang dihadapinya itu jelas-jelas bukan mu-
rid musuhnya. Tetapi dia "masih merasa sangat penasaran sekali, mengingat jurus
silat yang dimainkan oleh si pemuda benar-benar masih terasa sangat asing dimata
Mambang Sadewa. Bahkan dia pun merasakan sendiri, se-
bab pertarungan yang telah berlangsung puluhan jurus itu masih belum juga
memberi tanda-tanda bahwa dirinya dapat mendesak atau pun memukul pemuda
berkuncir yang menjadi lawannya.
Padahal menurutnya jurus-jurus silat yang dimain-
kan oleh si pemuda sangat sederhana .sekali, tidak ada
yang sangat istimewa. Tetapi yang membuat dia melaku-
kan serangan-serangan gencar. Baik kedua kaki yang dia
pergunakan untuk menyerang maupun kibasan-kibasan
rambutnya, terasa selalu saja bagai membentur batu ka-
rang. Rasa penasaran berbaur menjadi satu, sehingga
tanpa terbendung lagi beberapa jurus di depan dia pun
mulai mengumbar serangan-serangan yang sangat gencar
sekali. Bahkan ternyata kemudian tanpa sungkan-
sungkan lagi,. dia pun melancarkan pukulan-pukulan ja-
rak jauhnya. Satu hal yang membuat Buang Sengketa
nampak terbelalak tak percaya. Adalah karena pukulan
yang berupa lesatan cahaya maut itu bersumber pada ke-
dua matanya Hal ini bagi Pendekar Hina Kelana merupa-
kan sebuah pengalaman yang sangat langka. Mungkin ca-
haya maut yang bersumber dari kedua matanya itulah
yang membuat dirinya selalu disebut-sebut sebagai salah seorang dari Sepasang
Iblis Bermata Dewa. Hemm.. sangat mengagumkan..Batin si pemuda!
Pada gebrakan selanjutnya maka dia pun sudah ke-
luarkan pukulan Empat Anasir Kehidupan. Tak ter-
bayangkan ketika selarik gelombang ultra violet itu menderu dari kedua tangan
pendekar ini. Sinar maut berhawa
sangat panas itu terus melesat sedemikian cepat mengarah pada laki-laki tua
berambut coklat. Saat yang sama pula satu gelombang berwarna merah kebiru-biruan
tak kalah cepatnya memapaki datangnya sinar panas yang telah be-
gitu dekat sekali dengan laki-laki bekas penghuni pagar dewa.
Sinar merah kebiruan yang keluar dari sepasang
mata laki-laki itu bagaikan tiada terputus-putus, datang saling sambung
menyambung, Tak terelakkan lagi bentu-ran keras pun terjadi.
"Bumm...!"
Buang Sengketa terpental, tubuhnya terus bergul-
ing-guling di atas pasir putih. Dia merasakan pukulan
yang dilepaskannya membalik, bukan hawa panas saja
yang menyerang dirinya, tetapi juga hawa dingin yang dilepaskan oleh si laki-
laki bertangan buntung. Yaitu sebuah pukulan yang diberi nama Dewa Kayangan
Membasmi Durjana, juga turut menyertainya. Hawa dingin yang ber-
campur dengan hawa panas membuat tubuh Buang Seng-
keta menggigil bagai terserang penyakit malaria. Pemuda itu merasakan dada sesak
luar biasa, sesaat dia terbatuk, kemudian menggelogoklah darah merah kehitam-
hitaman yang sudah sangat kental. Dengan sorot mata nanar pe-
muda itu memandang pada Mambang Sadewa. Laki-laki
yang tidak mempunyai kedua tangan itu, masih tetap ber-
diri tegak di tempatnya. Tetapi kini sorot matanya yang ta-di nampak merah
membara itu meredup. Seolah cahaya
semerah bara yang tadinya memancar dari padanya sudah
padam. Buang Sengketa tiada memperdulikan laki-laki itu lagi. Cepat-cepat dia
menghimpun hawa murninya, terasa
ada hawa hangat yang mengalir dari pusat perutnya. Hawa hangat itu secara
perlahan menyerap ke seluruh tubuhnya. Sekejap kemudian dadanya yang terasa
sesak luar. biasa itu pun mulai terasa agak berkurang. Lalu wajahnya yang pucat bagaikan
kain kafan kini sudah kembali berubah kemerah-merahan,
Tak lama kemudian dia pun telah tegak berdiri
kembali, maka semakin bertambah heran manakala dia
melihat wajah Mambang, Sadewa kini malah, tertunduk.
Tanpa menghiraukan sikap laki-laki tersebut, Buang
membentak. "Orang tua! Mengapa anda membatalkan serangan"
Bukankah engkau menghendaki nyawaku...?"
Mambang Sadewa tersenyum tetapi hatinya menje-
rit sedih. "Urusan nyawa, bukan wewenangku" ujarnya sam-
bil memandang hampa.
"Tetapi bukankah engkau tadi sudah turunkan pu-
kulan maut yang hampir saja merenggut nyawaku...?"
"Maafkan aku. Terkadang hidupku yang sudah
hancur lebur karena ulahnya, membuatku selalu mencuri-
gai setiap orang. Akh, aku memang orang yang paling tolol di kolong langit ini.
Aku hampir saja membuatmu celaka.
Sering pula orang-orang yang tiada berdosa sepertimu,
hampir saja mati di tanganku. Orang muda... katakanlah
padaku apa. yang harus kuperbuat agar aku tidak terus., terseret dalam api
dendam.,.!"
Dasar orang tolol, mana aku tahu apa yang harus
kau perbuat. Kenal pun baru hari ini, Batin si pemuda.
Sungguh pun begitu, dia hanya mampu garuk-
garuk kepala saja.
"Orang tua, siapakah. anda ini yang sesungguh-
nya" Siapa pula yang menjadi musuhmu itu...?" tanya
Pendekar Hina Kelana kemudian.
"Namaku Mambang Sadewa. Dulu pada jaman yang
memuakkan itu kaum persilatan mengenal kami sebagai
Sepasang Iblis Bermata Dewa" Ucapnya lirih, lalu dengan wajah tertunduk dia
menyambung, "Semua itu cuma tinggal cerita lama yang akhirnya menyeretku kedalam
ke- sengsaraan"
Pendekar Hina Kelana angguk-anggukkan, kepala
sungguh pun dia tidak mengerti secara keseluruhan apa
yang dikatakan oleh Mambang Sadewa.
"Dan engkau siapakah?"
"Aku cuma seorang pengelana. Namaku Buang
Sengketa!" ujar pemuda itu seadanya. Mambang Sadewa kerutkan alisnya yang
kecoklatan itu, sungguh baru kali ini dia mendengar nama yang seaneh itu. Tetapi
dari pertarungan yang memang sengaja diperbuatnya tadi dia tahu kalau pemuda
berwajah tampan itu memiliki kepandaian
tinggi, atau bahkan lebih tinggi dari yang diduganya.
"Buang Sengketa! Sebuah nama yang sangat asing
bagiku, tetapi aku tahu engkau merupakan seorang pe-
muda yang berilmu sangat tinggi. Siapakah gurumu?" se-lanya nampak sangat
penasaran sekali.
"Anda terlalu berlebihan, ilmu silatku yang hanya picisan tidak ada apa-apanya
bila dibandingkan dengan kesaktian yang kau miliki...!" "
Sudah barang tentu Mambang Sadewa mengerti ka-
lau ucapan si pemuda hanyalah karena maksud merendah
saja. Semakin tahulah dia bahwa pemuda yang Berdiri te-
gak di hadapannya itu sesungguhnya seorang pemuda
yang rendah hati. "
"Buang! Janganlah engkau berkata seperti itu. Aku
tahu telah berbuat salah padamu, Tapi percayalah aku tidak bermaksud untuk
mencelakakanmu!" kata Mambang
Sadewa setengah memohon.
Pendekar Hina Kelana kembali garuk-garuk kepa-
lanya yang tak gatal! Dari sorot mata Mambang Sadewa
yang redup dan sayu, dia menyadari ada sesuatu yang
bakal diharapkan oleh laki-laki itu darinya.
"Kakek Mambang!" ucapnya dengan nada bersaha-
bat. "Sesungguhnya aku paling segan membawa-bawa na-ma guruku, selain itu dia
sangat marah bila sampai na-
manya disebut-sebut dalam pengembaraanku."
"Orang muda. Dari jurus-jurus silat yang engkau
mainkan, rasanya aku pernah melihat jurus-jurus itu pernah pula dimainkan oleh
bekas sahabatku. Tetapi kini
otakku yang sudah tumpul dan bebal ini sudah lupa siapa dia...!"
"Baiklah dengan tidak mengagungkan nama be-
sarnya, sesungguhnya guruku bernama si Bangkotan Ko-
reng Seribu...!" jawab si pemuda hampir-hampir tak terdengar.
* * * 3 Maka tak ayal lagi begitu Buang Sengketa. menye-
but nama si Bangkotan Koreng Seribu, maka tubuh Mam-
bang Sadewa yang tiada memiliki kedua tangan nampak
terlonjak bagai disengat puluhan ekor lebah. Kedua ma-
tanya yang meredup kini terbelalak bagai hendak meloncat keluar.
Serta merta laki-laki tua berbadan kekar ini berte-
riak-teriak kegirangan. Bahkan dalam luapan kegembi-
raannya dia sampai menari-nari. Pendekar Hina Kelana
hanya tersenyum dikulum. Sambil berkata dalam hati:
"Dasar kakek edan berotak sinting!"
Sesaat setelah luapan kegembiraannya itu, Mam-
bang. Sadewa nampak menjeplak di atas tanah. Kemudian
bagai anak kecil dia meratap bahkan menangis. Dengan
suara memelas sekali,
"Orang tua yang mulia Si Bangkotan Koreng Seribu!
Oh, kaum persilatan yang mana yang tak kenal dengan
cambuk Gelap Sayuto, Empat Anasir Kehidupan. Hh, be-


Pendekar Hina Kelana 11 Sepasang Iblis Bermata Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapa aku tadi telah melihat. Mataku buta, mengapa aku
seperti ini, melihat tapi tak tampak apa-apa!" Mambang Sadewa menggerang.
"Kakek Mambang Sadewa, mengapa kau bertingkah
seperti itu...?" tanya Buang Sengketa dalam kebimbangan.
"Mengapa aku seperti ini, oh, angger betapa engkau tak mengerti bahwa kakek yang
menjadi gurumu itu sebe-narnya orang yang. paling aku hormati, tujuh puluh tahun
yang lalu ketika aku masih berumur lima belas tahun, be-
tapa aku ingin menjadi muridnya. Tetapi kakek sakti itu tak pernah mengangkat
seorang murid pun, mungkin semua itu karena kebengalan sikapku...!"
"Kebengalan bagaimana, kakek?"
Sambil menengadahkan wajahnya Mambang Sade-
wa berucap! "Masih kecil aku menjadi raja maling. Keonaran
kubuat di mana aku suka, ku sakiti orang-orang yang tak suka padaku... tetapi...
tetapi setelah bertemu dengan kakek itu, aku menjadi insyaf, jalan hidup sudah
berubah sama sekali. Kemudian kuperistri seorang gadis jelita. Semua kepandaian silat
yang kami miliki kami abdikan un-
tuk orang banyak, saat itu..!"
Ucapan Mambang Sadewa, mendadak bagaikan
tercekat di tenggorokan. Tanpa tahu apa sebabnya sesaat kemudian air matanya pun
runtuh. Di sela-sela isak tan-gisnya laki-laki bertangan buntung itu pun
menyambung: "Saat itu kehidupan kami sangat bahagia sekali.
Tapi hal itu hanya berlangsung hanya beberapa tahun. Tetapi tak lama setelah aku
pergi memenuhi panggilan bekas guruku, kemudian ketika aku pulang kembali ke
Pagar Dewa, rumahku hanya tinggal puing-puing belaka. Beberapa orang muridku menjadi
bangkai yang sudah sangat
sulit untuk kukenali. Sedangkan istriku Pri Kumala Hijau raib entah ke mana. Oh
Dewata.,. semuanya telah hancur.
Bertahun-tahun aku mengembara untuk mencari tahu
kabar istriku. Tetapi setelah kujumpai, aku sangat kecewa sekali! Dia telah
menjadi raja dari seluruh kaum sesat.
Gurunya, yaitu orang yang telah merenggut istriku, se-
sungguhnya merupakan musuh keluargaku selama tujuh
turunan. Dialah yang telah membius istriku sehingga ber-sedia menjadi muridnya,
istrinya, bahkan seorang suru-
han yang paling setia. Aku tak pernah mampu mengajak
dan menyadarkan istriku. Manusia setengah gila itu telah membuat kesadaran
istriku menjadi hilang sama sekali.
Dia kini telah menjadi manusia yang paling sesat di kolong jagat ini, Buang.
Lihatlah tanganku ini...!" ucap Mambang Sadewa, seraya menunjukkan kedua
tangannya yang buntung sebatas pangkal lengan. Sesaat Buang Sengketa melirik
pada tangan yang terkutung itu. Memperhatikan tan-
gan Mambang Sadewa yang buntung, tiba-tiba si pemuda
merasa sangat iba sekali.
"Tahukah kau siapa yang telah membuntun-
ginya...?" tanya laki-laki bermata redup itu seolah menghendaki agar Buang
Sengketa menjawabnya.
"Apakah Pri Kumala Hijau yang telah melakukan
perbuatan biadab ini?" Mendapat jawaban yang seolah-olah merupakan pertanyaan,
Mambang Sadewa nampak
berubah parasnya, Mendadak rahangnya yang bertonjolan
nampak menegang, gigi-giginya memperdengarkan bunyi
bergemeletukkan. Sorot matanya yang meredup tiba-tiba berubah memerah dan nampak
liar. Dalam keadaan seperti itu, kiranya dendam yang mengendap di hati Mam-
bang Sadewa mendadak telah berkobar-kobar kembali.
"Dugaanmu benar, Dialah yang telah melakukan-
nya, tetapi aku tak mampu membalasnya, sungguh keter-
laluan...!" Laki-laki itu mengeluh, kepalanya semakin tertunduk.
Kasihan sekali keadaan orang ini. Padahal Mam-
bang Sadewa merupakan orang yang berilmu tinggi. Puku-
lan-pukulan mautnya yang sewaktu-waktu dapat terlepas melalui sepasang matanya
yang dapat berubah-ubah itu
merupakan sebuah pukulan sakti yang belum pernah di-
miliki oleh golongan mana pun. Bahkan Buang Sengketa
sendiri dapat merasakan betapa hebatnya pukulan terse-
but. Tetapi laki-laki itu masih juga dapat dipecundangi oleh Pri Kumala Hijau.
Laki-laki bertangan buntung itu sa-ja sudah sedemikian saktinya, lalu bagaimana
pula kesaktian yang dimiliki oleh Pri Kumala Hijau, belum lagi gurunya"
"Orang tua! Setelah engkau tak mampu mengalah-
kan bekas istrimu itu, lalu apa lagi yang akan kau perbuat untuk
selanjutnya...?"" Mata Mambang Sadewa nampak berkeriapan begitu mendengar
pertanyaan yang sangat di-nanti-nantinya itu. Dia tersenyum, walau sesungguhnya
senyum itu hanyalah membiaskan sebuah keputusasaan.
"Hampir tiga tahun aku selalu berdoa untuk dapat
bertemu dengan kakek sakti yang kini kuketahui sebagai
gurumu. Tetapi setelah kini bertemu denganmu, harapan-
ku untuk dapat menghentikan sepak terjang murid dan
guru keparat itu kuletakkan di pundakmu. Mereka harus
dihentikan, andai tidak...!"
"Jika tidak mengapa orang tua?" desak Pendekar Hina Kelana, ketika secara tiba-
tiba Mambang Sadewa
menghentikan ucapannya.
Yang ditanya nampak tercenung, sepasang ma-
tanya yang redup memandang hampa pada hamparan pa-
sir yang memutih di pantai.
"Jika tidak, dalam waktu lima tahun di muka,
kaum persilatan golongan lurus akan musnah dari tanah
leluhur ini. Lebih dari itu teror berkepanjangan tak akan ada akhirnya...!;;"
"Menghadapi anda saja aku sudah hampir kojor!
Bagaimana mungkin kau menaruh harapan itu padaku...?"
"Engkau tak perlu merendah dan merasa sungkan,
seratus tahun yang lalu gurumu si Bangkotan Koreng Se-
ribu pernah membuat gempar di mana-mana. Aku berha-
rap engkau pun mampu mengikuti jejak gurumu...!" katanya penuh pengharapan.
Sungguh pun Buang Sengketa
merasa kurang senang dengan sanjungan sanjungan yang
terasa sangat berlebihan. Tetapi untuk menolak dia tiada berani. Apalagi Mambang
Sadewa pernah kenal dengan
gurunya. Maka kemudian pemuda itu pun memutuskan!
"Baiklah kalau hal itu memang kehendakmu, tetapi
jangan kau berharap terlalu banyak andai nanti aku men-
gecewakanmu...!"
Mendengar keputusan Pendekar Hina Kelana, lega-
lah hati Mambang Sadewa, cepat-cepat laki-laki bertangan buntung itu menjura
beberapa kali. "Aku merasa sangat bahagia sekali, andai mati pun
aku hari ini, aku sudah tidak penasaran lagi." Ucapnya tersenyum puas.
"Apa-apaan kau orang tua! Seharusnya akulah
yang menghormat padamu,..!" berkata begitu Buang Sengketa melakukan hal yang
sama. Tetapi begitu dia kembali pada keadaannya, Mambang Sadewa telah lenyap
dari hadapannya.
"Sialan! Aku sampai lupa menanyakan Kayu Agung
itu adanya di mana." gerutunya dalam hati. Tak lama ke-
mudian tanpa menoleh-noleh lagi dia pun cepat-cepat berlalu dari pantai Tanjung
Kait. Dusun Embacang adalah merupakan sebuah desa
yang tanahnya sangat subur, karena dusun tersebut terletak di dataran rendah dan
hampir tak pernah mengalami
musim kemarau. Maka hampir semua penduduk yang
berdiam di sekitar dusun itu hidup dari hasil bercocok ta-nam.
Sungguh pun daerah itu termasuk berpenduduk
sangat pandai, namun sebetulnya yang memimpin desa
tersebut sesungguhnya adalah seorang perempuan yang
bernama Dwi Sumirah. Hampir sepuluh tahun lebih pe-
rempuan itu mengatur kehidupan masyarakat dusunnya.
Selama itu Dusun Embacang terkenal sangat aman ten-
tram. Tak seorang pun mereka-mereka yang berasal dari
luar daerah berani mengusik kehidupan penduduk, sebab
kepala dusun mereka, yaitu Dwi Sumirah adalah bekas
seorang tokoh persilatan yang dulunya sangat disegani
baik oleh pihak kawan maupun lawan. Padahal saat itu
Dwi Sumirah yang sangat cantik itu, sesungguhnya sudah
berumur sekitar tiga puluh lima tahun. Dalam umur yang
sudah lebih dari setengah perjalanan hidup itu, dia masih tetap sendiri, belum
pernah menikah apalagi punya anak.
Konon semua itu ada pengaruhnya dengan ilmu sakti yang
sangat diyakininya. Sungguh pun karena demi sebuah
keyakinan dia harus mengorbankan masa depannya tetapi
tampaknya dia. tidak pernah menyesali hal-hal yang telah dan akan terjadi Selama
ini perhatian hidupnya selalu ter-curah untuk" kepentingan masyarakat banyak.
Tak heran kalau semua penduduk menaruh hormat dan sayang pa-
danya. Demikianlah kehidupan di nusa damai itu terus
berlanjut tahun berganti tahun. Tetapi kini suasana kehidupan di Dusun Embacang
sudah agak berubah. Setiap
orang bisa saja saling curiga mencurigai. Setiap malam
penjagaan harus selalu diperketat. Tetapi saat-saat seperti itu pula, anak-anak
perempuan penduduk tersebut hilang
raib tak tentu rimbanya.
Hal ini sudah barang tentu membuat kecut hati
penduduk, dan yang paling pusing memikirkan kejadian
yang sangat aneh namun menyeramkan adalah Dwi Sumi-
rah. Yaitu orang yang paling bertanggung jawab atas keselamatan penduduk Dusun
Embacang. Sudah berhari-hari
dia secara langsung ikut melakukan pengintaian, namun
sampai sejauh itu masih belum ada tanda-tanda ditemu-
kan siapa adanya para pelaku penculikan perempuan-
perempuan tersebut.
Geram bercampur rasa penasaran berbaur menjadi
satu, hingga Dwi Sumirah akhirnya memutuskan untuk
melakukan pencarian. Dengan dibantu oleh beberapa pen-
duduk desa, pergilah Dwi Sumirah dan orang-orangnya
menuju ke suatu tempat yang bernama Kayu Agung. Hu-
tan tersebut terletak sangat jauh dari Dusun Embacang,
tetapi dengan menunggang kuda. Paling mereka akan sam-
pai ke sana sekitar dua atau tiga hari lagi.
Demikianlah setelah melakukan perjalanan seperti
yang di rencanakan, tiga hari kemudian kelima orang ang-gota rombongan kepala
Dusun Embacang yang dipimpin
langsung oleh Dwi Sumirah, sudah mulai memasuki wi-
layah Kayu Agung. Suasana di sekitar hutan bakau itu terasa sunyi sepi,
begitupun Dwi Sumirah menyadari bahwa
sesungguhnya daerah itu merupakan sebuah tempat ang-
ker dan tidak aman. Tak ayal lagi perempuan cantik pe-
mimpin dusun itupun segera memberi tanda-tanda pada
anak buahnya. "Tampaknya apa yang saudara-saudara laporkan
padaku beberapa hari yang lalu, sudah mendekati kebena-
ran. Ada jejak-jejak manusia di sini!" ujar Dwi Sumirah, seraya memperhatikan
bekas tapak-tapak kaki yang
menghampar di atas tanah setengah berlumpur. Melihat
bekas jejak-jejak tersebut, Dwi Sumirah dapat menyimpulkan bahwa mereka itu
terdiri dari laki-laki perempuan.
Mungkinkah di hutan yang sunyi itu ada penduduk yang
bermukim di sana. Tetapi menurut keterangan, orang-
orang kepercayaan Dwi Sumirah, dalam melacak hilangnya
gadis-gadis Dusun Embacang orang-orang kepercayaannya
melihat beberapa orang yang melakukan penculikan itu
lenyap di sekitar tempat ini. Dalam suasana seperti itu ti-ba-tiba salah seorang
diantara orang suruhan Dwi Sumirah berseru. Hal itu sudah barang tentu membuat
yang lainnya menjadi terkejut. Lalu tanpa buang-buang waktu
lagi langsung memburu ke arah laki-laki yang sedang berteriak-teriak itu.
"Ada apa Atmojo...?" tanya Dwi Sumirah terheran-heran.
"Lihatlah Ketua Dwi... bukankah pakaian ini milik adikku, Canting...!" ucapnya
dengan harap-harap cemas,
"Tidak salahkah apa yang kau lihat...?" tanya Dwi Sumirah sambil meneliti
pakaian yang sudah dipenuhi
dengan noda darah itu.
"Tidak, Ketua Dwi...! Beberapa hari yang lalu, aku melihat adikku berpakaian
seperti ini, bahkan sebelum tidur aku sempat melihatnya!" seru Atmojo merasa
begitu yakin. "Berarti telah terjadi sesuatu dengan adikmu!" ucap Dwi Sumirah merasa tak enak
saja. "Apa maksudmu Ketua Dwi"! Apakah adikku Cant-
ing sudah tak dapat diselamatkan lagi?" tanya Atmojo gusar. Ditanya seperti itu
Dwi Sumirah nampak menarik na-
pas pendek. * * * 4 Berdoalah kita untuk keselamatannya. Semoga saja
dia dalam keadaan baik-baik saja!"
"Tetapi pakaiannya ini, Ketua Dwi... pasti telah terjadi sesuatu dengannya...!"
ujar Atmojo nampak semakin bertambah gusar.
"Adikmu tidak sendirian, Atmojo..." Masih banyak penduduk dan gadis-gadis lain
yang mengalami nasib sa-ma seperti Canting adikmu. Atau mungkin bukan perem-
puan-perempuan di dusun kita saja yang mereka culik,
desa lain mungkin pula menjadi korban. Sekarang kita sudah mendekati sarang
mereka. Kalian tahu bahwa kita ha-
rus bertindak hati-hati.
"Mungkin kita hendak meluruk ke sarang mere-
ka?"" tanya seorang lainnya yang bernama Samino.
"Nampaknya sangat berbahaya sekali, Ketua
Dwi...?" Anak buah Dwi Sumirah ikut menimpali.
Perempuan kepala dusun itu angguk-anggukkan
kepalanya, dalam hatinya dia menduga bahwa siapapun
adanya para penculik itu, yang pasti memiliki kepandaian yang sangat tinggi.
Tetapi sesaat kemudian dia telah memutuskan.
"Baiknya kita tinggalkan kuda kita di sini, hutan
bakau yang sangat rapat ini tak mungkin dapat dilalui ku-da-kuda kita...!"
Kemudian tanpa banyak membantah keempat
orang anak buah Dwi Sumirah segera menambatkan kuda
mereka. Perjalanan dilanjutkan mereka lalui dengan hanya
berjalan kaki saja, tetapi tak semudah apa yang dibayangkan oleh para anak buah
Dwi Sumirah. Hutan bakau yang
mereka lalui itu ternyata sangat rapat sekali, bahkan
hampir-hampir tak bersela. Belum lagi menghadapi anca-
man ular-ular bakau yang berwarna hijau. Mana lagi jum-
lah mereka sangat banyak sekali.
Keadaan itu membuat perjalanan yang mereka
tempuh menjadi terasap sangat lambat. Melewati satu pa-
rit di depan, perjalanan yang mereka tempuh semakin bertambah sulit saja.
Apalagi sepanjang jalan yang mereka lalui, semuanya hanyalah terdiri dari tanah
becek dan berlumpur. Ini benar-benar membuat anak buah Dwi Sumi-
rah merasa sangat Capai. Masih untung keempat orang
anak buahnya di samping memiliki ilmu silat yang cukup


Pendekar Hina Kelana 11 Sepasang Iblis Bermata Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggi, juga punya daya tahan yang sangat tinggi.
Masih dengan sikapnya, mereka terus melangkah-
kan kaki. Sementara di tangan mereka tergenggam senja-
tanya masing-masing. Kewaspadaan itu benar-benar harus
mereka perhatikan, demi menghindari terpatuknya ular
bakau yang ganas dan mematikan.
Namun baru tombak di depan mereka mengayun-
kan langkah, mendadak Atmojo. Yang berada di bagian
paling depan nampak terpekik.
"Astaga naga belekan! Eeeeh, Ketua.... lihatlah ular-ular itu!" pekiknya.
Lalu Atmojo menunjuk satu tempat tidak begitu
jauh di depan mereka. Maka tampaklah pemandangan
yang sangat menjijikkan ratusan bahkan ribuan ular hijau melilit-lilit dan
bergelantungan di sebuah dahan yang.
sangat rendah. Tak dapat dibayangkan betapa ular yang
saling melilit sesamanya, tak ubahnya. bagai sekumpulan cacing merah, yang
sangat banyak. "Hati-hatilah.... nampaknya ular-ular bakau itu tidak menyukai kehadiran
kita...!" Kepala dusun Embacang itu mencoba mengin-
gatkan keempat anak buahnya.
"Ketua! Ular itu bubar dari kawannya... mereka
bergerak ke arah kita! Bagaimana ini Ketua...?"
Mengetahui ular-ular bakau itu bergerak dari ka-
wanannya dan nampak meluruk ke arah mereka, Samino
nampak lebih kecut lagi. Bahkan dia sampai tersurut beberapa tindak. Ular-ular
bakau yang berwarna hijau itu te-
rus mendesis-desis merangsek dan langsung menyerang
kelima orang itu.
"Putar senjata kalian dan babat saja kepalanya...!"
teriak Dwi Sumirah memberi perintah pada seluruh anggo-
tanya. Maka begitu mendengar aba-aba dari ketua mereka, keempat orang itu secara
serentak menerjang maju. Lalu
dalam sekejap saja tempat itu mendadak berubah menjadi
gegap gempita. Darah ular-ular yang hanya sebesar jempol kaki itu mulai nampak
tercecer di mana-mana. Masing-masing orang sibuk berhadapan dengan ratusan
kawanan ular, Sungguh pun kawanan ular bakau itu tidak seberapa besarnya, namun karena
jumlahnya terlalu banyak dan
bagai tak pernah habis-habisnya. Maka gebrakan-
gebrakan selanjutnya, anak buah Dwi Sumirah mulai ke-
hilangan banyak tenaga. Padahal kawanan ular bakau itu
terus memburu mereka bagai tak pernah mengenal rasa
jera. "Ular-ular keparat...!" maki salah seorang di antara mereka sambil membabatkan
pedangnya. Darah bersim-bah di tanah becek berlumpur. Nampaknya serangan-
serangan ular bakau itu semakin bertambah ganas. Bau
amis dan langu segera memenuhi sekitar tempat itu. Keti-ka sesaat kemudian dua
orang anak buah Dwi Sumirah
menjerit dalam waktu hampir bersamaan. Pemimpin Du-
sun Embacang nampak sangat terkejut sekali, apalagi
hanya dalam sekejap kemudian tubuh kedua kawan mere-
ka sudah berubah membiru dan langsung ambruk karena
gigitan ular yang sangat berbisa itu.
Sambil terus berusaha mengelak dan menghindar
Samono dan Atmojo berusaha mendekati kawannya yang
sudah menjadi jadi mayat.. Tetapi usahanya itu nampak-
nya tidak membawa hasil. Satu ketika dari kerimbunan
pohon nampak melesat tiga buah benda berwarna hijau.
Saat itu Dwi Sumirah yang baru, saja membantai ular ba-
kau yang menyerangnya masih sempat melihat berkele-
batnya benda tersebut. Maka sambil berusaha menghin-
dar, Dwi Sumirah berusaha memberi peringatan pada dua
orang sisa anak buahnya.
"Samino... Atmojo... awaaaaas...!" teriak Dwi Sumirah pada kedua orang
bawahannya. Tetapi nampaknya se-
rangan senjata rahasia yang mempergunakan ular bakau
itu datangnya malah lebih cepat dari pada peringatan itu sendiri. Tak ayal
walaupun Samono dan Atmojo berusaha
menghindari terjangan senjata tersebut, hasilnya tetap sa-ja ular itu melekat
tepat di leher kedua anak buah Dwi
Sumirah. Kedua orang itu nampak terbelalak kedua matanya
sebentar, mereka masih tetap berusaha membebaskan diri
dari ular yang sangat berbisa tersebut. Namun apa yang
mereka usahakan nampaknya kalah cepat dengan reaksi
bisa ular yang sangat cepat menjalar kemana-mana. Tu-
buh Samino dan Atmojo nampak gemetaran seketika la-
manya. Lalu manakala tubuh itu secara cepat berubah
membiru secara keseluruhan maka tak dapat dicegah lagi
kedua orang itu pun ambruk keatas tanah berlumpur tan-
pa mampu bangun-bangun lagi.
Demi melihat semua kejadian itu mendidihlah da-
rah Dwi Sumirah, dia nampak gusar sekali. Tak dapat di-
bayangkan Salam waktu hanya-sekejap saja para anggo-
tanya tewas menjadi korban racun ular hijau. Dia menya-
dari bahwa sesungguhnya di tempat itu ada orang yang
paling bertanggungjawab atas apa yang terjadi. Tetapi yang membuatnya heran,
mengapa orang itu tidak mau
keluar dari tempat persembunyiannya.
"Setan bersembunyi, manusia pengecut yang telah
membunuh orang-orangku, keluarlah! Aku kepala dusun
Embacang selamanya paling benci pada orang-orang pen-
gecut semacammu...!" ,
Tiada terduga, kiranya tak begitu lama setelahnya
terdengar sahutan!
"Hemmm, cuma kepala dusun apa hebatnya! Pula
mau apa kau kelayapan sampai ke daerah Kayu Agung
ini..?" "Manusia pembunuh, tunjukkan tampangmu! Baru
kita bicara...!" Dalam kemarahannya itu Dwi Sumirah membentak. Tetapi orang yang
berada di balik kerimbunan pohon bakau itu sebaliknya malah tergelak-gelak.
"Tanpa menunjukkan tampang, engkau pun sudah
dapat kulihat dari sini?" sahut orang yang berada di balik kerimbunan pohon
seenak perutnya. Hal kiranya membuat
Dwi Sumirah bertambah marah. Sesaat dia nampak ter-
menung. Kemudian sambil mengerahkan hawa murninya,
maka dia pun berkata.
"Manusia Setan, Kalau engkau tetap tidak mau ke-
luar dari tempatmu, maka aku akan membongkar kedok-
mu...!" Tanpa basa basi lagi setelah ucapannya itu, maka Dwi Sumirah segera
gerakkan tangan kanannya mengarah
ke bagian yang rimbun dari pohon-pohon bakau yang ter-
dapat tidak begitu jauh di samping kirinya.
"Wuuuus!"
Satu kekuatan sinar berwarna pelangi nampak
menderu sedemikian cepatnya meluruk ke arah tempat
persembunyian orang itu.
"Krosaaak!"
Orang yang bersembunyi di balik pohon. tersebut
nampak berkelebat menghindari pukulan yang dilepaskan
oleh Dwi Sumirah. Pukulan yang dilepaskan oleh kepala
dusun Embacang itu terus bergerak sedemikian cepatnya.
Lalu tanpa ampun lagi melabrak kerimbunan pohon tadi.
Ranting dan daun-daun hijau hancur berkeping-keping di-
landa pukulan milik Dwi Sumirah yang bernama Pelangi
Mengusir Bidadari.
Kini jelaslah sudah bahwa orang yang bersembunyi
di balik pohon tak lain hanyalah merupakan seorang wani-ta berpakaian kulit
beruang hitam. Sedangkan tangannya
nampak menggenggam sebuah kipas berwarna kuning
gading. Yang membuat heran dan ngeri Dwi Sumirah ada-
lah sepasang mata perempuan itu. Setiap kali memandang
sorot mata yang memancarkan cahaya yang aneh, bahkan
Dwi Sumirah merasakan pandangan mata si perempuan
berjubah kulit beruang hitam itu seolah bagai mengge-
rayangi seluruh tubuhnya. Sesaat setelah puas meman-
dang pada Dwi Sumirah, perempuan cantik namun punya
wajah bengis itu nampak tersenyum penuh arti. Lalu di
luar dugaan Dwi Sumirah dia pun mulai berkata kurang
ajar. "Ah...! Sungguh pun engkau sudah cukup berumur,
tetapi kau benar-benar masih perawan tulen. Hmmm,
sungguh hal ini satu keberuntungan bagiku. Dan guruku
pasti sangat berterima kasih dengan apa yang kubawa...!"
Memerah wajah Dwi Sumirah seketika itu juga, agaknya
dia mulai tahu orang yang bagaimana kiranya perempuan
yang sedang dia hadapi itu. Maka tanpa sungkan-sungkan
lagi dia pun membentak.
"Manusia iblis, kau bunuh orang-orangku tanpa
sebab yang jelas. Agaknya engkaulah orang yang telah melakukan penculikan
terhadap para gadis-gadis Desa Em-
bacang.." "Hi..., hi... hi...! Kalau Betul kau bisa apa, Ni Lurah.
Pula orang-orangmu itu memang sudah selayaknya mam-
pus. Asal kau tahu saja, bahwa ular-ular yang telah kalian bunuh itu merupakan
ular hijau milikku"
"Sialan! Jadi benar apa yang mereka katakan pada-
ku bahwa kiranya engkaulah yang telah menculik warga
kami. Di mana mereka kau sekap, cepat kembalikan...!"
perintah Dwi Sumirah.
Perempuan berkipas hanya tersenyum begitu men-
dengar perintah Dwi Sumirah. Lalu dengan nada mence-
mooh dia pun berucap:
"Seumur hidup, baru kali ini ada perempuan tengil
berani memberi perintah pada salah seorang dari Sepa-
sang Iblis Bermata Dewa. Kebisaan apakah yang engkau
andalkan...?"
Sungguh pun Dwi Sumirah merupakan seorang ke-
pala desa biasa, namun dulunya juga dia bekas seorang
tokoh persilatan. Dan sudah barang tentu dia sangat mengenal nama yang sangat
menggemparkan itu. Tak urung
dia sempat dibuat terbelalak tak percaya. Tapi sungguh
pun begitu dia masih berusaha menutupi rasa kagetnya.
Sesaat setelah itu dia sudah membentak.
"Huh, kiranya engkau salah seorang iblis bermata
itu. Sayangnya kini semakin bertambah sesat saja! Bah-
kan kudengar Pri Kumala Hijau yang mempunyai julukan
menakutkan Itu kini malah menjadi gundik guru sendiri.
Bukan tak mungkin, gadis-gadis desa yang kau culik ma-
lah kau persembahkan pada manusia sesat bernama Se-
tan Joma itu"
Pri Kumala Hijau tergelak-gelak begitu mendengar
apa yang dikatakan oleh Dwi Sumirah! Dengan pandangan
liar seperti sorot mata setan, perempuan itu kemudian
menyela. "Sungguh tajam matamu, semuanya tak ku pungki-
ri! Setelah. engkau mengetahui nama besarku, mengapa kau tak segera merangkak
minta ampuh?" bentaknya.
Semakin bertambah gusar saja Dwi Sumirah meli-
hat tingkah Pri Kumala Hijau. Sungguh pun dia menyadari bahwa dirinya tak
mungkin bakal menang berhadapan
dengan bekas pasangan Iblis Bermata Dewa. Namun un-
tuk menyerah dan minta ampun, siapa yang sudi" Baginya
mati malah lebih terhormat daripada harus bersekutu
dengan sebangsa manusia sesat.
"Perempuan sundal manusia paling durhaka! Jan-
gan kira aku sudi bertekuk lutut dibawah kakimu yang celaka itu. Siapa sih yang
tak kenal pada manusia setan
yang telah begitu tega membuntungi kedua tangan suami
sendiri! " Dwi Sumirah mencemooh.
* * * 5 Bukan main gusar, Pri Kumala Hijau demi men-
dengar kata-kata yang sangat menyakitkan hatinya. Dia
sangat geram sekali, membunuh kepala dusun yang telah
menghina dirinya bukanlah suatu pekerjaan yang sulit.
Tetapi bila teringat gurunya yang sangat membutuhkan
perempuan seperti Dwi Sumirah dia jadi ragu-ragu. Dwi
Sumirah sungguh pun seorang perempuan yang sudah be-
rusia lebih dari seperempat abad, namun masih perawan tulen. Perempuan seperti
itu benar-benar sangat dibutuhkan oleh si Setan Joma. Dia jadi serba salah,
sungguh pun di batinnya ada sedikit rasa cemburu. Tetapi akhirnya dia memutuskan
untuk meringkus Dwi Sumirah dalam keadaan hidup-hidup.
"Hemm! Sungguh banyak kiranya yang kau ketahui
tentang diriku. Tapi jangan kira aku akan membiarkanmu
begitu saja. "Aku harus membekukmu..:!" teriak Pri Kumala Hi-
jau. "Bagus! Daripada engkau mendahuluiku, lebih baik
kupotes kepalamu!"
Seiring dengan ucapannya itu, Dwi Sumirah melo-
los senjatanya yang berupa sebilah pedang biru bermata
ganda. Tanpa banyak cincong lagi orang itu pun segera
menyerang Pri Kumala Hijau dengan jurus-jurus pedang-
nya yang sangat cepat laksana kilat.
Sambil berkelit menghindar, Pri Kumala Hijau be-
rucap: "Bagus sekali tindakanmu itu! Tapi jangan sebut
aku Iblis Bermata Dewa, kalau sepuluh jurus di muka aku tak dapat
meringkusmu...!"
"Haiiiiitt!"
Pri Kumala Hijau dengan teriakan tinggi melengk-
ing mulai membuka jurus-jurus permainan silatnya yang
terkenal sangat aneh dan banyak variasi. Dalam waktu sekejap saja, terjadilah
pertarungan sengit di hutan bakau yang sangat rapat itu. Masing-masing lawan
nampak mengeluarkan jurus-jurus silat yang sangat tinggi. Tetapi sungguh pun Dwi
Sumirah mempergunakan pedang bermata ganda bahkan dengan jurus pedang Cakaran
Wallet Putih dia menyerang musuhnya. Namun sejauh itu dia
masih belum mampu berbuat banyak.
Sementara itu Pri Kumala Hijau sudah tidak lagi
hanya mengelak dan menangkis. Dengan mempergunakan
jurus-jurus silat tangan kosong yang diberi nama Sepa-
sang Iblis Menggila, dia mulai melancarkan serangan-
serangan balasan, ilmu silat tangan kosong yang dipergu-nakannya sangat tangguh
Pendekar Latah 11 Pendekar Cacad Karya Gu Long Si Penakluk Dewa Iblis 2
^