Pencarian

Pembalasan Maha Durjana 2

Pendekar Hina Kelana 32 Pembalasan Maha Durjana Bagian 2


menusuk. Sekali
lagi Pendekar Hina Kelana hanya tersenyum tipis
mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Gend-
ing Sora. "Hiaaa... ha... ha...ha...! Aku tidak perduli apakah aku bicara dalam sarangnya
iblis atau bahkan di dalam rumahnya setan. Bagiku semua
sama saja. Yang jelas jauh-jauh aku datang kemari
hanyalah karena ingin bertemu dengan orang yang
bernama Maha Diraja Setan Bumi...!" kata pemuda itu lantang.
"He... he... he...!" Gending Sora balas tertawa. "Jangan mimpi sobat! Tidak
sembarang orang boleh bertemu dengan orang yang kami hormati.
Terlebih-lebih kau telah membuat cacat tanganku.
Bagimu tiada waktu untuk bertemu dengan jun-
jungan kami. Kuperintahkan padamu untuk me-
nyerah...!" bentak Gending Sora berapi-api.
"Kalau kalian memang memiliki kemam-
puan. Lakukanlah...!" tukas si pemuda dengan sikap menantang.
"Keparaaat! Prajurit... cincang pemuda edan
itu beramai-ramai...!" Gending Sora yang sudah tidak dapat membendung amarahnya
langsung memerintah puluhan prajurit yang melakukan
pengepungan atas diri Buang Sengketa.
"Serbuuu...!" teriak prajurit-prajurit itu secara serentak. Tidak dapat
dihindari lagi pertem-
puran sengitpun segera terjadi. Menghadapi ke-
royokan yang sedemikian banyaknya Buang Seng-
keta mempergunakan jurus silat tangan kosong
'Membendung Gelombang Menimba Samudra'. Tu-
buh pemuda itu bergerak lincah menghindari se-
tiap serangan senjata yang datangnya laksana air
bah itu. Di luar dugaan si pemuda ternyata praju-
rit-prajurit Kerajaan Iblis selain memiliki ilmu silat lumayan juga memiliki
tenaga bagai siluman. Melihat kenyataan di luar dugaan ini, Pendekar Hina
Kelana untuk menghindari serangan beruntun
yang sangat membahayakan keselamatannya sege-
ra merobah jurus silatnya dengan jurus 'Si Gila
Mengamuk'. Sekarang tubuh pemuda itu berkele-
bat lenyap sehingga tinggal merupakan bayang-
bayang saja. Para prajurit Kerajaan itu sudah tentu di-
buat kelabakan menghadapi gerakan si pemuda
yang sangat cepat sekali. Bahkan beberapa detik
kemudian Buang Sengketa telah pula berhasil me-
nyarangkan beberapa pukulannya dengan telak.
Buuk! Bruaagkh...!
"Argkh...!"
Terdengar suara lolongan menyayat mana-
kala beberapa orang prajurit itu terpelanting roboh dengan jiwa melayang. Bahkan
pemuda itu tidak
berhenti sampai di situ saja. Bagai seekor banteng terluka ia terus menjatuhkan
prajurit-prajurit Kerajaan Iblis. Melihat kenyataan ini Gending Sora
kelihatan sangat marah sekali. Bahkan laki-laki
bertangan buntung ini sekarang telah bersiap-siap
untuk melakukan serangan dahsyat ke arah lawan
yang pernah membuat buntung tangannya. Na-
mun pada saat itu secara samar-samar terdengar
siulan panjang namun terasa menusuk gendang-
gendang telinga Buang Sengketa. Pemuda keturu-
nan Raja Piton Utara dari Negeri Alam Gaib ini sa-
dar betapa suara itu dikerahkan melalui ilmu te-
naga dalam yang sangat sempurna sekali. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Maka
dengan cepat iapun segera pula mengerahkan te-
naga dalam untuk menutup indera pendengaran-
nya. Tetapi saat Buang Sengketa membuka ma-
tanya kembali, betapa ia menjadi terkejut ketika
melihat para prajurit Kerajaan yang telah dibu-
nuhnya tadi sekarang telah bangkit kembali. Bah-
kan mereka dengan sikap beringas telah bersiap-
siap menyerang si pemuda. Sementara itu dari
arah pintu gerbang Istana Iblis. Lebih dari delapan
puluh orang prajurit lainnya telah datang pula
memberi bantuan. Diam-diam pemuda itu menge-
luh dalam hati. Tetapi ia merasa tidak punya pili-
han lain, terkecuali menghadapi mereka dengan
segenap kemampuan yang dimilikinya.
"Sebentar lagi kau akan segera mampus,
manusia tolol...!" kata Gending Sora mengurungkan niatnya untuk menyerang
lawannya. Sebaliknya sekarang ia berdiri tegak dengan
sikap menonton. Buang Sengketa sedikitpun tiada
menyahuti kata-kata yang diucapkan oleh Gending
Sora. Karena sesaat kemudian ia telah sibuk me-
layani para prajurit Kerajaan Iblis yang nyata-
nyata telah dikendalikan oleh Maha Diraja Setan
Bumi. "Ciaaat...!" dengan mempergunakan gerakan udang melentik sekarang tubuh
pemuda itu telah
melesat ke udara. Dalam menghadapi keroyokan
yang sedemikian banyaknya Buang Sengketa ra-
sanya tidak punya pilihan lain lagi terkecuali sege-ra melepaskan pukulan "Empat
Anasir Kehidu- pan". Setelah berjumpalitan di udara beberapa kali pemuda itu menjejakkan
kakinya menjauhi pertempuran. Dengan cepat kedua tangannya dia
angkat di atas kepala. Sesaat tubuh Buang Seng-
keta nampak bergetar hebat. Sementara kedua
tangannya yang telah merangkap menjadi satu,
nampak mengepulkan kabut tipis. Bahkan tangan
itu sekarang telah pula berobah putih menyilau-
kan mata. Pada saat itu para prajurit Kerajaan
nampaknya sudah tidak menghiraukan adanya
bahaya yang mengancam jiwa mereka. Bahkan
orang-orang itu dengan nekad meluruk ke arah si
pemuda. "Hiaaaa...! Wuuuus...!" Buang Sengketa
hantamkan kedua tangannya ke segenap penjuru
mata angin. "Awaaas...!" teriak Gending Sora berusaha memberi peringatan pada seluruh
bawahannya. Namun peringatan Gending Sora terlambat sama
sekali. Karena pada saat itu selarik gelombang si-
nar Ultra Violet yang menimbulkan udara panas
luar biasa telah melesat laksana kilat ke arah prajurit-prajurit yang datang
menyerang Pendekar Hi-
na Kelana. Blaaamm...! Terdengar beberapa kali ledakan berturut-
turut. Lebih dari lima belas orang prajurit terpe-
lanting roboh dengan tubuh hangus terbakar. Se-
bentar kemudian bau daging terbakarpun telah
menebar memenuhi daerah sekitarnya. Kenyataan
ini benar-benar membuat Gending Sora terperan-
jat bagai melihat hantu di siang bolong. Sementara puluhan prajurit lainnya demi
melihat kematian
kawan-kawannya, kelihatan semakin beringas.
Mereka terus memburu Buang Sengketa kemana-
pun pemuda itu berusaha menghindar. Berbagai
jenis senjata menghujani Pendekar Hina Kelana.
Bahkan beberapa diantaranya sempat melukai tu-
buh pemuda itu. Kini darah mulai kelihatan me-
rembas membasahi bagian punggung Buang
Sengketa. Tubuh pemuda ini kelihatan terhuyung-
huyung, bibir menyeringai menahan sakit. Dalam
situasi tidak menguntungkan itu, di luar sepenge-
tahuan Buang. Gending Sora menerjang dari arah
belakangnya. Masih untung pemuda itu dapat me-
rasakan adanya sambaran angin kencang pada
bagian punggungnya, sehingga ia masih sempat
berkelit menghindar. Begitupun tendangan kilat
yang dilakukan oleh Gending Sora berhasil meng-
hantam bagian punggung kirinya.
"Buuuk!"
Keras sekali tubuh pendekar Golok Bun-
tung ini terbanting. Bagian dadanya bahkan
menghantam sebatang pohon. Pohon itupun han-
cur berantakan tertimpa tubuh si pemuda.
"Hoeeek...!" darah meleleh dari sela-sela bibir si pemuda. Perut terasa mual
bagai diaduk- aduk. Sementara itu kepalanya terasa sakit berde-
nyut-denyut. Buang Sengketa berusaha mengge-
lengkan kepalanya berulang-ulang, barulah pera-
saan sakit itu agak berkurang. Namun belum
sempat lagi dia bangkit berdiri puluhan prajurit
lainnya telah pula memburunya kembali. Dengan
nafas masih belum teratur pemuda itu berguling-
guling menghindari tebasan senjata yang dilaku-
kan oleh prajurit-prajurit yang sedang kalap. Ku-
rang ajar! Mereka tidak ubahnya bagai setan pem-
bunuh yang haus darah. Batinnya merasa kesal
sekali. Dengan cepat Pendekar Hina Kelana men-
gerahkan tenaga saktinya untuk melindungi tu-
buhnya dari ancaman hujan senjata yang tidak
terhitung banyaknya.
"Aaaa... heiiiigkh...!" dalam keadaan terdesak sedemikian rupa. Buang Sengketa
mengelua- rkan teriakan tinggi melengking. Tidak salah lagi
itulah suara lengkingan ilmu Pemenggal Roh yang
sangat dahsyat itu. Akibat yang ditimbulkannya
pun sangat menggiriskan. Bukit Neraka bagai di-
gundang selaksa gempa, daun-daun pepohonan
yang berada di sekitar daerah pertempuran lang-
sung berguguran. Sementara puluhan prajurit
yang mengeroyoknya berpelantingan roboh. Darah
mengalir dari bagian telinga dan hidung mereka.
Beberapa orang yang masih dapat bertahan hidup
kelihatan mulai bertingkah aneh. Agaknya urat sa-
raf mereka rusak berat akibat pengaruh lengkin-
gan ilmu Pemenggal Roh itu.
Di lain pihak Gending Sora yang tiada me-
nyangka bahwa pemuda itu memiliki ilmu aneh
yang sangat langka kelihatan tertatih-tatih dan berusaha berdiri sebagai mana
sediakala. Laki-laki
bertangan buntung itu agaknya merasa masih be-
runtung karena memiliki tenaga dalam yang tinggi.
Begitupun ia mulai merasa jerih berhadapan den-
gan Pendekar Hina Kelana.
Buang Sengketa sekarang kelihatan duduk
bersila, sepasang matanya nampak terpejam. Saat
itu ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk me-
nyembuhkan luka-luka yang dideritanya akibat
tendangan Gending Sora. Hanya dalam waktu
yang sangat singkat wajah Buang Sengketa yang
tadinya nampak pucat, sekarang telah berubah
kemerah-merahan.
Sementara itu dari arah Istana Iblis kembali
terdengar suara siulan yang tiada teratur. Suara
itu sekarang telah diketahui oleh Buang Sengketa
sebagai pembangkit orang-orang yang telah mati.
Pada kenyataannya, seiring dengan suara siulan
yang tiada berketentuan itu mayat-mayat berge-
limpangan nampak bergerak-gerak. Bahkan tidak
lama kemudian telah bangkit kembali. Tetapi
anehnya sekarang mayat-mayat itu saling serang
sesamanya. Hal ini di luar dugaan Gending Sora.
Lain halnya dengan Buang Sengketa yang sudah
mengerti mengapa mayat-mayat yang sudah tidak
karuan ujudnya itu saling serang sesamanya. Hal
ini tidak dapat dipungkiri karena bagian otak pra-
jurit-prajurit yang sebenarnya sudah mati itu
mengalami kerusakan akibat pengaruh lengkingan
ilmu Pemenggal Roh.
Sekarang Pendekar Hina Kelana malah ter-
gelak-gelak melihat semua kejadian yang berlang-
sung di depan matanya.
"Gending Sora! Cepatlah kau kabarkan pa-
da si Raja Iblis, bahwa siulan pembangkit mayat
yang dibangga-banggakannya sudah tidak dapat
dia gunakan sebagaimana mestinya...!" perintah pemuda itu kemudian menoleh ke
arah Gelding Sora. Namun pemuda berwajah tampan ini terpak-
sa garuk-garuk kepalanya ketika melihat Gending
Sora sudah tidak berada di tempat itu. Kurang
ajar. Dia sengaja merat untuk meminta bala ban-
tuan. Tetapi akupun tidak perlu berlama-lama di
sini. Aku harus mencari cara terbaik dalam men-
gatasi seluruh penghuni Kerajaan Iblis itu. Batin-
nya. Selanjutnya tanpa berkata-kata lagi pendekar
Golok Buntung segera berkelebat pergi.
Sementara itu di dalam ruangan singgasa-
nanya. Maha Diraja Setan Bumi, Si Topi Terbang,
Gending Sora serta Kanjeng Guru kelihatan se-
dang berkumpul di sana. Melihat mimik wajah me-
reka nampak jelas kalau orang-orang Kerajaan Ib-
lis itu sedang membicarakan masalah yang sangat
serius. "Aku sangat heran sekali mengapa orang-orang yang telah kubangkitkan
kembali dengan meminjam kekuatan iblis. Bertingkah polah seperti
itu...!" terdengar suara Maha Diraja Setan Bumi memecah keheningan malam.
"Kita semua tidak perlu merasa heran, mu-
ridku. Siulan Pembangkit Mayat yang kau miliki
selamanya tidak akan memiliki arti jika ilmu itu
kau pergunakan untuk menghadapi pemuda aneh
itu...!" tiba-tiba Kanjeng Guru membuka suara.
Padahal selama ini laki-laki yang datang dan pergi begitu saja tersebut dikenal
sebagai orang yang
sangat jarang sekali bicara. Semua orang yang be-
rada di dalam ruangan itu terperangah begitu
mendengar keterangan Kanjeng Guru. Walau ba-
gaimanapun mereka harus mengakui bahwa laki-


Pendekar Hina Kelana 32 Pembalasan Maha Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laki berusia sembilan puluh tahun itu tahu banyak
tentang segala sesuatu yang dimiliki oleh orang
lain. "Sebenarnya siapakah pemuda berpenampilan aneh itu, Kanjeng Guru...?" Maha
Diraja Setan Bumi merasa penasaran sekali.
"Satu purnama yang telah lalu. Yaitu dua
hari sebelum aku membentengi istana ini dengan
'Kabut Kegelapan'. Aku melihat tanda-tanda orang
ini akan hadir di tempat kita. Justru yang sangat
mengherankan pemuda itu terus membayang-
bayangi semediku. Setelah kuselidiki, barulah aku
tahu bahwa ia masih merupakan titisan seorang
Raja di Negeri Alam Gaib sana. Dialah Pendekar
Hina Kelana yang memiliki kesaktian tidak teru-
kur...!" Kanjeng Guru berkata lambat-lambat.
Seluruh ruangan mendadak berubah hen-
ing. Semua orang yang berada di dalam ruangan
utama tenggelam dalam pikirannya masing-
masing. Di lain pihak, Maha Diraja Setan Bumi
merasa yakin bahwa pemuda berperiuk itulah
yang selalu datang dalam mimpinya dengan
membawa ancaman. Sekarang dia merasa me-
nyesal sendiri, mengapa waktu pemuda itu ben-
trok dengan para prajuritnya ia tidak cepat-cepat
mengambil tindakan"
"Kanjeng. Apakah tidak ada jalan lain dalam
menghadapi pemuda itu...?" tanya Maha Diraja Setan Bumi dengan alis berkerut.
"Pemuda itu memiliki berbagai kesaktian
dan juga senjata yang sangat hebat. Aku telah be-
rusaha melihat tenaga batinku tentang kelemahan
dari seluruh kesaktian yang dimilikinya. Tetapi
yang terlihat olehku justru seekor ular Piton ber-
mahkota yang sangat besar luar biasa...!" jelas Kanjeng Guru dengan wajah
sedikit pucat. "Maksudmu...!"
"Pemuda itu ternyata titisan Raja Negeri
Bunian. Sedangkan ular bermahkota itu mungkin
saja orang tuanya. Atau paling tidak merupakan
orang yang terdekat dengan pemuda itu...!" kata Kanjeng Guru berusaha menarik
kesimpulan. "Lalu mengapa justru ular itu yang muncul
ketika kau berusaha mencari titik kelemahan pe-
muda itu...?" tanya penguasa Kerajaan Iblis keheranan. Kanjeng Guru kerutkan
alisnya. Lalu ia ke-
lihatan menarik nafasnya dalam-dalam. Sebentar
kemudian ia telah melanjutkan kembali, "Boleh ja-di ular raksasa itu merupakan
pelindungnya yang
sewaktu-waktu dapat mencelakakan kita...!"
"Mustahil. Aku tidak percaya pemuda itu ti-
dak memiliki kelemahan...!" teriak Maha Diraja Setan Bumi tanpa sadar.
"Maaf muridku, semua apa yang kukatakan
itu hanyalah bersifat dugaan saja." jelas Kanjeng Guru. "Baiklah, tapi aku tidak
dapat tinggal diam."
ujar laki-laki itu, sebentar ia memandang pada si
Topi Terbang dan Gending Sora. Kepada orang-
orang ini Maha Diraja Setan Bumi memberi perin-
tah, "Kalian bertiga cari pemuda itu. Jika kalian bertemu dengannya jangan beri
kesempatan hidup...!" Si Topi Terbang, Asih Angraeni dan Gending Sora tanpa
berkata-kata lagi bergegas pergi.
*** 6 Pemuda itu baru saja meninggalkan sebuah
kecil di pinggiran lembah Ampar ketika pandangan
matanya yang setajam mata elang itu melihat ber-
kelebatnya sesosok tubuh berpakaian serba putih
tidak begitu jauh di depannya. Tanpa membuang
waktu lagi pemuda itu bergerak melakukan penge-
jaran. "Berhenti...!" perintah Buang Sengketa ketika jarak diantara mereka sudah
semakin bertam-
bah dekat. Namun orang yang dikejarnya terus sa-
ja berlari cepat tanpa menghiraukan pemuda itu
sama sekali. Dengan perasaan kesal Buang Seng-
keta terus melakukan pengejaran. Setelah menge-
rahkan ajian Sepi Angin, tak lama kemudian laki-
laki berpakaian serba putih itupun telah terkejar.
Bahkan sekarang Buang Sengketa telah mengha-
dang jalan yang akan dilalui oleh orang itu. Seka-
rang keduanya kelihatan sama-sama terkejut begi-
tu mereka telah saling berhadap-hadapan.
"Kau... kau...! Bukankah kita pernah berte-
mu beberapa waktu yang lalu?" ucap Buang Sengketa merasa heran.
"Ya...! Bahkan anda sempat bentrok dengan
adik seperguruanku...!" jawab laki-laki berpakaian serba putih yang tidak lain
Biksu Beng Lee adanya. "Ah... maafkanlah aku. Ketika itu diantara
kita hanya terjadi kesalahpahaman saja. Tapi bo-
lehkah aku mengajukan beberapa pertanyaan...?"
Laki-laki dari daratan Tiongkok itu hanya
tersenyum sambil menganggukkan kepalanya pe-
lan. Melihat penampilan laki-laki berkepala gundul itu, Pendekar Hina Kelana
secara sepintas sudah
dapat menduga. Bahwa sebenarnya orang yang di-
hadapinya kali ini merupakan seorang tokoh asing
berbudi luhur. "Sebenarnya apakah yang menjadi tujuan
anda sehingga berada di Jawa Dwipa ini?" tanya pemuda itu tanpa ragu-ragu lagi.
Sebaliknya tanpa
menaruh perasaan curiga Biksu Beng Lee lang-
sung menjawab. "Aku hanya seorang pendeta yang sengaja
datang dari negeri yang jauh sana untuk menun-
jukkan jalan yang lurus bagi siapa saja yang mau
menerimanya, tanpa ada paksaan sedikitpun juga.
Tetapi di luar dugaan orang-orang penunjuk jalan
Tuhan itu bahkan adik seperguruanku telah dibu-
nuh oleh sekelompok manusia keji yang menama-
kan dirinya sebagai Maha Diraja Setan Bumi.
Amiitaba... sungguh aku ingin menyelamatkan se-
kian banyak penduduk yang tidak berdosa itu.
Namun sangat disayangkan aku merasa tidak
mampu menghadapi mereka...!"
Mendengar disebut-sebutnya Maha Diraja
Setan Bumi, Pendekar Hina Kelana tersentak ka-
get. "Jadi apakah anda pernah bentrok dengan orang itu...?" desak Buang Sengketa
dalam ketidak mengertiannya.
"Belum lama ini aku pernah menyelidiki
bukit Neraka. Dan apa yang kudapatkan di sana
sungguh membuat aku benar-benar terkejut seka-
li. Aku merasa heran di daerah Jawa Dipa ini ada
seorang manusia yang memiliki ilmu sedemikian
hebatnya...!" kata Biksu Beng Lee terheran-heran.
"Apakah anda melihat para prajurit Kera-
jaan iblis yang dapat mereka bangkitkan setelah
mereka terkapar mati...!"
"Maaf kisanak...! Panggil saja aku, Beng
Lee...!" potong laki-laki bermata sipit itu sambil tersenyum ramah.
"Ah ya...! Saudara Beng Lee... apakah me-
nurut anda tiada cara lain lagi untuk menghan-
curkan mereka...?" tanya Buang Sengketa dengan mimik serius.
Penuh kearifan Biksu Beng Lee tersenyum-
senyum. "Sesungguhnya menurut mata hatiku.
Orang yang mampu menghancurkan mereka ha-
nyalah orang yang memiliki darah campuran.
Maksudku gabungan antara siluman dengan ma-
nusia biasa. Sayangnya... mungkin di kolong langit ini sangat langka orang yang
memiliki ciri-ciri seperti yang kusebutkan itu...!" jawab Biksu Beng Lee seolah
menyesali diri. Pendekar Hina Kelana
nampak terdiam agak lama sekali. Ia hanya mam-
pu menduga-duga tentang kebenaran yang di-
ucapkan oleh laki-laki itu. Namun sejak perte-
muannya pertama dulu (Dalam Episode Gerhana
Di Malam Jahanam). Laki-laki asing itu rasanya
memiliki watak yang jujur.
"Saudara Beng Lee! Seandainya ada orang
yang memiliki ciri-ciri seperti yang anda sebutkan itu. Benarkah orang itu dapat
menghancurkan kesaktian yang dimiliki oleh manusia iblis itu?"
"Begitulah menurut petunjuk Sang Hyang
Widi yang sampai kepadaku lewat wangsit" ucapnya bersemangat.
"Hemmm. Kalau begitu aku akan kembali
lagi untuk menghancurkan mereka...!" kata Pendekar Hina Kelana pasti.
Sekarang laki-laki asing itulah yang dibuat
terkejut. Bagaimana mungkin ia begitu berani
mengambil tindakan nekad. Sedangkan melihat
penampilan pemuda itu kelihatannya biasa-biasa
saja. Batin Biksu Beng Lee sambil memandang tak
percaya. "Sobat kuperingatkan padamu, jika kau me-
rasa tidak memiliki ciri-ciri seperti yang kuse-
butkan tadi. Alangkah lebih baik jangan teruskan
niatmu. Aku hampir merasa yakin jika kau me-
langgar peringatanku, mungkin saja kau akan
mendapat celaka...!" lagi-lagi Biksu Beng Lee dengan sikapnya yang arif memberi
peringatan. Namun sebelum pendekar keturunan Raja-
nya para siluman itu sempat berkata lebih lanjut.
Dari sebuah tempat yang agak jauh terdengar sua-
ra tawa yang disertai dengan ucapan-ucapan yang
menyakitkan. "Benar sekali apa yang dikatakan oleh kele-
dai gundul itu, pemuda gembel. Lebih baik kau ti-
dak usah datang ke bukit Neraka. Kalau kau tetap
keras kepala juga, kami minta agar kau mau me-
mikirkannya masak-masak. Jika tidak, kau pasti
tidak mungkin pernah kembali ke dunia ramai un-
tuk selama-lamanya...!" dengan terhentinya kata-kata yang diucapkan melalui
pengerahan tenaga
dalam itu. Maka beberapa saat setelahnya tiga so-
sok tubuh yang terdiri dari dua orang laki-laki dan seorang perempuan telah pula
menjejakkan kakinya tidak jauh dari tempat Buang Sengketa dan
pendeta Budha itu berdiri. Hanya dengan sekali
pandang saja, Buang Sengketa sudah dapat men-
genali salah seorang dari tiga orang pendatang itu.
Sedangkan Biksu Beng Lee yang pernah berhada-
pan dengan tiga orang pendatang itu nampak
mengerutkan alisnya.
"Saudara... inilah orang-orang yang telah
menjadi kaki tangan Raja Iblis itu. Bahkan aku
pernah bentrok dengan mereka...!" kata laki-laki dari dataran Tiongkok itu
sambil memperhatikan
lawan-lawannya. Sementara Buang Sengketa sen-
diri sejak dari tadi perhatiannya terus tertuju pada tiga orang pendatang itu.
Hingga pada akhirnya
terdengar suaranya yang begitu dingin dan menye-
ramkan. "Bicaramu setinggi langit, keparat bertangan
buntung. Engkau sendiri pernah melihat aku per-
nah datang ke bukit Neraka. Namun kenyataannya
hingga sampai hari ini aku masih dapat bernafas.
Dan kau...!" Buang Sengketa menudingkan telun-juknya ke arah si Topi Terbang dan
Asih Angraeni. "Kalian pastilah murid murtad yang berjuluk si Topi Terbang dan Asih Angraeni
yang telah begitu
lancang membebaskan manusia budak iblis itu...!"
Mendapat penghinaan sedemikian rupa, wa-
jah sepasang kekasih itu langsung berobah merah
padam. Sampai sejauh itu keduanya hanya dapat
menduga-duga pastilah pemuda yang telah mema-
ki mereka itu pernah datang ke Gunung Ungkur.
Atau setidak-tidaknya pernah bertemu dengan
Pramesta. Segalanya sudah kepalang tanggung,
karena ternyata pemuda berpakaian serba merah
ini mengetahui segala-galanya.
"Manusia pembawa periuk! Kudengar gem-
bel sepertimulah yang berjuluk Pendekar Hina Ke-
lana itu. Banyak sekali kalangan persilatan yang
merasa gentar begitu mendengar julukanmu. Huh,
tapi terhadap kami jangan sekali-kali kau bermim-
pi. Ketahuilah hari ini si Topi Terbang akan meng-
hapus keturunan Raja Siluman dari kolong langit
ini...!" bentak Sakapala alias si Topi Terbang dengan suara berapi-api.
Biksu Beng Lee spontanitas menoleh pada
Buang Sengketa ketika si Topi Terbang menyebut-
nyebut siapa sebenarnya pemuda yang berada di
sampingnya itu. Namun ia tidak berkata apa-apa.
Apalagi saat itu Buang Sengketa dengan wajah
merah padam nampak menggelengkan kepalanya
berulang-ulang.
"Sobat janganlah terlalu takabur engkau bi-
cara. Bisa-bisa nyawamu sendiri tidak dapat kau
selamatkan...!" teriak pendekar dari Negeri Bunian.
"Hiaaaat...!" dengan disertai jeritan tinggi melengking tubuh pemuda itu melesat
ke udara. Diterjangnya Sakapala dengan jurus-jurus silat
tangan kosong yang tidak perlu lagi diragukan ke-
hebatannya. Sakapala yang telah mendengar ke-
hebatan yang dimiliki oleh Buang Sengketa tidak
ingin bertindak setengah-setengah. Dengan mem-
pergunakan jurus Membelah Bayang-Bayang, si
Topi Terbang segera berkelebat menghindar.
"Daripada hanya menjadi penonton. Se-
baiknya kita gempur paderi gundul ini Ni Asih An-
graeni...!" kata Gending Sora sambil menerjang
Biksu Beng Lee.
"Kalianpun memang manusia yang perlu di-
lenyapkan dari permukaan bumi ini...!" balas laki-laki dari daratan Tiongkok itu
lalu memapaki se-
rangan yang dilakukan oleh Gending Sora dan
Asih Angraeni. Sementara itu pertempuran antara Buang


Pendekar Hina Kelana 32 Pembalasan Maha Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sengketa dengan si Topi Terbang telah mencapai
lima belas jurus. Masing-masing lawan mulai pula
mengerahkan jurus-jurus andalannya. Bahkan
sampai detik itu Pendekar Hina Kelana telah pula
mempergunakan jurus si Gila Mengamuk dan ju-
rus si Jadah Terbuang. Menghadapi serangan-
serangan yang sangat gencar itu. Mau tak mau
pemuda itu segera mencabut senjata andalannya
yang berupa Topi Terbang.
Hanya beberapa saat setelah itu, senjata
maut itupun mulai mengincar pertahanan lawan-
nya. Hanya dengan mengandalkan ilmu mengen-
tengi tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna
saja Buang Sengketa beberapa kali dapat meng-
hindari serangan-serangan senjata bergerigi itu.
Namun dengan cara menghindar seperti itu secara
praktis Pendekar Hina Kelana tidak dapat mem-
pergunakan jurus-jurus silat tangan kosongnya.
Siiing...! "Hiaaat...!" sekali lagi tubuh Buang Sengketa melesat ke udara saat mana senjata
di tangan Sakapala menerjang ke arah bagian kakinya. Ka-
rena serangan itu datangnya beruntun dan sulit
diduga-duga. Semakin lama pemuda itupun men-
jadi marah juga. Serta merta ia melompat menjau-
hi pertempuran. Di saat lain kedua tangannya te-
lah terangkap di depan dada. Beberapa detik sete-
lahnya tubuh pemuda itupun nampak bergetar
hebat. Sementara kedua tangannya telah menge-
pulkan kabut tipis. Melihat gelagat yang tidak baik ini. Karuan saja Sakapala
kembali menghantamkan Topi Baja bergerigi yang berada dalam geng-
gaman tangannya.
Singgg...! "Hiaaat... Wuuuus...!"
Begitu Buang Sengketa melontarkan tan-
gannya ke arah depan, maka pada saat itu serang-
kum gelombang yang berupa sinar merah menyala,
nampak melesat cepat ke arah Sakapala. Daerah
di sekitar pertempuran mendadak berobah menja-
di panas luar biasa. Tidak salah lagi karena pada
saat itu Buang Sengketa telah melepas pukulan 'Si
Hina Kelana Merana'.
Bledar...! Jreeng...!
Tidak dapat dihindari lagi pukulan maut
itupun menghantam Topi bergerigi milik Sakapala.
Bahkan tidak sampai di situ saja, pukulan yang di-
lepas oleh si pemuda terus melabrak tubuh Saka-
pala hingga menyebabkan tubuhnya terbanting ke-
ras dengan menderita luka dalam yang tidak rin-
gan. Buang Sengketa menarik nafas pendek. Di-
lihatnya senjata milik lawannya hancur berkeping-
keping. Pabila ia memandang ke arah Sakapala,
maka dilihatnya pemuda itu sedang menyeka da-
rah kental yang meleleh dari celah-celah bibirnya.
Buang Sengketa tersenyum sinis. Tanpa menghi-
raukan pertarungan yang terjadi antara Biksu
Beng Lee dengan dua orang pengeroyoknya. Pe-
muda inipun berkata, "Bangunlah manusia murtad. Bagimu masih ada jalan untuk
hidup, jika kau mau kembali ke padepokan Gunung Ungkur
untuk meminta maaf pada Pramesta...!"
Secara perlahan si Topi Terbang bangkit
berdiri, dengan sinis ia malah membentak marah,
"Kau jangan coba-coba mempengaruhiku, kepa-
raat! Lebih baik aku mengadu jiwa denganmu...!"
"Kukira tanpa senjata itu, kau tidak mung-
kin dapat berbuat banyak...!" Buang Sengketa
mencoba memberi peringatan. Namun usaha pe-
muda itu nampaknya sia-sia belaka. Karena bebe-
rapa saat setelahnya si Topi Terbang telah membu-
runya dengan pukulan mautnya.
"Ciaaa... hiaaat...!"
Melihat kenekatan Sakapala, Pendekar Hina
Kelana rasanya tidak perlu lagi mengulang perka-
taannya. Dengan mempergunakan tiga perempat
tenaga dalam yang dimilikinya. Maka pemuda itu
menghadang serangan ganas yang dilancarkan
oleh lawannya. Tidak dapat dielakkan lagi, bebera-
pa saat setelah itu dua kekuatan sakti itupun sal-
ing bertemu. "Bunk...! Bluaaarr...!"
Tubuh Pendekar Hina Kelana nampak terge-
tar hebat. Wajahnya berubah pucat pasi. Sementa-
ra darah mengalir dari celah-celah bibirnya. Tidak dapat disangkal lagi saat itu
Buang Sengketa memang mengalami luka dalam yang cukup serius.
Dengan cepat ia menghimpun hawa murni untuk
melancarkan peredaran darahnya. Secara perla-
han pemuda itu membuka matanya. Lalu tampak-
lah olehnya Sakapada telah terkapar di atas tanah
tanpa mampu bergerak-gerak lagi. Sepintas lalu
Buang Sengketa dapat melihat bahwa lawan yang
sekarang sedang ditangisi oleh kekasihnya itu su-
dah tidak bernyawa lagi.
Dalam pada itu pertarungan antara Biksu
Beng Lee dengan Gending Sora telah mencapai
puncaknya. Namun ketika dengan seksama pemu-
da itu hendak memberikan pertolongan, niat itu
diurungkannya. Karena secara pasti ia melihat
Gending Sora sudah menderita luka dalam yang
sangat parah. Apa yang diperkirakan oleh Buang
Sengketa ini tidak lama kemudian segera terbukti.
Saat itu tubuh Gending Sora yang dalam keadaan
sempoyongan nampak tidak mungkin lagi meng-
hindari tendangan telak mengarah dada yang dila-
kukan oleh Biksu Beng Lee.
"Buuuk...!"
"Arggkh...!" Gending Sora terpelanting roboh, namun yang menjadi lawannya terus
membu- ru sambil hantamkan tasbihnya mengarah bagian
kepala. "Wuuur! Prroook...!"
"Arrrrk...!"
Gending Sora mengeluarkan jeritan setinggi
langit saat mana kepalanya rengkah dihantam
senjata milik lawannya. Tubuh laki-laki bertangan
buntung itu berkelejat-kelejat untuk sesaat la-
manya, selanjutnya terdiam buat selama-lamanya.
Melihat kawan maupun kekasihnya tewas. Maka
dengan wajah ketakutan Asih Angraeni langsung
berlari cepat meninggalkan lawan-lawannya sambil
memanggul tubuh Sakapala
"Jangan dikejar...!" cegah Buang Sengketa, ketika melihat Biksu Beng Lee
bersiap-siap melakukan pengejaran. Begitu laki-laki itu menoleh ia
langsung berkata.
"Kau merupakan orang yang tepat untuk
menghancurkan Kerajaan iblis...!"
*** 7 Pramesta, Kurnia Dewi serta Cempaka pagi
itu telah sampai di kaki bukit Neraka. Namun ke-
tika mereka hendak mendaki ke puncak bukit itu,
tiba-tiba perasaan was-was menghantui diri mere-
ka. Karena pada kenyataannya mereka tidak meli-
hat sebuah singgasana atau bahkan bangunan
lainnya seperti yang didengarnya selama ini. Be-
narkah Kerajaan Iblis tidak bisa dilihat dengan
mata biasa pada siang hari" Dalam hati pemuda
itu bertanya-tanya. Kalaupun berita mengenai
singgasana itu memiliki sebuah kebenaran. Mung-
kin saja Pendekar Hina Kelana saat sekarang telah
tertangkap atau bahkan mengalami nasib lebih
mengerikan lagi. Boleh jadi Pramesta mengambil
kesimpulan seperti itu, karena sebelumnya Buang
Sengketa setelah melakukan penyelidikan di bukit
Neraka telah berjanji untuk kembali menemui me-
reka di padepokan Gunung Ungkur. Namun sete-
lah menunggu sekian lamanya. Ternyata Pendekar
Hina Kelana tidak juga kembali menemui mereka.
Sehingga mereka mengambil keputusan untuk
menyusul Buang Sengketa ke bukit Neraka. Seka-
rang mereka telah sampai di bukit Neraka. Namun
seperti apa yang mereka saksikan rasanya tidak
ada tanda-tanda kehidupan di sana.
"Bagaimana kakang! Kita tidak melihat apa-
apa di sini terkecuali hutan belukar itu...!" tanya Kurnia Dewi merasa hampir
putus asa. "Memang di bukit Neraka ini kita tidak me-
lihat apa-apa. Tapi mungkinkah berita yang terse-
bar di kalangan persilatan hanyalah berita bohong
belaka" Padahal kitapun sama-sama tahu telah
begitu banyak kaum persilatan yang datang ke
tempat ini tidak pernah kembali. Banyak orang
yang hilang raib di bukit ini. Mustahil kalau tidak ada sesuatu di sini semua
itu bisa terjadi!" jawab Pramesta begitu yakin.
"Mungkin kita telah datang pada tempat
yang salah. Sehingga kita tidak menemukan apa-
apa di sini...!" tukas Cempaka memberi pendapat.
"Sepanjang yang kuketahui bukit Neraka
hanya ada di sini. Aku merasa yakin sekali bahwa
kita tidak kesasar...?"
"Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanya Kurnia Dewi penuh perhatian.
"Untuk menyakinkan bahwa tidak terdapat
apapun di tempat ini. Ada baiknya kalau kita
mendaki ke atas sana...!" kata pemuda itu. Namun baik Kurnia Dewi maupun Cempaka
kelihatan menggelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Ada apa?" Pramesta diliputi ketidak mengertian.
"Aku tidak ingin melakukan pekerjaan sia-
sia...! Lagi pula untuk apa kita berlama-lama di si-ni, bukankah lebih baik kita
cari di tempat lain sa-ja!" bantah Kurnia Dewi.
"Mana mungkin! Bukit Neraka satu-satunya
hanyalah di tempat ini. Kalaupun kita mencarinya
di tempat lain. Kita tidak pernah menemukannya,
percayalah...!" sergah Pramesta tetap teguh pada pendiriannya. Pada saat
ketiganya sedang terlihat
dalam perdebatan itu. Tiba-tiba terdengar suara
orang tergelak-gelak.
"Huaa... ha... ha... ha...! Biasanya bocah perempuan memang lebih tolol dari
anak laki-laki.
Kau benar bocah! Bukit Neraka itu tidak ada dua-
nya selain di tempat ini...!" kata suara itu lugas.
Hanya Pramesta saja yang kelihatan mengerutkan
alisnya. Suara seperti itu rasanya pernah ia kenal.
Tetapi ia tidak ingat lagi di mana ia pernah men-
dengarnya. "Siapakah engkau...!" seru Kurnia Dewi
sambil memperhatikan daerah di sekitarnya. Na-
mun ia tidak melihat siapapun di tempat itu terke-
cuali mereka bertiga.
"Aku adalah orang yang mengawasi bukit
Neraka ini. Perlu kalian ketahui tidak seorangpun
dapat kembali ke dunia ramai, setelah sampai di
tempat ini...!" jawab suara itu dengan suara bergetar. "Hemm. Kelihatannya
menyeramkan sekali.
Huh. Tapi yang membuatku heran, mengapa Kera-
jaan Iblis seperti yang digembar-gemborkan orang
tidak kulihat sama sekali?" kata Pramesta menyelidik. "Ha... ha... ha...!
Kesaktian yang kau miliki belum cukup untuk menembus sebuah kegelapan,
orang muda! Kerajaan iblis terdapat di atas bukit
ini, tetapi kau tetap tidak akan dapat melihatnya
terkecuali kau mau bergabung dengan kami...!"
"Bangsat! Jika kami tidak mau bergabung
dengan kalian, apakah yang dapat kalian laku-
kan?" ejek Pramesta dan Kurnia Dewi hampir bersamaan.
Sekali lagi terdengar suara tawa tergelak-
gelak. Namun karena kali ini suara tawa itu diser-
tai dengan tenaga dalam yang tinggi. Tak ayal lagi suara itu menggema ke seluruh
penjuru bukit. Bahkan murid padepokan Gunung Ungkur dan
Cempaka terpaksa menutup indera pendengaran-
nya untuk menghindari akibat yang lebih fatal lagi.
"Kalian juga masih dapat melihat betapa
megahnya Kerajaan Iblis pabila telah berada di ne-
raka nanti...!" lanjut suara itu penuh ancaman.
"Kalau begitu kami akan mengadu nyawa
dengan kalian...!" bentak Pramesta. Namun belum lagi ketiganya sempat berbuat
sesuatu. Dari sebuah tempat berhembus angin kencang yang san-
gat dahsyat sekali menyerbu ke arah mereka. Tan-
pa dapat dicegah lagi dua orang diantaranya lang-
sung terpelanting roboh begitu tubuhnya terhan-
tam angin kencang berhawa dingin itu. Hanya
Pramesta saja yang masih mampu berdiri tegak ke-
tika mendapat terjangan badai topan yang sangat
dahsyat itu. Namun setelah hembusan angin ken-
cang itu kembali datang beruntun, sedikit demi
sedikit tubuh Pramesta mulai tergetar, bahkan se-
pasang kakinya yang membentuk kuda-kuda itu-
pun mulai terseret-seret. Murid padepokan Gu-
nung Ungkur itu segera melipat gandakan tenaga
dalamnya agar jangan sampai tubuhnya terbanting
roboh. Dalam keadaan yang serba tidak mengun-
tungkan itu. Suara gelak tawa kembali terdengar,
sementara hembusan angin terasa semakin meng-
gila. "Hebat! Kau mampu menahan tenaga sakti
'Badai Berhembus' milikku. Heh. Tapi yakinlah
kau bocah. Kau pasti tidak dapat bertahan pada
posisi seperti itu lebih lama lagi... lihatlah...!" dengan terhentinya kata-kata
suara itu, hembusan
angin bertambah hebat luar biasa. Dan ucapan
suara itu benar-benar terbukti. Karena tidak lama
setelah terjangan angin ribut itu, tubuh Pramesta


Pendekar Hina Kelana 32 Pembalasan Maha Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung terjengkang menyusul Kurnia Dewi dan
Cempaka yang sampai saat itu masih belum dapat
bangkit kembali akibat terlalu kerasnya hembusan
angin itu. Wrrrt...! Terdengar suara berderak keras. Tiba-tiba
hembusan angin yang sedemikian kencang jadi
terhenti seketika. Dengan cepat mereka yang sem-
pat roboh tergulung hembusan angin itu segera
bangkit kembali. Wajah mereka kelihatan pucat,
bahkan kemudian saling pandang sesamanya.
"Celaka! Benar-benar siluman iblis penge-
cut! Kalau tidak mana mungkin segala dedemit be-
rani berbuat namun tetap menyembunyikan di-
ri...!" maki Kurnia Dewi sambil mengatur jalan nafasnya. "Ha... ha... ha...!
Sudah kuperingatkan pada kalian, tidak ada gunanya melakukan perlawanan...!"
suasana menjadi hening sejenak. "Lebih baik kalian menyerah saja!" perintah
suara itu. Beberapa saat setelah itu berkelebat sosok tubuh,
dengan gerakan ringan sekali tahu-tahu di depan
mereka sekarang telah berdiri seorang laki-laki
berpakaian serba putih. Melihat penampilannya
mungkin saja laki-laki tua itu berumur sekitar
sembilan puluh tahun.
"Kek... ka.... kau...!" Pramesta bagai tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Orang tua itu tersenyum sinis. Sementara Kurnia Dewi maupun
Cempaka yang tidak mengerti siapa sebenarnya
laki-laki tua itu hanya diam saja.
"Matamu benar-benar jeli, bocah...! Dari se-
kian banyaknya murid-murid padepokan Gunung
Ungkur hanya kau seorang yang berpikiran cer-
das...!" dengus laki-laki berpakaian serba putih itu dengan sikap acuh.
"Eyang Guru...! Bedebah! Bertahun-tahun
kau menjadi manusia misterius di padepokan Gu-
nung Ungkur. Bertahun-tahun murid-muridmu
hanya dapat mengenali suaramu. Tidak disangka,
kiranya kau takut menunjukkan diri hanya karena
kau takut kebusukkanmu terbongkar...!" tukas
Pramesta dengan wajah merah padam. Sekarang
mengertilah Kurnia Dewi. Kiranya laki-laki yang
berdiri di hadapan mereka itu, yang selama berta-
hun-tahun menjadi seorang guru misterius ki-
ranya salah seorang tokoh sesat di Kerajaan Iblis.
"Kakang Pramesta. Manusia yang mengaku
sebagai Eyang Guru inikah yang selama ini menja-
di orang yang paling kita hormati?" tanya Kurnia Dewi sambil memandang Pramesta.
"Benar adikku! Eyang guru yang selama ini
kalian anggap sebagai manusia misterius dan pal-
ing mulia itu ternyata hanyalah seorang iblis yang sangat kejam...!" geram
Pramesta merasa sangat kecewa sekali.
"Jangan kalian salahkan aku!" bentak
Eyang Guru alias Kanjeng Guru. "Aku telah berbuat cukup baik pada kalian. Asal
kalian tahu sa-
ja, adapun aku mendirikan padepokan Gunung
Ungkur semata-mata hanya merasa kasihan ter-
hadap yatim piatu seperti kalian. Sungguhpun aku
merupakan manusia sesat, namun aku merasa te-
lah berbaik hati telah menurunkan kepandaian
yang kumiliki pada kalian...!"
Wajah Pramesta kelihatan semakin bertam-
bah memerah. Sekarang terbuktilah sudah apa
yang dicurigainya selama ini. Pantas saja selama
bertahun-tahun, orang yang mereka panggil Eyang
Guru itu tidak pernah menunjukkan muka sama
sekali, terkecuali hanya menyampaikan pesan-
pesan dalam kegelapan malam. Tidak dinyana, ki-
ranya orang yang mereka muliakan selama ini ha-
nyalah seorang tokoh sesat yang telah menyengsa-
rakan orang banyak.
"Puih. Siapa yang sudi menganggapmu se-
bagai guru kami. Sekarang aku merasa yakin se-
kali bahwa Sakapala telah bergabung dengan ka-
lian...! Keparaat! Kami telah tertipu mentah-
mentah. Terlebih-lebih adik-adik seperguruanku
yang lain. Aku bersumpah pasti akan membunuh
guru palsu sepertimu...!" teriak Pramesta sudah tidak dapat menahan kesabarannya
lagi. "Diam...!" Laki-laki tua renta itu balas membentak. Sekarang diperhatikannya
orang-orang yang berdiri tidak begitu jauh di hadapan-
nya satu persatu. Dengan suaranya yang serak, ia
pun kemudian berkata, "Aku tidak butuh penga-
kuan kalian, bocah-bocah tolol. Itu makanya aku
tidak pernah menunjukkan diri di hadapan kalian.
Sungguhpun telah bertahun-tahun aku menurun-
kan jurus-jurus silat pada kalian. Karena aku sa-
dar, seumur hidupku aku telah terlanjur menjadi
orang sesat. Lebih dari itu sejak dulupun aku telah bersumpah untuk tidak
mengangkat seorang mu-ridpun sampai akhir hidupku. Semua apa yang
kulakukan pada kalian hanyalah bagian terkecil
yang tidak memiliki arti, dari sekian banyak keja-
hatan yang pernah aku perbuat. Aku merawat ka-
lian karena kuanggap kalian merupakan orang-
orang yang tiada berdosa. Kalian menjadi yatim
piatu karena akibat pelampiasan balas dendam se-
seorang, yang juga pernah merasa kehilangan
orang-orang yang dicintainya. Orang tua kalianlah
yang telah mengeroyok kedua orang tuanya hingga
akhirnya hidup sebatang kara. Karena orang tua
kalian dianggapnya telah bersikap adil pada si
anak malang. Itulah sebabnya ia hanya melam-
piaskan dendamnya pada orang-orang yang men-
ganggap dirinya sebagai golongan lurus. Masih un-
tung orang itu mengangkat kalian menjadi murid-
muridnya. Padahal kalian merupakan anak-anak
dari musuhnya...!"
"Kalau begitu, kaulah orangnya yang telah
membunuh orang tua kami...!" teriak Pramesta dan Kurnia Dewi dengan mata
membelalak tidak
percaya. Sementara Cempaka yang tidak mengeta-
hui duduk persoalannya hanya diam saja.
Kini laki-laki renta itu tersenyum kecut.
Namun sorot matanya tetap liar berapi-api.
"Terus terang kuakui, sebenarnya akulah
orangnya yang telah membunuh orang tua dari se-
luruh murid padepokan Gunung Ungkur...!"
"Keparaat! Kalau begitu sekarang saatnya-
lah bagimu untuk menuai hasil perbuatanmu...!"
maki Pramesta. Saat itu mereka telah bersiap-siap
untuk menggempur laki-laki yang selama ini me-
reka sebut-sebut sebagai Eyang Guru itu. Meski-
pun mereka sadar, sangat kecil sekali kemungki-
nan bagi mereka untuk menjatuhkan laki-laki ter-
sebut. Kanjeng Guru juga sadar, pastilah bekas
murid-muridnya itu tidak akan tinggal diam begitu
saja, apalagi setelah ia menceritakan segala-
galanya di depan mereka. Begitupun dia masih
mau memberi peringatan.
"Jangan kalian lakukan itu. Aku bukanlah
tandingan kalian. Lebih baik urungkan. Aku masih
punya hati untuk memberi maaf pada kalian... se-
karang pergilah dari tempat ini sebelum Maha Di-
raja Setan Bumi mengetahui kehadiran kalian...!"
perintah laki-laki renta itu memberi kesempatan.
Namun mana mau murid-murid padepokan Gu-
nung Ungkur terima begitu saja. Kini tanpa meng-
hiraukan peringatan Kanjeng Guru. Kedua murid
itu dengan dibantu oleh Cempaka segera mener-
jang Kanjeng Guru.
"Eyang guru! Manusia iblis. Lebih baik kami
mati berkalang tanah, daripada harus hidup ber-
putih mata. Hiaaat...!"
Menyadari yang menjadi lawannya kali ini
adalah merupakan seorang tokoh yang memiliki
kesaktian luar biasa, bahkan telah mengetahui ke-
lebihan dan kekurangan jurus-jurus silat yang me-
reka miliki. Maka tak ayal lagi dalam gebrakan
pertama itu saja mereka telah mempergunakan
pedangnya untuk menggempur kakek tua itu. Se-
baliknya Pramesta telah berhasil menciptakan ju-
rus-jurus silatnya sendiri. Segera mempergunakan
jurus-jurus itu untuk merangsak lawannya.
Hanya dalam waktu yang sangat singkat
pertarungan sengitpun terjadi. Murid-murid pade-
pokan Gunung Ungkur sekarang telah mengerah-
kan segenap kemampuan yang mereka miliki. Tu-
buh mereka telah bermandi keringat, bahkan sen-
jata di tangan berkelebat menyambar laksana ki-
lat. Tetapi bagi Kanjeng Guru yang telah mengeta-
hui kelebihan dam kekurangan jurus silat lawan-
nya, dengan sangat mudah selalu berhasil meng-
hindari serangan mereka.
*** 8 Sampai sejauh itu hanya permainan pedang
Pramesta saja yang dianggap cukup berbahaya
oleh Kanjeng Guru, karena ternyata pemuda itu
mempergunakan jurus-jurus ciptaannya sendiri.
Sehingga sulit bagi laki-laki renta itu untuk mem-
baca gerak pedang di tangan bekas muridnya itu.
"Hiaat...!"
"Dess! Dess...!
Sekali saja Kanjeng Guru mengibaskan tan-
gannya, tidak ampun lagi Kurnia Dewi dan Cem-
paka terpelanting roboh. Tubuh mereka menghan-
tam sebatang pohon kering. Pohon itupun tum-
bang. Sementara darah kental mengalir deras dari
hidung dan mulut mereka. Dengan cepat kedua
gadis itu menghimpun hawa mumi untuk melan-
carkan jalan darah yang agak kacau akibat kiba-
san tangan Kanjeng Guru yang disertai pengera-
han tenaga dalam itu.
Di lain pihak Pramesta segera membuka ju-
rus-jurus andalannya. Kenyataannya ia sangat
marah sekali melihat adik seperguruannya menga-
lami luka dalam yang tidak ringan.
"Masih ada kesempatan bagi kalian untuk
meninggalkan tempat ini...!" sekali lagi laki-laki renta ini memberi peringatan.
"Lebih baik kami mengadu jiwa dengan-
mu...!" dengus Pramesta. Saat itu ia segera mempergunakan jurus 'Menembus
Kegelapan Mem- bongkar Topeng'. Jurus silat yang dimainkan oleh
Pramesta itu ternyata sangat berbahaya juga. Apa-
lagi saat itu pedangnya sudah bergerak cepat me-
nutup jalan gerak yang dilakukan oleh Kanjeng
Guru. Bahkan pedang ditangannya bagaikan see-
kor ular yang terus mengejar kemanapun lawan-
nya berusaha menghindar.
Mendapat tekanan-tekanan yang semakin
berat, sekarang Kanjeng Guru menjadi gelap mata.
Beberapa kali tubuhnya melentik ke udara. Begitu
sepasang kakinya telah menjejak ke atas permu-
kaan tanah. Detik selanjutnya Kanjeng Guru me-
nyongsong serangan pedang Pramesta dengan
mempergunakan jemari tangannya.
Nguuung...! Creeep...! Deeess...!
"Wuaaarghk...!"
Begitu ujung pedang itu tertangkap jemari
tangan Kanjeng Guru. Dengan mempergunakan
tangan kirinya ia menghantam dada Pramesta
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tidak
ampun lagi, tubuh pemuda itu terbanting keras.
Darah langsung menyembur dari mulutnya. Pada
saat itu Kanjeng Guru yang telah kehilangan kesa-
barannya itu segera memburu dengan tujuan
menghabisi jiwa bekas muridnya itu.
"Manusia tidak tahu di untung! Lebih baik
kalian mampus saja... Hiaaa...!" laksana kilat tubuh laki-laki renta itu menderu
ke arah Pramesta
yang nampak tertatih-tatih. Pada saat-saat yang
sangat kritis itu dari arah lain nampak berkelebat dua bayangan putih dan merah.
Bayangan putih bergerak menyambar tubuh Pramesta. Sedangkan
bayangan merah memapaki tangan Kanjeng Guru
yang terpentang bagai cakar burung Garuda.
"Duuuk...! Uhhh...!"
Kanjeng Guru mengeluh pendek. Tubuhnya
terhuyung-huyung beberapa tindak. Sementara
bayangan merah yang menggagalkan niat laki-laki
itu untuk membunuh bekas muridnya nampak
agak berubah pucat parasnya.
"Kau... siapakah kau ini...!" bentak Kanjeng Guru seperti sedang berusaha
mengingat-ingat sesuatu. Pemuda berpakaian merah yang tidak lain
merupakan Pendekar Hina Kelana. Tanpa mem-
perdulikan Kanjeng Guru, Buang Sengketa mem-
beri perintah pada Biksu Beng Lee, "Saudara! Tolong bantu Pramesta dan lain-
lainnya untuk me-
nyembuhkan luka dalamnya." katanya pelan.
Sekarang pemuda itu kembali berpaling pa-
da laki-laki tua renta dihadapannya.
"Huh guru macam apa engkau ini. Ternyata
dugaanku tidak keliru, karena kaulah bangsatnya
yang berdiri di belakang iblis itu...!" kata Buang Sengketa dengan sikap tenang.
"Kurang ajar. Engkaukah yang berjuluk
Pendekar Hina Kelana itu?" tanyannya ingin memastikan.
"Tak salah akulah orangnya yang berjuluk
si Hina Kelana. Kukira tidak ada lagi yang patut
kau ketahui dariku, karena aku yakin kau telah
mengetahui siapa aku ini. Sekarang bersiap-
siaplah kau untuk mampus...!"


Pendekar Hina Kelana 32 Pembalasan Maha Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jahanam. Dalam wangsit yang kuterima,
engkaulah kunyuk hina yang ingin menghancur-
kan Istana Iblis. Puih. Jangan mimpi sobat, kau
pasti menyesal telah datang ke wilayah kekuasaan
kami...!" "Banyak mulut. Hiaaat...!" teriak Pendekar Hina Kelana. Saat itu kakinya telah
melesat cepat bagaikan anak panah, menghantam bagian kepala
lawannya. Tetapi Kanjeng Guru yang telah menge-
tahui kehebatan yang dimiliki oleh lawannya sege-
ra melompat menghindari serangan berbahaya itu.
Sambaran angin kencang menderu di atas kepala
laki-laki itu. Sehingga menyebabkan rambutnya
yang sudah memutih itu berkibar-kibar.
"Huaaa...!" Kanjeng Guru melakukan serangan balasan yang tidak kalah hebatnya
dengan se- rangan yang dilakukan oleh Buang Sengketa.
Namun dengan mempergunakan jurus si
Gila Mengamuk, pemuda itu berhasil pula meng-
hindari tendangan kaki kanan lawannya. Melihat
pemuda itu dapat mengelakkan serangan 'Amarah
Iblis' yang sangat diyakininya. Kanjeng Guru san-
gat marah sekali. Dengan semangat menggebu-
gebu orang tua renta inipun terus meransak la-
wannya, Buang terus melayaninya dengan jurus si
Gila Mengamuk dan jurus si Jadah Terbuang seca-
ra silih berganti. Terkadang tubuhnya nampak
terhuyung-huyung bagai orang yang sedang ma-
buk. Namun di lain saat telah berkelebat lenyap
dengan gerakan-gerakan lincah. Apa yang dilaku-
kan oleh Pendekar Hina Kelana tentu saja mem-
buat bingung lawannya. Tetapi Kanjeng Guru bu-
kanlah dedengkot tokoh persilatan golongan sesat
kalau menghadapi serangan seperti itu saja ia te-
lah merasa patah arang.
Kini tanpa merasa sungkan-sungkan lagi
Kanjeng Guru segera mempergunakan jurus
'Tarian Iblis' dalam menggempur lawannya. Buang
Sengketa nampak terperangah melihat perobahan
jurus silat yang dimainkan oleh lawannya ini. Se-
kali waktu tubuh lawannya terbungkus kabut teb-
al, di lain saat meliuk-liuk bagai orang yang se-
dang menari. Setiap pemuda itu menghantamkan
pukulan maupun tendangan-tendangan kaki. Se-
rangan dahsyat itu dengan mudah dapat dihindari
oleh lawannya. Bahkan beberapa kali tubuh Pen-
dekar Hina Kelana terpaksa jatuh bangun menda-
pat serangan yang tiada diduga-duga itu. Melihat
serangan-serangan yang sedemikian gencar. Bah-
kan ia sendiri selalu gagal dalam menghantamkan
pukulan tangan dan kakinya. Sambil berlompatan
beberapa kali. Begitu berdiri, Buang Sengketa se-
karang telah menyilangkan kedua tangannya per-
sis di depan dada. Beberapa saat setelahnya kedua
tangan yang bersilangan itu mulai diselimuti kabut putih. Sementara lawannya
terus bergerak cepat
mengejar, kemanapun Buang Sengketa berusaha
menghindar. "Hiaaaa...!"
Dengan disertai jeritan tinggi melengking.
Pemuda itu hantamkan tangannya ke arah depan.
Tidak dapat dihindari lagi, serangkum gelombang
berwarna merah menyala serta menyebarkan hawa
panas luar biasa menghantam lawannya yang ma-
sih dalam keadaan berputar-putar itu. Laki-laki
renta tersebut terpelanting roboh. Wajahnya han-
gus menghitam. Sungguh mengherankan dengan
cepat ia bangkit kembali, bahkan sekarang lawan
balas melakukan pukulan jarak jauhnya. Angin
kencang menderu keras saat mana Kanjeng Guru
melontarkan tangannya ke arah si pemuda. Tubuh
Buang Sengketa hampir saja terlempar jatuh jika
pada saat itu ia tidak cepat-cepat mengerahkan
segenap tenaga dalam yang dia miliki.
Geraham si pemuda bergemeletukan mena-
han dingin yang tiada tertahankan. Apalagi saat
itu angin kencang terus berhembus menerpa tu-
buhnya. Masih untung Buang Sengketa kebal ter-
hadap berbagai jenis racun. Jika tidak mungkin
saja ia sudah tidak dapat bernafas lagi sampai saat itu. Begitupun ia merasa
tidak mungkin dapat bertahan lebih lama lagi ketika hembusan angin yang
diciptakan oleh Kanjeng Guru semakin keras
menghempas tubuhnya. Dengan perasaan geram,
Buang Sengketa segera mencabut senjata maut-
nya. Nguuung...!
Begitu terlihat sinar merah menyala nam-
pak berkelebat mengurung tubuh si pemuda, dis-
ertai suara raungan senjata di tangannya yang ti-
dak ubahnya bagai puluhan harimau terluka. Ma-
ka hembusan angin yang diciptakan oleh lawannya
nampak tertahan bahkan tidak mampu menembus
gulungan sinar merah yang terpancar dari senjata
Golok Buntung di tangan si pemuda.
Semakin cepat Buang Sengketa memutar
senjata andalannya itu, maka secara lambat na-
mun cukup pasti tubuh Kanjeng Guru mulai ter-
dorong ke belakang. Bahkan setelah berlangsung
agak lama, Kanjeng Guru terpaksa menarik balik
'Siulan Iblis' yang hampir membuat celaka Pende-
kar Hina Kelana.
"Kau benar-benar hebat titisan Raja Silu-
man." kata Kanjeng Guru, kecut. "Tapi jangan kira kau dapat mengalahkan aku...!"
berkata begitu la-ki-laki tua renta itu kembali menerjang. Buang
Sengketa tanpa berkata-kata lagi segera merang-
sak kaki tangan Kerajaan Iblis itu dengan senjata
ditangannya. Pertempuran kembali berlangsung.
Sampai sejauh itu Buang Sengketa tidak sempat
lagi berfikir bahwa Biksu Beng Lee, Pramesta,
Kurnia Dewi serta Cempaka saat itu telah menyer-
bu ke Istana Iblis.
Bahkan mereka yang baru saja mendapat
pengobatan dari Biksu Beng Lee itu sekarang telah
terlibat pertempuran sengit dengan prajurit-
prajurit Kerajaan.
Di lain pihak, Kanjeng Guru yang sedang
bertempur melawan Pendekar Hina Kelana itu ke-
lihatan semakin terdesak hebat. Bahkan laki-laki
itu merasakan betapa daerah sekitar pertempuran
menjadi sangat dingin sekali. Beberapa kali Kan-
jeng Guru berusaha menghindari sergapan-
sergapan yang dilakukan oleh lawannya. Hanya
dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh
yang telah mencapai taraf sempurna saja laki-laki
renta itu selalu luput dari maut. Namun ketika
Buang Sengketa mengeluarkan jeritan tinggi me-
lengking yang disertai dengan pengerahan Ilmu
Pemenggal Roh. Tidak dapat dihindari lagi, Kan-
jeng Guru menggeletar hebat. Seluruh perhatian-
nya sekarang terpecah belah. Akibat ajian yang di-
kerahkan oleh pemuda itu. Mempergunakan ke-
lengahan lawannya. Pada saat itulah Buang Seng-
keta menerjang lawannya dengan menghantamkan
senjata mautnya ke bagian tubuh Kanjeng Guru.
"Craas! Arrrgkh...!"
Hanya dengan sekali tebas, kepala laki-laki
renta itu langsung menggelinding di atas tanah.
Darah menyembur dari bekas tebasan kepala itu.
Hanya beberapa saat tubuh tanpa kepala tersebut
nampak terhuyung-huyung. Setelah semburan da-
rah dari bagian luka itu melemah. Tak ampun lagi
tubuh Kanjeng Guru tersungkur di atas tanah
berdebu. Buang Sengketa mengalihkan perhatian-
nya ke arah lain.
"Lebih baik aku mendaki ke atas bukit itu,
siapa tahu mereka telah meluruk ke sana tanpa
sepengetahuanku...!"
* * * Di dalam benteng Istana Iblis. Pertempuran
besar-besaran pun terjadi, empat orang pendatang
itu mendapat keroyokan dari sekian banyak praju-
rit Kerajaan dengan mempergunakan berbagai je-
nis senjata. Sungguhpun mereka adalah pendekar-
pendekar persilatan berilmu tinggi, namun meng-
hadapi sekian banyak prajurit yang memiliki tena-
ga bagai siluman itu. Mau tidak mau, mereka ha-
rus mengerahkan segenap kemampuan yang me-
reka miliki. Namun gempuran para prajurit itu ti-
dak ubahnya bagai air bah saja. Dua tiga orang
dapat mereka bunuh, tetapi yang datang malah
berlipat ganda jumlahnya. Apalagi mereka yang
tewas dapat kembali hidup setelah adanya suara
siulan dari dalam istana. Tentu saja hal ini sangat menyulitkan para penyerang
itu. Bahkan secara
lambat laun. Posisi mereka sekarang telah mulai
terdesak. Beberapa mata pedang di tangan praju-
rit-prajurit itu malah ada yang mengenai Kurnia
Dewi dan Cempaka. Keadaan di pihak penyerang
semakin bertambah kacau karena Biksu Beng Lee
dan Pramesta terpaksa bertempur sambil melin-
dungi dua orang gadis itu.
"Hiaaat...! Cincang tikus-tikus pengacau
ini...!" "Jangan beri kesempatan hidup...!" teriak para prajurit Kerajaan Iblis
sambung menyam-bung. Maka bagai serigala-serigala kelaparan,
orang-orang itu saling berlomba mengerubuti la-
wan-lawannya. "Arrgkh...!" Pramesta mengeluarkan jeritan tertahan manakala bagian punggungnya
tersam-bar ketajaman tombak lawannya. Namun dengan
gigih, mereka tetap berusaha mematahkan seran-
gan-serangan lawannya. Dalam keadaan terdesak
seperti itu, mendadak dari atas tembok benteng
terdengar jeritan tinggi melengking, menggetarkan
daerah sekitar Istana Iblis. Puluhan prajurit-
prajurit istana tersungkur roboh. Mereka keba-
nyakan tewas seketika itu juga. Bila dilihat dengan jelas, maka yang menyebabkan
kematian mereka
tak lain adalah akibat pengaruh lengkingan Ilmu
Pemenggal Roh. "Sobat-sobat semua! Kerahkanlah tenaga
dalam yang kalian miliki. Aku hendak mengun-
dang Maha Diraja Setan Bumi agar mau keluar da-
ri persembunyiannya...!" perintah Buang Sengketa.
Setelah itu pendekar keturunan Raga Alam Gaib
inipun kembali berteriak nyaring.
"Setan Bumi! Kau lihatlah orang-orangmu
yang tewas di tanganku. Apakah kau tidak malu
bersembunyi seperti seorang banci...!" teriaknya lagi. Di lain pihak empat orang
kawan lainnya telah menggempur para prajurit yang mulai kehilan-
gan nyali. "Aku menunggu kedatanganmu telah begitu
lama, sobat... Terimalah sambutanku...!" kata Ma-ha Diraja Setan Bumi mendengus
marah. Detik itu juga dari bagian jendela nampak
menyembur lidah api yang sangat panas dan men-
deru ke arah Buang Sengketa. Pemuda ini tentu
tidak tinggal diam, apalagi dia pernah mendengar
kehebatan dan kekejaman manusia iblis yang satu
ini. Dengan cepat ia dorongkan tangannya ke de-
pan. Serangkum gelombang berwarna Ultra Violet
melesat dari bagian telapak tangan Buang Sengke-
ta. Blaaam...! Terdengar suara ledakan yang sangat keras
manakala jilatan lidah api dan pukulan sakti yang
dilepaskan oleh Buang Sengketa saling bertemu.
Beberapa prajurit yang sedang terlibat pertarun-
gan di sekitar tempat kedua tokoh yang saling me-
lepaskan pukulannya nampak terlempar ke berba-
gai arah. Tubuh mereka hangus terbakar.
Bruaaak...! Dengan sekali tendang, bagian jendela besar
itupun porak poranda. Tubuh Maha Diraja Setan
Bumi melesat cepat menghampiri Buang Sengketa.
Hanya sebentar saja keduanya nampak saling ber-
pandangan. Laki-laki bertelanjang dada itu kemu-
dian bertanya, dengan suara keras, "Kaukah yang berjuluk Pendekar Hina
Kelana...?"
"Tidak salah, akulah Pendekar Hina Kela-
na...!" kata Buang Sengketa.
"Kau tahu hukuman apa yang akan kuberi-
kan padamu...?" tanya Maha Diraja Setan Bumi, dingin. "Tanyalah pada seluruh
orang-orangmu di neraka sana...!" teriak Buang Sengketa. Kemudian tanpa berkata-
kata lagi pemuda inipun segera
mencabut senjata andalannya yang berupa Golok
Buntung. Begitu senjata itu telah tergenggam di
tangan Buang Sengketa. Tidak ayal lagi pemuda
inipun segera menyerang lawannya. Apalagi ia sa-
dar betul seperti apa yang dikatakan oleh Biksu
Beng Lee, bahwa dalam menyerang tokoh iblis itu
tidak boleh mengulur-ulur waktu. Bahkan kalau
perlu dengan mempergunakan dua senjatanya se-
kaligus. Karena pada hari itu merupakan hari naas
tokoh iblis tersebut. Bulan dua belas, Buang
menggumam. Sekali ia mendongakkan kepalanya
ke atas langit. Inilah saat yang sangat tepat, gu-
mamnya "Hiaaat...! Nguuung...!" golok di tangan pemuda itu mendengung. Bahkan sekarang
telah berkelebat menyambar ke arah lawannya. Maha
Diraja Setan Bumi kiranya menyadari bahwa la-
wannya benar-benar telah mengetahui kesaktian-


Pendekar Hina Kelana 32 Pembalasan Maha Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya akan melemah pada hari itu. Tanpa ampun
begitu senjata lawan menyambar. Ia langsung
membanting tubuhnya ke samping kiri. Tetapi
yang membuat Buang Sengketa terheran-heran.
Mengapa tokoh sesat yang dikenal sangat ganas
itu tidak sehebat yang dibayangkannya. Bahkan
tidak sehebat apa yang dikatakan oleh Biksu Beng
Lee. Tetapi ia sudah tidak dapat berpikir sampai
sejauh itu. Sekali lagi ia menerjang lawannya yang masih dalam keadaan
terguling-guling.
"Hiaaat... Jraaas...!"
"Argggkh...!"
Tubuh Maha Diraja Setan Bumi berkelojo-
tan beberapa saat lamanya. Kemudian terdiam
dengan jiwa melayang. Buang Sengketa baru saja
hendak menarik nafas, ketika terdengar suara ta-
wa tergelak-gelak.
"Kau keliru Hina Kelana. Tidak semudah itu
membunuhku. Yang kau bunuh itu hanyalah sa-
lah seorang bawahanku. Ketahuilah, aku akan
menjadi lawanmu yang tiada terkalahkan hingga
akhir jaman. Istana ini boleh runtuh, namun Maha
Diraja Setan Bumi akan tetap hidup untuk sela-
ma-lamanya...!" suara itu tiba-tiba lenyap. Begitu juga halnya dengan istana
iblis. Sekarang yang terlihat hanya mayat-mayat yang bergelimpangan.
Sedangkan biksu Beng Lee, Pramesta, Kurnia Dewi
dan Cempaka, hanya saling pandang sesamanya
tanpa berkata apa-apa.
"Kuterima tantanganmu, manusia sesat!"
gumam Buang Sengketa. Lalu melangkah pergi.
TAMAT Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Document Outline
TAMAT Jejak Di Balik Kabut 23 Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Kilas Balik Merah Salju 3
^