Pencarian

Teror Si Pedang Kilat 1

Pendekar Hina Kelana 33 Teror Si Pedang Kilat Bagian 1


TEROR SI PEDANG KILAT
Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Teror Si Pedang Kilat
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Hanya dengan sekali berkelebat orang-orang
yang berada di dalam warung itu tersungkur roboh.
Tidak seorangpun diantara mereka yang tersisa
hidup. Terkecuali pemilik warung yang bersembunyi di sudut ruangan dengan tubuh
menggigil ketakutan. Laki-laki tua bertopi lebar dengan
rambut riap-riap itu melirik sebentar dengan sikap angker. Sekali lagi tongkat
di tangannya yang
berbentuk sebuah ukiran berhala itu diketukkannya di atas sebuah meja. Sesaat
meja yang dijadikan
tumpuan tongkat itu pun tergetar hebat.
Braaak...! Meja panjang yang tersedia di warung
tersebut hancur berantakan. Semakin bertambah
pucatlah tubuh pemilik warung itu, keringat dingin terasa membasahi punggung
bajunya. Bahkan tanpa
disadarinya laki-laki berusia tiga puluh tahun itu sampai terkencing di dalam
celana. Dalam keadaan
ketakutan seperti itu, secara tiba-tiba laki-laki bertopi lebar tersebut
memanggilnya. "Hei... cepat kau kemari...! Atau aku harus
mengobrak-abrik seisi warungmu ini...!" bentak laki-laki berwajah buruk itu
tanpa menoleh sedikitpun
juga. Dengan langkah gemetaran pemilik warung itu datang menghampiri.
"Ss... saya tuan. Apakah yang dapat saya
bantu...?" tanyanya dengan suara gemetar. Laki-laki bertopi lebar itu hanya
melirik sebentar, kemudian dengan suaranya yang serak.
"Cepat kau sediakan makanan yang paling
enak di warungmu ini untukku...!" perintahnya sambil menghampiri sebuah meja
lain lalu duduk di sana. Sementara pemilik warung itu tanpa berani
membantah segera bergegas ke belakang untuk
menyediakan makanan yang dipesan oleh laki-laki
bertampang seram tadi. Hanya beberapa saat
kemudian pemilik warung itu telah datang kembali
dengan membawa sebuah nampan yang berisi
berbagai jenis makanan serta beberapa guci arak
wangi. Setelah selesai menghidangkan makanan,
pemilik warung itu bermaksud segera meninggalkan
laki-laki bertopi lebar itu. Namun baru saja ia
hendak memutar langkah. Laki-laki itu kembali
membentaknya. "Tunggu dulu, pelayan goblok!" sekarang bagian krah pakaian pemilik warung telah
berada dalam cengkeraman tangan si laki-laki bertopi.
Sudah barang tentu pemilik warung itu semakin
bertambah ketakutan saja. Namun sebelum ia
sempat berkata apa-apa, laki-laki bertopi itu telah melanjutkan kata-katanya,
"Cepat kau singkirkan tikus-tikus yang sudah pada mampus itu...!"
"Ba... baik tuan...!" dengan tergesa-gesa pemilik warung yang sudah dicekam
ketakutan itu mengerjakan apa yang diperintahkan oleh
pendatang tak dikenal tersebut. Sementara laki-laki bertopi lebar itu mulai
menyantap pesanannya. Si
pemilik warung hanya sempat menghitung jumlah
korban tidak lebih dari enam orang. Masing-masing mayat itu mengalami luka yang
cukup parah. Tapi ia tidak dapat memastikan senjata apakah yang telah
dipergunakan oleh laki-laki bertopi lebar itu.
Sehingga begitu muncul enam orang itu langsung
tersungkur roboh. Dengan menahan perasaan mual
karena bau amis darah serta bagian isi perut yang memburai dari tubuh mayat-
mayat itu. Laki-laki
itupun segera mengusung mayat-mayat tadi keluar
warungnya. Tidak lama kemudian dengan perasaan
takut-takut ia telah kembali lagi ke dalam
warungnya. Si laki-laki bertopi lebar itu tidak
sedikitpun menoleh kepadanya. Keadaan hening
mencekam. Sekarang pemilik warung tersebut telah
terduduk di sudut ruangan, wajahnya yang pucat
terus menunduk. Dalam keadaan seperti itu tiba-
tiba angin kencang berhembus menerobos dari
bagian pintu depan warung itu. Tiupan angin itu
semakin lama semakin bertambah kencang seiring
dengan berkelebatnya dua sosok tubuh seorang
kakek tua dengan seorang gadis yang berusia masih begitu muda.
Jleeekgh...! Dua orang pendatang itu langsung
memperhatikan suasana di dalam warung. Begitu
pandangan mereka mengarah ke bagian lantai.
Mereka melengak, lalu cepat-cepat beralih pada laki-laki bertopi lebar yang
sedang sibuk menikmati
hidangannya. "Mungkin dialah orangnya yang telah
melakukan pembantaian keji ini. Ah, masa bodoh.
Itu urusannya, bukan urusanku...!" batin kakek tua itu. Seraya bersama gadis
cantik di sebelahnya
segera pula mengambil duduk dekat jendela.
"Pelayan...!" teriak gadis berpakaian serba ungu sambil memandang pada laki-laki
berusia tiga puluhan itu dengan kedua mata melotot.
"I... iya tuan dan nona! Apa yang dapat sa...
saya lakukan untuk anda berdua?" tanyanya dengan wajah menunduk dan suara
terbata-bata. "Tolong kau sediakan makanan yang lebih
enak dari makanan yang di sediakan untuk tikus
buduk bertopi itu...!"
"Ba... baik nona. Aku akan menyediakan-
nya...!" pemilik warung itu dengan tergopoh-gopoh segera meninggalkan mereka.
Sementara laki- laki bertopi lebar yang disebut-sebut sebagai tikus
'Buduk', serta merta mengurungkan niatnya untuk
melahap sisa terakhir hidangan yang tersedia. Tanpa menoleh sedikitpun, laki-
laki itu berucap dalam
luapan kemarahan yang tertahan-tahan.
"Sungguh manusia yang tidak tahu adat telah
begitu berani menghina dedengkot persilatan seperti aku...! Iblis Liang Kubur!
Apakah kau tak pernah
mendidik muridmu dalam bersopan santun...?"
sentak laki-laki bertopi lebar itu penuh teguran
keras. Mengetahui laki-laki bertopi lebar itu
mengenal julukannya. Sudah tentu kakek tua
berambut putih berpakaian tambal-tambal ini
menjadi sangat terkejut sekali. Padahal sungguhpun ia merupakan seorang tokoh
yang sangat dikenal
karena kekejamannya dalam membasmi golongan
putih. Namun penampilannya yang sesungguhnya
sangat jarang orang yang tahu. Sekarang seorang
laki-laki yang menyembunyikan wajahnya di bawah
topi lebar itu malah tahu siapa dirinya. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang
sangat luar biasa.
"Kisanak! Siapakah engkau. Rasanya kita
belum pernah bertemu, namun kau telah mengenal
julukanku...!" kata si kakek tua yang memiliki julukan Iblis Liang Kubur itu
masih dalam keheranannya. Tetapi keadaan seperti itu tidak berlangsung
lama, setelah laki-laki bertopi lebar itu membuka topinya sehingga menampakkan
rambutnya yang menjuntai sampai ke pinggang. Maka berserulah
kakek rambut putih serta gadis yang berada di
sisinya. "Sahabatku, Burung Hantu...! Ahh... sudah
sangat lama sekali kita tidak bertemu...!" kata Iblis Liang Kubur.
"Aha... ha... ha...! Semakin tua kau semakin bertambah keriput dan jelek, Iblis
Liang Kubur. Di samping itu matamupun bertambah lamur...!" seru si Burung Hantu
tetap berada di tempatnya.
Sementara itu kakek tua berambut serba putih itu
sudah bergerak dengan maksud menghambur ke
arah si Burung Hantu. Namun langkahnya jadi
terhenti bagai ada sebuah kekuatan yang
menghadangnya. Di tempat duduknya si Burung
Hantu nampak tersenyum tipis.
Kampret. Manusia tengik itu sengaja hendak
mempermainkan aku. Membatin si kakek rambut
putih, di luar dugaan ia melambaikan tangannya.
Lambaian tangannya itu bukanlah satu gerakan
sembarangan, karena ia menyertakan tenaga dalam
untuk mengatasi serangan si Burung Hantu.
Wuuus...! Sambaran angin keras menderu ke arah si
Burung Hantu. Sehingga membuat laki-laki bertopi
lebar itu terhenyak dari tempat duduknya. Tubuh
Iblis Liang Kubur terdorong beberapa tindak ke
belakang. "Wuah kampret! Tingkah konyolmu rupanya
masih belum juga hilang sejak dulu, Burung
Hantu...!" maki si kakek berambut putih. Sekali lagi tubuhnya melayang. Maka
sekarang ia telah duduk
di atas meja persis di hadapan si Burung Hantu.
"Manusia bangkotan tidak tahu adat!
Braaak...!" begitu mengucapkan kata-katanya si Burung Hantu menggebrak meja yang
diduduki oleh Iblis Liang Kubur. Meja hancur berantakan. Namun
tubuh kakek tua itu laksana kilat melesat ke arah meja yang terletak di
sebelahnya. Dengan sikap
tenang, sekarang ia telah duduk di tempat itu.
"Hemm. Tidak kusangka semakin tua engkau
semakin berisi saja, sobat...!" gumam si Burung Hantu sambil meneguk arak di
dalam bumbung bambu di tangannya hingga tidak bersisa sama
sekali. "Kakek, Uwa Burung Hantu! Kalian jangan terus berkelakar, aku sudah
sangat lapar sekali...!"
tukas gadis berpakaian ungu itu merasa kesal
melihat ulah guru maupun si laki-laki bertopi lebar yang sudah sangat
dikenalnya. Si Burung Hantu
melirik sekilas pada gadis berwajah rupawan itu
dengan pandangan berbinar.
"Kalau tak salah bocah ini muridmu yang
bernama Pertiwi itu bukan?" tanya si Burung Hantu sambil berpaling pada si kakek
berambut putih.
"Tidak salah, dialah muridku satu-satunya.
Kau lihat betapa ia memiliki kecantikan melebihi
putri-putri kerajaan, bukan...?" kata Iblis Liang Kubur bangga.
"Hemm. Betul, aku yakin ia akan menjadi
ratu semua golongan sesat...!" si Burung Hantu menimpali.
Sementara gadis berpakaian serba ungu yang
bernama Pertiwi itu kelihatannya sudah tidak sabar lagi menunggu pesanan datang.
Dengan wajah memberengut ia kembali menggebrak meja.
"Pelayan! Lambat sekali kerjamu. Apakah kau
sudah bosan hidup...!" ternyata meskipun gadis itu memiliki wajah cantik jelita,
namun wataknya begitu keras. "Ss... saya baru selesai menyiapkan makanan yang
nona pesan...!" dengan gugup pemilik warung itu menghidangkan makanan yang
dipesan oleh Iblis Liang Kubur dan Pertiwi pada meja yang berlainan.
Kenyataannya memang pada saat itu, Pertiwi duduk
sendirian di depan jendela. Sedangkan si kakek
berambut putih duduk semeja dengan sahabat
karibnya si Burung Hantu.
"Pekerjaanmu terlalu lamban, laki-laki
goblok!" bentak Pertiwi. Bersamaan kata-katanya itu dengan mempergunakan tenaga
dalam yang cukup
tinggi, gadis berwatak telenggas itu mendorongkan tubuh si pemilik warung,
hingga menyebabkannya
jatuh terguling-guling setelah sebelumnya sempat
melabrak meja. Pemilik warung itu mengaduh
kesakitan. Bagian punggungnya mengalami luka
memar akibat menghempas pinggiran meja. Melihat
apa yang di alami oleh si pemilik warung, Pertiwi nampak menyunggingkan seulas
senyum sinis. "Cepat berlalu dari hadapanku...!" bentak gadis berwatak kejam itu dengan mata
melotot. Melihat gelagat yang tidak baik ini tentu saja pemilik warung tidak mau
mengambil resiko. Dengan
langkah terhuyung-huyung ia segera berlalu dari
hadapan ketiga pendatang sadis itu.
Selanjutnya tanpa menghiraukan apa yang
sedang dibicarakan oleh gurunya dan si topi lebar.
Gadis cantik yang bernama Pertiwi itu menyantap
pesanan yang terhidang di atas meja dengan
lahapnya. "Angin apa yang membuatmu meninggalkan
Lembah Darah, sahabat Burung Hantu?" tanya Iblis Liang Kubur sambil meneguk
araknya. "Engkau sendiri yang hampir tersungkur ke
liang kubur. Tapi hari ini malah berkeliaran di dunia ramai ada keperluan
apakah...?" si Burung Hantu balik bertanya. Sementara itu perhatiannya tetap
tertuju pada Pertiwi yang kelihatan sibuk melahap makanannya.
Iblis Liang Kubur meskipun mengetahui apa
yang menjadi pusat perhatian sahabat karibnya itu hanya menggelengkan kepalanya.
Ia menyadari sahabatnya yang satu ini termasuk laki-laki mata
keranjang. Bahkan tak segan-segan ia melakukan
pemerkosaan di mana-mana. Namun kakek tua
berambut putih merasa yakin, Burung Hantu tidak
ingin bertindak gegabah pada Pertiwi. Apalagi bila mengingat Pertiwi merupakan
murid tunggal Iblis
Liang Kubur.

Pendekar Hina Kelana 33 Teror Si Pedang Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Burung Hantu...! Aku dulu pernah
bersumpah untuk tetap tinggal di Bukit Setan
sampai akhir menutup mata. Namun sumpahku itu
terpaksa kucabut kembali setelah mendengar
keganasan sepak terjang pendekar golongan lurus
yang bertindak di luar periblisan...!"
Laki-laki bertopi lebar itu langsung tergelak-
gelak demi mendengar apa yang dikatakan oleh
sahabatnya itu.
"Sampai dunia kiamat, sumpahnya para iblis
mana dapat dipercaya...! Lagi pula siapakah
pendekar golongan lurus yang kau maksudkan itu?"
lanjutnya kemudian. Sekali lagi Iblis Liang Kubur meneguk tuaknya hingga tinggal
setengahnya. Mata
laki-laki itu sekarang telah berubah kemerah-
merahan, begitu juga dengan wajahnya. Namun
justru dengan keadaannya yang seperti sekarang ini penampilan kakek berambut
putih itu semakin
bertambah menyeramkan.
"Orang yang telah begitu berani
mepecundangi golongan kita itu katanya seorang
pendekar yang menamakan dirinya si Hina Kelana.
Orang itu kabarnya juga telah bermusuhan dengan
orang-orang segolongannya sendiri. Namun patut
kita perhitungkan pendekar itu akan sangat
berbahaya dengan senjata andalannya yang berupa
pusaka Golok Buntung dan cambuk Gelap
Sayuto...!" kata si kakek rambut putih dengan suara parau. "Lha dala...!
Bagaimana mungkin seorang pendekar golongan lurus selain membantai para
tokoh sesat, namun juga membantai orang-orang
segolongannya sendiri. Hanya orang gila saja yang berbuat seperti itu...!" tukas
si Burung Hantu dengan suara berapi-api.
"Mengapa kau bicara begitu?" Iblis Liang Kubur tak mengerti.
"Kau sendiri tahu! Sesama golongan kita
belum pernah bermusuhan. Terkecuali tindakan
mereka yang keterlaluan. Jangankan mereka itu di
kenal sebagai kaum persilatan yang terkenal jujur.
Mana ada seorang pendekar membunuh sesama
kaumnya sendiri...!" tukas si Burung Hantu sambil tersenyum-senyum.
"Pendekar Hina Kelana! Hemm... selama ini
aku mendengar nama kebesarannya itu dari kabar
angin belaka. Bahkan kehebatan yang dimilikinya
konon melebihi seorang tokoh manusia setengah
dewa si Bangkotan Koreng Seribu. Kalau memang
benar ia merupakan seorang tokoh golongan putih.
Mustahil orang itu mau membantai sesama
golongannya sendiri...!" gumam Iblis Liang Kubur seperti pada dirinya sendiri.
"Wua...ha...ha...ha...! Jangan kau samakan
pendekar Golok Buntung dengan si Bangkotan
Koreng Seribu yang melegenda sejak ratusan tahun
yang silam. Manusia yang berdiam di Tanjung Api
itu menjadi ditakuti oleh orang-orang rimba
persilatan karena ketegasannya dalam membasmi
golongan hitam yang terlibat dalam kejahatan.
Sedangkan orang yang berjuluk Pendekar Hina
Kelana itu kurasa bukanlah seorang pendekar sejati.
Bahkan kudengar golongan putihpun sekarang telah
menjadikannya sebagai seorang buronan...!" kata si Burung Hantu ketus.
"Berita yang kudengar terlalu simpang siur!
Sebelum segala-galanya terlambat. Ada baiknya
kalau sekarang kita mulai mencari orang itu...!" Iblis Liang Kubur nampaknya
sudah merasa tidak
sabaran lagi. Sedangkan si Burung Hantu melirik
pada Pertiwi yang baru saja selesai menyantap
hidangannya. Kelihatannya ada sesuatu yang
disembunyikannya oleh laki-laki berusia lima
puluhan dari Lembah Darah ini. Hanya dia
sendirilah yang mengetahuinya.
"Kita mau ke mana, guru...?" tanya Pertiwi tanpa menghiraukan si Burung Hantu
yang terus melirik kepadanya. Pada hakekatnya meskipun
murid seorang tokoh sesat, namun Pertiwi
merupakan seorang gadis lugu yang belum
mengetahui kelicikan sifat laki-laki.
"Jangan banyak tanya! Ayo kita segera
berangkat...!" kata Iblis Liang Kubur. Usai dengan kata-katanya itu si kakek tua
rambut putih dengan diikuti oleh si Burung Hantu dan Pertiwi segera
meninggalkan tempat itu.
2 Gunung Gendeng nampak berdiri kokoh
dengan angkuhnya. Udara menjelang tengah hari
terasa panas bukan main. Karena musim kemarau
yang panjang selama beberapa tahun terakhir. Maka pemandangan di sekitar lereng
gunung Gendeng terasa gersang. Dalam suasana panas yang cukup
terik, seorang pemuda berwajah tampan dengan
rambut di kuncir nampak sedang menelusuri jalan
setapak di pinggir lereng gunung Gendeng. Sesekali butiran keringatnya menetes
deras membasahi
pakaiannya yang berwarna merah. Di lain saat
matanya yang setajam mata elang itu setengah
dipicingkan untuk dapat melihat ke arah lebih jauh lagi. "Uhh! Panas bukan main.
Panas begini aku jadi ingin mandi, tapi aku yakin sungaipun pasti
kering. Memang serba salah jadi manusia, pabila
hujan orang akan meminta panas, pabila panas
orang malah meminta hujan. Hujan panas, panas
hujan. Hanya merupakan irama musim belaka,
masa bodoh. Bukan wewenangku membagi hujan.
Ahh... lapar...!" gumam pemuda berpakaian merah itu sambil membuka periuk besar
yang selalu di bawanya ke manapun ia melangkah.
Breeng! Terdengar beradunya benda mustika. Buang
Sengketa memang menutupkan periuk itu kembali
ketika ia tidak melihat dendeng lumba-lumba di
dalam periuk itu. Namun setelah pemuda itu
teringat sesuatu, barulah ia menepuk-nepuk
keningnya beberapa kali.
"Mengapa menjadi tolol! Bukankah makanan
yang kumiliki telah kubagi-bagikan pada penduduk
yang kelaparan di desa Dumai. Masa bodoh...!" pelan sekali suara Pendekar Hina
Kelana. Pemuda titisan Raja Ular Piton Utara dari
Negeri Bunian ini terus mengayunkan langkahnya.
Semakin lama langkah-langkah kaki Buang
Sengketa semakin bertambah cepat. Bahkan ia telah bersiap-siap mempergunakan
ilmu lari cepatnya
yang berupa ajian 'Sepi Angin'. Ketika secara tiba-tiba dari arah sebelah Utara
jalan yang dilaluinya terdengar suara jeritan-jeritan maut. Tanpa berpikir
panjang lagi Pendekar Hina Kelana pun dengan
mempergunakan tenaga dalamnya segera berlari
cepat menuju tempat terjadinya keributan.
Hanya dalam waktu sekejap saja Buang
Sengketa telah sampai di tempat kejadian. Begitu
pemuda ini menginjakkan kakinya di atas
sebongkah batu besar, maka terbelalaklah kedua
matanya. Bagaimana tidak, persis di pertengahan
lereng gunung Gendeng terlihat mayat-mayat
bergelimpangan tumpang tindih tidak karuan.
Mereka yang tewas itu berjumlah tidak kurang dari dua puluh orang. Ketika Buang
Sengketa memperhatikan daerah sekitarnya. Ia tidak melihat siapapun di sana. Namun
beberapa saat kemudian
perhatian Buang Sengketa telah beralih pada sosok tubuh yang menggeletak pada
tempat yang agak
terpisah. Dengan sangat berhati-hati pemuda itu me-
langkah ke sana. Keadaan mayat itu tidak jauh beda dengan keadaan mayat-mayat
lainnya. Bagian
kepala hampir terlepas dari lehernya, sedangkan
bekas luka nampak bergerigi, seolah senjata yang
dipergunakan untuk membunuh orang-orang itu
merupakan senjata yang tidak tajam. Lebih dari itu bagian perut orang tersebut
memburai keluar
bercampur dengan genangan darah. Bahkan
pemuda keturunan Raja dari Negeri Alam Gaib itu
terpaksa memalingkan wajahnya sebentar ke arah
lain demi melihat keadaan mayat itu.
Namun setelah itu si pemuda segera
memungut selembar daun lontar yang terletak di
bagian dada mayat berpakaian serba biru itu. Dan ia semakin bertambah kaget
ketika melihat tulisan
yang tertera di atas daun lontar itu. Dengan wajah berubah pucat, Buang Sengketa
segera membacanya. Kepada semua golongan kaum persilatan!
Adapun orang yang bertanggung jawab dalam
pembantaian ini adalah aku, Pendekar Hina Kelana.
Buat golongan manapun yang tidak senang dengan segala sepak terjangku. Kalian
boleh mencariku.
Karena sesungguhnya aku sangat mengharapkan
tantangan kalian...!
Tertanda Pendekar Hina Kelana.
Mendidih darah Buang Sengketa ketika
selesai membaca surat yang di tulis di atas daun
lontar itu. Dengan kemarahan yang meluap-luap.
Pemuda itu langsung meremas daun lontar tersebut
hingga hancur berkeping-keping.
"Dewata yang agung! Oh... keparaaat! Fitnah!
Fitnah yang sangat keji. Para Dewa di atas sana.
Apakah dosaku sehingga ada orang yang begitu tega memfitnahku. Jahanam, seumur
hidup aku belum
pernah melakukan pembantaian seperti ini." geram Buang Sengketa dalam
kemarahannya yang tiada
tertahankan lagi. Pemuda itu sekarang nampak
menundukkan wajahnya dalam-dalam, tubuhnya
bergetar menahan marah, dadanya terasa sesak
sekali. Dalam kemarahan yang sudah tiada
terkontrol lagi, maka unsur siluman di dalam
tubuhnya pun mulai mengambil peranan besar.
"Uaahhh... Heiiikhh...!"
"Shaaaat...!"
Blaaam...! Blaaam...!
Gunung Gendeng benar-benar terasa bagai
dilanda gempa bumi yang sangat dahsyat. Pohon-
pohon besar yang meranggas tanpa daun nampak
bertumbangan secara beruntun. Terhantam pukulan
'Si Hina Kelana Merana'. Bahkan batu-batu yang
terdapat di lereng gunung itu akhirnya runtuh
menerima getaran ilmu 'Lengkingan Pemenggal Roh'
yang begitu hebat.
Namun Pendekar Hina Kelana yang sedang
dilanda kemarahan itu tidak berhenti cukup di situ saja. Dengan gerakan yang
sangat cepat ia
mengumbar pukulannya ke berbagai arah. Keadaan
di sekelilingnyapun menjadi porak poranda. Dalam
keadaan seperti itu, secara sayup-sayup, Buang
Sengketa mendengar sebuah bisikan yang
datangnya dari sebuah tempat yang tiada terukur
jauhnya. Bahkan jika saja Buang Sengketa tidak
memiliki kesaktian yang sudah sangat sempurna,
mustahil ia mampu mendengar bisikan itu.
"Bocah tolol, apakah kau sudah gila...!
Merobohkan pohon-pohon yang tidak memiliki salah
apa-apa...!" bentak suara bisikan itu lugas.
Buang Sengketa hapal betul siapa yang
sedang berbicara itu. Cepat sekali ia menekuk
lututnya hingga jatuh terduduk. Dengan sikap
hormat ia berucap.
"Guru tidak melihat apa yang telah dilakukan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab itu.
Mereka telah memfitnahku, Guru...! Bukankah apa
yang mereka lakukan merupakan bencana yang
dapat membuatku harus berhadapan dengan
banyak tokoh...?" jelas si pemuda dengan suara tergetar.
Dari kegaiban sana terdengar suara tawa
orang yang sangat dihormati oleh Pendekar Hina
Kelana. Dialah gurunya yang telah tiada itu, yaitu manusia setengah Dewa Si
Bangkotan Koreng
Seribu. "Buang, kehidupan manusia itu sudah ada
yang mengaturnya. Apa gunanya kuwariskan jurus
Pamungkas 'Koreng Seribu'. Jika dalam menghadapi
cobaan seperti sekarang ini kau tidak dapat
mengendalikan unsur siluman yang mengalir di
dalam darahmu. Bukankah dulu pernah kukatakan,
bahwa jurus Sakti Koreng Seribu kuwariskan
padamu untuk mengendalikan hawa amarah, di
samping sangat berguna dalam menghadapi lawan-
lawanmu...?" kata suara bisikan itu penuh tanya.
"Tetapi apa yang kuhadapi sekarang ini
benar-benar sangat keterlaluan sekali, guru...!
Fitnah itu sewaktu-waktu dapat mencelakakan
muridmu"!" bantah si pemuda dengan wajah tetap menunduk.
"He... he... he...! Kalau kau merasa berada di pihak yang benar. Apa salahnya
jika kau menghadapi mereka dengan jurus Koreng Seribu...!"
Buang Sengketa nampak terdiam untuk
sesaat lamanya. Kalau di timbang-timbang rasanya
apa yang dikatakan oleh gurunya itu tidak salah.
"Baiklah. Kalau guru sudah mengatakan
demikian, sebagai murid yang belum mengerti
banyak aku hanya akan menuruti perintahmu...!"
"Bukan saja belum mengerti banyak, namun
kau juga edan...!" dengus bisikan itu, sehingga membuat Pendekar Hina Kelana
yang tadinya kehilangan kontrol sekarang telah kembali lagi pada sikap konyolnya.
"Tidak salah. Guru sendiri juga sinting...!"
sambut Buang Sengketa dengan tawa tergelak-gelak.


Pendekar Hina Kelana 33 Teror Si Pedang Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudahlah. Bicara denganmu lebih lama
hanya membuatku muak...!"
"Jadi kau hendak ke mana, guru...!" pancing si pemuda sambil menahan perasaan
geli. "Aku tidak ke mana-mana, bocah gemblung.
Aku tetap di alamku alam kedamaian abadi yang
tiada mengenal lagi kematian...!" kata bisikan itu ringan. "Aku ikut, guru...!"
"Kau semakin keblinger, bocah. Tugasmu
sebagai seorang pendekar masih menantang di
hadapanmu. Lagi pula siapa sudi diikuti bocah tolol sepertimu...!" bersamaan
dengan kata-katanya itu.
Maka suara bisikan gaib itupun akhirnya lenyap
begitu saja. Tinggal Buang Sengketa yang nampak
duduk termangu sambil menarik nafasnya berulang-
ulang. Tidak mengapa. Siapapun orang yang telah
berani mempergunakan namaku dalam
pembantaian ini. Yang jelas mungkin saja ia
memiliki kepandaian yang tiada terukur. Namun
walaupun dia berujud sebagai dedengkot manusia
iblis sekalipun. Aku akan mencari keadilan. Aku
pasti akan mengadakan perhitungan dengannya.
Batin Pendekar Hina Kelana.
Akhirnya dengan perasaan tiada menentu,
Buang Sengketa pun segera meninggalkan gunung
Gendeng menuju ke arah kota Kadipaten.
3 Kota Kadipaten Kalungkung pada malam hari
kelihatan ramai dikunjungi oleh orang-orang dari
daerah. Apalagi Kadipaten merupakan pusatnya
kesenian dan juga atraksi berbagai kegiatan orang-
orang yang mencari nafkah. Pendek kata daerah itu nampak semakin mempesona
keindahannya pabila
malam hari. Lampu warna warni berkelap-kelip tak
ubahnya bagai kunang-kunang yang bertaburan di
kegelapan malam.
Namun nun jauh dari pusat keramaian itu. Di
sebuah kedai penjual makanan yang sangat sarat
oleh pengunjung. Nampak kesibukan yang agak lain
bila dibandingkan dengan kesibukan yang sedang
berlangsung di tengah-tengah kota.
"Kudengar telah begitu banyak kaum
persilatan yang telah bergelimpangan menjadi
korban sepak terjang Pendekar Hina Kelana?" tanya seorang laki-laki bertubuh
kekar berjambang serta kumis lebat dengan pakaian serba kuning dan ikat
kepala berwarna kuning pula.
Orang yang menjadi lawan bicaranya adalah
seorang laki-laki berbadan tinggi kurus, berkumis jarang dan berpakaian serba
hitam. Di bagian
pinggang laki-laki itu menggelantung sebuah senjata yang berupa kaitan dan
bertali panjang. Orang-orang di sekitar Kadipaten mengenal laki-laki
berbadan kurus itu sebagai si Pengait Aneh.
Sedangkan laki-laki bertubuh kekar sama sekali
belum pernah di kenal sebelumnya.
"Tidak perlu diragukan lagi! Orang yang
berjuluk Pendekar Hina Kelana itu bahkan beberapa hari yang lalu telah membunuh
anggota keamanan
Kadipaten ini...!"
"Itu makanya kau mengundangku untuk
datang ke tempat ini...!" dengus laki-laki berpakaian kuning.
"Kau jangan salah sangka, Anggoro! Kalaupun
aku mengundangmu jauh-jauh dari Kemujang sana.
Semua itu berdasarkan atas perintah Kanjeng
Adipati. Bahkan demi menjaga keamanan Kadipaten
ini beliau telah berkenan mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk penjaga
keamanan...!" jelas si Pengait Aneh.
"Huh...! Sekarang setelah keadaan menjadi
gawat. Engkau baru mau mengundangku untuk
sama-sama bergabung menjadi pengawal keamanan.
Tapi dulu aku datang padamu untuk meminta
pekerjaan pada Adipatimu itu, sedikitpun kau tidak mau membantu...!" sergah
Anggoro dengan perasaan kurang senang.
"Dulu pekerjaan seperti yang kau inginkan itu memang belum ada. Bukan aku tidak
mau menolongmu...!"
Sesaat suasana di dalam warung itu berubah
sunyi. Pengunjung di dalam warung yang rata-rata
merupakan para bawahan si Pengait Aneh
kelihatannya tidak berani bicara apa-apa. Mereka
menyadari apapun yang dibicarakan oleh si Pengait Aneh atasan mereka yang jelas
menyangkut masalah
keamanan Kadipaten.
"Sekarang tawaranmu cukup menggiurkan
juga. Namun apakah Adipatimu itu mampu
memberikan upah seperti yang aku inginkan?" tanya Anggoro dengan sesungging
senyum tipis. "Berapa yang kau minta...?" tanya si Pengait Aneh. "Dua puluh keping uang
emas...!" kata Anggoro mantap. Semua itu membuat mereka yang
hadir di tempat itu nampak membelalakkan
matanya. Tidak terkecuali si Pengait Aneh.
"Gila!" seru si Pengait Aneh dengan kedua mata melotot. "Aku saja setiap
bulannya hanya mendapat satu keping uang emas. Dan kau meminta
dua puluh keping uang yang sama?" Pengait Aneh geleng-gelengkan kepalanya.
"Bukankah aku tak memaksa" Kalau
Adipatimu merasa keberatan dengan upah yang
kuminta, silahkan mencari yang lain...!"
Si Pengait Aneh baru saja hendak
melanjutkan kata-katanya ketika pada saat itu
muncul seorang laki-laki muda berwajah tampan di
dalam warung itu. Mereka yang hadir di sana
hampir bersamaan menoleh pada pemuda berwajah
tampan. Suasana berobah menjadi sepi mencekam.
Pemuda tampan itu dengan sikap acuh segera
duduk di sebuah bangku yang terletak di tengah-
tengah ruangan, sementara si pelayan warung
dengan sikap tergesa-gesa datang menghampiri.
"Tuan mau pesan apa?" tanya si pelayan
warung dengan sikap sungkan.
"Aku menginginkan kepala semua orang yang
berada di dalam warung ini...!" kata pemuda
bersenjata pedang itu dengan suara dingin
menyeramkam. Apa yang baru saja dikatakan oleh pemuda
itu sudah barang tentu membuat mereka yang
berada di dalam warung terperangah. Mereka
menganggap apa yang diminta oleh pemuda tidak
dikenal itu merupakan sebuah tantangan yang jelas-jelas ditujukan untuk mereka.
Diantara sekian
banyak orang yang berada di dalam warung itu.
Laki-laki yang bernama Anggoro itulah yang tidak
dapat menerima penghinaan tersebut. Dengan wajah
merah padam ia segera bangkit dari tempat
duduknya, kemudian laki-laki bertubuh kekar itu
pun sudah membentak, "Apakah aku tidak salah dengar?" ucapnya setengah bertanya.
"Kurasa kalian tidak tuli bukan" Sudah
kukatakan aku ingin meminta kepala kalian
semua...!" ulang pemuda itu dengan suara keras.
Si Pengait Aneh rasanya sudah tidak mampu
lagi menahan kemarahannya. Bagaimana tidak. Di
Kadipaten Kalungkung ia merupakan orang yang
sangat disegani oleh masyarakat setempat. Karena
selain merupakan seorang kepala pengawal
keamanan, laki-laki setengah baya ini juga di kenal sebagai orang yang memiliki
kepandaian tinggi.
Namun siapa sangka malam itu seorang pemuda
yang tidak mereka kenal telah berani menghina
sedemikian rupa" Tanpa basa-basi lagi, dengan
gerakan yang sangat cepat tubuhnya langsung
berkelebat. Di saat lain si Pengait Aneh telah berdiri tegak empat meter di
hadapan si pemuda.
"Bocah! Siapakah engkau ini...?" tanyanya dengan suara bergetar. Pemuda berwajah
tampan itu tersenyum dingin. Sedingin tatapan matanya
yang memandang tajam pada si Pengait Aneh dan
Anggoro. "Hiaaa... hak... hak... haak...! Mengenai
namaku kalian tidak perlu tahu, tapi agar kalian
tidak mampus secara penasaran. Orang-orang
mengenalku sebagai Pendekar Hina Kelana...!"
"Setan alas! Kawan-kawan inilah si manusia
iblis yang telah meminta banyak korban. Keparat...!"
geram si Pengait Aneh. Sesaat ia memandang
kepada seluruh bawahannya yang berjumlah
puluhan orang. Semua anggota pengawal Kadipaten
itu cukup mengerti apa makna pandangan mata
atasannya. Maka tanpa menunggu perintah lagi.
Puluhan pengawal keamanan Kadipaten itu segera
menghunus senjatanya. Secara serentak pula
mereka langsung menerjang si pemuda. Laki-laki
muda berwajah tampan yang mengaku-ngaku
sebagai Pendekar Hina Kelana itu tergelak-gelak.
Masih dengan posisi duduk, pemuda itu
menyongsong kedatangan para pengeroyoknya.
Siing! Sraaaass!
Cepat bukan main gerakan tangan si pemuda
yang mengaku-ngaku sebagai Pendekar Hina Kelana
itu. Begitu tangannya berkelebat tahu-tahu di
tangannya sekarang tergenggam sebilah pedang
pusaka yang memancarkan sinar kuning keemasan.
Bahkan lebih cepat lagi pedang di tangannya
menyambar tubuh lawannya. Tidak kurang sembilan
orang anggota pengawal Kadipaten tersungkur roboh begitu senjata yang mengandung
racun itu merenggut nyawa lawannya. Laksana kilat pedang
itu kembali lagi ke sarungnya.
Sraak...!"
Gerakan memasukkan dan mencabut pedang
yang sedemikian cepat itu saja sudah merupakan
suatu tanda bahwa pemuda berwajah tampan itu
memiliki ilmu memainkan pedang yang sedemikian
hebat. Namun si Pengait Aneh maupun Anggoro
tidak mungkin mendiamkan sepak terjang si
pemuda. Terlebih-lebih setelah melihat sembilan
orang anggotanya tewas seketika dengan tubuh
berubah menjadi kuning bagaikan kunyit.
"Jahanam! Kau ternyata bukanlah seorang
pendekar seperti yang kau sebut-sebut. Namun kau
tak lebih merupakan seorang iblis yang harus di
bikin mampus!" teriak si Pengait Aneh. Ketika itu ia sudah melolos senjata
andalannya yang berupa
mata kait berjabang tajam bertali panjang.
"Jangan banyak membantah, akulah
Pendekar Hina Kelana...!" kata pemuda itu masih tetap berada di tempatnya.
Sementara itu Anggoro
dan si Pengait Aneh telah menerjangnya dengan
serangan-serangan yang sangat gencar. Anggoro
yang bersenjata pedang menyerang si pemuda
dengan senjata mengarah pada bagian kaki dan
perut. Sedangkan senjata si Pengait Aneh mencari
sasaran pada bagian dada dan kaki. Sampai sejauh
itu si pemuda tampan melayani mereka dengan
mengandalkan kelincahan gerak serta jurus-jurus
tangan kosong. Dalam waktu yang sangat singkat tiga puluh
jurus telah berlalu. Warung yang menjadi ajang
pertempuran telah porak poranda. Bahkan sekarang
mereka telah bergerak keluar. Suara teriakan-
teriakan menggelegar terasa memecah keheningan
malam. Saat itu hampir seluruh kekuatan pengawal
Kadipaten telah mengeroyok pemuda yang mengaku
sebagai Pendekar Hina Kelana itu. Bantuan para
pengawal itupun tidak berarti banyak. Karena begitu si pemuda mencabut senjata
andalannya yang
memancarkan sinar kuning itu menderu. Maka
korban demi korban pun berjatuhan. Lama
kelamaan para pengawal Kadipaten Kalungkung pun
tidak bersisa sama sekali.
"Kurang ajar. Kau benar-benar iblis...!" teriak si Pengait Aneh. Pada saat itu
ia berusaha memutar
senjata andalannya. Namun setelah pedang di
tangan si pemuda ikut bicara, kait bermata tajam
itupun sudah tidak mempunyai banyak arti
menghadapi jurus-jurus pedang lawannya.
Meskipun saat itu si Pengait Aneh telah
mengerahkan jurus andalannya yaitu jurus 'Kait
Gila Bermata Buta'. Hingga pada satu kesempatan.
Traaang! Senjata di tangan si Pengait Aneh berantakan
saat dilanda ketajaman mata pedang si pemuda.
Bahkan laksana kilat dan tidak dapat dihindari lagi.
Jroooss! "Akrrrgh...!" si Pengait Aneh keluarkan jeritan tertahan-tahan. Bagian kepadanya
melesat cepat dan nyaris menghantam kepala Anggoro yang
berusaha mati-matian membendung serangan
lawannya. Jika saja laki-laki itu tidak cepat-cepat merendahkan tubuhnya.
Pastilah kepala si Pengait
Aneh yang melesat cepat itu menghantam
kepalanya. Weeess! Daarrk...!
Kutungan kepala si Pengait Aneh begitu luput
menghantam kawannya sendiri langsung
menghantam dinding warung yang terbuat dari
papan. Begitu membentur dinding warung. Maka
kepala itupun hancur dengan otak bertaburan ke
mana-mana. "Iblis...!" teriak Anggoro berulang-ulang.
Dengan sebat dia memutar pedang di tangannya.
Lawan melayaninya dengan tawa mengekeh. Dalam
kemarahannya itu jelas nyata bahwa gerakan silat
Anggoro sudah tidak terkontrol dengan baik. Pada


Pendekar Hina Kelana 33 Teror Si Pedang Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat yang tepat pemuda itupun memapaki senjata
Anggoro yang menderu mengarah batang lehernya.
Traaang! Traaang...!
Pedang di tangan Anggoro patah menjadi
beberapa bagian saat membentur senjata pusaka
lawannya. Laksana kilat lawan menusukkan
senjatanya ke arah bagian perut lawannya.
"Jrees...!"
Anggoro hanya mampu membelalakkan
matanya. Kelengahan yang hanya sesaat itu benar-
benar harus ditebusnya dengan mahal.
"Sreek!" begitu pedang di tangan pemuda yang mengaku sebagai Pendekar Hina
Kelana itu kembali ke sarungnya. Maka tanpa ampun lagi
tubuh Anggoro langsung terjerembat ke depan.
Tubuh laki-laki berbadan kekar inipun hanya
berkelojotan sesaat lamanya. Kemudian terdiam
pula untuk selama-lamanya. Si pemuda nampak
tersenyum puas. Dengan diiringi suara tawa
menggidikkan tubuhnyapun berkelebat lenyap di
telan kegelapan malam.
4 Buang Sengketa merasa tidak punya pilihan
lain lagi ketika hampir di setiap langkahnya ia
menemukan korban demi korban dari tokoh
misterius yang telah mempergunakan namanya
dalam setiap aksinya, dalam setiap melakukan
pembunuhan. Dia telah bertekad untuk memburu
tokoh misterius itu, meskipun ia sendiri tidak dapat memastikan betapa hebatnya
kepandaian yang
dimiliki oleh tokoh misterius yang telah
mencemarkan nama baiknya itu.
Dalam keadaan berjalan melenggang namun
tanpa pernah mengurangi kewaspadaannya. Tiba-
tiba Pendekar Hina Kelana mendengar suara
gemerisik yang mencurigakan di kanan kiri jalan
yang dilaluinya. Untuk tidak menimbulkan
kecurigaan bagi para pengintainya. Pemuda tampan
ini terus melangkahkan kakinya dengan sikap acuh.
Dan ia menyadari semak-semak di kanan kiri jalan
itu bergerak cepat, seolah ingin menyamai
langkahnya. Buang Sengketa secara mendadak
menghentikan langkahnya, maka semak-semak
itupun tidak bergoyang-goyang lagi.
"Orang-orang yang bersembunyi di dalam
semak-semak. Coba tunjukkan muka...!" kata
pemuda itu sambil memperhatikan semak-semak
yang terdapat di sekelilingnya. Tidak ada reaksi
apapun atas kata-kata pemuda itu. Melihat semua
ini sebenarnya si pemuda mulai merasa kesal. Tapi mengingat ia sendiri saat itu
sedang berusaha
mengembalikan nama baiknya. Maka Buang
Sengketa pun tidak berani bertindak gegabah.
"Kuingatkan pada kalian sekali lagi, coba
tunjukkan muka...?" ulangnya. Beberapa saat
setelah itu maka dari kanan kiri jalan yang dilalui oleh Buang Sengketa nampak
bermunculan beberapa orang laki-laki bersenjata cambuk dan
pedang. Wajah-wajah mereka yang sinis memandang
tajam pada pemuda yang berdiri tegak di hadapan
mereka. Buang Sengketa segera menyadari pastilah
orang-orang itu terdiri dari dua perguruan. Atau
paling tidak dari partai yang berbeda.
"Kisanak! Apa maksud kalian memata-matai
perjalananku...?" tanya pemuda itu dengan sikap tenang.
Mereka yang ditanya mendengus dan saling
berpandangan sesamanya. Lalu seorang laki-laki
berbadan tinggi besar, berpakaian warna gelap serta berwajah tengkorak nampak
maju dua tindak.
Sepasang matanya yang menjorok ke dalam batok
kepala memandang sinis pada Pendekar Hina
Kelana. "Bertanya terus terang. Kaukah yang berjuluk Pendekar Hina Kelana...?" bentak
laki-laki itu dengan tatapan menyelidik.
"Siapskah anda semua...?"
"Jawab dulu pertanyaan kami, orang
muda...!" kata laki-laki muka tengkorak merasa tidak senang.
"Saya tidak akan berkata apa-apa sebelum
kalian menjawab pertanyaan itu...!"
"Hemm." laki-laki itu mengumamkan kata-
kata yang tidak jelas. "Seumur hidup belum pernah ada yang berani menjual lagak
di depan Ketua Tengkorak Putih, selain manusia tolol sepertimu...!"
geram laki-laki berwajah mengerikan itu yang
ternyata merupakan orang-orang Tengkorak Putih.
"Maaf. Bukan aku menjual lagak. Tapi kurasa
menanya asal usul orang yang bertanya padaku
tidak ada salahnya..." Buang Sengketa rangkapkan tangannya ke depan dada. Laki-
laki berwajah mengerikan itu sekali lagi mendengus bagai kerbau.
"Omong kosong...! Anak muda cepat kau
katakan siapa engkau yang sebenarnya. Kalau tidak kau akan menanggung sendiri
akibatnya...!"
"Ketua mengapa harus bertanya lagi. Sudah
jelas pemuda yang punya penampilan seperti ini
tidak lain orang yang memiliki gelar Pendekar Hina Kelana...!" kata salah
seorang dari mereka merasa tidak sabar lagi.
"Benar... aku memang Pendekar Hina Kelana.
Ada keperluan apakah kalian mencari aku...!"
"Kau jangan berpura-pura, bocah! Telah
begitu banyak korban yang jatuh di tanganmu.
Kejahatanmu melebihi tindakan manusia iblis. Di
setiap daun lontar kau tinggalkan pesan. Masihkah kau mau mungkir...!" bentak
laki-laki berwajah tengkorak itu dengan kemarahan yang tiada
terperikan. Buang Sengketa tersenyum kecut. Ia memang
sudah dapat menduga apa yang akan dikatakan oleh
laki-laki itu. Karena ia sendiri telah banyak melihat korban yang bergelimpangan
dengan ulah tokoh
misterius yang mengaku-aku sebagai dirinya.
Begitupun ia masih bersabar dengan berkata, "Maaf, sobat. Bukan aku seorang
pengecut, untuk
mengakui segala perbuatanku. Tapi perlu kalian
ketahui bahwa di kalangan persilatan ada orang
yang sengaja melakukan teror dan berusaha
memfitnah aku...!"
"Bedebah. Bagaimana mungkin kau bisa
berubah menjadi sepengecut ini, tikus budukan...!"
"Kalian jangan gegabah menuduh orang
secara serampangan. Aku sendiri sekarang ini
sedang berusaha mencari orang yang mengaku-aku
sebagai diriku itu!" jelas pemuda itu dengan wajah memerah.
"Omong kosong. Lebih baik kau menyerah
untuk mempertanggungkan segala perbuatanmu!"
"Menangkap orang yang tidak bersalah, sama
saja artinya kalian akan kehilangan orang-orang
tidak berdosa...!" kata Buang Sengketa mencoba menyadarkan orang-orang yang
telah mengepungnya. Tetapi manalah orang-orang yang
telah dirasuki perasaan dendam itu memperdulikan
ucapannya. Sebaiknya mereka segera melolos
pedang dan cambuknya. Dengan senjata itu mereka
langsung menggempur Buang Sengketa dari
berbagai penjuru. Tidak dapat dihindari,
pertempuran sengit pun terjadi. Para pengeroyoknya dengan segenap kemampuan yang
dimilikinya berusaha mendesak Pendekar Hina Kelana.
Sebaliknya pemuda titisan Raja dari Negeri Alam
Gaib ini mana mau membiarkan tubuhnya termakan
senjata di tangan lawan-lawannya begitu saja.
Dengan mempergunakan ilmu mengentengi tubuh
yang begitu sempurna. Buang Sengketa masih
mampu menghindari serangan-serangan ganas
mereka. Tanpa terasa lima belas jurus telah
terlewati. Namun sampai sejauh itu para
pengeroyoknya masih belum mampu merobohkan
Buang Sengketa. Jangankan sampai merobohkan,
sedangkan menyentuh bagian tubuh si pemuda
masih belum dapat mereka lakukan. Kenyataan ini
jelas-jelas membuka mata si Muka Tengkorak yang
mengepalai orang-orang itu. Bahkan ia sendiri di
buat terkagum-kagum melihat kelincahan gerak
pemuda itu. Padahal selama ini Tengkorak Putih
tahu betul, bahwa orang-orang yang diasuhnya
bukanlah murid-murid sembarangan. Dengan
senjata mereka yang berupa cambuk dan pedang,
telah begitu banyak lawan-lawan mereka yang
menjadi pecundang, tanpa campur tangan ketuanya
sendiri. Mengetahui lawan yang dihadapinya kali ini
memang merupakan seorang lawan yang sangat
tangguh. Akhirnya tanpa berkata apa-apa. Laki-laki bermuka buruk inipun ikut
terjun ke gelanggang
pertempuran. Dengan turunnya Tengkorak Putih
dalam pertempuran itu. Maka dalam beberapa jurus
di depan pemuda itu mulai kelihatan terdesak.
Buang Sengketa segera merubah jurus-jurus
silatnya yang bervariasi itu.
Pada dasarnya tokoh Tengkorak Putih itu
bukanlah seorang lawan yang dapat dianggap
ringan. Buang dapat merasakan setiap serangan
yang dilancarkan oleh laki-laki muka buruk itu
selalu menimbulkan getaran dan sambaran angin
yang sangat keras lagi membuat sakit lubang pori-
pori. Kecepatannya dalam melakukan serangan juga
sangat sulit untuk diduga-duga. Tetapi kiranya
Tengkorak Putih juga menyadari bahwa orang yang
menjadi lawannya kali ini bukan pula orang
sembarangan. Bahkan ia sendiri dulu sering
mendengar kehebatan pemuda yang berjuluk
Pendekar Hina Kelana ini. Namun nama besar
pendekar itu menjadi tidak ada artinya di mata
Tengkorak Putih. Karena ia tetap beranggapan
bahwa pemuda itu telah menebar berbagai
kejahatan, akhir-akhir ini.
Lima puluh jurus telah terlewati tanpa terasa.
Bahkan anak buah Tengkorak Putih sekarang sudah
tidak lagi ikut melakukan pengeroyokan. Apalagi
ketika mendengar teriakan Ketua mereka yang
mengisyaratkan agar mereka menjauhkan diri dari
pertempuran. Maka orang-orang itu pun tidak
punya keberanian bertindak gegabah. Bahkan
mereka pun sadar betapa lawan yang dihadapi oleh
Ketua mereka sekarang ini merupakan lawan yang
sangat tangguh.
"Hiaat... Hayaaaa...!"
Di sertai dengan jeritan tinggi melengking,
tubuh pendekar itu bersalto sebanyak tiga kali di udara. Pemuda ini nampaknya
sedang berusaha
menjauhi pertempuran. Tapi celakanya begitu
Buang Sengketa menjejakkan kakinya sebanyak
tujuh langkah dari Tengkorak Putih. Laki-laki muka buruk itu terus memburunya
tanpa memberi kesempatan pada pemuda itu untuk bicara.
"Tunggu... aku...!"
"Syaaat...!" belum sempat Buang Sengketa melanjutkan kata-katanya. Tendangan
kaki kanan Tengkorak Putih menderu keras mengarah pada
bagian wajahnya. Si pemuda yang mengetahui
betapa berbahayanya serangan itu, segera
menghindar dengan cara berjumpalitan ke belakang.
Melihat lawan masih dapat menghindari tendangan
mautnya yang telah teraliri sepertiga dari tenaga dalam yang dimilikinya. Maka
Tengkorak Putih pun
melepaskan pukulan jarak jauh, yang sangat di
kenal dengan nama 'Mempersempit Jarak'. Begitu
Tengkorak Putih menghantamkan ke dua tangannya
ke arah lawannya dengan jari-jari terkembang. Maka menebarlah bau busuk yang
sangat keras sekali. Di samping itu dengan kecepatan yang sangat sulit
untuk diikuti oleh kasat mata. Seberkas sinar
berwarna biru melesat cepat ke arah Buang
Sengketa. Menyadari dirinya dalam keadaan
berbahaya. Buang Sengketa segera merentangkan
kedua tangannya di atas kepala. Saat itu juga dari telapak tangannya yang
menggeletar hebat. Nampak
melesat dua larik sinar merah menyala memapaki
datangnya pukulan yang dilepaskan oleh lawannya.
Begitu dua pukulan yang teraliri tenaga sakti
itu saling berbenturan di tengah jalan. Maka tubuh mereka saling bergetar.
Tengkorak Putih melipat
gandakan tenaga dalamnya. Begitu pula halnya
dengan Pendekar Hina Kelana yang merasa bahwa
lawan yang dihadapinya kali ini memiliki tenaga
dalam setingkat di atasnya segera pula menguras
segenap kemampuan yang dimilikinya. Adu tenaga
dalam itu berlangsung seru dan menegangkan.
Masing-masing lawan sudah mulai basah oleh
keringat. Wajah mereka sebentar memerah dan di
lain saat telah berubah pucat pasi. Namun diantara keduanya tidak seorang pun
yang berani bertindak
gegabah. Mereka menyadari dalam adu tenaga
dalam seperti sekarang ini, siapa yang lengah,
jiwanya pasti tidak akan tertolong lagi. Sementara Tengkorak Putih sedang
memutar pikiran untuk
mencari jalan keluar dalam usahanya mengakhiri
pertarungan itu dengan harapan kemenangan harus
berada di pihaknya. Buang Sengketa malah
berusaha agar lawannya tidak mengalami luka-luka
yang berarti. Sebab dalam usahanya mengembalikan
nama baik yang dicemarkan oleh orang lain, ia tidak ingin adanya korban karena


Pendekar Hina Kelana 33 Teror Si Pedang Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya sendiri. Apa yang ingin ditunjukkan pemuda itu di depan para
pengeroyoknya. Bahwa selama ini ia memang tidak
pernah terlibat kejahatan manapun. Apalagi sampai membunuh orang-orang yang
tidak berdosa. Tapi
tentu saja usaha yang dilakukan oleh pemuda itu
jelas terlalu sulit untuk dilaksanakan. Semuanya
akan membawa resiko yang sangat tinggi. Bahkan
salah-salah nyawanya sendiri yang menjadi
taruhannya. Dalam keadaan yang serba sulit itu.
Tiba-tiba Buang Sengketa menarik balik tenaga
dalamnya sendiri........
Pada saat itulah Tengkorak Putih nampak
terkejut bukan alang kepalang. Bahkan ia merasa
tidak percaya dengan apa yang terjadi pada saat itu.
Bagaimana mungkin pukulannya amblas begitu
saja. Bahkan ia melihat pemuda itu sambil
tersenyum kecut masih tetap merentangkan
tangannya di atas kepala. Dan Tengkorak Putih
menjadi lebih terkesima lagi ketika secara perlahan namun cukup pasti, tubuhnya
terseret dan bergerak cepat ke arah Buang Sengketa
Melihat kejadian yang mereka rasakan ganjil
ini. Semua anak buah laki-laki muka buruk itu
tidak tinggal diam. Tanpa dikomando lagi mereka
menyerang Buang Sengketa yang tetap dalam
keadaan tegak bahkan tidak bergeming sedikit pun
juga. Tanpa ragu-ragu lagi, mereka mengayunkan
senjatanya. Craaak... sheeeb...!
Senjata-senjata mereka begitu menyentuh
tubuh Pendekar Hina Kelana langsung melekat erat
dan tidak dapat mereka tarik kembali. Lebih celaka lagi ketika mereka berusaha
membetot senjatanya
masing-masing. Senjata yang menempel di bagian
tubuh Buang Sengketa terasa melekat lebih erat lagi.
Bahkan detik-detik berikutnya mereka merasakan
adanya sebuah kekuatan yang tiada terlihat
mengalir deras melalui tangan mereka.
"Ilmu ibliss...!" geram Tengkorak Putih.
Sementara ia sendiri masih belum menemukan jalan
untuk membebaskan diri dari pengaruh betotan
yang ditimbulkan akibat pengerahan tenaga dalam
yang terus menerus. Puluhan anak buahnya
berjatuhan bagai pohon pisang ditebang. Dalam
pada itu dengan melakukan satu dorongan yang
agak keras. Tubuh laki-laki muka buruk itu hampir saja terjengkang. Dengan
gerakan cepat ia segera
bangkit berdiri. Dengan suaranya yang mengguntur
Tengkorak Putih berucap penuh teguran.
"Orang muda. Kalau kau menghendaki.
Mungkin sudah sejak tadi jiwa kami melayang. Tapi benarkah kau orang yang
berjuluk Pendekar Hina
Kelana?" tanya Tengkorak Putih seakan tidak
percaya. "Aku memang Pendekar Hina Kelana. Tapi
yakinlah kalian, bukan aku yang telah melakukan
pembunuhan demi pembunuhan itu...!" jawab
pemuda itu serius.
"Maaf orang muda. Kalaulah bukan kau yang
telah melakukan pembunuhan-pembunuhan itu.
Apakah kau beranggapan ada orang lain yang
sedang berusaha melakukan fitnah terhadap
dirimu...?"
"Ya... tidak dapat ku sangkal. Ada pihak
tertentu yang sedang menyebarkan fitnah
terhadapku...!"
"Kalau begitu ada orang-orang tertentu yang
merasa tidak senang dengan dirimu...?" tanya Tengkorak Putih dengan nada sedikit
lunak. "Mungkin saja, tapi aku tidak dapat
memastikan siapa mereka. Karena terlalu banyak
golongan hitam yang tewas di tanganku...!"
"Heh... baiklah. Siapapun adanya engkau ini, sekarang aku merasa yakin bahwa kau
bukan orang yang pantas untuk dicurigai...!"
"Maafkan aku orang tua... apa yang
kulakukan hanyalah untuk membela diri. Sekarang
aku harus segera pergi...!" Buang Sengketa meminta diri. "Pergilah. Semoga
Dewata selalu menyertaimu...!" kata Tengkorak Putih tulus.
Dengan sekali berkelebat, pemuda itu telah lenyap dari hadapan orang-orang
Tengkorak Putih.
"Hemm. Bukan main. Jika saja ia memang
tokoh misterius itu. Mungkin saja sejak tadi aku dan orang-orangku cuma tinggal
nama saja...!" batin laki-laki muka buruk itu. Tak lama setelah itu
dengan disertai seluruh anak buahnya. Tengkorak
Putih segera melakukan perjalanan kembali.
5 Setelah bertemu dan sempat bentrok pula
dengan pemuda berpakaian merah. Laki-laki muka
buruk yang berjuluk Tengkorak Putih itu bermaksud membantu pemuda yang
diyakininya tidak bersalah
itu mengembalikan nama baiknya. Maka niat yang
pertama sekali harus dilakukannya adalah
menghubungi para sahabat-sahabatnya. Juga
semua golongan putih. Rupanya Tengkorak Putih
yang semula secara terang-terangan berusaha
menangkap Pendekar Hina Kelana, akhirnya
berubah niat setelah ia bertemu dengan pemuda
sakti itu. Dan Tengkorak Putih akhirnya merasa
maklum sendiri setelah, kalah bertarung dengan
pemuda itu. Yang membuat Tengkorak Putih merasa
sangat yakin bahwa Pendekar Hina Kelana tidak
pernah terlibat dalam segala bentuk teror yang
selama ini terjadi ialah karena pada saat akhir
pertarungan itu dengan kesaktiannya yang sangat
luar biasa itu. Kalau pendekar itu mau tentu mereka telah terbunuh seluruhnya.
Sekarang dengan segenap keyakinan yang ia
miliki dalam usahanya mengembalikan nama baik
Pendekar Hina Kelana. Rombongan yang dipimpin
oleh Tengkorak Putih itu nampak menuju ke sebuah
Perguruan yang bernama Perguruan 'Elang Emas'.
Jarak yang ditempuh oleh mereka sebenarnya masih
sangat jauh sekali. Karena Perguruan Elang Emas
itu terletak bagian Tenggara selat Berhala.
Demikianlah tanpa mengenal lelah hampir
sepanjang hari mereka terus melakukan perjalanan.
Ketika keesokan harinya mereka telah
memasuki daerah Selat Berhala. Pada sebuah jalan
yang sangat sunyi. Seorang pemuda bertopi lebar
nampak menghadang di tengah jalan yang mereka
lalui. Melihat kenekatan orang itu tentu saja
Tengkorak Putih dan orang-orangnya menjadi
berang juga. "Sobat bertopi. Kami harap jangan halangi
jalan yang akan kami lewati. Menyingkirlah...!"
perintah Tengkorak Putih dengan suara bergetar.
Wajah yang tersembunyi di balik topi lebar itu
tersenyum dingin. Sepasang matanya yang setajam
serigala kelaparan memperhatikan Tengkorak Putih
untuk seketika lamanya. Tapi pemuda bertampang
kejam dan bertopi lebar itu tidak berkata apa-apa.
Tetapi ia juga tidak mau menyingkir dari jalan itu.
Kenyataan ini secara tidak langsung telah
membangkitkan amarah Tengkorak Putih dan para
anak buahnya. "Hei... apakah kau tidak dengar apa yang
kukatakan...?" ulang Tengkorak Putih dengan suara keras. "Aku selalu mendengar
setiap apa yang dikatakan oleh orang lain, manusia muka hantu.
Bukankah kau menyuruhku segera menyingkir?"
suara pemuda bertopi lebar itu terasa dingin
menyeramkan. "Bagus kalau kau telah mendengarnya.
Sekarang kerjakanlah yang aku perintahkan
tadi..."!" kata Tengkorak Putih tanpa merasa curiga apa-apa.
"Jalan ini bukan milik nenek moyang kalian.
Siapapun punya hak berada di sini. Jadi apa
perdulimu. Mau aku berada di tengah-tengah jalan
ini sepanjang hari, tidak seorangpun yang dapat
melarangku...!" kata pemuda itu semakin bertambah dingin. Apa yang baru saja
dikatakan oleh orang di depannya itu jelas-jelas membuat Tengkorak Putih
semakin bertambah murka
"Iblis jalanan, siapakah Engkau ini" Kulihat kau sengaja mencari gara-gara
dengan kami...!"
Pemuda bertopi lebar itu tergelak-gelak.
Suaranya melengking tinggi menggidikkan bulu
kuduk setiap orang yang berada di sekitarnya
"Untuk kalian ketahui. Sebenarnya saat ini
aku sedang melaksanakan satu pekerjaan yang
sangat rahasia. Tapi karena kalian telah hampir
berhasil menemukan sesuatu yang kuperbuat. Maka
kalian hanya pantas mengenalku sebagai si Pedang
Kilat...!"
"Pedang Kilat...?" gumam Tengkorak Putih sambil berusaha merenungi kata-kata
yang baru saja diucapkan oleh pemuda bertopi lebar itu. Tetapi setelah agak lama memutar
otak. Ia sendiri akhirnya menarik kesimpulan. Bahwa pada waktu-waktu
sebelumnya mereka memang belum pernah bertemu
atau mendengar sebuah julukan yang agak
menyeramkan ini.
"Pedang Kilat! Aku tidak mengenal siapapun
engkau. Tapi kuharap menyingkirlah dari hadapan
kami. Jika tidak aku pasti segera memberi pelajaran padamu...!" teriak Tengkorak
Putih. "Jangan banyak tanya. Lebih baik kita gebuk
saja, Ketua...!" celetuk salah seorang anak buahnya tidak sabaran lagi.
"Ha... ha... ha...! Kalian adalah badut-badut tidak lucu yang sebentar lagi
segera kukirim ke
neraka...!" pemuda bertopi lebar itu mengancam.
"Kurang ajar. Kau benar-benar telah
menghina kami manusia sinting...!"
"Kalian tidak percaya! Lihatlah...!" belum lagi selesai dengan kata-katanya
dengan kecepatan
melebihi kecepatan suara, samar-samar terlihat
sekelebatan sinar putih menyilaukan mata bergerak cepat menyambar. Bersamaan
dengan itu terdengar
suara jeritan maut dari anak buah Tengkorak Putih.
Lima orang dari mereka tersungkur roboh dengan
luka di bagian leher yang sangat dalam. Darah
menyembur dari masing-masing luka itu. Yang
membuat Tengkorak Putih jadi terperangah, karena
bekas luka itu tidak jauh beda dengan luka-luka
yang sama dari orang-orang yang telah terbunuh
pada waktu-waktu yang telah berlalu. Luka-luka itu bergerigi, seolah-olah
senjata yang dipergunakan
oleh orang bertopi lebar itu merupakan sebuah
senjata yang tidak tajam. Dan Tengkorak Putih
merasa lebih terkesima lagi. Ketika sepasang
matanya yang menjorok ke dalam batok kepalanya
itu melirik ke arah pemuda itu. Ia tidak melihat
pemuda itu sedang menggenggam senjata apapun.
Hal ini merupakan bukti. Bahwa kecepatan pemuda
itu dalam mempergunakan senjatanya melebihi
kecepatan suaranya sendiri.
"Keparaat! Melihat luka dan caramu dalam
mempergunakan senjata. Kau memang pantas
memiliki gelar si Pedang Kilat. Tapi melihat apa yang kau lakukan, maka aku pun
dapat menarik kesimpulan. Bahwa kunyuk sepertimulah yang telah
mempergunakan nama Pendekar Hina Kelana dalam
setiap aksimu membunuh orang-orang yang tidak
berdosa...!"
"Wua... ha... ha...! Hem... rupanya otakmu
tidaklah serusak mukamu yang jelek itu. Memang...
memang tidak akan memungkiri bahwa sebenarnya
memang akulah yang dengan sengaja
mempergunakan nama manusia yang paling kubenci
di kolong langit ini dalam segala usahaku
menjatuhkan nama baiknya...!"
"Oh, rupanya kau punya dendam tersendiri
dengan pendekar itu" Pantasan setiap selesai
melakukan kejahatan, kau menuliskan namanya
pada selembar daun lontar. Ternyata. Kau hanyalah seorang iblis pengecut...?"
Tengkorak Putih merasa geram sekali.
"He... he... he...! Kau salah jika
menganggapku seorang pengecut, manusia jelek.
Ketahuilah bahwa semua itu kulakukan semata-
mata hanya untuk menyiksa perasaannya. Setelah
dia cukup menderita, barulah aku datang
membunuhnya...!" kata pemuda bertopi lebar itu masih terus tergelak-gelak.
"Tidak semudah itu, manusia iblis. Karena
kami segera menghubungi kaum persilatan untuk
menjernihkan dulu persoalan yang sebenarnya.
Sehingga pendekar itu tidak akan menjadi korban
kelicikanmu..."
"Tidak bisa... tidak dapat... karena aku segera mengirim kalian ke neraka...!"
Sriing...! Hanya terdengar gemerincing suara senjata
tercabut dari sarungnya saja. Ketika pemuda bertopi lebar itu menggerakkan
senjatanya. Maka jeritan-jeritan meregang ajalpun terdengar saling susul
menyusul. Dalam waktu yang sangat singkat sekali
seluruh orang-orang Tengkorak Putih habis
terbantai hingga tidak bersisa sama sekali. Melihat kejadian ini semua sudah
barang tentu Tengkorak
Putih menjadi sangat gusar sekali.
"Keparat. Kau benar-benar manusia iblis...!"
maki laki-laki berwajah buruk itu dengan
kemarahan tertahan-tahan. Sebaliknya si Pedang
Kilat alias Pendekar Hina Kelana palsu malah
tergelak-gelak.
"Sampai waktu yang kuinginkan. Tidak akan


Pendekar Hina Kelana 33 Teror Si Pedang Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kubiarkan siapapun membongkar rahasiaku. Itu
makanya aku harus mencegahmu agar tidak pernah
sampai ke perguruan Elang Emas...!"
"Kalau begitu mampuslah, kau...!" teriak Tengkorak Putih. Sambil menghunus
senjatanya yang berupa cambuk dan pedang pendek. Laki-laki
buruk rupa ini berusaha mendesak lawannya
dengan serangan-serangan gencar. Tapi oleh
lawannya semua itu dapat diatasi dengan kecepatan gerak yang sangat hebat.
Hingga ketika pertempuran baru berlangsung tiga empat jurus. Tengkorak Putih
telah tersungkur roboh bermandikan darah. Dapat
dibayangkan Tengkorak Putih yang memiliki tenaga
dalam seimbang dengan Pendekar Hina Kelana itu
dapat dijatuhkan oleh lawannya hanya pada
gebrakan-gebrakan awal. Hal ini merupakan satu
bukti. Bahwa pemuda bertopi lebar itu memang
merupakan seorang pemuda yang sangat handal
yang memiliki kecepatan gerak tidak dapat
diperhitungkan. Selesai membunuh lawan-
lawannya, si Pedang Kilat dengan tenang segera
meninggalkan korban-korbannya.
6 Malam itu udara terasa dingin sekali. Langit
agak tertutup awan. Hanya sedikit saja cahaya
bulan yang kelihatan di langit sana. Suasana di
sekitar hutan Tengger kelihatan lenggang tidak
ubahnya bagai hutan mati. Tapi di tengah-tengah
hutan yang jarang di jarah oleh kalangan persilatan manapun itu. Di sebuah kuil
tua yang sudah tidak
terurus. Seorang laki-laki tua berpakaian tambal-
tambal nampak sedang duduk-duduk menikmati
lezatnya ayam panggang hutan bersama seorang
gadis cantik berpakaian, serba ungu.
Sesekali gadis berparas cantik jelita ini
melirik pada laki-laki tua yang duduk tidak begitu jauh dari sisinya. Melihat
cara laki-laki berpakaian tambal-tambal itu menggerogoti ayam panggang itu.
Tiba-tiba gadis berwajah rupawan itu bergumam
pelan. "Guru...! Siapakah orang yang paling rakus di kolong langit ini?"
Laki-laki yang di panggil 'Guru' oleh gadis
cantik itu tidak Iain Iblis Liang Kubur adanya.
Sedangkan gadis itu tidak lain merupakan murid
tunggal Iblis Liang Kubur yang bernama Pertiwi.
"Di dunia ini cuma ada satu orang yang
sangat rakus, bahkan mempunyai sifat mata
keranjang...!" kata laki-laki bertampang sangar itu seolah memperingatkan pada
muridnya yang luar
biasa cantik itu.
"Siapakah orang itu, Guru...?" tanya Pertiwi.
Pada kenyataannya meskipun gadis itu merupakan
seorang murid manusia sesat, tetapi ia memiliki
watak yang polos.
"Siapa lagi kalau bukan si Burung Hantu
sahabatku itu...!" kata kakek tua itu polos.
"Hah...!" Pertiwi sampai terlonjak dari tempat duduknya. Selama ini ia memang
tidak pernah menghiraukan kehadiran si Burung Hantu di
tengah-tengah mereka. Bahkan ia tidak begitu
perduli cara si Burung Hantu memandang padanya.
"Bagaimana guru bisa mengetahuinya...?"
tanya gadis cantik itu setengah ragu-ragu.
"Aku mengenal si Burung Hantu tidak
ubahnya bagai tangan dan kakiku sendiri. Itu
makanya, meskipun dia merupakan sahabat baikku.
Tetapi kau jangan bersikap lengah...!"
Pertiwi menganggukkan kepalanya. Kemudian
setelah menoleh ke kanan dan kiri. Pertiwi
melanjutkan pertanyaannya, "Guru. Apakah guru tahu, kemana saja perginya Uwa
Burung Hantu pada saat-saat memisahkan diri dari kita seperti
sekarang ini?" sambil menggerogoti kerat terakhir bagian kepala ayam hutan
panggang itu. Iblis Liang Kubur berkata:
"Mungkin saja ada pekerjaan lain yang harus
segera diselesaikannya. Atau bisa saja ia sedang
memburu Pendekar Hina Kelana, yang konon
kabarnya telah membunuh adik-adik
seperguruannya dari pulau Berhala sana...!"
"Menurut guru. Mana diantara anda berdua
yang lebih sakti...?" pancing gadis itu lebih jauh.
Iblis Liang Kubur mendengus kesal. Sejak
dulu ia paling tidak suka bila dibanding-bandingkan dengan orang lain. Meskipun
yang mengajukan
pertanyaan itu merupakan murid tunggalnya
sendiri. "Kau jangan membuat gurumu marah,
Pertiwi...?"
"Ah, aku kan cuma tanya saja. Kalau guru
tidak sudi menjawabnya atau barangkali guru
sendiri merasa tidak punya keberanian untuk
mengatakannya. Tokh aku tidak memaksa...!" kata Pertiwi dengan wajah cemberut.
"Weh... kau pikir aku takut
mengatakannya...?" ujar Iblis Liang Kubur. "Kau pikir gurumu ini memiliki ilmu
lebih rendah bila
dibandingkan dengan ilmunya si Burung Hantu itu"
He... he... he...! Dalam ilmu silat kami seimbang.
Begitu juga halnya dengan kecepatan menggunakan
senjata. Tapi entah kalau sekarang...! Entah dia malah lebih maju, entah lebih
mundur. Cuma satu
saja yang tidak kupunyai dari seluruh apa yang
dimilikinya. Bahwa aku tidak ahli dalam hal ilmu
penyamaran. Selebihnya dia tidak dapat
memandang remeh pada gurumu ini...!" jelas Iblis Liang Kubur dengan perasaan
bangga. Setelah puas mendengar jawaban gurunya.
Akhirnya Pertiwi hanya diam saja. Sedangkan
gurunya karena merasa kekenyangan telah bersiap-
siap ingin tidur. Lain halnya sang guru lain pula halnya dengan apa yang dialami
oleh muridnya. Setelah memakan daging panggang ayam hutan
yang lezat itu. Pertiwi merasakan tubuhnya terasa panas. Keringat mulai meleleh
membasahi sekujur
tubuhnya. Padahal saat itu udara di sekitar itu
terasa dingin sekali. Tapi Pertiwi merasakan
badannya gerah dan ingin mandi. Satu hal yang
tidak terpikirkan di benak Pertiwi, mengapa udara yang dingin itu tidak
dirasakannya sama sekali.
Bahkan ia tidak merasa curiga dengan ayam hutan
yang dimakannya dan siapa yang menangkapnya
siang tadi" Yang ada dalam ingatannya saat itu ialah ia ingin mandi sepuas-
puasnya. Dan ketika ia ingat dengan sebuah sungai yang terletak tidak begitu
jauh dari kuil tua yang mereka tempati. Maka gadis itupun pamitan pada gurunya.
"Guru...! Badanku terasa gerah sekali. Aku
ingin mandi di sungai yang kita lewati tadi...!" kata gadis itu sambil melangkah
seenaknya. "Jangan lama-lama...!" kata Iblis Liang Kubur yang sudah sangat mengantuk itu
tanpa merasa curiga apa-apa. Sedangkan Pertiwi tanpa berkata
lagi segera bergegas menuju ke arah sungai.
Di luar sepengetahuan gadis itu, kiranya
sejak tadi ada sepasang mata yang terus mengawasi gerak-gerik Pertiwi yang
memiliki wajah sangat
rupawan ini. Dari jarak tertentu sepasang mata yang penuh birahi ini terus
mengikuti ke manapun
Pertiwi melangkahkan kakinya.
Di langit bulan memancarkan cahaya kuning
keemasan ke segenap pelosok hutan rimba di
sekitarnya. Gadis berparas jelita itu sekarang telah berada persis di pinggiran
sungai. Tanpa berpikir panjang lagi, gadis itu mulai menanggalkan
pakaiannya satu demi satu. Maka tanpa penghalang
lagi kulit putih yang halus mulus itu terlihat dengan jelas. Bahkan sepasang
bukit kembarnya yang
ranum, padat dan kenyal menandakan belum
pernah tersentuh tangan-tangan jahil. Ketika gadis itu melemparkan lembaran
terakhir pakaian bagian
bawah. Pertiwi meletakkannya di atas sebongkah
batu besar. Tubuh gadis yang tiada tertutupi
selembar benang itu segera meluncur memasuki
kedalaman sungai.
Sementara pemilik sepasang mata yang
menyaksikan semua yang dimiliki Pertiwi dengan
jelas, berulang kali nampak menelan ludah. Lutut
terasa goyah bahkan ia merasa semakin tidak sabar untuk menyergap mangsanya.
Namun ia masih berusaha menahan gejolak perasaannya dengan
menanti perkembangan selanjutnya.
Di dalam air sungai yang bening itu. Pertiwi
terlihat berenang kian ke mari mengikuti arus
sungai. Tubuhnya yang tiada tertutup sehelai
benang itupun bergerak mengikuti arus sungai.
Hingga pada beberapa saat setelahnya ia merasakan satu perasaan yang belum
pernah dialaminya pada
waktu-waktu sebelumnya.
Mula-mula tubuhnya menggeletar bagai orang
yang kedinginan. Kemudian ia merasakan arus
sungai yang mengalir deras itu tidak jauh bedanya dengan belaian dari tangan-
tangan yang kokoh.
Pertiwi merasakan satu rangsangan yang besar
bersumber dari bagian bawah perutnya. Tidak ayal
tubuh gadis rupawan itupun menggelinjang
beberapa kali. Nafasnya turun naik tidak teratur.
Sementara bibirnya terus mendesis-desis tidak
ubahnya bagai seekor ular yang tengah berhadapan
dengan lawannya. Pertiwi kemudian berenang ke
tepi sungai. Di atas tanah berpasir tubuhnya
terguling-guling, mulutnya terus mendesis tiada
henti. Sementara itu sepasang mata yang terus
Warisan Berdarah 2 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Pendekar Aneh Naga Langit 43
^