Pencarian

Pemikat Nyi Sekar Dayang 1

Pendekar Kelana Sakti 4 Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka
PEMIKAT NYI SEKAR DAYANG KUNTI
Oleh Buce L. Hadi
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Hak Cipta ada pada Penerbit
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-
ruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
Buce L. Hadi Serial Pendekar Kelana Sakti
dalam episode: Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti
1 Bau busuk menyeruak menyengat hidung. Para
penduduk desa Rawa Kandar merasa resah dengan
aroma yang membuat perut mereka mual. Mereka juga
bukannya tidak tahu dari mana asal bau busuk itu...
Dari sebuah gubuk reyot! Gubuk kecil yang nampak
kotor dan tak terurus. Dari celah-celah dinding bilik yang nampak rombeng,
banyak bertebaran lalat-lalat
hijau keluar masuk dalam gubuk itu.
Pemiliknya seorang nenek keriput bernama Ni Luh
Wedas. Dia memang tidak pernah mengurusi rumah-
nya. Sehari-harinya ia selalu sibuk dengan putrinya yang sudah sekian lama
terbaring dalam sebuah kamar.
Keadaan Narsiah, putrinya memang harus menda-
pat perawatan khusus. Penyakit yang selama ini dide-
rita sangat aneh dan kian parah. Seluruh pori-porinya nampak mengeluarkan darah.
Kulitnya seperti meleleh
hampir copot. Mungkin itulah yang mengundang lalat-
lalat berdatangan.
Dalam gubuk itu, Ni Luh Wedas sudah terbiasa
dengan bau busuk yang berasal dari tubuh Narsiah. Ia pun hampir putus asa
menghadapi kenyataan yang di-derita putrinya. Dan siang itu, Ni Luh Wedas betul-
betul terkejut melihat orang-orang kampung berdatan-
gan memenuhi halaman gubuk reyot yang menyebar-
kan bau busuk. Cepat-cepat Ni Luh Wedas menutup
pintu. "Ni Luh Wedas...! Kami sudah hilang kesabaran...!
Bukan kami bertindak jahat ataupun tidak memiliki si-fat persaudaraan..." Parto
yang berdiri paling depan berbicara lantang. Beberapa orang di sebelahnya nampak
muntah-muntah sambil memegangi perut. Yang
lainnya menutup lobang hidung.
"Kami semua berharap agar Ni Luh Wedas mening-
galkan kampung ini..." kata Parto suaranya lebih kencang lagi.
"Betul...! Penyakit putrimu itu akan membawa bencana bagi orang-orang kampung
ini...! Penyakit kusta sangat berbahaya dan menular...!" kata Welang Galih yang
rumahnya paling dekat dengan gubuk itu. Ni Luh
Wedas tidak menjawab.
Tubuh kurusnya gemetar menahan takut. Narsiah
yang ikut mendengar teriakan-teriakan itu memeluk
ibunya. "Kalau kau tidak mau pergi dari sini, kami akan mengusir kalian...! Ini demi
kebaikan kampung ini...!"
Parto masih berteriak. Beberapa orang yang tadi mun-
tah-muntah mengambil beberapa gelintir batu, lalu
mereka melemparinya.... Batu-batu itu melesat meng-
hujani gubuk. Timbul suara yang mirip serentetan le-
dakan senjata. Ni Luh Wedas semakin takut.
"Mereka tidak menjawab, Parto.... Aku khawatir
mereka berdua sudah menjadi mayat! Coba kalian
mengendus. Bau busuknya lebih parah, bukan...?" ka-ta Welang Galih.
"Kalau benar mereka semua mampus, bakar saja
gubuk penyebar penyakit ini..." usul seseorang.
"Ya...! Lebih baik dimusnahkan! Biar penyakit turunan itu tidak menular pada
sanak saudara kita...!"
Seseorang menimpali.
"Bakar...!"
"Betul...! Bakar gubuk itu, bakar.,.!" Suara teriakan mereka ramai memenuhi
halaman muka. Suasana jadi
kacau. Beberapa orang mulai menyulut api, di anta-
ranya Parto dan Welang Galih.... Dari dalam gubuk Ni Luh Wedas melihat nyala api
meletup-letup dari beberapa batang obor. Mereka semua yang berada di luar
halaman sudah nekad dan siap menurut perintah me-
lemparkan batang-batang obor ke atas atap jerami.
Semuanya tergantung dari perintah Parto yang me-
mimpin rombongan itu. Pandangan Parto sendiri su-
dah tidak sabaran. Ingin rasanya gubuk itu cepat-
cepat menjadi arang. Ketika ia hendak memberikan pe-
rintah, "Hentikan!" Suara teriakan seseorang terdengar tidak jauh dari situ.
Semuanya menoleh ke arah suara. Parto dan We-
lang Galih tersentak. Ki Lurah Sentanu tiba-tiba saja berada di situ. Wajahnya
nampak memancarkan sinar
kemarahan. "Kalian hendak melakukan apa..." Membakar me-
reka hidup-hidup..." Sungguh picik pikiran kalian...!"
kata Ki Lurah Sentanu sambil melangkah mendekati
keramaian itu. "Apakah kalian pikir dengan membakar mereka sa-
tu cara yang terbaik...?" kata Ki Lurah lagi. Mereka tidak ada yang berani
jawab. Kecuali Parto....
"Apakah Ki Lurah Sentanu tidak menyadari kalau
penyakit turunan itu amat berbahaya dan menular..."
Kalau mereka dibiarkan menetap di kampung ini, ma-
ka kampung ini akan terancam...!"
"Itu bukan berarti kalian harus membakar mereka hidup-hidup...! Mestinya kalian
musyawarah dulu!"
jawab Ki Lurah Sentanu.
"Buat apa...! Musyawarah atau tidak, hasilnya
akan sama saja! Kami tidak setuju dengan adanya me-
reka di sini.... Apa Ki Lurah Sentanu masih ingat kematian putraku yang masih
kecil pada beberapa ming-
gu yang lalu...?" Welang Galih maju mendekati Ki Lurah.
"Itu karena mereka...! Dukun mengatakan putraku mengidap penyakit keparat itu!
Bagaimana penyele-saiannya.." Yang jelas anak beranak itu mesti dibikin mampus."
katanya lagi lebih lantang.
"Itu bukan suatu usul yang benar...!" bentak Ki Lurah Sentanu sambil menatap
Welang Galih. "Sekarang kalian bubar...! Ayo bubar...! Nanti malam kalian semua berkumpul di
balai desa untuk
membicarakan masalah ini.... Ayo bubar...!" perintah Ki Lurah Sentanu tidak
main-main.... Kontan satu de-mi satu mundur menjauh. Orang-orang itu melangkah
meninggalkan gubuk itu. Hanya Parto dan Welang Ga-
lih masih tetap berdiri menatap Ki Lurah Sentanu.
"Nanti malam kalian pun harus hadir...!" kata Ki Lurah tidak kalah menatap
mereka. Parto dan Welang
Galih gelagapan mendapat tatapan yang demikian
angker. Keduanya melangkah mundur. Lalu dengan
cepat mereka membalikkan tubuh segera berlalu dari
situ dengan menggumamkan sumpah serapah.
Ki Lurah Sentanu mencium bau busuk dari dalam
gubuk itu. Tapi ia berusaha menahannya. Ia berjalan
melangkah mendekati pintu. Ni Luh Wedas yang sedari
tadi mengintip dari balik pintu merasa lega, karena
orang-orang kampung sudah tidak mengepung ru-
mahnya lagi. Ia pun memberanikan diri membuka pintu. Daun
pintu terbuka dengan disertai deritan yang berat....
Bau busuk menyeruak ke luar. Ki Lurah Sentanu
hampir tidak menguasainya. Isi perutnya serasa anjlok ke luar.
"Sebaiknya menjelang gelap nanti kalian mening-
galkan kampung ini... Aku khawatir mereka akan ber-
tindak kasar. Aku memang sebagai Lurah....Tapi aku
tidak dapat berbuat banyak! Mereka sudah tidak dapat dikendalikan lagi...." kata
Ki Lurah Sentanu setengah berbisik. Ni Luh Wedas nampak cemas....
"Ka-ka-kami harus pergi ke mana, Ki.... Lagi pula keadaan putriku..."
"Aku tahu, Ni.... Tapi ini demi keselamatan kalian...
Pergilah dari tempat ini, sebelum mereka bertindak seperti yang tidak kita
inginkan..." usul Ki Lurah Sentanu halus. Sebenarnya Ki Lurah Sentanu sendiri
tidak tega melihat keadaan keluarga kecil Ni Luh Wadas
yang amat terpojok itu.
Bagaimana tidak, penduduk kampung tidak me-
nyukai adanya seorang penderita kusta. Ni Luh Wedas
sendiri merasakannya. Betapa mereka mengucilkan di-
rinya. Pahit memang..! Semua orang tidak menerima
kehadirannya. Pernah suatu waktu, ketika ia memba-
wa putrinya Narsiah ke sungai untuk memandikannya.
Para wanita yang kebetulan mencuci pakaian di sungai melempari dengan batu-batu
kali. Mereka sangat jijik melihat keadaan Narsiah. Mereka takut kalau Narsiah
mandi di kali itu akan menularkan penyakit keturu-
nannya. Luka dikepala mereka tidak seberapa hebat
dengan rasa sakit yang ada di hati... Sampai sekarang luka itu masih membekas!
Ni Luh Wedas tidak lebih bagai seekor makhluk
yang amat mengerikan. Tidak ada satu orang pun yang
berani mendekat ketika ia melewati perkampungan.
Mereka semua beringsut kabur masuk ke dalam ru-
mah. Jangankan mendekat atau berpapasan secara
kebetulan, baru melihat sosok tua renta itu saja mere-ka sudah menyingkir jauh-
jauh. Pernah sewaktu ia berjalan ke pasar. Meskipun ia
membawa uang yang sedikit ia tetap bermaksud mem-
beli sesuatu yang dapat mengisi perut bersama pu-
trinya. Seorang pedagang tidak mau melayani.... Bah-
kan pedagang itu lari pontang-panting meninggalkan
dagangannya. Sekalinya ada, seorang pedagang tidak
mau menerima uangnya. Pedagang itu hanya melem-
parkan beberapa batang singkong ke tanah sembari
meludahi. Dan semua orang tertawa mengejek melihat
sosok tua itu memunguti singkong-singkong yang ber-
serakan di tanah.
Ni Luh Wedas tersadar dari lamunannya ketika so-
sok Ki Lurah Sentanu sudah berada jauh dari gubuk-
nya. Ia menatap tubuh lelaki yang berjalan semakin
menjauh. Dan ia kembali masuk ketika Narsiah me-
manggil-manggil...
* * * 2 Hari hampir gelap, dalam sebuah ruangan di balai
desa nampak dipenuhi oleh para penduduk desa Rawa
Kandar. Semuanya duduk bersila menghadap kepada
Ki Lurah Sentanu yang duduk di depan ditemani den-
gan Mayan Danang, putra tertuanya.
"Kita belum bisa mulai kalau seluruh penduduk ini belum kumpul...!" kata Ki
Lurah Sentanu memecahkan kegaduhan dalam ruangan itu. Pertemuan malam itu
memang tidak seperti biasanya.... Malam itu Ki Lurah Sentanu sengaja mengundang
semua kepala keluarga
desa Rawa Kandar.
"Mana Parto dan Welang Galih..." Kenapa mereka
belum muncul...!'" katanya lagi.
Semuanya saling mencari-cari dua sosok yang
amat dinantikan Ki Lurah Sentanu. Namun Parto dan
Welang Galih tetap tidak ada.
"Apa pentingnya mereka, Ayah.... Tanpa mereka
pun kita bisa mulai..." kata Mayan Danang putra tertuanya yang duduk di samping
sang ayah. "Karena masalah ini merupakan gagasan mereka..."
jawab sang ayah. Tiba-tiba terdengar suara kentongan tanda berita bertalu-talu
dipukul oleh orang. Semua
orang yang ada di situ menjadi ribut seketika. Ada di antaranya banyak yang
keluar sehingga menimbulkan
kekacauan. Suara kentongan yang bertalu-talu itu amat men-
cemaskan bagi orang-orang yang menghadiri perte-
muan. Bagaimanapun mereka dapat mengartikan isya-
rat kentongan... Tanda adanya kebakaran! Dari muka
balai desa sudah terlihat asap api yang membubung
tinggi menyala dalam kegelapan malam.
Suasana dalam ruangan balai desa morat-marit.
Orang-orang itu berdesakkan ke luar. Menyaksikan
nyala api yang begitu hebat. Mereka pun berlarian
mendekati arah kebakaran. Ki Lurah Sentanu bersama
putranya Mayan Danang terpaksa ikut berlari mengi-
kuti mereka. Api masih berkobar membakar sebuah gubuk kecil.
Sekeliling gubuk yang kian panas telah dikerumuni
orang-orang kampung. Semuanya terjadi, seperti tidak wajar.... Tidak ada satu
orang pun dari puluhan warga desa Rawa Kandar yang berusaha memadamkan kobaran
api tersebut. Semuanya hanya menonton dengan
perasaan puas. Sementara itu jeritan panjang terdengar jelas dari
dalam gubuk yang terbakar. Seorang perempuan tua
berusaha keluar dari kurungan api. Orang-orang kam-
pung melihat jelas perempuan tua itu menggapai-gapai meminta pertolongan.
"Jangan bawa anakku...! Kalian jahat...! Jangan bawa Narsiah...!" Suara itu
jelas terdengar dari dalam kobaran api. Tapi seakan-akan para penduduk Rawa
Kandar tidak mendengarnya sama sekali. Malah....
"Aaaaaaaaaarght!" Nampak jelas tubuh renta bergerak-gerak termakan api yang
demikian membara.
Tubuh itu kelojotan di tanah dalam kurungan pagar
api. Sampai akhirnya sebuah tiang jatuh menimpa tu-
buh berkelojotan itu.
Ki Lurah Sentanu bersama anaknya baru tiba di
tempat kejadian. Ia menatap cemas ke arah gubuk
yang mulai habis termakan api.
"Bagaimana keadaan Ni Luh Wedas bersama pu-
trinya...?" tanya Ki Lurah Sentanu ketika mereka melangkah ke depan melihat
kobaran api. "Entahlah.... Dari tadi tidak mendengar sua-
ranya..." jawab orang yang ditanya acuh.
Lalu ia berusaha untuk tidak menatap Ki Lurah
Sentanu yang berdiri di sebelahnya. Ki Lurah Sentanu menarik lengan orang itu.
"Kau lihat Parto dan Welang Galih...?" tanya Ki Lurah lagi. Orang itu hanya


Pendekar Kelana Sakti 4 Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangkat bahu.
"Mengapa ayah selalu menanyakan mereka...?"
tanya putranya Mayan Danang.
"Aku yakin ini hasil perbuatan mereka! Pasti...!"
jawab Ki Lurah Sentanu.
"Belum tentu ayah...! Siapa tahu keluarga Ni Luh Wedas memang bermaksud bunuh
diri...!" pendapat Mayan Danang.
* * * Narsiah sudah tidak dapat berteriak lagi. Tubuh-
nya telah terjerat dengan dua utas tambang. Dua
orang bertubuh kekar berusaha menyeretnya cepat.
Dua orang itu tidak lain Parto dan Welang Galih, me-
reka membawanya masuk ke dalam hutan belukar
yang gelap dan menyeramkan.
Suara binatang malam maupun burung hantu
mengiringi langkah-langkah mereka yang menyeret tu-
buh Narsiah dengan terburu-buru. Langkah-
langkahnya menyeruak menyibak alang-alang liar. Tu-
buh Narsiah yang diseretnya tidak nampak karena ter-
halang dengan alang-alang yang tumbuh tinggi. Kedua
orang yang menyeret tidak perduli bilamana kepala
Narsiah membentur batu. Sekalipun mereka menden-
gar suara benturan itu sampai membledar.
"Biar mampus sekalian!" sumpah Parto.
Pohon-pohon besar berakar rambat menyaksikan
perjalanan mereka.
"Cepat, Welang Galih... Langkahmu kian lama kian lambat saja...! Kenapa" Takut?"
kata Parto menarik lebih cepat.
"Bukannya aku takut.... Aku bingung, sebentar ki-ta mau ke mana...?" jawab
Welang Galih. "Ah kau ini...! Makanya sewaktu Den Mayan Da-
nang bicara kau, dengarkan...!" kata Parto. Ia mengibaskan lengannya memberi
aba-aba, maka Welang Ga-
lih pun menarik cepat tali tambang itu. Kembali suara benturan membledar! Entah
apa yang mengenai di tubuh Narsiah.
Udara dingin menyengat kulit, manakala suasana
yang begitu menyeramkan menampakkan dua sosok
tubuh kekar berjalan menyusuri tepian jeram. Dua so-
sok itu berhenti menatap gelapnya dasar jurang. Se-
perti telah direncanakan, mereka menarik tambang le-
bih kuat! Maka sosok tubuh berlumuran darah me-
nyembul dari hamparan alang-alang. Sosok tubuh
Narsiah yang sudah tak sadarkan diri. Kedua orang
yang menyeret itu mengikatkan batu pada tiap-tiap
ujung tambang. Batu-batu yang dipilihnya cukup be-
sar. Mereka sendiri susah payah mengambil batu-batu
itu. Untuk mengikat pada kedua batu itu mereka tidak perlu waktu lama...
"Sudah beres Parto...!" kata Welang Galih selesai mengikat. Parto pun demikian.
Tanpa menjawab ia
mendorong batu itu. Welang Galih mengikutinya... Se-
bentar saja batu-batu menggelinding. Begitu juga dengan tubuh Narsiah yang
terikat di antara batu-batu
ikut terbawa terjerumus ke bawah sana yang demikian
gelapnya... Parto dan Welang Galih merasa tugasnya telah se-
lesai. Merekapun tersenyum puas. Mereka belum be-
ranjak dari tempat yang menyeramkan itu. Masih ada
yang mereka tunggu. Yaitu mendengar suara degum
batu-batu dari dasar jurang. Karena hal itu meyakin-
kan mereka, bahwa batu-batu yang mereka lemparkan
akan hancur bersama tubuh Narsiah si penyebar ma-
lapetaka! Batu-batu yang membawa tubuh Narsiah memang
meluncur deras. Sebelum batu-batu itu jatuh ke dasar jurang, terlebih dahulu
membentur tebing-tebing beba-tuan yang menjorok ke bawah. Berkali-kali batu-batu
itu menggelinding akibat benturan dinding tebing. Par-to sendiri yang menantikan
dari atas tebing sudah tidak sabaran menantikan deguman batu-batu yang di-
ikatnya. Wajah Parto maupun Welang Galih tersentak kaget
tatkala suara deguman batu amat nyaring menggema.
Ingin sebenarnya mereka melongok ke dasar jurang.
Sayang ia merasa agak takut dan ngeri karena tebing
berbatu itu amat terjal dan dalam. Sambil bergidik
membayangkan apa yang terjadi di bawah sana, kedua
orang itu berlari menerobos hutan.
Dua bongkah batu besar yang jatuh ke dasar ju-
rang masih menggelinding terpisah berlainan arah. Ba-tu-batu besar itu tidak
hancur. Tetapi utuh seperti
semula. Hanya tambang pengikat tubuh Narsiah saja
yang nampak tersayat-sayat seperti terpotong-potong
kecil... Yang lebih aneh, tubuh gadis yang berpenyakit
kusta itu tidak ada di sekitar batu-batu dan potongan-potongan tambang... Memang
tidak mungkin! Parto
dan Welang Galih sudah yakin ikatannya itu begitu
kencang. Mereka telah berpendapat tubuh Narsiah
akan sama hancurnya bersama batu-batu itu.
Parto dan Welang Galih mana tahu raibnya tubuh
Narsiah di dasar jurang. Yang mereka tahu hanyalah
degumam benturan batu-batu yang amat dahsyat! Kini
mereka berdua berlari menerobos gelapnya hutan
kayu. Sesekali mereka harus melompati akar-akar po-
hon yang malang melintang. Kedua kaki mereka pun
terasa sekali perih di saat bergesekkan dengan rum-
put-rumput berduri. Tidak heran kalau mulai menam-
pakkan baret-baret ringan di kedua betis mereka. La-
rinya makin kencang ketika mereka hampir berada di
pinggir hutan. Mereka pun masih dapat melihat sisa-
sisa asap hitam mengepul membumbung ke atas.
Api yang semula berkobar-kobar, kini perlahan-
lahan padam akibat siraman-siraman para penduduk
yang karena terpaksa atas perintah Ki Lurah Sentanu.
Tinggal asap hitam saja yang masih mengepul.
Parto dan Welang Galih sudah berada di situ. Me-
reka langsung menyelinap dalam kerumunan puluhan
orang. Seorang anak muda mengenakan pakaian bulu
binatang merasa kaget karena terdorong oleh Parto.
Welang Galih sempat menatap anak muda itu, ia pun
sama acuhnya dengan Parto. Malah langsung mende-
sak menerobos kerumunan menyusul.
Mayan Danang yang sudah dapat melihat kehadi-
ran Parto dan Welang Galih langsung melangkah mun-
dur, kemudian berbalik menemuinya. Anak muda yang
mengenakan baju bulu binatang itu menatap aneh
kearah mereka. Ia pun bersikap masa bodoh seakan
tak mau ambil pusing, mungkin mereka tengah men-
gurusi kebakaran itu sampai sedemikian seriusnya.
Pikir anak muda itu.
"Singkirkan puing-puing ini... Ayo bantu aku..." ka-ta Ki Lurah Sentanu
melangkah mendekati gubuk yang
telah menjadi arang. Ia berharap tidak ada korban barang seorang pun.
Ada suatu keanehan dalam pikiran anak muda ini.
Mengapa sekarang baru mengadakan pertolongan.."
Kenapa tidak di saat-saat api masih berkobar..."
"Ayo...! Bantu aku! Kenapa kalian diam saja!" bentak Ki Lurah Sentanu.
"Tapi, Ki Lurah.... Puing-puing itu masih sangat panas." jawab salah seorang
berada di dekatnya.
"Bodoh! Gunakan sebatang bambu...!" Ki Lurah Sentanu sengit sambil melemparkan
sebatang bambu yang semula digenggamnya. Dengan gelagapan orang
itu menerimanya. Ki Lurah Sentanu mengais-ngais
lengannya menyingkirkan puing-puing serta abu-abu
bekas atap jerami. Ia tidak melihat apa-apa. Orang-
orang berdatangan mengerumuni. Cuma menonton...!
Ah buat apa aku harus berdiri di sini mengikuti
menonton yang semesti memerlukan pertolongan, biar
saja! Sekarang aku tidak perlu ikut campur... Besok
pun pasti ada beritanya, kata anak muda itu dalam
hati sambil berlalu meninggalkan kerumunan orang-
orang kampung. Baju bulunya bergerak-gerak tertiup
angin. Ujung celananya yang compang-camping ikut
bergerak-gerak saat ia melangkah.
Ki Lurah Sentanu membelalakkan matanya, ketika
ia melihat sosok hangus tertimbun sebatang tiang yang habis termakan api. Cepat
ia melangkah ke situ. Di-pandanginya sosok kaku itu. Ki Lurah Sentanu men-
gernyitkan alis... Ia betul-betul tidak dapat mengenalinya lagi... Tubuh Ni Luh
Wedas dan Narsiah putrinya hampir sama... Ia tidak dapat membedakan mayat siapa
yang tertimbun hangus menghitam bagai arang,
dengan wajah yang hampir rata tanpa wujud. Bau bu-
suk sudah lenyap sama sekali, kini berganti bau wan-
ginya daging panggang. Ki Lurah Sentanu menoleh ke
belakang ketika mendengar suara beberapa orang
mendekati. Ternyata anaknya, Mayan Danang bersama
Parto dan Welang Galih.
"Kalian yang melakukan semua ini...?" tanya Ki Lurah Sentanu dengan nada marah.
"Bukan ayah! Mereka mana berani melakukan-
nya... Menurut mereka, sebelum terjadi kebakaran,
Parto dan Welang Galih tengah menuju ke balai desa,"
jawab Mayan Danang membela. Ki Lurah membelalak-
kan mata.... "Kenapa kalian tidak ada di sini ketika orang-orang bergerombolan menuju ke
sini..." "Siapa bilang..! Malah aku dan Welang Galih lebih dulu berada di sini... Kami
sembunyi saat melihat Ki Lurah bersama Mayan Danang datang... Kami takut
kesalahan." jawab Parto merengut. Welang Galih melangkah, lalu ia mengangkat
tiang kayu yang menim-
bun tubuh hangus itu. Melihat tiang itu sudah terangkat, Parto datang membantu
menarik tubuh yang
hampir menjadi arang. Sebenarnya ia merasa jijik, tapi lantaran di hadapan Ki
Lurah Sentanu, Parto merasa
seolah-olah dirinya pahlawan.
* * * Anak muda itu berhenti melangkah di sebuah los-
men yang cukup ramai. Di atas pintu gerbang losmen
terpampang papan nama yang bertuliskan: Mawar Ma-
lam! Para pendatang banyak yang keluar masuk pintu
itu. Belasan wanita penghibur menyambut ramah jika
ada tamu-tamu yang memasuki pintu gerbang. Bah-
kan sambutan mereka begitu menyolok. Membawa ke-
san jorok dan menegangkan saraf.
Anak muda itu masih berdiri memandangi papan
nama yang terpampang di atas pintu gerbang yang mi-
rip sebuah gapura. Tembok dindingnya tidak ada. Jadi ia bisa melihat keramaian
di situ dari luar. Dan ia pun tersentak kaget ketika seorang wanita menarik
tubuhnya terpojok ke tiang pintu gerbang.
"Mau cari hiburan.." Ayo masuk... Aku biasa me-
layani anak-anak muda sepertimu! Ayo jangan malu-
malu.... Sudah datang kenapa tidak masuk...?" kata wanita itu penuh manja. Anak
muda itu berontak dari
pelukannya. "Ah.... Maaf. Aku ke sini hanya untuk menumpang bermalam..."
"Di dalam akan lebih hangat.... Aku bisa menema-nimu..." Wanita itu terus
merangsak, anak muda itu mendorong kasar.
"Aku tidak membutuhkan kamu...! Lagi pula aku
tidak punya uang...!" jawabnya. Wanita itu pergi sambil menggerutu.
"Sial mimpi apa aku semalam, sampai menda-
patkan seorang gembel... huh! Dari tadi aku memang
sudah mencium baunya... Sungguh tolol...!" Wanita itu kembali ke tempat semula
pasang aksi di depan pintu
gerbang. Teman-teman seprofesinya mentertawai.
Mendengar itu anak muda ini menahan tawanya. Ia
melangkah agak jauh dari situ. Kemudian ia duduk
jongkok bersandar pada pagar pendek. Matanya masih
terus menyaksikan keramaian orang-orang yang ber-
datangan. Celoteh dan cekikikikan para penghibur
membisingkan tempat itu. Anak muda ini hanya
menggeleng-gelengkan kepala.
* * * 3 Ingin rasanya anak muda itu tertawa ngakak ketika
melihat seorang pelacur memekik di saat seorang ta-
munya mencubit alat vitalnya. Perempuan itu memba-
las membuka kain yang membungkus tubuhnya lalu
menungging menunjukkan pantatnya. Maka berderai-
lah tawa orang-orang yang berada di situ. Tawa mereka segera berhenti ketika
melihat tiga orang mendatangi tempat itu. Malah mereka menyerbu mendatangi tiga
orang yang baru datang itu. Tiga orang itu hanya tersenyum bangga mendapat
perlakuan dari para wanita
penghibur. Anak muda itu pun mengernyitkan alisnya, se-
pertinya ia mengenali ketiga orang itu. Ingatannya masih sangat kuat. Meskipun
ia hanya sepintas melihat
mereka sewaktu melihat kejadian gubuk kecil yang
terbakar. Mereka tidak lain Mayan Danang bersama
Parto dan Welang Galih... Yaaah! Tidak salah lagi!
Dalam pada itu pun Welang Galih melihat seorang
pemuda berpakaian bulu binatang duduk berjongkok
memandangi kedatangan mereka. Welang Galih acuh
tak perduli, ia menganggap pertemuan yang kedua ini
hanyalah suatu kebetulan. Kembali ia asyik dengan
wanita-wanita penghibur itu. Mayan Danang telah me-
nemukan wanita pilihannya. Wanita penghibur itu
memang lebih cantik dari yang lainnya. Tidak heran
kalau Mayan Danang bermata hijau kuning. Wanita itu
hanya diam ketika Mayan Danang mendekatinya. Se-
nyum wanita itu membuat langkah Mayan Danang
semakin cepat. Ia langsung memeluk erat bermaksud memba-
wanya ke dalam losmen, tapi... Sosok lengan kekar
mencengkeram kerah baju Mayan Danang. Cepat
Mayan Danang menoleh ke belakang. Dilihatnya sosok
tubuh besar dengan wajah yang sangat menyeramkan
menyeringai. "Perempuan itu Gundikku, Sobat..! Kau boleh
mencari perempuan lain..!" kata orang bertubuh kekar.
Mayan Danang membalikkan tubuhnya...
"Perempuan-perempuan di sini milik bersama...
Lagipula kau tidak tahu siapa diriku..! Kau kenal dengan Ki Sentanu...?" kata


Pendekar Kelana Sakti 4 Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mayan Danang menantang.
"Ki Sentanu yang lurah itu... Jadi kau anaknya.."
Apa yang perlu ditakutkan. Ini tempat kotor! Kita sa-ma-sama nista.... Jadi kita
sama...!" jawab orang itu.
"Bangsaaat...!" Mayan Danang geram. Ia melayang-
kan tinjunya...
Plak! Orang bertubuh kekar itu menangkis tenang.
Akibat benturan itu Mayan Danang meringis. Parto
dan Welang Galih meluruk mendekati Mayan Danang.
Keduanya memandang geram terhadap orang yang
menyeramkan itu.
"Hancurkan monyet itu...! Cepaaaat...!" teriak Mayan Danang. Parto dan Welang
Galih langsung menerjang. Melihat terjangan mereka, orang itu bermak-
sud mencabut senjata dari pinggangnya. Tapi ia tidak keburu. Parto sudah lebih
dulu menendang...
Blaak! Dengan memutar lengannya orang itu dapat me-
nangkis tendangan Parto... Disusul oleh serbuan We-
lang Galih. Tinjunya yang cepat hampir mengenai mu-
ka yang menyeramkan itu.
Sekali Mayan Danang ikut melancarkan serangan.
Mengambil kesempatan luang. Tapi justru setiap han-
taman Mayan Danang selalu mengenai tepat. Sedang-
kan Parto dan Welang Galih merasa sulit melancarkan
hantaman. Suasana jadi hiruk pikuk. Para wanita penghibur
menjerit-jerit ketakutan. Semua orang yang berada dalam losmen mengira ada apa,
mereka berhamburan ke
luar. Pertempuran masih berlangsung. Pemuda itu
masih duduk tenang, meskipun sebenarnya ikut me-
nyaksikan perkelahian itu.
"Sungguh berani mereka mengeroyok Kebo Dung-
kil... Mereka cari penyakit!" kata salah seorang yang berada di situ. Mereka
tidak ada yang berani mendekat. Para wanita penghibur bersembunyi di balik tu-
buh para lelaki.
Parto memekik di saat hantaman keras melanda
punggungnya. Hantaman yang sangat keras itu mem-
buat tubuhnya terbanting keras... Saat itu pula Mayan Danang melesat melancarkan
tendangan... Bwak! Orang itu memekik. Pipinya yang terkena tendan-
gan itu terasa panas. Ia melotot garang... Baru ia hendak menerjang menyerang,
Welang Galih menghalan-
ginya dengan sabetan lengan kirinya.... Orang itu cepat mundur, tapi kakinya cepat
bergerak memutar menghantam pinggang....
Deeees! Welang Galih memekik hebat. Sewaktu orang itu
melancarkan tendangan, Mayan Danang sempat me-
lancarkan tinjunya. Cukup keras menghantam pung-
gung. Sekarang Parto maupun Welang Galih sudah tidak
dapat bangun. Mayan Danang tidak akan mendapat
kesempatan melancarkan serangan. Kini ia berdiri gu-
gup. Meskipun gerakannya seperti mengeluarkan ju-
rus-jurus andalannya.
Tapi ketika orang yang sangat menyeramkan itu
menerjang Mayan Danang tidak sempat mengelaknya...
Deeeer! Tendangan yang begitu keras menghantam dada.
Tubuh Mayan Danang terlempar jauh bergulingan di
hadapan seorang pemuda yang duduk tenang bersan-
dar pada pagar. Sosok kekar itu melompat ke arah
Mayan Danang sambil menarik sebuah golok besar da-
ri pinggangnya.
Sinar lampu memantul dari bilah golok yang berke-
lebat cepat mengarah ke kepala Mayan Danang. Sebe-
lum golok itu memecah belah kepala itu... Pemuda
yang duduk tenang bersandar mengangkat tangannya
ke atas.... Plaaaak! Golok dalam genggaman itu terpental. Orang kekar
yang bernama Kebo Dungkil menjerit. Telapak tangan-
nya terasa seperti kesemutan.... Pemuda yang tadi me-nepak golok bangkit berdiri
memandangi keduanya.
Semua orang jadi ngeri, semula mereka tidak men-
duga bahwa kepala Mayan Danang pasti terbelah dua.
Mereka semua tidak melihat saat golok itu bergerak.
Saat itu mereka semua memejamkan mata lantaran
ngeri... Ketika mereka membuka mata, seorang anak
muda telah berdiri menghadapi di antara Mayan Da-
nang dan Kebo Dungkil.
"Gembel keparat...! Berani kau mencampuri urusan Kebo Dungkil.... Rasakan
ini...!" Lengannya yang me-
makai gelang bahar bersiap menghantam dengan tu-
buh yang cepat menerjang.
Kebo Dungkil seakan tak percaya dengan pengliha-
tannya. Sewaktu ia melancarkan hantaman, ternyata
pemuda itu telah melayang ke atas. Hantamannya itu
hanya mengenai tempat yang kosong. Pemuda yang
berjumpalitan di udara mendorong punggung dengan
kakinya.... Bugg! Tendangan itu tidak begitu keras, tapi cukup
membuat Kebo Dungkil tersungkur ke depan.
Parto dan Welang Galih cepat bangun berlari ke
arah Mayan Danang. Mereka membantu anak Ki Lurah
Sentanu bangkit berdiri. Mayan Danang masih kehe-
ranan melihat kehebatan seorang pemuda yang telah
menyelamatkannya. Mereka dapat melihat anak muda
itu dapat mengecoh Kebo Dungkil berkali-kali.
"Siapa dia, Parto...?" tanya Mayan Danang.
"Kalau tidak salah aku pernah melihat dia sewaktu terjadi kebakaran..." Welang
Galih memotong perta-nyaan Mayan Danang.
"Siapa dia...?"
"Entahlah.... Sepertinya dia orang asing di sini...!"
Kebo Dungkil memekik keras saat dirasakan tulang
leher berdetak keras. Sebuah hantaman karate telak
menghantam. Setelah melancarkan hantaman itu,
anak muda ini hanya berdiri tenang melihat tubuh Ke-
bo Dungkil bergulingan, sesaat kemudian ia pingsan.
Melihat ambruknya tubuh Kebo Dungkil, semua orang
yang berada di situ membelalakkan mata. Belum per-
nah mereka melihat seseorang yang dapat merubuh-
kan Kebo Dungkil. Apalagi orang hebat itu tidak lain seorang anak muda.
Terlebih-lebih pada seorang wanita penghibur yang
tadi pertama kali menemui pemuda itu di pintu ger-
bang losmen. Sambil tersenyum malu ia berlari meng-
hampiri pemuda itu. Sebelum wanita itu mendekat,
Parto menyingkirkannya lebih dahulu. Mayan Danang
dan Welang Galih mendekati anak muda itu.
"Terima kasih anak muda... Kau telah menyela-
matkan diriku.... Mari...! Untuk mengucapkan rasa terima kasihku, kau kuundang
makan.... Ayo masuk...!"
ajak Mayan Danang.
"Tapi..." Anak muda itu ragu-ragu.
"Ayolah.... Aku paling tidak suka tawaranku dito-lak!" Mayan Danang menarik
lengan anak muda itu. Ia pun mengikuti....
Mereka sudah menghadapi meja besar berisi rupa-
rupa makanan. Mayan Danang sengaja menuangkan
arak ke dalam gelas yang dihadapi anak muda itu. Par-to dan Welang Galih senyum-
senyum menatap anak
muda itu. "Ah.... Anggap saja ini sekedar unjuk rasa dan tanda perkenalan.... oh ya siapa
nama anda..." kata
Mayan Danang setelah menuangkan arak.
"Panggil saja aku Wintara... Hanya itu namaku..!"
jawab Wintara. "Saudara Wintara.... Sebenarnya aku merasa malu dengan kejadian tadi..."
"Itu biasa... Di tempat-tempat seperti ini, apalagi kalau bukan soal berebut
perempuan..." Itukan wajar...!" kata Wintara sambil meraih gelas berisi arak. Ia
hanya menenggaknya sedikit.
Para wanita penghibur mulai berdatangan. Dengan
lenggak-lenggok yang genit mereka mendekati setiap
lelaki yang menghadapi meja besar. Tidak terkecuali
pada Wintara. Mayan Danang sengaja memilihkan un-
tuknya wanita yang paling cantik di losmen Mawar Ma-
lam. Wintara merasa kikuk menghadapi wanita yang
demikian agresif. Berkali-kali ia melepaskan diri di saat wanita itu berusaha
memeluknya. "Anda demikian hebat, tuan pendekar...! Orang-
orang losmen Mawar Malam memang tidak menyukai
dia.... Tapi kami semua khawatir, kami takut kalau pimpinan mereka akan datang
ke sini untuk membuat
perhitungan..." kata perempuan itu berusaha memeluk. Wintara berontak mengelak.
"Kebo Dungkil mempunyai seorang pemimpin...?"
Mayan Danang ketakutan. Begitu juga Parto dan We-
lang Galih. Mereka tidak berani mengeluarkan suara.
"Kebo Dungkil sebenarnya seorang yang hebat...
Anak buahnya saja sudah sedemikian tangguh, apalagi
pemimpinnya..." kata Wintara duduk tenang.
"Singo Kobar seorang yang memiliki ilmu tinggi, itulah sebabnya ia menguasai
daerah ini... Tapi ia bukan orang jahat! Ia paling tidak suka anak buahnya
diganggu orang!" Perempuan di sebelah Parto menjelaskan.
"Kalau begitu, aku terancam bahaya.... Aku harus meminta maaf kepada Kebo
Dungkil." Mayan Danang gemetar menahan takut. Wintara tersenyum.
"Sebenarnya dalam hal ini akulah yang bertang-
gung jawab...! Karena akulah yang membuatnya jatuh
pingsan!" kata Wintara bangkit dari kursinya.
"Kalau Singo Kobar mau membuat perhitungan,
katakan saja aku menunggunya di Bukit Kendal pada
malam purnama nanti..." katanya lagi.
Losmen Mawar Malam kembali ramai seperti semu-
la. Orang-orang yang berada di situ sudah tidak perdu-li lagi dengan peristiwa
yang terjadi di depan pintu gerbang. Tiap-tiap meja telah penuh dengan para tamu
dan juga para wanita penghibur. Beberapa orang dari
mereka sudah. ada yang nampak mulai mabuk.... Tapi
suasana seperti itu memang sudah biasa di losmen
Mawar Malam. Justru hal yang semacam itu menye-
marakkan suasana.
Gelak tawa yang hiruk pikuk bercampur dengan
musik gending Jawa yang mengalun memenuhi ruan-
gan itu. Wintara telah menghabiskan arak yang berisi dalam gelasnya. Tiba-
tiba.... Mayan Danang beringsut bangun ke belakang Wintara. Sosok Kebo Dungkil
berjalan sempoyongan mendekati meja mereka.
"Ingat anak muda...! Kami akan membuat perhi-
tungan denganmu...!" katanya nanar.
"Tentunya kalian tidak ingin merusak tempat ini bukan..." Katakan pada
pemimpinmu Singo Kobar...
Akan kutunggu di Bukit Kendal pada malam purnama
pertama..." jawab Wintara. Setelah membuang ludah, Kebo Dungkil beranjak dari
situ. Langkah-nya masih
sempoyongan. * * * 4 Ruangan itu sangat terang menampakkan bentuk
bangunan yang sangat indah. Seluruh dinding dan pi-
lar-pilarnya memancarkan sinar kuning keemasan. Ti-
dak ada sebuah kerajaan manapun yang menyamai
keindahan ruangan itu.
Hawa di sekitar ruangan itu sangat harum. Seper-
tinya wangi bunga-bunga hidup yang menghambur di
sekitar lantai. Dari balik tembok yang berwarna kee-
masan terdengar derai tawa beberapa perempuan. Tak
lama perempuan-perempuan itu menampakkan diri.
Semuanya berjumlah dua belas orang. Pakaian mereka
amat menyolok. Tubuh mereka yang ramping-ramping
hanya mengenakan selembar kain sutra yang amat ti-
pis. Membuat lekuk tubuh para wanita itu jelas keliha-tan.
Semuanya berlarian menuju ke sebuah ruangan
yang lebih terang. Dalam ruangan itu telah menunggu
seorang wanita cantik terbaring miring di atas sebuah pelaminan. Pelaminan yang
terbentuk bagai sebuah
bangku panjang berwarna keemasan pula; Hampir se-
luruh pelaminan itu dihiasi dengan ratusan permata
yang berwarna warni menghiasi. Dan para perempuan
itu langsung berderet di belakang seorang wanita cantik terbaring miring.
Wanita cantik itu memakai mahkota berhias per-
mata pula. Kalung, gelang kaki serta gelang tangan,
semuanya terbuat dari emas. Tubuhnya tidak melekat
selembar benangpun. Buah dada serta auratnya tertu-
tup oleh rambut hitamnya yang panjangnya sekitar sa-
tu setengah tombak. Senyumnya tersungging di saat
kedua belas orang perempuan di belakangnya serem-
pak mengipasi dengan kipas-kipas melebar bagai bulu
merak. Sesaat kemudian wanita cantik itu menepukkan te-
lapak tangannya sebanyak tiga kali... Plok...! Plok...!
Plok! Maka berdatangan lagi empat wanita. Keadaan
empat wanita itu sama, mereka mengenakan kain su-
tra sebagai penutup tubuhnya yang bugil.
"Ada apa tuan ku, Putri...!" Keempatnya langsung menghaturkan sembah.
"Bagaimana keadaan gadis itu, Dayang-dayang
Ayu..?" kata wanita cantik itu sambil melemparkan senyum yang tak pernah putus.
"Beliau tidak apa-apa, hanya sukar sekali untuk menyadarkannya..." jawab keempat
wanita yang masih merunduk hormat. Wanita cantik itu beranjak bangun.
Rambutnya yang panjang terjuntai ke lantai. Buah da-
danya nampak sekal dengan puting yang merah ra-
num. "Coba kalian bawa ke mari..." katanya halus. Lalu keempat wanita bangkit memberi
hormat. Kemudian
berlalu dari hadapan sang putri. Setelah kepergian
keempat wanita itu, ia menoleh ke belakang menatap
dua belas orang perempuan yang memegang kipas.
"Kalian boleh beristirahat...! Pergilah! Nanti setelah aku membutuhkan kalian,
akan kupanggil lagi...!" Kedua belas orang perempuan itu pun berjalan perlahan
berbaris masuk ke balik dinding.
Tak lama keempat wanita yang semula diperintah-
kan oleh sang putri datang lagi dengan membawa so-


Pendekar Kelana Sakti 4 Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sok tubuh seorang perempuan yang berlumuran da-
rah. Tanpa merasa jijik sang putri meraba sekujur tu-
buh penuh luka yang menimbulkan bau busuk. Begitu
juga dengan keempat wanita yang disebut 'Dayang-
dayang Ayu'. Mereka tidak merasa geli memapah tu-
buh itu. "Kasihan.... Bagaimanapun ia seorang wanita yang masih hidup! Bawa ia ke ruang
semedi..." kata wanita cantik yang tak lain sang putri junjungan mereka.
Keempat dayang-dayang ayu tidak menyahut, me-
reka segera membawa tubuh berlumuran darah itu ke
sebuah ruang. Sang putri berjalan lebih dahulu mema-
suki ruang semedi. Ruangan itu cukup remang tidak
ada sinar lampu barang sedikit pun. Membuat suasa-
na ruangan itu nampak hijau. Lantainya tertutup oleh asap putih yang menghampar
di bawah ruangan....
Hawa dingin menyengat kulit.
Seperti sudah mengerti akan tugasnya, keempat
perempuan itu meletakkan sosok tubuh yang berlumu-
ran darah pada sebuah tempat empuk berlapiskan su-
tra kehijauan seperti lumut. Sang putri memberi aba-
aba, maka keempat perempuan itu pergi meninggalkan
ruangan itu. Setelah pintu ruang semedi tertutup, ruangan itu
nampak semakin hijau pekat. Wanita cantik itu mem-
perhatikan raut wajah sosok yang terbaring pingsan.
Jari-jari tangannya yang lembut menyentuh kening so-
sok berlumuran darah itu. Sang putri membacakan
mantera yang tidak dapat dimengerti oleh bangsa apa-
pun. Hanya terlihat mulutnya yang mungil nampak
komat-kamit.... Sesaat kemudian ia tersentak.
Wanita cantik itu bergetar, sebelah lengannya
nampak memegangi kepalanya. Wanita cantik itu
seakan melihat serentetan peristiwa yang dialami oleh sosok kaku yang terbujur
di atas sutra hijau. Semuanya tergambar jelas... Tiga orang nampak membicara-
kan sesuatu, lalu yang dua orang pergi menyulut dua
batang obor. Keduanya berlari menuju ke sebuah gu-
buk. Setelah menendang pintu gubuk, salah seo-
rang dari mereka mengikat tubuh seorang gadis yang
terluka parah...
Kemudian membakar gubuk itu dan membiarkan
seorang nenek keriput terbakar hangus sambil menje-
rit-jerit.... Dua orang yang telah membakar gubuk itu membawa sosok luka. Mereka
menyeretnya sampai ke
tepi jurang.... Wanita cantik itu tersentak lagi seolah telah sadar dari
perjalanan jauhnya, lalu....
"Laki-laki keparat itu harus menerima balasan-
nya... Mereka akan rasakan nanti akibat perbuatan-
nya..." Wanita cantik itu menatap garang, wajahnya berubah menyeramkan.... Lalu
kedua telapak tangannya bergerak cepat menyentuh bagian perut serta dada pada
sosok yang terbaring.
"Bangun Cah Ayu...!" Dengan seketika tubuh berlumuran darah itu membuka matanya.
Karena kaget ia
mendadak bangkit. Pandangannya masih sangat su-
ram. Ia takut sekali melihat pemandangan dalam
ruangan yang sangat gelap itu. Di hadapannya telah
berdiri seorang perempuan cantik tersenyum manis.
Wanita itu datang mendekati, tapi....
"Jangan...! Jangan bunuh aku...! Mana ibuku, ma-na..." Kalian telah membunuhnya!
kalian kejam... Ka-
lian keparat!"
Sosok berlumuran darah itu memaki-maki. Namun
sekali wanita cantik itu mengibaskan sebelah lengan-
nya, sosok terluka parah itu pingsan lagi. Tubuhnya
jatuh tertelungkup di atas kasur empuk berlapis sutra hijau Wanita cantik
tersenyum lagi. Ia melepas kan seluruh pakaian yang telah kotor berlumur darah.
Setelah tubuh berbau busuk itu membugil. Wanita
cantik meletakkan kedua telapak tangannya ke bagian
punggung. Mendadak saja tubuh pingsan itu menge-
rang kesakitan. Beberapa kali tubuhnya mengejang,
setelah itu mulutnya menyemburkan darah... Pandan-
gannya seperti normal kembali, seluruh rasa sakitnya hilang dengan seketika.
"Jangan takut, Cah Ayu.... Aku tidak bermaksud
jahat, akulah yang telah menyelamatkan nyawamu da-
ri lembah maut ini."
Gadis yang telah telanjang bulat namun masih ber-
lumuran darah karena penyakitnya menatap kehera-
nan. Sebab ia sudah tidak ingat apa-apa lagi ketika
Parto dan Welang Galih menyeretnya masuk ke dalam
hutan. Sampai sejauh inikah mereka membuang di-
rinya ke dasar jurang" Sungguh terkutuk perbuatan
mereka! Sekarang ia telah berada di hadapan seorang
wanita yang mengaku telah menyelamatkan dirinya.
"Kau ingin membalas dendam terhadap mereka...?"
Mendengar tawaran yang menarik ia masih ragu
akan siapa adanya wanita cantik. itu.
"Tak perlu ragu ataupun takut, Cah Ayu...! Aku
penguasa istana lembah ini. Namaku: Dayang Kunti
Naga.... Kau sebenarnya seorang gadis yang cantik jelita.... Aku pikir kau tak
akan percaya dengan ucapan-
ku.... Ke marilah ikut denganku.... Ayo, Cah Ayu..."
Wanita cantik yang menamakan dirinya 'Dayang Kunti
Naga' menuntun gadis yang masih ketakutan. Ia geme-
tar sekali, karena lantai yang ia pijak banyak meng-
hampar asap-asap putih sebatas mata kaki.
Setelah mereka melangkah kira-kira lima tombak,
Nyi Dayang Kunti Naga menghembuskan angin dari
mulutnya... Maka tersibaklah asap-asap putih yang
menghampar di lantai. Menampakkan tujuh buah lu-
bang berisi air berwarna warni.
"Kau harus tahu siapa dirimu, Cah Ayu... Nah me-rendamlah di situ.... Itu
namanya: Sumur Banyu Pi-
tu.... Kau harus merendam diri pada sumur-sumur
itu.... Ayo...!"
Nyi Dayang Kunti Naga membujuk, dengan gemetar
tubuh bugil berlumuran darah itu melangkah. Kaki
kanannya dicelupkan lebih dahulu. Terasa dingin se-
kali air yang menyentuh telapak kakinya... Untuk kaki kirinya ia tidak ragu-ragu
lagi... Kembali terasa dingin, maka ia menceburkan diri sekaligus... Ternyata
air yang merendamnya hanya sebatas dada. Gadis itu
nampak menggigil.
"Menyelamlah, Cah Ayu... Menyelam..." perintah Nyi Dayang Kunti Naga. Gadis itu
menurut. Sekali sentak. Tubuh itu telah lenyap tenggelam, beberapa saat kemudian
gadis itu menyembul dengan nafas yang te-rengah-engah seperti kehabisan udara.
"Sekarang berpindahlah pada sumur berikutnya...
Lakukan seperti tadi..." Gadis itu menurut, hati-hati sekali ia melangkah.
Karena ia tahu lantai sekitar situ sangat licin dan banyak ditumbuhi lumut.
Untuk sumur kedua itu tidak perlu takut lagi. Sekaligus ia me-rendamkan diri
kemudian tanpa disuruh lagi, gadis itu langsung menyelam. Begitu seterusnya dari
sumur ke sumur, gadis itu menyelami, sampai akhirnya pada
sumur ketujuh. Begitu gadis itu menyembulkan kepa-
lanya, Nyi Dayang Kunti Naga tertawa menyeramkan.
"Hi-hi-hi-hi-hi-hi.... Apa kataku, Cah Ayu.... Kau akan lihat sendiri."
Dengan tubuh yang menggigil ia keluar dari sumur
itu. Nyi Dayang Kunti Naga langsung merangkul sam-
bil menuntun, gadis itu hanya menurut ke mana Nyi
Dayang Kunti Naga membawanya....
Ruangan itu sudah tidak gelap lagi. Semua dinding
yang tadi nampak kehijauan menyeramkan jadi terang
benderang. Seluruhnya memancarkan sinar keemasan.
Gadis itu seakan tidak percaya melihatnya.
Ia tersentak kaget dan segera menutup mata, keti-
ka melihat sebuah cermin besar memantulkan sosok
bayangan dirangkul Nyi Dayang Kunti Naga, sosok
bayangan bugil berkulit halus yang sangat menyolok
mata.... Nyi Dayang Kunti sendiri telanjang bulat! Tapi rambutnya yang panjang
menutupi bagian auratnya.
Sedang bayangan di samping Nyi Dayang Kunti Naga
tidak ada selembar rambut pun yang menutupi bagian
dada dan auratnya....
Perlahan gadis itu membuka matanya, tetap saja
bayangan itu selalu nampak. Nyi Dayang Kunti Naga
tersenyum... "Kenapa heran, Cah Ayu..., Itulah tubuhmu yang
sebenarnya... Kau boleh memegang tubuhmu sendiri
bila masih tak percaya... Semua luka-luka di tubuhmu telah lenyap, karena kau
telah merendam diri di Sumur Banyu Pitu!"
Seperti tidak percaya gadis itu melihat kedua len-
gannya yang nampak halus mulus. Begitu juga dengan
buah dada yang putih mengkal.... Tubuhnya yang
ramping aduhai.... Kedua pangkal pahanya yang pu-
tih... Ia betul-betul hampir tidak percaya, sewaktu kedua lengannya menyentuh
permukaan cermin ma-
tanya terbelalak!.. Betul! Itu bayangan dirinya! Nyi Dayang Kunti Naga tertawa
lagi... "Hi-hi-hi-hi-hi-hi-hi...." Tidak malu-malu lagi gadis itu menghadap ke arah Nyi
Dayang Kunti Naga. Wajahnya berseri... Karena penyakit yang selama ini menjadi
duri dalam kehidupannya telah hilang. Namun da-
lam sesaat ia berubah muram. Terbayang ibunya yang
tua renta berkelojotan termakan api. Begitu juga dengan wajah Parto.... Kemudian
wajah Welang Galih, lalu secara naluri wajah Mayan Danang ikut tergambar pu-la.
"Apakah kau ingin membalas dendam terhadap
mereka...?" tanya Nyi Dayang Kunti Naga. Pertanyaan itu terulang kedua kalinya.
Sambil menatap tajam gadis itu menjawab....
"Kalau saja diperkenankan oleh sang putri Nyi
Dayang Kunti Naga, ingin rasanya kuhirup habis da-
rahnya...!" Gadis itu berkata mantap.
* * * 5 "Lakukan saja, Cah Ayu.... Kenapa tidak boleh"
Justru orang-orang yang berada di sini semuanya telah dipengaruhi oleh dendam!
Dendam memang harus se-
gera dilenyapkan dalam hatimu.... Aku memang telah
memupuknya dari sekarang.... Nah, sekarang se-
butkan namamu..."
"Narsiah!" jawab gadis itu.
"Mulai sekarang namamu bukan Narsiah lagi... Ta-pi, Nyi Sekar Dayang Kunti! Kau
dengar...?" Narsiah mengangguk.
"Tubuhmu masih kosong, Sekar Dayang Kunti...
Kau belum bisa melepaskan maksud dendammu! Ber-
lututlah di sini, akan ku salurkan tenaga dalam un-
tukmu..." Nyi Sekar Dayang Kunti alias Narsiah langsung
berlutut di hadapan Nyi Dayang Kunti Naga yang mulai menggerak-gerakkan
lengannya. Dan ketika kedua telapak tangan itu menyentuh bagian dada, Nyi Sekar
Dayang Kunti mengerang hebat.
"Tahan, Sekar...!" Keduanya serasa bergetar. Keringat mengucur dari tubuh bugil
Nyi Sekar Dayang Kun-
ti. Kepala seperti berdenyut dengan puluhan bintang
yang bertaburan dalam benaknya.
Tak lama kemudian hening, keduanya masih berlu-
tut diam saling berhadapan. Nyi Dayang Kunti Naga
membuka mata lebih dulu. Lalu ia bangkit membiar-
kan tubuh bugil Nyi Sekar Dayang Kunti tetap berlutut memejamkan matanya. Ia
belum berani bangkit sebelum sang putri Nyi Dayang Kunti Naga memerintah.
"Ada suatu pesan buatmu, Sekar... Kau boleh me-
lampiaskan dendammu. Tapi jangan sampai melam-
piaskan dendammu terhadap orang-orang yang tidak
pernah menyakitimu! Cukup terhadap Parto, Welang
Galih dan Mayan Danang... Atau juga orang-orang
yang bakal mengganggumu nanti... Hanya itu pesan-
ku.... Kau ingat?" Nada bicara Nyi Dayang Kunti Naga seakan mengancam. Nyi Sekar
Dayang Kunti mengangguk.
* * * Begitu mendengar suara langkah kaki yang berja-
lan cepat di lantai teras, Kunta Danang cepat beranjak menuju pintu dan
membukanya. Ia melihat Mayan
Danang dengan wajah merah padam. Kunta Danang
membiarkan Mayan Danang masuk.
"Kakang Mayan Danang dari mana saja" Sejak ter-
jadinya kebakaran di gubuk Ni Luh Wedas pada bebe-
rapa hari yang lalu, Kakang jarang pulang ke rumah...
Sudah lama ayah menunggumu Kakang..." kata Kunta Danang mengikuti langkah Mayan
Danang. "Aaah...! Tahu apa kau" Minggir!" Mayan Danang mendorong tubuh Kunta Danang.
"Mayan Danang! Ke mari kau!" Ki Lurah Sentanu yang mendengar suara Mayan Danang
membentak. Pintu kamar ayahnya memang terbuka. Mayan Danang
sendiri sudah melihat Ki Lurah Sentanu duduk meng-
hadapi meja kerjanya dengan wajah angker.
Dengan langkah malas, Mayan Danang memasuki
ruangan itu. Ayahnya menatap tajam.
"Ada apa, ayah...?"
"Selama ini aku curiga bahwa kau bersekongkol
dengan Parto dan Welang Galih yang membakar gubuk
Ni Luh Wedas!" kata Ki Lurah Sentanu langsung me-mojokkan.
"Kenapa ayah sampai berkata begitu..." Aku tidak melakukan apa-apa...!" jawab
Mayan Danang sambil melangkah mendekat.
"Setelah kuselidik-selidik, banyak orang mengatakan kau selalu pergi dengan
mereka ke tempat-tempat
pelacuran...! Kau telah menyiram muka ayahmu den-
gan air comberan, Mayan Danang...!" bentak ayahnya.
"Yah! Aku sering ke tempat-tempat itu bersama
Parto dan Welang Galih! Tapi tidak ada hubungannya
sama sekali dengan terbakarnya gubuk Ni Luh We-
das...!" jawab Mayan Danang sengit. Ki Lurah Sentanu melotot. ,
"Bagaimanapun peristiwa itu merupakan suatu
pembunuhan! Aku akan membawa kalian kepada
orang yang berhak menghukum kalian.... Aku rela ke-
hilangan seorang anak, kalau anak itu berhati bina-
tang...!" "Kau rela menjebloskan aku ke dalam tahanan
yang bukan tempatku...?" Mayan Danang balas menatap. Ki Lurah Sentanu bangkit
berdiri tatapannya me-
remehkan sekali....
"Kenapa tidak...?"
Braaak! Mayan Danang menggebrak meja, sesaat


Pendekar Kelana Sakti 4 Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian ia membalikkan tubuh dan melangkah cepat
ke luar dari ruangan itu. Kunta Danang, adiknya yang sedari tadi mendengar
percakapan mereka di muka
pintu tertabrak oleh Mayan Danang yang berjalan se-
rampangan. Mayan Danang sendiri menghempaskan tubuhnya
pada sebuah kursi empuk di ruangan tamu. Pikiran-
nya serasa kacau dan kalut. Secara tidak langsung
perbuatannya telah terbongkar. Dia sendiri sudah me-
rasa takut. Sukar rasanya untuk mengelakkan diri...
Dan ucapan ayahnya itu tidak main-main.
Berulang-ulang ia berusaha memejamkan matanya
yang terserang rasa ngantuk. Namun begitu ia meme-
jamkan matanya selalu saja tersentak dengan pera-
saan was-was. Membuat ia susah tidur. Kepalanya se-
perti pening berputar.
Ia menghentakkan tubuhnya bangkit dari kursi.
Pandangannya menoleh ke sana-ke mari. Setelah itu ia berjalan mendekati sebuah
lemari. Pintu lemari itu
mudah sekali terbuka. Bahkan hampir tidak mengelu-
arkan suara sedikitpun. Di situ ia mengambil sesuatu
dari tumpukan barang-barang berharga. Benda kecil
itu dimasukkannya ke dalam saku baju.
Dengan langkah yang hati-hati ia menuju dapur.
Hari memang masih sore, ia melihat Mang Toyop si
pembantu tengah sibuk membuat sesuatu.
"Sedang apa, Mang Toyop...?" tegur Mayan Danang mengejutkan orang itu.
"Aduh! Den Mayan Danang...! Mamang sampai ka-
get.... Anu, Den.... Saya sedang membuat minuman
buat Ki Lurah." jawab! Mang Toyop sambil mengaduk minuman itu dengan sendok.
"Tinggalkan saja dulu itu, Mang.... Tolong sediakan aku air hangat, aku mau
mandi. Hari ini rasanya ba-danku kurang enak..." kata Mayan Danang mendekati
Mang Toyop. Mang Toyop sendiri langsung membiarkan gelas di atas meja. Setengah
membungkuk ia me-
lewati Mayan Danang yang berdiri menghadapinya.
Mang Toyop memang tahu Mayan Danang selalu me-
minta air hangat untuk mandi.
Sepeninggal Mang Toyop, Mayan Danang mendeka-
ti gelas yang tergeletak di atas meja. Asap dari hawa panasnya air masih
mengepul dari permukaan gelas.
Dengan sedikit gemetaran ia mengeluarkan sebuah
bungkusan kecil dari saku bajunya. Diam-diam ia me-
lurukkan bubuk isi dalam bungkusan kecil ke dalam
gelas. Gerak-geriknya jadi tidak tenang.
Sebelum Mang Toyop datang, Mayan Danang su-
dah meninggalkan tempat itu. Ia berjalan sambil mem-
buka bajunya. Tak lama....
"Sudah, Den.... Air hangat sudah saya sediakan..."
kata Mang Toyop yang berpapasan. Tanpa menjawab
Mayan Danang memasuki ruangan mandi. Bak besar
dari kayu yang berada di sudut ruangan memang su-
dah berisi air hangat, setelah membuka celananya, ia merendam diri. Sepertinya
nyaman sekali.... Tapi apa-kah hatinya akan dapat tenang" Sengaja ia berlama-
lama merendam dalam air hangat itu. Sekalipun ia te-
lah menggosok bersih seluruh tubuhnya. Tapi ia belum juga mau bangkit dari bak
kayu yang cukup besar. Sepertinya ada sesuatu yang ia tunggu-tunggu.... Lama
sekali ia merenung. Kedua matanya menatap dinding
yang mulai ditumbuhi lumut.
Air yang semula hangat kini lama-kelamaan men-
jadi dingin. Mayan Danang tersentak ketika pintu ka-
mar mandi diketuk orang manakala tubuhnya telah
menjadi dingin....
"Den.... Den Mayan Danang...! Apakah Den Mayan
Danang sudah selesai mandi?" Itu suara Mang Toyop.
"Ada apa...!" tanya Mayan Danang dari dalam.
"Ah, tidak apa-apa.... Den Mayan Danang mandi
terlalu lama.... Saya khawatir Aden akan sakit." kata Mang Toyop lagi. Terdengar
kecipak suara air. Kemudian suara orang mengenakan pakaian.... Tak lamapun
Mayan Danang keluar.
Sebelum Mayan Danang melangkah ia sempat me-
lirik pada sebuah meja. Gelas yang diberikan bubuk
olehnya sudah tidak ada. Lalu ia meneruskan lang-
kahnya. Suasana ruangan itu telah sepi. Tapi ruang kerja Ki
Lurah Sentanu masih terbuka lebar. Ia pun sempat
melihat ketika melaluinya. Di atas meja kerja Ki Lurah Sentanu ada sebuah gelas
yang telah kosong. Ki Lurah Sentanu sendiri telah tertidur tertelungkup di atas
me-ja.... Mayan Danang tersenyum puas.... Ia terkejut ketika mendengar suara....
Klotaak! Mayan Danang menoleh ke arah suara yang men-
curigakan dari kamar Kunta Danang. Maka ia segera
melangkah ke situ, dengan cepat ia membuka pintu
kamar. Ia melihat Kunta Danang tertidur pulas sambil mendengkur. Mayan Danang
menghela nafas.
Ia pun melangkah lagi menuju ke kamarnya. Ketika
tubuhnya telah rebah ke atas kasur empuk pikirannya
melayang lagi... Apakah yang telah ia lakukan tadi"
Sampai hatikah ia meracuni ayahnya sendiri..." Semu-
anya telah terlanjur! Dan semua itu memang ia ingin-
kan! Jiwanya akan terancam bila ayahnya masih hi-
dup... Mayan Danang akan mendekam dalam sel yang
paling menakutkan...
* * * Puing-puing bekas kebakaran masih berserakan.
Debu-debu beterbangan tertiup angin. Udara di situ
sudah bersih. Tidak lagi tercium bau busuk. Rumah-
rumah penduduk nampak terang. Meskipun para pen-
duduknya tidak ada yang keluar rumah. Mereka se-
mua asyik bercengkerama bersama keluarganya. Ada
juga yang sudah tertidur pulas karena udara yang be-
gitu dingin. Rumah Parto sendiri yang paling diterangi oleh be-
berapa lampu gembreng. Karena tadi siang istrinya ba-ru melahirkan. Beberapa
orang penduduk banyak be-
gadang di situ menemani keluarga Parto.
Sejak tadi sore Parto tidak beranjak pergi dari
samping istrinya yang terbaring di balai beralas tikar.
Tidak puas-puasnya ia memandangi bayi pertamanya
yang mungil. Bayi perempuan.
"Kang Parto.... Kita tidak punya apa-apa lagi untuk menyuguhkan mereka yang
menemani kita malam
ini... Uang untuk membeli kopi sudah habis tadi siang buat bayar dukun
beranak... Kasihan mereka hanya
minum air putih saja..." kata istrinya dengan suara lirih.
"Habis mau bagaimana..." Lagipula mereka men-
gerti, kita ini orang tidak punya" jawab Parto. Istrinya menghela nafas.
"Rasanya nggak enak, Kang... Paling tidak kita ha-
rus menyuguhkan mereka makanan.... Cobalah Ka-
kang pergi ke rumah Den Mayan Danang, beliau kan
teman baik Kakang.... Cobalah pinjam uang pa-
danya..." kata istrinya lagi.
Parto terdiam. Bagaimana caranya ia bisa mempe-
roleh uang dari Mayan Danang" Sebenarnya ia memili-
ki uang banyak, tapi sebelum anaknya lahir. Uang itu pun upah dari hasil
membakar gubuk Ni Luh Wedas.
Sekarang uang itu telah ludes di tempat pelacuran.
Kalau sekarang ia datang lagi untuk meminjam
uang mana mungkin Mayan Danang percaya. Mayan
Danang pasti mengira ia akan pergi lagi ke tempat me-sum itu. Karena selama ini
Mayan Danang tahu betul
sikap Parto... Parto tidak pernah perduli dengan istrinya yang sedang hamil.
Sekarang ia betul-betul ser-ba salah...
"Pergilah, Kang... Mayan Danang pasti memberi
uang..." kata istrinya yakin.
Dengan perasaan yang masih gelisah ia bangkit.
Keluar dari kamar. Orang-orang di luar sudah ramai
berkumpul. Parto berusaha bersikap ramah terhadap
orang-orang yang menemani begadang menjaga is-
trinya yang melahirkan... Dengan tubuh setengah
membungkuk ia melewati orang-orang itu....
"Mau ke mana, Kang...?" Salah seorang menegur-nya.
"Aku hendak membeli kopi sekalian makanan ke-
cil..." kata Parto sambil tersenyum.
"Tidak usah repot-repot.... Kalau perlu bawa saja semua yang ada...!" Yang lain
bergurau, maka mele-daklah tawa mereka. Parto ikut tertawa.
Langkahnya cepat bergerak meninggalkan gubuk-
nya. Pikirannya telah berobah! Ia tidak akan pergi ke rumah Mayan Danang, tapi
tujuannya kepada Welang
Galih. Ia berharap Welang Galih masih punya sisa
uang upah dari Mayan Danang. Kalaupun Welang Ga-
lih tidak dapat membantu, terpaksa ia harus menemui
Mayan Danang. Dalam perjalanannya ia mengutuki di-
rinya. Kenapa ia harus tergila-gila main perempuan"
Pada saat-saat begini membutuhkan uang ia merasa
kesulitan sekali. Sebenarnya tanpa menyuguhkan apa-
apa pun tidak jadi masalah. Tapi semua ini lantaran
tradisi desa Rawa Kandar. Setiap orang yang baru me-
lahirkan mesti dibegadangi selama tujuh hari tujuh
malam. Untuk itu ia harus menyediakan tetek bengek
untuk menyuguhkan tamu-tamunya yang ikut mene-
mani selama semalam suntuk.
Selama ia melangkah pikirannya kosong. Namun
langkah semakin cepat. Untuk mencapai gubuk We-
lang Galih ia. harus melewati surau kecil yang mengalirkan air. Matanya begitu
terbelalak ketika tanpa sengaja ia melihat ke arah surau. Sebuah pelita kecil
menerangi seorang gadis yang sedang mandi. Parto dapat melihat tubuh mulus itu!
meskipun terhalang dengan
pagar bilik sebatas pinggang.
Langkahnya terhenti mendadak. Parto menelan lu-
dah saat gadis itu menggosok-gosok lengannya. Kemu-
dian berdiri membersihkan bagian pinggang. Gadis itu seakan-akan tidak tahu akan
kehadiran Parto yang
dapat memandang jelas seluruh tubuh molek itu... Ka-
rena gadis itu memang berdiri membelakangi.
Tanpa menoleh gadis itu bermaksud meraih kain
yang sengaja ia sangkutkan pada pagar bilik, tapi tan-pa sengaja pula tangannya
menyentuh jatuh kain itu.
Parto tersentak ketika melihat wajah gadis itu. Wajah yang demikian cantik
mempesona! Belum pernah ia
melihat wanita secantik bidadari seperti ini... Tubuh yang selangit, buah dada
yang mengkal... Serta... Serta... Ah! Melihat itu Parto makin gemetar.
Melihat adanya seorang lelaki yang memandangi
seperti itu, gadis itu tersenyum.
"Kakang.... Tolong ambilkan kainku yang terja-
tuh..." kata gadis itu lirih. Parto gelagapan, tanpa ber-kedip ia memandangi
tubuh gadis itu, lengannya yang
gemetar mengambil kain yang tergeletak di tanah. Lalu ia memberikannya....
"Terima kasih.... Kakang begitu baik...!" kata gadis itu. Begitu baik" Hanya
membantu mengambilkan kain
dari tanah dan mendapat imbalan melihat tubuh bugil
gadis itu dikatakan begitu baik.." Parto masih memandangi gadis itu yang memulai
memakai kainnya. Ketika
gadis itu keluar, Parto mengikutinya...
"Kakang mau ke mana.." Bukankah istri kakang
baru melahirkan..?"
"Aku baru melihatmu... Kau tinggal di mana?" Parto memberanikan diri. Gadis itu
menunjuk tempat
tinggalnya dengan jari telunjuk. Parto melihat gubuk Welang Galih. Di samping
gubuk itu terdapat sebuah
gubuk cukup kecil namun bersih dan terang.
"Kalau mau mampir boleh saja. Mumpung hari ma-
sih sore." Gadis itu sengaja tidak menoleh. Ia meneruskan langkahnya. Bagai
terkena hipnotis Parto men-
gikutinya. Sebentar saja gadis itu telah memasuki gubuknya. Parto tidak berani
masuk. Ia mencium bau
wewangian yang sangat merangsang.
"Kenapa di luar saja.... ayo masuk," kata gadis itu dari dalam
* * * 6 Parto melangkah masuk. Gadis itu tersenyum
membuka kain penutup tubuhnya di samping ranjang.
Dalam ruangan itu Parto tidak melihat apa-apa selain sebuah ranjang dan beberapa
kursi yang nampak bagus.
"Sepertinya kakang sedang kesusahan..." Ada
apa?" tanya gadis itu sambil memborehi seluruh tubuhnya dengan bedak wewangian.
Kedua lengannya ke
atas mengikat ikal rambutnya, maka kedua buah dada
yang mengkal nampak mencuat menantang.
"Be-be-betul Nyi.... Aku kekurangan uang...!" kata Parto jujur. Gadis itu
tersenyum ia mengambil sesuatu dari bawah kasur berlapis sprei sutra. Sebelah
lengan gadis itu memegang ujung kain yang menutupi tubuhnya.
"Aku punya hanya sekian... Barangkali cukup untuk keperluan Kakang..." kata
gadis itu sambil menyo-dorkan sekantong uang. Parto melotot.
"Uang itu terlalu banyak, Nyi.... Aku hanya..." kata Parto melangkah mendekat.
"Ambil sajalah.... Aku tidak punya sanak saudara di sini, mereka mengusirku..."
kata gadis itu memberikan uang dalam telapak tangan Parto. Terasa sekali telapak
tangan yang halus lembut.
"Sanak saudaramu mengusirmu...?" tanya Parto.
"Yah...!"' Gadis itu hampir menangis. Kainnya terlepas. Jatuh menutupi bagian
aurat dan pahanya. Par-
to melangkah lebih dekat lagi tambah jelaslah buah
dada yang bergerak-gerak saat gadis itu menangis teri-sak. Dada Parto
bergemuruh. "Aku memang telah salah jalan.... Selama ini aku mencukupi hidupnya dengan
melacurkan diri..." Gadis itu berkata jujur.... Pantas ia banyak uang, pikir
Parto. Tiba-tiba saja gadis itu memeluk Parto. Pelukannya
hangat sekali. Parto membelai.... Belaiannya itu bukan sekedar rasa sayang, tapi
nafsu! Berkali-kali ia mengu-sap-usap buah dada yang kian membengkak kencang.
Gadis itu menggelinjang.
"Berhentilah jadi pelacur...! Lebih baik kau jadi istriku, Nyi..." bisik Parto
meremas buah dada itu. Gadis itu menganga menahan nikmat.
"Kau sudah punya istri.... Lagi pula baru melahirkan, apa kata mereka nanti bila
mereka tahu kalau
aku ini seorang pelacur... kata gadis itu mempererat pelukannya.
"Tidak perduli, Nyi.... Tidak perduli...!" Nafas Parto kian memburu.
"Tidak ada orang sebaik Kakang.... Aki Sekar
Dayang Kunti merasa beruntung." kata gadis itu merebahkan diri di atas sprei


Pendekar Kelana Sakti 4 Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sutra yang lembut. Dengan
tidak sabaran Parto menarik kain yang menutupi aurat gadis itu. Gadis itu telah
telanjang bulat dengan gerakan-gerakan yang menantang.
Udara makin dingin. Angin berhembus kencang
mengerikan. Manakala suara binatang malam terus
mengiringi suasana gelap. Seekor burung hantu ber-
tengger dengan memancarkan kedua mata yang nya-
lang. Menatap ke tiap-tiap rumah penduduk yang kini
sudah tertidur lelap. Hanya lampu-lampu pelita yang
menerangi pada tiap-tiap halaman rumah tetap berke-
lap-kelip mengikuti perjalanan malam yang demikian
panjang. Menjelang subuh, orang-orang yang berada di gu-
buk Parto merasakan mencium sesuatu. Aroma yang
kurang menyedapkan itu, seperti bau busuk. Membuat
percakapan mereka selama menemani istri Parto yang
melahirkan jadi terputus.
Bau busuk itu sebentar-sebentar hilang, sebentar-
sebentar timbul terbawa angin. Tapi mereka tidak perduli. Ada beberapa orang
yang menguap terserang ha-
wa ngantuk, dan mereka mulai rebahan pada sebuah
tikar lebar yang memang sudah disediakan oleh Parto.
"Kalau Parto datang, bangunkan aku...! Biar ku
damprat habis-habisan dia!" pesan seseorang yang mulai mengambil tempat kosong
untuk rebahan. Yang
mendengarkan ucapan itu acuh saja. Mereka pun sa-
ma kesalnya. Karena sejak tadi sore setelah Parto ke luar rumah sampai sekarang
belum juga nongol batang
hidungnya. Jangan-jangan ia ngendon di rumah istri
mudanya, pikir mereka.
Matahari merambat naik, sinar kemerahan menye-
ruak bercampur dengan kabut yang bergerak perlahan
sirna. Kicau burung-burung dan kokok ayam jantan
saling bersahutan. Orang-orang yang semalaman be-
gadang di gubuk Parto berpamitan dengan istri yang
masih rebahan menyusui bayinya, lalu mereka berebut
ke luar dari gubuk itu.
Bau busuk itu menyebar lagi menyengat hidung.
Setiap mereka melangkah bau busuk itu makin santer
tercium. Adanya bau busuk itu, mengingatkan mereka
pada peristiwa beberapa hari yang lalu.... Mereka cukup bergidik! Dan ketika
mereka melewati puing-puing bekas sebuah gubuk yang terbakar. Sosok tubuh
bergerak-gerak dari tumpukan tiang-tiang arang. Sosok
tubuh itu mengerang-erang seperti menahan rasa sa-
kit. Orang-orang yang baru saja melewatinya seakan
tak percaya, justru bau busuk itu berasal dari bekas reruntuhan gubuk yang
terbakar milik Ni Luh Wedas...! Mereka semuanya hampir lari ketakutan ketika
sosok yang bergerak- gerak tadi bangkit berdiri....
Bagaimana tidak" Tubuh yang menyebarkan bau
busuk dengan keadaan yang mengerikan. Seluruh ku-
litnya yang tanpa selembar benangpun mengalirkan
darah. Wajahnya sudah tidak nampak karena terge-
nang oleh darah.. Jelas sosok itu tubuh seorang lelaki.
"To-to-to-toloooooong.... A-a-aku.... Pa-
Pa- Partoooo! Aku Partoooo!" jerit sosok berlumuran darah itu.
Siapa yang mau mendekatinya" Tentu saja mereka
semua jijik, apalagi bau busuk nya cukup membuat
beberapa orang muntah-muntah! Keadaan kulitnya
yang nampak meleleh dikerubungi oleh lalat-lalat yang mulai berdatangan. Sosok
tubuh itu berkelojotan di
tanah. Ia berguling-guling sambil mengerang terus. Ku-
lit dagingnya mengelupas akibat gesekan dengan ta-
nah. Semua orang menatap ngeri. Merekapun heran dari
mana datangnya sosok tubuh berpenyakit kusta ini...
Satu orang telah disingkirkan datang manusia berpe-
nyakit kutukan ini... Apakah desa ini memang telah
mengalami kutukan dari yang Maha Kuasa..."
Pagi itu desa Rawa Kandar menjadi heboh. Semua
penduduk keluar rumah untuk menyaksikan sosok
berpenyakit kusta bergulingan ngamuk tak terkendali.
Sekalipun mereka melihat sosok bergelimang darah
itu, mereka tidak berani mendekat,
"Aku Partoooo...! Aku Partooo.... Tolooooong!"
Orang itu menjerit-jerit bergulingan. Darah yang ke-
luar dari pori-pori kulitnya muncrat ke sana-ke mari.
Orang-orang berlari menjauh takut terkena cipratan
darah yang pasti bakal menularkan penyakit kutukan
itu. Sekalipun mereka yakin sosok itu adalah Parto,
siapa yang berani mereka memberikan pertolongan"
Kecuali mereka hanya menyaksikan dari kejauhan.
Hampir semua warga desa Rawa Kandar memenuhi
tempat itu. Antara takut jijik dan penasaran mereka
menyerbu ke tempat kejadian yang menghebohkan itu.
Seorang anak muda mengenakan baju bulu binatang
berlari ke arah itu. Dari kerumunan itu ia dapat melihat sosok bergulingan
kelojotan di tanah.
"Lagi-lagi di tempat ini terjadi keanehan...! Salah apa desa ini...?" kata anak
muda yang tak lain adalah Wintara.... Pendekar Kelana Sakti. Ia masih melihat
jelas tiang kayu yang telah hitam menjadi arang.
Sesaat kemudian tubuh bergelimang darah itu
mengejang kaku, dadanya yang tadi naik turun kini
diam menghembuskan nafasnya yang terakhir. Winta-
ra menghela nafas, ia tahu betul siapa orang itu. Parto!
Salah seorang yang pernah mengajaknya makan mi-
num di Losmen Mawar Malam.
Bau busuk hilang bersamaan dengan berakhirnya
ajal Parto. Para penduduk mulai berdesakkan mende-
kati. Yang mereka lihat adalah benar. Sosok tubuh
Parto. Wintara membalikkan tubuhnya, tapi ia tidak
jadi.... Karena sebuah cengkeraman melekat erat pada pundaknya. Ia hanya menoleh
ke belakang. Kebo
Dungkil bersamaan seorang temannya menyeringai.
"Sudah kukatakan padamu Kebo Dungkil...! Akan
kutunggu pemimpinmu Singo Kobar di Bukit Kendal
pada bulan purnama pertama.... Apakah orang yang
bersamamu itu pemimpinmu?" kata Wintara sambil
menepiskan cengkeraman Kebo Dungkil.
"Bukan...! Mana mau Singo Kobar menghadapi ce-
coro macam kamu! Lagipula menunggu bulan purna-
ma terlalu lama! Biarlah aku bersama Somat Codet
akan membuat perhitungan! Mumpung kebetulan kita
bertemu di sini..." Kebo Dungkil menantang. Ia sudah
bergerak-gerak mengeluarkan jurus. Tapi orang yang
menamakan dirinya Somat Codet cepat menarik.
"Kau sudah pecundangi, Kebo Dungkil...! Biar aku yang ukur kehebatan anak muda
ini... Kau menying-kirlah...!" Somat Codet menggebrak tanah. Lalu kedua
lengannya bergerak cepat menyilang di depan dada.
Kebo Dungkil mundur sambil nyengir.
Wintara diam melihat gerak-gerik orang yang mulai
mengeluarkan jurus. Ia sedikit kaget juga ketika sebelah lengannya menyambar ke
samping, pukulan an-
ginnya mampu menggetarkan baju bulunya.
Para penduduk desa Rawa Kandar sama sekali ti-
dak menyadari kalau akan terjadi sebuah perkelahian
di sekitar situ. Karena mereka sibuk menyaksikan so-
sok mayat menjijikkan terkapar bersimbah darah. Me-
reka belum menyadari. Dan begitu mendengar suara
teriakan yang menggelegar, serempak orang-orang itu
menoleh ke arah suara yang menggelegar itu. Mereka
jadi kaget! Dalam situasi yang seperti ini, masih ada peristiwa lain yang betul-
betul menghebohkan desa
itu. Somat Codet melancarkan serangan gencar bagai
seekor banteng. Menyeruduk dan melayangkan tin-
junya berkali-kali. Wintara mundur-mundur menghin-
darinya. Kebo Dungkil yang masih merasa dendam, di-
am-diam ikut melancarkan serangan. Hal itu bukan-
nya Wintara tidak tahu, maka ketika Somat Codet me-
lancarkan tendangannya, Wintara cepat melesat ke
atas sambil kakinya berputar ke arah Kebo Dungkil...
Bugg!! Lumayan, cukup membuat Kebo Dungkil jungkir
balik. Melihat temannya dibuat seperti itu, Somat Codet makin geram.
Tendangannya yang bagai kilat ber-
putar. Wintara hanya dapat menangkis dua kali....
Begg! Untuk ketiga kalinya, Wintara terhuyung mundur.
Tendangan itu cukup keras mengenai pinggang. Tapi
Wintara hanya senyum merasakan itu.
Orang-orang desa Rawa Kandar menghambur
buyar. Semuanya menatap bingung.... Dan tidak men-
gerti! Apa sebab musabab mereka sampai berkelahi di
tempat ini..." Tapi mana sempat mereka memikirkan
hal itu.... Sekarang mereka hanya menyaksikan se-
buah perkelahian yang tidak seimbang. Mereka me-
mang cukup mengenal siapa Kebo Dungkil dan Somat
Codet, tapi untuk pemuda asing yang mengenakan pa-
kaian bulu binatang itu, merupakan suatu hal yang
menarik perhatian. Bagaimana tidak" Mereka dapat
melihat gerakan pemuda itu di saat Kebo Dungkil dan
Somat Codet menyerang bersamaan. Tendangan mau-
pun pukulan mereka hanya nyeplos mengenai angin.
Sedangkan si pemuda itu sendiri dapat beterbangan,
Tugas Rahasia 8 Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya 6
^