Pencarian

Pemikat Nyi Sekar Dayang 2

Pendekar Kelana Sakti 4 Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti Bagian 2


bahkan berjumpalitan berkali-kali di udara menghindari serangan-serangan itu.
Orang-orang itu dapat melihat betapa kerasnya
Somat Codet mendesak dengan serangan-serangan
yang mematikan. Wintara sendiri tidak pernah akan
menyangka, di saat kakinya menginjak tanah setelah
be-jumpalitan tadi....
Deess!! Tahu-tahu sebuah hantaman mengenai bagian
punggung. Secepatnya Wintara membalikkan tubuh,
jelas sekali Somat Codet melancarkan tendangannya
lagi, tapi.... Plak!! Wintara merunduk sambil mengangkat lengannya
ke atas menangkis. Masih dalam keadaan merunduk di
luar dugaan Wintara mendorong telapak tangan ki-
rinya menghantam dada Somat Codet...
Bwaaak! Kontan tubuhnya menggeledak ke tanah!
Tidak ada anak muda sepantaran Wintara di desa
itu yang sanggup menjatuhkan Somat Codet, karena
mereka tidak ada yang berani. Selain itu mereka juga tahu kalau Somat Codet
maupun Kebo Dungkil sangatlah berilmu tinggi. Tapi saat ini mereka baru betul-
betul kena batunya. Keduanya dibuat jatuh bangun.
Namun begitu, mereka masih saja penasaran
menghadapi pemuda yang demikian tangguh ini. Win-
tara pun tetap melayaninya, walaupun tidak dengan
sungguh-sungguh! Tapi lama-kelamaan Wintara bosan
juga dengan permainan ini. Sekali ia hentakkan sebe-
lah kakinya, tubuh Kebo Dungkil menabrak Somat Co-
det yang baru saja ingin melancarkan serangan....
Bruaaaak!! Keduanya bergulingan di tanah.
* * * 7 Mayan Danang terjaga dari tidurnya ketika men-
dengar suara seperti orang yang sedang menggali lu-
bang. Ia tidak segera bangkit untuk melihat ke arah
suara. Lengannya mengucek-ngucek kedua matanya
yang masih perih. Matahari sudah tinggi menerobos
jendela... Sekali lagi ia mendengar suara cangkul menyentuh tanah.
Cepat ia bangkit dari pembaringan dan melangkah
ke arah jendela. Ia melihat Mang Toyop menggali se-
buah lubang yang cukup besar. Maka ia teringat akan
serbuk racun yang dibubuhkan pada gelas minuman
ayahnya semalam.... Ia tersenyum puas! Pastilah
ayahnya telah mampus, pikirnya....
Setelah ia mengganti pakaiannya, Mayan Danang
lari ke samping rumah menemui Mang Toyop yang te-
lah banjir keringat. Mang Toyop yang melihat kehadi-
ran Mayan Danang kembali giat menggali lagi.
"Lubang sebesar ini buat apa, Mang..." tanya Mayan Danang seolah-olah tidak
tahu. "Semalam ayam-ayam milik Den Kunta Danang ada
yang meracuni, Den...!" jawab Mang Toyop sambil me-nyeka keringatnya yang
mengalir di keningnya. Mata
Mayan Danang terbelalak mendengar ucapan Mang
Toyop. Dengan penasaran ia berbalik melangkah... Dan ia terperangah sekali
ketika hampir menabrak sosok
tubuh Ki Lurah Sentanu yang tengah menuju ke arah
Mang Toyop... Setengah gelagapan Mayan Danang te-
rus berlari. Ia melihat pula Kunta Danang membawa
enam ekor ayam yang telah kaku biru.
Mengapa semuanya jadi berubah dan tidak sesuai
dengan rencana" Siapa yang telah menukar minuman
ayahnya yang berisi racun..." Ia melangkah cepat ke luar da rumah. Perasaannya
dihantui oleh perasaan
takut. Ia tidak berani menuduh terhadap Mang Toyop
maupun adiknya Kunta Danang. Kalaupun ia berani
menuduh ada yang menukar gelas minuman ayahnya,
itu sama saja membongkar rahasianya sendiri.
Mayan Danang melewati terus jalan-jalan yang ber-
liku. Rumah-rumah penduduk nampak sepi.... Tidak
seperti biasanya! Tidak ada tegur sapa sekedar rasa hormat terhadap dirinya
karena desa itu kini betul-betul sepi seperti kehilangan penduduknya.
Namun tak berapa lama kemudian, baru tahulah ia
sekarang! Semua penduduk desa berkerumun me-
nyaksikan suatu perkelahian. Dia sendiripun heran,
hanya ada sebuah perkelahian saja semua orang kam-
pung sampai budal menyaksikan. Ia lebih terkejut lagi ketika ia melihat siapa
yang berkelahi itu.
Wintara...! Astaga.... Kenapa ia harus berkelahi di
sini, dan lagi itu Kebo Dungkil bersama temannya sengaja mengeroyok. Mungkin ia
masih menaruh dendam
terhadap Wintara atas peristiwa malam itu di Losmen
Mawar Malam, pikir Mayan Danang.
Pikirannya masih terheran-heran, tiba-tiba seseo-
rang menariknya menjauh dari tempat itu... Mayan
Danang merasa lega! Sebelumnya ia mengira orang itu
adalah Ki Lurah Sentanu... ternyata bukan orang itu
Welang Galih. "Parto tewas..." bisik Welang Galih. Mayan Danang tersentak!
"Siapa yang membunuhnya... Mereka itukah?"
tanya Mayan Danang penasaran.
"Bukan.... Ia tewas secara mengerikan! lihat itu di sana...!" Welang Galih
mengarahkan telunjuknya.
Mayan Danang dapat melihat apa yang ditunjukkan
oleh Welang Galih. Sosok mayat berlumuran darah mi-
rip orang penderita kusta tergeletak kaku di tanah.
Mayan Danang bergidik menahan jijik.
"Kenapa sampai begini, Welang..." Pasti ada yang membunuhnya! Paling tidak ia
dibakar orang..."
"Entahlah! Kejadiannya baru diketahui tadi pagi..."
jawab Welang Galih. Mayan Danang menoleh ketika
mendengar teriakan dahsyat....
Heaaaaaaa! Somat Codet melesat dengan tinjunya siap menga-
rah, begitu juga dengan Kebo Dungkil, tendangan ter-
bangnya siap melancarkan maut.
Wintara malah maju... Lengannya dapat menangkis
jotosan Somat Codet yang begitu keras, lalu kakinya
menyambut terbang Kebo Dungkil. Setelah itu tubuh
Wintara melintir, kedua lengannya bergerak melancar-
kan pukulan menyilang....
Bwaaaak! Deeeees!
Mendapat hantaman begitu, Somat Codet ter-
huyung hampir jatuh. Tapi Kebo Dungkil yang tidak
dapat mengelakkan hantaman itu, kembali tubuhnya
terbanting.... Kali ini mulutnya! menyemburkan darah.
Seluruh tulang dadanya remuk ia meringis tak dapat
bangkit. Bukan kepalang marahnya Somat Codet. Kini ia
berdiri tegak dengan kedua lengan berputar menghim-
pun tenaga dalamnya. Lalu kedua lengan yang semula
di atas disilangkan di depan dada.... Dengan terjangan yang sangat cepat Somat
Codet menghempaskan kedua telapak tangannya ke arah Wintara....
Bwueeees! Wintara yang bermaksud hendak menangkis se-
rangan itu mendadak terdorong terkena angin pukulan
Somat Codet. Tubuh Wintara melayang perlahan ba-
gaikan selembar daun yang tertiup angin. Dan hinggap di tanah tanpa bersuara.
Melihat itu Somat Codet menerjang lagi dengan se-
rentetan hantaman, Wintara menghentakkan kakinya,
maka sebentar saja tubuhnya sudah melesat bagai
terbang menyambar tubuh Somat Codet....
Bug...! Bug! Dua pukulan sekaligus menghantam bagian ping-
gang dan dada! Somat Codet terpelanting dan bergul-
ing berkali-kali. Nafasnya terasa sesak.
Wintara melangkah berjalan mendekati Somat Co-
det yang sudah tidak dapat bangkit lagi. Kebo Dungkil mengira pastilah anak muda
itu bakal menghajar Somat Codet lagi.
"Kedatanganku ke desa ini bukan untuk mencari
permusuhan.... Aku lebih senang kalau kalian mau
bersahabat denganku... itu akan lebih baik!" kata Wintara sambil membantu Somat
Codet bangkit. "Kau masih bisa berjalan, bukan?" kata Wintara la-gi. Tapi Somat Codet segera
menepiskan lengan Winta-
ra yang masih membantunya berdiri. Somat Codet ber-
jalan sendiri meski tubuhnya masih sempoyongan.
"Bantulah sahabatmu Kebo Dungkil, mungkin ka-
kinya terkilir..!" Wintara memberi saran. Somat Codet menatap penuh kebencian,
kedua lengannya men-
gangkat berdiri tubuh Kebo Dungkil. Lalu dengan ter-
paksa Somat Codet setengah menyeret tubuh Kebo
Dungkil yang meringis menahan sakit pada kakinya.
Mayan Danang dan Welang Galih menghampiri
Wintara yang menatap kepergian Somat Codet mema-
pah setengah mati tubuh Kebo Dungkil. Sebelum me-
reka mendekat, Wintara sudah membalikkan tubuh-
nya. Ia pun tersenyum.
"Rupanya dunia ini terlalu sempit untuk kita, sobat Wintara...! Sepagi ini kita
dapat bertemu lagi..." sapa Mayan Danang. Wintara nyengir.
"Bagaimana menurutmu mengenai kematian Parto
itu...?" tanya Wintara.
"Mungkin dia sendiri telah mengidap penyakit kus-ta... Desa ini memang telah
kena kutukan!" jawab Welang Galih.
"Secepat itukah penyakit kusta menjalar" Padahal belum lama ini..." kata-kata
Wintara terputus karena Mayan Danang segera memotong.
"Namanya juga penyakit kutukan! Datang dan per-
ginya selalu tak dapat diketahui. Mungkin juga nanti giliran Welang Galih,
ataupun aku kemudian..." kata Mayan Danang. Wintara manggut-manggut.
"Lalu bagaimana dengan mayat Parto itu.... Kasihan istrinya yang baru
melahirkan." Welang Galih khawatir. Perasaannya pun menjadi kurang enak.
"Tentunya kalian sebagai warga desa ini harus bisa
mengurusinya." kata Wintara tegas. Ia menatap Mayan Danang kemudian kepada
Welang Galih. "Ya-ya...! Kami akan mengurusnya...!" jawab Mayan Danang.
Saat itu sosok Ki Lurah Sentanu mendatangi tem-
pat itu. Ia mendapat laporan dari beberapa orang warganya. Wintara pun dapat
melihat sosok yang berpa-
kaian serba putih. Orang itu menghampiri mereka.
Mayan Danang tertunduk ketika Ki Lurah Sentanu ada
di antara mereka....
"Apa yang terjadi di sini, Mayan Danang...?" tanya Ki Lurah Sentanu secara tiba-
tiba. "Kau mau menyalahkan aku lagi...! Pasti kau me-
nuduh aku yang membunuh Parto! Iya, kan...!" Mayan Danang bicara lantang di
hadapan ayahnya.
"Diam!" Ki Lurah Sentanu membentak Mayan Danang bungkam.
"Parto tewas secara mendadak tadi pagi, Ki Lu-
rah..." Welang Galih menjelaskan.
Ki Lurah Sentanu berjalan mendekati mayat yang
nampak menjijikkan itu. Ia memperhatikan mayat itu
dari ujung kaki sampai kepala. Sudah tidak dapat dikenali lagi. Sekalipun ia
tahu itu mayat Parto. Itu pun laporan dari warganya.
"Mayan Danang! Welang Galih! Bawa mayat Parto
ke rumahnya dan urus sebagaimana mestinya...! Ce-
pat!" Mayan Danang maupun Welang Galih tidak dapat
menolak. Ia melangkah enggan. Tapi mereka harus
menuruti perintah Ki Lurah Sentanu. Mayan Danang
dan Welang Galih membuka kain sarungnya. Mereka
membungkus mayat yang menjijikkan itu dengan kain-
kain mereka, barulah mereka membawa tubuh itu.
Sebelum mereka beranjak Ki Lurah Sentanu mena-
hannya, lalu, "Ini semua akibat ulah kalian..." katanya pelan agar tidak ada yang
mendengarnya. Seperti tidak mengerti ucapan Ki Lurah Sentanu,
mereka terus membawa sosok kaku itu. Mayat itu
memang sudah tidak menyebarkan bau busuk. Hanya
saja darah masih merembes dari kain sarung yang
membungkusnya. Orang-orang kampung berduyun-duyun mengiringi
Mayan Danang dan Welang Galih. Membuat mereka
berdua susah melangkah. Sebenarnya mereka merasa
keki mendapat tugas seperti ini. Ki Lurah sendiri dapat melihat langkah-langkah
mereka yang begitu enggan.
Ki Lurah Sentanu berbalik menatap ke arah Winta-
ra. Anak muda itu tetap berdiri ketika orang yang berpakaian serba putih itu
datang mendekat.
"Anak muda! Aku rasa kau bukanlah warga desa
ini.... Kenapa bikin onar! Apalagi sampai berurusan
dengan orang-orang Singo Kobar! Kau bakal celaka!"
kata Ki Lurah Sentanu. Wintara menunduk, lalu....
"Aku memang bukan warga sini.... Baru saja se-
minggu yang lalu aku singgah di desa ini.... Bahkan
aku sempat berkenalan dengan anakmu, Ki Lurah....
Kalaupun orang-orang Singo Kobar bermaksud ingin
mencelakakan diriku, itupun lantaran aku pernah me-
nolong Mayan Danang ketika Kebo Dungkil hendak
membunuh Mayan Danang..." Ki Lurah Sentanu tertegun mendengar ucapan Wintara.
Sebentar kemu- dian.... "Terima kasih atas pertolonganmu terhadap anak-
ku, Mayan Danang... Tapi aku berharap sekali kau
pergi meninggalkan desa ini, anak muda," Mendengar ucapan itu Wintara
tersenyum.... "Sebenarnya aku pun ingin pergi dari desa yang mulai tidak bersih ini...! Desa
ini semestinya aman dan damai, mungkin karena ada beberapa orang yang me-rubah
desa ini menjadi seperti kena kutuk...! Anakmu terancam bahaya dari orang-orang
Singo Kobar, Ki
Lurah. Asalnya memang dari anakmu.... Aku hanya sekedar menyelamatkannya.
Ternyata peristiwa itu
menjadi berkepanjangan... Aku khawatir Mayan Da-
nang akan celaka bila aku meninggalkannya.... Aku
bertanggung jawab atas segalanya untuk orang-orang
Singo Kobar...."
"Anak muda, siapa sebenarnya dirimu...?" Ki Lurah Sentanu heran melihat sikap


Pendekar Kelana Sakti 4 Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenang Wintara.
Sikap Ki Lurah Sentanu nampak lebih ramah.
"Aku hanya seorang pengelana, Ki Lurah.... Tidak
lebih dari itu!" jawab Wintara.
"Betulkah Mayan Danang dalam bahaya...?" Nada bicara Ki Lurah Sentanu khawatir.
"Kira-kira begitu.... Aku di sini akan berjaga-jaga saja. Sekalian ingin tahu
siapa adanya Singo Kobar
itu...!" "Sebaiknya kita bicarakan hal ini di rumahku,
anak muda.... Bagaimana pun Mayan Danang adalah
anakku. Aku pun patut melindunginya...!"
Rumah Parto ramai dikerumuni orang. Mayan Da-
nang merebahkan mayat yang dibungkus kain itu di
atas balai teras. Istrinya yang baru beranak itu langsung pingsan mendengar
suaminya tewas secara men-
gerikan. Dalam suasana itu seorang gadis cantik ada di antara orang-orang yang
berkerumun di gubuk itu,
Mayan Danang yang tanpa sengaja tiba-tiba saja dapat melihat raut wajah cantik
seorang gadis di antara kerumunan orang-orang kampung. Ketika ia bermaksud
ingin mendekatinya, gadis itu sudah menghilang entah ke mana. Mayan Danang
penasaran. * * * 8 Mayan Danang merasa senang akan kehadiran
Wintara di rumahnya. Sebab keadaannya lebih terja-
min dari ancaman orang-orang Singo. Kobar. Ia sen-
diri pun tahu kalau Wintara adalah bukan pemuda
yang sembarangan.
Namun di rumah itu Mayan Danang tidak lebih ba-
gai hidup di neraka. Ayahnya yang Lurah selalu men-
gungkit-ungkit peristiwa kebakaran di gubuk Ni Luh
Wedas. Padahal peristiwa itu sudah berlalu satu ming-gu.
Di hadapan Wintara, Ki Lurah Sentanu terus men-
desak agar Mayan Danang mau mengakui perbuatan-
nya. "Baik aku, Parto maupun Welang Galih sama sekali tidak melakukan apa-apa, ayah.
Mana mungkin aku
berani membakar gubuk Ni Luh Wedas...! Kalau aku
menyuruh mereka membakarnya, sama saja menghia-
nati jabatan ayah sebagai Lurah...! Aku akui peristiwa yang terjadi di Losmen
Mawar Malam memang itu ke-salahanku! Wintara pun tahu!" kata Mayan Danang
menyangkal. "Lalu siapa yang menaruh racun ke dalam gelas
minuman ayah!" Tiba-tiba saja terdengar suara lantang dari dalam kamar. Kemudian
orang bicara tadi keluar.
Wintara dan Ki Lurah Sentanu menatap orang itu yang
melangkah kian mendekat.
"Kunta Danang! Kau bicara apa...!" bentak Mayan Danang.
"Aku bicara yang sebenarnya...! Kalau saja aku tidak cepat-cepat mengganti
minuman ayah, mungkin..."
"Bohong...! Kau ngelantur! Kau mimpi! Jangan me-nambah sulit persoalan, Kunta!"
Mayan Danang bangkit, tapi Wintara cepat mencegah.
"Masih ingat tadi pagi" Delapan ekor ayamku mati semua! Itu akibat racun dalam
gelas yang kau taburi
racun untuk ayah!" kata-kata Kunta Danang jelas sekali.
"Semula aku tidak yakin kau akan meracuni ayah!
Makanya setelah kuganti dengan air yang lain, air itu ku tuang ke dalam tempat
minum ayam.... Hasilnya
kau dan ayah tahu sendiri..."
"Bangsat kau, Kunta...! Mulutmu perlu kurobek!
Itu fitnah! Fitnah! Aku tidak melakukan apa-apa...
Sungguh!" Mayan Danang melompat menerjang. Win-
tara tidak sempat menghalangi. Amarahnya meluap...
Tinjunya melayang...
Wwwes! Kunta Danang tenang menghindar, sebelah len-
gannya nyeruduk masuk ke lambung Mayan Danang,
ia pun jatuh menggelosoh menahan nafas yang sesak.
"Lebih baik mengaku dan minta ampunlah pada
ayah, Kakang..." kata Kunta Danang bijaksana. Ki Lu-
rah Sentanu, tidak percaya dengan apa yang dije-
laskan Kunta Danang. Wintara beranggapan lain,
Mayan Danang dan Kunta Danang memiliki watak
yang berbeda, tapi soal siapa yang berniat meracuni sang ayah, Wintara sendiri
masih bingung untuk me-nentukan.
Lagi pula bukan urusannya, kehadirannya di ru-
mah itu bukan untuk soal racun. Yang jelas sekarang
ia harus bisa menenangkan suasana agar tidak terjadi keributan di antara
saudara. Kalau saja sampai terjadi, Mayan Danang tidak mungkin dapat mengalahkan
sang adik. Karena Wintara dapat melihat dari gerakan Kunta Danang tadi sewaktu
menghindar dan membalas dengan sebuah serangan yang sangat cepat.
"Benarkah apa yang dikatakan adikmu itu,
Mayan...?" tanya Ki Lurah Sentanu. Mayan Danang di-am saja, malah tatapannya
liar terhadap Kunta Da-
nang. "Katakan, Mayan...!" Ki Lurah Sentanu membentak, tiba-tiba....
Praaaang! Kaca jendela pecah. Beberapa batu masuk ke da-
lam ruangan itu. Orang-orang yang berada dalam
ruangan itu terkejut. Wintara cepat bangkit menyeli-
nap di balik jendela.
"Ki Lurah Sentanu...! Serahkan Mayan Danang be-
serta orang sewaanmu itu pada kami sekarang juga...!
Kalau tidak...!" Suara itu terdengar dari halaman rumah. Wintara dapat melihat
jumlah mereka dari balik
jendela yang pecah itu. Satu.... Dua.... Tiga.... Empat.... Semuanya tujuh
orang. "Kaukah yang bernama Singo Kobar...?" kata Wintara teriak, suaranya terdengar
sampai ke luar.
"Kau kira Singo Kobar itu siapa" Beliau paling pan-tang menghadapi musuh yang
bukan tandingannya...!"
Tujuh orang itu berdiri berjajar menghadapi rumah
Ki Lurah Sentanu. Wintara memberi aba-aba agar me-
reka yang ada di ruangan itu tenang dan jangan men-
geluarkan suara. Kunta Danang diam-diam bergerak
ke arah pintu, lalu secepat kilat ia membuka pintu dan berlari ke luar....
"Kunta Danang...! Kembali...!" Wintara berteriak, Kunta Danang mengacuhkannya.
"Kalau kalian menghendaki kedua orang itu, Iang-kahi dulu mayatku...!" kata
Kunta Danang setelah berada di luar. Sudah tentu ketujuh orang itu datang
meluruk memenuhi permintaannya.
Tiga orang sekaligus datang melancarkan seran-
gan. Kunta Danang yang sudah siap-siap itu menyam-
but. Kedua lengannya bergerak-gerak lincah menang-
kis serangan-serangan itu. Bahkan kakinya sempat
menendang salah seorang yang bermaksud menyerang
dari belakang.... Deees! Orang itu jatuh bergulingan ke samping.
Dua orang yang dihadapinya masih terus melan-
carkan serangan. Kunta Danang tidak kalah gesit me-
nyambut, benturan-benturan lengan mereka saling be-
radu. Dan di saat sebuah hantaman melesat ke arah
muka, Kunta Danang merunduk! Sambil menangkis
serangan yang lain, kakinya maju menghantam perut
lawannya.... Bugg! Datang lagi empat orang menyerang Kunta Da-
nang. Sudah tentu Kunta Danang tidak mungkin dapat
menghadapi orang-orang itu. Wintara yang melihat
tindakan mereka langsung melesat dari jendela itu.
Gerakannya sulit sekali untuk dilihat. Tahu-tahu saja ia sudah menghajar orang
yang bermaksud melancarkan serangan terhadap Kunta Danang. Ketujuh orang
itu pun beringsut kaget!
"Orang inikah yang telah membuat Kebo Dungkil
dan Somat Codet jatuh bangun?"
"Bukan jatuh bangun! Tapi sekedar memberi pela-
jaran tata sopan santun!" jawab Wintara...
"Bangsat...! Kepung...!" kata salah seorang pemimpin dari ketujuh orang itu.
Maka ketujuh orang itu
mengelilingi Wintara dan Kunta Danang yang berdiri di tengah-tengah mereka.
Dari balik jendela itu pula, Ki Lurah Sentanu me-
nyaksikan kenekadan anaknya. Lalu,
"Kau lihat, Mayan Danang...! Kau lihat adikmu....
Kau bisa apa!" Ki Lurah Sentanu membentak marah, telapak tangannya melayang
mendarat di pipi Mayan
Danang.... Ploook! Kemudian ia pun melesat melalui pintu yang sudah
terbuka. Di luar pertempuran sedang berlangsung. Kunta
Danang kelabakan menghadapi serangan-serangan
mereka yang datang secara beruntun. Untunglah Win-
tara ada di situ melindunginya. Kunta Danang sendiri sebenarnya masih mampu
menjatuhkan lawan-lawannya, meskipun dia harus mendapat hantaman
dari salah seorang lawannya. Kalau ia mendapat sekali hantaman, tapi ia bisa
membalas menjatuhkan dua
orang sekaligus.
Melihat itu Wintara membiarkan Kunta Danang
mengurus dirinya dari serangan-serangan musuhnya,
karena Wintara sendiri tidak tinggal diam. Ia menjatuhkan satu demi satu musuh-
musuh lainnya. Han-
taman Wintara malam itu betul-betul tidak kepalang
tanggung. Sekali hantam ada yang giginya rontok! Ada pula yang lengannya patah.
Tapi mereka begitu alot....
Meskipun banyak di antara mereka yang terluka, me-
reka masih saja menyerang.
Sekali waktu Kunta Danang jatuh terbanting men-
dapat hantaman dari salah seorang lawannya, tu-
buhnya bergulingan menghindari serangan-serangan
yang dilancarkan oleh beberapa orang yang mengejar-
nya..... Dalam pada itu Ki Lurah Sentanu cepat datang, maka....
Des!... Des!... Des...!
Tiga tubuh sekaligus berpentalan oleh hantaman Ki
Lurah Sentanu.... Kunta Danan bangkit di belakang
ayahnya. * * * Mendengar adanya Wintara di rumah Mayan Da-
nang, Welang Galih jadi gelisah. Ingin sebenarnya ia datang ke sana untuk
ngobrol dengan pemuda yang
berilmu tinggi itu. Tapi sang istri sudah berpesan agar malam ini ia tidak perlu
ke luar rumah. Tapi kalau malam ini ia tidak ke luar rumah ra-
sanya tidak akan ada kesempatan lagi bertemu dengan
pemuda hebat Wintara. Susah rasanya mencari alasan
agar bisa ke luar rumah. Sejak tadi istrinya selalu berada di dekatnya terus.
"Nyi.... Habis makan tidak menyulut rokok rasanya hambar." Tiba-tiba tercetus
alasan yang tepat. Istrinya tidak perduli, ia malah bersandar di samping Welang
Galih. "Tolong ambilkan, Nyi... Barangkali masih ada di saku bajuku." katanya lagi.
Dengan malas sang istri
beringsut bangkit. Ia menuju pada sangkutan baju pa-
da tiang pintu kamar. Ia merogoh pada tiap-tiap saku baju yang tergantung, tidak
sebatang rokok pun yang
ada di situ. "Tidak ada, Kang...!"
"Ah, yang benar.... Perasaanku tadi ada satu batang lagi...!"
"Masa aku bohong... Sudah, Kakang beli saja di
warung. Tapi ingat jangan lama-lama." pesan istrinya.
Welang Galih tersenyum. Di saku bajunya memang ti-
dak ada sebatang rokok pun, itu hanya siasatnya saja agar bisa ke luar rumah.
Welang Galih meraih bajunya yang tergantung pada tiang pintu kamar. Lalu ia
mengenakannya. Ia pura-pura merogoh saku celananya
dan mengeluarkan beberapa keping uang.
"Aku pergi, Nyi..." kata Welang Galih sambil melangkah ke luar. Udaranya memang
cukup dingin. Se-
lintas ia menatap reruntuhan kayu bekas kebakaran
yang tadi pagi terjadi peristiwa kematian Parto yang mengerikan. Welang Galih
bergidik! Ia tidak berani
menatap bekas kebakaran itu lama-lama.
Sengaja ia memotong jalan. Tidak berani ia mele-
wati tempat itu sekalipun hari masih sore. Pikirannya hanya tertuju bahwa ia
harus sampai di rumah Mayan
Danang. Soal pulang terlambat, atau istrinya bakal
mendamprat... Itu bisa diatur. Ngomelnya akan lenyap bila melihat sejumlah
uang.... Mudah-mudahan saja
nanti Mayan Danang bisa meminjamkan uang seba-
gaimana biasanya.
Mayan Danang pasti akan memberi. Apalagi di ha-
dapan Wintara, rasa sok dermawannya pasti keluar.
Lihat saja.... pikir Welang Galih mantap. Langkahnya semakin cepat menjauh.
Pelita-pelita yang ada di setiap depan rumah-rumah berkelap-kelip. Jalan kecil
yang melintas menghubungkan ke rumah Mayan Da-
nang nampak terang. Sambil bersiul-siul Welang Galih melangkah.
Alisnya mengernyit ketika dilihatnya sosok tubuh
berjalan yang melalui jalan itu makin lama makin de-
kat. Ah! Kiranya seorang wanita! Tapi siapa..." Welang Galih tidak perduli.
Semakin dekat semakin jelas wajah perempuan itu....
Wuaaaaaah! Welang Galih bagai melihat bidadari. Ia sendiri
menghentikan langkahnya. Belum puas kalau tidak
menatapnya lebih lama, perempuan itu pun terse-
nyum.... Bahkan....
"Kakang..." Perempuan itu menarik lengan Welang Galih. Lelaki itu pun
terperangah. "Sejak dari siang aku kesasar, maksud tujuanku
hendak mencari rumah Ni Luh Wedas. Apakah seki-
ranya Kakang tahu...?" kata perempuan itu. Suaranya lebih lembut. Nada suara itu
memang pelan, tapi Welang Galih yang mendengarnya seperti suatu guntur
yang menyambar di telinganya. Mukanya pucat seketi-
ka. Dalam pikirannya tergambar seonggokan kayu-
kayu telah usang menjadi arang. Lalu berganti sesosok tubuh kurus bergulingan
termakan api...
"E-e-e-rumah Ni Luh Wedas sudah pindah... Dulu
memang gubuknya di sini..." kata Welang Galih gugup.
Perempuan itu tersenyum. Welang Galih mundur men-
jauh.... "Ni Luh Wedas bersama putrinya memang berpe-
nyakit kusta.... Tapi saudaranya tidak! Coba lihat
ini..." Perempuan itu tanpa malu-malu membuka kebayanya.
Astaga! Tubuh tanpa kutang terlihat jelas dengan


Pendekar Kelana Sakti 4 Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata kepala Welang Galih. Meskipun hanya diterangi
lampu pelita jalanan nampak jelas kemulusan tubuh-
nya. "Kalau Ni Luh Wedas sudah pindah dari sini, aku harus ke mana.... Tempat asalku
jauh sekali... Aku takut pulang sendirian." Perempuan itu mengenakan kembali
kebayanya. "Tidak jauh dari sini ada gubuk kosong kau bisa bermalam di sana..." kata Welang
Galih yang kini mulai berani mendekat. Rasanya, ingin sekali lagi ia melihat
kemulusan yang dimiliki oleh perempuan itu.
* * * 9 "Sendirian..." Aku tidak berani, Kang.... Bagaimana kalau Kakang menemani..?"
Tawaran yang menarik!
Welang Galih seakan tidak percaya dengan pendenga-
rannya sendiri.
"Di mana gubuk kosong itu, Kang... Jauhkah dari sini?"
"Tidak... Ma-mari kuantar...!" Welang Galih mencengkeram erat lengan perempuan
itu, Ia membawanya menerobos alang-alang dan se-
mak-semak. Tidak jauh dari situ memang ada sebuah
gubuk usang yang sudah tidak terurus. Suasana yang
gelap dan menyeramkan sama sekali tak membuat me-
reka takut. Begitu mereka mendekati gubuk kosong,
puluhan kelelawar beterbangan ke luar.
Welang Galih masuk lebih dulu ke dalam gubuk
itu. Ia mencari beberapa batang kayu untuk dibakar.
Perempuan itu hanya berdiri di depan gubuk. Seper-
tinya ia merasa takut sekali dengan suasana sesunyi
ini. Ketika api unggun mulai menyala, barulah perem-
puan itu berani masuk. Nampak ruangan dalam gubuk
itu semerawut tak terurus.
Tiba-tiba Welang Galih mengeluarkan sesuatu yang
berkilat dari pinggangnya, sebuah pedang pendek. La-
lu.... "Jangan berteriak kalau tidak ingin mampus...!
Kau telah membuatku menjadi jalang, perempuan can-
tik! Ayo buka semua pakaianmu...! Cepat!" Welang Galih membentak, tangannya yang
menggenggam pedang
pendek mengarah ke tenggorokan perempuan itu...
"Kakang.... kau..." Perempuan itu ketakutan.
"Jangan banyak bicara... Ayo buka!" bentaknya la-gi. Perempuan itu makin takut.
Welang Galih makin
geram. Ia menarik kain yang dikenakannya....
"Breeet!"
Maka terlihatlah paha yang begitu mulus. Perem-
puan itu memekik. Kembali Welang Galih menarik ke-
bayanya. Hanya dengan sekali sentak, tubuh itu telah telanjang dada. Sobekan-
sobekan kebayanya masih
ada yang tertinggal. Welang Galih tertawa menyeringai.
"Sekarang bukalah olehmu sendiri, Nyi.... kalau tidak..." Welang Galih siap
menikam pedang pendeknya, padahal ia hanya menakut-nakuti saja, tapi perempuan
itu segera melepaskan semua yang melekat di
tubuhnya. Melihat itu Welang Galih menelan ludah.
Belum pernah ia melihat tubuh yang begitu mulus se-
perti ini.... Pernah ia mengintip seorang gadis yang paling tercantik di desa
ini ketika sedang mandi, tapi keindahannya tidak seperti apa yang ia lihat
sekarang. Sinar api unggun menerangi tubuh bugil itu. Namun
justru dalam keremangan yang seperti itu membuat
darah Welang Galih tersirap.
"Sekarang terlentang di sini.... Ayo!" Pedang pendek
menakut-nakuti lagi. Gadis itu menurut. Ia menelen-
tangkan diri. Tanpa diperintahkan lagi kedua kaki perempuan itu mengangkang.
Welang Galih membuka
semua pakaiannya dengan dada yang bergemuruh. Pe-
rempuan itu sama sekali tidak berontak saat Welang
Galih menindih. Nafasnya yang seperti kuda menden-
gus-dengus. Tidak ada reaksi, tidak ada rontaan juga tidak ada jeritan, seolah-
olah perempuan itu pasrah
dan tidak ada pemaksaan...! Aneh!
Api unggun yang menyala menerangi ruangan itu
meletup-letup. Lidah-lidah api menjilat habis kayu bakar itu sedikit demi
sedikit. Hawa di sekitar itu menjadi hangat Rumput alang-alang yang menghampar d
sekitar gubuk bergoyang-goyang tertiup angin. Langit di atas makin kelam
menakutkan. Welang Galih membuka matanya. Nyala api un-
ggun masih meletup-letup. Perempuan yang tadi ber-
samanya sudah tidak ada di situ. Tapi ia masih melihat sobekan-sobekan kain yang
berserakan di sekitar ruangan yang kotor itu. Ia menggaruk-garuk tubuhnya
yang terasa gatal. Ah! Mungkin kotoran yang berada di tempat ini melekat di
tubuhnya sehingga menimbulkan
gatal-gatal. Ia meraih pakaiannya yang tergeletak di situ. Sece-
patnya ia mengenakannya. Namun rasa gatal itu selalu saja mengganggu. ia
menggaruk-garuk terus. Lalu ia
pergi meninggalkan gubuk itu.... Masa bodoh perem-
puan itu pergi ke mana! Yang penting ia sudah puas!
Lagi pula mana mungkin gadis! itu akan menuntut, ia
tidak mengenali Welang Galih.... Pikirnya.
Langkahnya masih tetap pada tujuan semula, ke
rumah Mayan Danang. Tapi sepanjang jalan tidak hen-
ti-hentinya ia menggaruk. Sepertinya seluruh tubuh-
nya terasa gatal-gatal. Dan ia terkejut setengah mati ketika melihat telapak
tangannya penuh dengan cairan lendir... Karena suasana gelap ia tidak dapat
memasti-kan cairan apa yang melekat pada telapak tangan-
nya.... Yang jelas ia terus menggaruk dan menggaruk.
* * * Wintara tidak menyangka sama sekali, kalau Ki Lu-
rah Sentanu ternyata memiliki kepandaian yang tidak
bisa dianggap enteng. la sempat melirik sewaktu
menghadapi lawan-lawannya. Ki Lurah Sentanu dapat
memukul jatuh lawannya sekaligus dua orang.
Wintara sempat pula melihat Kunta Danang kewa-
lahan menghadapi dua orang lawannya. Wintara sendi-
ri sibuk menghadapi tiga orang yang menyerang den-
gan gencar. Kedua lengannya bergerak menyilang me-
nyambut pukulan tiga orang yang mengarah ke mu-
kanya. Sambil menangkis begitu, Wintara mendorong
kakinya ke samping menghantam Orang yang menye-
rang dari samping itu....
Bugg!! Kontan orang itu berguling ke tanah dengan me-
nyemburkan darah. Datang lagi seorang penyerang.
Kali ini dengan terjangan melompat ke atas. Wintara
cepat merunduk dengan kedua lengan yang masih me-
nyilang. Di luar dugaan lengan itu menyambar kaki
yang masih melesat ke atas. Lalu Wintara menariknya
sekuat tenaga.... Dan melemparkannya.... Bruuuuug!
Terbanting dengan keras dan tak bangun lagi.
Kunta Danang memekik! Tulang rusuknya terasa
patah. Sebuah hantaman tidak dapat dielakkan oleh-
nya, mendengar anaknya memekik, Ki Lurah Sentanu
melompat ke belakang. Melancarkan serangan kepada
orang yang menghantam Kunta Danang Namun seran-
gan-serangan datang lagi semakin sengit. Ki Lurah
Sentanu yang sudah kelewat murka maju mengi-
baskan kedua lengannya....
Bwes!... Bwes! Beberapa orang bergulingan, tapi salah seorang
dapat melancarkan sebuah pukulan tepat mengena
ulu hati.... Deeeeeees! Menahan rasa sakit yang sangat menyesakkan
pernafasan, Ki Lurah Sentanu menggelosoh ke tanah.
Beberapa orang lawannya yang masih segar bugar
langsung meluruk menerjang.
Pada waktu itu, Wintara sudah membereskan la-
wan-lawannya. Ia melihat Ki Lurah Sentanu bersama
anaknya dalam keadaan bahaya. Maka secepat kilat ia
melesat. Para penyerang yang tadi hampir melancar-
kan hantaman, tiba-tiba saja mereka bergelimpangan
sambil memekik hebat. Ternyata ketika Wintara tadi
melesat ia melancarkan pukulan maut yang dapat me-
robohkan para penyerang itu. Dengan geram para pe-
nyerang itu bangkit lagi. Mereka tinggal empat orang.
Masing-masing mengucurkan darah dari hidungnya.
Wintara sudah dapat mengukur kekuatan mereka.
Maka ia pun nampak mengeluarkan sebuah jurus yang
sangat aneh. Keempat orang itu tidak langsung maju.
Mereka mengepung dari segala arah. Wintara melirik
ke samping, ia merasa lega. Sebab Ki Lurah Sentanu
sudah bangkit dan sekarang ia membantu Kunta Da-
nang berdiri. Ketika keempat orang itu datang menerjang, Winta-
ra melesat ke atas. Tubuhnya berputar seperti gangs-
ing, begitu juga sebelah kakinya. Menyambar dua
orang sekaligus....
Des!... Des! Dua orang itu hanya terhuyung ke belakang..Dua
orang lagi melancarkan serangan dengan pukulan-
pukulan berantai saat Wintara hinggap di tanah. Men-
dapat serangan seperti itu Wintara mundur salto ke
belakang.... Wuk!... Wuk!... Wuk!... Wuk!
Begitu Wintara berhenti salto, kaki melayang ke
depan menghantam muka penyerang yang melancar-
kan serangan berantai tadi....
Deeees! Tubuh itu terjungkal tak bangun lagi.
Tiga orang yang masih ada nampak beringas mena-
tap Wintara. Ketiga orang inilah yang nampaknya lebih lumayan dibanding dengan
yang lainnya. Wintara tidak main-main lagi menghadapi mereka. Setelah ia
melangkah dua kali tubuh Wintara melesat lagi ke atas!
Berputar di udara bagaikan sebuah kitiran. Ketiga
orang inipun mengikuti melesat ke atas. Masing-
masing melancarkan serangan. Tubuh Wintara masih
berputar. Meskipun begitu ia dapat melihat ketiga serangan yang datang dari arah
yang berlainan.
Sebelah lengannya berhasil menangkis sebuah
hantaman yang hampir mengenai mukanya.... Kakinya
bergerak lagi ke samping menahan sebuah tendangan,
tapi.... Wintara tidak dapat menghindar! sebuah pukulan yang menghantam bagian
punggungnya....
Bug! Bersamaan dengan itu, Wintara membarengi den-
gan melancarkan hantaman yang sangat keras terha-
dap penyerangnya itu....
Dueeeees! Seorang penyerangnya yang tadi menghantam
punggung terbanting ke tanah.... Wintara masih mera-
sakan sakit pada punggungnya. Tapi ia tetap bersiap-
siap menghadapi para penyerang itu.
Kedua penyerang itu menerjang beterbangan bagai
rajawali menyambar mangsa ke arah Wintara, Wintara
yang dapat melihat betapa cepatnya terjangan mereka, langsung merebahkan diri ke
tanah. Dalam keadaan
terlentang begitu Wintara menendangkan kedua ka-
kinya ke atas menyambar mereka, maka....
Deeees!... Deeees!
Keduanya terlempar jauh membentur dinding batu
dengan masing-masing kepala yang remuk. Tujuh
orang telah bergelimpangan. Ada yang tewas, ada pula yang pingsan.
* * * 10 Mereka yang masih bisa bangkit langsung lari ter-
birit-birit. Wintara sengaja tidak mengejar mereka. Ki Lurah Sentanu pun
mengharapkan demikian. Kunta
Danang melangkah mendekati mereka, nafasnya masih
terasa sesak. Ia tersenyum setelah menatap Wintara.
Wintara pun demikian. Setelah Kunta Danang mende-
kati Wintara merangkul.
"Tidak kusangka, anak Ki Lurah Sentanu yang satu
ini luar biasa..."
"Ah! Kaulah yang sebenarnya luar biasa! Aku dan Kunta Danang bisa apa" Untung
saja ada kau Wintara,
kalau tidak-..?"
Tiba-tiba saja ketiganya tersentak mendengar se-
suatu yang berderak! Sosok tubuh melesat dari dalam
rumah menerobos pintu yang hancur berantakan.
Sosok itu membawa tubuh Mayan Danang yang me-
ronta-ronta dalam dekapannya.
"Ia membawa Mayan Danang, ayah...!" seru Kunta Danang. Wintara reflek mengejar
sosok itu yang melesat menembus di kegelapan malam. Matanya yang jeli
dapat melihat sosok itu pergi, tapi....
"Jangan mengejar sobat! Kalau tidak Mayan Da-
nang akan mati sekarang juga!.. Aku Singo Kobar akan menunggumu di bukit Kendal
besok malam di bulan
purnama!... Kembalilah!" Suara itu hilang bersamaan dengan hilangnya sosok tubuh
yang membawa Mayan
Danang. Wintara berhenti mengejar. Sekalipun ia merasa
khawatir akan diri Mayan Danang yang berada di tan-
gan Singo Kobar. Ia melesat kembali menemui Ki Lu-
rah Sentanu dan Kunta Danang yang menunggu di
rumahnya. "Mayan Danang dijadikan sandera! Singo Kobar
menginginkan diriku sebagai penebusnya... Ki Lurah
Sentanu tak perlu khawatir, seperti yang pernah kuka-
takan kemarin, aku bertanggung jawab atas Mayan
Danang.... Mudah-mudahan saja besok Mayan Danang
selamat." kata Wintara sesampainya di hadapan mereka. Belum Ki Lurah Sentanu
menjawab, mereka dike-
jutkan lagi oleh sesuatu....
"Mayan Danang...! Aaarght! Mayan Danang. To-
looooong!' Sosok tubuh berlumuran darah jatuh ban-
gun di hadapan mereka. Seluruh kulitnya nampak me-
leleh seperti mau lepas dari daging. Tubuh itu meng-
gapai-gapai....


Pendekar Kelana Sakti 4 Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia.... dia Nyi Sekar Dayang Kunti...! Mayan Danang. Tolooooong!" Sosok tubuh
itu menjerit-jerit menahan sakit. Wintara, Ki Lurah Sentanu maupun Kun-
ta Danang menatap keheranan. Ketiganya tidak ada
yang berani mendekat. Sosok tubuh itu tidak ubahnya
seperti seekor makhluk yang mengerikan.
"Aku Welang Galih...! Aku Welang Galih...! To-
looong!" Tubuh menjijikkan itu berkelojotan di tanah.
"Nyi Sekar Dayang Kunti.... Dia.... Dia....
Arghhhhhht!" Tubuh itu berhenti dari kejang-kejang, kemudian kaku tak bergeming.
Ki Lurah Sentanu menatap wajah yang sangat dikenalinya itu. Wajah We-
lang Galih. Mereka melihat cara kematian yang sama
yang dialami oleh Parto. Tubuh meleleh mengeluarkan
darah, seperti penderita kusta. Ketiganya saling pandang. Masih terngiang kata-
kata Welang Galih yang keluar ketika ia menghembuskan nafas yang terakhir...
Nyi Sekar Dayang Kunti...! Belum pernah mereka
mendengar nama yang amat menyeramkan itu.... Siapa
Nyi Sekar Dayang Kunti sebenarnya" Hal itu menjadi
bahan pemikiran mereka!
"Mungkin mereka kena tuntutan dari arwah Ni Luh Wedas!" kata Kunta Danan Dalam
ruangan itu Wintara hanya berdiri di samping jendela yang telah rusak. Ki Lurah
Sentanu duduk berhadapan dengan anaknya.
"Tidak mungkin, Kunta.... Mana mungkin arwah
bisa menuntut! Menurut pemikiran ku.... Pasti ada seseorang yang sengaja
menteror desa ini dengan cara
yang keji..." kata Ki Lurah Sentanu
Mang Toyop keluar membawa sebuah nampan
yang berisi tiga buah gelas air. Dari tadi ia sudah mendengar percakapan mereka.
"Saya memang pernah dengar sebuah nama yang
sangat menyeramkan... Tapi bukan Nyi Sekar Dayang
Kunti..! Waktu itu seorang perempuan di kampung
saya kesurupan, ia mengaku dirinya Nyi Dayang Kunti
Naga... Tapi setan perempuan itu tidak berbahaya, sa-ma sekali tidak ada
kematian setelah menyurupi... Ia hanya berpesan agar penduduk desa saya jangan
mengganggu ketenangannya..." kata Mang Toyop setelah meletakkan ketiga gelas itu
di atas meja. Ki Lurah Sentanu menoleh ke arah Mang Toyop dengan pandangan yang
amat tidak suka. Melihat gelagat yang
kurang baik, Mang Toyop cepat mundur kembali ke
dapur. "Nampaknya kematian mereka seperti suatu pem-
balasan, Ki Lurah..." kata Wintara yang tetap berdiri di samping jendela.
"Aku khawatir Mayan Danang akan menjadi kor-
ban yang ketiga...!" katanya lagi.
* * * Bulan yang bersinar penuh tertutup awan berarak
berjalan perlahan. Manakala langit makin lama me-
nampakkan bintang-bintang yang bertebaran berkelap-
kelip. Dan ketika awan berarak itu berlalu. Sinar bulan menerangi bukit Kendal.
Sebuah bukit dengan dataran yang sangat luas di-
tumbuhi rumput halus, di mana sisi dataran tersebut
dirimbuni oleh semak-semak dan pohon-pohon yang
sangat lebat. Di tengah-tengah dataran itu terdapat
sebatang tonggak bekas batang pohon yang telah pa-
tah tersambar petir. Pada batang pohon itu, sosok tubuh terikat menggantung
sambil meronta-ronta. Sosok
itu tidak lain tubuh Mayan Danang. Mulutnya tidak
bisa mengeluarkan suara, karena mulutnya tersumbat
oleh secarik kain yang mengikat sampai ke belakang
kepala. Ia hanya meronta-ronta, namun tambang pengikat
tubuhnya sangat kuat. Sehingga tubuhnya yang ter-
gantung bergoyang-goyang kesana kemari.
Sesosok tubuh menerobos ke luar dari rerimbunan
semak yang amat lebat. Sosok yang mengenakan baju
bulu binatang itu tidak terus melangkah ketika tiba di dataran berumput. Wintara
datang ke tempat itu untuk memenuhi janjinya. Ia menatap sebatang pohon
yang telah patah. Ia pun dapat melihat jelas sosok tubuh Mayan Danang tergantung
pada pohon itu. Winta-
ra melangkah lagi.
Ingin rasanya ia cepat-cepat bertemu dengan orang
yang menamakan dirinya Singa Kobar. Seperti macam
apa dia" Melihat dam belasan anak buahnya yang ra-
ta-rata sangar, tentulah pemimpinnya lebih sangar la-gi. Paling tidak, amat
menakutkan! Wintara melangkah terus ke tengah-tengah dataran itu. Mayan Danang
meronta-ronta terus.
"Singo Kobar...! Tunjukkan dirimu...! Aku datang memenuhi janjiku...!" teriak
Wintara. Suasana tetap hening. Tidak ada jawab an.
"Singo Kobar, keluarlah...!" teriak Wintara makin lantang.
Lapat-lapat terdengar suara gerakan baju yang ter-
tiup angin, cepat Wintara menoleh ke arah suara itu.
Ia melihat sosok tubuh melesat bergerak cepat mene-
robos rimbunnya pepohonan. Tubuh itu terus melesat
bagai anak panah yang terlepas dari busurnya. Sesaat
kemudian tubuh yang melesat itu berputar di udara,
lalu hinggap di tanah tanpa bersuara. Wintara mena-
tap tenang. Mata Wintara terbelalak melihat beberapa orang yang pernah dihadapi
keluar, dari semak-semak.
Mereka berdiri di belakang orang yang tadi berjumpalitan tadi.
"Siapa di antara kalian yang bernama Singo Ko-
bar..." Aku datang hanya untuk menemuinya...!" kata Wintara tegas. Kebo Dungkil
dan Somat Codet ada di
deretan itu. Seseorang yang berdiri paling depan melangkah maju.... Wintara
masih ingat orang itu tadi
yang melesat bagai anak panah.
"Aku Singo Kobar...! Bagus! Kau datang memenuhi janjimu! Cukup ksatria...!"
Wintara setengah tidak percaya! Orang yang mengaku Singo Kobar ternyata seo-
rang anak muda sepantarannya. Seorang pemuda
tampan. Semula Wintara mengira Singo Kobar seorang yang
amat menyeramkan, bertubuh besar, berewok, berma-
ta nyalang, dan macam-macam dalam pikirannya. Tapi
setelah ia melihat siapa adanya Singo Kobar. Seakan-
akan Wintara tak percaya!
"Aku ingin tahu sampai di mana kehebatanmu, so-
bat...! Ilmu apa yang membuat aku harus kehilangan
beberapa orang anak buahku...! Juga lima anak bua-
hku ada yang menderita patah tulang...!" kata anak muda yang tak lain Singo
Kobar. "Mengapa harus menanyakan soal ilmu padaku...
Aku rasa setiap orang punya. ilmu! Lagi pula soal kematian atau patah tulang
anak buahmu, bukan aku
yang menghendaki.... Tapi..."
"Jangan banyak omong! Kau boleh menukar nya-
wamu dengan nyawa Mayan Danang!"
"Tentu setelah aku menjadi mayat, bukan...?" jawab Wintara.
"Dan bukan karena aku harus bunuh diri di si-
ni...!" kata Wintara lagi.
Mendengar ucapan yang begitu menggelitik kuping.
Singo Kobar menghentakkan kedua kakinya. Lalu ke-
dua tangannya bergerak ke atas sambil mengeluarkan
teriakan yang begitu dahsyat!
* * * 11 Berbarengan dengan suara teriakan yang begitu
menggelegar, tiba-tiba saja angin kencang bertiup. Makin lama makin kencang
bagai badai angin. Beberapa
anak buahnya yang berderet di belakangnya berpenta-
lan terdorong putaran angin yang melanda bagai to-
pan... Tubuh Mayan Danang terombang ambing. Kalau
saja tubuhnya tidak terikat kencang, mungkin Mayan
Danang sudah terlempar jauh.
Teriakan Singo Kobar masih menggelegar seakan
tidak pernah putus mendatangkan angin topan yang
deras menerjang. Wintara tetap berdiri, seolah-olah
angin yang mendorong sangat kuat itu tidak berarti
apa-apa. Rambutnya yang gondrong serta baju bulu
yang dikenakan Wintara berderai-derai terkena getaran angin yang begitu kencang!
Tubuhnya tidak bergeser
sejengkalpun. Di luar dugaan, Wintara mendorong ke dua telapak
tangannya ke depan. Kedua telapak tangan itu nam-
pak bergetar. Tapi akibatnya sangat dahsyat pula...!
Angin itu kembali berputar berbalik menerjang Singo Kobar.... Mendapat serangan
yang demikian mendadak, Singo Kobar melesat ke atas... Angin kencang terus
menerjang anak buah Singo Kobar yang berusaha
bertahan. Tubuh Singo Kobar yang melesat itu terus
menukik melancarkan serangan.
Menghadapi seorang lawan yang memiliki kepan-
daian luar biasa ini, Wintara harus pentang mata. Ia tidak boleh menganggap
remeh tiap serangan-serangan
yang dilancarkan oleh Singo Kobar. Wintara sendiri
mengakui akan kehebatan tenaga dalam lawannya. Se-
tiap kali serangan itu hampir menyerempet, ia sudah merasakan getaran angin yang
mendorong demikian
keras. Sudah tentu Wintara tidak hanya menghindar
terus menerus, sesekali ia berusaha membalas seran-
gan itu.... Deeees! Hantaman mereka beradu.
Keduanya sama-sama melompat ke atas. Singo Ko-
bar melepaskan pukulan ke depan. Wintara menyam-
but dengan sebelah telapak tangannya. Sebenarnya
pukulan yang dilancarkan Singo Kobar sangatlah ke-
ras, namun karena Wintara menyambut sama keras-
nya.... Sehingga menimbulkan suara yang amat dah-
syat. Keduanya sama-sama jatuh ke tanah dengan po-
sisi yang tidak berubah. Tinju serta telapak tangan mereka tetap menyatu.
Sebelah lengan Wintara yang se-
dari tadi menunggu kesempatan, maju menghantam
dada Singo Kobar....
Deees! Singo Kobar memang terpelanting, tapi dalam kea-
daan yang seperti itu, Singo Kobar sempat melancar-
kan tendangannya....
Plaaak! Wintara cepat menangkis. Akibat tangkisan yang
disertai tenaga penuh, tubuh Singo Kobar makin ter-
banting keras! Hanya dalam sekejap tubuh Singo Kobar bangkit
lagi. Wintara sengaja menunggu lawannya menyerang
lebih dulu. Dan begitu Singo Kobar menerjang, Wintara hanya memutar sebelah
lengannya. Hantaman Singo
Kobar luput. Tapi lututnya yang setengah menekuk
menghantam perut Wintara.
Dua anak muda yang sama-sama memiliki kepan-
daian tinggi ini makin ganas saling terjang. Benturan-benturan hantaman mereka
yang tidak perlu sebenar-
nya menghamburkan tenaga tertuang dengan sia-sia.
Singo Kobar yang selalu melesat melancarkan seran-
gannya geram dan penasaran. Wintara pun begitu. Se-
kali ia melancarkan hantaman....
Deeeeer! Singo Kobar yang sudah kehabisan tenaga terlem-
par sambil menyemburkan darah dari mulutnya.
Wintara sendiri terhuyung. Rupanya ketika tadi ia
melancarkan hantaman, ia menguras semua tena-
ganya. Dengan seloyongan Singo Kobar bangkit berdiri.
Kedua matanya menatap nanar.... Wintara berusaha
berdiri tenang, ia menganggap Singo Koba betul-betul kuat dan tangguh. Matanya
selalu mengawasi gerakan
Singo Kobar yang nampak berusaha menerjang lagi.
Dengan disertai teriakan yang menggelegar, Singo
Kobar melancarkan dua tinjunya sekaligus. Meskipun
gerakannya terhuyung, Wintara dapat menepis puku-
lan-pukulan itu. Sebelum Wintara membalas seran-
gan.... Buugg! Tendangan Singo Kobar masuk ke perut Wintara.
Belum hilang rasa sakitnya, tahu-tahu tubuh Singo
Kobar berputar. Sebelah lengannya menghantam keras
muka Wintara. Tubuh Wintara bergulingan di tanah, sesaat kemu-
dian ia duduk bersila dengan pandangan yang berpu-
tar. Kedua telapak tangannya menyatu di depan dada.
Matanya terpejam rapat. Singo Kobar dengan garang
maju melancarkan pukulannya berkali-kali ke tubuh
Wintara yang masih tetap duduk bersila. Bahkan
tendangannya dua kali menghantam leher. Namun
bagai batu karang yang tegar, Wintara tetap diam tak bergerak. Darah mulai
keluar dari lobang hidungnya.
Singo Kobar masih terus menghujani tubuh Wintara
dengan segala hantaman maupun tendangan.
Entah pada hantaman yang keberapa kali Wintara
berteriak menggelegar sambil mulutnya menyembur-
kan darah bagai air mancur. Kedua lengannya berge-
rak cepat menyilang. Singo Kobar yang berada di de-
katnya terpental jauh terkena sambaran sebelah len-
gan Wintara. Mendadak saja tubuh Wintara melesat ke atas da-
lam keadaan duduk bersila dan kedua mata yang ma-
sih terpejam. Tubuhnya melayang mengikuti ke mana
arah Singo Kobar terbanting. Dan begitu kedua mata
Wintara terbuka, hantamannya beruntun mengarah di
tubuh Singo Kobar. Singo Kobar sendiri tidak dapat
mengelakkan amukan Wintara yang melancarkan se-
rangan terus-menerus. Rupanya sewaktu Wintara du-
duk bersila tadi, ia tengah menghimpun tenaga baru.
Meskipun tadi Singo Kobar berusaha mengacaukan ja-
lan pikirannya dengan melancarkan serangan-
serangan yang melanda di tubuh Wintara. Ia berusaha
bertahan walaupun harus mengeluarkan darah.... Dan
sekarang tenaga inti itu telah menjelma menyalur ke
seluruh tubuhnya... Tendangannya yang keras meng-
hantam kepala Singo Kobar.... Saking kerasnya ten-
dangan itu, kulit kepala bagian pelipis Singo Kobar terkelupas sampai ke rambut-
rambutnya. "Waaaaaaarghat!"
Jeritan Singo Kobar tidak kepalang tanggung ke-
rasnya. Tubuhnya kelojotan menahan sakit yang tidak


Pendekar Kelana Sakti 4 Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkira! Dengan nafas yang memburu Wintara menatap
tubuh yang sekarat itu. Sebenarnya kalau Wintara
mau membunuhnya, bisa saja. Tapi ia sengaja melihat
Singo Kobar bergelintingan menjerit-jerit.
"Tobaaaat...! Tobaaaat...! Waaaaaarght" Singo Kobar masih bergelintingan.
"Hei...! Kalian manusia-manusia keparat! Bawa
pergi Singo Kobar dari sini...! Kalian ingin melihat da-rahnya membanjiri bukit
Kendal ini...?" bentak Wintara kepada anak buah Singo Kobar yang berdiri ketaku-
tan di balik semak-semak yang merimbun.
Maka dengan memberanikan diri para anak buah
Singo Kobar menampakkan diri satu per satu. Mereka
berjalan perlahan-lahan dengan tatapan ngeri menga-
rah pada Wintara. Setelah mereka mendekati Singo
Kobar yang masih kelojotan, mereka langsung mem-
bawa cepat tubuh majikannya.
Mayan Danang masih tergantung pada batang po-
hon di tengah dataran bukit Kendal. Ia merasa lega
melihat orang-orang Singo Kobar meninggalkan bukit
itu. Ia tidak meronta-ronta lagi saat Wintara melangkah mendekati.
"Ingat Mayan Danang...! Aku mempertaruhkan
nyawaku demi kau! Kalau sampai terjadi apa-apa lagi
terhadap dirimu, aku lepas tangan... Rubahlah segala sikap burukmu. Karena
selama ini segala tindak tan-dukmu telah ku baca!" kata Wintara mengancam. Darah
yang mengalir di sudut bibirnya belum mengering.
Mayan Danang tidak berani menjawab.
* * * Selama tiga hari ini Mayan Danang tidak pernah ke
luar rumah. Cerita ayahnya tentang kematian Welang
Galih yang serupa dengan Singo Kobar sangat mem-
pengaruhi dirinya. Perasaan takut selalu menghantui, membuat dirinya harus
terkurung di dalam rumah. Selama itu pula ayahnya maupun Kunta Danang tidak
pernah mau menemuinya. Mayan Danang merasa di-
rinya terkucil. Hanya Wintara yang senantiasa mene-
mui ngobrol di kala senggang.
Wintara sendiri sudah tidak perlu lagi tinggal di
rumah Ki Lurah Sentanu berlama-lama. Sekalipun Ki
Lurah Sentanu merasa tidak keberatan seandainya
Wintara harus tinggal di situ selamanya. Tapi bagi seorang pengelana sebuah
rumah sama sekali tak ada ar-
tinya. Ki Lurah Sentanu tidak bisa menahannya.
Siang itu Wintara pamit kepada keluarga Ki Lurah
Sentanu. Dengan berat Ki Lurah Sentanu melepaskan
kepergian seseorang sangat berjasa bagi kehidupan keluarganya. Segalanya dapat
tenang kembali berkat
Wintara. Mayan Danang berniat mengantarkannya
sampai ke pintu desa. Wintara tidak keberatan.
Keduanya berjalan beriringan saling bisu. Mayan
Danang merasa seperti ada kebebasan setelah menghi-
rup udara lepas. Wajahnya begitu berseri. Selama tiga hari ini sepertinya banyak
berubah. Para pedagang
yang biasanya dapat dihitung, kini para pedagang itu berderet memenuhi sepanjang
jalan. Malah mereka itu
ada yang bertengkar mulut karena berebut tempat.
Apa yang menyebabkannya para pedagang itu jadi de-
mikian banyak berjubal bagai air bah.... Pikir Mayan Danang! Mungkin... Pasti
karena Singo Kobar sudah
tidak lagi berhak memegang kekuasaan di daerah ini....
Sesaat Mayan Danang sempat melirik pada sebuah
losmen yang sangat bagus dan bersih. Pada pintu ger-
bang yang mirip sebuah gapura tergantung papan na-
ma yang bertuliskan: Mawar Malam... Sesiang itu pun
tempat itu demikian ramai dikunjungi para pendatang.
Mayan Danang tidak menyadari kalau sejak tadi Win-
tara memperhatikannya....
"Terima kasih, Mayan Danang.... Kau boleh men-
gantarku sampai di sini saja. Aku bisa meneruskan ja-lanku sendiri... Hanya satu
pesanku itu yang harus
kau ingat...! Dan juga jangan keluar malam selama
keadaan belum jernih betul..." kata Wintara. Ia pun melangkah meneruskan
perjalanannya. Baju bulu
Wintara bergeming tertiup angin. Langkahnya makin
lama semakin menjauh, Mayan Danang menatap terus
sampai Wintara sudah tidak nampak lagi.
* * * 12 Dengan penuh semangat, Mayan Danang melewati
pintu gerbang yang bertuliskan Mawar Malam. Sebe-
lumnya para perempuan penghibur yang banyak berdi-
ri di situ menyambutnya dengan segala cara mereka,
Mayan Danang tidak meladeni.
Kedatangannya ke situ untuk menemui seorang pe-
rempuan. Perempuan itu pula yang menyebabkan di-
rinya sampai berurusan dengan orang-orang Singo Ko-
bar. Sekarang ia datang untuk mengangkat perempuan
itu dari lembah hitam. Mayan Danang berniat menja-
dikan istrinya.
Kurang lebih setanakan nasi, Mayan Danang be-
lum juga menemukan perempuan itu. Ia hampir putus
asa. Tiap-tiap kamar ia telusuri, namun tetap saja hasilnya sama. Matanya
memandang ke ruangan atas. Di
situ berderet beberapa kamar dengan pintu terbuka
semua. Betapa kecewanya Mayan Danang... Ia memilih
tempat duduk paling tengah. Lalu ia memesan sepundi
arak. Sambil meminum arak matanya terus berputar
mengawasi tiap-tiap perempuan yang berlalu-lalang
dalam ruangan itu. Mukanya telah memerah. Kuping-
nya pun berdenging mendengarkan bisingnya suasana
itu... Tiba-tiba saja matanya terbelalak menatap seorang
perempuan menaiki anak tangga yang menuju ke
ruangan kamar atas.... Dengan cepat Mayan Danang
mengejar ke arah perempuan yang dilihatnya, gera-
kannya yang terburu-buru menyenggol pundi arak itu
sampai jatuh dan pecah. Semua orang menoleh dan
menganggap Mayan Danang mabuk. Mayan Danang
sendiri tidak perduli.
Merasa dibuntuti seseorang, perempuan itu meng-
hentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar yang
terbuka. Ia menatap wajah Mayan Danang yang ter-
cengang setelah berhadapan. Perempuan itu terse-
nyum. Mayan Danang seperti melihat senyum yang
memikat itu....
Yah...! Ia masih ingat ketika membawa jenazah Par-
to ke rumahnya. Perempuan itu ada di antara keru-
munan orang-orang kampung.... Tapi kenapa sekarang
ia harus berada di tempat ini" Apakah..."
"Kakang perlu saya temani...?" Tiba-tiba saja perempuan yang cantik luar biasa
mengeluarkan suara.
Mayan Danang tersentak. Matanya liar menatap ke-
cantikan itu. "Lebih dari itu, Nyi.... Semula aku memang mencari seseorang untuk kujadikan
istri.... Tapi setelah melihat kau.... Aku seperti ingin memiliki mu....
Bersediakah kau menjadi istriku, Nyi... Bersediakah...?" Mayan Danang mendorong
tubuh perempuan itu masuk ke da-
lam kamar. Perempuan it tertunduk malu.
"Kakang ini bicara apa.... Mana ada seorang lelaki terpandang seperti Kakang mau
beristrikan seorang
pelacur.... Kakang pasti mabuk." jawab perempuan itu.
"Tidak! Aku tidak mabuk! Sungguh aku ingin
memperistrikan mu, Nyi..." Mayan Danang memeluki tubuh perempuan itu yang tidak
berontak sama sekali.
"Tutup pintunya, Kang.... Aku malu dilihat orang dari bawah..." Mayan Danang
menyepakkan kakinya ke arah daun pintu yang terbuka lebar, maka pintu
pun berdentum menutup. Mayan Danang makin gila
mempereteli seluruh pakaian yang melekat pada tubuh
perempuan itu. Dari ikat rambut, kebaya... Bahkan
sampai pada kain yang melekat di sekitar pinggang.
Tubuh ramping yang menggiurkan setiap lelaki te-
lah berdiri bugil. Kulit yang putih mulus membuat
Mayan Danang menelan ludah. Dengan tidak sabaran
pula Mayan Danang melepaskan semua pakaiannya....
Kini keduanya sama-sama bugil berdiri berhadapan.
Saat mereka bersentuhan terasa sekali kehangatan bi-
rahi yang menyerang dalam tubuh Mayan Danang.
Bagai srigala liar lelaki itu merengkuh kuat-kuat
tubuh yang ramping menggelinjang dengan nafas yang
tersengal-sengal. Mayan Danang membaringkannya
dengan hati-hati sekali, Perempuan itu terpejam saat Mayan Danang menindih serta
mengangkat setengah
duduk tubuh yang menggeliat itu dalam pangkuannya.
Tiba-tiba saja perempuan itu mendorong keras tu-
buh Mayan Danang. Ia mendengar beberapa orang me-
langkah menaiki tangga. Langkah-langkah yang begitu
banyak berhenti di depan pintu kamar di mana mereka
berada.... Braaak! Pintu itu terbuka lebar. Nampak beberapa orang
berwajah beringas memasuki kamar itu. Mayan Da-
nang maupun perempuan yang bersamanya masih
membugil. Beberapa orang datang menyeret tubuh
Mayan Danang. Tapi....
Praaak! Perempuan bugil itu mengibaskan tangannya, ma-
ka beberapa orang itu berpentalan. Salah seorang di
antaranya ambruk dengan kepala pecah.
"Kalian mau membunuh Mayan Danang..." Tidak
bisa! Dia bagianku...! Kalian tidak berhak! Menyingkirlah..."
Seseorang muncul lagi. Seorang lelaki dengan balu-
tan di kepalanya. Laki-laki itu tidak lain Singo Kobar....
"Cepat! Kalau perlu bunuh saja mereka...! Ayo bunuh!" kata Singo Kobar sengit.
"Hi.... hi.... hi.... hi.... Kalian cari mampus! Aku Nyi Sekar Dayang Kunti
tidak bakal mati.... Heaaaaat!"
Sambil berkata begitu kedua lengannya menyebar
ke atas. Maka beberapa orang beterbangan mencelat.
Bahkan sampai jatuh ke ruangan bawah. Suasana itu
menjadi, ricuh. Orang-orang yang berada di situ men-
jadi panik. Mereka melihat seorang perempuan telan-
jang bulat mengamuk.
Perempuan itu masih terus melancarkan seran-
gannya. Dan setiap kali lengannya bergerak, beberapa orang ambruk berjatuhan ke
lantai bawah dengan lu-ka-luka yang tidak ringan. Beberapa meja pun terpak-
sa hancur berderak tertimpa tubuh-tubuh yang berja-
tuhan dari ruangan atas. Melihat anak buahnya cerai
berai berjatuhan, Singo Kobar menerjang geram! Pe-
rempuan cantik itu menyambutnya dengan sebuah
tendangan mengarah perut....
Breeees! Kaki yang putih mulus itu menembus di perut Sin-
go Kobar! Dan ketika perempuan itu menghentakkan
kakinya, tubuh Singo Kobar mencelat ke bawah den-
gan darah yang menyembur dari perut membanjiri lan-
tai ruangan bawah. Tubuhnya terlentang kaku tak
berkutik. Mayan Danang yang mendengar siapa nama pe-
rempuan itu langsung teringat akan cerita ayahnya...
Nyi Sekar Dayang Kunti...! Perempuan itu pula yang
telah membunuh Parto dan Welang Galih. Cepat-cepat
ia meraih celananya. Tapi perempuan yang menyebut
diri Nyi Sekar Dayang Kunti berbalik menghadapi
Mayan Danang. Orang-orang yang berada di bawah segera me-
nyingkir dari losmen itu. Mereka semua ketakutan me-
lihat seorang perempuan cantik telanjang bulat men-
gamuk bagai kesetanan! Tubuh itu memang nampak
mulus dan menggiurkan, tapi itu tadi.... Sekarang sa-ma sekali tidak ada kesan
membangkitkan birahi.
Mayan Danang beringsut mundur ketika Nyi Sekar
Dayang Kunti me-langkah mendekati.
"Hi.... hi.... hi.... hi.... Setelah tadi kau merasakan kenikmatan tubuhku,
sekarang kau harus menikmati
pula rasanya kematian.... Hi.... hi.... hi.... hi.... Aku tidak perlu mengotori
tanganku, Mayan Danang...! Kau
akan mati dengan sendirinya.... Hi... hi... hi...hi...!" Nyi
Sekar Dayang Kunti tertawa menakutkan.
Dalam pada itu sosok tubuh melesat ke atas dari
lantai bawah ke ruangan itu. Nyi Sekar Dayang Kunti
yang melihat lesatan tubuh seseorang memasuki ruan-
gan itu cepat menyambar dengan lengannya. Serangan
itu melesat hanya menyerempet bulu-bulu yang kasar.
Bulu-bulu kasar itu tidak lain pakaian yang dikenakan Wintara.
Wintara melompat ke arah Mayan Danang, tapi se-
belum ia mencapainya Nyi Sekar Dayang Kunti mendo-
rong telapak tangannya ke depan, maka Wintara ter-
sungkur ke depan sambil memekik. Pukulan itu sangat
keras menghantam punggung Wintara. Ia merasa ser-
ba salah menghadapi perempuan yang telanjang bulat
berdiri mengangkang di hadapannya. Wintara meng-
hentakkan kedua kakinya, maka sebentar saja tubuh-
nya melesat berputar di ruangan itu. Sambil menyeringai, Nyi Sekar Dayang Kunti
melancarkan tendangan
ke atas.... Dees! Wintara tidak dapat menghindari tendangan yang
berkelebat demikian cepatnya.... Tubuh itu terlempar ke bawah berdegum di
lantai.... Dirasakan tulang
punggungnya remuk.
Sosok tubuh bugil itu terus memburu menukik ke
bawah. Sebelah telapak tangannya siap melancarkan
hantaman. Sebelum hantaman itu mengenai, Wintara
berguling ke samping.
"Sekar Dayang Kunti...! Hentikan...!" Terdengar suara seorang perempuan
membentak. Nyi Sekar Dayang Kunti menghentikan serangan-
nya. Ia mengarah ke arah suara. Tidak ada sosok ma-
nusia di sana.... Kecuali seberkas sinar yang amat menyilaukan. Orang-orang yang
berada di luar losmen
menjadi sangat takut.


Pendekar Kelana Sakti 4 Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau telah melanggar perjanjian, Sekar...!" Sinar menyilaukan itu berkerlip-
kerlip. "Maaf, Nyi.... Aku terpaksa.... Dendam ku belum terlaksana, tapi mereka mencoba
menghalangi...!" kata Nyi Sekar Dayang Kunti.
"Apanya yang belum terlaksana! Orang itu telah
menyerap racun kusta mu.... Dia pasti mati! Ayo, Sekar! Kau harus menjadi
dayang-dayang ku...!" Sinar itu nampak lebih menyilaukan. Wintara menutupi kedua
matanya dengan lengan.
"Tidak, Nyi.... Aku tidak mau jadi dayang-dayang mu! Sekarang aku cantik, mulus
tidak ada cacat bekas penyakit kusta.... Aku akan tetap di sini...!" jawab Nyi
Sekar Dayang Kunti.
"Makhluk terkutuk! Tidak sadarkah semua kea-
daan yang ada padamu itu titipan...?"
"Ku mohon padamu, Nyi.... Biarkanlah aku...!" Nyi Sekar Dayang Kunti berlutut.
Ia tidak perduli tubuhnya yang bugil dipandangi orang banyak, meskipun
orang-orang itu hanya melihat dari kejauhan.
"Kau tidak bisa menentang kehendakku, Sekar...!
Bersiaplah...!" Sinar menyilaukan itu berputar-putar di udara. Lalu melesat ke
arah Wintara yang masih menutupi kedua matanya dengan lengan. Sinar yang ber-
putar-putar di udara mendadak berhenti di atas kepala Wintara. Semua orang
tertegun tatkala sinar itu masuk menembus melalui ubun-ubun kepala.
Mendadak saja Wintara bangkit berdiri; dengan ke-
dua mata yang terbelalak. Langkahnya berat menuju
Nyi Sekar Dayang Kunti berlutut menghadapinya. Be-
gitu Wintara mendekati, Nyi Sekar Dayang Kunti me-
lancarkan serangan....
Buuug! Pukulan itu menghantam dada Wintara.
"Bagus kau berani memukul ku, Sekar.... Bersiaplah! Aku akan menjemput mu...!
Dan akan menghu-
kum mu di sana...!" kata Wintara. Suara itu jelas bukan suaranya, tapi suara
seorang perempuan yang be-
rasal dari sinar yang amat menyilaukan tadi.
Kedua lengan kekar Wintara mencengkeram erat
kepala Nyi Sekar Dayang Kunti, lalu mulutnya yang
menganga mendekat seperti hendak menelan kepala
itu bulat-bulat.
"Jangan, Nyi.... Jangaaaaaaaaaaaaan...!" Nyi Sekar Dayang Kunti memekik hebat
ketika mulut Wintara
yang menganga melekat di batok kepalanya. Tubuh
bugil itu kelojotan bergoser-goser. Teriakannya keras memenuhi ruangan itu. Buah
dada serta auratnya
membentang ke mana-mana. Sampai akhirnya tubuh
bugil itu terkulai lemas terlentang di lantai.
Wintara tersentak ketika sinar menyilaukan keluar
dari kepalanya. Ia seperti baru bangun dari tidurnya.
Rasa sakit dan ngilu yang menggeram dalam tubuhnya
hilang seketika. Di bawah kedua kakinya terlentang
sosok bugil. Lengannya cepat menutupi kedua matanya saat si-
nar menyilaukan itu terbang mendekati.
"Terima kasih, anak muda.... Aku telah meminjam ragamu untuk melumpuhkan
perempuan itu... Aku tidak menyangka daya tahan tubuhmu begitu kuat....
Tadi aku mengira kau akan mati, makanya aku mem-
pergunakan ragamu....
Kalau saja manusia biasa, tentunya ia akan mati
saat aku keluar dari tubuhnya.... Karena inti tenaga yang tersalur tadi energi
panas, bahkan lebih panas
dari inti api.... Kau boleh mempergunakan inti api itu, anak muda! Aku akan
datang setiap kau betul-betul
membutuhkannya, sebut saja namaku sambil seme-
di.... Nyi Dayang Kunti Naga.... Aku pasti datang membantu.... Nah, sekarang aku
pergi dulu.... Sampai ke-temu lagi anak muda!" Sinar menyilaukan itu sirna
menjelma asap keputihan yang kemudian menghilang
sama sekali. Wintara masih tertegun, mulutnya terasa terkunci.
Orang-orang yang bersembunyi di balik tembok mulai
bermunculan satu per satu. Para wanita penghibur
berlarian masuk ke dalam kamar. Semua orang ramai
memenuhi ruangan itu.
Mayan Danang turun dari anak tangga sambil
menggaruk-garuk tubuhnya yang terasa gatal. Ia ber-
lari cepat ke arah Wintara sepuluh jarinya tidak berhenti menggaruk. Wintara
menatap aneh. Darah mulai
keluar dari setiap titik lobang pori-pori. Kulitnya-mulai mengeriput. Lama-
kelamaan nampak seperti meleleh
menjijikkan. Wintara mundur ketika Mayan Danang yang mulai
kehilangan bentuk mendekatinya. Cepat ia melompat
ke atas dan masuk ke salah satu kamar yang masih
terbuka. Kemudian ia turun lagi dengan membawa se-
lembar kain seprei. Dengan gerakan yang sangat cepat ia membungkus seluruh tubuh
Mayan Danang... Setelah itu ia menerobos orang-orang yang berkerumun di
ruangan itu sambil membawa tubuh Mayan Danang
kembali ke rumahnya.
Orang-orang masih memenuhi ruangan losmen.
Tubuh yang aduhai, mulus, putih.... Dan.... Tiba-tiba saja orang-orang yang
berada di situ membelalakkan
mata. Tubuh mulus itu berangsur-angsur berubah.
Kulit yang mulus mulai mengeriput.... Dagingnya yang gempal menciut. Warna
kulitnya yang putih berubah
kian memerah.... Mencair. Wajah cantik mempesona
berobah kembali asal.... Mereka memekik ketika wajah itu mulai nampak. Wajah
yang selama ini paling dita-kuti.... Wajah Narsiah putri tunggal Ni Luh Wedas.
Kontan semuanya berlarian pating serabut takut kena
ketularan penyakit itu. Dalam sekejap losmen itu menjadi sepi, tinggallah tubuh
busuk Narsiah terlentang tanpa nyawa.
* * * Mayan Danang mengerang-ngerang kesakitan. Tu-
buhnya masih terbungkus dengan kain sprei. Ki Lurah
Sentanu dan Kunta Danang menatap penuh iba. Win-
tara yang berdiri di situ tidak dapat berbuat apa-apa.
Semuanya telah terjadi. Tangis sang ayah dan adiknya meledak saat Mayan Danang
menghembuskan nafasnya....
"Bakar rumah Ki Lurah.... Bakar!" Tiba-tiba saja terdengar suara orang-orang
kampung Rawa Kandar
meluruk memasuki halaman Ki Lurah Sentanu.
"Desa ini harus bersih dari penyakit kutukan... Ayo Bakar...!" Semua orang sudah
membawa obor yang
menyala. "Tunggu apa lagi! Ayo bakar!" Mereka melempari rumah itu dengan obor.
Ki Lurah Sentanu melihat seorang pemuda me-
mimpin orang-orang kampung. Pemuda itu mirip Par-
to! Tapi yang jelas dia bukan Parto! Parto telah tewas!
Ki Lurah Sentanu dan Kunta Danang tidak ingat apa-
apa lagi. Tubuh mereka terasa melayang terbang. Dan
mereka masih sempat merasakan seseorang membawa
mereka menerobos pintu belakang. Siapa lagi kalau
bukan Wintara yang membawa tubuh mereka dari jila-
tan-jilatan api yang mulai membakar habis rumahnya.
Mereka dapat melihat jelas api berkobar-kobar
menjilati tiang-tiang rumah. Ki Lurah Sentanu bersa-
ma Kunta Danang menyaksikan sampai tuntas ru-
mahnya menjadi arang. Dari kejauhan mereka masih
dapat melihat asap hitam membumbung tinggi ke ang-
kasa. Mereka berdua berdiri tak bergeming sedikit pun.
Air mata Ki Lurah Sentanu mengalir.... Dan di saat ia menoleh ke belakang, sosok
Wintara sudah hilang entah ke mana....
T A M A T Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Kucing Listrik
Tamu Dari Gurun Pasir 6 Si Bungkuk Pendekar Aneh Too Pek Koay Hiap Karya Boe Beng Giok Rahasia Lukisan Kuno 2
^