Penunggang Kuda Iblis 1
Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis Bagian 1
PENUNGGANG KUDA IBLIS Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Penunggang Kuda Iblis
128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Udara siang itu cukup panas. Angin bertiup san-
gat kencang, karena wilayah Kadipaten Krasaan, terletak di daerah Pesisir Pantai
Laut Selatan. Akhir-akhir ini penduduk kadipaten itu tengah dilanda keresahan
oleh munculnya orang aneh berpakaian gembel dan
memakai caping lebar serta menunggang kuda hitam.
Kedatangan seorang gembel berkuda hitam itu
menjadi buah bibir para tokoh persilatan, baik dari aliran putih maupun hitam.
Orang aneh itu membunuh
siapa saja tokoh persilatan yang menantang Pendekar
Gila dan Mei Lie.
Di mana-mana orang semua membicarakan se-
pak terjang orang berpakaian gembel itu.
"Aku heran kenapa pembunuhan menggiriskan
itu terjadi di mana-mana. Orang-orang yang dibunuh,
kebanyakan para tokoh silat tersohor dan ditakuti.
Dan anehnya mereka yang menantang Pendekar Gila
dan gadis Cina itu," ujar seorang lelaki bertubuh kurus yang tengah menikmati
santapan di sebuah kedai.
Orang itu duduk sambil mengangkat kaki kanan ke
kursi tempat duduknya.
"Biar saja. Kita tak perlu ikut campur. Lagi pula mereka yang dibunuh itu tokoh
aliran hitam yang suka memeras orang...!" sahut lelaki berumur sekitar tiga
puluh lima tahun, bernama Jaroto. Wajahnya menoleh
pada lelaki bermuka lonjong tadi yang sebenarnya bernama Ki Sarpan.
"Aneh! Siapa orang yang membunuh tokoh-tokoh
itu..."! Apa betul, pembunuh itu suruhan Pendekar Gi-la?" tambah Baseta, lelaki
muda yang duduk satu me-ja, dengan Ki Sarpan dan Jaroto. Tampak mulutnya
sibuk mengunyah makanan.
"Mungkin juga.... Ah, sudah jangan pikirkan
orang lain! Makanlah yang kenyang. Kita harus be-
rangkat ke laut...," sahut Ki Sarpan sambil mengelap tangannya dengan kain
serbet Ki Sarpan dan Jaroto merupakan nelayan-
nelayan yang cukup dikenal. Setiap kali akan turun ke laut atau sehabis
menangkap ikan. Ki Sarpan dan Jaroto seperti kawan-kawan lain, selalu mampir ke
kedai itu. Mereka beristirahat sambil mengisi perut.
"Pagi tadi aku benar-benar sial. Ikan sepertinya tak ada yang mau mendekati
jalaku. Aneh! Mudah-mudahan nanti akan lebih baik....'" ujar Jaroto.
Di dalam kedai suasana, nampak cukup ramai.
Hampir semua meja yang ada di ruangan kedai penuh.
Di salah satu sudut agak tersembunyi duduk seorang
berpakaian gembel, memakai caping lebar, menghada-
pi makanannya. Orang-orang tak banyak yang menghi-
raukan orang berpakaian gembel dan bercaping lebar
itu. Bahkan ada yang mencibirkan bibir sambil me-
nutup hidung, menghinanya. Namun, orang berpa-
kaian compang-camping seperti gembel itu tak meng-
hiraukan. Dirinya tetap duduk tenang dan menunduk-
kan kepala. Wajahnya tertutup oleh capingnya. Se-
hingga tak dapat terlihat dengan jelas, seorang lelaki atau wanita.
"Hei...! Kapan si gembel itu masuk" Tahu-tahu
sudah ada di sana...," seru seorang lelaki bermuka persegi, berhidung besar, dan
kumis tebal. Tubuhnya
yang tegap terbalut pakaian rompi hitam. Kepalanya
terikat kain warna hitam. Sebilah golok besar terselip di pinggangnya.
"Aaah...! Jangan usil pada orang lain! Teruskan makanmu! Paling-paling orang
gembel yang baru dapat
rejeki...," sahut temannya sambil menggigit ikan pang-
gang. "Ha ha ha...!"
Keduanya tertawa-tawa sambil memandangi
orang yang berpakaian compang-camping dan bertu-
dung caping lebar itu.
Suara tawa dan riuhnya di dalam kedai, tiba-tiba
berhenti, ketika mereka melihat tiga sosok lelaki bertubuh tegap dan berwajah
garang memasuki pintu ke-
dai. Tak satu pun di antara para pengunjung kedai
membuka mulut Tampaknya mereka semua tahu siapa
yang datang. Ya, ketiga sosok berwajah garang itu tak lain Tiga Setan Laut
Kidul. Orang-orang yang tadi tertawa dan mondar-
mandir seenaknya, kini nampak diam bagai patung.
Hanya dada mereka yang terlihat naik turun tak tera-
tur, menandakan kecemasan dan ketegangan yang
tengah melanda hati masing-masing.
Mereka sudah mengenal siapa Tiga Setan Laut
Kidul. Ketiga lelaki berwajah bengis itu merupakan tokoh aliran hitam yang
dikenal sangat kejam dan bi-
adab. Mereka tak segan-segan membunuh atau me-
nyiksa siapa pun yang berani menentangnya.
"He he he..., silakan! Tuan... silakan...! He he
he...," sambut Ki Galingga dengan membungkuk-
bungkuk memberi hormat, serta menyilakan tamunya.
"Hm...!" desis orang yang berdiri paling depan.
Dirinya dikenal dengan nama Jurig Sepuh. Tubuhnya
tinggi dengan dada berbulu, tak tertutup pakaian. Matanya besar tampak bengis,
apalagi ditambah dengan
kumis tebal melintang menghias bibirnya. Pandangan-
nya mengelilingi ruangan kedai ini.
Jurig Sepuh segera duduk. Kedua saudaranya,
Jurig Penengah dan Jurig Kaletik pun turut duduk di
sampingnya. Ketiganya sama-sama berambut panjang
melewati bahu, terikat kain merah di kepala masing-
masing. Sedangkan di pergelangan tangan kanan me-
reka tampak melingkar gelang bahar hitam kecoklatan.
"Pesan apa, Tuan..?" tanya Ki Galingga dengan sopan sambil membungkuk.
"Apa saja yang ada, bawa kemari!" jawab Jurig Sepuh tanpa menoleh sedikit pun
pada Ki Kalingga.
"Hei, tunggu! Apa kau lihat pemuda gila berpakaian rompi kulit ular datang
kemari"!" tambah Jurig Sepuh sambil menahan Ki Galingga yang hendak melangkah
pergi. "Dari pagi tak ada lelaki atau pemuda yang seperti Tuan maksudkan. Si...
siapa dia, Tuan?" jawab Ki Kalingga. Lelaki berusia lima puluh tahunan dan ber-
jenggot putih itu membungkuk-bungkuk. Tergambar
jelas rasa cemas di wajahnya yang sudah agak keriput.
"Yang kami maksud si Pendekar Gila yang kon-
dang itu!" jawab Jurig Penengah dengan kasar. Matanya melotot. Kemudian menoleh
pandangannya me-
nyapu ke seluruh ruangan kedai ini.
Para pengunjung kedai tak satu pun yang berani
menanggapi ucapan orang kedua dari Tiga Setan Laut
Kidul itu. Semua terdiam dengan hati menahan rasa
takut. Hanya sosok berpakaian gembel yang duduk di
sudut ruangan kedai itu tampak mengangkat kepala.
Dari balik caping orang itu seakan memandang ke
arah Tiga Setan Laut Kidul.
Ki Kalingga tersentak mendengar nama Pendekar
Gila yang dicari Tiga Setan Laut Kidul itu. Dadanya seketika naik turun dengan
cepat, karena tegang dan takut "Hei! Sudah, cepat sana bawakan makanan untuk
kami!" bentak Jurig Kelerik.
"Ya, ya, Tuan...."
Ki Galingga segera berlalu dengan perasaan te-
gang. Tubuhnya tampak membungkuk-bungkuk.
"Hei..., kalian semua! Siapa yang melihat atau
bertemu dengan Pendekar Gila dan gadis Cina itu, beri tahu mereka! Bahwa Tiga
Setan Laut Kidul akan membunuhnya...! Mengerti!" seru Jurig Penengah dengan
sombong sambil menggebrak meja. Matanya yang tajam dan bengis menyapu ke
sekeliling ruang kedai.
Namun, para pengunjung kedai itu tak ada yang
menjawab. Hal itu jelas membuat Jurig Penengah ma-
rah. "Hm...! Hei! Kalian semua tuli..."! Jawab, apa ka-taku tadi! Kalau tidak,
akan kuhajar kalian sampai
mampus!" seru Jurig Penengah sambil menendang salah satu meja. Meja di tempat Ki
Sarpan dan kedua
temannya duduk. Tentu saja Ki Sarpan yang punya
harga diri, merasa tersinggung oleh perbuatan lelaki bengis itu.
"Kisanak...! Jangan kau anggap kami diam kare-
na takut pada kalian! Sopan sedikit!" ujar Ki Sarpan dengan nada marah. Dirinya
telah berdiri menghadap
Jurig Penengah.
"Ha ha ha...! Orang ini sudah bosan hidup ru-
panya, Kakang! Ha ha ha...!" Jurig Penengah tertawa terbahak-bahak, dengan sikap
pongah. Lelaki bengis
itu mendekati Ki Sarpan dan kedua temannya, "Hei!
Kalian boleh mengadu ilmu denganku, kalau memang
sudah tak mempan dibacok!"
Selesai berkata begitu, Jurig Penengah lalu men-
dorong keras tubuh Ki Sarpan dengan tangan kirinya.
Dengan cepat Ki Sarpan mencabut goloknya, lalu di-
babatkan ke dada Jurig Penengah.
Hanya dengan menundukkan kepala Jurig Pe-
nengah mengelakkan tebasan golok lawan. Kemudian
menyerang balik dengan pukulan tangan kanannya ke
dada lawan. Ki Sarpan tampak mati langkah tak mam-
pu bergerak untuk menghindar. Hal itu karena seran-
gan balik Jurig Penengah datang begitu cepat
Degkh! "Aaakh...!"
Ki Sarpan memekik keras, ketika pukulan Jurig
Penengah mendarat di dadanya. Tubuhnya terhuyung
ke belakang empat tombak lalu menabrak meja dan
kursi lain. Brakkk! Para pengunjung kedai berlarian ketakutan. Ja-
roto dan Baseta yang melihat temannya terluka segera menyerang bersamaan ke
tubuh Jurig Penengah yang
tertawa-tawa mengejek. Tampaknya Ki Sarpan bukan
tandingan bagi Jurig Penengah yang berilmu tinggi.
"Heaaa...!"
"Yeaaat..!"
Plak! Plak! "Aaakh...!"
Jaroto dan Baseta memekik, ketika wajah mereka
kena tamparan tangan kanan lawan. Jurig Penengah
yang melihat lawan masih menahan sakit, tak memberi
ampun lagi. Tubuhnya melompat kembali menghajar
Jaroto dan Baseta.
"Heaaa...!"
Degkh! Degkh! "Aaakh...!"
Jurig Penengah melancarkan tendangan sambil
melompat dan berputar. Kaki kanannya beruntun
mendarat di dada Jaroto dan Baseta. Tubuh kedua la-
wan tampak bergelimpangan di antara meja dan kursi
kedai. Keduanya langsung tak berkutik lagi.
"Bangsat..!" seru Ki Sarpan yang sudah kembali pulih dari sakitnya.
Orang-orang di kedai semakin ketakutan, mereka
berlarian keluar dari kedai, ketika melihat Jaroto dan Baseta pingsan. Hanya
tinggal orang berpakaian gem-
bel yang tenang masih duduk di kursi tempat duduk-
nya, di sudut ruangan. Wajahnya tersembunyi di balik caping. Sikapnya seakan tak
menghiraukan keadaan di
kedai ini. "Heaaa...!"
Ki Sarpan menyerang Jurig Penengah dengan sa-
betan goloknya ke kepala. Namun dengan mudah Jurig
Penengah mengelak dari serangan Ki Sarpan yang ma-
sih dua tingkat di bawah Jurig Penengah.
Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik yang duduk den-
gan mengangkat sebelah kaki di kursi, hanya terse-
nyum-senyum memperhatikan saudaranya menghajar
lawan-lawannya.
"Mampus kau, Kunyuk....'" dengus Jurig Penengah. Jari tangan kirinya
mencengkeram tangan kanan
Ki Sarpan yang memegang golok. Sedang tangan ka-
nannya cepat menghantam dada Ki Sarpan keras.
Degkh! Degkh! "Aaakh...!"
Ki Sarpan memekik panjang. Seketika dari mu-
lutnya keluar darah segar. Sedangkan tangan kanan-
nya yang dicengkeram Jurig Penengah patah.
Jurig Penengah masih tertawa-tawa kesenangan
melihat lawannya kesakitan. Sementara Ki Sarpan ma-
sih mengerang-erang kesakitan. Tubuhnya terjatuh di
lantai, kemudian tak mampu bergerak lagi. Rupanya
pukulan lawan yang mendarat di dada menimbulkan
luka dalam yang hebat
"Ha ha ha...! Siapa lagi yang mau melawanku..."!
Kau"!" seal Jurig Penengah sambil menunjuk orang yang duduk di sudut
Orang berpakaian compang-camping mirip gem-
bel itu tak memberi tanggapan sama sekali. Bahkan,
tak bergerak sedikit pun dari tempat tidurnya. Kepa-
lanya masih tetap menunduk, hingga wajahnya sukar
sekali dilihat Jurig Penengah yang merasa disepelekan, naik
pitam. Ditendangnya meja dan kursi yang ada di ha-
dapannya. Dengan langkah tegap kakinya melangkah
mendekati orang berpakaian compang-camping itu.
"Hei! Monyet..! Kau tuli atau bisu"! Bangun...!"
bentak Jurig Penengah marah.
Wajah Ki Galingga, pemilik kedai itu berubah pu-
cat, ketakutan. Dengan tubuh gemetaran lelaki berwa-
jah keriput itu bersembunyi di balik meja.
Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jurig Penengah semakin marah, ketika orang
berpakaian compang-camping dan bercaping lebar itu
tetap tak menghiraukannya. Bahkan gembel itu nge-
loyor pergi, tanpa menoleh sedikit pun pada Jurig Penengah.
"Hei, Tuli! Rasakan ini...!" seru Jurig Penengah, lalu menyerang orang
berpakaian compang-camping
dengan pukulan jarak jauh. "Heaaa...!"
Wuttt! Brakkk! Seketika angin keras menderu keluar dari telapak
tangan Jurig Penengah. Beberapa meja dan kursi ter-
pental terhantam pukulan yang dilancarkan orang ke-
dua dari Tiga Setan Laut Kidul itu.
Namun rupanya orang berpakaian compang-
camping itu memiliki ilmu yang cukup tinggi pula. Dalam kedudukan membelakangi
Jurig Penengah dengan
gerakan cepat sekali gembel itu melakukan serangan.
Hal itu dilakukan sebelum serangan Jurig Penengah
mencapai sasaran.
Werrr! Caping lebar yang terbuat dari bambu kuning itu,
menyambar telak di leher Jurig Penengah.
Jreb! "Aaa...!"
Jurig Penengah memekik panjang, dengan mata
melotot. Lalu tubuhnya roboh. Dan caping dari bambu
kuning itu terbang kembali ke pemiliknya, setelah
memakan korban. Jurig Penengah pun mati dengan
mengerikan. Lehernya hampir putus.
"Hah...!" Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik terbelalak matanya, melihat saudaranya
dengan mudah ambruk
di tangan orang berpakaian compang-camping itu.
"Bangsat..! Kau berani membunuh saudaraku...!
Heaaa...!"
Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik melesat cepat, me-
nyerang orang berpakaian compang-camping. Kedua-
nya langsung mengerahkan pukulan 'Api Neraka'.
Srats! Srats! Dari kedua telapak tangan Jurig Sepuh dan Jurig
Kaletik, keluar semburan api melesat ke tubuh lawan.
Namun orang berpakaian compang-camping itu den-
gan tenang melenting ke atas, mengelakkan serangan.
Api itu terus melesat hingga menabrak dinding kedai
yang terbuat dari bambu. Kebakaran pun tak dapat di-
elakkan. Jeritan dan pekikan ketakutan terdengar dari
orang-orang yang belum sempat keluar dari kedai. Ki
Galingga si pemilik kedai, pun segera lari keluar sambil teriak minta tolong.
Namun tak seorang pun mau menolong, karena semua ketakutan melihat kejadian itu.
Orang berpakaian compang-camping yang masih
di udara, bersalto sambil melemparkan capingnya ke
arah Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik.
Werrr! Caping lebar dari bambu kuning itu pun melun-
cur cepat memburu kepala Jurig Sepuh dan Jurig Ka-
letik. "Hah!"
Jurig Sepuh membelalakkan mata melihat caping
ajaib itu melayang ke kepalanya. Lelaki gagah beram-
but panjang itu dengan cepat meliukkan tubuh, lalu
berguling di lantai kedai yang sempit itu. Demikian pu-la Jurig Kaletik berusaha
bersalto ke belakang. Namun gerakannya terlambat hingga caping besar itu
berhasil menyambar lehernya.
Jreb! "Aaakh...!"
Jurig Kaletik mengerang kesakitan sambil meme-
gangi lehernya yang hampir putus. Matanya melotot.
Lalu ambruk, mati!
Caping itu pun kembali ke pemiliknya, setelah
memakan korban.
Jurig Sepuh melihat saudaranya yang paling ke-
cil mati dengan cara sama dengan Jurig Penengah,
langsung merasa ciut nyalinya. Wajahnya pucat pasi.
Keringat dingin mulai membasahi keningnya.
"Edan...!" gumam Jurig Sepuh pelan, lalu melompat kabur, keluar dari kedai itu.
Orang yang berpakaian compang-camping itu
pun tak membiarkan Jurig Sepuh begitu saja. Tubuh-
nya melesat bagai terbang melewati kepala Jurig Se-
puh yang berlari ketakutan.
Tubuh orang berpakaian compang-camping itu
mendarat dengan ringan di depan Jurig Sepuh.
"Hah..."!"
Jurig Sepuh tak menduga orang berpakaian
compang-camping itu dapat mengejarnya. Matanya
terbelalak terkejut, ketika melihat orang itu sudah berdiri di hadapannya.
"Ooo...! Baiklah aku menyerah, kalah. Ampuni
aku! Biarkan aku pergi...! Aku, tak bermaksud berta-
rung atau menentangmu, Kisanak. Aku hanya menan-
tang Pendekar Gila," ujar Jurig Sepuh yang bermuka garang itu dengan suara
menggeragap karena ketaku-
tan. "Hm...! Hi hi hi...! Siapa yang akan menentang Pendekar Gila, harus
berhadapan denganku dulu.
Langkahi dulu mayatku, sebelum berhadapan dengan
Pendekar Gila...," sahut orang berpakaian compang-camping itu dengan suara
mantap. Wajahnya masih
tersembunyi di balik capingnya yang lebar. Sehingga
belum jelas lelaki atau wanita. Namun dilihat dari tubuh dan suaranya, jelas dia
seorang wanita. "Mungkin dia seorang wanita"!" tanya Jurig Sepuh dalam hati.
"Tidak..., tidak. Aku menyerah..., ampuni aku,
Nisanak!" pinta Jurig Sepuh sambil menjura.
Orang berpakaian compang-camping yang berdiri
di hadapannya, tak menjawab. Sejenak menghela na-
pas panjang, lalu berbalik melangkah pergi.
Baru dua tombak orang itu melangkah, tiba-tiba
Jurig Sepuh yang menyangka bahwa lawan lengah,
melesat melakukan serangan dengan mengayunkan
golok. "Heaaa...!"
Wuttt! Golok itu belum sampai ke tubuh lawan, tiba-tiba
orang berpakaian compang-camping berbalik, tahu-
tahu tubuh Jurig Sepuh terpental sejauh lima tombak
ke belakang. "Aaa...!"
Rupanya tanpa sepengetahuan Jurig Sepuh, wa-
nita berpakaian gembel itu telah mendahului. Tubuh-
nya dengan cepat dimiringkan ke kiri. Kemudian sam-
bil membalik, dengan cepat pula sosok berpakaian
gembel itu melancarkan sebuah pukulan ke tubuh la-
wan dengan jurus 'Tamparan Tangan Iblis'.
Jurig Sepuh tak bergerak lagi, tewas dengan ma-
ta melotot. Dadanya hangus bagai terbakar dan berbe-
kas telapak tangan. Rupanya sosok berpakaian com-
pang-camping itu mengerahkan jurus 'Tamparan Tan-
gan Iblis'. Semua orang di tempat itu terkejut, bercampur
kagum dengan kehebatan ilmu yang dimiliki orang
berpakaian compang-camping itu.
Selesai membunuh Jurig Sepuh, sosok berpa-
kaian compang-camping itu menepukkan telapak tan-
gannya tiga kali. Tak lama kemudian muncullah kuda
hitam jantan bertubuh kekar, menghampirinya.
Orang berpakaian compang-camping itu segera
melompat ke atas kuda. Lalu tanpa berkata apa-apa,
manusia aneh itu menggebah kudanya, melesat me-
ninggalkan Desa Parangan dan orang-orang di kedai
yang masih keheranan dan kagum.
*** Setelah orang aneh berpakaian compang-camping
itu pergi, para penduduk desa berhamburan menge-
rumuni mayat Jurig Sepuh dan kedua temannya.
Kemunculan orang berpakaian compang-
camping, yang menunggang kuda hitam, seketika men-
jadi bahan pembicaraan setiap orang di Desa Paran-
gan. Mereka pada umumnya bertanya-tanya siapa se-
benarnya tokoh aneh itu. Lawan atau kawan Pendekar
Gila" "Aneh! Sungguh aneh orang penunggang kuda itu. Ada hubungannya apa dia
dengan Pendekar Gi-la...?" tanya lelaki yang bernama Ki Lamting, sambil
menggeleng kepala.
"Tadi aku mendengar, bahwa siapa saja yang
menantang Pendekar Gila, harus berhadapan dulu
dengannya. Apa maksudnya"!" tambah pemuda ber-
nama Warsita, berdiri di sebelah Ki Lamting.
Sementara itu Ki Galingga tampak sedih dan me-
nyesal. Kedainya sebagian terbakar terhantam Jurig
Penengah yang mengerahkan pukulan 'Api Neraka'.
Tak lama kemudian kerumunan orang-orang itu
bergerak, memberi jalan pada Ki Lurah Patiasa, yang
datang bersama dua pengawalnya.
"Siapa yang mengenal pembunuh ketiga orang
ini?" tanya Ki Lurah Patiasa, seraya memandangi orang-orang yang berkumpul di
depan kedai. "Kami tak jelas, Ki Lurah. Orang berkuda hitam
itu seperti iblis. Datang dan pergi begitu saja," jawab Ki Lamting menjelaskan.
"Benar, Ki Lurah. Orang berkuda hitam itu san-
gat aneh dan sangat tinggi ilmunya...," tambah Warsita. "Bagaimana awalnya bisa
sampai terjadi pertarungan itu?" tanya Ki Lurah Patiasa lagi.
Sejenak mereka diam. Mata mereka saling me-
mandang seperti ragu untuk menjelaskan kepada ke-
pala desa itu. "Hm..., begini. Ki Lurah...."
Ki Galingga, pemilik kedai menjelaskan dari awal
sampai akhir pada Ki Lurah Patiasa. Semua terdiam
mendengar penuturan Ki Galingga.
"Memang aneh. Akhir-akhir ini sering terjadi
pembunuhan. Mayat para tokoh bergelimpangan di
mana-mana. Ini pertanda malapetaka di dunia persila-
tan. Siapa sebenarnya orang berkuda hitam itu" Ka-
wan atau lawan Pendekar Gila..."!" gumam Ki Lurah Patiasa sambil memegangi
keningnya. "Kalau menurut saya, tak mungkin Pendekar Gila
memerintah seseorang dengan kejam membantai siapa
saja yang menantangnya. Pasti ada sesuatu di balik
peristiwa ini," tukas Santika, pengawal Ki Lurah Patiasa yang berdiri di sebelah
kanan kepala desa itu.
"Benar, Ki Lurah. Saya sependapat dengan Ka-
kang Santika," tambah Lohdaya.
"Hm...," gumam Ki Lurah Patiasa, sambil mengangguk-anggukkan kepala. Seakan
hatinya membe- narkan ucapan kedua pengawalnya. "Sekarang kalian kuburkan mayat-mayat itu. Ayo
laksanakan!" perintah Ki Lurah Patiasa pada warga penduduk desa yang masih di
depan kedai Ki Galingga.
Para penduduk desa bergegas bersama-sama
menguburkan mayat-mayat itu.
"Aku merasa menyesal, meninggalkan desa ini
tadi pagi. Seharusnya kutunda kepergianku...," keluh Ki Lurah Patiasa, sambil
memandangi para warganya
yang sibuk membereskan mayat-mayat itu dari kedai
Ki Galingga. "Tapi kepergian kita kan bukan untuk senang-
senang, Ki Lurah Patiasa. Tugas melapor ke Kadipaten Krasaan tak dapat ditunda,"
ujar Santika ingin mengurangi rasa sesal kepala desanya.
"Ya. Kau benar. Kita harus melaporkan keadaan
Desa Parangan. Ah, rupanya kita harus lebih waspa-
da," kata Ki Lurah Patiasa kemudian. Matanya memandang jauh ke depan.
*** 2 Sore telah datang, mentari tergelincir di ufuk ba-
rat. Sebentar lagi raja siang akan tenggelam, kemudian hadir kegelapan yang
membawa suasana mencekam.
Tampak para nelayan sedang berangkat ke laut dengan
jala terpanggul di pundak.
Sekawanan burung beterbangan pulang ke sa-
rang masing-masing dengan suara yang bersahut-
sahutan. Cahaya merah tembaga membias di kaki lan-
git sebelah barat, menandakan mentari telah masuk ke peraduannya. Dan angin
darat cukup kencang tertiup
ke laut, yang menghempaskan perahu para nelayan
yang sedang berlayar ke tengah.
Dua sosok manusia tampak melangkah dalam
keremangan senja. Kedua muda-mudi itu bersenda gu-
rau dengan riang, menikmati suasana senja yang in-
dah. "Desa apa ini, Kang?" tanya gadis cantik berpakaian putih dengan rambut
digelung di atas. Kulitnya kuning langsat. Hidungnya tak terlalu mancung. Sedang
mata yang sipit tampak indah bila mengerling.
"Ah ah ah.... Kalau aku tak salah ini Desa Parangan," jawab pemuda tampan
berpakaian rompi kulit ular. Rambutnya yang gondrong, terikat pula oleh kulit
ular. Serasi sekali kedua anak muda itu. Yang lelaki tampan dan gagah, sedangkan
yang wanita cantik dan
anggun. Di pundak gadis cantik berpakaian silat Cina itu tersandang sebatang
pedang. Sedangkan di pinggang pemuda tampan itu terselip sebuah suling berke-
pala naga Kedua sejoli itu tak lain Sena Manggala atau
Pendekar Gila dengan kekasihnya Mei Lie, si Bidadari Pencabut Nyawa.
Sena nampak cengengesan dengan tangan meng-
garuk-garuk kepala. Matanya menyapu sekeliling yang
nampak sepi "Nampaknya ada sesuatu yang baru terjadi di de-
sa ini, Kang...," kata Mei Lie, lirih. Matanya yang bening juga memandangi
sekelilingnya. "Hm," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Mei Lie menghela napas panjang, matanya masih
tetap mengamati sekeliling tempat itu.
"Aha, ayolah kita cepat pergi! Sebentar lagi malam. Kita harus segera mencari
tempat untuk mengi-
nap," ajak Sena sambil menggandeng tangan Mei Lie.
Namun, gadis Cina itu menolak, dengan memegang
lengan Pendekar Gila.
"Ssst..! Tunggu, Kakang! Firasatku mengatakan,
telah terjadi sesuatu di desa ini."
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil
tertawa cekikikan mendengar ucapan kekasihnya. Hal
Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu membuat Mei Lie cemberut. Kesal. Karena Sena
seakan tak mempercayai firasatnya.
Pendekar Gila langsung mengubah tingkahnya
yang persis orang gila itu, setelah melihat wajah Mei Lie memberengut. Namun
sebentar kemudian tangannya telah kembali menggaruk-garuk kepala sambil
cengengesan. "Hi hi hi...! Kau kalau cemberut begitu tambah jelek. Eee..., maksudku, tambah
cantik," ujar Sena ber-seloroh sambil cengengesan dan menggaruk-garuk ke-
pala. Mei Lie tersenyum manis, mendengar pujian Pen-
dekar Gila. Kemudian Sena kembali mengajak Mei Lie segera
meninggalkan tempat itu. Mei Lie pun menurut. Kedu-
anya melangkah meninggalkan Desa Parangan. Namun
baru beberapa langkah, tiba-tiba mereka dikejutkan
bentakan seseorang.
"Hei...! Berhenti!"
Pendekar Gila dan Mei Lie berhenti. Keduanya
membalikkan tubuh melihat siapa yang telah menyu-
ruh mereka berhenti. Tampak lelaki berbadan sedang
berumur sekitar empat puluh lima tahun, dengan ku-
mis tipis menghiasi di atas bibirnya. Matanya meman-
dang penuh rasa curiga pada kedua muda-mudi itu. Di
belakang lelaki yang tak lain Ki Lurah Patiasa, berdiri
beberapa orang warga, termasuk Santika dan Lohdaya.
Pendekar Gila tertawa-tawa, tingkah lakunya
yang aneh kembali muncul. Kemudian tangannya me-
nepuk-nepuk pantat
Menyaksikan tingkah aneh dan konyol pemuda
berpakaian rompi kulit ular di hadapannya, Ki Lurah
Patiasa seketika mengerutkan kening, sambil meme-
gangi dagunya. "Rasanya aku pernah mengenal tingkah laku pe-
muda ini. Ah, benarkah dia Pendekar Gila yang dika-
gumi itu?" tanya Ki Lurah Patiasa dalam hati. Alisnya bertaut saat memandang
penuh selidik pada Pendekar
Gila dan Mei Lie. "Dan kalau tak salah, gadis Cina ini yang bergelar Bidadari
Pencabut Nyawa. Benarkah mereka?"
"Hi hi hi...! Kalian ini aneh. Mengapa bengong" Hi hi hi...!"
Sena tetap bertingkah seperti orang gila, mengga-
ruk-garuk kepala dan cengengesan. Sedangkan Mei Lie
tampak bersiap-siap, waspada kalau para pengha-
dangnya hendak bermaksud jahat.
"Siapa kalian sebenarnya, Kisanak?" tanya Ki Lurah Patiasa kepada Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Aku..."! Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Kisanak!" Sena semakin
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. "Aha, kalian ingin tahu siapa kami"
Baiklah, kami hanyalah orang kecil yang sedang berpetualang mengikuti kehendak
hati. Nah, cukup jelas
bukan?" Ki Lurah Patiasa dan orang-orangnya saling pan-
dang. Lalu menghela napas. Ki Lurah Patiasa mencoba
bersikap ramah.
"Hm... maaf! Apa benar kalian Pendekar Gila dan
Bidadari Pencabut Nyawa?" tanya Ki Lurah Patiasa berusaha memastikan dugaannya.
Sena tak langsung menjawab. Mulutnya cen-
gengesan dan menepuk-nepuk pantat, lalu mengga-
ruk-garuk kepala. Namun Mei Lie yang merasa tak sa-
bar, langsung menjawab dengan nada ketus.
"Ya! Mengapa kalian menghadang kami?"
Ki Lurah Patiasa, kembali saling pandang dengan
orang-orangnya. Wajahnya kini nampak agak lega.
Tersungging senyum kegembiraan di bibirnya.
Begitu juga dengan Santika dan Lohdaya, yang
berdiri di sebelah kiri dan kanan Ki Lurah Patiasa. Keduanya nampak tersenyum
saling berbisik.
Mei Lie yang cepat marah tampak kesal dan curi-
ga terhadap mereka.
"Hei! Kalian mau menentang kami..."! Ada apa
sebenarnya dengan kalian!" sungut Mei Lie sambil melangkah setindak ke depan.
Tangan kanannya sudah
menggenggam gagang pedangnya.
"O, maafkan tindakan kami yang lancang! Kami
tak bermaksud jahat. Malah, kalau benar kalian Pen-
dekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa, kami sangat
lega dan gembira sekali. Kami mengharap kalian sudi
singgah ke rumah kami," ujar Ki Lurah Patiasa, dengan sopan.
Mei Lie mengerutkan kening, menyelidik. Lalu
menoleh ke Sena yang tampak cengengesan. Kemudian
kembali memandang Ki Lurah Patiasa dan orang-
orangnya. "Untuk apa"!" tanya Mei Lie tegas.
"Aha, sabar Mei Lie! Rupanya mereka memang
tak bermaksud jahat. Tenanglah!" ujar Sena mencoba menenangkan kekasihnya.
Tangannya memegang bahu
Mei lie. "Bagaimana kalau kita terima undangan mereka" Bukankah kita perlu
tempat menginap?" tanya Pendekar Gila kemudian pada Mei Lie. Tampaknya Mei
Lie masih merasa curiga pada Ki Lurah Patiasa dan
orang-orangnya.
Mei Lie mengerutkan kening, sepertinya berpikir
dan menimbang ajakan Pendekar Gila.
"Baiklah! Tapi jangan sekali-kali bermaksud ja-
hat! Aku tak akan segan-segan membunuh kalian!"
ancam Mei Lie. 'Terima kasih, Tuan Pendekar. Kami merasa se-
nang sekali," sahut Ki Lurah Patiasa penuh hormat
"Aha, Mei lie, ayolah!" ajak Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Kemudian menge-
dipkan sebelah matanya kepada Mei Lie. Gadis cantik
berparas Cina itu mencibir, matanya melotot
Mereka pun kemudian melangkah mengikuti Ki
Lurah Patiasa dan warganya. Sementara kegelapan
mulai menyelimuti desa itu. Kesunyian mulai meram-
bat di Desa Parangan yang baru dilanda kejadian men-
gerikan di siang hari tadi.
*** Lampu di rumah Ki Lurah Patiasa yang biasanya
dipadamkan di malam hari, saat itu nampak masih te-
rang benderang. Suasana dalam rumah tampak terang
benderang. Terutama di beranda depan.
Tiga orang terlihat tengah duduk di kursi kayu,
sementara yang lainnya bersila di bawah. Tampaknya
mereka tengah berkumpul, sehubungan dengan kema-
tian beberapa warga Desa Parangan. Mereka pun
membicarakan munculnya orang berpakaian compang-
camping, menunggang kuda hitam, yang mereka sebut
dengan Penunggang Kuda Iblis. Karena kuda yang di-
tunggangi hitam pekat, dengan mata menyala merah,
seperti bara api.
Pendekar Gila, Mei Lie, dan Ki Lurah Patiasa du-
duk di kursi. Ketiganya tengah membicarakan kejadian
yang melanda Desa Parangan.
"Siang tadi desa ini didatangi Tiga Setan Laut Kidul. Mereka, membunuh warga
kami. Namun, kejadian
semakin kacau, setelah orang berpakaian compang-
camping dan memakai caping lebar membunuh Tiga
Setan Laut Kidul," tutur Ki Lurah Patiasa, lalu menarik napas sejenak. "Menurut
warga desa ini, orang aneh berpakaian compang-camping itu juga menyebut nama
Tuan Pendekar Gila dan Mei Lie...," lanjut Ki Lurah Patiasa kemudian.
Mei Lie tersentak kaget, wajahnya menoleh kepa-
da Pendekar Gila. Namun Sena malah menggaruk-
garuk kepala dan cengengesan. Seakan tak peduli. Ti-
dak ada rasa kaget sedikit pun. Hal itu membuat Mei
Lie kesal dan mencubit lengan Sena.
"Aha, ada apa rupanya orang berpakaian com-
pang-camping, menyebut namaku dan Mei Lie, Ki Lu-
rah...?" tanya Sena ingin tahu juga.
"Ya. Ada urusan apa dengan kami. Rasanya-kami
berdua tak pernah punya teman seperti itu," tambah Mei Lie dengan nada ketus,
sebelum Ki Lurah Patiasa
menjawab. "Begini...," menurut penduduk di desa ini, mulanya Tiga Setan Laut Kidul
bermaksud mencari Tuan
Pendekar Gila. Dengan maksud menantang Tuan. Na-
mun orang berpakaian compang-camping itu membu-
nuhnya. Dan berkata, kalau mau menantang Pendekar
Gila, harus mengalahkannya lebih dulu," tutur Ki Lurah Patiasa menjelaskan.
Mei Lie makin terkejut. Matanya terpicing dan
keningnya berkerut Kemudian mendengus.
"Siapa kira-kira orang itu, Kakang Sena...?" tanya Mei Lie dengan ketus.
Wajahnya kelihatan geram mendengar tutur kata Ki Lurah Patiasa. "Kurasa ada
orang ketiga yang mendalanginya."
"Saya kurang tahu. Tapi tindakannya harus sege-
ra dicegah. Kalau tidak, akan lebih banyak korban.
Dan semula kami mengira orang berpakaian compang-
camping itu teman Tuan Pendekar. Aneh! Lantas un-
tuk apa dia lakukan semua itu" Dan untuk apa men-
cari Tuan Pendekar..."!" ujar Ki Lurah Patiasa dengan mengerutkan kening.
"Hm," Pendekar Gila bergumam tak jelas. Mulutnya nyengir dan tangannya
menggaruk-garuk kepala.
Diliriknya wajah Mei Lie yang tampak memerah.
"Orang itu laki-laki atau wanita, Ki Lurah...?"
tanya Mei Lie tiba-tiba.
"Wah, semua orang tak jelas melihatnya. Karena
hampir seluruh wajahnya tertutup oleh caping lebar.
Benar begitu, Lamting...?" tanya Ki Lurah Patiasa sambil menoleh ke arah Ki
Lamting yang duduk di bawah
sebelah kanan. "Benar. Capingnya lebar. Tapi rambutnya pan-
jang melewati bahu," jawab Ki Lamting menjelaskan.
Mei Lie mengangguk-anggukkan kepala, sambil
menggigit bibirnya sendiri. Sedangkan Sena masih
dengan tingkahnya, menggaruk-garuk kepala dan cen-
gengesan. Semua orang yang hadir tersenyum-senyum.
"Jadi apa pendapat, Tuan Pendekar" Kami sangat
membutuhkan pertolongan. Kami tak ingin orang itu
datang ke desa ini lagi, dan membunuh warga Desa
Parangan...," kata Ki Lurah Patiasa.
"Aha, kukira dia tak akan kembali kemari lagi, Ki Lurah. Orang itu hanya mencari
aku dan Mei Lie. Tapi aku pun tak tahu, apa urusannya denganku. Tenanglah! Desa
ini tak akan dijamahnya lagi," kata Sena mencoba menenangkan Ki Lurah Patiasa
dan warganya. Ki Lurah Patiasa mengangguk-anggukkan kepala
sambil memegangi dagunya. Namun, keningnya tam-
pak berkerut. "Apa yang dikatakan Tuan Pendekar, mungkin
benar, Ki Lurah. Sebab orang berpakaian compang-
camping itu juga bertanya pada Ki Galingga, di mana
Pendekar Gila berada...," sela Ki Lamting, yang saat kejadian berada di kedai Ki
Galingga. "Benar, Ki Galingga...".'" tanya Ki Lurah Patiasa.
"Benar, Ki Lurah," jawab Ki Galingga sambil menjura. Untuk beberapa saat mereka
diam. Di luar ma-
lam semakin larut. Angin malam berhembus memasu-
ki ruangan itu.
Ki Lurah Patiasa menghela napas sejenak, kemu-
dian memandang wajah Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Kami semua sangat berterima kasih pada Tuan
Pendekar berdua. Untuk itu, jika Tuan Pendekar ber-
sedia, kami berharap agar bermalam di rumah kami.
Apalagi hari sudah larut malam, Tuan Pendekar dan
Nini perlu istirahat..."
"Terima kasih, Ki Lurah," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kalian sebaiknya berjaga-jaga...," kata Ki Lurah Patiasa pada beberapa orang
warga. "Dan kau Santika bersama Lohdaya, pimpin mereka agar menjalankan
ronda!" "Baik, Ki Lurah...," jawab Santika sambil mengangguk, lalu pergi.
*** Suasana di Desa Parangan malam ini tampak se-
pi. Angin yang berhembus membawa hawa dingin. Pa-
dahal biasanya malam-malam seperti ini masih ada
beberapa orang hilir mudik di desa yang menjadi per-
singgahan para pedagang dan nelayan dari desa lain.
Begitu pula kedai milik Ki Galingga yang terletak di ujung desa, dekat pantai.
Tampaknya semua penduduk telah terlelap dalam tidur. Atau mungkin karena
tak berani keluar malam.
Semenjak kehadiran orang berpakaian compang-
camping mirip gembel, Desa Parangan dan sekitarnya
benar-benar dicekam rasa khawatir. Para penduduk
tak berani keluar malam.
Sementara itu ada pula pihak-pihak lain yang tu-
rut memanfaatkan keadaan itu. Seperti yang dilakukan Gerombolan Gagak Merah.
Mereka melakukan perampokan, pencurian, bahkan menculik dan memperkosa
wanita desa. Geger tentang pembunuh gelap berpakaian gem-
bel itu bahkan telah menyebar ke luar wilayah Kadipaten Krasaan. Para tokoh
persilatan baik dari golongan hitam maupun putih.
Ketika kesunyian malam tengah mencekam war-
ga Desa Parangan, di salah sebuah rumah penduduk
tengah didatangi gerombolan perampok. Anehnya, para
petugas ronda tak satu pun yang mengetahui. Para pe-
ronda, termasuk Santika dan Lohdaya pengawal Ki Lu-
rah Patiasa, terlelap dalam tidur. Rupanya mereka telah terkena ilmu 'Sirep'
yang digunakan oleh para perampok.
Rumah yang tengah disatroni perampok itu ter-
nyata milik tuan tanah dan seorang saudagar ikan
bernama Bakarekso. Rupanya Bakarekso pun terkena
ilmu 'Sirep'. "Ssst! Habisi semua barang yang ada di rumah
ini! Aku akan masuk kamar sebelah ujung sana," kata Dongkala sambil menunjuk
kamar yang letaknya dekat
dapur. Dongkala segera melangkah maju mendekati pin-
tu kamar itu. Rupanya pintu kamar tak terkunci. Di-
bukanya pelahan lalu Dongkala masuk. Ternyata di
dalam kamar itu ada seorang gadis cantik anak tuan
tanah Bakarekso, gadis itu tertidur pulas, dengan sebelah kakinya ditekuk,
memeluk guling. Hingga pa-
hanya yang putih mulus terkuak.
Melihat keadaan yang menggiurkan, Dongkala
menelan air liur. Segera kakinya melangkah mendekati ranjang. Menyaksikan tubuh
sintal putri Tuan Bakarekso itu, Dongkala bagaikan tak mampu menahan ge-
Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jolak nafsu kejantanannya.
Perlahan-lahan Dongkala membalikkan tubuh
Jumirah putri Tuan Bakarekso. Setelah itu diangkat-
nya kaki kanan gadis itu. Sementara dirinya sudah tak sabar ingin segera
merasakan keperawanan putri tuan
tanah itu. Namun ketika lelaki bertubuh besar itu mulai menindihnya, putri Tuan
Bakarekso itu berteriak
kaget. Menyadari keadaan yang tak menguntungkan.
Dongkala langsung menotok tubuh Jumirah. Kemu-
dian dengan penuh nafsu dinikmatinya tubuh molek
putri Tuan Bukarekso yang telah dalam keadaan terto-
tok itu. Sementara itu di kamar lain, Tuan Bakarekso
terbangun. Dirinya bermaksud keluar, karena melihat
pintu kamarnya sedikit terbuka. Selain itu hatinya curiga mendengar rintihan di
kamar sebelah. Namun ke-
tika Tuan Bakarekso sampai di ambang pintu tiba-tiba muncul lelaki berbadan
besar dengan dada berbulu.
Kumisnya tebal melintang menambah kebengisan wa-
jahnya. Tanpa banyak bicara lelaki berbadan besar
yang bernama Pandesa, langsung mengayunkan go-
loknya. Crasss! "Aaakh...!"
Seketika Tuan Bakarekso tewas dengan kepala
hampir putus. Jeritan itu membangunkan istri tuan
tanah. Wanita itu tersentak, ketika melihat ke arah
pintu. Matanya semakin terbelalak lebar melihat lelaki bertubuh besar masih
memegang golok berlumuran
darah. "Aaakh...!"
Istri tuan tanah Bakarekso menjerit. Pandesa se-
gera melompat lalu menampar perempuan itu.
Plak! Plak! "Ukh...!"
Pandesa menatap nanar, ketika perempuan itu
telentang di ranjang dengan kedua kakinya mengang-
kang. Sebagian kainnya terangkat ke atas. Hingga pa-
hanya terkuak di depan mata Pandesa.
"Hi hi hi..! Sudah lama aku tidak menikmati ke-
hangatan tubuh wanita, he he he...!"
Pandesa langsung menindih tubuh istri tuan ta-
nah, dan merobek baju serta kainnya. Wanita itu me-
ronta-ronta sambil mencakar muka Pandesa. Namun
lelaki bertubuh besar itu tak peduli. Bahkan dengan
gemas ia menciumi leher, dan dada perempuan yang
masih montok itu.
"Lepaskan..., oh....! Jangan... ukh!"
Terjadilah pergumulan yang penuh nafsu. Pande-
sa yang sudah berada di atas tubuh perempuan itu te-
rus melakukan tekanan-tekanan yang buas.
Sementara di luar, sesosok bayangan berkelebat,
di antara rumah penduduk. Lalu melompat ke atap se-
buah rumah. "Hah..."! Aneh, ke mana para petugas ronda..."
Pasti ada yang tak beres," gumam sosok bayangan yang belum jelas, karena malam
begitu gelap. Kemudian sosok bayangan itu melompat-lompat bagai tupai
di atas atap rumah penduduk. Sampai akhirnya ber-
henti di sebuah rumah besar, yang tak lain rumah
tuan tanah Bakarekso. Lampu rumah itu sebagian ma-
sih menyala. Namun tiba-tiba lampu salah satu ruan-
gan padam. Bersamaan dengan matinya lampu, ter-
dengar jeritan suara perempuan. Sosok bayangan
nampak tersentak dan segera melesat, melompat tu-
run. Tubuhnya melesat menuju rumah Bakarekso.
Tiba-tiba, dari pintu keluar dua orang bertelan-
jang dada, yang tak lain Gerombolan Gagak Merah.
Kedua lelaki bertampang bengis itu tengah menggotong barang-barang hasil
rampokannya. Sosok bayangan segera bersembunyi di balik pi-
lar rumah. Sementara itu suara jeritan terhenti, hanya terdengar samar-samar
tangis dan rintihan dari seorang wanita.
"Perampokan, perkosaan..."!" gumam sosok
bayangan itu lirih.
Ketika dua orang yang menggotong barang ram-
pokan itu melewati pagar rumah, tiba-tiba terdengar
suara pekikan keras dari mulut keduanya. Kedua tu-
buh bertelanjang dada itu roboh dengan mulut me-
muntahkan darah segar. Ternyata sosok bayangan itu
dengan begitu cepat melancarkan tendangan dan pu-
kulan ke dada mereka berdua.
Sosok bayangan itu kemudian melesat ke rumah
dan menyelinap masuk.
Brak! "Hah..."!" Pandesa kaget. la segera melompat dalam keadaan bugil, hendak
menggapai celana dan go-
loknya. Namun sosok bayangan yang tak lain adalah
Mei Lie. Melesat cepat sambil mengangkat Pedang Bi-
dadari-nya. "Heaaat..!"
Pandesa tak sempat mengelak, karena pikiran
dan keseimbangan belum pulih. Maka tak pelak lagi,
Pedang Bidadari membabat tubuh Pandesa.
Cras! Cras! "Aaa...!"
Tubuh Pandesa seketika roboh. Sesaat kemudian
terpotong dua. Membiru, lalu hancur jadi debu.
Perempuan yang masih terkulai telanjang di ran-
jang segera ditutupinya dengan kain. Sementara di
kamar belakang, Dongkala yang tertidur lemas, habis
melahap keperawanan Jumirah, tiba-tiba terbangun.
Dilihatnya di ambang pintu berdiri Mei Lie dengan
memegang pedang di tangannya. Dongkala membela-
lakkan matanya, lalu melompat turun.
"Siapa kau..."!" tegur Dongkala dengan mata membelalak. Tangannya mencoba
menggapai golok
yang ditaruh di atas meja kecil bersama ikat pinggangnya. Namun Mei Lie yang
sudah tak bisa menahan
amarahnya langsung melompat. Dan....
"Heaaat..!"
Cras! Cras! "Aaa...!"
Dongkala menjerit. Suaranya melengking pan-
jang. Seketika tubuhnya terbelah dua, lalu roboh. Sesaat kemudian membiru.
Jumirah, tersadar setelah
Mei Lie membebaskan totokan tubuhnya.
"Ohhh...," Jumirah mengeluh, lalu menangis sambil menutupi tubuhnya yang polos.
Mei Lie memandangi dengan sedih dan iba.
"Kau kini sudah aman, Dik. Namun maafkan,
aku terlambat datang. Hingga orang-orang biadab
itu...," Mei Lie tak melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba dari luar
berdatangan Ki Lurah Patiasa, Santika, Lohdaya, dan Pendekar Gila yang tampak
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Sambil mendekati
Mei Lie pemuda berpakaian rompi dari kulit ular itu
mencabut bulu burung dari ikat pinggang lalu mengi-
lik-ngilik kupingnya.
"Kenapa bisa terjadi..."!." gumam Ki Lurah Patiasa sambil menggelengkan kepala.
Wajahnya nampak
murung. "Mereka memakai ilmu 'Sirep' yang ampuh, Ki
Lurah. Tapi aku masih beruntung bisa melawan ilmu
itu," kata Mei Lie, lalu melirik Sena yang cengar-cengir sambil mengilik-ngilik
telinganya dengan bulu burung.
"Ki Lurah mengenal para perampok ini...?" tanyanya kemudian.
"Ya. Mereka adalah Gerombolan Gagak Merah.
Kalau tak salah ini Dongkala, pimpinannya...," jawab Ki Lurah Patiasa sambil
menunjuk mayat Dongkala
yang seluruh tubuhnya telah membiru, lalu perlahan-
lahan mulai hancur menjadi debu. Ki Lurah Patiasa
tersentak kaget. Begitu pula para pengikutnya semua
membelalakkan mata keheranan. Mereka ngeri ber-
campur bingung.
"Hm.... Ilmu apa yang digunakan gadis Cina
itu...?" tanya Ki Lurah dalam hati. Tak satu pun yang membuka mulut
"Ah ah ah...! Rupanya sepak terjang si Penung-
gang Kuda Iblis, dimanfaatkan oleh orang-orang kerdil ini. Hi hi hi..., lucu!"
celetuk Sena sambil terus mengilik-ngilik telinganya dengan bulu burung, lalu
menggaruk-garuk kepala.
Melihat Pendekar Gila yang hanya cengengesan,
seperti tak menghiraukan, Mei Lie tampak cemberut.
Lalu kakinya melangkah mendekatinya.
"Kenapa Kakang diam saja...?" tanya Mei Lie dengan wajah cemberut
Pendekar Gila yang mengerti maksud kekasih-
nya, yang terkadang suka manja. Langsung menga-
cungkan jempol seraya berkata.
"Hi hi hi..., aku kagum padamu, Mei. Kau telah
bertindak cepat. Belum sempat aku bertindak, kau su-
dah lebih dulu. Aku senang."
Mendapat pujian dari Pendekar Gila, bibir Mei Lie
tampak tersenyum-senyum bangga.
"Kami juga sangat kagum atas kesigapan Nini Mei Lie. Kami merasa malu...,"
tambah Ki Lurah Patiasa dengan senyum tersungging di bibirnya.
"Ini sudah kewajiban Ki Lurah. Hm, sebaiknya ki-ta amankan kedua wanita itu!"
ujar Mei Lie kemudian seraya menghampiri Jumirah. Gadis itu masih menangis
tersedu-sedu memikirkan nasibnya dan sang Ibu
yang telah menjadi korban kebiadaban Dongkala dan
kawan-kawannya.
Ki Lurah Patiasa segera memerintahkan pada
Santika dan Lohdaya untuk mengurus Jumirah dan
ibunya. Setelah ikut mengurus mayat saudagar Baka-
rekso kepala desa itu memperingatkan para warga agar meningkatkan kewaspadaan
dan turut menjaga kea-manan desa.
Malam semakin larut dan mencekam. Desa Pa-
rangan loan sunyi dan sepi. Kejadian di rumah Tuan
Bakarekso membuat para penduduk cemas dan keta-
kutan. Apalagi yang mempunyai anak gadis.
Namun Pendekar Gila dan Mei Lie yang masih be-
rada di desa itu, agak membuat warga Desa Parangan
sedikit lega. Di antara para penduduk telah banyak
mendengar nama pendekar muda itu jauh sebelum
melihat orangnya. Nama Pendekar Gila bukan nama
asing lagi di dunia persilatan. Sepak terjangnya dalam menumpas kedurjanaan dan
menegakkan keadilan telah membuat nama Pendekar Gila tersohor. Tidak
hanya di kalangan dunia persilatan, nama pendekar
muda yang bertingkah laku seperti orang gila itu telah mengagumkan banyak orang.
*** 3 Matahari mulai condong ke barat. Seekor kuda
hitam berlari kencang memasuki hutan di kaki Bukit
Palasari. Kuda bertubuh besar dan kekar itu membawa
seorang yang berpakaian compang-camping mirip
gembel yang tak lain Lara Kanti. Ternyata wanita inilah yang akhir-akhir ini
tengah ramai dibicarakan para tokoh di Kadipaten Krasaan.
Lara Kanti terus menggebah kudanya agar berlari
lebih kencang, Derap kaki kuda hitam itu seakan hen-
dak memecah keheningan senja di perbukitan itu. Ma-
ta kuda itu tampak merah membara, seperti mata iblis, memancar tajam dan
menggiriskan. Demikian juga
mata gadis berjuluk si Penunggang Kuda Iblis itu tampak jelalatan, mengawasi di
sekitar tempat yang dilaluinya. Hal itu karena tiba-tiba telinganya yang tajam
menangkap adanya suara derap kaki kuda.
"Hm..., ada yang mengikutiku"!" gumamnya seraya memperlambat lari kuda.
Suara kaki kuda semakin jelas terdengar. Lara
Kanti semakin memperlambat lari kudanya sambil
mengerutkan kening. Telinganya hanya mendengar sa-
tu ekor kuda. Tiba-tiba ditariknya tali kekang kuda, lalu seketi-
ka tubuhnya melompat tinggi. Kakinya dengan sigap
hinggap pada sebatang cabang pohon yang tinggi. Ma-
tanya dengan liar mengawasi sekeliling tempat di ba-
wah sana. Tiba-tiba pandangannya melihat seorang
penunggang kuda berwarna coklat. Dari pakaian dan
pedang yang bertengger jelas orang itu berasal dari kalangan rimba persilatan.
"Hm...! Siapa monyet itu" Mau mencari perka-
ra...!" gumam Lara Kanti, setelah meyakinkan pengli-
hatannya. Lara Kanti memperhatikan gerak-gerik penung-
gang kuda di bawah sana. Ketika kuda itu sampai di
bawahnya, dengan cepat tubuhnya melompat turun
dengan bersalto, lalu mengirimkan sebuah pukulan
yang mengarah ke kepala penunggang kuda itu. Na-
mun rupanya si penunggang kuda telah merasakan
adanya serangan gelap. Dengan cepat pula tubuhnya
melompat dari punggung kuda.
"Yeaaa...!"
"Heit..! Heaaa...!"
Lara Kanti mencoba menyambar kepala lawan
dengan tangan kiri dan kanan, ketika tubuhnya masih
melayang di udara. Namun lelaki penunggang kuda itu
dengan cepat bergerak meliuk seraya melancarkan se-
buah serangan balik.
"Heaaa...!"
Plak! Namun tangan kanan Lara Kanti terjulur cepat
memapaki serangan balasan itu.
"Hm...!" gumam lelaki penunggang kuda itu seraya manggut-manggut.
Lara Kanti tak menduga kalau orang itu memiliki
ilmu yang cukup handal. Begitu kakinya mendarat di
tanah, dengan sigap Lara Kanti mengatur kedudukan-
nya. Matanya yang tajam mengawasi penuh selidik le-
laki muda berkumis tipis itu. Rambutnya yang panjang sebahu diikat kain merah
tua, sama dengan warna pakaiannya. Di pinggangnya melilit sabuk dari kulit
berwarna hitam, menambah angker penampilannya.
"Ha ha ha...! Ini rupanya orang yang dijuluki Penunggang Kuda Iblis itu!
Ternyata hanya gembel kotor dan kudisan. He he he...!" ejek pemuda itu sambil
mengelus-elus cambangnya yang hitam dan lebat.
Pemuda berambut gondrong itu segera mencabut
pedang dari warangkanya.
Srats!
Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada urusan apa kau mengikutiku...?" tanya Lara Kanti ketus.
"Ha ha ha...! Kau mau tahu, Gembel"! Ketahui-
lah! Aku Sasaka Purwa ingin mencari Pendekar Gila,
untuk membunuhnya. Aku ingin jadi orang terkenal
dan disegani. Tapi ketika aku mendengar nama Pe-
nunggang Kuda Iblis yang ramai dibicarakan orang-
orang persilatan, niatku berubah. Aku rasa lebih baik membunuhmu lebih dulu,
sebelum menghabisi Pendekar Gila...! Ha ha ha...!" tutur pemuda bernama Sasaka
Purwa dengan sombong sambil mempermainkan pedang diputar-putar di atas kepala.
Seolah dirinya yakin benar akan mampu mengalahkan, bahkan membunuh
Lara Kanti. Mendengar ucapan Sasaka Purwa, Lara Kanti
hanya diam. Sepertinya tak terlalu menggubrisnya.
Wanita muda berpakaian gembel itu bahkan memba-
likkan tubuh hendak pergi. Hal itu tentu saja membuat Sasaka Purwa jengkel dan
marah, karena merasa diremehkan.
"Hei! Pengecut! Heaaat..!"
Sasaka Purwa tiba-tiba menyerang Lara Kanti.
Namun wanita bercaping lebar sudah menduganya.
Sehingga dengan cepat tubuhnya melenting ke udara
untuk menghindar, sambil mengibaskan tangan ka-
nan. "Hih...!"
"Heh"!"
Swing! Swing...!
Mata Sasaka Purwa terbelalak, karena bersa-
maan dengan gerakan perempuan gembel itu meluncur
belasan senjata rahasia menyerupai paku. Tentu saja
hal itu membuat pemuda itu terkejut, sebab tak men-
duga sama sekali lawan akan melakukannya. Maka
dengan cepat tubuhnya bergerak untuk mengelak sete-
lah terlebih dahulu menarik pulang serangannya. Tu-
buhnya kini berguling cepat di tanah berbatu-batu.
"Heit! Heaaa...!"
Tubuh Sasaka Purwa melenting ke udara dan
bersalto. Namun Lara Kanti tak memberi kesempatan
pada lawan untuk berbalik menyerangnya. Pukulan
dan tendangannya terus mencecar tubuh pemuda be-
rambut gondrong itu. Menyadari tak mampu memberi
serangan balasan, Sasaka Purwa langsung melompat
ke atas sebuah pohon. Kemudian dengan mengguna-
kan ilmu 'Tupai Melompat' tubuhnya melompat ke sa-
na kemari, berpindah dari satu cabang ke cabang lainnya menghindari serangan
lawan. Melihat lawannya berada jauh di atas pohon, La-
ra Kanti tidak mau kalah. Tubuhnya segera melompat
memburu Sasaka Purwa, dengan ilmu meringankan
tubuh yang sangat sempurna. Bagaikan melayang Lara
Kanti mengejar Sasaka Purwa yang melompat-lompat
bagai tupai, dari pohon satu ke pohon lainnya. Terkadang pemuda itu merayap
bagai cecak di batang dan
cabang pohon. Sementara Lara Kanti yang telah memindahkan
tudung capingnya ke punggung terus melesat. Tubuh-
nya tampak melayang ke sana kemari, mencoba men-
gejar lawannya. Sebentar kemudian kakinya hinggap
pada sebatang cabang pohon.
Kini keduanya berdiri di cabang pohon besar,
siap melancarkan serangan. Mereka nampak membuka
jurus andalan masing-masing Lara Kanti mengerahkan
jurus 'Pedang Malaikat Maut'
Sasaka Purwa mempermainkan pedangnya di
atas kepala dan ke samping. Sedangkan Lara Kanti le-
bih tenang. Hanya dua tiga kali mempermainkan pe-
dang mautnya. Kemudian....
"Heaaa...!"
"Heaaat...!"
Sasaka Purwa melompat ke depan lebih dulu.
Sambil melenting lalu bersalto perempuan berpakaian
gembel itu pun menyusul serangan lawan. Tangannya
dengan cepat menebaskan pedang. Begitu pula yang
dilakukan Sasaka Purwa. Hingga....
Srak! Trang! Trang! "Hah...!"
Percikan api akibat beradunya kedua pedang pu-
saka itu tampak dari sela-sela rimbun dedaunan. Lalu keduanya sama-sama
terpental ke belakang, dan kembali hinggap pada cabang pohon. Sesaat kemudian
ke- duanya kembali membuka jurus dan kuda-kuda.
Rupanya Sasaka Purwa bukan lawan sembaran-
gan, sehingga Lara Kanti nampak lebih hati-hati dalam melancarkan serangan.
Teriakan nyaring kembali terdengar memecah
keheningan senja di perbukitan itu. Keduanya kini
tampak sama-sama mengerahkan jurus-jurus andalan.
Dari sela-sela rimbun dedaunan dan batang pohon
tampak saling berkelebatan cahaya pedang mereka.
Suara dentangan nyaring, disusul teriakan keras, lalu ditingkahi pula gemeresak
dedaunan dan batang-batang kayu patah terus terdengar.
Masing-masing ingin segera menjatuhkan. Na-
mun kini sudah lima belas jurus belum menampakkan
pihak yang bakat kalah. Memasuki jurus selanjutnya
masih sama-sama bertahan. Beberapa kali ujung pe-
dang mereka hampir menemui sasaran. Namun den-
gan gerak cepat disertai tingkat kewaspadaan tinggi
keduanya mampu menghindarinya. "Heaaa...!"
Pekikan keras mengiringi lesatan tubuh Lara
Kanti melancarkan serangan dahsyat
Srak! Trang! "Hah..."!"
Sebuah gerakan menebas yang cepat dan begitu
kuat dilakukan Lara Kanti. Tebasan yang dikerahkan
dengan tenaga dalam itu membentur pedang lawan.
Seketika Sasaka Purwa merasakan ada hawa panas
menjalar ke tangannya, hingga pedangnya terlepas dan jatuh. Sasaka Purwa
tersentak kaget, matanya membelalak. Segera dia melompat turun bermaksud men-
gambil pedangnya. Namun Lara Kanti mengerti. Segera
dimasukkan pedang ke dalam sarungnya. Lalu mem-
buru Sasaka Purwa, turun.
Kini keduanya sama-sama bertangan kosong. Sa-
saka Purwa membuka jurus 'Telapak Sakti' Dari kiba-
san kedua tangannya mendatangkan angin.
Wuttt! Wuttt! Melihat lawannya mengerahkan ilmu andalan,
Lara Kanti hanya tersenyum sinis. Namun hatinya te-
tap tak mau kalah. Dengan gerakan yang indah, Lara
Kanti mengeluarkan jurus 'Tamparan Tangan Iblis' Da-
ri telapak tangan Lara Kanti tiba-tiba keluar asap merah. Kini keduanya siap
menyerang dengan kesaktian
masing-masing. "Heaaa...!"
Wut! Wut! "Yeaaa...!"
Keduanya melompat bersamaan. Di udara tela-
pak tangan mereka yang telah dialiri kekuatan tenaga dalam tinggi saling beradu.
Glarrr...! Ledakan keras terdengar, disusul dengan terpen-
talnya kedua tubuh. Sasaka Purwa jatuh bergulingan
di tanah berumput, beberapa tombak dari tempat tu-
buh Lara Kanti yang jatuh terduduk.
"Ukh...!" Sasaka Purwa memuntahkan darah merah kehitaman. Lalu mulutnya
mengerang menahan
sakit di dadanya. Perlahan-lahan tubuhnya bangkit
hendak berdiri.
"Hm...! Kau harus mati, Monyet Busuk.... Tak
akan kubiarkan kau membunuh Pendekar Gila, sebe-
lum melangkahi mayatku!" gumam Lara Kanti sambil tersenyum sinis. Matanya yang
tajam menatap wajah
Sasaka Purwa. Sasaka Purwa tak menghiraukan ucapan Lara
Kanti. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, ia melom-
pat menyerang perempuan berpakaian compang-
camping yang telah berdiri tegak tiga tombak di de-
pannya. Namun dengan sigap Lara Kanti telah mem-
persiapkan diri untuk menangkisnya.
"Hiaaa...!"
Wret! Prats! "Aaa...!" lengkingan keras terdengar dari mulut Sasaka Purwa. Pukulan jurus
'Tamparan Tangan Iblis'
yang dilancarkan Lara Kanti mendarat telak di da-
danya. Tak ampun lagi, tubuh lelaki muda berpakaian
merah itu melintir, sempoyongan dengan dada hangus
bagai terbakar dan membekas telapak tangan Lara
Kanti. Sesaat kemudian Sasaka Purwa ambruk, tewas.
Kedua matanya melotot Sementara dari mulutnya ma-
sih keluar darah segar!
Lara Kanti menghela napas lega. "Rupanya ba-
nyak tokoh persilatan yang menginginkan Pendekar
Gila mati! Hm...! Cepat atau lambat, aku harus mene-
mukan pendekar itu."
Selesai berkata begitu, Lara Kanti mendekati
mayat Sasaka Purwa. Dibalikkan mayat itu dengan
kaki kanannya dan dilangkahinya. Lalu segera me-
ninggalkan tempat pertarungan itu.
Sesampai di tempat yang lebih luas, Lara Kanti
menepukkan telapak tangannya. Tak lama kemudian
kuda hitam yang matanya bersinar kemerahan bagai
mata iblis, meringkik mendekati perempuan bercaping
lebar itu. Kuda itu mengangkat kedua kaki depannya
sambil meringkik-ringkik. Setelah mengusap-usap ke-
pala kuda itu, Lara Kanti segera melompat dan meng-
gebahnya. Kuda hitam itu pun langsung berlari kencang
menuju ke timur. Sementara itu mentari semakin con-
dong ke barat. Sinarnya tampak kemerah-merahan.
Lara Kanti terus memacu kudanya makin jauh, dan hi-
lang di balik pepohonan hutan di sebelah timur Bukit Palasari.
*** Ketika terik matahari siang menyengat persada
bumi ini, seekor kuda hitam pekat berlari kencang me-nerobos debu berterbangan
di Lembah Cadas Pange-
ran. Di punggung kuda itu, tampak seorang perem-
puan bercaping lebar, dengan pakaian compang-
camping. Wajah gadis itu cukup ayu, tapi pandangan
matanya galak dan tajam, tersembunyi di balik caping lebar. Rambutnya dibiarkan
tergerai ditiup angin kencang. "Heah...!"
Derap kaki kuda melaju, bagai tak menghiraukan
terik matahari yang tak bersahabat Namun mendadak
si Penunggang Kuda Iblis itu menghentikan lari ku-
danya. "Ck ck ck...! Tenang, tenang Ireng!" Lara Kanti menenangkan kudanya yang bernama
Ireng. Kuda itu
seakan merasa ada sesuatu yang mencurigakan, dan
akan membahayakan juragannya. Sehingga terdengar
suara ringkikannya.
"Hm...!"
Lara Kanti menggumam tak jelas. Matanya masih
menyapu ke sekeliling lembah, seakan memahami arti
ringkikan kuda kesayangannya.
"Kau memang sahabatku yang baik, Ireng...," ujar Lara Kanti sambil menepuk-nepuk
dan mengusap lembut leher kuda itu.
Kuda mengangguk-angguk, seakan merasa se-
nang. Dan kembali meringkik. Lara Kanti tersenyum-
senyum. Namun matanya tetap menyapu ke sekeliling
tempat itu. Kresek! Lara Kanti menoleh ke arah suara dari semak-
semak. Kemudian tubuhnya melompat dari punggung
kuda. Baru saja perempuan itu mendaratkan kaki di
tanah, dari balik semak bermunculan sepuluh sosok
tubuh berpakaian serba hijau. Sebagian muka mereka
tertutup kain yang berwarna sama, hijau. Hanya mata
mereka yang terlihat. Kesepuluh sosok itu menggeng-
gam sebilah golok tajam. Tampaknya mereka para pe-
nyamun yang membegal setiap orang yang melintasi
tempat itu. "Hm....'" gumam Lara Kanti perlahan. "Rupanya ada tikus-tikus can santapan...!"
"Kurang ajar! Berani mengejek kami. Siapa
kau".'" bentak orang yang berdiri paling depan sambil menudingkan goloknya. Dan
suaranya jelas orang itu
lelaki. "Siapa pun aku, kalian tak perlu tahu! Yang pasti, aku tak suka ada
orang menghalangi perjalananku,"
jawab Lara Kanti sambil menggeser tudung capingnya.
Seakan-akan ingin memperjelas pandangannya.
"Ha ha ha...! Omonganmu seperti orang yang tak
mempan dibacok golok pusakaku ini," ujar lelaki yang paling depan. Dengan angkuh
ditudingkan lagi goloknya ke arah Lara Kanti. Lelaki inilah tampaknya pe-
mimpin Laskar Hijau itu. Brajakala, begitu panggilannya. Seorang tokoh dari
aliran hitam yang selalu melakukan perampokan, menculik gadis-gadis desa dijadi-
kan gundik, serta menjadi pembunuh bayaran yang
disegani. Lara Kanti mengangkat pelahan kepalanya, yang
tadi sedikit menunduk, lalu menatap tajam wajah lela-ki di depannya. Brajakala
yang memiliki mata jalang
seketika tahu, kalau di balik caping lebar itu tersembunyi seraut wajah cantik
seorang wanita. Segera saja kakinya melangkah mendekati Lara Kanti. Lalu
berhenti dua tombak di hadapan Lara Kanti.
"He he he...! Kawan-kawan, rupanya hari ini aku mendapatkan daging yang benar-
benar kenyal dan se-dap...!" seru Brajakala pada teman-temannya, sambil menoleh
ke kin dan kanannya.
"Hei siapa pun namamu dan dari mana asalmu,
aku tak peduli..., asal kau mau ikut aku... he he he...!
Aku tahu kau wanita yang masih muda dan ayu. He he
he...! Kemarilah, Cah Ayuuu...! He he he...."
Lara Kanti hanya menghela napas dalam-dalam.
Sementara itu Brajakala semakin mendekatinya. Tan-
gannya tiba-tiba mencoba mau membuka caping Lara
Kanti. Lara Kanti tak mengelak sedikit pun.
Namun, baru saja Brajakala melihat sekilas wa-
jah wanita itu. Tiba-tiba mulutnya memekik dengan
Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuh terhuyung dua tombak ke belakang. Entah ka-
pan Lara Kanti melakukan serangan itu, sukar ditang-
kap pandangan mata biasa. Rupanya Lara Kanti telah
melancarkan pukulan 'Tanpa Wujud', dengan tenaga
dalamnya. "Adauuu...!"
Para anak buah Brajakala tersentak kaget, kare-
na mereka tak menduga. Sebelumnya mulut mereka
cengar-cengir menyaksikan ulah pimpinannya. Seketi-
ka kesembilan lelaki berpakaian serba hijau itu men-
gangkat golok hendak menyerang Lara Kanti.
Rupanya, Lara Kanti tadi dengan cepat menggu-
Seruling Gading 12 Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long Pedang Kayu Harum 12
PENUNGGANG KUDA IBLIS Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Penunggang Kuda Iblis
128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Udara siang itu cukup panas. Angin bertiup san-
gat kencang, karena wilayah Kadipaten Krasaan, terletak di daerah Pesisir Pantai
Laut Selatan. Akhir-akhir ini penduduk kadipaten itu tengah dilanda keresahan
oleh munculnya orang aneh berpakaian gembel dan
memakai caping lebar serta menunggang kuda hitam.
Kedatangan seorang gembel berkuda hitam itu
menjadi buah bibir para tokoh persilatan, baik dari aliran putih maupun hitam.
Orang aneh itu membunuh
siapa saja tokoh persilatan yang menantang Pendekar
Gila dan Mei Lie.
Di mana-mana orang semua membicarakan se-
pak terjang orang berpakaian gembel itu.
"Aku heran kenapa pembunuhan menggiriskan
itu terjadi di mana-mana. Orang-orang yang dibunuh,
kebanyakan para tokoh silat tersohor dan ditakuti.
Dan anehnya mereka yang menantang Pendekar Gila
dan gadis Cina itu," ujar seorang lelaki bertubuh kurus yang tengah menikmati
santapan di sebuah kedai.
Orang itu duduk sambil mengangkat kaki kanan ke
kursi tempat duduknya.
"Biar saja. Kita tak perlu ikut campur. Lagi pula mereka yang dibunuh itu tokoh
aliran hitam yang suka memeras orang...!" sahut lelaki berumur sekitar tiga
puluh lima tahun, bernama Jaroto. Wajahnya menoleh
pada lelaki bermuka lonjong tadi yang sebenarnya bernama Ki Sarpan.
"Aneh! Siapa orang yang membunuh tokoh-tokoh
itu..."! Apa betul, pembunuh itu suruhan Pendekar Gi-la?" tambah Baseta, lelaki
muda yang duduk satu me-ja, dengan Ki Sarpan dan Jaroto. Tampak mulutnya
sibuk mengunyah makanan.
"Mungkin juga.... Ah, sudah jangan pikirkan
orang lain! Makanlah yang kenyang. Kita harus be-
rangkat ke laut...," sahut Ki Sarpan sambil mengelap tangannya dengan kain
serbet Ki Sarpan dan Jaroto merupakan nelayan-
nelayan yang cukup dikenal. Setiap kali akan turun ke laut atau sehabis
menangkap ikan. Ki Sarpan dan Jaroto seperti kawan-kawan lain, selalu mampir ke
kedai itu. Mereka beristirahat sambil mengisi perut.
"Pagi tadi aku benar-benar sial. Ikan sepertinya tak ada yang mau mendekati
jalaku. Aneh! Mudah-mudahan nanti akan lebih baik....'" ujar Jaroto.
Di dalam kedai suasana, nampak cukup ramai.
Hampir semua meja yang ada di ruangan kedai penuh.
Di salah satu sudut agak tersembunyi duduk seorang
berpakaian gembel, memakai caping lebar, menghada-
pi makanannya. Orang-orang tak banyak yang menghi-
raukan orang berpakaian gembel dan bercaping lebar
itu. Bahkan ada yang mencibirkan bibir sambil me-
nutup hidung, menghinanya. Namun, orang berpa-
kaian compang-camping seperti gembel itu tak meng-
hiraukan. Dirinya tetap duduk tenang dan menunduk-
kan kepala. Wajahnya tertutup oleh capingnya. Se-
hingga tak dapat terlihat dengan jelas, seorang lelaki atau wanita.
"Hei...! Kapan si gembel itu masuk" Tahu-tahu
sudah ada di sana...," seru seorang lelaki bermuka persegi, berhidung besar, dan
kumis tebal. Tubuhnya
yang tegap terbalut pakaian rompi hitam. Kepalanya
terikat kain warna hitam. Sebilah golok besar terselip di pinggangnya.
"Aaah...! Jangan usil pada orang lain! Teruskan makanmu! Paling-paling orang
gembel yang baru dapat
rejeki...," sahut temannya sambil menggigit ikan pang-
gang. "Ha ha ha...!"
Keduanya tertawa-tawa sambil memandangi
orang yang berpakaian compang-camping dan bertu-
dung caping lebar itu.
Suara tawa dan riuhnya di dalam kedai, tiba-tiba
berhenti, ketika mereka melihat tiga sosok lelaki bertubuh tegap dan berwajah
garang memasuki pintu ke-
dai. Tak satu pun di antara para pengunjung kedai
membuka mulut Tampaknya mereka semua tahu siapa
yang datang. Ya, ketiga sosok berwajah garang itu tak lain Tiga Setan Laut
Kidul. Orang-orang yang tadi tertawa dan mondar-
mandir seenaknya, kini nampak diam bagai patung.
Hanya dada mereka yang terlihat naik turun tak tera-
tur, menandakan kecemasan dan ketegangan yang
tengah melanda hati masing-masing.
Mereka sudah mengenal siapa Tiga Setan Laut
Kidul. Ketiga lelaki berwajah bengis itu merupakan tokoh aliran hitam yang
dikenal sangat kejam dan bi-
adab. Mereka tak segan-segan membunuh atau me-
nyiksa siapa pun yang berani menentangnya.
"He he he..., silakan! Tuan... silakan...! He he
he...," sambut Ki Galingga dengan membungkuk-
bungkuk memberi hormat, serta menyilakan tamunya.
"Hm...!" desis orang yang berdiri paling depan.
Dirinya dikenal dengan nama Jurig Sepuh. Tubuhnya
tinggi dengan dada berbulu, tak tertutup pakaian. Matanya besar tampak bengis,
apalagi ditambah dengan
kumis tebal melintang menghias bibirnya. Pandangan-
nya mengelilingi ruangan kedai ini.
Jurig Sepuh segera duduk. Kedua saudaranya,
Jurig Penengah dan Jurig Kaletik pun turut duduk di
sampingnya. Ketiganya sama-sama berambut panjang
melewati bahu, terikat kain merah di kepala masing-
masing. Sedangkan di pergelangan tangan kanan me-
reka tampak melingkar gelang bahar hitam kecoklatan.
"Pesan apa, Tuan..?" tanya Ki Galingga dengan sopan sambil membungkuk.
"Apa saja yang ada, bawa kemari!" jawab Jurig Sepuh tanpa menoleh sedikit pun
pada Ki Kalingga.
"Hei, tunggu! Apa kau lihat pemuda gila berpakaian rompi kulit ular datang
kemari"!" tambah Jurig Sepuh sambil menahan Ki Galingga yang hendak melangkah
pergi. "Dari pagi tak ada lelaki atau pemuda yang seperti Tuan maksudkan. Si...
siapa dia, Tuan?" jawab Ki Kalingga. Lelaki berusia lima puluh tahunan dan ber-
jenggot putih itu membungkuk-bungkuk. Tergambar
jelas rasa cemas di wajahnya yang sudah agak keriput.
"Yang kami maksud si Pendekar Gila yang kon-
dang itu!" jawab Jurig Penengah dengan kasar. Matanya melotot. Kemudian menoleh
pandangannya me-
nyapu ke seluruh ruangan kedai ini.
Para pengunjung kedai tak satu pun yang berani
menanggapi ucapan orang kedua dari Tiga Setan Laut
Kidul itu. Semua terdiam dengan hati menahan rasa
takut. Hanya sosok berpakaian gembel yang duduk di
sudut ruangan kedai itu tampak mengangkat kepala.
Dari balik caping orang itu seakan memandang ke
arah Tiga Setan Laut Kidul.
Ki Kalingga tersentak mendengar nama Pendekar
Gila yang dicari Tiga Setan Laut Kidul itu. Dadanya seketika naik turun dengan
cepat, karena tegang dan takut "Hei! Sudah, cepat sana bawakan makanan untuk
kami!" bentak Jurig Kelerik.
"Ya, ya, Tuan...."
Ki Galingga segera berlalu dengan perasaan te-
gang. Tubuhnya tampak membungkuk-bungkuk.
"Hei..., kalian semua! Siapa yang melihat atau
bertemu dengan Pendekar Gila dan gadis Cina itu, beri tahu mereka! Bahwa Tiga
Setan Laut Kidul akan membunuhnya...! Mengerti!" seru Jurig Penengah dengan
sombong sambil menggebrak meja. Matanya yang tajam dan bengis menyapu ke
sekeliling ruang kedai.
Namun, para pengunjung kedai itu tak ada yang
menjawab. Hal itu jelas membuat Jurig Penengah ma-
rah. "Hm...! Hei! Kalian semua tuli..."! Jawab, apa ka-taku tadi! Kalau tidak,
akan kuhajar kalian sampai
mampus!" seru Jurig Penengah sambil menendang salah satu meja. Meja di tempat Ki
Sarpan dan kedua
temannya duduk. Tentu saja Ki Sarpan yang punya
harga diri, merasa tersinggung oleh perbuatan lelaki bengis itu.
"Kisanak...! Jangan kau anggap kami diam kare-
na takut pada kalian! Sopan sedikit!" ujar Ki Sarpan dengan nada marah. Dirinya
telah berdiri menghadap
Jurig Penengah.
"Ha ha ha...! Orang ini sudah bosan hidup ru-
panya, Kakang! Ha ha ha...!" Jurig Penengah tertawa terbahak-bahak, dengan sikap
pongah. Lelaki bengis
itu mendekati Ki Sarpan dan kedua temannya, "Hei!
Kalian boleh mengadu ilmu denganku, kalau memang
sudah tak mempan dibacok!"
Selesai berkata begitu, Jurig Penengah lalu men-
dorong keras tubuh Ki Sarpan dengan tangan kirinya.
Dengan cepat Ki Sarpan mencabut goloknya, lalu di-
babatkan ke dada Jurig Penengah.
Hanya dengan menundukkan kepala Jurig Pe-
nengah mengelakkan tebasan golok lawan. Kemudian
menyerang balik dengan pukulan tangan kanannya ke
dada lawan. Ki Sarpan tampak mati langkah tak mam-
pu bergerak untuk menghindar. Hal itu karena seran-
gan balik Jurig Penengah datang begitu cepat
Degkh! "Aaakh...!"
Ki Sarpan memekik keras, ketika pukulan Jurig
Penengah mendarat di dadanya. Tubuhnya terhuyung
ke belakang empat tombak lalu menabrak meja dan
kursi lain. Brakkk! Para pengunjung kedai berlarian ketakutan. Ja-
roto dan Baseta yang melihat temannya terluka segera menyerang bersamaan ke
tubuh Jurig Penengah yang
tertawa-tawa mengejek. Tampaknya Ki Sarpan bukan
tandingan bagi Jurig Penengah yang berilmu tinggi.
"Heaaa...!"
"Yeaaat..!"
Plak! Plak! "Aaakh...!"
Jaroto dan Baseta memekik, ketika wajah mereka
kena tamparan tangan kanan lawan. Jurig Penengah
yang melihat lawan masih menahan sakit, tak memberi
ampun lagi. Tubuhnya melompat kembali menghajar
Jaroto dan Baseta.
"Heaaa...!"
Degkh! Degkh! "Aaakh...!"
Jurig Penengah melancarkan tendangan sambil
melompat dan berputar. Kaki kanannya beruntun
mendarat di dada Jaroto dan Baseta. Tubuh kedua la-
wan tampak bergelimpangan di antara meja dan kursi
kedai. Keduanya langsung tak berkutik lagi.
"Bangsat..!" seru Ki Sarpan yang sudah kembali pulih dari sakitnya.
Orang-orang di kedai semakin ketakutan, mereka
berlarian keluar dari kedai, ketika melihat Jaroto dan Baseta pingsan. Hanya
tinggal orang berpakaian gem-
bel yang tenang masih duduk di kursi tempat duduk-
nya, di sudut ruangan. Wajahnya tersembunyi di balik caping. Sikapnya seakan tak
menghiraukan keadaan di
kedai ini. "Heaaa...!"
Ki Sarpan menyerang Jurig Penengah dengan sa-
betan goloknya ke kepala. Namun dengan mudah Jurig
Penengah mengelak dari serangan Ki Sarpan yang ma-
sih dua tingkat di bawah Jurig Penengah.
Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik yang duduk den-
gan mengangkat sebelah kaki di kursi, hanya terse-
nyum-senyum memperhatikan saudaranya menghajar
lawan-lawannya.
"Mampus kau, Kunyuk....'" dengus Jurig Penengah. Jari tangan kirinya
mencengkeram tangan kanan
Ki Sarpan yang memegang golok. Sedang tangan ka-
nannya cepat menghantam dada Ki Sarpan keras.
Degkh! Degkh! "Aaakh...!"
Ki Sarpan memekik panjang. Seketika dari mu-
lutnya keluar darah segar. Sedangkan tangan kanan-
nya yang dicengkeram Jurig Penengah patah.
Jurig Penengah masih tertawa-tawa kesenangan
melihat lawannya kesakitan. Sementara Ki Sarpan ma-
sih mengerang-erang kesakitan. Tubuhnya terjatuh di
lantai, kemudian tak mampu bergerak lagi. Rupanya
pukulan lawan yang mendarat di dada menimbulkan
luka dalam yang hebat
"Ha ha ha...! Siapa lagi yang mau melawanku..."!
Kau"!" seal Jurig Penengah sambil menunjuk orang yang duduk di sudut
Orang berpakaian compang-camping mirip gem-
bel itu tak memberi tanggapan sama sekali. Bahkan,
tak bergerak sedikit pun dari tempat tidurnya. Kepa-
lanya masih tetap menunduk, hingga wajahnya sukar
sekali dilihat Jurig Penengah yang merasa disepelekan, naik
pitam. Ditendangnya meja dan kursi yang ada di ha-
dapannya. Dengan langkah tegap kakinya melangkah
mendekati orang berpakaian compang-camping itu.
"Hei! Monyet..! Kau tuli atau bisu"! Bangun...!"
bentak Jurig Penengah marah.
Wajah Ki Galingga, pemilik kedai itu berubah pu-
cat, ketakutan. Dengan tubuh gemetaran lelaki berwa-
jah keriput itu bersembunyi di balik meja.
Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jurig Penengah semakin marah, ketika orang
berpakaian compang-camping dan bercaping lebar itu
tetap tak menghiraukannya. Bahkan gembel itu nge-
loyor pergi, tanpa menoleh sedikit pun pada Jurig Penengah.
"Hei, Tuli! Rasakan ini...!" seru Jurig Penengah, lalu menyerang orang
berpakaian compang-camping
dengan pukulan jarak jauh. "Heaaa...!"
Wuttt! Brakkk! Seketika angin keras menderu keluar dari telapak
tangan Jurig Penengah. Beberapa meja dan kursi ter-
pental terhantam pukulan yang dilancarkan orang ke-
dua dari Tiga Setan Laut Kidul itu.
Namun rupanya orang berpakaian compang-
camping itu memiliki ilmu yang cukup tinggi pula. Dalam kedudukan membelakangi
Jurig Penengah dengan
gerakan cepat sekali gembel itu melakukan serangan.
Hal itu dilakukan sebelum serangan Jurig Penengah
mencapai sasaran.
Werrr! Caping lebar yang terbuat dari bambu kuning itu,
menyambar telak di leher Jurig Penengah.
Jreb! "Aaa...!"
Jurig Penengah memekik panjang, dengan mata
melotot. Lalu tubuhnya roboh. Dan caping dari bambu
kuning itu terbang kembali ke pemiliknya, setelah
memakan korban. Jurig Penengah pun mati dengan
mengerikan. Lehernya hampir putus.
"Hah...!" Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik terbelalak matanya, melihat saudaranya
dengan mudah ambruk
di tangan orang berpakaian compang-camping itu.
"Bangsat..! Kau berani membunuh saudaraku...!
Heaaa...!"
Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik melesat cepat, me-
nyerang orang berpakaian compang-camping. Kedua-
nya langsung mengerahkan pukulan 'Api Neraka'.
Srats! Srats! Dari kedua telapak tangan Jurig Sepuh dan Jurig
Kaletik, keluar semburan api melesat ke tubuh lawan.
Namun orang berpakaian compang-camping itu den-
gan tenang melenting ke atas, mengelakkan serangan.
Api itu terus melesat hingga menabrak dinding kedai
yang terbuat dari bambu. Kebakaran pun tak dapat di-
elakkan. Jeritan dan pekikan ketakutan terdengar dari
orang-orang yang belum sempat keluar dari kedai. Ki
Galingga si pemilik kedai, pun segera lari keluar sambil teriak minta tolong.
Namun tak seorang pun mau menolong, karena semua ketakutan melihat kejadian itu.
Orang berpakaian compang-camping yang masih
di udara, bersalto sambil melemparkan capingnya ke
arah Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik.
Werrr! Caping lebar dari bambu kuning itu pun melun-
cur cepat memburu kepala Jurig Sepuh dan Jurig Ka-
letik. "Hah!"
Jurig Sepuh membelalakkan mata melihat caping
ajaib itu melayang ke kepalanya. Lelaki gagah beram-
but panjang itu dengan cepat meliukkan tubuh, lalu
berguling di lantai kedai yang sempit itu. Demikian pu-la Jurig Kaletik berusaha
bersalto ke belakang. Namun gerakannya terlambat hingga caping besar itu
berhasil menyambar lehernya.
Jreb! "Aaakh...!"
Jurig Kaletik mengerang kesakitan sambil meme-
gangi lehernya yang hampir putus. Matanya melotot.
Lalu ambruk, mati!
Caping itu pun kembali ke pemiliknya, setelah
memakan korban.
Jurig Sepuh melihat saudaranya yang paling ke-
cil mati dengan cara sama dengan Jurig Penengah,
langsung merasa ciut nyalinya. Wajahnya pucat pasi.
Keringat dingin mulai membasahi keningnya.
"Edan...!" gumam Jurig Sepuh pelan, lalu melompat kabur, keluar dari kedai itu.
Orang yang berpakaian compang-camping itu
pun tak membiarkan Jurig Sepuh begitu saja. Tubuh-
nya melesat bagai terbang melewati kepala Jurig Se-
puh yang berlari ketakutan.
Tubuh orang berpakaian compang-camping itu
mendarat dengan ringan di depan Jurig Sepuh.
"Hah..."!"
Jurig Sepuh tak menduga orang berpakaian
compang-camping itu dapat mengejarnya. Matanya
terbelalak terkejut, ketika melihat orang itu sudah berdiri di hadapannya.
"Ooo...! Baiklah aku menyerah, kalah. Ampuni
aku! Biarkan aku pergi...! Aku, tak bermaksud berta-
rung atau menentangmu, Kisanak. Aku hanya menan-
tang Pendekar Gila," ujar Jurig Sepuh yang bermuka garang itu dengan suara
menggeragap karena ketaku-
tan. "Hm...! Hi hi hi...! Siapa yang akan menentang Pendekar Gila, harus
berhadapan denganku dulu.
Langkahi dulu mayatku, sebelum berhadapan dengan
Pendekar Gila...," sahut orang berpakaian compang-camping itu dengan suara
mantap. Wajahnya masih
tersembunyi di balik capingnya yang lebar. Sehingga
belum jelas lelaki atau wanita. Namun dilihat dari tubuh dan suaranya, jelas dia
seorang wanita. "Mungkin dia seorang wanita"!" tanya Jurig Sepuh dalam hati.
"Tidak..., tidak. Aku menyerah..., ampuni aku,
Nisanak!" pinta Jurig Sepuh sambil menjura.
Orang berpakaian compang-camping yang berdiri
di hadapannya, tak menjawab. Sejenak menghela na-
pas panjang, lalu berbalik melangkah pergi.
Baru dua tombak orang itu melangkah, tiba-tiba
Jurig Sepuh yang menyangka bahwa lawan lengah,
melesat melakukan serangan dengan mengayunkan
golok. "Heaaa...!"
Wuttt! Golok itu belum sampai ke tubuh lawan, tiba-tiba
orang berpakaian compang-camping berbalik, tahu-
tahu tubuh Jurig Sepuh terpental sejauh lima tombak
ke belakang. "Aaa...!"
Rupanya tanpa sepengetahuan Jurig Sepuh, wa-
nita berpakaian gembel itu telah mendahului. Tubuh-
nya dengan cepat dimiringkan ke kiri. Kemudian sam-
bil membalik, dengan cepat pula sosok berpakaian
gembel itu melancarkan sebuah pukulan ke tubuh la-
wan dengan jurus 'Tamparan Tangan Iblis'.
Jurig Sepuh tak bergerak lagi, tewas dengan ma-
ta melotot. Dadanya hangus bagai terbakar dan berbe-
kas telapak tangan. Rupanya sosok berpakaian com-
pang-camping itu mengerahkan jurus 'Tamparan Tan-
gan Iblis'. Semua orang di tempat itu terkejut, bercampur
kagum dengan kehebatan ilmu yang dimiliki orang
berpakaian compang-camping itu.
Selesai membunuh Jurig Sepuh, sosok berpa-
kaian compang-camping itu menepukkan telapak tan-
gannya tiga kali. Tak lama kemudian muncullah kuda
hitam jantan bertubuh kekar, menghampirinya.
Orang berpakaian compang-camping itu segera
melompat ke atas kuda. Lalu tanpa berkata apa-apa,
manusia aneh itu menggebah kudanya, melesat me-
ninggalkan Desa Parangan dan orang-orang di kedai
yang masih keheranan dan kagum.
*** Setelah orang aneh berpakaian compang-camping
itu pergi, para penduduk desa berhamburan menge-
rumuni mayat Jurig Sepuh dan kedua temannya.
Kemunculan orang berpakaian compang-
camping, yang menunggang kuda hitam, seketika men-
jadi bahan pembicaraan setiap orang di Desa Paran-
gan. Mereka pada umumnya bertanya-tanya siapa se-
benarnya tokoh aneh itu. Lawan atau kawan Pendekar
Gila" "Aneh! Sungguh aneh orang penunggang kuda itu. Ada hubungannya apa dia
dengan Pendekar Gi-la...?" tanya lelaki yang bernama Ki Lamting, sambil
menggeleng kepala.
"Tadi aku mendengar, bahwa siapa saja yang
menantang Pendekar Gila, harus berhadapan dulu
dengannya. Apa maksudnya"!" tambah pemuda ber-
nama Warsita, berdiri di sebelah Ki Lamting.
Sementara itu Ki Galingga tampak sedih dan me-
nyesal. Kedainya sebagian terbakar terhantam Jurig
Penengah yang mengerahkan pukulan 'Api Neraka'.
Tak lama kemudian kerumunan orang-orang itu
bergerak, memberi jalan pada Ki Lurah Patiasa, yang
datang bersama dua pengawalnya.
"Siapa yang mengenal pembunuh ketiga orang
ini?" tanya Ki Lurah Patiasa, seraya memandangi orang-orang yang berkumpul di
depan kedai. "Kami tak jelas, Ki Lurah. Orang berkuda hitam
itu seperti iblis. Datang dan pergi begitu saja," jawab Ki Lamting menjelaskan.
"Benar, Ki Lurah. Orang berkuda hitam itu san-
gat aneh dan sangat tinggi ilmunya...," tambah Warsita. "Bagaimana awalnya bisa
sampai terjadi pertarungan itu?" tanya Ki Lurah Patiasa lagi.
Sejenak mereka diam. Mata mereka saling me-
mandang seperti ragu untuk menjelaskan kepada ke-
pala desa itu. "Hm..., begini. Ki Lurah...."
Ki Galingga, pemilik kedai menjelaskan dari awal
sampai akhir pada Ki Lurah Patiasa. Semua terdiam
mendengar penuturan Ki Galingga.
"Memang aneh. Akhir-akhir ini sering terjadi
pembunuhan. Mayat para tokoh bergelimpangan di
mana-mana. Ini pertanda malapetaka di dunia persila-
tan. Siapa sebenarnya orang berkuda hitam itu" Ka-
wan atau lawan Pendekar Gila..."!" gumam Ki Lurah Patiasa sambil memegangi
keningnya. "Kalau menurut saya, tak mungkin Pendekar Gila
memerintah seseorang dengan kejam membantai siapa
saja yang menantangnya. Pasti ada sesuatu di balik
peristiwa ini," tukas Santika, pengawal Ki Lurah Patiasa yang berdiri di sebelah
kanan kepala desa itu.
"Benar, Ki Lurah. Saya sependapat dengan Ka-
kang Santika," tambah Lohdaya.
"Hm...," gumam Ki Lurah Patiasa, sambil mengangguk-anggukkan kepala. Seakan
hatinya membe- narkan ucapan kedua pengawalnya. "Sekarang kalian kuburkan mayat-mayat itu. Ayo
laksanakan!" perintah Ki Lurah Patiasa pada warga penduduk desa yang masih di
depan kedai Ki Galingga.
Para penduduk desa bergegas bersama-sama
menguburkan mayat-mayat itu.
"Aku merasa menyesal, meninggalkan desa ini
tadi pagi. Seharusnya kutunda kepergianku...," keluh Ki Lurah Patiasa, sambil
memandangi para warganya
yang sibuk membereskan mayat-mayat itu dari kedai
Ki Galingga. "Tapi kepergian kita kan bukan untuk senang-
senang, Ki Lurah Patiasa. Tugas melapor ke Kadipaten Krasaan tak dapat ditunda,"
ujar Santika ingin mengurangi rasa sesal kepala desanya.
"Ya. Kau benar. Kita harus melaporkan keadaan
Desa Parangan. Ah, rupanya kita harus lebih waspa-
da," kata Ki Lurah Patiasa kemudian. Matanya memandang jauh ke depan.
*** 2 Sore telah datang, mentari tergelincir di ufuk ba-
rat. Sebentar lagi raja siang akan tenggelam, kemudian hadir kegelapan yang
membawa suasana mencekam.
Tampak para nelayan sedang berangkat ke laut dengan
jala terpanggul di pundak.
Sekawanan burung beterbangan pulang ke sa-
rang masing-masing dengan suara yang bersahut-
sahutan. Cahaya merah tembaga membias di kaki lan-
git sebelah barat, menandakan mentari telah masuk ke peraduannya. Dan angin
darat cukup kencang tertiup
ke laut, yang menghempaskan perahu para nelayan
yang sedang berlayar ke tengah.
Dua sosok manusia tampak melangkah dalam
keremangan senja. Kedua muda-mudi itu bersenda gu-
rau dengan riang, menikmati suasana senja yang in-
dah. "Desa apa ini, Kang?" tanya gadis cantik berpakaian putih dengan rambut
digelung di atas. Kulitnya kuning langsat. Hidungnya tak terlalu mancung. Sedang
mata yang sipit tampak indah bila mengerling.
"Ah ah ah.... Kalau aku tak salah ini Desa Parangan," jawab pemuda tampan
berpakaian rompi kulit ular. Rambutnya yang gondrong, terikat pula oleh kulit
ular. Serasi sekali kedua anak muda itu. Yang lelaki tampan dan gagah, sedangkan
yang wanita cantik dan
anggun. Di pundak gadis cantik berpakaian silat Cina itu tersandang sebatang
pedang. Sedangkan di pinggang pemuda tampan itu terselip sebuah suling berke-
pala naga Kedua sejoli itu tak lain Sena Manggala atau
Pendekar Gila dengan kekasihnya Mei Lie, si Bidadari Pencabut Nyawa.
Sena nampak cengengesan dengan tangan meng-
garuk-garuk kepala. Matanya menyapu sekeliling yang
nampak sepi "Nampaknya ada sesuatu yang baru terjadi di de-
sa ini, Kang...," kata Mei Lie, lirih. Matanya yang bening juga memandangi
sekelilingnya. "Hm," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Mei Lie menghela napas panjang, matanya masih
tetap mengamati sekeliling tempat itu.
"Aha, ayolah kita cepat pergi! Sebentar lagi malam. Kita harus segera mencari
tempat untuk mengi-
nap," ajak Sena sambil menggandeng tangan Mei Lie.
Namun, gadis Cina itu menolak, dengan memegang
lengan Pendekar Gila.
"Ssst..! Tunggu, Kakang! Firasatku mengatakan,
telah terjadi sesuatu di desa ini."
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil
tertawa cekikikan mendengar ucapan kekasihnya. Hal
Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu membuat Mei Lie cemberut. Kesal. Karena Sena
seakan tak mempercayai firasatnya.
Pendekar Gila langsung mengubah tingkahnya
yang persis orang gila itu, setelah melihat wajah Mei Lie memberengut. Namun
sebentar kemudian tangannya telah kembali menggaruk-garuk kepala sambil
cengengesan. "Hi hi hi...! Kau kalau cemberut begitu tambah jelek. Eee..., maksudku, tambah
cantik," ujar Sena ber-seloroh sambil cengengesan dan menggaruk-garuk ke-
pala. Mei Lie tersenyum manis, mendengar pujian Pen-
dekar Gila. Kemudian Sena kembali mengajak Mei Lie segera
meninggalkan tempat itu. Mei Lie pun menurut. Kedu-
anya melangkah meninggalkan Desa Parangan. Namun
baru beberapa langkah, tiba-tiba mereka dikejutkan
bentakan seseorang.
"Hei...! Berhenti!"
Pendekar Gila dan Mei Lie berhenti. Keduanya
membalikkan tubuh melihat siapa yang telah menyu-
ruh mereka berhenti. Tampak lelaki berbadan sedang
berumur sekitar empat puluh lima tahun, dengan ku-
mis tipis menghiasi di atas bibirnya. Matanya meman-
dang penuh rasa curiga pada kedua muda-mudi itu. Di
belakang lelaki yang tak lain Ki Lurah Patiasa, berdiri
beberapa orang warga, termasuk Santika dan Lohdaya.
Pendekar Gila tertawa-tawa, tingkah lakunya
yang aneh kembali muncul. Kemudian tangannya me-
nepuk-nepuk pantat
Menyaksikan tingkah aneh dan konyol pemuda
berpakaian rompi kulit ular di hadapannya, Ki Lurah
Patiasa seketika mengerutkan kening, sambil meme-
gangi dagunya. "Rasanya aku pernah mengenal tingkah laku pe-
muda ini. Ah, benarkah dia Pendekar Gila yang dika-
gumi itu?" tanya Ki Lurah Patiasa dalam hati. Alisnya bertaut saat memandang
penuh selidik pada Pendekar
Gila dan Mei Lie. "Dan kalau tak salah, gadis Cina ini yang bergelar Bidadari
Pencabut Nyawa. Benarkah mereka?"
"Hi hi hi...! Kalian ini aneh. Mengapa bengong" Hi hi hi...!"
Sena tetap bertingkah seperti orang gila, mengga-
ruk-garuk kepala dan cengengesan. Sedangkan Mei Lie
tampak bersiap-siap, waspada kalau para pengha-
dangnya hendak bermaksud jahat.
"Siapa kalian sebenarnya, Kisanak?" tanya Ki Lurah Patiasa kepada Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Aku..."! Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Kisanak!" Sena semakin
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. "Aha, kalian ingin tahu siapa kami"
Baiklah, kami hanyalah orang kecil yang sedang berpetualang mengikuti kehendak
hati. Nah, cukup jelas
bukan?" Ki Lurah Patiasa dan orang-orangnya saling pan-
dang. Lalu menghela napas. Ki Lurah Patiasa mencoba
bersikap ramah.
"Hm... maaf! Apa benar kalian Pendekar Gila dan
Bidadari Pencabut Nyawa?" tanya Ki Lurah Patiasa berusaha memastikan dugaannya.
Sena tak langsung menjawab. Mulutnya cen-
gengesan dan menepuk-nepuk pantat, lalu mengga-
ruk-garuk kepala. Namun Mei Lie yang merasa tak sa-
bar, langsung menjawab dengan nada ketus.
"Ya! Mengapa kalian menghadang kami?"
Ki Lurah Patiasa, kembali saling pandang dengan
orang-orangnya. Wajahnya kini nampak agak lega.
Tersungging senyum kegembiraan di bibirnya.
Begitu juga dengan Santika dan Lohdaya, yang
berdiri di sebelah kiri dan kanan Ki Lurah Patiasa. Keduanya nampak tersenyum
saling berbisik.
Mei Lie yang cepat marah tampak kesal dan curi-
ga terhadap mereka.
"Hei! Kalian mau menentang kami..."! Ada apa
sebenarnya dengan kalian!" sungut Mei Lie sambil melangkah setindak ke depan.
Tangan kanannya sudah
menggenggam gagang pedangnya.
"O, maafkan tindakan kami yang lancang! Kami
tak bermaksud jahat. Malah, kalau benar kalian Pen-
dekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa, kami sangat
lega dan gembira sekali. Kami mengharap kalian sudi
singgah ke rumah kami," ujar Ki Lurah Patiasa, dengan sopan.
Mei Lie mengerutkan kening, menyelidik. Lalu
menoleh ke Sena yang tampak cengengesan. Kemudian
kembali memandang Ki Lurah Patiasa dan orang-
orangnya. "Untuk apa"!" tanya Mei Lie tegas.
"Aha, sabar Mei Lie! Rupanya mereka memang
tak bermaksud jahat. Tenanglah!" ujar Sena mencoba menenangkan kekasihnya.
Tangannya memegang bahu
Mei lie. "Bagaimana kalau kita terima undangan mereka" Bukankah kita perlu
tempat menginap?" tanya Pendekar Gila kemudian pada Mei Lie. Tampaknya Mei
Lie masih merasa curiga pada Ki Lurah Patiasa dan
orang-orangnya.
Mei Lie mengerutkan kening, sepertinya berpikir
dan menimbang ajakan Pendekar Gila.
"Baiklah! Tapi jangan sekali-kali bermaksud ja-
hat! Aku tak akan segan-segan membunuh kalian!"
ancam Mei Lie. 'Terima kasih, Tuan Pendekar. Kami merasa se-
nang sekali," sahut Ki Lurah Patiasa penuh hormat
"Aha, Mei lie, ayolah!" ajak Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Kemudian menge-
dipkan sebelah matanya kepada Mei Lie. Gadis cantik
berparas Cina itu mencibir, matanya melotot
Mereka pun kemudian melangkah mengikuti Ki
Lurah Patiasa dan warganya. Sementara kegelapan
mulai menyelimuti desa itu. Kesunyian mulai meram-
bat di Desa Parangan yang baru dilanda kejadian men-
gerikan di siang hari tadi.
*** Lampu di rumah Ki Lurah Patiasa yang biasanya
dipadamkan di malam hari, saat itu nampak masih te-
rang benderang. Suasana dalam rumah tampak terang
benderang. Terutama di beranda depan.
Tiga orang terlihat tengah duduk di kursi kayu,
sementara yang lainnya bersila di bawah. Tampaknya
mereka tengah berkumpul, sehubungan dengan kema-
tian beberapa warga Desa Parangan. Mereka pun
membicarakan munculnya orang berpakaian compang-
camping, menunggang kuda hitam, yang mereka sebut
dengan Penunggang Kuda Iblis. Karena kuda yang di-
tunggangi hitam pekat, dengan mata menyala merah,
seperti bara api.
Pendekar Gila, Mei Lie, dan Ki Lurah Patiasa du-
duk di kursi. Ketiganya tengah membicarakan kejadian
yang melanda Desa Parangan.
"Siang tadi desa ini didatangi Tiga Setan Laut Kidul. Mereka, membunuh warga
kami. Namun, kejadian
semakin kacau, setelah orang berpakaian compang-
camping dan memakai caping lebar membunuh Tiga
Setan Laut Kidul," tutur Ki Lurah Patiasa, lalu menarik napas sejenak. "Menurut
warga desa ini, orang aneh berpakaian compang-camping itu juga menyebut nama
Tuan Pendekar Gila dan Mei Lie...," lanjut Ki Lurah Patiasa kemudian.
Mei Lie tersentak kaget, wajahnya menoleh kepa-
da Pendekar Gila. Namun Sena malah menggaruk-
garuk kepala dan cengengesan. Seakan tak peduli. Ti-
dak ada rasa kaget sedikit pun. Hal itu membuat Mei
Lie kesal dan mencubit lengan Sena.
"Aha, ada apa rupanya orang berpakaian com-
pang-camping, menyebut namaku dan Mei Lie, Ki Lu-
rah...?" tanya Sena ingin tahu juga.
"Ya. Ada urusan apa dengan kami. Rasanya-kami
berdua tak pernah punya teman seperti itu," tambah Mei Lie dengan nada ketus,
sebelum Ki Lurah Patiasa
menjawab. "Begini...," menurut penduduk di desa ini, mulanya Tiga Setan Laut Kidul
bermaksud mencari Tuan
Pendekar Gila. Dengan maksud menantang Tuan. Na-
mun orang berpakaian compang-camping itu membu-
nuhnya. Dan berkata, kalau mau menantang Pendekar
Gila, harus mengalahkannya lebih dulu," tutur Ki Lurah Patiasa menjelaskan.
Mei Lie makin terkejut. Matanya terpicing dan
keningnya berkerut Kemudian mendengus.
"Siapa kira-kira orang itu, Kakang Sena...?" tanya Mei Lie dengan ketus.
Wajahnya kelihatan geram mendengar tutur kata Ki Lurah Patiasa. "Kurasa ada
orang ketiga yang mendalanginya."
"Saya kurang tahu. Tapi tindakannya harus sege-
ra dicegah. Kalau tidak, akan lebih banyak korban.
Dan semula kami mengira orang berpakaian compang-
camping itu teman Tuan Pendekar. Aneh! Lantas un-
tuk apa dia lakukan semua itu" Dan untuk apa men-
cari Tuan Pendekar..."!" ujar Ki Lurah Patiasa dengan mengerutkan kening.
"Hm," Pendekar Gila bergumam tak jelas. Mulutnya nyengir dan tangannya
menggaruk-garuk kepala.
Diliriknya wajah Mei Lie yang tampak memerah.
"Orang itu laki-laki atau wanita, Ki Lurah...?"
tanya Mei Lie tiba-tiba.
"Wah, semua orang tak jelas melihatnya. Karena
hampir seluruh wajahnya tertutup oleh caping lebar.
Benar begitu, Lamting...?" tanya Ki Lurah Patiasa sambil menoleh ke arah Ki
Lamting yang duduk di bawah
sebelah kanan. "Benar. Capingnya lebar. Tapi rambutnya pan-
jang melewati bahu," jawab Ki Lamting menjelaskan.
Mei Lie mengangguk-anggukkan kepala, sambil
menggigit bibirnya sendiri. Sedangkan Sena masih
dengan tingkahnya, menggaruk-garuk kepala dan cen-
gengesan. Semua orang yang hadir tersenyum-senyum.
"Jadi apa pendapat, Tuan Pendekar" Kami sangat
membutuhkan pertolongan. Kami tak ingin orang itu
datang ke desa ini lagi, dan membunuh warga Desa
Parangan...," kata Ki Lurah Patiasa.
"Aha, kukira dia tak akan kembali kemari lagi, Ki Lurah. Orang itu hanya mencari
aku dan Mei Lie. Tapi aku pun tak tahu, apa urusannya denganku. Tenanglah! Desa
ini tak akan dijamahnya lagi," kata Sena mencoba menenangkan Ki Lurah Patiasa
dan warganya. Ki Lurah Patiasa mengangguk-anggukkan kepala
sambil memegangi dagunya. Namun, keningnya tam-
pak berkerut. "Apa yang dikatakan Tuan Pendekar, mungkin
benar, Ki Lurah. Sebab orang berpakaian compang-
camping itu juga bertanya pada Ki Galingga, di mana
Pendekar Gila berada...," sela Ki Lamting, yang saat kejadian berada di kedai Ki
Galingga. "Benar, Ki Galingga...".'" tanya Ki Lurah Patiasa.
"Benar, Ki Lurah," jawab Ki Galingga sambil menjura. Untuk beberapa saat mereka
diam. Di luar ma-
lam semakin larut. Angin malam berhembus memasu-
ki ruangan itu.
Ki Lurah Patiasa menghela napas sejenak, kemu-
dian memandang wajah Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Kami semua sangat berterima kasih pada Tuan
Pendekar berdua. Untuk itu, jika Tuan Pendekar ber-
sedia, kami berharap agar bermalam di rumah kami.
Apalagi hari sudah larut malam, Tuan Pendekar dan
Nini perlu istirahat..."
"Terima kasih, Ki Lurah," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kalian sebaiknya berjaga-jaga...," kata Ki Lurah Patiasa pada beberapa orang
warga. "Dan kau Santika bersama Lohdaya, pimpin mereka agar menjalankan
ronda!" "Baik, Ki Lurah...," jawab Santika sambil mengangguk, lalu pergi.
*** Suasana di Desa Parangan malam ini tampak se-
pi. Angin yang berhembus membawa hawa dingin. Pa-
dahal biasanya malam-malam seperti ini masih ada
beberapa orang hilir mudik di desa yang menjadi per-
singgahan para pedagang dan nelayan dari desa lain.
Begitu pula kedai milik Ki Galingga yang terletak di ujung desa, dekat pantai.
Tampaknya semua penduduk telah terlelap dalam tidur. Atau mungkin karena
tak berani keluar malam.
Semenjak kehadiran orang berpakaian compang-
camping mirip gembel, Desa Parangan dan sekitarnya
benar-benar dicekam rasa khawatir. Para penduduk
tak berani keluar malam.
Sementara itu ada pula pihak-pihak lain yang tu-
rut memanfaatkan keadaan itu. Seperti yang dilakukan Gerombolan Gagak Merah.
Mereka melakukan perampokan, pencurian, bahkan menculik dan memperkosa
wanita desa. Geger tentang pembunuh gelap berpakaian gem-
bel itu bahkan telah menyebar ke luar wilayah Kadipaten Krasaan. Para tokoh
persilatan baik dari golongan hitam maupun putih.
Ketika kesunyian malam tengah mencekam war-
ga Desa Parangan, di salah sebuah rumah penduduk
tengah didatangi gerombolan perampok. Anehnya, para
petugas ronda tak satu pun yang mengetahui. Para pe-
ronda, termasuk Santika dan Lohdaya pengawal Ki Lu-
rah Patiasa, terlelap dalam tidur. Rupanya mereka telah terkena ilmu 'Sirep'
yang digunakan oleh para perampok.
Rumah yang tengah disatroni perampok itu ter-
nyata milik tuan tanah dan seorang saudagar ikan
bernama Bakarekso. Rupanya Bakarekso pun terkena
ilmu 'Sirep'. "Ssst! Habisi semua barang yang ada di rumah
ini! Aku akan masuk kamar sebelah ujung sana," kata Dongkala sambil menunjuk
kamar yang letaknya dekat
dapur. Dongkala segera melangkah maju mendekati pin-
tu kamar itu. Rupanya pintu kamar tak terkunci. Di-
bukanya pelahan lalu Dongkala masuk. Ternyata di
dalam kamar itu ada seorang gadis cantik anak tuan
tanah Bakarekso, gadis itu tertidur pulas, dengan sebelah kakinya ditekuk,
memeluk guling. Hingga pa-
hanya yang putih mulus terkuak.
Melihat keadaan yang menggiurkan, Dongkala
menelan air liur. Segera kakinya melangkah mendekati ranjang. Menyaksikan tubuh
sintal putri Tuan Bakarekso itu, Dongkala bagaikan tak mampu menahan ge-
Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jolak nafsu kejantanannya.
Perlahan-lahan Dongkala membalikkan tubuh
Jumirah putri Tuan Bakarekso. Setelah itu diangkat-
nya kaki kanan gadis itu. Sementara dirinya sudah tak sabar ingin segera
merasakan keperawanan putri tuan
tanah itu. Namun ketika lelaki bertubuh besar itu mulai menindihnya, putri Tuan
Bakarekso itu berteriak
kaget. Menyadari keadaan yang tak menguntungkan.
Dongkala langsung menotok tubuh Jumirah. Kemu-
dian dengan penuh nafsu dinikmatinya tubuh molek
putri Tuan Bukarekso yang telah dalam keadaan terto-
tok itu. Sementara itu di kamar lain, Tuan Bakarekso
terbangun. Dirinya bermaksud keluar, karena melihat
pintu kamarnya sedikit terbuka. Selain itu hatinya curiga mendengar rintihan di
kamar sebelah. Namun ke-
tika Tuan Bakarekso sampai di ambang pintu tiba-tiba muncul lelaki berbadan
besar dengan dada berbulu.
Kumisnya tebal melintang menambah kebengisan wa-
jahnya. Tanpa banyak bicara lelaki berbadan besar
yang bernama Pandesa, langsung mengayunkan go-
loknya. Crasss! "Aaakh...!"
Seketika Tuan Bakarekso tewas dengan kepala
hampir putus. Jeritan itu membangunkan istri tuan
tanah. Wanita itu tersentak, ketika melihat ke arah
pintu. Matanya semakin terbelalak lebar melihat lelaki bertubuh besar masih
memegang golok berlumuran
darah. "Aaakh...!"
Istri tuan tanah Bakarekso menjerit. Pandesa se-
gera melompat lalu menampar perempuan itu.
Plak! Plak! "Ukh...!"
Pandesa menatap nanar, ketika perempuan itu
telentang di ranjang dengan kedua kakinya mengang-
kang. Sebagian kainnya terangkat ke atas. Hingga pa-
hanya terkuak di depan mata Pandesa.
"Hi hi hi..! Sudah lama aku tidak menikmati ke-
hangatan tubuh wanita, he he he...!"
Pandesa langsung menindih tubuh istri tuan ta-
nah, dan merobek baju serta kainnya. Wanita itu me-
ronta-ronta sambil mencakar muka Pandesa. Namun
lelaki bertubuh besar itu tak peduli. Bahkan dengan
gemas ia menciumi leher, dan dada perempuan yang
masih montok itu.
"Lepaskan..., oh....! Jangan... ukh!"
Terjadilah pergumulan yang penuh nafsu. Pande-
sa yang sudah berada di atas tubuh perempuan itu te-
rus melakukan tekanan-tekanan yang buas.
Sementara di luar, sesosok bayangan berkelebat,
di antara rumah penduduk. Lalu melompat ke atap se-
buah rumah. "Hah..."! Aneh, ke mana para petugas ronda..."
Pasti ada yang tak beres," gumam sosok bayangan yang belum jelas, karena malam
begitu gelap. Kemudian sosok bayangan itu melompat-lompat bagai tupai
di atas atap rumah penduduk. Sampai akhirnya ber-
henti di sebuah rumah besar, yang tak lain rumah
tuan tanah Bakarekso. Lampu rumah itu sebagian ma-
sih menyala. Namun tiba-tiba lampu salah satu ruan-
gan padam. Bersamaan dengan matinya lampu, ter-
dengar jeritan suara perempuan. Sosok bayangan
nampak tersentak dan segera melesat, melompat tu-
run. Tubuhnya melesat menuju rumah Bakarekso.
Tiba-tiba, dari pintu keluar dua orang bertelan-
jang dada, yang tak lain Gerombolan Gagak Merah.
Kedua lelaki bertampang bengis itu tengah menggotong barang-barang hasil
rampokannya. Sosok bayangan segera bersembunyi di balik pi-
lar rumah. Sementara itu suara jeritan terhenti, hanya terdengar samar-samar
tangis dan rintihan dari seorang wanita.
"Perampokan, perkosaan..."!" gumam sosok
bayangan itu lirih.
Ketika dua orang yang menggotong barang ram-
pokan itu melewati pagar rumah, tiba-tiba terdengar
suara pekikan keras dari mulut keduanya. Kedua tu-
buh bertelanjang dada itu roboh dengan mulut me-
muntahkan darah segar. Ternyata sosok bayangan itu
dengan begitu cepat melancarkan tendangan dan pu-
kulan ke dada mereka berdua.
Sosok bayangan itu kemudian melesat ke rumah
dan menyelinap masuk.
Brak! "Hah..."!" Pandesa kaget. la segera melompat dalam keadaan bugil, hendak
menggapai celana dan go-
loknya. Namun sosok bayangan yang tak lain adalah
Mei Lie. Melesat cepat sambil mengangkat Pedang Bi-
dadari-nya. "Heaaat..!"
Pandesa tak sempat mengelak, karena pikiran
dan keseimbangan belum pulih. Maka tak pelak lagi,
Pedang Bidadari membabat tubuh Pandesa.
Cras! Cras! "Aaa...!"
Tubuh Pandesa seketika roboh. Sesaat kemudian
terpotong dua. Membiru, lalu hancur jadi debu.
Perempuan yang masih terkulai telanjang di ran-
jang segera ditutupinya dengan kain. Sementara di
kamar belakang, Dongkala yang tertidur lemas, habis
melahap keperawanan Jumirah, tiba-tiba terbangun.
Dilihatnya di ambang pintu berdiri Mei Lie dengan
memegang pedang di tangannya. Dongkala membela-
lakkan matanya, lalu melompat turun.
"Siapa kau..."!" tegur Dongkala dengan mata membelalak. Tangannya mencoba
menggapai golok
yang ditaruh di atas meja kecil bersama ikat pinggangnya. Namun Mei Lie yang
sudah tak bisa menahan
amarahnya langsung melompat. Dan....
"Heaaat..!"
Cras! Cras! "Aaa...!"
Dongkala menjerit. Suaranya melengking pan-
jang. Seketika tubuhnya terbelah dua, lalu roboh. Sesaat kemudian membiru.
Jumirah, tersadar setelah
Mei Lie membebaskan totokan tubuhnya.
"Ohhh...," Jumirah mengeluh, lalu menangis sambil menutupi tubuhnya yang polos.
Mei Lie memandangi dengan sedih dan iba.
"Kau kini sudah aman, Dik. Namun maafkan,
aku terlambat datang. Hingga orang-orang biadab
itu...," Mei Lie tak melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba dari luar
berdatangan Ki Lurah Patiasa, Santika, Lohdaya, dan Pendekar Gila yang tampak
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Sambil mendekati
Mei Lie pemuda berpakaian rompi dari kulit ular itu
mencabut bulu burung dari ikat pinggang lalu mengi-
lik-ngilik kupingnya.
"Kenapa bisa terjadi..."!." gumam Ki Lurah Patiasa sambil menggelengkan kepala.
Wajahnya nampak
murung. "Mereka memakai ilmu 'Sirep' yang ampuh, Ki
Lurah. Tapi aku masih beruntung bisa melawan ilmu
itu," kata Mei Lie, lalu melirik Sena yang cengar-cengir sambil mengilik-ngilik
telinganya dengan bulu burung.
"Ki Lurah mengenal para perampok ini...?" tanyanya kemudian.
"Ya. Mereka adalah Gerombolan Gagak Merah.
Kalau tak salah ini Dongkala, pimpinannya...," jawab Ki Lurah Patiasa sambil
menunjuk mayat Dongkala
yang seluruh tubuhnya telah membiru, lalu perlahan-
lahan mulai hancur menjadi debu. Ki Lurah Patiasa
tersentak kaget. Begitu pula para pengikutnya semua
membelalakkan mata keheranan. Mereka ngeri ber-
campur bingung.
"Hm.... Ilmu apa yang digunakan gadis Cina
itu...?" tanya Ki Lurah dalam hati. Tak satu pun yang membuka mulut
"Ah ah ah...! Rupanya sepak terjang si Penung-
gang Kuda Iblis, dimanfaatkan oleh orang-orang kerdil ini. Hi hi hi..., lucu!"
celetuk Sena sambil terus mengilik-ngilik telinganya dengan bulu burung, lalu
menggaruk-garuk kepala.
Melihat Pendekar Gila yang hanya cengengesan,
seperti tak menghiraukan, Mei Lie tampak cemberut.
Lalu kakinya melangkah mendekatinya.
"Kenapa Kakang diam saja...?" tanya Mei Lie dengan wajah cemberut
Pendekar Gila yang mengerti maksud kekasih-
nya, yang terkadang suka manja. Langsung menga-
cungkan jempol seraya berkata.
"Hi hi hi..., aku kagum padamu, Mei. Kau telah
bertindak cepat. Belum sempat aku bertindak, kau su-
dah lebih dulu. Aku senang."
Mendapat pujian dari Pendekar Gila, bibir Mei Lie
tampak tersenyum-senyum bangga.
"Kami juga sangat kagum atas kesigapan Nini Mei Lie. Kami merasa malu...,"
tambah Ki Lurah Patiasa dengan senyum tersungging di bibirnya.
"Ini sudah kewajiban Ki Lurah. Hm, sebaiknya ki-ta amankan kedua wanita itu!"
ujar Mei Lie kemudian seraya menghampiri Jumirah. Gadis itu masih menangis
tersedu-sedu memikirkan nasibnya dan sang Ibu
yang telah menjadi korban kebiadaban Dongkala dan
kawan-kawannya.
Ki Lurah Patiasa segera memerintahkan pada
Santika dan Lohdaya untuk mengurus Jumirah dan
ibunya. Setelah ikut mengurus mayat saudagar Baka-
rekso kepala desa itu memperingatkan para warga agar meningkatkan kewaspadaan
dan turut menjaga kea-manan desa.
Malam semakin larut dan mencekam. Desa Pa-
rangan loan sunyi dan sepi. Kejadian di rumah Tuan
Bakarekso membuat para penduduk cemas dan keta-
kutan. Apalagi yang mempunyai anak gadis.
Namun Pendekar Gila dan Mei Lie yang masih be-
rada di desa itu, agak membuat warga Desa Parangan
sedikit lega. Di antara para penduduk telah banyak
mendengar nama pendekar muda itu jauh sebelum
melihat orangnya. Nama Pendekar Gila bukan nama
asing lagi di dunia persilatan. Sepak terjangnya dalam menumpas kedurjanaan dan
menegakkan keadilan telah membuat nama Pendekar Gila tersohor. Tidak
hanya di kalangan dunia persilatan, nama pendekar
muda yang bertingkah laku seperti orang gila itu telah mengagumkan banyak orang.
*** 3 Matahari mulai condong ke barat. Seekor kuda
hitam berlari kencang memasuki hutan di kaki Bukit
Palasari. Kuda bertubuh besar dan kekar itu membawa
seorang yang berpakaian compang-camping mirip
gembel yang tak lain Lara Kanti. Ternyata wanita inilah yang akhir-akhir ini
tengah ramai dibicarakan para tokoh di Kadipaten Krasaan.
Lara Kanti terus menggebah kudanya agar berlari
lebih kencang, Derap kaki kuda hitam itu seakan hen-
dak memecah keheningan senja di perbukitan itu. Ma-
ta kuda itu tampak merah membara, seperti mata iblis, memancar tajam dan
menggiriskan. Demikian juga
mata gadis berjuluk si Penunggang Kuda Iblis itu tampak jelalatan, mengawasi di
sekitar tempat yang dilaluinya. Hal itu karena tiba-tiba telinganya yang tajam
menangkap adanya suara derap kaki kuda.
"Hm..., ada yang mengikutiku"!" gumamnya seraya memperlambat lari kuda.
Suara kaki kuda semakin jelas terdengar. Lara
Kanti semakin memperlambat lari kudanya sambil
mengerutkan kening. Telinganya hanya mendengar sa-
tu ekor kuda. Tiba-tiba ditariknya tali kekang kuda, lalu seketi-
ka tubuhnya melompat tinggi. Kakinya dengan sigap
hinggap pada sebatang cabang pohon yang tinggi. Ma-
tanya dengan liar mengawasi sekeliling tempat di ba-
wah sana. Tiba-tiba pandangannya melihat seorang
penunggang kuda berwarna coklat. Dari pakaian dan
pedang yang bertengger jelas orang itu berasal dari kalangan rimba persilatan.
"Hm...! Siapa monyet itu" Mau mencari perka-
ra...!" gumam Lara Kanti, setelah meyakinkan pengli-
hatannya. Lara Kanti memperhatikan gerak-gerik penung-
gang kuda di bawah sana. Ketika kuda itu sampai di
bawahnya, dengan cepat tubuhnya melompat turun
dengan bersalto, lalu mengirimkan sebuah pukulan
yang mengarah ke kepala penunggang kuda itu. Na-
mun rupanya si penunggang kuda telah merasakan
adanya serangan gelap. Dengan cepat pula tubuhnya
melompat dari punggung kuda.
"Yeaaa...!"
"Heit..! Heaaa...!"
Lara Kanti mencoba menyambar kepala lawan
dengan tangan kiri dan kanan, ketika tubuhnya masih
melayang di udara. Namun lelaki penunggang kuda itu
dengan cepat bergerak meliuk seraya melancarkan se-
buah serangan balik.
"Heaaa...!"
Plak! Namun tangan kanan Lara Kanti terjulur cepat
memapaki serangan balasan itu.
"Hm...!" gumam lelaki penunggang kuda itu seraya manggut-manggut.
Lara Kanti tak menduga kalau orang itu memiliki
ilmu yang cukup handal. Begitu kakinya mendarat di
tanah, dengan sigap Lara Kanti mengatur kedudukan-
nya. Matanya yang tajam mengawasi penuh selidik le-
laki muda berkumis tipis itu. Rambutnya yang panjang sebahu diikat kain merah
tua, sama dengan warna pakaiannya. Di pinggangnya melilit sabuk dari kulit
berwarna hitam, menambah angker penampilannya.
"Ha ha ha...! Ini rupanya orang yang dijuluki Penunggang Kuda Iblis itu!
Ternyata hanya gembel kotor dan kudisan. He he he...!" ejek pemuda itu sambil
mengelus-elus cambangnya yang hitam dan lebat.
Pemuda berambut gondrong itu segera mencabut
pedang dari warangkanya.
Srats!
Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada urusan apa kau mengikutiku...?" tanya Lara Kanti ketus.
"Ha ha ha...! Kau mau tahu, Gembel"! Ketahui-
lah! Aku Sasaka Purwa ingin mencari Pendekar Gila,
untuk membunuhnya. Aku ingin jadi orang terkenal
dan disegani. Tapi ketika aku mendengar nama Pe-
nunggang Kuda Iblis yang ramai dibicarakan orang-
orang persilatan, niatku berubah. Aku rasa lebih baik membunuhmu lebih dulu,
sebelum menghabisi Pendekar Gila...! Ha ha ha...!" tutur pemuda bernama Sasaka
Purwa dengan sombong sambil mempermainkan pedang diputar-putar di atas kepala.
Seolah dirinya yakin benar akan mampu mengalahkan, bahkan membunuh
Lara Kanti. Mendengar ucapan Sasaka Purwa, Lara Kanti
hanya diam. Sepertinya tak terlalu menggubrisnya.
Wanita muda berpakaian gembel itu bahkan memba-
likkan tubuh hendak pergi. Hal itu tentu saja membuat Sasaka Purwa jengkel dan
marah, karena merasa diremehkan.
"Hei! Pengecut! Heaaat..!"
Sasaka Purwa tiba-tiba menyerang Lara Kanti.
Namun wanita bercaping lebar sudah menduganya.
Sehingga dengan cepat tubuhnya melenting ke udara
untuk menghindar, sambil mengibaskan tangan ka-
nan. "Hih...!"
"Heh"!"
Swing! Swing...!
Mata Sasaka Purwa terbelalak, karena bersa-
maan dengan gerakan perempuan gembel itu meluncur
belasan senjata rahasia menyerupai paku. Tentu saja
hal itu membuat pemuda itu terkejut, sebab tak men-
duga sama sekali lawan akan melakukannya. Maka
dengan cepat tubuhnya bergerak untuk mengelak sete-
lah terlebih dahulu menarik pulang serangannya. Tu-
buhnya kini berguling cepat di tanah berbatu-batu.
"Heit! Heaaa...!"
Tubuh Sasaka Purwa melenting ke udara dan
bersalto. Namun Lara Kanti tak memberi kesempatan
pada lawan untuk berbalik menyerangnya. Pukulan
dan tendangannya terus mencecar tubuh pemuda be-
rambut gondrong itu. Menyadari tak mampu memberi
serangan balasan, Sasaka Purwa langsung melompat
ke atas sebuah pohon. Kemudian dengan mengguna-
kan ilmu 'Tupai Melompat' tubuhnya melompat ke sa-
na kemari, berpindah dari satu cabang ke cabang lainnya menghindari serangan
lawan. Melihat lawannya berada jauh di atas pohon, La-
ra Kanti tidak mau kalah. Tubuhnya segera melompat
memburu Sasaka Purwa, dengan ilmu meringankan
tubuh yang sangat sempurna. Bagaikan melayang Lara
Kanti mengejar Sasaka Purwa yang melompat-lompat
bagai tupai, dari pohon satu ke pohon lainnya. Terkadang pemuda itu merayap
bagai cecak di batang dan
cabang pohon. Sementara Lara Kanti yang telah memindahkan
tudung capingnya ke punggung terus melesat. Tubuh-
nya tampak melayang ke sana kemari, mencoba men-
gejar lawannya. Sebentar kemudian kakinya hinggap
pada sebatang cabang pohon.
Kini keduanya berdiri di cabang pohon besar,
siap melancarkan serangan. Mereka nampak membuka
jurus andalan masing-masing Lara Kanti mengerahkan
jurus 'Pedang Malaikat Maut'
Sasaka Purwa mempermainkan pedangnya di
atas kepala dan ke samping. Sedangkan Lara Kanti le-
bih tenang. Hanya dua tiga kali mempermainkan pe-
dang mautnya. Kemudian....
"Heaaa...!"
"Heaaat...!"
Sasaka Purwa melompat ke depan lebih dulu.
Sambil melenting lalu bersalto perempuan berpakaian
gembel itu pun menyusul serangan lawan. Tangannya
dengan cepat menebaskan pedang. Begitu pula yang
dilakukan Sasaka Purwa. Hingga....
Srak! Trang! Trang! "Hah...!"
Percikan api akibat beradunya kedua pedang pu-
saka itu tampak dari sela-sela rimbun dedaunan. Lalu keduanya sama-sama
terpental ke belakang, dan kembali hinggap pada cabang pohon. Sesaat kemudian
ke- duanya kembali membuka jurus dan kuda-kuda.
Rupanya Sasaka Purwa bukan lawan sembaran-
gan, sehingga Lara Kanti nampak lebih hati-hati dalam melancarkan serangan.
Teriakan nyaring kembali terdengar memecah
keheningan senja di perbukitan itu. Keduanya kini
tampak sama-sama mengerahkan jurus-jurus andalan.
Dari sela-sela rimbun dedaunan dan batang pohon
tampak saling berkelebatan cahaya pedang mereka.
Suara dentangan nyaring, disusul teriakan keras, lalu ditingkahi pula gemeresak
dedaunan dan batang-batang kayu patah terus terdengar.
Masing-masing ingin segera menjatuhkan. Na-
mun kini sudah lima belas jurus belum menampakkan
pihak yang bakat kalah. Memasuki jurus selanjutnya
masih sama-sama bertahan. Beberapa kali ujung pe-
dang mereka hampir menemui sasaran. Namun den-
gan gerak cepat disertai tingkat kewaspadaan tinggi
keduanya mampu menghindarinya. "Heaaa...!"
Pekikan keras mengiringi lesatan tubuh Lara
Kanti melancarkan serangan dahsyat
Srak! Trang! "Hah..."!"
Sebuah gerakan menebas yang cepat dan begitu
kuat dilakukan Lara Kanti. Tebasan yang dikerahkan
dengan tenaga dalam itu membentur pedang lawan.
Seketika Sasaka Purwa merasakan ada hawa panas
menjalar ke tangannya, hingga pedangnya terlepas dan jatuh. Sasaka Purwa
tersentak kaget, matanya membelalak. Segera dia melompat turun bermaksud men-
gambil pedangnya. Namun Lara Kanti mengerti. Segera
dimasukkan pedang ke dalam sarungnya. Lalu mem-
buru Sasaka Purwa, turun.
Kini keduanya sama-sama bertangan kosong. Sa-
saka Purwa membuka jurus 'Telapak Sakti' Dari kiba-
san kedua tangannya mendatangkan angin.
Wuttt! Wuttt! Melihat lawannya mengerahkan ilmu andalan,
Lara Kanti hanya tersenyum sinis. Namun hatinya te-
tap tak mau kalah. Dengan gerakan yang indah, Lara
Kanti mengeluarkan jurus 'Tamparan Tangan Iblis' Da-
ri telapak tangan Lara Kanti tiba-tiba keluar asap merah. Kini keduanya siap
menyerang dengan kesaktian
masing-masing. "Heaaa...!"
Wut! Wut! "Yeaaa...!"
Keduanya melompat bersamaan. Di udara tela-
pak tangan mereka yang telah dialiri kekuatan tenaga dalam tinggi saling beradu.
Glarrr...! Ledakan keras terdengar, disusul dengan terpen-
talnya kedua tubuh. Sasaka Purwa jatuh bergulingan
di tanah berumput, beberapa tombak dari tempat tu-
buh Lara Kanti yang jatuh terduduk.
"Ukh...!" Sasaka Purwa memuntahkan darah merah kehitaman. Lalu mulutnya
mengerang menahan
sakit di dadanya. Perlahan-lahan tubuhnya bangkit
hendak berdiri.
"Hm...! Kau harus mati, Monyet Busuk.... Tak
akan kubiarkan kau membunuh Pendekar Gila, sebe-
lum melangkahi mayatku!" gumam Lara Kanti sambil tersenyum sinis. Matanya yang
tajam menatap wajah
Sasaka Purwa. Sasaka Purwa tak menghiraukan ucapan Lara
Kanti. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, ia melom-
pat menyerang perempuan berpakaian compang-
camping yang telah berdiri tegak tiga tombak di de-
pannya. Namun dengan sigap Lara Kanti telah mem-
persiapkan diri untuk menangkisnya.
"Hiaaa...!"
Wret! Prats! "Aaa...!" lengkingan keras terdengar dari mulut Sasaka Purwa. Pukulan jurus
'Tamparan Tangan Iblis'
yang dilancarkan Lara Kanti mendarat telak di da-
danya. Tak ampun lagi, tubuh lelaki muda berpakaian
merah itu melintir, sempoyongan dengan dada hangus
bagai terbakar dan membekas telapak tangan Lara
Kanti. Sesaat kemudian Sasaka Purwa ambruk, tewas.
Kedua matanya melotot Sementara dari mulutnya ma-
sih keluar darah segar!
Lara Kanti menghela napas lega. "Rupanya ba-
nyak tokoh persilatan yang menginginkan Pendekar
Gila mati! Hm...! Cepat atau lambat, aku harus mene-
mukan pendekar itu."
Selesai berkata begitu, Lara Kanti mendekati
mayat Sasaka Purwa. Dibalikkan mayat itu dengan
kaki kanannya dan dilangkahinya. Lalu segera me-
ninggalkan tempat pertarungan itu.
Sesampai di tempat yang lebih luas, Lara Kanti
menepukkan telapak tangannya. Tak lama kemudian
kuda hitam yang matanya bersinar kemerahan bagai
mata iblis, meringkik mendekati perempuan bercaping
lebar itu. Kuda itu mengangkat kedua kaki depannya
sambil meringkik-ringkik. Setelah mengusap-usap ke-
pala kuda itu, Lara Kanti segera melompat dan meng-
gebahnya. Kuda hitam itu pun langsung berlari kencang
menuju ke timur. Sementara itu mentari semakin con-
dong ke barat. Sinarnya tampak kemerah-merahan.
Lara Kanti terus memacu kudanya makin jauh, dan hi-
lang di balik pepohonan hutan di sebelah timur Bukit Palasari.
*** Ketika terik matahari siang menyengat persada
bumi ini, seekor kuda hitam pekat berlari kencang me-nerobos debu berterbangan
di Lembah Cadas Pange-
ran. Di punggung kuda itu, tampak seorang perem-
puan bercaping lebar, dengan pakaian compang-
camping. Wajah gadis itu cukup ayu, tapi pandangan
matanya galak dan tajam, tersembunyi di balik caping lebar. Rambutnya dibiarkan
tergerai ditiup angin kencang. "Heah...!"
Derap kaki kuda melaju, bagai tak menghiraukan
terik matahari yang tak bersahabat Namun mendadak
si Penunggang Kuda Iblis itu menghentikan lari ku-
danya. "Ck ck ck...! Tenang, tenang Ireng!" Lara Kanti menenangkan kudanya yang bernama
Ireng. Kuda itu
seakan merasa ada sesuatu yang mencurigakan, dan
akan membahayakan juragannya. Sehingga terdengar
suara ringkikannya.
"Hm...!"
Lara Kanti menggumam tak jelas. Matanya masih
menyapu ke sekeliling lembah, seakan memahami arti
ringkikan kuda kesayangannya.
"Kau memang sahabatku yang baik, Ireng...," ujar Lara Kanti sambil menepuk-nepuk
dan mengusap lembut leher kuda itu.
Kuda mengangguk-angguk, seakan merasa se-
nang. Dan kembali meringkik. Lara Kanti tersenyum-
senyum. Namun matanya tetap menyapu ke sekeliling
tempat itu. Kresek! Lara Kanti menoleh ke arah suara dari semak-
semak. Kemudian tubuhnya melompat dari punggung
kuda. Baru saja perempuan itu mendaratkan kaki di
tanah, dari balik semak bermunculan sepuluh sosok
tubuh berpakaian serba hijau. Sebagian muka mereka
tertutup kain yang berwarna sama, hijau. Hanya mata
mereka yang terlihat. Kesepuluh sosok itu menggeng-
gam sebilah golok tajam. Tampaknya mereka para pe-
nyamun yang membegal setiap orang yang melintasi
tempat itu. "Hm....'" gumam Lara Kanti perlahan. "Rupanya ada tikus-tikus can santapan...!"
"Kurang ajar! Berani mengejek kami. Siapa
kau".'" bentak orang yang berdiri paling depan sambil menudingkan goloknya. Dan
suaranya jelas orang itu
lelaki. "Siapa pun aku, kalian tak perlu tahu! Yang pasti, aku tak suka ada
orang menghalangi perjalananku,"
jawab Lara Kanti sambil menggeser tudung capingnya.
Seakan-akan ingin memperjelas pandangannya.
"Ha ha ha...! Omonganmu seperti orang yang tak
mempan dibacok golok pusakaku ini," ujar lelaki yang paling depan. Dengan angkuh
ditudingkan lagi goloknya ke arah Lara Kanti. Lelaki inilah tampaknya pe-
mimpin Laskar Hijau itu. Brajakala, begitu panggilannya. Seorang tokoh dari
aliran hitam yang selalu melakukan perampokan, menculik gadis-gadis desa dijadi-
kan gundik, serta menjadi pembunuh bayaran yang
disegani. Lara Kanti mengangkat pelahan kepalanya, yang
tadi sedikit menunduk, lalu menatap tajam wajah lela-ki di depannya. Brajakala
yang memiliki mata jalang
seketika tahu, kalau di balik caping lebar itu tersembunyi seraut wajah cantik
seorang wanita. Segera saja kakinya melangkah mendekati Lara Kanti. Lalu
berhenti dua tombak di hadapan Lara Kanti.
"He he he...! Kawan-kawan, rupanya hari ini aku mendapatkan daging yang benar-
benar kenyal dan se-dap...!" seru Brajakala pada teman-temannya, sambil menoleh
ke kin dan kanannya.
"Hei siapa pun namamu dan dari mana asalmu,
aku tak peduli..., asal kau mau ikut aku... he he he...!
Aku tahu kau wanita yang masih muda dan ayu. He he
he...! Kemarilah, Cah Ayuuu...! He he he...."
Lara Kanti hanya menghela napas dalam-dalam.
Sementara itu Brajakala semakin mendekatinya. Tan-
gannya tiba-tiba mencoba mau membuka caping Lara
Kanti. Lara Kanti tak mengelak sedikit pun.
Namun, baru saja Brajakala melihat sekilas wa-
jah wanita itu. Tiba-tiba mulutnya memekik dengan
Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuh terhuyung dua tombak ke belakang. Entah ka-
pan Lara Kanti melakukan serangan itu, sukar ditang-
kap pandangan mata biasa. Rupanya Lara Kanti telah
melancarkan pukulan 'Tanpa Wujud', dengan tenaga
dalamnya. "Adauuu...!"
Para anak buah Brajakala tersentak kaget, kare-
na mereka tak menduga. Sebelumnya mulut mereka
cengar-cengir menyaksikan ulah pimpinannya. Seketi-
ka kesembilan lelaki berpakaian serba hijau itu men-
gangkat golok hendak menyerang Lara Kanti.
Rupanya, Lara Kanti tadi dengan cepat menggu-
Seruling Gading 12 Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long Pedang Kayu Harum 12