Undangan Maut 3
Pendekar Gila 26 Undangan Maut Bagian 3
karang kalian akan pergi. Hari sudah mulai gelap. Lagi pula kalian belum
menyusun rencana. Tapi kalau kalian akan pergi juga, aku tak bisa melarang,"
jawab Nyi Kemuning Sari tegas.
"Kalau begitu, kita bermalam di sini saja. Besok pagi-pagi kita berangkat ke
Hutan Bambu, untuk
memberitahukan kawan-kawan kita. Rencana itu kita
rundingkan di sini," kata Pangeran Prapanca memutuskan. Karena ia tahu Nyi
Kemuning Sari bermaksud
baik. Dan wanita tua itu lebih tahu segalanya dari mereka. Sementara itu, malam
merambahi permukaan
bumi. Sepi menjadi mahkota malam yang gelap. Kabut
dingin berarak lambat, seperti iring-iringan pengantar jenazah. Mencekam! Sayup-
sayup terdengar suara burung hantu, yang meningkahi suara binatang malam.
6 Fajar telah datang. Kesunyian dirobek oleh sua-
ra jerit dan teriakan seorang lelaki yang berlari ketakutan ke timur. Tampak
tubuhnya luka parah. Rupanya
lelaki itu baru keluar dari Hutan Bambu.
Begitu cepat lari orang ini, karena ketakutan-
nya. Suara teriakan terdengar terputus-putus. Napas-
nya nampak terengah-engah.
Sampai mentari mulai meninggi, lelaki yang be-
rumur kira-kira tiga puluh delapan tahun ini masih
berlari terseok-seok
Dari arah timur muncul beberapa orang, di ba-
lik lembah. Mereka tak lain rombongan Pangeran Pra-
panca yang terdiri Pangeran Prapanca, Sena, Mei Lie,
Ki Jalna Wangga, Buto Gege serta dua lelaki teman Ki
Jalna Wangga, yaitu Manik Jingga dan Manik Belang.
Orang-orang tampak terkejut melihat sosok tubuh
yang tergeletak tak jauh di depan.
Pranala segera mendahului yang lain mendekati
laki-laki yang tergeletak itu. Disusul Ki Jalna Wangga, Pendekar Gila, dan Mei
Lie. Alangkah terkejurnya Pranala, setelah membalikkan tubuh lelaki yang
tubuhnya penuh luka kena goresan golok.
"Hah"! Ya Gusti Hyang Jagat Dewa Batara! Lu-
dira...!" gumam Pranala setelah mengenali lelaki itu.
Pangeran Prapanca segera mendekati dan ber-
jongkok di dekat lelaki yang ternyata bernama Ludira itu. Prajuritnya, yang
menjadi pimpinan prajurit dari kelompok Pangeran Prapanca.
"Ludira...," terdengar suara Pangeran Prapanca lirih. Wajahnya nampak sedih.
"Ludira, apa yang telah terjadi. Katakan...."
Ludira perlahan-lahan membuka matanya, na-
pasnya tampak sesak. Bibirnya yang kering, karena
kehausan tampak gemetaran. Perlahan mulutnya ter-
buka, untuk bicara. Namun tak terdengar suara sedi-
kit pun. Pangeran Prapanca, dibantu Pendekar Gila be-
rusaha memberikan kekuatan pada Ludira dengan
mengantar tenaga dalam ke tubuhnya. Sesaat Ludira
mulai bisa bicara lirih. Terputus-putus.
"Pang... eran... akh. Ma... maafkan sa... ya.
Akh...!" "Ya, aku telah memaafkanmu. Katakan, apa yang telah terjadi di Hutan
Bambu?" tanya Pangeran Prapanca cemas.
"Mer... mereka... menghan... curkan markas ki-
taaa... aaakh...!"
Suara Ludira tersendat-sendat. Lalu setelah be-
rucap, laki-laki itu perlahan menutup matanya kemba-
li dan menghembuskan napas yang terakhir.
Gemeretak suara gigi Pangeran Prapanca, me-
nahan amarah. Jari-jarinya mengepal keras. Matanya
nanar memandang ke depan.
"Biadab...! Akan kubalas perbuatanmu ini, Pa-
man Awangga!" dengus Pangeran Prapanca dengan suara geram.
"Pasti rencana perdana menteri laknat itu! Aku
bersumpah akan mencabik-cabik hatinya!" kata Ki
Jalna Wangga, sengit.
"Aku pun tak akan membiarkannya hidup lebih
lama di dunia ini...!" tambah Pranala tak kalah geram.
"Sebaiknya, kita cepat melihat keadaan Hutan
Bambu," ujar Sena sambil cengengesan dan mengga-
ruk-garuk kepala.
Tak banyak bicara lagi, mereka segera pergi ke
Hutan Bambu. Setelah menguburkan mayat Ludira.
Sesampainya di Hutan Bambu, Pangeran Pra-
panca dan kawan-kawan tampak sangat terpukul ha-
tinya, melihat mayat berserakan di sana-sini. Apalagi ketika melihat orang-orang
kepercayaan, dan andalannya seperti Ki Naga Wilis, Panglima Gagak Selo, Resi
Wisangkara, serta Tirta Kayon. Mati dengan sangat
menyedihkan. "Kurang ajar! Benar-benar biadab...!" geram Pangeran Prapanca marah. Hatinya
benar-benar seperti dicabik-cabik, melihat kejadian mengenaskan itu.
"Rupanya mereka menyerang pada malam hari,
atau menjelang pagi. Semua di luar perkiraan kita,"
sambut Sena dengan nada penuh penyesalan. Sambil
menggaruk-garuk kepala, dan nampak kesal.
Mayat-mayat prajurit ada yang terpotong leher-
nya, hingga hampir putus. Ada pula kedua kakinya
yang telah buntung. Sangat mengerikan! Darah berce-
ceran di mana-mana. Bau amis dan kematian pun me-
nyeruak di dalam Hutan Bambu itu.
Pangeran Prapanca terduduk di atas sebatang
pohon besar yang telah tumbang. Putra Mahkota Kera-
jaan Surya Langit itu seakan-akan semakin tak tahan
menyaksikan kebiadaban orang-orang kerajaan. Tam-
pak wajahnya termenung penuh rasa haru.
Pendekar Gila mengisyaratkan agar segera
menguburkan mayat bekas para tokoh kerajaan itu.
Mereka adalah Ki Naga Wilis, Panglima Rawa Sekti,
Resi Wisangkara, Tirta Kayon, serta puluhan prajurit
yang membelot dari istana. Mayat-mayat itu akhirnya
dikebumikan secara masal.
Mentari semakin tinggi, sinarnya semakin pa-
nas menyengat tubuh mereka. Pangeran Prapanca ma-
sih tampak termenung, seakan tak mampu untuk
membuang perasaan dukanya, karena telah kehilan-
gan bala tentara yang dengan rela bersedia mendu-
kung perjuangannya merebut takhta kerajaan yang hi-
lang. *** Di pihak kerajaan, Perdana Menteri Giri Gantra
tengah mencak-mencak. Hal itu karena orang-
orangnya tak berhasil menemukan Pangeran Prapanca.
Begitu juga dengan Baginda Raja Awangga. Pemegang
tampuk kekuasaan Kerajaan Surya Langit itu tampak
khawatir kalau takhtanya akan terguling dan jatuh ke
tangan putra mahkota, Pangeran Prapanca.
"Perdana Menteri macam apa kau..."! Aku su-
dah bosan dengan kata-katamu!" dengus Baginda Raja Awangga dengan nada marah.
"Kau bilang, orang-orang pilihanmu cukup tangguh. Buktinya" Menang-
kap Prapanca dan kawan-kawannya, yang hanya sege-
lintir saja tak becus! Aku tak mau tahu. Pokoknya kau harus dapat menangkap
Pangeran Prapanca, hidup
atau mati! Kalau tidak, kau sebagai gantinya...!" tambah Baginda Raja Awangga
sambil menggebrak meja.
Perdana Menteri Giri Gantra tak bisa berkata
apa-apa lagi. Wajahnya tampak merah, malu. Semua
jago golongan hitam yang disewanya ada di situ. Per-
dana Menteri Giri Gantra sangat terinjak-injak marta-
batnya. Apalagi ada dua jago aliran hitam, yang kurang setuju dengan tindakannya
dalam memerintah secara
seenaknya. Mereka adalah Jenggot Naga dan si Mata
Tunggal. Keduanya bermaksud mengundurkan diri dari
kelompok perdana menteri licik itu.
"Perdana Menteri, kami berdua tak sanggup lagi
ikut dalam penyerangan ke Hutan Bambu. Kami akan
kembali ke padepokan kami masing-masing," ujar
Jenggot Naga dengan suara parau.
"Benar!" tambah si Mata Tunggal.
"Ha ha ha...! Enak saja kau bicara begitu! Kau
pikir kalian berdua bisa begitu saja melepas tanggung
jawab, dan perjanjian dengan pihak kerajaan" Huh!"
bentak Baginda Raja Awangga setelah mendengar uca-
pan Jenggot Naga dan si Mata Tunggal.
Jenggot Naga dan si Mata Tunggal tak dapat
menentang. Keduanya diam dengan perasaan jengkel.
"Giri Gantra...!"
"Hamba, Baginda."
"Aku ingin hari ini juga kau kembali ke Hutan
Bambu. Tangkap, dan bila perlu bunuh Prapanca! Aku
tak mau tahu bagaimana caramu. Dan ingat jangan
kembali, sebelum kau berhasil membawanya hidup
atau mati!" ucap Baginda Raja Awangga dengan suara lantang.
"Baik, Baginda. Kami mohon diri...!" sahut Perdana Menteri Giri Gantra sambil
menjura hormat pada
Baginda Raja Awangga.
Perdana Menteri Giri Gantra mengangkat tan-
gan kanan, sebagai isyarat pada pengikut-pengikutnya
agar segera berangkat.
Seketika para jago dan para prajurit kerajaan
bergegas meninggalkan ruangan itu.
Setelah keberangkatan Perdana Menteri Giri
Gantra dan pasukannya, Permaisuri Raja Awangga
muncul dengan raut wajah yang menunjukkan kece-
masan. Wanita cantik itu mendekati sang Baginda Raja
Awangga, yang masih bertopang dagu, memikirkan na-
sibnya. Jika nanti Pangeran Prapanca berhasil menga-
lahkan pasukannya, tak tahu bagaimana nasibnya se-
bagai raja. Apalagi kalau mengingat nama Pendekar
Gila yang turut mendukung perjuangan kemenakan-
nya merebut takhta kerajaan. Kemarin telah disaksi-
kannya sendiri, bagaimana pendekar muda itu dengan
mudah mampu menghadapi Jenggot Naga dan si Mata
Tunggal. Padahal pendekar bertingkah laku seperti
orang gila itu belum mencabut Suling Naga Saktinya.
Sungguh suatu yang menakutkan bagi sang Raja.
"Kangmas Awangga. Apakah tidak sebaiknya,
Kangmas menyerahkan takhta kerajaan ini pada Pan-
geran Prapanca?" ujar permaisuri dengan lemah lembut, sambil mengusap perlahan
bahu Baginda Raja
Awangga. "Hm...!" gumam Baginda Raja Awangga seraya
memegangi jenggotnya yang putih. Wajahnya menoleh
pada sang Permaisuri sambil menghela napas.
"Aku mempunyai firasat buruk, Kangmas. Se-
baiknya batalkan saja niatmu itu...!" saran permaisuri dengan kesedihan.
"Ah! Dimas jangan ganggu pikiranku! Aku tak
mungkin menarik kembali perintahku. Lagi pula, Per-
dana Menteri Giri Gantra sudah berangkat. Dan aku
tidak akan menyerahkan takhta kerajaan ini pada sia-
pa pun. Apalagi pada Prapanca...!" jawab Baginda Raja Awangga dengan suara berat
Sang Permaisuri hanya diam. Tampak dari ma-
tanya menetes air bening. Wanita itu tak mampu me-
nahan perasaan sedih dan kekhawatirannya terhadap
suasana kerajaan itu.
"Sebaiknya Dimas istirahat saja! Aku ingin me-
nenangkan pikiran," ujar Baginda Raja Awangga lagi.
Nadanya kesal. Sambil menangis, sang Permaisuri meninggal-
kan Baginda Raja Awangga. Hati permaisuri itu sangat
sedih bercampur cemas yang sangat dalam.
Sementara Baginda Raja Awangga memandangi
kepergiannya dari belakang. Kemudian dia bangkit dari duduknya. Lalu mondar-
mandir, dengan kedua tangan
di belakang. Dua orang pengawal kerajaan tampak be-
rada di ruangan itu, menjaga sang Raja.
"Pengawal...!" seru Baginda Raja Awangga tiba-tiba.
"Hamba, Baginda," sahut seorang pengawal
sambil menjura.
"Antarkan aku ke ruang siksa bawah tanah!"
perintah Baginda Raja Awangga, lalu melangkah pergi
meninggalkan singgasana. Diikuti dua pengawalnya.
*** Ruang siksa bawah tanah, hanya diterangi
lampu obor yang tergantung pada dinding temboknya.
Hawa di dalam lembab sekali. Di sebelah kanan ruan-
gan yang tak seberapa luas itu tampak sebuah tiang
gantungan. Salah satu ruang siksa tampak dijaga seorang
berkepala botak, bertubuh besar dengan wajah bengis.
Di dalam ruangan itu tampak seorang lelaki berusia
enam puluh tahunan bertubuh kurus dengan rambut
dan jenggot panjang yang telah memutih. Lelaki itu
ternyata Prabu Jayawangga, mantan penguasa Kera-
jaan Surya Langit yang digulingkan oleh Baginda Raja
Awangga. Wajah ayahanda Pangeran Prapanca itu me-
nyiratkan suatu penderitaan berat telah menghimpit
jiwanya. Matanya tampak cekung. Wajahnya pucat pa-
si tanpa rona ceria sedikit pun. Derita panjang telah meluluh lantakkan jiwanya
sebagai seorang raja yang
sangat dicintai rakyatnya.
Prabu Jayawangga tampak terkulai dengan be-
ralaskan kain tebal yang sudah usang. Napasnya ter-
dengar berat, sepertinya dirasakan sangat sesak.
Pada ruang penjara yang lain nampak para ta-
wanan, bekas prajurit dan tokoh-tokoh istana yang se-
tia dengan Prabu Jayawangga. Ada delapan orang di
dalam ruangan yang lebih lebar dari tempat sang Raja.
Kedelapan orang itu nampak masih agak sehat. Dua di
antara mereka masih muda. Sedangkan enam lainnya
berumur sekitar empat puluh tahunan.
Penjara itu pun dijaga seorang berbadan tinggi
besar dan berwajah angker. Hidungnya yang besar
tampak kembang kempis. Matanya yang tajam terus
mengawasi sekeliling tempat itu. Tangannya yang be-
sar memegang cambuk.
Tak lama kemudian datang Baginda Raja
Awangga, dikawal dua prajurit kerajaan. Penjaga cepat memberi hormat, dengan
Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membungkukkan badan.
"Buka ruangan itu!" perintah Baginda Raja
Awangga pada penjaga yang berkepala botak.
Penjaga segera membuka pintu penjara yang
terbuat dari besi itu. Suara pintu besi itu terdengar menyakitkan telinga. Prabu
Jayawangga nampak masih terkulai lemas, seakan tak mendengar apa-apa.
"Hei! Bangun...! Ayo bangun!" bentak penjaga sambil mengguncang-guncangkan tubuh
lelaki tua itu.
Dengan malas Prabu Jayawangga membuka
mata, lalu bergerak bangun dengan perlahan.
Baginda Raja Awangga menatapnya dengan wa-
jah sinis. Tak ada rasa belas kasihan. Bahkan dengan
kasar ditendangnya tubuh Prabu Jayawangga
"Hei, Tua Bangka! Dengar, sebentar lagi aku
akan lebih berkuasa. Kerajaan Surya Langit tetap men-
jadi milikku. Dan putramu, tak lama lagi mampus di
tangan orang-orangku. Ha ha ha...! Dan kau akan mati
dalam penjara ini. Ha ha ha...!" Baginda Raja Awangga tertawa keras dan
terbahak-bahak sambil berkacak
pinggang. "Tak ada orang yang berani menentangku. Aku-
lah raja sejati. Kau kini jadi budakku! Ha ha ha...! Dan hanya akulah yang
pantas menjadi Raja Surya Langit..!" Baginda Raja Awangga nampak tertawa-tawa
seperti orang kurang waras. Semua itu untuk menutu-
pi kecemasan dan kekhawatirannya yang amat besar.
Sebenarnya Baginda Raja Awangga merasa cemas,
bahwa takhtanya akan dapat diruntuhkan oleh Pange-
ran Prapanca yang dibantu Pendekar Gila. Oleh karena
itu, tak mengherankan kalau sesungguhnya hatinya
tak tenang. Sedangkan Prabu Jayawangga hanya diam dan
menunduk, lalu ambruk, ketika Baginda Raja Awangga
menendangnya. "Beri makan orang tua ini sebanyak-
banyaknya! Karena tak lama lagi dia akan mati...!" se-ru Baginda Raja Awangga
pada penjaga. "Baik, Baginda Raja...," jawab penjaga sambil menjura.
Baginda Raja Awangga lalu pergi meninggalkan
penjara itu dengan wajah muram. Diikuti oleh dua
pengawalnya. Sementara lelaki tua berambut putih
panjang dan berjenggot putih itu nampak kembali ter-
kulai "Aku setiap malam berdoa, meminta pada
Hyang Widhi. Agar Kerajaan Surya Langit kembali di-
rebut oleh putraku...."
Terdengar suara lirih dari dalam penjara yang
pengap dan lembab itu.
"Ya. Karena Pangeran Prapanca-lah yang lebih
pantas menjadi raja di Kerajaan Surya Langit Karena ia putra mahkota. Hanya
karena kelicikan dan keseraka-han Awangga dan Giri Gantra berhasil menghasut ra-
kyat, untuk menjatuhkan Kanjeng Prabu."
Terdengar suara lain dari ruang penjara di se-
belahnya. Suasana hening, sehingga suara-suara itu
terdengar meskipun agak lirih.
"Kalau nanti Pangeran Prapanca berhasil mere-
but kerajaan ini, aku bersumpah akan memotong
rambutku yang panjang ini. Sebagai tanda syukur.
Dan, akan kusobek perut Giri Gantra yang buncit itu!"
sambung yang lainnya dengan suara geram.
Lalu para tahanan tertawa-tawa. Seakan mere-
ka merasa yakin kalau Pangeran Prapanca bakal
memperoleh kemenangan.
Tiba-tiba penjaga marah mendengar suara tawa
mereka. Maka dengan keras penjaga membentak. Na-
mun orang-orang itu tetap saja tertawa terbahak-
bahak. Maka penjaga membuka pintu, lalu masuk dan
menghajar orang-orang itu. Keributan terjadi. Orang-
orang itu melawan. Namun akhirnya menyerah, karena
penjaga menggunakan cambuk untuk menyiksa mere-
ka. Begitulah keadaan penjara bawah tanah. Orang
luar tak tahu apa yang terjadi di dalam ruangan bawah tanah itu. Tak tahu
bagaimana kejamnya orang-orang
Baginda Raja Awangga.
*** 7 Matahari telah condong ke arah barat pertanda
hari menjelang sore. Angin berhembus semilir, diting-
kahi suara kicau burung yang pulang ke sarang.
Dari kejauhan tampak serombongan pasukan
bergerak ke barat. Rombongan pasukan itu dipimpin
Perdana Menteri Giri Gantra. Rombongan terbagi em-
pat kelompok yang dipimpin empat kaki tangan Perda-
na Menteri Giri Gantra. Yaitu Jembel Pilarang, Kala
Prana, memimpin kelompok di depan. Sedangkan seki-
tar dua puluh lima tombak di belakang mereka, telah
siap tiga kelompok yang masing-masing dipimpin Se-
pasang Toya Setan, Kati Asem, Hiwa Krana dan si Mata
Tunggal berpasangan dengan Jenggot Naga.
Jika kelompok terdepan menghadapi bahaya,
maka tiga kelompok yang ada di belakang akan segera
membantu. Sungguh suatu siasat perang yang hebat.
Untuk melaksanakan siasat itu, tak tanggung-
tanggung hampir lima puluh prajurit diikutsertakan.
Dan telah tertanam perintah di benak mereka, untuk
menangkap Pangeran Prapanca hidup atau mati. Jika
gagal, sudah dapat dibayangkan akibatnya. Mereka
akan dihukum penggal kepala!
Mata para prajurit terus mengawasi daerah Hu-
tan Bambu, yang sudah semakin dekat. Nampak di
wajah mereka tersirat ketegangan.
Pasukan kerajaan yang dipimpin Perdana Men-
teri Giri Gantra semakin dekat Kini mereka sudah be-
rada di mulut Hutan Bambu yang tampak sunyi dan
sepi. Tak terdengar suara orang, maupun burung.
Pasukan Kerajaan itu terus maju, mendekati
Hutan Bambu. Mereka tampaknya tak menaruh rasa
curiga sedikit pun kalau Pangeran Prapanca dan ka-
wan-kawan mengetahui kedatangan mereka.
Ketika pasukan prajurit kerajaan memasuki
Hutan Bambu, tiba-tiba kelompok paling depan mun-
dur kembali. Ternyata dari dalam hutan menghadang
prajurit lain berjumlah sekitar dua puluh orang. Mere-ka dipimpin Ki Jalna
Wangga dan Pranala, serta Manik
Jingga. Perdana Menteri Giri Gantra terkejut bukan
main. Wajahnya mendadak berubah pucat. Apalagi ke-
tika dia tahu kalau pasukannya telah terkepung. Di
belakang mereka, telah berjajar setengah lingkaran pa-ra pemuda dan orang tua
penduduk desa. Mereka ber-
senjatakan golok, tombak, dan pentungan. Tampak di
depan pasukan penduduk desa itu Mei Lie dan Manik
Belang. Namun mereka tak melihat Pangeran Prapanca
maupun Pendekar Gila.
Perdana Menteri Giri Gantra semakin cemas
dan ketakutan. Keringat telah membasahi wajahnya
yang nampak pucat dan ketakutan. Hatinya hampir
tak percaya apa yang tampak di depan mata.
Perdana Menteri Giri Gantra sama sekali tak
menyangka kalau Pangeran Prapanca ternyata telah
mempersiapkan pasukan sebanyak itu. Pihak kerajaan
tak pernah berpikir kalau Pendekar Gila yang terus
mendampingi sang Pangeran telah ikut mengatur sia-
sat hebat ini. Pendekar Gila memang memberi saran
kepada putra mahkota itu agar mempersiapkan jeba-
kan. Karena nalurinya mengatakan bahwa pasukan
kerajaan akan mendahului, menyerbu Hutan Bambu.
Kini pasukan kerajaan telah terkepung para
pendukung Pangeran Prapanca. Perlahan tapi pasti,
pasukan yang dipimpin Mei Lie dan Manik Belang te-
lah bersiap siaga, mendekati mereka. Sedangkan dari
dalam Hutan Bambu prajurit yang dipimpin Ki Jalna
Wangga, Pranala, dan Manik Jingga terus mendesak
pasukan Kerajaan Surya Langit. Sehingga, kini pasu-
kan Kerajaan Surya Langit benar-benar terkurung. Tak
bisa bergerak. Maju mereka dihadang Mei Lie dan pa-
sukannya, mundur pun Ki Jalna Wangga dan orang-
orangnya telah siap tempur.
"Tak kusangka Ki Jalna Wangga memihak pada
Pangeran Prapanca...," gumam Perdana Menteri Giri Gantra dengan bibir gemetar.
Dia merasa cemas melihat kekuatan Pangeran Prapanca makin kuat. Perdana
Menteri Giri Gantra tahu kehebatan ilmu Ki Jalna
Wangga. "Ha ha ha...! Hi hi hi...! Lucu! Lucu sekali kau, Perdana Menteri! Mukamu kenapa
jadi seperti tikus
sawah..." Hi hi hi...!"
Tiba-tiba terdengar tawa mengejek dari seseo-
rang. Perdana Menteri Giri Gantra semakin cemas dan
takut. Sebentar-sebentar tangannya mengelap keringat
di kening. Tak lama kemudian, berkelebat dua sosok
bayangan melesat begitu cepat
Werrr! Perdana Menteri Giri Gantra makin gemetaran,
melihat kedua sosok bayangan itu. Kedua sosok
bayangan itu ternyata Pendekar Gila dan Pangeran
Prapanca. Mereka berdua sengaja memisahkan diri da-
ri kelompok Mei Lie dan Ki Jalna Wangga. Pendekar
Gila dan Pangeran Prapanca berdiri dekat dengan pa-
sukan kerajaan yang dipimpin Perdana Menteri Giri
Gantra. "Ah ah ah...! Kenapa kau pucat Giri Gantra..."!
Rupanya tikus-tikus busuk ini terperangkap, Pange-
ran. Hi hi hi...!" ujar Pendekar Gila sambil cekikikan dan menggaruk-garuk
kepala. Belum selesai ejekan Pendekar Gila, terdengar
lagi dari arah belakang.
"Aku sudah berjanji untuk mencabut nyawamu,
Giri Gantra! Manusia macam kau harus menerima
ganjaran yang setimpal...!" suara Ki Jalna Wangga terdengar lantang dan penuh
amarah. Perdana Menteri
Giri Gantra semakin tak berkutik. Keringat dingin mu-
lai membasahi sekujur tubuhnya.
"Kini tiba saatnya kau dan orang-orangmu me-
nyerah...!" teriak Pranala dari jarak sekitar lima belas tombak.
"Tidak...! Tidak. Ayo serang...!" perintah Perdana Menteri Giri Gantra pada
pasukannya. Namun para prajurit kerajaan tak langsung
menyerang. Juga si Mata Tunggal dan Jenggot Naga
yang tadi minta mengundurkan diri. Kedua tokoh per-
silatan itu diam. Namun para jago aliran hitam lain-
nya, seperti Jembel Pilarang, Sepasang Toya Setan, Setan dari Rimba Merawan, dan
Hiwa Krana, mulai ber-
gerak maju. Sambil memerintahkan para prajurit
Pertempuran antara dua kekuatan pun pecah.
Para prajurit Kerajaan Surya Langit bertempur mela-
wan pasukan yang mendukung perjuangan Pangeran
Prapanca. Mereka kebanyakan orang desa yang ber-
senjatakan golok, bambu runcing, kapak, parang, dan
sebagainya. Sedangkan para tokoh persilatan aliran hitam,
menghadapi para pendekar yang bergabung dengan
Pangeran Prapanca.
"Hi hi hi...! Mari kita sambut tikus-tikus itu!"
ajak Pendekar Gila sambil cekikikan. "Heaaa...!"
"Serbuuu...!"
Mulai terdengar jeritan melengking tinggi. Seke-
tika Hutan Bambu yang semula hening berubah ramai.
Hiruk-pikuk dan dentang suara senjata beradu pun
terdengar memecah suasana. Sesaat kemudian, tam-
pak berjatuhan korban dari kedua belah pihak. Darah
pun tampak, berceceran mewarnai tanah tempat per-
tempuran. Pendekar Gila dan kawan-kawan pendukung
Pangeran Prapanca pun mulai bergerak menghalau se-
tiap lawan yang menyerang dan membunuh putra
mahkota itu. Pedang di tangan mereka berkelebatan
cepat. Bagaikan malaikat pencabut nyawa memburu
setiap lawan yang menyerang.
Pembantaian yang dilakukan pihak kerajaan
pun tak kalah hebatnya. Jembel Pilarang dan Hiwa
Krana, serta Setan dari Rimba Merawan, tampak se-
makin buas dan beringas, membantai prajurit Pange-
ran Prapanca. Pendekar Gila dengan cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala, meliuk-liuk mengelak setiap
serangan lawan yang berusaha menggebraknya. Lima
orang panglima rendah kerajaan dengan golok di tan-
gan, membabat Pendekar Gila yang nampak tenang
dan menggaruk-garuk kepala.
"Heaaa....!"
Wret! Wret! "Hi hi hi...!"
Pendekar Gila justru tertawa-tawa, dan ber-
tingkah aneh. Tubuhnya melenting ke udara. Kemu-
dian dengan jurus 'Si Gila Terbang Menyambar Ayam'
tahu-tahu kaki kanan dan tangannya sudah mengha-
jar kelima lawan.
Plak! Bukkk..! "Aaakh...!"
"Aaau...!"
Seketika kelima panglima itu terpental dengan
tubuh berputar, lalu jatuh. Kelimanya langsung tak
berkutik lagi. Pendekar Gila mengerutkan kening dan meng-
garuk-garuk kepala. Namun tiba-tiba dari belakang,
kembali lima orang andalan kerajaan menyerang Pen-
dekar Gila. Rupanya Pendekar Gila sudah mengeta-
huinya. Dengan gerakan cepat, sebelum serangan la-
wan sampai, Pendekar Gila telah mendahului dalam
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Pukulan telapak tangannya yang tampak
lemah dan lamban sempat
membuat lawan tersentak kaget. Maka....
Plak! Bukkk! "Aaa...!"
Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaakh...!"
Serangan itu mendarat telak di dada kelima la-
wan. Tak ampun lagi, tubuh kelima prajurit kerajaan
itu bergulingan dan tak berkutik lagi.
Sementara itu, Ki Jalna Wangga atau si Puku-
lan Petir berusaha menangkap Perdana Menteri Giri
Gantra yang hendak kabur. Namun empat prajurit ke-
rajaan menghadangnya. Dengan golok, mereka babat
ke tubuh Ki Jalna Wangga. Lelaki tua berambut pan-
jang itu tampaknya tak ingin berlama-lama mengha-
dapi keroco-keroco itu. Dengan gerak cepat Ki Jalna
Wangga melenting, lalu memutar tubuh di udara. Den-
gan cepat pula kakinya menghajar keempat prajurit
yang menyerangnya.
"Heaaa...!"
Plak! Bukkk! "Aaa...!"
"Wadau...!"
Seketika keempat prajurit itu terjungkal tak
bernyawa lagi. Ki Jalna Wangga terus melompat, men-
gejar Perdana Menteri Giri Gantra yang berusaha ka-
bur. Beberapa kali tubuhnya yang terbalut jubah cok-
lat itu melenting, melewati lawan yang berusaha
menghadang. Lalu ketika hampir berhasil menangkap,
tiba-tiba Sepasang Toya Setan menghadang Ki Jalna
Wangga. Sepasang Toya Setan bergerak dengan cepat
memutar senjata mereka hingga menimbulkan den-
gungan yang memekakkan telinga.
Ki Jalna Wangga tersentak mendapat serangan
tiba-tiba itu. Beruntung dia tetap waspada sehingga
dengan cepat mendoyongkan tubuhnya ke samping.
Serangan pun terelakkan. Kemudian, tanpa berpikir
panjang, Ki Jalna Wangga langsung balas menyerang
dengan pukulan lurus, disertai tenaga dalam yang
kuat. "Heaaa...!"
Wuuut! "Hah..."!"
Sepasang Toya Setan tersentak kaget. Hampir
saja pukulan lawan menghunjam ulu hati, kalau saja
keduanya tidak cepat berkelit dengan memutar tubuh.
Sementara tangan yang memegang toya turut bergerak
menangkis pukulan lawan.
"Hih...!"
Prak! "Aaa...!"
Dua toya beradu dengan tangan Ki Jalna
Wangga. Dari benturan keras itu terpecik bunga api.
Ternyata Ki Jalna Wangga menggunakan jurus
'Pukulan Petir' andalannya. Lalu kedua pemilik senjata itu dengan cepat melompat
ke belakang. Wajah Sepasang Toya Setan berubah pucat, ketika tangannya di-
rasakan bergetar akibat benturan dengan tangan Ki
Jalna Wangga. Bahkan mereka merasa ada hawa pa-
nas seperti terbakar di dada. Keduanya sadar kalau
lawan bukan orang sembarangan. Tenaga dalam lawan
ternyata berada jauh di atas mereka. Sepasang Toya
Setan tak menduga akan hal itu.
Sesaat mata mereka saling berpandangan.
Nampak ketenangan di wajah Ki Jalna Wangga. Seper-
tinya si Pukulan Petir itu tak merasa kesakitan atas
benturan tadi. Hal itu membuat Sepasang Toya Setan
semakin penasaran bercampur marah. Keduanya
mendengus, kemudian kembali melakukan serangan.
"Heaaa...!"
Sepasang Toya Setan melesat cepat menyerang.
Ki Jalna Wangga segera bergerak mundur mengelak
sambil mengegoskan kaki kanan dan kin, lalu dengan
cepat balik menyerang. Kedua tangannya menghantam
dan menyambar dengan cepat dan beruntun ke bagian
tubuh yang mematikan.
Sepasang Toya Setan yang tahu kehebatan 'Pu-
kulan Petir', berusaha menghindari bentrokan. Kedua-
nya berusaha menjaga jarak. Namun tiba-tiba Sepa-
sang Toya Setan terkejut ketika serangan Ki Jalna
Wangga berkelebat cepat dan keras ke tubuh mereka.
"Heh..."! Gawat! Celaka...!" pekik salah satu da-ri Sepasang Toya Setan. Dia tak
menyangka kalau la-
wan yang semula dianggap enteng ternyata memiliki
serangan yang sangat berbahaya. Kalau tidak hati-
hati, dalam beberapa gebrakan saja mereka dapat di-
kalahkan. Ki Jalna Wangga yang melihat Sepasang Toya
Setan tampak kewalahan, tak menyia-nyiakan kesem-
patan itu. Dengan 'Pukulan Petir'nya, secara tiba-tiba Ki Jalna Wangga
menghantam tubuh lawan.
"Heaaa...!"
Glarrr! "Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Sebuah ledakan terdengar, ketika 'Pukulan Pe-
tir' yang dilancarkan Ki Jalna Wangga menghantam
tubuh Sepasang Toya Setan. Tak ampun lagi, kedua le-
laki kekar bersenjata toya itu terpental beberapa tombak ke belakang. Jeritan
keras terdengar dari mulut
keduanya, karena menahan rasa sakit yang hebat. Ke-
dua tubuh itu bergulingan di tanah dengan dada go-
song seperti terbakar. Sesaat kemudian Sepasang Toya
Setan tewas dengan tubuh kaku.
Ki Jalna Wangga menghela napas dalam-dalam,
lalu segera melesat dengan mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuh. Maksudnya tak lain mengejar Perdana
Menteri Giri Gantra, yang melarikan diri dari tempat
pertempuran. Di tempat lain, nampak Mei Lie dikeroyok Jem-
bel Pilarang dan Hiwa Krana. Pertarungan mereka su-
dah berjalan cukup lama. Nampaknya Mei Lie belum
mau menaklukkan atau membunuh lawannya. Gadis
Cina itu belum mengeluarkan jurus ampuhnya, jurus
'Pedang Tebasan Batin'. yang mampu menghancurle-
burkan tubuh lawan dengan sentuhan Pedang Bidada-
ri. "Heaaa...!"
Mei Lie melenting ke udara ketika dua lawan-
nya menyerang dengan menusukkan pedang ke dada
Mei Lie. Setelah mendarat dengan sempurna, Bidadari
Pencabut Nyawa itu membuka serangan cepat. Pe-
dangnya diputar begitu cepat hingga menyerupai bal-
ing-baling. Dari gerakan pedang itu keluar suara men-
deru yang keras. Pedang itu mampu mengeluarkan si-
nar kuning kemerahan.
"Hah"!"
Jembel Pilarang dan Hiwa Krana terbelalak ka-
get, menyaksikan jurus maut itu. Namun keduanya
tak mau mengalah begitu saja. Dengan cepat mereka
membuka jurus-jurus andalan.
"Heaaa...!"
"Hiaaat...!"
Trang! Trang! Pedang mereka beradu, mengeluarkan percikan
api. Kemudian dengan cepat dan sukar ditangkap ma-
ta biasa, Mei Lie tiba-tiba melenting dan bersalto beberapa kali di udara.
Tangan kirinya bergerak memukul
ke depan. Sementara pedangnya berkelebat menebas
ke tubuh kedua lawan.
"Hiaaa...!"
Wut! Crab! "Akh...!"
"Heaaa...!"
"Hiaaat..."
Pekikan tertahan keluar dari mulut Jembel Pi-
larang dan Hiwa Krana. Keduanya pun tak mampu
menutupi keterkejutan mereka. Betapa tidak" Tubuh
mereka tak terluka sedikit pun. Padahal jelas tertebas Pedang Bidadari. Namun
sesaat kemudian kedua tubuh lelaki itu terbelah jadi dua dan ambruk ke tanah.
Yang lebih mengejutkan, tubuh keduanya tiba-tiba
hancur menjadi debu. Itulah akibat jurus 'Pedang Te-
basan Batin'! Para prajurit yang sedang bertarung sempat
terkejut dengan membelalakkan mata. Mereka merasa
takjub bercampur ketakutan. Dan kesempatan itu di-
gunakan oleh pasukan Pangeran Prapanca untuk me-
nyerang dan menghabisi prajurit Kerajaan Surya Lan-
git. "Serang...! Majuuu...! Hantam mereka...!" seru para pendukung Pangeran Prapanca.
Pertempuran semakin seru. Banyak di antara
para prajurit yang membabi-buta karena marah. Mayat
pun bergelimpangan di sana-sini, dalam keadaan men-
gerikan. Darah segar tercecer di mana-mana, memba-
sahi tanah di Hutan Bambu itu.
Buto Gege dan Pranala pun tak kalah perka-
sanya. Keduanya telah banyak merobohkan lawan-
lawannya. Demikian juga dengan Manik Jingga dan
Manik Belang, yang dengan gigih menghadapi prajurit
kerajaan. Si Mata Tunggal dan Jenggot Naga, yang sebe-
lumnya sudah menentang Perdana Menteri Giri Gan-
tra, dan ingin mengundurkan diri, menyerah begitu sa-
ja ketika Pranala hendak membunuh mereka.
"Aku menyerah. Tapi jangan bunuh aku! Se-
mua ini kulakukan, karena tekanan dari Baginda Raja
Awangga dan perdana menteri pengecut itu. Ampuni
kami...!?" ujar Jenggot Naga memohon pada Pranala.
"Benar, Kisanak. Ampunilah kami! Kami berjan-
ji tak akan mengganggu Pangeran Prapanca!" sambung si Mata Tunggal.
"Tidak...! Kalian antek-antek kerajaan. Aku tak
bisa mengampuni!"
Jenggot Naga dan si Mata Tunggal saling pan-
dang. Pasrah. Pranala mengangkat pedangnya tinggi-
tinggi. Dan ketika pedang itu diayunkan ke tubuh ke-
dua lawannya, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat
cepat. "Tunggu...!"
Suara itu keluar dari mulut Mei Lie yang sudah
berada di dekat Pranala. Gadis itu berusaha mencegah
Pranala yang sudah tak mampu menahan dendamnya.
"Hei..."! Apa maksudmu menghalangiku, Mei
Lie...?" tanya Pranala dengan nada kurang senang.
"Sabar Pranala! Kita tak boleh membunuh atau
melukai lawan yang sudah menyerah dan minta am-
pun...," ujar Mei Lie dengan sabar dan tenang, mencoba menyadarkan Pranala.
"Benar apa kata Nini Mei Lie. Sebaiknya, biar
kedua orang ini kita bebaskan. Apalagi keduanya telah menjelaskan, bahwa
sebenarnya sudah merasa muak
dengan perdana menteri pengecut itu," tambah Buto Gege yang baru saja
menaklukkan lawan-lawannya.
"Tidak...! Tidak! Kalian jangan bermurah hati
pada kedua orang ini! Aku harus membunuh mere-
ka...!" tegas Pranala penuh kemarahan dan dendam.
"Baiklah kalau itu yang kau kehendaki. Tapi in-
gat, jangan harap aku dan Pendekar Gila akan terus
membantumu. Huh!" sungut Mei Lie, lalu bergegas
pergi. Begitu juga dengan Buto Gege. Sambil mengge-
lengkan kepala, lelaki bertubuh raksasa itu kembali
menghadapi orang-orang kerajaan yang semakin ber-
kurang. Demikian pula Mei Lie. Gadis Cina itu tampak
kesal. Maka ketika lima orang prajurit kerajaan meng-
hadangnya, langsung dibabat.
"Heaaa...!"
Cras! Cras! "Aaa...!"
Jeritan kematian terus terdengar menyayat ha-
ti. Namun mereka tak menghiraukan. Pertarungan se-
makin seru. Pihak kerajaan tampak mulai mengendur
dan terdesak. Para tokoh aliran hitam yang disewa Ke-
rajaan Surya Langit, satu persatu bertumbangan. Te-
was! Pangeran Prapanca tak kalah lincah dan gagah.
Beberapa orang lawan telah berhasil dilumpuhkannya.
Tendangan dan pukulannya tak kenal ampun, terus
menghajar setiap lawan yang berusaha menangkap-
nya. "Kalian mencari mampus!" dengus Pangeran Prapanca gusar, kemudian tanpa
banyak kata lagi tubuhnya berkelebat melabrak dua orang lawannya. Me-
reka merupakan tokoh aliran hitam yang cukup beril-
mu lumayan, Kali Wangsa dan Catur Abang. Keduanya
berasal dari Partai Iblis dari selatan.
"Awas...!" pekik Catur Abang dengan mata
membelalak menyaksikan serangan yang begitu men-
dadak dan cepat. Tangannya mendorong Kali Wangsa,
sedangkan tubuhnya dengan cepat dibuang ke kiri un-
tuk mengelakkan tusukan lawan. Ternyata dugaannya
meleset Pangeran Prapanca dengan sangat cepat dan
sulit diduga melancarkan sebuah tendangan keras.
"Heaa...!"
Deg! "Aaa...!"
Tak ampun lagi, tendangan yang disertai tenaga
dalam tinggi itu mendarat telak di lambung Catur Ab-
ang. Tubuh lelaki berpakaian merah itu terdorong de-
ras ke belakang. Sehingga akhirnya membentur se-
buah batu besar.
Brukkk! Kepala Catur Abang langsung pecah dan ber-
hamburan di tanah. Seketika itu juga Catur Abang te-
was! Hal itu membuat Kali Wangsa seketika terkejut.
Sulit sekali diikuti gerakan yang dilakukan Pangeran
Prapanca. Dan belum juga hilang rasa kaget di ha-
tinya, tiba-tiba dikejutkan oleh serangan cepat yang dilakukan putra mahkota
itu. Sebuah tusukan keris me-
lesat ke dadanya. Mau tak mau Kali Wangsa segera
menjatuhkan diri untuk mengelakkan serangan itu.
Tangannya yang terasa sakit langsung digerakkan,
memukul ke arah selangkangan lawan yang dengan
cepat memapaskan kerisnya ke bawah.
Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Edan! Celaka...!" pekik Kali Wangsa.
Kali Wangsa berusaha menarik pukulannya,
tapi tebasan keris lawan ternyata jauh lebih cepat dibanding gerakannya. Tanpa
ampun lagi, keris Pange-
ran Prapanca menyambar tangan Kali Wangsa.
Cras! "Aaa...!"
Pekik kesakitan pun keluar dari mulut Kali
Wangsa. Disusul dengan sebuah tendangan cepat
menghantam dadanya. Tak ayal lagi, tubuh Kali Wang-
sa terpental enam tombak, dan melintir. Kemudian
ambruk dan tewas!
Sementara itu, Pendekar Gila tampak tengah
bertarung melawan Setan dari Rimba Merawan. Mak-
hluk bertubuh besar dan berkepala seperti gorila itu
tampaknya menyimpan dendam kesumat pada Pende-
kar Gila. Hal itu karena dalam pertarungan di dalam
Istana Kerajaan Surya Langit kemarin, Pendekar Gila
sempat membuatnya malu di depan Baginda Raja
Awangga. Bahkan tangan kirinya terluka.
"Kali ini kau tak akan bisa berbuat banyak,
Pemuda Gila...!" rungut Setan dari Rimba Merawan sambil membuka serangan.
Tubuhnya melesat ke depan dengan tangan menyambar cepat. Tangan kanan-
nya membentuk siku dengan kepalan ke atas. Sedang-
kan tangan kirinya diputar, lalu dihentakkan meng-
hantam dada lawan.
Melihat lawan melakukan serangan, dengan ce-
pat Pendekar Gila menggerakkan tubuhnya. Tangan-
nya diangkat lurus ke atas dengan telapak saling ber-
hadapan. Kaki kanan diangkat sampai ke lutut, lalu
direntang ke kanan, diikuti gerakan membuka kedua
telapak tangan. Selanjutnya terlihat gerakan seperti
menari. Tangan kanan masih di atas, sedangkan tan-
gan kiri lurus ke bawah.
"Yeaaat..!"
Dengan menggunakan jurus 'Kera Gila Meram-
bah Rimba' Pendekar Gila berteriak nyaring, lalu den-
gan cepat tubuhnya melesat ke depan. Tangan kanan-
nya yang semula di atas, kini menyibak ke depan. Se-
dangkan tangan kirinya diangkat ke atas lalu dite-
ruskan memukul ke tubuh lawan.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Dua tokoh berilmu tinggi itu kini telah sama-
sama melesat untuk melakukan serangan. Tangan dan
kaki mereka bergerak lincah, seirama dengan gerakan
tubuh. Tangan keduanya bergantian melakukan se-
rangan dan pertahanan. Sedangkan kedua kaki saling
menyapu ke kaki lawan.
"Ha ha ha...! Akhirnya kau akan mampus, Pen-
dekar Gila. Yeaaa...!"
Dengan suara lantang penuh keangkuhan, Se-
tan dari Rimba Merawan melesat cepat melakukan se-
rangan. Tangan kanannya menghantam dada Pendekar
Gila. Sedangkan tangan kiri membentuk pertahanan di
depan wajah. "Uts...! Hih! Hi hi hi...!"
Pendekar Gila menggeser kaki kanan ke samp-
ing dan kaki kiri ke kanan, lalu dilangkahkan ke de-
pan. Diikuti pukulan keras telapak tangan.
"Huh"! Edan...!" maki Setan dari Rimba Mera-
wan kaget. Segera ditariknya pukulan tangan kanan,
lalu diganti dengan tangkisan tangan kiri. Setelah itu, kakinya digerakkan
menendang. Pendekar Gila meliukkan tubuhnya ke bawah.
Tangannya bergerak menyambar kaki lawan. Hal itu
memaksa manusia berwajah gorila itu menarik seran-
gan dengan cepat. Matanya semakin membelalak me-
nyaksikan jurus Pendekar Gila yang aneh.
"Hah..."! Jurus apa itu"!" gumam Setan dari Rimba Merawan kaget, seraya
melangkah ke belakang,
mengelakkan cengkeraman yang dilakukan Pendekar
Gila. Kemudian makhluk aneh itu menyodorkan puku-
lan tangan kanannya ke tulang rusuk Pendekar Gila.
"Heaaa...!"
"Weits! Hi hi hi,..!"
Pendekar Gila menggeser kaki kiri. Tubuhnya
dimiringkan ke kanan. Menjadikan pukulan tangan
lawan melesat di depan. Kemudian dengan cepat se-
rangan tangan kirinya dilontarkan ke samping.
"Hah..."!"
Setan dari Rimba Merawan melotot kaget. Tu-
buhnya melompat cepat sambil bersalto ke belakang,
mengelakkan serangan Pendekar Gila.
"Edan! Pemuda gila ini benar-benar berilmu
tinggi! Baru kali ini aku mendapat lawan tangguh,"
gumam Setan dari Rimba Merawan dalam hati. Namun
lelaki yang tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu kasar ini
pun memiliki ilmu silat yang tinggi. Bahkan juga me-
miliki ilmu setan yang sangat berbahaya.
*** 8 "Hi hi hi...! Aha, kenapa kau bengong..."!
Heaaa...!"
Pendekar Gila tertawa cekikikan mengejek
sambil melancarkan serangan. Setan dari Rimba Me-
rawan kembali tersentak kaget mendapatkan serangan
yang aneh. Dilihatnya gerakan tangan dan kaki pende-
kar muda itu lambat. Namun jika dia tidak cepat ber-
kelit, tentu cakaran dan tepukan tangan Pendekar Gila akan menghajar tubuhnya.
"Heaaa...!"
Wrets! "Heh"!"
Setan dari Rimba Merawan lebih terkejut lagi
ketika merasakan gerakan lemah bagai tak bertenaga
itu ternyata mampu mengeluarkan angin menderu ke-
ras. Sehingga dirasakan bagai topan, menyentakkan
tubuhnya. "Heaaa...!"
Setan dari Rimba Merawan cepat-cepat memu-
tar tubuhnya. Kemudian dengan gerakan cepat pula
sosok lelaki berwajah seperti gorila itu melontarkan
pukulan telapak tangan ke dada Pendekar Gila. Kemu-
dian disusul dengan gerakan tangan seperti mematuk
begitu cepat dan beruntun ke bagian-bagian tubuh
yang mematikan. Tampaknya Setan dari Rimba Mera-
wan telah mengerahkan jurus-jurus ularnya.
Pendekar Gila yang menggunakan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat', tampak meliuk ke sana kemari
menghindari patukan jurus ular lawannya. Setelah itu
tampak tubuhnya meliuk diikuti langkah kaki sambil
berusaha menyambar kaki lawan.
Namun mendadak tangan Setan dari Rimba
Merawan menyambar ke dadanya hingga menimbulkan
deru angin keras. Sedangkan Pendekar Gila yang tak
menyangka lawan akan melanjutkan serangan, tampak
agak terperanjat. Matanya membelalak, mengetahui
kalau dirinya mati langkah. Namun dengan cepat Pen-
dekar Gila menjulurkan tangan kanan, memapak tam-
paran lawan. Gerakannya seperti membelah dengan
cepat. "Heaaat...!"
Wret! Setan dari Rimba Merawan menarik tamparan
tangan kirinya. Lalu disusul dengan sebuah tendangan
keras ke selangkangan lawan. Sementara tangan ka-
nannya kini kembali mematuk ke wajah Pendekar Gila.
Mendapatkan serangan cepat, Pendekar Gila
segera melompat dengan bersalto ke belakang. Dengan
tubuh berada di udara, kakinya menjejak batang se-
buah pohon. Kemudian dengan tubuh membalik, ke-
dua tangannya disatukan, melakukan serangan den-
gan meluncur ke tubuh lawan. Inilah jurus 'Si Gila
Terbang Menerkam Mangsa', yang biasa digunakan
Sena untuk menyerang lawan dari atas.
"Heaaa...!"
Wuttt! Dengan tubuh meluncur cepat, Pendekar Gila
kini balik menyerang. Tangannya memburu tubuh Se-
tan dari Rimba Merawan, yang menangkis dengan ce-
pat setiap pukulannya.
"Heaaa...!"
Trak! Plak! Tangan mereka bergantian memukul dan me-
nangkis serangan lawan. Pendekar Gila terus merang-
sek dengan tubuh meluncur di udara. Sedangkan tu-
buh Setan dari Rimba Merawan terus mundur, sambil
menangkis dan membalas serangan lawan.
Tubuh Pendekar Gila terus melayang di udara
dalam jurus 'Si Gila Terbang Menerkam Mangsa'. Ka-
kinya terkadang berputar untuk menendang.
"Heaaat...!"
Kalau saja lawannya bukan Setan dari Rimba
Merawan yang berilmu tinggi dan banyak pengalaman,
tentu dalam beberapa gebrakan saja akan kewalahan
menghadapi serangan-serangan aneh yang dilancarkan
pemuda berpakaian rompi kulit ular itu.
Namun kini yang dihadapi Pendekar Gila tam-
paknya tokoh yang tak dapat dianggap remeh. Terbukti
sudah beberapa jurus pertarungan berlangsung, tokoh
berwajah mirip gorila itu masih tampak tegar dan be-
lum terdesak sedikit pun (Setan dari Rimba Merawan
tak lain saudara seperguruan Ki Catrik Ireng, dalam
episode "Duel di Puncak Lawu"). Jadi jurus yang digunakan Setan dari Rimba
Merawan sama dengan jurus
Ki Catrik Ireng. Dia memiliki jurus andalan 'Naga Mencakar Langit'.
"Ah, ternyata dugaanku benar. Jurus-jurus
orang ini pernah kuhadapi," gumam Pendekar Gila dalam hati, sambil terus
menyerang. "Yeaaat..!"
Pendekar Gila melempar tubuh ke belakang.
Lalu kakinya menjejak ke atas batu cadas dan berdiri
dengan kedudukan siap melakukan serangan lanjutan.
Tangannya bergerak bagaikan kera yang hendak me-
lempar. Tangan kanan diangkat ke atas setengah me-
nekuk, sedangkan tangan kirinya di perut, dengan jari-jari mencengkeram.
Pendekar Gila mengeluarkan jurus 'Kera Gila
Melempar Batu'. Melihat itu, Setan dari Rimba Mera-
wan mengerutkan kening. Tubuhnya yang besar segera
berkelebat untuk menyerang. Tangan kanannya mem-
bentuk kepala ular. Sedangkan tangan kirinya diren-
tangkan ke samping dengan jari-jari membentuk ceng-
keraman. Setelah itu tangan kanan dan kiri bergantian melakukan patukan dan
cengkeraman. Itulah jurus
'Naga Mencakar Langit', jurus andalan Setan dari Rim-
ba Merawan. "Yeaaa...!"
Wret! Wret! "Heaaa...!"
Tubuh keduanya melesat maju, siap melaku-
kan serangan berikutnya.
*** Pertarungan kedua tokoh berilmu tinggi itu se-
makin seru. Sementara, prajurit dan orang-orang an-
dalan Kerajaan Surya Langit telah banyak yang mati.
Mayat-mayat pun tampak bergelimpangan di mana-
mana. Bau anyir darah mulai menusuk hidung. Na-
mun pertempuran masih terus berlanjut.
Prajurit Kerajaan Surya Langit dan beberapa
orang andalan mulai terdesak mundur. Ada yang lari
tunggang-langgang menyelamatkan diri.
Kini gerakan yang dilakukan Pendekar Gila mi-
rip seekor kera tengah melempar batu. Gerakannya
menimbulkan deru angin keras.
Sedangkan Setan dari Rimba Merawan tak mau
tinggal diam. Tangan kanannya laksana kepala ular
naga, mematuk dan menyambar ke wajah dan dada
lawan. Sedangkan tangan kirinya mencakar dan
menghantam. "Yeaaat...!"
"Uts! Heaaa...!"
Keduanya terus berkelebat cepat dengan tan-
gan bergantian melakukan serangan dan tangkisan.
Kaki mereka pun tak tinggal diam, bergerak cepat ke
sana kemari, melakukan serangan dengan tendangan
dan sapuan. Trak! "Yeaaat...!"
"Hop...!"
Setiap kali tangan dan kaki mereka beradu,
terdengar suara keras memekakkan telinga. Dan tu-
buh keduanya melompat ke belakang. Namun tanpa
membuang-buang waktu, mereka langsung melesat
menyerang. "Yeaaat....!"
"Heaaa...!"
Tangan Pendekar Gila terus bergerak cepat se-
perti sedang melempar. Menghasilkan deru angin ken-
cang ke arah lawan, laksana gelombang angin topan
yang susul-menyusul.
Namun Setan dari Rimba Merawan tak hanya
diam melihat serangan itu. Mulutnya mendesis, tangan
kanannya bergerak laksana kepala naga. Terkadang
naik, lalu membuka untuk menangkis serangan. Dis-
usul cakaran tangan kiri ke dada Pendekar Gila.
"Sss...! Heaaa....!"
Tubuh keduanya berkelebat cepat. Kini mereka
semakin menambah daya serang. Dalam sekejap saja,
tubuh keduanya bagaikan menghilang. Yang nampak
hanya kelebatan bayangan tubuh yang bergerak san-
gat cepat.
Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Telapak tangan mereka kini bergerak cepat,
memutar-mutar dan kemudian kembali menghentak
ke depan. Kaki mereka tak tinggal diam, menendang
dan menyapu ke kaki dan tubuh lawan.
"Yeaaat..!"
Prak! Plak..! "Heaaa...!"
Keduanya melesat cepat dengan tangan siap
beradu. Tubuh mereka melayang laksana elang di uda-
ra, untuk menghantamkan pukulan ke tubuh lawan.
Wut! Glarrr....! Terdengar ledakan keras menggelegar. Tubuh
keduanya terlempar beberapa tombak ke belakang.
"Ukh...!" Pendekar Gila mengeluh tertahan setelah menginjakkan kakinya di bibir
jurang. Sementara Setan dari Rimba Merawan yang ju-
ga telah menapakkan kedua kakinya di atas tanah,
dengan licik langsung melancarkan pukulan 'Waringin
Sungsang' andalannya.
"Mampus kau, Pendekar Gila! Heaaa...!"
Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak diduganya
kalau lawan akan menyerang dengan jurus andalan.
Sebisanya dikeluarkannya pukulan 'Inti Brahma'. Dari
tangannya terpancar sinar membara membuat sekeli-
lingnya panas. Wut! Glarrr! "Aaakh...!"
Pendekar Gila memekik keras. Tubuhnya ter-
lempar jauh ke dalam jurang. Sedangkan Setan dari
Rimba Merawan terdorong dengan keadaan terluka da-
lam. Dari bibirnya meleleh darah kehitaman.
Mei Lie yang sempat melihat kejadian itu, ter-
sentak kaget. Matanya terbelalak lebar, cemas.
"Sena...!" pekik Mei Lie khawatir sambil melompat ke tepi jurang. "Kakang
Senaaa...!"
Tak terdengar sahutan dari bawah jurang. Mei
Lie semakin cemas, dan marah. Tubuhnya cepat diba-
likkan. Matanya menatap tajam Setan dari Rimba Me-
rawan yang masih mengerang kesakitan. Dengan wa-
jah merah, Mei Lie tak dapat menahan amarahnya.
"Bangsat...! Kubunuh kau, Setan...!" pekik Mei
Lie. Secepat kilat tubuh Mei Lie melesat bagai ter-
bang, sambil mengangkat Pedang Bidadari ke atas ke-
pala. "Heaaat...!"
"Hah"!"
Mata Setan dari Rimba Merawan melotot. Den-
gan sisa kekuatan, dia berusaha mengelak. Tubuhnya
berguling ke samping. Mei Lie terus mencecar dengan
sabetan pedangnya yang sukar dilihat mata siapa pun.
Tebasan pedang Mei Lie dengan jurus 'Pedang Tebasan
Batin' berkelebat memburu tubuh lawan.
"Heaaat...!"
Cras! Cras! "Aaakh...!"
Setan dari Rimba Merawan memekik kaget, ka-
rena dirasakannya pedang itu menggoresnya. Namun
tak tampak ada luka sedikit pun. Matanya terbelalak
heran. Namun kemudian tubuhnya terbelah menjadi
dua, ambruk ke tanah. Matilah Setan dari Rimba Me-
rawan yang cukup sakti itu. Sesaat kemudian tubuh-
nya tiba-tiba hancur bagai abu.
Orang-orang yang melihat kejadian itu terngan-
ga, kagum, dan ngeri. Termasuk Pangeran Prapanca
dan kawan-kawan.
"Ilmu pedang yang dahsyat 'Pedang Tebasan
Batin'"!" gumam Pangeran Prapanca kagum. Kakinya melangkah mendekati Mei Lie
yang tampak masih garang. Pedangnya masih terhunus di depan dada.
"Hi hi hi...!"
Tiba-tiba terdengar tawa seseorang dari bela-
kang Mei Lie. Mei Lie tahu dan mengenal suara tawa
itu. Gadis itu cepat berbalik. Dan, wajahnya yang tadi garang, sekejap berubah
ceria. "Kakang Sena...!" pekiknya, lalu lari mengham-
piri Pendekar Gila yang masih tertawa-tawa, sambil
menggaruk-garuk kepala.
Mei Lie memeluk Sena penuh kasih sayang. Se-
dangkan Sena masih saja tertawa dan cengengesan.
Lalu menggaruk-garuk kepala.
"Kau konyol! Bikin aku sedih...," kata Mei Lie sedikit manja.
Pada saat itu pula pasukan kerajaan pun mun-
dur, lalu lari tunggang langgang. Orang-orang Pange-
ran Prapanca bergerak cepat mengejar. Begitu Setan
dari Rimba Merawan mati di tangan Mei Lie, pasukan
Kerajaan Surya Langit makin kecut dan segera men-
gambil langkah seribu. Karena mereka tak lagi memili-
ki tokoh sakti.
"Sebaiknya kita cepat ke kerajaan, Pangeran!"
usul Pranala mengingatkan.
"Benar. Ayo kita segera pergi...!" sahut Pangeran Prapanca.
Mereka kemudian segera pergi meninggalkan
Hutan Bambu, menuju Istana Kerajaan Surya Langit
Pasukan pendukung Pangeran Prapanca yang
masih hidup, terus mengejar prajurit kerajaan yang
kabur sambil berteriak-teriak.
"Bunuh...! Ayo kejar...! Hancurkan...! Hidup
Pangeran Prapanca! Hiduuup...!"
Suara-suara itu terus terdengar, sampai mere-
ka memasuki Kota Kerajaan Surya Langit.
*** Sementara itu Ki Jalna Wangga telah sampai di
istana. Tokoh berusia enam puluhan itu dihadang para
pengawal Kerajaan Surya Langit. Namun dengan te-
nang dia menghadapi lawan-lawannya. Dia yakin la-
wan berada setingkat di bawahnya dalam hal kemam-
puan ilmu silat.
"Heaaat..!"
"Yeaaa...!"
Tiba-tiba para prajurit menyerbu dengan ganas.
Plak! Plak! "Aaakh...!"
"Aaa...!"
Sekali gebrak tiga pengawal jatuh, tak bernya-
wa lagi. Kemudian Ki Jalna Wangga mendobrak pintu
gerbang istana dengan tendangan kuat disertai tenaga
dalam. Brakkk! "Kraaak...!"
Pintu gerbang Kerajaan Surya Langit ambruk.
Dengan cepat Ki Jalna Wangga mengejar Perdana Men-
teri Giri Gantra yang berusaha masuk ke pendopo
utama. "Heaaat...!"
"Hait!"
Deg! Deg! "Aaakh...!"
Perdana Menteri Giri Gantra memekik keras,
punggungnya terkena tendangan Ki Jalna Wangga.
Tubuhnya terhuyung-huyung, lalu jatuh bergulingan.
Sambil mengerang. Namun dia masih sempat menge-
lak, ketika Ki Jalna Wangga yang penuh dendam dan
kemarahan kembali menyerangnya. Perdana Menteri
Giri Gantra berguling ke samping, mengelakkan seran-
gan itu. Lalu bangkit dan lari seraya berteriak pada pa-ra prajurit yang ada
dalam istana. "Tolooong...! Pengawal...! Ada perampok! Tang-
kap...!" Perdana Menteri Giri Gantra terus berlari memasuki istana, sambil
memegangi dadanya. Darah se-
gar tampak keluar dari mulutnya, akibat luka dalam
yang parah. Ki Jalna Wangga makin geram. Bagai banteng
mengamuk, dihabisinya semua lawan yang mengha-
dang. Kaki dan tangannya menghantam dan menen-
dang prajurit yang berani melawan.
"Yeaaat..!"
"Heaaat..!"
Deg! Deg! Deg! Plak! Plak! "Mampus kalian...!" dengus Ki Jalna Wangga
geram. Lelaki berambut panjang yang juga dikenal
dengan julukan si Pukulan Petir itu seperti tak ingin memberi ampun pada lawan-
lawannya. Mayat-mayat mulai berjatuhan, korban amu-
kan Ki Jalna Wangga yang sudah kalap itu. Kerajaan
Surya Langit jadi kacau-balau, berantakan diamuk Ki
Jalna Wangga. Meskipun sudah lama mengasingkan
diri dari dunia persilatan, Ki Jalna Wangga ternyata
masih mampu menunjukkan kemampuannya. Belasan
tahun Ki Jalna Wangga bersembunyi di Bukit Yuyu
dekat Desa Kaliamba (Untuk lebih jelasnya, baca serial Pendekar Gila dalam
episode "Sepasang Maling Budiman"). Baginda Raja Awangga panik dan cemas.
Demikian juga permaisuri, setelah Perdana Menteri Giri
Gantra menjelaskan keadaan kerajaan saat itu.
"Bodoh! Kau hanya bermulut besar, Giri Gan-
tra...! Ternyata aku salah mengangkatmu menjadi per-
dana menteri! Sekarang pergi hadapi Jalna Wangga.
Jangan biarkan dia memasuki ruangan ini...! Atau aku
sendiri yang membunuhmu..."! Pergi...!" bentak Baginda Raja Awangga dengan mata
melotot. Mukanya me-
rah menahan amarah.
Perdana Menteri Giri Gantra tak bisa berbicara
apa-apa lagi. Dengan wajah pucat kakinya melangkah
pergi dari tempat itu. Baginda Raja Awangga mencabut
kerisnya, hendak pergi ke penjara bawah tanah, tem-
pat ayah Pangeran Prapanca, bekas Raja Kerajaan
Surya Langit ditahan.
"Kangmas...! Mau ke mana kau...?" tegur permaisuri sambil menghadang Baginda
Raja Awangga. "Jangan halangi aku, Dimas!" ujar Baginda Raja Awangga dengan nada marah. "Aku
harus membunuh tua bangka itu! Harus...! Sebelum aku mati di tangan
Prapanca!"
"Kau...! Kau tak boleh melakukan hal itu,
Kangmas. Dosamu sudah terlalu banyak! Kangmas,
jangan lakukan hal itu...!" cegah permaisuri sambil menangis.
Namun Baginda Raja Awangga tak peduli. Tan-
gannya disentakkan, menyingkirkan permaisuri.
"Huh...!"
"Kangmas...!" pekik permaisuri, melihat kepergian suaminya. Dia tak kuasa
mencegahnya. Baginda Raja Awangga dengan wajah merah
dan murka, terus melangkah ke ruang bawah tanah,
ditemani dua orang pengawalnya.
Sementara itu, Pangeran Prapanca dan kawan-
kawan telah tiba di Istana Kerajaan Surya Langit
Ki Jalna Wangga yang melihat kedatangan Pan-
geran Prapanca, nampak gembira. Lelaki tua itu mem-
beri isyarat, memberi tahu kalau Baginda Raja Awang-
ga ada di dalam istana.
"Saya yang akan menangkap perdana menteri
itu, Pangeran. Dan Pangeran urus Baginda Raja
Awangga...."
Pangeran Prapanca menepuk bahu Ki Jalna
Wangga. Lalu melesat ke dalam istana. Pendekar Gila
dan Mei Lie pun melesat mengikuti Pangeran Prapan-
ca. Sedangkan yang lain menghadapi pengawal dan
para prajurit kerajaan.
Suasana Kerajaan Surya Langit saat ini benar-
benar mengerikan. Pertempuran seru tak dapat dihin-
dari. Prajurit dengan beringas bertempur melawan pa-
ra pendukung Pangeran Prapanca. Istana porak po-
randa. Darah tumpah di istana. Kemarahan tak terta-
han lagi. Peperangan telah pecah kembali.
*** Baginda Raja Awangga benar-benar sudah
murka. Tak mengenal perikemanusiaan lagi. Sebelum
membunuh ayah Pangeran Prapanca, terlebih dulu ia
mau menghabisi para pengikut Prabu Jayawangga
yang berada dalam penjara bawah tanah.
"Keluarkan mereka. Cincang, lalu bunuh! Peng-
gal kepalanya!" perintah Baginda Raja Awangga dengan mata melotot lebar.
Penjaga segera membuka pintu, lalu dengan
paksa menyeret orang-orang keluar, sambil mencam-
bukinya. Satu persatu orang-orang tahanan itu hen-
dak dipenggal kepalanya. Baginda Raja Awangga sen-
diri melangkah dan membuka pintu penjara tempat
Prabu Jayawangga berada.
Lelaki berusia enam puluh tahunan itu mering-
kuk, ketika pintu penjara dibuka dengan keras. Sea-
kan jantungnya terasa sakit. Samar-samar dipandan-
ginya lelaki yang ada di ambang pintu penjara itu. Baginda Raja Awangga berdiri
dengan angkuh. Di tangan
kanannya tergenggam sebilah keris.
"Saat ini aku harus membunuhmu, Tua Bang-
ka...! Agar aku puas. Puas! Ha ha ha...!" ujar Baginda Raja Awangga seperti
orang kesurupan. Tertawa-tawa
sendiri, bicara sendiri, lalu kerisnya dihunus. Kemu-
dian melangkah mendekati Prabu Jayawangga. Bagin-
da Raja Awangga cepat mencengkeram lelaki tua itu.
"Huh!" Dengan tangan kiri Baginda Raja Awangga mengangkat tubuh mantan raja yang
sebenarnya ka-kaknya sendiri itu. Sedang tangan kanannya yang
menggenggam keris, diangkat ke atas. Kemudian di-
ayunkan hendak menusuk ke dada lelaki tua itu. Na-
mun belum sempat keris itu menyentuh tubuh ayah
Pangeran Prapanca, tiba-tiba sebuah benda memukul
tangan Baginda Raja Awangga yang menggenggam ke-
ris. Plak! "Hah..."!" pekik Baginda Raja Awangga kaget.
Keris di tangannya terlepas dan jatuh. Kepalanya sege-ra menoleh ke belakang.
Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba sebuah pukulan
mendarat di wajahnya. Sebuah benda keras yang ter-
nyata tongkat dari kayu besi. Seketika Baginda Raja
Awangga ambruk.
"Hi hi hi...! Itulah ganjaran bagi orang durjana.
Hi hi hi...!"
Suara seorang wanita tua, yang tak lain Nyi
Kemuning Sari, bekas kekasih Singo Edan. Nyi Ke-
muning Sari kemudian dengan gerakan cepat menotok
tubuh Baginda Raja Awangga. Hingga lelaki itu tak bi-
sa lagi bergerak. Seperti mati.
Tak lama kemudian muncul Pangeran Prapan-
ca, Pendekar Gila, dan Mei Lie. Ketiganya terkejut melihat mayat sudah
bergelimpangan di ruangan itu. Ter-
nyata dua penjaga dan delapan pengawal tewas dengan
kepala pecah. Mengerikan!
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil
cengar-cengir. Mei Lie mengerutkan kening, merasa
heran. Sedangkan Pangeran Prapanca menghambur ke
dalam penjara, mencari ayahnya. Namun tak ditemu-
kan.... Pangeran Prapanca nampak cemas dan kebin-
gungan. "Sena...! Mei Lie! Ayahku tak ada...! Apakah
dia..." Pangeran Prapanca tak sempat meneruskan ka-ta-katanya. Karena tiba-tiba
terkejut oleh tawa seorang wanita. Pangeran Prapanca mencari asal suara. Begitu
juga Mei Lie. Namun Sena hanya cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Dia sudah tahu siapa wanita
itu. Dan tahu, kalau ayah Pangeran Prapanca selamat.
"Hi hi hi...! Kalian semua masih kurang pintar,
dan kurang cepat bertindak..," ujar Nyi Kemuning Sari yang muncul langsung
memaki ketiga pendekar muda
itu. "Nyi Kemuning Sari...?" Pangeran Prapanca tersentak. Pendekar Gila dan Mei Lie
lalu menjura, mem-
beri hormat pada Nyi Kemuning Sari.
"Maafkan kami, Nyi..," ujar Sena kemudian. La-lu kembali menggaruk-garuk kepala.
"Saya juga mohon maaf, Nyi...!" sambung Mei Lie.
"He he he... sudahlah! Yang penting kalian se-
lamat. Dan semua ini menjadi pelajaran bagi kalian.
Sena...! Kalau Kakang Singo Edan tahu muridnya ce-
roboh, dia akan menghukummu...."
Pendekar Gila hanya diam dan terus mengga-
ruk-garuk kepala.
"Bagaimana Nyi tahu-tahu sudah berada di si-
ni...?" tanya Pangeran Prapanca keheranan. "Dan di manakah ayahku, Nyi...?"
"Hm..., Anak Muda. Tak usah kau tanya bagai-
mana aku bisa berada di sini, sebelum kalian datang.
Aku telah mengetahui, sebelum kalian tahu," jelas Nyi Kemuning Sari. "Dan kau
Prapanca, tak usah cemas, temuilah ayahmu! Aku amankan dia di sana...," kata Nyi
Kemuning Sari lagi sambil menunjuk ke sebuah
pintu. "Oh...! Terima kasih, Nyi.... Terima kasih...!"
Pangeran Prapanca menjura, lalu cepat berlari
ke pintu yang ditunjuk Nyi Kemuning Sari.
Pendekar Gila dan Mei Lie tampak gembira.
Tangan Mei Lie memegang tangan Sena dengan lem-
but. Gadis Cina itu tersenyum manis pada kekasihnya
yang hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk ke-
pala. "Sena, Mei Lie. Ayo, kita lihat bagaimana keadaan di luar...!" ajak Nyi
Kemuning Sari, lalu melesat mendahului muda-mudi itu. Pendekar Gila dan Mei Lie
merasa kagum dan bangga melihat kekasih gurunya
yang sudah tua, namun masih gesit dan berilmu ting-
gi. Kerajaan Surya Langit yang dipimpin Baginda
Raja Awangga telah runtuh. Baginda Raja Awangga ki-
ni tertangkap sebagai tawanan Pangeran Prapanca
yang kini menjadi Raja Kerajaan Surya Langit. Namun
Perdana Menteri Giri Gantra yang licik dan berhati kejam itu, ternyata dengan
licik dapat lolos, kabur entah ke mana.
Rakyat dan para pejabat kerajaan bergembira
ria menyambut bangkitnya kembali Kerajaan Surya
Langit Ki Jalna Wangga dari Pranala diangkat menjadi
perdana menteri dan panglima perang.
Pesta kemenangan, dirayakan dengan meriah.
Pendekar Gila dan Mei Lie pun nampak gembira.
Begitu Juga Nyi Kemuning Sari, serta adiknya
Buto Gege. Ternyata kebajikan akhirnya dapat meruntuh-
kan, mengalahkan dan menumpas kejahatan. Kerajaan
Surya Langit kini kembali menjadi kerajaan yang aman
dan sejahtera, di bawah kekuasaan Prabu Prapanca.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pendekar Kembar 13 Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Aneh Naga Langit 43
karang kalian akan pergi. Hari sudah mulai gelap. Lagi pula kalian belum
menyusun rencana. Tapi kalau kalian akan pergi juga, aku tak bisa melarang,"
jawab Nyi Kemuning Sari tegas.
"Kalau begitu, kita bermalam di sini saja. Besok pagi-pagi kita berangkat ke
Hutan Bambu, untuk
memberitahukan kawan-kawan kita. Rencana itu kita
rundingkan di sini," kata Pangeran Prapanca memutuskan. Karena ia tahu Nyi
Kemuning Sari bermaksud
baik. Dan wanita tua itu lebih tahu segalanya dari mereka. Sementara itu, malam
merambahi permukaan
bumi. Sepi menjadi mahkota malam yang gelap. Kabut
dingin berarak lambat, seperti iring-iringan pengantar jenazah. Mencekam! Sayup-
sayup terdengar suara burung hantu, yang meningkahi suara binatang malam.
6 Fajar telah datang. Kesunyian dirobek oleh sua-
ra jerit dan teriakan seorang lelaki yang berlari ketakutan ke timur. Tampak
tubuhnya luka parah. Rupanya
lelaki itu baru keluar dari Hutan Bambu.
Begitu cepat lari orang ini, karena ketakutan-
nya. Suara teriakan terdengar terputus-putus. Napas-
nya nampak terengah-engah.
Sampai mentari mulai meninggi, lelaki yang be-
rumur kira-kira tiga puluh delapan tahun ini masih
berlari terseok-seok
Dari arah timur muncul beberapa orang, di ba-
lik lembah. Mereka tak lain rombongan Pangeran Pra-
panca yang terdiri Pangeran Prapanca, Sena, Mei Lie,
Ki Jalna Wangga, Buto Gege serta dua lelaki teman Ki
Jalna Wangga, yaitu Manik Jingga dan Manik Belang.
Orang-orang tampak terkejut melihat sosok tubuh
yang tergeletak tak jauh di depan.
Pranala segera mendahului yang lain mendekati
laki-laki yang tergeletak itu. Disusul Ki Jalna Wangga, Pendekar Gila, dan Mei
Lie. Alangkah terkejurnya Pranala, setelah membalikkan tubuh lelaki yang
tubuhnya penuh luka kena goresan golok.
"Hah"! Ya Gusti Hyang Jagat Dewa Batara! Lu-
dira...!" gumam Pranala setelah mengenali lelaki itu.
Pangeran Prapanca segera mendekati dan ber-
jongkok di dekat lelaki yang ternyata bernama Ludira itu. Prajuritnya, yang
menjadi pimpinan prajurit dari kelompok Pangeran Prapanca.
"Ludira...," terdengar suara Pangeran Prapanca lirih. Wajahnya nampak sedih.
"Ludira, apa yang telah terjadi. Katakan...."
Ludira perlahan-lahan membuka matanya, na-
pasnya tampak sesak. Bibirnya yang kering, karena
kehausan tampak gemetaran. Perlahan mulutnya ter-
buka, untuk bicara. Namun tak terdengar suara sedi-
kit pun. Pangeran Prapanca, dibantu Pendekar Gila be-
rusaha memberikan kekuatan pada Ludira dengan
mengantar tenaga dalam ke tubuhnya. Sesaat Ludira
mulai bisa bicara lirih. Terputus-putus.
"Pang... eran... akh. Ma... maafkan sa... ya.
Akh...!" "Ya, aku telah memaafkanmu. Katakan, apa yang telah terjadi di Hutan
Bambu?" tanya Pangeran Prapanca cemas.
"Mer... mereka... menghan... curkan markas ki-
taaa... aaakh...!"
Suara Ludira tersendat-sendat. Lalu setelah be-
rucap, laki-laki itu perlahan menutup matanya kemba-
li dan menghembuskan napas yang terakhir.
Gemeretak suara gigi Pangeran Prapanca, me-
nahan amarah. Jari-jarinya mengepal keras. Matanya
nanar memandang ke depan.
"Biadab...! Akan kubalas perbuatanmu ini, Pa-
man Awangga!" dengus Pangeran Prapanca dengan suara geram.
"Pasti rencana perdana menteri laknat itu! Aku
bersumpah akan mencabik-cabik hatinya!" kata Ki
Jalna Wangga, sengit.
"Aku pun tak akan membiarkannya hidup lebih
lama di dunia ini...!" tambah Pranala tak kalah geram.
"Sebaiknya, kita cepat melihat keadaan Hutan
Bambu," ujar Sena sambil cengengesan dan mengga-
ruk-garuk kepala.
Tak banyak bicara lagi, mereka segera pergi ke
Hutan Bambu. Setelah menguburkan mayat Ludira.
Sesampainya di Hutan Bambu, Pangeran Pra-
panca dan kawan-kawan tampak sangat terpukul ha-
tinya, melihat mayat berserakan di sana-sini. Apalagi ketika melihat orang-orang
kepercayaan, dan andalannya seperti Ki Naga Wilis, Panglima Gagak Selo, Resi
Wisangkara, serta Tirta Kayon. Mati dengan sangat
menyedihkan. "Kurang ajar! Benar-benar biadab...!" geram Pangeran Prapanca marah. Hatinya
benar-benar seperti dicabik-cabik, melihat kejadian mengenaskan itu.
"Rupanya mereka menyerang pada malam hari,
atau menjelang pagi. Semua di luar perkiraan kita,"
sambut Sena dengan nada penuh penyesalan. Sambil
menggaruk-garuk kepala, dan nampak kesal.
Mayat-mayat prajurit ada yang terpotong leher-
nya, hingga hampir putus. Ada pula kedua kakinya
yang telah buntung. Sangat mengerikan! Darah berce-
ceran di mana-mana. Bau amis dan kematian pun me-
nyeruak di dalam Hutan Bambu itu.
Pangeran Prapanca terduduk di atas sebatang
pohon besar yang telah tumbang. Putra Mahkota Kera-
jaan Surya Langit itu seakan-akan semakin tak tahan
menyaksikan kebiadaban orang-orang kerajaan. Tam-
pak wajahnya termenung penuh rasa haru.
Pendekar Gila mengisyaratkan agar segera
menguburkan mayat bekas para tokoh kerajaan itu.
Mereka adalah Ki Naga Wilis, Panglima Rawa Sekti,
Resi Wisangkara, Tirta Kayon, serta puluhan prajurit
yang membelot dari istana. Mayat-mayat itu akhirnya
dikebumikan secara masal.
Mentari semakin tinggi, sinarnya semakin pa-
nas menyengat tubuh mereka. Pangeran Prapanca ma-
sih tampak termenung, seakan tak mampu untuk
membuang perasaan dukanya, karena telah kehilan-
gan bala tentara yang dengan rela bersedia mendu-
kung perjuangannya merebut takhta kerajaan yang hi-
lang. *** Di pihak kerajaan, Perdana Menteri Giri Gantra
tengah mencak-mencak. Hal itu karena orang-
orangnya tak berhasil menemukan Pangeran Prapanca.
Begitu juga dengan Baginda Raja Awangga. Pemegang
tampuk kekuasaan Kerajaan Surya Langit itu tampak
khawatir kalau takhtanya akan terguling dan jatuh ke
tangan putra mahkota, Pangeran Prapanca.
"Perdana Menteri macam apa kau..."! Aku su-
dah bosan dengan kata-katamu!" dengus Baginda Raja Awangga dengan nada marah.
"Kau bilang, orang-orang pilihanmu cukup tangguh. Buktinya" Menang-
kap Prapanca dan kawan-kawannya, yang hanya sege-
lintir saja tak becus! Aku tak mau tahu. Pokoknya kau harus dapat menangkap
Pangeran Prapanca, hidup
atau mati! Kalau tidak, kau sebagai gantinya...!" tambah Baginda Raja Awangga
sambil menggebrak meja.
Perdana Menteri Giri Gantra tak bisa berkata
apa-apa lagi. Wajahnya tampak merah, malu. Semua
jago golongan hitam yang disewanya ada di situ. Per-
dana Menteri Giri Gantra sangat terinjak-injak marta-
batnya. Apalagi ada dua jago aliran hitam, yang kurang setuju dengan tindakannya
dalam memerintah secara
seenaknya. Mereka adalah Jenggot Naga dan si Mata
Tunggal. Keduanya bermaksud mengundurkan diri dari
kelompok perdana menteri licik itu.
"Perdana Menteri, kami berdua tak sanggup lagi
ikut dalam penyerangan ke Hutan Bambu. Kami akan
kembali ke padepokan kami masing-masing," ujar
Jenggot Naga dengan suara parau.
"Benar!" tambah si Mata Tunggal.
"Ha ha ha...! Enak saja kau bicara begitu! Kau
pikir kalian berdua bisa begitu saja melepas tanggung
jawab, dan perjanjian dengan pihak kerajaan" Huh!"
bentak Baginda Raja Awangga setelah mendengar uca-
pan Jenggot Naga dan si Mata Tunggal.
Jenggot Naga dan si Mata Tunggal tak dapat
menentang. Keduanya diam dengan perasaan jengkel.
"Giri Gantra...!"
"Hamba, Baginda."
"Aku ingin hari ini juga kau kembali ke Hutan
Bambu. Tangkap, dan bila perlu bunuh Prapanca! Aku
tak mau tahu bagaimana caramu. Dan ingat jangan
kembali, sebelum kau berhasil membawanya hidup
atau mati!" ucap Baginda Raja Awangga dengan suara lantang.
"Baik, Baginda. Kami mohon diri...!" sahut Perdana Menteri Giri Gantra sambil
menjura hormat pada
Baginda Raja Awangga.
Perdana Menteri Giri Gantra mengangkat tan-
gan kanan, sebagai isyarat pada pengikut-pengikutnya
agar segera berangkat.
Seketika para jago dan para prajurit kerajaan
bergegas meninggalkan ruangan itu.
Setelah keberangkatan Perdana Menteri Giri
Gantra dan pasukannya, Permaisuri Raja Awangga
muncul dengan raut wajah yang menunjukkan kece-
masan. Wanita cantik itu mendekati sang Baginda Raja
Awangga, yang masih bertopang dagu, memikirkan na-
sibnya. Jika nanti Pangeran Prapanca berhasil menga-
lahkan pasukannya, tak tahu bagaimana nasibnya se-
bagai raja. Apalagi kalau mengingat nama Pendekar
Gila yang turut mendukung perjuangan kemenakan-
nya merebut takhta kerajaan. Kemarin telah disaksi-
kannya sendiri, bagaimana pendekar muda itu dengan
mudah mampu menghadapi Jenggot Naga dan si Mata
Tunggal. Padahal pendekar bertingkah laku seperti
orang gila itu belum mencabut Suling Naga Saktinya.
Sungguh suatu yang menakutkan bagi sang Raja.
"Kangmas Awangga. Apakah tidak sebaiknya,
Kangmas menyerahkan takhta kerajaan ini pada Pan-
geran Prapanca?" ujar permaisuri dengan lemah lembut, sambil mengusap perlahan
bahu Baginda Raja
Awangga. "Hm...!" gumam Baginda Raja Awangga seraya
memegangi jenggotnya yang putih. Wajahnya menoleh
pada sang Permaisuri sambil menghela napas.
"Aku mempunyai firasat buruk, Kangmas. Se-
baiknya batalkan saja niatmu itu...!" saran permaisuri dengan kesedihan.
"Ah! Dimas jangan ganggu pikiranku! Aku tak
mungkin menarik kembali perintahku. Lagi pula, Per-
dana Menteri Giri Gantra sudah berangkat. Dan aku
tidak akan menyerahkan takhta kerajaan ini pada sia-
pa pun. Apalagi pada Prapanca...!" jawab Baginda Raja Awangga dengan suara berat
Sang Permaisuri hanya diam. Tampak dari ma-
tanya menetes air bening. Wanita itu tak mampu me-
nahan perasaan sedih dan kekhawatirannya terhadap
suasana kerajaan itu.
"Sebaiknya Dimas istirahat saja! Aku ingin me-
nenangkan pikiran," ujar Baginda Raja Awangga lagi.
Nadanya kesal. Sambil menangis, sang Permaisuri meninggal-
kan Baginda Raja Awangga. Hati permaisuri itu sangat
sedih bercampur cemas yang sangat dalam.
Sementara Baginda Raja Awangga memandangi
kepergiannya dari belakang. Kemudian dia bangkit dari duduknya. Lalu mondar-
mandir, dengan kedua tangan
di belakang. Dua orang pengawal kerajaan tampak be-
rada di ruangan itu, menjaga sang Raja.
"Pengawal...!" seru Baginda Raja Awangga tiba-tiba.
"Hamba, Baginda," sahut seorang pengawal
sambil menjura.
"Antarkan aku ke ruang siksa bawah tanah!"
perintah Baginda Raja Awangga, lalu melangkah pergi
meninggalkan singgasana. Diikuti dua pengawalnya.
*** Ruang siksa bawah tanah, hanya diterangi
lampu obor yang tergantung pada dinding temboknya.
Hawa di dalam lembab sekali. Di sebelah kanan ruan-
gan yang tak seberapa luas itu tampak sebuah tiang
gantungan. Salah satu ruang siksa tampak dijaga seorang
berkepala botak, bertubuh besar dengan wajah bengis.
Di dalam ruangan itu tampak seorang lelaki berusia
enam puluh tahunan bertubuh kurus dengan rambut
dan jenggot panjang yang telah memutih. Lelaki itu
ternyata Prabu Jayawangga, mantan penguasa Kera-
jaan Surya Langit yang digulingkan oleh Baginda Raja
Awangga. Wajah ayahanda Pangeran Prapanca itu me-
nyiratkan suatu penderitaan berat telah menghimpit
jiwanya. Matanya tampak cekung. Wajahnya pucat pa-
si tanpa rona ceria sedikit pun. Derita panjang telah meluluh lantakkan jiwanya
sebagai seorang raja yang
sangat dicintai rakyatnya.
Prabu Jayawangga tampak terkulai dengan be-
ralaskan kain tebal yang sudah usang. Napasnya ter-
dengar berat, sepertinya dirasakan sangat sesak.
Pada ruang penjara yang lain nampak para ta-
wanan, bekas prajurit dan tokoh-tokoh istana yang se-
tia dengan Prabu Jayawangga. Ada delapan orang di
dalam ruangan yang lebih lebar dari tempat sang Raja.
Kedelapan orang itu nampak masih agak sehat. Dua di
antara mereka masih muda. Sedangkan enam lainnya
berumur sekitar empat puluh tahunan.
Penjara itu pun dijaga seorang berbadan tinggi
besar dan berwajah angker. Hidungnya yang besar
tampak kembang kempis. Matanya yang tajam terus
mengawasi sekeliling tempat itu. Tangannya yang be-
sar memegang cambuk.
Tak lama kemudian datang Baginda Raja
Awangga, dikawal dua prajurit kerajaan. Penjaga cepat memberi hormat, dengan
Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membungkukkan badan.
"Buka ruangan itu!" perintah Baginda Raja
Awangga pada penjaga yang berkepala botak.
Penjaga segera membuka pintu penjara yang
terbuat dari besi itu. Suara pintu besi itu terdengar menyakitkan telinga. Prabu
Jayawangga nampak masih terkulai lemas, seakan tak mendengar apa-apa.
"Hei! Bangun...! Ayo bangun!" bentak penjaga sambil mengguncang-guncangkan tubuh
lelaki tua itu.
Dengan malas Prabu Jayawangga membuka
mata, lalu bergerak bangun dengan perlahan.
Baginda Raja Awangga menatapnya dengan wa-
jah sinis. Tak ada rasa belas kasihan. Bahkan dengan
kasar ditendangnya tubuh Prabu Jayawangga
"Hei, Tua Bangka! Dengar, sebentar lagi aku
akan lebih berkuasa. Kerajaan Surya Langit tetap men-
jadi milikku. Dan putramu, tak lama lagi mampus di
tangan orang-orangku. Ha ha ha...! Dan kau akan mati
dalam penjara ini. Ha ha ha...!" Baginda Raja Awangga tertawa keras dan
terbahak-bahak sambil berkacak
pinggang. "Tak ada orang yang berani menentangku. Aku-
lah raja sejati. Kau kini jadi budakku! Ha ha ha...! Dan hanya akulah yang
pantas menjadi Raja Surya Langit..!" Baginda Raja Awangga nampak tertawa-tawa
seperti orang kurang waras. Semua itu untuk menutu-
pi kecemasan dan kekhawatirannya yang amat besar.
Sebenarnya Baginda Raja Awangga merasa cemas,
bahwa takhtanya akan dapat diruntuhkan oleh Pange-
ran Prapanca yang dibantu Pendekar Gila. Oleh karena
itu, tak mengherankan kalau sesungguhnya hatinya
tak tenang. Sedangkan Prabu Jayawangga hanya diam dan
menunduk, lalu ambruk, ketika Baginda Raja Awangga
menendangnya. "Beri makan orang tua ini sebanyak-
banyaknya! Karena tak lama lagi dia akan mati...!" se-ru Baginda Raja Awangga
pada penjaga. "Baik, Baginda Raja...," jawab penjaga sambil menjura.
Baginda Raja Awangga lalu pergi meninggalkan
penjara itu dengan wajah muram. Diikuti oleh dua
pengawalnya. Sementara lelaki tua berambut putih
panjang dan berjenggot putih itu nampak kembali ter-
kulai "Aku setiap malam berdoa, meminta pada
Hyang Widhi. Agar Kerajaan Surya Langit kembali di-
rebut oleh putraku...."
Terdengar suara lirih dari dalam penjara yang
pengap dan lembab itu.
"Ya. Karena Pangeran Prapanca-lah yang lebih
pantas menjadi raja di Kerajaan Surya Langit Karena ia putra mahkota. Hanya
karena kelicikan dan keseraka-han Awangga dan Giri Gantra berhasil menghasut ra-
kyat, untuk menjatuhkan Kanjeng Prabu."
Terdengar suara lain dari ruang penjara di se-
belahnya. Suasana hening, sehingga suara-suara itu
terdengar meskipun agak lirih.
"Kalau nanti Pangeran Prapanca berhasil mere-
but kerajaan ini, aku bersumpah akan memotong
rambutku yang panjang ini. Sebagai tanda syukur.
Dan, akan kusobek perut Giri Gantra yang buncit itu!"
sambung yang lainnya dengan suara geram.
Lalu para tahanan tertawa-tawa. Seakan mere-
ka merasa yakin kalau Pangeran Prapanca bakal
memperoleh kemenangan.
Tiba-tiba penjaga marah mendengar suara tawa
mereka. Maka dengan keras penjaga membentak. Na-
mun orang-orang itu tetap saja tertawa terbahak-
bahak. Maka penjaga membuka pintu, lalu masuk dan
menghajar orang-orang itu. Keributan terjadi. Orang-
orang itu melawan. Namun akhirnya menyerah, karena
penjaga menggunakan cambuk untuk menyiksa mere-
ka. Begitulah keadaan penjara bawah tanah. Orang
luar tak tahu apa yang terjadi di dalam ruangan bawah tanah itu. Tak tahu
bagaimana kejamnya orang-orang
Baginda Raja Awangga.
*** 7 Matahari telah condong ke arah barat pertanda
hari menjelang sore. Angin berhembus semilir, diting-
kahi suara kicau burung yang pulang ke sarang.
Dari kejauhan tampak serombongan pasukan
bergerak ke barat. Rombongan pasukan itu dipimpin
Perdana Menteri Giri Gantra. Rombongan terbagi em-
pat kelompok yang dipimpin empat kaki tangan Perda-
na Menteri Giri Gantra. Yaitu Jembel Pilarang, Kala
Prana, memimpin kelompok di depan. Sedangkan seki-
tar dua puluh lima tombak di belakang mereka, telah
siap tiga kelompok yang masing-masing dipimpin Se-
pasang Toya Setan, Kati Asem, Hiwa Krana dan si Mata
Tunggal berpasangan dengan Jenggot Naga.
Jika kelompok terdepan menghadapi bahaya,
maka tiga kelompok yang ada di belakang akan segera
membantu. Sungguh suatu siasat perang yang hebat.
Untuk melaksanakan siasat itu, tak tanggung-
tanggung hampir lima puluh prajurit diikutsertakan.
Dan telah tertanam perintah di benak mereka, untuk
menangkap Pangeran Prapanca hidup atau mati. Jika
gagal, sudah dapat dibayangkan akibatnya. Mereka
akan dihukum penggal kepala!
Mata para prajurit terus mengawasi daerah Hu-
tan Bambu, yang sudah semakin dekat. Nampak di
wajah mereka tersirat ketegangan.
Pasukan kerajaan yang dipimpin Perdana Men-
teri Giri Gantra semakin dekat Kini mereka sudah be-
rada di mulut Hutan Bambu yang tampak sunyi dan
sepi. Tak terdengar suara orang, maupun burung.
Pasukan Kerajaan itu terus maju, mendekati
Hutan Bambu. Mereka tampaknya tak menaruh rasa
curiga sedikit pun kalau Pangeran Prapanca dan ka-
wan-kawan mengetahui kedatangan mereka.
Ketika pasukan prajurit kerajaan memasuki
Hutan Bambu, tiba-tiba kelompok paling depan mun-
dur kembali. Ternyata dari dalam hutan menghadang
prajurit lain berjumlah sekitar dua puluh orang. Mere-ka dipimpin Ki Jalna
Wangga dan Pranala, serta Manik
Jingga. Perdana Menteri Giri Gantra terkejut bukan
main. Wajahnya mendadak berubah pucat. Apalagi ke-
tika dia tahu kalau pasukannya telah terkepung. Di
belakang mereka, telah berjajar setengah lingkaran pa-ra pemuda dan orang tua
penduduk desa. Mereka ber-
senjatakan golok, tombak, dan pentungan. Tampak di
depan pasukan penduduk desa itu Mei Lie dan Manik
Belang. Namun mereka tak melihat Pangeran Prapanca
maupun Pendekar Gila.
Perdana Menteri Giri Gantra semakin cemas
dan ketakutan. Keringat telah membasahi wajahnya
yang nampak pucat dan ketakutan. Hatinya hampir
tak percaya apa yang tampak di depan mata.
Perdana Menteri Giri Gantra sama sekali tak
menyangka kalau Pangeran Prapanca ternyata telah
mempersiapkan pasukan sebanyak itu. Pihak kerajaan
tak pernah berpikir kalau Pendekar Gila yang terus
mendampingi sang Pangeran telah ikut mengatur sia-
sat hebat ini. Pendekar Gila memang memberi saran
kepada putra mahkota itu agar mempersiapkan jeba-
kan. Karena nalurinya mengatakan bahwa pasukan
kerajaan akan mendahului, menyerbu Hutan Bambu.
Kini pasukan kerajaan telah terkepung para
pendukung Pangeran Prapanca. Perlahan tapi pasti,
pasukan yang dipimpin Mei Lie dan Manik Belang te-
lah bersiap siaga, mendekati mereka. Sedangkan dari
dalam Hutan Bambu prajurit yang dipimpin Ki Jalna
Wangga, Pranala, dan Manik Jingga terus mendesak
pasukan Kerajaan Surya Langit. Sehingga, kini pasu-
kan Kerajaan Surya Langit benar-benar terkurung. Tak
bisa bergerak. Maju mereka dihadang Mei Lie dan pa-
sukannya, mundur pun Ki Jalna Wangga dan orang-
orangnya telah siap tempur.
"Tak kusangka Ki Jalna Wangga memihak pada
Pangeran Prapanca...," gumam Perdana Menteri Giri Gantra dengan bibir gemetar.
Dia merasa cemas melihat kekuatan Pangeran Prapanca makin kuat. Perdana
Menteri Giri Gantra tahu kehebatan ilmu Ki Jalna
Wangga. "Ha ha ha...! Hi hi hi...! Lucu! Lucu sekali kau, Perdana Menteri! Mukamu kenapa
jadi seperti tikus
sawah..." Hi hi hi...!"
Tiba-tiba terdengar tawa mengejek dari seseo-
rang. Perdana Menteri Giri Gantra semakin cemas dan
takut. Sebentar-sebentar tangannya mengelap keringat
di kening. Tak lama kemudian, berkelebat dua sosok
bayangan melesat begitu cepat
Werrr! Perdana Menteri Giri Gantra makin gemetaran,
melihat kedua sosok bayangan itu. Kedua sosok
bayangan itu ternyata Pendekar Gila dan Pangeran
Prapanca. Mereka berdua sengaja memisahkan diri da-
ri kelompok Mei Lie dan Ki Jalna Wangga. Pendekar
Gila dan Pangeran Prapanca berdiri dekat dengan pa-
sukan kerajaan yang dipimpin Perdana Menteri Giri
Gantra. "Ah ah ah...! Kenapa kau pucat Giri Gantra..."!
Rupanya tikus-tikus busuk ini terperangkap, Pange-
ran. Hi hi hi...!" ujar Pendekar Gila sambil cekikikan dan menggaruk-garuk
kepala. Belum selesai ejekan Pendekar Gila, terdengar
lagi dari arah belakang.
"Aku sudah berjanji untuk mencabut nyawamu,
Giri Gantra! Manusia macam kau harus menerima
ganjaran yang setimpal...!" suara Ki Jalna Wangga terdengar lantang dan penuh
amarah. Perdana Menteri
Giri Gantra semakin tak berkutik. Keringat dingin mu-
lai membasahi sekujur tubuhnya.
"Kini tiba saatnya kau dan orang-orangmu me-
nyerah...!" teriak Pranala dari jarak sekitar lima belas tombak.
"Tidak...! Tidak. Ayo serang...!" perintah Perdana Menteri Giri Gantra pada
pasukannya. Namun para prajurit kerajaan tak langsung
menyerang. Juga si Mata Tunggal dan Jenggot Naga
yang tadi minta mengundurkan diri. Kedua tokoh per-
silatan itu diam. Namun para jago aliran hitam lain-
nya, seperti Jembel Pilarang, Sepasang Toya Setan, Setan dari Rimba Merawan, dan
Hiwa Krana, mulai ber-
gerak maju. Sambil memerintahkan para prajurit
Pertempuran antara dua kekuatan pun pecah.
Para prajurit Kerajaan Surya Langit bertempur mela-
wan pasukan yang mendukung perjuangan Pangeran
Prapanca. Mereka kebanyakan orang desa yang ber-
senjatakan golok, bambu runcing, kapak, parang, dan
sebagainya. Sedangkan para tokoh persilatan aliran hitam,
menghadapi para pendekar yang bergabung dengan
Pangeran Prapanca.
"Hi hi hi...! Mari kita sambut tikus-tikus itu!"
ajak Pendekar Gila sambil cekikikan. "Heaaa...!"
"Serbuuu...!"
Mulai terdengar jeritan melengking tinggi. Seke-
tika Hutan Bambu yang semula hening berubah ramai.
Hiruk-pikuk dan dentang suara senjata beradu pun
terdengar memecah suasana. Sesaat kemudian, tam-
pak berjatuhan korban dari kedua belah pihak. Darah
pun tampak, berceceran mewarnai tanah tempat per-
tempuran. Pendekar Gila dan kawan-kawan pendukung
Pangeran Prapanca pun mulai bergerak menghalau se-
tiap lawan yang menyerang dan membunuh putra
mahkota itu. Pedang di tangan mereka berkelebatan
cepat. Bagaikan malaikat pencabut nyawa memburu
setiap lawan yang menyerang.
Pembantaian yang dilakukan pihak kerajaan
pun tak kalah hebatnya. Jembel Pilarang dan Hiwa
Krana, serta Setan dari Rimba Merawan, tampak se-
makin buas dan beringas, membantai prajurit Pange-
ran Prapanca. Pendekar Gila dengan cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala, meliuk-liuk mengelak setiap
serangan lawan yang berusaha menggebraknya. Lima
orang panglima rendah kerajaan dengan golok di tan-
gan, membabat Pendekar Gila yang nampak tenang
dan menggaruk-garuk kepala.
"Heaaa....!"
Wret! Wret! "Hi hi hi...!"
Pendekar Gila justru tertawa-tawa, dan ber-
tingkah aneh. Tubuhnya melenting ke udara. Kemu-
dian dengan jurus 'Si Gila Terbang Menyambar Ayam'
tahu-tahu kaki kanan dan tangannya sudah mengha-
jar kelima lawan.
Plak! Bukkk..! "Aaakh...!"
"Aaau...!"
Seketika kelima panglima itu terpental dengan
tubuh berputar, lalu jatuh. Kelimanya langsung tak
berkutik lagi. Pendekar Gila mengerutkan kening dan meng-
garuk-garuk kepala. Namun tiba-tiba dari belakang,
kembali lima orang andalan kerajaan menyerang Pen-
dekar Gila. Rupanya Pendekar Gila sudah mengeta-
huinya. Dengan gerakan cepat, sebelum serangan la-
wan sampai, Pendekar Gila telah mendahului dalam
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Pukulan telapak tangannya yang tampak
lemah dan lamban sempat
membuat lawan tersentak kaget. Maka....
Plak! Bukkk! "Aaa...!"
Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaakh...!"
Serangan itu mendarat telak di dada kelima la-
wan. Tak ampun lagi, tubuh kelima prajurit kerajaan
itu bergulingan dan tak berkutik lagi.
Sementara itu, Ki Jalna Wangga atau si Puku-
lan Petir berusaha menangkap Perdana Menteri Giri
Gantra yang hendak kabur. Namun empat prajurit ke-
rajaan menghadangnya. Dengan golok, mereka babat
ke tubuh Ki Jalna Wangga. Lelaki tua berambut pan-
jang itu tampaknya tak ingin berlama-lama mengha-
dapi keroco-keroco itu. Dengan gerak cepat Ki Jalna
Wangga melenting, lalu memutar tubuh di udara. Den-
gan cepat pula kakinya menghajar keempat prajurit
yang menyerangnya.
"Heaaa...!"
Plak! Bukkk! "Aaa...!"
"Wadau...!"
Seketika keempat prajurit itu terjungkal tak
bernyawa lagi. Ki Jalna Wangga terus melompat, men-
gejar Perdana Menteri Giri Gantra yang berusaha ka-
bur. Beberapa kali tubuhnya yang terbalut jubah cok-
lat itu melenting, melewati lawan yang berusaha
menghadang. Lalu ketika hampir berhasil menangkap,
tiba-tiba Sepasang Toya Setan menghadang Ki Jalna
Wangga. Sepasang Toya Setan bergerak dengan cepat
memutar senjata mereka hingga menimbulkan den-
gungan yang memekakkan telinga.
Ki Jalna Wangga tersentak mendapat serangan
tiba-tiba itu. Beruntung dia tetap waspada sehingga
dengan cepat mendoyongkan tubuhnya ke samping.
Serangan pun terelakkan. Kemudian, tanpa berpikir
panjang, Ki Jalna Wangga langsung balas menyerang
dengan pukulan lurus, disertai tenaga dalam yang
kuat. "Heaaa...!"
Wuuut! "Hah..."!"
Sepasang Toya Setan tersentak kaget. Hampir
saja pukulan lawan menghunjam ulu hati, kalau saja
keduanya tidak cepat berkelit dengan memutar tubuh.
Sementara tangan yang memegang toya turut bergerak
menangkis pukulan lawan.
"Hih...!"
Prak! "Aaa...!"
Dua toya beradu dengan tangan Ki Jalna
Wangga. Dari benturan keras itu terpecik bunga api.
Ternyata Ki Jalna Wangga menggunakan jurus
'Pukulan Petir' andalannya. Lalu kedua pemilik senjata itu dengan cepat melompat
ke belakang. Wajah Sepasang Toya Setan berubah pucat, ketika tangannya di-
rasakan bergetar akibat benturan dengan tangan Ki
Jalna Wangga. Bahkan mereka merasa ada hawa pa-
nas seperti terbakar di dada. Keduanya sadar kalau
lawan bukan orang sembarangan. Tenaga dalam lawan
ternyata berada jauh di atas mereka. Sepasang Toya
Setan tak menduga akan hal itu.
Sesaat mata mereka saling berpandangan.
Nampak ketenangan di wajah Ki Jalna Wangga. Seper-
tinya si Pukulan Petir itu tak merasa kesakitan atas
benturan tadi. Hal itu membuat Sepasang Toya Setan
semakin penasaran bercampur marah. Keduanya
mendengus, kemudian kembali melakukan serangan.
"Heaaa...!"
Sepasang Toya Setan melesat cepat menyerang.
Ki Jalna Wangga segera bergerak mundur mengelak
sambil mengegoskan kaki kanan dan kin, lalu dengan
cepat balik menyerang. Kedua tangannya menghantam
dan menyambar dengan cepat dan beruntun ke bagian
tubuh yang mematikan.
Sepasang Toya Setan yang tahu kehebatan 'Pu-
kulan Petir', berusaha menghindari bentrokan. Kedua-
nya berusaha menjaga jarak. Namun tiba-tiba Sepa-
sang Toya Setan terkejut ketika serangan Ki Jalna
Wangga berkelebat cepat dan keras ke tubuh mereka.
"Heh..."! Gawat! Celaka...!" pekik salah satu da-ri Sepasang Toya Setan. Dia tak
menyangka kalau la-
wan yang semula dianggap enteng ternyata memiliki
serangan yang sangat berbahaya. Kalau tidak hati-
hati, dalam beberapa gebrakan saja mereka dapat di-
kalahkan. Ki Jalna Wangga yang melihat Sepasang Toya
Setan tampak kewalahan, tak menyia-nyiakan kesem-
patan itu. Dengan 'Pukulan Petir'nya, secara tiba-tiba Ki Jalna Wangga
menghantam tubuh lawan.
"Heaaa...!"
Glarrr! "Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Sebuah ledakan terdengar, ketika 'Pukulan Pe-
tir' yang dilancarkan Ki Jalna Wangga menghantam
tubuh Sepasang Toya Setan. Tak ampun lagi, kedua le-
laki kekar bersenjata toya itu terpental beberapa tombak ke belakang. Jeritan
keras terdengar dari mulut
keduanya, karena menahan rasa sakit yang hebat. Ke-
dua tubuh itu bergulingan di tanah dengan dada go-
song seperti terbakar. Sesaat kemudian Sepasang Toya
Setan tewas dengan tubuh kaku.
Ki Jalna Wangga menghela napas dalam-dalam,
lalu segera melesat dengan mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuh. Maksudnya tak lain mengejar Perdana
Menteri Giri Gantra, yang melarikan diri dari tempat
pertempuran. Di tempat lain, nampak Mei Lie dikeroyok Jem-
bel Pilarang dan Hiwa Krana. Pertarungan mereka su-
dah berjalan cukup lama. Nampaknya Mei Lie belum
mau menaklukkan atau membunuh lawannya. Gadis
Cina itu belum mengeluarkan jurus ampuhnya, jurus
'Pedang Tebasan Batin'. yang mampu menghancurle-
burkan tubuh lawan dengan sentuhan Pedang Bidada-
ri. "Heaaa...!"
Mei Lie melenting ke udara ketika dua lawan-
nya menyerang dengan menusukkan pedang ke dada
Mei Lie. Setelah mendarat dengan sempurna, Bidadari
Pencabut Nyawa itu membuka serangan cepat. Pe-
dangnya diputar begitu cepat hingga menyerupai bal-
ing-baling. Dari gerakan pedang itu keluar suara men-
deru yang keras. Pedang itu mampu mengeluarkan si-
nar kuning kemerahan.
"Hah"!"
Jembel Pilarang dan Hiwa Krana terbelalak ka-
get, menyaksikan jurus maut itu. Namun keduanya
tak mau mengalah begitu saja. Dengan cepat mereka
membuka jurus-jurus andalan.
"Heaaa...!"
"Hiaaat...!"
Trang! Trang! Pedang mereka beradu, mengeluarkan percikan
api. Kemudian dengan cepat dan sukar ditangkap ma-
ta biasa, Mei Lie tiba-tiba melenting dan bersalto beberapa kali di udara.
Tangan kirinya bergerak memukul
ke depan. Sementara pedangnya berkelebat menebas
ke tubuh kedua lawan.
"Hiaaa...!"
Wut! Crab! "Akh...!"
"Heaaa...!"
"Hiaaat..."
Pekikan tertahan keluar dari mulut Jembel Pi-
larang dan Hiwa Krana. Keduanya pun tak mampu
menutupi keterkejutan mereka. Betapa tidak" Tubuh
mereka tak terluka sedikit pun. Padahal jelas tertebas Pedang Bidadari. Namun
sesaat kemudian kedua tubuh lelaki itu terbelah jadi dua dan ambruk ke tanah.
Yang lebih mengejutkan, tubuh keduanya tiba-tiba
hancur menjadi debu. Itulah akibat jurus 'Pedang Te-
basan Batin'! Para prajurit yang sedang bertarung sempat
terkejut dengan membelalakkan mata. Mereka merasa
takjub bercampur ketakutan. Dan kesempatan itu di-
gunakan oleh pasukan Pangeran Prapanca untuk me-
nyerang dan menghabisi prajurit Kerajaan Surya Lan-
git. "Serang...! Majuuu...! Hantam mereka...!" seru para pendukung Pangeran Prapanca.
Pertempuran semakin seru. Banyak di antara
para prajurit yang membabi-buta karena marah. Mayat
pun bergelimpangan di sana-sini, dalam keadaan men-
gerikan. Darah segar tercecer di mana-mana, memba-
sahi tanah di Hutan Bambu itu.
Buto Gege dan Pranala pun tak kalah perka-
sanya. Keduanya telah banyak merobohkan lawan-
lawannya. Demikian juga dengan Manik Jingga dan
Manik Belang, yang dengan gigih menghadapi prajurit
kerajaan. Si Mata Tunggal dan Jenggot Naga, yang sebe-
lumnya sudah menentang Perdana Menteri Giri Gan-
tra, dan ingin mengundurkan diri, menyerah begitu sa-
ja ketika Pranala hendak membunuh mereka.
"Aku menyerah. Tapi jangan bunuh aku! Se-
mua ini kulakukan, karena tekanan dari Baginda Raja
Awangga dan perdana menteri pengecut itu. Ampuni
kami...!?" ujar Jenggot Naga memohon pada Pranala.
"Benar, Kisanak. Ampunilah kami! Kami berjan-
ji tak akan mengganggu Pangeran Prapanca!" sambung si Mata Tunggal.
"Tidak...! Kalian antek-antek kerajaan. Aku tak
bisa mengampuni!"
Jenggot Naga dan si Mata Tunggal saling pan-
dang. Pasrah. Pranala mengangkat pedangnya tinggi-
tinggi. Dan ketika pedang itu diayunkan ke tubuh ke-
dua lawannya, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat
cepat. "Tunggu...!"
Suara itu keluar dari mulut Mei Lie yang sudah
berada di dekat Pranala. Gadis itu berusaha mencegah
Pranala yang sudah tak mampu menahan dendamnya.
"Hei..."! Apa maksudmu menghalangiku, Mei
Lie...?" tanya Pranala dengan nada kurang senang.
"Sabar Pranala! Kita tak boleh membunuh atau
melukai lawan yang sudah menyerah dan minta am-
pun...," ujar Mei Lie dengan sabar dan tenang, mencoba menyadarkan Pranala.
"Benar apa kata Nini Mei Lie. Sebaiknya, biar
kedua orang ini kita bebaskan. Apalagi keduanya telah menjelaskan, bahwa
sebenarnya sudah merasa muak
dengan perdana menteri pengecut itu," tambah Buto Gege yang baru saja
menaklukkan lawan-lawannya.
"Tidak...! Tidak! Kalian jangan bermurah hati
pada kedua orang ini! Aku harus membunuh mere-
ka...!" tegas Pranala penuh kemarahan dan dendam.
"Baiklah kalau itu yang kau kehendaki. Tapi in-
gat, jangan harap aku dan Pendekar Gila akan terus
membantumu. Huh!" sungut Mei Lie, lalu bergegas
pergi. Begitu juga dengan Buto Gege. Sambil mengge-
lengkan kepala, lelaki bertubuh raksasa itu kembali
menghadapi orang-orang kerajaan yang semakin ber-
kurang. Demikian pula Mei Lie. Gadis Cina itu tampak
kesal. Maka ketika lima orang prajurit kerajaan meng-
hadangnya, langsung dibabat.
"Heaaa...!"
Cras! Cras! "Aaa...!"
Jeritan kematian terus terdengar menyayat ha-
ti. Namun mereka tak menghiraukan. Pertarungan se-
makin seru. Pihak kerajaan tampak mulai mengendur
dan terdesak. Para tokoh aliran hitam yang disewa Ke-
rajaan Surya Langit, satu persatu bertumbangan. Te-
was! Pangeran Prapanca tak kalah lincah dan gagah.
Beberapa orang lawan telah berhasil dilumpuhkannya.
Tendangan dan pukulannya tak kenal ampun, terus
menghajar setiap lawan yang berusaha menangkap-
nya. "Kalian mencari mampus!" dengus Pangeran Prapanca gusar, kemudian tanpa
banyak kata lagi tubuhnya berkelebat melabrak dua orang lawannya. Me-
reka merupakan tokoh aliran hitam yang cukup beril-
mu lumayan, Kali Wangsa dan Catur Abang. Keduanya
berasal dari Partai Iblis dari selatan.
"Awas...!" pekik Catur Abang dengan mata
membelalak menyaksikan serangan yang begitu men-
dadak dan cepat. Tangannya mendorong Kali Wangsa,
sedangkan tubuhnya dengan cepat dibuang ke kiri un-
tuk mengelakkan tusukan lawan. Ternyata dugaannya
meleset Pangeran Prapanca dengan sangat cepat dan
sulit diduga melancarkan sebuah tendangan keras.
"Heaa...!"
Deg! "Aaa...!"
Tak ampun lagi, tendangan yang disertai tenaga
dalam tinggi itu mendarat telak di lambung Catur Ab-
ang. Tubuh lelaki berpakaian merah itu terdorong de-
ras ke belakang. Sehingga akhirnya membentur se-
buah batu besar.
Brukkk! Kepala Catur Abang langsung pecah dan ber-
hamburan di tanah. Seketika itu juga Catur Abang te-
was! Hal itu membuat Kali Wangsa seketika terkejut.
Sulit sekali diikuti gerakan yang dilakukan Pangeran
Prapanca. Dan belum juga hilang rasa kaget di ha-
tinya, tiba-tiba dikejutkan oleh serangan cepat yang dilakukan putra mahkota
itu. Sebuah tusukan keris me-
lesat ke dadanya. Mau tak mau Kali Wangsa segera
menjatuhkan diri untuk mengelakkan serangan itu.
Tangannya yang terasa sakit langsung digerakkan,
memukul ke arah selangkangan lawan yang dengan
cepat memapaskan kerisnya ke bawah.
Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Edan! Celaka...!" pekik Kali Wangsa.
Kali Wangsa berusaha menarik pukulannya,
tapi tebasan keris lawan ternyata jauh lebih cepat dibanding gerakannya. Tanpa
ampun lagi, keris Pange-
ran Prapanca menyambar tangan Kali Wangsa.
Cras! "Aaa...!"
Pekik kesakitan pun keluar dari mulut Kali
Wangsa. Disusul dengan sebuah tendangan cepat
menghantam dadanya. Tak ayal lagi, tubuh Kali Wang-
sa terpental enam tombak, dan melintir. Kemudian
ambruk dan tewas!
Sementara itu, Pendekar Gila tampak tengah
bertarung melawan Setan dari Rimba Merawan. Mak-
hluk bertubuh besar dan berkepala seperti gorila itu
tampaknya menyimpan dendam kesumat pada Pende-
kar Gila. Hal itu karena dalam pertarungan di dalam
Istana Kerajaan Surya Langit kemarin, Pendekar Gila
sempat membuatnya malu di depan Baginda Raja
Awangga. Bahkan tangan kirinya terluka.
"Kali ini kau tak akan bisa berbuat banyak,
Pemuda Gila...!" rungut Setan dari Rimba Merawan sambil membuka serangan.
Tubuhnya melesat ke depan dengan tangan menyambar cepat. Tangan kanan-
nya membentuk siku dengan kepalan ke atas. Sedang-
kan tangan kirinya diputar, lalu dihentakkan meng-
hantam dada lawan.
Melihat lawan melakukan serangan, dengan ce-
pat Pendekar Gila menggerakkan tubuhnya. Tangan-
nya diangkat lurus ke atas dengan telapak saling ber-
hadapan. Kaki kanan diangkat sampai ke lutut, lalu
direntang ke kanan, diikuti gerakan membuka kedua
telapak tangan. Selanjutnya terlihat gerakan seperti
menari. Tangan kanan masih di atas, sedangkan tan-
gan kiri lurus ke bawah.
"Yeaaat..!"
Dengan menggunakan jurus 'Kera Gila Meram-
bah Rimba' Pendekar Gila berteriak nyaring, lalu den-
gan cepat tubuhnya melesat ke depan. Tangan kanan-
nya yang semula di atas, kini menyibak ke depan. Se-
dangkan tangan kirinya diangkat ke atas lalu dite-
ruskan memukul ke tubuh lawan.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Dua tokoh berilmu tinggi itu kini telah sama-
sama melesat untuk melakukan serangan. Tangan dan
kaki mereka bergerak lincah, seirama dengan gerakan
tubuh. Tangan keduanya bergantian melakukan se-
rangan dan pertahanan. Sedangkan kedua kaki saling
menyapu ke kaki lawan.
"Ha ha ha...! Akhirnya kau akan mampus, Pen-
dekar Gila. Yeaaa...!"
Dengan suara lantang penuh keangkuhan, Se-
tan dari Rimba Merawan melesat cepat melakukan se-
rangan. Tangan kanannya menghantam dada Pendekar
Gila. Sedangkan tangan kiri membentuk pertahanan di
depan wajah. "Uts...! Hih! Hi hi hi...!"
Pendekar Gila menggeser kaki kanan ke samp-
ing dan kaki kiri ke kanan, lalu dilangkahkan ke de-
pan. Diikuti pukulan keras telapak tangan.
"Huh"! Edan...!" maki Setan dari Rimba Mera-
wan kaget. Segera ditariknya pukulan tangan kanan,
lalu diganti dengan tangkisan tangan kiri. Setelah itu, kakinya digerakkan
menendang. Pendekar Gila meliukkan tubuhnya ke bawah.
Tangannya bergerak menyambar kaki lawan. Hal itu
memaksa manusia berwajah gorila itu menarik seran-
gan dengan cepat. Matanya semakin membelalak me-
nyaksikan jurus Pendekar Gila yang aneh.
"Hah..."! Jurus apa itu"!" gumam Setan dari Rimba Merawan kaget, seraya
melangkah ke belakang,
mengelakkan cengkeraman yang dilakukan Pendekar
Gila. Kemudian makhluk aneh itu menyodorkan puku-
lan tangan kanannya ke tulang rusuk Pendekar Gila.
"Heaaa...!"
"Weits! Hi hi hi,..!"
Pendekar Gila menggeser kaki kiri. Tubuhnya
dimiringkan ke kanan. Menjadikan pukulan tangan
lawan melesat di depan. Kemudian dengan cepat se-
rangan tangan kirinya dilontarkan ke samping.
"Hah..."!"
Setan dari Rimba Merawan melotot kaget. Tu-
buhnya melompat cepat sambil bersalto ke belakang,
mengelakkan serangan Pendekar Gila.
"Edan! Pemuda gila ini benar-benar berilmu
tinggi! Baru kali ini aku mendapat lawan tangguh,"
gumam Setan dari Rimba Merawan dalam hati. Namun
lelaki yang tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu kasar ini
pun memiliki ilmu silat yang tinggi. Bahkan juga me-
miliki ilmu setan yang sangat berbahaya.
*** 8 "Hi hi hi...! Aha, kenapa kau bengong..."!
Heaaa...!"
Pendekar Gila tertawa cekikikan mengejek
sambil melancarkan serangan. Setan dari Rimba Me-
rawan kembali tersentak kaget mendapatkan serangan
yang aneh. Dilihatnya gerakan tangan dan kaki pende-
kar muda itu lambat. Namun jika dia tidak cepat ber-
kelit, tentu cakaran dan tepukan tangan Pendekar Gila akan menghajar tubuhnya.
"Heaaa...!"
Wrets! "Heh"!"
Setan dari Rimba Merawan lebih terkejut lagi
ketika merasakan gerakan lemah bagai tak bertenaga
itu ternyata mampu mengeluarkan angin menderu ke-
ras. Sehingga dirasakan bagai topan, menyentakkan
tubuhnya. "Heaaa...!"
Setan dari Rimba Merawan cepat-cepat memu-
tar tubuhnya. Kemudian dengan gerakan cepat pula
sosok lelaki berwajah seperti gorila itu melontarkan
pukulan telapak tangan ke dada Pendekar Gila. Kemu-
dian disusul dengan gerakan tangan seperti mematuk
begitu cepat dan beruntun ke bagian-bagian tubuh
yang mematikan. Tampaknya Setan dari Rimba Mera-
wan telah mengerahkan jurus-jurus ularnya.
Pendekar Gila yang menggunakan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat', tampak meliuk ke sana kemari
menghindari patukan jurus ular lawannya. Setelah itu
tampak tubuhnya meliuk diikuti langkah kaki sambil
berusaha menyambar kaki lawan.
Namun mendadak tangan Setan dari Rimba
Merawan menyambar ke dadanya hingga menimbulkan
deru angin keras. Sedangkan Pendekar Gila yang tak
menyangka lawan akan melanjutkan serangan, tampak
agak terperanjat. Matanya membelalak, mengetahui
kalau dirinya mati langkah. Namun dengan cepat Pen-
dekar Gila menjulurkan tangan kanan, memapak tam-
paran lawan. Gerakannya seperti membelah dengan
cepat. "Heaaat...!"
Wret! Setan dari Rimba Merawan menarik tamparan
tangan kirinya. Lalu disusul dengan sebuah tendangan
keras ke selangkangan lawan. Sementara tangan ka-
nannya kini kembali mematuk ke wajah Pendekar Gila.
Mendapatkan serangan cepat, Pendekar Gila
segera melompat dengan bersalto ke belakang. Dengan
tubuh berada di udara, kakinya menjejak batang se-
buah pohon. Kemudian dengan tubuh membalik, ke-
dua tangannya disatukan, melakukan serangan den-
gan meluncur ke tubuh lawan. Inilah jurus 'Si Gila
Terbang Menerkam Mangsa', yang biasa digunakan
Sena untuk menyerang lawan dari atas.
"Heaaa...!"
Wuttt! Dengan tubuh meluncur cepat, Pendekar Gila
kini balik menyerang. Tangannya memburu tubuh Se-
tan dari Rimba Merawan, yang menangkis dengan ce-
pat setiap pukulannya.
"Heaaa...!"
Trak! Plak! Tangan mereka bergantian memukul dan me-
nangkis serangan lawan. Pendekar Gila terus merang-
sek dengan tubuh meluncur di udara. Sedangkan tu-
buh Setan dari Rimba Merawan terus mundur, sambil
menangkis dan membalas serangan lawan.
Tubuh Pendekar Gila terus melayang di udara
dalam jurus 'Si Gila Terbang Menerkam Mangsa'. Ka-
kinya terkadang berputar untuk menendang.
"Heaaat...!"
Kalau saja lawannya bukan Setan dari Rimba
Merawan yang berilmu tinggi dan banyak pengalaman,
tentu dalam beberapa gebrakan saja akan kewalahan
menghadapi serangan-serangan aneh yang dilancarkan
pemuda berpakaian rompi kulit ular itu.
Namun kini yang dihadapi Pendekar Gila tam-
paknya tokoh yang tak dapat dianggap remeh. Terbukti
sudah beberapa jurus pertarungan berlangsung, tokoh
berwajah mirip gorila itu masih tampak tegar dan be-
lum terdesak sedikit pun (Setan dari Rimba Merawan
tak lain saudara seperguruan Ki Catrik Ireng, dalam
episode "Duel di Puncak Lawu"). Jadi jurus yang digunakan Setan dari Rimba
Merawan sama dengan jurus
Ki Catrik Ireng. Dia memiliki jurus andalan 'Naga Mencakar Langit'.
"Ah, ternyata dugaanku benar. Jurus-jurus
orang ini pernah kuhadapi," gumam Pendekar Gila dalam hati, sambil terus
menyerang. "Yeaaat..!"
Pendekar Gila melempar tubuh ke belakang.
Lalu kakinya menjejak ke atas batu cadas dan berdiri
dengan kedudukan siap melakukan serangan lanjutan.
Tangannya bergerak bagaikan kera yang hendak me-
lempar. Tangan kanan diangkat ke atas setengah me-
nekuk, sedangkan tangan kirinya di perut, dengan jari-jari mencengkeram.
Pendekar Gila mengeluarkan jurus 'Kera Gila
Melempar Batu'. Melihat itu, Setan dari Rimba Mera-
wan mengerutkan kening. Tubuhnya yang besar segera
berkelebat untuk menyerang. Tangan kanannya mem-
bentuk kepala ular. Sedangkan tangan kirinya diren-
tangkan ke samping dengan jari-jari membentuk ceng-
keraman. Setelah itu tangan kanan dan kiri bergantian melakukan patukan dan
cengkeraman. Itulah jurus
'Naga Mencakar Langit', jurus andalan Setan dari Rim-
ba Merawan. "Yeaaa...!"
Wret! Wret! "Heaaa...!"
Tubuh keduanya melesat maju, siap melaku-
kan serangan berikutnya.
*** Pertarungan kedua tokoh berilmu tinggi itu se-
makin seru. Sementara, prajurit dan orang-orang an-
dalan Kerajaan Surya Langit telah banyak yang mati.
Mayat-mayat pun tampak bergelimpangan di mana-
mana. Bau anyir darah mulai menusuk hidung. Na-
mun pertempuran masih terus berlanjut.
Prajurit Kerajaan Surya Langit dan beberapa
orang andalan mulai terdesak mundur. Ada yang lari
tunggang-langgang menyelamatkan diri.
Kini gerakan yang dilakukan Pendekar Gila mi-
rip seekor kera tengah melempar batu. Gerakannya
menimbulkan deru angin keras.
Sedangkan Setan dari Rimba Merawan tak mau
tinggal diam. Tangan kanannya laksana kepala ular
naga, mematuk dan menyambar ke wajah dan dada
lawan. Sedangkan tangan kirinya mencakar dan
menghantam. "Yeaaat...!"
"Uts! Heaaa...!"
Keduanya terus berkelebat cepat dengan tan-
gan bergantian melakukan serangan dan tangkisan.
Kaki mereka pun tak tinggal diam, bergerak cepat ke
sana kemari, melakukan serangan dengan tendangan
dan sapuan. Trak! "Yeaaat...!"
"Hop...!"
Setiap kali tangan dan kaki mereka beradu,
terdengar suara keras memekakkan telinga. Dan tu-
buh keduanya melompat ke belakang. Namun tanpa
membuang-buang waktu, mereka langsung melesat
menyerang. "Yeaaat....!"
"Heaaa...!"
Tangan Pendekar Gila terus bergerak cepat se-
perti sedang melempar. Menghasilkan deru angin ken-
cang ke arah lawan, laksana gelombang angin topan
yang susul-menyusul.
Namun Setan dari Rimba Merawan tak hanya
diam melihat serangan itu. Mulutnya mendesis, tangan
kanannya bergerak laksana kepala naga. Terkadang
naik, lalu membuka untuk menangkis serangan. Dis-
usul cakaran tangan kiri ke dada Pendekar Gila.
"Sss...! Heaaa....!"
Tubuh keduanya berkelebat cepat. Kini mereka
semakin menambah daya serang. Dalam sekejap saja,
tubuh keduanya bagaikan menghilang. Yang nampak
hanya kelebatan bayangan tubuh yang bergerak san-
gat cepat.
Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Telapak tangan mereka kini bergerak cepat,
memutar-mutar dan kemudian kembali menghentak
ke depan. Kaki mereka tak tinggal diam, menendang
dan menyapu ke kaki dan tubuh lawan.
"Yeaaat..!"
Prak! Plak..! "Heaaa...!"
Keduanya melesat cepat dengan tangan siap
beradu. Tubuh mereka melayang laksana elang di uda-
ra, untuk menghantamkan pukulan ke tubuh lawan.
Wut! Glarrr....! Terdengar ledakan keras menggelegar. Tubuh
keduanya terlempar beberapa tombak ke belakang.
"Ukh...!" Pendekar Gila mengeluh tertahan setelah menginjakkan kakinya di bibir
jurang. Sementara Setan dari Rimba Merawan yang ju-
ga telah menapakkan kedua kakinya di atas tanah,
dengan licik langsung melancarkan pukulan 'Waringin
Sungsang' andalannya.
"Mampus kau, Pendekar Gila! Heaaa...!"
Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak diduganya
kalau lawan akan menyerang dengan jurus andalan.
Sebisanya dikeluarkannya pukulan 'Inti Brahma'. Dari
tangannya terpancar sinar membara membuat sekeli-
lingnya panas. Wut! Glarrr! "Aaakh...!"
Pendekar Gila memekik keras. Tubuhnya ter-
lempar jauh ke dalam jurang. Sedangkan Setan dari
Rimba Merawan terdorong dengan keadaan terluka da-
lam. Dari bibirnya meleleh darah kehitaman.
Mei Lie yang sempat melihat kejadian itu, ter-
sentak kaget. Matanya terbelalak lebar, cemas.
"Sena...!" pekik Mei Lie khawatir sambil melompat ke tepi jurang. "Kakang
Senaaa...!"
Tak terdengar sahutan dari bawah jurang. Mei
Lie semakin cemas, dan marah. Tubuhnya cepat diba-
likkan. Matanya menatap tajam Setan dari Rimba Me-
rawan yang masih mengerang kesakitan. Dengan wa-
jah merah, Mei Lie tak dapat menahan amarahnya.
"Bangsat...! Kubunuh kau, Setan...!" pekik Mei
Lie. Secepat kilat tubuh Mei Lie melesat bagai ter-
bang, sambil mengangkat Pedang Bidadari ke atas ke-
pala. "Heaaat...!"
"Hah"!"
Mata Setan dari Rimba Merawan melotot. Den-
gan sisa kekuatan, dia berusaha mengelak. Tubuhnya
berguling ke samping. Mei Lie terus mencecar dengan
sabetan pedangnya yang sukar dilihat mata siapa pun.
Tebasan pedang Mei Lie dengan jurus 'Pedang Tebasan
Batin' berkelebat memburu tubuh lawan.
"Heaaat...!"
Cras! Cras! "Aaakh...!"
Setan dari Rimba Merawan memekik kaget, ka-
rena dirasakannya pedang itu menggoresnya. Namun
tak tampak ada luka sedikit pun. Matanya terbelalak
heran. Namun kemudian tubuhnya terbelah menjadi
dua, ambruk ke tanah. Matilah Setan dari Rimba Me-
rawan yang cukup sakti itu. Sesaat kemudian tubuh-
nya tiba-tiba hancur bagai abu.
Orang-orang yang melihat kejadian itu terngan-
ga, kagum, dan ngeri. Termasuk Pangeran Prapanca
dan kawan-kawan.
"Ilmu pedang yang dahsyat 'Pedang Tebasan
Batin'"!" gumam Pangeran Prapanca kagum. Kakinya melangkah mendekati Mei Lie
yang tampak masih garang. Pedangnya masih terhunus di depan dada.
"Hi hi hi...!"
Tiba-tiba terdengar tawa seseorang dari bela-
kang Mei Lie. Mei Lie tahu dan mengenal suara tawa
itu. Gadis itu cepat berbalik. Dan, wajahnya yang tadi garang, sekejap berubah
ceria. "Kakang Sena...!" pekiknya, lalu lari mengham-
piri Pendekar Gila yang masih tertawa-tawa, sambil
menggaruk-garuk kepala.
Mei Lie memeluk Sena penuh kasih sayang. Se-
dangkan Sena masih saja tertawa dan cengengesan.
Lalu menggaruk-garuk kepala.
"Kau konyol! Bikin aku sedih...," kata Mei Lie sedikit manja.
Pada saat itu pula pasukan kerajaan pun mun-
dur, lalu lari tunggang langgang. Orang-orang Pange-
ran Prapanca bergerak cepat mengejar. Begitu Setan
dari Rimba Merawan mati di tangan Mei Lie, pasukan
Kerajaan Surya Langit makin kecut dan segera men-
gambil langkah seribu. Karena mereka tak lagi memili-
ki tokoh sakti.
"Sebaiknya kita cepat ke kerajaan, Pangeran!"
usul Pranala mengingatkan.
"Benar. Ayo kita segera pergi...!" sahut Pangeran Prapanca.
Mereka kemudian segera pergi meninggalkan
Hutan Bambu, menuju Istana Kerajaan Surya Langit
Pasukan pendukung Pangeran Prapanca yang
masih hidup, terus mengejar prajurit kerajaan yang
kabur sambil berteriak-teriak.
"Bunuh...! Ayo kejar...! Hancurkan...! Hidup
Pangeran Prapanca! Hiduuup...!"
Suara-suara itu terus terdengar, sampai mere-
ka memasuki Kota Kerajaan Surya Langit.
*** Sementara itu Ki Jalna Wangga telah sampai di
istana. Tokoh berusia enam puluhan itu dihadang para
pengawal Kerajaan Surya Langit. Namun dengan te-
nang dia menghadapi lawan-lawannya. Dia yakin la-
wan berada setingkat di bawahnya dalam hal kemam-
puan ilmu silat.
"Heaaat..!"
"Yeaaa...!"
Tiba-tiba para prajurit menyerbu dengan ganas.
Plak! Plak! "Aaakh...!"
"Aaa...!"
Sekali gebrak tiga pengawal jatuh, tak bernya-
wa lagi. Kemudian Ki Jalna Wangga mendobrak pintu
gerbang istana dengan tendangan kuat disertai tenaga
dalam. Brakkk! "Kraaak...!"
Pintu gerbang Kerajaan Surya Langit ambruk.
Dengan cepat Ki Jalna Wangga mengejar Perdana Men-
teri Giri Gantra yang berusaha masuk ke pendopo
utama. "Heaaat...!"
"Hait!"
Deg! Deg! "Aaakh...!"
Perdana Menteri Giri Gantra memekik keras,
punggungnya terkena tendangan Ki Jalna Wangga.
Tubuhnya terhuyung-huyung, lalu jatuh bergulingan.
Sambil mengerang. Namun dia masih sempat menge-
lak, ketika Ki Jalna Wangga yang penuh dendam dan
kemarahan kembali menyerangnya. Perdana Menteri
Giri Gantra berguling ke samping, mengelakkan seran-
gan itu. Lalu bangkit dan lari seraya berteriak pada pa-ra prajurit yang ada
dalam istana. "Tolooong...! Pengawal...! Ada perampok! Tang-
kap...!" Perdana Menteri Giri Gantra terus berlari memasuki istana, sambil
memegangi dadanya. Darah se-
gar tampak keluar dari mulutnya, akibat luka dalam
yang parah. Ki Jalna Wangga makin geram. Bagai banteng
mengamuk, dihabisinya semua lawan yang mengha-
dang. Kaki dan tangannya menghantam dan menen-
dang prajurit yang berani melawan.
"Yeaaat..!"
"Heaaat..!"
Deg! Deg! Deg! Plak! Plak! "Mampus kalian...!" dengus Ki Jalna Wangga
geram. Lelaki berambut panjang yang juga dikenal
dengan julukan si Pukulan Petir itu seperti tak ingin memberi ampun pada lawan-
lawannya. Mayat-mayat mulai berjatuhan, korban amu-
kan Ki Jalna Wangga yang sudah kalap itu. Kerajaan
Surya Langit jadi kacau-balau, berantakan diamuk Ki
Jalna Wangga. Meskipun sudah lama mengasingkan
diri dari dunia persilatan, Ki Jalna Wangga ternyata
masih mampu menunjukkan kemampuannya. Belasan
tahun Ki Jalna Wangga bersembunyi di Bukit Yuyu
dekat Desa Kaliamba (Untuk lebih jelasnya, baca serial Pendekar Gila dalam
episode "Sepasang Maling Budiman"). Baginda Raja Awangga panik dan cemas.
Demikian juga permaisuri, setelah Perdana Menteri Giri
Gantra menjelaskan keadaan kerajaan saat itu.
"Bodoh! Kau hanya bermulut besar, Giri Gan-
tra...! Ternyata aku salah mengangkatmu menjadi per-
dana menteri! Sekarang pergi hadapi Jalna Wangga.
Jangan biarkan dia memasuki ruangan ini...! Atau aku
sendiri yang membunuhmu..."! Pergi...!" bentak Baginda Raja Awangga dengan mata
melotot. Mukanya me-
rah menahan amarah.
Perdana Menteri Giri Gantra tak bisa berbicara
apa-apa lagi. Dengan wajah pucat kakinya melangkah
pergi dari tempat itu. Baginda Raja Awangga mencabut
kerisnya, hendak pergi ke penjara bawah tanah, tem-
pat ayah Pangeran Prapanca, bekas Raja Kerajaan
Surya Langit ditahan.
"Kangmas...! Mau ke mana kau...?" tegur permaisuri sambil menghadang Baginda
Raja Awangga. "Jangan halangi aku, Dimas!" ujar Baginda Raja Awangga dengan nada marah. "Aku
harus membunuh tua bangka itu! Harus...! Sebelum aku mati di tangan
Prapanca!"
"Kau...! Kau tak boleh melakukan hal itu,
Kangmas. Dosamu sudah terlalu banyak! Kangmas,
jangan lakukan hal itu...!" cegah permaisuri sambil menangis.
Namun Baginda Raja Awangga tak peduli. Tan-
gannya disentakkan, menyingkirkan permaisuri.
"Huh...!"
"Kangmas...!" pekik permaisuri, melihat kepergian suaminya. Dia tak kuasa
mencegahnya. Baginda Raja Awangga dengan wajah merah
dan murka, terus melangkah ke ruang bawah tanah,
ditemani dua orang pengawalnya.
Sementara itu, Pangeran Prapanca dan kawan-
kawan telah tiba di Istana Kerajaan Surya Langit
Ki Jalna Wangga yang melihat kedatangan Pan-
geran Prapanca, nampak gembira. Lelaki tua itu mem-
beri isyarat, memberi tahu kalau Baginda Raja Awang-
ga ada di dalam istana.
"Saya yang akan menangkap perdana menteri
itu, Pangeran. Dan Pangeran urus Baginda Raja
Awangga...."
Pangeran Prapanca menepuk bahu Ki Jalna
Wangga. Lalu melesat ke dalam istana. Pendekar Gila
dan Mei Lie pun melesat mengikuti Pangeran Prapan-
ca. Sedangkan yang lain menghadapi pengawal dan
para prajurit kerajaan.
Suasana Kerajaan Surya Langit saat ini benar-
benar mengerikan. Pertempuran seru tak dapat dihin-
dari. Prajurit dengan beringas bertempur melawan pa-
ra pendukung Pangeran Prapanca. Istana porak po-
randa. Darah tumpah di istana. Kemarahan tak terta-
han lagi. Peperangan telah pecah kembali.
*** Baginda Raja Awangga benar-benar sudah
murka. Tak mengenal perikemanusiaan lagi. Sebelum
membunuh ayah Pangeran Prapanca, terlebih dulu ia
mau menghabisi para pengikut Prabu Jayawangga
yang berada dalam penjara bawah tanah.
"Keluarkan mereka. Cincang, lalu bunuh! Peng-
gal kepalanya!" perintah Baginda Raja Awangga dengan mata melotot lebar.
Penjaga segera membuka pintu, lalu dengan
paksa menyeret orang-orang keluar, sambil mencam-
bukinya. Satu persatu orang-orang tahanan itu hen-
dak dipenggal kepalanya. Baginda Raja Awangga sen-
diri melangkah dan membuka pintu penjara tempat
Prabu Jayawangga berada.
Lelaki berusia enam puluh tahunan itu mering-
kuk, ketika pintu penjara dibuka dengan keras. Sea-
kan jantungnya terasa sakit. Samar-samar dipandan-
ginya lelaki yang ada di ambang pintu penjara itu. Baginda Raja Awangga berdiri
dengan angkuh. Di tangan
kanannya tergenggam sebilah keris.
"Saat ini aku harus membunuhmu, Tua Bang-
ka...! Agar aku puas. Puas! Ha ha ha...!" ujar Baginda Raja Awangga seperti
orang kesurupan. Tertawa-tawa
sendiri, bicara sendiri, lalu kerisnya dihunus. Kemu-
dian melangkah mendekati Prabu Jayawangga. Bagin-
da Raja Awangga cepat mencengkeram lelaki tua itu.
"Huh!" Dengan tangan kiri Baginda Raja Awangga mengangkat tubuh mantan raja yang
sebenarnya ka-kaknya sendiri itu. Sedang tangan kanannya yang
menggenggam keris, diangkat ke atas. Kemudian di-
ayunkan hendak menusuk ke dada lelaki tua itu. Na-
mun belum sempat keris itu menyentuh tubuh ayah
Pangeran Prapanca, tiba-tiba sebuah benda memukul
tangan Baginda Raja Awangga yang menggenggam ke-
ris. Plak! "Hah..."!" pekik Baginda Raja Awangga kaget.
Keris di tangannya terlepas dan jatuh. Kepalanya sege-ra menoleh ke belakang.
Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba sebuah pukulan
mendarat di wajahnya. Sebuah benda keras yang ter-
nyata tongkat dari kayu besi. Seketika Baginda Raja
Awangga ambruk.
"Hi hi hi...! Itulah ganjaran bagi orang durjana.
Hi hi hi...!"
Suara seorang wanita tua, yang tak lain Nyi
Kemuning Sari, bekas kekasih Singo Edan. Nyi Ke-
muning Sari kemudian dengan gerakan cepat menotok
tubuh Baginda Raja Awangga. Hingga lelaki itu tak bi-
sa lagi bergerak. Seperti mati.
Tak lama kemudian muncul Pangeran Prapan-
ca, Pendekar Gila, dan Mei Lie. Ketiganya terkejut melihat mayat sudah
bergelimpangan di ruangan itu. Ter-
nyata dua penjaga dan delapan pengawal tewas dengan
kepala pecah. Mengerikan!
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil
cengar-cengir. Mei Lie mengerutkan kening, merasa
heran. Sedangkan Pangeran Prapanca menghambur ke
dalam penjara, mencari ayahnya. Namun tak ditemu-
kan.... Pangeran Prapanca nampak cemas dan kebin-
gungan. "Sena...! Mei Lie! Ayahku tak ada...! Apakah
dia..." Pangeran Prapanca tak sempat meneruskan ka-ta-katanya. Karena tiba-tiba
terkejut oleh tawa seorang wanita. Pangeran Prapanca mencari asal suara. Begitu
juga Mei Lie. Namun Sena hanya cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Dia sudah tahu siapa wanita
itu. Dan tahu, kalau ayah Pangeran Prapanca selamat.
"Hi hi hi...! Kalian semua masih kurang pintar,
dan kurang cepat bertindak..," ujar Nyi Kemuning Sari yang muncul langsung
memaki ketiga pendekar muda
itu. "Nyi Kemuning Sari...?" Pangeran Prapanca tersentak. Pendekar Gila dan Mei Lie
lalu menjura, mem-
beri hormat pada Nyi Kemuning Sari.
"Maafkan kami, Nyi..," ujar Sena kemudian. La-lu kembali menggaruk-garuk kepala.
"Saya juga mohon maaf, Nyi...!" sambung Mei Lie.
"He he he... sudahlah! Yang penting kalian se-
lamat. Dan semua ini menjadi pelajaran bagi kalian.
Sena...! Kalau Kakang Singo Edan tahu muridnya ce-
roboh, dia akan menghukummu...."
Pendekar Gila hanya diam dan terus mengga-
ruk-garuk kepala.
"Bagaimana Nyi tahu-tahu sudah berada di si-
ni...?" tanya Pangeran Prapanca keheranan. "Dan di manakah ayahku, Nyi...?"
"Hm..., Anak Muda. Tak usah kau tanya bagai-
mana aku bisa berada di sini, sebelum kalian datang.
Aku telah mengetahui, sebelum kalian tahu," jelas Nyi Kemuning Sari. "Dan kau
Prapanca, tak usah cemas, temuilah ayahmu! Aku amankan dia di sana...," kata Nyi
Kemuning Sari lagi sambil menunjuk ke sebuah
pintu. "Oh...! Terima kasih, Nyi.... Terima kasih...!"
Pangeran Prapanca menjura, lalu cepat berlari
ke pintu yang ditunjuk Nyi Kemuning Sari.
Pendekar Gila dan Mei Lie tampak gembira.
Tangan Mei Lie memegang tangan Sena dengan lem-
but. Gadis Cina itu tersenyum manis pada kekasihnya
yang hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk ke-
pala. "Sena, Mei Lie. Ayo, kita lihat bagaimana keadaan di luar...!" ajak Nyi
Kemuning Sari, lalu melesat mendahului muda-mudi itu. Pendekar Gila dan Mei Lie
merasa kagum dan bangga melihat kekasih gurunya
yang sudah tua, namun masih gesit dan berilmu ting-
gi. Kerajaan Surya Langit yang dipimpin Baginda
Raja Awangga telah runtuh. Baginda Raja Awangga ki-
ni tertangkap sebagai tawanan Pangeran Prapanca
yang kini menjadi Raja Kerajaan Surya Langit. Namun
Perdana Menteri Giri Gantra yang licik dan berhati kejam itu, ternyata dengan
licik dapat lolos, kabur entah ke mana.
Rakyat dan para pejabat kerajaan bergembira
ria menyambut bangkitnya kembali Kerajaan Surya
Langit Ki Jalna Wangga dari Pranala diangkat menjadi
perdana menteri dan panglima perang.
Pesta kemenangan, dirayakan dengan meriah.
Pendekar Gila dan Mei Lie pun nampak gembira.
Begitu Juga Nyi Kemuning Sari, serta adiknya
Buto Gege. Ternyata kebajikan akhirnya dapat meruntuh-
kan, mengalahkan dan menumpas kejahatan. Kerajaan
Surya Langit kini kembali menjadi kerajaan yang aman
dan sejahtera, di bawah kekuasaan Prabu Prapanca.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pendekar Kembar 13 Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Aneh Naga Langit 43