Pencarian

Penunggang Kuda Iblis 2

Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis Bagian 2


nakan ilmu 'Pukulan Tanpa Wujud'. Kini wanita muda
yang dijuluki Penunggang Kuda Iblis itu telah meng-
genggam Pedang Maut-nya. Ditaruh di depan dada,
siap menanti serangan lawan-lawannya.
Sementara itu Brajakala yang dibuat malu di de-
pan anak buahnya tampak marah sekali.
"Serang...! Tangkap...!" seru Brajakala pada anak buahnya. Maka segera sembilan
anak buahnya langsung merangsek dan mengepung Lara Kanti.
"Heaaa...!"
Wut! Wut! Golok kesembilan lelaki berpakaian serba hijau
mendesing dan menderu membabat ke tubuh si Pe-
nunggang Kuda Iblis. Namun wanita gembel tapi cu-
kup cantik itu dengan tenang mengelak dari semua se-
rangan yang dilancarkan kesembilan Laskar Hijau.
Dengan cepat direbahkan tubuhnya ke belakang, ke
samping atau terkadang melenting ke atas sambil ber-
salto, melewati para pengeroyok, lalu dengan ringan
mendarat di luar kepungan mereka. Brajakala yang
mengamatinya merasa sedikit kecut. Sembilan anak
buahnya, yang memiliki ilmu 'golok' yang cukup han-
dal, tak satu pun berhasil mendaratkan serangan me-
reka ke tubuh wanita bercaping itu.
Lara Kanti yang sudah tak mau lama-lama beru-
rusan dengan sembilan anak buah Brajakala, segera
melancarkan serangan balik. Dengan cepat dan tak
terduga, caping dari bambu kuning yang menutupi ke-
palanya dilemparkan untuk menerjang lawan yang
tampak kian beringas.
Srat Werrr! Jrab! Crak! "Aaa...!"
"Waduuuh...!"
Pekikan beruntun terdengar melengking panjang,
ketika caping Lara Kanti menyambar kepala, leher, dan dada Laskar Hijau. Suara
erangan dan rintihan kesakitan terdengar dari mulut mereka. Yang tertutup kain
hijau. Tubuh kesembilan anak buah Brajakala tampak
saling berkelojotan di tanah. Pakaian hijau mereka telah berubah merah, basah
berlumuran darah. Dan tak
lama kemudian mereka tewas.
Brajakala yang melihat kejadian itu, semakin ke-
takutan. Matanya terbelalak seperti tak percaya melihat sembilan anak buahnya
tewas dalam keadaan
mengerikan. Caping lebar itu membuat leher empat
orang anak buahnya hampir putus. Sedang yang lain,
wajah, dan dadanya hancur berantakan. Namun, bu-
kan Pemimpin Laskar Hijau yang terkenal bengis dan
buas itu, kalau harus bertekuk lutut hanya dengan
seorang perempuan gembel.
"Heaaa...!"
Brajakala melompat sambil menghunuskan Golok
Setan-nya. Suara tebasan dan babatan golok itu men-
deru keras. Wut! Wut! "Heaaa...! Mampus kau!" dengus, Brajakala geram. Namun, Lara Kanti cepat mengelak dengan
menggeser kaki kanan ke samping sambil merebahkan
tubuhnya, sedangkan tangannya menangkis, lalu me-
lancarkan serangan balasan.
Brajakala yang melihat tubuh Lara Kanti masih
miring ke samping, cepat merubah bacokan. Lelaki
berpakaian hijau itu membabatkan goloknya dari atas
ke bawah. "Heaaat..! Mampus kau, Gembel!" seru Brajakala merasa yakin.
Lara Kanti sudah mengetahui gerakan cepat itu.
Sehingga sebelum golok di tangan Brajakala menyen-
tuh tubuhnya, Lara Kanti dapat berguling ke samping.
Lalu dengan gerakan secepat kilat, dia berdiri dan
membabatkan pedangnya ke lengan kiri Pemimpin
Laskar Hijau itu.
"Hih...!"
Cras! "Aaakh...!"
Lengan Brajakala putus. Darah bercucuran. Tu-
buhnya melintir sambil menjerit-jerit kesakitan. Wa-
jahnya yang garang tertutupi kain hijau nampak bergetar. Sementara Lara Kanti
cepat melompat dan lang-
sung membuka tutup muka lawannya.
Bret! "Hah..."! Ampuuun...!" ratap Brajakala gemetaran sambil menjura perempuan gembel
bercaping lebar di
hadapannya. Lara Kanti melempar capingnya. Kini wajahnya
yang ayu itu nampak lebih jelas. Namun Brajakala tak berani mengangkat muka.
"Hei, Tikus! Kau tadi ingin menikmati tubuhku.
Ayo, sekarang lakukan keinginamu! Ayo...!" ujar Lara Kanti dengan suara dibuat
manja. Sambil tangan kirinya mengangkat celana panjangnya sampai pangkal
paha. Kemudian mendekatkan ke muka Brajakala.
Brajakala masih tertunduk gemetaran. Sekujur
tubuhnya basah kuyup. Seperti mandi.
"Ayo...! Pedang pahaku! Atau kau lebih suka dengan ini....'" kata Lara Kanti
sambil membuka bagian atas pakaiannya. Hingga dua gunung yang masih pa-
dat dan mulus tersembul keluar.
Brajakala, memberanikan diri untuk mengangkat
wajah. Dan setelah melihat kedua buah dada Lara
Kanti yang memang masih montok itu tiba-tiba....
Jreb! "Aaakh...!"
Lara, Kanti dengan cepat menusukkan pedang-
nya ke jantung Brajakala. Seketika lelaki berpakaian serba hijau itu tewas,
menyusul kesembilan anak
buahnya. "Kau telah puas, dapat melihat milikku, bukan"
Nah kini selamat sampai di neraka, Tikus Busuk...!"
kata Lara Kanti dengan geram.
Setelah itu Lara Kanti segera meninggalkan kese-
puluh mayat Laskar Hijau. Digebahnya si Ireng yang
bermata merah menyala seperti mata iblis itu. Kuda hitam itu pun langsung
melesat meninggalkan Lembah
Cadas Pangeran.
*** 4 Pendekar Gila dan Mei Lie yang berada di Desa
Parangan tengah bingung karena terus mendengar se-
pak terjang perempuan gembel Penunggang Kuda Iblis
itu. Bersama Ki Lurah Patiasa dan orang-orangnya,
Pendekar Gila mengatur siasat, agar dapat berhadapan dengan pembunuh bengis itu.
Di ruang tengah rumah Kepala Desa Parangan
malam itu tampak berkumpul Pendekar Gila, Mei Lie,
Ki Lurah Patiasa, Santika, dan Lohdaya. Sedangkan
beberapa orang warga berjaga-jaga di sekitar rumah Ki Lurah Patiasa. Kegiatan
ronda malam pun tetap dilak-
sanakan di beberapa tempat di Desa Parangan.
Malam sunyi dan mencekam. Angin bertiup ken-
cang menghembuskan hawa dingin menusuk tulang
sumsum. Suara binatang terdengar bersahutan di ke-
jauhan. "Bagaimana rencana Tuan Pendekar?" tanya Ki Lurah Patiasa memulai percakapan.
"Ah ah ah...! Janganlah kau panggil aku dengan
sebutan itu, Ki Lurah. Panggil saja namaku: Hi hi hi...!
Aku lebih senang dipanggil Sena!" sahut Pendekar Gila dengan mulut cengengesan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala seperti merasa gatal. "Aha...! Aku memang sudah
punya rencana, tapi terus terang aku ti-
dak membeberkan kepada kalian. Maaf, Ki Lurah, juga
Kisanak sekalian! Hi hi hi...!"
Santika dan Lohdaya mengerutkan kening, tidak
hanya karena heran melihat sikap konyol Pendekar Gi-
la, melainkan juga tersinggung. Namun Pendekar Gila
tampaknya memahami tanggapan kedua orang anda-
lan Ki Lurah Patiasa.
"Sekali lagi maaf! Aku mohon pengertian Kisanak.
Sebab, kalau saya sampaikan, rencana ini bisa saja
gagal. Dan terus terang, bukan saya tak mempercayai
orang-orang di desa ini, tapi semata-mata demi kelan-caran semuanya. Agar kita
dapat menangkap orang
yang kita cari...," tutur Sena dengan tegas, walaupun sesekali masih menggaruk-
garuk kepala. Ki Lurah Patiasa manggut-manggut, tampaknya
memahami maksud rencana Pendekar Gila.
"Jangan mempunyai prasangka buruk terhadap
kami, Kisanak...!" tambah Mei Lie, menoleh kepada Santika dan Lohdaya.
"Percayalah! Ini semua kami lakukan demi kita semua...."
Ki Lurah Patiasa kemudian mencoba memberikan
pengertian pada Santika dan Lohdaya.
"Kami percaya pada Sena dan Mei Lie. Lalu apa
yang harus kami lakukan?" tanya Ki Lurah Patiasa kemudian, dengan mengangguk-
anggukkan kepala.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dan cen-
gengesan. Sedangkan Mei Lie tersenyum membalas
anggukan kepala Ki Lurah Patiasa.
"Tapi untuk malam ini saya berharap, kita tetap berjaga. Siapa tahu orang yang
kita cari saat ini mampir di Desa Parangan ini...," pinta Sena seenaknya sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Baik...," jawab Ki Lurah Patiasa. "Santika, Lohdaya! Apakah semua warga sudah
kau beri tahu...?"
"Sudah Ki Lurah. Ki Lamting yang saya perintah-
kan untuk memimpin ronda malam ini," jawab Santika sambil memberi hormat.
"Hm...," gumam Ki Lurah Patiasa sambil mengangguk.
Sementara di luar udara semakin dingin. Para
warga Desa Parangan tampak berjaga-jaga di semua
sudut desa. Tentu saja mereka membawa senjata.
"Mudah-mudahan malam ini tak terjadi apa-apa
di desa kita ini," kata seorang peronda bernama Karto.
"Tapi kenapa malam ini sangat dingin hawanya.
Hih...!" sahut Samsu sambil mendekap dada dengan kedua tangannya.
"Kamu saja yang bengek," tukas Jamin, "Orang hawanya panas begini, kok!"
"Sudah, jangan ribut soal dingin, panas! Kita harus waspada. Nanti, tahu-tahu
ada orang tak diundang masuk desa kita, mati kuwe...!" tukas Gondo berusaha
mengingatkan teman-temannya agar tak mengurangi
kewaspadaan. Kebisuan kemudian menyelimuti para peronda
yang sedang berkumpul di gardu sebelah utara. Terle-
bih malam itu angin berhembus membawa hawa din-
gin, membuat suasana di sekitar tempat itu semakin
mencekam. Krak! Tiba-tiba terdengar suara seperti ranting kayu
yang patah, dari arah semak-semak belukar. Hal itu
tentu saja mengejutkan para peronda yang hanya ber-
jarak sekitar sepuluh tombak dari semak-semak itu.
"Hah..."! Ada tamu tak diundang...!" kata Jamin pada teman-temannya.
"Ssst...!" Gondo memberi isyarat pada temannya agar tidak ribut.
Seketika mereka memasang mata tajam menga-
wasi sekeliling tempat itu. Rasa tegang dan takut mulai menyelimuti para
peronda. Belum juga rasa tegang dan takut itu hilang, ti-
ba-tiba berlompatan lima sosok tubuh berpakaian ser-
ba hitam, dengan memakai kedok. Rambut kelima ta-
mu tak diundang itu dibiarkan terurai, panjang mele-
wati bahu. Mata golok mereka bergerigi tajam mirip
gergaji berukuran panjang.
Kedok yang dipakai lima sosok itu menyeramkan.
Bagi orang yang takut mungkin akan mengira kelima
sosok berpakaian hitam itu sebagai hantu.
"Hantu..."!" gumam Karto. Matanya membelalak dengan bibir gemetaran.
"Tolong...! Tolooong...!" jerit Gondo yang berbadan kurus sambil berlari
ketakutan, melemparkan goloknya. Hal itu membuat para peronda yang lainnya tam-
pak panik. Pada saat itu lima sosok berkedok seram
itu langsung melancarkan serangan.
"Heaaa...!"
Cras! Cras! "Aaa...!"
"Aaakh...!"
Lima orang berkedok setan itu seakan tak memi-
liki rasa iba sedikit pun. Ki Lamting pun yang menjadi pemimpin para peronda
turut turun tangan. Pertarungan para peronda yang dipimpin Ki Lamting dan lima
orang berkedok itu tak dapat dihindarkan.
Trang! Trang! "Heaaa...!"
Seketika suara benturan senjata terdengar, sea-
kan-akan hendak memecah suasana malam. Pekikan
dan jerit kesakitan pun mulai terdengar.
Wut! "Ukh...!"
"Aaa...!"
Para peronda tampaknya bukan tandingan keli-
ma sosok berkedok itu. Hanya dalam beberapa gebra-
kan saja para peronda bergelimpangan tewas berlumu-
ran darah. Kenyataan itu membuat Ki Lamting marah.
Tanpa pikir panjang lagi, karena telah terpancing perasaan marah, lelaki
setengah baya itu langsung mem-
buka jurus andalannya dengan senjata golok.
"Heaaa...!"
Ki Lamting melompat dan menyerang salah satu
dari lima sosok berkedok. Namun dengan mudah se-
rangan itu dielakkan. Hanya dengan menggeser ke
samping, serangan itu lolos. Bahkan sosok berpakaian hitam itu langsung balas
menyerang. "Heaaa...!"
Dugkh! "Aaakh...!"
Serangan dari sosok berkedok seram itu menda-
rat telak di dada Ki Lamting. Seketika tubuh pemimpin ronda itu terjungkal di
tanah. Dari mulutnya mengalir darah segar. Tampaknya pukulan lawan membuat luka
dalam di dadanya.
Keributan itu sempat menimbulkan kepanikan
para peronda lain. Bahkan akhirnya terdengar pula
oleh Pendekar Gila, Mei Lie, Ki Lurah Patiasa, serta Santika dan Lohdaya.
"Tolooong...! Ada setan...! Hantuuu...!"
Orang-orang berlarian ke arah rumah kepala de-


Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sa sambil berteriak gaduh. Sementara itu di ujung sebelah barat Desa Parangan,
terlihat sebuah rumah terbakar.
Santika dan Lohdaya segera berlari menuju tem-
pat pertarungan. Sementara Sena tampak masih cen-
gengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Namun
kemudian segera keluar dan melesat diikuti Mei Lie
dan Ki Lurah Patiasa.
Pertarungan semakin seru, ketika Santika dan
Lohdaya turun tangan untuk meringkus kelima sosok
berpakaian serba hitam itu.
"Hei! Tunggu...! Mengapa kalian mengacau dan
membunuh warga desa ini..."! Siapa kalian sebenar-
nya!" bentak Santika marah sambil menuding ke arah dua orang berkedok seram yang
berdiri dua tombak di
depannya. Yang satu tampaknya pemimpin kelima le-
laki berkedok itu. Hal itu dapat dilihat dari bentuk dan penampilannya yang
berbeda. Pakaiannya yang longgar panjang terhias sabuk ikat pinggang warna
kuning. "Untuk apa kau tahu diriku" Hhh..., tapi baiklah agar tidak penasaran. Aku
Rasaka. Aku ingin meringkus Pendekar Gila yang kalian sembunyikan itu...!
Sebaiknya minggir, kalau sayang dengan nyawamu...!"
sahut lelaki berambut panjang dan berkedok seram
yang mengaku bernama Rasaka.
"Sombong! Heaaa...!"
Santika langsung melompat menyerang Rasaka.
Namun dengan cepat lelaki berkedok itu melompat
sambil menangkis serangan lawan.
"Heaaa...! Mampus kau...!" seru Santika.
Santika rupanya lupa kalau yang dihadapi dua
orang. Salah seorang teman Rasaka yang sedan tadi
hanya melihat dan menunggu kesempatan baik untuk
menyerang, tiba-tiba dari belakang menyerang Santika yang sedang bertarung
dengan Rasaka. Namun belum
sempat golok bergerigi milik orang berkedok menyen-
tuh tubuh Santika, tiba-tiba sebuah tendangan keras
mendarat telak di tengkuk orang berkedok itu.
"Aaa...!"
Teman Rasaka terjungkal jatuh ke tanah dan
bergulingan. Santika merasa kaget dan ketika wajah-
nya menoleh sekilas, ternyata Pendekar Gila telah berdiri di sampingnya. Santika
semakin semangat. Kem-
bali ia merangsek lawan dengan serangan cepat Na-
mun Rasaka yang memiliki ilmu cukup tinggi, dengan
mudah mematahkan serangan lawan. Bahkan terbalik,
Santika terdesak dan cukup gawat.
Melihat itu Pendekar Gila, segera mengambil alih
pertarungan. "Heaaa...!" Pendekar Gila melompat sambil bersalto, dan mendarat di antara
Rasaka dan Santika.
"Hah"!" Rasaka menatap tajam wajah Pendekar Gila yang sudah berdiri di
hadapannya. "Ha ha ha...!
Kau rupanya Pendekar Gila. Kebetulan sekali. Malam
ini dunia persilatan akan mendengar, bahwa kau mati
di tanganku....'" ucap Rasaka dengan sombong. Lalu mundur tiga tombak dari
hadapan Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Santika, sebaiknya kau bantu yang lain. Biar monyet ini aku yang
hadapi!" ujar Pendekar Gila sambil cekikikan dan menggaruk-garuk kepala.
"Rupanya ada monyet malam-malam datang mencari
makanan. Hi hi hi...! Lucu sekali! Hai, Monyet...! Ayo, hadapi aku...!"
"Kurang ajar! Kau boleh mengenalku Pendekar
Gila," dengus Rasaka, lalu membuka kedok setannya.
Kini terlihat wajah aslinya, yang garang dan berhidung
besar. Mata sebelah kirinya rusak, seperti bekas kena senjata. Bibirnya lebar,
dengan kumis melintang tebal.
"Aku si Mata Iblis dari Sungai Darah, malam ini akan menantangmu! Ayo...!
Heaaa...!"
Rasaka melesat dan langsung melancarkan se-
rangan. Pendekar Gila yang sudah siap dengan segala
kemungkinan, mengelak dengan hanya memiringkan
tubuhnya ke samping kiri dan kanan. Lalu melenting
ke atas sambil bersalto. Nampak ringan sekali gerakan Pendekar Gila. Begitu pula
saat mendaratkan kaki di
tanah. Bahkan pemuda berompi kulit ular itu sambil
cengengesan dan garuk-garuk kepala seperti mengejek
lawannya. Rasaka yang menghadapi serangannya begitu
mudah dapat dielakkan tampak marah. Apalagi ketika
Pendekar Gila mengejek seperti meremehkan.
"Heaaa...! Hiaaa...!"
Si Mata Iblis dari Sungai Darah kembali menye-
rang dengan garang. Tubuhnya melenting sambil ber-
putaran dan memburu Pendekar Gila dengan golok
bergeriginya. "Jurus apa nih" Hi hi hi, lucu...!" gumam Sena sambil melenting ke udara sambil
bersalto, melewati
lawannya. Kedua tangannya menjulur berusaha me-
nyambar tangan Rasaka. Pertarungan di udara tak te-
relakkan. Dari kejauhan, mata bisa pasti tidak mampu menangkap gerakan mereka.
Apalagi suasana malam
itu gelap gulita. Padahal kedua tokoh itu dengan dahsyat saling melancarkan
serangan untuk menjatuhkan
lawan. Pendekar Gila yang telah memiliki segudang
pengalaman bertarung dalam petualangan di rimba
persilatan tampaknya mampu mengimbangi kemam-
puan lawan. Ketika keduanya sama-sama mendarat
Pendekar Gila tampak hanya cengengesan.
Sementara itu si Mata Iblis dari Sungai Darah
yang telah terkuras tenaganya dalam pertarungan ce-
pat di udara, segera memasang kuda-kuda. Dirinya
bermaksud mengerahkan salah satu jurus yang ber-
nama jurus 'Golok Setan Darah'.
Pendekar Gila justru tertawa-tawa. Tingkah la-
kunya persis orang gila. Tangan kanannya mencabut
bulu burung yang disimpan di ikat pinggang. Dan den-
gan seenaknya mengorek telinga dengan bulu burung
itu. Melihat kekonyolan tingkah laku Pendekar Gila, Rasaka merasa diremehkan,
kemarahannya kian me-muncak.
"Kurang ajar! Bersiaplah untuk mampus!
Heaaa...!"
Dengan jurus 'Golok Setan Darah', Rasaka meng-
gebrak dengan serangan semakin dahsyat. Goloknya
yang mengeluarkan racun ganas bergerak membabat
dan menusuk bagian tubuh Pendekar Gila.
"Eit! Hi hi hi...!"
Sena segera meliukkan tubuhnya dengan meng-
gunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Lalu
dengan cepat menepuk kepala lawan yang agak me-
runduk ketika menusukkan goloknya.
"Ini bagianmu, Kunyuk...! Hih...!"
"Ukh...!"
Si Mata Iblis dari Sungai Darah memekik kesaki-
tan, ketika telapak tangan Pendekar Gila mendarat di kepalanya. Tubuh lelaki
berambut gondrong itu melompat ke belakang sambil memegangi kepalanya yang
dirasakan pening seperti mau pecah. Hatinya merasa
heran dan hampir tak percaya. Gerakan lawan yang di-
lihatnya tanpa tenaga dan tampak sangat lamban, ter-
nyata mengandung kekuatan dahsyat
Rasaka tampak mulai mengatur keseimbangan
tubuh dan kembali menghimpun tenaga dalam. Kini si
Mata Iblis dari Sungai Darah itu membuka jurus den-
gan gerakan yang sangat cepat dan keras. Seiring dengan putaran senjata dalam
jurus 'Golok Setan Bera-
cun', mulut Rasaka terdengar mengeluarkan dengu-
san-dengusan aneh.
Melihat lawan mulai mengerahkan jurus dahsyat
andalannya, Pendekar Gila bukan merasa takut. Mu-
lutnya tampak cengengesan sambil tangannya mene-
puk-nepuk pantat. Namun tiba-tiba saja tubuhnya
berputar cepat ke arah kiri.
Wusss! "Hah"!"
Si Mata Iblis dari Sungai Darah tersentak kaget
melihat tubuh lawan mampu berputar cepat seperti
gasing. Sejenak dirinya kebingungan untuk melancar-
kan serangan. Namun ketika sekejap saja Pendekar Gi-
la berhenti, tiba-tiba....
"Yiaaa...!"
Wut! Wut! "It.., he he he....! Hebat juga kunyuk ini...!"
Pendekar Gila cepat mencabut Suling Naga Sakti-
nya, diputarnya dan digerakkan lurus ke atas.
Didahului pekikan menggelegar, keduanya kem-
bali melakukan serangan. Golok beracun di tangan
Rasaka bergerak cepat, menusuk ke depan dan mem-
babat ke samping. Diteruskan dengan tebasan dari
atas ke bawah, kemudian disambung babatan dari kiri
dan kanan. Saking cepatnya gerakan golok itu, golok
bergigi dan beracun itu seperti menghilang. Yang tampak hanya bayangan putih
mengkilat, yang berkelebat-
kelebat melindungi tubuh Rasaka.
Wut! Wut! Melihat jurus lawan yang cepat dan sangat sulit
ditembus dengan jurus biasa, Pendekar Gila segera
mengerahkan jurus, 'Si Gila Menembus Badai'
"Heaaa...!"
Tangan Pendekar Gila yang memegang Suling
Naga Sakti menjulur lurus ke depan. Sedangkan tan-
gan kirinya memukul, dengan kedudukan tubuh agak
merunduk. Kaki kirinya diangkat ke atas sedang kaki
kanannya setengah ditekuk. Dengan cepat disodokkan
Suling Naga Sakti-nya ke arah gulungan cahaya pe-
dang yang berputar di sekitar tubuh lawan.
"Heaaa...!"
Wut! Wut! Trang! Dua senjata beradu. Pijaran api keluar dari ben-
turan itu. Asap putih bercampur ungu yang beracun
tiba-tiba bergulung-gulung menyerang Pendekar Gila.
Kalau saja pendekar muda itu tak pernah meminum
darah ular putih, mungkin Pendekar Gila akan tewas.
Namun kini tubuhnya kebal dari segala macam racun
(Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi
Kuan Im").
Si Mata Iblis dari Sungai Darah terkejut bukan
main mengetahui lawan ternyata tak mempan racun
yang keluar dari Golok Setan-nya yang bergerigi. Gerakan goloknya semakin
dipercepat, berusaha menghan-
curkan Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila.
Wut! Wut..! Trang! Trang! Benturan-benturan keras semakin tak terelak-
kan. Masing-masing berusaha mengalahkan. Jurus
demi jurus telah dikerahkan. Namun keduanya tam-
pak masih memperlihatkan ketangguhan masing-
masing. Si Mata Iblis dari Sungai Darah rupanya bukan
tokoh sembarangan. Tokoh kaum hitam yang memiliki
ilmu hitam cukup tinggi ini telah malang-melintang di dunia persilatan. Banyak
tokoh persilatan yang telah
ditaklukkan. Pendekar Gila pun tampaknya tak ingin men-
ganggap remeh kemampuan lawan. Dengan gerak ce-
pat Suling Naga Sakti-nya terus dibabatkan dan ditu-
sukkan dengan jurus 'Si Gila Menembus Badai'.
Wuttt! Wuttt! "Heaaa...!"
Rasaka cepat-cepat membuang tubuhnya ke
samping. Lalu dengan cepat membabatkan goloknya
memapak Suling Naga Sakti dengan jurus 'Tebasan
Golok Setan Darah'.
Melihat golok lawan menderu ke arahnya, dengan
cepat Pendekar Gila menarik serangan. Lalu diputar
sulingnya guna memapaki tebasan golok.
Trang! "Hah...!"
Keduanya melompat ke belakang. Lalu berdiri
saling berhadapan. Kemudian kembali sama-sama
menyerang dengan didahului pekikan menggelegar.
Keduanya melenting di udara.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Tubuh keduanya melesat cepat dengan senjata di
tangan. Dalam suasana remang-remang di udara me-
reka saling melancarkan serangan. Suling Naga Sakti
menyodok ke wajah Rasaka. Sedangkan golok bergerigi
menebas kepala Pendekar Gila.
"Hup!"
Wut! Pendekar Gila bersalto menghindari tebasan Go-
lok Setan. Kemudian dengan cepat, disodokkan su-
lingnya ke wajah lawan.
"Heaaa...!"
Rasaka tersentak kaget mendapatkan serangan
cepat itu. Dirinya berusaha menangkis dengan menge-
butkan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya
membabatkan golok ke tubuh lawan.
"Hop! Yeaaa...!"
Melihat babatan golok Rasaka, Pendekar Gila me-
liukkan tubuh lalu bergerak ke samping. Setelah golok itu lewat, kakinya
menendang dengan jurus 'Si Gila
Menyapu Bumi'. Plakkk! "Heaaa...!"
Tubuh si Mata Iblis dari Sungai Darah terlontar
terhantam tendangan Pendekar Gila yang dikerahkan
dengan tenaga dalam. Sementara Pendekar Gila yang
menyaksikan Rasaka masih terhuyung, segera mem-
buru sambil memukulkan sulingnya ke dada lawan
yang tak mampu mengelak lagi.
Dugkh!

Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hukh...!"
Tubuh Rasaka terdorong ke belakang, lalu jatuh
ke tanah. Namun dengan cepat lelaki berpakaian serba hitam itu bangkit berdiri.
"Kurang ajar! Kupertaruhkan nyawaku, Pendekar
Gila!" dengus Rasaka.
"Hi hi hi...! Hai, monyet apa maumu, silakan!"
sahut Sena seraya cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala. "Kali ini kau mampus, Pendekar Gila...! 'Mata Iblis Pencabut Nyawa', hiaaa...!"
Rasaka melesat cepat sambil mengayunkan go-
loknya memburu tubuh Pendekar Gila. Bersamaan itu
dari mata Rasaka keluar sinar merah, melesat membu-
ru lawan. Melihat serangan berbahaya itu, dengan ce-
pat Pendekar Gila melenting ke udara sambil bersalto.
Sinar merah itu berhasil dielakkan.
Slats! Glarrr...! Brakkk! Sebuah pohon besar terhantam sinar 'Mata Iblis
Pencabut Nyawa'. Ledakan keras menggelegar terden-
gar disusul tumbangnya pohon itu.
"Hi hi hi...! Hebat juga, Monyet! Ah ah ah...! Apimu membakar pohon!" seru
Pendekar Gila setelah
mendarat di atap sebuah rumah penduduk sambil
cengengesan tangannya menggaruk-garuk kepala. Di-
rinya terus berusaha memancing kemarahan lawan.
Melihat lawannya terus mengejek dan tertawa-
tawa, si Mata Iblis dari Sungai Darah geram dan mur-
ka. Dengan penuh amarah tubuhnya melesat, membu-
ru Pendekar Gila. Sambil melayang di udara goloknya
terus diputar-putar cepat
Pendekar Gila mengelak dengan melenting ke
atas, melewati kepala Rasaka sambil melakukan se-
rangan balik yang cepat.
"Hiaaa...!"
"Aits! Heaaa!"
Rasaka merundukkan kepala sambil menangkis
pukulan lawan. Namun Pendekar Gila dengan cepat
membuat gerakan memutar tubuh dengan cepat sam-
bil melompat Rasaka yang tak menduga, kecepatan
tanggapan pemuda bertingkah laku gila itu tersentak.
Tubuhnya meluncur dengan cepat menghindari seran-
gan aneh Pendekar Gila.
"Hih!"
Kaki si Mata Iblis dari Sungai Darah mendarat
ringan di tanah. Namun tampak napasnya agak ter-
sengal-sengal dengan dada turun naik Matanya mena-
tap nanar pada Pendekar Gila yang telah mendarat pu-
la lima tombak di depannya.
"Hhh...!"
Rasaka mendengus, lalu dengan gerakan cepat
kembali melancarkan serangan. Pendekar Gila tak ber-
diam diri, tubuhnya melesat ke depan memapaki se-
rangan lawan. "Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Trang! Trang...!
Pekikan keras memekakkan telinga dan dentan-
gan senjata semakin kerap terdengar. Baik si Mata Iblis dari Sungai Darah maupun
Pendekar Gila tampak-
nya tak ingin menganggap enteng kekuatan lawan. Ke-
duanya kini sama-sama mengerahkan jurus-jurus
tingkat tinggi yang mempertunjukkan gerakan cepat.
Sehingga tubuh keduanya bagaikan menghilang.
"Hi hi hi...! Hei, Mata Monyet, apa sebenarnya
yang kau inginkan...?" tanya Pendekar Gila sambil cekikikan. Tubuhnya terus
melayang menghindari seran-
gan Golok Setan yang mengandung racun ganas itu.
"Heaaa...!"
Wut! "Aits...!"
Trang! Tanpa menghiraukan pertanyaan Pendekar Gila,
Rasaka berteriak keras sambil mengayunkan goloknya.
Tentu saja hal itu membuat Pendekar Gila agak terke-
jut. Namun dengan cepat pula menebaskan sulingnya
memapak golok lawan.
Entah sudah berapa jurus yang mereka kelua-
rkan, tapi keduanya masing memperlihatkan ketang-
guhan masing-masing. Meskipun semula tampak ka-
lau Rasaka agak tersengal-sengal, ternyata kini mem-
perlihatkan kemampuan yang tak boleh dianggap re-
meh. "Heaaa...!"
Golok bergerigi di tangan Rasaka bergerak cepat
ke perut lawan. Melihat serangan cepat dan keras itu, Pendekar Gila segera
mengegos ke samping. Kemudian
menghantamkan kepala Suling Naga Sakti-nya.
"Heaaa...!"
Dugkh! "Hukh...!"
Rasaka terpekik ketika kepala Suling Naga Sakti
itu seperti mematuk, menghantam bagian kepalanya.
Seketika tubuhnya terpelanting dan terhuyung-huyung
di tanah. Darah mengucur membasahi pakaian dan
wajahnya. Melihat hal itu Pendekar Gila tak sampai hati un-
tuk menghabisi lawannya. Walaupun tahu, manusia
seperti si Mata Iblis dari Sungai Darah ini harus dile-nyapkan dari bumi.
Perbuatannya yang sudah sering
membunuh, memperkosa, merampok, dan membina-
sakan tokoh-tokoh persilatan aliran putih, harus sege-ra dihentikan.
"Aku tak mungkin membunuh orang yang sudah
terluka. Tapi, kuminta kau memerintahkan anak
buah-mu yang sedang bertarung di sana, agar menye-
rah. Dan cepat pergi dari sini...!" perintah Sena sambil menunjuk ke tempat Mei
Lie sedang bertarung dengan
seorang anak buah Rasaka, dan Santika yang juga
menghadapi orang berkedok setan yang lain. Sementa-
ra itu kobaran api yang membakar rumah pun masih
menyala-nyala. Rasaka tak menjawab. Matanya yang bagai iblis
tiba-tiba menyala bagai api membara. Sekejap kemu-
dian, sebentuk sinar melesat dan memburu Pendekar
Gila, berasal dari mata si Mata Iblis dari Sungai Darah.
Karena tak menduga lawan akan mengeluarkan seran-
gan itu, Pendekar Gila sempat tersentak. Namun den-
gan secepat kilat melenting ke atas....
Slats...! "Aits...! Kurang ajar juga monyet ini," gumam Pendekar Gila sambil bersalto di
udara. Glarrr...! Brak! Sinar merah dari mata si Mata Iblis dari Sungai
Darah menerjang rumah penduduk, hingga menimbul-
kan ledakan keras. Rumah itu seketika terbakar.
"Aaakh...!"
"Tolong...! Kebakaran, kebakaran! Tolooong..,!"
Seketika jeritan-jeritan penduduk bertambah ra-
mai. Anak-anak dan para wanita panik, berlarian kian kemari. Sementara itu
pertarungan antara Mei lie,
Lohdaya, dan Santika menghadapi anak buah si Mata
Iblis dari Sungai Darah tetap berlangsung.
"Hua ha ha...! Tak mudah menghabisi nyawaku,
Anak Muda!" teriak Rasaka dengan suara terbahak-bahak. Lelaki berambut panjang
dan berpakaian serba
hitam ini tampaknya tak menghiraukan sama sekali
keadaan wajahnya yang telah berlumuran darah. Bah-
kan matanya tampak kian beringas dan menggiriskan.
"Ah ah ah...! Monyet jelek, rupanya kau tak bisa dikasih hati. Hai, Mata Borok!
Kalau kau tak menurut saranku, rasakan ini! Hiaaa...!"
Pendekar Gila yang sudah kehabisan kesabaran
dengan cepat menghantamkan pukulan sakti 'Inti
Brahma'. Dari telapak tangannya melesat larikan api
menyala-nyala memburu tubuh Rasaka. Tanpa ampun
lagi api pun menerjang tubuh lelaki berkedok seram
itu. Srat! Prat!
"Wuakh...!"
Rasaka menjerit-jerit kesakitan. Tubuhnya yang
terbungkus pakaian hitam itu berguling-gulingan, be-
rusaha memadamkan api yang melahapnya. Namun
api itu sulit dipadamkan. Rasaka yang mulanya mera-
sa yakin dapat mengalahkan Pendekar Gila dengan
melakukan pembunuhan dan kekacauan di Desa Pa-
rangan, untuk memancing pemuda gila itu, ternyata
nasib buruk justru menimpa dirinya sendiri. Bukan-
nya Pendekar Gila yang mati, melainkan Rasaka sendi-
ri yang menemui ajalnya, dengan sangat mengerikan.
Tubuhnya hangus bagai arang
Sena atau Pendekar Gila menghela napas dalam-
dalam, lalu menyelipkan kembali Suling Naga Saktinya di pinggang.
"Ah ah ah...! Sayang, kau lebih menginginkan
mati daripada bertobat..," gumam Sena perlahan, seakan bicara pada dirinya
sendiri. Matanya menatap te-
rus mayat Rasaka yang berada lima tombak di hada-
pannya. Mulutnya cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. *** Sementara itu Mei Lie dan Santika masih meng-
hadapi anak buah Rasaka. Begitu pula Lohdaya. Mere-
ka bertarung habis-habisan. Tangan kiri Lohdaya tam-
pak sudah terluka. Melihat itu Ki Lurah Patiasa yang sejak tadi memimpin para
penduduk memadamkan api
cepat bertindak membantu Lohdaya, yang ilmunya
memang tak seberapa.
Sedangkan Mei Lie nampak lebih santai mengha-
dapi lawannya. Tak banyak kerepotan. Tubuhnya
nampak ringan sekali meliuk dan melenting ke atas,
sambil melancarkan serangan balik.
"Hiaaa...!"
Plak! Plak! Bugkh! "Aaakh...!"
Lawan Mei Lie memekik, lalu tubuhnya ter-
huyung-huyung ke belakang, sambil memegangi da-
danya. Tendangan kaki kanan Mei Lie sebelum menda-
rat ke tanah sempat bersarang di dadanya.
"Kau juga ingin mampus seperti pimpinanmu
itu"!" ujar Mei Lie dengan kalem. Matanya menatap tajam ke wajah lawannya sambil
menunjuk mayat Rasa-
ka yang terkapar hangus, sekitar sepuluh tombak di
sebelah kirinya.
Lelaki berambut panjang dan berkedok menye-
ramkan itu tersentak kaget. Matanya terbelalak meli-
hat sang Pemimpin telah tewas dengan keadaan tubuh
sangat mengerikan. Serta merta anak buah Rasaka itu
menjura sambil menyembah.
"Ampunilah aku...! Biarkah aku hidup...!"
"Enak saja kau! Minta ampun" Kenapa kalian
menyerang desa ini, merampok, serta menculik gadis-
gadis desa..."!" tanya Mei Lie dengan ketus.
"Aku hanya mengikuti perintah Rasaka.... Ampu-
ni aku...! Biarlah aku pergi...!" pinta orang yang mu-kanya masih tertutup kedok
itu. Mei Lie segera mem-
buka kedok orang itu dengan ujung pedangnya. Dan
kini terlihat wajah orang itu. Ternyata berparas lu-
mayan, tak ada gambaran kebengisan di wajah pemu-
da itu. Mei Lie merasa heran ketika melihat wajah yang seperti tak berdosa itu.
"Hei..! Menyerahlah kalian! Pimpinan kalian telah mati..!" seru Pendekar Gila
tiba-tiba. Orang-orang yang bertarung menoleh ke arah Pendekar Gila dan
menghentikan pertarungan.
Tiga orang berkedok yang sedang bertarung me-
lawan Santika, Lohdaya, dan Ki Lurah Patiasa, segera menghentikan serangannya.
Dan ketika melihat mayat
Rasaka, ketiganya berlarian meninggalkan Desa Pa-
rangan dengan ketakutan.
Sedangkan seorang yang minta ampun pada Mei
Lie, menyusul kemudian. Setelah berterima kasih pada Mei Lie.
Ki Lurah Patiasa dan anak buahnya merasa ka-
gum dengan tindakan Sena dan Mei Lie, yang tak mau
membunuh lawan, dalam keadaan menyerah dan
mengaku kalah. Itulah sifat seorang pendekar yang
budiman. Penuh cinta kasih sesamanya, walaupun itu
lawan. Ki Lurah Patiasa segera mendekati kedua pende-
kar muda itu, diikuti Santika dan Lohdaya.
"Kami kagum dengan tindakan kalian berdua.
Suatu tindakan yang jarang dimiliki pendekar mana
pun. Kami ucapkan terima kasih pada kalian berdua,"
kata Ki Lurah Patiasa setelah sampai di dekat Sena
dan Mei Lie. "Aha, itu sudah biasa kami lakukan. Dan sudah
tugas kami untuk menolong yang lemah dan mele-
nyapkan yang jahat. Tapi aku merasa ikut sedih den-
gan terbakarnya beberapa rumah penduduk. Kurasa,
hal ini karena orang-orang itu tahu, kalau aku ada di sini. Maafkan aku...!"
kata Sena dengan menggaruk-garuk kepala. Wajahnya terpancar kesedihan ketika
memandangi rumah-rumah penduduk yang terbakar.
Kemudian sambil menghela napas dalam-dalam wa-
jahnya menoleh Ki Lurah Patiasa.
"Kalian tidak bersalah. Kejadian ini membuat
kami harus lebih waspada dan melatih diri untuk
memperdalam ilmu silat. Kalau kalian berdua tak ke-
beratan, sudilah kiranya menjadi guru kami...?" kata Ki Lurah Patiasa kemudian.
"Ya, Tuan Pendekar...," tambah Santika dan Lohdaya seraya menganggukkan kepala.
Pendekar Gila menoleh kepada Mei Lie yang berdiri di sisi kirinya.
Keduanya saling pandang. Kemudian Sena tersenyum-
senyum dan menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi... lucu, lucu sekali! Kami tak keberatan, tapi tugas kami belum
selesai. Masih banyak yang ha-


Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rus kami selesaikan. Maka dengan berat hati, saat ini kami belum bisa
mengabulkan permintaan Ki Lurah
dan kalian semua. Maaf, sekali lagi maaf! Mungkin lain waktu, kami bisa," ucap
Sena dengan kalem sambil menggaruk-garuk kepala dan cekikikan.
Melihat sikap Sena yang mirip orang gila, orang-
orang yang ada di tempat itu tampak keheranan. Na-
mun bagi mereka yang telah tahu ciri khas pendekar
muda itu segera maklum. Mereka hanya tersenyum-
senyum. "Ya, apa kata Kang Sena benar. Mungkin lain
waktu, kami akan luangkan waktu untuk lebih lama
tinggal di Desa Parangan ini," tambah Mei Lie dengan senyum manis.
Ki Lurah Patiasa dan kedua pengawalnya mang-
gut-manggut, mereka bisa memaklumi. Karena mereka
tahu, bahwa Pendekar Gila dan Mei Lie yang dijuluki
'Bidadari Pencabut Nyawa', masih harus menumpas
Penunggang Kuda Iblis. Yang telah menggemparkan
dan membuat kekacauan rimba persilatan.
*** 5 Di halaman sebuah pondok yang terletak di se-
buah bukit, tampak sesosok tubuh tengah mempera-
gakan ilmu pedang. Karena pondok yang terbuat dari
kayu-kayu dan beratap dedaunan itu dikelilingi pepo-
honan besar, gerakan-gerakan cepat yang dilakukan
sosok itu tampak berkelebatan di sela-sela pepohonan.
Meski begitu, dilihat dari bentuk-bentuk gerakan serta suara teriakan dari
mulutnya, jelas kalau sosok itu
seorang wanita. Rambutnya yang panjang dibiarkan
tergerai sampai di pinggang. Gaun longgar serta putih membalut tubuhnya yang
kuning langsat Gerakan-gerakan jurusnya cepat membuat pakaian dan ram-
butnya nampak diterbangkan angin pagi itu. Matahari
di sebelah timur yang menimpa dedaunan bagaikan
memberi semangat dan kehangatan wanita cantik jelita yang ternyata Lara Kanti,
atau lebih dikenal dengan julukan si Penunggang Kuda Iblis.
Di depan Lara Kanti tampak, seorang kakek tua
renta duduk bersila di atas sebuah baru. Mata tuanya yang cekung memandang lurus
ke tubuh Lara Kanti
yang tengah berlatih itu. Kakek berusia sekitar delapan puluh tahun itu bernama
Ki Rawantula. Alisnya yang
tebal dan berwarna putih, serta guratan-guratan pada kulit wajah menggambarkan
pengalaman kehidupan-nya. Ki Rawantula juga merupakan kakak kandung
Tempurung Sakti.
Lara Kanti ternyata anak dari Tempurung Sakti,
yang berarti merupakan kemenakan Ki Rawantula.
(Untuk lebih jelasnya mengenai Tempurung Sakti, silakan baca serial Pendekar
Gila dalam episode: "Titisan Dewi Kuan Im").
Saat itu Lara Kanti sedang berlatih jurus pa-
mungkas 'Penyempurna Raga dan Jiwa' dari sepuluh
jurus 'Pedang Mata Iblis'.
Larakanti tampak terdiam beberapa saat dengan
mata terpejam. Mata pedang ditempelkan pada ke-
ningnya. Setelah cukup lama dirinya mengheningkan
cipta, dibarengi pekikan nyaring, digerakkan pedang-
nya dengan pengerahan kekuatan tenaga dalam. Seke-
tika pedang itu pun memancarkan sinar merah.
"Yeaaat..!"
Wut! Wut! Pedang diarahkan pada sebuah batu besar di
sampingnya dengan gerakan menusuk.
"Hih...!"
Crak! Suara keras terdengar memekakkan telinga. Pe-
dang itu mampu menusuk batu besar hingga tembus.
Dapat kita bayangkan, bagaimana kalau pedang itu di-
gunakan untuk menusuk tubuh manusia.
Plok! Plok! Plok!
Terdengar tepukan tiga kali dari Ki Rawantula
yang masih bersila di atas sebuah batu besar di halaman pondok itu.
"Hebat..!" seru kakek yang bertelanjang dada itu seraya mengancungkan kedua ibu
jarinya. "Terima kasih! Terima kasih, Paman!" sahut Lara Kanti seraya menjura hormat
kepada Ki Rawantula.
Kemudian dimasukkan pedangnya ke dalam warangka
yang tersandang di punggungnya.
Ki Rawantula tersenyum bangga seraya men-
gangguk-anggukkan kepala. Tangan kirinya mengelus-
elus jenggotnya yang telah memutih. Kemudian ka-
kinya membuka lipatan dari duduk bersilanya, lalu
melangkah mendekati Lara Kanti, murid tunggalnya
itu. "Kini ilmumu telah mencapai tingkat hampir sempurna, Anakku. Kurasa sulit
bagimu menemukan
lawan tanding bagi ilmumu yang saat sekarang ini. Ya, kecuali dua orang itu,
Kanti...," ujar Ki Rawantula dengan tatapan tajam pada wajah Lara Kanti yang
hanya duduk diam, menundukkan kepala. "Namun, Paman
yakin, kau akan dapat mengatasinya," lanjutnya dengan suara lirih.
Kakek tua itu masih nampak segar, berdirinya
pun masih tegap, wajahnya terus tersenyum bangga.
Memandangi Lara Kanti.
"Paman bangga sekali denganmu, Kanti. Ayo
bangun, ikut aku!" ajak Ki Rawantula.
Keduanya segera melesat meninggalkan pondok
itu. Tak lama kemudian, mereka sudah berada dekat
air terjun. Lara Kanti dan Ki Rawantula duduk di atas batu besar saling
berhadapan, hanya sekitar tiga tombak dari tempat jatuhnya air terjun. Sehingga
tubuh keduanya tampak mulai basah kuyup.
Ki Rawantula, tampak memejamkan mata. Kedua
tangannya bersidekap di dada, dengan kepala menen-
gadah ke langit. Seakan-akan ingin membuang suara
deras air terjun itu dari telinganya.
Sementara itu Lara Kanti yang duduk bersila pun
tertunduk. Kedua tangannya ditumpangkan di kedua
lutut. Rawantula kemudian membuka matanya perla-
han. Ditatapnya wajah jelita gadis di depannya dengan mata sayu. Lalu tersenyum.
"Kini, tiba saatnya, kau harus menemukan Pen-
dekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa. Bunuhlah
keduanya! Kau harus membalas dendam atas kema-
tian ayahmu, yang juga adik kandung yang kusayangi,
Si Tempurung Sakti. Mengerti...?"
Lara Kanti mengangguk. "Aku akan mencari Pen-
dekar Gila, di mana pun dia berada. Hhh..., tapi kena-pa sampai saat ini aku
belum juga menemukannya,
Paman..."!" gumam Lara Kanti dengan wajah murung.
"Hm.... Bersabarlah! Kali ini kau pasti bertemu dengannya. Hanya Paman
mengkhawatirkan mu, jika
berhadapan dengan Bidadari Pencabut Nyawa itu...,"
ujar Rawantula dengan mengerutkan kening. Sekilas di wajahnya terlihat cemas dan
kebimbangan. "Kenapa, Paman" Apa ilmu pedang yang kau
ajarkan padaku tak mampu mengalahkan mereka..."!"
tanya Lara Kanti dengan gusar. "Aku akan membunuh Pendekar Gila dan Bidadari
Pencabut Nyawa itu.
Hhh..., setelah itu, aku akan jadi jago dan pendekar
yang disegani. Sekaligus membalas dendam atas ke-
matian ayahku," lanjutnya penuh kesombongan.
Mendengar ucapan Lara Kanti, sebenarnya Ra-
wantula kurang suka. Namun karena dirinya takut ka-
lau Lara Kanti akan patah semangat jika ditegur, maka kakek tua berambut putih
itu hanya bisa menyimpan
kekurangsenangan itu di dalam hatinya.
"Kau harus memiliki keyakinan. Jangan ceroboh
jika menghadapi Pendekar Gila. Ia memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun Paman
percaya kau akan bisa
mengalahkannya, Kanti...," kata Rawantula memberikan semangat pada Lara Kanti.
Lara Kanti menjura seraya berkata. "Terima ka-
sih, Paman. Pesan Paman akan kuingat"
"Tapi...," Rawantula tak meneruskan ucapannya.
Hal itu membuat Lara Kanti mengerutkan kening. Ma-
tanya memandang wajah sang Paman. "Paman..."!"
"Oh... he he he.... Tidak apa-apa, Kanti."
"Paman meragukan kemampuanku untuk meng-
hadapi Pendekar Gila yang telah membunuh ayah..."!"
tanya Lara Kanti dengan mengerutkan kening. Nampak
ada kekesalan di hatinya.
Rawantula tak menjawab. Lelaki tua itu sesaat
terdiam. Di helanya napas dalam-dalam. Matanya me-
natap wajah Lara Kanti yang nampak kecewa dan kes-
al. Gadis cantik berpakaian putih itu tampak telah benar-benar yakin, sehingga
merasa kecewa, jika ada il-mu pedang yang lebih tinggi dari yang telah
dipelajarinya. Selama lebih dari dua belas purnama dirinya
memperdalam ilmu pedang di bawah gemblengan sang
Paman. "Maafkan, Paman, Kanti! Tadi Paman hanya te-
ringat akan ayahmu. Karena dia adik kandungku satu-
satunya...," kata Ki Rawantula mencoba mengalihkan perhatian Lara Kanti.
Sebenarnya Ki Rawantula me-
mang sedikit meragukan ilmu pedang yang diberikan
pada Lara Kanti akan bisa mengatasi ilmu pedang
yang dimiliki Mei Lie, atau Suling Naga Sakti milik
Pendekar Gila. Namun lelaki tua itu tak ingin me-
nyampaikan rasa kekhawatirannya pada sang Murid.
Hal itu bisa membuat Lara Kanti marah.
Mendengar penjelasan Ki Rawantula, Lara Kanti
bisa menerima. Namun wanita muda itu nampaknya
tetap belum puas dengan penjelasan sang Paman yang
juga gurunya itu.
Sesaat keduanya diam. Lara Kanti menundukkan
kepala memandangi batu yang didudukinya. Angin
yang berhembus kencang, membuat percikan air ter-
jun semakin mengenai wajah dan seluruh tubuh me-
reka. Namun keduanya tak menghiraukan. Tetap du-
duk dengan tenang. Rawantula nampak baru saja
memejamkan mata. Tak lama kemudian membuka
kembali matanya dengan perlahan, lalu menghela na-
pas panjang. "Besok pagi-pagi, kau boleh pergi mencari pem-
bunuh ayahmu itu. Doa Paman menyertaimu, Kanti....
Sekarang beristirahatlah! Si Ireng kudamu itu beri makan secukupnya. Agar
perjalananmu nanti lancar,"
ujar Ki Rawantula menyarankan dengan suara mantap
penuh wibawa. "Baik, Paman. Akan aku laksanakan perintah
Paman," jawab Lara Kanti sambil menjura.
"Hm...," gumam Rawantula pendek.
*** Ketika matahari pagi baru saja beranjak dari
ufuk timur, tampak seekor kuda hitam berlari kencang melintasi jalan terjal agak
berbatu-batu di sekitar Bukit Palasari. Di punggung kuda itu nampak seorang
bercaping lebar, dengan pakaian compang-camping.
Sedang di punggungnya tersandang sebilah pedang.
Penunggang kuda itu tak lain Lara Kanti. Kuda
hitam itu terus dipacunya dengan kencang. Derap kaki kuda terus melaju, bagai
tak menghiraukan jalan naik turun yang hams dilaluinya. Bukit dan lembah terus
ditelusurinya dalam kecepatan tinggi. Seakan-akan dirinya harus segera mencapai
suatu tempat tujuan. Ma-
tahari pun sudah agak meninggi menghantarkan hawa
panas di tubuh.
"Herrr...! Hop...!"
Kuda hitam itu berhenti. Lara Kanti menyapu
keadaan sekeliling tempatnya. Sepi, tiada tanda-tanda seorang manusia yang
tinggal di tempat gersang itu.
Perlahan kudanya kembali dijalankan. Mata dan telin-
ga wanita bercaping lebar itu terus dipasang dengan
kewaspadaan. Wajahnya menoleh ke sana kemari
mencoba mengawasi sekitar tempat itu. "Hm...."
Lara Kanti menggumam tak jelas. Lalu tersenyum
sinis. Seolah-olah hatinya tahu kalau ada suara tak
jauh dari tempatnya.
Namun Lara Kanti seakan tak menghiraukan.
Bahkan tiba-tiba tangannya menghentakkan tali ken-
dali, hingga melesatlah kuda hitam dan besar itu me-
ninggalkan tempat gersang. Namun ketika sampai di
dataran luas dan berbatu-batu, tiba-tiba bermunculan sepuluh sosok lelaki
berpakaian rompi hitam dan ber-senjatakan golok di tangan. Kesepuluh lelaki yang
mengenakan ikat kepala dan celana juga berwarna hi-
tam itu langsung bergerak mengepung Lara Kanti. Ku-
da yang ditunggangi seperti terkejut, dan meringkik seraya mengangkat kedua kaki
depannya. Kesepuluh le-
laki gagah berpakaian rompi itu berlompatan mundur
sambil mengibas-ngibaskan golok mereka, untuk
menghindari terjangan kaki kuda. Lalu kembali men-
gepung Lara Kanti yang masih duduk di punggung ku-
danya. Namun tiba-tiba melesat sesosok bayangan dari
atas sebuah pohon besar tak jauh dari tempat Lara
Kanti dan kesepuluh lelaki yang menghadangnya. So-
sok bayangan itu mendarat lima tombak dari tempat
Lara Kanti masih memegangi tali kendali kudanya.
Ternyata sesosok lelaki bertubuh tinggi dan besar. Dadanya yang tanpa tertutup
pakaian memperlihatkan
bulu-bulu tebal. Tangan kanannya berkacak pinggang,
sedangkan tangan kiri memilin-milin kumisnya yang
tebal melintang.
"Ha ha ha...! Rupanya ada yang mau mengantar
nyawa di siang hari bolong ini. Hei, siapa kau berani memasuki daerahku..."!"
bentak orang yang dikenal dengan nama Gaek Weling, sesuai dengan ikat kepalanya
dari kulit ular weling atau ular belang. Wajahnya nampak memerah seperti tengah
mabuk oleh arak.
Matanya yang bengis terhias alis tebal hampir menya-
tu. Serta rambutnya yang dibiarkan tergerai, menam-
bah seram penampilan lelaki berusia empat puluh ta-
hunan itu. Melihat dan mendengar suara lelaki yang ada di
hadapannya, Lara Kanti hanya tersenyum sinis. Tu-
buhnya melompat dari punggung kudanya, lalu me-
langkah dua tindak berhadapan dengan Gaek Weling.
"Siapa diriku adanya, kau tak perlu tahu. Dan
apa urusanmu melarang orang yang memasuki daerah


Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini..."!"
Suara Lara Kanti terdengar ketus. Matanya me-
natap tajam pada Gaek Weling.
"Weleh, weleh...! Edan perempuan ini berani me-
natapku demikian. Ha ha ha...! Rupanya kau ingin
mencari mampus!" kata Gaek Weling sambil menuding wajah Lara Kanti. "Kau belum
kenal dengan Gerombo-
lan Serigala Merah! Tangkap dia...!" seru Gaek Weling kemudian.
"Habisi perempuan itu...!"
"Heaaa...!"
Segera sepuluh anak buah Gaek Weling melesat
dengan teriakan nyaring, menyerang Lara Kanti atau si Penunggang Kuda Iblis.
Namun Lara Kanti nampak begitu tenang. Hanya
matanya yang tajam terus mengawasi para penyerang-
nya. Dan ketika lima orang yang berada di depan su-
dah berada pada jangkauan pedangnya, Lara Kanti ti-
ba-tiba mencabut pedangnya. Dengan sekali gebrakan,
babatan dalam jurus 'Pedang Mata Iblis'nya telah
membuat kelima anak buah Gaek Weling bergelimpan-
gan. Perut mereka terbabat hingga terburai ususnya.
Namun tak hanya sampai di situ. Wanita berpakaian
compang-camping mirip gembel itu terus memutar dan
menebaskan pedangnya. Hingga sesaat kemudian lima
orang lainnya telah menyusul dengan tubuh berlumu-
ran darah dari perut dan dada karena tersambar pe-
dang. Gaek Weling tersentak dan membelalakkan mata.
Lelaki yang tadinya merasa di atas angin, seketika wajahnya yang seram dengan
kumis melintang tebal, be-
rubah tegang dan pucat.
"Hah..."!" gumamnya tak jelas, "Aku pernah dengar dan lihat jurus pedang
itu...!" Gaek Weling seperti bicara pada diri sendiri. Pikirannya yang diliputi
rasa takut berusaha mengingat-ingat jurus yang baru saja
dikeluarkan Lara Kanti.
"Ayo, cepat maju! Kukirim kau ke neraka! Kenapa kau diam"! Bukankah tadi akan
mengirimku ke neraka...?" ejek Lara Kanti, lalu melangkah mendekati Gaek Weling
yang masih terkesima dengan jurus Lara Kanti
yang pernah ia kenal.
"Hm,.., tunggu! Sebelum kita bertarung, jelaskan dari mana asalmu dan bagaimana
kau bisa mempela-jari jurus 'Pedang Mata Iblis' itu?" tanya Gaek Weling dengan
suara agak gemetaran.
Lara Kanti mengerutkan kening dengan per-
tanyaan yang diajukan oleh Gaek Weling. Orang yang
tadinya bernafsu menantang dan ingin membunuhnya.
"Untuk apa kau tanyakan hal itu" Hm..., tapi bagaimana kau tahu jurus 'Pedang
Mata Iblis' yang ku-
miliki...?" Lara Kanti balik bertanya pada Gaek Weling.
"Itulah sebabnya. Kukira kita satu guru dan me-
miliki satu niat yang sama...," kata Gaek Weling kemudian. "Satu guru..." Apa
maksudmu, Kisanak?" tanya Lara Kanti masih belum mengerti. Keningnya tampak
berkerut sedangkan matanya menatap tajam Gaek
Weling, sepertinya ingin menyelidik dan menimbang
ucapan lelaki bertubuh besar itu.
"Jurus 'Pedang Mata Iblis', hanya dimiliki Ki
Guru Rawantula, kakak dari Tempurung Sakti...," kata Gaek Weling mencoba memberi
keterangan pada Lara
Kanti. Mendengar nama paman dan ayahnya disebut
Lara Kanti, kembali mengerutkan kening dan bertanya
lagi. "Sebenarnya siapa dan apa maksudmu tadi ingin membunuh" Lalu di mana
Kisanak mengenal Paman
Guru serta Tempurung Sakti..?"
Gaek Weling tak langsung menjawab. Dihelanya
napas dalam-dalam, baru kemudian kembali berkata.
"Panjang ceritanya. Dan yang paling penting, ketika kudengar saudara
seperguruanku, Tempurung Sakti
mati di tangan Pendekar Gila. Saat itu aku merasa
sangat terpukul hingga ingin menuntut balas...."
Lara Kanti kini semakin mengerutkan kening
sambil terus menatapi wajah Gaek Weling, seakan me-
nyelidik akan kebenaran ucapan Gaek Weling.
"Kenapa ketika Tempurung Sakti terbunuh, Ki-
sanak tidak segera datang menurut balas...?" tanya La-ra Kanti.
"Itulah yang kusesalkan. Saat itu sifat buruk masih kuat menguasai diriku. Aku
merampok dan mem-
bunuh, serta menodai gadis-gadis desa. Aku tertang-
kap prajurit Kadipaten Palasari, dan dimasukkan ke
penjara bawah tanah selama lima tahun! Aku tak da-
pat berbuat apa-apa," tutur Gaek Weling menjelaskan.
"Aku hanya menyimpan surat dari Tempurung Sakti yang dititipkan seseorang anak
buahnya. Dalam su-ratnya, aku diminta menemukan anak gadis satu-
satunya yang bernama...."
Belum sempat Gaek Weling meneruskan ucapan-
nya, Lara Kanti dengan cepat mengambil surat yang
berada di tangan Gaek Weling, dengan ujung pedang-
nya. Lalu segera mengamati dan membacanya.
Seketika wajah Lara Kanti yang ada di balik cap-
ing lebar itu nampak berubah sedih. Perlahan gadis itu membuka caping. Sementara
itu, Gaek Weling masih
merasa heran dan bingung. Keningnya berkerut men-
gamati Lara Kanti, ketika melihat bahwa yang ada di
hadapannya ternyata seorang wanita muda yang cu-
kup cantik. Matanya yang tajam dan bening menyi-
ratkan kekerasan jiwanya. Meskipun pakaian yang di-
kenakan compang-camping dan kumal, mampu men-
gingatkan Gaek Weling pada Tempurung Sakti, saha-
batnya. "Kau..."!" Gaek Weling tersentak kaget
"Akulah Suriah...! Tapi kini paman guru membe-
riku nama Lara Kanti," ujar gadis cantik itu dengan suara mantap, namun agak
lemah. Wajahnya yang sedih sudah mulai hilang. Tatapan matanya tetap tertuju
pada Gaek Weling, yang ternyata sahabat ayahnya.
"Oh.... Jagad Dewa Batara...! Kau telah memper-
temukan aku dengan orang yang kucari! He he he....
Jadi kau putri sahabatku itu?" tanya Gaek Weling dengan wajah gembira. Seakan-
akan tak mempermasalah-
kan kematian kesepuluh anak buahnya.
Gaek Weling lalu mengulurkan tangan dan Lara
Kanti menjabatnya.
"Maafkan, aku telah membunuh anak buah-
mu...!" ujar Lara Kanti bernada sesal.
"Tak apalah. Sebaiknya kita segera pergi dari
tempat terkutuk ini. Mari, sama-sama mencari Pende-
kar Gila...!" ajak Gaek Weling.
"Kalau begitu, marilah sama-sama naik kudaku,
biar lebih cepat...," kata Lara Kanti sambil menuju kudanya.
"Tak usah, aku juga membawa kuda...," jawab Gaek Weling. Lalu menepukkan telapak
tangannya tiga kali, maka seekor kuda berwarna coklat dan belang
putih di kepalanya muncul mendekati Gaek Weling
Lara Kanti yang melihat itu tersenyum, lalu sege-
ra menghentakkan tali kekang kudanya. Gaek Weling
pun melakukan hal yang sama. Kedua kuda itu berja-
lan berdampingan menuju ke timur.
"Lara..., sebaiknya kita berpisah, agar sepak ter-jangku bisa leluasa. Jika
terus bersamamu, orang
akan tahu bahwa aku ada di pihakmu. Tapi aku tak
akan jauh darimu. Berpura-puralah seakan kita tak
saling mengenal! Aku akan mengikutimu dari jarak tertentu. Bagaimana,
setuju...?" usul Gaek Weling tiba-tiba. Lara Kanti melirik wajah Gaek Weling.
Lalu kembali memandang ke depan.
"Usul yang bagus..," jawab Lara Kanti singkat.
Kemudian segera menggebah kudanya lebih kencang.
Kini kuda Gaek Weling berada belasan tombak di bela-
kang Lara Kanti.
6 Kabar tentang si Penunggang Kuda Iblis semakin
tersebar di seluruh pelosok Kadipaten Krasaan. Ke-
munculannya membuat para tokoh persilatan semakin
cemas. Karena ingin menentang dan membunuh Pen-
dekar Gila. Sementara itu, Pendekar Gila dan Mei Lie yang
telah tanggap, juga sudah mengatur sebuah rencana
guna memancing si Penunggang Kuda Iblis itu.
Angin pagi bertiup semilir, bersama sinar mentari
yang bergerak lamban di kaki langit sebelah timur. De-sau angin lembut,
senandung burung dan kokok ayam
jantan, menyatu dalam satu irama tertentu.
Di kejauhan nampak seorang pemuda tampan
berpakaian rompi dari kulit ular tengah duduk ber-
tengger di sebuah cabang pohon besar Pemuda beram-
but gondrong yang tak lain Sena tampak tengah me-
nyenandungkan sebuah nyanyian dengan tiupan Sul-
ing Naga Sakti-nya. Namun tiba-tiba suara merdu sul-
ing itu terhenti.
"Ah ah ah...! Kenapa tiba-tiba aku mengkhawa-
tirkan keadaan Mei Lie" Semoga tugas yang dilakukan
berjalan lancar...!" gumam Sena lirih, seperti bicara pada diri sendiri.
Mulutnya tampak cengengesan, sambil menggaruk-garuk kepala.
Pendekar Gila terus menggaruk-garuk kepala
sambil cengengesan. Tubuhnya sudah melompat dari
atas pohon. Kini tampak tengah melompat-lompat dari
batu satu ke batu lainnya. Tiba-tiba langkahnya ter-
henti. Matanya beredar ke sekeliling tempat yang di-
tumbuhi pepohonan hijau menggapai cakrawala. "Hi hi
hi...!" Sena tiba-tiba tertawa, sambil terus menggaruk-garuk kepala, ketika
telinganya menangkap suara kaki menginjak daun kering. Dengan acuh sambil terus
cengengesan, pemuda tampan bertingkah laku seperti
orang gila itu justru duduk bersila di atas tanah berumput. Tangannya menggaruk-
garuk ketiaknya, se-
perti monyet. Lalu diam seperti merenung.
Matanya memandangi kejauhan dengan mulut
masih terus cengengesan.
"Aha! Rupanya ada yang tidak senang aku beris-
tirahat di alam yang bebas ini.... Lucu, hi hi hi,..!" ucap Sena sambil terus
menggaruk-garuk kepala.
Swing! Swing! Tiba-tiba belasan senjata rahasia melesat mem-
buru Pendekar Gila yang masih duduk bersila itu.
"Aha, benar juga dugaanku! Ada orang yang ingin mengajak bermain-main denganku,"
seru Sena sambil melenting dan berjumpalitan di udara. Bersamaan
dengan itu, segera dihantamkan pukulan 'Inti Bayu' ke arah belasan benda yang
meluncur ke tubuhnya.
"Hi hi hi...! Ini mainan kalian kukembalikan!
Heaaa...!"
Wusss! Srats! Seketika serangkum angin menderu kencang,
menghantam senjata rahasia itu.
Swing! Swing...!
Crab! Crab...! "Aaakh...!"
Dari balik semak-semak yang jaraknya sekitar
lima belas tombak, terdengar jeritan kematian. Kemu-
dian tampak empat orang dengan wajah ditutupi kain
ungu mengerang. Leher mereka tertancap senjata ra-
hasia yang tentunya milik mereka sendiri. Kemudian
tubuh mereka ambruk dan mati.
"Hi hi hi...! Orang-orang ini lucu sekali. Hi hi hi..!" kata Sena sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Tangkap dia...!"
Dari balik semak-semak belukar, terdengar teria-
kan seseorang memerintah pada anak buahnya. Seke-
jap kemudian telah bermunculan lima belas orang ber-
pakaian ungu dengan wajah tertutup kain ungu pula.
Mereka langsung mengurung Pendekar Gila yang ma-
sih tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi! Ha ha ha...! Dari mana kunyuk-kunyuk ini...!" seru Sena kemudian.
"Kurang ajar! Cepat tangkap dan bunuh dia...!"
seru pemimpin orang-orang berpakaian serba ungu.
"Hiaaa...!"
"Heaaa...!"
"Haits...! He he he...!" sentak Sena sambil memegangi kepalanya. Tubuhnya
bergerak meliuk-liuk,
mengelakkan serangan lawan.
"Mampus kau, Pemuda Edan...!" teriak pemimpin para penyerang sambil menebaskan
goloknya ke kepala Sena. "Hancur kepalamu, Gila...!"
Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Se-
na menghindari setiap serangan yang datang. Tubuh-
nya meliuk-liuk laksana menari, sambil sesekali tan-
gannya bergerak seperti menepuk ke dada lawan.
"Heaaa...!"
"Eits! Hih...!"
Degkh! "Aaa...!"
Orang yang terkena tepukan Pendekar Gila. seke-
tika memekik. Tubuhnya terlontar ke belakang, me-
layang laksana terbang. Tubuh orang itu baru berhen-
ti, ketika menabrak sebatang pohon besar.
Srak! "Aaakh...!"
Bluk! Kontan saja orang itu menjerit-jerit. Tubuhnya
mengejang. Kain penutup wajahnya bersimbah darah
segar, karena kepala orang itu pecah akibat benturan keras dengan batang pohon
besar tadi. Hutan yang semula sunyi dan sepi, seketika ter-
pecah oleh suara pekikan dan jerit kematian. Banyak
pohon yang tumbang terhantam pukulan mereka.
Rumput-rumput yang mulanya segar menghijau, ber-
serakan terinjak-injak. Binatang-binatang penghuni
hutan itu pun seketika berlarian ketakutan.
Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. Lalu tertawa-tawa.
"Hi hi hi...! Aha! Siapa yang ingin hadiah dari-ku...?" tanya Sena sambil
cengengesan dan bertingkah seperti orang gila.
Pemimpin orang-orang bertutup muka itu berte-
riak keras memerintahkan anak buahnya agar menye-
rang Pendekar Gila.
"Ayo kurung...! Bunuh... pemuda gila itu! Cin-
cang dia...!"
Pendekar Gila masih cengengesan dari mengga-
ruk-garuk kepala, ketika melihat belasan lawan me-


Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyerang dengan membabatkan golok masing-masing.
Namun, dengan cepat Sena kembali bergerak menge-
lak. Kedua kakinya digeser dengan cepat. Tubuhnya
dibungkukkan ke bawah. Tetap dengan mulut cen-
gengesan. "Eits! He he he...," Pendekar Gila tertawa terke-keh-kekeh sambil menggaruk-
garuk kepala. Pantatnya
sengaja ditunggingkan ke arah orang-orang itu, mem-
buat mereka geram dan marah.
"Kurang ajar...!"
Dua orang membabatkan goloknya ke pantat
Pendekar Gila. Wut! Wut! "Heaaa...!"
"Eee..., jangan main pantat! Jorok...! Hi hi hi...!"
ejek Sena sambil mengelak mengegos ke kiri dan ka-
nan. Lalu melenting ke atas, dan kembali mendarat di belakang belasan orang yang
menyerangnya. "Hei, aku di sini! Kemari..!" teriak Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Orang-orang yang mengeroyok cepat berbalik dan
serentak memburu Pendekar Gila.
Kali ini Pendekar Gila tampaknya tak ingin lama-
lama menghadapi orang-orang itu. Maka tanpa mem-
buang-buang waktu dihentakkan kedua tangannya.
Seketika segulungan angin kencang melesat bagi to-
pan. Wusss...! Bruk! "Wua!"
"Aaa...!"
Kesepuluh lelaki berpakaian ungu yang tengah
memburu Pendekar Gila kontan berpentalan terhan-
tam angin pukulan 'Inti Bayu'. Mereka berteriak-teriak kesakitan, karena tempat
jatuh mereka terdiri dari tanah berbatu-batu. Tanpa ampun lagi, kesepuluh lelaki
bergolok itu tak mampu bangun lagi
"Hi hi hi...! Rasakan kalian, Kunyuk!" Pendekar Gila cengengesan sambil garuk-
garuk kepala. Lalu
menjulurkan lidahnya mengejek lelaki bertelanjang
dada pemimpin kesepuluh penjahat itu.
"Kurang ajar...! Minggir! Biar kuhadapi orang gila ini!" seru Somakarta kalap,
Tangan Geledek 2 Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 23
^