Syair Maut Lelaki Buntung 1
Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung Bagian 1
SYAIR MAUT LELAKI BUNTUNG Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Syair Maut Lelaki Buntung
128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Pagi nampak cerah dengan langit biru ben-
ing, tanpa sedikit mega. Angin berhembus perla-
han, membawa kesejukan yang alami. Namun ke-
heningan pagi itu dirobek oleh suara gelak tawa
dari tiga sosok yang tengah menelusuri jalan terjal di Bukit Jatira. Ketiga
sosok itu tampaknya
tengah dilanda kegirangan. Suara tawa mereka
bergema, bagai dikerahkan dengan kekuatan te-
naga dalam. Satu di antara ketiga sosok lelaki itu memi-
liki wajah angker dan bengis. Matanya tampak
kemerahan, dengan sepasang alis tebal yang sal-
ing bertautan. Bajunya yang hitam legam dibiar-
kan terbuka di bagian dada. Ikat kepalanya yang
hitam bergaris putih melingkar mengikat rambut-
nya yang panjang.
Lelaki berusia setengah baya itu terus me-
langkah sambil tertawa-tawa, diikuti dua kawan-
nya yang berpakaian rompi abu-abu.
"Ha ha ha...! Sepuluh tahun terakhir ini
aku merasa bebas. Bebas berbuat sesuka hatiku.
Karena Perguruan Gunung Talang yang kita bu-
mihanguskan itu sudah terkubur, bersama si Tua
Bangka, Damar Kiwangi," ucap lelaki berpakaian serba hitam itu seraya terus
mengumbar tawanya. Kakinya terus melangkah tanpa menghi-
raukan keadaan sekitarnya.
"Benar, Kakang Kala Hitam.... Kini kita bisa memiliki penghasilan yang tak akan
ada habis- habisnya. Hasil bumi dan berbagai upeti dari
penduduk terus mengalir, Tak seorang pun berani
menentang kita. Orang-orang Kadipaten Galih Pu-
tih pun tampaknya segan terhadap kita. Ha ha
ha...!" timpal Kebo Kluwuk salah seorang teman lelaki berpakaian hitam yang
ternyata bernama
Kala Hitam. "Benar! Orang-orang kadipaten diam sete-
lah kita sumpel mulut dan perut mereka dengan
sebagian penghasilan kita. Dan tampaknya mere-
ka akan tetap membiarkan kita selama kita tetap
menyediakan perempuan-perempuan untuk me-
reka. Ha ha ha...!" tambah Rodoprana, juga sambil memperdengarkan tawanya.
Ketiga lelaki itu memiliki ilmu meringankan
tubuh yang tinggi. Begitu cepat ketiganya berlari hingga dalam waktu singkat
mereka sudah me-nempuh jarak ratusan tombak. Suara gelak tawa
mereka terus terdengar di sepanjang perjalanan.
Namun dari kejauhan tiba-tiba muncul se-
sosok bayangan melesat memburu ketiga lelaki
berwajah beringas itu. Sosok bayangan itu pun
tampaknya mengerahkan ilmu meringankan tu-
buh yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Kala Hitam yang mempunyai pendengaran
tajam bagai serigala, cepat menghentikan larinya.
Hal itu membuat kedua temannya keheranan
dengan mengerutkan kening, lalu menghentikan
lari dan berhenti. Kebo Kluwuk dan Rodoprana
saling pandang.
"Hmmm! Rupanya ada yang mengikuti ki-
ta," gumam Kala Hitam. Matanya menyelidik se-
keliling Lembah Bulak Rawa, "Ha ha ha....! Pagi ini kita akan bermain-main
kawan...!"
Kebo Kluwuk dan Rodoprana tampaknya
belum mengerti. Namun kemudian kedua lelaki
bertubuh gagah itu cepat menangkap ucapan Ka-
la Hitam. Maka keduanya langsung tertawa ter-
bahak-bahak sambil menggeser keris yang terse-
lip di pinggang mereka.
"Kala Hitam! Pagi ini kau kelihatan sangat
gembira. Begitu bebas dengan sepak terjangmu.
Kau lupa bahwa di balik tawamu yang memecah
kesunyian pagi indah ini, akan berubah menjadi
malapetaka bagi dirimu, juga kedua temanmu
itu!" Terdengar suara yang tanpa terlihat siapa pemiliknya. Kala Hitam
mengerutkan kening.
Dengan perasaan geram, matanya jelakitan men-
cari dari mana asal suara itu. Namun tetap tak
diketemukannya pemilik suara yang terdengar je-
las itu. Kebo Kluwuk dan Rodoprana pun mela-
kukan hal yang sama. Tak satu pun yang dapat
melihat sosok seseorang yang menyapa Kala Hi-
tam. "Bangsat! Setan alas! Dedemit apa kau" Keluar...!" sera Kala Hitam marah.
"Tunjukkan wujudmu, kalau memang kau ingin mencoba ilmu-
ku! Ayo, keluar...! Keluar...!"
Tantang Kala Hitam penuh amarah sambil
mondar-mandir. Dikerahkan penglihatannya un-
tuk mengawasi sekitar tempat itu. Namun tetap
saja tak menemukan apa yang dicarinya.
"Hhh...! Bedebah!"
"Ha ha ha...! Kala Hitam! Kau memang ma-
nusia berhati iblis! Memfitnah dan merampas har-
ta, serta membunuh orang yang tak bersalah. Ta-
pi kau lupa, salah seorang dari keluarga yang kau bunuh, masih hidup! Dan kini
akan menuntut balas padamu Kala Hitam. Bersiaplah untuk ma-
ti!" Terdengar lagi suara bergema. Kali ini lebih
keras hingga membuat Kala Hitam tersentak ka-
get. Mendadak dirinya merasa tegang dan cemas.
Belum sempat Kala Hitam mengingat, siapa
yang dimaksud suara itu. Tiba-tiba terdengar lan-tunan sebuah syair....
Kidung Kehidupan
Pertama Kali Dia Hadir
Tetesan Darah Akan Tiba
Hutang Budi Dibayar Budi
Hutang Nyawa Dibayar Nyawa
Hutang Pati Dibayar Pati....
Kala Hitam semakin tegang. Seketika keringat dingin membasahi kening dan
wajahnya yang angker itu. Namun kali ini kegarangannya
sedikit berkurang. Tak ada lagi gelak tawa seperti semula. Yang ada ketegangan
dan kecemasan bersampur jadi satu di benak lelaki itu.
"Siapa kau sebenarnya! Aku tak ada uru-
san denganmu. Keluar...!" seru Kala Hitam keras sambil mencabut kerisnya. "Ayo,
lawan aku, Setan Belang...! Tunjukkan keberanianmu, ayo! Ayo, hadapi Kala
Hitam...!"
Begitu suara Kala Hitam berhenti, tiba-tiba
sesosok bayangan berkelebat menyerang mereka
bertiga. Seketika Kebo Kluwuk dan Rodoprana
menjerit setinggi langit. Tangan mereka yang me-
megang keris, menutupi wajah yang mengucur-
kan darah. Sesaat kemudian keduanya yang
mengenakan rompi hitam ambruk tanpa nyawa.
"Kurang ajar.'" maki Kala Hitam geram,
"Siapa kau, manusia atau setan"!"
Belum habis Kala Hitam menenangkan hati
dari ketegangan muncul sesosok tubuh lelaki
tanpa kaki, alias buntung. Wajah lelaki berusia
sekitar lima puluh tahun itu tak begitu jelas, karena tertutup rambut panjangnya
yang dibiarkan tergerai tak karuan. Acak-acakan! Lelaki itu berdiri dengan lututnya, yang
terbungkus kain hi-
tam. Meskipun tanpa kaki tubuhnya dapat berdiri
tegak. Wajahnya sinis menatap Kala Hitam yang
masih bertanya-tanya dalam hati.
Sejauh itu Kala Hitam bisa mengenali siapa
sebenarnya lelaki buntung itu. Matanya tak ber-
kedip, terus mengawasi sosok berpakaian merah
di depannya. "Kala Hitam, kau belum terlalu tua untuk
mengenali siapa aku adanya," tukas lelaki berkaki buntung itu. Senyum sinis
terus mengembang di
bibirnya. Kemudian lelaki itu kembali bersyair seperti tadi.
"Hentikan syair bututmu, Tua Bangka Ke-
parat!" maki Kala Hitam sengit. Namun lelaki buntung itu bagaikan tak peduli
mulutnya terus menyuarakan syair, membuat Kala Hitam yang
mendengarkan tampak kian marah.
"Hhh...! Kau nampak lebih muda dari
usiamu, Kala Hitam. Aku salut padamu! Tapi aku
benci kelicikanmu, tindakanmu membunuh orang
yang tak bersalah, bersama keempat temanmu.
Hasratmu terlalu besar ingin menguasai rimba
persilatan di Kadipaten Galih Putih yang saat itu sedang goyah. Para senapati
dan orang-orang kadipaten telah rusak. Moral mereka telah bejat karena hasutan
dan kelicikanmu. Kau memang pin-
tar Kala Hitam!" lelaki berkaki buntung itu lalu menggeser kecapinya ke depan
dada. "Dan kau tentunya masih ingat dengan adik dari Ki Damar
Kiwangi yang kau buntungi kakinya, lalu kau
buang ke Jurang Mager Wadas. Aku percaya kau
ingat ini! Sebab, kau murka, ketika aku mengha-
langimu memperkosa istriku!"
Kala Hitam tersentak kaget. Tiba-tiba diin-
gatnya peristiwa sepuluh tahun yang lalu. Namun
cepat-cepat dia coba menyembunyikan rasa ka-
getnya sambil berkata,
"Ahhh! Kau jangan mengada-ada! Kau
hanya hantu! Tak mungkin kau bisa hidup lagi!
Semua orang tahu, Mager Wadas merupakan ju-
rang iblis...! Pergi! Atau aku mengusir arwahmu
dengan keris pusakaku ini..."!"
Kala Hitam segera mengibaskan kerisnya
dengan gerakan yang aneh dan cepat
Lelaki buntung hanya diam. Wajahnya
yang tertutup rambut tetap tenang menghadapi
Kala Hitam yang nampak gusar dan tegang itu.
Lelaki buntung itu mulai memetik dawai-dawai
kecapinya. Seketika terdengar suara irama peti-
kan kecapi itu yang melengking tinggi. Ketika Ka-la Hitam melesat cepat
melancarkan serangan,
secepat itu pula lelaki buntung itu menghentak-
kan kecapinya ke depan.
"Heaaa...!"
Wrt! Cras! Cras! Cras!
Begitu cepat lelaki buntung itu mendahului
gerakan Kala Hitam. Sekali gebrak, wajah Kala
Hitam dan kedua kawannya berantakan, terkena
sentakan senar kecapi yang seperti sengaja dipu-
tuskan dari tempatnya. Senar-senar itu bagaikan
hidup, menyabet wajah Kala Hitam hingga men-
galami luka parah. Darah meleleh dari kulit wajah dan sepasang matanya yang
tertusuk senar kecapi.
"Aaauuuwww...! Waaaa...!"
Kala Hitam menjerit-jerit dengan tubuh
berputar-putar sempoyongan. Kedua tangannya
tetap menutup wajah yang berdarah ketika tubuh
Kala Hitam ambruk ke tanah. Sesaat kemudian
sekujur kulit tubuhnya membiru, lalu tewas.
Lelaki buntung itu tersenyum. Matanya
yang tajam menatap tubuh Kala Hitam sudah tak
bernyawa lagi "Aku puas...! Satu dari lima anggota Partai Panca Siwara sudah kubunuh. Ha ha
ha...!" *** Tak lama setelah kepergian si Penyair
Maut, dari arah barat muncul dua sosok lelaki.
Dari kejauhan tampak pakaian yang mereka ke-
nakan adalah seragam prajurit kerajaan. Kedua-
nya terus melangkah ke timur semakin dekat
dengan Lembah Bulak Rawa. Tiba-tiba lelaki ga-
gah yang mengenakan pakaian kuning kemera-
han menghentikan langkahnya. Matanya yang ta-
jam menatap lurus ke depan. Seperti ada sesuatu
yang tengah diperhatikan.
"Kebo Jampe! Aku melihat sesosok
mayat..," ujar lelaki berkumis tipis itu seraya mengernyitkan keningnya.
"Ah, Kakang Wiryapaksi salah lihat ba-
rangkali," sahut lelaki berpakaian lengan panjang warna abu-abu, yang dipanggil
Kebo Jampe. "Hmh..., percuma aku seorang senapati ka-
lau melihat hal yang mencurigakan tidak awas!"
tukas lelaki berpakaian kuning kemerahan yang
ternyata Senapati Wiryapaksi. Seorang panglima
perang yang paling disegani di Kadipaten Galih
Putih. Tanpa menanggapi ucapan Senapati Wi-
ryapaksi, Kebo Jampe langsung berlari mendahu-
lui, karena hatinya membenarkan apa yang telah
dilihat di depan mereka. Adipati Wiryapaksi pun
langsung melesat
"Hah"! Tak mungkin!" sentak Senapati Wiryapaksi dengan mata terbelalak. "Tak
mungkin dia mati! Pasti orang yang membunuhnya memiliki ilmu sangat tinggi,"
Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ujar Senapati Wiryapaksi tak percaya.
"Ya! Kita tahu siapa Kala Hitam. Dia memi-
liki ilmu yang cukup tinggi. Apalagi dengan Keris Pencabut Nyawa yang ampuh
itu," sahut Kebo
Jampe dengan mata menatap mayat Kala Hitam.
"Hanya Pendekar Gila yang bisa mengalah-
kannya. Tapi mungkinkah Pendekar Gila murid
Singo Edan yang melakukan..."!"
Senapati Wiryapaksi lalu mengedarkan
pandangan ke sekeliling Lembah Bulak Rawa
yang sunyi dan sepi. Tak ada tanda-tanda adanya
orang lain, selain dirinya dan Kebo Jampe. Angin kencang berhembus menerpa wajah
Senapati Wiryapaksi yang dihiasi kumis tipis di atas bibirnya.
Hidung yang mancung mirip paruh burung betet
tampak kembang-kempis. Dan matanya yang be-
sar menatap tajam ke sekelilingnya, terus men-
gawasi dengan sikap waspada.
"Nampaknya belum berapa lama kematian
Kala Hitam. Aku merasa orang yang membunuh
Kala Hitam belum jauh dari tempat ini," ujar Panglima Perang Kadipaten Galih
Putin yang memang
berkomplot dengan kelompok yang dipimpin Kala
Hitam. "Hm...," gumam Kebo Jampe yang juga nampak tegang. Karena merasakan
suasana di Lembah Bulak Rawa yang luas itu mulai terasa
mencekam. Matanya terus menyapu sekeliling
tempat itu. "Sebaiknya kita pergi ke timur. Orang itu
pasti belum jauh...," usul Senapati Wiryapaksi, la-lu melesat ke timur diikuti
Kebo Jampe. Dengan
memakai ilmu meringankan tubuh yang cukup
tinggi, keduanya meninggalkan tempat mayat Ka-
la Hitam dan temannya tergeletak
Langkah kedua prajurit kadipaten ini tam-
pak seperti terbang. Cepat, hingga terlihat hanya bayangan kekuningan melesat
bagai angin. Tak lama kemudian Senapati Wiryapaksi
dan Kebo Jampe menghentikan larinya, setelah
lepas dari Lembah Bulak Rawa. Cukup jauh ke-
duanya meninggalkan tempat semula.
Senapati Wiryapaksi menghela napas pan-
jang, matanya menyapu tempat itu. Ternyata me-
reka berdua berada di suatu tempat yang belum
pernah diinjak. Keduanya tampak keheranan dan
merasa asing. "Kau tahu apa nama tempat ini Kebo
Jampe?" tanya Senapati Wiryapaksi dengan suara berat. Matanya terus menyelidik
sekeliling tempat yang masih asing baginya. Sunyi, sepi, dan berke-san angker.
Tempat itu mirip sebuah hutan kecil.
Namun pepohonannya tampak kering dan me-
ranggas. Kebo Jampe tampak agak tertegun ketika
matanya melihat sebuah kuburan tua di sebelah
kanan tempat keduanya berdiri. Anehnya pula
ada asap putih mengepul.
"Aku pun belum pernah tahu tempat ini.
Mungkin kita salah arah," jawab Kebo Jampe, setelah beberapa saat berpikir.
Matanya jelakitan
memandangi tempat yang nampak angker itu.
Ketika Kebo Jampe menoleh ke sebelah
kanan. "Hah!" gumamnya keras. Matanya terbelalak lebar memandang ke satu arah.
"Ada apa Kebo Jampe...?" tanya Senapati Wiryapaksi dengan kening berkerut
Kebo Jampe tak menjawab, dia hanya me-
nunjuk ke sebelah kanannya. Senapati Wiryapak-
si pun tersentak kaget dengan mata membelalak
lebar. Ternyata di dekat sebuah batu nisan kuburan tua itu samar-samar terlihat
bayangan keme- rahan berbentuk manusia. Asap putih yang me-
nyelimuti tempat itu membuat mata Senapati Wi-
ryapaksi dan Kebo Jampe tak dapat memperjelas
pandangan mereka.
Kedua prajurit kadipaten itu saling pan-
dang. Lalu kembali menoleh ke sosok yang berdiri dekat batu nisan kuburan tua
tadi. Tiba-tiba terdengar bunyi petikan kecapi
mengiringi alunan syair. Alunan itu ternyata ke-
luar dari mulut sesosok manusia berukuran pen-
dek yang berdiri di dekat nisan kuburan tua itu.
Senapati Wiryapaksi dan Kebo Jampe ter-
sentak kaget serta merasa tegang, mendengar
alunan syair itu. Disertai petikan kecapinya.
Kidung Kehidupan
Pertama Kali Dia Hadir
Tetesan Darah Akan Tiba
Hutang Budi Dibayar Budi
Hutang Nyawa Dibayar Nyawa
Hutang Pati Harus Dibayar Pati....
Dalam suasana hati diliputi ketegangan kedua prajurit kadipaten itu mencabut
keris yang terselip di pinggang masing-masing
"Hei! Siapa kau"! Manusia atau hantu..."!"
seru Senapati Wiryapaksi dengan menghunuskan
kerisnya. "Mendekatlah, kalau kau memang manusia!" Namun sosok bertubuh pendek
berpakaian hitam itu tetap saja bungkam. Dan terus memainkan kecapinya. Bunyi
kecapi semakin lama
semakin keras dan melengking nyaring tinggi.
Memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu an-
gin menderu begitu kencang.
Wesss...! "Ha ha ha...! Hai, Senapati pembawa ke-
maksiatan, kekejaman, kemurkaan! Hari ini akan
kucabut nyawamu.... Bersiaplah!"
Suara itu terdengar keras menggelegar. Se-
napati Wiryapaksi dan Kebo Jampe semakin tak
mengerti dan tegang.
"Setan alas...! Siapa kau sebenarnya...! Bagaimana kau bisa mengenaliku"!"
teriak Senapati Wiryapaksi dengan geram.
"Hei, Manusia Durhaka! Rupanya kau lupa
peristiwa sepuluh tahun silam di Padepokan Gu-
nung Talang! Kurasa kau belum terlalu tua untuk
mengingatnya, Senapati Wiryapaksi...."
"Hah, Padepokan Gunung Talang..."!" Senapati Wiryapaksi bergumam lirih sambil
menge- rutkan kening. Belum sempat dia dapat mengin-
gat sesuatu. Tiba-tiba....
Wut! Wut! Wut...!
Wrt! Cras! Cras! Begitu cepat bayangan itu berkelebat me-
nyerang, hingga Senapati Wiryapaksi dari Kebo
Jampe tak dapat mengelak. Seketika itu pula ke-
duanya menjerit setinggi langit. Senapati Wirya-
paksi yang masih bisa menangkis serangan sebi-
sanya juga terluka di tangan kiri. Sedangkan Ke-
bo Jampe yang sangat terkejut terkena sambaran
di wajahnya. Sambil meraung-raung kesakitan le-
laki berpakaian abu-abu itu menutupi wajahnya
dengan telapak tangan.
Senapati Wiryapaksi mengerang kesakitan
dan menjerit-jerit, sambil memegangi tangan ki-
rinya yang ternyata putus.
Belum sempat laki-laki gagah itu memulih-
kan tenaga dalamnya, sosok laki-laki buntung
yang ternyata si Penyair Maut itu melesat cepat
melancarkan serangan susulan, sambil bergerak
cepat tangannya menyentakkan senar-senar ke-
capi yang seperti sengaja diputuskan dari tem-
patnya. Senar-senar itu bagaikan hidup, meng-
hantam wajah Senapati Wiryapaksi tercabik-cabik
tak karuan. Seperti halnya wajah Kebo Jampe
yang kini sudah tewas dengan tubuh berubah
membiru. "Aaawww...!"
Senapati Wiryapaksi menjerit-jerit sambil
menutupi wajahnya yang rusak. Matanya pun ter-
tancap senar kecapi, hingga berlubang. Darah
bercucuran keluar dari lubang mata. Begitu pun
dari wajahnya yang tercabik-cabik senar maut itu.
Tubuh Panglima Perang Kadipaten Galih Putih itu
kelojotan lalu ambruk dengan keras ke tanah.
Si Penyair Maut tampak belum puas meli-
hat Senapati Wiryapaksi belum mati. Dengan me-
lompat dan mengangkat kecapinya, lelaki bun-
tung itu kembali melakukan serangan.
"Hieaaa...!"
Jlep! Jlep! "Aaakh...!"
Senapati Wiryapaksi kembali menjerit pan-
jang. Tubuhnya tertancap ujung kecapi hingga
tembus. Lalu lelaki buntung itu mencabut kemba-
li kecapinya seraya tersenyum puas. Wajahnya
yang tak nampak jelas, karena selain tempat itu
diliputi asap, juga tertutup rambut panjang sebatas bahu. Pakaiannya yang serba
merah dan kumal itu menandakan, kalau lelaki buntung itu
seakan tak pernah membersihkan badan.
"Ha ha ha...! Tinggal tiga lagi. Cepat atau lambat aku harus bunuh mereka,"
lelaki buntung itu tertawa terbahak-bahak. Lalu dibersihkannya
ujung kecapi yang penuh darah dengan ujung ba-
junya. Kemudian, lelaki buntung itu melesat pergi meninggalkan kedua mayat. Dan
menghilang begitu cepat. Hal itu menandakan kalau ilmu yang
dimiliki lelaki si Penyair Maut itu sangat tinggi.
Hanya suara tawanya yang menggelegar bagai
memecah bumi terdengar di kejauhan, hingga
perlahan-lahan menghilang.
Saat itu mendung menyelimuti bumi. Angin
bertiup sangat kencang, seakan hendak mero-
bohkan pepohonan atau apa saja yang ada di
tempat itu. Petir mulai menyambar-nyambar. Dan
bunyi guntur menggelegar, menjadikan suasana
mencekam dan keruh. Hujan pun turun dengan
deras. Tempat yang semula angker dan mena-
kutkan, kini semakin mengerikan. Bagai suasana
alam gaib, tempat segala hantu dan dedemit.
Tempat itu ternyata tempat semadi lelaki buntung itu. Karena di situlah kuburan
Ki Damar Kiwangi, kakak kandung si Penyair Maut berada.
Tak seorang pun tahu di tempat itu terletak
makam Ki Damar Kiwangi. Tokoh aliran putih itu
dibunuh secara keji oleh kawanan Gerombolan
Partai Panca Siwara. Kelompok tokoh golongan hi-
tam yang anggotanya, Kala Hitam, Senapati Wi-
ryapaksi, Kidang Pangarsura, Warik Kala, dan Be-
ruk Singgala. Kelima tokoh itu sama memiliki ilmu tinggi.
Namun mereka kejam dan durjana. Beruk Singga-
la seorang tokoh aliran hitam dari Pulau Andalas.
Dia memiliki ilmu sesat, yaitu ilmu sihir yang
sangat menakutkan. Pangeran Sasanadipa tak
luput dari ilmu sihirnya. Hingga lupa ingatan.
Minuman yang diramu Beruk Singgala dengan
jampi-jampinya sempat membuat pangeran dari
Kadipaten Galih Putih itu mudah dipengaruhi
oleh kelompok sesat yang dipimpin Kala Hitam.
Begitu pula yang dilakukan terhadap para
pejabat di Kadipaten Galih Putih. Gerombolan
yang dipimpin Kala Hitam telah banyak mempen-
garuhi orang-orang dalam pemerintahan dengan
berbagai macam hasutan. Lebih parah lagi, ketika para pembesar pemerintah
kadipaten itu berhasil
dicekoki dengan perawan-perawan cantik yang di-
culik dari desa-desa.
Siasat sepak terjang yang keji dilakukan
oleh Kala Hitam dan para anak buahnya. Yang
menjadi korban keganasan mereka tak lain rakyat
jelata. Mereka memeras rakyat dengan berbagai
macam pajak dan upeti. Hasil bumi yang dikerja-
kan rakyat pun tak luput dari gangguan orang-
orang Partai Panca Siwara.
Namun sayang, sejauh itu tak satu pun pa-
ra pendekar dan prajurit kadipaten yang berhasil membekuk Kala Hitam dan para
begundalnya. Apalagi keadaan di dalam kadipaten sendiri se-
makin dikacaukan oleh hasutan tokoh-tokoh se-
sat itu. Hanya si Penyair Maut yang telah memulai!
Sepak terjangnya berkitar belakang dendam ke-
sumat Lelaki buntung itu terus berlari mening-
galkan tempatnya bersemadi. Hujan deras meng-
guyur tubuhnya yang pendek tanpa kaki.
2 Para pejabat di Kadipaten Galih Putih san-
gat terkejut ketika mendengar senapati yang pal-
ing ditakuti dan berilmu tinggi terbunuh secara
mengenaskan. Para senapati lain merasa cemas.
Sementara itu Pangeran Sasanadipa justru se-
dang asyik berpesta pora dengan para selirnya,
sambil menonton tarian dibawakan gadis-gadis
penari istana. Suasana meriah pesta yang di-
selenggarakan oleh Pangeran Sasanadipa sangat
bertolak belakang dengan perasaan duka dan ce-
mas yang melanda para prajurit. Seolah-olah tak
pernah terjadi peristiwa mengenaskan itu. Bagai
terlupakan sama sekali kematian seorang pangli-
ma yang sangat ditakuti itu di benak sang Pange-
ran. Namun itulah yang sangat diinginkan sang
Pangeran yang moralnya telah dibuat bejat oleh
ilmu sihir Beruk Singgala. Salah seorang dari Partai Panca Siwara yang berniat
dapat menguasai
kadipaten dan seluruh desa untuk dijadikan alat
menimbun kekayaan dan kekuasaan.
Kidang Pangarsura dan Warik Kala yang
Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saat itu berada di kadipaten sangat terkejut mendengar berita, Kala Hitam dan
Senapati Wirya-
paksi terbunuh secara tiba-tiba dalam hari yang
sama. "Aku belum percaya kalau belum melihat mayat Kala Hitam dan Senapati
Wiryapaksi...!"
ujar Kidang Pangarsura dengan geram sambil
mengancam seorang senapati kadipaten yang
hendak melapor pada Pangeran Sasanadipa.
"Apa kau sudah lupa, bahwa pangeran pun
tak akan menanggapi laporanmu. Dia saat ini se-
dang bersenang-senang. Kau ini seperti orang ba-
ru saja di kadipaten ini"!" bentak Warik Kala pada senapati yang bernama Bantlik
Sampit, "Apa kau juga lupa bahwa di kadipaten ini yang berkuasa
Partai Panca Siwara. Sana pergi...!"
Warik Kala mendorong tubuh Senapati
Bantlik Sampit. Lelaki tua berpakaian lurik itu sudah mabuk karena terlalu
banyak minum tuak
dan sihir Beruk Singgala.
"Sebaiknya kematian Kala Hitam dan Se-
napati Wiryapaksi kita selidiki. Aku tak yakin Ka-la Hitam yang memiliki ilmu
setaraf dengan kita, bahkan lebih tinggi bisa mati segampang itu!"
bantah Kidang Pangarsuara masih belum per-
caya. Dipukul-pukulkan kepalan tangan kanan-
nya ke telapak tangan kiri. Lalu mulutnya men-
dengus sambil menggertakkan gigi, seakan-akan
ada kegeraman yang ditahan dalam hatinya.
"Kalau memang benar, orang yang mem-
bunuh kedua kawan kita itu pasti bukan tokoh
sembarangan," tukas Warik Kala cemas sambil mengerutkan kening. Sepertinya dia
sedang berpikir keras, mencari jawaban siapa yang membu-
nuh kedua sahabatnya itu.
Sementara itu di ruang pesta, nampak su-
asana semakin bertambah gila. Mata sang Pange-
ran yang terpengaruh sihir Beruk Singgala tam-
pak membelalak lebar. Lalu disuruhnya salah
seorang penari paling depan dan cantik datang ke tempatnya.
Tanpa lama-lama lagi penari yang ditunjuk
Pangeran Sasanadipa itu mendekat sambil terse-
nyum-senyum manja.
Begitu berada di hadapannya sang Pange-
ran langsung memeluknya. Tangannya menggeluti
penari cantik bertubuh sintal itu. Para selirnya hanya tersenyum-senyum dan
bahkan nampak senang. Akhirnya sang Pangeran membawa penari
ini ke kamarnya, sambil terus menciumi seluruh
tubuhnya. Dan keempat wanita selirnya mengiku-
ti sang Pangeran yang menggandeng penari itu ke
dalam kamarnya.
Begitu Pangeran Sasanadipa menghilang
masuk ke kamarnya, para pengawal, senapati,
dan orang-orang penting kadipaten, langsung
mengambil pesanan para penari lainnya. Para pe-
nari yang masih muda-muda itu tak menolak, ju-
stru nampak bergembira. Tubuh mereka diciumi
dan dirangkul oleh para pengawal dan senapati.
Kemudian mereka bergumul di ruangan pesta itu
sesuka hati, tanpa ada rasa malu satu sama lain-
nya. Kadipaten Galih Putih yang dulu terkenal
dan disegani, telah berubah menjadi tempat mak-
siat. Setelah dikuasai Partai Panca Siwara yang
sengaja membuat hancur kekuatan kadipaten itu.
"Kita harus cepat memberi tahu Danur Sa-
ka dan Beruk Singgala, sebelum menyelidiki, sia-
pa pembunuh Kala Hitam dan Senapati Wirya-
paksi!" ujar Warik Kala mendesak Kidang Pangarsura. "Benar. Tapi di mana mereka
sekarang berada" Terutama Beruk Singgala. Aku khawatir dia
pulang ke Pulau Andalas!" tukas Kidang Pangarsura cemas. Lelaki yang bertubuh
besar dan ber- kumis tebal, memperlihatkan perasaan tak te-
nang. Matanya yang merah menatap ke sana ke-
mari karena gelisah.
"Kita cari saja. Atau kita temukan Danur
Saka dulu. Siapa tahu Danur Saka menerima pe-
san dari Beruk Singgala, di mana harus menca-
rinya," ujar Warik Kala memutuskan.
Kidang Pangarsura manggut-manggut,
membenarkan usul Warik Kala.
"Benar. Ayo, kita berangkat! Biar saja pan-
geran edan itu sibuk dengan perempuan-
perempuan gundiknya!" jawab Kidang Pangarsu-ra. Yang kemudian mengajak Warik
Kala pergi da- ri Kadipaten Galih Putih.
Kedua anggota Partai Panca Siwara tak
mempedulikan Pangeran Sasanadipa yang tengah
bercumbu dengan seorang penari ditemani keem-
pat selirnya. Tak lama kemudian Kidang Pangarsura
dan Warik Kala sudah sampai di luar lingkungan
kadipaten. Keduanya menggebah kuda tunggan-
gan mereka meninggalkan Kadipaten Galih Putih.
"Aku penasaran! Siapa yang berani mem-
bunuh Kala Hitam...!" sungut Kidang Pangarsura sambil terus melangkah cepat
"Aku juga ingin tahu bagaimana muka
orang yang mampu menghabisi nyawa Kala Hi-
tam. Benar-benar berilmu tinggi orang itu...," sahut Warik Kala bernada geram
"Kalau begitu kita harus mempercepat
langkah, agar segera sampai di tempat Danur Sa-
ka. Ayo, heps...!"
"Heaaa...!"
*** Siang itu cuaca begitu terik. Sang Surya
memancarkan sinarnya bagai membakar kulit se-
pasang muda-mudi yang tengah berjalan mema-
suki Lembah Bulak Rawa. Angin berhembus ken-
cang menerpa keduanya. Namun hawa tetap tera-
sa sangat panas.
"Kakang Sena, sebaiknya kita cepat menca-
ri desa terdekat. Aku haus," ujar gadis cantik berpakaian putih dengan pedang
tersampir di pung-
gungnya. "Heran, panas sekali udara siang ini."
Gadis itu mengeluh sambil menyeka kerin-
gat di keningnya.
Pemuda tampan berpakaian rompi dari ku-
lit ular yang dipanggil Sena cengengesan. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala
sambil mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu.
"Hah"!" pemuda berambut gondrong yang
ternyata Sena Manggala terkejut ketika tiba-tiba pandangannya membentur sesuatu.
"Ada apa, Kakang?" tanya gadis cantik itu sambil mengerutkan kening.
"Lihat sana, Mei..,!" sahut Sena sambil menunjuk ke satu arah. Lalu kembali
menggaruk- garuk kepala sambil mulutnya cengengesan, mirip
orang tidak waras.
"Hah"! Mayat...?" Mei Lie memandang ke tempat yang ditunjuk Sena.
Lalu tanpa banyak bicara Sena melangkah
menghampiri sosok mayat yang tergeletak sekitar
sepuluh tombak di depannya. Diikuti oleh Mei Lie.
Dengan tangan menggaruk-garuk kepala
dan mulut cengengesan Sena memperhatikan so-
sok mayat berpakaian hitam di hadapannya. Ke-
mudian dua tombak jaraknya dari tempat Sena,
Mei Lie melihat dua, sosok mayat terbalut pa-
kaian rompi abu-abu.
"Wajah ketiga mayat itu hancur. Lihat mata
mereka seperti diculik! Hhh..., benar-benar tindakan keji!" gumam Mei Lie seraya
menggeleng- gelengkan kepala.
Sena pun menggeleng-geleng, lalu cen-
gengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Aku tak mengenal mayat-mayat itu. Tapi
kalau dilihat dari pakaian mayat yang di sebelah sana," Sena menunjuk mayat di
sebelah kirinya yang mengenakan pakaian prajurit warna abu-abu. "Kalau aku tak
salah, orang-orang yang mati ini dari Kadipaten Galih Putih."
"Lalu siapa yang membunuh mereka ini?"
tanya Mei lie. "Ah ah ah..., mana aku tahu. Tapi rasanya
keadaan Kadipaten Galih Putih sedang mengha-
dapi kehancuran..,," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana Kakang Sena tahu?"
"Pernah kudengar dari seorang saudagar
yang biasa mengantarkan pesanan pakaian ke
kadipaten. Kau ingat, ketika bermalam di pengi-
napan di Desa Watu Congot kemarin?" tutur Sena dengan mulut cengengesan persis
orang gila. Namun Mei Lie tetap menanggapi dengan sungguh.
Dirinya telah memahami benar bagaimana kebia-
saan kekasihnya.
"Kakang yakin dengan berita itu...?"
Sena hanya cengar-cengir dana mengga-
ruk-garuk kepala.
"Sebaiknya kita kubur mayat-mayat ini.
Kasihan...!" kata Sena.
Lalu segera Sena dan Mei Lie melakukan
penguburan ketiga mayat itu
"Semoga arwah mereka lebih tenang di da-
lam kubur...!" gumam Sena setelah selesai mengubur mayat Kala Hitam, Kebo Kluwuk
dan Rodo- prana Terik matahari masih saja menyengat kulit
kedua muda-mudi itu. Keduanya meneruskan
perjalanan ke sekitar.
"Mudah-mudahan ada desa di sebelah seki-
tar lembah ini...,'' gumam Sena.
Pada saat yang bersamaan, Kidang Pangar-
sura dan Watik Kala sedang dalam perjalanan
mencari Danur Saka. Tanpa menghiraukan jala-
nan terjal berbatu mereka terus menggebah kuda
masing-masing agar segera sampai ke tempat tu-
juan. Seakan tak ingin kehilangan waktu sedikit
pun. Derap kaki kuda begitu keras menapaki ja-
lan yang berkelok dan naik turun itu. Dan ketika kuda-kuda mereka melewati
Lembah Bulak Rawa.
Kidang Pangarsura dan Warik Kala segera meng-
hela tali kendali. Kuda pun berhenti.
"Heaaah! Herrr...!"
"Mungkin itu mayat Kala Hitam dikubur-
kan di sana!" ujar Kidang Pangarsura sambil menunjuk gundukan tanah, menyerupai
kuburan yang masih baru.
"Mungkin," sahut Warik Kala. Lalu mereka menjalankan kuda menuju tempat mayat
Kala Hi- tam dan kedua temannya dikuburkan.
Kidang Pangarsura dan Warik Kala segera
melompat turun dari kudanya. Langsung meme-
riksa kuburan baru itu.
"Perasaanku mengatakan benar ini pasti
kuburan Kala Hitam! Ayo, kita bongkar!!" kata Kidang Pangarsura.
"Tunggu dulu! Ini ada tiga kuburan. Yang
mana kira-kira mayat Kala Hitam...?" cegah Warik Kala. "Ahhh! Bongkar saja
semuanya! Kita kan ingin kenyataan. Apakah benar kawan kita itu
benar telah mati!" sergah Kidang Pangarsura.
Lalu dengan menggunakan tenaga dalam
mereka, tak memakan waktu lama, kuburan-
kuburan itu telah terbongkar.
"Aneh! Rasanya tak mungkin. Kala Hitam
yang memiliki ilmu cukup tinggi benar-benar
man!" gumam Warik Kala. Setelah melihat mayat Kala Hitam yang mukanya rusak.
Mengerikan. "Kurang ajar! Siapa pun yang melakukan-
nya, akan kubalas!" dengus Kidang Pangarsura dengan geram. Matanya membelalak
lebar. Giginya beradu, menimbulkan gemeretak.
Matanya liar menyapu sekeliling tempat
itu. Lalu pandangannya terhenti pada satu arah.
"Warik Kala, kau lihat bekas telapak kaki
yang menuju ke sekitan. Mungkin orang itu yang
membunuh kawan kita. Ayo kita kejar...!" kata Kidang Pangarsura dengan nada
geram. Segera keduanya melompat ke atas pung-
gung kuda. Dan mereka memacu kudanya dengan
cepat ke sekitan.
"Hea! Hea...!"
*** Sena dan Mei Lie baru saja keluar dari se-
buah kedai, habis istirahat dan sekadar mengisi
perut. Tiba-tiba para penduduk Desa Serangan
dikejutkan oleh dua orang berkuda yang tak lain
Kidang Pangarsura dan Warik Kala. Derap kaki
kuda yang keras dan kencang membuat orang-
orang yang sedang berlalu lalang di jalan utama
desa itu panik dan berlarian menghindar.
Apalagi mereka yang mengenali kedua
orang-orang itu nampak mencibir dengan hati di-
liputi rasa cemas. Karena mereka tahu bahwa
orang berkuda itu dari aliran hitam yang mengu-
asai Kadipaten Galih Putih dengan cara licik dan kotor. "Herrr, herrr...!"
Kidang Pangarsura menarik tali kekang
kudanya agar berhenti. Begitupun yang dilakukan
Warik Kala. Sambil memandang sekeliling desa
yang dilewati, mereka membiarkan kuda berjalan
pelan. Mata Kidang Pangarsura dan Warik Kala
terus menyapu ke kiri dan kanan dengan pan-
dangan tajam dan bengis. Para penduduk desa
nampak acuh dan menghindar.
Mei Lie yang melihat situasi demikian,
hanya tersenyum sinis. Sena menggaruk-garuk
kepala sambil cengai-cengir memandangi Kidang
Pangarsura dan Warik Kala.
"Hei...! Siapa yang merasa menguburkan
mayat sahabatku yang mati di Lembah Bulak Ra-
wa"!" seru Kidang Pangarsura dengan suara penuh geram. Matanya jelakitan ke sana
kemari. Para penduduk desa yang mendengar me-
Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rasa heran dan aneh dengan pertanyaan Kidang
Pangarsura itu. Mereka saling pandang dan men-
gangkat bahu. Ada pula yang menggeleng kepala.
Sebagian lagi tampak tak peduli dengan ocehan
Kidang Pangarsura.
"Hei! Kau berhenti!" bentak Kidang Pangarsuara yang melihat seorang lelaki
setengah baya dengan tak peduli ngeloyor pergi.
Lelaki setengah baya yang ternyata Ki Suko
Kusumo, Kepala Desa Serangan, menghentikan
langkahnya. Lalu membalik perlahan seraya me-
natap Kidang Pangarsura dan Warik Kala, dengan
menyipitkan kedua matanya.
"Ada apa, Kisanak...?" tanya Ki Lurah Suko Kusumo.
"Bangsat! Ditanya malah kau bertanya!"
Kidang Pangarsura marah. Kemudian bergerak
hendak menghajar Ki Lurah Suko Kusumo den-
gan cambuknya. Namun cambuk itu belum sem-
pat menyentuh tubuh Ki Lurah Suko Kusumo.
Karena mendadak sesosok wanita muda melom-
pat, dan.... "Yeaaa...!"
Prattts! "Hah"!"
Kidang Pangarsura tersentak kaget, meli-
hat cambuknya terlepas.
Belum sempat Kidang Pangarsura dan Wa-
rik Kala mengenali siapa penyerangnya, wanita
berambut panjang itu sudah membentaknya.
"Hei! Jangan sembarangan main cambuk
orang yang tak tahu apa-apa tentang mayat sa-
habatmu itu! Akulah yang menguburkan mayat
sahabatmu itu. Sekarang kau mau apa..."!"
Gadis itu bahkan berani menantang Kidang
Pangarsura dan Warik Kala. Matanya yang bening
dan lembut menatap wajah kedua lelaki yang du-
duk di punggung kuda itu.
"Bedebah! Siapa kau, Wanita Bawel...!
Kaukah yang membunuh Kala Hitam"!" bentak
Kidang Pangarsura dengan geram. Lalu melompat
dari atas punggung kudanya, disusul oleh Warik
Kala. Keduanya berdiri tegap di hadapan Mei Lie
"Ha ha ha...! Rupanya kalian orang-orang
picik dan rendah!" maki Mei Lie sambil mencabut pedang yang tersampir di
punggungnya. "Hah"!" Kidang Pangarsura dan Warik Kala tersentak kaget ketika melihat Pedang
Bidadari yang digenggam tangan kanan Mei Lie. Mereka
tahu kalau pedang yang memancarkan sinar kun-
ing kemerah-merahan itu Pedang Bidadari. Dan
hanya si Bidadari Pencabut Nyawa kekasih Pen-
dekar Gila yang memiliki
"Pedang Bidadari..."!" desis Kidang Pangarsura dan Warik Kala lagi dengan mata
terbelalak seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya. Ki
Lurah Suko Kusumo dan para warga Desa Seran-
gan yang berada di tempat itu tampak kaget me-
nyaksikan pedang Mei Lie yang bersinar kuning
kemerahan-merahan.
"Hi hi hi...! Lucu, kalian berdua ini lucu. Hi hi hi... mau apa kalian, Badut"!"
celetuk Sena yang melangkah maju sambil menggaruk-garuk
kepala mengejek Kidang Pangarsura dan Warik
Kala. Kedua orang itu semakin terkejut
Wajah mereka saling tatap diliputi ketegan-
gan ketika mengenali siapa pemuda yang berting-
kah laku seperti orang gila itu. Sementara itu Ki Lurah Suko Kusumo yang rupanya
juga telah mengenali pemuda berompi dari kulit ular itu,
tampak tersenyum lega.
"Pendekar Gila..."!" pekik Kidang Pangarsura. Wajahnya yang semula garang dan
bengis be- rubah seketika. Tersungging senyum kecut di bi-
birnya. "Hei! Sekarang kau sudah berhadapan dengan orang yang menguburkan mayat
sahabatmu. Jawab, apa maumu...!" ujar Mei Lie ketus, sambil menuding Kidang
Pangarsura dengan Pedang Bidadari-nya.
"Hm..., mak..., maksud kami hanya ingin
tahu siapa yang membunuh sahabatku itu...," jawab Kidang Pangarsura bimbang.
"Hi hi hi... Lucu! Kalau hanya itu, kenapa
kau berbuat kasar sama orang yang tak tahu-
menahu soal mayat sahabatmu itu" Aku kurang
suka dengan tindakanmu itu, Kisanak.... Terus
terang aku tersinggung...," ucap Sena dengan cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala. Kidang Pangarsura dan Warik Kala saling
pandang. Mukanya memerah. Marah. Namun Wa-
rik Kala yang lebih memakai otak, dari pada otot segera menjawab.
"Maaf...! Kami tak ingin bentrok dengan,
Kisanak. Kami berdua hanya ingin mencari pem-
bunuh sahabat kami. Terima kasih atas kerelaan
pendekar mau mengubur mayat Kala Hitam sa-
habat kami itu...."
"Hm...! Baiklah, kalau memang kalian ber-
dua mengerti bahwa aku dan Kang Sena bukan
pembunuh yang kau cari. Sekarang cepat kalian
tinggalkan desa ini! Aku paling tak suka melihat orang-orang Desa Sarangan ini
ketakutan dan cemas!" kata Mei Lie ketus.
Kidang Pangarsura menahan marah. Gi-
ginya gemeretak beradu. Warik Kala menenang-
kan, seraya berkata lirih,
"Tenang, Kawan. Pendekar Gila dan Bida-
dari Pencabut Nyawa bukan pembunuh Kala Hi-
tam. Sebaiknya kita cepat pergi dari desa ini. Tujuan kita mencari pembunuh itu.
Urusan sakit hati pada Pendekar Gila dan wanita itu kita atur selanjutnya...."
Kidang Pangarsura memaksakan diri untuk
tersenyum mengangguk.
"Maafkan kami...! Ayo pergi!" kata Kidang Pangarsura dengan mengajak Warik Kala
untuk segera pergi dari tempat itu.
"Her, her...!"
"Hea! Heaaa...!"
Kedua kuda yang ditunggangi Kidang Pan-
garsura dan Warik Kala dengan cepat meninggal-
kan Desa Sarangan. Pendekar Gila dan Mei Lie
memandangi dari belakang. Pendekar muda itu
terus tertawa-tawa cekikikan sambil mengorek
kupingnya dengan bulu burung yang selalu dis-
impan di dalam ikat pinggangnya.
"Terima kasih, Tuan Pendekar.... Juga Ni-
ni...," ucap Ki Lurah Sumo Kusumo sambil menjura. Begitu juga para penduduk desa
yang mera- sa senang dengan kehadiran sepasang pendekar
muda itu di desa mereka.
"Sama-sama, Ki. Sudah kewajiban kami
berdua untuk menolong orang-orang lemah," jawab Sena seraya tersenyum. "Tapi
siapa sebenarnya kedua orang tadi, Ki?" tanya Sena kemudian.
"Mungkin Ki Lurah bisa menjelaskan...,"
tambah Mei Lie menyela ucapan Pendekar Gila.
Ki Lurah Sumo Kusumo manggut-manggut
seraya menatap dengan senyum pada Sena dan
Mei Lie. "Hm..., sebaiknya Tuan berdua singgah du-
lu ke rumah kami! Nanti saya ceritakan sedikit
tentang kedua orang tadi...," kata Ki Lurah Sumo Kusumo kalem.
Pendekar Gila melirik wajah Mei Lie, sambil
terus mengorek telinganya dengan bulu burung.
Seakan dirinya meminta pertimbangan pada Mei
Lie. Ternyata gadis itu menganggukkan kepala,
tanda setuju. "Baiklah...," jawab Sena dengan mulut cengengesan.
"Kalau begitu mari, silakan...!" kata Ki Lurah Sumo Kusumo memberi jalan pada
Sena dan Mei Lie dengan ramah. Begitu juga dengan pen-
duduk desa. Tampaknya mereka telah mengeta-
hui tentang keberadaan Pendekar Gila dan keka-
sihnya, si Bidadari Pencabut Nyawa. Hal itu tak
mengherankan, karena sepak terjang Pendekar
Gila sebagai pendekar penegak keadilan telah di-
kenal tidak hanya oleh kalangan rimba persilatan.
*** Ki Lurah Sumo Kusumo menceritakan se-
cara singkat pada Pendekar Gila dan Mei Lie.
Bahwa kedua orang berkuda itu anggota Partai
Panca Siwara yang kini menguasai Kadipaten Ga-
lih Putih. "Aha! Lalu siapa pembunuh kawan orang-
orang sesat itu, Ki?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Mulut masih juga
cengengesan. "Ya!" sela Mei Lie, sebelum Ki Lurah Sumo Kusumo menjawab. "Tadi Ki Lurah bilang
bahwa Ki Damar Kiwangi punya adik kandung. Apa dia
juga mati dibunuh Partai Panca Siwara..."!"
"Saya belum tahu pasti karena cerita yang
tersiar simpang siur. Ada yang menceritakan
bahwa adik Ki Damar Kiwangi yang bernama An-
jang Kawiwangi mati setelah dilempar ke jurang.
Tapi ada pula yang mengatakan bahwa Anjang
menghilang begitu saja...," kata Ki Lurah Sumo Kusumo menjelaskan. Kepala lelaki
setengah baya itu menggeleng-geleng seakan tidak yakin pada
apa yang diceritakannya sendiri.
Pendekar Gila manggut-manggut, kemu-
dian menggaruk-garuk kepalanya. Mei Lie menge-
rutkan kening. Ditatapnya wajah Ki Lurah Sumo
Kusumo sejenak lalu tanyanya,
"Kalau saya boleh tahu apa Ki Lurah tahu,
siapa kira-kira pembunuh tokoh Partai Panca Si-
wara itu?"
"Hm...!" gumam Kepala Desa Sarangan itu sambil mengerutkan kening. Sejenak
lelaki setengah baya itu mengingat-ingat sesuatu. "Ya. Kami dengar dari orang-
orang yang pernah melihat,
bahwa ada seorang lelaki berkaki buntung yang
tiba-tiba muncul di wilayah ini. Diduga keras lelaki buntung itulah pelaku
pembunuhan terhadap
Senapati Wiryapaksi dan Kala Hitam..."
"Lelaki buntung..."!" gumam Mei Lie dengan kening berkerut, kaget Sementara
Pendekar Gila seakan tak peduli dengan lelaki buntung
yang disebut Ki Lurah Sumo Kusumo. Dia tetap
dengan tingkahnya yang lucu. Cengengesan sam-
bil menggaruk-garuk kepala.
Sena kemudian melirik sebentar pada Mei-
Lie. Dan Mei Lie mengerti maksud lirikan Sena
itu. "Mungkinkah lelaki buntung itu ada hubungannya dengan adik Ki Damar
Kiwangi, yang belum jelas mati atau... masih hidup?" gumam Mei Lie pelan sekali seperti bicara
pada diri sendiri.
Ki Lurah Sumo Kusumo tampaknya men-
dengar gumaman Mei Lie.
"Mungkin juga adik Ki Damar Kiwangi ma-
sih hidup. Ah, tapi tak mungkin! Kelima tokoh sesat itu telah melemparkannya ke
jurang Mager Wadas setelah dihajar sampai setengah mati....
Dan nyatanya hingga sekarang tak pernah ter-
dengar lagi nama Anjang Kawiwangi"
Mei Lie menyipitkan kedua matanya, seo-
lah-olah tengah berusaha memecah dan mema-
hami penjelasan Kepala Desa Sarangan itu.
"Apa Ki Lurah menyaksikan kejadian
itu...?" tanya Sena tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan Sena itu, Ki Lurah
Sumo Kusumo mengerutkan kening. Sejenak dia
menghela napas panjang.
"Ya, sepuluh tahun yang lalu. Sebab saya
sendiri termasuk murid dari Padepokan Gunung
Talang. Bahkan hampir semua penduduk Desa
Sarangan ini mengabdi pada Ki Damar Kiwangi
yang bijaksana dan pembela kaum lemah. Seperti
Tuan Pendekar saat ini," Ki Lurah Sumo Kusumo menghentikan ucapannya sebentar
dan menghela napas. "Namun sejak Padepokan Gunung Talang dihancurkan Partai Panca Siwara
keadaan kian memburuk. Penduduk desa yang sebelumnya hi-
dup aman dan sentosa, kini selalu merasa dice-
kam ketakutan. Pemerasan, pemaksaan, pembu-
nuhan, bahkan penculikan terjadi di mana-mana.
Tidak hanya di Desa Sarangan ini. Hampir semua
desa yang masih dalam lingkungan Kadipaten Ga-
lih Putih menjadi cengkeraman Partai Panca Si-
wara." Mendengar cerita Ki Lurah Suko Kusumo Pendekar Gila dan Mei Lie
mengangguk-anggukkan kepala. Sena kemudian menggaruk-
garuk kepala lagi.
"Ki Lurah, kalau saya boleh tahu, di mana-
kah letak Padepokan Gunung Talang?" tanya Mei Lie kemudian. Mendengar itu Sena
menoleh kepada Mei Lie.
"Tak Jauh dari Lembah Bulak Rawa. Te-
patnya di sebelah utara lembah itu. Tempatnya
dulu cukup nyaman, tapi sekarang menjadi serem
dan angker. Orang-orang Desa Sarangan tak per-
nah datang ke sana...," kata Ki Lurah Sumo Kusumo dengan wajah keruh.
Sena dan Mei Lie saling pandang. Lalu be-
rucap terima kasih pada kepala desa itu. Mereka
tak lagi bicara. Suasana seketika berubah hening.
Sementara di luar matahari semakin condong ke
barat. Sinarnya pun mulai keemasan.
3 Dalam perjalanan menuju kediaman Danur
Saka, Kidang Pangarsura dan Warik Kala terus di-
landa rasa cemas. Kegalauan tergambar jelas di
wajah kedua lelaki bertampang bringas itu.
Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kuda-kuda itu dipacu kencang menelusuri
tepian sungai yang airnya cukup deras. Kuda-
kuda itu terus dipacu untuk menyeberangi sungai
yang ternyata dangkal. Bebatuan tampak tersem-
bul di sana-sini, memecah arus menjadi beriak-
riak. Sampai di seberang, tiba-tiba Kidang Pan-
garsura berkata agak kesal pada Warik Kala.
"Seharusnya kemarin kita coba ilmu Pen-
dekar Gila dan gadis Cina itu! Aku merasa dire-
mehkan...!" Kidang Pangarsura tak menyembu-
nyikan wajahnya yang bersungut-sungut karena
kesal. "Sebenarnya aku pun merasa ingin menjaj-al kesaktian Pendekar Gila. Tapi
tujuan kita yang pertama harus dituntaskan terlebih dahulu. Kita
harus bersiasat. Orang seperti Pendekar Gila ha-
rus dilawan dengan tipu muslihat!" tukas Warik Kala coba meredakan dengan kata-
katanya. "Pintar juga kau, Warik! Ha ha ha...! Herrr!
Heaaa...!" Kidang Pangarsura langsung menggebah kudanya, disusul Warik Kala.
Tanpa diketahui oleh mereka sesosok
bayangan berkelebat menguntit dari belakang. Ke-
tika memasuki Hutan Roban. Sosok bayangan itu
bagai seekor kera, melompat-lompat dari pohon
satu ke pohon lain. Begitu cepat gerakannya, se-
hingga yang tampak hanya bayang-bayang kehi-
jauan seperti melayang terbawa angin.
"Ho...!"
Kidang Pangarsura mendadak menghenti-
kan lari kudanya. Hal itu membuat Warik Kala
agak kaget dan cepat menarik tali kekang ku-
danya. Hingga kuda itu meringkik.
"Hiiieee...!"
"Ho, hop! Ada apa..."!" tanya Warik Kala tak mampu menutupi keheranannya.
"Apa telingamu tak mendengar suara aneh"
Kita diikuti orang!" jawab Kidang Pangarsura setengah berbisik.
Warik Kala menelengkan kepala seakan be-
rusaha mendengar. Matanya liar menyapu sekelil-
ing Hutan Roban yang terkenal angker. Dan me-
nurut kabar, banyak makhluk halus menghuni
hutan itu. "Aku menduga rasanya dia bukan manu-
sia. Mungkin hantu atau makhluk halus..!" gumam Warik Kala dengan suara agak
tertahan. "Hi hi hi...! Hi hi hi...! Kau manusia-
manusia buruk mau ke mana"! Hi hi hi...!"
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita
tertawa nyaring. Suaranya seperti tawa kuntila-
nak. "Hah"!" sentak Kidang Pangarsura. Belum sempat kedua lelaki bermuka bringas
itu dapat menguasai keadaan. Tiba-tiba...
Swing! Swing! Swing...!
Beberapa senjata rahasia berupa tusuk
kode beracun meluncur bagai anak panah ke
arah kedua lelaki itu. Kidang Pangarsura dan Wa-
rik Kala cepat mengelak dengan menjatuhkan diri
ke tanah, lalu bergulingan. Secepat itu pula me-
reka mencabut senjata masing-masing. Kidang
Pangarsura dengan senjata pedang, sedangkan
Warik Kala dengan golok.
Keduanya menangkis tusukan konde bera-
cun itu. Trang! Trang! Trang...!
Dar! Darrr...! Tusukan konde yang tertangkis dan meng-
hantam pohon-pohon yang ada di hutan itu me-
nimbulkan ledakan dahsyat. Beberapa pohon
tumbang setelah terbakar.
Kidang Pangarsura dan Warik Kala tersen-
tak kaget, melihat keampuhan tusukan konde itu.
"Hi hi hi...! Ini baru permainan kecil. Baru pembukaan, Manusia-manusia
Kotor...! Ha ha
ha...! Hi hi hi...!" kembali suara tanpa wujud itu menggelegar keras bagai
memecah kesunyian Hutan Roban.
"Benar! Bukan manusia yang kita hadapi,
Warik! Mungkin dedemit Hutan Roban ini...!" gumam Kidang Pangarsura. Wajahnya
kini tampak berkeringat. Karena satu tusukan konde, hampir
saja menjebol perutnya yang besar. Kalau saja ta-di dia tidak cepat menangkis
sambil bergulingan, remuk redamlah tubuhnya meledak seperti pohon-pohon itu.
"Si... siapa kau" Manusia atau hantu...?"
tanya Warik Kala dengan suara sedikit tertahan.
"Hei...! Kalau kau manusia, Perempuan Se-
jati, keluarlah! Hadapi aku...!" seru Kidang Pangarsura yang cepat emosi dan tak
bisa menguasai diri itu. Baru saja Kidang Pangarsura selesai berse-
ru, tiba-tiba.....
Srakkk...! Seorang wanita berparas cantik muncul di
hadapan mereka.
"Kau memanggilku..."!" tanya wanita itu dengan senyum genit. Matanya bening dan
memiliki daya tarik. Bibirnya yang merah tampak tipis dan indah. Ditambah lagi
tubuhnya yang padat,
sintal, terbalut kulit berwarna kuning langsat
Kedua lelaki beringas hanya bisa melongo
memandangi wanita itu. Tubuh wanita itu hanya
ditutupi kain warna hijau sampai di dada, seperti kemben. Sedang bagian bawah
memakai kain hitam, sedikit di atas lutut. Sehingga jika wanita itu sedikit saja
mengangkat kaki akan terlihat jelas pahanya yang mulus.
"Hei! Kenapa kau diam seperti orang bi-
su..."!" tanya wanita itu dengan diiringi senyum genit. "Si... siapa kau"
Manusia atau hantu...?"
tanya Warik Kala dengan suara sedikit tertahan.
"Kalian ini memang manusia-manusia bu-
ta! Kalau aku hantu, lantas kalian mau apa" Dan
kalau aku manusia seperti kalian...?" jawab wanita itu dengan suara nyaring.
Kidang Pangarsura yang sejak tadi terke-
sima menyaksikan kemolekan tubuh dan paras
cantik wanita itu, menyelak,
"Kalau kau manusia biasa, aku ingin men-
gawinimu...!"
"Apa kau tak salah" Dan aku ingin tahu
apa ucapanmu itu bisa dipercaya...?" tukas wanita aneh itu dengan genit.
Tangannya yang kiri
perlahan dengan sengaja mengangkat ke atas
kainnya. Hingga hampir pangkal paha. Mendadak
mata kedua lelaki itu berbinar-binar. Dan mene-
lan ludah. Kidang Pangarsura yang buas dengan wa-
nita, tak pikir panjang lagi, segera ia menubruk dan memeluk wanita itu dengan
penuh nafsu. Anehnya wanita itu tak berusaha menolak.
Bahkan mendesah dan tertawa cekikikan. Warik
Kala yang melihat keanehan dari tawa wanita itu
mulai merasakan bulu kuduknya berdiri. Merind-
ing. Ingin dia memberi tahu Kidang Pangarsura,
tapi mulutnya terasa kelu, tak dapat dibuka. Pa-
dahal telah dikerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Aneh sekali. Entah ilmu apa yang dipakai wanita
cantik itu. Pada saat Kidang Pangarsura semakin lupa
daratan, perlahan-lahan wajah wanita yang ta-
dinya cantik itu, berubah sangat menyeramkan.
Keriput dan pucat. Warik Kala terbelalak kaget
Mulutnya ternganga lebar seperti hendak berte-
riak, tapi sulit.
"Hah"! Hantu...?" pekiknya lirih. Lalu segera berlari sekuat tenaga meninggalkan
Kidang Pangarsura yang masih mendekap tubuh wanita
itu sambil menciumi buah dadanya.
Warik Kala melompat ke punggung kuda
dan cepat melarikannya. Tanpa menoleh lagi Wa-
rik Kala meninggalkan Hutan Roban.
Sementara itu, Kidang Pangarsura mulai
merasakan keanehan. Tubuh wanita itu tiba-tiba
terasa dingin sekali. Dan menyusul segera Kidang Pangarsura mengangkat mukanya
yang sejak tadi
menyusup di dada wanita itu.
"Hah..."! Aaa...! Han... hantuuu...!" Kidang Pangarsura terkejut bukan main. Dia
berusaha lari. Namun aneh ada kekuatan membelenggu
hingga tak bisa mengangkat kakinya.
"Hi hi hi...! Jawab pertanyaanku, sebelum
ajalmu tiba! Apa kau dari Partai Panca Siwara"!"
tanya wanita yang wajahnya sudah berubah me-
nyeramkan itu. Kidang Pangarsura tak berani berbohong.
Sekujur tubuhnya yang sudah bermandi keringat
gemetaran. Dan mukanya pucat pasi.
"Kau memang manusia rendah dan licik!
Ternyata ilmumu tak kuasa menandingiku. Hi hi
hi...! Dan kini terimalah ajalmu! Grrr...!"
"Aaauwww...!"
Kidang Pangarsura menjerit-jerit dan men-
dadak suaranya berhenti. Jiwa Kidang Pangarsu-
ra melayang. Rupanya wanita itu mencekik dengan ku-
ku-kukunya yang tiba-tiba memanjang dan runc-
ing. Lalu mencucup ubun-ubun Kidang Pangar-
sura. "Hi hi hi...! Kakang Brajasukmana, aku telah membalaskan dendammu. Hi hi
hi....!" Wanita itu kemudian nampak puas, darah
menetes dan membasahi tangannya. Perlahan-
lahan wajahnya kembali berubah seperti semula.
Cantik dan sensual. Itulah ilmu 'Perubah Raga',
milik wanita yang dikenal dengan nama Dewi
Sukmalelana. "Sebaiknya mayat ini kukirim ke kadipaten
sekarang juga," gumamnya lirih. Setelah berpikir, Dewi Sukmalelana melesat bagai
terbang, sambil
membopong mayat Kidang Pangarsura.
*** Ketika Dewi Sukmalelana sedang berlari
kencang sambil membopong mayat Kidang Pan-
garsura, tiba-tiba berpapasan dengan sepasang
muda-mudi yang sedang menuju arah berlawa-
nan. Mereka tak lain Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Berhenti...!" seru Mei Lie sambil mengangkat tangan kirinya ke depan. Sedang
Pendekar Gi- la hanya cengengesan menatap Dewi Sukmalelana
yang nampak tenang-tenang saja. Tak ada rasa
kesal atau marah.
"Hi hi hi...! Ada perlu apa kalian menghen-
tikanku...?" tanya Dewi Sukmalelana dengan senyum genit. Matanya melirik wajah
Sena, mem- buat Mei Lie melebarkan mata, cemburu.
"Hei...! Aku yang bicara, bukan dia!" seru Mei Lie ketus.
"Hi hi hi...! Oooh rupanya pemuda tampan
dan gagah itu kekasihmu. Maafkan aku! Bukan
maksudku membuatmu cemburu. Tapi jujur saja,
pemuda pendampingmu itu membuatku terpeso-
na...," ujar Dewi Sukmalelana tanpa rasa malu sedikit pun.
"Huh! Mulutmu terlalu bawel. Perlu dikasih
pelajaran...!"
Selesai berkata begitu, Mei Lie segera ber-
gerak hendak menyerang. Namun Dewi Sukmale-
lana segera berkata, memohon maaf.
"Tunggu, sabar! Sekali lagi maafkan aku.
Bukankah kalian berdua Pendekar Gila dan Bida-
dari Pencabut Nyawa" Sepasang pendekar yang
sangat kesohor di bumi Jawa Dwipa ini...?" kata Dewi Sukmalelana dengan nada
bersahabat. Mulutnya tersenyum manis.
Mei Lie dan Sena saling pandang.
"Ah ah ah...! Jangan sebut kami pendekar!
Kita berdua hanya manusia biasa. Seperti kamu.
Tapi bagaimana kau bisa mengenal kami...?"
tanya Pendekar Gila dengan mulut cengengesan
dan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Hhh..., tak terlalu sulit untuk mengenali-
mu, Pendekar. Pertama, tingkahmu yang aneh.
Kedua, aku melihat suling berkepala naga terselip di ikat pinggangmu...," jawab
Dewi Sukmalelana bangga. Lalu matanya berkerling pada Sena.
Membuat Mei Lie bertambah kesal dan cemberut
"Sungguh jeli matamu...," puji Sena sambil menggaruk-garuk kepala. "Tentunya kau
bukan perempuan sembarangan. Dan kalau aku boleh
tahu, untuk apa kau membawa orang itu...?"
"Ya. Tentu kau telah melakukan kejahatan.
Telah membunuh orang itu...," tukas Mei Lie langsung dengan nada ketus.
"Benar. Aku telah membunuh orang itu...,"
jawab Dewi Sukmalelana dengan tegas dan man-
tap. Mei Lie mengerutkan kening.
"Kalau begitu kau yang membunuh par-
tai...." Belum sempat Mei Lie meneruskan kata-katanya, Dewi Sukmalelana cepat
menyelak. "Partai Panca Siwara, maksudmu..."!"
"Ya!" jawab Mei Lie singkat
"Lantas, kenapa kau bunuh orang itu...?"
tanya Sena sambil cengengesan dan menggaruk-
garuk kepala. "Maaf! Mungkin lain kali aku dapat menja-
wab pertanyaanmu. Aku harus segera pergi...!"
ujar Dewi Sukmalelana, "Kumohon jangan ganggu aku! Aku tak ingin bentrok dengan
kalian. Permi-si!"
Selesai berkata begitu, Dewi Sukmalelana
melesat cepat bagai terbang, meninggalkan Pen-
dekar Gila dan kekasihnya. Mei Lie yang sejak ta-di merasa kesal dan sedikit
cemburu dengan tingkah laku, serta ucapan Dewi Sukmalelana,
ingin mengejarnya. Namun Sena mencegah.
"Sabar, Mei! Jangan turuti perasaanmu!
Rencana kita untuk menyelidiki siapa si buntung
Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu bisa gagal. Kalau kau tak dapat menguasai di-ri...," cegah Sena dengan lemah
lembut, sambil memanggul kekasihnya.
"Aku sebel mendengar suaranya. Apalagi
matanya selalu tertuju padamu. Perempuan ge-
nit!" sungut Mei Lie dengan wajah cemberut.
"Kau semakin cantik dan memikat, kalau
cemberut, Mei...."
Sena coba menyenangkan hati kekasihnya.
Mei Lie yang dipuji jadi memerah mukanya. Ke-
mudian tangannya mencubit pinggang sang Ke-
kasih. Sena melepas rangkulannya, lalu mengga-
ruk-garuk kepala sambil cengengesan.
Pasangan pendekar muda itu kemudian
meneruskan perjalanan. Namun baru beberapa
langkah, Mei Lie berhenti.
"Kakang...," tegur Mei Lie.
"Hm...?"
"Mungkinkah perempuan genit tadi ada
hubungan dengan lelaki buntung itu" Dan mayat
siapa yang dibawa tadi...?" tanya Mei Lie.
"Dugaanmu mungkin saja benar. Tapi kita
belum bisa menuduhnya. Selama dia tak menya-
kiti kita, aku rasa tak perlu terlalu ikut campur urusan orang."
"Tapi Kakang, perempuan itu telah mem-
bunuh. Apa itu dibenarkan"! Semestinya tadi aku
cepat menghajarnya!" ujar Mei Lie dengan kesal dan cemberut.
"Sabar, sabarlah sedikit, Mei! Percayalah,
kesabaran dan ketenangan mampu mendukung
usaha kita...," kata Sena kembali mengingatkan Mei Lie yang mulai gampang marah.
Mei Lie tampaknya bisa mengerti. Gadis
cantik itu menghela napas panjang, lalu melang-
kah meninggalkan Sena yang masih menggaruk-
garuk kepala memandangi kekasihnya yang se-
dang kesal. Lalu memburu Mei Lie, dan berjalan
di samping Mei Le.
*** Sementara itu Dewi Sukmalelana telah
sampai di depan Kadipaten Galih Putih. Namun
ketika langkahnya baru memasuki pintu gerbang,
tiba-tiba.... Zing! Zing! Zing...!
Berpuluh-puluh anak panah dan tombak
meluncur memburu Dewi Sukmalelana. Perem-
Pengelana Rimba Persilatan 9 Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Lembah Selaksa Bunga 1
SYAIR MAUT LELAKI BUNTUNG Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Syair Maut Lelaki Buntung
128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Pagi nampak cerah dengan langit biru ben-
ing, tanpa sedikit mega. Angin berhembus perla-
han, membawa kesejukan yang alami. Namun ke-
heningan pagi itu dirobek oleh suara gelak tawa
dari tiga sosok yang tengah menelusuri jalan terjal di Bukit Jatira. Ketiga
sosok itu tampaknya
tengah dilanda kegirangan. Suara tawa mereka
bergema, bagai dikerahkan dengan kekuatan te-
naga dalam. Satu di antara ketiga sosok lelaki itu memi-
liki wajah angker dan bengis. Matanya tampak
kemerahan, dengan sepasang alis tebal yang sal-
ing bertautan. Bajunya yang hitam legam dibiar-
kan terbuka di bagian dada. Ikat kepalanya yang
hitam bergaris putih melingkar mengikat rambut-
nya yang panjang.
Lelaki berusia setengah baya itu terus me-
langkah sambil tertawa-tawa, diikuti dua kawan-
nya yang berpakaian rompi abu-abu.
"Ha ha ha...! Sepuluh tahun terakhir ini
aku merasa bebas. Bebas berbuat sesuka hatiku.
Karena Perguruan Gunung Talang yang kita bu-
mihanguskan itu sudah terkubur, bersama si Tua
Bangka, Damar Kiwangi," ucap lelaki berpakaian serba hitam itu seraya terus
mengumbar tawanya. Kakinya terus melangkah tanpa menghi-
raukan keadaan sekitarnya.
"Benar, Kakang Kala Hitam.... Kini kita bisa memiliki penghasilan yang tak akan
ada habis- habisnya. Hasil bumi dan berbagai upeti dari
penduduk terus mengalir, Tak seorang pun berani
menentang kita. Orang-orang Kadipaten Galih Pu-
tih pun tampaknya segan terhadap kita. Ha ha
ha...!" timpal Kebo Kluwuk salah seorang teman lelaki berpakaian hitam yang
ternyata bernama
Kala Hitam. "Benar! Orang-orang kadipaten diam sete-
lah kita sumpel mulut dan perut mereka dengan
sebagian penghasilan kita. Dan tampaknya mere-
ka akan tetap membiarkan kita selama kita tetap
menyediakan perempuan-perempuan untuk me-
reka. Ha ha ha...!" tambah Rodoprana, juga sambil memperdengarkan tawanya.
Ketiga lelaki itu memiliki ilmu meringankan
tubuh yang tinggi. Begitu cepat ketiganya berlari hingga dalam waktu singkat
mereka sudah me-nempuh jarak ratusan tombak. Suara gelak tawa
mereka terus terdengar di sepanjang perjalanan.
Namun dari kejauhan tiba-tiba muncul se-
sosok bayangan melesat memburu ketiga lelaki
berwajah beringas itu. Sosok bayangan itu pun
tampaknya mengerahkan ilmu meringankan tu-
buh yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Kala Hitam yang mempunyai pendengaran
tajam bagai serigala, cepat menghentikan larinya.
Hal itu membuat kedua temannya keheranan
dengan mengerutkan kening, lalu menghentikan
lari dan berhenti. Kebo Kluwuk dan Rodoprana
saling pandang.
"Hmmm! Rupanya ada yang mengikuti ki-
ta," gumam Kala Hitam. Matanya menyelidik se-
keliling Lembah Bulak Rawa, "Ha ha ha....! Pagi ini kita akan bermain-main
kawan...!"
Kebo Kluwuk dan Rodoprana tampaknya
belum mengerti. Namun kemudian kedua lelaki
bertubuh gagah itu cepat menangkap ucapan Ka-
la Hitam. Maka keduanya langsung tertawa ter-
bahak-bahak sambil menggeser keris yang terse-
lip di pinggang mereka.
"Kala Hitam! Pagi ini kau kelihatan sangat
gembira. Begitu bebas dengan sepak terjangmu.
Kau lupa bahwa di balik tawamu yang memecah
kesunyian pagi indah ini, akan berubah menjadi
malapetaka bagi dirimu, juga kedua temanmu
itu!" Terdengar suara yang tanpa terlihat siapa pemiliknya. Kala Hitam
mengerutkan kening.
Dengan perasaan geram, matanya jelakitan men-
cari dari mana asal suara itu. Namun tetap tak
diketemukannya pemilik suara yang terdengar je-
las itu. Kebo Kluwuk dan Rodoprana pun mela-
kukan hal yang sama. Tak satu pun yang dapat
melihat sosok seseorang yang menyapa Kala Hi-
tam. "Bangsat! Setan alas! Dedemit apa kau" Keluar...!" sera Kala Hitam marah.
"Tunjukkan wujudmu, kalau memang kau ingin mencoba ilmu-
ku! Ayo, keluar...! Keluar...!"
Tantang Kala Hitam penuh amarah sambil
mondar-mandir. Dikerahkan penglihatannya un-
tuk mengawasi sekitar tempat itu. Namun tetap
saja tak menemukan apa yang dicarinya.
"Hhh...! Bedebah!"
"Ha ha ha...! Kala Hitam! Kau memang ma-
nusia berhati iblis! Memfitnah dan merampas har-
ta, serta membunuh orang yang tak bersalah. Ta-
pi kau lupa, salah seorang dari keluarga yang kau bunuh, masih hidup! Dan kini
akan menuntut balas padamu Kala Hitam. Bersiaplah untuk ma-
ti!" Terdengar lagi suara bergema. Kali ini lebih
keras hingga membuat Kala Hitam tersentak ka-
get. Mendadak dirinya merasa tegang dan cemas.
Belum sempat Kala Hitam mengingat, siapa
yang dimaksud suara itu. Tiba-tiba terdengar lan-tunan sebuah syair....
Kidung Kehidupan
Pertama Kali Dia Hadir
Tetesan Darah Akan Tiba
Hutang Budi Dibayar Budi
Hutang Nyawa Dibayar Nyawa
Hutang Pati Dibayar Pati....
Kala Hitam semakin tegang. Seketika keringat dingin membasahi kening dan
wajahnya yang angker itu. Namun kali ini kegarangannya
sedikit berkurang. Tak ada lagi gelak tawa seperti semula. Yang ada ketegangan
dan kecemasan bersampur jadi satu di benak lelaki itu.
"Siapa kau sebenarnya! Aku tak ada uru-
san denganmu. Keluar...!" seru Kala Hitam keras sambil mencabut kerisnya. "Ayo,
lawan aku, Setan Belang...! Tunjukkan keberanianmu, ayo! Ayo, hadapi Kala
Hitam...!"
Begitu suara Kala Hitam berhenti, tiba-tiba
sesosok bayangan berkelebat menyerang mereka
bertiga. Seketika Kebo Kluwuk dan Rodoprana
menjerit setinggi langit. Tangan mereka yang me-
megang keris, menutupi wajah yang mengucur-
kan darah. Sesaat kemudian keduanya yang
mengenakan rompi hitam ambruk tanpa nyawa.
"Kurang ajar.'" maki Kala Hitam geram,
"Siapa kau, manusia atau setan"!"
Belum habis Kala Hitam menenangkan hati
dari ketegangan muncul sesosok tubuh lelaki
tanpa kaki, alias buntung. Wajah lelaki berusia
sekitar lima puluh tahun itu tak begitu jelas, karena tertutup rambut panjangnya
yang dibiarkan tergerai tak karuan. Acak-acakan! Lelaki itu berdiri dengan lututnya, yang
terbungkus kain hi-
tam. Meskipun tanpa kaki tubuhnya dapat berdiri
tegak. Wajahnya sinis menatap Kala Hitam yang
masih bertanya-tanya dalam hati.
Sejauh itu Kala Hitam bisa mengenali siapa
sebenarnya lelaki buntung itu. Matanya tak ber-
kedip, terus mengawasi sosok berpakaian merah
di depannya. "Kala Hitam, kau belum terlalu tua untuk
mengenali siapa aku adanya," tukas lelaki berkaki buntung itu. Senyum sinis
terus mengembang di
bibirnya. Kemudian lelaki itu kembali bersyair seperti tadi.
"Hentikan syair bututmu, Tua Bangka Ke-
parat!" maki Kala Hitam sengit. Namun lelaki buntung itu bagaikan tak peduli
mulutnya terus menyuarakan syair, membuat Kala Hitam yang
mendengarkan tampak kian marah.
"Hhh...! Kau nampak lebih muda dari
usiamu, Kala Hitam. Aku salut padamu! Tapi aku
benci kelicikanmu, tindakanmu membunuh orang
yang tak bersalah, bersama keempat temanmu.
Hasratmu terlalu besar ingin menguasai rimba
persilatan di Kadipaten Galih Putih yang saat itu sedang goyah. Para senapati
dan orang-orang kadipaten telah rusak. Moral mereka telah bejat karena hasutan
dan kelicikanmu. Kau memang pin-
tar Kala Hitam!" lelaki berkaki buntung itu lalu menggeser kecapinya ke depan
dada. "Dan kau tentunya masih ingat dengan adik dari Ki Damar
Kiwangi yang kau buntungi kakinya, lalu kau
buang ke Jurang Mager Wadas. Aku percaya kau
ingat ini! Sebab, kau murka, ketika aku mengha-
langimu memperkosa istriku!"
Kala Hitam tersentak kaget. Tiba-tiba diin-
gatnya peristiwa sepuluh tahun yang lalu. Namun
cepat-cepat dia coba menyembunyikan rasa ka-
getnya sambil berkata,
"Ahhh! Kau jangan mengada-ada! Kau
hanya hantu! Tak mungkin kau bisa hidup lagi!
Semua orang tahu, Mager Wadas merupakan ju-
rang iblis...! Pergi! Atau aku mengusir arwahmu
dengan keris pusakaku ini..."!"
Kala Hitam segera mengibaskan kerisnya
dengan gerakan yang aneh dan cepat
Lelaki buntung hanya diam. Wajahnya
yang tertutup rambut tetap tenang menghadapi
Kala Hitam yang nampak gusar dan tegang itu.
Lelaki buntung itu mulai memetik dawai-dawai
kecapinya. Seketika terdengar suara irama peti-
kan kecapi itu yang melengking tinggi. Ketika Ka-la Hitam melesat cepat
melancarkan serangan,
secepat itu pula lelaki buntung itu menghentak-
kan kecapinya ke depan.
"Heaaa...!"
Wrt! Cras! Cras! Cras!
Begitu cepat lelaki buntung itu mendahului
gerakan Kala Hitam. Sekali gebrak, wajah Kala
Hitam dan kedua kawannya berantakan, terkena
sentakan senar kecapi yang seperti sengaja dipu-
tuskan dari tempatnya. Senar-senar itu bagaikan
hidup, menyabet wajah Kala Hitam hingga men-
galami luka parah. Darah meleleh dari kulit wajah dan sepasang matanya yang
tertusuk senar kecapi.
"Aaauuuwww...! Waaaa...!"
Kala Hitam menjerit-jerit dengan tubuh
berputar-putar sempoyongan. Kedua tangannya
tetap menutup wajah yang berdarah ketika tubuh
Kala Hitam ambruk ke tanah. Sesaat kemudian
sekujur kulit tubuhnya membiru, lalu tewas.
Lelaki buntung itu tersenyum. Matanya
yang tajam menatap tubuh Kala Hitam sudah tak
bernyawa lagi "Aku puas...! Satu dari lima anggota Partai Panca Siwara sudah kubunuh. Ha ha
ha...!" *** Tak lama setelah kepergian si Penyair
Maut, dari arah barat muncul dua sosok lelaki.
Dari kejauhan tampak pakaian yang mereka ke-
nakan adalah seragam prajurit kerajaan. Kedua-
nya terus melangkah ke timur semakin dekat
dengan Lembah Bulak Rawa. Tiba-tiba lelaki ga-
gah yang mengenakan pakaian kuning kemera-
han menghentikan langkahnya. Matanya yang ta-
jam menatap lurus ke depan. Seperti ada sesuatu
yang tengah diperhatikan.
"Kebo Jampe! Aku melihat sesosok
mayat..," ujar lelaki berkumis tipis itu seraya mengernyitkan keningnya.
"Ah, Kakang Wiryapaksi salah lihat ba-
rangkali," sahut lelaki berpakaian lengan panjang warna abu-abu, yang dipanggil
Kebo Jampe. "Hmh..., percuma aku seorang senapati ka-
lau melihat hal yang mencurigakan tidak awas!"
tukas lelaki berpakaian kuning kemerahan yang
ternyata Senapati Wiryapaksi. Seorang panglima
perang yang paling disegani di Kadipaten Galih
Putih. Tanpa menanggapi ucapan Senapati Wi-
ryapaksi, Kebo Jampe langsung berlari mendahu-
lui, karena hatinya membenarkan apa yang telah
dilihat di depan mereka. Adipati Wiryapaksi pun
langsung melesat
"Hah"! Tak mungkin!" sentak Senapati Wiryapaksi dengan mata terbelalak. "Tak
mungkin dia mati! Pasti orang yang membunuhnya memiliki ilmu sangat tinggi,"
Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ujar Senapati Wiryapaksi tak percaya.
"Ya! Kita tahu siapa Kala Hitam. Dia memi-
liki ilmu yang cukup tinggi. Apalagi dengan Keris Pencabut Nyawa yang ampuh
itu," sahut Kebo
Jampe dengan mata menatap mayat Kala Hitam.
"Hanya Pendekar Gila yang bisa mengalah-
kannya. Tapi mungkinkah Pendekar Gila murid
Singo Edan yang melakukan..."!"
Senapati Wiryapaksi lalu mengedarkan
pandangan ke sekeliling Lembah Bulak Rawa
yang sunyi dan sepi. Tak ada tanda-tanda adanya
orang lain, selain dirinya dan Kebo Jampe. Angin kencang berhembus menerpa wajah
Senapati Wiryapaksi yang dihiasi kumis tipis di atas bibirnya.
Hidung yang mancung mirip paruh burung betet
tampak kembang-kempis. Dan matanya yang be-
sar menatap tajam ke sekelilingnya, terus men-
gawasi dengan sikap waspada.
"Nampaknya belum berapa lama kematian
Kala Hitam. Aku merasa orang yang membunuh
Kala Hitam belum jauh dari tempat ini," ujar Panglima Perang Kadipaten Galih
Putin yang memang
berkomplot dengan kelompok yang dipimpin Kala
Hitam. "Hm...," gumam Kebo Jampe yang juga nampak tegang. Karena merasakan
suasana di Lembah Bulak Rawa yang luas itu mulai terasa
mencekam. Matanya terus menyapu sekeliling
tempat itu. "Sebaiknya kita pergi ke timur. Orang itu
pasti belum jauh...," usul Senapati Wiryapaksi, la-lu melesat ke timur diikuti
Kebo Jampe. Dengan
memakai ilmu meringankan tubuh yang cukup
tinggi, keduanya meninggalkan tempat mayat Ka-
la Hitam dan temannya tergeletak
Langkah kedua prajurit kadipaten ini tam-
pak seperti terbang. Cepat, hingga terlihat hanya bayangan kekuningan melesat
bagai angin. Tak lama kemudian Senapati Wiryapaksi
dan Kebo Jampe menghentikan larinya, setelah
lepas dari Lembah Bulak Rawa. Cukup jauh ke-
duanya meninggalkan tempat semula.
Senapati Wiryapaksi menghela napas pan-
jang, matanya menyapu tempat itu. Ternyata me-
reka berdua berada di suatu tempat yang belum
pernah diinjak. Keduanya tampak keheranan dan
merasa asing. "Kau tahu apa nama tempat ini Kebo
Jampe?" tanya Senapati Wiryapaksi dengan suara berat. Matanya terus menyelidik
sekeliling tempat yang masih asing baginya. Sunyi, sepi, dan berke-san angker.
Tempat itu mirip sebuah hutan kecil.
Namun pepohonannya tampak kering dan me-
ranggas. Kebo Jampe tampak agak tertegun ketika
matanya melihat sebuah kuburan tua di sebelah
kanan tempat keduanya berdiri. Anehnya pula
ada asap putih mengepul.
"Aku pun belum pernah tahu tempat ini.
Mungkin kita salah arah," jawab Kebo Jampe, setelah beberapa saat berpikir.
Matanya jelakitan
memandangi tempat yang nampak angker itu.
Ketika Kebo Jampe menoleh ke sebelah
kanan. "Hah!" gumamnya keras. Matanya terbelalak lebar memandang ke satu arah.
"Ada apa Kebo Jampe...?" tanya Senapati Wiryapaksi dengan kening berkerut
Kebo Jampe tak menjawab, dia hanya me-
nunjuk ke sebelah kanannya. Senapati Wiryapak-
si pun tersentak kaget dengan mata membelalak
lebar. Ternyata di dekat sebuah batu nisan kuburan tua itu samar-samar terlihat
bayangan keme- rahan berbentuk manusia. Asap putih yang me-
nyelimuti tempat itu membuat mata Senapati Wi-
ryapaksi dan Kebo Jampe tak dapat memperjelas
pandangan mereka.
Kedua prajurit kadipaten itu saling pan-
dang. Lalu kembali menoleh ke sosok yang berdiri dekat batu nisan kuburan tua
tadi. Tiba-tiba terdengar bunyi petikan kecapi
mengiringi alunan syair. Alunan itu ternyata ke-
luar dari mulut sesosok manusia berukuran pen-
dek yang berdiri di dekat nisan kuburan tua itu.
Senapati Wiryapaksi dan Kebo Jampe ter-
sentak kaget serta merasa tegang, mendengar
alunan syair itu. Disertai petikan kecapinya.
Kidung Kehidupan
Pertama Kali Dia Hadir
Tetesan Darah Akan Tiba
Hutang Budi Dibayar Budi
Hutang Nyawa Dibayar Nyawa
Hutang Pati Harus Dibayar Pati....
Dalam suasana hati diliputi ketegangan kedua prajurit kadipaten itu mencabut
keris yang terselip di pinggang masing-masing
"Hei! Siapa kau"! Manusia atau hantu..."!"
seru Senapati Wiryapaksi dengan menghunuskan
kerisnya. "Mendekatlah, kalau kau memang manusia!" Namun sosok bertubuh pendek
berpakaian hitam itu tetap saja bungkam. Dan terus memainkan kecapinya. Bunyi
kecapi semakin lama
semakin keras dan melengking nyaring tinggi.
Memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu an-
gin menderu begitu kencang.
Wesss...! "Ha ha ha...! Hai, Senapati pembawa ke-
maksiatan, kekejaman, kemurkaan! Hari ini akan
kucabut nyawamu.... Bersiaplah!"
Suara itu terdengar keras menggelegar. Se-
napati Wiryapaksi dan Kebo Jampe semakin tak
mengerti dan tegang.
"Setan alas...! Siapa kau sebenarnya...! Bagaimana kau bisa mengenaliku"!"
teriak Senapati Wiryapaksi dengan geram.
"Hei, Manusia Durhaka! Rupanya kau lupa
peristiwa sepuluh tahun silam di Padepokan Gu-
nung Talang! Kurasa kau belum terlalu tua untuk
mengingatnya, Senapati Wiryapaksi...."
"Hah, Padepokan Gunung Talang..."!" Senapati Wiryapaksi bergumam lirih sambil
menge- rutkan kening. Belum sempat dia dapat mengin-
gat sesuatu. Tiba-tiba....
Wut! Wut! Wut...!
Wrt! Cras! Cras! Begitu cepat bayangan itu berkelebat me-
nyerang, hingga Senapati Wiryapaksi dari Kebo
Jampe tak dapat mengelak. Seketika itu pula ke-
duanya menjerit setinggi langit. Senapati Wirya-
paksi yang masih bisa menangkis serangan sebi-
sanya juga terluka di tangan kiri. Sedangkan Ke-
bo Jampe yang sangat terkejut terkena sambaran
di wajahnya. Sambil meraung-raung kesakitan le-
laki berpakaian abu-abu itu menutupi wajahnya
dengan telapak tangan.
Senapati Wiryapaksi mengerang kesakitan
dan menjerit-jerit, sambil memegangi tangan ki-
rinya yang ternyata putus.
Belum sempat laki-laki gagah itu memulih-
kan tenaga dalamnya, sosok laki-laki buntung
yang ternyata si Penyair Maut itu melesat cepat
melancarkan serangan susulan, sambil bergerak
cepat tangannya menyentakkan senar-senar ke-
capi yang seperti sengaja diputuskan dari tem-
patnya. Senar-senar itu bagaikan hidup, meng-
hantam wajah Senapati Wiryapaksi tercabik-cabik
tak karuan. Seperti halnya wajah Kebo Jampe
yang kini sudah tewas dengan tubuh berubah
membiru. "Aaawww...!"
Senapati Wiryapaksi menjerit-jerit sambil
menutupi wajahnya yang rusak. Matanya pun ter-
tancap senar kecapi, hingga berlubang. Darah
bercucuran keluar dari lubang mata. Begitu pun
dari wajahnya yang tercabik-cabik senar maut itu.
Tubuh Panglima Perang Kadipaten Galih Putih itu
kelojotan lalu ambruk dengan keras ke tanah.
Si Penyair Maut tampak belum puas meli-
hat Senapati Wiryapaksi belum mati. Dengan me-
lompat dan mengangkat kecapinya, lelaki bun-
tung itu kembali melakukan serangan.
"Hieaaa...!"
Jlep! Jlep! "Aaakh...!"
Senapati Wiryapaksi kembali menjerit pan-
jang. Tubuhnya tertancap ujung kecapi hingga
tembus. Lalu lelaki buntung itu mencabut kemba-
li kecapinya seraya tersenyum puas. Wajahnya
yang tak nampak jelas, karena selain tempat itu
diliputi asap, juga tertutup rambut panjang sebatas bahu. Pakaiannya yang serba
merah dan kumal itu menandakan, kalau lelaki buntung itu
seakan tak pernah membersihkan badan.
"Ha ha ha...! Tinggal tiga lagi. Cepat atau lambat aku harus bunuh mereka,"
lelaki buntung itu tertawa terbahak-bahak. Lalu dibersihkannya
ujung kecapi yang penuh darah dengan ujung ba-
junya. Kemudian, lelaki buntung itu melesat pergi meninggalkan kedua mayat. Dan
menghilang begitu cepat. Hal itu menandakan kalau ilmu yang
dimiliki lelaki si Penyair Maut itu sangat tinggi.
Hanya suara tawanya yang menggelegar bagai
memecah bumi terdengar di kejauhan, hingga
perlahan-lahan menghilang.
Saat itu mendung menyelimuti bumi. Angin
bertiup sangat kencang, seakan hendak mero-
bohkan pepohonan atau apa saja yang ada di
tempat itu. Petir mulai menyambar-nyambar. Dan
bunyi guntur menggelegar, menjadikan suasana
mencekam dan keruh. Hujan pun turun dengan
deras. Tempat yang semula angker dan mena-
kutkan, kini semakin mengerikan. Bagai suasana
alam gaib, tempat segala hantu dan dedemit.
Tempat itu ternyata tempat semadi lelaki buntung itu. Karena di situlah kuburan
Ki Damar Kiwangi, kakak kandung si Penyair Maut berada.
Tak seorang pun tahu di tempat itu terletak
makam Ki Damar Kiwangi. Tokoh aliran putih itu
dibunuh secara keji oleh kawanan Gerombolan
Partai Panca Siwara. Kelompok tokoh golongan hi-
tam yang anggotanya, Kala Hitam, Senapati Wi-
ryapaksi, Kidang Pangarsura, Warik Kala, dan Be-
ruk Singgala. Kelima tokoh itu sama memiliki ilmu tinggi.
Namun mereka kejam dan durjana. Beruk Singga-
la seorang tokoh aliran hitam dari Pulau Andalas.
Dia memiliki ilmu sesat, yaitu ilmu sihir yang
sangat menakutkan. Pangeran Sasanadipa tak
luput dari ilmu sihirnya. Hingga lupa ingatan.
Minuman yang diramu Beruk Singgala dengan
jampi-jampinya sempat membuat pangeran dari
Kadipaten Galih Putih itu mudah dipengaruhi
oleh kelompok sesat yang dipimpin Kala Hitam.
Begitu pula yang dilakukan terhadap para
pejabat di Kadipaten Galih Putih. Gerombolan
yang dipimpin Kala Hitam telah banyak mempen-
garuhi orang-orang dalam pemerintahan dengan
berbagai macam hasutan. Lebih parah lagi, ketika para pembesar pemerintah
kadipaten itu berhasil
dicekoki dengan perawan-perawan cantik yang di-
culik dari desa-desa.
Siasat sepak terjang yang keji dilakukan
oleh Kala Hitam dan para anak buahnya. Yang
menjadi korban keganasan mereka tak lain rakyat
jelata. Mereka memeras rakyat dengan berbagai
macam pajak dan upeti. Hasil bumi yang dikerja-
kan rakyat pun tak luput dari gangguan orang-
orang Partai Panca Siwara.
Namun sayang, sejauh itu tak satu pun pa-
ra pendekar dan prajurit kadipaten yang berhasil membekuk Kala Hitam dan para
begundalnya. Apalagi keadaan di dalam kadipaten sendiri se-
makin dikacaukan oleh hasutan tokoh-tokoh se-
sat itu. Hanya si Penyair Maut yang telah memulai!
Sepak terjangnya berkitar belakang dendam ke-
sumat Lelaki buntung itu terus berlari mening-
galkan tempatnya bersemadi. Hujan deras meng-
guyur tubuhnya yang pendek tanpa kaki.
2 Para pejabat di Kadipaten Galih Putih san-
gat terkejut ketika mendengar senapati yang pal-
ing ditakuti dan berilmu tinggi terbunuh secara
mengenaskan. Para senapati lain merasa cemas.
Sementara itu Pangeran Sasanadipa justru se-
dang asyik berpesta pora dengan para selirnya,
sambil menonton tarian dibawakan gadis-gadis
penari istana. Suasana meriah pesta yang di-
selenggarakan oleh Pangeran Sasanadipa sangat
bertolak belakang dengan perasaan duka dan ce-
mas yang melanda para prajurit. Seolah-olah tak
pernah terjadi peristiwa mengenaskan itu. Bagai
terlupakan sama sekali kematian seorang pangli-
ma yang sangat ditakuti itu di benak sang Pange-
ran. Namun itulah yang sangat diinginkan sang
Pangeran yang moralnya telah dibuat bejat oleh
ilmu sihir Beruk Singgala. Salah seorang dari Partai Panca Siwara yang berniat
dapat menguasai
kadipaten dan seluruh desa untuk dijadikan alat
menimbun kekayaan dan kekuasaan.
Kidang Pangarsura dan Warik Kala yang
Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saat itu berada di kadipaten sangat terkejut mendengar berita, Kala Hitam dan
Senapati Wirya-
paksi terbunuh secara tiba-tiba dalam hari yang
sama. "Aku belum percaya kalau belum melihat mayat Kala Hitam dan Senapati
Wiryapaksi...!"
ujar Kidang Pangarsura dengan geram sambil
mengancam seorang senapati kadipaten yang
hendak melapor pada Pangeran Sasanadipa.
"Apa kau sudah lupa, bahwa pangeran pun
tak akan menanggapi laporanmu. Dia saat ini se-
dang bersenang-senang. Kau ini seperti orang ba-
ru saja di kadipaten ini"!" bentak Warik Kala pada senapati yang bernama Bantlik
Sampit, "Apa kau juga lupa bahwa di kadipaten ini yang berkuasa
Partai Panca Siwara. Sana pergi...!"
Warik Kala mendorong tubuh Senapati
Bantlik Sampit. Lelaki tua berpakaian lurik itu sudah mabuk karena terlalu
banyak minum tuak
dan sihir Beruk Singgala.
"Sebaiknya kematian Kala Hitam dan Se-
napati Wiryapaksi kita selidiki. Aku tak yakin Ka-la Hitam yang memiliki ilmu
setaraf dengan kita, bahkan lebih tinggi bisa mati segampang itu!"
bantah Kidang Pangarsuara masih belum per-
caya. Dipukul-pukulkan kepalan tangan kanan-
nya ke telapak tangan kiri. Lalu mulutnya men-
dengus sambil menggertakkan gigi, seakan-akan
ada kegeraman yang ditahan dalam hatinya.
"Kalau memang benar, orang yang mem-
bunuh kedua kawan kita itu pasti bukan tokoh
sembarangan," tukas Warik Kala cemas sambil mengerutkan kening. Sepertinya dia
sedang berpikir keras, mencari jawaban siapa yang membu-
nuh kedua sahabatnya itu.
Sementara itu di ruang pesta, nampak su-
asana semakin bertambah gila. Mata sang Pange-
ran yang terpengaruh sihir Beruk Singgala tam-
pak membelalak lebar. Lalu disuruhnya salah
seorang penari paling depan dan cantik datang ke tempatnya.
Tanpa lama-lama lagi penari yang ditunjuk
Pangeran Sasanadipa itu mendekat sambil terse-
nyum-senyum manja.
Begitu berada di hadapannya sang Pange-
ran langsung memeluknya. Tangannya menggeluti
penari cantik bertubuh sintal itu. Para selirnya hanya tersenyum-senyum dan
bahkan nampak senang. Akhirnya sang Pangeran membawa penari
ini ke kamarnya, sambil terus menciumi seluruh
tubuhnya. Dan keempat wanita selirnya mengiku-
ti sang Pangeran yang menggandeng penari itu ke
dalam kamarnya.
Begitu Pangeran Sasanadipa menghilang
masuk ke kamarnya, para pengawal, senapati,
dan orang-orang penting kadipaten, langsung
mengambil pesanan para penari lainnya. Para pe-
nari yang masih muda-muda itu tak menolak, ju-
stru nampak bergembira. Tubuh mereka diciumi
dan dirangkul oleh para pengawal dan senapati.
Kemudian mereka bergumul di ruangan pesta itu
sesuka hati, tanpa ada rasa malu satu sama lain-
nya. Kadipaten Galih Putih yang dulu terkenal
dan disegani, telah berubah menjadi tempat mak-
siat. Setelah dikuasai Partai Panca Siwara yang
sengaja membuat hancur kekuatan kadipaten itu.
"Kita harus cepat memberi tahu Danur Sa-
ka dan Beruk Singgala, sebelum menyelidiki, sia-
pa pembunuh Kala Hitam dan Senapati Wirya-
paksi!" ujar Warik Kala mendesak Kidang Pangarsura. "Benar. Tapi di mana mereka
sekarang berada" Terutama Beruk Singgala. Aku khawatir dia
pulang ke Pulau Andalas!" tukas Kidang Pangarsura cemas. Lelaki yang bertubuh
besar dan ber- kumis tebal, memperlihatkan perasaan tak te-
nang. Matanya yang merah menatap ke sana ke-
mari karena gelisah.
"Kita cari saja. Atau kita temukan Danur
Saka dulu. Siapa tahu Danur Saka menerima pe-
san dari Beruk Singgala, di mana harus menca-
rinya," ujar Warik Kala memutuskan.
Kidang Pangarsura manggut-manggut,
membenarkan usul Warik Kala.
"Benar. Ayo, kita berangkat! Biar saja pan-
geran edan itu sibuk dengan perempuan-
perempuan gundiknya!" jawab Kidang Pangarsu-ra. Yang kemudian mengajak Warik
Kala pergi da- ri Kadipaten Galih Putih.
Kedua anggota Partai Panca Siwara tak
mempedulikan Pangeran Sasanadipa yang tengah
bercumbu dengan seorang penari ditemani keem-
pat selirnya. Tak lama kemudian Kidang Pangarsura
dan Warik Kala sudah sampai di luar lingkungan
kadipaten. Keduanya menggebah kuda tunggan-
gan mereka meninggalkan Kadipaten Galih Putih.
"Aku penasaran! Siapa yang berani mem-
bunuh Kala Hitam...!" sungut Kidang Pangarsura sambil terus melangkah cepat
"Aku juga ingin tahu bagaimana muka
orang yang mampu menghabisi nyawa Kala Hi-
tam. Benar-benar berilmu tinggi orang itu...," sahut Warik Kala bernada geram
"Kalau begitu kita harus mempercepat
langkah, agar segera sampai di tempat Danur Sa-
ka. Ayo, heps...!"
"Heaaa...!"
*** Siang itu cuaca begitu terik. Sang Surya
memancarkan sinarnya bagai membakar kulit se-
pasang muda-mudi yang tengah berjalan mema-
suki Lembah Bulak Rawa. Angin berhembus ken-
cang menerpa keduanya. Namun hawa tetap tera-
sa sangat panas.
"Kakang Sena, sebaiknya kita cepat menca-
ri desa terdekat. Aku haus," ujar gadis cantik berpakaian putih dengan pedang
tersampir di pung-
gungnya. "Heran, panas sekali udara siang ini."
Gadis itu mengeluh sambil menyeka kerin-
gat di keningnya.
Pemuda tampan berpakaian rompi dari ku-
lit ular yang dipanggil Sena cengengesan. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala
sambil mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu.
"Hah"!" pemuda berambut gondrong yang
ternyata Sena Manggala terkejut ketika tiba-tiba pandangannya membentur sesuatu.
"Ada apa, Kakang?" tanya gadis cantik itu sambil mengerutkan kening.
"Lihat sana, Mei..,!" sahut Sena sambil menunjuk ke satu arah. Lalu kembali
menggaruk- garuk kepala sambil mulutnya cengengesan, mirip
orang tidak waras.
"Hah"! Mayat...?" Mei Lie memandang ke tempat yang ditunjuk Sena.
Lalu tanpa banyak bicara Sena melangkah
menghampiri sosok mayat yang tergeletak sekitar
sepuluh tombak di depannya. Diikuti oleh Mei Lie.
Dengan tangan menggaruk-garuk kepala
dan mulut cengengesan Sena memperhatikan so-
sok mayat berpakaian hitam di hadapannya. Ke-
mudian dua tombak jaraknya dari tempat Sena,
Mei Lie melihat dua, sosok mayat terbalut pa-
kaian rompi abu-abu.
"Wajah ketiga mayat itu hancur. Lihat mata
mereka seperti diculik! Hhh..., benar-benar tindakan keji!" gumam Mei Lie seraya
menggeleng- gelengkan kepala.
Sena pun menggeleng-geleng, lalu cen-
gengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Aku tak mengenal mayat-mayat itu. Tapi
kalau dilihat dari pakaian mayat yang di sebelah sana," Sena menunjuk mayat di
sebelah kirinya yang mengenakan pakaian prajurit warna abu-abu. "Kalau aku tak
salah, orang-orang yang mati ini dari Kadipaten Galih Putih."
"Lalu siapa yang membunuh mereka ini?"
tanya Mei lie. "Ah ah ah..., mana aku tahu. Tapi rasanya
keadaan Kadipaten Galih Putih sedang mengha-
dapi kehancuran..,," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana Kakang Sena tahu?"
"Pernah kudengar dari seorang saudagar
yang biasa mengantarkan pesanan pakaian ke
kadipaten. Kau ingat, ketika bermalam di pengi-
napan di Desa Watu Congot kemarin?" tutur Sena dengan mulut cengengesan persis
orang gila. Namun Mei Lie tetap menanggapi dengan sungguh.
Dirinya telah memahami benar bagaimana kebia-
saan kekasihnya.
"Kakang yakin dengan berita itu...?"
Sena hanya cengar-cengir dana mengga-
ruk-garuk kepala.
"Sebaiknya kita kubur mayat-mayat ini.
Kasihan...!" kata Sena.
Lalu segera Sena dan Mei Lie melakukan
penguburan ketiga mayat itu
"Semoga arwah mereka lebih tenang di da-
lam kubur...!" gumam Sena setelah selesai mengubur mayat Kala Hitam, Kebo Kluwuk
dan Rodo- prana Terik matahari masih saja menyengat kulit
kedua muda-mudi itu. Keduanya meneruskan
perjalanan ke sekitar.
"Mudah-mudahan ada desa di sebelah seki-
tar lembah ini...,'' gumam Sena.
Pada saat yang bersamaan, Kidang Pangar-
sura dan Watik Kala sedang dalam perjalanan
mencari Danur Saka. Tanpa menghiraukan jala-
nan terjal berbatu mereka terus menggebah kuda
masing-masing agar segera sampai ke tempat tu-
juan. Seakan tak ingin kehilangan waktu sedikit
pun. Derap kaki kuda begitu keras menapaki ja-
lan yang berkelok dan naik turun itu. Dan ketika kuda-kuda mereka melewati
Lembah Bulak Rawa.
Kidang Pangarsura dan Warik Kala segera meng-
hela tali kendali. Kuda pun berhenti.
"Heaaah! Herrr...!"
"Mungkin itu mayat Kala Hitam dikubur-
kan di sana!" ujar Kidang Pangarsura sambil menunjuk gundukan tanah, menyerupai
kuburan yang masih baru.
"Mungkin," sahut Warik Kala. Lalu mereka menjalankan kuda menuju tempat mayat
Kala Hi- tam dan kedua temannya dikuburkan.
Kidang Pangarsura dan Warik Kala segera
melompat turun dari kudanya. Langsung meme-
riksa kuburan baru itu.
"Perasaanku mengatakan benar ini pasti
kuburan Kala Hitam! Ayo, kita bongkar!!" kata Kidang Pangarsura.
"Tunggu dulu! Ini ada tiga kuburan. Yang
mana kira-kira mayat Kala Hitam...?" cegah Warik Kala. "Ahhh! Bongkar saja
semuanya! Kita kan ingin kenyataan. Apakah benar kawan kita itu
benar telah mati!" sergah Kidang Pangarsura.
Lalu dengan menggunakan tenaga dalam
mereka, tak memakan waktu lama, kuburan-
kuburan itu telah terbongkar.
"Aneh! Rasanya tak mungkin. Kala Hitam
yang memiliki ilmu cukup tinggi benar-benar
man!" gumam Warik Kala. Setelah melihat mayat Kala Hitam yang mukanya rusak.
Mengerikan. "Kurang ajar! Siapa pun yang melakukan-
nya, akan kubalas!" dengus Kidang Pangarsura dengan geram. Matanya membelalak
lebar. Giginya beradu, menimbulkan gemeretak.
Matanya liar menyapu sekeliling tempat
itu. Lalu pandangannya terhenti pada satu arah.
"Warik Kala, kau lihat bekas telapak kaki
yang menuju ke sekitan. Mungkin orang itu yang
membunuh kawan kita. Ayo kita kejar...!" kata Kidang Pangarsura dengan nada
geram. Segera keduanya melompat ke atas pung-
gung kuda. Dan mereka memacu kudanya dengan
cepat ke sekitan.
"Hea! Hea...!"
*** Sena dan Mei Lie baru saja keluar dari se-
buah kedai, habis istirahat dan sekadar mengisi
perut. Tiba-tiba para penduduk Desa Serangan
dikejutkan oleh dua orang berkuda yang tak lain
Kidang Pangarsura dan Warik Kala. Derap kaki
kuda yang keras dan kencang membuat orang-
orang yang sedang berlalu lalang di jalan utama
desa itu panik dan berlarian menghindar.
Apalagi mereka yang mengenali kedua
orang-orang itu nampak mencibir dengan hati di-
liputi rasa cemas. Karena mereka tahu bahwa
orang berkuda itu dari aliran hitam yang mengu-
asai Kadipaten Galih Putih dengan cara licik dan kotor. "Herrr, herrr...!"
Kidang Pangarsura menarik tali kekang
kudanya agar berhenti. Begitupun yang dilakukan
Warik Kala. Sambil memandang sekeliling desa
yang dilewati, mereka membiarkan kuda berjalan
pelan. Mata Kidang Pangarsura dan Warik Kala
terus menyapu ke kiri dan kanan dengan pan-
dangan tajam dan bengis. Para penduduk desa
nampak acuh dan menghindar.
Mei Lie yang melihat situasi demikian,
hanya tersenyum sinis. Sena menggaruk-garuk
kepala sambil cengai-cengir memandangi Kidang
Pangarsura dan Warik Kala.
"Hei...! Siapa yang merasa menguburkan
mayat sahabatku yang mati di Lembah Bulak Ra-
wa"!" seru Kidang Pangarsura dengan suara penuh geram. Matanya jelakitan ke sana
kemari. Para penduduk desa yang mendengar me-
Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rasa heran dan aneh dengan pertanyaan Kidang
Pangarsura itu. Mereka saling pandang dan men-
gangkat bahu. Ada pula yang menggeleng kepala.
Sebagian lagi tampak tak peduli dengan ocehan
Kidang Pangarsura.
"Hei! Kau berhenti!" bentak Kidang Pangarsuara yang melihat seorang lelaki
setengah baya dengan tak peduli ngeloyor pergi.
Lelaki setengah baya yang ternyata Ki Suko
Kusumo, Kepala Desa Serangan, menghentikan
langkahnya. Lalu membalik perlahan seraya me-
natap Kidang Pangarsura dan Warik Kala, dengan
menyipitkan kedua matanya.
"Ada apa, Kisanak...?" tanya Ki Lurah Suko Kusumo.
"Bangsat! Ditanya malah kau bertanya!"
Kidang Pangarsura marah. Kemudian bergerak
hendak menghajar Ki Lurah Suko Kusumo den-
gan cambuknya. Namun cambuk itu belum sem-
pat menyentuh tubuh Ki Lurah Suko Kusumo.
Karena mendadak sesosok wanita muda melom-
pat, dan.... "Yeaaa...!"
Prattts! "Hah"!"
Kidang Pangarsura tersentak kaget, meli-
hat cambuknya terlepas.
Belum sempat Kidang Pangarsura dan Wa-
rik Kala mengenali siapa penyerangnya, wanita
berambut panjang itu sudah membentaknya.
"Hei! Jangan sembarangan main cambuk
orang yang tak tahu apa-apa tentang mayat sa-
habatmu itu! Akulah yang menguburkan mayat
sahabatmu itu. Sekarang kau mau apa..."!"
Gadis itu bahkan berani menantang Kidang
Pangarsura dan Warik Kala. Matanya yang bening
dan lembut menatap wajah kedua lelaki yang du-
duk di punggung kuda itu.
"Bedebah! Siapa kau, Wanita Bawel...!
Kaukah yang membunuh Kala Hitam"!" bentak
Kidang Pangarsura dengan geram. Lalu melompat
dari atas punggung kudanya, disusul oleh Warik
Kala. Keduanya berdiri tegap di hadapan Mei Lie
"Ha ha ha...! Rupanya kalian orang-orang
picik dan rendah!" maki Mei Lie sambil mencabut pedang yang tersampir di
punggungnya. "Hah"!" Kidang Pangarsura dan Warik Kala tersentak kaget ketika melihat Pedang
Bidadari yang digenggam tangan kanan Mei Lie. Mereka
tahu kalau pedang yang memancarkan sinar kun-
ing kemerah-merahan itu Pedang Bidadari. Dan
hanya si Bidadari Pencabut Nyawa kekasih Pen-
dekar Gila yang memiliki
"Pedang Bidadari..."!" desis Kidang Pangarsura dan Warik Kala lagi dengan mata
terbelalak seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya. Ki
Lurah Suko Kusumo dan para warga Desa Seran-
gan yang berada di tempat itu tampak kaget me-
nyaksikan pedang Mei Lie yang bersinar kuning
kemerahan-merahan.
"Hi hi hi...! Lucu, kalian berdua ini lucu. Hi hi hi... mau apa kalian, Badut"!"
celetuk Sena yang melangkah maju sambil menggaruk-garuk
kepala mengejek Kidang Pangarsura dan Warik
Kala. Kedua orang itu semakin terkejut
Wajah mereka saling tatap diliputi ketegan-
gan ketika mengenali siapa pemuda yang berting-
kah laku seperti orang gila itu. Sementara itu Ki Lurah Suko Kusumo yang rupanya
juga telah mengenali pemuda berompi dari kulit ular itu,
tampak tersenyum lega.
"Pendekar Gila..."!" pekik Kidang Pangarsura. Wajahnya yang semula garang dan
bengis be- rubah seketika. Tersungging senyum kecut di bi-
birnya. "Hei! Sekarang kau sudah berhadapan dengan orang yang menguburkan mayat
sahabatmu. Jawab, apa maumu...!" ujar Mei Lie ketus, sambil menuding Kidang
Pangarsura dengan Pedang Bidadari-nya.
"Hm..., mak..., maksud kami hanya ingin
tahu siapa yang membunuh sahabatku itu...," jawab Kidang Pangarsura bimbang.
"Hi hi hi... Lucu! Kalau hanya itu, kenapa
kau berbuat kasar sama orang yang tak tahu-
menahu soal mayat sahabatmu itu" Aku kurang
suka dengan tindakanmu itu, Kisanak.... Terus
terang aku tersinggung...," ucap Sena dengan cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala. Kidang Pangarsura dan Warik Kala saling
pandang. Mukanya memerah. Marah. Namun Wa-
rik Kala yang lebih memakai otak, dari pada otot segera menjawab.
"Maaf...! Kami tak ingin bentrok dengan,
Kisanak. Kami berdua hanya ingin mencari pem-
bunuh sahabat kami. Terima kasih atas kerelaan
pendekar mau mengubur mayat Kala Hitam sa-
habat kami itu...."
"Hm...! Baiklah, kalau memang kalian ber-
dua mengerti bahwa aku dan Kang Sena bukan
pembunuh yang kau cari. Sekarang cepat kalian
tinggalkan desa ini! Aku paling tak suka melihat orang-orang Desa Sarangan ini
ketakutan dan cemas!" kata Mei Lie ketus.
Kidang Pangarsura menahan marah. Gi-
ginya gemeretak beradu. Warik Kala menenang-
kan, seraya berkata lirih,
"Tenang, Kawan. Pendekar Gila dan Bida-
dari Pencabut Nyawa bukan pembunuh Kala Hi-
tam. Sebaiknya kita cepat pergi dari desa ini. Tujuan kita mencari pembunuh itu.
Urusan sakit hati pada Pendekar Gila dan wanita itu kita atur selanjutnya...."
Kidang Pangarsura memaksakan diri untuk
tersenyum mengangguk.
"Maafkan kami...! Ayo pergi!" kata Kidang Pangarsura dengan mengajak Warik Kala
untuk segera pergi dari tempat itu.
"Her, her...!"
"Hea! Heaaa...!"
Kedua kuda yang ditunggangi Kidang Pan-
garsura dan Warik Kala dengan cepat meninggal-
kan Desa Sarangan. Pendekar Gila dan Mei Lie
memandangi dari belakang. Pendekar muda itu
terus tertawa-tawa cekikikan sambil mengorek
kupingnya dengan bulu burung yang selalu dis-
impan di dalam ikat pinggangnya.
"Terima kasih, Tuan Pendekar.... Juga Ni-
ni...," ucap Ki Lurah Sumo Kusumo sambil menjura. Begitu juga para penduduk desa
yang mera- sa senang dengan kehadiran sepasang pendekar
muda itu di desa mereka.
"Sama-sama, Ki. Sudah kewajiban kami
berdua untuk menolong orang-orang lemah," jawab Sena seraya tersenyum. "Tapi
siapa sebenarnya kedua orang tadi, Ki?" tanya Sena kemudian.
"Mungkin Ki Lurah bisa menjelaskan...,"
tambah Mei Lie menyela ucapan Pendekar Gila.
Ki Lurah Sumo Kusumo manggut-manggut
seraya menatap dengan senyum pada Sena dan
Mei Lie. "Hm..., sebaiknya Tuan berdua singgah du-
lu ke rumah kami! Nanti saya ceritakan sedikit
tentang kedua orang tadi...," kata Ki Lurah Sumo Kusumo kalem.
Pendekar Gila melirik wajah Mei Lie, sambil
terus mengorek telinganya dengan bulu burung.
Seakan dirinya meminta pertimbangan pada Mei
Lie. Ternyata gadis itu menganggukkan kepala,
tanda setuju. "Baiklah...," jawab Sena dengan mulut cengengesan.
"Kalau begitu mari, silakan...!" kata Ki Lurah Sumo Kusumo memberi jalan pada
Sena dan Mei Lie dengan ramah. Begitu juga dengan pen-
duduk desa. Tampaknya mereka telah mengeta-
hui tentang keberadaan Pendekar Gila dan keka-
sihnya, si Bidadari Pencabut Nyawa. Hal itu tak
mengherankan, karena sepak terjang Pendekar
Gila sebagai pendekar penegak keadilan telah di-
kenal tidak hanya oleh kalangan rimba persilatan.
*** Ki Lurah Sumo Kusumo menceritakan se-
cara singkat pada Pendekar Gila dan Mei Lie.
Bahwa kedua orang berkuda itu anggota Partai
Panca Siwara yang kini menguasai Kadipaten Ga-
lih Putih. "Aha! Lalu siapa pembunuh kawan orang-
orang sesat itu, Ki?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Mulut masih juga
cengengesan. "Ya!" sela Mei Lie, sebelum Ki Lurah Sumo Kusumo menjawab. "Tadi Ki Lurah bilang
bahwa Ki Damar Kiwangi punya adik kandung. Apa dia
juga mati dibunuh Partai Panca Siwara..."!"
"Saya belum tahu pasti karena cerita yang
tersiar simpang siur. Ada yang menceritakan
bahwa adik Ki Damar Kiwangi yang bernama An-
jang Kawiwangi mati setelah dilempar ke jurang.
Tapi ada pula yang mengatakan bahwa Anjang
menghilang begitu saja...," kata Ki Lurah Sumo Kusumo menjelaskan. Kepala lelaki
setengah baya itu menggeleng-geleng seakan tidak yakin pada
apa yang diceritakannya sendiri.
Pendekar Gila manggut-manggut, kemu-
dian menggaruk-garuk kepalanya. Mei Lie menge-
rutkan kening. Ditatapnya wajah Ki Lurah Sumo
Kusumo sejenak lalu tanyanya,
"Kalau saya boleh tahu apa Ki Lurah tahu,
siapa kira-kira pembunuh tokoh Partai Panca Si-
wara itu?"
"Hm...!" gumam Kepala Desa Sarangan itu sambil mengerutkan kening. Sejenak
lelaki setengah baya itu mengingat-ingat sesuatu. "Ya. Kami dengar dari orang-
orang yang pernah melihat,
bahwa ada seorang lelaki berkaki buntung yang
tiba-tiba muncul di wilayah ini. Diduga keras lelaki buntung itulah pelaku
pembunuhan terhadap
Senapati Wiryapaksi dan Kala Hitam..."
"Lelaki buntung..."!" gumam Mei Lie dengan kening berkerut, kaget Sementara
Pendekar Gila seakan tak peduli dengan lelaki buntung
yang disebut Ki Lurah Sumo Kusumo. Dia tetap
dengan tingkahnya yang lucu. Cengengesan sam-
bil menggaruk-garuk kepala.
Sena kemudian melirik sebentar pada Mei-
Lie. Dan Mei Lie mengerti maksud lirikan Sena
itu. "Mungkinkah lelaki buntung itu ada hubungannya dengan adik Ki Damar
Kiwangi, yang belum jelas mati atau... masih hidup?" gumam Mei Lie pelan sekali seperti bicara
pada diri sendiri.
Ki Lurah Sumo Kusumo tampaknya men-
dengar gumaman Mei Lie.
"Mungkin juga adik Ki Damar Kiwangi ma-
sih hidup. Ah, tapi tak mungkin! Kelima tokoh sesat itu telah melemparkannya ke
jurang Mager Wadas setelah dihajar sampai setengah mati....
Dan nyatanya hingga sekarang tak pernah ter-
dengar lagi nama Anjang Kawiwangi"
Mei Lie menyipitkan kedua matanya, seo-
lah-olah tengah berusaha memecah dan mema-
hami penjelasan Kepala Desa Sarangan itu.
"Apa Ki Lurah menyaksikan kejadian
itu...?" tanya Sena tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan Sena itu, Ki Lurah
Sumo Kusumo mengerutkan kening. Sejenak dia
menghela napas panjang.
"Ya, sepuluh tahun yang lalu. Sebab saya
sendiri termasuk murid dari Padepokan Gunung
Talang. Bahkan hampir semua penduduk Desa
Sarangan ini mengabdi pada Ki Damar Kiwangi
yang bijaksana dan pembela kaum lemah. Seperti
Tuan Pendekar saat ini," Ki Lurah Sumo Kusumo menghentikan ucapannya sebentar
dan menghela napas. "Namun sejak Padepokan Gunung Talang dihancurkan Partai Panca Siwara
keadaan kian memburuk. Penduduk desa yang sebelumnya hi-
dup aman dan sentosa, kini selalu merasa dice-
kam ketakutan. Pemerasan, pemaksaan, pembu-
nuhan, bahkan penculikan terjadi di mana-mana.
Tidak hanya di Desa Sarangan ini. Hampir semua
desa yang masih dalam lingkungan Kadipaten Ga-
lih Putih menjadi cengkeraman Partai Panca Si-
wara." Mendengar cerita Ki Lurah Suko Kusumo Pendekar Gila dan Mei Lie
mengangguk-anggukkan kepala. Sena kemudian menggaruk-
garuk kepala lagi.
"Ki Lurah, kalau saya boleh tahu, di mana-
kah letak Padepokan Gunung Talang?" tanya Mei Lie kemudian. Mendengar itu Sena
menoleh kepada Mei Lie.
"Tak Jauh dari Lembah Bulak Rawa. Te-
patnya di sebelah utara lembah itu. Tempatnya
dulu cukup nyaman, tapi sekarang menjadi serem
dan angker. Orang-orang Desa Sarangan tak per-
nah datang ke sana...," kata Ki Lurah Sumo Kusumo dengan wajah keruh.
Sena dan Mei Lie saling pandang. Lalu be-
rucap terima kasih pada kepala desa itu. Mereka
tak lagi bicara. Suasana seketika berubah hening.
Sementara di luar matahari semakin condong ke
barat. Sinarnya pun mulai keemasan.
3 Dalam perjalanan menuju kediaman Danur
Saka, Kidang Pangarsura dan Warik Kala terus di-
landa rasa cemas. Kegalauan tergambar jelas di
wajah kedua lelaki bertampang bringas itu.
Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kuda-kuda itu dipacu kencang menelusuri
tepian sungai yang airnya cukup deras. Kuda-
kuda itu terus dipacu untuk menyeberangi sungai
yang ternyata dangkal. Bebatuan tampak tersem-
bul di sana-sini, memecah arus menjadi beriak-
riak. Sampai di seberang, tiba-tiba Kidang Pan-
garsura berkata agak kesal pada Warik Kala.
"Seharusnya kemarin kita coba ilmu Pen-
dekar Gila dan gadis Cina itu! Aku merasa dire-
mehkan...!" Kidang Pangarsura tak menyembu-
nyikan wajahnya yang bersungut-sungut karena
kesal. "Sebenarnya aku pun merasa ingin menjaj-al kesaktian Pendekar Gila. Tapi
tujuan kita yang pertama harus dituntaskan terlebih dahulu. Kita
harus bersiasat. Orang seperti Pendekar Gila ha-
rus dilawan dengan tipu muslihat!" tukas Warik Kala coba meredakan dengan kata-
katanya. "Pintar juga kau, Warik! Ha ha ha...! Herrr!
Heaaa...!" Kidang Pangarsura langsung menggebah kudanya, disusul Warik Kala.
Tanpa diketahui oleh mereka sesosok
bayangan berkelebat menguntit dari belakang. Ke-
tika memasuki Hutan Roban. Sosok bayangan itu
bagai seekor kera, melompat-lompat dari pohon
satu ke pohon lain. Begitu cepat gerakannya, se-
hingga yang tampak hanya bayang-bayang kehi-
jauan seperti melayang terbawa angin.
"Ho...!"
Kidang Pangarsura mendadak menghenti-
kan lari kudanya. Hal itu membuat Warik Kala
agak kaget dan cepat menarik tali kekang ku-
danya. Hingga kuda itu meringkik.
"Hiiieee...!"
"Ho, hop! Ada apa..."!" tanya Warik Kala tak mampu menutupi keheranannya.
"Apa telingamu tak mendengar suara aneh"
Kita diikuti orang!" jawab Kidang Pangarsura setengah berbisik.
Warik Kala menelengkan kepala seakan be-
rusaha mendengar. Matanya liar menyapu sekelil-
ing Hutan Roban yang terkenal angker. Dan me-
nurut kabar, banyak makhluk halus menghuni
hutan itu. "Aku menduga rasanya dia bukan manu-
sia. Mungkin hantu atau makhluk halus..!" gumam Warik Kala dengan suara agak
tertahan. "Hi hi hi...! Hi hi hi...! Kau manusia-
manusia buruk mau ke mana"! Hi hi hi...!"
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita
tertawa nyaring. Suaranya seperti tawa kuntila-
nak. "Hah"!" sentak Kidang Pangarsura. Belum sempat kedua lelaki bermuka bringas
itu dapat menguasai keadaan. Tiba-tiba...
Swing! Swing! Swing...!
Beberapa senjata rahasia berupa tusuk
kode beracun meluncur bagai anak panah ke
arah kedua lelaki itu. Kidang Pangarsura dan Wa-
rik Kala cepat mengelak dengan menjatuhkan diri
ke tanah, lalu bergulingan. Secepat itu pula me-
reka mencabut senjata masing-masing. Kidang
Pangarsura dengan senjata pedang, sedangkan
Warik Kala dengan golok.
Keduanya menangkis tusukan konde bera-
cun itu. Trang! Trang! Trang...!
Dar! Darrr...! Tusukan konde yang tertangkis dan meng-
hantam pohon-pohon yang ada di hutan itu me-
nimbulkan ledakan dahsyat. Beberapa pohon
tumbang setelah terbakar.
Kidang Pangarsura dan Warik Kala tersen-
tak kaget, melihat keampuhan tusukan konde itu.
"Hi hi hi...! Ini baru permainan kecil. Baru pembukaan, Manusia-manusia
Kotor...! Ha ha
ha...! Hi hi hi...!" kembali suara tanpa wujud itu menggelegar keras bagai
memecah kesunyian Hutan Roban.
"Benar! Bukan manusia yang kita hadapi,
Warik! Mungkin dedemit Hutan Roban ini...!" gumam Kidang Pangarsura. Wajahnya
kini tampak berkeringat. Karena satu tusukan konde, hampir
saja menjebol perutnya yang besar. Kalau saja ta-di dia tidak cepat menangkis
sambil bergulingan, remuk redamlah tubuhnya meledak seperti pohon-pohon itu.
"Si... siapa kau" Manusia atau hantu...?"
tanya Warik Kala dengan suara sedikit tertahan.
"Hei...! Kalau kau manusia, Perempuan Se-
jati, keluarlah! Hadapi aku...!" seru Kidang Pangarsura yang cepat emosi dan tak
bisa menguasai diri itu. Baru saja Kidang Pangarsura selesai berse-
ru, tiba-tiba.....
Srakkk...! Seorang wanita berparas cantik muncul di
hadapan mereka.
"Kau memanggilku..."!" tanya wanita itu dengan senyum genit. Matanya bening dan
memiliki daya tarik. Bibirnya yang merah tampak tipis dan indah. Ditambah lagi
tubuhnya yang padat,
sintal, terbalut kulit berwarna kuning langsat
Kedua lelaki beringas hanya bisa melongo
memandangi wanita itu. Tubuh wanita itu hanya
ditutupi kain warna hijau sampai di dada, seperti kemben. Sedang bagian bawah
memakai kain hitam, sedikit di atas lutut. Sehingga jika wanita itu sedikit saja
mengangkat kaki akan terlihat jelas pahanya yang mulus.
"Hei! Kenapa kau diam seperti orang bi-
su..."!" tanya wanita itu dengan diiringi senyum genit. "Si... siapa kau"
Manusia atau hantu...?"
tanya Warik Kala dengan suara sedikit tertahan.
"Kalian ini memang manusia-manusia bu-
ta! Kalau aku hantu, lantas kalian mau apa" Dan
kalau aku manusia seperti kalian...?" jawab wanita itu dengan suara nyaring.
Kidang Pangarsura yang sejak tadi terke-
sima menyaksikan kemolekan tubuh dan paras
cantik wanita itu, menyelak,
"Kalau kau manusia biasa, aku ingin men-
gawinimu...!"
"Apa kau tak salah" Dan aku ingin tahu
apa ucapanmu itu bisa dipercaya...?" tukas wanita aneh itu dengan genit.
Tangannya yang kiri
perlahan dengan sengaja mengangkat ke atas
kainnya. Hingga hampir pangkal paha. Mendadak
mata kedua lelaki itu berbinar-binar. Dan mene-
lan ludah. Kidang Pangarsura yang buas dengan wa-
nita, tak pikir panjang lagi, segera ia menubruk dan memeluk wanita itu dengan
penuh nafsu. Anehnya wanita itu tak berusaha menolak.
Bahkan mendesah dan tertawa cekikikan. Warik
Kala yang melihat keanehan dari tawa wanita itu
mulai merasakan bulu kuduknya berdiri. Merind-
ing. Ingin dia memberi tahu Kidang Pangarsura,
tapi mulutnya terasa kelu, tak dapat dibuka. Pa-
dahal telah dikerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Aneh sekali. Entah ilmu apa yang dipakai wanita
cantik itu. Pada saat Kidang Pangarsura semakin lupa
daratan, perlahan-lahan wajah wanita yang ta-
dinya cantik itu, berubah sangat menyeramkan.
Keriput dan pucat. Warik Kala terbelalak kaget
Mulutnya ternganga lebar seperti hendak berte-
riak, tapi sulit.
"Hah"! Hantu...?" pekiknya lirih. Lalu segera berlari sekuat tenaga meninggalkan
Kidang Pangarsura yang masih mendekap tubuh wanita
itu sambil menciumi buah dadanya.
Warik Kala melompat ke punggung kuda
dan cepat melarikannya. Tanpa menoleh lagi Wa-
rik Kala meninggalkan Hutan Roban.
Sementara itu, Kidang Pangarsura mulai
merasakan keanehan. Tubuh wanita itu tiba-tiba
terasa dingin sekali. Dan menyusul segera Kidang Pangarsura mengangkat mukanya
yang sejak tadi
menyusup di dada wanita itu.
"Hah..."! Aaa...! Han... hantuuu...!" Kidang Pangarsura terkejut bukan main. Dia
berusaha lari. Namun aneh ada kekuatan membelenggu
hingga tak bisa mengangkat kakinya.
"Hi hi hi...! Jawab pertanyaanku, sebelum
ajalmu tiba! Apa kau dari Partai Panca Siwara"!"
tanya wanita yang wajahnya sudah berubah me-
nyeramkan itu. Kidang Pangarsura tak berani berbohong.
Sekujur tubuhnya yang sudah bermandi keringat
gemetaran. Dan mukanya pucat pasi.
"Kau memang manusia rendah dan licik!
Ternyata ilmumu tak kuasa menandingiku. Hi hi
hi...! Dan kini terimalah ajalmu! Grrr...!"
"Aaauwww...!"
Kidang Pangarsura menjerit-jerit dan men-
dadak suaranya berhenti. Jiwa Kidang Pangarsu-
ra melayang. Rupanya wanita itu mencekik dengan ku-
ku-kukunya yang tiba-tiba memanjang dan runc-
ing. Lalu mencucup ubun-ubun Kidang Pangar-
sura. "Hi hi hi...! Kakang Brajasukmana, aku telah membalaskan dendammu. Hi hi
hi....!" Wanita itu kemudian nampak puas, darah
menetes dan membasahi tangannya. Perlahan-
lahan wajahnya kembali berubah seperti semula.
Cantik dan sensual. Itulah ilmu 'Perubah Raga',
milik wanita yang dikenal dengan nama Dewi
Sukmalelana. "Sebaiknya mayat ini kukirim ke kadipaten
sekarang juga," gumamnya lirih. Setelah berpikir, Dewi Sukmalelana melesat bagai
terbang, sambil
membopong mayat Kidang Pangarsura.
*** Ketika Dewi Sukmalelana sedang berlari
kencang sambil membopong mayat Kidang Pan-
garsura, tiba-tiba berpapasan dengan sepasang
muda-mudi yang sedang menuju arah berlawa-
nan. Mereka tak lain Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Berhenti...!" seru Mei Lie sambil mengangkat tangan kirinya ke depan. Sedang
Pendekar Gi- la hanya cengengesan menatap Dewi Sukmalelana
yang nampak tenang-tenang saja. Tak ada rasa
kesal atau marah.
"Hi hi hi...! Ada perlu apa kalian menghen-
tikanku...?" tanya Dewi Sukmalelana dengan senyum genit. Matanya melirik wajah
Sena, mem- buat Mei Lie melebarkan mata, cemburu.
"Hei...! Aku yang bicara, bukan dia!" seru Mei Lie ketus.
"Hi hi hi...! Oooh rupanya pemuda tampan
dan gagah itu kekasihmu. Maafkan aku! Bukan
maksudku membuatmu cemburu. Tapi jujur saja,
pemuda pendampingmu itu membuatku terpeso-
na...," ujar Dewi Sukmalelana tanpa rasa malu sedikit pun.
"Huh! Mulutmu terlalu bawel. Perlu dikasih
pelajaran...!"
Selesai berkata begitu, Mei Lie segera ber-
gerak hendak menyerang. Namun Dewi Sukmale-
lana segera berkata, memohon maaf.
"Tunggu, sabar! Sekali lagi maafkan aku.
Bukankah kalian berdua Pendekar Gila dan Bida-
dari Pencabut Nyawa" Sepasang pendekar yang
sangat kesohor di bumi Jawa Dwipa ini...?" kata Dewi Sukmalelana dengan nada
bersahabat. Mulutnya tersenyum manis.
Mei Lie dan Sena saling pandang.
"Ah ah ah...! Jangan sebut kami pendekar!
Kita berdua hanya manusia biasa. Seperti kamu.
Tapi bagaimana kau bisa mengenal kami...?"
tanya Pendekar Gila dengan mulut cengengesan
dan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Hhh..., tak terlalu sulit untuk mengenali-
mu, Pendekar. Pertama, tingkahmu yang aneh.
Kedua, aku melihat suling berkepala naga terselip di ikat pinggangmu...," jawab
Dewi Sukmalelana bangga. Lalu matanya berkerling pada Sena.
Membuat Mei Lie bertambah kesal dan cemberut
"Sungguh jeli matamu...," puji Sena sambil menggaruk-garuk kepala. "Tentunya kau
bukan perempuan sembarangan. Dan kalau aku boleh
tahu, untuk apa kau membawa orang itu...?"
"Ya. Tentu kau telah melakukan kejahatan.
Telah membunuh orang itu...," tukas Mei Lie langsung dengan nada ketus.
"Benar. Aku telah membunuh orang itu...,"
jawab Dewi Sukmalelana dengan tegas dan man-
tap. Mei Lie mengerutkan kening.
"Kalau begitu kau yang membunuh par-
tai...." Belum sempat Mei Lie meneruskan kata-katanya, Dewi Sukmalelana cepat
menyelak. "Partai Panca Siwara, maksudmu..."!"
"Ya!" jawab Mei Lie singkat
"Lantas, kenapa kau bunuh orang itu...?"
tanya Sena sambil cengengesan dan menggaruk-
garuk kepala. "Maaf! Mungkin lain kali aku dapat menja-
wab pertanyaanmu. Aku harus segera pergi...!"
ujar Dewi Sukmalelana, "Kumohon jangan ganggu aku! Aku tak ingin bentrok dengan
kalian. Permi-si!"
Selesai berkata begitu, Dewi Sukmalelana
melesat cepat bagai terbang, meninggalkan Pen-
dekar Gila dan kekasihnya. Mei Lie yang sejak ta-di merasa kesal dan sedikit
cemburu dengan tingkah laku, serta ucapan Dewi Sukmalelana,
ingin mengejarnya. Namun Sena mencegah.
"Sabar, Mei! Jangan turuti perasaanmu!
Rencana kita untuk menyelidiki siapa si buntung
Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu bisa gagal. Kalau kau tak dapat menguasai di-ri...," cegah Sena dengan lemah
lembut, sambil memanggul kekasihnya.
"Aku sebel mendengar suaranya. Apalagi
matanya selalu tertuju padamu. Perempuan ge-
nit!" sungut Mei Lie dengan wajah cemberut.
"Kau semakin cantik dan memikat, kalau
cemberut, Mei...."
Sena coba menyenangkan hati kekasihnya.
Mei Lie yang dipuji jadi memerah mukanya. Ke-
mudian tangannya mencubit pinggang sang Ke-
kasih. Sena melepas rangkulannya, lalu mengga-
ruk-garuk kepala sambil cengengesan.
Pasangan pendekar muda itu kemudian
meneruskan perjalanan. Namun baru beberapa
langkah, Mei Lie berhenti.
"Kakang...," tegur Mei Lie.
"Hm...?"
"Mungkinkah perempuan genit tadi ada
hubungan dengan lelaki buntung itu" Dan mayat
siapa yang dibawa tadi...?" tanya Mei Lie.
"Dugaanmu mungkin saja benar. Tapi kita
belum bisa menuduhnya. Selama dia tak menya-
kiti kita, aku rasa tak perlu terlalu ikut campur urusan orang."
"Tapi Kakang, perempuan itu telah mem-
bunuh. Apa itu dibenarkan"! Semestinya tadi aku
cepat menghajarnya!" ujar Mei Lie dengan kesal dan cemberut.
"Sabar, sabarlah sedikit, Mei! Percayalah,
kesabaran dan ketenangan mampu mendukung
usaha kita...," kata Sena kembali mengingatkan Mei Lie yang mulai gampang marah.
Mei Lie tampaknya bisa mengerti. Gadis
cantik itu menghela napas panjang, lalu melang-
kah meninggalkan Sena yang masih menggaruk-
garuk kepala memandangi kekasihnya yang se-
dang kesal. Lalu memburu Mei Lie, dan berjalan
di samping Mei Le.
*** Sementara itu Dewi Sukmalelana telah
sampai di depan Kadipaten Galih Putih. Namun
ketika langkahnya baru memasuki pintu gerbang,
tiba-tiba.... Zing! Zing! Zing...!
Berpuluh-puluh anak panah dan tombak
meluncur memburu Dewi Sukmalelana. Perem-
Pengelana Rimba Persilatan 9 Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Lembah Selaksa Bunga 1