Pencarian

Perjalanan Ke Akhirat 3

Pendekar Gila 11 Perjalanan Ke Akhirat Bagian 3


Tujuh Iblis dari Sarang Hantu tersentak kaget Mereka segera melompat mundur,
menghindari sabetan sabuk lawan yang dahsyat.
"Hah"! Celaka...! Rupanya dia memiliki Sabuk Sasra Geni!" pekik Sadra kaget
dengan mata membelalak. "Cepat kalian lakukan aji 'Penutup Sukma'."
Mendengar perintah Sadra, seketika keenam rekan-rekannya merapalkan ajian
'Penutup Sukma'
Lalu setelah merapalkan ajian tersebut, ketujuhnya kembali bergerak menyerang
lawan. "Heaaa...!"
"Yeaaat..!"
Pertarungan seru kembali terjadi. Masing-masing pihak kini telah mengeluarkan
jurus dan senjata andalan masing-masing. Beberapa jurus telah mereka keluarkan
untuk mengalahkan lawan, namun sejauh itu belum juga nampak siapa yang bakal
menang dan siapa yang bakal kalah.
"Heaaat...!"
"Yeaaah...!"
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu kembali melancarkan serangan dahsyat mereka,
menggempur pertahanan lawan. Dua orang tua dikeroyok oleh tujuh lelaki yang
bergelar Tujuh Iblis dari Sarang Hantu nampaknya sama-sama tangguh. Kedua orang
tua itu bagaikan sepasang kijang yang melompat dengan lincah, bergerak ke sana
kemari mengelakkan serangan lawan. Kemudian dengan cepat pula melancarkan
serangan balasan yang tak kalah dahsyat.
Ki Braga Kumba dengan Sabuk Sasra Geninya yang melecut-lecut menimbulkan hawa
panas, telah mengerahkan jurus yang ketujuh. Sedangkan Rawit Abang dengan Cambuk
Rambut Seribunya juga tidak mau ketinggalan. Cambuk di tangannya dengan jurus
'Sapuan Prahara Menghancur Karang' bergerak menyerang dan berputar-putar memburu
serangan lawan.
Gabungan serangan kedua orang tua itu sangat cepat dan lincah. Mereka bergantian
menyerang ke arah lawan, kemudian bergantian menutup per-tahanannya.
"Heaaa...!"
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu yang belum juga dapat membuahkan hasil
serangannya, semakin bertambah penasaran. Mereka semakin mempercepat serangan.
Namun lawan tampaknya sangat alot untuk dikalahkan.
Ketika pertarungan itu berlangsung sengit, tiba-tiba terdengar suara bentakan
keras yang mengejutkan. Sehingga seketika mereka menghentikan pertarungan.
"Orang-orang sinting! Apa yang kalian perbuat di sini"!"
Bersamaan dengan habisnya bentakan itu, berkelebat sesosok bayangan. Dalam
sekejap mata sosok itu telah berdiri di antara mereka. Ternyata dia seorang
lelaki tua yang wajahnya nampak begitu tenang. Di pundaknya tersampir sebilah
pedang. Lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun dengan jenggot purih panjang dan
berambut digelung ke atas itu tidak lain Ki Badawi, guru Sumantri. Tubuhnya yang
tampak tua terbalut jubah panjang berwarna putih.
Semua yang ada di Hutan Kawi-kawi seketika menundukkan kepala, setelah tahu
siapa lelaki tua yang baru datang itu. Nama Ki Badawi bukanlah nama yang asing
bagi mereka, terutama dari golongan tua. Mereka telah mengenal Ki Badawi sebagai
Dewa Pedang. Hal itu karena kehebatan ilmu pedangnya, yang sampai saat ini belum
tertandingi. "Kalian hanya saling bantai! Apakah kalian tak ingat kalau masih ada hal yang
lebih penting"!" tanya Ki Badawi.
Mereka masih terdiam, tak seorang pun yang berani menentang kata-kata lelaki tua
itu. Meski mereka merasa belum tentu dapat dengan mudah dikalah oleh orang tua
itu. Namun mereka merasa segan jika bertarung dengan Dewa Pedang yang begitu
tersohor dengan Pedang Darahnya.
"Sekarang dunia persilatan tengah kacau, dengan kehadiran bocah edan yang telah
membunuh para pendekar!" tukas Ki Badawi.
Ki Braga Kumba tersentak mendengar nama
bocah edan yang tentunya Pendekar Gila. Orang tua berusia sekitar lima puluh
lima tahun yang semula
diam itu angkat bicara.
"Kurasa kau salah duga, Ki."
Ki Badawi menoleh dan menatap pada Ki Braga Kumba.
"Apa yang kau katakan, Kumba!" bentaknya keras.
"Maaf! Kurasa Ki Badawi telah salah tuduh.
Pemuda gila yang kau maksudkan, tentunya
Pendekar Gila, bukan?"
"Benar!"
"Salah! Kau salah besar jika menuduh dia
pengacau, Ki."
"Jangan menggurui aku, Kumba!" bentak Ki
Badawi gusar. Matanya semakin membelalak marah, merasa ucapannya telah ditentang
oleh Ki Braga Kumba. Entah mengapa, lelaki yang semula arif dan penyabar itu
kini nampak tak sabar dan cepat marah.
Ki Braga Kumba mengerutkan kening. Dia merasa aneh dan tak mengerti dengan
perubahan yang dialami Ki Badawi. Mungkinkah karena usianya yang telah tua,
sehingga dia berubah" Tanya Ki Braga Kumba dalam hati. Ah, kurasa bukan karena
usia. Tapi kurasa ada penyebar fitnah, yang menjadikan nama Pendekar Gila sebagai
pembunuh keji. "Maaf, Ki. Kalau boleh aku jelaskan, Pendekar Gila itu bukanlah pengacau. Dia
seorang pendekar yang melangkah di jalan kebenaran dan keadilan. Jadi kalau kau
menuduhnya sebagai pengacau, jelas itu salah besar!" kata Ki Braga Kumba
berusaha meluruskan tanggapan Ki Badawi.
"Cuih! Kau tahu apa, Kumba!" bentak Ki Badawi semakin gusar, merasa omongannya
telah ditentang Ki Braga Kumba. "Rupanya kau berpihak pada iblis muda itu,
heh"!"
Merasa dibentak-bentak begitu, Ki Braga Kumba
yang semula menaruh rasa segan akhirnya marah juga. Terlebih tahu dirinya berada
di pihak yang benar.
"Bukannya aku yang berpihak pada iblis, Ki! Tapi Kaulah yang telah tersesat!"
balas Ki Braga Kumba tak kalah geramnya. "Kaulah yang telah salah menuduh!"
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Kumba!"
bentak Ki Badawi semakin gusar melihat keberanian Ki Braga Kumba.
"Kenapa tidak! Kau yang dihormati para pendekar, rupanya telah pikun! Kau
sesatkan kebenaran.
Sedangkan kau benarkan yang sesat!"
"Setan! Tutup bacotmu!"
Ki Braga Kumba tersenyum sinis.
"Aku akan menutup mulut, jika kau pun membuka mata!" jawab Ki Braga Kumba.
Napas Ki Badawi mendengus pertanda marah.
Matanya membelalak lebar, menatap tajam wajah Ki Braga Kumba yang tampak masih
tenang. Sedang Tujuh Iblis dari Sarang Hantu kini menyurut mundur.
Mereka tidak ingin terlibat dengan urusan itu, karena mereka tidak ingin Ki
Badawi sampai tahu mereka dari aliran sesat.
Dengan perlahan-lahan, Tujuh Iblis dari Sarang Hantu meninggalkan tempat itu
untuk meneruskan perjalanan mereka menuju Lembah Akherat.
"Kau telah berani menantangku, Kumba! Jangan salahkan kalau pedangku akan
bicara!" ancam Ki Badawi.
Ki Braga Kumba semakin melebarkan senyum.
Wajahnya masih penuh ketenangan. Tak gentar sedikit pun dia menghadapi orang tua
di hadapannya yang namanya sangat tersohor. Baginya, lebih baik
mati untuk membela kebenaran, daripada hidup sesat!
"Meski aku harus mati di tanganmu, aku tak akan memihak kesesatanmu!" sahut Ki
Braga Kumba. "Kurang ajar! Kubunuh kau, Kumba!"
Srat! Cring...!
Ki Badawi menarik Pedang Darah. Seketika sinar merah darah membersit dari pedang
itu. Bau amis darah tercium oleh hidung Ki Braga Kumba dan Nyi Rawit Abang.
Pedang Darah kini telah keluar dari warangkanya berarti harus mendapatkan darah.
Jika tidak, maka nyawa pemiliknyalah yang akan menjadi korban.
Bergidik juga Ki Braga Kumba dan Nyi Rawit Abang menyaksikan pedang di tangan Ki
Badawi. Namun mereka berada di pihak yang benar, tak seharusnya mereka takut
menghadapi kematian. Semua
pendekar tentu senantiasa harus mati.
"Bersiaplah, Kumba!"
"Aku telah siap!" jawab Ki Braga Kumba.
"Begitu juga denganku!" sambut Nyi Rawit Abang.
"Rupanya kalian mencari penyakit!" dengus Ki Badawi.
"Kaulah yang mencari gara-gara, Orang Tua Pikun!" bentak Nyi Rawit Abang gusar,
merasa kekasihnya dalam keadaan bahaya. Bagaimanapun juga dia harus membela Ki
Braga Kumba. "Kurang ajar! Kubunuh kalian! Heaaa...!" Ki Badawi yang mata gelap segera
berkelebat menyerang ke arah keduanya dengan membabatkan Pedang Darah.
Keduanya berusaha mengelakkan serangan. Tapi kekuatan tarikan Pedang Darah di
tangan Ki Badawi, menjadikan langkah mereka tersendat. Dahsyat sekali kekuatan
tarikan pedang itu, dan....
Wut...! Cras! Cras! Ki Braga Kumba dan Nyi Rawit Abang seketika nemekik keras, ketika pedang di
tangan Ki Badawi menebas leher mereka.
"Pendekar Gila! Ke mana pun kau pergi, aku akan mencarimu!" seru Ki Badawi
sambil mengacungkan Pedang Darahnya ke atas. Setelah puas dengan perbuatannya,
Ki Badawi segera memasukkan pedangnya dan berlari meninggalkan tempat itu.
*** 7 Selang beberapa waktu kemudian, nampak seorang pemuda berpakaian rompi kulit
ular melintasi Hutan Kawi-kawi, tempat tubuh Ki Braga Kumba dan Nyi Rawit Abang
tergeletak berlumuran darah dengan leher hampir putus.
"Groook...!"
Pendekar Gila tersentak, ketika telinganya mendengar suara dengkuran keras dari
arah kanan jalan yang dilaluinya. Seketika langkahnya terhenti, kemudian dengan
kening berkerut kepalanya di-telengkan berusaha mencari-cari suara tadi.
"Grok...!"
Suara itu kembali terdengar, begitu jelas. Sepertinya sangat dekat dengan
temparnya. "Hm, suara apakah itu?" tanya Sena berusaha mencari asal suara yang berada di
sebelah kanannya.
Kakinya terus melangkah. Dan tiba-tiba hatinya tersentak kaget menyaksikan dua
tubuh tergeletak berlumur darah.
Dengan rasa penasaran, Sena melangkah perlahan-lahan. Wajahnya meringis menahan
perasaan hatinya. Dan dia semakin tersentak, manakala melihat gerakan tangan
lemah lelaki tua yang belum dikenalnya.
Tangan lelaki tua yang bergerak lemah itu, menuliskan serangkaian kata-kata di
atas tanah yang ditujukan kepadanya. Dengan kening mengerut dan mata menyipit
pemuda berompi kulit ular mem-
bacanya. Saudara Pendekar Gila,
Kami baru saja bertemu dengan Dewa Pedang Dia mencarimu, untuk membunuhmu karena
kau dianggap sebagai pengacau rimba persilatan.
Hati-hatilah! Ki Braga Kumba Usai menulis kata-kata itu, tangan Ki Braga Kumba terkulai lemas. Napasnya yang
semula ada, kini telah melayang meninggalkan raga.
"Oh, sungguh baik budimu, Ki! Kau dalam keadaan sekarat masih berusaha
mengingatkan aku," gumam Sena dengan wajah sedih. "Tentunya kau telah membela
nama baikku."
Mata Sena berkaca-kaca, tak mampu mem-
bendung kesedihan dan rasa haru melihat Ki Braga Kumba yang dalam keadaan
sekarat masih berusaha memberitahukan adanya bahaya yang kini
mengancam dirinya.
"Terima kasih atas kebaikanmu, Ki! Kudoakan, semoga Hyang Widhi menerima
arwahmu," gumam Sena perlahan.
Dihelanya napas dalam-dalam. Kemudian perlahan kepalanya ditundukkan untuk
memberi peng-hormatan pada kedua mayat yang telah berjasa padanya. Meski dia
belum tahu siapa sebenarnya Dewa Pedang, tapi tentunya orang yang hendak mati
tak mungkin dusta.
Wajahnya ditengadahkan ke atas, menyapu ke dedaunan pohon yang tumbuh di Hutan
Kawi-kawi. "Siapakah Dewa Pedang itu?" gumam Sena
bertanya pada diri sendiri. "Ah, entahlah! Mengapa aku harus berpikir jauh. Aku
tidak mencari lawan.
Tapi lawan telah berada di hadapanku, apa salahnya meladeninya."
Usai memandangi kedua mayat itu, Pendekar segera menggali lubang untuk
menguburkan kedua mayat itu. Dengan mengerahkan pukulan 'Inti Bayu'
dibuatnya lubang di tempat itu. Kemudian setelah menaruh kedua mayat ke dalam
lubang, kembali Sena mengerahkan pukulan 'Inti Bayu' untuk menyapu gundukan
tanah yang seketika menutupi kuburan itu.
"Hyang Jagat Dewa Batara, kiranya keduanya dapat Kau terima di swargaloka,"
desis Sena memanjatkan doa.
Angin siang semilir, seperti turut berduka atas kematian kedua tokoh tua itu.
Aku tak tahu, siapa sebenarnya Dewa Pedang.
Mengapa dia mencariku" Rasanya antara dia dan aku tak ada sangkut paut apa-apa.
Pikir Pendekar Gila merasa heran dan penasaran.
Lama Pendekar Gila termenung, mencoba
menerka-nerka siapa sebenarnya Dewa Pedang.
Namun tidak juga dia mendapatkan jawaban. Selama ini, dia belum pernah mendengar
nama Dewa Pedang.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa. "Lucu sekali aku ini Mengapa aku harus
memikirkannya?"
Dengan tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila kembali
meneruskan perjalanannya.
*** Sementara itu, di Lembah Akherat nampak Tujuh Iblis dari Sarang Hantu telah
sampai. Ketujuh tokoh sesat itu kini telah siap untuk menghadapi ancaman
penghuni Pulau Karang Api yang telah memakan banyak korban.
"Wahai penghuni Pulau Karang Api, keluarlah!"
seru Sadra menantang. "Jangan hanya berani bersembunyi! Hadapi Tujuh Iblis dari
Sarang Hantu!"
Seketika air Danau Sambak Neraka bergolak hebat Saat itu juga, dari dalam danau
muncul dua ekor naga berwarna merah. Mata kedua naga itu membara merah, penuh
amarah. "Ghrrr...! Hosss...!"
Tanpa banyak tingkah, kedua naga merah yang berada di Danau Sambak Neraka
langsung menyerang ke arah mereka dengan semburan api dari mata dan mulutnya.
"Awas...!" seru Sadra mengingatkan pada keenam rekannya.
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu langsung
berlompatan, berusaha mengelakkan serangan kedua naga itu. Dengan bersalto,
mereka berlompatan dan melakukan serangan balasan.
"'Cakra Lingga'! Yeaaa...!"
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu dengan cepat melepaskan pukulan sakti mereka. Dari
tangan mereka tiba-tiba keluar sebuah sinar merah bersegi seperti cakra. Sinar
berbentuk cakar itu melesat begitu cepat menuju kedua naga yang masih bergerak
menyerang. Wusss! Wusss...!
Sinar merah berbentuk cakra itu terus melesat.
Kedua naga itu pun menggerakkan kepala, mengelakkan serangan lawan. Namun tak
urung, salah satu dari naga itu harus merasakan pukulan 'Cakra Lingga' Tubuh naga api yang
berada di sebelah barat terhantam pukulan itu.
Busss! "Ghrrr! Hoaaah...!"
Semakin bertambah marah kedua naga itu melihat salah satu dari mereka terkena
pukulan. Kepala mereka yang bertanduk kini melayang ke angkasa, kemudian dengan
cepat menyerang ke arah Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
"Awas serangan!" kembali Sadra berseru.
"Heaaat...!"
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu kembali berlompatan mengelakkan serangan kedua


Pendekar Gila 11 Perjalanan Ke Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

naga itu. Nampaknya kedua binatang itu tidak berhenti sampai di situ.
Keduanya terus bergerak melabrak ke arah Tujuh Iblis dari Sarang Hantu dengan
patukan dan serudukan kepalanya. Ditambah lagi serangan api yang keluar dari
mulut dan mata kedua ular raksasa itu terus menyembur.
"Wosss! Wosss...!
Lidah api kembali melesat keluar dari mulut kedua naga itu, menyerang Tujuh
Iblis dari Sarang Hantu.
Mereka pun kembali berlompatan menjauhi
semburan api yang semakin besar dan panas.
Pertarungan antara dua binatang raksasa dengan Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
berlangsung dengan seru. Nampaknya Tujuh Iblis dari Sarang Hantu bukanlah lawan sembarangan bagi kedua naga itu.
Mereka mampu mengimbangi serangan-serangan yang dilancarkan oleh kedua naga
merah itu. "Heaaa...!"
"Wosss...!"
Teriakan-teriakan melengking keras terus
terdengar dari mulut Tujuh Iblis dari Sarang Hantu, bersamaan dengan suara
deburan air danau dan semburan api.
Kepala kedua naga bergerak cepat, menyambar dan menyeruduk ke arah lawan-
lawannya. Sesekali dari mulut dan mata kedua binatang itu menyemburkan api yang
menyala, berusaha membakar tubuh ketujuh lawannya.
"Uts! Hop! Hampir saja...!" pekik Saka Gulu sambil melompat mengelak.
Hampir saja tubuh orang kedua dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu itu terkena
hantaman kepala salah seorang naga yang menyerang mereka. Kemudian setelah luput
dari hantaman kepala naga itu, Saka Gulu balik menyerang dengan senjatanya yang
berupa sabit "Heaaa...!"
Tubuh Saka Gulu melesat ke atas, kemudian dengan cepat senjatanya diayunkan ke
kepala naga yang menyerangnya.
"Mampuslah kau, Naga Dungu!"
Wut...! Kepala naga itu bergerak mengelak dengan cepat, seakan mengerti serangan yang
datang. Kemudian dengan cepat sebelum Saka Gulu mampu menjaga k-seimbangan
setelah menyerang, naga berwarna merah itu menyodokkan kepala ke dadanya.
Wusss...! Dugk! "Aaakh...!"
Saka Gulu terpekik keras. Dadanya bagaikan dihantam batu sebesar gajah. Napasnya
terasa sangat sesak dan tubuhnya terpental deras ke belakang. Tubuh itu
terhenti, ketika menerjang
pepohonan di Hutan Kawi-kawi. Hanya sejenak dia mampu mengerang lalu diam tak
berkutik lagi. Mati!
Menyaksikan Saka Gulu tewas, keenam rekannya semakin marah. Mereka menyerang
bersama-sama dengan pukulan-pukulan yang mematikan. Dengan pengerahan ajian-
ajian sakti sepert 'Geti Ireng' dan
'Jambang Kalageni' keenam tokoh sesat itu berusaha membunuh naga api yang
semakin garang menyerang mereka.
Kini kedua naga yang semula berada di tengah Danau Sambak Neraka, telah keluar
dan memburu keenam lawannya. Mereka pun bergerak mundur sambil tetap melakukan
gerakan-gerakan untuk menyerang.
Lembah Akherat yang semula sepi, seketika berubah menjadi riuh oleh suara
pekikan dan geraman mereka. Tanah berpasir di Lembah Akherat, beterbangan
menutupi tempat itu, ketika kaki-kaki mereka bergerak menyerang dan hembusan api
naga itu. Pertarungan antara enam anggota Tujuh Iblis dari Sarang Hantu melawan kedua naga
api dari Danau Sambak Neraka masih berlangsung seru. Sementara itu, tiba-tiba
dari Pulau Karang Api, muncul sesosok tubuh kecil bersisik dengan mata menyala
merah. "Ghrrr...!"
Bocah kecil dengan tubuh bersisik itu nampaknya marah. Tubuhnya dengan ringan
sekali berlari di atas air membuat enam dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
terbelalak heran menyaksikannya.
"Lihat! Bocah sakti itu keluar!" seru Sadra.
Semua mata kini memandang bocah kecil berusia sekitar sepuluh tahun yang
tubuhnya penuh sisik.
Matanya merah laksana mengandung api. Tubuh
bocah itu melayang, lalu menukik dengan kecepatan tinggi menyerang keenam lawan
naga-naga api. "Ghrrr...!"
"Tangkap bocah itu...!" seru Sadra.
Mereka berusaha menangkap bocah sakti yang tubuhnya penuh sisik, tapi belum juga
sampai, kedua naga itu telah menghalangi mereka dengan mengulurkan kepalanya.
"Wosss! Ghrrr...!"
Semburan api dari mulut kedua naga api, seketika menghentikan mereka untuk
mengejar. Kini enam dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu itu berlompatan mengelak
dari semburan api yang dahsyat. Lalu dengan cepat mereka balik menyerang.
Bocah kecil bertubuh penuh sisik itu tak mau tinggal diam, tubuhnya melenting ke
udara. Kemudian dengan cepat mendarat pada salah seorang dari keenam orang itu. Lalu
dengan gerak cepat, bocah bersisik itu menggigit leher lawannya.
Crat! "Wuaaa...!"
Lelaki berkepala botak itu menjerit kesakitan.
tubuhnya sesaat mengejang, matanya melotot.
Lubang besar kini nampak di lehernya. Sesaat tubuhnya sekarat, kemudian ambruk
dengan tubuh berwarna merah.
"Bocah setan! Kubunuh kau!" dengus Sadra
geram, menyaksikan bocah bersisik dan berlidah ular itu menyerang ganas. Segera
Sadra melesat bermaksud menyerang bocah itu dengan jurus
pamungkasnya, 'Kelabang Geni. "Heaaa...!"
Sadra mengebutkan bungkusan yang diambil dari balik bajunya. Saat itu, ribuan
binatang berbisa, panjang, dan berkaki banyak melesat ke arah bocah
bersisik ular itu.
"Mampuslah kau, Bocah Setan!" seru Sadra.
Binatang-binatang berbisa itu melesat cepat memburu bocah bersisik dan berlidah
ular. Namun bocah itu nampak tenang menghadapi ratusan kelabang yanng hendak
menyerangnya. Matanya semakin berkilau merah, kemudian dari matanya keluar
larikan sinar merah menghantam kelabang-kelabang itu.
Clarts...! Brups! Seketika kelabang-kelabang itu terpanggang jadi debu, dan jatuh berhamburan ke
tanah berpasir.
Terbelalak mata Sadra menyaksikan kehebatan bocah lelaki bersisik dan berlidah
seperti ular itu.
Saking terkejutnya, Sadra tidak menyadari kalau di belakangnya seekor naga
menyerangnya. Maka....
Dugkh! "Aaa...!"
Tubuh Sadra terlempar ke depan, dan melayang ke angkasa lalu jatuh ke air Danau
Sambak Neraka. Tubuh Sadra menggelepar-gelepar, ketika ratusan ikan pemakan daging muncul dan
memangsa tubuhnya.
Melihat kematian Sadra, keempat kawannya berusaha membalas. Namun rupanya
kematian Sadra dan Saka Gulu mempengaruhi jiwa mereka.
Keempat tokoh sesat itu kini serba canggung dalam menyerang. Namun begitu,
mereka sepertinya pantang untuk menyerah. Kini keempatnya terbagi enjadi dua
bagian. Dua menyerang ke arah bocah cilik bersisik dan berlidah ular, dua
lainnya menyerang kedua naga raksasa itu.
Pertarungan itu berjalan seru. Tapi serangan-
seragan empat dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu tidak banyak berarti seperti
ketika mereka masih utuh tujuh orang. Dan tiba-tiba....
Dugkh! "Wuaaa...!"
Satu orang lagi terkena serudukan kepala naga api. Tubuh orang itu melayang
deras, melambung ke angkasa dengan dada remuk bagaikan dihantam batu besar.
Tanpa suara teriakan lagi, tubuh lelaki itu terjatuh di Hutan Kawi-kawi.
Kini semakin bertambah melemah serangan tiga orang itu. Mereka semakin bertambah
ciut nyalinya. Melihat keadaan lawan yang semakin terdesak, kedua naga dan bocah bersisik ular
malah semakin ganas dalam menyerang.
Tanpa mengalami kesulitan yang berarti, kedua naga dan bocah penghuni Danau
Sambak Neraka itu dapat mengalahkan lawan-lawannya. Lembah Akherat yang semula
ramai kembali hening dan sepi. Hanya dua naga dan bocah kecil bersisik dan
berlidah ular yang masih ada.
Wusss! "Zssst...!"
Kedua naga itu merendahkan kepalanya, men-ciumi tubuh bocah kecil itu. Kemudian
setelah bocah kecil itu naik di atas kepalanya, kedua ular itu kembali melata
dan mencebur ke dalam Danau Sambak Neraka.
Bocah kecil itu tertawa-tawa senang, sepertinya mengerti kalau kedua naga itu
adalah ayah dan ibunya.
*** 8 Matahari semakin condong ke arah barat, pertandaa senja hampir tiba. Angin siang
menginjak sore berhembus semilir, membuat suasana Lembah Akherat nampak sangat
tenang. Padahal di tempat itu bergelimpangan mayat penuh luka dan berdarah.
Burung-burung pemakan bangkai beterbangan di tempat itu, berputar-putar kemudian
menukik. Seorang pemuda tampan berambut gondrong
dengan kulit bersih, berbaju rompi kulit ular melangkah menyelusuri Lembah
Akherat yang sepi.
Matanya memandang penuh kekagetan, menyaksikan mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Hm, benar-benar Lembah Akherat," gumam
Pendekar Gila dengan mulut nyengir, menyaksikan banyak sekali mayat-mayat
bergelimpangan. "Seperti ada sesuatu yang membantai orang-orang ini."
Sena mengedarkan matanya ke sekeliling tempat yang sangat sepi itu. Matanya
seketika tertuju ke arah pulau. Dilihatnya di tengah danau itu terdapat pulau
yang memijarkan warna merah, sepertinya pulau itulah yang merupakan pulau yang
berapi. "Aha, itu kiranya Pulau Karang Api," gumam Pendekar Gila sambil mengarahkan
pandangannya ke Pulau Karang Api.
Kaki Pendekar Gila melangkah menyelusuri
Lembah Akherat dengan pelan dan hati-hati.
Nampaknya dia memasang kewaspadaan, tidak mau gegabah dalam melakukan tindakan.
Bagaimana pun, dia tidak ingin mati sia-sia di tempat itu.
"Ah, aneh sekali...!" gumam Sena. "Di sini nampaknya tak ada tanda-tanda
kehidupan. Lalu, siapa yang telah membantai mereka?"
Belum juga habis ketidakmengertian Pendekar Gila akan semua yang terjadi,
seketika hatinya dikejutkan adanya suara bergemuruh dari Danau Sambak Neraka.
"Ghrrr...!"
"Wosss...!"
Pendekar Gila segera memandang ke Danau
Sambak Neraka. Saat itu, dari dalam air danau muncul dua sosok berwarna merah
menyala. Mata kedua binatang raksasa itu menyala laksana api, menatap tajam pada
Pendekar Gila. "Wah! Rupanya kedua binatang inilah yang membantai mereka!" gumam Sena sambil
nyengir kuda. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Wosss...!"
Kedua naga itu sepertinya marah dengan
kehadiran Pendekar Gila di Lembah Akherat. Mata kedua binatang itu merah
menyala, menatap tajam pada Pendekar Gila yang masih berjingkrakan seperti kera.
Kepala kedua naga itu bergerak-gerak. Sebentar tegak ke atas, kemudian ke bawah.
Sepertinya berusaha mengusir Pendekar Gila.
"Aha, kalian ingin mengusirku! Ah, kurasa kalianlah yang harus pergi!" seru Sena
masih berjingkrakan.
Tangannya menggaruk-garuk ke tubuh dan mulutnya yang nyengir.
"Wosss...!"
Kedua naga itu kembali menggerak-gerakkan kepalanya, kemudian dengan mata merah
membara kedua naga itu naik.
"Aha, rupanya kalian benar-benar mengusirku!"
seru Sena seraya melangkah maju. Bukannya mundur menjauh, Sena justru mendekat.
Hal itu membuat kedua naga itu bertambah marah.
"Wosss! Ghrrr...!"
Tiba-tiba kepala naga itu berdiri tegak, kemudian dari mulutnya menyembur api
menyala ke arah Pendekar Gila.
"Heits! Hi hi hi...!"
Dengan cengengesan, Pendekar Gila segera
mengelakkan serangan kedua naga itu. Kemudian dengan cepat dia berbalik
menyerang dengan jurus
'Si Gila Terbang Menyambar Ayam'. Tubuhnya melesat laksana terbang, kemudian
tangannya bergerak memukul ke arah kedua lawannya.
"Wosss...!"
Kedua naga itu seakan mengerti lawan
menyerang. Keduanya segera mengelakkan serangan yang dilancarkan Pendekar Gila
dengan cara meliuk-kan kepala. Hal itu membuat serangan Pendekar Gila luput dari
sasaran. "Aha, rupanya kalian bisa silat juga!" gumam Pendekar Gila sambil terus melesat
terbang, kemudian kembali menyerang dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
Jurus itu sengaja digunakannya, semata-mata untuk dapat mengelakkan
serangan lawan. Kemudian dengan mengerahkan seperempat tenaga dalamnya, Pendekar
Gila menghantamkan pukulan keras dengan telapak tangan ke arah kedua naga itu.
Wuttt..! Tubuh kedua naga itu terus bergerak, mengelakkan serangan yang dilakukan
Pendekar Gila. Kemudian keduanya balas menyerang dengan
menyemburkan api dari mulut dan mata.
"Wosss! Wosss...!"
Api menyala-nyala menyerang Pendekar Gila.
Dengan cepat Pendekar Gila berkelit mengelak.
Kemudian dengan cepat pula pemuda berbaju rompi ular itu balas menyerang dengan
serangkaian pukulan yang cepat ke arah tubuh kedua binatang itu.
"Heaaa...!"
Pekikan keras mengiringi serangan Pendekar Gila.
Bugk! Dugk! "Wosss! Ghrrr...!"
Serangkaian pukulan yang dilancarkan Pendekar Gila rupanya mengenai tubuh kedua
binatang itu. Kedua binatang itu seketika mengerang marah, dan dengan sengit balas menyerang.
Kepalanya bergerak meliuk-liuk, kemudian menyeruduk ke arah Pendekar Gila.
"Ghrrr!"
Wusss...! Wut! Kedua naga yang tampak mulai marah itu terus menyerang Pendekar Gila dengan
serudukan dan sabetan kepala serta ekor mereka. Namun dengan gesit dan cepat,
Pendekar Gila mampu mengelakkan serangan kedua binatang raksasa itu.
"Aha, kalian nampaknya marah, Sobat! Hi hi hi...!"
Dengan masih cengengesan, Pendekar Gila terus bergerak menyerang. Kali ini
dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang', Sena menyerang ke arah kedua
lawannya. Tangannya disatukan, kemudian direntangkan ke atas. Lalu kedua tangannya ditarik
dengan menarik napas panjang. Setelah itu, dengan tenaga dalam, telapak
tangannya dihantamkan ke arah kedua binatang raksasa itu.
"Heaaa...!"
Wut, wut...! Dugk! Dugk! "Wosss! Ghrrrm...!"
Erangan kesakitan seketika terdengar dari mulut kedua binatang itu. Tubuh mereka
menggelepar-gelepar, berguling-guling seperti kesakitan. Tubuh kedua binatang


Pendekar Gila 11 Perjalanan Ke Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu terus berguling, sampai akhirnya nyebur kembali ke Danau Sambak Neraka.
Byurrr! Byurrr...!
"Ghrrrmh....!"
Kedua naga itu tampaknya sangat marah, merasakan sakit di tubuh mereka. Tubuh
mereka menggelepar-gelepar, membuat air di danau itu bergolak.
Suasana riuh semakin bertambah riuh di Lembah Akherat. Suara erangan mulut kedua
naga yang marah dan suara air akibat menggelepar-geleparnya kedua naga berwarna
merah itu. Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil berjingkrakan seperti kera. Dengan
tangan menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila bagaikan kegirangan menyaksikan
kedua binatang itu mengelepar-gelepar kesakitan. Namun ternyata kedua binatang
itu memiliki kekuatan hebat. Kalau tidak, mungkin keduanya telah hancur lebur
menjadi debu terkena pukulan Pendekar Gila dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung
Karang' "Ghrrrmh...! Hosss! Hosss...!"
"Hua ha ha...! Menarilah kalian semua!" Pendekar Gila sambil tertawa-tawa
menyaksikan kedua binatang itu masih bergolak dengan raungan yang menggelegar.
*** Pendekar Gila masih berjingkrakan seperti seekor kera yang kegirangan sambil
tertawa tergelak-gelak, ketika tiba-tiba terdengar dari arah Pulau Karang Api
sebuah bentakan keras menggelegar.
"Manusia sombong! Kau telah berani membuat keonaran di tempat ini! Kau harus
mampus. Heaaat...!"
Wusss...! Angin kencang bergulung-gulung melesat dari Pulau Karang Api. Sejenak Pendekar
Gila tersentak kaget. Namun, sesaat kemudian dengan
cengengesan tubuhnya direbahkan ke bumi. Matanya membelalak ketika tahu pukulan
apa yang dilontarkan penghuni Pulau Karang Api yang belum dia ketahui siapa
benarnya. Pendekar Gila terkejut menyaksikan ajian berupa angin bergulung membadai. Ajian
yang sama seperti yang dimilikinya.
"Hei, 'Inti Bayu'"! Siapa yang telah menyerangku dengan ajian itu...?" gumam
Sena sambil mengerutkan kening.
Wusss...! Angin kencang bergulung-gulung kembali keluar dari Pulau Karang Api, meluncur ke
arah Pendekar Gila. Tapi kini Sena telah mempersiapkan
penyambutan serangan yang kedua. Dengan menarik napas dalam-dalam, kedua
tangannya diangkat ke atas, lalu ditariknya ke dalam. Setelah angin itu
mendekat, Pendekar Gila segera menghantamkan ajian 'Inti Bayu' nya.
"Yeaaa...!"
Wusss! Wusss...! Dua angin yang berasal dari satu kekuatan itu
bertemu, bergulung-gulung saling berusaha mengalahkan.
"Kurang ajar! Dari mana kau menyadap ajianku"!"
dari Pulau Karang Api terdengar suara bentakan keras menggelegar.
Sena tersentak, namun segera dia tertawa tergelak-gelak.
"Hua ha ha...! Kau lucu sekali, hai orang yang belum menampakkan diri! Enak
sekali kau bicara!
Kau-lah yang telah mencuri dan menyadap ajianku!"
balas Sena dengan suara keras.
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Bocah Manusia!"
"Aha, kurasa kau bukan manusia!" tukas Sena masih cengengesan. "Aha, mungkin kau
sebangsa siluman! Atau dedemit. Hi hi hi...!"
"Kurang ajar! Kaulah iblis!" dengus suara itu membentak. "Kau telah membuat
keonaran di tempat ini!"
Habis ucapan itu, seketika dari balik Pulau Karang Api melesat selarik sinar
menyerang Pendekar Gila.
"Heit!"
Sena segera bersalto ke samping, kemudian dengan cepat balas menyerang dengan
pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
"Heaaa...!"
Glarrr! "Ugkh!" Sena mengeluh, merasakan dadanya, agak sakit akibat benturan itu.
"Ha ha ha...! Hebat juga ilmu 'Si Gila Melebur Gunung Karang'mu, Manusia...!"
Terdengar suara menyebut nama jurus yang baru saja dikerahkan Pendekar Gila. Hal
itu tentu saja membuat Sena terbelalak kaget. Heran dan bertanya-
tanya siapa sebenarnya orang atau makhluk yang bersembunyi di balik Pulau Karang
Api itu" Jurus-jurus ilmu ajiannya hampir sama dengan ilmu yang dimiliki
olehnya. "Hei, Siluman! Hi hi hi...! Dari mana kau tahu nama jurus pukulanku..."!" seru
Sena seraya bangkit berdiri.
"Ha ha ha...! Pukulanmu itu adalah ilmu-ilmuku Manusia! Dari mana kau
mencurinya, heh"!" bentak makhluk yang masih belum menampakkan wujudnya.
"Weiii...! Enak sekali kau menuduh! Hi hi hi. Lucu!
Lucu sekali kau!"
"Terimalah ini, Manusia!"
Wusss! Suasana di Lembah Akherat seketika berubah.
Langit tertutup warna merah membara laksana api.
Saat itu pula, Pendekar Gila tersentak. Dirasakan hawa panas menyengat tubuhnya.
Sekelilingnya kini dirasakan sangat panas. Seakan dirinya tengah terpanggang di
atas bara api. "Ugkh...!" Sena mengeluh, merasakan hawa panas yang membakar sekujur tubuhnya.
"Ha ha ha...! Tentunya kau belum memiliki ilmuku yang ini! Mampuslah kau, Bocah
Manusia!" seru suara yang berasal dari balik Pulau Karang Api di tengah-tengah
Danau Sambak Neraka.
"Ukh! Aaakh...!"
Sena mengeluh dan menjerit kesakitan. Badannya bagaikan dipanggang di atas api
yang membara. Bayang-bayang kematian seketika melekat di benaknya. Pendekar Gila segera
mengerahkan ajian
'Inti Salju' untuk melindungi tubuhnya dari panas yang membara.
"Hhh! Hop...!"
Sena menarik napas dalam-dalam, kemudian
tangannya digerakkan ke atas dan menyatu. Lalu kedua tangannya direntangkan ke
samping, dan ditariknya dalam-dalam. Setelah itu disatukan lagi di depan dada.
'"Inti Salju'. Hop...!"
Rasa panas yang semula menyengat bagaikan memanggang tubuhnya, seketika
menghilang oleh hawa dingin yang telah dikerahkan Pendekar Gila.
"Hebat! Rupanya kau telah menguasa 'Inti Salju', Bocah Manusia! Kau telah
mencuri banyak ilmu-ilmuku! Terimalah ini...!"
Bersamaan dengan habisnya suara itu, seketika suasana di sekitar Pendekar Gila
berubah. Suasana yang semula sangat panas membakar, kini tiba-tiba dingin.
Bahkan pepohonan yang ada di tempat itu, seketika kembali segar setelah layu
oleh panas. Namun justru hal itu membuat Sena kian menggigil.
Rupanya makhluk yang bersembunyi di balik Pulau Karang Api itu mengerahkan ajian
'Inti Salju', semakin membuat suasana di tempat itu terasa dingin. Apalagi saat
itu Pendekar Gila masih dalam lindungan 'Inti Salju'. Rasa dingin menjadi
berlipat ganda.
"Sssh!" tubuh Pendekar Gila menggigil kedinginan.
Wajahnya pucat pasi. "Bhrrr! Ah, rupanya dia mengerahkan 'Inti Salju."
"Ha ha ha...! Kau akan mampus, Manusia!" suara dari balik Pulau Karang Api.
"Hhh! Ilmu iblis!" dengus Sena. Perlahan napasnya ditarik dalam-dalam, kemudian
dengan suara menggelegar, Pendekar Gila mengerahkan ajian 'Inti Bayu'.
"Heaaa...!"
Wuttt...! Angin kembali menderu kencang, menyapu ke sekeliling tempat itu. Tangan Sena
yang mengeluar-
kan angin keras, bergerak cepat. Dan bersamaan putaran tangannya, angin badai
pun keluar dengan begitu cepat, menyapu hawa dingin yang menyelimuti sekitar
tempat itu. "Hebat! Kau memang hebat, Manusia! Tapi kau belum tentu bisa selamat dari ini!
Terimalah...!"
Cletar...! Suara gemeletar nyaring mengiringi melesatnya benda berkilat. Kilatan benda
terbungkus api itu mengarah ke arah Pendekar Gila. Dengan cepat, Sena mencabut
Suling Naga Sakti, kemudian dengan disertai pekikan menggelegar, melompat
memapaki kilatan cambuk api yang menyerang ke arahnya dengan Suling Naga Sakti.
"Heaaa...!"
Wuttt...! Prat!
Dua senjata sakti itu beradu keras, membuat suasana di sekitar tempat itu
menggelora panas.
Kilatan api yang membentuk cambuk melesat kembali ke Pulau Karang Api, sedangkan
Pendekar Gila berusaha memburunya. Suling Naga Sakti melesat terbang, membawa
tubuh Pendekar Gila ke Pulau Karang Api.
"Hiaaat...! Hop!"
Pendekar Gila tersentak, ketika dari dalam goa besar itu terdengar suara desisan
keras. Belum hilang rasa terkejutnya, sebuah semburan api besar menerjang ke
arahnya. "Hop!"
Dengan cepat Sena melompat ke samping. Lalu dengan cepat pula melakukan serangan
balasan ke dalam goa dengan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
"Yeaaa...!"
Wut...! Bugk...! Terdengar suara pukulan mengenai sasaran.
Bersamaan dengan itu, dari dalam goa muncul seorang bocah berkulit penuh sisik
diikuti seekor naga yang tubuhnya terselimut api yang menyala-nyala.
"Kurang ajar! Berani benar kau ke tempat ini, Manusia!" bentak Naga Brahma
dengan gusar. Naga yang kepalanya mengenakan mahkota itu menatap tajam pada
Pendekar Gila yang menyurut mundur.
Kaget juga Pendekar Gila melihat makhluk ular itu bicara seperti manusia.
"Aha, rupanya kaulah penghuni Pulau Karang ini!
Apa maksudmu membantai manusia?" tanya Sena sambil berjingkrakan dan tertawa-
tawa, membuat Naga Brahma semakin membelalakkan matanya.
"Manusia! Apa hubunganmu dengan kakakku,
hingga kau memiliki ilmu-ilmu warisan kakakku Naga Sakti"!" bentak Naga Brahma.
Belum juga Pendekar Gila menjawab, Suling Naga Sakti yang tergenggam di
tangannya bergerak dan jatuh ke tanah. Saat itu pula, asap tebal mengepul dari
Suling Naga Sakti, membuat Pendekar Gila tersentak kaget dan melompat mundur.
"Ssszt...!"
Terdengar desisan keras ketika asap tebal yang keluar dari Suling Naga Sakti
berubah. Dengan cepat asap itu membentuk wujud sesosok binatang berwarna merah
dengan tubuh diselimuti api.
Binatang yang berupa seekor naga keemasan dengan kepala bermahkota itu terbentuk
dari Suling Naga Sakti. Hal itu semakin membuat Pendekar Gila terkejut bukan
kepalang, tak menyangka kalau Suling
Naga Sakti yang menjadi senjatanya ternyata jelmaan dari seekor Naga besar.
Malah besarnya dua kali lipat dari Naga Brahma.
"Kakang Naga Sakti...!" seru Naga Brahma melihat sosok naga di hadapannya.
"Ada apa kau menggangguku, Adik Naga Brahma?"
"Oh...! Tak kusangka, kalau aku akan kembali bertemu denganmu, Kakang."
"Hm...," gumam Naga Sakti. "Aku pun begitu Dik.
Lama sudah kita berpisah."
Kedua naga itu saling menitikkan air mata.
Kemudian keduanya bercerita sejak keduanya dikutuk oleh ayah mereka sampai
akhirnya mereka kembali bertemu. Naga Sakti bersumpah mengabdi pada pendekar
yang berbudi luhur untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Begitu pula dengan
Naga Brahma, dia pun bersumpah akan menjaga orang yang benar, dari ancaman
orang-orang sesat.
Kemudian Naga Brahma menceritakan tentang peristiwa sepuluh tahun lalu di Danau
Sambak Neraka. "Dua orang manusia dengan membawa bayi
merah berlari-lari dikejar oleh manusia-manusia durjana. Keduanya kuselamatkan,
sedangkan kesepuluh resi yang wataknya bukan menunjukkan resi, kubunuh. Pasangan
suami istri muda itu, kuubah wujudnya sepertiku untuk menghilangkan pengejaran
orang-orang jahat...," tutur Naga Brahma mengenai siapa sebenarnya kedua naga
yang ada di Danau Sambak Neraka. "Jelasnya, mereka terkena fitnah keji yang
disebarkan Sumantri. Bahkan kini guru mereka memihak pada Sumantri."
"Hm, keterlaluan!" dengus Naga Sakti. "Jelas ini tidak bisa dibiarkan! Biarlah
semua ini kita serahkan
pada Pendekar Gila dan anak angkatmu. Siapa nama anak angkatmu itu, Dik?"
"Supit Songong, Kakang."
"Ya! Biarlah anak Anjasmara menuntut balas atas perbuatan paman gurunya yang
biadab!" kata Naga Sakti.
"Kalau memang begitu, aku pun menitipkan Supit Songong padamu selama di rimba
persilatan, Pendekar Gila! Meski dia sama memiliki ilmu sepertimu, tapi
pengalamannya tentu belum seperti dirimu," kata Naga Brahma pada Sena. "Supit,
ambillah lidahku. cabutlah...!"
Supit Songong, bocah bersisik dan berlidah ular itu tanpa rasa takut mendekati
mulut orangtua angkatnya yang menganga lebar. Kemudian ditariknya lidah Naga
Brahma. Seketika itu, berubahlah lidah sang Naga menjadi sebuah cambuk yang jika
dilecutkan menjadi cambuk api. Itulah Cambuk Api Lidah Naga.
"Aku titipkan dia padamu, Pendekar Gila," kata Naga Brahma dengan suara
dalamnya. "Aku akan berusaha, Paman," sahut Pendekar Gila.
"Baiklah, Dik. Aku harus pergi bersama Pendekar Gila," usai berkata begitu, Naga
Sakti kembali mengecil dan lenyap berubah ke wujud Suling Naga Sakti.
"Kita pergi, Supit," ajak Sena. Keduanya melesat meninggalkan Pulau Karang Api,
tempat tinggal Naga Brahma.
*** 9 Malam dengan kegelapannya telah datang. Seluruh makhluk Tuhan seketika terkurung
di dalam gelap-nya. Pepohonan membisu, begitu juga dengan binatang. Hanya suara
burung hantu yang masih terdengar, bersuara menyeramkan, ditingkahi suara
jangkrik yang bersahut-sahutan.
Dua sosok tubuh berlari-lari ke arah Desa Pasut Piring tempat kediaman Sumantri.
Kedua sosok tubuh itu, satunya tinggi tegap dan satu lagi kecil. Keduanya tidak
lain Pendekar Gila dan Supit Songong, bocah ular yang dirawat dan dididik oleh
Naga Brahma. "Sebentar lagi sampai, Supit. Hati-hatilah, mereka kebanyakan licik," tutur Sena
ketika melihat gerak tangan Supit Songong yang berkata dengan bahasa isyarat.
Sebenarnya Supit Songong tidak bisu, namun sepertinya bocah kecil itu tidak mau
berkata-kata karena suaranya akan membuat seisi desa ter-banguan. Tidak berapa
lama kemudian, keduanya sampai di depan rumah Sumantri.
"Siapa kalian"!" bentak salah seorang penjaga rumah Sumantri. Namun belum juga
para penjaga itu mampu bergerak, Pendekar Gila telah menotok dengan pukulan
jarak jauh. Tuk, tuk! "Ukh!" keluh para penjaga itu. Seketika tubuh mereka terkulai lemas.
"Sumantri, aku datang dengan apa yang kau inginkan!" seru Sena.
Seketika puluhan senjata rahasia melesat dari balik pepohonan ke arah Pendekar
Gila dan Supit Songong yang berdiri di halaman depan rumah Sumantri.
Swing! Swing! "Supit, Awas...!" seru Sena mengingatkan sambil berjumpalitan mengelakkan
serangan gelap lawan.
Kemudian dengan geram, pukulan tenaga dalamnya dihantamkan untuk menghalau
senjata beracun itu.
Wusss! Swing! Swing! Senjata-senjata rahasia beracun itu seketika berbalik. Bersamaan dengan itu,
dari balik rerimbunan pohon terdengar suara hujaman senjata-senjata rahasia dan
jeritan-jeritan kematian.
Jlep! Jlep! "Wuaaa...!"
"Aaa...!"
Sena dan Supit Songong tertawa tergelak-gelak kegirangan. Tubuh mereka


Pendekar Gila 11 Perjalanan Ke Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjingkrak-jingkrak.
Tingkah laku keduanya seperti orang gila.
"Seraaang...!"
Terdengar seruan Sumantri dari balik rerimbunan pohon. Bersamaan dengan itu,
dari balik rerimbunan pohon berlompatan beberapa orang mengepung Pendekar Gila
dan Supit Songong. Di antara mereka nampak Jalna Kumilang, Sugatra, Sugatri,
Iblis Selendang Ungu, Cakal Genala dan Cakil Gering, serta tiga orang dari rimba
hitam lainnya. "Pendekar Gila! Akhirnya malam ini kau harus mampus!" dengus Jalna Kumilang.
Sorot matanya tajam, menunjukkan dendam pada pemuda tampan itu. Sementara Sena
masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, kau rupanya belum kapok, Ki" Baiklah, malam ini aku pun ingin mengirimmu
ke neraka!"
sahut Sena tenang.
"Kurang ajar! Terimalah kematianmu! Heaaa...!"
Jalna Kumilang yang sudah marah, segera maju menyerang ke arah Pendekar Gila,
diikuti yang lainnya. Kini dalam sekejap Pendekar Gila dan Supit Songong telah
dikeroyok para tokoh persilatan aliran sesat.
"Heaaat...!"
Melihat keroyokan itu, Pendekar Gila tak mau tanggung-tanggung lagi. Segera
ditariknya Suling Naga Sakti dari ikat pinggang. Sementara Supit Songong melolos
cambuknya yang bernama Cambuk Api Lidah Naga.
"Yeaaa...!"
Cletar! Cletar...!
Cambuk Api Lidah Naga di tangan Supit Songong bergelemetar nyaring ketika
dilecutkan. Saat itu juga cambuk itu berubah menjadi cambuk api yang menyala
terang. "Heaaa...!"
Pendekar Gila dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang' bergerak menyerang
lawan. Sedangkan Supit Songong kini menggebrak dengan lecutan-lecutan cambuknya
yang dahsyat. Cletar! Cletar!
Pertarungan dahsyat itu seketika terjadi dengan serunya. Mereka tidak segan-
segan lagi mengeluarkan jurus-jurus dan pukulan-pukulan saktinya.
Sena dengan Suling Naga Sakti bergerak seperti orang gila, berjumpalitan dengan
seruan-seruan konyolnya menyerang. Setiap tebasan sulingnya, menimbulkan desiran
yang sangat panas. Hal itu
cukup menyentakkan lawan yang bermaksud
menyerang ke arahnya.
"Supit, cepat kau cari Sumantri!" perintah Sena sambil berusaha melindungi Supit
Songong dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya berputar cepat, dengan
Suling Naga Sakti menderu ke arah lawan-lawannya.
Supit Songong segera melesat meninggalkan tempat itu untuk mencari Sumantri.
Berkat pen-ciumannya yang tajam, Supit Songong akhirnya dengan mudah menemukan
Sumantri yang tersentak kaget melihat kehadiran bocah bersisik dan berlidah ular
itu. "Kau"! Kau bocah setan itu"!" pekik Sumantri, matanya membelalak.
"Aku bukan bocah setan, Sumantri!" bentak Supit Songong.
"Kau"! Kau tahu namaku"!" semakin kaget
Sumantri mendengar bocah bersisik ular itu mengenal namanya.
"Siapa yang tak kenal dengan manusia licik serta penjilat macam kau"! Kau memang
pamanku, tapi tindakanmu membuat kedua orangtuaku sengsara!"
dengus Supit Songong.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Aku Supit Songong, anak Anjasmara dan Sambi.
Keduanya kini menjadi Naga Api. Karena tindakanmu kami menderita, Sumantri!"
"Tidak mungkin! Kau bocah setan!"
"Terserah kau, Sumantri! Yang jelas aku datang untuk menyingkirkanmu dari muka
bumi! Heaaat...!"
Dengan suara menggelegar, Supit Songong bergerak menyerang Sumantri.
Terjangannya begitu keras dengan jurus 'Terjangan Kaki Naga'.
Melihat bocah bersisik ular itu menyerang, Sumantri yang tidak ingin mati sia-
sia segera mengelakkan serangan Supit Songong. Kemudian dengan cepat pedangnya
dicabut. Lalu dengan jurus 'Pedang Darah Menghampar Buana' Sumantri berusaha
merangsek lawan.
"Heaaa..!"
"Yeaaa...!"
Pertarungan antara Sumantri dan Supit Songong berlangsung dengan seru. Namun
dilihat dari pertarungan itu, nampaknya Supit Songong mampu menguasai keadaan.
Meski belum banyak
pengalaman, ilmu silat Supit Songong lebih tinggi di atas Sumantri. Apalagi dia
merupakan pewaris tunggal ilmu-ilmu Naga Brahma yang hampir sama dengan ilmu-
ilmu Pendekar Gila. Hanya, kalau Naga Brahma menggunakan nama jurus dengan
sebutan naga, sedangkan Pendekar Gila menggunakan jurus dengan sebutan Gila.
Tubuh Supit Songong laksana seekor naga yang ganas, bergerak garang menyerang.
Tangannya yang berkuku tajam beberapa kali menyambar ke wajah Sumantri.
"Heaaa...!"
Wut! "Heit...! Hop!"
Sumantri dengan cepat bergerak mengelakkan serangan cakar lawan yang menggunakan
jurus 'Cakar Kuku Naga' Hampir saja wajahnya berantakan terobek cakaran kuku-kuku
Supit Songong yang tajam dan mengerikan, kalau saja dia tidak segera mengelak.
"Ghrrr! Heaaa...!"
Merasa serangannya gagal, Supit Songong meng-
geram marah. Kembali dengan penuh amarah, bocah yang kulit tubuhnya bersisik ini
menggebrak lawan dengan cepat.
Sumantri benar-benar dibuat kalang-kabut oleh gerakan kaki bocah itu. Apalagi
pada awal mulanya dia sudah dihinggapi perasaan takut dan terlalu meninggikan
bocah itu, yang membuat gerakannya menjadi kacau dan serba canggung.
"Heaaat...!"
Supit Songong melayang laksana naga terbang, kemudian dengan cakarannya, dia
menyerang wajah Sumantri.
Wuttt! Sumantri berusaha berkelit, kemudian membabatkan pedangnya ke tangan bocah itu
dengan cepat. Hal itu membuat Supit Songong menarik cepet serangannya. Namun disusul dengan
serangan berikutnya yang tak kalah cepat dengan jurus 'Naga Brahma Melebur
Gunung Karang'.
"Heaaa!"
Dugk! "Ukh...!"
Sumantri mengeluh, merasakan dadanya terasa sesak akibat hantaman pukulan lawan.
Wajahnya pucat pasi, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Matanya membelalak, gigi-giginya beradu menahan marah.
"Bocah setan! Kubunuh kau! Heaaa...!"
Dengan mengerahkan segenap tenaga dalamnya, Sumantri menyerang ke arah Supit
Songong. Pedangnya berkelebat cepat, membuat jurus yang dinamakan 'Baling-baling
Pencabut Nyawa'.
Melihat lawan telah mengeluarkan jurus
pamungkasnya, Supit Songong tidak tinggal diam. Dia
segera melolos Cambuk Api Lidah Naga. Kemudian, ketika tubuh Sumantri melesat ke
arahnya, tak segan-segan lagi Supit Songong melecutkan cambuknya ke arah lawan.
"Ayah, ibu! Semoga kalian tenang! Heaaa...!"
Cletar! "Wuaaa...!"
Sumantri menjerit keras dan melengking ketika Cambuk Api Lidah Naga melecut ke
tubuhnya. Cambuk yang telah berubah menjadi cambuk api itu membelit dan membakar sekujur
tubuhnya. Kemudian dengan sekali hentakan, Supit Songong melemparkan tubuh Sumantri dengan
cara menggerakkan Cambuk Api Lidah Naga ke luar.
"Heaaa...!"
Tubuh Sumantri yang sudah hangus itu terlempar dan jatuh di tengah-tengah
pertempuran Pendekar Gila melawan anak buah Sumantri. Mereka terkejut
menyaksikan tuannya telah tewas dengan tubuh gosong menjadi arang.
"Bocah setan itu telah membunuh Tuan Sumantri!"
seru Jalna Kumilang membelalakkan mata tegang.
Semua tokoh hitam yang mengeroyok Pendekar Gila seketika terpaku dengan nyali
yang menciut. Sumantri yang mereka takuti dan segani dengan mudah dapat dibinasakan.
Sementara itu pula, Supit Songong melesat ke luar. Langsung menggebrak dengan
Cambuk Api Lidah Naganya.
Cletar! Cletar...!
Prat! Prat...! "Wuaaa!"
"Aaakh...!"
Pekikan kematian seketika terdengar susul-
menyusul, membelah keheningan malam. Pendekar Gila hanya terlongong bengong,
menyaksikan kehebatan Cambuk Api Lidah Naga di tangan Supit Songong. Dalam
sekejap saja, tujuh orang anak buah Sumantri dapat dibinasakan dengan dua kali
lecutan. "Semuanya telah usai, Supit," kata Sena.
"Benar, Kakang," sahut bocah berusia sepuluh tahun itu. "Kini semua telah
terbalaskan. Semoga tak ada lagi kejahatan."
Sena tertawa sambil menggeleng-gelengkan
kepala, membuat Supit Songong mengerutkan kening tak mengerti.
"Supit, selama dunia masih berputar, kejahatan akan selalu ada. Di mana-mana,
setan akan berusaha mengalahkan manusia dan memperbudak manusia.
Di saat itu pula, kejahatan akan hadir," tutur Sena.
"Kalau begitu, aku ingin ikut Kakang untuk turut serta menumpas kejahatan," kata
Supit Songong berapi-api, sebagaimana layaknya bocah kecil.
Sena tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk garuk kepala.
"Tidak mungkin, Supit! Kau masih kecil. Belum waktunya kau mengembara di rimba
persilatan. Kau harus kembali ke ayah angkatmu. Ayo, kuantar ke sana," ajak
Sena. "Tapi, Kakang...."
"Sudahlah, kau harus kembali dulu ke Paman Naga Brahma. Nanti terserah bagaimana
Paman Naga Brahma memutuskan, ayo!" ajak Sena sambil menggandeng tangan Supit
Songong meninggalkan tempat itu. Keduanya berlari dengan cepat, meninggalkan
rumah Sumatri yang sepi dan senyap, dan hanya tinggal mayat-mayat yang
bergelimpangan.
Selang beberapa waktu kemudian, nampak
seorang lelaki tua berjubah putih dengan rambut putih di gelung serta jenggot
panjang datang ke rumah Sumantri. Lelaki tua yang di punggungnya bertengger
sebuah pedang, tiada lain Dewa Pedang.
Mata Ki Badawi membelalak, menyaksikan murid dan orang-orangnya mati
mengenaskan. "Kurang ajar! Pendekar Gila, ke mana pun kau pergi, aku akan mencarimu! Kubunuh
kau, Pendekar Gila...!" serunya lantang penuh amarah. Kemudian dengan masih
diliputi rasa marah, Dewa Pedang berlari meninggalkan tempat itu.
Bagaimana dengan ancaman Dewa Pedang pada Pendekar Gila" Apakah Dewa Pedang
benar-benar akan membunuh Pendekar Gila" Mungkinkah salah paham antara Dewa
Pedang dan Pendekar Gila diluruskan. Untuk jelasnya, ikuti serial Pendekar Gila
selanjutnya dalam judul "Pembalasan Dewa Pedang", SELESAI
Created ebook by
Sean & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Dendam Sembilan Iblis Tua 4 Pendekar Asmara Tangan Iblis Karya Lovely Dear Pendekar Aneh Naga Langit 18
^