Pencarian

Peti Mati Pendekar Gila 3

Pendekar Gila 31 Peti Mati Untuk Pendekar Gila Bagian 3


Sena menunduk sebentar, lalu menatap
Singo Edan lagi. Nampak dia memikirkan sesuatu.
Kemudian..., "Aku merasa berhutang budi pada Prakas-
pati. Dia mati karena ingin membantuku. Aku be-
lum sempat membawa mayat Prakaspati ke Kera-
jaan Kawilangit. Aku malu, Guru.... Juga bagai-
mana nasib Raden Sasakajiwo dan Bratamurti.
Mungkinkah keduanya selamat atau...," Sena tak meneruskan ucapannya. Wajahnya
nampak cemas dan bingung. "Hi hi hi... Sena. Sebagai muridku, jangan suka cemas atau tegang menghadapi
kenyataan hidup ini. Biarlah aku yang datang ke Kerajaan
Kawilangit. Semuanya akan beres. Kau tak bersa-
lah. Aku juga ingin bertemu dengan Ki Rasito teman seperguruanku," ucap Singo
Edan tegas. Mendengar nama Ki Rasito disebut oleh
Singo Edan, Sena jadi lega. Kalau begitu memang benar Ki Rasito satu aliran
dengan dia dan gurunya. "Sekarang kau harus cepat kembali dengan tugasmu,
menyelamatkan Putri Palupi!" kata Singo Edan, sambil mendekati Sena yang masih
duduk. Ditepuknya bahu Sena dengan tangan kanan. Lalu
tiba-tiba Singo Edan tanpa diduga menyerang Se-
na dengan pukulan. Sena cepat beraksi menangkis pukulan Singo Edan. Lalu
bersalto ke belakang.
Singo Edan terus mencecar-nya dengan sabetan
kaki dan pukulan yang cepat. Membuat Sena ha-
rus jumpalitan sambil berusaha menyerang den-
gan jurus yang sama dengan Singo Edan. Rupanya
Singo Edan sengaja berbuat begitu, ingin melihat apakah murid tunggalnya masih
cepat tanggap dan peka. Sekaligus memberi pelajaran singkat
pada Sena. Bagaimana menangkis dan menyerang
lawan. Dengan tubuh berputar bagai kipas angin di udara, tiba-tiba Singo Edan
melakukan tendangan keras ke arah Sena.
Wess! Wesss! "Heaaa...!"
Plak! Plak! Plak!
Degk! Bluk! Sena mengelak dan membalik menyerang
gurunya. Singo Edan yang diserang, sepertinya
sengaja memberikan kelonggaran pada Sena. Dia
ingin melihat kecepatan dan kewaspadaan murid
tunggalnya itu. Hampir saja kepala Singo Edan
terkena tepukan Sena yang menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
digabung dengan jurus
'Si Gila Mencengkeram Mangsa'.
Singo Edan melompat ke atas pohon dan
tahu-tahu sudah duduk bersila di cabang pohon
kecil. Anehnya ranting kecil itu tak patah. Ilmu meringankan tubuh yang sangat
sempurna. "Hi hi hi...! Aku bangga. Ternyata kau semakin pintar, Sena. Tapi ingat, sekali
ini kau jangan lengah sekejap pun. Karena lawanmu itu be-
rilmu sangat tinggi dan penuh tipu muslihat! Kau harus hati-hati! Gunakan otakmu
lebih banyak...!
Sekarang, cepat berangkat. Jangan permalukan
aku, Sena...!" ujar Singo Edan. Lalu menggaruk-garuk kepala dan bertingkah
persis Sena. Seperti orang gila.
Singo Edan melompat turun. Sena segera
menjura beberapa kali. Dan kemudian berdiri. Di-peluknya sang Guru erat-erat
"Doaku bersamamu, Sena. Cepat pergi. Se-
lesaikan dengan baik!" ucap Singo Edan tegas di telinga Sena.
"Baik, Guru. Saya mohon diri...," jawab Se-na. Lalu segera berbalik dan melesat
menghilang dari pandangan Singo Edan.
Nampak di wajah lelaki itu tersirat rasa rin-
du yang dalam pada murid tunggalnya itu. Sebe-
narnya Singo Edan masih ingin lebih lama bersa-
ma Sena. Demikian juga Sena. Hatinya merasa be-
rat meninggalkan sang Guru. Namun tugas belum
selesai. Dengan berat hati Pendekar Gila harus
meninggalkan gurunya. Menyelesaikan urusan
dengan Amangjalu yang hampir berhasil membu-
nuhnya, serta menyelamatkan Putri Palupi.
Sena terus melesat dengan menggunakan
lari 'Sapta Bayu'-nya agar cepat tiba di markas Amangjalu.
*** Setelah melewati hutan, jurang, sungai, dan
tebing-tebing batu cadas, akhirnya Sena sampai di telaga menuju markas
Amangjalu. Segera Pendekar Gila menggunakan ilmu meringankan tubuh
untuk berjalan di atas air telaga, agar tidak melewati jebakan.
Sesampai di mulut Goa Lawa yang tertutup
dengan akar-akar pohon dan pohon rambat, Sena
segera menyusup masuk. Suasana di dalam goa
remang-remang. Hanya ada sebuah obor menem-
pel di dinding goa berbatu cadas.
Jalan berkelok-kelok. Sena terus menyusuri
jalan itu. Namun tak ada seorang pun di dalam
goa. "Mungkinkah di sini ada goa lain..."!" tanya Sena dalam hati lalu berpikir
sejenak, baru kemudian memutuskan untuk keluar dari goa itu. Kare-na goa itu
memang kosong. Sena terjebak lagi.
Begitu sampai di mulut goa, ternyata pintu
goa telah tertutup batu besar. Sena tersentak. Ke-ningnya berkerut tajam sambil
menggaruk-garuk
kepala. "Sial! Aku terjebak lagi rupanya. Kurang ajar...!" sungut Sena. Lalu
dengan cepat dia menggerakkan kedua tangannya. Telapak tangannya
disatukan, kemudian setelah menarik napas da-
lam-dalam, dengan pelan dibukanya ke samping.
Kemudian ditarik ke belakang membentuk siku.
Lalu dengan telapak tangan terbuka, bergantian
menghantam. Itulah jurus 'Si Gila Melebur Gu-
nung Karang' "Heaaaa...!"
Wusss! Jeglarrr! Ledakan terdengar keras ketika batu besar
yang menutup goa terhantam jurus dahsyat Pen-
dekar Gila. Seketika batu itu hancur berkeping-
keping. Sena menghela napas lega, lalu melesat
cepat keluar dari goa. Dan kemudian melompat ke atas pohon dengan bersalto
beberapa kali. Dari
atas sana Pendekar Gila mengamati keadaan seke-
lilingnya. "Rupanya ada goa lain. Ah ah ah...! Bodoh
sekali aku. Tapi di mana goa yang satu lagi...?"
tanya Sena dalam hati. Kemudian menggaruk-
garuk kepala dan cengar-cengir.
Pandangannya dipertajam. Dengan mema-
kai indera keenam, Sena akhirnya dapat mengeta-
hui, kalau ada orang-orang yang sengaja akan
mencelakakannya lagi.
Benar. Ketika Sena melompat turun tiga
orang dengan beringas kontan menggebrak menye-
rang Pendekar Gila. Dengan ganas mereka mene-
baskan golok. Suasana di Hutan Galasetra yang semula
tenang, kini terdengar suara teriakan-teriakan pertarungan.
Selain itu beberapa pohon tumbang terba-
bat senjata dan terhantam pukulan. Rerumputan
morat-marit terinjak kaki mereka. Bahkan bina-
tang hutan nampak berlarian ketakutan.
Pendekar Gila menghadapi keroyokan tiga
orang lawan, masih tampak tenang. Dengan jurus
'Gila Melempar Batu', dia berusaha menggempur
pertahanan ketiga lawannya.
"Hea!"
"Hi hi hi...! Kalian benar-benar seperti tikus sawah," ejek Sena sambil
menggaruk-garuk kepala. Kemudian tangannya kembali bergerak seperti melempar
batu menyerang lawan-lawannya. Ketiga
lelaki beringas tersentak kaget, ketika dari gerakan melempar yang dilakukan
Pendekar Gila melesat
gumpalan angin menderu keras ke tubuh mereka.
Angin kencang itu, seketika menahan serangan
yang tengah dilancarkan.
"Ilmu Edan!" maki Warkas. Dia berusaha menerobos serangan yang dilancarkan
Pendekar Gila. Namun, angin yang menderu ke tubuhnya di-
rasakan begitu kuat. Sulit bagi Warkas untuk menembus pertahanan Pendekar Gila.
"Benar-benar ilmu edan!"
"Hi hi hi...! Kalian persis tikus sawah. Hua ha ha!" "Pemuda Edan, kubunuh kau!"
maki Warkas. Lelaki bertubuh gemuk dengan alis tebal dan hidung mancung itu
marah karena tak mampu
berkutik, terkurung angin topan dari tangan Pendekar Gila.
"Hua ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya melompat ke sana kemari
seper- ti monyet, sambil menggaruk-garuk kepala. "Lucu sekali...! Kalian seperti tikus
sawah dikejar kucing.
Hi hi hi...!"
"Bedebah! Pemuda edan itu harus segera
kusingkirkan!" maki Toh Jenar, melihat ketiga tangan kanannya terdesak, dan tak
mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya melesat memburu Pendekar
Gila. Kemudian dengan jurus 'Sapuan Topan'-nya
dia menghalau pukulan yang dilemparkan Pende-
kar Gila. "Hancur tubuhmu, Pemuda Edan! Hih...!"
"Aha, kebetulan sekali kau ikut campur,
Toh Jenar! Hi hi hi...!"
Dengan melompat seperti monyet, Pendekar
Gila mengelakkan pukulan yang dilontarkan Toh
Jenar. Wrt! Jlegarrr...! Ledakan dahsyat terdengar, mengakibatkan
tanah yang terkena hantaman pukulan Toh Jenar
hancur dan berhamburan. Hawa panas seketika
menyelimuti suasana di hutan itu. beberapa pohon besar ikut hancur dan tumbang
terkena pukulan
dahsyat itu. "Hi hi hi...! Kurang tepat!" ejek Sena meng-goda. Hal itu membuat Toh Jenar
semakin marah. Matanya melotot sengit. Napasnya mendengus. La-
lu kedua telapak tangannya disatukan di dada, seperti hendak memusatkan tenaga
dalam. "Pemuda Edan! Kini terimalah pukulan
'Gelap Ngampar' -ku! Heaaaa...!"
"Aha, ku tahu pukulanmu bernama 'Gelap
Gulita'. Hi hi hi...!" ejek Sena sambil melompat ke samping ketika tangan Toh
Jenar menghantam ke
tubuhnya. Wuttt! Jlegarrr...! "Hi hi hi...! Masih kurang tepat!" goda Sena
sambil melompat-lompat kegirangan. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Mulutnya yang cen-
gengesan membuat Toh Jenar semakin geram dan
marah. "Kurang ajar! Kau benar-benar harus mampus, Bocah Sinting! Yea...!"
Toh Jenar yang merasa telah dua kali ter-
ganggu karena campur tangan Pendekar Gila, se-
makin geram dan marah. Tangannya yang berku-
ku panjang, bergerak menyambar dan mencengke-
ram tubuh pemuda itu.
Mendapat serangan begitu cepat, tidak
membuat Pendekar Gila kalang kabut. Tingkahnya
justru semakin konyol. Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Pendekar Gila
balas menye- rang. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, sam-
bil sesekali telapak tangannya menepuk ke dada
lawan. "Hi hi hi...! Heaaaa...!"
"Hah...!"
Toh Jenar tersentak kaget, melihat seran-
gan lawan tiba-tiba telah berada dekat dadanya.
Padahal gerakan Pendekar Gila nampak sangat
lambat dan lemah. Namun entah bagaimana tiba-
tiba telah memburu tubuhnya dengan tepukan
yang mengeluarkan desiran angin panas dan ke-
ras. "Hi hi hi...!"
"Jurus edan!" maki Toh Jenar sambil melompat mengelakkan serangan. Kalau kurang
ce- pat melompat mundur, niscaya dadanya terkena
pukulan Pendekar Gila.
Setelah mengegoskan kaki ke samping, Toh
Jenar bergerak mencakarkan tangannya ke muka
lawan. Namun, dengan cepat pula, Pendekar Gila
menarik kepalanya ke belakang mengelakkan ca-
karan itu. Kemudian dengan kepala menunduk,
kembali menepukkan tangannya ke dada lawan.
"Hiaaa...!"
"Hait! Edan! Jurus Edan...!" maki Toh Jenar sambil melompat ke samping kiri.
Serangan Pendekar Gila meleset.
Sementara itu anak buahnya yang tadi ber-
tarung dan dihajar oleh Sena terbengong-bengong melihat permainan Pendekar Gila
yang sangat tangguh. Semakin bertambah kaget mereka ketika
melihat apa yang kini terjadi. Toh Jenar tampak terdesak dan harus berjuang
mati-matian untuk
dapat melepaskan diri dari buruan Pendekar Gila.
"Kurang ajar! Pemuda ini terlalu berbahaya bagiku," gerutu Toh Jenar dalam hati.
"Tak ada kesempatan bagiku kalau terus begini. Aku harus pergi dari sini
"Hi hi hi...! Apa yang kau pikirkan, Jenar"!
Kau harus segera dikirim ke akherat sana. Hea...!"
Pendekar Gila mempercepat jurusnya. Kali
ini kedua tangannya ditarik ke belakang. Lalu dile-takkan di pinggang dengan
jari-jari terbuka. Itu awal dari jurus yang dahsyat 'Si Gila Melebur Gunung
Karang'. Belum sempat Pendekar Gila melakukan se-
rangan, Toh Jenar telah mendahului dengan me-
lemparkan suatu benda ke Pendekar Gila.
Jlegar!

Pendekar Gila 31 Peti Mati Untuk Pendekar Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Asap hitam membumbung menutupi pan-
dangan mata Pendekar Gila. Saat itu juga, Toh Jenar melesat meninggalkan tempat
pertarungan. "Kurang ajar! Dia pergi...!" seru Sena sengit, lalu melesat mengejar Toh Jenar.
Namun Toh Jenar sudah lenyap dari pan-
dangan. Begitu cepat Toh Jenar menghilang seperti hantu. Dengan hati kesal Sena
tampak menggaruk-garuk kepala.
"Toh Jenar benar-benar tak ada jeranya.
Kampret! Kalau dia masih saja bandel, aku terpak-sa membunuhnya. Itu jalan satu-
satunya agar aku dapat cepat menemukan markas Amangjalu yang
benar...!" gumam Pendekar Gila sambil terus menuju ke sebelah utara.
9 Sementara itu di dalam salah satu ruangan
di sebuah goa, tampak seorang wanita muda can-
tik dan berkulit kuning langsat meratapi nasibnya.
Menangis tersedu-sedu. Di dalam ruangan wanita
muda itu ditemani seorang perempuan setengah
baya yang wajahnya cukup cantik. Nampak dia
mencoba menghibur wanita muda yang berambut
panjang sampai sebatas pinggul.
"Sudahlah Den Ayu, tak usah menangis! Ki-
ta ini senasib. Berdoa saja! Meminta keselamatan pada Hyang Widi. Kalau terus
menangis, tak ada
gunanya, Den Ayu Palupi...," bujuk wanita seten-
gah baya yang hanya memakai kemben untuk me-
nutupi dadanya. Dari kain lurik warna coklat tua.
Wajahnya pun nampak sedih, melihat Palupi.
"Lebih baik aku mati saja, Ni. Daripada hidup dalam cengkeraman manusia berhati
iblis dan licik itu. Tak ada harapan lagi rasanya untuk bertemu dengan ayahku.
Oh, Hyang Widi tolonglah
kami...!" keluh Putri Palupi sambil menangis tersedu-sedu. Wajahnya nampak pucat
dan kurus. Ka- rena tidak mau makan atau minum selama dalam
cengkeraman Amangjalu. Namun untung kepera-
wanannya sampai saat ini masih dapat diperta-
hankan. Hanya ketakutan dan kecemasan terus
menyelimuti hati Putri Palupi. Karena suatu saat Amangjalu akan memperkosanya
juga. Itulah yang
membuat dirinya semakin cemas dan setiap saat
ketakutan. "Mudah-mudahan Hyang Widi melindungi
Den Ayu Palupi! Orang jahat macam Amangjalu itu pasti umurnya tidak panjang,"
tutur Ni Sukarwati dengan nada sinis.
Palupi menoleh pelan ke arah Ni Sukarwati,
lalu bertanya dengan suara serak sambil terisak.
"Bagaimana Ni Sukarwati bisa sampai di si-
ni...?" "Mirip dengan Den Ayu. Tapi saya anak orang desa. Dua puluh tahun yang
lalu, Amangjalu dan antek-anteknya membakar Desa Parangtilu.
Mengambil harta penduduk desa, serta memper-
kosa anak gadis, atau wanita yang dianggap cocok dengan mereka. Termasuk aku
sendiri, sampai sekarang. Hanya untuk melayani nafsu setannya.
Kami semua di sini tak ada yang berani melawan.
Semua takut mati...," tutur Ni Sukarwati dengan wajah sedih. Tanpa disadari
matanya sudah ber-genang air bening.
Palupi merasa terharu mendengarnya. Ka-
rena ternyata nasib Ni Sukarwati mirip dengannya.
"Ingin rasanya keluar dari tempat ini. Na-
mun rasanya tak mungkin. Mungkin aku sudah
ditakdirkan akan hidup begini. Den Ayu...," suara Ni Sukarwati memelas. Air
matanya pun semakin
deras membasahi kedua pipinya.
Palupi tiba-tiba terbawa perasaannya. Dia
memeluk Ni Sukarwati. Palupi memeluknya erat-
erat. Seakan dia melampiaskan kerinduan akan
kasih sayang dan pelukan seorang ibu. Karena sudah dua tahun Palupi ditinggal
mati ibunya. "Dulu saya mempunyai seorang ibu yang
sebaya dengan Ni Sukarwati. Tapi sudah mening-
gal dua tahun lalu.... Rasanya, aku ingin dekat dengan Ibu, Ni,..," ucap Palupi
dengan tangisnya.
"Jangan bicara begitu Den Ayu! Tak baik.
Semua manusia memang merencanakan segala
sesuatunya. Tapi Hyang Widi yang menetapkan.
Hidup, mati, senang, dan susah...," tutur Ni Sukarwati penuh perasaan. Membuat
suasana sangat haru. Keduanya hanyut dalam perasaan sedih dan
memilukan. Brakkk! Tiba-tiba suasana haru itu dirusak oleh su-
ara pintu dibuka dengan kasar.
Palupi dan Ni Sukarwati tersentak kaget
Melepas pelukan dan menoleh ke pintu.
"Ha ha ha...! Kalian ini sama-sama perem-
puan kok berpelukan. Yang pantas pelukan den-
gan aku...!" kata seorang lelaki tangan kanan Amangjalu. Seraya melangkah
mendekati keduanya, lalu mencoba memeluk Palupi.
"Aaa.... Jangan...!" teriak Palupi.
Namun orang itu terus memaksa dengan
menarik-narik lengan Palupi. Ni Sukarwati segera menendang perut lelaki itu
sekuat tenaga. Dan
tendangan kedua kalinya mendarat di kemaluan
lelaki itu. Bug! "Aaawwuu...!" lelaki itu menjerit kesakitan sambil memegangi kemaluannya.
"Kalau kau berani lagi menjamah Den Ayu
Palupi, akan kuadukan pada Amangjalu...!" ucap Ni Sukarwati marah, sambil
bertolak pinggang. Bi-ar bagaimana, Ni Sukarwati masih disegani, kare-na dia
termasuk orang kepercayaan Amangalu. Le-
laki itu ketakutan mendengar ancamannya.
"Maaf, Ni... uh! Jangan adukan saya. To-
long! Saya kemari hanya diperintah untuk mem-
bawa Putri Palupi dan Ni, ke ruangan khusus. Ini perintah atasan...!" ujar
lelaki itu. Masih memegangi burungnya.
"Oooh..."!" desah Palupi cemas. Lalu mera-patkan tubuh pada Ni Sukarwati.
"Tak usah khawatir. Tenang, kau menuruti
perintahnya jika ingin selamat. Mudah-mudahan
Hyang Widi memberikan pertolongan, menyela-
matkanmu. Den Ayu...," hibur Ni Sukarwati, memberikan ketabahan pada Palupi.
Lalu segera Ni Sukarwati membawa keluar
Palupi. Diikuti oleh lelaki tadi.
*** Sena terus melangkah menuruni jalan ber-
debu di antara tebing cadas. Hari semakin sore ketika pemuda itu memasuki sebuah
desa kecil yang porak-poranda. Langkahnya terhenti. Matanya
memandangi sekeliling desa kecil itu. Yang tampak hanya serakan mayat-mayat di
sana-sini. Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam. Ia mengge-
lengkan kepala.
"Edan! Ini pasti perbuatan Amangjalu dan
antek-anteknya.... Huh...!" runtuk Sena.
Asap mengepul hampir di seluruh desa. En-
tah apa nama desa itu, Sena sendiri tak menge-
nalnya. Dia kembali melangkah perlahan. Diperha-tikannya sosok mayat perempuan
dengan seorang anak kecil yang mati secara mengerikan di sebe-
lahnya. Wajah dan dadanya hancur. Darah di tu-
buh keduanya telah mengering.
"Keparat...! Aku harus cepat membinasakan
manusia iblis itu!" desis Sena penuh luapan kemarahan. Tiba-tiba sebuah gerobak
besar muncul dari ujung desa sebelah utara. Sena segera waspada.
Pandangannya tak lepas pada gerobak yang ditarik dua ekor kuda. Binatang-
binatang itu tampak le-tih. Itu bisa terlihat ketika kedua kuda yang menarik
gerobak berhenti di depan sebuah runtuhan
rumah di ujung jalan desa itu.
Sena cepat mendekati gerobak itu. Kusirnya
seorang lelaki muda beralis tebal dengan bibir
dower. Dia turun dari gerobak. Mata sebelah ka-
nannya rusak. Dia tampak acuh, seakan tak meli-
hat Sena yang berada setengah tombak dari gero-
bak. "Sobat! Barang apa yang kau bawa?" tanya Sena ingin tahu.
Kusir yang ditanya hanya angkat bahu
sambil terus melangkah.
"Kalau mau tahu, periksa saja," ucapnya serak, tanpa memandang Sena.
Pendekar Gila mengerutkan kening, lalu
menggaruk-garuk kepala. "Orang ini aneh!" gumam Sena dalam hati. Lalu
didekatinya gerobak
itu untuk diperiksa. Tangannya segera menying-
kap sebuah karung. Sena terkejut. Matanya mem-
belalak. "Mayat manusia!" desisnya.
Pendekar Gila menoleh ke arah kusir tadi
berada. Namun kusir gerobak itu sudah lenyap entah ke mana. Suasana jadi makin
mencekam. Ha- tinya sedikit was-was.
"Kurang ajar, aku telah masuk daerah ke-
kuasaan Amangjalu. Dia ternyata ingin mencoba
ilmu setannya.... Edan!" maki Sena setengah berteriak. Sena cepat melesat
meninggalkan tempat
itu. Baru saja kakinya mendarat di tanah, tiba-tiba beberapa benda tajam
berbentuk anak panah meluncur ke arahnya. Sena yang sudah siap meng-
hadapi segala kemungkinan, tak tanggung-
tanggung menangkis senjata-senjata itu. Kedua telapak tangannya dihentakkan,
hingga ajian 'Si Gila Melebur Gunung Karang' menghantam senjata-senjata itu.
Glar! Glar! Kilatan cahaya merah melebur senjata-
senjata itu hingga hancur. Bersamaan dengan itu, terdengar pekikan panjang di
kejauhan. Disusul
dengan jatuhnya lima orang dengan tubuh terba-
kar. Sena mundur beberapa langkah sambil
memandangi lima tubuh tak dikenal. Rupanya me-
rekalah yang menyerang Sena tadi. Ketiga senja-
tanya hancur oleh serangan balik Sena, pemiliknya pun terbakar dan mati.
Pendekar Gila menarik napas panjang sam-
bil menggaruk-garuk kepala.
"Antek-antek Amangjalu lagi. Orang-orang
ini sudah dirasuki ilmu setan Amangjalu, hingga menjadi buas dan tidak memiliki
perasaan lagi,"
gumam Sena pada diri sendiri.
Sementara itu hari mulai gelap. Pendekar
Gila melanjutkan perjalanannya untuk memenuhi
tantangan Amangjalu sekaligus menyelamatkan
Palupi. Angin berhembus kencang menerpa wa-
jahnya yang makin tegang dan keras. Tak ada se-
nyum sedikit pun di bibirnya. Dia hanya memikirkan bagaimana cara melenyapkan
Amangjalu, ma- nusia setengah setan itu.
*** Di dalam goa tempat Amangjalu bermukim
tampak sedang diadakan pesta menyambut keber-
hasilan Amangjalu membawa Palupi. Pesta ber-
langsung cukup meriah.
Lima gadis berpakaian seronok sedang me-
nari. Gerakan tari mereka sangat menggairahkan.
Sedangkan Toh Jenar dan beberapa orang asyik
berpasangan dengan wanita-wanita muda yang
hanya mengenakan kain panjang dan penutup da-
da tipis berwarna hitam.
Tingkah laku anak buah Amangjalu sudah
tak karuan. Hampir di setiap sudut, pasangan lelaki dan wanita tampak bercumbu
secara bebas. Sedangkan Amangjalu yang sedang menikmati ta-
rian, ditemani empat orang wanita muda berwajah cantik. Tubuhnya setengah
tiduran, sementara
empat wanita itu mengerumuni. Sebentar-sebentar dia merangkul dan menciumi
wanita-wanita itu
dengan rakus sambil sesekali meneguk arak.
Di tengah-tengah arena tari terdapat sema-
cam sumur berisi darah manusia yang telah men-
jadi tumbal ilmu setan Amangjalu. Sebelah kanan terlihat Palupi terlentang.
Pakaiannya sudah tampak lusuh dan terkoyak-koyak.
Tarian setan terus berjalan hingga tengah
malam. Sebagian dari mereka sudah mabuk. Na-
mun para penari masih bersemangat dan menggai-
rahkan. Orang-orang yang bermesraan sudah tak
menghiraukan lagi tarian itu. Mereka asyik ber-
gumul di ruang-ruang dalam goa yang beralaskan
dedaunan kering.
Amangjalu mendekati Palupi yang semakin
lemah keadaannya.
"Kau ternyata amat cantik dan menawan,
Palupi...," ucap Amangjalu sambil menggerakkan tangannya ke tubuh Palupi.
Kemudian dengan rakus leher Palupi diciuminya.
Palupi yang tidak dapat berbuat apa-apa la-
gi hanya pasrah dalam tangis.
"He he he...! Kalau kau menangis, aku ma-
kin bernafsu untuk segera menikmati tubuhmu
yang kenyal ini. He he he...! Tapi belum saatnya.
Ha ha ha...!"
Kembali Amangjalu menggerayangi tubuh
Palupi, hingga wanita cantik itu menggelinjang.
"Phuih!" Palupi meludahi wajah Amangjalu.
Orang yang diludahi tidak marah. Tangan-
nya kian ganas menggerayangi tubuh Palupi,
membuat gadis itu terus menggelinjang.
"Auw...!"
Palupi memekik tertahan dan berusaha be-
rontak, namun sia-sia. Amangjalu yang makin
bernafsu menahan tubuh Palupi agar tidak berge-
rak. Dia mulai menciumi tubuh Palupi sepuas-
sepuasnya. "Oh, Gusti! Beri aku kekuatan!" rintih Palupi dalam hati.
Tiba-tiba bahu Amangjalu ditepuk seseo-
rang dari belakang. Amangjalu tersentak dan langsung berbalik.
"Bangsat! Ada apa..."!" bentak Amangjalu dengan mata melotot. Ternyata Toh Jenar
yang menepuknya. "Pendekar Gila telah masuk perangkap kita,
Kakang," lapor Toh Jenar pada Amangjalu.
"Ha ha ha...! Sebentar lagi Pendekar Gila
akan mampus! Habisi pemuda gila itu. Jangan
sampai gagal. Aku sudah siapkan peti mati untuk Pendekar Gila!" perintah


Pendekar Gila 31 Peti Mati Untuk Pendekar Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Amangjalu. Toh Jenar segera berlalu. Dengan wajah
yang terlihat setengah mabuk dia berjalan agak
sempoyongan. Setelah Toh Jenar tidak kelihatan lagi,
Amangjalu kembali melirik Palupi.
"Kau masih akan kusimpan untuk nanti.
Setelah Pendekar Gila mampus, aku baru akan
menikmati tubuhmu yang bahenol ini. Ha ha
ha...!" kata Amangjalu. Kemudian dia berlalu sambil terus tertawa terbahak-
bahak. *** Sesosok bayangan hitam berkelebat di anta-
ra pepohonan hutan belantara. Malam mulai akan
berganti pagi. Saat itu di sekitar sarang Amangjalu tampak sepi. Bayangan hitam
itu terus melesat
bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya.
Sesekali berhenti sebentar, seakan-akan menga-
mati keadaan di sekelilingnya. Setelah itu dia
kembali melesat cepat bagai terbang.
Ketiga sosok bayangan itu menubruk salah
satu ranting pohon beringin, tiba-tiba....
Zing! Zing...! Melesat bambu-bambu runcing memburu
tubuhnya. Rupanya orang itu memiliki panca indera
keenam yang kuat serta ilmu yang tinggi. Hanya
dalam waktu singkat, dia dapat mengelak hunja-
man jebakan itu.
"Keparat! Rupanya hutan ini banyak pe-
rangkap! Aku harus lebih waspada," dengus orang itu. Lalu tubuhnya kembali
melesat cepat Orang
itu terus menuju arah goa tempat tinggal Amangja-lu. Orang itu ternyata si
Pendekar Gila. Pendekar Gila mengamati tempat itu. Ha-
tinya merasakan ada keganjilan.
"Hm...! Rupanya Amangjalu ingin menje-
bakku. Dia tahu kedatanganku...," gumam Pendekar Gila.
Selesai berpikir, Sena cepat melesat ke arah
jalan menuju goa tempat sarang Amangjalu. Na-
mun tiba-tiba saja dua buah senjata rahasia beru-pa bintang sebesar piring
meluncur ke arah Pen-
dekar Gila. Swing! Swing! "Heaaat..!"
Sena melejit dengan bersalto ke udara, di-
barengi hentakan tangan kanannya ke arah senja-
ta rahasia tadi. Selarik sinar keperakan langsung menghantam senjata-senjata
itu. Wesss! Senjata itu berbalik arah dan....
"Aaa...!"
Lengkingan dari dua orang pembokongnya
membuat Sena tertawa di udara. Setelah itu tu-
buhnya mendarat ke tanah.
Tak lama berselang, muncul makhluk-
makhluk aneh dari berbagai penjuru. Sena kaget.
Dia segera mengerahkan ilmunya. Ditariknya na-
pas dalam-dalam dan mulai siap menyerang.
"Makhluk-makhluk ini tak boleh diberi hati.
Aku harus segera membereskan mereka!" tekad Sena dalam hati. Langsung saja
Pendekar Gila melancarkan serangan jarak jauh. Kembali selarik sinar keperakan
meluncur dari kedua telapak tan-
gannya, lalu menghantam makhluk-makhluk aneh
itu. Blarrr! Makhluk-makhluk itu terbakar oleh puku-
lan 'Inti Brahma' yang digabung dengan 'Tamparan Sukma'. Tubuh mereka kemudian
meleleh bagai lilin, dan akhirnya menjadi abu..
Bersamaan dengan itu angin kencang me-
nyapu tubuh Pendekar Gila. Dia menahan dengan
menggerakkan kedua tangannya ke depan.
"Hm...! Asap ini mengandung racun. Kepa-
rat...!" geramnya.
Sena segera mengeluarkan ajian 'Pelebur
Racun' disertai ilmu 'Si Gila Membelah Angkasa'.
Maka terjadilah perang yang dahsyat antara ilmu Pendekar Gila dengan ilmu Mata
Setan yang belum menampakkan diri.
Darrr! Ledakan dahsyat terjadi setelah sinar kepe-
rakan beradu dengan sinar merah kebiruan. Ber-
samaan dengan itu sesosok tubuh yang dikenal
sebagai Toh Jenar muncul. Dengan beringas dia
langsung menyerang Pendekar Gila.
Serangkaian angin menyapu ganas ke arah
Sena. Pendekar Gila segera mengelak dengan me-
lompat ke samping disusul tendangan kaki ka-
nannya ke dada Toh Jenar. Toh Jenar tahu akan
serangan itu. Dia sigap mengelak dengan melom-
pat setombak ke belakang. Pada saat itulah, Pendekar Gila dengan gerakan yang
sukar diikuti ma-ta, melesat memburu Toh Jenar dengan dua puku-
lan hebat. Duk! Duk! "Akh...! Hukh...!"
Tubuh Toh Jenar terpental tiga tombak.
Mulutnya menyemburkan darah kental. Matanya
melotot garang.
"Kau tidak akan bisa lolos, Pendekar Gila!
Heaaa...!" bentaknya seraya bangkit untuk menyerang kembali.
*** Sena berkelebat menghindari serangan Ma-
ta Setan yang mulai tak terarah serta penuh amarah. Seraya cengengesan, Sena
menepuk kedua tangannya lalu mengejek Mata Setan.
"Ha ha ha...! Manusia Jelek! Kau ini berke-lahi seperti orang mabuk! Mana bisa
melawan- ku...?" Toh Jenar sekali lagi melancarkan serangan ke arah Pendekar Gila. Dia
membuat gerakan
aneh. Kedua kakinya melebar agak ditekuk. Kedua tangannya pun direntangkan ke
atas. Kemudian tubuhnya melompat dibarengi dengan teriakan
nyaring. "Heaaa...!"
Pendekar Gila yang sudah siap, segera me-
mapaki serangan itu dengan tenaga dalamnya
yang sempurna. Tubuhnya juga melompat di uda-
ra. Dan terjadilah pertarungan di udara beberapa saat keduanya saling pukul dan
tangkis. Namun dengan cerdik Sena dapat menyerangkan puku-
lannya ke dada Toh Jenar.
Blasss! "Aaaa... ukh!" pekik Toh Jenar. Tubuhnya terpental cukup jauh, lalu terbanting
ke tanah. Namun Toh Jenar masih kuat bangkit Se-
saat dirinya tampak mengumpulkan tenaga dalam.
Dan.... "Heaaa...!"
Serangan Toh Jenar kini terarah kembali.
Hampir saja rusuk Sena tersodok jarinya yang
menegang. Namun Sena yang memang sudah tahu
akan serangan itu segera membalas. Sambil me-
loncat dia melepaskan tendangan kaki kanan, disusul dengan kaki kiri.
Plak! Bukkk! Tendangan Pendekar Gila tepat mengenai
rahang dan dada Toh Jenar. Tak pelak lagi tubuh Toh Jenar terhuyung-huyung lima
tombak ke belakang. Sena yang melihat Toh Jenar mulai goyah, melanjutkan
serangan dengan tendangan dan pukulan bertubi-tubi. Hingga akhirnya Toh Jenar
menyerah. "Di mana Amangjalu"! Katakan cepat! Atau
kupatahkan lehermu," bentak Sena.
"Aku... aku... ti... tidak tahu," jawab Toh Jenar lemah. Dadanya sudah hangus
terbakar. "Rupanya kau lebih suka mati!" Sena tak
berniat memberi ampun lagi. Dia mengangkat tan-
gan kanannya tinggi-tinggi, hendak menghantam
kepala Toh Jenar. Tapi....
"Tunggu...!" seru Toh Jenar.
Sena mengurungkan niatnya.
"Dia... dia ada di goa itu...!" kata Toh Jenar dengan suara yang makin lemah
"Arah mana" Cepat katakan...!"
"Sana...," jawabnya sambil menunjuk ke utara. Selesai memberi tahu, Toh Jenar
menghem-buskan napasnya yang terakhir.
Sena mencampakkan tubuh Toh Jenar ke
tanah. Lalu tubuhnya melesat.
Sena memasuki hutan belantara yang ma-
kin angker. Pepohonan besar mengelilingi daerah itu. Sesekali tubuhnya melenting
ke udara, bila dirasa ada jebakan-jebakan maut di depannya.
"Setan belang! Rupanya di tempat ini ba-
nyak perangkap yang sangat berbahaya...," sungut Sena. Saat itu langit mulai
membias cahaya, tanda sang Surya sebentar lagi akan muncul mene-
rangi bumi. Sena kini sudah masuk ke sarang
Amangjalu dengan ilmu menghilangnya. Ajian
'Tanpa Wujud'. Tubuhnya menembus dinding goa
yang angker. Ketika Sena keluar, dia telah berada di ruangan yang hanya
diterangi satu obor besar di dinding goa itu.
Sementara itu Amangjalu sedang tidur nye-
nyak. Tampaknya Amangjalu kelelahan karena te-
lah mencumbu empat wanita muda semalam sun-
tuk. Selain itu dia merasa yakin kalau Pendekar Gila akan dapat diringkus oleh
Toh Jenar dan anak buahnya. Paling tidak musuhnya itu akan
terganyang jebakan-jebakan maut. Maka dalam di-
rinya tak ada rasa curiga sedikit pun. Padahal Se-na sudah berada di dalam goa.
Pendekar Gila memasuki ruangan lain.
Dengan ilmu meringankan tubuh dia berjalan rin-
gan. Dilewatinya lorong yang lebarnya satu depa.
Di kanan dan kirinya banyak pintu-pintu. Sena
berhenti sejenak untuk memeriksa pintu-pintu itu.
Dalam sekejap dia dapat membuka salah satu pin-
tu. Dilihatnya seorang lelaki dan dua wanita
dalam keadaan polos tanpa pakaian, bagai bayi-
bayi yang tidur dengan pulas. Mereka saling peluk.
Sena menarik napas panjang dan segera ke-
luar. Dia menggelengkan kepala dan cengengesan, lalu menggaruk-garuk kepalanya
sambil melangkah ke pintu lain. Kamar lain pun tak jauh berbe-da dengan di kamar
tadi. Hanya kamar yang kese-
kian, terlihat seorang wanita muda cantik telentang dalam keadaan polos. Dia
dirangkul dua orang lelaki berparas buruk. Kembali Sena mena-
rik napas panjang dan bergumam lirih.
"Edan! Edan...! Dunia sudah edan! Terku-
tuklah kalian, manusia-manusia bejat!"
Semua yang dilihat Sena tak lain orang-
orang yang telah terkena ilmu sihir dan pengaruh setan Amangjalu. Sengaja mereka
dibuat menjadi lupa diri dan tidak mempunyai perasaan.
Sena terus menyelidiki ruangan demi ruan-
gan sambil mencari Putri Palupi. Ketika Sena memasuki sebuah ruangan yang luas,
matanya meli- hat Palupi dalam keadaan yang menyedihkan se-
kali. Sena membelalakkan mata.
"Ya, Gusti!" desahnya.
Cepat Sena melompat dan melepas ikatan-
nya. Di ruangan itu berserakan empat pasang pria dan wanita yang juga dalam
keadaan polos. Pakaian mereka berserakan di mana-mana. Benar-
benar menjijikkan. Mereka saling tindih. Sena segera menyadarkan Palupi yang
tampaknya pingsan
karena kelaparan.
"Tuan Putri, sadarlah...!" suara Sena berbisik di telinga Palupi.
"Akh...!" pekik Putri Palupi tiba-tiba.
Sena cepat menutup mulutnya.
"Ssst..!" cegah Sena seraya memberi isyarat Palupi masih belum sadar betul. Ia
hanya terpaku melihat Sena. Dia seperti tak percaya. Namun setelah Sena memegang
pipinya dan dia pun meme-
gang tangan Sena perlahan, barulah yakin kalau
orang di depannya adalah orang yang akan meno-
long dirinya. "Oh, siapakah kau," tanya Palupi, serak dan lirih sekali. Sena menutup mulut
Putri Palupi. "Sssttt...! Sebaiknya kita cepat pergi. Kita tak akan dapat melawan Amangjalu di
dalam tempat ini."
Selesai berkata begitu, Sena cepat membo-
pong tubuh Palupi yang masih belum pulih benar.
Tubuh Sena melesat menembus dinding goa.
10 Amangjalu murka. Dia menendang apa saja
yang ada di depannya. Juga orang-orang yang ada di situ dihajarnya sambil marah-
marah. "Bodoh...! Goblok! Kalian ini bisanya cuma makan, kawin dan tidur! Percuma aku
menghidupi kalian! Pergi semua...! Pergi...!"
Segera anak buahnya cepat pergi, sebelum
dihajar Amangjalu yang sudah kalap.
"Kau memang cari mampus Pendekar Gila.
Kali ini aku akan mencincangmu! Akan kuhisap
darahnya...! Pemuda Gila!" gerutu Amangjalu seperti bicara pada dirinya sendiri.
Lalu mencabut keris pusakanya. Keris itu bentuknya panjang, dua kali lipat keris
biasa. Hanya ada tiga lekukan. Keris berwarna kemerahan itu mengandung racun
ganas. Diangkatnya senjata pusaka itu ke atas kepala, lalu cepat diturunkan dan
kemudian diciumnya. Keris itu, tak lain milik Raden Sasakajiwo.
Yang diambil dari mayatnya.
Sementara itu Pendekar Gila telah berada di
tepi telaga. Dia cepat menyeberangi telaga dengan menggunakan ilmu meringankan
tubuh yang sangat sempurna, sambil membopong Palupi. Sekejap
dia sudah berada di seberang sana. Lalu terus berlari dengan menggunakan ilmu
'Sapta Bayu'-nya.
Melesat lalu hilang.
Ketika tiba di luar Hutan Galasetra, tiba-
tiba sesosok bayangan berkelebat di udara sambil bersalto, ke arah Pendekar Gila
yang sedang mem-
bopong Palupi. "Heh...?"


Pendekar Gila 31 Peti Mati Untuk Pendekar Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Plak! Plak! Sosok bayangan itu langsung melancarkan
serangan. Namun dengan cepat Sena menangkis
tendangan dan pukulan cepat orang itu. Dan seketika hatinya terkejut bukan
kepalang. "Hah"!" gumam Sena kaget, "Guru.... Maafkan saya...!" ucap Sena menjura.
Ketakutan. Palupi sudah berada dalam bopongan lelaki
yang tak lain Singo Edan. Lelaki tua itu tertawa sambil menggaruk-garuk kepala.
"Sena, Sena...! Kau memang muridku yang
hebat. Aku bangga. Tapi kau sedikit lengah. Hing-ga Putri Palupi dapat aku
rebut," ucap Singo Edan kalem. Sena diam, tak menjawab. Menunduk lalu
menggaruk-garuk kepala seperti gurunya. Singo
Edan terus tertawa-tawa.
"Sena, hadapi Amangjalu! Biar Putri Palupi aku yang bawa ke Kawilangit. Ingat
pesanku, jangan kasih hati manusia buruk itu!" ucap Singo Edan. Lalu tanpa
berkata apa-apa lagi dia melesat pergi meninggalkan Sena. Hanya dengan sekali
lompat ke udara, Singo Edan sudah hilang dari
pandangan. Sena berdecak kagum. Lalu menggaruk-
garuk kepala dan cengar-cengir.
"Untung guru datang menjemputku, kalau
tidak aku harus menyembunyikan ke mana Putri
Palupi...! Hi hi hi...!" gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala lagi. Namun
baru saja dia berba-
lik dan melangkah, tiba-tiba...,
"Heaaa...!"
Degk! Plak! Plak! "Heit...!"
Ternyata Amangjalu telah datang dan lang-
sung menyerang dengan cepat. Untung Sena cepat
menangkis serangan itu, dengan tangan kirinya.
Lalu menghantam tengkuk Amangjalu. Hingga
Amangjalu tersungkur ke tanah. Namun lelaki itu cepat berdiri lagi dengan
membuat gerakan silat.
Pendekar Gila pun siap menghadapinya. Sambil
cengengesan Sena berkata dengan nada mengejek.
"Hi hi hi... lucu! Ada anjing busuk mau ngejar daging mentah! Kau sebaiknya
pulang dan ti- dur saja!"
Mendengar itu Amangjalu membelalakkan
matanya. Namun coba mengendalikan amarahnya.
Sebab dia tahu Pendekar Gila tak boleh dilawan
dengan kemarahan.
Amangjalu tiba-tiba menghentakkan kedua
tangannya ke arah samping, dengan menggunakan
tenaga dalam yang menakjubkan. Seketika keluar
dari telapak tangannya selarik sinar biru. Dan kemudian mengangkat kedua
tangannya. Seketika
terangkat sebuah peti mati dari balik semak-
semak. Dan dengan menghentakkan tangannya la-
gi ke bawah, peti mati itu jatuh di sebelah kiri Pendekar Gila.
Brakk! Pendekar Gila tak bergerak untuk menghin-
dari atau terkejut. Dia hanya melirik sebentar. La-
lu cengengesan, sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hebat juga tikus ini...!" gumam Sena dalam hati. Matanya menatap tajam ke arah
Amangjalu. "Ha ha ha...! Aku masih memiliki satu peti mati lagi untukmu Pendekar Gila! Dan
kali ini kau benar-benar akan menempati peti mati ini untuk
selama-lamanya! Ha ha ha...!" seru Amangjalu merasa yakin kali ini dia bisa
menaklukkan Pendekar Gila. Kemudian cepat mencabut keris di pinggangnya, dengan
tangan kanan. "Hi hi hi..., kau rupanya yang sudah bosan hidup. Peti mati itu yang pantas,
untuk orang licik dan jahat sepertimu!" kata Sena dengan nada mengejek, sambil
menepuk-nepuk pantat dan
menggaruk-garuk kepala, "Dan sudah kukatakan tadi, sebaiknya kau tidur saja,
kalau masih ingin berumur panjang...!"
Amangjalu mengamati keris itu sejenak,
kemudian perhatiannya dialihkan pada Sena.
"Kalau aku tidak mau"!" sahut Amangjalu, bernada tantangan.
"Terpaksa aku akan menggunakan kekera-
san!" tegas dan mantap kata-kata yang keluar dari mulut Sena.
Amangjalu tersenyum lebar.
"Aku ingin tahu, apakah kemampuan yang
kau miliki sedahsyat ucapanmu."
Darah muda Sena meluap mendengar sam-
butan bernada tantangan ini. Meskipun demikian, masih dicobanya untuk menahan
diri. Padahal, perasaannya hampir tidak terkendalikan. Keris
yang berada di tangan Amangjalu telah membuat
perasaannya hampir tidak bisa terkendalikan.
Memang keris itu dikenalinya betul, milik Raden Sasakajiwo! Tidak ada lagi orang
yang memiliki keris seperti itu kecuali Raden Sasakajiwo.
Sena tahu betul, keris itu tidak pernah ter-
pisah dari Raden Sasakajiwo. Sebab itulah, ha-
tinya merasa khawatir melihat keberadaan keris di tangan Amangjalu itu. Apalagi
dalam keadaan tanpa warangka. Jelas, telah terjadi sesuatu atas diri Raden
Sasakajiwo. Sena hampir tidak sabar mendapatkan jawaban dari Amangjalu.
"Aku tidak ingin bertarung denganmu," jawab Sena setelah menghela napas berat
untuk menenangkan hati. "Aku hanya minta, beritahu-kanlah padaku dari mana keris itu
kau dapat?"
Amangjalu tersenyum mengejek.
"Rupanya kau termasuk orang yang mudah
menjilat ludah yang telah jatuh ke tanah, Anak
Muda. Sebelumnya, kau mengatakan ingin tahu,
dari mana keris ini kudapatkan. Sekalipun, untuk itu harus dengan jalan
kekerasan. Sekarang kau
mengatakan tidak ingin bertarung denganku. Lu-
cu! Lucu sekali! Pendekar Gila yang menggempar-
kan dunia persilatan ternyata hanya seorang yang tidak mempunyai pendirian!"
Pendekar Gila malah cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala. Ucapan Amangjalu tadi
membuat hati Sena ingin segera menghajarnya.
Belum pernah dirinya dilecehkan seperti itu. Padahal, Pendekar Gila sendiri
paling benci pada
orang yang tidak mempunyai pendirian.
"Jaga mulutmu! Aku bukan orang seperti
yang kau tuduhkan!" dengus Pendekar Gila, keras sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kalau begitu, mengapa maksudmu dibatal-
kan untuk menempurku"!" sergah Amangjalu cepat "Atau kau merasa gentar"!"
"Tidak ada takut dalam hidupku!" sambut Pendekar Gila.
"Kalau begitu..., tunggu apa lagi"! Dengar, Pendekar Gila! Aku bersedia
memberitahukan padamu, apa-bila kau mau menyerahkan Palupi."
Sena tidak langsung menjawab pertanyaan
itu. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihem-
buskan kuat-kuat untuk menenangkan hati.
Dia teringat pesan Singo Edan, bahwa
Amangjalu licik dan penuh tipu muslihat Sena lalu kembali cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala. Seraya berkata, "Kau memang manusia keparat yang mesti
dilenyapkan sekarang juga.... Agar bu-mi ini tidak kotor!" ejek Sena.
"Kurang ajar! Terimalah ini. Heaaa...!"
Amangjalu naik pitam, dilemparkannya ke-
ris itu ke arah Pendekar Gila. Keris meluncur deras memburu Sena. Dengan gerakan
cepat Sena mengelak sambil merebahkan tubuh ke belakang.
Kemudian berjumpalitan ke belakang.
Namun dengan gerakan cepat pula Sena ta-
hu-tahu sudah di udara bersalto beberapa kali, la-lu melancarkan tendangan ke
arah Amangjalu.
"Heaaa...!"
"Heit..!"
Plak! Plak! Plak!
Degk! Degk! "Uts...!"
Amangjalu memekik, lalu terhuyung-
huyung ke belakang, terkena pukulan Pendekar
Gila yang telak mengenai ulu hatinya. Amangjalu marah bukan main. Kini sudah
mengeluarkan jurus-jurus mautnya. Dalam sekejap dari telapak
tangannya yang dihentakkan keluar selarik sinar api, meluncur dahsyat ke arah
Sena. Craats! Glarrr...! Serangan Amangjalu gagal, tak mengenai
sasaran. Karena Pendekar Gila memapakinya den-
gan 'Inti Brahma' pula. Sehingga api yang dile-
paskan Amangjalu beradu dengan bola api ajian
Pendekar Gila yang bergulung-gulung.
"Aaakh...!"
Tubuh Amangjalu terpental lima tombak ke
belakang, membentur batu. Mulutnya memekik
keras. Namun lelaki jahat itu masih mampu bang-
kit berdiri lagi dengan gagah. Sedangkan Pendekar Gila tak sedikit pun
tergoyahkan. Namun sempat
bingung juga karena lawannya ternyata cukup
tangguh. Di sini Amangjalu mulai marah, hingga se-
rangannya banyak yang gagal, dengan mudah da-
pat dielakkan oleh Sena. Pendekar Gila sengaja
memancing kemarahan lawan.
"Aku sudah bersumpah akan memasukkan
kau ke dalam peti mati yang kubuat sendiri, Pe-
muda Edan...! Heaaa...!" sambil mendengus
Amangjalu terus mencecar Pendekar Gila dengan
jurus Cakar Iblis yang berbahaya itu.
Namun Sena tak mau kalah. Dengan jurus,
'Si Gila Menyambar Mangsa', Pendekar Gila me-
lompat ke atas pohon. Sambil berayun dia menye-
rang Amangjalu, yang kini berada di bawah. Tak
pelak lagi kepala Amangalu kena hajar pukulan
Pendekar Gila. Degkh! Plak! "Aaaakh...!"
Tubuh Amangjalu melintir lalu roboh. Pen-
dekar Gila cepat mendaratkan kakinya ke tanah.
Sambil cengengesan Sena tertawa-tawa, melihat
lawannya terjungkal. Walaupun tingkahnya ko-
nyol, tapi sebenarnya Pendekar Gila tetap waspa-da.
"Huukhh...!"
Amangjalu terus menyerang sambil meme-
gangi kepalanya yang dirasakan seperti mau copot.
Pandangannya mulai berkunang-kunang.
"Kenapa kau, Tikus Busuk! Mabuk"! Atau
ngantuk...! Hi hi hi...!" ejek Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan bertingkah
seperti orang gi-la. "Sebenarnya aku bisa membunuhmu lebih cepat. Tapi aku tak
mau membunuh orang yang se-
karat..." Amangjalu mendengar ucapan Sena, mera-
sa tercambuk hatinya. Dengan sisa-sisa tenaganya kedua kakinya menghentak keras
ke tanah, mengakibatkan getaran kuat di sekelilingnya.
"Hebat juga kunyuk satu ini. Jurus apa lagi yang akan digunakan..."!" gumam
Pendekar Gila sambil cengar-cengir dan menggaruk-garuk kepala.
Amangjalu mengerahkan jurus pamung-
kasnya, 'Seribu Iblis'! Seketika Amangjalu berubah jadi banyak. Gerakan
tangannya sangat cepat me-rentang dan menghentak ke depan.
Melihat hal itu Pendekar Gila segera menge-
rahkan jurus 'Si Gila Membelah Mega' gabung
dengan ajian 'Tamparan Sukma'!
Amangjalu kini berjumlah delapan. Entah
yang mana Amangjalu asli. Kedelapan sosok itu
menyerang Pendekar Gila berbarengan dengan
berlompatan di udara.
Blar! Blar! Ledakan terjadi kembali. Kali ini lebih dah-
syat. Karena jurus dan ilmu yang mereka gunakan sangat tinggi.
"Aaaakh...!"
Amangjalu memekik panjang. Seketika
kembali hilang ketujuh jelmaannya. Tinggal
Amangjalu yang asli terpental, lalu bergulingan di tanah. Mulutnya memuntahkan
darah segar. Sementara Sena, hanya terhuyung beberapa
langkah ke belakang sambil tetap tegak kuda-kuda kakinya. Matanya tajam ke arah
Amangjalu. "Hueek...!"
Amangjalu kembali muntah, cukup banyak
darah yang keluar. Dia berusaha bangun sambil
memegang dadanya yang terasa sesak.
"Edan! Orang ini memang setan, bukan ma-
nusia. Cukup kuat daya tahannya. Aneh. Biar, aku ingin tahu sampai di mana
kemampuannya...,"
gumam Sena dalam hati sambil menepuk-nepuk
pantatnya. "Kau memang hebat, Pendekar Gila...," puji Amangjalu, dengan pandangan mata
tajam. Suaranya bergetar menyimpan amarah yang luar bi-
asa. "Tapi kali ini kau akan mampus...!"
"Lebih baik kau tidur saja, Kutu Busuk!
Atau aku akan mengirimmu ke neraka..."!" ejek Sena lagi. Mulutnya cengengesan
sambil ber-jingkrakan persis kera dan menepuk-nepuk pan-
tatnya. Mendengar ejekan itu Amangjalu makin geram. Dia berteriak keras dan
melesat menyerang
Pendekar Gila, dengan jurus 'Cakar Iblis' di gabung dengan 'Cakar Tengkorak'!
Sebuah jurus ga-
bungan yang sangat dahsyat. Jika terkena cakaran dan totoknya, orang bisa mati
seketika, karena jalan darahnya terhenti, beku dan membiru.
"Hiaaaa...!"
"Hah"!"
Sena tersentak ketika melihat Amangjalu
sudah berada di udara dengan menyeringai bagai
harimau hendak menelan mangsanya.
Pendekar Gila terpaksa mencabut Suling
Naga Sakti-nya, untuk melindungi diri.
Srett! Jlegaarrr...! "Uaaaakh...!"
Ledakan dahsyat terdengar bersamaan den-
gan hantaman Suling Naga Sakti yang memapaki
serangan Amangjalu. Membuat dada manusia ja-
hat itu remuk berlubang. Karena Suling Naga Sak-ti Pendekar Gila dengan telak


Pendekar Gila 31 Peti Mati Untuk Pendekar Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadi mengenai sasaran.
Seketika tubuh Amangjalu pun terpental
jauh. Pada saat itu pula Pendekar Gila dengan cepat menendang peti mati yang tak
jauh dari tem- patnya dengan menggunakan tenaga dalam. Peti
mati meluncur di tanah. Dan berhenti, tepat di
tempat jatuhnya tubuh Amangjalu yang sudah lu-
ka parah itu. Amangjalu pun jatuh ke dalam peti mati yang sudah terbuka
penutupnya itu. Amangjalu sudah tak bernyawa lagi. Ternyata tubuhnya remuk di
bagian dada. Matanya melotot. Kemudian peti mati itu pun menutup sendiri.
Brakk! Pendekar Gila menghela napas dalam-
dalam. Keringat sudah membasahi seluruh tubuh-
nya. "Aku tak mau membunuh, tapi keadaan
yang memaksaku untuk berbuat itu. Apa boleh
buat...!" gumam Pendekar Gila. "Mungkin ini kehendak Hyang Widi. Sebagai hukuman
bagi orang durjana seperti kamu...," tambah Sena lagi. Lalu menggaruk-garuk kepala sambil
menatap mayat Amangjalu yang berlumuran darah.
Dari kejauhan tampak serombongan pasu-
kan berkuda menuju ke tempat Sena. Pendekar
Gila mengerutkan kening, dan siap menghadapi
apa yang akan terjadi.
"Siapa mereka" Orang-orang Amangjalu..."!
Atau...?" ucapan Sena tak berlanjut, karena salah satu di antara penunggang
kuda, dikenalinya.
"Aku kira kau sudah menjadi makanan cac-
ing, Sena...," ajar Ki Rasito berseloroh sambil tersenyum. Lalu turun dari
punggung kudanya.
"Aha, bagaimana Ki Rasito dapat menemu-
kan aku di sini..."!" tanya Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Bau tubuhmu dari jauh sudah tercium,
Kak Sena...," terdengar suara lembut berseloroh dari seorang wanita muda.
"Putri Palupi...?" gumam Sena sambil menoleh ke sebelah kiri. Sejenak dia
tertegun melihat kecantikan alami dari wajah Palupi.
Putri Palupi tersenyum, lalu melompat tu-
run dari punggung kuda, menghampiri Sena yang
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Terima kasih, Kak Sena. Kau telah menye-
lamatkanku...," ucap Putri Palupi lembut.
"Kakang Singo Edan tak dapat ikut, Sena.
Dia hanya pesan kau harus lebih hati-hati. Karena rimba persilatan semakin
keruh. Banyak tokoh jahat dan sesat akan mencoba dan membunuhmu,"
tutur Ki Rasito menyampaikan pesan Singo Edan.
"Apakah Raden Sasakajiwo dan Bratamurti
ada di Kawilangit...?" tanya Sena penasaran. Dirinya ingin tahu lebih jelas
keberadaan Raden Sasakajiwo dan Bratamurti. Walaupun dia telah
menduga kalau keduanya telah dibunuh oleh
Amangjalu. Sebab, keris Raden Sasakajiwo tadi
ada di tangan Amangjalu.
"Kakang Singo Edan menemukan mayat
mereka. Dan membawanya ke Kawilangit. Tapi itu
bukan salahmu, Sena. Hyang Widi telah mene-
tapkan hidup dan mati manusia. Kami semua me-
rasa kehilangan...," ujar Ki Rasito.
Sena menghela napas panjang. Lalu mena-
tap Putri Palupi yang menunduk sedih, air ma-
tanya menetes di pipi. Sena mengerutkan kening
dan berkata, "Maafkan saya, Tuan Putri...."
"Tidak perlu kau minta maaf, Kak Sena.
Aku rela, dan telah menyadari semuanya. Benar
apa yang dikatakan Paman Rasito...," ucap Palupi lemah, lalu mengusap air mata
yang membasahi pipinya. "Mari, kita kembali ke Kawilangit. Semua-
nya sudah berakhir, Sena. Ayo...!" ajak Ki Rasito kemudian. Sepuluh prajurit
yang menyertai Ki Rasito dan Putri Palupi, nampak ikut gembira, melihat
Amangjalu telah mati di tangan Pendekar Gila.
Mereka kembali ke Kerajaan Kawilangit
dengan tenang. Meninggalkan tempat kotor itu.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Neraka Hitam 8 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Cakrabuana 4
^