Prahara Di Gunung Kematian 2
Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian Bagian 2
Suasana sangat mengerikan sekali. Bau amis darah tercium. Semuanya bergeletakan
dengan tubuh yang tidak lengkap. Sisa asap masih membubung dari rumah-rumah yang
terbakar. Hatinya marah menyaksikan mayat-mayat itu. Yang membuatnya murka, ketika melihat
beberapa orang wanita yang mati dalam keadaan telanjang bulat. Ada di antara
mereka dari selangkangannya mengalirkan darah.
Dengan sigap Sena meneliti mayat-mayat itu satu persatu. Lalu menemui satu mayat
yang dadanya jebol. "Ki Lurah!" desisnya. Dan perasaannya semakin terpukul
melihat kenyataan ini.
Ia menyesali kejadian ini, kejadian yang tak pernah disangkanya sebelumnya.
Padahal, ia hanya menyelidiki tentang gerombolan yang pernah menyerang desa itu
sebelumnya. Namun rupanya, orang-orang gerombolan itu lebih dulu datang dan
menyerang, selagi ia tidak berada di sana.
Sementara satu sosok tubuh menunggang kuda putih tiba di tempat itu. Keningnya
berkerut, la adalah Sekar Wangi yang hanya terheran-heran melihat mayat-mayat
bergeletak dan bau amis darah tercium.
Ia melihat seorang pemuda berompi kulit ular sedang terpekur di salah satu mayat
yang ada di sana. Ia melompat turun, tidak berbuat apa-apa,
hanya berdiri tegak. Ia yakin kalau laki-laki yang mengenakan rompi dari kulit
ular itu dan telah membuatnya malu kemarin pagi, mengenal orang-orang ini.
Ia melihat Sena jatuh terduduk dengan kepala terlungkup ke tanah. Nampak sangat
menyesali diri.
Dan mendadak saja Sekar Wangi terkesiap, karena pemuda itu berdiri dan sambil
menjerit keras, ia menghentakkan kedua tangannya ke empat penjuru angin.
Serangkum angin, besar terdengar. Rupanya, saking marahnya, Pendekar Gila
melampiaskan kemarahannya dengan mengeluarkan ajian 'Inti Bayu'
yang menerpa dan segera menerbangkan pohon-pohon yang tumbang, rumah-rumah yang
terbakar dan mayat-mayat yang bergeletakan.
Entah mengapa melihat hal itu, Sekar Wangi menjadi pilu. Padahal yang dilakukan
Sena sangat mengerikan.
'Tuan Pendekar... hentikan semua ini!" desisnya.
Namun Sena masih terus melakukannya dengan hati marah. Sampai kemudian ia jatuh
terduduk dan menangis tersedu-sedu. Hati Sekar Wangi menjadi pilu. Perlahan-
lahan ia mendekatinya dan memegang kedua pundak Sena.
'Tuan... sabarlah...."
Sena masih menangis. "Hu hu hu... mengapa hal ini harus terjadi" Mengapa" Oh,
Gusti... siapa yang melakukan semua ini?"
Hati Sekar Wangi semakin pilu. Rasa marah dan dendamnya pada Sena menghilang. Ia
pun berlutut di samping Sena.
"Sudahlah... semuanya sudah terjadi...." Entah apa yang menggerakkan semua ini,
mendadak saja Sekar
Wangi merangkul Sena yang masih menangis.
Mengusap-usap kepalanya dan berkata, "Tabahlah...
akan kita cari siapa yang telah melakukannya...."
Sena masih menangis di dada Sekar Wangi,
sampai ia mengangkat kepalanya lagi. Sekar Wangi mengira ia masih melihat air
mata yang keluar, tetapi justru pemuda itu sekarang cengengesan.
Sekar Wangi mengerutkan keningnya. Kenapa jadi begini"
"He he he... aku sedih melihat semua ini. Ini salahku, salahku..."
"Mengapa?" tanya Sekar Wangi yang semakin heran. "Tadi pemuda ini menangis,
sekarang malah cengar-cengir. Apakah pemuda ini... gila?" desisnya dalam hati.
Sena duduk bersila, di antara puluhan mayat, begitu pula dengan Sekar Wangi. ,
"He he he...
seharus-nya aku tidak meninggalkan desa ini kemarin. Ah, semuanya memang sudah
terjadi. Benar kata-katamu itu, Nona manis..."
Sekar Wangi hanya mengerutkan keningnya.
Apakah karena melihat pemandangan yang mengerikan seperti ini sehingga pemuda
itu jadi kacau bicaranya"
"Tuan, namaku Sekar Wangi."
"Hmm, nama yang bagus. Bagus sekali. Namaku Sena...," sahut Sena sambil
cengengesan dan menjabat tangan Sekar Wangi yang terulur. Setelah menjabat
tangan itu, ia mencium telapak tangannya sendiri. "He he he... wangi, wangi
sekali..."
Sekar Wangi jadi tertawa sendiri. Seluruh rasa kesal dan dendamnya karena
dipermainkan Sena waktu itu menghilang. Kini ia yakin, kalau pemuda ini tidak
gila karena mayat-mayat yang bergeletakan.
Sikapnya memang sudah tenang, tetapi sekali-sekali masih menunjukkan rasa
sedihnya. "Kakang Sena...," panggil Sekar Wangi dan ia tidak meneruskan kata-katanya
karena Sena sudah memotong dengan gembira.
"Haya! Betul itu, betul sekali. Kakang Sena... he he he... enak sekali kedengarannya. Ada
apa, Rayi Sekar" Wah, wah... pas sekali. Kayak sepasang kekasih yang sedang
memadu kasih...," Sena menggaruk-garuk kepalanya.
Sekar Wangi tertawa dengan tersipu.
"Hmm, apakah Kang Sena tahu siapa yang
melakukan semua ini?" tanyanya kemudian.
"Pasti, siapa lagi kalau bukan Gerombolan Iblis dari Pacitan yang melakukannya."
Mendengar jawaban Sena, Sekar Wangi tersentak.
"Oh, Gusti! Gerombolan Iblis dari Pacitan?"
"Ya, pasti mereka. Karena, beberapa hari yang lalu mereka gagal menyerang desa
ini. Ah, sebenarnya...
he he he... aku sudah yakin kalau mereka akan kembali lagi menyerang. Tetapi,
aku sudah telanjur melangkah untuk mencarinya."
"Kakang tahu di mana mereka bermukim?"
"Di Gunung Kematian."
"Oh, jauhkah dari sini?"
"Cukup jauh, Rayi Sekar. Kira-kira... sehari satu malam bila menunggang kuda....
He he he... kalau berjalan kaki, bisa encok kita."
Sekar Wangi terdiam. Ia teringat kembali akan tugasnya keluar dari pesisir Laut
Kidul. Untuk mencari gerombolan itu yang telah membunuh kedua orangtuanya.
Melihat Sekar Wangi terdiam, Sena bertanya, "Rayi Sekar... apakah ada masalah
dengan Gerombolan
Iblis dari Pacitan?"
Sekar Wangi menganggukkan kepalanya. Lalu berceritalah ia seperti yang
diceritakan oleh gurunya tentang orangtuanya yang telah dibunuh oleh Rodopalo,
Ketua Gerombolan Iblis dari Pacitan.
"Hmmm, sepertinya kita punya tugas yang sama,"
kata Sena kemudian. "Aku juga mempunyai tugas untuk menghancurkan gerombolan
itu..." "Kang Sena, katamu kau bentrok dengan mereka beberapa hari yang lalu di sini.
Benarkah?"
"Ya, Rayi...."
"Ceritakan, Kakang... aku ingin tahu bagaimana ciri-ciri Rodopalo itu?"
Sena pun akhirnya bercerita.
*** Malam itu, sudah hampir menjelang subuh, ketika Sena alias Pendekar Gila
memasuki Desa Sawo Jajar.
Ia sama sekali tidak menyangka kalau di Desa Sawo Jajar sedang terjadi bentrokan
yang hebat. Antara penduduk dengan orang-orang yang berpakaian hijau lumut.
Sena juga melihat seorang laki-laki setengah baya yang sedang gigih
mempertahankan diri dan memberikan komando pada yang lainnya.
"Jangan mundur! Kita hancurkan mereka!"
serunya gagah sambil mengibaskan tombaknya ke sana kemari dan menimbulkan
desingan angin yang cukup kuat.
Orang-orang yang menyerang Desa Sawo Jajar, terdiri dari tiga puluh orang,
dengan keganasan yang semakin menjadi-jadi. Dalam beberapa menit saja, sudah
terlihat kalau para penduduk sudah terserang
hebat. Saat itulah, Sena melentingkan tubuhnya dan terjun dalam pertempuran itu. Dengan
mempergunakan 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' ia menghajar para penyerang Desa
Sawo Jajar dengan hebat dan cepatnya. Tubuhnya meliuk-liuk dengan manisnya
seperti menari dan tangannya sekali-sekali menepuk.
Sekilas memang hanya bagai tepukan belaka, namun hasil yang terjadi sangat luar
biasa. Tubuh lawan yang terkena tepukan-nya akan terhuyung ke belakang dan bisa
mati seketika dengan meninggalkan bekas di dada lawan.
Melihat kemunculan seorang pemuda yang
berompi dari kulit ular, membuat para penduduk desa bersemangat. Terutama laki-
laki setengah baya yang menyerang dengan menggunakan tombak. Ia adalah Ki Lurah
Somata yang terjun langsung dan memberikan semangat para penduduk.
Sudah tentu dengan kemunculan Sena, orang-orang ganas yang menyerang Desa Sawo
Jajar menjadi terhenyak. Mereka memperkirakan, kalau tidak segera membunuh
pemuda yang menyerang sambil cengengesan itu, akan membahayakan kedudukan
mereka. Dan mendadak tiga orang segera mengurungnya dengan golok tajam di tangan.
"Anjing buduk! Siapa kau?" membentak salah seorang yang berwajah seram dan
memiliki codet di pipi kanannya.
Sena cuma terkekeh saja.
"He he he... namaku Sena. Orang-orang menjuluki Pendekar Gila."
"Hhh! Kau memang patut menyandang julukan seperti itu, Orang gila!" serunya
sambil menyerang.
Dan seperti dikomandoi, kedua temannya pun ikut menyerang dengan ganasnya.
Golok-golok tajam yang berada di tangan mereka berkelebat dengan cepat dan
ganas. Pendekar Gila hanya terkekeh-kekeh saja, sambil bergerak bagaikan menari.
Dan sekali-sekali melepaskan pukulannya yang seperti menepuk.
"He he he... siapa sebenarnya kalian ini yang kerjanya hanya merampok dan
membunuh saja?"
seru Sena sambil menghindar dan membalas dengan santainya.
"Keparat busuk! Kau seharusnya bertekuk lutut dan bersujud di hadapan kami,
hah!" "He he he... di depan kaki buduk" Wah, wah...
tidak mau! Tidak mau!"
"Orang gila keparat! Cepat kau bersujud di hadapan kami, Gerombolan Iblis dari
Pacitan!" seru si Codet sambil terus menyerang dengan cepat, begitu pula dengan
kedua temannya. Namun sampai sejauh ini mereka belum mendapatkan hasil yang
memuaskan. Sementara itu pertempuran antara para penduduk dengan orang-orang jahat itu
semakin bertambah seru. Kali ini kemenangan berada di pihak para penduduk.
Ki Lurah Somata dengan cepat dan tangkasnya merangsek maju ke penyerang-
penyerang itu, sehingga sedikit banyaknya mereka mulai terpukul mundur.
Sedangkan Sena kali ini sudah tidak ingin bertindak tanggung lagi. Mendadak saja
ia meliuk-liukkan tubuhnya dan tiga buah tepukan mengenai dada lawannya. Yang
langsung ambruk berkalang tanah.
Melihat keadaan yang tidak memungkinkan dan suasana yang mulai kacau-balau,
sisa-sisa penyerang itu segera melarikan diri dengan kuda-kuda mereka.
"Hayo, hayo! Jangan lari! Pegang! Pegang!" seru Sena sambil berjingkrakan,
membuat Ki Lurah Somata hanya tersenyum saja. Lalu menghampirinya.
'Tuan Pendekar... terima kasih atas bantuanmu...,"
katanya sementara yang lain sedang mengangkuti mayat-mayat teman mereka, atau
memberi pertolongan pada yang terluka.
Sena menggaruk-garukkan kepalanya.
"He he he... sebagai sesama manusia, kita memang wajib tolong menolong.... He he
he sudah tentu dalam kebaikan, Ki..."
"Aku Lurah di sini. Orang-orang memanggilku Ki Lurah Somata."
"He he he... namaku Sena. Orang-orang menju-lukiku Pendekar Gila... he he he...
aku tidak gila sebenarnya.... Ya, ya... aku tidak gila...."
Sementara itu, pagi semakin menjelang dan suasana yang biasanya hiruk-pikuk
dengan kegiatan sehari-hari, kali ini mereka sibuk dengan menggali tanah untuk
mengubur kawan-kawan mereka yang menjadi mayat.
Suara jerit dan tangis terdengar memilukan dari sanak famili yang ditinggal
mati. Lebih memilukan dari seorang wanita yang sedang hamil tua, begitu
menyadari suaminya sudah meninggal. Wanita itu jatuh pingsan dan langsung diberi
pertolongan. Ki Lurah Somata hanya menghela nafas panjang.
Sedih bercampur pilu. Lalu ia berkata pada Sena,
"Mari kita ke tempat tinggalku."
Tempat tinggal Ki Lurah Somata sama seperti kebanyakan rumah-rumah yang ada di
sana. Keduanya duduk di pendopo. Tidak ada air minum dan sedikit makanan. Suasana
dalam keadaan tidak enak.
"Ki Lurah... siapakah sebenarnya orang-orang itu?"
tanya Sena setelah kebisuan meraja beberapa saat.
"Ah...," Ki Lurah Somata mendesah. "Mereka adalah para begundal dan perampok
yang kejam, Nak Sena...."
Sena menggaruk-garukkan kepalanya. "Mereka menyebut diri Gerombolan Iblis dari
Pacitan. Benar?"
"Ya."
"Siapakah pemimpin mereka, Ki Lurah?" tanya Sena cengengesan. Seolah tanya jawab
yang dilakukannya dengan Ki Lurah Somata tidak ada artinya. Tetapi, memang
seperti itulah sifat Pendekar Gila. Sepertinya tidak serius, padahal ia sangat
serius. "Hmmm... namanya Rodopalo. Laki-laki yang terkenal sangat kejam dan telengas.
Tidak pandang bulu. Kekejaman mereka sudah lama terdengar, dengan seringkalinya
mereka merampok para pedagang di daerah perbatasan atau pula di Hutan Bawengan.
Yah, kekejaman itu sangat mengerikan sekali..."
"Apakah tidak ada upaya pemberantasan
mereka?" "Sudah berulang kali. Namun, Gunung Kematian di mana tempat mereka bermukim,
sangat menyeramkan. Sementara penjagaan yang ada di sana sangat ketat sekali."
"He he he... dan jalannya, pun seram, bukan?"
"Begitulah keadaannya, Nak Sena...."
"Kalau begitu... saya akan mendatangi tempat itu."
"Oh! Nak Sena...," Ki Lurah Somata terbelalak dan tidak jadi berkata apa-apa
karena Sena sudah
memotong. "He he he... sekalian berjalan-jalan. Tempat itu sudah tentu sangat indah,
bukan?" Ki Lurah Somata hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dulu, dulu sekali. Tetapi sekarang, seperti namanya, gunung itu menyimpan
banyak misteri yang mengerikan...."
Tetapi Sena tetap pada tekadnya untuk mendatangi tempat itu. Jiwanya yang paling
tidak suka bila melihat kejahatan, memberontak.
Pagi itu pula ia berpamitan menuju Gunung Kematian.
*** Sena mendesah panjang, "He he he... begitulah ceritanya, Rayi Sekar.... Mengapa
sampai aku merasa dekat sekali dengan orang-orang ini."
Sekar Wangi mendesah panjang. Rasa bencinya pada Rodopalo berikut gerombolannya
semakin menikam dadanya. Semakin membuatnya muak
bercampur marah yang sangat besar.
"Lalu, apa yang hendak Kang Sena perbuat
sekarang?" tanyanya sambil menatap Sena. Ah, pemuda ini sangat tampan sekali.
Sikapnya meskipun agak tidak waras, namun mencerminkan kebijak-sanaannya. Di
matanya ada kilatan Jenaka. Sena cengar-cengir.
"Sudah pasti aku akan memburu Gerombolan Iblis dari Pacitan."
"Kalau begitu aku turut bersamamu."
Sena terbelalak.
"Hah" Bersama dengan gadis cantik?" Kening
Sekar Wangi berkerut.
"Kang Sena keberatan?"
"He he he... sudah tentu tidak, Manis.... Malah sangat mengasyikkan."
Wajah Sekar Wangi memerah. Tiba-tiba ia berdiri dengan jengahnya, ketika
terbayang kembali bagaimana Sena memeluk dan menindihnya waktu itu.
Sena pun berdiri. Menepuk-nepuk pantatnya yang berdebu.
"Kenapa membelakangiku?" tanyanya sambil
cengar-cengir. Lalu melangkah berhadapan dengan Sekar Wangi. "He he he...
wajahku yang ganteng ini tiba-tiba jadi jelek, ya?"
"Ah, Kang Sena ini!" seru Sekar Wangi sambil melompat ke kudanya dan langsung
menggebraknya. "Hei, mau kemana?" seru Sena.
"Ke Gunung Kematian!" sahut gadis itu sambil menghentikan laju kudanya.
Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa tidak bersamaku?"
"Kang Sena menolaknya tadi!"
"He he he... tidak, Manis... sudah tentu tidak!"
Tetapi Sekar Wangi sudah jengah, lalu ia
menggebrak laju kudanya.
"Hei!" seru Sena. Tetapi Sekar Wangi terus menjalankan kudanya. "Kita belum
menguburkan mayat-mayat ini?" seru Sena pula sambil menggaruk-garukkan
kepalanya. Tiba-tiba ia mendengus, "Hhh!
Jelita Penunggang Kuda!"
Bersamaan dengan.itu, bermunculan para wanita dan anak-anak yang bersembunyi di
Hutan Gamis. Karena cukup lama menunggu tidak ada yang muncul juga, mereka sepakat untuk
segera kembali ke desa.
Dan alangkah terkejutnya mereka begitu melihat mayat-mayat bergeletakan.
Bergegap gempita mereka
berlarian mencari suami dan sanak famili.
Tangis berkepanjangan pun terdengar.
Sena hanya berdiri mematung tanpa bisa berbuat apa-apa Lalu perlahan-lahan ia
membujuk mereka untuk merelakan yang telah pergi.
'Tuan... cari bangsat-bangsat itu! Bunuh mereka!
Balaskan sakit hati kami!" rintih mereka sambil berlutut di hadapannya.
Sena cuma mendesah panjang. Setelah
menguburkan mayat-mayat itu seorang diri ia pun segera berkelebat, dengan satu
tujuan, menghancurkan Gerombolan Iblis dari Pacitan.
*** 5 Gunung Kematian pagi hari.
Suasana tetap menyeramkan. Kesunyian Gunung Kematian teramat menakutkan. Di
beberapa tempat tersembunyi, telah bersiaga beberapa anak buah Gerombolan Iblis
dari Pacitan. Di pendopo bangunan besar di mana Gerombolan Iblis dari Pacitan berdiam, nampak
sedang ada pesta kecil. Suasana terdengar riuh. Di empat buah pintu masuk,
berdiri dua orang penjaga dengan senjata di tangan.
Saat ini, Nyai Titir sudah kembali ke Gunung Kematian. Ia berhasil mengundang
kembali Empat Malaikat Kahyangan untuk bersatu. Dalam
menyambut kedatangan mereka, Nyai Titir khusus memerintahkan Rodopalo mengadakan
pesta. Empat Malaikat Kahyangan telah lama dikenal di rimba persilatan ini. Terdiri
dari orang-orang hitam yang kerjanya hanya membuat orang lain merana.
Namun, pertikaian terjadi sendiri di kubu Empat Malaikat Kahyangan, sehingga
akhirnya mereka tercerai-berai. Dan sekarang, Nyai Titir berhasil mengumpulkan
mereka kembali.
Nyai Titir sendiri duduk bersila sambil menuang tuaknya. Di sebelah kirinya,
berjarak satu tombak duduk seorang kakek yang mengenakan jubah berwarna putih
dengan wajah yang kekar dan menampakkan kekerasannya, la adalah Ki
Rongsowungkul atau yang berjuluk si Tua Penghuni Gunung Karang. Telah sekian
tahun Ki Rongso-
wungkul mendiami tempat itu. Ia bersenjatakan sebuah tasbih.
Di sebelah kanan Nyai Titir yang berjarak satu tombak pula, duduk seorang laki-
laki tegap yang sangat tampan. Kulitnya putih. Kumis tipis menghiasi wajahnya,
menambah ketampanannya. Ia adalah Kuntala atau yang berjuluk si Kipas Maut.
Ayunan kipasnya mampu menghancurkan batu sebesar kerbau.
Di sebelah Kuntala, berjarak satu tombak pula, duduk Nyai Priatsih yang
mengenakan pakaian berwarna hitam. Sikapnya tenang dan dingin. Ia memiliki
banyak cara untuk menyiksa lawannya sangat kejam. Ia benuluk Si Tongkat Iblis.
Ilmu tongkatnya cukup tinggi.
Sementara Rodopalo sendiri duduk di hadapan mereka.
"Mari, mari, Saudara-saudara sekalian!" katanya sambil mengangkat tuaknya. "Kira
rayakan kebersamaan ini dengan meminum tuak sampai mabuk...
ha ha ha ha!"
Suasana ruangan itu pun penuh dengan tawa.
Semuanya mengangkat tuak masing-masing.
Setelah beberapa saat, terdengar suara Ki Rongsowungkul, "Titir... kau belum
menceritakan maksudmu untuk mengundang kami di sini?"
"Ya," sahut Nyai Priatsih. "Sekarang ceritakan kepada kami, ada apa gerangan?"
Nyai Titir menunggu sampai Kuntala bertanya pula, tetapi si Kipas Maut nampak
tak acuh saja. Barulah Nyai Titir berkata, "Ha ha ha... jangan bersikap sungkan
seperti itu sesama teman. Kita masih tetap Empat Malaikat Kahyangan yang telah
lama menguasai rimba persilatan dan kini akan
menguasainya kembali...."
"Kau tahu bukan, aku tidak suka bertele-tele?"
tiba-tiba Kuntala bersuara sambil berkipas.
"Sifatmu memang tidak pernah berubah, Kipas Maut," kata Nyai Titir. "Baik, akan
kujelaskan maksudku mengundang kalian untuk berkumpul di sini. Hmmm, terus
terang, saat ini aku telah memungut seorang murid dan ia berada di hadapan
kalian sekarang ini. Dengan bantuan muridku itulah aku mengadakan perampokan,
pembunuhan dan pencurian besar-besaran. Ha ha ha... aku menyukai ini, sangat
menyukai-nya....
"Lalu, apa maksudmu mengundang kami?" tanya Ki Rongsowungkul sambil mengusap
janggutnya yang putih.
"Ha ha ha... sudah tentu untuk mengundang kalian bersatu padu dengan kami.
Dengan bergabungnya kita kembali, sudah tentu Empat Malaikat Kahyangan tidak
akan pemah terkalahkan. Hmm... apakah kalian sudah pernah mendengar tentang
Pendekar Gila?"
"Singo Edan!" seru semuanya berbarengan sambil menatap Nyai Titir.
"Ha ha ha... nama besar Singo Edan memang masih menjadi momok sampai sekarang
ini. Tetapi, aku tahu, sekarang ia menyembunyikan diri di Gua Setan," kata Nyai
Titir sambil tersenyum meremehkan.
"Lalu, siapa maksudmu dengan Pendekar Gila itu?" tanya Nyai Priatsih.
"Aku menduga, kalau Singo Edan telah mengambil seorang murid, yang sudah tentu
kesaktiannya sama dengannya."
"Dari mana kau tahu?" tanya Kuntala ya ini memperlihatkan perhatiannya.
"Karena, baru-baru ini ia menggagalkan aksi perampokan yang kami lakukan di Desa
Sawo Jajar. Ia adalah seorang pemuda yang mengenakan rompi dari kulit ular. Dan aku yakin
seyakin-yakinnya, kalau pemuda itu adalah murid dari Singo Edan yang juga
berjuluk Pendekar Gila."
"Dengan maksud untuk menghadapinyakah kau mengundang kami kembali?" tanya Nyai
Priatsih sambil mendengus.
"Ha ha ha... sudah tentu tidak. Kesaktianku semakin meningkat sekarang ini. Aku
cuma ingin mengembalikan nama besar Empat Malaikat
Kahyangan ke dunia persilatan. Apakah kalian bersedia?" Nyai Titir memandang ke
sahabat-sahabatnya.
Tak ada yang bersuara. Tiba-tiba Ki Rongsowungkul mendehem. "Titir... bukannya
aku tidak menghendaki nama besar Empat Malaikat
Kahyangan bersatu padu dan kembali merajai rimba persilatan. Namun usiaku sudah
tua... dan sebentar lagi ajal akan menjemputku. "
Nyai Titir menatap tajam, "Jadi... apa maksudmu, Rongsowungkul"''
"Sekali lagi kukatakan, aku tidak menolak bila Empat Malaikat Kahyangan bersatu
kembali. Namun, aku keberatan bila kita bergabung untuk kejahatan."
"Hei, apakah Gunung Karang telah membuatmu mematikan segala dosa-dosamu?" ejek
Nyai Titir. Ia nampak kecewa sekali karena Ki Rongsowungkul menolak
keinginannya. "Tidak. Tetapi rasa penyesalan itu datang dari diriku sendiri. Aku tidak ingin
lagi di masa tua seperti ini harus melumuri tanganku dengan dosa, Titir.
Sekali lagi kukatakan, aku minta maaf... karena telah
menolak ajakanmu."
Suasana kelihatan menegang. Satu sama lain saling berpandangan kecuali Ki
Rongsowungkul yang masih mengusap-usap janggutnya yang putih. Sampai Nyai Titir
berkata, "Hei, kalian tidak usah tegang. Ha ha ha... Ki Rongsowungkul terima
kasih atas kesediaanmu memenuhi undanganku. Tidak apa-apa, kau bisa membersihkan
dosa-dosa yang selama ini telah kau lakukan."
Ki Rongsowungkul berdiri.
"Akan kulakukan, Titir. Dan aku hanya bisa berharap, agar kalian mengikuti
jejakku untuk meninggalkan perbuatan dosa yang telah lama kita lakukan...."
Lalu dengan gerakan yang ringan sekali, Ki Rongsowungkul meninggalkan tempat
itu. Sepeninggalnya, Kuntala mendengus, "Tua bangka keparat! Masih bertingkah
rupanya! Titir, aku ikut denganmu!"
"Bagus, bagus!" sahut Nyai Titir. "Kau bagaimana, Priatsih?"
Nyai Priatsih terkekeh.
"Sudah tentu aku akan mengikutimu. Hhhh!
Terlalu bodoh bila aku harus berdiam diri di masa tuaku...."
"Bagus, bagus sekali! Mari, kita bersulang untuk kembali pada masa jaya!" Mereka
meminum tuak lagi. Lalu Nyai Titir berkata, "Empat Malaikat Kahyangan telah mati
seorang... berarti, kita tinggal bertiga...."
"Kau hebat sekali, Titir...," sahut Nyai Priatsih.
"Lalu mengapa kita berdiam saja untuk men-jadikan Empat Malaikat Kahyangan
menjadi tiga?"
Nyai Titir terbahak-bahak.
"Bagaimana Kuntala, kau setuju?"
"Sejak semula aku menyatakan persetujuanku, sudah tentu aku akan ikut denganmu
selamanya."
"Ha ha ha... bagus, bagus! Kita akan menghajar adat pada Ki Rongsowungkul! Dan
akan kita beritahu padanya, kalau salah seorang dari Empat Malaikat Kahyangan
harus mati!"
Mereka kembali terbahak-bahak.
Rodopalo yang sejak tadi berdiam diri, semula tidak mengerti maksud kata-kata
Nyai gurunya. Namun kemudian ia paham. Berarti, Ki Rongsowungkul harus mati!
*** Ki Rongsowungkul meneruskan langkahnya
dengan ringan. Ia sudah berani berkata, dan berarti berani
mempertanggungjawabkan kata-katanya. Ia paham, kalau maut sedang mengintainya.
Namun ia sudah tidak mempedulikannya. Baginya yang terpenting, ia harus
meninggalkan segala perbuatan-nya.
Sambil melangkah, Ki Rongsowungkul membuka mata dan telinganya. Karena ia yakin,
kalau ketiga sahabatnya sangat tidak menyukai tindakannya.
Lebih-lebih diucapkan dalam pertemuan mereka yang pertama.
Namun sudah bulat tekad di hati Ki Rongsowungkul, kalau ia akan meninggalkan
dunia hitam yang telah lama digelutinya. Selama ia bermukim di Gunung Karang, ia
sudah bertekad untuk mensucikan dirinya dari dosa.
Yang tak pernah disadarinya, ia selalu terbayang bagaimana jerit kematian dari
orang-orang yang
mereka bunuh. Bahkan kaum wanita pun dibunuhnya setelah diperkosa. Tidak hanya
itu, anak kecil yang masih bayi pun pernah dibunuhnya.
Dan sungguh, keadaan seperti itu teramat
menyiksa Ki Rongsowungkul. Itulah sebabnya ia bertekad untuk meninggalkan
dunianya yang lama.
Ketika Nyai Titir muncul dan menyuruhnya untuk datang ke Gunung Kematian ia
memang bersedia.
Dan Ki Rongsowungkul pun sedikit banyak sudah mencium, masalah apa gerangan yang
akan dirundingkan. Karena, Nyai Titir berkata akan mengundang pula Kuntala dan Nyai
Priatsih. Ternyata apa yang diduganya benar. Walaupun ia yakin akibat dari penolakannya
itu, namun ia sudah bertekad untuk tetap mengundurkan diri.
Apa yang diduganya ternyata benar. Begitu ia memasuki Hutan Bawengan, mendadak
terdengar derap langkah kuda yang cepat mendekatinya. Ki Rongsowungkul bersiap
dan memicingkan mata. Ia melihat tiga sosok tubuh di atas kuda-kuda itu, dan
melompat dengan jalan bersalto ke arahnya. Lalu hinggap di tanah dengan
ringannya. Ki Rongsowungkul hanya tertawa saja.
"Sudah kuduga, pengalaman yang pahit akan kualami sekarang ini," katanya sambil
tertawa dan memperhatikan tiga orang yang dulu menjadi sahabatnya. Kini
mengurungnya dengan sikap siap menyerang.
Nyai Titir tersenyum sinis.
"Rongsowungkul, kita dikenal dengan nama Empat Malaikat Kahyangan. Tetapi,
karena kau menolak untuk bersatu kembali, nama itu terpaksa harus
dihapuskan...."
"Dengan kata lain, kalian menjelma menjadi Tiga
Malaikat Kahyangan?" kata Ki Rongsowungkul dengan sikap tenang. Lalu terbahak-
bahak. "Kalau kau sudah tahu, mengapa kau tidak
membunuh diri?" ejek Kuntala si Kipas Maut sambil mengipas-ngipas dirinya.
"Aku sangat menyayangi nyawaku. Dulu, aku pun selalu mempertahankannya. Dan
sekarang, apakah aku harus berdiam diri bila bahaya menghadangku?"
kata Ki Rongsowungkul dengan sikap yang tetap tenang.
"Bagus kalau begitu!" dengus Nyai Titir sambil memutar tongkatnya. "Bersiaplah
untuk mampus!"
"Ha ha ha... kau, ingin menghadapiku seorang diri"
Jangan bermimpi, Titir. Dulu, bolehlah kau menjadi orang pertama dalam Empat
Malaikat Kahyangan.
Tetapi sekarang, jangan kau pandang dirimu sebagai orang pertama."
Nyai Titir merah padam mendengar kata-kata Ki Rongsowungkul yang bernada
mengejek. Mendadak saja ia mengempos tubuhnya dan melenting ke arah Ki
Rongsowungkul. "Orangtua keparat! Mampuslah kau! Heaaaa!"
Ki Rongsowungkul hanya tertawa saja. Tidak bergeming dari tempatnya. Tubuh Nyai
Titir menderu maju. Namun beberapa tindak lagi tongkat di tangan Nyai Titir
menghantam kepalanya, Ki Rongsowungkul mengibaskan sebelah tangannya ke depan!
Nyai Titir terhenyak sejenak, namun ia sudah tidak bisa lagi menahan tubuhnya.
Dirasakannya serangkum angin keras menerpa tubuhnya, membuatnya menjadi sedikit
oleng. Bila bukan Nyai Titir yang terkena pukulan itu, sudah jelas dadanya akan
jebol. "Hebat! Rupanya di usia senjamu ini kau masih bisa menciptakan jurus yang
ampuh!" Ki Rongsowungkul terbahak-bahak.
"Itu adalah jurus 'Pukulan Angin Gunung Karang'
yang sengaja kuciptakan untuk menandingi 'Pukulan Angin Manik'-mu, Titir! Ha ha
ha... sebuah jurus yang sangat hebat, bukan" Hmm, mana racunmu yang hebat itu"
Aku sudah lama ingin merasakannya!"
Diejek seperti itu, Nyai Titir menggeram. Lalu ia mengambil sesuatu dari dalam
kantong yang tersampir di pinggangnya. Dua ekor ular berwarna merah.
"Hmmm, kalau kau ingin bermain-main dengan racunku, lebih baik kau hadapi saja
kawanku ini."
Wajah Ki Rongsowungkul diam-diam pias. Ia tahu kalau dua ekor ular yang berwarna
merah itu adalah salah satu senjata dari Nyai Titir. Kedua ular itu dikenal
dengan sebutan 'Si Merah Pencabut Nyawa'.
Tetapi sudah tentu Ki Rongsowungkul tidak memperlihatkan rasa piasnya. Ia cuma
terbahak-bahak saja.
"Bagus, bagus sekali! Sudah lama aku ingin merasakan kehebatan si Merah Pencabut
Nyawa," katanya. "Mengapa kau tidak melepaskannya, hah?"
Nyai Titir menggeram, dengan kegeraman yang sama, dilepaskannya sepasang ular
merahnya. "Ayo, Manis... lakukan tugasmu dengan baik...,"
katanya sambil tertawa.
Sepasang ular berwarna merah itu mendesis.
Hebat, karena ular-ular itu seolah tahu siapa yang harus diserangnya. Keduanya
menjalar ke arah Ki Rongsowungkul yang menjadi waspada. Ia sudah sangat
mengetahui betapa kejamnya bisa yang keluar dari ular-ular itu.
Ular-ular itu meliuk-liuk seolah mencari sela.
Tatapan keduanya memerah, semerah kulitnya. Dan
mendadak saja keduanya meluncur ke arah Ki Rongsowungkul yang menghindar dengan
berkelit. Serangan pertama dari dua ular itu melesat.
Dan naluri yang dimilikinya tak bedanya dengan kekejaman milik Nyai Titir. Ular-
ular itu terus merangsek maju ke arah Ki Rongsowungkul yang harus berkelit
Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan sekali-sekali melancarkan 'Pukulan Angin Gunung Karang'nya.
Namun ular-ular itu jelas-jelas ular pembunuh yang terlatih. Karena keduanya
dapat menghindari setiap pukulan yang dilancarkan oleh Ki Rongsowungkul.
"Ha ha ha... bagaimana mungkin kau mampu
menghadapi kehebatanku dalam ilmu racun,
melawan dua binatang kesayanganku saja kau sudah kewalahan seperti monyet gila,"
kata Nyai Titir sambil tertawa.
Begitu pula dengan Nyai Priatsih dan Kuntala yang terbahak-bahak.
"Lebih baik kau membunuh diri saja, Orangtua!"
seru Kuntala dengan tatapan dinginnya.
Ki Rongsowungkul terus berusaha menghindar.
Dan mendadak ia melenting ke belakang dan ke depan, karena kedua ular itu
mendadak menegak dan dari mulut mereka, meluncur bisa-bisa ular yang sangat kuat
racunnya. "Bangsat!" Ki Rongsowungkul memaki sambil menghindar. Karena kedua ular itu
terus menerus melancarkan serangan bisa mereka. Membuat Ki Rongsowungkul harus
bekerja lebih keras dalam upaya menyelamatkan diri.
"Ha ha ha... ada tarian monyet gila di sini!" tertawa Nyai Titir. "Ayo manis...
jangan beri kesempatan dia untuk hidup lagi... ha ha ha!"
Ki Rongsowungkul terus menghindar. Bisa-bisa
ular yang tak mengenainya, menghantam batang kayu yang langsung menghitam, dan
dahannya langsung mengering. Sementara daun-daunnya meranggas lalu berguguran.
"Kalau begini, lama-lama tenagaku akan terkuras,"
dengus Ki Rongsowungkul dalam hati. Ia menunggu sampai ular-ular itu melontarkan
lagi bisa-bisa mereka. Saat itulah Ki Rongsowungkul berkelit ke depan, melewati
kedua ular itu. Dan sambil bersalto, ia melepaskan jurus, 'Angin Gunung
Karang'nya. Satu ular terhantam dan langsung terbelah retak.
Yang satunya lagi mendesis. Lebih ganas menyerang.
Ki Rongsowungkul kali ini memutar tubuhnya, dengan tiba-tiba saja ia kembali
melepaskan 'Pukulan Angin Gunung Karang'-nya.
Des! Ular itu mendesis kelojotan. Lalu tubuhnya meledak. Melihat kenyataan itu, Nyai
Titir sambil menjerit marah menyerang membabi buta dengan tongkatnya.
"Kau harus mengganti nyawa kedua binatang kesayanganku dengan nyawamu,
Rongsowungkul!"
Serangannya kali ini lebih ganas, lebih terarah dan bertubi-tubi. Setiap kali ia
menggerakkan tongkatnya, menimbulkan suara angin yang keras dan cukup memekakkan
telinga Namun menghadapi Nyai Titir bagi Ki
Rongsowungkul yang sudah banyak mengetahui kelemahan ilmu dari Nyai Titir, lebih
mudah daripada harus menghadapi ular-ular berbisa itu.
"Ha ha ha... kau sudah tua, Titir. Kau sudah tidak punya gigi lagi!" ejeknya
sambil membalas dengan cepat. 'Pukulan Angin Gunung Karang' yang dilepaskannya
membuat Nyai Titir kalang kabut. Ia
harus berjumpalitan ke sana kemari.
Bersamaan Nyai Titir menghindar, mendadak saja tubuh Ki Rongsowungkul berputar
bagai baling-baling.
Itu adalah jurus 'Angin Gunung Karang Menerbangkan Badai' yang berhasil ia
ciptakan. Hasilnya sudah mengejutkan Nyai Titir. Ia seakan terbawa dalam arus pusaran
angin yang ditimbulkan akibat berputarnya tubuh Ki Rongsowungkul. Bahkan ia
tidak bisa mengendalikan tubuhnya lagi.
Tanpa ampun dua sodokan keras yang dilakukan oleh Ki Rongsowungkul menghantam
telak dadanya. Membuat Nyai Titir terhuyung dengan tangan mendekap dadanya.
"Ha ha ha... kau sudah tua, Titir. Sudah tua!" seru Ki Rongsowungkul.
Kuntala melompat satu tindak.
"Ki... aku pun ingin bermain-main dengan 'Pukulan Angin Gunung Karang'mu itu,"
katanya dengan suara dingin, sedingin tatapannya.
"Bagus! Mengapa kau tidak segera maju" Atau...
mengapa kalian tidak sekaligus maju menyerangku, hah" Jangan sampai yang
terjadi, bukannya tinggal Tiga Malaikat Kahyangan lagi, melainkan Satu Malaikat
Kahyangan. Ha ha ha ha.,.."
Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan nada mengejek itu, Kuntala segera
merangsek maju.
Kipas di tangannya mengembang dan menutup.
Menyerang Ki Rongsowungkul dengan hebatnya. Ki Rongsowungkul masih tertawa-tawa
saja. Ia segera memapaki serangan Kuntala dengan 'Pukulan Angin Gunung
Karang'nya yang sangat ampuh.
Di luar dugaan, Kuntala justru membuka kipasnya dan mengayunkan ke depan.
Serangkum angin tercip-ta dari sana dan memapaki 'Pukulan Angin Gunung
Karang' Ki Rongsowungkul. Sementara tubuhnya menderu dengan deras.
Plak! Plak! Terpaksa Ki "Rongsowungkul
memapaki serangan itu. Gerakan yang diperlihatkan-nya sangat cepat.
Kuntala tertawa.
"Ha ha ha... hanya begitu saja keampuhan dari pukulan angin kentutmu, Ki!"
serunya sambil mencoba mendesak Ki Rongsowungkul. Kali ini keduanya bertarung
sangat sengit. Berkali-kali Kuntala mengibaskan kipas mautnya yang menimbulkan
hawa panas dan dingin bergantian. Itu adalah jurus 'Kipas Mengubah Mata Angin'.
Ki Rongsowungkul pun segera melepaskan senjata tasbihnya yang ia putar-putar
untuk melayani serangan si Kipas Maut Saat menggunakan tasbihnya, terlihat kalau
Ki Rongsowungkul bisa menghalau semua serangan yang dilakukan oleh Kuntala.
Melihat itu, Nyai Titir dan Nyai Priatsih saling berpandangan. Lalu setelah
saling angguk, keduanya memasuki kancah pertempuran.
"Ha ha ha... mengapa tidak sejak tadi kalian lakukan itu?" tertawa Ki
Rongsowungkul. Meskipun ia yakin tidak akan mampu bertahan melawan ketiganya, ia
tetap berusaha menahan dan membalas setiap serangan.
Sudah tentu kali ini keadaan Ki Rongsowungkul yang sangat terdesak. Ia diserang
dari tiga arah yang berbeda. Berkali-kali ia terkena pukulan, tendangan atau pun
senjata lawan-lawannya. Dan dirasakannya dadanya sangat sesak ketika si Tongkat
Iblis menghantam telak di ulu hatinya.
"Hhh! Masih menjual lagak saja kau di hadapan kami!" dengus Nyai Priatsih sambil
terus mencecar dengan jurus 'Tongkat Iblis Menghancurkan Badai'.
Setiap kali tongkatnya bergerak, menimbulkan deru angin yang sangat keras
sekali. Tetapi Ki Rongsowungkul tetap berusaha bertahan. Sebisanya, karena keadaannya
sudah sangat tidak memungkinkan sekali.
Dan mendadak ia terjungkal di tanah ketika
'Pukulan Angin Manik' yang dilepaskan oleh Nyai Titir menghantam kedua kakinya.
Posisinya sangat sulit sekali untuk melepaskan diri. Mencoba menahan setiap
serangan yang datang pun tidak memungkinkan.
"Mampuslah kau, Orangtua keparat!" dengus Nyai Titir sambil melepaskan 'Pukulan
Angin Manik'nya.
Sementara Nyai Priatsih dan Kuntala sudah menderu maju.
Kali ini Ki Rongsowungkul hanya bisa memejamkan mata. Untuk menghindar suatu hal
yang sangat tidak mungkin sekali. Terlalu sempit posisinya.
Bahkan tenaganya sudah lenyap sama sekali.
Ia hanya bisa pasrah. Dalam hatinya, ia sudah merasa puas, karena bisa
membuktikan diri untuk tidak melakukan perbuatan dosa lagi.
Namun ia justru terkejut karena terdengar teriakan dari ketiga lawannya yang
bernada kaget. Lalu tubuh masing-masing berlompatan seperti terkena serangan mendadak. Memang,
beberapa senjata rahasia berupa sirip ikan layur beterbangan ke arah ketiganya.
"Bangsat! Siapa yang berani menjual muka, hah?"
dengus Nyai Titir begitu hinggap di tanah.
Ia baru menyadari kalau satu sosok tubuh telah menyambar tubuh Ki Rongsowungkul
dan hinggap dengan ringannya pada kuda yang sedang berlari.
Lalu digebraknya kudanya dengan kecepatan tinggi.
Tinggal ketiga orang itu yang saling mendengus sendiri.
"Bangsat! Siapa bocah perempuan yang berani ikut campur itu!" dengus Kuntala
marah. "Melihat gerakan yang dilakukannya, ilmunya cukup tinggi!" seru Nyai Priatsih
marah. "Hhh! Bila ia berani muncul kembali, akan kupa-tah-patahkan tubuhnya!" seru Nyai
Titir. Lalu melompat ke kudanya. "Biarkan saja mereka, kita kembali ke Gunung
Kematian!"
Nyai Priatsih nampak masih terdiam. Ia
memandangi senjata rahasia sirip ikan layur yang dilepaskan penyerangnya semata
untuk mengalihkan perhatian mereka.
"Priatsih!" seru Nyai Titir. "Kenapa kau?"
Nyai Priatsih menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa!" Lalu melompat ke
kudanya. Ia seperti mengenal senjata rahasia ikan layur ini. Namun ia lupa
siapakah tokoh yang pernah menggunakan senjata rahasia serupa.
Lalu disusulnya Nyai Titir dan Kuntala yang sudah melesat dengan cepatnya ke
arah Gunung Kematian.
Di wajah Nyai Titir dan Kuntala memperlihatkan wajah yang marah. Kemarahan itu
sangat nampak di wajah Nyai Titir.
"Hhh! Kalau saja ia berhasil menangkap manusia itu, akan disiksanya dengan
racun-racunnya yang berbisa."
Sementara itu, Nyai Priatsih masih memikirkan tentang tokoh yang pernah
didengarnya memiliki senjata rahasia berupa sirip ikan layur.
Namun ia belum juga berhasil memulihkan
ingatannya. *** Sementara itu, kuda putih itu terus bergerak dengan cepatnya. Penunggangnya yang
tak lain adalah Sekar Wangi mengendalikan kudanya dengan baik. Di depan tubuhnya
yang menggebrak kuda, satu sosok tubuh tergolek pingsan karena keletihan.
Tadi Sekar Wangi tidak sengaja melihat pertempuran yang menurutnya sangat
dahsyat dan mengerikan. Setelah berpisah dengan Pendekar Gila, ia langsung
menggebrak kudanya menuju ke Gunung Kematian. Dendamnya pada Rodopalo yang telah
membunuh kedua orangtuanya, semakin dalam saja.
Ia merasa tidak akan pernah tenang hidup di dunia ini sebelum melihat durjana
itu mampus di tangannya.
Dan yang tak disangkanya, ketika kudanya memasuki Hutan Bawengan, ia melihat
pertempuran yang sangat seru. Karena, satu orang dikeroyok tiga orang. Bila
mendengar dari bentakan demi bentakan yang mereka lakukan, sepintas Sekar Wangi
bisa menduga, kalau laki-laki yang berbaju putih itu sebelumnya adalah sahabat
dari ketiga penyerangnya. Yang karena suatu sebab entah apa Sekar Wangi tidak
tahu, terjadi perselisihan di antara mereka.
Sebagai orang yang baru muncul di rimba
persilatan, sudah tentu berjumpa dengan tokoh-tokoh aneh dan ilmu-ilmu yang
asing membuatnya
keheranan. Selama ini, Sekar Wangi hanya menganggap kalau orang yang paling
sakti adalah gurunya, Nyai Harum Tari. Ialah satu-satunya di mata Sekar Wangi
yang paling tinggi kesaktiannya.
Namun pada kenyataannya, apa yang dikatakan oleh gurunya memang benar. Kalau
rimba persilatan adalah dunia yang sangat kejam sekali. Banyak tokoh
sakti yang bermunculan. Banyak pula tokoh-tokoh hitam dengan ilmunya yang keji
dan ganas. Kini Sekar Wangi disadarkan oleh pengalaman baru. Kalau sekarang ia tidak bisa
menganggap remeh siapa pun juga. Termasuk Pendekar Gila yang ditinggalkannya.
Ah, bila teringat pemuda itu, Sekar Wangi menjadi malu sendiri. Pertama, ia
dipeluk dan ditindih oleh Sena ketika sedang bertarung karena salah paham.
Kedua, ia merangkul Sena yang menangis bagai anak kecil ketika menyaksikan
mayat-mayat Desa Sawo Jajar yang bergeletakan.
"Sena, Sena... mengapa ada sesuatu yang tidak wajar di hatiku?" desisnya.
Sungguh, ia menyesal telah meninggalkan Pendekar Gila di Desa Sawo Jajar.
Namun ia tidak mau mengingatnya lagi.
Dipacu kudanya dengan cepat. Ia yakin, kalau laki-laki tua yang gagah ini
membutuhkan pertolongan.
Seharusnya ia bisa dengan segera mencoba
menyadarkan laki-laki berbaju putih ini. Namun Sekar Wangi pun tidak mau
kepergok oleh orang-orang yang menyerang laki-laki tua ini.
Makanya, ia terus memacu kudanya. Melarikannya jauh-jauh dari tiga orang
penyerang laki-laki berbaju putih ini tadi yang ia yakin, kalau kesaktian mereka
sangat tinggi sekali.
Di sebuah sungai yang mengalirkan air jernih, ia menghentikan laju kudanya.
Dengan satu gerakan ringan, ia bersalto sambil membopong tubuh Ki Rongsowungkul.
Dialirkannya tenaga dalamnya ke tubuh yang lemah itu. Namun tidak ada fungsi
sama sekali. Ia mencoba melakukannya berulang-ulang, namun
hasilnya tetap sama. Laki-laki tua yang gagah itu tidak bergeming sama sekali.
Tetap tergolek pingsan.
Bergegas ia ke tepi sungai untuk mengambil air.
Barangkali saja dengan bantuan air yang dingin ia bisa menyadarkan laki-laki
ini. Namun baru saja ia akan mengambil air dengan daun lebar itu, terdengar bentakan
yang keras, "Siapa itu yang iseng mengintip, hah"!"
*** 6 Sekar Wangi menjadi bersiaga, ia menarik keluar sepasang pedangnya dari
warangkanya. "Siapa itu?" bentaknya dengan tatapan me-
nerawang. Kali ini perhatiannya menjadi terbagi dua.
Pertama, ia harus menyelamatkan nyawa laki-laki tua berpakaian putih itu. Kedua,
ada seseorang yang ia yakin bukanlah orang yang dikenalnya.
Yang dikhawatirkannya, bila suara itu keluar dari tiga orang penyerang laki-laki
berbaju putih yang sekarang sedang pingsan.
Bukannya sahutan yang terdengar, justru kekehan yang menerpa telinganya, dari
atas pohon. Sekar Wangi mengangkat wajahnya. Ia melihat seorang pemuda berompi
kulit ular sedang cengar-cengir dengan kaki menjuntai di atas pohon itu.
Sekar Wangi mendengus.
"Sena! Bantu aku!"
Bukannya turun, Pendekar Gila justru menggaruk-garuk kepalanya. "He he he...
ketahuan ya, kau suka mengintip orang mandi?"
Sekar Wangi sadar, kalau yang membentak itu -
adalah Sena yang sedang mandi. Untungnya, ia tidak memergoki pemuda yang
tentunya sedang ber-telanjang bulat.
Melayani Pendekar Gila dalam suasana genting semacam ini percuma. Sekar Wangi
buru-buru mengambil air dan kembali mendatangi Ki Rongsowungkul yang tergeletak
di tanah. Sena melihat semua itu dari atas. Dengan satu
lentingan yang ringan, ia melompat dan hinggap di sisi Sekar Wangi yang sedang
berusaha menyadarkan Ki Rongsowungkul.
"Siapa dia, Rayi?"
"Jangan banyak tanya! Bantu aku!" bentak Sekar Wangi.
Sena menggaruk-garuk kepalanya. "Wah, wah, jadi galak lagi rupanya, si Jelita
Penunggang Kuda ini."
Lalu ia membungkuk dan memeriksa tubuh Ki Rongsowungkul. Sesaat kemudian ia
berdecak kagum. "Hebat, meskipun tubuhnya sudah renta seperti ini, namun ia
memiliki kekuatan yang tinggi.
Berarti tenaga dalamnya cukup tinggi. Kalau tidak, ia akan langsung mampus
terkena pukulan sakti seperti ini. Lihat, di dadanya ada bekas telapak tangan."
"Kenapa dia tidak mau siuman juga, Kakang?"
Sena nyengir. "He he he... ceritakan apa yang terjadi, aku akan mencoba
menyadarkannya..."
Sementara Sekar Wangi bercerita tentang laki-laki berjanggut putih ini, Sena
berusaha mengalirkan tenaga dalamnya. Bekas 'Pukulan Angin Manik' Nyai Titir
perlahan-lahan menghilang, bersamaan Sekar Wangi selesai bercerita.
"Sepintas, aku hanya mengetahui namanya, Ki Rongsowungkul," kata Sekar Wangi
mengakhiri ceritanya.
Sena menutup kembali pakaian yang dikenakan Ki Rongsowungkul. Ia mengangkat
tubuhnya, men-dudukkannya dengan kaki selonjor ke depan.
Mendadak ia menotok di beberapa bagian tubuh Ki Rongsowungkul. Lalu terdengar
gagah itu terbatuk-batuk dan... huak!
Tuak yang telah mengisi perutnya, terbuang sebagian. Perlahan-lahan Ki
Rongsowungkul merasa-
kan kepalanya berdenyut. Dan perlahan-lahan pula ia membuka matanya.
Begitu melihat ada dua sosok tubuh di dekatnya, mendadak ia melompat ke
Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belakang. "Hei!" seru Pendekar Gila. "Kau masih lemah, Orangtua!"
Apa yang diserukan Sena terbukti, karena Ki Rongsowungkul bukannya hinggap di
tanah dengan ringannya, ia justru terpelanting dan ambruk.
Sena memburu sambil ngomel-ngomel. "Bandel!"
dengusnya, sementara Ki Rongsowungkul sudah jatuh pingsan lagi. Sena memeriksa
lagi tubuh itu.
Lalu katanya pada Sekar Wangi, "He he he... orangtua ini memang bandel. Sudah
ketahuan sedang terluka dalam, mencoba menyerang juga. Rayi... tolong kaujaga
dia, aku hendak mencari buah-buahan. He he he... bukan dia saja yang lapar
tentunya, perutku sendiri sudah kekuruyukan. Kau mau, Rayi?"
Sekar Wangi cuma mengangguk saja. Ia geli melihat sikap Sena yang lucu seperti
itu. Lalu Sena berkelebat memasuki hutan untuk mencari buah-buahan. Sedangkan
Sekar Wangi, membopong tubuh Ki Rongsowungkul ke balik semak. Sementara si Putih
sudah asyik memakan rumput.
Tak lama kemudian Pendekar Gila sudah kembali dengan buah-buahan yang banyak.
"He he he... kita makan enak sekarang. Seperti orang di kadipaten atau pun di
keraton yang suka makan enak... Mari, Rayi...
Keduanya pun memakan buah-buahan itu. Sekar Wangi entah mengapa merasakan
dirinya sudah semakin akrab dengan Pendekar Gila. Padahal, baru beberapa hari ia
bertemu dengan Pendekar Gila.
Tiba-tiba terdengar suara batuk-batuk, keduanya
segera melompat ke arah Ki Rongsowungkul. Sekar Wangi yang tidak ingin kalau Ki
Rongsowungkul membuat gerakan lagi, segera berkata pelan, "Ki...
jangan takut, kami orang baik-baik...."
Ki Rongsowungkul membuka matanya. Baru kali ini ia mendengar suara yang sangat
merdu menerpa telinganya. Ia melihat seorang gadis jelita sedang tersenyum
padanya. Sementara di sisi gadis itu, dilihatnya seorang pemuda yang berompi
kulit ular sedang menggaruk-garuk kepalanya sambil cengar-cengir.
"Oh!" desisnya bagai keluhan.
Sekar Wangi membantu Ki Rongsowungkul untuk bangkit, menyandar di sebatang
pohon. Ki Rongsowungkul menghela nafas panjang. Terbayang bagaimana
pertempurannya dengan sahabat-sahabatnya sendiri karena ia menolak untuk
bergabung dengan mereka. Ah, bukankah saat itu ia sudah dalam keadaan terjepit,
terjebak dalam lingkaran serangan yang dilakukan sahabatnya yang telah menjadi
lawannya" Diingatnya pula kalau satu sosok tubuh menyambar tubuhnya. Hanya itu
yang diingatnya, karena setelah itu ia jatuh pingsan.
"Sia... siapakah kalian?" tanyanya terbata. Sekar Wangi tersenyum.
"Namaku Sekar Wangi."
Sena terkekeh. "Kalau aku... Sena. Siapakah kau,
"Oh, namaku Ki Rongsowungkul. Orang lebih mengenal julukanku, si Tua Penghuni
Gunung Karang."
"Siapakah orang yang bertempur denganmu, Ki?"
tanya Sekar Wangi.
"Oh! Mereka... mereka adalah sahabat-sahabatku...."
Kali ini kening Sekar Wangi berkerut, sementara Sena cuma terkekeh saja sambil
memakan terus buah-buahan yang dipetiknya di hutan tadi.
"Kalau memang kalian bersahabat, mengapa
harus saling tempur, Ki?"
Ki Rongsowungkul menceritakan apa yang baru saja dialaminya. "Begitulah, karena
aku menolak untuk bergabung dengan mereka, sehingga akhirnya aku harus
dimusnahkan...."
Sena cengengesan sambil berkata, "Ki... he he he... apakah ada orang yang
bernama Rodopalo di sana?"
"Oh! Ada! Ia murid dari Nyai Titir, sekaligus pimpinan Gerombolan Iblis dari
Pacitan." "Bisakah Ki Rongsowungkul memberikan gam-
baran jalan yang tepat untuk menuju ke Gunung Kematian?" tanya Sena pula, kali
ini sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Mau apa kau, Anak muda?"
"He he he... mereka telah membunuh sahabat-sahabatku di Desa Sawo Jajar. Aku
harus menuntut balas atas kematian mereka, di samping aku sendiri hendak
memusnahkan gerombolan mereka...," sahut Sena.
Ki Rongsowungkul menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak muda yang nampaknya gila
ini hanya bermaksud untuk mencari mati saja. Menghadapi Empat Malaikat Kahyangan
yang kini menjadi tiga dan bersa-tupadu, haruslah orang yang memiliki kesaktian
yang sangat tinggi. Hanya Singo Edan-lah yang mampu mengalahkan mereka. Mungkin
juga... muridnya. Tetapi di manakah muridnya sekarang ini"
"Anak muda... mereka terdiri dari orang-orang yang tinggi ilmunya. Bukan
maksudku untuk melarangmu
ke sana, tetapi berpikirlah sebelum semuanya terlambat," kata Ki Rongsowungkul
sambil menerima buah yang disodorkan .Sekar Wangi.
Sena menggaruk-garuk kepalanya.
"He he he... aku memang tidak boleh sombong.
Guru bisa marah besar kalau tahu aku sombong...
tetapi aku tidak sombong. Karena, Guru yang memerintahkan aku untuk membasmi
setiap ke- jahatan... he he he... Guru, Guru... aku jadi rindu padamu...."
Ki Rongsowungkul kali ini mengerutkan keningnya.
Bila melihat caranya berbicara, sudah jelas pemuda ini gila. Tetapi bila
mendengarkan dengan seksama, kata-katanya sangat terarah. Dan mendadak hatinya
berdebar keras.
"Anak muda... siapakah gurumu itu dan di mana ia bermukim?" tanyanya hati-hati.
"He he he... guruku adalah seorang pendekar sakti yang mengundurkan diri....
Namanya... Singo Edan..."
"Oh, Tuhan!"
"... ia bermukim di Gua Setan." Jantung Ki Rongsowungkul seolah berhenti
berdetak. Sejurus kemudian ia terbahak-bahak.
Ha ha ha... rupanya engkaulah pemuda yang telah menggagalkan aksi Gerombolan
Iblis dari Pacitan ke Desa Sawo Jajar. Bagus, bagus... Nyai Titir pasti
kebingungan bila engkau muncul... ha ha ha...
Maafkan aku, Anak muda... aku tidak tahu kalau engkaulah Pendekar Gila yang
diceritakan Nyai Titir...."
Bukannya bangga dipuji seperti itu, Sena
Manggala justru menggaruk-garukkan kepalanya.
"Memangnya kenapa dengan namaku" Semua
orang sepertinya kaget bila mengetahui kalau akulah
si Pendekar Gila...."
"Karena, engkaulah pendekar pembela
kebenaran..."
Suasana tidak lagi tegang seperti tadi. Ki Rongsowungkul yang memang tidak suka
dengan rencana Nyai Titir semakin bersemangat saja. Ia pun bertekad untuk
menghancurkan rencana Nyai Titir berikut gerombolannya.
Lalu diceritakannya tentang kelemahan dari Nyai Titir, Kuntala si Kipas Maut dan
Nyai Priatsih si Tongkat Iblis.
"Merekalah orang-orang yang menjadi pentolan dari Gerombolan Iblis dari Pacitan.
Sayangnya, aku tidak tahu tentang ilmu Rodopalo. Namun yang kuduga, pasti tidak
jauh berbeda dengan Nyai Titir.
Karena ia adalah muridnya. Meskipun kalian sudah mengetahui letak kelemahan dari
ilmu mereka, bukan berarti mereka mudah untuk ditaklukkan. Masih ada ajian yang
sangat sakti yang mereka miliki..."
"Apa itu, Ki?" tanya Sekar Wangi serius.
"Ajian 'Empat Malaikat Kahyangan'."
"Oh, katamu... kau pun termasuk salah seorang dari mereka ?"
"Benar."
"Apakah ajian itu masih ampuh tanpa dirimu?"
"Kemungkinannya sangat tipis untuk mengatakan masih sangat ampuh. Karena ajian
'Empat Malaikat Kahyangan' merupakan penguncian gerak empat penjuru. Tetapi
jangan lupa... masih ada Rodopalo yang akan mengisi tempatku...."
"Maksudmu Ki... mereka akan melatihnya?" tanya Sekar Wangi pula.
"Kemungkinan itu ada," sahut Ki Rongsowungkul sambil menganggukkan kepalanya.
"Kalau Rodopalo
mampu menerima ajian 'Empat Malaikat Kahyangan'
dan mampu mengisi kekosongan penjuru utara di mana biasanya aku yang mengisi,
sudah tentu ajian
'Empat Malaikat Kahyangan' tidak akan bisa dikalahkan. Tetapi yang bisa
kuharapkan saat ini, kalau Rodopalo tidak bisa menerima dengan sempurna jurus-
jurus rahasia dari Empat Malaikat Kahyangan. Berarti, yang harus kita cecar dan
jatuhkan, adalah Rodopalo yang mengisi bagian mata angin, utara."
Suasana hening, hanya Pendekar Gila yang
nampaknya acuh tak acuh. Ia tengah mengelap mulutnya yang baru saja memakan
buah-buahan lagi.
Kali ini perutnya sudah kenyang.
"He he he... aku mengantuk...."
"Kang Sena!" dengus Sekar Wangi sebal.
"Wah, wah... kenapa, Rayi Sekar?"
"Kau ini bagaimana, kita sedang membicarakan bagaimana caranya untuk
menghancurkan Gerombolan Iblis dari Pacitan, tetapi kau enak saja mau tidur..."
"He he he... si Jelita Penunggang Kuda tertawa lagi...," kata Sena tidak jadi
berbaring. "Karena kau cantik dan aku senang melihatmu... aku tidak jadi
mengantuk."
Sekar Wangi mendengus sebal karena merasa dipermainkan. Sementara Ki
Rongsowungkul terbahak-bahak melihat sikap Pendekar Gila yang masih tertawa-
tawa. Diam-diam ia mampu menebak
perasaan hati Sekar Wangi. Bentakannya tadi gemetar dan mengandung kasih sayang
yang tak bisa dipungkiri dari pendengaran Ki Rongsowungkul.
Hanya sikap Pendekar Gila saja yang acuh tak acuh. Seperti sifatnya. Diam-diam
Ki Rongsowungkul
teringat bagaimana sifat Singo Edan. Tidak jauh berbeda dari sifat Singo Edan!
"Sudahlah... kita tidak usah bertengkar," katanya berlagak tidak tahu tentang
perasaan Sekar Wangi
"Kita memang membutuhkan waktu untuk ber-
istirahat, agar tenaga kita pulih kembali dan pikiran kita menjadi jernih.
Terutama bagiku sendiri yang untuk memulihkan semuanya kembali. Dan menurut
hematku, lebih cepat menyerang ke Gunung
Kematian, kita akan mendapatkan satu keuntungan.
Karena, ajian 'Empat Malaikat Kahyangan' yang akan segera diturunkan kepada
Rodopalo akan semakin singkat waktunya. Sehingga ia tidak bisa memilikinya
dengan sempurna. "
Pendekar Gila nyengir pada Sekar Wangi yang cemberut.
"He he he... tidur dulu, kan?" katanya sambil merebahkan tubuhnya.
Sekar Wangi hanya terdiam. Huh! Berkali-kali Pendekar Gila mempermainkannya.
Tetapi entah mengapa ia sangat menyukai pemuda yang bertingkah laku mirip orang
gila itu. Meskipun begitu, Sekar Wangi mempunyai rencana yang lain.
*** 7 Apa yang diperkirakan Ki Rongsowungkul ternyata benar. Setelah disepakati, Nyai
Titir pun mengajarkan ajian 'Empat Malaikat Kahyangan' pada Rodopalo.
Dibantu oleh Nyai Priatsih dan Kuntala. Mereka bermaksud mengisi kekosongan di
penjuru utara yang biasanya dipegang oleh Ki Rongsowungkul.
Sekarang, Ki Rongsowungkul telah menolak kerja sama dengan mereka. Hal itu sudah
tentu membuat mereka marah. Setiap saat mereka selalu membicarakan siapakah
gerangan orang yang telah menolong Ki Rongsowungkul dari kematian. Hal itu tidak
bisa mereka biarkan. Biar bagaimana pun juga, satu-satunya orang yang mengetahui
titik lemah dari ajian 'Empat Malaikat Kahyangan' adalah Ki Rongsowungkul.
Hanya Nyai Priatsih yang sekali-sekali kelihatan mengerutkan keningnya. Bukan
apa-apa, ia merasa pasti kalau ia pernah mengenali senjata rahasia sirip ikan
layur ini. Namun sialnya, sampai saat ini ia belum bisa menemukan dengan jelas,
siapakah tokoh yang pemah mempergunakan senjata rahasia itu.
Lalu untuk mengalihkan perhatiannya, ia pun turut menggembleng Rodopalo.
Jurus 'Empat Malaikat Kahyangan' sebenarnya tidak bisa dilakukan dengan secepat
ini. Namun, ketiganya bersikeras agar Rodopalo berhasil mengisi kekosongan di
penjuru utara. Paling tidak, bisa pula merangkaikan setiap gerakan dari jurus
'Empat Malaikat Kahyangan'.
"Bagus, Rodo!" seru Nyai Titir pada muridnya.
"Tetapi langkahmu kurang cepat. Ajian pamungkas dari Empat Malaikat Kahyangan
yang sekaligus nama dari ajian itu, saling tutup menutupi setiap kelemahan.
Bagian utara menutupi bagian timur.
Begitu seterusnya. Timur ke selatan, selatan ke barat.
Bisa pula timur langsung ke barat.
Sehingga masing-masing bisa berkutat dalam kebersamaan. Dan tidak ada sedikit
pun celah bagi lawan untuk menjatuhkan. Apalagi untuk menjatuhkan, menyerang
saja suatu hal yang sangat mustahil.
Kau harus mempercepat langkahmu, Rodo."
"Baik, Nyai Guru..."
Rodopalo mengulangi lagi jurus yang barusan diajarkan oleh Nyai Titir,
bergantian lalu yang mengajarkan Nyai Priatsih dan Kuntala. Ada kesombongan
tersendiri di hati Rodopalo. Secara tidak langsung, ia pun masuk pada jajaran
Empat Malaikat Kahyangan. Bahkan menggantikan
kedudukan dari Ki Rongsowungkul.
Hanya saja, di hadapan gurunya, ia masih rada sungkan. Padahal ia sangat jengkel
dengan cara mengajar yang diperlihatkan oleh Kuntala si Kipas Maut. Yang
seringkah membentak-bentaknya bila ia melakukan kesalahan.
"Titir! Apakah kau tidak salah memilih murid yang bodoh seperti ini?" bentak
Kuntala ketika melihat tubuh Rodopalo yang hinggap di tanah setelah melenting
bersalto dalam keadaan renggang. "Gila!
Kalau ia terus menerus merenggangkan kedua kakinya, sudah bisa dipastikan
langkah dari ajian
'Empat Malaikat Kahyangan' akan kecolongan.
Berulangkah aku melihatnya melakukan seperti itu.
Ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Rodo, kau
harus paham! Bila kau memang cerdas, hanya sekali diberitahu pasti kau akan
mengerti! Bila kau masih merenggangkan pula kedua kakimu setiap kali bersalto
dan mencoba menutupi celah, maka lawan akan dapat menyerang kita! Bahkan bisa
pula menjatuhkan! Apalagi bila yang menghadapinya adalah Ki Rongsowungkul!"
Rodopalo menggeram dalam hati. Ia benar-benar muak dengan laki-laki setengah
baya namun wajahnya tampan itu. Dalam hatinya ia bertekad, bila ada kesempatan
ia akan menghajar adat.
Tetapi karena sekarang ada gurunya, ia menjadi segan sendiri. Paling tidak, ia
menaruh hormat pada Nyai Titir.
"Tidak usah tegang, Kuntala. Maklum, muridku belum mengenal ajian 'Empat
Malaikat Kahyangan',"
sahut Nyai Titir yang juga melihat celah yang dilakukan oleh Rodopalo. Paling
tidak, sekarang ini ia tidak ingin ada keributan di antara mereka. Ia tahu
Kuntala sangat panasan. Begitu pula dengan muridnya, yang paling pantang dihina.
"Tetapi kita mengejar waktu. Bila Ki Rongsowungkul masih hidup dan membocorkan
rahasia kelemahan dari ajian 'Empat Malaikat Kahyangan', kita bisa kocar-kacir!"
seru Kuntala dengan sewot.
"Kita masih memiliki ilmu yang sangat hebat yang kita punyai masing-masing!"
Neraka Gunung Bromo 2 Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt Eng Djiauw Ong 28
Suasana sangat mengerikan sekali. Bau amis darah tercium. Semuanya bergeletakan
dengan tubuh yang tidak lengkap. Sisa asap masih membubung dari rumah-rumah yang
terbakar. Hatinya marah menyaksikan mayat-mayat itu. Yang membuatnya murka, ketika melihat
beberapa orang wanita yang mati dalam keadaan telanjang bulat. Ada di antara
mereka dari selangkangannya mengalirkan darah.
Dengan sigap Sena meneliti mayat-mayat itu satu persatu. Lalu menemui satu mayat
yang dadanya jebol. "Ki Lurah!" desisnya. Dan perasaannya semakin terpukul
melihat kenyataan ini.
Ia menyesali kejadian ini, kejadian yang tak pernah disangkanya sebelumnya.
Padahal, ia hanya menyelidiki tentang gerombolan yang pernah menyerang desa itu
sebelumnya. Namun rupanya, orang-orang gerombolan itu lebih dulu datang dan
menyerang, selagi ia tidak berada di sana.
Sementara satu sosok tubuh menunggang kuda putih tiba di tempat itu. Keningnya
berkerut, la adalah Sekar Wangi yang hanya terheran-heran melihat mayat-mayat
bergeletak dan bau amis darah tercium.
Ia melihat seorang pemuda berompi kulit ular sedang terpekur di salah satu mayat
yang ada di sana. Ia melompat turun, tidak berbuat apa-apa,
hanya berdiri tegak. Ia yakin kalau laki-laki yang mengenakan rompi dari kulit
ular itu dan telah membuatnya malu kemarin pagi, mengenal orang-orang ini.
Ia melihat Sena jatuh terduduk dengan kepala terlungkup ke tanah. Nampak sangat
menyesali diri.
Dan mendadak saja Sekar Wangi terkesiap, karena pemuda itu berdiri dan sambil
menjerit keras, ia menghentakkan kedua tangannya ke empat penjuru angin.
Serangkum angin, besar terdengar. Rupanya, saking marahnya, Pendekar Gila
melampiaskan kemarahannya dengan mengeluarkan ajian 'Inti Bayu'
yang menerpa dan segera menerbangkan pohon-pohon yang tumbang, rumah-rumah yang
terbakar dan mayat-mayat yang bergeletakan.
Entah mengapa melihat hal itu, Sekar Wangi menjadi pilu. Padahal yang dilakukan
Sena sangat mengerikan.
'Tuan Pendekar... hentikan semua ini!" desisnya.
Namun Sena masih terus melakukannya dengan hati marah. Sampai kemudian ia jatuh
terduduk dan menangis tersedu-sedu. Hati Sekar Wangi menjadi pilu. Perlahan-
lahan ia mendekatinya dan memegang kedua pundak Sena.
'Tuan... sabarlah...."
Sena masih menangis. "Hu hu hu... mengapa hal ini harus terjadi" Mengapa" Oh,
Gusti... siapa yang melakukan semua ini?"
Hati Sekar Wangi semakin pilu. Rasa marah dan dendamnya pada Sena menghilang. Ia
pun berlutut di samping Sena.
"Sudahlah... semuanya sudah terjadi...." Entah apa yang menggerakkan semua ini,
mendadak saja Sekar
Wangi merangkul Sena yang masih menangis.
Mengusap-usap kepalanya dan berkata, "Tabahlah...
akan kita cari siapa yang telah melakukannya...."
Sena masih menangis di dada Sekar Wangi,
sampai ia mengangkat kepalanya lagi. Sekar Wangi mengira ia masih melihat air
mata yang keluar, tetapi justru pemuda itu sekarang cengengesan.
Sekar Wangi mengerutkan keningnya. Kenapa jadi begini"
"He he he... aku sedih melihat semua ini. Ini salahku, salahku..."
"Mengapa?" tanya Sekar Wangi yang semakin heran. "Tadi pemuda ini menangis,
sekarang malah cengar-cengir. Apakah pemuda ini... gila?" desisnya dalam hati.
Sena duduk bersila, di antara puluhan mayat, begitu pula dengan Sekar Wangi. ,
"He he he...
seharus-nya aku tidak meninggalkan desa ini kemarin. Ah, semuanya memang sudah
terjadi. Benar kata-katamu itu, Nona manis..."
Sekar Wangi hanya mengerutkan keningnya.
Apakah karena melihat pemandangan yang mengerikan seperti ini sehingga pemuda
itu jadi kacau bicaranya"
"Tuan, namaku Sekar Wangi."
"Hmm, nama yang bagus. Bagus sekali. Namaku Sena...," sahut Sena sambil
cengengesan dan menjabat tangan Sekar Wangi yang terulur. Setelah menjabat
tangan itu, ia mencium telapak tangannya sendiri. "He he he... wangi, wangi
sekali..."
Sekar Wangi jadi tertawa sendiri. Seluruh rasa kesal dan dendamnya karena
dipermainkan Sena waktu itu menghilang. Kini ia yakin, kalau pemuda ini tidak
gila karena mayat-mayat yang bergeletakan.
Sikapnya memang sudah tenang, tetapi sekali-sekali masih menunjukkan rasa
sedihnya. "Kakang Sena...," panggil Sekar Wangi dan ia tidak meneruskan kata-katanya
karena Sena sudah memotong dengan gembira.
"Haya! Betul itu, betul sekali. Kakang Sena... he he he... enak sekali kedengarannya. Ada
apa, Rayi Sekar" Wah, wah... pas sekali. Kayak sepasang kekasih yang sedang
memadu kasih...," Sena menggaruk-garuk kepalanya.
Sekar Wangi tertawa dengan tersipu.
"Hmm, apakah Kang Sena tahu siapa yang
melakukan semua ini?" tanyanya kemudian.
"Pasti, siapa lagi kalau bukan Gerombolan Iblis dari Pacitan yang melakukannya."
Mendengar jawaban Sena, Sekar Wangi tersentak.
"Oh, Gusti! Gerombolan Iblis dari Pacitan?"
"Ya, pasti mereka. Karena, beberapa hari yang lalu mereka gagal menyerang desa
ini. Ah, sebenarnya...
he he he... aku sudah yakin kalau mereka akan kembali lagi menyerang. Tetapi,
aku sudah telanjur melangkah untuk mencarinya."
"Kakang tahu di mana mereka bermukim?"
"Di Gunung Kematian."
"Oh, jauhkah dari sini?"
"Cukup jauh, Rayi Sekar. Kira-kira... sehari satu malam bila menunggang kuda....
He he he... kalau berjalan kaki, bisa encok kita."
Sekar Wangi terdiam. Ia teringat kembali akan tugasnya keluar dari pesisir Laut
Kidul. Untuk mencari gerombolan itu yang telah membunuh kedua orangtuanya.
Melihat Sekar Wangi terdiam, Sena bertanya, "Rayi Sekar... apakah ada masalah
dengan Gerombolan
Iblis dari Pacitan?"
Sekar Wangi menganggukkan kepalanya. Lalu berceritalah ia seperti yang
diceritakan oleh gurunya tentang orangtuanya yang telah dibunuh oleh Rodopalo,
Ketua Gerombolan Iblis dari Pacitan.
"Hmmm, sepertinya kita punya tugas yang sama,"
kata Sena kemudian. "Aku juga mempunyai tugas untuk menghancurkan gerombolan
itu..." "Kang Sena, katamu kau bentrok dengan mereka beberapa hari yang lalu di sini.
Benarkah?"
"Ya, Rayi...."
"Ceritakan, Kakang... aku ingin tahu bagaimana ciri-ciri Rodopalo itu?"
Sena pun akhirnya bercerita.
*** Malam itu, sudah hampir menjelang subuh, ketika Sena alias Pendekar Gila
memasuki Desa Sawo Jajar.
Ia sama sekali tidak menyangka kalau di Desa Sawo Jajar sedang terjadi bentrokan
yang hebat. Antara penduduk dengan orang-orang yang berpakaian hijau lumut.
Sena juga melihat seorang laki-laki setengah baya yang sedang gigih
mempertahankan diri dan memberikan komando pada yang lainnya.
"Jangan mundur! Kita hancurkan mereka!"
serunya gagah sambil mengibaskan tombaknya ke sana kemari dan menimbulkan
desingan angin yang cukup kuat.
Orang-orang yang menyerang Desa Sawo Jajar, terdiri dari tiga puluh orang,
dengan keganasan yang semakin menjadi-jadi. Dalam beberapa menit saja, sudah
terlihat kalau para penduduk sudah terserang
hebat. Saat itulah, Sena melentingkan tubuhnya dan terjun dalam pertempuran itu. Dengan
mempergunakan 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' ia menghajar para penyerang Desa
Sawo Jajar dengan hebat dan cepatnya. Tubuhnya meliuk-liuk dengan manisnya
seperti menari dan tangannya sekali-sekali menepuk.
Sekilas memang hanya bagai tepukan belaka, namun hasil yang terjadi sangat luar
biasa. Tubuh lawan yang terkena tepukan-nya akan terhuyung ke belakang dan bisa
mati seketika dengan meninggalkan bekas di dada lawan.
Melihat kemunculan seorang pemuda yang
berompi dari kulit ular, membuat para penduduk desa bersemangat. Terutama laki-
laki setengah baya yang menyerang dengan menggunakan tombak. Ia adalah Ki Lurah
Somata yang terjun langsung dan memberikan semangat para penduduk.
Sudah tentu dengan kemunculan Sena, orang-orang ganas yang menyerang Desa Sawo
Jajar menjadi terhenyak. Mereka memperkirakan, kalau tidak segera membunuh
pemuda yang menyerang sambil cengengesan itu, akan membahayakan kedudukan
mereka. Dan mendadak tiga orang segera mengurungnya dengan golok tajam di tangan.
"Anjing buduk! Siapa kau?" membentak salah seorang yang berwajah seram dan
memiliki codet di pipi kanannya.
Sena cuma terkekeh saja.
"He he he... namaku Sena. Orang-orang menjuluki Pendekar Gila."
"Hhh! Kau memang patut menyandang julukan seperti itu, Orang gila!" serunya
sambil menyerang.
Dan seperti dikomandoi, kedua temannya pun ikut menyerang dengan ganasnya.
Golok-golok tajam yang berada di tangan mereka berkelebat dengan cepat dan
ganas. Pendekar Gila hanya terkekeh-kekeh saja, sambil bergerak bagaikan menari.
Dan sekali-sekali melepaskan pukulannya yang seperti menepuk.
"He he he... siapa sebenarnya kalian ini yang kerjanya hanya merampok dan
membunuh saja?"
seru Sena sambil menghindar dan membalas dengan santainya.
"Keparat busuk! Kau seharusnya bertekuk lutut dan bersujud di hadapan kami,
hah!" "He he he... di depan kaki buduk" Wah, wah...
tidak mau! Tidak mau!"
"Orang gila keparat! Cepat kau bersujud di hadapan kami, Gerombolan Iblis dari
Pacitan!" seru si Codet sambil terus menyerang dengan cepat, begitu pula dengan
kedua temannya. Namun sampai sejauh ini mereka belum mendapatkan hasil yang
memuaskan. Sementara itu pertempuran antara para penduduk dengan orang-orang jahat itu
semakin bertambah seru. Kali ini kemenangan berada di pihak para penduduk.
Ki Lurah Somata dengan cepat dan tangkasnya merangsek maju ke penyerang-
penyerang itu, sehingga sedikit banyaknya mereka mulai terpukul mundur.
Sedangkan Sena kali ini sudah tidak ingin bertindak tanggung lagi. Mendadak saja
ia meliuk-liukkan tubuhnya dan tiga buah tepukan mengenai dada lawannya. Yang
langsung ambruk berkalang tanah.
Melihat keadaan yang tidak memungkinkan dan suasana yang mulai kacau-balau,
sisa-sisa penyerang itu segera melarikan diri dengan kuda-kuda mereka.
"Hayo, hayo! Jangan lari! Pegang! Pegang!" seru Sena sambil berjingkrakan,
membuat Ki Lurah Somata hanya tersenyum saja. Lalu menghampirinya.
'Tuan Pendekar... terima kasih atas bantuanmu...,"
katanya sementara yang lain sedang mengangkuti mayat-mayat teman mereka, atau
memberi pertolongan pada yang terluka.
Sena menggaruk-garukkan kepalanya.
"He he he... sebagai sesama manusia, kita memang wajib tolong menolong.... He he
he sudah tentu dalam kebaikan, Ki..."
"Aku Lurah di sini. Orang-orang memanggilku Ki Lurah Somata."
"He he he... namaku Sena. Orang-orang menju-lukiku Pendekar Gila... he he he...
aku tidak gila sebenarnya.... Ya, ya... aku tidak gila...."
Sementara itu, pagi semakin menjelang dan suasana yang biasanya hiruk-pikuk
dengan kegiatan sehari-hari, kali ini mereka sibuk dengan menggali tanah untuk
mengubur kawan-kawan mereka yang menjadi mayat.
Suara jerit dan tangis terdengar memilukan dari sanak famili yang ditinggal
mati. Lebih memilukan dari seorang wanita yang sedang hamil tua, begitu
menyadari suaminya sudah meninggal. Wanita itu jatuh pingsan dan langsung diberi
pertolongan. Ki Lurah Somata hanya menghela nafas panjang.
Sedih bercampur pilu. Lalu ia berkata pada Sena,
"Mari kita ke tempat tinggalku."
Tempat tinggal Ki Lurah Somata sama seperti kebanyakan rumah-rumah yang ada di
sana. Keduanya duduk di pendopo. Tidak ada air minum dan sedikit makanan. Suasana
dalam keadaan tidak enak.
"Ki Lurah... siapakah sebenarnya orang-orang itu?"
tanya Sena setelah kebisuan meraja beberapa saat.
"Ah...," Ki Lurah Somata mendesah. "Mereka adalah para begundal dan perampok
yang kejam, Nak Sena...."
Sena menggaruk-garukkan kepalanya. "Mereka menyebut diri Gerombolan Iblis dari
Pacitan. Benar?"
"Ya."
"Siapakah pemimpin mereka, Ki Lurah?" tanya Sena cengengesan. Seolah tanya jawab
yang dilakukannya dengan Ki Lurah Somata tidak ada artinya. Tetapi, memang
seperti itulah sifat Pendekar Gila. Sepertinya tidak serius, padahal ia sangat
serius. "Hmmm... namanya Rodopalo. Laki-laki yang terkenal sangat kejam dan telengas.
Tidak pandang bulu. Kekejaman mereka sudah lama terdengar, dengan seringkalinya
mereka merampok para pedagang di daerah perbatasan atau pula di Hutan Bawengan.
Yah, kekejaman itu sangat mengerikan sekali..."
"Apakah tidak ada upaya pemberantasan
mereka?" "Sudah berulang kali. Namun, Gunung Kematian di mana tempat mereka bermukim,
sangat menyeramkan. Sementara penjagaan yang ada di sana sangat ketat sekali."
"He he he... dan jalannya, pun seram, bukan?"
"Begitulah keadaannya, Nak Sena...."
"Kalau begitu... saya akan mendatangi tempat itu."
"Oh! Nak Sena...," Ki Lurah Somata terbelalak dan tidak jadi berkata apa-apa
karena Sena sudah
memotong. "He he he... sekalian berjalan-jalan. Tempat itu sudah tentu sangat indah,
bukan?" Ki Lurah Somata hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dulu, dulu sekali. Tetapi sekarang, seperti namanya, gunung itu menyimpan
banyak misteri yang mengerikan...."
Tetapi Sena tetap pada tekadnya untuk mendatangi tempat itu. Jiwanya yang paling
tidak suka bila melihat kejahatan, memberontak.
Pagi itu pula ia berpamitan menuju Gunung Kematian.
*** Sena mendesah panjang, "He he he... begitulah ceritanya, Rayi Sekar.... Mengapa
sampai aku merasa dekat sekali dengan orang-orang ini."
Sekar Wangi mendesah panjang. Rasa bencinya pada Rodopalo berikut gerombolannya
semakin menikam dadanya. Semakin membuatnya muak
bercampur marah yang sangat besar.
"Lalu, apa yang hendak Kang Sena perbuat
sekarang?" tanyanya sambil menatap Sena. Ah, pemuda ini sangat tampan sekali.
Sikapnya meskipun agak tidak waras, namun mencerminkan kebijak-sanaannya. Di
matanya ada kilatan Jenaka. Sena cengar-cengir.
"Sudah pasti aku akan memburu Gerombolan Iblis dari Pacitan."
"Kalau begitu aku turut bersamamu."
Sena terbelalak.
"Hah" Bersama dengan gadis cantik?" Kening
Sekar Wangi berkerut.
"Kang Sena keberatan?"
"He he he... sudah tentu tidak, Manis.... Malah sangat mengasyikkan."
Wajah Sekar Wangi memerah. Tiba-tiba ia berdiri dengan jengahnya, ketika
terbayang kembali bagaimana Sena memeluk dan menindihnya waktu itu.
Sena pun berdiri. Menepuk-nepuk pantatnya yang berdebu.
"Kenapa membelakangiku?" tanyanya sambil
cengar-cengir. Lalu melangkah berhadapan dengan Sekar Wangi. "He he he...
wajahku yang ganteng ini tiba-tiba jadi jelek, ya?"
"Ah, Kang Sena ini!" seru Sekar Wangi sambil melompat ke kudanya dan langsung
menggebraknya. "Hei, mau kemana?" seru Sena.
"Ke Gunung Kematian!" sahut gadis itu sambil menghentikan laju kudanya.
Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa tidak bersamaku?"
"Kang Sena menolaknya tadi!"
"He he he... tidak, Manis... sudah tentu tidak!"
Tetapi Sekar Wangi sudah jengah, lalu ia
menggebrak laju kudanya.
"Hei!" seru Sena. Tetapi Sekar Wangi terus menjalankan kudanya. "Kita belum
menguburkan mayat-mayat ini?" seru Sena pula sambil menggaruk-garukkan
kepalanya. Tiba-tiba ia mendengus, "Hhh!
Jelita Penunggang Kuda!"
Bersamaan dengan.itu, bermunculan para wanita dan anak-anak yang bersembunyi di
Hutan Gamis. Karena cukup lama menunggu tidak ada yang muncul juga, mereka sepakat untuk
segera kembali ke desa.
Dan alangkah terkejutnya mereka begitu melihat mayat-mayat bergeletakan.
Bergegap gempita mereka
berlarian mencari suami dan sanak famili.
Tangis berkepanjangan pun terdengar.
Sena hanya berdiri mematung tanpa bisa berbuat apa-apa Lalu perlahan-lahan ia
membujuk mereka untuk merelakan yang telah pergi.
'Tuan... cari bangsat-bangsat itu! Bunuh mereka!
Balaskan sakit hati kami!" rintih mereka sambil berlutut di hadapannya.
Sena cuma mendesah panjang. Setelah
menguburkan mayat-mayat itu seorang diri ia pun segera berkelebat, dengan satu
tujuan, menghancurkan Gerombolan Iblis dari Pacitan.
*** 5 Gunung Kematian pagi hari.
Suasana tetap menyeramkan. Kesunyian Gunung Kematian teramat menakutkan. Di
beberapa tempat tersembunyi, telah bersiaga beberapa anak buah Gerombolan Iblis
dari Pacitan. Di pendopo bangunan besar di mana Gerombolan Iblis dari Pacitan berdiam, nampak
sedang ada pesta kecil. Suasana terdengar riuh. Di empat buah pintu masuk,
berdiri dua orang penjaga dengan senjata di tangan.
Saat ini, Nyai Titir sudah kembali ke Gunung Kematian. Ia berhasil mengundang
kembali Empat Malaikat Kahyangan untuk bersatu. Dalam
menyambut kedatangan mereka, Nyai Titir khusus memerintahkan Rodopalo mengadakan
pesta. Empat Malaikat Kahyangan telah lama dikenal di rimba persilatan ini. Terdiri
dari orang-orang hitam yang kerjanya hanya membuat orang lain merana.
Namun, pertikaian terjadi sendiri di kubu Empat Malaikat Kahyangan, sehingga
akhirnya mereka tercerai-berai. Dan sekarang, Nyai Titir berhasil mengumpulkan
mereka kembali.
Nyai Titir sendiri duduk bersila sambil menuang tuaknya. Di sebelah kirinya,
berjarak satu tombak duduk seorang kakek yang mengenakan jubah berwarna putih
dengan wajah yang kekar dan menampakkan kekerasannya, la adalah Ki
Rongsowungkul atau yang berjuluk si Tua Penghuni Gunung Karang. Telah sekian
tahun Ki Rongso-
wungkul mendiami tempat itu. Ia bersenjatakan sebuah tasbih.
Di sebelah kanan Nyai Titir yang berjarak satu tombak pula, duduk seorang laki-
laki tegap yang sangat tampan. Kulitnya putih. Kumis tipis menghiasi wajahnya,
menambah ketampanannya. Ia adalah Kuntala atau yang berjuluk si Kipas Maut.
Ayunan kipasnya mampu menghancurkan batu sebesar kerbau.
Di sebelah Kuntala, berjarak satu tombak pula, duduk Nyai Priatsih yang
mengenakan pakaian berwarna hitam. Sikapnya tenang dan dingin. Ia memiliki
banyak cara untuk menyiksa lawannya sangat kejam. Ia benuluk Si Tongkat Iblis.
Ilmu tongkatnya cukup tinggi.
Sementara Rodopalo sendiri duduk di hadapan mereka.
"Mari, mari, Saudara-saudara sekalian!" katanya sambil mengangkat tuaknya. "Kira
rayakan kebersamaan ini dengan meminum tuak sampai mabuk...
ha ha ha ha!"
Suasana ruangan itu pun penuh dengan tawa.
Semuanya mengangkat tuak masing-masing.
Setelah beberapa saat, terdengar suara Ki Rongsowungkul, "Titir... kau belum
menceritakan maksudmu untuk mengundang kami di sini?"
"Ya," sahut Nyai Priatsih. "Sekarang ceritakan kepada kami, ada apa gerangan?"
Nyai Titir menunggu sampai Kuntala bertanya pula, tetapi si Kipas Maut nampak
tak acuh saja. Barulah Nyai Titir berkata, "Ha ha ha... jangan bersikap sungkan
seperti itu sesama teman. Kita masih tetap Empat Malaikat Kahyangan yang telah
lama menguasai rimba persilatan dan kini akan
menguasainya kembali...."
"Kau tahu bukan, aku tidak suka bertele-tele?"
tiba-tiba Kuntala bersuara sambil berkipas.
"Sifatmu memang tidak pernah berubah, Kipas Maut," kata Nyai Titir. "Baik, akan
kujelaskan maksudku mengundang kalian untuk berkumpul di sini. Hmmm, terus
terang, saat ini aku telah memungut seorang murid dan ia berada di hadapan
kalian sekarang ini. Dengan bantuan muridku itulah aku mengadakan perampokan,
pembunuhan dan pencurian besar-besaran. Ha ha ha... aku menyukai ini, sangat
menyukai-nya....
"Lalu, apa maksudmu mengundang kami?" tanya Ki Rongsowungkul sambil mengusap
janggutnya yang putih.
"Ha ha ha... sudah tentu untuk mengundang kalian bersatu padu dengan kami.
Dengan bergabungnya kita kembali, sudah tentu Empat Malaikat Kahyangan tidak
akan pemah terkalahkan. Hmm... apakah kalian sudah pernah mendengar tentang
Pendekar Gila?"
"Singo Edan!" seru semuanya berbarengan sambil menatap Nyai Titir.
"Ha ha ha... nama besar Singo Edan memang masih menjadi momok sampai sekarang
ini. Tetapi, aku tahu, sekarang ia menyembunyikan diri di Gua Setan," kata Nyai
Titir sambil tersenyum meremehkan.
"Lalu, siapa maksudmu dengan Pendekar Gila itu?" tanya Nyai Priatsih.
"Aku menduga, kalau Singo Edan telah mengambil seorang murid, yang sudah tentu
kesaktiannya sama dengannya."
"Dari mana kau tahu?" tanya Kuntala ya ini memperlihatkan perhatiannya.
"Karena, baru-baru ini ia menggagalkan aksi perampokan yang kami lakukan di Desa
Sawo Jajar. Ia adalah seorang pemuda yang mengenakan rompi dari kulit ular. Dan aku yakin
seyakin-yakinnya, kalau pemuda itu adalah murid dari Singo Edan yang juga
berjuluk Pendekar Gila."
"Dengan maksud untuk menghadapinyakah kau mengundang kami kembali?" tanya Nyai
Priatsih sambil mendengus.
"Ha ha ha... sudah tentu tidak. Kesaktianku semakin meningkat sekarang ini. Aku
cuma ingin mengembalikan nama besar Empat Malaikat
Kahyangan ke dunia persilatan. Apakah kalian bersedia?" Nyai Titir memandang ke
sahabat-sahabatnya.
Tak ada yang bersuara. Tiba-tiba Ki Rongsowungkul mendehem. "Titir... bukannya
aku tidak menghendaki nama besar Empat Malaikat
Kahyangan bersatu padu dan kembali merajai rimba persilatan. Namun usiaku sudah
tua... dan sebentar lagi ajal akan menjemputku. "
Nyai Titir menatap tajam, "Jadi... apa maksudmu, Rongsowungkul"''
"Sekali lagi kukatakan, aku tidak menolak bila Empat Malaikat Kahyangan bersatu
kembali. Namun, aku keberatan bila kita bergabung untuk kejahatan."
"Hei, apakah Gunung Karang telah membuatmu mematikan segala dosa-dosamu?" ejek
Nyai Titir. Ia nampak kecewa sekali karena Ki Rongsowungkul menolak
keinginannya. "Tidak. Tetapi rasa penyesalan itu datang dari diriku sendiri. Aku tidak ingin
lagi di masa tua seperti ini harus melumuri tanganku dengan dosa, Titir.
Sekali lagi kukatakan, aku minta maaf... karena telah
menolak ajakanmu."
Suasana kelihatan menegang. Satu sama lain saling berpandangan kecuali Ki
Rongsowungkul yang masih mengusap-usap janggutnya yang putih. Sampai Nyai Titir
berkata, "Hei, kalian tidak usah tegang. Ha ha ha... Ki Rongsowungkul terima
kasih atas kesediaanmu memenuhi undanganku. Tidak apa-apa, kau bisa membersihkan
dosa-dosa yang selama ini telah kau lakukan."
Ki Rongsowungkul berdiri.
"Akan kulakukan, Titir. Dan aku hanya bisa berharap, agar kalian mengikuti
jejakku untuk meninggalkan perbuatan dosa yang telah lama kita lakukan...."
Lalu dengan gerakan yang ringan sekali, Ki Rongsowungkul meninggalkan tempat
itu. Sepeninggalnya, Kuntala mendengus, "Tua bangka keparat! Masih bertingkah
rupanya! Titir, aku ikut denganmu!"
"Bagus, bagus!" sahut Nyai Titir. "Kau bagaimana, Priatsih?"
Nyai Priatsih terkekeh.
"Sudah tentu aku akan mengikutimu. Hhhh!
Terlalu bodoh bila aku harus berdiam diri di masa tuaku...."
"Bagus, bagus sekali! Mari, kita bersulang untuk kembali pada masa jaya!" Mereka
meminum tuak lagi. Lalu Nyai Titir berkata, "Empat Malaikat Kahyangan telah mati
seorang... berarti, kita tinggal bertiga...."
"Kau hebat sekali, Titir...," sahut Nyai Priatsih.
"Lalu mengapa kita berdiam saja untuk men-jadikan Empat Malaikat Kahyangan
menjadi tiga?"
Nyai Titir terbahak-bahak.
"Bagaimana Kuntala, kau setuju?"
"Sejak semula aku menyatakan persetujuanku, sudah tentu aku akan ikut denganmu
selamanya."
"Ha ha ha... bagus, bagus! Kita akan menghajar adat pada Ki Rongsowungkul! Dan
akan kita beritahu padanya, kalau salah seorang dari Empat Malaikat Kahyangan
harus mati!"
Mereka kembali terbahak-bahak.
Rodopalo yang sejak tadi berdiam diri, semula tidak mengerti maksud kata-kata
Nyai gurunya. Namun kemudian ia paham. Berarti, Ki Rongsowungkul harus mati!
*** Ki Rongsowungkul meneruskan langkahnya
dengan ringan. Ia sudah berani berkata, dan berarti berani
mempertanggungjawabkan kata-katanya. Ia paham, kalau maut sedang mengintainya.
Namun ia sudah tidak mempedulikannya. Baginya yang terpenting, ia harus
meninggalkan segala perbuatan-nya.
Sambil melangkah, Ki Rongsowungkul membuka mata dan telinganya. Karena ia yakin,
kalau ketiga sahabatnya sangat tidak menyukai tindakannya.
Lebih-lebih diucapkan dalam pertemuan mereka yang pertama.
Namun sudah bulat tekad di hati Ki Rongsowungkul, kalau ia akan meninggalkan
dunia hitam yang telah lama digelutinya. Selama ia bermukim di Gunung Karang, ia
sudah bertekad untuk mensucikan dirinya dari dosa.
Yang tak pernah disadarinya, ia selalu terbayang bagaimana jerit kematian dari
orang-orang yang
mereka bunuh. Bahkan kaum wanita pun dibunuhnya setelah diperkosa. Tidak hanya
itu, anak kecil yang masih bayi pun pernah dibunuhnya.
Dan sungguh, keadaan seperti itu teramat
menyiksa Ki Rongsowungkul. Itulah sebabnya ia bertekad untuk meninggalkan
dunianya yang lama.
Ketika Nyai Titir muncul dan menyuruhnya untuk datang ke Gunung Kematian ia
memang bersedia.
Dan Ki Rongsowungkul pun sedikit banyak sudah mencium, masalah apa gerangan yang
akan dirundingkan. Karena, Nyai Titir berkata akan mengundang pula Kuntala dan Nyai
Priatsih. Ternyata apa yang diduganya benar. Walaupun ia yakin akibat dari penolakannya
itu, namun ia sudah bertekad untuk tetap mengundurkan diri.
Apa yang diduganya ternyata benar. Begitu ia memasuki Hutan Bawengan, mendadak
terdengar derap langkah kuda yang cepat mendekatinya. Ki Rongsowungkul bersiap
dan memicingkan mata. Ia melihat tiga sosok tubuh di atas kuda-kuda itu, dan
melompat dengan jalan bersalto ke arahnya. Lalu hinggap di tanah dengan
ringannya. Ki Rongsowungkul hanya tertawa saja.
"Sudah kuduga, pengalaman yang pahit akan kualami sekarang ini," katanya sambil
tertawa dan memperhatikan tiga orang yang dulu menjadi sahabatnya. Kini
mengurungnya dengan sikap siap menyerang.
Nyai Titir tersenyum sinis.
"Rongsowungkul, kita dikenal dengan nama Empat Malaikat Kahyangan. Tetapi,
karena kau menolak untuk bersatu kembali, nama itu terpaksa harus
dihapuskan...."
"Dengan kata lain, kalian menjelma menjadi Tiga
Malaikat Kahyangan?" kata Ki Rongsowungkul dengan sikap tenang. Lalu terbahak-
bahak. "Kalau kau sudah tahu, mengapa kau tidak
membunuh diri?" ejek Kuntala si Kipas Maut sambil mengipas-ngipas dirinya.
"Aku sangat menyayangi nyawaku. Dulu, aku pun selalu mempertahankannya. Dan
sekarang, apakah aku harus berdiam diri bila bahaya menghadangku?"
kata Ki Rongsowungkul dengan sikap yang tetap tenang.
"Bagus kalau begitu!" dengus Nyai Titir sambil memutar tongkatnya. "Bersiaplah
untuk mampus!"
"Ha ha ha... kau, ingin menghadapiku seorang diri"
Jangan bermimpi, Titir. Dulu, bolehlah kau menjadi orang pertama dalam Empat
Malaikat Kahyangan.
Tetapi sekarang, jangan kau pandang dirimu sebagai orang pertama."
Nyai Titir merah padam mendengar kata-kata Ki Rongsowungkul yang bernada
mengejek. Mendadak saja ia mengempos tubuhnya dan melenting ke arah Ki
Rongsowungkul. "Orangtua keparat! Mampuslah kau! Heaaaa!"
Ki Rongsowungkul hanya tertawa saja. Tidak bergeming dari tempatnya. Tubuh Nyai
Titir menderu maju. Namun beberapa tindak lagi tongkat di tangan Nyai Titir
menghantam kepalanya, Ki Rongsowungkul mengibaskan sebelah tangannya ke depan!
Nyai Titir terhenyak sejenak, namun ia sudah tidak bisa lagi menahan tubuhnya.
Dirasakannya serangkum angin keras menerpa tubuhnya, membuatnya menjadi sedikit
oleng. Bila bukan Nyai Titir yang terkena pukulan itu, sudah jelas dadanya akan
jebol. "Hebat! Rupanya di usia senjamu ini kau masih bisa menciptakan jurus yang
ampuh!" Ki Rongsowungkul terbahak-bahak.
"Itu adalah jurus 'Pukulan Angin Gunung Karang'
yang sengaja kuciptakan untuk menandingi 'Pukulan Angin Manik'-mu, Titir! Ha ha
ha... sebuah jurus yang sangat hebat, bukan" Hmm, mana racunmu yang hebat itu"
Aku sudah lama ingin merasakannya!"
Diejek seperti itu, Nyai Titir menggeram. Lalu ia mengambil sesuatu dari dalam
kantong yang tersampir di pinggangnya. Dua ekor ular berwarna merah.
"Hmmm, kalau kau ingin bermain-main dengan racunku, lebih baik kau hadapi saja
kawanku ini."
Wajah Ki Rongsowungkul diam-diam pias. Ia tahu kalau dua ekor ular yang berwarna
merah itu adalah salah satu senjata dari Nyai Titir. Kedua ular itu dikenal
dengan sebutan 'Si Merah Pencabut Nyawa'.
Tetapi sudah tentu Ki Rongsowungkul tidak memperlihatkan rasa piasnya. Ia cuma
terbahak-bahak saja.
"Bagus, bagus sekali! Sudah lama aku ingin merasakan kehebatan si Merah Pencabut
Nyawa," katanya. "Mengapa kau tidak melepaskannya, hah?"
Nyai Titir menggeram, dengan kegeraman yang sama, dilepaskannya sepasang ular
merahnya. "Ayo, Manis... lakukan tugasmu dengan baik...,"
katanya sambil tertawa.
Sepasang ular berwarna merah itu mendesis.
Hebat, karena ular-ular itu seolah tahu siapa yang harus diserangnya. Keduanya
menjalar ke arah Ki Rongsowungkul yang menjadi waspada. Ia sudah sangat
mengetahui betapa kejamnya bisa yang keluar dari ular-ular itu.
Ular-ular itu meliuk-liuk seolah mencari sela.
Tatapan keduanya memerah, semerah kulitnya. Dan
mendadak saja keduanya meluncur ke arah Ki Rongsowungkul yang menghindar dengan
berkelit. Serangan pertama dari dua ular itu melesat.
Dan naluri yang dimilikinya tak bedanya dengan kekejaman milik Nyai Titir. Ular-
ular itu terus merangsek maju ke arah Ki Rongsowungkul yang harus berkelit
Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan sekali-sekali melancarkan 'Pukulan Angin Gunung Karang'nya.
Namun ular-ular itu jelas-jelas ular pembunuh yang terlatih. Karena keduanya
dapat menghindari setiap pukulan yang dilancarkan oleh Ki Rongsowungkul.
"Ha ha ha... bagaimana mungkin kau mampu
menghadapi kehebatanku dalam ilmu racun,
melawan dua binatang kesayanganku saja kau sudah kewalahan seperti monyet gila,"
kata Nyai Titir sambil tertawa.
Begitu pula dengan Nyai Priatsih dan Kuntala yang terbahak-bahak.
"Lebih baik kau membunuh diri saja, Orangtua!"
seru Kuntala dengan tatapan dinginnya.
Ki Rongsowungkul terus berusaha menghindar.
Dan mendadak ia melenting ke belakang dan ke depan, karena kedua ular itu
mendadak menegak dan dari mulut mereka, meluncur bisa-bisa ular yang sangat kuat
racunnya. "Bangsat!" Ki Rongsowungkul memaki sambil menghindar. Karena kedua ular itu
terus menerus melancarkan serangan bisa mereka. Membuat Ki Rongsowungkul harus
bekerja lebih keras dalam upaya menyelamatkan diri.
"Ha ha ha... ada tarian monyet gila di sini!" tertawa Nyai Titir. "Ayo manis...
jangan beri kesempatan dia untuk hidup lagi... ha ha ha!"
Ki Rongsowungkul terus menghindar. Bisa-bisa
ular yang tak mengenainya, menghantam batang kayu yang langsung menghitam, dan
dahannya langsung mengering. Sementara daun-daunnya meranggas lalu berguguran.
"Kalau begini, lama-lama tenagaku akan terkuras,"
dengus Ki Rongsowungkul dalam hati. Ia menunggu sampai ular-ular itu melontarkan
lagi bisa-bisa mereka. Saat itulah Ki Rongsowungkul berkelit ke depan, melewati
kedua ular itu. Dan sambil bersalto, ia melepaskan jurus, 'Angin Gunung
Karang'nya. Satu ular terhantam dan langsung terbelah retak.
Yang satunya lagi mendesis. Lebih ganas menyerang.
Ki Rongsowungkul kali ini memutar tubuhnya, dengan tiba-tiba saja ia kembali
melepaskan 'Pukulan Angin Gunung Karang'-nya.
Des! Ular itu mendesis kelojotan. Lalu tubuhnya meledak. Melihat kenyataan itu, Nyai
Titir sambil menjerit marah menyerang membabi buta dengan tongkatnya.
"Kau harus mengganti nyawa kedua binatang kesayanganku dengan nyawamu,
Rongsowungkul!"
Serangannya kali ini lebih ganas, lebih terarah dan bertubi-tubi. Setiap kali ia
menggerakkan tongkatnya, menimbulkan suara angin yang keras dan cukup memekakkan
telinga Namun menghadapi Nyai Titir bagi Ki
Rongsowungkul yang sudah banyak mengetahui kelemahan ilmu dari Nyai Titir, lebih
mudah daripada harus menghadapi ular-ular berbisa itu.
"Ha ha ha... kau sudah tua, Titir. Kau sudah tidak punya gigi lagi!" ejeknya
sambil membalas dengan cepat. 'Pukulan Angin Gunung Karang' yang dilepaskannya
membuat Nyai Titir kalang kabut. Ia
harus berjumpalitan ke sana kemari.
Bersamaan Nyai Titir menghindar, mendadak saja tubuh Ki Rongsowungkul berputar
bagai baling-baling.
Itu adalah jurus 'Angin Gunung Karang Menerbangkan Badai' yang berhasil ia
ciptakan. Hasilnya sudah mengejutkan Nyai Titir. Ia seakan terbawa dalam arus pusaran
angin yang ditimbulkan akibat berputarnya tubuh Ki Rongsowungkul. Bahkan ia
tidak bisa mengendalikan tubuhnya lagi.
Tanpa ampun dua sodokan keras yang dilakukan oleh Ki Rongsowungkul menghantam
telak dadanya. Membuat Nyai Titir terhuyung dengan tangan mendekap dadanya.
"Ha ha ha... kau sudah tua, Titir. Sudah tua!" seru Ki Rongsowungkul.
Kuntala melompat satu tindak.
"Ki... aku pun ingin bermain-main dengan 'Pukulan Angin Gunung Karang'mu itu,"
katanya dengan suara dingin, sedingin tatapannya.
"Bagus! Mengapa kau tidak segera maju" Atau...
mengapa kalian tidak sekaligus maju menyerangku, hah" Jangan sampai yang
terjadi, bukannya tinggal Tiga Malaikat Kahyangan lagi, melainkan Satu Malaikat
Kahyangan. Ha ha ha ha.,.."
Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan nada mengejek itu, Kuntala segera
merangsek maju.
Kipas di tangannya mengembang dan menutup.
Menyerang Ki Rongsowungkul dengan hebatnya. Ki Rongsowungkul masih tertawa-tawa
saja. Ia segera memapaki serangan Kuntala dengan 'Pukulan Angin Gunung
Karang'nya yang sangat ampuh.
Di luar dugaan, Kuntala justru membuka kipasnya dan mengayunkan ke depan.
Serangkum angin tercip-ta dari sana dan memapaki 'Pukulan Angin Gunung
Karang' Ki Rongsowungkul. Sementara tubuhnya menderu dengan deras.
Plak! Plak! Terpaksa Ki "Rongsowungkul
memapaki serangan itu. Gerakan yang diperlihatkan-nya sangat cepat.
Kuntala tertawa.
"Ha ha ha... hanya begitu saja keampuhan dari pukulan angin kentutmu, Ki!"
serunya sambil mencoba mendesak Ki Rongsowungkul. Kali ini keduanya bertarung
sangat sengit. Berkali-kali Kuntala mengibaskan kipas mautnya yang menimbulkan
hawa panas dan dingin bergantian. Itu adalah jurus 'Kipas Mengubah Mata Angin'.
Ki Rongsowungkul pun segera melepaskan senjata tasbihnya yang ia putar-putar
untuk melayani serangan si Kipas Maut Saat menggunakan tasbihnya, terlihat kalau
Ki Rongsowungkul bisa menghalau semua serangan yang dilakukan oleh Kuntala.
Melihat itu, Nyai Titir dan Nyai Priatsih saling berpandangan. Lalu setelah
saling angguk, keduanya memasuki kancah pertempuran.
"Ha ha ha... mengapa tidak sejak tadi kalian lakukan itu?" tertawa Ki
Rongsowungkul. Meskipun ia yakin tidak akan mampu bertahan melawan ketiganya, ia
tetap berusaha menahan dan membalas setiap serangan.
Sudah tentu kali ini keadaan Ki Rongsowungkul yang sangat terdesak. Ia diserang
dari tiga arah yang berbeda. Berkali-kali ia terkena pukulan, tendangan atau pun
senjata lawan-lawannya. Dan dirasakannya dadanya sangat sesak ketika si Tongkat
Iblis menghantam telak di ulu hatinya.
"Hhh! Masih menjual lagak saja kau di hadapan kami!" dengus Nyai Priatsih sambil
terus mencecar dengan jurus 'Tongkat Iblis Menghancurkan Badai'.
Setiap kali tongkatnya bergerak, menimbulkan deru angin yang sangat keras
sekali. Tetapi Ki Rongsowungkul tetap berusaha bertahan. Sebisanya, karena keadaannya
sudah sangat tidak memungkinkan sekali.
Dan mendadak ia terjungkal di tanah ketika
'Pukulan Angin Manik' yang dilepaskan oleh Nyai Titir menghantam kedua kakinya.
Posisinya sangat sulit sekali untuk melepaskan diri. Mencoba menahan setiap
serangan yang datang pun tidak memungkinkan.
"Mampuslah kau, Orangtua keparat!" dengus Nyai Titir sambil melepaskan 'Pukulan
Angin Manik'nya.
Sementara Nyai Priatsih dan Kuntala sudah menderu maju.
Kali ini Ki Rongsowungkul hanya bisa memejamkan mata. Untuk menghindar suatu hal
yang sangat tidak mungkin sekali. Terlalu sempit posisinya.
Bahkan tenaganya sudah lenyap sama sekali.
Ia hanya bisa pasrah. Dalam hatinya, ia sudah merasa puas, karena bisa
membuktikan diri untuk tidak melakukan perbuatan dosa lagi.
Namun ia justru terkejut karena terdengar teriakan dari ketiga lawannya yang
bernada kaget. Lalu tubuh masing-masing berlompatan seperti terkena serangan mendadak. Memang,
beberapa senjata rahasia berupa sirip ikan layur beterbangan ke arah ketiganya.
"Bangsat! Siapa yang berani menjual muka, hah?"
dengus Nyai Titir begitu hinggap di tanah.
Ia baru menyadari kalau satu sosok tubuh telah menyambar tubuh Ki Rongsowungkul
dan hinggap dengan ringannya pada kuda yang sedang berlari.
Lalu digebraknya kudanya dengan kecepatan tinggi.
Tinggal ketiga orang itu yang saling mendengus sendiri.
"Bangsat! Siapa bocah perempuan yang berani ikut campur itu!" dengus Kuntala
marah. "Melihat gerakan yang dilakukannya, ilmunya cukup tinggi!" seru Nyai Priatsih
marah. "Hhh! Bila ia berani muncul kembali, akan kupa-tah-patahkan tubuhnya!" seru Nyai
Titir. Lalu melompat ke kudanya. "Biarkan saja mereka, kita kembali ke Gunung
Kematian!"
Nyai Priatsih nampak masih terdiam. Ia
memandangi senjata rahasia sirip ikan layur yang dilepaskan penyerangnya semata
untuk mengalihkan perhatian mereka.
"Priatsih!" seru Nyai Titir. "Kenapa kau?"
Nyai Priatsih menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa!" Lalu melompat ke
kudanya. Ia seperti mengenal senjata rahasia ikan layur ini. Namun ia lupa
siapakah tokoh yang pernah menggunakan senjata rahasia serupa.
Lalu disusulnya Nyai Titir dan Kuntala yang sudah melesat dengan cepatnya ke
arah Gunung Kematian.
Di wajah Nyai Titir dan Kuntala memperlihatkan wajah yang marah. Kemarahan itu
sangat nampak di wajah Nyai Titir.
"Hhh! Kalau saja ia berhasil menangkap manusia itu, akan disiksanya dengan
racun-racunnya yang berbisa."
Sementara itu, Nyai Priatsih masih memikirkan tentang tokoh yang pernah
didengarnya memiliki senjata rahasia berupa sirip ikan layur.
Namun ia belum juga berhasil memulihkan
ingatannya. *** Sementara itu, kuda putih itu terus bergerak dengan cepatnya. Penunggangnya yang
tak lain adalah Sekar Wangi mengendalikan kudanya dengan baik. Di depan tubuhnya
yang menggebrak kuda, satu sosok tubuh tergolek pingsan karena keletihan.
Tadi Sekar Wangi tidak sengaja melihat pertempuran yang menurutnya sangat
dahsyat dan mengerikan. Setelah berpisah dengan Pendekar Gila, ia langsung
menggebrak kudanya menuju ke Gunung Kematian. Dendamnya pada Rodopalo yang telah
membunuh kedua orangtuanya, semakin dalam saja.
Ia merasa tidak akan pernah tenang hidup di dunia ini sebelum melihat durjana
itu mampus di tangannya.
Dan yang tak disangkanya, ketika kudanya memasuki Hutan Bawengan, ia melihat
pertempuran yang sangat seru. Karena, satu orang dikeroyok tiga orang. Bila
mendengar dari bentakan demi bentakan yang mereka lakukan, sepintas Sekar Wangi
bisa menduga, kalau laki-laki yang berbaju putih itu sebelumnya adalah sahabat
dari ketiga penyerangnya. Yang karena suatu sebab entah apa Sekar Wangi tidak
tahu, terjadi perselisihan di antara mereka.
Sebagai orang yang baru muncul di rimba
persilatan, sudah tentu berjumpa dengan tokoh-tokoh aneh dan ilmu-ilmu yang
asing membuatnya
keheranan. Selama ini, Sekar Wangi hanya menganggap kalau orang yang paling
sakti adalah gurunya, Nyai Harum Tari. Ialah satu-satunya di mata Sekar Wangi
yang paling tinggi kesaktiannya.
Namun pada kenyataannya, apa yang dikatakan oleh gurunya memang benar. Kalau
rimba persilatan adalah dunia yang sangat kejam sekali. Banyak tokoh
sakti yang bermunculan. Banyak pula tokoh-tokoh hitam dengan ilmunya yang keji
dan ganas. Kini Sekar Wangi disadarkan oleh pengalaman baru. Kalau sekarang ia tidak bisa
menganggap remeh siapa pun juga. Termasuk Pendekar Gila yang ditinggalkannya.
Ah, bila teringat pemuda itu, Sekar Wangi menjadi malu sendiri. Pertama, ia
dipeluk dan ditindih oleh Sena ketika sedang bertarung karena salah paham.
Kedua, ia merangkul Sena yang menangis bagai anak kecil ketika menyaksikan
mayat-mayat Desa Sawo Jajar yang bergeletakan.
"Sena, Sena... mengapa ada sesuatu yang tidak wajar di hatiku?" desisnya.
Sungguh, ia menyesal telah meninggalkan Pendekar Gila di Desa Sawo Jajar.
Namun ia tidak mau mengingatnya lagi.
Dipacu kudanya dengan cepat. Ia yakin, kalau laki-laki tua yang gagah ini
membutuhkan pertolongan.
Seharusnya ia bisa dengan segera mencoba
menyadarkan laki-laki berbaju putih ini. Namun Sekar Wangi pun tidak mau
kepergok oleh orang-orang yang menyerang laki-laki tua ini.
Makanya, ia terus memacu kudanya. Melarikannya jauh-jauh dari tiga orang
penyerang laki-laki berbaju putih ini tadi yang ia yakin, kalau kesaktian mereka
sangat tinggi sekali.
Di sebuah sungai yang mengalirkan air jernih, ia menghentikan laju kudanya.
Dengan satu gerakan ringan, ia bersalto sambil membopong tubuh Ki Rongsowungkul.
Dialirkannya tenaga dalamnya ke tubuh yang lemah itu. Namun tidak ada fungsi
sama sekali. Ia mencoba melakukannya berulang-ulang, namun
hasilnya tetap sama. Laki-laki tua yang gagah itu tidak bergeming sama sekali.
Tetap tergolek pingsan.
Bergegas ia ke tepi sungai untuk mengambil air.
Barangkali saja dengan bantuan air yang dingin ia bisa menyadarkan laki-laki
ini. Namun baru saja ia akan mengambil air dengan daun lebar itu, terdengar bentakan
yang keras, "Siapa itu yang iseng mengintip, hah"!"
*** 6 Sekar Wangi menjadi bersiaga, ia menarik keluar sepasang pedangnya dari
warangkanya. "Siapa itu?" bentaknya dengan tatapan me-
nerawang. Kali ini perhatiannya menjadi terbagi dua.
Pertama, ia harus menyelamatkan nyawa laki-laki tua berpakaian putih itu. Kedua,
ada seseorang yang ia yakin bukanlah orang yang dikenalnya.
Yang dikhawatirkannya, bila suara itu keluar dari tiga orang penyerang laki-laki
berbaju putih yang sekarang sedang pingsan.
Bukannya sahutan yang terdengar, justru kekehan yang menerpa telinganya, dari
atas pohon. Sekar Wangi mengangkat wajahnya. Ia melihat seorang pemuda berompi
kulit ular sedang cengar-cengir dengan kaki menjuntai di atas pohon itu.
Sekar Wangi mendengus.
"Sena! Bantu aku!"
Bukannya turun, Pendekar Gila justru menggaruk-garuk kepalanya. "He he he...
ketahuan ya, kau suka mengintip orang mandi?"
Sekar Wangi sadar, kalau yang membentak itu -
adalah Sena yang sedang mandi. Untungnya, ia tidak memergoki pemuda yang
tentunya sedang ber-telanjang bulat.
Melayani Pendekar Gila dalam suasana genting semacam ini percuma. Sekar Wangi
buru-buru mengambil air dan kembali mendatangi Ki Rongsowungkul yang tergeletak
di tanah. Sena melihat semua itu dari atas. Dengan satu
lentingan yang ringan, ia melompat dan hinggap di sisi Sekar Wangi yang sedang
berusaha menyadarkan Ki Rongsowungkul.
"Siapa dia, Rayi?"
"Jangan banyak tanya! Bantu aku!" bentak Sekar Wangi.
Sena menggaruk-garuk kepalanya. "Wah, wah, jadi galak lagi rupanya, si Jelita
Penunggang Kuda ini."
Lalu ia membungkuk dan memeriksa tubuh Ki Rongsowungkul. Sesaat kemudian ia
berdecak kagum. "Hebat, meskipun tubuhnya sudah renta seperti ini, namun ia
memiliki kekuatan yang tinggi.
Berarti tenaga dalamnya cukup tinggi. Kalau tidak, ia akan langsung mampus
terkena pukulan sakti seperti ini. Lihat, di dadanya ada bekas telapak tangan."
"Kenapa dia tidak mau siuman juga, Kakang?"
Sena nyengir. "He he he... ceritakan apa yang terjadi, aku akan mencoba
menyadarkannya..."
Sementara Sekar Wangi bercerita tentang laki-laki berjanggut putih ini, Sena
berusaha mengalirkan tenaga dalamnya. Bekas 'Pukulan Angin Manik' Nyai Titir
perlahan-lahan menghilang, bersamaan Sekar Wangi selesai bercerita.
"Sepintas, aku hanya mengetahui namanya, Ki Rongsowungkul," kata Sekar Wangi
mengakhiri ceritanya.
Sena menutup kembali pakaian yang dikenakan Ki Rongsowungkul. Ia mengangkat
tubuhnya, men-dudukkannya dengan kaki selonjor ke depan.
Mendadak ia menotok di beberapa bagian tubuh Ki Rongsowungkul. Lalu terdengar
gagah itu terbatuk-batuk dan... huak!
Tuak yang telah mengisi perutnya, terbuang sebagian. Perlahan-lahan Ki
Rongsowungkul merasa-
kan kepalanya berdenyut. Dan perlahan-lahan pula ia membuka matanya.
Begitu melihat ada dua sosok tubuh di dekatnya, mendadak ia melompat ke
Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belakang. "Hei!" seru Pendekar Gila. "Kau masih lemah, Orangtua!"
Apa yang diserukan Sena terbukti, karena Ki Rongsowungkul bukannya hinggap di
tanah dengan ringannya, ia justru terpelanting dan ambruk.
Sena memburu sambil ngomel-ngomel. "Bandel!"
dengusnya, sementara Ki Rongsowungkul sudah jatuh pingsan lagi. Sena memeriksa
lagi tubuh itu.
Lalu katanya pada Sekar Wangi, "He he he... orangtua ini memang bandel. Sudah
ketahuan sedang terluka dalam, mencoba menyerang juga. Rayi... tolong kaujaga
dia, aku hendak mencari buah-buahan. He he he... bukan dia saja yang lapar
tentunya, perutku sendiri sudah kekuruyukan. Kau mau, Rayi?"
Sekar Wangi cuma mengangguk saja. Ia geli melihat sikap Sena yang lucu seperti
itu. Lalu Sena berkelebat memasuki hutan untuk mencari buah-buahan. Sedangkan
Sekar Wangi, membopong tubuh Ki Rongsowungkul ke balik semak. Sementara si Putih
sudah asyik memakan rumput.
Tak lama kemudian Pendekar Gila sudah kembali dengan buah-buahan yang banyak.
"He he he... kita makan enak sekarang. Seperti orang di kadipaten atau pun di
keraton yang suka makan enak... Mari, Rayi...
Keduanya pun memakan buah-buahan itu. Sekar Wangi entah mengapa merasakan
dirinya sudah semakin akrab dengan Pendekar Gila. Padahal, baru beberapa hari ia
bertemu dengan Pendekar Gila.
Tiba-tiba terdengar suara batuk-batuk, keduanya
segera melompat ke arah Ki Rongsowungkul. Sekar Wangi yang tidak ingin kalau Ki
Rongsowungkul membuat gerakan lagi, segera berkata pelan, "Ki...
jangan takut, kami orang baik-baik...."
Ki Rongsowungkul membuka matanya. Baru kali ini ia mendengar suara yang sangat
merdu menerpa telinganya. Ia melihat seorang gadis jelita sedang tersenyum
padanya. Sementara di sisi gadis itu, dilihatnya seorang pemuda yang berompi
kulit ular sedang menggaruk-garuk kepalanya sambil cengar-cengir.
"Oh!" desisnya bagai keluhan.
Sekar Wangi membantu Ki Rongsowungkul untuk bangkit, menyandar di sebatang
pohon. Ki Rongsowungkul menghela nafas panjang. Terbayang bagaimana
pertempurannya dengan sahabat-sahabatnya sendiri karena ia menolak untuk
bergabung dengan mereka. Ah, bukankah saat itu ia sudah dalam keadaan terjepit,
terjebak dalam lingkaran serangan yang dilakukan sahabatnya yang telah menjadi
lawannya" Diingatnya pula kalau satu sosok tubuh menyambar tubuhnya. Hanya itu
yang diingatnya, karena setelah itu ia jatuh pingsan.
"Sia... siapakah kalian?" tanyanya terbata. Sekar Wangi tersenyum.
"Namaku Sekar Wangi."
Sena terkekeh. "Kalau aku... Sena. Siapakah kau,
"Oh, namaku Ki Rongsowungkul. Orang lebih mengenal julukanku, si Tua Penghuni
Gunung Karang."
"Siapakah orang yang bertempur denganmu, Ki?"
tanya Sekar Wangi.
"Oh! Mereka... mereka adalah sahabat-sahabatku...."
Kali ini kening Sekar Wangi berkerut, sementara Sena cuma terkekeh saja sambil
memakan terus buah-buahan yang dipetiknya di hutan tadi.
"Kalau memang kalian bersahabat, mengapa
harus saling tempur, Ki?"
Ki Rongsowungkul menceritakan apa yang baru saja dialaminya. "Begitulah, karena
aku menolak untuk bergabung dengan mereka, sehingga akhirnya aku harus
dimusnahkan...."
Sena cengengesan sambil berkata, "Ki... he he he... apakah ada orang yang
bernama Rodopalo di sana?"
"Oh! Ada! Ia murid dari Nyai Titir, sekaligus pimpinan Gerombolan Iblis dari
Pacitan." "Bisakah Ki Rongsowungkul memberikan gam-
baran jalan yang tepat untuk menuju ke Gunung Kematian?" tanya Sena pula, kali
ini sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Mau apa kau, Anak muda?"
"He he he... mereka telah membunuh sahabat-sahabatku di Desa Sawo Jajar. Aku
harus menuntut balas atas kematian mereka, di samping aku sendiri hendak
memusnahkan gerombolan mereka...," sahut Sena.
Ki Rongsowungkul menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak muda yang nampaknya gila
ini hanya bermaksud untuk mencari mati saja. Menghadapi Empat Malaikat Kahyangan
yang kini menjadi tiga dan bersa-tupadu, haruslah orang yang memiliki kesaktian
yang sangat tinggi. Hanya Singo Edan-lah yang mampu mengalahkan mereka. Mungkin
juga... muridnya. Tetapi di manakah muridnya sekarang ini"
"Anak muda... mereka terdiri dari orang-orang yang tinggi ilmunya. Bukan
maksudku untuk melarangmu
ke sana, tetapi berpikirlah sebelum semuanya terlambat," kata Ki Rongsowungkul
sambil menerima buah yang disodorkan .Sekar Wangi.
Sena menggaruk-garuk kepalanya.
"He he he... aku memang tidak boleh sombong.
Guru bisa marah besar kalau tahu aku sombong...
tetapi aku tidak sombong. Karena, Guru yang memerintahkan aku untuk membasmi
setiap ke- jahatan... he he he... Guru, Guru... aku jadi rindu padamu...."
Ki Rongsowungkul kali ini mengerutkan keningnya.
Bila melihat caranya berbicara, sudah jelas pemuda ini gila. Tetapi bila
mendengarkan dengan seksama, kata-katanya sangat terarah. Dan mendadak hatinya
berdebar keras.
"Anak muda... siapakah gurumu itu dan di mana ia bermukim?" tanyanya hati-hati.
"He he he... guruku adalah seorang pendekar sakti yang mengundurkan diri....
Namanya... Singo Edan..."
"Oh, Tuhan!"
"... ia bermukim di Gua Setan." Jantung Ki Rongsowungkul seolah berhenti
berdetak. Sejurus kemudian ia terbahak-bahak.
Ha ha ha... rupanya engkaulah pemuda yang telah menggagalkan aksi Gerombolan
Iblis dari Pacitan ke Desa Sawo Jajar. Bagus, bagus... Nyai Titir pasti
kebingungan bila engkau muncul... ha ha ha...
Maafkan aku, Anak muda... aku tidak tahu kalau engkaulah Pendekar Gila yang
diceritakan Nyai Titir...."
Bukannya bangga dipuji seperti itu, Sena
Manggala justru menggaruk-garukkan kepalanya.
"Memangnya kenapa dengan namaku" Semua
orang sepertinya kaget bila mengetahui kalau akulah
si Pendekar Gila...."
"Karena, engkaulah pendekar pembela
kebenaran..."
Suasana tidak lagi tegang seperti tadi. Ki Rongsowungkul yang memang tidak suka
dengan rencana Nyai Titir semakin bersemangat saja. Ia pun bertekad untuk
menghancurkan rencana Nyai Titir berikut gerombolannya.
Lalu diceritakannya tentang kelemahan dari Nyai Titir, Kuntala si Kipas Maut dan
Nyai Priatsih si Tongkat Iblis.
"Merekalah orang-orang yang menjadi pentolan dari Gerombolan Iblis dari Pacitan.
Sayangnya, aku tidak tahu tentang ilmu Rodopalo. Namun yang kuduga, pasti tidak
jauh berbeda dengan Nyai Titir.
Karena ia adalah muridnya. Meskipun kalian sudah mengetahui letak kelemahan dari
ilmu mereka, bukan berarti mereka mudah untuk ditaklukkan. Masih ada ajian yang
sangat sakti yang mereka miliki..."
"Apa itu, Ki?" tanya Sekar Wangi serius.
"Ajian 'Empat Malaikat Kahyangan'."
"Oh, katamu... kau pun termasuk salah seorang dari mereka ?"
"Benar."
"Apakah ajian itu masih ampuh tanpa dirimu?"
"Kemungkinannya sangat tipis untuk mengatakan masih sangat ampuh. Karena ajian
'Empat Malaikat Kahyangan' merupakan penguncian gerak empat penjuru. Tetapi
jangan lupa... masih ada Rodopalo yang akan mengisi tempatku...."
"Maksudmu Ki... mereka akan melatihnya?" tanya Sekar Wangi pula.
"Kemungkinan itu ada," sahut Ki Rongsowungkul sambil menganggukkan kepalanya.
"Kalau Rodopalo
mampu menerima ajian 'Empat Malaikat Kahyangan'
dan mampu mengisi kekosongan penjuru utara di mana biasanya aku yang mengisi,
sudah tentu ajian
'Empat Malaikat Kahyangan' tidak akan bisa dikalahkan. Tetapi yang bisa
kuharapkan saat ini, kalau Rodopalo tidak bisa menerima dengan sempurna jurus-
jurus rahasia dari Empat Malaikat Kahyangan. Berarti, yang harus kita cecar dan
jatuhkan, adalah Rodopalo yang mengisi bagian mata angin, utara."
Suasana hening, hanya Pendekar Gila yang
nampaknya acuh tak acuh. Ia tengah mengelap mulutnya yang baru saja memakan
buah-buahan lagi.
Kali ini perutnya sudah kenyang.
"He he he... aku mengantuk...."
"Kang Sena!" dengus Sekar Wangi sebal.
"Wah, wah... kenapa, Rayi Sekar?"
"Kau ini bagaimana, kita sedang membicarakan bagaimana caranya untuk
menghancurkan Gerombolan Iblis dari Pacitan, tetapi kau enak saja mau tidur..."
"He he he... si Jelita Penunggang Kuda tertawa lagi...," kata Sena tidak jadi
berbaring. "Karena kau cantik dan aku senang melihatmu... aku tidak jadi
mengantuk."
Sekar Wangi mendengus sebal karena merasa dipermainkan. Sementara Ki
Rongsowungkul terbahak-bahak melihat sikap Pendekar Gila yang masih tertawa-
tawa. Diam-diam ia mampu menebak
perasaan hati Sekar Wangi. Bentakannya tadi gemetar dan mengandung kasih sayang
yang tak bisa dipungkiri dari pendengaran Ki Rongsowungkul.
Hanya sikap Pendekar Gila saja yang acuh tak acuh. Seperti sifatnya. Diam-diam
Ki Rongsowungkul
teringat bagaimana sifat Singo Edan. Tidak jauh berbeda dari sifat Singo Edan!
"Sudahlah... kita tidak usah bertengkar," katanya berlagak tidak tahu tentang
perasaan Sekar Wangi
"Kita memang membutuhkan waktu untuk ber-
istirahat, agar tenaga kita pulih kembali dan pikiran kita menjadi jernih.
Terutama bagiku sendiri yang untuk memulihkan semuanya kembali. Dan menurut
hematku, lebih cepat menyerang ke Gunung
Kematian, kita akan mendapatkan satu keuntungan.
Karena, ajian 'Empat Malaikat Kahyangan' yang akan segera diturunkan kepada
Rodopalo akan semakin singkat waktunya. Sehingga ia tidak bisa memilikinya
dengan sempurna. "
Pendekar Gila nyengir pada Sekar Wangi yang cemberut.
"He he he... tidur dulu, kan?" katanya sambil merebahkan tubuhnya.
Sekar Wangi hanya terdiam. Huh! Berkali-kali Pendekar Gila mempermainkannya.
Tetapi entah mengapa ia sangat menyukai pemuda yang bertingkah laku mirip orang
gila itu. Meskipun begitu, Sekar Wangi mempunyai rencana yang lain.
*** 7 Apa yang diperkirakan Ki Rongsowungkul ternyata benar. Setelah disepakati, Nyai
Titir pun mengajarkan ajian 'Empat Malaikat Kahyangan' pada Rodopalo.
Dibantu oleh Nyai Priatsih dan Kuntala. Mereka bermaksud mengisi kekosongan di
penjuru utara yang biasanya dipegang oleh Ki Rongsowungkul.
Sekarang, Ki Rongsowungkul telah menolak kerja sama dengan mereka. Hal itu sudah
tentu membuat mereka marah. Setiap saat mereka selalu membicarakan siapakah
gerangan orang yang telah menolong Ki Rongsowungkul dari kematian. Hal itu tidak
bisa mereka biarkan. Biar bagaimana pun juga, satu-satunya orang yang mengetahui
titik lemah dari ajian 'Empat Malaikat Kahyangan' adalah Ki Rongsowungkul.
Hanya Nyai Priatsih yang sekali-sekali kelihatan mengerutkan keningnya. Bukan
apa-apa, ia merasa pasti kalau ia pernah mengenali senjata rahasia sirip ikan
layur ini. Namun sialnya, sampai saat ini ia belum bisa menemukan dengan jelas,
siapakah tokoh yang pemah mempergunakan senjata rahasia itu.
Lalu untuk mengalihkan perhatiannya, ia pun turut menggembleng Rodopalo.
Jurus 'Empat Malaikat Kahyangan' sebenarnya tidak bisa dilakukan dengan secepat
ini. Namun, ketiganya bersikeras agar Rodopalo berhasil mengisi kekosongan di
penjuru utara. Paling tidak, bisa pula merangkaikan setiap gerakan dari jurus
'Empat Malaikat Kahyangan'.
"Bagus, Rodo!" seru Nyai Titir pada muridnya.
"Tetapi langkahmu kurang cepat. Ajian pamungkas dari Empat Malaikat Kahyangan
yang sekaligus nama dari ajian itu, saling tutup menutupi setiap kelemahan.
Bagian utara menutupi bagian timur.
Begitu seterusnya. Timur ke selatan, selatan ke barat.
Bisa pula timur langsung ke barat.
Sehingga masing-masing bisa berkutat dalam kebersamaan. Dan tidak ada sedikit
pun celah bagi lawan untuk menjatuhkan. Apalagi untuk menjatuhkan, menyerang
saja suatu hal yang sangat mustahil.
Kau harus mempercepat langkahmu, Rodo."
"Baik, Nyai Guru..."
Rodopalo mengulangi lagi jurus yang barusan diajarkan oleh Nyai Titir,
bergantian lalu yang mengajarkan Nyai Priatsih dan Kuntala. Ada kesombongan
tersendiri di hati Rodopalo. Secara tidak langsung, ia pun masuk pada jajaran
Empat Malaikat Kahyangan. Bahkan menggantikan
kedudukan dari Ki Rongsowungkul.
Hanya saja, di hadapan gurunya, ia masih rada sungkan. Padahal ia sangat jengkel
dengan cara mengajar yang diperlihatkan oleh Kuntala si Kipas Maut. Yang
seringkah membentak-bentaknya bila ia melakukan kesalahan.
"Titir! Apakah kau tidak salah memilih murid yang bodoh seperti ini?" bentak
Kuntala ketika melihat tubuh Rodopalo yang hinggap di tanah setelah melenting
bersalto dalam keadaan renggang. "Gila!
Kalau ia terus menerus merenggangkan kedua kakinya, sudah bisa dipastikan
langkah dari ajian
'Empat Malaikat Kahyangan' akan kecolongan.
Berulangkah aku melihatnya melakukan seperti itu.
Ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Rodo, kau
harus paham! Bila kau memang cerdas, hanya sekali diberitahu pasti kau akan
mengerti! Bila kau masih merenggangkan pula kedua kakimu setiap kali bersalto
dan mencoba menutupi celah, maka lawan akan dapat menyerang kita! Bahkan bisa
pula menjatuhkan! Apalagi bila yang menghadapinya adalah Ki Rongsowungkul!"
Rodopalo menggeram dalam hati. Ia benar-benar muak dengan laki-laki setengah
baya namun wajahnya tampan itu. Dalam hatinya ia bertekad, bila ada kesempatan
ia akan menghajar adat.
Tetapi karena sekarang ada gurunya, ia menjadi segan sendiri. Paling tidak, ia
menaruh hormat pada Nyai Titir.
"Tidak usah tegang, Kuntala. Maklum, muridku belum mengenal ajian 'Empat
Malaikat Kahyangan',"
sahut Nyai Titir yang juga melihat celah yang dilakukan oleh Rodopalo. Paling
tidak, sekarang ini ia tidak ingin ada keributan di antara mereka. Ia tahu
Kuntala sangat panasan. Begitu pula dengan muridnya, yang paling pantang dihina.
"Tetapi kita mengejar waktu. Bila Ki Rongsowungkul masih hidup dan membocorkan
rahasia kelemahan dari ajian 'Empat Malaikat Kahyangan', kita bisa kocar-kacir!"
seru Kuntala dengan sewot.
"Kita masih memiliki ilmu yang sangat hebat yang kita punyai masing-masing!"
Neraka Gunung Bromo 2 Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt Eng Djiauw Ong 28