Prahara Di Gunung Kematian 3
Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian Bagian 3
"Tetapi jurus pamungkas kita adalah jurus 'Empat Malaikat Kahyangan'. Bila yang
kita hadapi Ki Rongsowungkul sudah bisa dipastikan kita akan kacau-balau. Jurus
'Empat Malaikat Kahyangan' yang kita ciptakan bersama, bukannya jurus milik kita
sendiri. Jurus itu tidak akan pernah bisa dilakukan bila hanya beberapa orang
yang melakukan!"
"Tetapi percayalah, muridku mampu melakukannya!"
"Hhh!" Kuntala mendengus. "Bila melihat kenyataan yang dilakukannya seperti itu,
sudah bisa dipastikan kita akan runtuh diserang oleh Ki Rongsowungkul!"
"Kuntala!" seru Nyai Titir dengan geram. Sebagai guru dari Rodopalo ia merasa
diinjak-injak harga dirinya. "Kau seolah sangat meremehkan muridku!"
Kuntala terbahak-bahak.
"Titir! Yang kita hadapi sekarang adalah Ki Rongsowungkul, Si Tua Penghuni
Gunung Karang. Lalu Pendekar Gila yang sampai sekarang belum kita ketahui batang hidungnya!
Seperti dugaanmu, Pendekar Gila yang muncul bukanlah Singo Edan yang sudah
mengasingkan diri di Gua Setan! Tetapi muridnya, yang sudah tentu memiliki ilmu
yang setingkat dengannya! Lalu... penolong Ki Rongsowungkul yang hingga sekarang
belum kita ketahui!"
Nyai Titir membuka kedua kakinya.
"Sikapmu terlalu pengecut, Kuntala!" serunya yang menjadi jengkel karena
dibentak dan diejek terus-menerus.
Melihat gurunya seperti memberi angin, Rodopalo melompat ke depan. "Nyai Guru...
bila diperkenankan, saya menghendaki untuk meminta pelajaran dari si Kipas
Maut." Mendengar kata-kata itu, Kuntala terbahak-bahak.
Sementara Nyai Titir yang tidak ingin rencananya jadi kacau-balau, menolak
permintaan Rodopalo.
"Tidak. Kita kalangan sendiri, untuk apa saling mencoba?" katanya.
Sedangkan Kuntala semakin terbahak-bahak.
"Biarkan saja dia, Titir! Barangkali ia tidak puas
dengan kehadiranku di sini!"
"Tidak! Kita harus bersatu padu. Ajian 'Empat Malaikat Kahyangan' yang kita
percayai pada Rodopalo belum berhasil diselesaikan dengan sempurna," kata Nyai
Titir. Rodopalo yang sejak tadi tidak menyukai Kuntala, segera berkata dengan
congkaknya, "Nyai Guru... aku ingin sekali meminta pelajaran dari si Kipas
Maut." Belum lagi ia meminta persetujuan dari Nyai Titir, Rodopalo yang memang keras
kepala dan kejam, sudah merangsek masuk dengan 'Pukulan Angin Manik'nya.
Kuntala melompat sambil tertawa.
"Rupanya jurus pamungkas milikmu itu sudah dikuasainya pula. Bagus sekali,
Titir!" desisnya sambil membuka kipasnya. Lalu diayunkannya kipasnya dengan
gerakan berlawanan arah jarum jam. Dengan cara seperti itu, 'Pukulan Angin
Manik' yang dilepaskan oleh Rodopalo, jadi melenceng arahnya.
Melihat lawannya mengetahui kelemahan jurus
'Pukulan Angin Manik' Rodopalo mengubah serangannya. Sudah tentu Kuntala sangat
mengenal sekali pukulan itu. Bahkan ia tahu titik kelemahannya.
Hanya Rodopalo yang tidak mengerti adat.
Ia terus merangsek maju dengan serangan-
serangan yang ganas. Ajian 'Tangan Dewa' pun dikeluarkannya. Setiap kali ia
memukul, terasa hawa panas menderu. Kuntala sedikit terkesiap, ketika ia
mengayunkan kipasnya, justru hawa panas yang menerpanya, sehingga pukulannya
melenceng. "Ha ha ha... kita seri sekarang!" seru Rodopalo sambil terus menyerang.
Pertarungan itu pun semakin seni. Semakin terlihat kalau keduanya sangat
bernafsu untuk menjatuhkan lawan. Lebih-
lebih pada Rodopalo yang memang sangat jengkel pada Kuntala. Sehingga setiap
serangannya terasa sekali, kalau ia ingin menjatuhkan si Kipas Maut.
Sementara si Kipas Maut pun tidak ingin tubuhnya dijadikan sasaran serangan
Rodopalo. Ia pun menghindari setiap serangan yang dilancarkan Rodopalo dengan
gerakan-gerakan yang cepat dan tangkas.
Disusul dengan setiap serangan yang merangsek masuk.
Dari pertarungan itu, terlihat kalau Kuntala sebenarnya berada di atas angin.
Dari segi kesaktian, keduanya seimbang. Tetapi dari segi pengalaman, Kuntala
yang sudah memakan asam garam
kehidupan ini, lebih bisa menguasai jalannya pertarungan itu.
Sampai suatu ketika, keduanya sama-sama
bersalto ke belakang, lalu hinggap dengan kesiagaan penuh. Masing-masing rupanya
memang ingin membuktikan dirinyalah yang lebih baik di antara keduanya.
Rodopalo segera menyiapkan diri dengan jurus pamungkasnya, 'Angin Manik
Menghancurkan Gunung'. Suatu rangkaian jurus yang mengerikan.
Karena, angin yang keluar dari setiap serangannya, bukan hanya mampu membuat
lawan keder, tetapi mampu menerbangkan iawan dengan tubuh yang hancur.
Sementara Kuntala mengeluarkan ajian, 'Kipas Mengusir Kabut'. Suatu jurus
pamungkas dari jurus kipasnya, yang sanggup pula menerbangkan seekor gajah.
Nyai Priatsih hanya terdiam dengan wajah tegang.
Sementara Nyai Titir segera melompat ke tengah-tengah keduanya. Tangannya
terentang. Ia sangat
mengenal jurus keduanya. Jurus Rodopalo, adalah jurus ciptaannya. Sementara
jurus yang diperlihatkan si Kipas Maut, sangat dikenalnya karena mereka telah
bertahun-tahun bersama.
"Hentikan pertarungan yang tak ada gunanya ini!
Sesama orang sendiri, lebih baik kita menjalin kesiagaan bersama!" serunya.
Rodopalo merandek.
"Nyai Guru, seperti kukatakan tadi... aku ingin meminta pelajaran dari si Kipas
Maut!" Meskipun berkata hanya 'meminta pelajaran saja'
tetapi di balik semua itu, ada nafsu untuk menjatuhkan Kuntala di hati Rodopalo.
Bahkan kalau bisa, menghancurkannya sekalian. Selama ini Rodopalo tidak pernah
diejek sekali pun. Bahkan oleh gurunya sendiri.
Tetapi si Kipas Maut sudah mencorengkan amarah di hatinya. Dan ia tidak bisa
membiarkannya begitu saja!
Kuntala terbahak-bahak.
"Rupanya, meskipun namamu ditakuti orang
sebagai begundal yang kejam, tetapi kau masih harus banyak belajar, Rodopalo!"
seru Kuntala sambil terbahak-bahak.
"Diam kau!" bentak Rodopalo. Kedua tangannya berputar ke atas, lalu merangkum
menjadi satu di dada.
"Tahan, Rodo!" bentak Nyai Titir. "Sekarang bukan saatnya untuk menunjukkan
kepandaian! Kita sesama teman, seharusnya saling menghormati!"
"Tapi, Guru...."
"Rodo!" suara Nyai Titir menggelegar.
Seganas apa pun, sekejam siapa pun, Nyai Titir adalah orang yang sangat
dihormati Rodopalo. Ia
tidak berani membantah perintahnya. Hanya tatapannya saja yang memancarkan sinar
amarah dan dendam pada Kuntala.
Kuntala sendiri terbahak-bahak.
"Untungnya, gurumu sendiri yang turun tangan, Anak ingusan! Kalau tidak, kau
akan mampus berkeping-keping!"
Panas sekali telinga Rodopalo mendengar kata-kata itu. Namun lagi-lagi ia tidak
bisa berbuat apa-apa. Dengan menahan amarahnya, ia melangkah ke luar.
"Rodo! Kau masih harus menguasai jurus 'Empat Malaikat Kahyangan'!" seru Nyai
Titir. "Persetan dengan semua itu, Nyai Guru!" serunya sambil melangkah ke ruangan
besar dalam bangunan itu. Tangannya bertepuk tiga kali. Seorang anak buahnya
muncul dengan tergopoh-gopoh.
"Ampun, Ketua. Ada keperluan apa?" tanyanya sambil menjura.
"Bawa ke kamarku tawanan-tawanan wanita itu!
Lekas!" serunya keras dan langsung masuk ke kamarnya. Ia sangat tidak puas
dengan sikap gurunya. Rodopalo yakin, ia dapat menghancurkan Kuntala dengan
jurus pamungkasnya.
Terdengar suara dari luar, diselingi dengan jeritan tertahan dari tiga orang
wanita, "Ketua... kami datang."
Yang mengenaskan, justru nasib tiga wanita itu.
Mereka dijadikan sebagai pelampiasan amarah Rodopalo. Diperkosa bergantian,
dengan kedua tangan dan kaki diikat di pembaringan. Setelah puas memperkosa
ketiganya, dengan ganasnya Rodopalo menghantam kepala ketiganya dengan 'Angin
Manik Menghancurkan Gunung'.
Seketika kepala ketiga gadis itu hancur menjadi debu.
"Singkirkan kotoran ini!" serunya dan melangkah kembali ke ruangan di mana Nyai
Titir, Nyai Priatsih dan Kuntala berada. "Kita lanjutkan pelajaran tadi! Ki
Kuntala... aku minta maaf atas kelancanganku itu!"
Kuntala terbahak-bahak.
"Aku justru kagum dengan kekejamanmu! Kau tahu Rodo, dulu, beberapa tahun yang
lalu, kekejamanku pun seperti kau!"
Entah gembira atau tidak mendengar pujian itu, yang pasti Rodopalo tersenyum.
Mereka pun kembali melanjutkan jurus 'Empat Malaikat Kahyangan'. Rodopalo kali
ini terlihat sangat keras kemauannya. Ia tidak peduli lagi bila si Kipas Maut
membentak atau menyalahkannya. Yang terpenting sekarang, menyusun kekuatan
kebersamaan mereka. Karena, ia pun akan termasuk dalam Empat Malaikat Kahyangan!***
8 Ki Rongsowungkul terbahak-bahak melihat sikap Pendekar Gila yang uring-uringan
dan ngomel-ngomel sendiri. Sebabnya, ketika mereka bangun dari tidur tadi,
keduanya tidak melihat Sekar Wangi berada di sana.
Sena sudah mencarinya berkeliling di sekitar sungai itu, tetapi si Jelita
Penunggang Kuda tetap tidak menampakkan batang hidungnya.
"Brengsek! Brengsek!" seru Pendekar Gila sambil membanting-banting kakinya.
"Kita lagi enak tidur, dia menghilang begitu saja!"
"Kau sudah mencarinya?" tanya Ki Rongso-
wungkul sambil menahan tawa.
"Ke mana-mana aku sudah mencari! Tetapi... wah, wah... si Jelita Penunggang Kuda
sudah tidak ada!
Gawat, ini gawat!" Sena masih uring-uringan.
"Apanya yang gawat?"
"Pasti, pasti dia ke Gunung Kematian," kata Sena yang kemudian terkekeh. "He he
he... dia memang keras kepala. Kepala keras. Tetapi... dia cantik.
Bukan begitu, Ki?"
Ki Rongsowungkul hanya mengangguk saja
melihat Sena yang nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya. Tadi ia marah-marah,
sekarang malah tertawa tawa.
"Ia memang sangat jelita. Kau pantas mendapat-kannya, Sena," kata Ki
Rongsowungkul bersungguh-sungguh.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya lagi.
"Wah, wah... bisa gawat. Runyam. Edan. Kalau aku mendapatkan gadis pemarah
seperti itu."
"Tetapi ia cantik, bukan?"
"He he he... ia sangat cantik bahkan. Sayang... he he he galak, dia galak
sekali." Ki Rongsowungkul sadar, berbicara mengenai gadis itu pada Sena adalah sesuatu
yang percuma. "Kalau memang menurut dugaanmu itu ke Gunung Kematian, mengapa kita tidak segera
ke sana saja?"
ajak Ki Rongsowungkul.
Sena nyengir kuda.
"Kau benar, Ki... he he he... ayo, kita musnahkan Gerombolan Iblis dari Pacitan
itu!" Ki Rongsowungkul kembali tertawa.
"Kita mulai!" Lalu tubuhnya melesat dengan cepat, mempergunakan ilmu lari 'Bayu
Gunung Karang'.
Sena cuma terkekeh saja, lalu segera menyusul dengan ilmu lari 'Sapta Bayu'.
Ki Rongsowungkul yang semula ingin melihat kepandaian ilmu lari dan meringankan
rubuh Pendekar Gila, cukup terkejut pula. Karena, dengan sekali berkelebat
Pendekar Gila sudah mensejajarkan diri dengannya.
Diam-diam ia semakin kagum dengan Pendekar Gila, hanya sayang... masih muda
sudah gila. *** Sementara itu, apa yang diduga oleh Pendekar Gila dan Ki Rongsowungkul memang
benar. Karena saat ini, Sekar Wangi dengan sembunyi-sembunyi sedang mengintai di
sekitar Gunung Kematian. Ia melihat penjagaan sangat ketat sekali.
Untuk memasuki Gunung Kematian, harus
melewati jalan setapak yang dijaga oleh beberapa orang yang bertampang garang
dan bengis. Di tangan mereka ada sebilah golok yang sangat tajam dan siap
dikibaskan pada orang yang tak dikenal.
"Hhh! Kalau begini caranya... aku harus nekat Paling tidak, aku harus bisa
membalaskan sakit hatiku pada Rodopalo!" dengus Sekar Wangi, lalu dengan diam-
diam diambilnya kantung senjata rahasianya yang ia sampirkan pada punggung
kudanya. Kantung itu ia ikatkan di pinggang.
Dengan satu gerakan yang sangat terlatih, senjata rahasia berbentuk sirip ikan
layur yang berbisa itu dilemparkannya. Empat tubuh ambruk ke tanah tanpa sempat
berteriak. Sekar Wangi segera menyelinap. Si Putih ia tambatkan di hutan kecil yang ada di
sana. Dengan perlahan-lahan dan kesiagaan yang penuh ia memperhatikan lagi
sekelilingnya. Dua orang penjaga lewat, dan langsung ambruk termakan senjata rahasianya.
"Hhh! Kalau begini terus menerus, senjata rahasiaku bisa habis!" dengusnya.
Suasana dingin dan sunyi di Gunung Kematian sangat dirasakan oleh Sekar Wangi.
Ilalang tumbuh tinggi. Pepohonan menambah keseraman suasana di sana.
Tetapi tekad di hatinya sudah bulat. Ia harus menemui Rodopalo dan membalas
kematian kedua orang tuanya. Karena bagi Sekar Wangi, ia tidak akan pernah
tenang bila orang itu masih hidup.
Sekar Wangi memperhatikan sekelilingnya lagi. Di kejauhan ia melihat sebuah
bangunan besar di dekat Gunung Kematian. Bangunan itu tak ubahnya sebuah
kediaman seorang raja. Di depan bangunan itu ada
sebuah pintu yang tinggi terbuat dari kayu jati. Dan terlihat lima orang
berpakaian hijau lumut tengah berdiri di sana.
"Monyet busuk!" maki Sekar Wangi begitu melihat betapa susahnya ia untuk
menerobos masuk.
Penjagaan sangat ketat sekali. Bahkan sebelum ia bisa mencapai pintu itu, ia
harus melewati sebuah penjagaan yang telah berdiri tiga orang di sana.
Lagi Sekar Wangi mengendap-endap. Dan dengan cepatnya dilemparkannya senjata
rahasianya kembali. Tiga orang itu pun ambruk tanpa sempat menjerit.
Kini sasaran selanjutnya mendekati pintu gerbang besar itu. Sekar Wangi yakin,
itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Namun tekad yang bulat telah
tertanam di hatinya, ia harus bisa membunuh Rodopalo.
Sebenarnya, Sekar Wangi tidak ingin meninggalkan Pendekar Gila dan Ki
Rongsowungkul. Hanya saja dendam di hatinya sudah tidak bisa dibendung lagi
untuk membunuh Rodopalo. Makanya, selagi keduanya tidur, ia pun segera pergi ke
Gunung Kematian.
Sekar Wangi mengendap-endap perlahan. Malang, kakinya menginjak sebatang ranting
yang kering. Krakkk! "Siapa itu?" salah seorang yang menjaga di pintu gerbang itu segera membentak,
disusul dengan gerakan tubuh berlarian ke arah Sekar Wangi.
Tidak ada jalan lain lagi sekarang selain menampakkan diri. Sekar Wangi muncul
sambil mendengus. Melihat yang muncul seorang gadis, lima orang itu terbahak-
bahak saling berpandangan.
"Rupanya seekor kelinci manis yang muncul," kata salah seorang. Ia bernama Koro.
"Hei, Gadis manis...
bukan begitu caranya untuk menjadi selir dari ketua kami. Kau harus berdandan
lebih cantik dan datang secara baik-baik. Tetapi... ha ha ha... kau sudah sangat
cantik. Ketua pasti suka denganmu."
Menggigil menahan marah Sekar Wangi men-
dengar kata-kata yang jijik itu. Dengan cepat sambil menggeram, dilemparkannya
senjata rahasianya pada Koro yang menjerit dan ambruk. Nyawanya melayang
seketika. Melihat hal itu, keempat kawannya menjadi murka. Mereka segera mengurung Sekar
Wangi yang memang tidak ada jalan lain kecuali menghadapi mereka. Ia menyesali
kecerobohannya tadi, mengapa sampai menginjak ranting yang kering.
Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keparat!" Memaki salah seorang sambil menggerakkan goloknya ke arah Sekar
Wangi, yang langsung menghindar dan ketika hinggap di tanah di tangannya sudah
tergenggam pedangnya.
"Hhh! Anjing-anjing Rodopalo, lebih baik kalian mampus saja!" Lalu dengan jurus
'Sepasang Pedang Menguasai Mata Angin' Sekar Wangi mengobrak-abrik pertahanan
lawannya. Rupanya keempat penjaga itu bukanlah tandingan Sekar Wangi, karena
dengan sekali sentak saja kepala keempatnya telah meng-gelinding.
Namun pertarungan singkat itu telah memancing perhatian orang-orang di dalam
bangunan itu. Dua puluh orang dengan serentak keluar dengan golok di tangan.
Melihat teman-teman mereka yang sudah mampus itu, mereka menjadi marah. Sambil
berteriak-teriak mereka mengurung Sekar Wangi yang semakin waspada. Namun ia
senang dengan kejadian ini, karena paling tidak, akan terpancing pula Rodopalo
untuk muncul. "Tangkap gadis setan itu!"
"Cincang saja! Bunuh!"
"Kita perkosa beramai-ramai!"
Seruan-seruan itu terdengar keras, disusul dengan serangan yang dilakukan
serempak pada Sekar Wangi yang kembali memainkan jurus 'Sepasang Pedang
Menguasai Mata Angin'. Jurus itu memang sangat dahsyat. Benar-benar menguasai
empat penjuru mata angin. Setiap kali pedangnya berkelebat, maka satu nyawa pun
meregang. Tetapi mereka bukannya bertambah ngeri melihat ngamuk-nya Sekar Wangi.
Mereka justru bertambah nekat untuk menaklukkan Sekar Wangi, bahkan jumlah
mereka semakin banyak.
"Hayo, maju kalian semua! Biar mampus!" seru Sekar Wangi sambil menerjang. ke
sana-kemari. Gerakannya benar-benar menguasai empat penjuru angin, membuat orang-orang itu
menjadi kocar-kacir.
"Panggil keluar Rodopalo biadab! Biar ia berkenalan dengan Sekar Wangi!"
Orang-orang berpakaian hijau itu semakin berusaha untuk menutup gerakan Sekar
Wangi. Namun bagi Sekar Wangi yang benar-benar sudah menguasai jalannya
pertarungan, malah semakin enak saja menyabetkan pedangnya ke sana-kemari.
Korban yang jatuh sudah tidak bisa dihitung.
Namun mendadak saja terdengar teriakan keras,
"Mundur kalian semua!"
Serentak orang-orang yang menyerang Sekar Wangi mundur, membentuk lingkaran
mengurung Sekar Wangi. Sekar Wangi dapat melihat siapa yang membentak itu.
Seorang laki-laki tinggi besar dengan wajah yang seram dan kalung tengkorak di
dada! Di sisi laki-laki itu berdiri tiga sosok tubuh yang menatap angker ke arahnya.
Mereka tak lain dari Nyai Titir, Nyai Priatsih dan Kuntala. Sungguh, mereka
sangat terkejut sekali begitu mengetahui siapa yang tengah membuat onar.
Rodopalo terbahak-bahak.
"Rupanya gadis jelita yang datang ke tempatku.
Hmm... mengapa kita harus bersilang sengketa, Manis" Bukankah kau bisa datang
secara baik-baik?"
"Cuih!" Sekar Wangi membuang ludah dengan kemuakan yang nampak. "Anjing keparat!
Kaukah Rodopalo?"
Mendengar kata-kata itu Rodopalo semakin terbahak-bahak.
"Tentu, tentu, Manis... akulah Rodopalo!"
Dada Sekar Wangi membuncah menahan geram-
nya. Kedua tangannya yang memegang pedang bergetar.
"Rodopalo... ingatkah kau. . peristiwa tujuh belas tahun yang lalu?" katanya
dengan suara bergetar pula.
"Hmm, masalah apakah gerangan, Manis?"
"Bangsat! Kau telah menghancurkan sebuah desa di Laut Kidul. Lalu kau membunuh
seorang laki-laki yang bernama Abimanyu. Dan kau membunuh pula istrinya yang
bernama Lestari. Kau ingat itu, Anjing buduk?"
Rodopalo terbahak-bahak.
"Sudah sangat banyak manusia yang mati di tanganku. Ha ha ha... segelintir
manusia tak akan mungkin bisa kukenali. Tak terkecuali orang yang kau sebutkan
tadi, Manis!"
"Keparat! Aku adalah putri dari Abimanyu dan Lestari! Kini, kau bersiaplah,
Rodopalo!" Sambil
berkata begitu, Sekar Wangi membuka jurus
'Sepasang Pedang Menguasai Mata Angin'.
"Mampuslah kau... heaaaa!" Dengan diiringi teriakan yang keras, Sekar Wangi
menenang ke arah Rodopalo yang langsung menghindar.
"Hebat!" desis Rodopalo. 'Tetapi lebih baik kau menjadi selirku, saja,
Manis...."
Serang menyerang antara Sekar Wangi dan
Rodopalo demikian serunya. Sekar Wangi tidak ingin bertindak tanggung lagi.
Dendamnya harus terbalas.
Pikirnya tadi, ia akan melihat Rodopalo yang terkejut ketika ia menyebutkan nama
kedua orangtuanya.
Namun Rodopalo hanya terbahak saja sambil mengejeknya.
"Dosa-dosanya sudah tidak bisa diampuni lagi!"
dengus Sekar Wangi dan terus mencecar. Sepasang pedangnya berkelebat dengan
cepat. Membentuk satu pusaran dengan kecepatan yang luar biasa, dan mencoba
menutup gerak Rodopalo.
Sementara itu, tiga pentolan dari Empat Malaikat Kahyangan hanya memperhatikan
saja dengan serius. Terutama Nyai Priatsih. Ia benar-benar merasa mengenal jurus
yang dipergunakan oleh gadis itu.
Hmm... kini tidak salah lagi. Tentunya ia adalah murid dari Nyai Harum Tari, si
Penguasa Laut Kidul. Dan sudah tentu senjata rahasia berbentuk sirip ikan layur
itu adalah miliknya.
Rodopalo pun menggunakan 'Pukulan Angin
Manik'nya untuk mengimbangi serangan dari Sekar Wangi. Pertama-tama ia
mengangggap ringan jurus yang diperlihatkan oleh Sekar Wangi. Namun pada
kenyataannya, justru mang geraknya tertutup. Ke mana ia menghindar, di sanalah
Sekar Wangi telah menunggu dengan serangan berikutnya.
"Pantas kau bertindak sewenang-wenang,
Manusia keparat!" seru Sekar Wangi yang kini lebih banyak menghindar, karena ada
serangkum angin keras yang menerpa ke arahnya setiap kali Rodopalo menggerakkan
tangannya. "Sudah kukatakan tadi, lebih baik kau menyerah dan menjadi selirku.... Bila kau
tidak mau, kau menjadi pemuas nafsuku saja... ha ha ha!" Rodopalo terus mencoba
mendesak Sekar Wangi. Dengan
'Pukulan Angin Manik' yang dilepaskannya, ia bisa menjaga jarak agar Sekar Wangi
tidak mendekat.
Dengan begitu, ia memiliki banyak kesempatan untuk menjatuhkan Sekar Wangi.
Kali ini Sekar Wangi sadar kalau jurus yang dipergunakannya sudah tidak banyak
membawa hasil. Lalu ia pun mengubah jurus berikutnya, 'Sepasang Pedang Kembar
Membunuh Naga'. Jurus yang diperlihat-kannya lebih cepat dan terarah dari pada
jurus pertama tadi. Karena, serangannya hanya terarah pada tubuh Rodopalo saja.
Bahkan dengan kibasan-nya yang kuat, mampu menghalau 'Pukulan Angin Manik' yang
dilepaskan oleh Rodopalo.
Kali ini Rodopalo kocar-kacir dibuatnya. Ia memaki-maki sendiri. Lalu dengan
cepatnya ia melompat ke belakang.
Kuntala terbahak-bahak.
"Melawan gadis yang masih bau kencur itu kau tidak bisa mengalahkannya, Rodo?"
serunya sambil mengipas-ngipasi tubuhnya.
Rodopalo mendengus mendengar kata-kata bagai ejekan itu. Mendadak sambil
menjerit keras ia merangsek maju ke arah Sekar Wangi, yang dengan hebatnya
justru memapaki serangan itu.
Dua benturan keras terjadi.
Tubuh Sekar Wangi terlempar beberapa tombak ke belakang. Ia merasakan dadanya
remuk terkena hantaman pukulan Rodopalo yang penuh tenaga.
Sementara Rodopalo sendiri harus tergores di lengan kirinya yang mengeluarkan
darah. Melihat hal itu Rodopalo menjadi murka. Selama ini ia belum pernah sekali pun
melihat darah yang keluar dari bagian tubuhnya. Dan gadis itu telah
melakukannya. Ia bukan hanya merasa terhina, tetapi juga merasa harga dirinya
diinjak-injak oleh Sekar Wangi.
Dengan kemarahan yang amat sangat, Rodopalo menggeram murka, "Monyet betina! Kau
harus mampus!"
Lalu kedua tangannya diayunkan ke bawah, lalu ke samping dengan gerakan yang
cepat. Mendadak kedua tangannya menjadi hitam legam. Itu adalah jurus kedua dari
'Pukulan Angin Manik'. Jurus yang sangat hebat dan cepat. 'Angin Manik
Menerbangkan Gunung.'
"Hhh! Kau harus mampus, Monyet betina!"
geramnya seraya menyerang.
Sekar Wangi yang dalam keadaan terluka, tidak bisa berbuat banyak. Tubuhnya
seakan sukar untuk digerakkan. Bahkan untuk menggeser tubuhnya saja tidak
mungkin ia lakukan.
Yang bisa dilakukan, hanyalah menatap pasrah. Ia merasa sedih dan kesal karena
tidak bisa membalaskan kematian kedua orangtuanya. Lawan yang dihadapinya
terlalu tangguh. Bahkan ia sendiri kini yang sedang menghadapi maut.
Tubuh Rodopalo sudah menerjang dengan diiringi oleh teriakan yang dahsyat. Semua
terpaku. Tak ada yang bergeser dari pijakannya. Dan mereka akan
menyaksikan tubuh Sekar Wangi yang lumat dan hanya bisa memejamkan matanya,
pasrah. Namun mendadak saja satu keanehan terjadi.
Karena tubuh Rodopalo bukannya menerjang ke arah Sekar Wangi, justru melompat
kembali ke belakang.
"Bangsat busuk! Siapa yang berani menghalangi niat Rodopalo, hah"!" bentaknya
gusar. Sementara itu tiga pentolan Empat Malaikat Kahyangan seketika bersiaga. Nyai
Priatsih melihat beberapa senjata rahasia sirip ikan layur menancap di sebatang
pohon, yang layu seketika.
Mendadak terdengar suara tawa yang keras, lalu muncul satu sosok tubuh bongkok
dengan sebatang tongkat di tangannya. Langkahnya begitu ringan.
"Rupanya, ada yang ingin membunuh muridku. Hhh!
Tidak semudah itu bisa dilakukan,"katanya sambil tertawa.
"Guru!" terdengar seruan Sekar Wangi bernada gembira.
Penguasa Laut Kidul!" terdengar seruan Nyai Priatsih.
*** 9 Nyai Harum Tari terbahak-bahak. Ialah yang tadi melemparkan senjata rahasia
berbentukirip ikan layur pada Rodopalo yang siap mencabut nyawa Sekar Wangi.
"Mengapa Guru berada di sini?" seru Sekar Wangi yang masih belum bisa juga
mengangkat tubuhnya sendiri.
Nyai Harum Tari mendekati muridnya.
"Anak bodoh! Sudah lama aku mengikuti sepak tenangmu, hah"! Kau pikir, aku tega
melepaskan kau pergi mencari manusia laknat itu seorang diri?"
dengus Nyai Harum Tari. Tangannya dengan cepat menotok beberapa bagian tubuh
Sekar Wangi, yang mengeluh sebentar. Lalu dirasakannya aliran darahnya lancar
kembali. "Jangan manja! Kau sudah bisa berdiri!"
"Oh, Guru... terima kasih atas kemunculanmu...."
"Jangan cengengesan!" dengus Nyai Harum Tari sambil berbalik pada orang-orang
itu. Ia menggeram pada Rodopalo, "Rupanya kau belum jera juga setelah kuobrak-
abrik markasmu di Pacitan, Rodo!
Kini, aku tidak akan mengampunimu!"
Bukannya Rodopalo yang menyahut, justru Nyai Titir yang melangkah ke depan.
"Hmmm... kehebatan Penguasa Laut Kidul titisan Nyai Roro Kidul, sudah lama
kudengar. Selamat bertemu denganku, Harum Tari!" Meskipun bibirnya tersenyum,
namun wajahnya menampakkan
kemurkaan yang teramat sangat.
"Bagus, bagus. Siapa yang tidak mengenal
keganasan Empat Malaikat Kahyangan, hah" Tetapi...
mana si Tua Penghuni Gunung Karang, si Rongsowungkul, hah"! Apakah ia membelot
dari Empat Malaikat Kahyangan" Sayang, sayang sekali...."
Nyai Titir menggeram.
"Sudah lama aku ingin mencoba kehebatan
Penguasa Laut Kidul!" dengusnya sambil membuka jurusnya.
Nyai Harum Tari tertawa. Lalu berkata pada para anggota gerombolan. "Lebih baik
kalian pergi dari sini, jangan membuang nyawa percuma untuk manusia-manusia
biadab seperti mereka!"
Orang-orang itu kelihatan ragu-ragu. Mereka tak mungkin berani melanggar
perintah Rodopalo.
Apalagi ada Nyai Titir sekarang ini. Namun mereka pun menyayangi nyawa mereka
yang hanya semata wayang. Jalan satu-satunya memang harus
meninggalkan tempat ini. Karena mereka tahu, sebentar lagi akan terjadi
pertarungan yang hebat.
Tetapi, mereka pun tahu apa yang akan mereka dapati bila mereka melarikan diri.
Tak ada jalan lain, kecuali menyerang Nyai Harum Tari dan Sekar Wangi. Tanpa
diperintahkan lagi, salah seorang memberi komando dan menyerang ke arah
keduanya. "Hhhh! Bocah-bocah nakal!" dengus Nyai Harum Tari dan tangannya pun berkelebat
menebar. Puluhan senjata rahasia sirip ikan layur pun melayang mencari sasaran.
Jeritan kematian pun terdengar dengan putusnya berpuluh nyawa.
"Yang masih mau hidup, tinggalkan tempat ini!'
seru Nyai Harum Tari sambil mengancam untuk melemparkan kembali senjata
rahasianya, sementara Sekar Wangi bersiaga karena siapa tahu Rodopalo, Nyai
Titir, Nyai Priatsih dan Kuntala mengambil kesempatan.
Sedangkan orang-orang itu kelihatan ngeri juga.
Nampak kalau mereka masih sangat menyayangi nyawa mereka. Tetapi justru Rodopalo
terbahak-bahak.
"Ha ha ha... kalian memang pengawal-pengawalku yang rela berkorban! Maju! Bunuh
kedua manusia busuk itu!"
"Mundur! Atau nyawa kalian akan putus hari ini juga!" dengus Nyai Harum Tari.
Orang-orang itu kebingungan. Bila terus
menyerang Nyai Harum Tari bisa dipastikan kalau mereka akan termakan senjata
rahasia sirip ikan layur milik Nyai Harum Tari. Bila tidak menyerang bisa
dipastikan akan mampus di tangan Rodopalo.
Namun dua orang di antara mereka mencoba
mengambil kesempatan untuk melarikan diri.
Bertepatan dengan itu, tangan Nyai Titir berkelebat.
"Aaakhh!" Dua jeritan bersamaan tubuh ambruk terlihat. Dari sekujur tubuh
keduanya mendadak berubah menjadi hitam.
"Racun Kelabang Hitam!" seru Nyai Harum Tari.
Nyai Titir terbahak-bahak. "Itulah akibatnya bila berani menentang kehendakku!
Serang kedua manusia busuk itu!"
Melihat kenyataan yang menerima dua orang itu, yang lainnya menjadi keder juga.
Serentak mereka menyerang Nyai Harum Tari dan Sekar Wangi yang lagi-lagi hanya
Nyai Harum Tari yang bertindak.
"Hhh! Kalian seharusnya tahu, kalau manusia-manusia busuk itu tidak patut
dijaga!" dengus Nyai Harum Tari yang diam-diam merasa kasihan karena harus
merenggut nyawa orang-orang itu.
Sementara itu, apa yang diduga Sekar Wangi ternyata benar. Karena Rodopalo sudah
menyerang dengan 'Angin Manik Menerbangkan Gunung'.
Dengan sigap, Sekar Wangi segera melompat menyongsong dengan jurus 'Sepasang
Pedang Kembar Membunuh Naga'.
"Hhhh! Kau harus membalas kematian kedua
orangtuaku, Rodopalo!" geramnya dengan hebatnya ia menyabetkan pedangnya.
Membuat Rodopalo tidak bisa merangsek masuk.
Melihat hal itu, Kuntala segera melompat dengan kipas mautnya.
"Bagus!" seru Sekar Wangi. "Kalian memang pengecut! Kenapa baru mengeroyokku,
hah"!"
Meskipun Sekar Wangi dengan gigih bertahan, namun menghadapi dua serangan itu
sudah tentu ia tidak bisa bertahan lebih lama. Berkali-kali tubuhnya terkena
hantam kipas dari Kuntala.
Sementara itu Nyai Harum Tari sudah menghabisi lawannya. Ia mendesah panjang
melihat mayat-mayat dari orang yang tak berdosa. Tetapi belum sempat ia
menyesali semua ini, Nyai Titir dan Nyai Pritsih sudah menyerang.
"Hhh! Bagus, bagus!" seru Nyai Harum Tari dan segera menahan dua serangan yang
datang bergantian itu.
Terlihat dua sosok tubuh yang terpecah menjadi dua dikeroyok masing-masing dua
orang. Bila melihat posisinya, Sekar Wangi benar-benar tidak bisa mengimbangi
setiap serangan yang dilancarkan oleh
Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rodopalo dan si Kipas Maut.
Sedangkan Nyai Harum Tari bukan hanya tidak bisa mengimbangi, bahkan ia bisa
merangsek masuk dan menguasai pertarungan itu.
Hanya saja, ketika Nyai Titir mempergunakan
'Racun Kelabang Hitam'nya, ia menjadi agak mundur.
Tidak berani untuk masuk.
Mendadak terdengar kekehan, "He he he... wah, wah... Ki, kita sudah terlambat
sekarang!"
"Benar, Sena! Mereka sudah berpesta!"
Yang datang itu adalah Pendekar Gila dan Ki Rongsowungkul. Sekar Wangi yang
melihat munculnya keduanya, segera berseru, "Jangan cengar-cengir saja, Kang
Sena! Ambil lawanku ini!"
Melihat kehadiran pemuda yang mengenakan
rompi dari kulit ular itu, Rodopalo menggeram murka.
Telah lama ia mencari Pendekar Gila karena pernah menggagalkan aksi
perampokannya. Dipergencarnya serangannya pada Sekar Wangi.
Pendekar Gila langsung bergerak memapaki
serangan Rodopalo pada Sekar Wangi, sementara Sekar Wangi sendiri menghadapi
Kuntala. "Bagus! Sudah lama kutunggu kedatanganmu, Orang Gila!" Rodopalo mencecar dengan
'Pukulan Angin Manik'nya. Pendekar Gila menghindar sambil melancarkan
serangannya, 'Kera Gila Melempar Buah'. "Kau harus membalas semua perbuatanmu
yang telah menggagalkan rencanaku!"
Sementara Ki Rongsowungkul melesat ke arah Nyai Titir. Ia mengambil alih
pertarungan antara Nyai Harum Tari yang dikeroyok oleh Nyai Titir dan Nyai
Priatsih. Kini mereka satu lawan satu.
Sekar Wangi berseru, "Kang Sena! Kau hadapi si Kipas busuk ini! Aku harus
membunuh manusia
bangsat itu!"
Sena bersalto ke belakang, mengambil alih lawan.
Kini ia berhadapan dengan Kuntala si Kipas Maut Sementara Rodopalo yang dipenuhi
dendam mencoba mengejar Sena, namun dihalangi oleh Sekar Wangi.
"Dendam kedua orangtuaku harus kubalas!"
serunya sambil kembali menyerang dengan pedangnya.
Sedangkan si Kipas Maut sudah mengibaskan kipasnya.
"Wah, wah... enak! Dingin... he he he...!" seru Sena.
"Orang gila keparat!" maki Kipas Maut sambil menerjang dengan cepatnya. Ia
memburu bagian bawah Sena yang melompat-lompat mirip seekor kera dan seperti
sedang melemparkan buah, ia melakukannya ke arah Kuntala. Yang harus bersusah
payah berkelit karena serangkum angin menerpa ke arahnya. Bukan hanya itu,
bahkan serangannya pun mampu ditahan oleh angin itu.
Sedangkan Sekar Wangi sedang sibuk menahan setiap serangan yang dilancarkan
Rodopalo. Dua buah kesaktian diperlihatkan oleh masing-masing yang berkeinginan
keras untuk menjatuhkan lawannya.
Sekar Wangi dibaluri dengan api dendam yang membara. Ia bertekad untuk membunuh
Rodopalo. Sedangkan Rodopalo didasari oleh dendamnya pada Pendekar Gila. Ia bermaksud
untuk menyudahi Sekar Wangi untuk membunuh Pendekar Gila.
Namun ia pun mengalami kesulitan yang tidak sedikit untuk mendekati Pendekar
Gila. Karena jurus
'Sepasang Pedang Kembar Membunuh Naga' yang
dilancarkan Sekar Wangi bukan hanya mampu untuk menghalangi serangannya, bahkan
merangsek masuk ke arahnya. Membuat Rodopalo menggeram berkali-kali. Amarahnya
semakin naik saja. Tidak dipikir-kannya lagi mengenai Pendekar Gila.
Tiba-tiba tubuhnya berkelit ke belakang, lalu bagaikan orang terjun ke air, ia
meluncur ke arah Sekar Wangi. Kedua tangannya terlihat hitam.
Menandakan ia telah menggunakan jurus-jurus racun yang dipelajari dari gurunya.
Rodopalo pun menguasai 'Racun Kelabang Hitam'. "Mampuslah kau, Gadis keparat!"
serunya. Sekar Wangi tahu, ia tidak boleh bentrok dengan Rodopalo. Paling tidak, ia hanya
bisa bertahan agar salah satu anggota tubuhnya tidak tersentuh oleh tangan
Rodopalo. Tadi ia sudah menyaksikan bagaimana 'Racun Kelabang Hitam' itu
menghantam dua orang anak buah Nyai Titir sendiri.
Apa yang diperkirakannya ternyata benar. Karena, ketika ia menghindari serangan
itu dan tangan Rodopalo menyentuh sebatang pohon, pohon itu langsung menghitam
dengan dedaunannya yang berguguran.
"Ini gawat! Lama kelamaan aku bisa kehabisan nafas!" gerutunya sambil bersalto
ke belakang. Dan dengan mendadak tangannya menebar ke depan.
Beberapa senjata rahasia sirip ikan layumya beterbangan ke arah Rodopalo. Yang
serentak segera menghentikan serangannya dan menghindari senjata-senjata rahasia
itu. Ia menggeram marah.
Serangannya pun berhasil dipatahkan!
Sementara itu Nyai Titir dengan gencarnya mencoba mendesak Ki Rongsowungkul.
Ayunan tongkatnya begitu kuat dan cepat, sementara Ki Rongsowungkul dengan tasbihnya
segera membalas.
Trak! Trak! Benturan sering terjadi. Diselingi dengan tenaga dalam yang kuat. Bila tenaga
dalam yang dimiliki salah seorang itu tidak sejajar, sudah bisa dipastikan
dadanya akan jebol.
"Lebih baik kau bertobat, Titir! Dosa-dosamu sudah menumpuk!" seru Ki
Rongsowungkul yang memutar-mutar tasbihnya untuk menghindari serangan Nyai Titir
dan sekali-sekali membalasnya.
"Hentikan segala ocehanmu itu, Rongsowungkul!
Lebih baik kau mampus saja!" Nyai Titir terus mendesak dengan tusukan, sabetan,
ayunan tongkatnya. Dan mendadak tongkatnya terlihat menjadi banyak. "Ha ha ha...
Rongsowungkul, bukan hanya kau saja yang telah berhasil menciptakan jurus baru!
Aku pun berhasil melakukannya! Kini, terimalah jurusku 'Tongkat Menipu Bayang-
Bayang'." Ki Rongsowungkul hanya mendengus, dari angin tongkat itu sudah dapat dirasakan
dingin sekali, mampu menembus urat. Begitu pula dengan
kecepatan yang dilakukannya. Di matanya, Ki Rongsowungkul seolah melihat tongkat
itu menjadi banyak.
Ia pun menghadapinya dengan jurus 'Tasbih Seribu', sebuah jurus yang tak kalah
hebatnya dengan jurus ciptaan Nyai Titir yang baru. Hanya kelemahannya jelas
terlihat, karena tasbih itu pendek saja sementara tongkat Nyai Titir cukup
panjang. Sehingga Ki Rongsowungkul hanya bisa menghindar dan menangkis serangan itu,
sedangkan Nyai Titir terus merangsek dengan pukulan-pukulan tongkatnya.
"Ha ha ha... lebih baik kau membunuh diri saja, Rongsowungkul!" seru Nyai Titir
sambil terus melancarkan serangannya.
Ki Rongsowungkul terdesak hebat. Ia mencoba untuk masuk, namun segera menghindar
kalau tidak ingin kepalanya pecah dikepruk tongkat Nyai Titir.
Namun mendadak saja ia bersalto ke belakang, sambil bersalto itu dilancarkannya
'Pukulan Angin Gunung Karang'.
Wuuttt! Nyai Titir yang tengah mendesak, terpaksa melompat ke samping. "Bangsat!"
Melihat kesempatan itu, Ki Rongsowungkul mencoba mendesak. Sambil mengayunkan
tasbihnya dengan jurus 'Tasbih Seribu' juga sesekali melancar
'Pukulan Angin Gunung Karang'nya. Kini Nyai Titir yang terdesak.
Sementara itu Nyai Harum Tari dengan hebatnya bertarung dengan Nyai Priatsih.
"Hhhh! Rupanya kebolehan si Penguasa Laut Kidul tidak perlu disangsikan lagi!"
dengus Nyai Priatsih sambil terus melancarkan serangannya.
Nyai Harum Tari menyahut, "Tongkat Iblismu pun sangat hebat, Priatsih! Ha ha
ha... rupanya sekarang Empat Malaikat Kahyangan sudah bercerai-berai!
Masih mampukah kalian membentuk kembali jurus
'Empat Malaikat Kahyangan', hah"!"
Mendengar kata-kata bagai ejekan itu, Nyai Priatsih mempergencar serangannya.
Namun hingga jurus keduapuluh ia tidak berhasil mendesak Nyai Harum Tari. Dua
tokoh sakti bertempur dengan senjata tongkat, sudah tentu hasilnya sangat
mengejutkan sekali.
Gunung Kematian yang biasanya ramai dengan banyaknya orang-orang Gerombolan
Iblis dari Pacitan, kini hanya terlihat delapan orang saja, yang sedang
bertarung mati-matian.
Pendekar Gila merasa ia harus menutup segala serangan si Kipas Maut. Kipasnya
benar-benar mampu mencabut nyawa. Angin yang ditimbulkannya mampu membuat
jantung terasa copot. Tetapi Pendekar Gila melayaninya sambil terkekeh-kekeh
saja. "Rupanya hanya begini saja kehebatan si Kipas Maut," kekeh Sena sekarang ia
telah mengubah jurusnya 'Si Dewa Gila Melebur Gunung Karang', yang membuat
Kuntala terperanjat dan harus menghindar ketika dirasakannya serangkum angin
besar mendatanginya dengan cepat.
"Keparat!" maki Kuntala yang terus menerus menghindar. Sementara angin besar itu
menghantam dinding rumah yang hancur lebur, dan rumah itu langsung ambruk
sebagian. Suaranya sangat keras, mengepulkan debu yang banyak. Dan gadis-gadis
yang ada di dalam yang ditawan Rodopalo berlarian kocar-kacir. Mereka berusaha
menyelamatkan diri.
"He he he... persis seperti monyet yang kesakitan!"
ejek Pendekar Gila melihat Kuntala berlompatan ke sana-kemari.
Sementara perhatian Rodopalo pun terpecah melihat kediamannya ambruk dan gadis-
gadis yang selama ini dijadikan pemuas nafsunya berlarian. Ia tidak penuh
menghadapi Sekar Wangi yang dengan cepat menggerahkan pedangnya.
Craaass! "Aaakhh!"
Rodopalo mundur sambil menekap lengan kirinya yang berdarah. Ia menggeram marah.
Namun sudah tentu Sekar Wangi tidak mau memberinya
kesempatan lagi. Ia terus merangsek dengan gencarnya. Dan sebisanya Rodopalo
menghindari serangan itu.
Namun tiba-tiba terdengar suara mengaduh Sekar Wangi, disusul dengan tubuh yang
terjajar ke belakang. Dadanya terhantam tongkat yang dilemparkan oleh Nyai
Titir. "Sekar!" seruan itu terdengar dari mulut Nyai Harum Tari. Namun ia tidak bisa
membantu Sekar Wangi dan membalaskan dendamnya pada Nyai Titir, karena si
Tongkat Iblis tidak mau memberi kesempatan pada Nyai Harum Tari.
Diserang seperti itu dan dibaluri perasaan marah, bukannya membuat Nyai Harum
Tari menjadi surut serangannya, la justru membalas dengan gencarnya.
Seketika dua kali Nyai Priatsih terhantam tongkatnya.
Sementara Ki Rongsowungkul yang melihat kalau Nyai Titir sedang tidak dalam
siaga penuh, merangsek maju. Dua kali tasbihnya menghantam paha dan lengan Nyai
Titir yang mundur terhuyung.
"Ha ha ha... kini kau mampuslah, Titir!!" serunya dan tubuhnya menderu maju
sambil mengayunkan tasbihnya. Nyai Titir mencoba menghadang serangan itu dengan
jalan menerjangnya. Dua seruan keras terdengar. Dua tenaga pun beradu!
Terdengar suara jeritan kecil disusul dengan asap yang mendadak mengepul dan
debu yang menebal.
Lalu dua tabuh terlempar ke belakang. Masing-masing muntah darah.
Sedangkan saat ini si Kipas Maut harus kocar-kacir menghadapi serangan-serangan
yang dilakukan Sena. Ia menjadi kelimpungan sendiri ketika Pendekar Gila itu mengubah-ubah
jurusnya. Sehingga ia tidak melihat satu bentuk serangan yang pas dari lawannya.
"He he he... itulah jurus-jurus si Orang gila!"
terkekeh Sena dan kali ini ia menyerang dengan jurus
'Kera Gila Berayun Menyambar' yang membuat Kuntala menjadi kelimpungan. Kalau
tadi lawannya menyerang bagian bawahnya, kini Sena menyerang dari atas. Tubuhnya
seperti melompat berayun dan menyerang Kuntala dari atas sambil melayang dalam
ayunan tubuhnya.
Kuntala berkali-kali harus bergulingan, sehingga pakaiannya menjadi sangat kotor
sekali. Ia masih berguling pula ketika Sena mengubah jurusnya 'Kera Gila
Menyambar Mangsa'. Jurus itu sebenarnya khusus untuk menghadapi lawan yang
menyerang bagian bawah. Tetapi karena Kuntala berada di posisi bawah, maka ia
sangat terkejut sekali ketika tiba-tiba Pendekar Gila menyerang bagian bawahnya.
Dengan cepat sambil memaki Kuntala melompat ke atas kalau tidak ingin kepalanya
remuk dihantam oleh ayunan kaki Pendekar Gila. Serangan-serangan yang
dilancarkan oleh Pendekar Gila inilah yang membuatnya bingung, karena jurusnya
berubah-ubah dan arah serangannya sukar dipastikan.
Sedangkan Pendekar Gila tertawa-tawa melihat lawannya kelimpungan. "He he he...
lebih baik kau bertobat saja, Kipas busuk! Dosa-dosamu sudah menumpuk, dan tak
akan bisa diampuni bila kau tidak bertobat!"
"Jangan ngoceh kau, Orang gila!" Dengan gagah-nya si Kipas Maut kembali mencoba
menyerang, namun lagi-lagi ia harus menghindar karena serangan
lawannya sangat mengejutkan, seperti sedang melempar sesuatu padanya, namun
mampu membuat serangannya jadi terhadang. Itu adalah jurus
'Kera Gila Melempar Buah'.
Kali ini Kuntala 'benar-benar kewalahan dibuat oleh Pendekar Gila. Berkali-kali
ia terkena hantaman dan tendangannya. Ia yakin kalau dalam waktu dua jurus lagi
ia tidak akan mampu bertahan menghadapi Pendekar Gila.
Tiba-tiba ia bersalto ke belakang dan berseru, "Titir, Priatsih dan Rodopalo,
kita membentuk jurus
'Empat Malaikat Kahyangan'!"
Serentak orang-orang itu mendekati Kuntala. Ki Rongsowungkul melayang mendekati
Sekar Wangi, "Jangan lepaskan Rodopalo! Ia adalah kunci dari jurus 'Empat Malaikat
Kahyangan'!"
Tetapi Rodopalo sudah berhasil meloloskan diri dari pusaran 'Sepasang Pedang
Kembar Membunuh Naga' milik Sekar Wangi. Sedangkan Pendekar Gila langsung
menyerbu ke arah Rodopalo. Ia pun sadar kalau Rodopalo merupakan kunci dari
jurus 'Empat Malaikat Kahyangan' seperti yang diserukan oleh Ki Rongsowungkul.
Rodopalo yang sangat geram dan mendendam
pada Pendekar Gila, memapaki dengan jurus
'Pukulan Angin Manik'. Serangkum angin keras menderu ke arah Pendekar Gila yang
langsung melompat, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Rodopalo untuk mendekati
kerabatnya yang lain. Kini, keempatnya segera membentuk pormasi angkara, bujur
sangkar kecil. Masing-masing menyimpan senjatanya dan mengatupkan kedua tangan
di dada menjadi satu. Sepintas gerakan mereka mirip robot.
Masing-masing berdiri dengan jarak tiga tindak.
Membentuk satu bangunan serangan yang kokoh.
Ki Rongsowungkul mendesah masygul dan
mendengus melihat Rodopalo sudah menguasai jurus itu pula. Nyai Harum Tari dan
Sekar Wangi hanya memandang saja. Sedangkan Sena menggaruk-garuk kepalanya
sambil cengar-cengir. "He he he... jurus apa lagi ini" Kayak anak kecil yang
sedang main petak umpet!"
Keempat orang itu kini merentangkan kedua tangannya. Kehebatan dari jurus 'Empat
Malaikat Kahyangan' selain bahu membahu juga bisa memberikan tenaga pada masing-
masing bagian. Juga, serangan yang dilakukan tetap pada pormasi bujur sangkar
kecil. Lalu terlihat dari rentangan tangan itu mengalirkan asap. Pendekar Gila
terkekeh-kekeh,
"Wah, wah... jurus memanggang ayam yang kalian perlihatkan, ya?"
Ki Rongsowungkul yang sangat tahu kehebatan jurus itu karena ia termasuk salah
seorang pencipta-nya, menjadi pias. Jurus itu sangat sulit untuk ditembus, kalau
pun nekat berarti hanya meng-antarkan nyawa belaka.
Ia berkata, "Kita masing-masing mengambil la wan. Jangan mencoba untuk merangsek
masuk. Ingat ajaran bujur sangkar itu. Bila ada yang masuk ke dalamnya, berarti
membuang nyawa percuma. Ingat jangan masuk dalam pormasi itu. Sekar, aku
mengambil lawanmu. Karena, akulah yang tahu kunci dari jurus itu."
Sekar Wangi hanya mengangguk saja. Dan melihat kalau rentangan tangan tadi telah
kembali mengatup di dada. Kembali terlihat asap yang mengepul dari masing-masing
tubuh. Nyai Titir tertawa. "Rongsowungkul, kau akan merasakan bagaimana hebatnya jurus
'Empat Malaikat Kahyangan' ini. Dan, kau akan mustahil untuk bisa mengalahkan
pormasi jurus ini! Dan kau Pendekar Gila... kau akan mampus hari ini juga!"
Sena cuma menggaruk-garuk kepalanya. "Wah, wah... kalau begitu lebih baik aku
kembali saja ke Gua Setan. Tetapi he he he... sudah tentu tidak, karena kalian
masih hidup. Jurus yang kalian perlihatkan itu, kayak anak kecil yang ketakutan.
He he he... apakah kalian sebenarnya ketakutan, ya" Ini gawat! Tetapi, he he
he... bila kalian mampus pun...
aku akan terus mengembara."
Nyai Titir segera membuka tangannya ke depan.
Ki Rongsowungkul berbisik, "Segera ambil lawan!
Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itu tanda menyerang!"
Serentak keempatnya bergerak mengambil lawan.
Sekar Wangi berhadapan dengan Nyai Titir, sedangkan Ki Rongsowungkul mengambil
alih menghadapi Rodopalo. Sementara Pendekar Gila dan Nyai Harum Tari tetap
dengan lawannya masing-masing.
Apa yang diperkirakan oleh Ki Rongsowungkul ternyata benar. Begitu Nyai Titir
membuka kedua tangannya, yang lain pun bergerak pula. Ketika Nyai Titir mulai
menyerang, mereka pun segera
menyerang. Gerakan itu hampir sama, dan dilakukan dengan waktu yang sama pula.
"Hati-hati, itu adalah jurus pembuka yang penuh tipuan!" seru Ki Rongsowungkul
dan mencoba menyerang Rodopalo. Ia mendengus berkali-kali, karena Ro-dopalo
melakukannya dengan sangat sempurna.
Yang lainnya pun segera menghadapi lawan-
lawannya. Sungguh, mereka sangat sulit untuk menggempur pertahanan itu. Memasuki
pormasinya, berarti maut yang didapatkan.
Serangan serentak dengan penuh tenaga dan saling bantu itu, terus melebar dan
mengecil, tetap dengan pormasi yang sama. Namun mendadak, mereka berputar.
"Awas! Jangan dekat-dekat, itu adalah jurus kedua dari 'Empat Malaikat
Kahyangan'!" seru Ki Rongsowungkul.
Pusaran tubuh dengan melancarkan serangan itu kembali pada satu titik, pada
posisi semula. Dan kembali melancarkan serangan yang sangat tangguh.
"Ki... apakah tidak ada jalan lain untuk menghancurkan pormasi itu?" seru
Pendekar Gila sambil cengengesan dan melancarkan serangannya. Namun kali ini
serangan-serangan itu mudah sekali dipatahkan. Bahkan dikembalikan pada
pemiliknya. "Jalan satu-satunya, hanyalah menghancurkan formasi utara. Berarti Rodopalo
harus ditumbang-kan!" sahut Ki Rongsowungkul. "Namun itu bukanlah hal yang
mudah! Karena kau lihat sendiri, Sena...
mereka justru membagi tenaga pada Rodopalo!"
Memang sangat sulit untuk menggempur per-
tahanan itu. Mendadak Pendekar Gila berseru,
"Minggir kalian semua!"
Dan dengan serentak mereka berlompatan ke belakang, sementara lawan mereka
menghentikan jurusnya. Dan kembali membuka dengan kaki kanan ke depan, tubuh
condong dan kaki kiri membujur ke belakang. Kekuatan bertumpu pada kaki kanan
seharusnya, namun dugaan itu salah. Karena jurus
'Empat Malaikat Kahyangan' mengandalkan serangan
dan kekuatan tangan.
"Jangan tertipu!" Seru Ki Rongsowungkul. "Itu hanyalah pancingan belaka!
Kekuatan terletak pada tangan mereka!"
Sementara itu Pendekar Gila sedang terdiam. Tiba-tiba ia menyatukan tangannya,
lalu diangkatnya ke atas dan direntangkannya sambil mengerahkan tenaga dalamnya
ke sendi-sendi tangannya. Lalu dibawanya tangannya ke bawah dan diletakkan di
pinggang. Yang lain hanya memperhatikan saja apa yang dilakukan oleh Pendekart Gila. Dan
mendadak Pendekar Gila melontarkan tangannya ke depan.
Bersamaan dengan seruan Nyai Titir, "Putaran Tujuh Dewa Angin!"
Bersamaan angin besar menerpa ke arah mereka, tubuh Empat Malaikat Kahyangan pun
berputar. Sangat kerasnya, melawan angin topan yang ditimbulkan akibat ajian 'Inti Bayu'
yang dilepaskan Pendekar Gila.
Hebat! Ajian 'Inti Bayu' bukan hanya mampu menerbangkan batu sebesar gajah, juga
mampu mencabut akar pohon yang besar. Namun Empat Malaikat Kahyangan itu terus
berputar pada jurus
'Putaran Tujuh Dewa Angin', mereka tidak bergeming sama sekali. Akibat dari
ajian 'Inti Bayu' yang dilakukan Pendekar Gila, bangunan besar yang sudah ambruk
sebagian itu pun beterbangan.
Ki Rongsowungkul, Nyai Titir dan Sekar Wangi hanya terperangah melihat ajian
yang dilepaskan Pendekar Gila. Namun itu tidak membawa hasil sama sekali.
Sena terkekeh-kekeh. "Hebat, hebat sekali! Kalian benar-benar tangguh!"
Nyai Titir menggeram, "Gempur mereka!"
Tetapi Sena sudah mempersiapkan ajian 'Inti Brahma'. Ia menggosok-gosok kedua
tangannya, bersamaan dengan tubuh Nyai Titir menyerang Sena dengan bantuan
tenaga dari ketiga lawannya, Sena sudah menggerakkan tangannya ke muka.
Pijaran bola api keluar menggulung-gulung ke muka.
"Satukan tenaga dalam! 'Mata Api Dewa
Matahari'!"
Dan mendadak saja dari masing-masing tubuh
'Empat Malaikat Kahyangan' mengeluarkan panas yang luar biasa. Sehingga bola-
bola api yang dilakukan Pendekar Gila kalah panasnya. Tidak sanggup untuk
mematahkan mereka. Kalau tadi banyak pohon yang tumbang dan bangunan rumah besar
itu beterbangan, sekarang semuanya terbakar.
"Pendekar Gila! Kau tidak akan membawa hasil bila tidak Rodopalo!!" seru Ki
Rongsowungkul dan mencoba menyerang Namun ia harus mundur karena hawa panas yang
ditimbulkan oleh lawannya mampu membuatnya mengaduh dari jarak dua tombak.
Nyai Harum Tari mencoba melemparkan senjata rahasianya, begitu pula dengan Sekar
Wangi. Namun tidak membawa hasil sama sekali, karena serangan-serangan itu
berhasil dipatahkan pula.
"He he he... hebat, hebat sekali... kalian sangat tangguh," tertawa Pendekar
Gila. "Tetapi, kalian adalah orang-orang kejam yang harus dibasmi!"
Pendekar Gila telah mempersiapkan 'Ajian
Tamparan Sukma' yang sangat dahsyat dan jarang dipergunakan. Karena jurus itu
terlalu kejam. Namun saat ini, terpaksa Pendekar Gila menggunakannya.
"Hhhh! Jurus apa lagi yang kau perlihatkan, Orang Gila!" seru Nyai Titir dan
dengan serentak, ia menyerang Pendekar Gila.
Sena mendesah dalam hati. Jurus yang akan dipergunakannya terlalu kejam, bahkan
sangat kejam. Namun tidak ada jalan lain lagi kecuali melakukannya.
Bersamaan tubuh Nyai Titir menyerang, Sena pun bergerak. Gerakannya sangat tidak
kelihatan, ia bagaikan menepuk belaka. Tetapi ajian itu menggunakan getaran
sukma yang bisa dikendalikan. Jiwa yang suci yang hanya bisa menggunakannya.
Des! Benturan pun terjadi.
Ki Rongsowungkul terkejut melihatnya, la yakin, tubuh Pendekar Gila akan hancur.
Namun yang sangat mengejutkannya pula, justru Nyai Titir yang memekik keras,
lalu tubuhnya ambruk hangus dan meledak.
"Oh, Tuhan!" desis Ki Rongsowungkul. "Jurus yang sangat kejam, tetapi terpaksa
harus dilakukan."
Dengan matinya Nyai Titir, berarti formasi Empat Malaikat Kahyangan menjadi
kacau-balau. Untuk kembali pada jurus mereka masing-masing membutuhkan waktu
beberapa menit. Tetapi Ki
Rongsowungkul sudah maju menderu ke arah
Kuntala. Praaaakk! Tasbihnya menghantam kepala Kuntala hingga berantakan. Sedangkan Nyai Priatsih
harus menerima senjata rahasia yang dilemparkan oleh Nyai Harum Tari.
Sementara Sekar Wangi sudah menderu maju
dengan jurus 'Sepasang Pedang Kembar Membunuh
Naga'. Rodopalo yang masih terhenyak karena kematian gurunya, harus buntung
kepalanya. Sekar Wangi mendesah panjang. Dendamnya sudah
terbalas. Namun yang lebih penting lagi, karena ia bisa membasmi kejahatan.
Selagi mereka menghela nafas lega, terdengar seruan keras, "He he he. . kayaknya
perjumpaan kita hanya sampai di sini saja, Kawan-kawan! Kalau ada umur panjang,
kita akan bertemu lagi!"
Orang-orang itu tersentak. Ki Rongsowungkul memanggil, "Senaaa!" Suaranya
menggema, tetapi tidak ada sahutan.
Yang terdengar justru isak Sekar Wangi yang langsung menaiki kudanya dan
menggebrak lari.
Hatinya sedih sekali karena Sena yang telah mencuri hatinya tidak berpamitan
lagi padanya. "Nyai... muridmu?" desis Ki Rongsowungkul.
"Tidak apa-apa. Biarkan saja. Anak muda yang dimabuk cinta memang seperti itu.
Tetapi yakinlah, ia pasti kembali ke Laut Kidul," kata Nyai Harum Tari
tersenyum. "Ki... kita berpisah sekarang. Mudah-mudahan kita akan bertemu lagi."
Wuuutt! Tubuh Nyai Harum Tari sudah menghilang. Ah, Sekar Wangi... kau telah jatuh cinta
rupanya. Menunjuk pada suatu jalan menuju kedewasaan.
Mudah-mudahan, kau bisa mengubur semua cintamu itu dan melupakannya.
Sementara itu Ki Rongsowungkul menengadah menatap langit yang tiba-tiba menjadi
kelam. "Ah...
kalian adalah sahabat-sahabatku. Mengapa tidak mau bertobat?"
Lalu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Ki Rongsowungkul pun kembali ke
Gunung Karang. Di satu jalan, satu sosok tubuh berompi kulit ular sedang melangkah sambil
bersiul-siul. Dia adalah Sena, Pendekar Gila yang meneruskan
pengembaraannya.
SELESAI Serial Pendekar Gila selanjutnya:
DEWI BAJU HIJAU
Created ebook by
Sean & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (Zinc Ziko)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 12 Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak Kong Ciak Bi Siucai Karya Raja Kelana Mencari Bende Mataram 13
"Tetapi jurus pamungkas kita adalah jurus 'Empat Malaikat Kahyangan'. Bila yang
kita hadapi Ki Rongsowungkul sudah bisa dipastikan kita akan kacau-balau. Jurus
'Empat Malaikat Kahyangan' yang kita ciptakan bersama, bukannya jurus milik kita
sendiri. Jurus itu tidak akan pernah bisa dilakukan bila hanya beberapa orang
yang melakukan!"
"Tetapi percayalah, muridku mampu melakukannya!"
"Hhh!" Kuntala mendengus. "Bila melihat kenyataan yang dilakukannya seperti itu,
sudah bisa dipastikan kita akan runtuh diserang oleh Ki Rongsowungkul!"
"Kuntala!" seru Nyai Titir dengan geram. Sebagai guru dari Rodopalo ia merasa
diinjak-injak harga dirinya. "Kau seolah sangat meremehkan muridku!"
Kuntala terbahak-bahak.
"Titir! Yang kita hadapi sekarang adalah Ki Rongsowungkul, Si Tua Penghuni
Gunung Karang. Lalu Pendekar Gila yang sampai sekarang belum kita ketahui batang hidungnya!
Seperti dugaanmu, Pendekar Gila yang muncul bukanlah Singo Edan yang sudah
mengasingkan diri di Gua Setan! Tetapi muridnya, yang sudah tentu memiliki ilmu
yang setingkat dengannya! Lalu... penolong Ki Rongsowungkul yang hingga sekarang
belum kita ketahui!"
Nyai Titir membuka kedua kakinya.
"Sikapmu terlalu pengecut, Kuntala!" serunya yang menjadi jengkel karena
dibentak dan diejek terus-menerus.
Melihat gurunya seperti memberi angin, Rodopalo melompat ke depan. "Nyai Guru...
bila diperkenankan, saya menghendaki untuk meminta pelajaran dari si Kipas
Maut." Mendengar kata-kata itu, Kuntala terbahak-bahak.
Sementara Nyai Titir yang tidak ingin rencananya jadi kacau-balau, menolak
permintaan Rodopalo.
"Tidak. Kita kalangan sendiri, untuk apa saling mencoba?" katanya.
Sedangkan Kuntala semakin terbahak-bahak.
"Biarkan saja dia, Titir! Barangkali ia tidak puas
dengan kehadiranku di sini!"
"Tidak! Kita harus bersatu padu. Ajian 'Empat Malaikat Kahyangan' yang kita
percayai pada Rodopalo belum berhasil diselesaikan dengan sempurna," kata Nyai
Titir. Rodopalo yang sejak tadi tidak menyukai Kuntala, segera berkata dengan
congkaknya, "Nyai Guru... aku ingin sekali meminta pelajaran dari si Kipas
Maut." Belum lagi ia meminta persetujuan dari Nyai Titir, Rodopalo yang memang keras
kepala dan kejam, sudah merangsek masuk dengan 'Pukulan Angin Manik'nya.
Kuntala melompat sambil tertawa.
"Rupanya jurus pamungkas milikmu itu sudah dikuasainya pula. Bagus sekali,
Titir!" desisnya sambil membuka kipasnya. Lalu diayunkannya kipasnya dengan
gerakan berlawanan arah jarum jam. Dengan cara seperti itu, 'Pukulan Angin
Manik' yang dilepaskan oleh Rodopalo, jadi melenceng arahnya.
Melihat lawannya mengetahui kelemahan jurus
'Pukulan Angin Manik' Rodopalo mengubah serangannya. Sudah tentu Kuntala sangat
mengenal sekali pukulan itu. Bahkan ia tahu titik kelemahannya.
Hanya Rodopalo yang tidak mengerti adat.
Ia terus merangsek maju dengan serangan-
serangan yang ganas. Ajian 'Tangan Dewa' pun dikeluarkannya. Setiap kali ia
memukul, terasa hawa panas menderu. Kuntala sedikit terkesiap, ketika ia
mengayunkan kipasnya, justru hawa panas yang menerpanya, sehingga pukulannya
melenceng. "Ha ha ha... kita seri sekarang!" seru Rodopalo sambil terus menyerang.
Pertarungan itu pun semakin seni. Semakin terlihat kalau keduanya sangat
bernafsu untuk menjatuhkan lawan. Lebih-
lebih pada Rodopalo yang memang sangat jengkel pada Kuntala. Sehingga setiap
serangannya terasa sekali, kalau ia ingin menjatuhkan si Kipas Maut.
Sementara si Kipas Maut pun tidak ingin tubuhnya dijadikan sasaran serangan
Rodopalo. Ia pun menghindari setiap serangan yang dilancarkan Rodopalo dengan
gerakan-gerakan yang cepat dan tangkas.
Disusul dengan setiap serangan yang merangsek masuk.
Dari pertarungan itu, terlihat kalau Kuntala sebenarnya berada di atas angin.
Dari segi kesaktian, keduanya seimbang. Tetapi dari segi pengalaman, Kuntala
yang sudah memakan asam garam
kehidupan ini, lebih bisa menguasai jalannya pertarungan itu.
Sampai suatu ketika, keduanya sama-sama
bersalto ke belakang, lalu hinggap dengan kesiagaan penuh. Masing-masing rupanya
memang ingin membuktikan dirinyalah yang lebih baik di antara keduanya.
Rodopalo segera menyiapkan diri dengan jurus pamungkasnya, 'Angin Manik
Menghancurkan Gunung'. Suatu rangkaian jurus yang mengerikan.
Karena, angin yang keluar dari setiap serangannya, bukan hanya mampu membuat
lawan keder, tetapi mampu menerbangkan iawan dengan tubuh yang hancur.
Sementara Kuntala mengeluarkan ajian, 'Kipas Mengusir Kabut'. Suatu jurus
pamungkas dari jurus kipasnya, yang sanggup pula menerbangkan seekor gajah.
Nyai Priatsih hanya terdiam dengan wajah tegang.
Sementara Nyai Titir segera melompat ke tengah-tengah keduanya. Tangannya
terentang. Ia sangat
mengenal jurus keduanya. Jurus Rodopalo, adalah jurus ciptaannya. Sementara
jurus yang diperlihatkan si Kipas Maut, sangat dikenalnya karena mereka telah
bertahun-tahun bersama.
"Hentikan pertarungan yang tak ada gunanya ini!
Sesama orang sendiri, lebih baik kita menjalin kesiagaan bersama!" serunya.
Rodopalo merandek.
"Nyai Guru, seperti kukatakan tadi... aku ingin meminta pelajaran dari si Kipas
Maut!" Meskipun berkata hanya 'meminta pelajaran saja'
tetapi di balik semua itu, ada nafsu untuk menjatuhkan Kuntala di hati Rodopalo.
Bahkan kalau bisa, menghancurkannya sekalian. Selama ini Rodopalo tidak pernah
diejek sekali pun. Bahkan oleh gurunya sendiri.
Tetapi si Kipas Maut sudah mencorengkan amarah di hatinya. Dan ia tidak bisa
membiarkannya begitu saja!
Kuntala terbahak-bahak.
"Rupanya, meskipun namamu ditakuti orang
sebagai begundal yang kejam, tetapi kau masih harus banyak belajar, Rodopalo!"
seru Kuntala sambil terbahak-bahak.
"Diam kau!" bentak Rodopalo. Kedua tangannya berputar ke atas, lalu merangkum
menjadi satu di dada.
"Tahan, Rodo!" bentak Nyai Titir. "Sekarang bukan saatnya untuk menunjukkan
kepandaian! Kita sesama teman, seharusnya saling menghormati!"
"Tapi, Guru...."
"Rodo!" suara Nyai Titir menggelegar.
Seganas apa pun, sekejam siapa pun, Nyai Titir adalah orang yang sangat
dihormati Rodopalo. Ia
tidak berani membantah perintahnya. Hanya tatapannya saja yang memancarkan sinar
amarah dan dendam pada Kuntala.
Kuntala sendiri terbahak-bahak.
"Untungnya, gurumu sendiri yang turun tangan, Anak ingusan! Kalau tidak, kau
akan mampus berkeping-keping!"
Panas sekali telinga Rodopalo mendengar kata-kata itu. Namun lagi-lagi ia tidak
bisa berbuat apa-apa. Dengan menahan amarahnya, ia melangkah ke luar.
"Rodo! Kau masih harus menguasai jurus 'Empat Malaikat Kahyangan'!" seru Nyai
Titir. "Persetan dengan semua itu, Nyai Guru!" serunya sambil melangkah ke ruangan
besar dalam bangunan itu. Tangannya bertepuk tiga kali. Seorang anak buahnya
muncul dengan tergopoh-gopoh.
"Ampun, Ketua. Ada keperluan apa?" tanyanya sambil menjura.
"Bawa ke kamarku tawanan-tawanan wanita itu!
Lekas!" serunya keras dan langsung masuk ke kamarnya. Ia sangat tidak puas
dengan sikap gurunya. Rodopalo yakin, ia dapat menghancurkan Kuntala dengan
jurus pamungkasnya.
Terdengar suara dari luar, diselingi dengan jeritan tertahan dari tiga orang
wanita, "Ketua... kami datang."
Yang mengenaskan, justru nasib tiga wanita itu.
Mereka dijadikan sebagai pelampiasan amarah Rodopalo. Diperkosa bergantian,
dengan kedua tangan dan kaki diikat di pembaringan. Setelah puas memperkosa
ketiganya, dengan ganasnya Rodopalo menghantam kepala ketiganya dengan 'Angin
Manik Menghancurkan Gunung'.
Seketika kepala ketiga gadis itu hancur menjadi debu.
"Singkirkan kotoran ini!" serunya dan melangkah kembali ke ruangan di mana Nyai
Titir, Nyai Priatsih dan Kuntala berada. "Kita lanjutkan pelajaran tadi! Ki
Kuntala... aku minta maaf atas kelancanganku itu!"
Kuntala terbahak-bahak.
"Aku justru kagum dengan kekejamanmu! Kau tahu Rodo, dulu, beberapa tahun yang
lalu, kekejamanku pun seperti kau!"
Entah gembira atau tidak mendengar pujian itu, yang pasti Rodopalo tersenyum.
Mereka pun kembali melanjutkan jurus 'Empat Malaikat Kahyangan'. Rodopalo kali
ini terlihat sangat keras kemauannya. Ia tidak peduli lagi bila si Kipas Maut
membentak atau menyalahkannya. Yang terpenting sekarang, menyusun kekuatan
kebersamaan mereka. Karena, ia pun akan termasuk dalam Empat Malaikat Kahyangan!***
8 Ki Rongsowungkul terbahak-bahak melihat sikap Pendekar Gila yang uring-uringan
dan ngomel-ngomel sendiri. Sebabnya, ketika mereka bangun dari tidur tadi,
keduanya tidak melihat Sekar Wangi berada di sana.
Sena sudah mencarinya berkeliling di sekitar sungai itu, tetapi si Jelita
Penunggang Kuda tetap tidak menampakkan batang hidungnya.
"Brengsek! Brengsek!" seru Pendekar Gila sambil membanting-banting kakinya.
"Kita lagi enak tidur, dia menghilang begitu saja!"
"Kau sudah mencarinya?" tanya Ki Rongso-
wungkul sambil menahan tawa.
"Ke mana-mana aku sudah mencari! Tetapi... wah, wah... si Jelita Penunggang Kuda
sudah tidak ada!
Gawat, ini gawat!" Sena masih uring-uringan.
"Apanya yang gawat?"
"Pasti, pasti dia ke Gunung Kematian," kata Sena yang kemudian terkekeh. "He he
he... dia memang keras kepala. Kepala keras. Tetapi... dia cantik.
Bukan begitu, Ki?"
Ki Rongsowungkul hanya mengangguk saja
melihat Sena yang nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya. Tadi ia marah-marah,
sekarang malah tertawa tawa.
"Ia memang sangat jelita. Kau pantas mendapat-kannya, Sena," kata Ki
Rongsowungkul bersungguh-sungguh.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya lagi.
"Wah, wah... bisa gawat. Runyam. Edan. Kalau aku mendapatkan gadis pemarah
seperti itu."
"Tetapi ia cantik, bukan?"
"He he he... ia sangat cantik bahkan. Sayang... he he he galak, dia galak
sekali." Ki Rongsowungkul sadar, berbicara mengenai gadis itu pada Sena adalah sesuatu
yang percuma. "Kalau memang menurut dugaanmu itu ke Gunung Kematian, mengapa kita tidak segera
ke sana saja?"
ajak Ki Rongsowungkul.
Sena nyengir kuda.
"Kau benar, Ki... he he he... ayo, kita musnahkan Gerombolan Iblis dari Pacitan
itu!" Ki Rongsowungkul kembali tertawa.
"Kita mulai!" Lalu tubuhnya melesat dengan cepat, mempergunakan ilmu lari 'Bayu
Gunung Karang'.
Sena cuma terkekeh saja, lalu segera menyusul dengan ilmu lari 'Sapta Bayu'.
Ki Rongsowungkul yang semula ingin melihat kepandaian ilmu lari dan meringankan
rubuh Pendekar Gila, cukup terkejut pula. Karena, dengan sekali berkelebat
Pendekar Gila sudah mensejajarkan diri dengannya.
Diam-diam ia semakin kagum dengan Pendekar Gila, hanya sayang... masih muda
sudah gila. *** Sementara itu, apa yang diduga oleh Pendekar Gila dan Ki Rongsowungkul memang
benar. Karena saat ini, Sekar Wangi dengan sembunyi-sembunyi sedang mengintai di
sekitar Gunung Kematian. Ia melihat penjagaan sangat ketat sekali.
Untuk memasuki Gunung Kematian, harus
melewati jalan setapak yang dijaga oleh beberapa orang yang bertampang garang
dan bengis. Di tangan mereka ada sebilah golok yang sangat tajam dan siap
dikibaskan pada orang yang tak dikenal.
"Hhh! Kalau begini caranya... aku harus nekat Paling tidak, aku harus bisa
membalaskan sakit hatiku pada Rodopalo!" dengus Sekar Wangi, lalu dengan diam-
diam diambilnya kantung senjata rahasianya yang ia sampirkan pada punggung
kudanya. Kantung itu ia ikatkan di pinggang.
Dengan satu gerakan yang sangat terlatih, senjata rahasia berbentuk sirip ikan
layur yang berbisa itu dilemparkannya. Empat tubuh ambruk ke tanah tanpa sempat
berteriak. Sekar Wangi segera menyelinap. Si Putih ia tambatkan di hutan kecil yang ada di
sana. Dengan perlahan-lahan dan kesiagaan yang penuh ia memperhatikan lagi
sekelilingnya. Dua orang penjaga lewat, dan langsung ambruk termakan senjata rahasianya.
"Hhh! Kalau begini terus menerus, senjata rahasiaku bisa habis!" dengusnya.
Suasana dingin dan sunyi di Gunung Kematian sangat dirasakan oleh Sekar Wangi.
Ilalang tumbuh tinggi. Pepohonan menambah keseraman suasana di sana.
Tetapi tekad di hatinya sudah bulat. Ia harus menemui Rodopalo dan membalas
kematian kedua orang tuanya. Karena bagi Sekar Wangi, ia tidak akan pernah
tenang bila orang itu masih hidup.
Sekar Wangi memperhatikan sekelilingnya lagi. Di kejauhan ia melihat sebuah
bangunan besar di dekat Gunung Kematian. Bangunan itu tak ubahnya sebuah
kediaman seorang raja. Di depan bangunan itu ada
sebuah pintu yang tinggi terbuat dari kayu jati. Dan terlihat lima orang
berpakaian hijau lumut tengah berdiri di sana.
"Monyet busuk!" maki Sekar Wangi begitu melihat betapa susahnya ia untuk
menerobos masuk.
Penjagaan sangat ketat sekali. Bahkan sebelum ia bisa mencapai pintu itu, ia
harus melewati sebuah penjagaan yang telah berdiri tiga orang di sana.
Lagi Sekar Wangi mengendap-endap. Dan dengan cepatnya dilemparkannya senjata
rahasianya kembali. Tiga orang itu pun ambruk tanpa sempat menjerit.
Kini sasaran selanjutnya mendekati pintu gerbang besar itu. Sekar Wangi yakin,
itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Namun tekad yang bulat telah
tertanam di hatinya, ia harus bisa membunuh Rodopalo.
Sebenarnya, Sekar Wangi tidak ingin meninggalkan Pendekar Gila dan Ki
Rongsowungkul. Hanya saja dendam di hatinya sudah tidak bisa dibendung lagi
untuk membunuh Rodopalo. Makanya, selagi keduanya tidur, ia pun segera pergi ke
Gunung Kematian.
Sekar Wangi mengendap-endap perlahan. Malang, kakinya menginjak sebatang ranting
yang kering. Krakkk! "Siapa itu?" salah seorang yang menjaga di pintu gerbang itu segera membentak,
disusul dengan gerakan tubuh berlarian ke arah Sekar Wangi.
Tidak ada jalan lain lagi sekarang selain menampakkan diri. Sekar Wangi muncul
sambil mendengus. Melihat yang muncul seorang gadis, lima orang itu terbahak-
bahak saling berpandangan.
"Rupanya seekor kelinci manis yang muncul," kata salah seorang. Ia bernama Koro.
"Hei, Gadis manis...
bukan begitu caranya untuk menjadi selir dari ketua kami. Kau harus berdandan
lebih cantik dan datang secara baik-baik. Tetapi... ha ha ha... kau sudah sangat
cantik. Ketua pasti suka denganmu."
Menggigil menahan marah Sekar Wangi men-
dengar kata-kata yang jijik itu. Dengan cepat sambil menggeram, dilemparkannya
senjata rahasianya pada Koro yang menjerit dan ambruk. Nyawanya melayang
seketika. Melihat hal itu, keempat kawannya menjadi murka. Mereka segera mengurung Sekar
Wangi yang memang tidak ada jalan lain kecuali menghadapi mereka. Ia menyesali
kecerobohannya tadi, mengapa sampai menginjak ranting yang kering.
Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keparat!" Memaki salah seorang sambil menggerakkan goloknya ke arah Sekar
Wangi, yang langsung menghindar dan ketika hinggap di tanah di tangannya sudah
tergenggam pedangnya.
"Hhh! Anjing-anjing Rodopalo, lebih baik kalian mampus saja!" Lalu dengan jurus
'Sepasang Pedang Menguasai Mata Angin' Sekar Wangi mengobrak-abrik pertahanan
lawannya. Rupanya keempat penjaga itu bukanlah tandingan Sekar Wangi, karena
dengan sekali sentak saja kepala keempatnya telah meng-gelinding.
Namun pertarungan singkat itu telah memancing perhatian orang-orang di dalam
bangunan itu. Dua puluh orang dengan serentak keluar dengan golok di tangan.
Melihat teman-teman mereka yang sudah mampus itu, mereka menjadi marah. Sambil
berteriak-teriak mereka mengurung Sekar Wangi yang semakin waspada. Namun ia
senang dengan kejadian ini, karena paling tidak, akan terpancing pula Rodopalo
untuk muncul. "Tangkap gadis setan itu!"
"Cincang saja! Bunuh!"
"Kita perkosa beramai-ramai!"
Seruan-seruan itu terdengar keras, disusul dengan serangan yang dilakukan
serempak pada Sekar Wangi yang kembali memainkan jurus 'Sepasang Pedang
Menguasai Mata Angin'. Jurus itu memang sangat dahsyat. Benar-benar menguasai
empat penjuru mata angin. Setiap kali pedangnya berkelebat, maka satu nyawa pun
meregang. Tetapi mereka bukannya bertambah ngeri melihat ngamuk-nya Sekar Wangi.
Mereka justru bertambah nekat untuk menaklukkan Sekar Wangi, bahkan jumlah
mereka semakin banyak.
"Hayo, maju kalian semua! Biar mampus!" seru Sekar Wangi sambil menerjang. ke
sana-kemari. Gerakannya benar-benar menguasai empat penjuru angin, membuat orang-orang itu
menjadi kocar-kacir.
"Panggil keluar Rodopalo biadab! Biar ia berkenalan dengan Sekar Wangi!"
Orang-orang berpakaian hijau itu semakin berusaha untuk menutup gerakan Sekar
Wangi. Namun bagi Sekar Wangi yang benar-benar sudah menguasai jalannya
pertarungan, malah semakin enak saja menyabetkan pedangnya ke sana-kemari.
Korban yang jatuh sudah tidak bisa dihitung.
Namun mendadak saja terdengar teriakan keras,
"Mundur kalian semua!"
Serentak orang-orang yang menyerang Sekar Wangi mundur, membentuk lingkaran
mengurung Sekar Wangi. Sekar Wangi dapat melihat siapa yang membentak itu.
Seorang laki-laki tinggi besar dengan wajah yang seram dan kalung tengkorak di
dada! Di sisi laki-laki itu berdiri tiga sosok tubuh yang menatap angker ke arahnya.
Mereka tak lain dari Nyai Titir, Nyai Priatsih dan Kuntala. Sungguh, mereka
sangat terkejut sekali begitu mengetahui siapa yang tengah membuat onar.
Rodopalo terbahak-bahak.
"Rupanya gadis jelita yang datang ke tempatku.
Hmm... mengapa kita harus bersilang sengketa, Manis" Bukankah kau bisa datang
secara baik-baik?"
"Cuih!" Sekar Wangi membuang ludah dengan kemuakan yang nampak. "Anjing keparat!
Kaukah Rodopalo?"
Mendengar kata-kata itu Rodopalo semakin terbahak-bahak.
"Tentu, tentu, Manis... akulah Rodopalo!"
Dada Sekar Wangi membuncah menahan geram-
nya. Kedua tangannya yang memegang pedang bergetar.
"Rodopalo... ingatkah kau. . peristiwa tujuh belas tahun yang lalu?" katanya
dengan suara bergetar pula.
"Hmm, masalah apakah gerangan, Manis?"
"Bangsat! Kau telah menghancurkan sebuah desa di Laut Kidul. Lalu kau membunuh
seorang laki-laki yang bernama Abimanyu. Dan kau membunuh pula istrinya yang
bernama Lestari. Kau ingat itu, Anjing buduk?"
Rodopalo terbahak-bahak.
"Sudah sangat banyak manusia yang mati di tanganku. Ha ha ha... segelintir
manusia tak akan mungkin bisa kukenali. Tak terkecuali orang yang kau sebutkan
tadi, Manis!"
"Keparat! Aku adalah putri dari Abimanyu dan Lestari! Kini, kau bersiaplah,
Rodopalo!" Sambil
berkata begitu, Sekar Wangi membuka jurus
'Sepasang Pedang Menguasai Mata Angin'.
"Mampuslah kau... heaaaa!" Dengan diiringi teriakan yang keras, Sekar Wangi
menenang ke arah Rodopalo yang langsung menghindar.
"Hebat!" desis Rodopalo. 'Tetapi lebih baik kau menjadi selirku, saja,
Manis...."
Serang menyerang antara Sekar Wangi dan
Rodopalo demikian serunya. Sekar Wangi tidak ingin bertindak tanggung lagi.
Dendamnya harus terbalas.
Pikirnya tadi, ia akan melihat Rodopalo yang terkejut ketika ia menyebutkan nama
kedua orangtuanya.
Namun Rodopalo hanya terbahak saja sambil mengejeknya.
"Dosa-dosanya sudah tidak bisa diampuni lagi!"
dengus Sekar Wangi dan terus mencecar. Sepasang pedangnya berkelebat dengan
cepat. Membentuk satu pusaran dengan kecepatan yang luar biasa, dan mencoba
menutup gerak Rodopalo.
Sementara itu, tiga pentolan dari Empat Malaikat Kahyangan hanya memperhatikan
saja dengan serius. Terutama Nyai Priatsih. Ia benar-benar merasa mengenal jurus
yang dipergunakan oleh gadis itu.
Hmm... kini tidak salah lagi. Tentunya ia adalah murid dari Nyai Harum Tari, si
Penguasa Laut Kidul. Dan sudah tentu senjata rahasia berbentuk sirip ikan layur
itu adalah miliknya.
Rodopalo pun menggunakan 'Pukulan Angin
Manik'nya untuk mengimbangi serangan dari Sekar Wangi. Pertama-tama ia
mengangggap ringan jurus yang diperlihatkan oleh Sekar Wangi. Namun pada
kenyataannya, justru mang geraknya tertutup. Ke mana ia menghindar, di sanalah
Sekar Wangi telah menunggu dengan serangan berikutnya.
"Pantas kau bertindak sewenang-wenang,
Manusia keparat!" seru Sekar Wangi yang kini lebih banyak menghindar, karena ada
serangkum angin keras yang menerpa ke arahnya setiap kali Rodopalo menggerakkan
tangannya. "Sudah kukatakan tadi, lebih baik kau menyerah dan menjadi selirku.... Bila kau
tidak mau, kau menjadi pemuas nafsuku saja... ha ha ha!" Rodopalo terus mencoba
mendesak Sekar Wangi. Dengan
'Pukulan Angin Manik' yang dilepaskannya, ia bisa menjaga jarak agar Sekar Wangi
tidak mendekat.
Dengan begitu, ia memiliki banyak kesempatan untuk menjatuhkan Sekar Wangi.
Kali ini Sekar Wangi sadar kalau jurus yang dipergunakannya sudah tidak banyak
membawa hasil. Lalu ia pun mengubah jurus berikutnya, 'Sepasang Pedang Kembar
Membunuh Naga'. Jurus yang diperlihat-kannya lebih cepat dan terarah dari pada
jurus pertama tadi. Karena, serangannya hanya terarah pada tubuh Rodopalo saja.
Bahkan dengan kibasan-nya yang kuat, mampu menghalau 'Pukulan Angin Manik' yang
dilepaskan oleh Rodopalo.
Kali ini Rodopalo kocar-kacir dibuatnya. Ia memaki-maki sendiri. Lalu dengan
cepatnya ia melompat ke belakang.
Kuntala terbahak-bahak.
"Melawan gadis yang masih bau kencur itu kau tidak bisa mengalahkannya, Rodo?"
serunya sambil mengipas-ngipasi tubuhnya.
Rodopalo mendengus mendengar kata-kata bagai ejekan itu. Mendadak sambil
menjerit keras ia merangsek maju ke arah Sekar Wangi, yang dengan hebatnya
justru memapaki serangan itu.
Dua benturan keras terjadi.
Tubuh Sekar Wangi terlempar beberapa tombak ke belakang. Ia merasakan dadanya
remuk terkena hantaman pukulan Rodopalo yang penuh tenaga.
Sementara Rodopalo sendiri harus tergores di lengan kirinya yang mengeluarkan
darah. Melihat hal itu Rodopalo menjadi murka. Selama ini ia belum pernah sekali pun
melihat darah yang keluar dari bagian tubuhnya. Dan gadis itu telah
melakukannya. Ia bukan hanya merasa terhina, tetapi juga merasa harga dirinya
diinjak-injak oleh Sekar Wangi.
Dengan kemarahan yang amat sangat, Rodopalo menggeram murka, "Monyet betina! Kau
harus mampus!"
Lalu kedua tangannya diayunkan ke bawah, lalu ke samping dengan gerakan yang
cepat. Mendadak kedua tangannya menjadi hitam legam. Itu adalah jurus kedua dari
'Pukulan Angin Manik'. Jurus yang sangat hebat dan cepat. 'Angin Manik
Menerbangkan Gunung.'
"Hhh! Kau harus mampus, Monyet betina!"
geramnya seraya menyerang.
Sekar Wangi yang dalam keadaan terluka, tidak bisa berbuat banyak. Tubuhnya
seakan sukar untuk digerakkan. Bahkan untuk menggeser tubuhnya saja tidak
mungkin ia lakukan.
Yang bisa dilakukan, hanyalah menatap pasrah. Ia merasa sedih dan kesal karena
tidak bisa membalaskan kematian kedua orangtuanya. Lawan yang dihadapinya
terlalu tangguh. Bahkan ia sendiri kini yang sedang menghadapi maut.
Tubuh Rodopalo sudah menerjang dengan diiringi oleh teriakan yang dahsyat. Semua
terpaku. Tak ada yang bergeser dari pijakannya. Dan mereka akan
menyaksikan tubuh Sekar Wangi yang lumat dan hanya bisa memejamkan matanya,
pasrah. Namun mendadak saja satu keanehan terjadi.
Karena tubuh Rodopalo bukannya menerjang ke arah Sekar Wangi, justru melompat
kembali ke belakang.
"Bangsat busuk! Siapa yang berani menghalangi niat Rodopalo, hah"!" bentaknya
gusar. Sementara itu tiga pentolan Empat Malaikat Kahyangan seketika bersiaga. Nyai
Priatsih melihat beberapa senjata rahasia sirip ikan layur menancap di sebatang
pohon, yang layu seketika.
Mendadak terdengar suara tawa yang keras, lalu muncul satu sosok tubuh bongkok
dengan sebatang tongkat di tangannya. Langkahnya begitu ringan.
"Rupanya, ada yang ingin membunuh muridku. Hhh!
Tidak semudah itu bisa dilakukan,"katanya sambil tertawa.
"Guru!" terdengar seruan Sekar Wangi bernada gembira.
Penguasa Laut Kidul!" terdengar seruan Nyai Priatsih.
*** 9 Nyai Harum Tari terbahak-bahak. Ialah yang tadi melemparkan senjata rahasia
berbentukirip ikan layur pada Rodopalo yang siap mencabut nyawa Sekar Wangi.
"Mengapa Guru berada di sini?" seru Sekar Wangi yang masih belum bisa juga
mengangkat tubuhnya sendiri.
Nyai Harum Tari mendekati muridnya.
"Anak bodoh! Sudah lama aku mengikuti sepak tenangmu, hah"! Kau pikir, aku tega
melepaskan kau pergi mencari manusia laknat itu seorang diri?"
dengus Nyai Harum Tari. Tangannya dengan cepat menotok beberapa bagian tubuh
Sekar Wangi, yang mengeluh sebentar. Lalu dirasakannya aliran darahnya lancar
kembali. "Jangan manja! Kau sudah bisa berdiri!"
"Oh, Guru... terima kasih atas kemunculanmu...."
"Jangan cengengesan!" dengus Nyai Harum Tari sambil berbalik pada orang-orang
itu. Ia menggeram pada Rodopalo, "Rupanya kau belum jera juga setelah kuobrak-
abrik markasmu di Pacitan, Rodo!
Kini, aku tidak akan mengampunimu!"
Bukannya Rodopalo yang menyahut, justru Nyai Titir yang melangkah ke depan.
"Hmmm... kehebatan Penguasa Laut Kidul titisan Nyai Roro Kidul, sudah lama
kudengar. Selamat bertemu denganku, Harum Tari!" Meskipun bibirnya tersenyum,
namun wajahnya menampakkan
kemurkaan yang teramat sangat.
"Bagus, bagus. Siapa yang tidak mengenal
keganasan Empat Malaikat Kahyangan, hah" Tetapi...
mana si Tua Penghuni Gunung Karang, si Rongsowungkul, hah"! Apakah ia membelot
dari Empat Malaikat Kahyangan" Sayang, sayang sekali...."
Nyai Titir menggeram.
"Sudah lama aku ingin mencoba kehebatan
Penguasa Laut Kidul!" dengusnya sambil membuka jurusnya.
Nyai Harum Tari tertawa. Lalu berkata pada para anggota gerombolan. "Lebih baik
kalian pergi dari sini, jangan membuang nyawa percuma untuk manusia-manusia
biadab seperti mereka!"
Orang-orang itu kelihatan ragu-ragu. Mereka tak mungkin berani melanggar
perintah Rodopalo.
Apalagi ada Nyai Titir sekarang ini. Namun mereka pun menyayangi nyawa mereka
yang hanya semata wayang. Jalan satu-satunya memang harus
meninggalkan tempat ini. Karena mereka tahu, sebentar lagi akan terjadi
pertarungan yang hebat.
Tetapi, mereka pun tahu apa yang akan mereka dapati bila mereka melarikan diri.
Tak ada jalan lain, kecuali menyerang Nyai Harum Tari dan Sekar Wangi. Tanpa
diperintahkan lagi, salah seorang memberi komando dan menyerang ke arah
keduanya. "Hhhh! Bocah-bocah nakal!" dengus Nyai Harum Tari dan tangannya pun berkelebat
menebar. Puluhan senjata rahasia sirip ikan layur pun melayang mencari sasaran.
Jeritan kematian pun terdengar dengan putusnya berpuluh nyawa.
"Yang masih mau hidup, tinggalkan tempat ini!'
seru Nyai Harum Tari sambil mengancam untuk melemparkan kembali senjata
rahasianya, sementara Sekar Wangi bersiaga karena siapa tahu Rodopalo, Nyai
Titir, Nyai Priatsih dan Kuntala mengambil kesempatan.
Sedangkan orang-orang itu kelihatan ngeri juga.
Nampak kalau mereka masih sangat menyayangi nyawa mereka. Tetapi justru Rodopalo
terbahak-bahak.
"Ha ha ha... kalian memang pengawal-pengawalku yang rela berkorban! Maju! Bunuh
kedua manusia busuk itu!"
"Mundur! Atau nyawa kalian akan putus hari ini juga!" dengus Nyai Harum Tari.
Orang-orang itu kebingungan. Bila terus
menyerang Nyai Harum Tari bisa dipastikan kalau mereka akan termakan senjata
rahasia sirip ikan layur milik Nyai Harum Tari. Bila tidak menyerang bisa
dipastikan akan mampus di tangan Rodopalo.
Namun dua orang di antara mereka mencoba
mengambil kesempatan untuk melarikan diri.
Bertepatan dengan itu, tangan Nyai Titir berkelebat.
"Aaakhh!" Dua jeritan bersamaan tubuh ambruk terlihat. Dari sekujur tubuh
keduanya mendadak berubah menjadi hitam.
"Racun Kelabang Hitam!" seru Nyai Harum Tari.
Nyai Titir terbahak-bahak. "Itulah akibatnya bila berani menentang kehendakku!
Serang kedua manusia busuk itu!"
Melihat kenyataan yang menerima dua orang itu, yang lainnya menjadi keder juga.
Serentak mereka menyerang Nyai Harum Tari dan Sekar Wangi yang lagi-lagi hanya
Nyai Harum Tari yang bertindak.
"Hhh! Kalian seharusnya tahu, kalau manusia-manusia busuk itu tidak patut
dijaga!" dengus Nyai Harum Tari yang diam-diam merasa kasihan karena harus
merenggut nyawa orang-orang itu.
Sementara itu, apa yang diduga Sekar Wangi ternyata benar. Karena Rodopalo sudah
menyerang dengan 'Angin Manik Menerbangkan Gunung'.
Dengan sigap, Sekar Wangi segera melompat menyongsong dengan jurus 'Sepasang
Pedang Kembar Membunuh Naga'.
"Hhhh! Kau harus membalas kematian kedua
orangtuaku, Rodopalo!" geramnya dengan hebatnya ia menyabetkan pedangnya.
Membuat Rodopalo tidak bisa merangsek masuk.
Melihat hal itu, Kuntala segera melompat dengan kipas mautnya.
"Bagus!" seru Sekar Wangi. "Kalian memang pengecut! Kenapa baru mengeroyokku,
hah"!"
Meskipun Sekar Wangi dengan gigih bertahan, namun menghadapi dua serangan itu
sudah tentu ia tidak bisa bertahan lebih lama. Berkali-kali tubuhnya terkena
hantam kipas dari Kuntala.
Sementara itu Nyai Harum Tari sudah menghabisi lawannya. Ia mendesah panjang
melihat mayat-mayat dari orang yang tak berdosa. Tetapi belum sempat ia
menyesali semua ini, Nyai Titir dan Nyai Pritsih sudah menyerang.
"Hhh! Bagus, bagus!" seru Nyai Harum Tari dan segera menahan dua serangan yang
datang bergantian itu.
Terlihat dua sosok tubuh yang terpecah menjadi dua dikeroyok masing-masing dua
orang. Bila melihat posisinya, Sekar Wangi benar-benar tidak bisa mengimbangi
setiap serangan yang dilancarkan oleh
Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rodopalo dan si Kipas Maut.
Sedangkan Nyai Harum Tari bukan hanya tidak bisa mengimbangi, bahkan ia bisa
merangsek masuk dan menguasai pertarungan itu.
Hanya saja, ketika Nyai Titir mempergunakan
'Racun Kelabang Hitam'nya, ia menjadi agak mundur.
Tidak berani untuk masuk.
Mendadak terdengar kekehan, "He he he... wah, wah... Ki, kita sudah terlambat
sekarang!"
"Benar, Sena! Mereka sudah berpesta!"
Yang datang itu adalah Pendekar Gila dan Ki Rongsowungkul. Sekar Wangi yang
melihat munculnya keduanya, segera berseru, "Jangan cengar-cengir saja, Kang
Sena! Ambil lawanku ini!"
Melihat kehadiran pemuda yang mengenakan
rompi dari kulit ular itu, Rodopalo menggeram murka.
Telah lama ia mencari Pendekar Gila karena pernah menggagalkan aksi
perampokannya. Dipergencarnya serangannya pada Sekar Wangi.
Pendekar Gila langsung bergerak memapaki
serangan Rodopalo pada Sekar Wangi, sementara Sekar Wangi sendiri menghadapi
Kuntala. "Bagus! Sudah lama kutunggu kedatanganmu, Orang Gila!" Rodopalo mencecar dengan
'Pukulan Angin Manik'nya. Pendekar Gila menghindar sambil melancarkan
serangannya, 'Kera Gila Melempar Buah'. "Kau harus membalas semua perbuatanmu
yang telah menggagalkan rencanaku!"
Sementara Ki Rongsowungkul melesat ke arah Nyai Titir. Ia mengambil alih
pertarungan antara Nyai Harum Tari yang dikeroyok oleh Nyai Titir dan Nyai
Priatsih. Kini mereka satu lawan satu.
Sekar Wangi berseru, "Kang Sena! Kau hadapi si Kipas busuk ini! Aku harus
membunuh manusia
bangsat itu!"
Sena bersalto ke belakang, mengambil alih lawan.
Kini ia berhadapan dengan Kuntala si Kipas Maut Sementara Rodopalo yang dipenuhi
dendam mencoba mengejar Sena, namun dihalangi oleh Sekar Wangi.
"Dendam kedua orangtuaku harus kubalas!"
serunya sambil kembali menyerang dengan pedangnya.
Sedangkan si Kipas Maut sudah mengibaskan kipasnya.
"Wah, wah... enak! Dingin... he he he...!" seru Sena.
"Orang gila keparat!" maki Kipas Maut sambil menerjang dengan cepatnya. Ia
memburu bagian bawah Sena yang melompat-lompat mirip seekor kera dan seperti
sedang melemparkan buah, ia melakukannya ke arah Kuntala. Yang harus bersusah
payah berkelit karena serangkum angin menerpa ke arahnya. Bukan hanya itu,
bahkan serangannya pun mampu ditahan oleh angin itu.
Sedangkan Sekar Wangi sedang sibuk menahan setiap serangan yang dilancarkan
Rodopalo. Dua buah kesaktian diperlihatkan oleh masing-masing yang berkeinginan
keras untuk menjatuhkan lawannya.
Sekar Wangi dibaluri dengan api dendam yang membara. Ia bertekad untuk membunuh
Rodopalo. Sedangkan Rodopalo didasari oleh dendamnya pada Pendekar Gila. Ia bermaksud
untuk menyudahi Sekar Wangi untuk membunuh Pendekar Gila.
Namun ia pun mengalami kesulitan yang tidak sedikit untuk mendekati Pendekar
Gila. Karena jurus
'Sepasang Pedang Kembar Membunuh Naga' yang
dilancarkan Sekar Wangi bukan hanya mampu untuk menghalangi serangannya, bahkan
merangsek masuk ke arahnya. Membuat Rodopalo menggeram berkali-kali. Amarahnya
semakin naik saja. Tidak dipikir-kannya lagi mengenai Pendekar Gila.
Tiba-tiba tubuhnya berkelit ke belakang, lalu bagaikan orang terjun ke air, ia
meluncur ke arah Sekar Wangi. Kedua tangannya terlihat hitam.
Menandakan ia telah menggunakan jurus-jurus racun yang dipelajari dari gurunya.
Rodopalo pun menguasai 'Racun Kelabang Hitam'. "Mampuslah kau, Gadis keparat!"
serunya. Sekar Wangi tahu, ia tidak boleh bentrok dengan Rodopalo. Paling tidak, ia hanya
bisa bertahan agar salah satu anggota tubuhnya tidak tersentuh oleh tangan
Rodopalo. Tadi ia sudah menyaksikan bagaimana 'Racun Kelabang Hitam' itu
menghantam dua orang anak buah Nyai Titir sendiri.
Apa yang diperkirakannya ternyata benar. Karena, ketika ia menghindari serangan
itu dan tangan Rodopalo menyentuh sebatang pohon, pohon itu langsung menghitam
dengan dedaunannya yang berguguran.
"Ini gawat! Lama kelamaan aku bisa kehabisan nafas!" gerutunya sambil bersalto
ke belakang. Dan dengan mendadak tangannya menebar ke depan.
Beberapa senjata rahasia sirip ikan layumya beterbangan ke arah Rodopalo. Yang
serentak segera menghentikan serangannya dan menghindari senjata-senjata rahasia
itu. Ia menggeram marah.
Serangannya pun berhasil dipatahkan!
Sementara itu Nyai Titir dengan gencarnya mencoba mendesak Ki Rongsowungkul.
Ayunan tongkatnya begitu kuat dan cepat, sementara Ki Rongsowungkul dengan tasbihnya
segera membalas.
Trak! Trak! Benturan sering terjadi. Diselingi dengan tenaga dalam yang kuat. Bila tenaga
dalam yang dimiliki salah seorang itu tidak sejajar, sudah bisa dipastikan
dadanya akan jebol.
"Lebih baik kau bertobat, Titir! Dosa-dosamu sudah menumpuk!" seru Ki
Rongsowungkul yang memutar-mutar tasbihnya untuk menghindari serangan Nyai Titir
dan sekali-sekali membalasnya.
"Hentikan segala ocehanmu itu, Rongsowungkul!
Lebih baik kau mampus saja!" Nyai Titir terus mendesak dengan tusukan, sabetan,
ayunan tongkatnya. Dan mendadak tongkatnya terlihat menjadi banyak. "Ha ha ha...
Rongsowungkul, bukan hanya kau saja yang telah berhasil menciptakan jurus baru!
Aku pun berhasil melakukannya! Kini, terimalah jurusku 'Tongkat Menipu Bayang-
Bayang'." Ki Rongsowungkul hanya mendengus, dari angin tongkat itu sudah dapat dirasakan
dingin sekali, mampu menembus urat. Begitu pula dengan
kecepatan yang dilakukannya. Di matanya, Ki Rongsowungkul seolah melihat tongkat
itu menjadi banyak.
Ia pun menghadapinya dengan jurus 'Tasbih Seribu', sebuah jurus yang tak kalah
hebatnya dengan jurus ciptaan Nyai Titir yang baru. Hanya kelemahannya jelas
terlihat, karena tasbih itu pendek saja sementara tongkat Nyai Titir cukup
panjang. Sehingga Ki Rongsowungkul hanya bisa menghindar dan menangkis serangan itu,
sedangkan Nyai Titir terus merangsek dengan pukulan-pukulan tongkatnya.
"Ha ha ha... lebih baik kau membunuh diri saja, Rongsowungkul!" seru Nyai Titir
sambil terus melancarkan serangannya.
Ki Rongsowungkul terdesak hebat. Ia mencoba untuk masuk, namun segera menghindar
kalau tidak ingin kepalanya pecah dikepruk tongkat Nyai Titir.
Namun mendadak saja ia bersalto ke belakang, sambil bersalto itu dilancarkannya
'Pukulan Angin Gunung Karang'.
Wuuttt! Nyai Titir yang tengah mendesak, terpaksa melompat ke samping. "Bangsat!"
Melihat kesempatan itu, Ki Rongsowungkul mencoba mendesak. Sambil mengayunkan
tasbihnya dengan jurus 'Tasbih Seribu' juga sesekali melancar
'Pukulan Angin Gunung Karang'nya. Kini Nyai Titir yang terdesak.
Sementara itu Nyai Harum Tari dengan hebatnya bertarung dengan Nyai Priatsih.
"Hhhh! Rupanya kebolehan si Penguasa Laut Kidul tidak perlu disangsikan lagi!"
dengus Nyai Priatsih sambil terus melancarkan serangannya.
Nyai Harum Tari menyahut, "Tongkat Iblismu pun sangat hebat, Priatsih! Ha ha
ha... rupanya sekarang Empat Malaikat Kahyangan sudah bercerai-berai!
Masih mampukah kalian membentuk kembali jurus
'Empat Malaikat Kahyangan', hah"!"
Mendengar kata-kata bagai ejekan itu, Nyai Priatsih mempergencar serangannya.
Namun hingga jurus keduapuluh ia tidak berhasil mendesak Nyai Harum Tari. Dua
tokoh sakti bertempur dengan senjata tongkat, sudah tentu hasilnya sangat
mengejutkan sekali.
Gunung Kematian yang biasanya ramai dengan banyaknya orang-orang Gerombolan
Iblis dari Pacitan, kini hanya terlihat delapan orang saja, yang sedang
bertarung mati-matian.
Pendekar Gila merasa ia harus menutup segala serangan si Kipas Maut. Kipasnya
benar-benar mampu mencabut nyawa. Angin yang ditimbulkannya mampu membuat
jantung terasa copot. Tetapi Pendekar Gila melayaninya sambil terkekeh-kekeh
saja. "Rupanya hanya begini saja kehebatan si Kipas Maut," kekeh Sena sekarang ia
telah mengubah jurusnya 'Si Dewa Gila Melebur Gunung Karang', yang membuat
Kuntala terperanjat dan harus menghindar ketika dirasakannya serangkum angin
besar mendatanginya dengan cepat.
"Keparat!" maki Kuntala yang terus menerus menghindar. Sementara angin besar itu
menghantam dinding rumah yang hancur lebur, dan rumah itu langsung ambruk
sebagian. Suaranya sangat keras, mengepulkan debu yang banyak. Dan gadis-gadis
yang ada di dalam yang ditawan Rodopalo berlarian kocar-kacir. Mereka berusaha
menyelamatkan diri.
"He he he... persis seperti monyet yang kesakitan!"
ejek Pendekar Gila melihat Kuntala berlompatan ke sana-kemari.
Sementara perhatian Rodopalo pun terpecah melihat kediamannya ambruk dan gadis-
gadis yang selama ini dijadikan pemuas nafsunya berlarian. Ia tidak penuh
menghadapi Sekar Wangi yang dengan cepat menggerahkan pedangnya.
Craaass! "Aaakhh!"
Rodopalo mundur sambil menekap lengan kirinya yang berdarah. Ia menggeram marah.
Namun sudah tentu Sekar Wangi tidak mau memberinya
kesempatan lagi. Ia terus merangsek dengan gencarnya. Dan sebisanya Rodopalo
menghindari serangan itu.
Namun tiba-tiba terdengar suara mengaduh Sekar Wangi, disusul dengan tubuh yang
terjajar ke belakang. Dadanya terhantam tongkat yang dilemparkan oleh Nyai
Titir. "Sekar!" seruan itu terdengar dari mulut Nyai Harum Tari. Namun ia tidak bisa
membantu Sekar Wangi dan membalaskan dendamnya pada Nyai Titir, karena si
Tongkat Iblis tidak mau memberi kesempatan pada Nyai Harum Tari.
Diserang seperti itu dan dibaluri perasaan marah, bukannya membuat Nyai Harum
Tari menjadi surut serangannya, la justru membalas dengan gencarnya.
Seketika dua kali Nyai Priatsih terhantam tongkatnya.
Sementara Ki Rongsowungkul yang melihat kalau Nyai Titir sedang tidak dalam
siaga penuh, merangsek maju. Dua kali tasbihnya menghantam paha dan lengan Nyai
Titir yang mundur terhuyung.
"Ha ha ha... kini kau mampuslah, Titir!!" serunya dan tubuhnya menderu maju
sambil mengayunkan tasbihnya. Nyai Titir mencoba menghadang serangan itu dengan
jalan menerjangnya. Dua seruan keras terdengar. Dua tenaga pun beradu!
Terdengar suara jeritan kecil disusul dengan asap yang mendadak mengepul dan
debu yang menebal.
Lalu dua tabuh terlempar ke belakang. Masing-masing muntah darah.
Sedangkan saat ini si Kipas Maut harus kocar-kacir menghadapi serangan-serangan
yang dilakukan Sena. Ia menjadi kelimpungan sendiri ketika Pendekar Gila itu mengubah-ubah
jurusnya. Sehingga ia tidak melihat satu bentuk serangan yang pas dari lawannya.
"He he he... itulah jurus-jurus si Orang gila!"
terkekeh Sena dan kali ini ia menyerang dengan jurus
'Kera Gila Berayun Menyambar' yang membuat Kuntala menjadi kelimpungan. Kalau
tadi lawannya menyerang bagian bawahnya, kini Sena menyerang dari atas. Tubuhnya
seperti melompat berayun dan menyerang Kuntala dari atas sambil melayang dalam
ayunan tubuhnya.
Kuntala berkali-kali harus bergulingan, sehingga pakaiannya menjadi sangat kotor
sekali. Ia masih berguling pula ketika Sena mengubah jurusnya 'Kera Gila
Menyambar Mangsa'. Jurus itu sebenarnya khusus untuk menghadapi lawan yang
menyerang bagian bawah. Tetapi karena Kuntala berada di posisi bawah, maka ia
sangat terkejut sekali ketika tiba-tiba Pendekar Gila menyerang bagian bawahnya.
Dengan cepat sambil memaki Kuntala melompat ke atas kalau tidak ingin kepalanya
remuk dihantam oleh ayunan kaki Pendekar Gila. Serangan-serangan yang
dilancarkan oleh Pendekar Gila inilah yang membuatnya bingung, karena jurusnya
berubah-ubah dan arah serangannya sukar dipastikan.
Sedangkan Pendekar Gila tertawa-tawa melihat lawannya kelimpungan. "He he he...
lebih baik kau bertobat saja, Kipas busuk! Dosa-dosamu sudah menumpuk, dan tak
akan bisa diampuni bila kau tidak bertobat!"
"Jangan ngoceh kau, Orang gila!" Dengan gagah-nya si Kipas Maut kembali mencoba
menyerang, namun lagi-lagi ia harus menghindar karena serangan
lawannya sangat mengejutkan, seperti sedang melempar sesuatu padanya, namun
mampu membuat serangannya jadi terhadang. Itu adalah jurus
'Kera Gila Melempar Buah'.
Kali ini Kuntala 'benar-benar kewalahan dibuat oleh Pendekar Gila. Berkali-kali
ia terkena hantaman dan tendangannya. Ia yakin kalau dalam waktu dua jurus lagi
ia tidak akan mampu bertahan menghadapi Pendekar Gila.
Tiba-tiba ia bersalto ke belakang dan berseru, "Titir, Priatsih dan Rodopalo,
kita membentuk jurus
'Empat Malaikat Kahyangan'!"
Serentak orang-orang itu mendekati Kuntala. Ki Rongsowungkul melayang mendekati
Sekar Wangi, "Jangan lepaskan Rodopalo! Ia adalah kunci dari jurus 'Empat Malaikat
Kahyangan'!"
Tetapi Rodopalo sudah berhasil meloloskan diri dari pusaran 'Sepasang Pedang
Kembar Membunuh Naga' milik Sekar Wangi. Sedangkan Pendekar Gila langsung
menyerbu ke arah Rodopalo. Ia pun sadar kalau Rodopalo merupakan kunci dari
jurus 'Empat Malaikat Kahyangan' seperti yang diserukan oleh Ki Rongsowungkul.
Rodopalo yang sangat geram dan mendendam
pada Pendekar Gila, memapaki dengan jurus
'Pukulan Angin Manik'. Serangkum angin keras menderu ke arah Pendekar Gila yang
langsung melompat, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Rodopalo untuk mendekati
kerabatnya yang lain. Kini, keempatnya segera membentuk pormasi angkara, bujur
sangkar kecil. Masing-masing menyimpan senjatanya dan mengatupkan kedua tangan
di dada menjadi satu. Sepintas gerakan mereka mirip robot.
Masing-masing berdiri dengan jarak tiga tindak.
Membentuk satu bangunan serangan yang kokoh.
Ki Rongsowungkul mendesah masygul dan
mendengus melihat Rodopalo sudah menguasai jurus itu pula. Nyai Harum Tari dan
Sekar Wangi hanya memandang saja. Sedangkan Sena menggaruk-garuk kepalanya
sambil cengar-cengir. "He he he... jurus apa lagi ini" Kayak anak kecil yang
sedang main petak umpet!"
Keempat orang itu kini merentangkan kedua tangannya. Kehebatan dari jurus 'Empat
Malaikat Kahyangan' selain bahu membahu juga bisa memberikan tenaga pada masing-
masing bagian. Juga, serangan yang dilakukan tetap pada pormasi bujur sangkar
kecil. Lalu terlihat dari rentangan tangan itu mengalirkan asap. Pendekar Gila
terkekeh-kekeh,
"Wah, wah... jurus memanggang ayam yang kalian perlihatkan, ya?"
Ki Rongsowungkul yang sangat tahu kehebatan jurus itu karena ia termasuk salah
seorang pencipta-nya, menjadi pias. Jurus itu sangat sulit untuk ditembus, kalau
pun nekat berarti hanya meng-antarkan nyawa belaka.
Ia berkata, "Kita masing-masing mengambil la wan. Jangan mencoba untuk merangsek
masuk. Ingat ajaran bujur sangkar itu. Bila ada yang masuk ke dalamnya, berarti
membuang nyawa percuma. Ingat jangan masuk dalam pormasi itu. Sekar, aku
mengambil lawanmu. Karena, akulah yang tahu kunci dari jurus itu."
Sekar Wangi hanya mengangguk saja. Dan melihat kalau rentangan tangan tadi telah
kembali mengatup di dada. Kembali terlihat asap yang mengepul dari masing-masing
tubuh. Nyai Titir tertawa. "Rongsowungkul, kau akan merasakan bagaimana hebatnya jurus
'Empat Malaikat Kahyangan' ini. Dan, kau akan mustahil untuk bisa mengalahkan
pormasi jurus ini! Dan kau Pendekar Gila... kau akan mampus hari ini juga!"
Sena cuma menggaruk-garuk kepalanya. "Wah, wah... kalau begitu lebih baik aku
kembali saja ke Gua Setan. Tetapi he he he... sudah tentu tidak, karena kalian
masih hidup. Jurus yang kalian perlihatkan itu, kayak anak kecil yang ketakutan.
He he he... apakah kalian sebenarnya ketakutan, ya" Ini gawat! Tetapi, he he
he... bila kalian mampus pun...
aku akan terus mengembara."
Nyai Titir segera membuka tangannya ke depan.
Ki Rongsowungkul berbisik, "Segera ambil lawan!
Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itu tanda menyerang!"
Serentak keempatnya bergerak mengambil lawan.
Sekar Wangi berhadapan dengan Nyai Titir, sedangkan Ki Rongsowungkul mengambil
alih menghadapi Rodopalo. Sementara Pendekar Gila dan Nyai Harum Tari tetap
dengan lawannya masing-masing.
Apa yang diperkirakan oleh Ki Rongsowungkul ternyata benar. Begitu Nyai Titir
membuka kedua tangannya, yang lain pun bergerak pula. Ketika Nyai Titir mulai
menyerang, mereka pun segera
menyerang. Gerakan itu hampir sama, dan dilakukan dengan waktu yang sama pula.
"Hati-hati, itu adalah jurus pembuka yang penuh tipuan!" seru Ki Rongsowungkul
dan mencoba menyerang Rodopalo. Ia mendengus berkali-kali, karena Ro-dopalo
melakukannya dengan sangat sempurna.
Yang lainnya pun segera menghadapi lawan-
lawannya. Sungguh, mereka sangat sulit untuk menggempur pertahanan itu. Memasuki
pormasinya, berarti maut yang didapatkan.
Serangan serentak dengan penuh tenaga dan saling bantu itu, terus melebar dan
mengecil, tetap dengan pormasi yang sama. Namun mendadak, mereka berputar.
"Awas! Jangan dekat-dekat, itu adalah jurus kedua dari 'Empat Malaikat
Kahyangan'!" seru Ki Rongsowungkul.
Pusaran tubuh dengan melancarkan serangan itu kembali pada satu titik, pada
posisi semula. Dan kembali melancarkan serangan yang sangat tangguh.
"Ki... apakah tidak ada jalan lain untuk menghancurkan pormasi itu?" seru
Pendekar Gila sambil cengengesan dan melancarkan serangannya. Namun kali ini
serangan-serangan itu mudah sekali dipatahkan. Bahkan dikembalikan pada
pemiliknya. "Jalan satu-satunya, hanyalah menghancurkan formasi utara. Berarti Rodopalo
harus ditumbang-kan!" sahut Ki Rongsowungkul. "Namun itu bukanlah hal yang
mudah! Karena kau lihat sendiri, Sena...
mereka justru membagi tenaga pada Rodopalo!"
Memang sangat sulit untuk menggempur per-
tahanan itu. Mendadak Pendekar Gila berseru,
"Minggir kalian semua!"
Dan dengan serentak mereka berlompatan ke belakang, sementara lawan mereka
menghentikan jurusnya. Dan kembali membuka dengan kaki kanan ke depan, tubuh
condong dan kaki kiri membujur ke belakang. Kekuatan bertumpu pada kaki kanan
seharusnya, namun dugaan itu salah. Karena jurus
'Empat Malaikat Kahyangan' mengandalkan serangan
dan kekuatan tangan.
"Jangan tertipu!" Seru Ki Rongsowungkul. "Itu hanyalah pancingan belaka!
Kekuatan terletak pada tangan mereka!"
Sementara itu Pendekar Gila sedang terdiam. Tiba-tiba ia menyatukan tangannya,
lalu diangkatnya ke atas dan direntangkannya sambil mengerahkan tenaga dalamnya
ke sendi-sendi tangannya. Lalu dibawanya tangannya ke bawah dan diletakkan di
pinggang. Yang lain hanya memperhatikan saja apa yang dilakukan oleh Pendekart Gila. Dan
mendadak Pendekar Gila melontarkan tangannya ke depan.
Bersamaan dengan seruan Nyai Titir, "Putaran Tujuh Dewa Angin!"
Bersamaan angin besar menerpa ke arah mereka, tubuh Empat Malaikat Kahyangan pun
berputar. Sangat kerasnya, melawan angin topan yang ditimbulkan akibat ajian 'Inti Bayu'
yang dilepaskan Pendekar Gila.
Hebat! Ajian 'Inti Bayu' bukan hanya mampu menerbangkan batu sebesar gajah, juga
mampu mencabut akar pohon yang besar. Namun Empat Malaikat Kahyangan itu terus
berputar pada jurus
'Putaran Tujuh Dewa Angin', mereka tidak bergeming sama sekali. Akibat dari
ajian 'Inti Bayu' yang dilakukan Pendekar Gila, bangunan besar yang sudah ambruk
sebagian itu pun beterbangan.
Ki Rongsowungkul, Nyai Titir dan Sekar Wangi hanya terperangah melihat ajian
yang dilepaskan Pendekar Gila. Namun itu tidak membawa hasil sama sekali.
Sena terkekeh-kekeh. "Hebat, hebat sekali! Kalian benar-benar tangguh!"
Nyai Titir menggeram, "Gempur mereka!"
Tetapi Sena sudah mempersiapkan ajian 'Inti Brahma'. Ia menggosok-gosok kedua
tangannya, bersamaan dengan tubuh Nyai Titir menyerang Sena dengan bantuan
tenaga dari ketiga lawannya, Sena sudah menggerakkan tangannya ke muka.
Pijaran bola api keluar menggulung-gulung ke muka.
"Satukan tenaga dalam! 'Mata Api Dewa
Matahari'!"
Dan mendadak saja dari masing-masing tubuh
'Empat Malaikat Kahyangan' mengeluarkan panas yang luar biasa. Sehingga bola-
bola api yang dilakukan Pendekar Gila kalah panasnya. Tidak sanggup untuk
mematahkan mereka. Kalau tadi banyak pohon yang tumbang dan bangunan rumah besar
itu beterbangan, sekarang semuanya terbakar.
"Pendekar Gila! Kau tidak akan membawa hasil bila tidak Rodopalo!!" seru Ki
Rongsowungkul dan mencoba menyerang Namun ia harus mundur karena hawa panas yang
ditimbulkan oleh lawannya mampu membuatnya mengaduh dari jarak dua tombak.
Nyai Harum Tari mencoba melemparkan senjata rahasianya, begitu pula dengan Sekar
Wangi. Namun tidak membawa hasil sama sekali, karena serangan-serangan itu
berhasil dipatahkan pula.
"He he he... hebat, hebat sekali... kalian sangat tangguh," tertawa Pendekar
Gila. "Tetapi, kalian adalah orang-orang kejam yang harus dibasmi!"
Pendekar Gila telah mempersiapkan 'Ajian
Tamparan Sukma' yang sangat dahsyat dan jarang dipergunakan. Karena jurus itu
terlalu kejam. Namun saat ini, terpaksa Pendekar Gila menggunakannya.
"Hhhh! Jurus apa lagi yang kau perlihatkan, Orang Gila!" seru Nyai Titir dan
dengan serentak, ia menyerang Pendekar Gila.
Sena mendesah dalam hati. Jurus yang akan dipergunakannya terlalu kejam, bahkan
sangat kejam. Namun tidak ada jalan lain lagi kecuali melakukannya.
Bersamaan tubuh Nyai Titir menyerang, Sena pun bergerak. Gerakannya sangat tidak
kelihatan, ia bagaikan menepuk belaka. Tetapi ajian itu menggunakan getaran
sukma yang bisa dikendalikan. Jiwa yang suci yang hanya bisa menggunakannya.
Des! Benturan pun terjadi.
Ki Rongsowungkul terkejut melihatnya, la yakin, tubuh Pendekar Gila akan hancur.
Namun yang sangat mengejutkannya pula, justru Nyai Titir yang memekik keras,
lalu tubuhnya ambruk hangus dan meledak.
"Oh, Tuhan!" desis Ki Rongsowungkul. "Jurus yang sangat kejam, tetapi terpaksa
harus dilakukan."
Dengan matinya Nyai Titir, berarti formasi Empat Malaikat Kahyangan menjadi
kacau-balau. Untuk kembali pada jurus mereka masing-masing membutuhkan waktu
beberapa menit. Tetapi Ki
Rongsowungkul sudah maju menderu ke arah
Kuntala. Praaaakk! Tasbihnya menghantam kepala Kuntala hingga berantakan. Sedangkan Nyai Priatsih
harus menerima senjata rahasia yang dilemparkan oleh Nyai Harum Tari.
Sementara Sekar Wangi sudah menderu maju
dengan jurus 'Sepasang Pedang Kembar Membunuh
Naga'. Rodopalo yang masih terhenyak karena kematian gurunya, harus buntung
kepalanya. Sekar Wangi mendesah panjang. Dendamnya sudah
terbalas. Namun yang lebih penting lagi, karena ia bisa membasmi kejahatan.
Selagi mereka menghela nafas lega, terdengar seruan keras, "He he he. . kayaknya
perjumpaan kita hanya sampai di sini saja, Kawan-kawan! Kalau ada umur panjang,
kita akan bertemu lagi!"
Orang-orang itu tersentak. Ki Rongsowungkul memanggil, "Senaaa!" Suaranya
menggema, tetapi tidak ada sahutan.
Yang terdengar justru isak Sekar Wangi yang langsung menaiki kudanya dan
menggebrak lari.
Hatinya sedih sekali karena Sena yang telah mencuri hatinya tidak berpamitan
lagi padanya. "Nyai... muridmu?" desis Ki Rongsowungkul.
"Tidak apa-apa. Biarkan saja. Anak muda yang dimabuk cinta memang seperti itu.
Tetapi yakinlah, ia pasti kembali ke Laut Kidul," kata Nyai Harum Tari
tersenyum. "Ki... kita berpisah sekarang. Mudah-mudahan kita akan bertemu lagi."
Wuuutt! Tubuh Nyai Harum Tari sudah menghilang. Ah, Sekar Wangi... kau telah jatuh cinta
rupanya. Menunjuk pada suatu jalan menuju kedewasaan.
Mudah-mudahan, kau bisa mengubur semua cintamu itu dan melupakannya.
Sementara itu Ki Rongsowungkul menengadah menatap langit yang tiba-tiba menjadi
kelam. "Ah...
kalian adalah sahabat-sahabatku. Mengapa tidak mau bertobat?"
Lalu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Ki Rongsowungkul pun kembali ke
Gunung Karang. Di satu jalan, satu sosok tubuh berompi kulit ular sedang melangkah sambil
bersiul-siul. Dia adalah Sena, Pendekar Gila yang meneruskan
pengembaraannya.
SELESAI Serial Pendekar Gila selanjutnya:
DEWI BAJU HIJAU
Created ebook by
Sean & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (Zinc Ziko)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 12 Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak Kong Ciak Bi Siucai Karya Raja Kelana Mencari Bende Mataram 13