Pencarian

Tengkorak Darah 1

Pendekar Gila 10 Tengkorak Darah Bagian 1


TENGKORAK DARAH oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Mardiansyah
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Tengkorak Darah
128 hal; 12 x 18 cm
1 Kerajaan Bumi Wandra yang terletak di perba-
tasan wilayah timur Pulau Dewata berdiri dengan me-
gah. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja berusia hampir enam puluh delapan
tahun yang bernama Brah
Salagatri. Raja Brah Salagatri mempunyai seorang
permaisuri yang masih muda dan cantik bernama De-
wi Sekaton Ayu. Anaknya yang cantik dan menginjak
dewasa bernama Dyah Ayu Sawang Sari
Sebelum menjadi raja, Brah Salagatri merupa-
kan pangeran yang tampan. Dia pernah menjalin hu-
bungan cinta dengan wanita bernama Rubiati. Hubun-
gan gelap itu akhirnya membuat Rubiati hamil. Namun
sejak itu, Brah Salagatri tidak pernah menjenguk ke-
kasihnya lagi. Tiga puluh tahun sudah kejadian itu berselang
tanpa terasa. Selama itu, Brah Salagatri tak pernah
mendengar kabar berita tentang kekasihnya. Setelah
dia menikah dengan anak Raja Banyu Wangi bernama
Dewi Sekaton Ayu, dia lupa sama sekali dengan keka-
sihnya. Malam itu angin menderu kencang bagai akan
datang badai besar. Hawa dingin terasa menggigit
hingga ke tulang sumsum. Rintik air hujan yang turun dari langit membuat suasana
semakin terasa dingin
bagi siapa pun yang malam itu belum tidur.
Desa Karapan nampak sepi, hanya terlihat em-
pat peronda sedang melakukan tugas. Keempatnya
tengah duduk berbincang di gardu sambil menghisap
rokok kawung. Tubuh mereka berselimut kain sarung.
Hanya wajah mereka saja yang terlihat, jika api rokok membesar kala dihisap.
Hujan rintik-rintik terus meluncur dari langit,
seakan tak bakal berhenti. Rasa dingin semakin
menghebat, ditambah oleh angin kencang yang mende-
ru bagai hendak datang badai.
"Huh..., tidak biasanya malam seperti ini," gumam Kapri mengeluh. Matanya
memandang nanar ke
depan. Pada gelap yang menghampar. Lelaki itu bertu-
buh pendek, wajah bulat, dan hidung pesek serta tahi lalat di bawah matanya.
"Entahlah. Padahal saat ini musim kemarau,"
sahut Jalnoto. Berbeda dengan Kapri, Jalnoto bertu-
buh tinggi dan padat. Wajahnya tampan, dengan hi-
dung mancung. Kumis tipis menghiasi atas bibirnya.
Matanya tajam jika memandang.
"Ya, begitulah alam. Siapa pun tak tahu apa
yang akan terjadi. Hanya Sang Hyang Widi saja yang
mengerti," kata Pilan berusaha menenangkan hati kedua temannya. Pilan bertubuh
kurus dan wajahnya
agak pucat, tapi menggambarkan ketenangan. Kumis-
nya panjang dengan cambang pendek, sedang matanya
terlihat sayu. "Tapi hujan ini aneh, Lan," tukas Bawul, lelaki berbadan agak gemuk dengan perut
agak buncit. Wajahnya persegi dengan kumis lebat dan jenggot tebal.
Begitu juga dengan alisnya, tumbuh tebal di bawah
keningnya yang lebar. "Bulu kudukku sampai merinding. Jangan-jangan...;"
Bawul tak meneruskan kata-katanya. Matanya
memandang tegang ke sekeliling gardu yang tampak
sepi dan gelap, membuat bulu kuduknya meremang.
"Jangan-jangan kenapa, Wul?" tanya Jalno pe-nasaran karena temannya tidak
meneruskan ucapan-
nya. "Ah, tidak. Tidak apa-apa," jawab Bawul, menghindar. "Setan maksudmu?"
terka Kapri. Bawul hanya mengangguk kecil. Matanya ma-
sih melirik-lirik tegang ke sekelilingnya yang gelap dan mencekam. Apalagi angin
menderu semakin kencang.
Bulu kuduknya kian meremang hebat.
Kapri tertawa kecil. Tawanya terdengar sum-
bang karena dipengaruhi suasana yang mencekam.
Dia pun merasakan bulu kuduknya meremang, namun
dia berusaha menekan rasa takutnya sedalam mung-
kin. "Wul... Wul, kamu ini kayak anak kecil saja,"
gumam Kapri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sudah besar kok masih takut sama setan," godanya kemudian.
"Bukan begitu, Pri. Bulu kudukku memang
berdiri. Dan..., heh..., bau kemenyan, Pri!" desis Bawul tiba-tiba. Tubuhnya
bergidik seketika, manakala hi-dungnya mencium bau kemenyan yang menyengat.
Seperti ada orang yang membakar dupa.
Hidung ketiga temannya mengendus-ngendus,
berusaha mencium bau kemenyan. Dan seketika keti-
ganya merasakan bulu kuduk meremang ketika hi-
dung mereka juga mencium bau kemenyan yang me-
nyengat. Ditambah lagi dengan wangi bunga kamboja,
mengingatkan mereka pada tanah pekuburan.
"Benar, Wul. Bau kemenyan dan bunga kambo-
ja," kata Jalno dengan mata membelalak.
"Hiii.... Sepertinya ada setan," Pilan bergidik dengan muka pucat. Mereka
rasanya ingin lari meninggalkan gardu ronda, namun suasana di luar gardu
sangat menyeramkan. Kegelapan yang menghampar,
disertai rintik hujan dan deru angin seperti desah napas seribu mambang. Belum
tentu mereka akan te-
nang kalau lari.
Tubuh keempat peronda itu menggigil ketaku-
tan, apalagi ditambah rasa dingin yang semakin meng-
gigit. Saat itu rintik gerimis bertambah deras. Sedang angin bertiup semakin
kencang. Tubuh keempat peronda itu kini meringkuk da-
lam ketakutan. Hanya mata mereka saja yang berge-
rak-gerak, memandang tegang ke sekelilingnya yang
sunyi dan sepi. Benar-benar mencekam perasaan dan
mengusik bulu kuduk mereka.
Wusss! Krak! Mata keempat peronda itu membelalak, ketika
terdengar hembusan asap dan retaknya tanah. Seakan
dari dalam tanah di sekeliling gardu ronda akan mun-
cul sesuatu. Wusss! Krak! Asap tebal keluar dari dalam tanah berjarak li-
ma tombak di depan gardu. Gumpalan asap itu tidak
hanya satu, tapi ada sepuluh. Tanah di mana asap itu mengepul, merekah pecah.
Seakan ada makhluk dari
dalam tanah yang hendak keluar.
Mata keempat peronda itu memandang dengan
pandangan tegang, tak berkedip ke arah sepuluh gum-
palan asap yang membubung keluar dari retakan ta-
nah. Bulu kuduk mereka semakin meremang. Tubuh
mereka menggigil ketakutan.
Asap putih kehitam-hitaman yang tebal itu per-
lahan-lahan berubah warna. Semakin lama, asap itu
menjadi berwarna merah darah. Lalu membentuk so-
sok-sosok yang mengerikan. Sosok manusia wajah
tengkorak berjubah panjang dengan kerudung warna
merah darah. "Tengko..., tengkorak hidup," ucap Bawul terba-ta-bata. Matanya semakin
membelalak tegang, me-
nyaksikan beberapa ujud yang muncul di hadapannya.
Ujud menyeramkan yang membuat jantungnya hampir
berhenti berdetak.
"Se...., setan...!" pekik Jalno.
"Wua...! Teng..., korak hidup...!" jerit Kapri. Tubuh keempat peronda itu kini
saling merapat ketaku-
tan. Tak ada yang berani lari, karena sepuluh makhluk merah bermuka tengkorak
berdiri di hadapan mereka.
Bahkan makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu kini
kian mendekat. Sepertinya makhluk-makhluk bermu-
ka tengkorak itu hendak melakukan sesuatu terhadap
keempat peronda yang semakin bertambah ketakutan
itu. Kesepuluh manusia bermuka tengkorak itu per-
lahan mengelilingi gardu ronda, membuat keempat pe-
ronda bertambah ketakutan. Terlebih saat mata mere-
ka memandang wajah makhluk bermuka tengkorak
yang berlumuran darah dan tampak menyeringai se-
ram. "To..., tolooong...!" pekik keempat peronda itu ketakutan. Mereka saling
merangkul satu sama lain,
dengan wajah pucat pasi tanpa darah.
Makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu ber-
bicara dalam bahasa mereka. Kemudian salah satu da-
ri mereka menunjuk ke arah Jalno yang berwajah pal-
ing tampan di antara keempat peronda tersebut. Se-
dang-kan makhluk lain di sampingnya mengangguk-
angguk, seakan menyetujui apa yang dikatakan re-
kannya. Kemudian makhluk bermuka tengkorak yang
mengangguk-angguk tadi memerintah anak buahnya
untuk menangkap Jalno.
"Tidak! Jangan...!" jerit Jalno, berusaha meno-lak ketika dua makhluk berwajah
tengkorak maju ke
arahnya dan siap menangkap.
Kedua makhluk merah bermuka tengkorak se-
perti tidak peduli dengan teriakan Jalno. Keduanya segera mencengkeram tangan
Jalno dan menyeret tu-
buhnya. "Jangan...!" teriak Jalno seraya berusaha berontak. "Tolooong...!"
Ketiga temannya kebingungan. Mereka tidak
tahu harus berbuat apa untuk menolong Jalno. Se-
dangkan mereka sendiri dalam ketakutan luar biasa
yang mengganyang nyali masing-masing. Tubuh keti-
ganya menggigil. Tak ada yang berani melangkah un-
tuk menolong Jalno, karena makhluk merah bermuka
tengkorak yang lain masih mengepung mereka.
Saking takutnya, ketiga lelaki itu terkencing-
kencing. Wajah mereka sepucat kapas. Dan bulu-bulu
halus di tengkuk mereka seperti hendak lepas, tegang menyaksikan kengerian di
depan mata mereka.
Wesss! Tiba-tiba makhluk-makhluk bermuka tengko-
rak yang membawa Jalno berubah kembali menjadi
asap. Lalu terdengar suara pecahnya tanah di sekitar gardu. Bersamaan dengan
itu, tubuh makhluk-makhluk menyeramkan yang membawa Jalno menghi-
lang. "Hah"!" ketiga pasang mata peronda yang ketakutan itu membelalak, karena
rasa takut dan takjub
yang campur aduk melihat kejadian yang aneh itu.
"Toloong.,.! Setan..!"
Akhirnya mereka lari tunggang-langgang, sam-
bil berteriak-teriak tak karuan.
"Tolong ada setan...! Tolong...!"
Warga Desa Karapan yang mendengar teriakan
para petugas ronda langsung keluar. Mereka ingin ta-
hu apa yang terjadi. Bahkan Kepala Desa Karapan tu-
rut keluar. "Ada apa, Bawul, Kapri, Pilan" Seperti orang dikejar setan saja kalian jejeritan
di malam begini?"
tanya Ki Walapaya, lelaki tinggi kurus berpakaian war-
na abu-abu tua dengan lengan panjang. Wajahnya
angker berhias kumis tebal melintang. Lelaki berusia sekitar lima puluh lima
tahun ini adalah kepala Desa Karapan.
"Setan, Ki. Setan-setan itu membawa Jalno,"
lapor Pilan. Semua orang membelalak, mendengar berita
yang baru disampaikan Pilan. Namun Ki Walapaya
seakan tidak percaya dengan cerita itu, malah dengan mendengus Ki Walapaya
membentak. "Kau jangan main-main, Pilan?"
"Benar, Ki," seta Bawul. "Lihat, kami sampai terkencing-kencing begini."
Bawul menunjuk ke selangkangannya. Celana
panjangnya yang berwarna kuning terang basah kuyup
dengan bau pesing yang tidak ketulungan. Begitu juga dengan Pilan dan Kapri.
Semua warga yang melihat ketiga peronda itu
ngompol, seketika tertawa riuh-rendah. Membuat ke-
sunyian malam seketika pecah menjadi gelak tawa.
Saat itu juga, tiba-tiba dari arah rumah Ki Lu-
rah Karapan terdengar jeritan seorang wanita.
"Tolong! Tolooong...!"
*** Ki Walapaya dan warga desa yang mendengar
jeritan menantu Ki Walapaya seketika berlarian ke
arah rumah kepala desa itu. Mereka menemukan be-
berapa makhluk bermuka tengkorak menyeramkan
tengah membawa tubuh Samikantra, anak Ki Lurah
yang baru menikah dua bulan lalu dengan Prawanti.
"Setan! Setan tengkorak...!" jerit warga ketakutan, menyaksikan makhluk-makhluk
bermuka tengko-
rak berlumuran darah tengah berusaha membawa
anak Ki Lurah. Menyaksikan hal itu, Ki Walapaya yang tidak
ingin anaknya dibawa oleh makhluk-makhluk menye-
ramkan segera menghadang kesepuluh manusia ber-
muka tengkorak.
"Berhenti! Lepaskan anakku!" bentak Ki Wa-
layapa dengan keras, seperti tidak takut sedikit pun terhadap sosok-sosok
makhluk yang kini memandang
dengan wajah mengerikan ke arahnya.
Salah satu makhluk bermuka tengkorak meng-


Pendekar Gila 10 Tengkorak Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerakkan tangannya, seperti memerintah anak buah-
nya untuk membereskan Ki Walapaya.
"Hng!"
Tiga makhluk itu maju menghadapi Ki Lurah
yang masih tegak berdiri dengan mata memandang ta-
jam. Tampaknya Ki Lurah belum yakin kalau mereka
itu sungguh-sungguh setan.
"Buka kedok kalian! Jangan kira aku takut
menghadapi kalian!" dengus Ki Walapaya, memerintah tiga makhluk yang perlahan
mendekat untuk membuka kedoknya. Tapi ketiganya tidak terlihat akan mem-
buka kedoknya, malah mereka menggeram marah.
"Hng!"
Ketiga makhluk bermuka tengkorak itu seketi-
ka menyerang berbareng ke arah Ki Walapaya. Tangan
mereka yang hanya tulang belulang berkuku panjang
dan runcing, mencakar Ki Walapaya. Mendadak Ki Lu-
rah tersentak setelah melihat kalau makhluk-makhluk
itu memang bukan manusia.
"Tengkorak hidup...!" pekiknya, seraya mengelakkan serangan ketiga lawannya.
Matanya masih membelalak tegang, ngeri menyaksikan kenyataan
yang ada. Warga Desa Karapan yang melihat tangan
makhluk bermuka tengkorak yang hanya tulang belu-
lang, seketika menjerit ketakutan. Mereka langsung la-ri potang-panting.
Terlebih-lebih ketiga peronda yang sebelumnya telah melihat. Mereka lari sipat
kuping bagai dikejar setan-setan tengkorak itu.
"Tolong! Setan tengkorak tolooong...!"
Jeritan warga seketika menggema memecah ke-
sunyian malam. Kini tak ada lagi warga yang berani
membantu Ki Walapaya menghadapi makhluk tengko-
rak berdarah yang tengah bertarung dengan kepala de-
sanya. Ki Walapaya kini menghadapi ketiga tengkorak
seorang diri. Dia telah telanjur menghadapi ketiga
makhluk yang tentunya siluman itu. Dicabutnya keris
yang tadi terselip di pinggangnya. Dengan keris
'Simbang Mega' yang mengeluarkan sinar hijau, Ki Wa-
lapaya meladeni gempuran ketiga siluman tengkorak
darah dengan jurus 'Kembaran Mega Berarak'.
"Heaaa...!"
Keris 'Simbar Mega' di tangan Ki Walapaya ber-
gerak cepat menusuk dada salah satu siluman tengko-
rak darah dengan cepat. Kilatan cahaya hijau itu terus menyeruak, berusaha
menekan ketiga lawannya.
Sementara itu, siluman tengkorak darah yang
membawa anak Ki Walapaya kini telah raib entah ke
mana, setelah berubah ujud menjadi kepulan asap lalu menyusup ke dalam tanah
retak. Hal itu memaksa ma-ta Ki Walapaya membelalak lebar, tegang menyaksikan
kejadian aneh itu. Kejadian yang tidak masuk akal ba-gi dirinya yang hanya tahu
ilmu olah kanuragan sema-
ta, tanpa mengerti ilmu gaib.
Tusukan keris di tangan Ki Walapaya yang ke-
ras, seperti dibiarkan oleh salah satu makhluk bermu-ka tengkorak darah. Tak
ayal lagi.... Jlep! Keris 'Simbar Mega' menghujam dada makhluk
bermuka tengkorak darah. Keris itu terus menembus
ke dalam, seperti disedot oleh sebuah kekuatan. Hal
itu membuat Ki Walapaya tersentak kaget
"Akh! Mengapa kerisku tertarik ke dalam"!" pekik Ki Walapaya kaget Dia berusaha
menarik keluar kerisnya dari tubuh siluman tengkorak, namun tu-
buhnya malah ikut tertarik oleh kekuatan aneh di tu-
buh siluman tengkorak darah. Ki Walapaya bertambah
tegang. Apalagi saat sekujur tubuhnya merasakan pa-
nas menyengat, bagai ada api yang menyambar.
Ki Walapaya berusaha sekeras mungkin agar
dapat menarik kerisnya yang menancap pada dada la-
wan. Namun keris itu bagai melekat keras sekali pada tubuh lawan dan sulit untuk
ditarik. Sebaliknya tubuh Ki Walapaya perlahan-lahan disedot oleh tubuh lawan.
"Akh!" jerit Ki Walapaya.
"Hng!"
Makhluk bermuka tengkorak menggeram keras.
Pada saat itu, bagian tubuhnya yang terhujam keris Ki Walapaya tampak bersinar
hijau. Sinar itu terus membesar, hingga akhirnya menyelimuti sekujur tubuh
makhluk itu lalu mulai merambat ke tangan Ki Wala-
paya. "Wuaaa...!" Ki Walapaya menjerit setanggi langit ketika tubuhnya tersengat
oleh sinar hijau yang keluar dari tubuh makhluk bermuka tengkorak. Seperti sen-
gatan arus listrik kuat yang menyambar tubuhnya.
Ki Walapaya berusaha melepaskan keris yang
menancap di tubuh lawan, tapi tangannya bagai telah
melekat erat pada keris itu. Sehingga sangat sulit baginya untuk dapat
melepaskan keris tersebut. Semakin kuat dia berontak, semakin lengket tangannya
pada gagang keris. Semakin kuat pula tarikan aneh dari dalam tubuh makhluk bermuka
tengkorak. "Hng!"
"Hik hik hik!"
"Wuk wek wek!"
Ketiga makhluk bermuka tengkorak itu berkata
dengan bahasa mereka yang sulit dimengerti oleh Ki
Walapaya. Sementara Ki Walapaya terus berusaha me-
lepaskan pegangan tangannya pada gagang keris. Dia
berusaha mengerahkan tenaga dalamnya, namun te-
naga dalamnya tak mampu melepaskan tangan yang
melekat pada gagang keris. Tenaga dalamnya malah
tersedot habis.
"Ukh!" Ki Walapaya mengeluh lirih. Wajahnya semakin pucat-pasi setelah tenaga
dalamnya terkuras
habis. Matanya membelalak tegang jiwanya diseret ke
dalam saat-saat sekarat, "Wuaaa...!"
Dengan jeritan yang terakhir, Ki Walapaya ak-
hirnya terkulai lemas. Nyawanya melayang dengan
keadaan mengerikan. Tubuhnya pucat-pasi bagai tak
berdarah. Matanya mendelik mengerikan.
"Wuk wek wek!"
"Wsss ngik!"
Kedua makhluk bermuka tengkorak darah
lainnya mengangguk. Seakan memerintah temannya
untuk melepaskan korban yang telah kehilangan nya-
wanya. "Hng!"
Usai melepaskan tubuh Ki Walapaya, ketiga
makhluk bermuka tengkorak darah itu menjatuhkan
sesuatu dari tangannya yang tepat menimpa wajah Ki
Walapaya. Sebuah gambar tengkorak dengan warna
merah terbuat dari darah!
Wsss! Krak! Tubuh ketiganya berubah menjadi kepulan
asap putih kehitam-hitaman yang perlahan menyusup
ke dalam tanah.
2 "Mayat..! Mayat..!" teriak seorang petani muda berusia sekitar tujuh belas tahun
dengan wajah ketakutan sambil berlari-lari meninggalkan tempat di mana dua mayat
telanjang tergeletak dalam keadaan mengerikan. Tubuh kedua mayat tak jelas
ujudnya, karena
dirubung oleh hewan-hewan berbisa.
Warga Desa Sela Kapilu langsung gempar oleh
jeritan pemuda tanggung itu. Segera semua warga ber-
duyun-duyun datang untuk melihat apa yang terjadi.
Mereka serentak melangkah menuju ke perbatasan
Desa Sela Kapilu dengan Desa Karapan. Orang-orang
Desa Karapan yang mendengar kejadian itu ikut da-
tang. Mereka ingin tahu siapa yang menjadi korban.
Warga Desa Karapan yang baru saja berduka
atas kematian lurah mereka, menjadi marah setelah
tahu kalau korban mengerikan yang tergeletak di per-
sawahan kering di batas Desa Karapan dengan Desa
Sela Kapilu adalah peronda dan anak Ki Lurah.
"Jelas ini perbuatan warga Desa Sela Kapilu...,"
kata seorang warga Desa Karapan menuduh.
"Ya! Buktinya kedua korban ada di tempat ini,"
sambung rekannya.
"Mungkin ada yang menganut ilmu sesat di De-
sa Sela Kapilu!" tambah yang lain semakin menusuk.
"Kita serang saja!" timpal warga desa yang lain.
Mendengar ribut-ribut warga Desa Karapan,
warga Desa Sela Kapilu yang merasa dituduh seketika
menjadi gusar. Mereka yang tidak merasa melakukan
hal itu, langsung membentak marah.
"Enak saja kalian menuduh!" hardik Wakil Kepala Desa Sela Kapilu marah. "Apa
buktinya kalian menuduh warga kami yang melakukan semuanya"!"
"Mayat-mayat ini! Tidak mungkin kalau bukan
warga Desa Sela Kapilu yang melakukannya. Buktinya
mayat-mayat ini ada di perbatasan!" tak kalah sengit Wakil Kepala Desa Karapan
membentak. "Kurang ajar! Fitnah! Tak pernah warga Desa
Sela Kapilu berbuat keji seperti itu! Mungkin warga desamu yang melakukan
semuanya! Lalu kami yang kini
di-jadikan kambing hitam!"
"Sembarangan kau berkata, Pronco!" dengus
Pabean, Wakil Kepala Desa Karapan. Lelaki kurus ber-
wajah garang itu semakin gusar. Bagaimana tidak" Be-
lum juga hilang rasa dukanya atas kematian kepala
desa, kini dua warga desanya ditemukan dalam kea-
daan yang mengerikan. "Bagaimanapun juga, wargamu patut dicurigai."
"Setan alas!" bentak Pronco tak mau kalah. Lelaki pendek dan berbadan gemuk itu
melotot garang.
"Sembarangan kau berkata! Kami Warga Desa Sela
Kapilu tak pernah berbuat sehina itu! Tak seperti war-ga desamu yang suka buat
gara-gara!"
"Bedebah! Serang Desa Sela Kapilu!" perintah Pabean. "Yeaaa!"
Warga Desa Karapan dengan senjata seadanya
serentak bergerak maju untuk melakukan serangan
terhadap warga Desa Sela Kapilu.
Menyaksikan warga Desa Karapan hendak me-
nyerang, Pronco pun tak tinggal diam. Dia segera berseru lantang, menyuruh warga
desanya untuk mem-
bendung serangan lawan.
"Hadang warga Desa Karapan! Serang...!"
"Yeaaa!"
"Hancurkan...!"
Warga Desa Sela Kapilu dengan senjata yang
sederhana pun merangsek menyerang. Pertempuran
yang seharusnya tidak perlu terjadi akhirnya berkobar.
Keduanya sama-sama tak sudi dituduh dan sama-
sama tak mau mengalah.
"Aku lawanmu, Pronco!" bentak Pabean sambil berkelebat menghadang Pronco yang
mengamuk dengan senjata clurit di tangannya yang telah menjatuh-
kan beberapa korban. Begitu pula dengan Pabean,
dengan senjata keris dia telah membunuh beberapa
warga Desa Sela Kapilu.
"Bagus! Kita tentukan siapa di antara kita yang memang tinggi ilmunya!" sambut
Pronco sambil melompat, menjauhi warga Desa Karapan.
"Bersiaplah untuk mampus, Pronco!"
"Kau yang mesti bersiap ke neraka!"
"Yea!"
"Yea!"
Kedua pemimpin warga desa kini berkelebat
menyerang dengan senjata tradisional. Clurit di tangan Pronco bergerak
menyambar-nyambar dengan jurus-jurus 'Babat Raga' yang cepat dan mengarah pada
tempat-tempat yang mematikan.
Swit! "Uts!"
Pabean mengelakkan sabetan Clurit lawan den-
gan cara merundukkan tubuh ke bawah, lalu meng-
geser kaki ke samping. Kemudian dengan cepat, ditu-
sukkan kerisnya ke lambung lawan yang tengah con-
dong ke arahnya dengan jurus 'Patukan Semut Merah'.
Wettt! "Yea!"
"Uts! Hop...!"
Pronco dengan cepat mengelit ke samping,
hingga keris di tangan Pabean hanya meleset beberapa senti di samping tubuhnya.
Kemudian dengan cepat
Pronco mengerahkan kaki kanannya ke muka lawan
dengan tendangan 'Sampul Silang'.
Wettt! "Yeaaa!"
Cepat-cepat Pabean menggeser kaki ke samping
kanan. Dengan tubuh setengah doyong dikelitkannya
tendangan lawan. Kemudian dengan cepat, diajukan
jotosan tangan kirinya ke selangkangan lawannya.
"Yeaaa!"
Pronco tersentak kaget mendapatkan serangan
yang datang tiba-tiba itu. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang, kemudian
dengan cepat pula tubuhnya
mundur dua tindak ke belakang sambil membabatkan
cluritnya ke tangan lawan.
"Heaaa!"
Wettt! Pabean tersentak. Segera jotosannya ditarik un-
tuk menghindari sabetan clurit lawan. Kemudian sece-
pat kilat kerisnya ditusukkan ke perut lawannya yang buncit Trang!
Dua senjata beradu, menimbulkan dentingan
keras. Kemudian tubuh keduanya melompat ke bela-
kang. Mata mereka saling pandang dengan tajam, be-
rusaha mengukur kemampuan masing-masing. Den-
gan sudut mata mereka memperhatikan setiap gerak-
gerik lawan. "Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Beriring pekikan menggelegar, keduanya kem-
bali bergerak merangsek. Clurit di tangan Pronco ber-suit-suit mencari sasaran.
Sedangkan keris di tangan Pabean bergerak ganas mengarah ke perut lawan.
Trang! "Heaaa!"
Puluhan jurus telah mereka keluarkan untuk
dapat mengalahkan lawan masing-masing. Senjata me-
reka bergerak mencari sasaran yang mematikan di tu-


Pendekar Gila 10 Tengkorak Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buh lawan. Namun masing-masing rupanya memiliki
ketangkasan yang cukup hebat dalam mengelakkan
serangan lawannya.
Sementara itu, telah banyak korban yang jatuh
di kedua belah pihak yang tengah bertarung. Tapi me-
reka seperti tidak akan menghentikan pertumpahan
darah yang sia-sia itu. Keduanya masih memperta-
hankan pendapat mereka, meski harus mereka bayar
dengan darah atau nyawa.
Benturan senjata dan jerit kematian dari kedua
belah pihak kerap kali terdengar. Namun semuanya ti-
dak membuat mereka jera, membuat mereka justru
semakin telengas dan bernafsu untuk membunuh la-
wan. Saat pertarungan berlangsung kian seru, tiba-
tiba terdengar bentakan keras dari seorang lelaki. Bentakan keras itu, cukup
membuat semua orang yang
bertarung seketika menghentikan pertarungan mereka.
"Berhenti...!"
Seorang lelaki tua dengan sorban di kepala ser-
ta berjubah putih sampai ke mata kaki, nampak me-
langkah menuju warga kedua desa yang mendadak
menghentikan pertumpahan darah itu. Seketika mere-
ka yang ada di tempat itu menjura memberi hormat.
Termasuk Pronco dan Pabean.
"Selamat datang, Ki Gede," hatur keduanya
dengan ramah. "Hm...," Ki Gede Mantingan menggumam tak jelas. Matanya memandang tajam pada
orang-orang yang menundukkan kepala di hadapannya, seakan le-
laki tua itu tak suka pada tindakan bodoh mereka
yang terlalu terburu nafsu.
Ki Gede Mantingan, lelaki berusia sekitar enam
puluh delapan tahun berjenggot putih panjang pera-
wakannya tinggi. Dilengkapi wajah yang penuh kete-
nangan. Dia menyapukan pandangannya ke segenap
penjuru tempat itu.
"Apa kalian semua sudah dirasuki iblis"!" seru Ki Gede Mantingan dengan suara
lantang dan penuh
wibawa. Matanya masih memandang tajam ke seluruh
warga desa yang menundukkan kepala kian dalam.
"Bukan begini cara menyelesaikan masalah! Kalian telah lupa dengan ajaran yang
telah kuberikan"!"
Semua tergugu dalam diam. Tak seorang pun
berani mengangkat kepala. Apalagi mengadu pandang
dengan Ki Gede Mantingan.
Orang tua itu merupakan guru besar di desa
mereka, yang senantiasa mengajari mereka norma-
norma agama yang setarap dengan Brahmana. Sese-
puh yang dihormati dan dihargai oleh semua warga
kedua desa itu.
"Kalian mestinya bisa menjaga emosi! Jangan
grusa-grusu, karena sikap seperti itu hanya sikap dan tindakan-tanduk setan!"
kembali Ki Gede Mantingan berkata. Suaranya masih tegas dan penuh kewiba-waan.
"Kalau sudah begini, siapa yang rugi"!"
Semua terdiam, tak ada yang berani membuka
suara sepatah kata pun. Kepala mereka semakin me-
nunduk dalam-dalam. Tanpa terasa air mata mereka
berlinang. Tampaknya semua warga kedua desa itu
menyesali tindakan mereka yang tidak berlandaskan
akal sehat Ki Gede Mantingan menghela napas panjang.
Ditengadahkan wajahnya ke langit mencari jawaban
tentang watak manusia yang terkadang sulit dipahami.
Kemudian terdengar desah napasnya yang terasa be-
rat. "Bencana apa yang telah melanda desa kalian"
Ini yang perlu kalian pikirkan! Bukan main saling tuduh dan saling bunuh seperti
binatang!" sambungnya lagi. "Kalian manusia yang diberi akal dan pikiran oleh
Sang Hyang Widi."
Kebisuan terus menyelimuti warga kedua desa
yang habis bertarung itu.
Dari arah Desa Sela Kapilu, Ki Lurah Jarang
Lanang berlari-lari ke arah mereka. Seketika Ki Lurah Jarang Lanang menjura,
melihat Ki Gede Mantingan.
"Ampun, Ki Gede. Kami mohon ampun atas ke-
jadian ini," mohonnya mengiba sambil terus menjura.
"Saya sedang menemui Kanjeng Wedono, jadi tidak ta-hu masalahnya sama sekali."
"Tak ada yang salah, Ki Lurah," jawab Ki Gede Mantingan pada orang tua
berpakaian adat Jawa dengan wajah bersih tanpa kumis dan cambang bawuk.
Tubuh lelaki tua itu gemuk. Beruntung agak tinggi,
hingga tidak terlihat bulat. Blankon di kepalanya ter-balik. Mungkin Ki Lurah
Jarang Lanang terburu-buru
setelah mendengar dari warganya tentang kejadian tersebut "Saya khawatir, Ki
Gede. Takut kalau salah paham ini akan berlarut-larut," kata Ki Lurah Jaran
Lanang dengan wajah menunjukkan kekhawatiran.
"Tak akan, Ki. Asal kedua belah pihak saling
mengerti dan menyadari. Ini bukan perbuatan manu-
sia, tapi iblis! Maka, kuharap kalian waspada. Kemarin malam, Desa Karapan yang
mengalami musibah. Siapa
tahu nanti malam justru Desa Sela Kapilu yang terke-
na musibah."
Semua diam terpekur tak ada yang berkata.
Suasana menjadi sepi sesaat di perbatasan ke-
dua desa itu. Kemudian Ki Gede Mantingan kembali
melanjutkan. "Penjagaan harus diperketat. Kalian harus ingat itu. Adakan
perondaan setiap malam, agar
jangan sampai kecolongan."
"Baik, Ki Gede...!" serentak mereka menjawab.
"Sekarang bubarlah. Urus yang mati. Jalinlah
tali kasih dan persaudaraan!"
Setelah memberi petuah, Ki Gede Mantingan
pun berlalu meninggalkan tempat itu. Kini tinggal
orang-orang kedua desa yang tengah sibuk mengurus
mayat-mayat korban.
*** Sore telah datang, mentari tergelincir di sudut
barat. Sebentar lagi raja siang itu akan tenggelam, kemudian hadir kegelapan
yang membawa suasana men-
cekam. Tampak para petani pulang dari sawah dengan
peralatan terpanggul di pundaknya.
Burung-burung beterbangan pulang ke sarang
masing-masing dengan suara yang bersahut-sahutan.
Bias merah jingga merasuki langit sebelah barat, me-
nandakan mentari telah tersungkur. Desir angin sore
terasa agak dingin, seperti datang bersama kegelisa-
han. Dua sosok bayangan tampak melangkah dalam
keremangan senja. Kedua muda-mudi itu bersenda gu-
rau dengan riang, seperti menikmati suasana senja
yang indah. Bagai tidak menghiraukan kejadian yang
tengah menimpa sebuah desa yang mereka lalui.
"Kakang, nampaknya desa ini tengah berduka,"
kata gadis cantik berpakaian putih dengan rambut di-
gelung dua di atas. Kulit gadis itu kuning langsat. Hidungnya tidak terlalu
mancung. Sedang matanya len-
tik dan indah bila mengerling.
"Hm," gumam pemuda berpakaian rompi kulit
ular, berambut gondrong yang agak berombak. Kulit
pemuda itu bersih, wajahnya tampan.
Serasi sekali kedua anak muda itu. Yang lelaki
tampan dan gagah, sedangkan yang perempuan cantik
nan elok. Pedang tersandang di pundak gadis cantik
yang berpakaian ala Cina itu. Sedangkan di pinggang
pemuda tampan itu terselip sebuah suling berkepala
naga. Dilihat dari senjata serta pakaian mereka, kedua sejoli itu tidak lain
Sena Manggala atau Pendekar Gila dengan kekasihnya Mei Lie, si Bidadari Pencabut
Nyawa. Sena meringis dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Matanya menyapu ke sekelilingnya yang nam-
pak sepi dan senyap. Ada bendera kuning terpajang di pintu masuk desa itu.
Bendera itu menandakan kalau
desa itu tengah berkabung.
"Aha, mungkin kematian biasa, Mei Lie."
"Tapi, Kakang...," potong Mei Lie.
"Aha, kau begitu nakal, Mei Lie. Ayolah, kita
cepat pergi. Sebentar lagi malam. Kita harus segera
mencari tempat untuk menginap," ajak Sena sambil menggandeng tangan Mei Lie.
Tapi gadis Cina itu me-nolak. "Tunggu, Kakang. Firasatku mengatakan, telah
terjadi sesuatu di sini."
Sena tertawa tergelak-gelak mendengar penutu-
ran Mei Lie. Tubuhnya berjingkrak-jingkrak seperti
monyet. Hal itu membuat Mei Lie lantas cemberut.
Sena langsung menghentikan tingkahnya yang
persis orang gila itu setelah melihat Mei Lie merengut.
Dengan tetap cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala, Sena menghela napas panjang-panjang.
"Hi hi hi..! Nakalmu semakin jadi, Mei Lie. Ah
ah ah, tentunya di desa ini memang telah terjadi sesuatu. Kematian, bukan?" goda
Sena, membuat Mei Lie bertambah merengut. Matanya mendelik pada Sena
yang makin cengengesan.
"Uh, Kakang," keluh Mei Lie cemberut "Aku sungguh-sungguh, Kakang."
"Aha, aku lebih sungguh-sungguh, Mei Lie," tukas Sena, masih saja menggoda.
Semakin membuat
Mei Lie mendelik kesal. "Ah ah ah, gawat kalau begini.
Sudahlah, Mei Lie. Sebentar lagi malam, kita harus segera mencari tempat
penginapan."
Sena kembali mengajak Mei Lie pergi mening-
galkan tempat itu. Akhirnya Mei Lie pun menurut. Ka-
ki keduanya melangkah meninggalkan desa itu. Tapi
baru beberapa langkah, tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh bentakan seseorang.
"Berhenti!"
Sena dan Mei Lie berhenti, keduanya memba-
likkan tubuh melihat siapa yang telah menyuruh me-
reka berhenti: Tampak seorang lelaki berbadan kurus
dengan kumis panjang yang melintang di atas bibirnya berdiri dengan pandangan
penuh rasa curiga pada mereka. Di belakang lelaki yang tidak lain Pabean,
berdiri beberapa orang warga. Wajah mereka pun menggambarkan rasa curiga.
Sena tertawa renyah. Tingkah lakunya yang
konyol kembali muncul. Dia menggaruk-garuk kepala
sambil cengengesan. Kemudian tangannya menepuk-
nepuk pantat Menyaksikan tingkah konyol pemuda berpa-
kaian rompi kulit ular di hadapannya, Pabean seketika mengerutkan kening.
"Rasanya aku pernah mendengar tentang pemuda ini. Ah, benarkah dia Pendekar
Gila?" tanya Pabean dalam hati. Alisnya bertaut saat meman-
dang penuh selidik pada Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Dan kalau tidak salah, gadis Cina ini yang bergelar Bidadari Pencabut Nyawa.
Benarkah mereka berdua
pendekar itu?"
"Hi hi hi...! Kalian ini aneh. Mengapa tiba-tiba menghentikan langkah kami" Hi
hi hi...!" Sena tetap konyol, menepuk-nepuk pantat sambil berjingkrak-jingkrak.
Sedangkan Mei Lie malah bersiap-siap, was-
pada kalau para penghadangnya hendak bermaksud
jahat "Siapa kalian?" tanya Pabean berusaha mencari tahu. "Hi hi hi...! Lucu.
Kau lucu sekali, Kisanak."
Sena semakin cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. "Aha, kalian ingin tahu siapa kami" Baiklah, kami sepasang muda-mudi
yang sedang melancong
mengikuti kemauan kaki. Nah, apa cukup jelas?"
"Apakah kalian Pendekar Gila dan Bidadari
Pencabut Nyawa?" selidik Pabean berusaha memastikan dugaannya.
"Ya!" sahut Mei Lie memotong. "Ada apa kalian menghadang kami?" tanyanya
kemudian. "O, maafkanlah tindakan kami yang lancang.
Kalau benar kalian Pendekar Gila dan Bidadari Penca-
but Nyawa, kami mengharap kalian sudi singgah ke
rumah kami," pinta Pabean, santun.
"Hm, untuk apa"!" tanya Mei Lie tegas.
"Aha, jangan galak begitu, Mei Lie! Bagaimana
kalau kita terima undangannya. Bukankah kita adalah
tamu di sini?" tanya Pendekar Gila berusaha menenangkan Mei Lie yang ketus.
Tampaknya Mei Lie masih
dihantui kejadian di Lembah Lamur, saat orang-orang
yang dekat dengannya kedapatan mati. Itu sebabnya
dia tidak mudah percaya dengan orang lain (Mengenai
kejadian Mei Lie, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi
Kuan Im").
"Baiklah! Tapi jangan sekali-sekali bermaksud
jahat. Aku tak akan segan-segan membunuh kalian!
Bahkan seluruh penduduk desa sini!" ancam Mei Lie.
"Baik, Nona Pendekar," sahut Pabean penuh
hormat. "Aha, ayolah," ajak Pendekar Gila.
Mereka pun melangkah mengikuti Pabean dan
warganya. Sementara kegelapan telah menyelimuti de-
sa itu. *** 3 Rumah Pabean nampak terang benderang.
Lampu tempel besar dan lampu gantung yang biasanya
dipadamkan, malam itu dinyalakan semua. Suasana
dalam rumah menjadi terang benderang. Khususnya di
beranda. Tiga orang tengah duduk di kursi rotan, semen-
tara yang lainnya duduk bersila di bawah. Tampaknya
mereka tengah berkumpul, setelah kematian lurah me-
reka. Sena, Mel Lie, dan Pabean duduk di atas bang-
ku. Ketiganya tengah membicarakan kejadian yang
melanda Desa Karapan dan telah menelan tiga korban.
"Kemarin malam desa ini didatangi oleh kawa-
nan makhluk bermuka tengkorak. Mereka menculik
salah seorang petugas ronda dan anak Ki Lurah. Se-
mentara Ki Lurah sendiri mengalami kematian yang
mengerikan sekali. Tubuhnya hangus, bagai terbakar,"
tutur Pabean menceritakan semua kejadian yang ter-
jadi kemarin malam.
"Hm," gumam Sena tidak jelas. Sedangkan Mei Lie memperhatikan cerita yang
dibeberkan Pabean
dengan seksama. "Aneh, makhluk berwajah tengkorak dari mana?"
"Itulah yang tengah kami pikirkan. Keris sakti
milik Ki Lurah Walapaya yang bernama 'Simbar Mega'


Pendekar Gila 10 Tengkorak Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hilang entah ke mana. Kata orang yang melihat, keris itu masuk ke dada makhluk
bermuka tengkorak."
"Heh"!" seru Sena dengan mata membelalak
kaget. "Hhh," desah Mei Lie. Wajahnya kelihatan geram mendengar cerita yang
dituturkan Pabean. "Kurasa semua ini didalangi seseorang."
"Entahlah. Didalangi atau tidak, kami rasa hal
ini harus dicegah...," kata Pabean dengan suara agak geram jika ingat kejadian
yang menimpa desanya.
"Hm," lagi-lagi Pendekar Gila bergumam tak jelas. Mulutnya cengengesan,
tangannya menggaruk-
garuk kepala. "Apa mereka keluar pada saat malam?" tanya Mei Lie. "Ya!"
"Hm, ada yang tahu persis, bagaimana cara me-
reka muncul?" tanya Mei Lie.
"Saya, Nona Pendekar," sahut Pilan, salah seorang petugas ronda kemarin malam.
"Bisa Kisanak menjelaskan?" pinta Mei Lie.
Secara singkat dan jelas, Pilan pun mencerita-
kan kejadian yang telah dialaminya bersama ketiga peronda lain, yang salah
satunya menjadi korban kawa-
nan makhluk bermuka tengkorak darah. Muka tengko-
rak itu berlumuran darah, itu sebabnya dinamakan
tengkorak darah: Sebelum mereka keluar terdengar de-
rak tanah retak. Kemudian muncul asap putih kehi-
tam-hitaman yang perlahan menampakkan ujud me-
rah me-nyala. "Begitulah mereka keluar, Nona Pendekar,"
ucap Pilan, mengakhiri ceritanya.
"Hm," gumam Mei Lie sambil menghela napas
panjang-panjang.
Sena cengengesan sambil menggaruk-garuk ke-
pala. "Aha, rupanya ada juga siluman yang ingin mencampuri urusan manusia. Hi hi
hi...! Lucu sekali!"
Sena tertawa meringkik. Tingkahnya semakin konyol,
membuat semua orang yang hadir di situ tersenyum-
senyum. "Siluman...?" tanya Pabean dengan mata membelalak. "Ya! Kurasa mereka siluman,"
jawab Sena masih bertingkah konyol dan lucu.
Semua terdiam. Mereka merasakan ketegangan
setelah mendengar penuturan Pendekar Gila. Hati me-
reka bertanya-tanya, dari mana siluman-siluman itu
datang" Lalu apa maksud siluman-siluman itu datang
ke alam manusia"
"Hm, kalau memang mereka siluman, bagaima-
na cara menghadapinya?" tanya Pabean nampak ke-
bingungan. Jelas akan sulit sekali manusia biasa se-
perti dirinya dan warga desa untuk menghadapi mak-
hluk-makhluk seperti itu. Hanya orang-orang yang
memiliki ilmu gaib saja yang mampu menghadapinya.
Mulut Pendekar Gila nyengir. Tangannya kem-
bali menggaruk-garuk kepala. Dia pun belum bisa ber-
buat apa-apa atau mengambil kesimpulan, karena dia
belum pernah tahu makhluk seperti siluman itu. Dia
juga belum tahu bagaimana cara menghadapi siluman.
"Aha, sulit juga rasanya," gumam Sena tiba-tiba, menyentakkan semua orang di
tempat itu terma-
suk Mei Lie, yang seketika mendelikinya. Pendekar Gila hanya nyengir, lalu
seraya menggaruk-garuk kepala
dia melanjutkan, "Kurasa, ada baiknya kita membicarakan masalah ini."
"Aku setuju," sambut Pabean.
"Bagaimana, Mei?" tanya Sena.
"Aku pun setuju."
"Baiklah kalau begitu. Hm, hari hampir larut,
kurasa kita harus secepatnya menyelesaikan pembica-
raan. Bagaimana kalau kita berpencar?" tanya Sena.
"Maksudmu?" tanya Mei Lie belum mengerti.
"Mungkin kawanan siluman itu malam ini akan
datang kembali. Kurasa ada sesuatu yang menyebab-
kan kedatangan mereka di desa ini. Bagaimana kalau
kita menyelidikinya?" tanya Pendekar Gila.
"Hm, aku setuju. Apa yang sekiranya menu-
rutmu baik, aku setuju saja," jawab Pabean.
"Aku juga setuju," sambut Mei Lie.
"Bagaimana dengan yang lain?" tanya Sena.
"Kami setuju," sahut warga yang hadir di tempat itu. "Aha, bagus! Kuminta lima
orang untuk meronda. Kalau kalian melihat makhluk itu datang lagi, bunyikan
kentongan sebanyak lima kali. Dengan begitu,
aku dan Mei Lie akan segera datang," tutur Sena mengatur rencana.
"Ide yang bagus," puji Pabean.
"Sementara yang lainnya, tolong ikut Pabean
untuk memeriksa kampung ini. Aku dan Mei Lie akan
mengawasi kampung sebelah barat. Kita akan bertemu
jika kita mendengar salah seorang membunyikan ken-
tongan," papar Sena menjelaskan.
"Baiklah, kalau begitu malam ini juga kita mu-
lai" kata Pabean.
Setelah mengatur rencana sebaik mungkin, me-
reka pun melakukan apa yang telah direncanakan.
Pendekar Gila dan Mei Lie melesat ke arah barat se-
dangkan Pabean dan warga menuju ke arah timur. Li-
ma orang peronda nampak masih berada di rumah Pa-
bean, berjaga-jaga dengan kentongan siap di tangan.
*** Sementara itu, di Desa Sela Kapilu tampak be-
berapa orang tengah bergerombol. Ada sepuluh orang
yang malam itu bertugas meronda. Kali ini mereka siap dengan senjata berupa
golok. Berjaga-jaga kalau-kalau terjadi hal yang serupa dengan kejadian di Desa
Karapan. "Apa benar cerita orang Karapan?" tanya seorang peronda bernama Kapri.
"Iya. Mana ada setan gentayangan membunuh"
Mungkin orang Desa Karapan sendiri yang melaku-
kannya," sambung Dayan.
"Ya, mungkin juga benar," tukas Wiryo. "Mana ada sih yang tega membunuh Ki
Lurah" Lagi pula, kalau memang benar Ki Lurah mati terbakar, tentu warga
melihatnya."
"Iya ya. Kok bisa aneh begitu" Lagi pula, salah seorang petugas ronda hilang dan
tadi pagi tahu-tahu ditemukan mati. Aneh...," gumam Rusdi.
"Sudahlah, jangan membicarakan itu. Tidak
baik. Ingat kata-kata Ki Gede Mantingan, kita tidak boleh membicarakan orang
lain. Yang penting kita harus bisa menjaga keamanan desa kita," tukas Romlan
berusaha mengingatkan teman-temannya agar tak mem-
bicarakan orang lain.
Kebisuan kemudian menyelimuti para peronda
yang sedang berkumpul di gardu. Terlebih malam itu
angin berhembus membawa rasa dingin, membuat su-
asana di sekitar tempat itu bertambah mencekam.
Wesss! Krak! Tiba-tiba kesepuluh peronda yang tengah ber-
jaga-jaga dikejutkan oleh suara tanah retak, yang diikuti oleh suara mendesis
dan datangnya asap tebal
yang keluar dari retakan tanah.
"Hei, suara apa itu"!" seru Dayan.
"Seperti asap! Lihat ada asap mengepul!" sambut Rusdi.
Mata kesepuluh ronda itu membelalak, me-
mandang tak berkedip pada asap tebal yang membu-
bung keluar dari retakan tanah.
Belum juga rasa kaget kesepuluh peronda itu
hilang, kepulan asap yang jumlahnya banyak itu
membentuk sosok berwarna merah. Kemudian terben-
tuklah ujud menyeramkan. Sosok manusia berwajah
tengkorak yang berlumuran darah.
"Se..., setaaan...!" pekik mereka ketakutan. Tapi tubuh mereka tidak beranjak
dari gardu. Hanya mata
mereka yang melotot tegang, memandang sosok-sosok
menyeramkan yang kini melangkah mendekati gardu.
"Jelas makhluk ini yang kemarin membuat
bencana di Desa Karapan...," desis Wiryo, orang yang agak berani di antara
kesepuluh peronda. Malah tangannya kini menarik golok dari sarungnya. "Kita
harus serang mereka!"
Tak ada satu temannya pun yang berani. Mere-
ka cuma dapat menggigil ketakutan. Hal itu membuat
Wiryo kebingungan. Kini dirinya dalam keraguan. Ingin melawan seorang diri tapi
dia akut karena takut lawan terlalu banyak. Namun kalau tak melawan, bisa-bisa
mereka akan menjadi korban. Akhirnya tubuh Wiryo
ikut merapat dalam kerumunan temannya.
"Tolong...! Ada setaaan...!" jerit mereka keras, membuat warga lain yang tengah
tidur seketika terbangun. Mereka berbondong-bondong menuju ke gar-
du ronda. Namun warga desa seketika lari mening-
galkan tempat itu, manakala menyaksikan puluhan
ujud menyeramkan.
"Wuaaa! Setaaan...!"
Suasana malam yang sepi dan mencekam,
mendadak dirambati jerit ketakutan para penduduk.
Mereka lari terbirit-birit saking takutnya, tanpa menghiraukan lagi nasib
kesepuluh peronda yang masih
terkurung di dalam gardu.
Ketegangan semakin menjadi-jadi, ketika mak-
hluk-makhluk bermuka tengkorak itu semakin dekat
ke arah gardu tempat kesepuluh peronda berada.
"Wuaaa...!" jerit mereka ketakutan, setelah lampu tempel di gardu menerangi
wajah makhluk-makhluk itu, hingga mata mereka menangkap dengan
jelas puluhan wajah menyeramkan itu.
"Kita tidak bisa begini terus. Kita harus mela-
wan," ajak Wiryo, berusaha memberi semangat pada kesembilan rekannya yang masih
ketakutan. "Tapi..., mereka bukan manusia," keluh teman-temannya.
"Apa pun mereka, kita tidak boleh tinggal di-
am!" Wiryo terus berusaha memberi semangat pada teman-temannya untuk melawan
makhluk-makhluk
menyeramkan itu.
Srttt! Mereka serentak mencabut golok. Rupanya aja-
kan Wiryo mereka tanggapi. Kemudian dengan nekat,
kesepuluh peronda itu menyerang para pengepung
yang menyeramkan.
"Heaaa!"
Crak! Crak! Crak!
Suara benturan golok dengan tubuh para mak-
hluk tengkorak darah terdengar. Namun golok di tan-
gan mereka malah menjadi gompal. Bahkan ada yang
patah menjadi tiga. Kejadian aneh itu membuat mata
kesepuluh peronda semakin membelalak tegang.
"Wik! Wok! Wik!" salah satu makhluk bermuka tengkorak berkata. Tangannya yang
hanya tulang belu-
lang bergerak-gerak, seperti memerintah yang lain untuk membereskan kesepuluh
peronda itu. Puluhan tengkorak darah serentak maju, men-
jadikan para peronda semakin ketakutan. Tubuh me-
reka kini menggigil hebat. Keringat dingin bercucuran membanjiri dahi dan leher
mereka. Malah mereka terkencing-kecing, menyaksikan wajah-wajah menyeram-
kan itu bertambah dekat
Tangan para makhluk bermuka tengkorak itu
bergerak. Mulanya menjulur maju, kemudian ditarik
ke belakang. Dari telapak tangan mereka yang hanya
tulang belulang, terpancar sinar biru. Saat itu pula tubuh kesepuluh peronda
tertarik keras ke arah mereka.
"Wuaaa! Tolooong...!"
Kesepuluh peronda itu berusaha memperta-
hankan diri dari sedotan tenaga aneh lawan, namun
tenaga mereka rupanya belum seberapa. Tubuh mere-
ka terus tersedot, sampai menempel dengan tubuh
makhluk bermuka tengkorak. Kesepuluh peronda itu
tergagap-gagap, menyaksikan wajah menyeramkan
yang begitu dekat dengan wajah mereka.
"Wuaaa...! Tolooong...!"
Percuma mereka menjerit-jerit, karena warga
yang lain malah kocar-kacir ketakutan.
Dalam keadaan tegang dan kritis, tiba-tiba ber-
kelebat sesosok bayangan berwarna coklat tua ke arah puluhan makhluk bermuka
tengkorak. Bayangan itu
langsung menghantamkan pukulan keras kepada sa-
lah satu makhluk itu.
Dukkk! "Aduh!" pekik bayangan coklat, yang tidak lain Ki Lurah Jaran Lanang. Tangannya
seketika memar.
Seakan tangannya baru saja memukul logam atau ba-
tu karang yang sangat kuat. Mata lelaki tua berpa-
kaian Jawa itu membelalak tegang. Apalagi ketika pe-
mimpin kawanan tengkorak darah membalikkan tubuh
dan memandang ke arahnya. Darah Ki Lurah Jaran
Lanang mendesir hingga cepat, karena kengerian yang
tiba-tiba menusuk. Mulutnya menganga, matanya
membuka lebar. "Ngik! Kik! Cuik!" Pemimpin makhluk bermuka tengkorak berkata, tampaknya dia
sangat marah atas
kehadiran Ki Lurah Jaran Lanang. Malah tubuh me-
rahnya kini melangkah maju, mendekat Ki Lurah Ja-
ran Lanang yang semakin membelalak ngeri dan takut.
"Setan...! O, rupanya apa yang dikatakan warga
Desa Karapan memang benar," desis Ki Lurah Jaran Lanang setengah mengeluh.
Matanya semakin membelalak tegang. Kakinya berusaha lari, namun tiba-tiba
tubuhnya bagai disedot oleh suatu kekuatan. Kakinya
mendadak tertahan, malah semakin tertarik mundur
ke arah pemimpin makhluk bermuka tengkorak
Tubuh Ki Lurah Jaran Lanang mulai menggigil
ketakutan, mengetahui tubuhnya kini terangkat ke
atas. Dan ketika matanya memandang ke belakang,
tampak olehnya tangan tengkorak darah itu tengah
bergerak ke atas.
"Nguik!"
Pemimpin makhluk bermuka tengkorak itu
menggerakkan tangannya ke bawah, ketika tubuh Ki
Lurah Jaran Lanang telah mencapai ketinggian terten-
tu. Saat itu pula, tubuh Ki Lurah Jaran Lanang me-
luncur ke bawah.
Wesss! "Wuaaa...! Tolooong...!"
Tubuh Ki Lurah Jaran Lanang terus melesat
turun dengan cepat, bagai dibanting dari atas. Ketika tubuh lelaki tua itu
hampir menghantam tanah kering, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat
menangkap tubuhnya. Bayangan itu langsung berhenti, ke-


Pendekar Gila 10 Tengkorak Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mudian menurunkan tubuh Ki Lurah Jaran Lanang.
Bersama bayangan yang ternyata Pendekar Gila, mele-
sat pula tubuh Mei Lie.
"Rupanya siluman-siluman ini!" dengus Mei Lie.
Matanya tajam, memandang gerombolan makhluk
bermuka tengkorak darah yang kini menghadap ke
arahnya, setelah membunuh kesepuluh peronda.
"Nguik! Wok! Wik! Wok!"
"Hm, majulah! Biar kuhabisi kalian!" tantang Mei Lie dengan berani.
Srttt! Dicabutnya Pedang Bidadari dari sarungnya.
Seketika suasana di sekitar tempat itu menjadi terang benderang oleh sinar
kuning kemerahan-merahan. Hal
itu membuat ujud manusia-manusia bermuka tengko-
rak semakin terlihat jelas. Keadaan mereka begitu menyeramkan. Muka mereka hanya
berupa tengkorak
berlumuran darah. Bagian mata mereka bolong, begitu
juga bagian hidung.
"Ngik! Ngok! Nguik!"
Pemimpin gerombolan tengkorak darah itu
tampak menutupi matanya dengan sebelah tangan.
Seakan merasa silau oleh sinar yang terbersit dari Pedang Bidadari di tangan Mei
Lie. Sedangkan tangan
yang lain kini digerakkan, memerintah pada kesepuluh anak buahnya untuk
menyerang. "Nguik!"
Suara ribut tercipta dari mulut-mulut makhluk
tengkorak darah yang hendak menyerang Mei Lie.
"Bagus! Majulah sekalian! Heaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu, Mei Lie segera
bergerak memapaki serangan lawan. Pedang Bidadari
di tangannya bergerak dengan cepat, memenggal ke
kepala lawan dengan jurus 'Tebasan Bidadari'.
Wettt! Trang! "Heaaa!"
Mei Lie bergerak lincah. Pedang Bidadarinya
laksana lengan Bidadari Pencabut Nyawa. Setiap kali
berkelebat pasti mengambil kematian. Pantas benar
dengan julukan yang disandangnya, Bidadari Pencabut
Nyawa. Dua makhluk bermuka tengkorak terpenggal
lehernya. Keduanya seketika berubah menjadi asap,
lalu menghilang. Yang lainnya menyerang. Namun
Pendekar Gila yang tidak ingin Mei Lie mendapat cela-ka, segera menarik Suling
Naga Sakti. Dengan suling
itu tubuhnya melesat ke udara. Lalu dengan tingkah
seperti seekor monyet, Pendekar Gila memukul kepala
para makhluk bermuka tengkorak.
"Hi hi hi! Rasakan ini, Siluman Buruk! Ha ha
ha!" Tak tuk tak! Tiga kepala makhluk ganjil itu pecah. Ketiga
sosok tengkorak yang terbungkus jubah merah berke-
rudung itu, seketika berubah menjadi asap. Lalu
menghilang bagai ditelan bumi.
"Ngik! Ngok! Nguk!" Pemimpin kawanan tengkorak darah seketika memberi perintah
dengan isyarat tangan, lalu sisa makhluk tengkorak darah itu menghilang dari hadapan Pendekar
Gila. "Hi hi hi! Kalian mau main-main. Baik! Hi hi
hi...!" sambil tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak seperti monyet, Pendekar
Gila meniup Suling Naga
Saktinya. Suara suling melengking tinggi. Saat itu, suatu
ledakan terjadi. Lima tengkorak darah yang menghi-
lang bersama pemimpinnya nampak kembali dalam
keadaan sudah mati. Kemudian tubuh mereka menjadi
asap yang menipis dan menghilang tersapu angin.
Pendekar Gila tertawa sambil berjingkrak-
jingkrak. Namun dari arah rumah seorang warga, tiba-
tiba terdengar jeritan.
"Tolooong...!"
Pendekar Gila, Mei Lie, dan Ki Lurah Jaran La-
nang segera berkelebat menuju asal jeritan itu.
*** 4 "Tolooong! Setaaan...!"
Seorang wanita muda menjerit-jerit ketakutan
dengan pakaian tak menentu. Sebagian tubuhnya ti-
dak tertutup kain. Mungkin karena terlalu takut, wani-ta itu tidak ingat
keadaannya. Wanita muda yang can-
tik dan hampir telanjang itu ternyata Suri Prapti, anak Ki Lurah Jaran Lanang.
"Ada apa, Suri?" tanya Ki Lurah Jaran Lanang, menyaksikan anaknya tampak
ketakutan. "Setan Ayah! Setan tengkorak menculik Kakang
Rejo," isak Suri Prapti menangis.
"Hah, Suro Rejo diculik"!" seru Ki Jaran Lanang dengan mata membelalak,
mendengar penuturan
anaknya. Suro Rejo dan Suri Prapti baru saja menikah 7 hari yang lalu. Kini
tiba-tiba muncul manusia-manusia bermuka tengkorak darah, mengacaukan hari
indah mereka. Belum juga rasa kaget mereka hilang, karena
penculikan Suro Rejo, tiba-tiba para penduduk berte-
riak-teriak. Mereka berhamburan ketakutan.
"Setan...! Setan menggarong!"
"Rampok setan...!"
"Setan merampok...!"
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak melihat
para penduduk berteriak-teriak ketakutan. Tingkahnya yang konyol, membuat Mei
Lie melotot. Sena langsung
diam, tidak lagi tertawa-tawa sambil berjingkrak-
jingkrak. Meski begitu, Sena masih cengengesan sam-
bil menggaruk-garuk kepala.
"Ada apa" Ada apa ini?" tanya Ki Jaran Lanang.
"Rumah kami dirampok!" lapor penduduk den-
gan ketakutan yang terlukis di wajahnya.
"Anak kami yang masih jejaka dibawa!" sam-
bung yang lainnya.
"Suami saya juga dibawa. Padahal kami baru
menikah bareng sama Den Suri," isak seorang gadis muda berkulit kuning langsat
dan cantik. Ki Lurah Jaran Lanang semakin terlongong
bengong. Dia tidak tahu, untuk apa para lelaki muda
diambil oleh siluman tengkorak darah.
Saat warga Desa Sela Kapilu dilanda kegempa-
ran dengan matinya sepuluh orang peronda dan hi-
langnya beberapa lelaki muda, Pabean dan beberapa
orang warganya datang.
"Ada apa, Sena?" tanya Pabean.
Ki Lurah Jaran Lanang menceritakan semua
yang terjadi. Hal itu membuat mata Pabean membela-
lak. "Sama dengan kejadian kemarin," gumam Pa-
bean. "Akh heran, untuk apa lelaki-lelaki muda dan tampan dibawa pergi" Kemudian
keesokan harinya
mereka telah menjadi mayat dengan keadaan mengeri-
kan. Bukankah warga desa sini juga melihatnya?"
"Benar...!" sahut warga Sela Kapilu.
Semua terdiam, tak ada yang berkata. Mereka
sama-sama tengah berpikir serta bertanya-tanya dalam hati. Apa sebenarnya yang
terjadi di desa mereka" Dan apa yang dikehendaki siluman tengkorak merah yang
datang membawa kegemparan dan kematian"
Hanya Pendekar Gila yang tetap tersenyum-
senyum. Malah sempat bersiul-siul. Wajahnya menen-
gadah ke langit, seperti tengah menikmati bintang
yang gemerlapan di langit.
"Apakah orang-orang yang diculik pernah me-
lakukan sesuatu?" tanya Mei Lie tiba-tiba.
"Maksud, Nona?" tanya Pabean.
"Apakah orang-orang yang diculik pernah me-
lakukan sesuatu pelanggaran. Berbuat jahat misal-
nya?" Mei Lie berusaha menerangkan. Pabean dan Ki Lurah Jaran Lanang terdiam,
Bloon Cari Jodoh 13 Walet Emas Perak Karya Khu Lung Sumpah Palapa 19
^