Pencarian

Utusan Lembah Kubur 2

Pendekar Cambuk Naga 13 Utusan Lembah Kubur Bagian 2


but. Tetapi, pada saat itu, Rukmini yang menyambut-
nya. Perempuan desa yang lugu itu tampak girang dan
sedikit tersipu melihat kedatangan Lanangseta.
"Aku tidak menyangka kalau kau mau datang lagi."
"Aku ingin bertemu dengan ayahmu," kata Lanang seraya membalas senyuman dengan
tawar. "Ayah sedang menengok keluarga Kang Pulung yang kemarin saudaranya dibunuh oleh
penduduk."
Rukmini mempersilakan Lanang untuk singgah ke
dalam. Istri Ki Lurah juga ikut menjelaskan, bahwa Lurah Kedungrejo masih ada
urusan. Beberapa saat ke-
mudian, Nyai Lurah masuk ke dalam, meninggalkan
Lanang dan Rukmini di serambi depan.
"Kalau memang urusannya penting, mestinya kau tidak berkeberatan kalau harus
menunggu ayah, bukan?"
tanya Rukmini, yang agaknya sekarang lebih berani, tidak semalu-malu kemarin,
ketika perjumpaan pertama.
"Memang penting. Dan, kuharap Ki Lurah bisa mem-
bantuku." "Dalam hal apa" Aku boleh tahu?"
"Dalam hal... orang-orang Lembah Kubur."
Rukmini berkerut dahi, menatap Lanangseta dengan
sorot mata yang berbinar-binar.
"Apakah kau bertemu dengannya lagi?"
"Tidak!"
"Lalu....?"
"Aku ingin bertemu dengannya lagi."
"Dengan orang Lembah Kubur"!" Rukmini kelihatan cemas.
"Ya. Karena... karena... istriku dibawa oleh mereka."
"Diculik..."!"
"Ya. Diculik dan... dan entah diapakan lagi. Yang jelas, aku harus ke Lembah
Kubur untuk merebut kem-
bali istriku."
Rukmini terbengong, bagai terpana oleh cerita tak
diduga. Ia kelihatan menyimpan sedikit rasa takut. Ia juga menampakkan rasa
ngerinya dengan bergidiknya
badan. Namun, di balik itu semua kesan cemas dan
was-was lebih menonjol ketimbang kesan yang lainnya.
"Aku harus mencari keterangan, di mana Lembah
Kubur itu. Dan, aku harus segera menghancurkan me-
reka." Rukmini diam. Seakan ia punya rasa tidak setuju ka-
lau Lanangseta pergi ke Lembah Kubur. Hal itu diung-
kapkan olehnya lewat kata-kata:
"Itu tempat berbahaya."
"Aku tahu."
"Kalau utusannya saja bisa datang dan pergi dengan meninggalkan korban, tak
mampu dihalangi, sudah tentu penguasa Lembah Kubur lebih sakti dari utusan-
utusannya."
"Aku tahu. Tapi, kalau memang kau sendiri bisa
memberi keterangan di mana Lembah Kubur, tolong be-
rikan padaku. Aku tak perduli, seberapa besar kesak-
tian mereka. Aku tidak mau tahu, seberapa besar ba-
haya di sana. Aku hanya tahu: istriku harus kembali
dengan selamat bersama bayinya."
Mata Rukmini sedikit terbelalak memandang La-
nangseta. "Istrimu hamil?"
Lanang mengangguk. "Hamil tua...."
Rukmini terbengong sesaat, kemudian menghela na-
fas, sepertinya ada sesuatu yang mengganjal di hati.
Lanangseta menunggu jawaban dari Rukmini dengan
mata sedikit tajam memandang.
"Mungkin aku bisa membantumu," kata Rukmini lirih. "Syukurlah kalau kau mau
membantuku."
"Tapi...." Rukmini ragu. "Aku.... Aku takut kau mengalami bahaya dan...."
"Rukmini," sela Lanang. "Bahaya memang sering kuhadapi. Tetapi, belum pernah aku
tidak bisa lolos dari bahaya. Belum pernah. Selalu saja bahaya bisa kutero-bos.
Kurasa kau tak perlu khawatir."
"Memang seharusnya aku tidak perlu mencemaskan
dirimu. Tak perlu khawatir tentang kamu. Hanya sa-
ja...." Karena Rukmini diam dalam keraguan, maka La-
nangseta buru-buru menyerobot pembicaraan:
"Kau tahu persis tempatnya?"
"Secara persis, tidak. Tapi, aku pernah melihat Utusan Lembah Kubur berlari ke
suatu arah."
"Arah mana?"
Setelah diam beberapa saat, Rukmini pun menjawab
dengan lirih, seakan tak punya daya lagi.
"Ke Selatan...!"
Gumam Lanangseta memanjang, kepalanya mang-
gut-manggut. Rukmini menambahkan kata:
"Dulu pernah ada pemuda yang ingin membawaku
pergi dengan baik-baik. Ia mencintaiku. Dan, kami ingin kabur, karena ayahku
tidak setuju."
"Lalu..."!"
"Lalu aku menolak. Dia patah semangat. Ia mengancam akan pergi ke Lembah Kubur,
menjadi manusia se-
sat kalau aku tetap menolak."
"Pemuda itu sampai sekarang masih ada?"
Rukmini menggeleng. "Dia mati. Mati dibantai temannya sendiri. Dan... kala itu
ia sempat menemui aku, lalu bermaksud membawaku lagi dengan paksa. Dia
menyebutkan suatu tempat dan arah, sebagai titik perjumpaan kami, jika aku mau
kabur dari rumah."
"Di mana itu?"
"Arah Selatan. Melewati daerah yang dinamakan
Randu Gajah. Lembah Kubur memang tidak jauh dari
Randu Gajah. Arah Timur dari Randu Gajah, sudah
termasuk wilayah Lembah Kubur. Tapi, waktu itu kami
atau dia, merencanakan untuk membelok ke arah Ba-
rat. Ke desa Truyan. Desa itu aman oleh orang-orang
Lembah Kubur. Tak ada yang berani datang atau meng-
ganggu masyarakat desa Truyan."
"Alasannya?"
"Barong Dewa lahir di desa Truyan, dan sanak saudaranya masih tinggal di sana.
Jadi tak boleh ada yang mengganggu. Desa itu aman."
"Siapa Barong Dewa itu?"
"Penguasa Lembah Kubur."
"Apakah perbuatan Barong Dewa, mencuri bayi dari dalam kandungan dilakukan sudah
cukup lama?"
"Ya. Dan, mulanya desa ini tidak termasuk sasaran mereka. Namun, barangkali ada
perubahan pikiran Barong Dewa. Desa ini dianggap desa yang tidak perlu
dilindungi, sebab pemuda yang mencintaiku sudah mati
oleh kawannya sendiri."
"Jadi, mereka langsung menyerbu desa ini karena pemuda itu telah mati?"
"Ya. Dan mereka tahu, kalau aku menolak cinta pemuda itu. Kalau saja aku jadi
kawin dengannya, maka
desa ini akan aman." Rukmini tertegun sejenak, lalu berbisik, "Bawalah aku ke
desa Truyan, dan hiduplah di sana bersamaku, sekalipun aku hanya sebagai istri
ke-duamu."
"Terlalu berani," kata hati Lanangseta setelah terkejut sesaat. "Terlalu nekad
perempuan ini dalam bica-ranya. Apa sebab" Pasti ada alasan kuat, sehingga gadis
desa yang punya lagak pemalu itu berani bicara sepolos itu. Umumnya para gadis
desa seusia dengannya, tak
akan berani berkata terang-terangan seperti dia...." Lanangseta berlagak biasa-
biasa saja, tidak menganggap kata-kata Rukmini istimewa dan mengejutkan hatinya.
Lanang justru bertanya:
"Apakah anak buah Barong Dewa itu cukup ba-
nyak?" "Hanya ada sembilan orang. Lima di antaranya orang pilihan yang bertugas
menculik bayi dalam kandungan."
Omongan demi omongan memang disimak Lanangse-
ta, namun sejauh ini ada satu pemikiran tersendiri pada diri Lanangseta. Ia
terus memancing keterangan:
"Untuk apa Barong Dewa membutuhkan bayi?"
"Untuk dimakan."
"Hah..."!" Lanang membelalakkan mata, kali ini ka-getnya tak sempat
dikendalikan. "Untuk dimakan"!"
Rukmini menjelaskan, "Jika Barong Dewa banyak
memakan bayi yang belum lahir, maka tubuhnya makin
lama akan menjadi semakin besar. Dan, ilmu silatnya
pun terus meningkat. Upah yang diterima oleh anak
buah Barong Dewa adalah ilmu-ilmu sakti yang jarang
dimiliki tokoh persilatan lainnya. Jadi, setiap hari, ia makan daging bayi yang
diperoleh dari dalam kandun-
gan. Dan, tubuh Barong Dewa pun menjadi seperti rak-
sasa. Tinggi, besar dan kekar. Sukar dikalahkan oleh siapapun."
Sekali lagi, Lanangseta mengangguk-anggukkan ke-
pala. "Rupanya kau banyak tahu tentang Lembah Kubur
dan Barong Dewa, ya?"
"Ya. Karena, Rohutama menceritakan segalanya kepadaku."
"Siapa itu Rohutama?"
"Pemuda yang mencintaiku dan pernah mengajakku
kabur itu."
"Ooooo.... Jadi, Rohutama dibunuh karena ia ketahuan menceritakan rahasia Lembah
Kubur" Begitu?"
"Antara lain begitu. Ini pertanda ia bisa melacak ke mana perginya orang yang
menculik Kirana. Tetapi, ha-ruskah ia memenuhi permintaan Rukmini" O, tidak!
Terlalu berbahaya jika ia membawa serta Rukmini ke
Lembah Kubur."
Dengan suatu tipu muslihat ingin ke rumah Kang
Pulung, Lanangseta berhasil pergi ke arah Selatan tan-pa Rukmini. Sejak bertolak
dari rumah Rukmini, hati
Lanangseta selalu berdebar-debar. Ada apa gerangan"
Apakah karena ada yang mengincarnya dengan sem-
bunyi-sembunyi"
Sesekali Lanangseta mendesah. Langkahnya sema-
kin cepat. Pikirannya dipusatkan ke Lembah Kubur dan keterangan-keterangan dari
Rukmini tentang Barong
Dewa. Seperti apa orang yang menjadi penguasa tunggal Lembah Kubur itu" Ilmu
macam apa yang dituntutnya
sehingga ia harus memakan bayi dan janin yang diambil dari dalam kandungan"
Debar-debar di dada Lanang semakin jelas, pada
saat ia teringat anaknya. Anak dalam kandungan Kira-
na yang menjadi kebanggaannya itu kini dalam keadaan
terancam. Lanang tak berani membayangkan, sean-
dainya ia temukan Kirana sudah kempes perutnya tan-
pa ada bayi di sampingnya. Ooh... entah seperti apa ledakan kemarahan Lanangseta
jika ia tahu, Kirana da-
lam keadaan terburai perutnya dan bayi dalam kan-
dungan itu dimakan oleh Barong Dewa. Gemeretak gigi
Lanangseta, menggenggam kuat tangannya, dan sema-
kin sesak dadanya dihimpit kemarahan.
Tiba-tiba Lanangseta berhenti melangkah. Matanya
melihat ke kanan kiri. Kewaspadaan dan kecurigaan
saling berebut mencari tempat dalam benaknya. Ia
mendengar suara langkah kaki yang membuntutinya.
Ketika ia berpaling seketika, oh... tak ada apa-apa. Tak ada siapa-siapa di
belakangnya. "Setan mana yang sengaja mempermainkan aku"!"
geram Lanangseta. Ia menunggu beberapa saat, kalau-
kalau muncul sosok yang ingin berhadapan dengannya.
Tetapi, setelah beberapa saat ia tak menemukan apa-
apa, akhirnya dengan desah kejengkelan ia pun me-
langkah lagi. Langkahnya tegap. Langkah seorang pendekar yang
tak mengenal takut. Langkah yang menampakkan kete-
garannya sebagai sosok Malaikat Pedang Sakti yang selalu siap menghadapi
lawannya, siapa pun dan di mana pun. Dan.... Langkah itu pun kini berhenti lagi.
Ada langkah lain yang ikut menapak, tapi juga ikut berhenti.
Menghilang, pada saat Lanang diam.
Mata Lanangseta memandang awas, tajam dan liar.
Ia memang tidak menemukan siapa-siapa di sekitarnya.
Tapi, ia yakin, bahwa ada seseorang yang mengikutinya sejak tadi. Debar-debar
hatinya membawa ia semakin
gelisah. Berulang-ulang Lanangseta menghirup udara
panjang-panjang, supaya ada ketenangan dalam ji-
wanya. "Monyet kurap...!" gerutu Lanang sendirian. "Ia pasti
orang sakti yang pandai menghilang dalam sekejap.
Hemmm.... Mungkinkah aku sudah dekat dengan dae-
rah Lembah Kubur?"
Lanangseta merasa jengkel sekali, karena ia tidak
berhasil menemukan langkah kaki yang mengikutinya.
Dengan kesal, ia pun kembali melangkah, karena ia tak mau kehilangan waktu
terlalu banyak. Kirana harus segera ditolong, ia harus segera sampai di Lembah
Kubur. Barong Dewa harus segera mati di tangannya.
Eh, masih juga ada suara langkah yang mengiku-
tinya. Gila, kan"! Padahal waktu Lanangseta berpaling, tidak ada siapa-siapa!
Hanya ada pohon-pohon dan bebatuan di sana sini, sementara di sisi lain hanya
ada semak belukar di bawah pepohonan rindang. Mata Lanangseta menyapu seluruh
semak, tak ada tanda-tanda
kehidupan di sana. Setiap batu besar ia awasi, tak ada hal yang mencurigakan di
sana. "Brengsek...!"
Cepat sekali Lanang melangkah meninggalkan tem-
pat itu. Tetapi, cepat pula suara langkah yang terdengar mengikutinya. Ketika
ada sebuah tikungan berbatu, Lanangseta segera melesat bersembunyi di balik
bebatuan. Kemudian ia melihat ada pohon tak jauh darinya. Den-
gan ilmu peringan tubuh yang sempurna, ia menghen-
takkan kaki ke bumi, dan "Seeet...." Tubuhnya melayang ke atas, hinggap di dahan
dengan tanpa menim-
bulkan suara sedikit pun. Dari atas pohon Lanangseta bebas memandang dan
meneliti sekeliling. Nafasnya tertahan beberapa saat, bahkan dihembuskan dengan
pe- lan sekali. Sepi. Dan, hanya desau angin sore yang mulai terasa membuat tubuh
merinding. Sialnya, tak ada manusia yang bersembunyi dan terkecoh ke luar dari
persembunyian untuk mengikuti Lanangseta. Sinting!
Padahal tadi jelas-jelas terdengar langkah kaki menginjak dedaunan dan ranting
kering di belakangnya.
Lanangseta terkejut begitu mendengar suara tawa
yang tertahan. Ah, benar! Ada orang lain selain dirinya.
Tapi, di mana suara tawa itu" Siapa yang tertawa" Lanang mencari-cari sesaat.
Ah, ia semakin gelisah dan tak bisa tenang. Suara tawa itu pun terdengar lagi
bagai tertutup oleh tangan pemiliknya. Dan, kali ini agak jelas, sehingga Lanang


Pendekar Cambuk Naga 13 Utusan Lembah Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun segera mendongak ke atas.
Busyet...! Ternyata ada orang di atas pohon, tepat di atas kepalanya. Satu pohon
darinya. Lanang merasa
terkecoh. Sudah cape-cape bersembunyi dengan rapi,
eh.... ternyata orang yang dijebaknya ada di dalam satu pohon dengannya. Maka,
segera saja ia menghentakkan
tangan kanannya ke atas dalam keadaan telapak tan-
gan terbuka. "Hiiiihhh..!"
"Kraaaakk...! Krosaakkk...!"
Tenaga dalam keluar dari telapak tangan Lanangse-
ta, menghantam orang yang ada di atasnya. Tetapi dengan gerakan cepat, orang
tersebut melompat dalam ge-
rakan salto dan turun ke bawah. Bajunya yang biru
berkibar bagai sayap elang. Lanangseta tak mau tinggal diam. Ia segera menyusul
dengan lompatan bersalto ju-ga. "Jleeg...!"
Kedua kaki Lanangseta menapak dengan sempurna.
Sigap dan kekar. Wajahnya kaku tanpa senyum. Ma-
tanya memandang tajam, bagai menembus hati orang
yang berdiri di depannya.
"Sekarang saatnya aku membunuhmu, Klowor...!"
O, oh... rupanya Raden Klowor yang menguntitnya
sejak tadi. Lanangseta teringat Kirana yang saat ini hilang. Ia juga teringat
cerita tentang pembedahan perut perempuan hamil yang dilakukan oleh utusan
Lembah Kubur. Dan, kemarahannya membakar darah, manaka-
la ia membayangkan Raden Klowor telah berhasil mem-
bedah perut istrinya. Terbukti dari cengar-cengir Raden
Klowor yang menampakkan rasa puas bisa berhadapan
dengan Lanang. Ia, Raden Klowor itu, sepertinya merasa bangga, dan sengaja
memamerkan kebanggaannya kepada Lanangseta.
"Biadab kau, Klowor...!" geram Lanang dengan serta merta melompat dengan kaki
kanan lurus menyamping,
dan tertuju kepada wajah Raden Klowor.
"Ploookkk...!"
"Aaauuh...! Guru, sabar...! Saya tadi cuma bercanda!" Teriakan Raden Klowor tak
dihiraukan Lanangseta.
Dengan cepat dan gesit, Lanangseta menghentakkan
kaki kirinya dalam keadaan tubuh memutar. Kaki itu
bagai batang pohon yang dikibaskan setengah lingkaran dan mengenai wajah Raden
Klowor lagi. Tentu saja Raden Klowor memekik kesakitan dan jungkir balik di re-
rumputan. "Jangan marah, Guru...! Maaf...! Sabar...! Ampun...!
Dan sebagainya, Guru...!"
"Hiiaaaatt...!"
Sebuah pukulan berganda dilancarkan ke dada Ra-
den Klowor, namun sejak tadi Raden Klowor sepertinya pasrah. Tidak melawan,
tidak mengelak. Sehingga ia
memekik tertahan ketika dadanya yang kurus dihantam
Lanangseta dua kali dengan keras. Mata Raden Klowor
mendelik dengan berusaha menghirup nafas yang me-
nyesak di dada. Tetapi, tak ada kesempatan sedikit pun yang diberikan oleh
Lanangseta kepada utusan Lembah
Kubur itu. Lanangseta berguling ke tanah, kakinya meletik seperti kaki belalang,
menghentak kuat perut Raden Klowor.
"Huuggh...! Gulu...." ucapnya dengan nafas sesak dan mata makin mendelik
kesakitan. Guru sampai dis-ebutnya; gulu. Ia meringis menahan mules di perut. Ia
cengap-cengap, namun segera mundur beberapa langkah ketika Lanangseta berdiri
lagi, siap menyerangnya.
"Guru...!" Tangan Raden Klowor terangkat ke depan dengan telapak tangan terbuka,
seakan ingin menahan
gerakan Lanang berikutnya. "Tunggu... jangan menyerang saya, Guru. Saya benar-
benar bercanda...! Maaf-
kan saya...!"
"Setan kudis...! Kau apakan istriku, hah"! Kau apakah dia..." Hiaaat....!"
Lanangseta melompat, menerjang dengan kakinya. Tetapi, dengan gesit, Raden
Klowor menggunakan jurus Lindung Bumi. "Sleeeep...!" Dia amblas ke dalam tanah, dan
membuat Lanangseta semakin kebingungan, tapi juga semakin dongkol hatinya.
Lawannya menghilang dengan menggunakan ilmu an-
dalannya dulu: Lindung Bumi. Kurang ajar! Lanang ha-
rus segera mengejar, keburu Raden Klowor kabur.
"Hiiiaaaaat....!"
*** 5 Jurus Lindung Bumi sama-sama digunakan oleh ke-
dua lelaki itu. Lanangseta juga amblas ke tanah dan
mengejar Raden Klowor. Tanah disibakkan, mereka sa-
ma-sama mampu menembus lapisan tanah. Gerakan
mereka seperti hembusan bayangan yang bergerak ce-
pat tanpa ada rasa yang mengganggu langkah. Suasana
di dalam tanah seperti lorong berlampu terang. Tubuh-tubuh mereka berdua sama-
sama mirip sosok kunang-
kunang besar yang saling kejar.
"Broooss...! Broooos...!"
Keduanya sama-sama melompat menerobos lapisan
tanah di atas mereka. Keduanya seperti mayat bangkit dari kubur dengan satu
lompatan mengagumkan. Tanah menyembur ke mana-mana ketika mereka melesat
dan berada di permukaan tanah kembali.
"Jangan lari kau, Jahanaaaaaammm....!
Hiiiiiaaaat....!" Lanangseta bersalto di udara, dan mengibaskan kakinya bagai
sedang menendang sebuah bo-
la. Raden Klowor ketakutan, namun dia sempat melom-
pat pula dan bersalto ke depan, sehingga tendangan
kaki Lanangseta tidak mampu mengenainya.
"Klowor....! Berhenti, dan kau harus berhadapan denganku, Penyakit!"
"Guru, jangan marah padaku. Aku tadi hanya ber-
canda dan memang sengaja menggodamu. Maafkan
aku, Guru!"
Lanangseta berdiri tegak, kedua kakinya merenggang
tegak, sedangkan Raden Klowor terengah-engah dalam
ketakutan, sekalipun ia harus berhadapan dengan La-
nangseta. "Kenapa..." Kenapa Guru marah sekali" Bukankah aku hanya menguntit Guru dan
bercanda ala kadar-nya..."!"
Mulut pendekar tampan itu terkatup rapat. Terlihat
giginya menggeletuk, dan serta merta ia mencabut pe-
dang pusakanya Wisa Kobra, yang disebut pula Pedang
Semerah Darah. Ini sudah bukan main-main lagi.
Raden Klowor membelalakkan mata, memandang
takjub pada warna pedang yang berpijar merah, bagai
besi membara. Terang, namun mengerikan. Bulu kuduk
Raden Klowor pun merinding. Ia mundur beberapa
langkah dan tergagap-gagap.
"Guru, jangan bercanda terlalu ngeri! Apa maksud Guru mencabut pedang pusaka
Wisa Kobra?"
Dalam hati Lanangseta heran, dari mana Raden Klo-
wor itu tahu nama pedang pusakanya, padahal seingat-
nya ia belum pernah menyebutkan nama pedangnya:
Wisa Kobra. "Kalau kau bisa berbuat kejam, sebagai Utusan
Lembah Kubur, maka aku pun bisa bertindak kejam,
sebagai Malaikat Pedang Sakti!"
"Guru menuduhku ngawur! Norak!" Raden Klowor kebingungan, karena Lanang bergerak
maju pelan-pelan, dan ia bergerak mundur dengan perlahan-lahan.
"Aku bukan utusan dari Lembah Kubur. Wah, Guru sok pintar...!"
"Tutup bacotmu! Mari, hadapi aku secara kesatria!"
"Guru kasar! Masa' mulut dikatakan bacot!"
"Hiiiiaaaatt...!"
Pedang menebas, seperti kilatan cahaya merah me-
layang di atas kepala Raden Klowor yang merunduk.
Andai tidak merunduk, Raden Klowor akan terpenggal
kepalanya. Sedangkan baru terkena angin tebasannya
saja, ia sudah sempoyongan dan tersungkur beberapa
saat kemudian. Sepertinya ada benda berat yang meng-
hantam pelipis Raden Klowor.
Sadar akan kesungguhan Lanangseta yang ingin
membunuhnya, Raden Klowor segera melesat ke atas
dengan menggunakan dagunya sebagai pengganti kaki
yang menjejak tanah. Begitu tubuhnya melayang, ia segera bersalto dan mendarat
di tanah dengan sigap. Lanangseta pun jadi terbelalak kaget. Ia terhenyak bagai
tak bisa bergerak. Matanya memandang lebar pada tangan kanan Raden Klowor. Di
tangan kanan itu tampak
sebuah benda panjang digenggam Raden Klowor. Benda
itu tak lain dari: Cambuk Naga!
Tangan Lanangseta sedikit gemetar melihat cambuk
naga siap dilecutkan. Bukan lantaran ia takut, namun ia sebenarnya menaruh
hormat yang tinggi kepada
cambuk tersebut. Bukan pula semata-mata cambuknya
yang dihormati, tetapi pemilik awal cambuk itu yang
disegani. Sekar Pamikat! Seorang kekasih yang rela
menjadi orang suci di Goa Malaikat, dan menjadi penja-ga tetap goa keramat itu.
Cambuk Naga, merupakan
pusaka yang sama ampuhnya dengan Pedang Wisa Ko-
bra yang ada dalam genggaman Lanangseta. Kedua pu-
saka itu, seakan sejodoh yang saling bahu membahu
dalam setiap pertempuran. Dulu, Ludiro yang diserahi tugas sebagai pemegang
cambuk tersebut. Sekarang
sudah diserahkan kembali kepada Lanang. Dan Lanang
menganggapnya pusaka itu adalah pengganti sukma
seorang gadis yang dulu pernah amat dicintai, sebelum ia mendapatkan Kirana.
"Guru...." kata Klowor dengan mulut mucu-mucu.
"Kalau Guru memaksa saya, maka terpaksa saya menggunakan cambuk yang Guru
berikan kepada saya ini."
Membelalak lagi mata Lanangseta mendengar uca-
pan Raden Klowor, seakan anak muda itu pandai mem-
buat lawannya termangu-mangu oleh kata demi kata
yang meluncur dari mulutnya.
"Kapan..." Kapan aku menyerahkan cambuk itu, Biadab"!"
"Dalam mimpi siangku, ketika sebelum segalanya
menjadi kacau dan balau...!" jawab Raden Klowor dengan senyum kemenangan yang
memanaskan hati La-
nangseta. Geram sekali Lanang, seakan ia diledek tidak tang-
gung-tanggung. Maka, segera ia melompat seperti singa menerkam, dengan pedang
terayun dari samping ke depan. "Weeesss...!" Raden Klowor bersalto mundur dalam
satu kali lompatan. Lalu, jurus cambuknya melecut
dengan gerakan tangan menghentak ke udara, sedang-
kan tangannya yang kosong direntangkan dalam posisi
kaki merendah sedikit.
"Tarrr...!"
Cambuk itu melecut di udara, memercikkan nyala
api merah pada ujung cambuk yang sebenarnya berse-
rat lembut dan halus itu. Ujung lecutan yang kedua tepat mengenai pedang
Lanangseta yang saat itu hendak
ditusukkan ke arah Raden Klowor. Maka, akibatnya,
terjadilah ledakan yang mengguncangkan bumi.
"Blaaar...!"
Keduanya sama-sama terpental, delapan langkah da-
ri masing-masing tempat berdiri semula. Lanangseta
terguling-guling karena terpelanting, Raden Klowor
mengaduh kesakitan akibat pinggangnya beradu den-
gan tonjolan tanah pohon sebesar genggaman manusia
dewasa. Kepala Lanangseta dikibaskan, karena ia merasa
pusing mendengar ledakan tadi sambil terlempar dan
berguling-guling. Ia berdiri dengan sempoyongan. Ke-
mudian mengatur pernafasannya dengan gerakan ke-
dua tangan memegangi pedang, dari sisi kanan bergerak kokoh ke depan dada.
Pedang Wisa Kobra berdiri tegak bagai membelah wajah. Kemudian, pedang itu
segera digerakkan dengan lamban ke samping, merapat den-
gan dada kiri, tetapi kedua tangan Lanangseta masing-masing sama-sama memegangi
gagang pedang. Raden Klowor menggenggam tangkai cambuk yang
lentur tapi kenyal. Ujung cambuknya pun dipegang
dengan satu tangan itu, sehingga bentuk cambuk men-
jadi melingkar seperti tali untuk menggantung seseo-
rang. Keadaannya sama dengan Lanangseta, terengah-
engah dan sedikit keliyengan.
"Kurasa pertarungan ini tak perlu diteruskan, Guru.
Nanti di antara kita ada yang mati!"
Lanangseta menjawab dengan suara datar, penuh
kemarahan yang terpendam.
"Itu keinginanku. Kau atau aku yang mati."
Raden Klowor mengernyitkan dahi. Katanya kemu-
dian: "Apakah Guru marah karena saya ke mana-mana
membawa cambuk ini" Ah, seharusnya tidak perlu begi-
tu, Guru. Karena, aku hanya mengikuti perintah Guru
kepadaku melalui mimpi siang itu: Ambil Cambuk Naga,
dan genggamlah ke mana ia pergi. Pusaka itu telah
menjadi milikmu. Begitu kata Guru waktu itu, bukan"!"
"Aku tidak pernah bicara sebodoh itu, Setan!"
"Ah, Guru ini seorang pelupa, barangkali. Guru yang bicara sendiri, setelah
Putri Ayu Sekar Pamikat membi-sikkan kata kepada Guru."
Merinding Lanangseta mendengar nama Sekar Pami-
kat disebutkan oleh anak ingusan seperti Raden Klowor itu. "Jaga bicaramu,
Iblis! Sebentar lagi kau pasti mati kalau kau menyebutkan nama itu sembarangan,
ta-hu"!"
"Guru terlalu berbeda dengan impianku. Guru selalu ramah dan lemah lembut, punya
ketegasan yang mengagumkan jika bicara lewat mimpiku. Tetapi, jika di luar
mimpi, Guru seolah-olah memusuhiku mati-matian.
padahal, di dalam impianku, aku pun sudah bersum-
pah, bahwa aku akan selalu melindungi Guru sekeluar-
ga, setia mengabdi kepada Guru dan keluarga, serta
siap menerima pelajaran apa saja, perintah apa saja, dari Guru maupun dari Bibi
Guru. Sumpahku itu dis-aksikan Pendekar Agung Jaka Bego, dan Putri Ayu Se-
kar Pamikat, yang suci dalam keberadaannya."
Ada sentuhan lembut yang mengusap hati Lanangse-
ta begitu mendengar ucapan Raden Klowor. Namun, se-
bagian pikirannya membantah, mungkinkah seorang
Utusan Lembah Kubur akan selalu berbicara seperti
itu" Mungkinkah setiap Utusan Lembah Kubur mem-
punyai jurus pengucap kata yang mampu melunakkan
hati lawannya"
"Apapun yang kau katakan, Klowor...!" kata Lanang dengan ketegasan tersendiri.
"Aku tetap harus membunuhmu, dan menyatakan perang kepada setiap Utusan
Lembah Kubur seperti kau. Tahu..."!"
"Sekali lagi sebaiknya kutegaskan, Guru. Aku bukan
Utusan Lembah Kubur! Justru, Putri Ayu Sekar Pami-


Pendekar Cambuk Naga 13 Utusan Lembah Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kat di alam mimpiku memberikan tugas kepadaku, un-
tuk membantu Guru dalam menumpas habis setan-
setan Lembah Kubur!"
Lanangseta menggeram mendengar Raden Klowor
mengelak tuduhan. Lalu, dengan penuh kemarahan
yang tertahan, Lanang pun berkata:
"Lantas kau kemanakan istriku" Di mana dia"! Setelah kau buat rumahku porak
poranda, lalu istriku kau bawa kabur untuk dibedah perutnya dan diambil
bayinya. Begitu, bukan?"
Tahu-tahu, Raden Klowor yang berambut lebat tapi
tidak gondrong itu berkata dalam sela tawanya yang ge-li. "O, oh.... Sekarang
aku tahu masalahnya....!" Ia menggulung cambuk sedemikian rupa sehingga bisa
diselipkan di pinggang belakang, seperti tadi.
"Di mana dia sekarang, atau kubunuh kau dari si-ni"!"
"Guru, aku tahu sekarang, kenapa Guru begitu berang terhadapku. Rupanya ada
kesalahpahaman di an-
tara kita! Dan, kesalahpahaman ini harus kita pahami bersama-sama, Guru. Aku
tidak mau mati di tangan
Guru kalau hanya sekedar salah paham."
"Jangan mengulur waktu, Biadab! Aku sudah tidak tahan untuk segera membunuhmu,
tahu"!" bentak Lanangseta.
"Aku juga sudah tidak tahan ingin melarikan diri, Guru. Tapi, dengarlah dulu
penjelasanku, setelah itu terserah kepada Guru, jalan apa yang terbaik yang
harus Guru lakukan...."
Lanangseta sedikit mengendurkan ketegangannya.
Pedang Wisa Kobra yang berpijar merah membara itu
sudah tidak lagi berdiri tegak dengan dipegang dua tangan di depan dada kiri,
melainkan sudah teracung ke
bawah dan digenggam oleh satu tangan.
"Guru..." kata Raden Klowor memberanikan diri melangkah, dan mendekat.
"Dua orang Utusan Lembah Kubur datang ke bukit
Bulan ketika Guru pergi. Mereka bermaksud melukai
Bibi, ingin membedah perutnya dan mengambil bayi da-
lam kandungan. Tetapi, saya dan Bibi bertahan. Kedua orang bercakar setan itu
hampir merobek punggung Bi-bi, kalau saja saya tidak segera menggunakan jurus
Tebar Besi, dan...."
"Itu jurus milikku"! Kau bisa menguasai jurus Tebar Besi juga...?"
"Kan, Guru sendiri yang menurunkan ilmu itu pada-ku lewat mimpi...! Lupa juga,
ya?" "Ahh....!" Kesal hati Lanang jika mendengar mimpi dijadikan alasan. "Teruskan
ceritamu...!"
"Singkatnya cerita, saya dan Bibi Guru sama-sama berhasil mengusir kedua Utusan
dari Lembah Kubur.
Bibi dan saya selamat, tanpa luka. Rumah berantakan, tak jadi soal. Tapi, satu
hal yang membuat saya bingung,.... Bibi merasa sakit perut, dan... dan beliau
ingin melahirkan. Saya benar-benar panik, juga kebingungan, karena saya seumur-
umur belum pernah melahirkan.
Sumpah! Dan... karena tak tahan melihat Bibi kesakitan, mules perutnya, maka
saya bertekad membawa Bi-
bi keluar, turun dari Bukit Bulan, mencari pertolongan.
Sampai akhirnya, kami menemukan rumah dukun bayi,
dan... dan... Bibi melahirkan bayinya dengan selamat, tanpa kurang satu
apapun...!"
"Anakku...! Anakku... lahir sudah" Sudah lahir..."!"
Lanangseta membelalak dalam keharuan. Ia mendekati
Klowor. "Hati-hati kau bicara! Jangan menipuku, Klowor. Kalau kau sampai menipuku, maka
akan kurobek mulut-
mu dengan pedang ini pelan-pelan, tahu?"
"Saya akan membantu merobeknya, Guru...." jawab Raden Klowor dengan senyum
ketenangan. Nafas Lanangseta memburu, antara bangga, haru
dan penasaran terhadap penjelasan Raden Klowor.
"Benar, anakku sudah lahir"!" katanya pelan.
"Benar, Guru...! Lelaki!"
"Lelaki..."!" pekik Lanangseta kegirangan.
"Lelaki yang tampan dan... tulang-tulangnya kelihatan kekar, seperti tulang
pendekar, Guru...!"
"Benar..."!" Semakin bersemangat dan berapi-api Lanang menanggapinya.
"Guru, sekarang marilah kita menemui Bibi di rumah dukun bayi itu. Bibi ingin
sekali bertemu dengan Guru.
Ia berada tak jauh dari tempat ini, dan tugas saya adalah mencari dan membawa
Guru untuk diserahkan ke-
pada Bibi dan bayi mungil yang sehat itu. Mari,
Guru....!"
Langit sore bagai cerah, menaburkan sejuta bunga di
padang kebahagiaan. Nafas Lanangseta menjadi
plong...! Segar dan lega. Bahkan, Lanang merasa tu-
buhnya sedang melayang-layang dalam satu kegembi-
raan yang belum pernah dialami selama hidupnya itu.
Ia tak mau berpikir, bagaimana kalau ternyata itu adalah tipuan Raden Klowor. Ia
juga tak mau membayang-
kan, bagaimana kalau ternyata ia masuk dalam perang-
kap Utusan dari Lembah Kubur. Tidak! Semua tidak
mau dibayangkan. Kegembiraan dan soraknya hati san-
gat mencengkeram jiwanya, sehingga dengan langkah
ringan Lanang mengikuti ke mana Raden Klowor pergi.
Namun, tiba-tiba Lanangseta menahan tangan Ra-
den Klowor, sehingga langkah kaki Raden Klowor pun
terhenti. "Kenapa, Guru"!" Raden Klowor memandang heran kepada Lanangseta. Tetapi, yang
dipandang masih ter-paku di tempat. Matanya terbelalak, tertegun meman-
dang sebuah pohon. Mulutnya ternganga dan dadanya
berdebar-debar.
"Guru.... kenapa begini" Ada apa"!" Klowor menampakkan keheranannya.
"Klowor..." Suara Lanang datar, seperti orang mela-mun.
"Ya, Guru...?" Klowor menjawab dengan sopan.
"Itu pohon apa, Klowor?"
"Pohon randu, Guru."
"Apakah ada pohon kapuk randu sebesar itu?"
"Nyatanya ada, Guru. Memangnya kenapa?"
"Jika kau melihat ada pohon randu sebesar itu, apa yang ingin kau katakan
terhadap pohon itu?"
Raden Klowor diam sebentar, heran sekali. Tapi, un-
tuk memuaskan hati Lanangseta, ia pun menjawab:
"Pohon randu kok sebesar gajah begitu. Pantasnya pohon randu itu dinamakan Randu
Gajah, Guru."
Semakin tegang wajah Lanangseta. Ia pun meman-
dang Raden Klowor dengan mata terbuka lebar, mirip
orang kesetanan. Klowor jadi takut sendiri melihat wajah seram begitu.
"Kau menjebakku, Klowor...! Kau menjebakku!"
"Menjebak bagaimana, Guru" Ah, jangan membin-
gungkan saya, Guru. Kasihanilah saya yang sudah ser-
ing dibuat bingung oleh sikap Guru selama ini."
Lanang terngiang kata-kata Rukmini ketika memberi
keterangan tentang arah Lembah Kubur. Berjalan terus ke Selatan, sampai
menjumpai pohon Randu Gajah, lalu membelok ke arah Timur dan sekarang..."
Sekarang Randu Gajah sudah ada di depan Lanangseta. Ini berar-ti sudah dekat dengan
wilayah Lembah Kubur. Tak
aneh lagi, jika ia punya dugaan; masuk dalam jebakan Raden Klowor, yang masih
diduga sebagai salah satu
Utusan Lembah Kubur dalam penyamarannya. Karena
itu, Lanangseta pun menggeram lagi.
"Guru, jangan memandangku demikian. Saya takut
sekali melihat wajah Guru yang simpang siur begitu."
"Klowor....!" Suara Lanang menggeram. Ia siap memegang gagang pedang yang
bertengger di punggung.
"Kau akan mati sebelum aku masuk ke dalam jeba-
kanmu!" Dengan keheranan yang menimbulkan rasa takut,
Raden Klowor mencoba menjelaskan, walau dengan ter-
gagap-gagap: "Saya ingin membawa Guru ke rumah dukun bayi
itu. Saya ingin menunjukkan bayi lelaki Guru yang kecil-kecil sudah perkasa,
berkulit merah bagai tembaga membara, Guru!"
Lanangseta menggeleng-geleng, seperti robot keku-
rangan oli. Lalu, suaranya yang datar terdengar.
"Kau pasti akan membawaku ke Lembah Kubur, bu-
kan?" "Ke Lembah Kubur" Ah, ngaco saja Guru ini kalau bicara. Saya mana tahu arah dan
letak Lembah Kubur,
Guru?" "Baik. Sekarang aku ingin tahu, setelah dari sini, kita akan pergi ke arah
mana..."!" Sebab Lanangseta ingat kata-kata Rukmini, bahwa Lembah Kubur ada di
sebelah Timur dari Randu Gajah. Sedangkan di sebelah ba-
ratnya adalah desa Truyan, yaitu sebuah desa yang tak pernah dijamah oleh
kekejaman orang-orang Lembah
Kubur. Dengan hati berdebar, Lanangseta menunggu
jawaban dari Klowor.
"Guru, dari sini kita akan membelok ke sana, ke arah Barat. Sebab di sanalah
rumah dukun bayi yang kami
temukan dalam usaha pelarian kami tempo hari,
Guru...." Lanangseta menghempaskan nafas lega. Seperti be-
bas dari himpitan barang berat.
"Desa Truyan namanya?"
"Benar. Desa Truyan, Guru. Nah, mari kita ke sana!"
Dengan senyum ceria penuh kelegaan, Lanang me-
rangkul Raden Klowor dan melangkah bersama.
"Tumben Guru baik kepada saya...." kata Raden Klowor.
Menyadari kata-kata itu dapat menghilangkan kewi-
bawaannya, Lanangseta buru-buru melepaskan rangku-
lan tangannya, kemudian ia berjalan sendiri dengan tegap. Gagah dan tampak
keperkasaannya.
Desa itu tidak terlalu padat penduduknya. Jarak dari rumah ke rumah cukup
renggang. Namun, kelihatan-nya dalam keadaan damai, tentram dan rakyatnya ra-
mah tamah. Sudah beberapa kali Lanangseta mendapat
anggukan dari penduduk setempat, anggukan bersama
senyum, sebagai sapaan menghormat di antara sesama
manusia. Padahal mereka dan Lanang belum kenal, te-
tapi sapaan menghormat tetap saja berlaku di desa
Truyan itu. Alangkah bangganya Lanang memasuki de-
sa tersebut, yang konon, menurut keterangan Rukmini, desa itu adalah desa tempat
kelahiran penguasa Lembah Kubur yang amat kejam; Barong Dewa.
"Itu rumahnya....! Nah, dengar...! Ada suara tangis bayi, kan..."!"
Lanangseta mempercepat langkah, karena telinganya
segera mendengar tangis bayi yang mendebarkan hati.
Ketika ia dipersilakan masuk oleh Mak Upil, dukun bayi itu, maka hatinya benar-
benar bersorak dan jantungnya semakin berdegup cepat. Matanya berbinar-binar
memandang seorang perempuan yang duduk di balai-balai, hendak menyusui bayinya.
Lanang segera berseru:
"Yaaaang..."!"
"Oh, kau datang juga, Lanang...!" Kirana menitikkan air mata ketika Lanang
segera memeluknya dan mencium kening dan pipinya. Cahaya kegembiraan, lapisan
bening kebahagiaan, menyelimuti mereka berdua, berti-
ga dengan bayi yang berhenti dari tangisnya, kendati belum disusui.
"Aku cemaskan keadaanmu, Lanang."
"Yang, aku tidak kekurangan apa-apa. Justru aku yang amat tegang memikirkan
kamu. Apalagi ketika aku temukan rumah kita berantakan, ooooh... hatiku
sepertinya sudah pecah. Kau tidak ada, rumah berantakan
dan... Cambuk Naga pun tidak ada di tempatnya. Aku
hampir saja bunuh diri. Untung aku takut mati,
Yang...." Kirana mendesakkan wajah ke bahu Lanang dengan
titik air matanya masih membasah. Air mata kebaha-
giaan. Kemudian, dengan lembut ia bicara kepada
bayinya: "Bapakmu datang, Le...! Lihat, itu yang namanya Pendekar Pusar Bumi, atau
Malaikat Pedang Sakit....
Pandanglah dia... pandanglah perwiramu itu...."
Lanang semakin terharu. Mata bayi itu belum bisa
melihat, namun gerak-gerak bola mata yang tertutup
kelopak tampak sedang memperhatikan bapaknya. La-
nangseta sungguh iba kepada bayi itu dan istrinya.
"Maafkan aku, aku tidak bisa menunggui saat kau melahirkan, Yang."
Kirana hanya tersenyum sambil menggeleng.
"Tak apa. Raden Klowor telah menunjukkan pengabdian dan kesetiaannya kepadaku.
Ia yang menyela-
matkan aku dari goresan kuku yang hendak membelah
kulit dagingku."
Lanang menghela nafas. Ada rasa sesal yang dalam,
karena ia telah memperlakukan Raden Klowor sebagai
musuh, ternyata justru sebagai pelayan yang setia.
"Klowor....!" panggil Lanang, maksudnya mau minta maaf. Tetapi anak muda itu
tidak ada. Menghilang begitu saja. Hanya saja menurut keterangan Mak Upil,
Klowor tadi pamit mau pergi ke Lembah Kubur, setelah ia
tahu dari Mak Upil, di mana letak Lembah Kubur. Wah
gawat! Ia terlalu nekad!
*** 6 "Hati-hati, Lanang...." ujar Kirana ketika Lanang berpamitan hendak menyusul
Raden Klowor ke Lembah
Kubur. Lanang sudah menjelaskan, siapa orang-orang
di Lembah Kubur dan apa yang dicari oleh mereka, se-
hingga ketika Lanang berpamitan ke Lembah Kubur, Ki-
rana merestui. Ia juga berkata kepada suaminya, "Aku belum bisa ikut membantumu.
Aku habis melahirkan
begini...."
"O, ya. Dan, andai kau nekad mau ikut, aku nekat tidak jadi berangkat," kata
Lanang seraya mempermainkan jari tangan anak lakinya.
"Aku hanya bisa berdoa dan menyertaimu dari sini.
Jangan lupa namaku...." bisik Kirana.
Lanangseta mengerti. Ia mengangguk, kemudian se-
gera pergi ke Lembah Kubur. Waktu itu hari semakin
sore. Tetapi cahaya bulan bersinar, seperti lampu neon yang sudah menyala
menjelang maghrib.
Gerakan Lanang cukup gesit. Cepat dan penuh tena-
ga. Ia harus menyusul Raden Klowor sebelum anak itu
sampai ke Lembah Kubur. Sebab, bagaimanapun juga
jengkelnya Lanang kepada Raden Klowor yang mampu
mengikuti jurus-jurusnya, tetapi Lanang berhutang bu-di, karena Raden Klowor
ternyata memang benar me-
nyelamatkan nyawa Kirana dan bayinya. Kirana sendiri yang bercerita banyak
tentang Raden Klowor dengan se-genap keanehan mimpinya.
Beberapa saat setelah Lanang melesat menuju ke
arah Timur dari Randu Gajah, ia berhenti sebentar. Ada
suara yang didengarnya di suatu arah. Letaknya sedikit jauh, tapi ada suara
orang berseru tak jelas. Sepertinya sedang bertarung dengan sengit.
Oh, ternyata memang terjadi pertarungan sengit satu


Pendekar Cambuk Naga 13 Utusan Lembah Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawan dua. Lanangseta segera turun tangan, karena ia tahu, satu orang yang
dilawan dua orang itu adalah Raden Klowor. Mulanya, Lanang hanya diam, memperha-
tikan jurus-jurus yang digunakan Klowor dalam berta-
rung melawan dua orang berkepala botak semua itu.
Sempat pula Lanang terkesima memandang gerak dan
jurus Raden Klowor yang dulu hanya ada pada dirinya, yaitu jurus pukulan Kilang
Baja dan tendangan Kobra
Jantan. Sungguh aneh, dan sangat mengherankan ka-
lau sekarang jurus itu dikuasai oleh Raden Klowor. Padahal, hanya Lanangseta dan
saudara kembarnya:
Ekayana saja yang mempunyai jurus peninggalan lelu-
hur mereka itu. Kapan Lanangseta mengajarkannya ke-
pada Klowor, itu yang tak bisa dimengerti. Pasti kalau Klowor ditanya, jawabnya
adalah mimpi. Lanang bosan
mendengar jawaban seperti itu.
"Gila...! Tendangannya malah sudah sempurna! Ah, jangan-jangan dia pernah
mencuri pandang waktu aku
bertempur di suatu tempat menggunakan jurus-jurus
itu?" pikir Lanang sebelum turun tangan.
Salah seorang lawan Raden Klowor menebaskan go-
lok besar yang melengkung bagai perahu. Tetapi, den-
gan ringan dan lincah, Raden Klowor mengelak, me-
lengkungkan badan ke belakang, lalu kakinya melentik ke depan, dan orang itu
mendelik karena lehernya sempat terkena ujung kaki Klowor.
Lanang tersenyum bangga, sebab kalau saja ia men-
jadi Raden Klowor, ia juga akan berbuat demikian da-
lam keadaan seperti itu.
Seorang lawan yang lain, yang bersenjatakan tombak
berujung garpu di kedua ujungnya, juga terbeliak sakit
ketika ia menghunjamkan tombaknya, tetapi oleh Klo-
wor dihindari dengan satu lompatan manis. Ketika me-
lompat itulah kaki Klowor menendang dengan jurus
tendangan samping. Lehernya dihantam kaki kanan
Klowor dengan telak.
Hanya saja, ketika lawan yang menggunakan golok
lengkung itu membuang senjatanya, kemudian mema-
sang kuda-kuda seperti yang pernah dilakukan Sargono kepada Lanang, saat itu
Lanang jadi cemas. Pasti ia
akan menggunakan jurus cakar mautnya. Dan, Raden
Klowor dapat terluka jika tidak siap betul menerima jurus yang cukup tangguh
itu. Itulah sebabnya, Lanang lalu segera melompat dari
tempat persembunyiannya. Ia bersalto tiga kali di uda-ra, dan begitu mendarat,
sempat membuat Klowor ter-
kejut. "Oh, kau, Guru..."!"
"Hati-hati, mereka punya jurus maut melalui cakaran kukunya...."
"Itu sudah ada dalam gagasan saya, Guru...! Istira-hatlah di sana. Ada batu enak
untuk diduduki. Dan biarkan kedua orang ini kuhadapi. Mereka jelas orang-
orang Utusan Lembah Kubur...."
"Jangan sombong, lihat ke depan... kau sudah terancam tombaknya!"
"Hiaaat...!"
Benar, tombak yang kedua ujungnya berbentuk gar-
pu tiga mata itu melesat ke arah dada Raden Klowor.
Dengan cepat Raden Klowor memiringkan badan ke ka-
nan, tombak itu molos, tapi hampir saja mengenai pundak Lanangseta. Untung
Lanang segera meletik ke atas dan bersalto ke samping, kakinya tepat jatuh di
belakang lawan yang telah tidak bersenjata golok itu.
Ternyata, orang tersebut telah menggunakan ilmu
cakar mautnya, di mana ketika ia menyilangkan kedua
tangan di depan wajah, gemetaran sebentar, lalu keluarlah kuku-kuku tajam dari
semua jari-jemarinya.
Orang itu matanya menjadi merah, seperti membara.
Ia mengibaskan tangannya ke belakang, sasarannya
adalah dada Lanangseta. Tetapi, sebelum kuku-kuku
tajam seperti pisau bedah itu menggores dada Lanang-
seta, tangan Lanang telah bergerak cepat menangkis-
nya. Kemudian tangan itu mengeluarkan asap kuning,
dan orang tersebut menjerit kesakitan. Kulit lengannya yang beradu dengan tangan
Lanang menjadi melepuh,
seperti terbakar. Biru kehitam-hitaman.
"Bangsaaaaat...! Kubunuh semua keluargamu, Ba-
biiii....!" Geram orang itu mengancam Lanangseta,
"Hiaaaaaaaaat....!"
Tendangan orang itu begitu cepat, antara kaki kanan
dan kaki kiri bergantian dan sukar ditangkis. Satu-
satunya jalan, harus dihindari. Tetapi, Lanang agak terlambat, sebab salah satu
dari tendangan itu telah berhasil menghentak di dada Lanang.
"Huuuggh...!"
"Kubeset kau, Kunyuk! Heeeeaaah....!"
Sekelebat gerakan tangan mencakar terlihat dari atas kepala Lanang ke bawah.
Tepat di depan muka. Kalau
saja Lanang tidak segera berguling ke tanah dan me-
nendang selangkangan orang itu dengan kuat, wah...
habis sudah wajah Lanang yang ganteng itu terkena besetan kuku tajam. Sekarang,
orang itu justru mem-
bungkuk kesakitan sambil memegangi 'rudalnya' yang
terasa mau pecah karena disodok kaki Lanang dengan
kuat. "Uuuh.... Bangkai busuuuuk...!" erangnya kesakitan.
Kesempatan itu digunakan Lanang untuk memper-
cepat pertarungan. Dengan menggerakkan tangan ka-
nan dan tangan kiri dalam putaran tiga kali, tahu-tahu kedua tangan Lanang itu
menghentak dari dua sisi, ka-
nan dan kiri, menjepit dalam satu sentakan keras kepa-la orang tersebut.
Terdengar suara; "Praaakk...!" Kedua tangan Lanangseta itu bagai sepasang
lempengan baja yang dipakai menjepit buah kelapa muda.
Tentu saja orang itu enggan menjerit, sebab jantung-
nya terhenyak, nafasnya sukar dikendalikan, kepalanya pecah dan berhamburan
darah ke mana-mana. Mendelik pun ia tak sanggup. Matanya menjadi redup, sayu. Ia
hanya sanggup jatuh bergedebug, seperti nangka bu-suk. Menggelepar tanpa
disuruh, dan kejang-kejang seperti kambing dipotong. Kemudian, kejangan dan
gele- paran itu berhenti. Mungkin capek, tapi ternyata berhenti untuk selama-lamanya.
Modar! Saat itu, terlihat oleh Lanang, bahwa Raden Klowor
masih mampu bertahan tidak menggunakan senjata
Cambuk Naga yang terselip di pinggang belakang.
"Percepat kematiannya, Klowor...! Jangan main lompat-lompatan melulu. Banyak
urusan lain!" seru Lanangseta.
Sambil menghindari tebasan tombak garpu, Klowor
menjawab. "Baik, Guru...!"
Kemudian, kaki Raden Klowor seperti kuda. Tangan-
nya menapak di tanah dan pantatnya nungging, sambil
demikian kaki keduanya menjejak ke belakang! Ten-
dangan ala kuda birahi itu tepat mengenai perut dan
ulu hati lawan, sehingga orang itu terpental ke belakang dengan mata mendelik.
Dalam hati Lanangseta menggumam kagum. "Gila...!
Ia juga menguasai jurus Turangga Sujud..."!"
Tiba-tiba, gerakan Klowor begitu mengejutkan. Ia
menggunakan jurus Lindung Bumi. "Bleeesss...!" Ia bagai ditelan bumi. Dan itu
sangat membingungkan la-
wan. Ketika pada saat clingak-clinguk kehilangan Raden Klowor, tahu-tahu dari
arah belakangnya tanah me-
nyembur ke atas, bersamaan dengan itu melesatlah tu-
buh Raden Klowor, dan menjejak tengkuk kepala lawan
dengan keras. Jejakan itu terjadi dua kali dengan cepat, sehingga lawan tak
sempat terpekik sebentar pun, kecuali nafasnya terhempas dalam satu sedakan.
"Haaaagh...!"
Kemudian, darah kental pun menyembur dari mulut
orang itu. Ia hendak jatuh, namun senjatanya segera
dipakai untuk menopang dirinya. Raden Klowor tidak
sabar, ia segera melompat ke depan lawannya, menen-
dang dengan kaki kiri dan membuat senjata tombak be-
rujung garpu itu miring ke dalam, lalu kaki kanannya terangkat, dari atas
dihentakkan ke bawah, tepat mengenai kepala orang itu lagi. Dan, senjata itu pun
segera menancap di dada pemiliknya, karena tubuh tersebut
bagai dihempaskan dari atas dan disambut oleh kerun-
cingan tombaknya.
"Jruuuubb...!"
Memang tidak tembus sampai ke punggung, namun
tiga mata garpu tajam itu mampu menancap tepat di
jantung dan paru-parunya. Darah menyembur dari lu-
ka, seperti curahan tempayan bocor.
Raden Klowor tampak girang, bangga, dan ia berte-
puk tangan sendiri setelah berhasil mengalahkan la-
wannya. Lanangseta segera menepak punggung Raden
Klowor: "Hei, sudah....! Begitu saja tepuk tangan sendiri...!"
"Dia mati! Dia mati, Guru!" Raden Klowor tampak girang dan bersemangat kendati
sudah berhenti bertepuk tangan.
"Kau bangga sekali, ya?"
"Ya. Saya bangga, Guru. Sebab, seumur hidup baru kali ini saya bisa membunuh
lawan yang berat dengan
ilmu-ilmu pemberian Guru. Wah, ilmu yang hebat itu,
Guru. Dapat dari mana" Ah, saya tetap mau menyerap
ilmu yang banyak dari Guru, ah....! Sabar ya, Guru.
Nanti semua ilmu juga akan mampu diturunkan kepada
saya. Yihuuuuuiii...!" Ia melonjak kegirangan.
Sebenarnya Lanang ingin menanyakan; dari mana
jurus Turangga Sujud itu diperolehnya. Sebenarnya ju-ga Lanang akan membantah
bahwa ia tak pernah men-
gajarkan satu jurus pun kepada Raden Klowor. Tetapi, rasa-rasanya percakapan itu
akan menjadi percakapan
yang sia-sia. Percuma, sebab ujung-ujungnya akan
kembali ke mimpi. Memang aneh anak muda itu. Miste-
rius sekali, dan... menjengkelkan juga. Oleh sebab itu, Lanang segera
mengalihkan pembicaraan ke masalah
Lembah Kubur. "Kita terus menuju ke pusat, ke sarang mereka, Klowor!"
"Mari. Saya sudah tidak tahan lagi, ingin segera membasmi setan-setan Lembah
Kubur." "Kau tahu tempatnya?"
"Saya melihat orang-orang ini keluar dari arah sana, dekat sebuah sungai
kering." "Bagus. Kalau begitu kita harus segera ke sana. Kurasa mereka berdua itu dalam
perjalanan tugas mencari mangsa ke desa lain."
"Kurasa juga begitu, Guru. Yang penting, kita selidiki dulu, bagaimana suasana
di sarang mereka, dan berapa kekuatan mereka."
"Kalau soal kekuatan mereka, hanya ada sembilan anak buah Barong Dewa."
"Sembilan" Dari mana Guru tahu?"
"Rukmini, anak Lurah Kedungrejo yang menje-
laskannya kepadaku," jawab Lanang seraya melangkah.
"Kok dia tahu, Guru?"
"Dia pernah punya kekasih orang Lembah Kubur,
dan mati dibantai oleh kawan sendiri. Itu terjadi, karena pemuda yang mencintai
Rukmini membuka rahasia ke-
pada Rukmini, dan mungkin ada yang mendengarnya."
"Oooo..."!" Raden Klowor manggut-manggut. Tubuhnya yang kurus melambai-lambai
waktu berjalan.
"Kalau mereka ada sembilan, maka sekarang pasti tinggal tujuh orang, ya Guru"
Kan yang dua sudah kita gilas!"
"Masih ada enam," potong Lanangseta. "Sebab, ketika aku pergi dari bukit Bulan,
ada satu orang dari mereka yang berhasil kubunuh di depan penduduk...!"
"Ssssst...! Ada dua orang lagi mendekat kemari, Guru...." bisik Raden Klowor.
Segera mereka berdua merunduk di balik pepohonan semak.
"Tampaknya mereka juga orang-orang Lembah Ku-
bur." "Benar," bisik Lanangseta.
"Tetapi, yang satu orang itu aku mengenalnya," Lanang menyambung kata-katanya
setelah diam beberapa
lama. "Ya, aku juga mengenalnya, Guru. Dia itu kan...
Bayan Putung, ya?"
"Ya. Bayan Putung yang katanya punya anak dibe-
dah oleh utusan Lembah Kubur...!"
"Lho, kok Guru tahu?"
"Karena dialah orang yang pertama kali kutuju, ketika aku pergi dari bukit
Bulan," jawab Lanangseta sambil matanya mengawasi gerakan orang bertubuh pendek
gemuk itu. "Bukankah Bayan Putung adalah salah satu korban keganasan orang-orang Lembah
Kubur" Anaknya sendiri yang sedang hamil berhasil dibedah perutnya oleh Utusan
dari Lembah Kubur. Lantas, kira-kira dia ada
keperluan apa datang ke mari, ya Guru?"
"Hemm...." Lanang menggumam. "Tidak mustahil kalau dia ternyata adalah bagian
dari orang-orang Lembah Kubur."
"Ah, masa' dia tega memangsa anaknya sendiri. Itu kan sama saja dia menculik
cucunya dari dalam kandungan sang ibu. Apa tega dia berbuat begitu, Guru?"
"Sesuatu yang menarik dari Barong Dewa, mampu
membuat hati orang lupa daratan. Mungkin saja iming-
iming sebuah ilmu kesaktian yang dahsyat, yang akan
diberikan kepada mereka apabila mereka mampu men-
carikan sekian banyak bayi untuk kesaktian sang Pen-
guasa Lembah Kubur, bisa saja Bayan Putung lantas
tega kepada anaknya dan cucunya sendiri. Barangkali
juga ada janji untuk diberikan ilmu untuk mencari kekayaan, seperti babi ngepet
atau yang lainnya."
"Ck, ck, ck... tega nian mereka, ya?"
"Sssst...! Sudah diam. Untuk kekayaan memang
orang dapat saja beralih menjadi kejam. Yang penting, sekarang kita hadapi saja
dia, rampungkan keduanya
dengan cepat, baru Kita menyusup ke sarang mereka.
Kukira sudah tidak jauh lagi dari sini."
"Baik, Guru. Biarlah mereka saya hadapi sendiri...."
Lanangseta tidak menjawab, karena Raden Klowor
segera melompat dan bersalto, tahu-tahu berdiri menghadang langkah kedua orang
itu. Bayan Putung terperanjat kaget, namun lebih kaget
lagi temannya yang nyaris kejatuhan tubuh Raden Klo-
wor. "Siapa kau, Iblis"!"
Raden Klowor tertawa pendek. "O, ho... ada iblis teriak iblis...." Kedua orang
itu menggeram dengan kesal.
Mata mereka memandang nanar. Buas!
"Bayan Putung...." kata Raden Klowor. "Anakmu menjadi korbanmu sendiri, ya" Dan
cucumu..." Ah, kasihan sekali kalau punya kakek yang tega mengorban-
kan cucunya sendiri demi suatu tujuan!"
"Persetan dengan kau! Dia bukan anak kandungku!


Pendekar Cambuk Naga 13 Utusan Lembah Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia cuma anak angkatku! Minggir, atau kubunuh kau,
Gembel Sinting"!"
Lanangseta hanya menggumam dalam hati dari balik
persembunyiannya. Agaknya Raden Klowor di kenal
orang sebagai Gembel Sinting, dan... mungkin juga
anak itu memang sinting. Ah, soal itu tak perlu dipikirkan dulu, menurut Lanang.
Yang penting ia memantau
keberanian Raden Klowor yang dianggap berani tanpa
perhitungan karena sinting.
"Apa maksudmu menghadang kami, hah"!" gertak orang berbaju hijau teman Bayan
Putung. "Apa urusanmu bertanya begitu, hah?" Lagak Raden Klowor mulai tengil. Ia yakin,
ilmunya akan mampu
menandingi ilmu mereka. "Aku tahu, kalian mau mencari mangsa bayi lagi, ya" Wah,
sekarang sudah susah, Mas! Sekarang tiap urusan dari Lembah Kubur yang
hendak mencari bayi, harus melalui mayatku dulu. Ka-
lau tidak, yah... terpaksa sampean-sampean sendiri
yang jadi mayat. Suka tidak suka, harus suka jadi
mayat...?" Klowor menyeringai tengil. Ia tolak pinggang dengan kaki terayun-
ayun, njot-njotan. Ini sangat memanaskan orang berbaju hijau berikat kepala
merah. "Hajar saja dia!" geram Bayan Putung.
"Heaaahhh..!" Orang berbaju Hijau melesat, dengan kedua tangan menebas ke kanan
kiri. Klowor hanya
mundur satu langkah, lalu dengan cepat menggerakkan
kakinya, melayang setengah melingkar, dan tepat kena di rahang orang itu.
Orang berbaju hijau belum waktunya tua itu sempat
mengeloyor dan menggeragap hendak jatuh. Ia agaknya
punya ilmu yang pas-pasan. Jangan-jangan murid baru
di Lembah Kubur itu. Ah, tidak perduli! Yang penting, Raden Klowor harus
mengalahkan mereka berdua. Harus cepat, singkat dan tepat. Itu harapan gurunya;
si Pendekar Pusar Bumi.
Maka, tanpa sungkan-sungkan lagi, Raden Klowor
menggunakan jurus mautnya, berupa tendangan Kobra
Jantan. Salah satu kakinya naik ke atas, tidak turun-turun, seakan sedang
mempermainkan wajah orang
berbaju hijau yang bergerak-gerak siap menghindari
tendangan. Tahu-tahu, kaki itu bergerak ke kiri, yang ditendang menghindar ke
kanan, tapi ternyata kaki tersebut segera menghentak dari kiri ke kanan kepala
lawan. "Plook...!"
Lawan limbung, hampir jatuh ke kanan, tetapi segera
di sambut oleh satu lompatan kaki kiri, dan kaki itu sendiri langsung
menyongsong kepala yang hendak rubuh ke kanan.
"Proook...!"
"Ooouuuh...!" Sekali lagi kaki Raden Klowor bergerak dari depan dadanya lurus ke
depan jauh. "Ngekk...!"
Leher jadi sasaran, sehingga orang berbaju hijau itu mendelik seperti menelan
sendok atau centong nasi.
Dan, akhirnya pukulan telak berkekuatan tinggi me-
nyempurnakan serangan Raden Klowor. Dada lawan di-
hantam kuat-kuat hingga baju hijaunya mengeluarkan
asap Terbakar. Dan, tentu saja orang tersebut segera terkulai sambil mendelik,
kemudian rubuh tanpa disuruh.
Melihat kecepatan gerakan dan ketangkasan Raden
Klowor, Bayan Putung segera menggunakan jurus sim-
panannya. Ia merenggangkan kaki, menyilangkan ke-
dua tangannya di wajah, kemudian badannya gemeta-
ran sebentar, dan... dari ujung tiap jarinya muncul ku-ku-kuku panjang yang
tajam. Seperti pisau yang habis diasah.
"Hooaaaaooww...!" Bayan Putung menggeram. Kuku-kukunya mulai bergerak perlahan,
membentang ke ka-
nan kiri dan siap menyabet ke depan. Tetapi, kakinya dulu yang bergerak
menendang Klowor. Oleh Klowor
kaki itu dihindari, namun ia berputar ketika melompat dengan kibasan keras
menampar dagu. Bayan Putung terlempar kepalanya membentur batu
dengan keras. Darah mengalir, namun ia tidak mati. Ia justru melakukan gerakan
aneh. Tangannya terbuka lebar, kemudian kedua tangan itu menepuk tanah tiga
kali. "Buk, buk, buk...!" Tepukan yang ketiga, tangan masih tetap menempel pada
tanah. Bergetar kuat. Lalu, tanah tempat kedua telapak tangannya menempel itu
menjadi merah bagai membara. Klowor tidak bergerak,
karena terkesima memandang keanehan ilmu tersebut.
Tak lama kemudian, sesuatu yang amat ajaib terjadi
mencengangkan Klowor maupun Lanangseta dari per-
sembunyiannya. Sebab tak berapa jauh dari belakang
Bayan Putung, tanah di sana menjadi merekah. Bumi
bergetar bagai ada gunung yang hendak meletus. Geta-
rannya makin lama semakin kuat dan sangat mengeri-
kan. Setelah itu disusul dengan kemunculan sosok ma-
nusia bertubuh tinggi, besar, menyerupai sebuah pohon dengan kulitnya yang
berlumut dan bersisik. Manusia
itu lengkap seperti halnya manusia biasa, hanya be-
danya, tubuhnya lebih besar dan lebih tinggi. Raksasa dalam ujud manusia biasa.
Tidak ada keanehan lain
pada dirinya kecuali pada kulit dan keadaan tubuhnya.
Setelah kemunculan manusia berlendir, muncul lagi
empat manusia biasa yang juga berada dari tanah yang retak dan membentuk semacam
jurang. Empat manusia
bertampang kaku, dingin dan angker itu maju di depan kanan kiri manusia raksasa
berlendir. Lanangseta mulai berdiri dari tempat persembu-
nyiannya. "O, ini ujudnya Barong Dewa...."! Pasti dia, si raksasa itulah yang suka memakan
bayi dari dalam kandun-
gan!" "Grrrr...!" Barong Dewa mengerang dengan menyeringai. Giginya tampak besar-
besar, menyerupai kam-
pak kayu yang tajam-tajam. Ia bersuara gemuruh, se-
perti guruh. "Maju, seraaaaaang...!"
Keempat orang itu segera sama-sama melompat me-
nyerang Raden Klowor. Tetapi, Klowor lari menjauh, karena ada rasa takut
menghadapi raksasa berlendir itu.
"Gunakan Cambuk Naga...!" teriak Lanangseta kepada Klowor dari tempat
persembunyiannya.
"Tar...! Tar...!" Dua kali Cambuk Naga segera melecut di udara. Lecutan pertama
tidak mengenai sasaran, tetapi lecutan kedua singgah di punggung Bayan Putung,
sehingga punggung tersebut terpotong menjadi dua bagian tanpa mengenal ampun
lagi. Keempat orang penye-
rang lainnya masih berusaha menyerang Raden Klowor.
Mereka mulai mengepung Raden Klowor. Tetapi, dengan
kecepatan luar biasa, Raden Klowor memutarkan Cam-
buk Naga di udara. Bunyi ledakan berulang kali terdengar, dan tubuh keempat
lawannya yang mengepungnya
itu menjadi berantakan dihajar Cambuk Naga. Tubuh
mereka tak ada yang utuh dalam waktu singkat. Ada
yang kehilangan kepala, ada yang dadanya pecah, ada
yang perutnya terbelah, ada juga yang pundaknya terpi-sah dari bagian tubuh
lainnya, sehingga dalam satu ge-brakan, Cambuk itu telah menewaskan lawan dengan
mudah. Lanangseta terbengong dari tempatnya. Ia menggu-
mam: "Gila...! Sinting sekali bocah itu! Jurus Cambuk Naga andalan Sekar Pamikat bisa
ada padanya" Dikuasai la-gi! Dari mana ia peroleh jurus-jurus maut Cambuk Na-
ga itu?" Kali ini, Lanangseta terhenyak ketika semburan api
keluar dari mulut Barong Dewa. Rambutnya yang kem-
pal dan panjang itu mengibas menimbulkan angin be-
sar. Angin itu bagai menambah berkobarnya api yang
disemburkan dari mulut. Nyaris tubuh Raden Klowor
terbakar hangus, jika ia tidak segera berguling-guling ke tanah menghindari
semburan api. Cambuk Naga dilecutkan dalam keadaan terbaring.
"Taaar...!" Kaki Barong Dewa terkena ujung cambuk, dan kaki itu pun mulai
somplak. Seperti sebongkah ba-tu yang gompal sebagian besar. Barong Dewa
menjerit dengan keras: "Hoaaaaahhhh...!"
Tiga buah pohon rubuh seketika itu karena getaran
yang keluar dari mulut Barong Dewa dan hembusan
angin dari teriakannya itu. Sekali lagi, Raden Klowor hanya melompat ke samping
dan berguling-guling lagi
menghindari rubuhan pohon yang nyaris menimpanya.
"Hajar terus kakinya...!" teriak Lanangseta dari tempatnya. Ia belum mau
bergerak untuk turut campur da-
lam pertarungan yang sebenarnya tidak seimbang itu.
Kali ini, kaki Barong Dewa melangkah beberapa kali
dan menimbulkan getaran hebat pada permukaan ta-
nah. Suara langkah kakinya pun berdentum-dentum
bagai irama bedug raksasa. Ia mendekati Raden Klowor dan hendak menginjaknya.
"Gerakkan jurus Cambuk Kelabang Murka...!" teriak Lanangseta yang sengaja ingin
melihat keuletan Raden Klowor. Ia sadar, bahwa ia belum pernah mengajarkan
jurus itu, tapi ia mencoba, siapa tahu Klowor mengerti maksudnya.
Eh, ternyata Klowor benar-benar bisa menggunakan
jurus Cambuk Kelabang Murka. Ia mengibas-ngibaskan
cambuknya ke atas, ke udara seperti ia mempermain-
kan tali biasa. Tetapi, dalam setiap kibasan timbul ledakan-ledakan yang
memancarkan api. Ujung cambuk
mengenai selangkangan Barong Dewa, sehingga sema-
kin menjeritlah raksasa berlendir itu. Sebagian paha dan sekitarnya rusak,
gompal dan mengucurkan darah
amiiiiisss... sekali. Lanangseta hampir saja muntah ketika itu. Untung ia sama
dengan Klowor; mampu mena-
han diri untuk tidak muntah.
Gerakan Cambuk Kelabang Murka semakin ganas,
disertai dengan bangkitnya Klowor dan melompatnya
tubuh itu. Pada saat tubuh Klowor melompat, cambuk
tersebut masih bergerak seperti bendera tertiup angin.
Namun, ada tenaga inti yang tersalur dan menimbulkan ledakan maut yang
senantiasa mengenai dan melukai
tubuh lawan. Barong Dewa meliuk-liuk hampir jatuh,
karena dadanya gompal terkena jurus Cambuk Kela-
bang Murka. Lalu, dalam keadaan yang kritis itulah,
Klowor menggunakan jurus lain, mengibaskan cam-
buknya dan "Blaaaarr...!" Kepala Barong Dewa hancur berkeping-keping, lalu rubuh
dengan meninggalkan getaran yang cukup mengerikan. Tanah yang dipakai un-
tuk rubuh itu ambles beberapa meter dalamnya.
Klowor berdiri di ujung sebuah batu, nafas terengah-
engah, cambuk masih tergenggam di tangan. Ia meski
ceking namun mampu berdiri dengan tegak dan kekar.
Lanangseta berdecak kagum. Jurus-jurus Sekar Pami-
kat dan jurusnya sendiri diserap habis oleh Raden Klowor. Mungkinkah ia adalah
sosok Pendekar Cambuk
Naga yang sebenarnya" Lalu, siapakah dia itu" Anak
manusia" Atau anak setan" Atau... anak raja tidur yang selalu mendapat ilmu
lewat mimpinya" Lantas, bagaimana hubungannya dengan Jaka Bego, Dewa Seribu
Mimpi itu"
TAMAT Scan by Clickers
Juru Edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
*** 2 *** 3 *** 5 *** 6 TAMAT Pedang Kayu Harum 10 Istana Tanpa Bayangan Karya Efenan Pendekar Pedang Pelangi 6
^