Pencarian

Prahara Rimba Buangan 2

Pendekar Hina Kelana 21 Prahara Rimba Buangan Bagian 2


diarahkan pada bagian kepala si pemuda. Masih un-
tung dalam keadaan sangat kerepotan seperti itu,
Buang sempat menyadari adanya bahaya yang men-
gancamnya dari bagian atas. Seketika itu juga, pemu-
da ini segera robah jurus silatnya dari jurus
'Membendung Gelombang Menimba Samudra' kepada
jurus "Si Gila Mengamuk'. Total permainan silat si pemuda berubah, namun tetap
saja bagian lengannya
tersambar pedang di tangan Suroso.
"Sreet...!"
"Aughk...!"
Pendekar Hina Kelana mengeluh pendek, namun
hal itu tidak mengurangi gerakan tubuhnya yang bagai seorang pemabukan. Sungguh
pun setelah merobah
jurus-jurus silatnya pemuda ini mampu mengelakkan
setiap serangan, bahkan dengan menggeser kaki dan
dalam keadaan terhuyung-huyung itu dia mampu
mengkelit tusukan pedang maupun babatan senjata
lainnya. Namun hal itu tak pernah merobah keadaan.
Karena saat itu si pemuda menyadari tak perlu turun
tangan kejam untuk menundukkan mereka-mereka
yang sedang salah paham itu, maka sering terlihat di pihak si pemuda selalu
berada dalam posisi terdesak.
Namun bagi pihak lawan mana mau tahu dengan apa
yang sedang terjadi atas diri si pemuda. Dari setiap serangan-serangan yang
dapat dikandaskan oleh si pe-
muda, bukan membuat mereka menyadari bahwa pi-
hak lawannya masih memberi angin pada mereka. Wa-
laupun memang keempat orang itu juga merupakan
kaum persilatan yang sudah memiliki kepandaian
tinggi. Bahkan permainan jurus-jurus pedang, toya
maupun golok mereka juga cukup tinggi.
Sebaliknya dengan kemarahan yang me-luap-
luap, keempat lawannya mulai mengerahkan jurus-
jurus simpanannya yang paling ampuh. Keadaan yang
sangat membahayakan ini tentu membuat Buang se-
makin terjepit. Dia pun tak ingin hanya karena meng-
harap pengertian dari keempat orang itu, tubuhnya
menjadi korban keganasan senjata di tangan mereka.
Fikirannya pun bekerja cepat, lalu dia memutuskan
untuk mempergunakan jurus Koreng Seribu untuk
memberi sebuah kesadaran pada lawan-lawannya. Ak-
hirnya setelah mengerahkan tenaga dalamnya untuk
melindungi diri dari tebasan senjata lawan, maka pe-
muda itu pun menyalurkan sebagian tenaga dalamnya
ke arah kedua belah tangannya. Dengan sikap pasrah,
Buang Sengketa menyongsong datangnya serangan
senjata itu. "Traaak! Creep...!"
Begitu senjata di tangan lawannya menghantam
tubuh Pendekar Hina Kelana, maka senjata-senjata itu langsung melekat sedemikian
erat. Kethu Dadap, Kali
Gundil, Bungkring dan Suroso tampak berusaha me-
narik senjata mereka yang melekat erat di tangan la-
wannya. Wajah masing-masing lawan membayangkan
rasa takut yang teramat sangat, tapi rasa keterkejutan lebih menguasai diri
mereka. Adegan tarik menarik
pun terus berlanjut, masing-masing lawan tubuh
maupun pakaiannya sudah bersimbah keringat. Cela-
kanya semakin banyak mereka mengeluarkan tenaga
untuk menyentakkan senjata-senjata yang melekat itu, semakin terasa tubuh mereka
menjadi lunglai tidak
bertenaga. "Ilmu gila...!" pekik Kali Gundil yang sepanjang hidupnya belum pernah
menghadapi lawan yang memiliki ilmu kepandaian seperti yang dimiliki oleh si
pemuda. Pendekar Hina Kelana hanya memperlihatkan
sesungging seringai menggidikkan. Namun beberapa
saat kemudian dengan disertai satu jeritan melengk-
ing. Pemuda keturunan raja di negeri alam gaib itu
menyentakkan tangannya ke atas.
"Wuaaaa...!"
Bagai ranting-ranting kering ditiup angin, tubuh
keempat orang itu terpelanting roboh. Mereka memang
merasakan tubuhnya terasa lemah tiada bertenaga,
namun demi menjaga harga diri, orang-orang itu pun
segera bangkit kembali.
"Jangan kalian tunggu sampai habis kesabaran-
ku! Pergilah, mereka sesungguhnya merupakan orang-
orang yang patut kalian kasihani. Bukan dibantai se-
perti ini!" kata pemuda itu berwibawa.
"Tidak...! Walaupun kau memiliki kepandaian se-
perti dewa, jangan kira kami akan menyerah begitu sa-ja. Kau coba-coba
melindungi biangnya penyakit, maka kami berkesimpulan bahwa kau juga merupakan
orang-orang yang patut dicurigai...!" maki Kethu Dadap dengan sinar mata
memancarkan dendam. Memerah
wajah pendekar ini seketika, telinganya terasa panas mendengar tuduhan yang
tidak beralasan itu.
"Baik! Kalau kalian masih tetap pada pendirian
kalian, lakukanlah! Tapi aku minta supaya kalian bicarakan dulu pada adipati!"
ucap si pemuda.
*** 7 "Huh...! Membunuh kunyuk-kunyuk penyebar si-
al seperti kalian tak perlu harus meminta persetujuan adipati. Bahkan adipati
akan merasa sangat berterima kasih sekali andai kami telah berhasil membunuh
beberapa orang yang mencurigakan seperti kalian ini...!"
dengus Suroso tetap ngotot dengan pendiriannya.
"Ah... kiranya kalian bertindak bukan berdasar-
kan atas petunjuk adipati. Kalian telah menjadi manusia-manusia keparat pembabi
buta! Mustahil sekali
Adipati Gupta yang bijaksana itu dapat membiarkan
kalian bertindak semau-maunya tanpa bukti-bukti
yang kuat...!"
"Jangan kau bawa-bawa nama adipati, kau tak
layak menyebutnya...!"
"Tak pantas..." Hanya kalian saja yang berkata
begitu. Sang adipati itu baik sekali, hanya kalian saja-lah yang terlalu
egois...!"
"Diammm...!" bentak Kali Gundil semakin panas saja hatinya. "Menyingkirlah kau
kunyuk pembawa periuk. Kami akan memusnahkan sarang manusia-
manusia cacat itu!"
"Kalau itulah keinginan kalian, maka langkahi
dulu mayatku...!" tukas Pendekar Hina Kelana dengan sorot mata menggidikkan.
"Bocah keras kepala, kami akan mengadu jiwa
denganmu..."!" teriak Bungkring, dan kejab kemudian dia telah menghantamkan
toyanya mengarah pada bagian bahu si pemuda. Sadarlah Buang Sengketa, kini
tiada gunanya memberi peringatan apa pun pada me-
reka. Tiada pilihan lain lagi, terkecuali menempur mereka sampai titik darah
penghabisan. "Hemm! Kalau itulah keinginan kalian, berarti
aku lebih menghargai jiwa orang-orang cacat di sini.
Kau dan kembrat-kembratmu (kawan-kawan), memang
pantas untuk mendapat ganjaran yang setimpal dari-
ku...!" "Hiyaaaa...!"
"Nguung.... Nguuung...!"
Hanya dalam waktu sesaat saja pertarungan sen-
git pun terjadi kembali, kalau mulanya Buang Sengke-
ta dalam bertindak masih memperhitungkan jiwa
orang lain, tapi kali ini semua itu lenyap dalam inga-tannya. Apa yang sedang
bergejolak di dalam dadanya
adalah unsur siluman yang diwariskan oleh ayah kan-
dungnya, Raja Ular Piton Utara dari negeri alam gaib.
Tak dapat disangkal lagi, dalam detik-detik selan-
jutnya wajah pemuda itu berubah kelam membesi, se-
pasang matanya tampak memerah saga, sementara da-
ri celah-celah bibirnya memperdengarkan bunyi men-
desis bagai seekor ular piton yang sedang dilanda kemarahan. Sejurus kemudian
pihak lawan-lawannya te-
lah pula melancarkan pukulan-pukulan mautnya. Su-
roso, saat itu telah bersiap-siap dengan pukulan 'Dewa Mabok Mengejar Peri'
sedangkan Bungkring dan Kathu
Dadap saudara seperguruan yang memiliki pukulan
yang sama telah pula mengerahkan pukulan 'Malaikat
Seribu Muka'. Orang terakhir yang juga mengerahkan
pukulan mautnya adalah Kali Gundil. Laki-laki tua
renta itu mengerahkan pula pukulan 'Dewa Renta
Memburu Perawan Ting-Ting'.
Terkesiaplah Pendekar Hina Kelana dibuatnya,
tapi dia juga tidak kehabisan akal untuk menghadapi
pukulan maut yang datangnya secara bersamaan itu.
Dengan menyertakan ilmu 'Lengkingan Pemenggal
Roh', pendekar berwajah sangat tampan ini mele-
paskan pukulan tingkat tertinggi yang dimilikinya. Tak ayal, pukulan si "Hina
Kelana Merana' pun dia per-
siapkan. "Wuuuss...!"
"Heiiik...!"
Sambil melepaskan pukulan 'Si Hina Kelana Me-
rana' yang memancarkan cahaya merah berkilauan itu,
ilmu Lengkingan Pemenggal Roh turut menyertainya.
Pukulan pamungkas yang dilepaskan si pemuda terpe-
cah menuju keempat penjuru mata angin. Sungguh
pun pukulan itu menjadi tak sehebat andai dilepaskan secara utuh tetapi
lengkingan ilmu Pemenggal Roh,
memang terasa banyak membantu. Terbukti kosentrasi
lawan menjadi terganggu sehingga tak dapat melaku-
kan pukulan susulan lagi.
"Buuuuummm...!"
Bumi bagai dilanda selaksa gempa. Perkampun-
gan orang-orang cacat menjadi porak poranda. Semen-
tara pohon-pohon yang berada di sekitar tempat itu
tampak bertumbangan, pasir dan debu mengepul ke
udara, membubung tinggi dan membuat suasana di
sekitarnya menjadi samar-samar. Mayat-mayat kaum
cacat yang tergeletak di sekitar pertempuran berpelan-tingan ke segala penjuru.
Sementara tubuh lawan-
lawan si pemuda tercampak entah ke mana. Dengan
susah payah pemuda itu berusaha membebaskan diri
dari kungkungan tanah yang menjepit tubuhnya. Ru-
panya saat pukulan sakti mereka saling bertenturan
tadi, tubuh pemuda itu melesak ke dalam tanah sam-
pai sebatas pinggang. Dengan masih memegangi ba-
gian dadanya yang terasa bagai remuk pemuda itu ak-
hirnya dapat keluar dari himpitan tanah tadi. Tapi kemudian dia terbatuk-batuk,
sesaat setelah itu mengge-logoklah darah kental dari dalam mulutnya.
"Tuan penolong! Tidak apa-apakah kau...!" ucap sebuah suara, secara tiba-tiba
telah mengurut bagian dada pemuda itu. Dengan pandangan masih berku-
nang-kunang, Buang Sengketa menoleh. Dan terlihat-
lah olehnya bahwa orang yang sedang melakukan per-
tolongan itu, si Kakek Buta Tanpa Nama. Buang ge-
leng-gelengkan kepalanya. Sungguh pun dadanya tera-
sa mau pecah, walaupun kepalanya bagai remuk. Na-
mun begitu melihat lawan-lawannya telah mengurung
dirinya dan telah siap pula melancarkan pukulan
mautnya. Pemuda itu lalu memberi perintah pada si
Kakek Buta Tanpa Nama:
"Kakek! Menyingkirlah...! Manusia-manusia ber-
hati iblis itu nampaknya memang benar-benar men-
ginginkan jiwaku...!" Menggeram suara si pemuda bagai banteng yang terluka. Tapi
di luar dugaan Kakek
Tanpa Nama gelengkan kepala berulang-ulang.
"Tidak... kau telah pertaruhkan jiwamu, hanya
demi membela nyawaku yang sudah tiada harganya
itu. Agar iblis yang mengaku sebagai kaum yang lurus ini puas, biarlah nyawaku
sebagai tebusannya..." jawab Kakek Tanpa Nama begitu tegas.
"Bagus! Kalian berdua memang pantas untuk
mati secara bersama-sama." tukas Kathu Dadap sinis.
"Kakek Tanpa Nama... kuperingatkan padamu,
cepat-cepatlah menyingkir. Biar kuhadapi orang-orang sinting ini seorang
diri...!" teriak Pendekar Hina Kelana merasa sangat gusar. Tampaknya Kakek Tanpa
Nama menyadari bahwa dirinya tak mungkin membantah
keinginan si pemuda. Maka dengan sekali berkelebat,
lenyaplah kakek itu dari arena pertarungan.
"Wuuus...!"
"Blaaar...!"
Pukulan yang dilakukan dengan mempergunakan
kelengahan Pendekar Hina Kelana, memang sama se-
kali di luar dugaan pemuda ini. Tak ayal lagi tubuhnya pun terbanting keras
beberapa tombak ke belakang.
"Hoeeekgh...!"
Semakin bertambah banyaklah darah kental yang
menggelogok dari mulut si pemuda. Tubuhnya terasa
panas bagai terbakar. Dengan bersusah payah dia be-
rusaha bangkit kembali.
"Keparaaaat...!"
Maki si pemuda, serta merta dia cabut senjata
yang terselip di bagian pinggangnya. Begitu senjata itu tergenggam di tangannya,
maka terasa ada aliran han-gat menjalar di sekujur tubuhnya hingga menyebab-
kan rasa sakit itu pun sedikit berkurang. Sebaliknya mereka yang hadir di situ
secara tiba-tiba merasakan hawa dingin luar biasa. Dan mereka lebih terkejut
lagi begitu melihat senjata yang tergenggam di tangan pemuda itu memancarkan
sinar merah menyala.
"Kepalang basah, majulah kalian semuanya!
Sampai di sini aku benar-benar tak bisa mengampuni
jiwa kalian...!" desis pemuda itu. Walaupun hati mereka kini diliputi oleh rasa
ragu, namun semuanya su-
dah terlambat. Bahkan Kali Gundil sendiri yang selama ini
hanya mendengar tentang adanya seorang tokoh yang
berjuluk si Hina Kelana, hanya mampu berharap, se-
moga pemuda yang sedang mereka hadapi itu bukan-
lah Pendekar Golok Buntung. Tak perduli dia sudah
melihat bahwa kini pemuda itu sudah menggenggam
Pusaka Golok Buntung di tangannya.
"Heaaa... heaaa...!"
Mempergunakan senjata dan pukulan-pukulan
mautnya, keempat orang itu secara serentak maju me-
nyerang. Golok di tangan Buang Sengketa menggaung


Pendekar Hina Kelana 21 Prahara Rimba Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperdengarkan suara puluhan ekor harimau terlu-
ka. Angin akibat sambaran golok itu menyambar-
nyambar dan membuat ngilu tulang belulang lawan-
lawannya. Satu kesempatan dengan disertai jeritan tinggi
melengking tubuh pemuda itu tampak berkelebat le-
nyap. Jurus 'Si Jadah Terbuang' telah menyebabkan
gerakan senjata maupun tubuhnya hanya kelihatan
bagai bayang-bayang saja. Hal itu membuat lawan-
lawannya menjadi bingung dan merasa kesulitan un-
tuk melakukan serangan.
"Ihh...!"
Kali Gundil berseru kaget saat mana merasakan
adanya sambaran angin di belakangnya. Dia berkelit,
tubuhnya hampir saja menabrak si Bungkring yang
berada di samping kirinya. Laksana kilat, satu kelebatan bayangan merah
menyambar. "Creess.... Creees...!"
"Wuaaghrk... arggghkt...!"
Terdengar dua kali jeritan berturut-turut. Kali
Gundil dan Bungkring tampak mendekap bagian pe-
rutnya yang terobek besar. Darah terus merembas
membasahi bagian tangan yang mereka pergunakan
untuk mendekap bagian luka tadi. Namun tetap saja
aliran darah tak dapat dicegah. Dengan mata melotot, tubuh kedua orang itu
kemudian ambruk tanpa sempat berkelojotan lagi.
Pucat pasi wajah Suroso dan Kethu Dadap demi
melihat apa yang dialami oleh kawan-kawannya. Tiba-
tiba seramnya kematian membayangi jiwa mereka. Ba-
gaimana pun mereka sadar pemuda itu bukanlah la-
wan sembarangan. Bahkan rupa kematian pun mereka
tak berani membayangkannya. Mana lagi masih bujan-
gan dan belum pernah merasakan bagaimana enaknya
sebuah perkawinan dan hidup serumah dengan seo-
rang perempuan. Secara tak terduga mereka mengam-
bil keputusan yang sama. Kabur! Itulah. Namun ki-
ranya pemuda itu dapat membaca gelagat. Maka den-
gan geram dia berseru:
"Kalian baru boleh kabur, setelah meninggalkan
sebelah tangan masing-masing...!" Buang Sengketa kembali memburu, dalam keadaan
jiwa tak menentu,
lawannya menjadi gugup. Golok Buntung di tangan
pemuda dengan telak menyambar ke bagian bahu Su-
roso dan Kethu Dadap.
"Jraaas.... Creeess...!"
"Auuu.... sakiit..,!" teriak Suroso dan Kethu Dadap sambil berusaha meninggalkan
tempat itu. "So... tanganmu tidak kau ambil...!" jerit Kethu Dadap, sambil terus berlari dia
berusaha menotok jalan darah untuk mencegah agar darahnya tidak ba-
nyak yang keluar.
"Masa bodoh...! Kehilangan sebelah tangan tidak berarti apa-apa daripada harus
kehilangan nyawa...!"
balas Suroso, terbirit-birit. Tak lama kemudian Suroso dan Kethu Dadap telah
lenyap pula dari pandangan si
pemuda. "Kakek Tanpa Nama... uruslah jenazah orang-
orangmu...!" kata pemuda itu beberapa saat setelah itu.
"Aku akan mengurusnya, Pendekar...! Dan kuu-
capkan banyak terima kasih padamu." kata Kakek
Tanpa Nama. Namun tiada sahutan, karena sesung-
guhnya Pendekar Hina Kelana telah bergegas pergi
meninggalkan tempat itu.
*** 8 Merambah hutan rimba, bagi orang-orang keper-
cayaan Adipati Gupta bukanlah satu hal yang baru.
Namun menginjakkan kaki di Rimba Buangan baru
kali inilah mereka lakukan. Namun Ranggas dan Mar-
gono serta kaum persilatan golongan putih lainnya ju-ga termasuk Karsa yang
tergabung dalam regu pe-
numpasan penyebar Racun Pembasmi Iblis, untuk kali
ini diliputi oleh rasa was-was yang teramat sangat. Bagaimana tidak, waktu
pertama kali mereka menam-
batkan kuda-kuda di pinggiran Rimba Buangan, mere-
ka menemukan mayat Lawuk Ambara tergeletak dalam
keadaan membusuk. Ternyata setelah diperiksa sana
sini, tak terdapat adanya luka ataupun bekas pukulan beracun lainnya. Wajah
Lawuk Ambara yaitu orang-orang utusan kadipaten dan termasuk orang upahan
itu tampak menggembung kebiru-biruan, sepasang
mata melotot, sementara kedua tangannya mendekap
erat pada bagian leher. Melihat mulutnya yang berbusa dan menebarkan bau busuk.
Rasa-rasanya kematian
Lawuk Ambara tak jauh beda dengan yang dialami
oleh para penduduk yang terserang wabah.
Kemudian ketika mereka melangkah dan mene-
lusuri hutan agak lebih ke dalam lagi, maka rombon-
gan Ranggas dan Margono menemukan pula mayat
Giling Wesi dengan keadaan tidak begitu berbeda den-
gan apa yang dialami oleh Lawuk Ambara. Orang baya-
ran dari 'Puncak Sinar Akherat' itu juga tewas dengan keadaan mata melotot.
Sedangkan di bagian tangannya
masih tergenggam seruling maut yaitu yang merupa-
kan sebuah senjata andalan milik Giling Wesi. Namun
Margo, Ranggas, Karsa serta beberapa orang lainnya
yang turut serta dalam rombongan itu sedikit terperanjat begitu melihat tangan
kiri Giling Wesi. Margono
langsung mendekat, lalu berjongkok dan memeriksa
bagian tangan Giling Wesi. Tetapi benda yang berada dalam genggaman tangan
Giling Wesi terasa sangat sulit untuk diambil karena genggaman jemari yang Su-
dah kaku itu ternyata mencengkeram begitu eratnya.
Barulah setelah dibantu oleh Ranggas dan Karsa
benda yang tergenggam di tangan Giling Wesi dapat diambil.
"Hemmm... tiga buah batu menyerupai untaian
tasbih, apakah benda ini ada hubungannya dengan
penyebar wabah penyakit itu...!" gumam Margono dengan alis mata berkerut. Yang
lainnya langsung saling pandang.
"Kemungkinan hal itu ada hubungannya. Tapi
siapa-siapa sajakah yang tinggal di hutan seperti ini selain para orang-orang
cacat itu...?" tanya Karsa seperti menuduh.
"Kita tak mungkin berprasangka sampai sejauh
itu. Tapi menurut Adipati Gupta, seperti yang pernah dikatakan oleh Pendekar
Hina Kelana yang telah menyelamatkan putrinya. Wabah penyakit misterius itu
sesungguhnya berasal dari seorang tabib yang memili-
ki racun ampun yang diberi nama 'Racun Pembasmi
Iblis'. Di kolong langit ini hanya manusia sesat Ki Sapta Rengga seoranglah yang
memilikinya. Justru begitu aku sendiri merasa heran mengapa Tabib Canda Muka
yang beberapa hari lalu kudapati tewas. Namun saat
mana kami datang kembali ke tempat kediamannya,
mayatnya mendadak raib begitu saja...!"
"Kejadian yang pelik...!" sergah Ranggas merasa pusing sendiri. "Sungguh pun
pemuda yang memiliki julukan Pendekar Hina Kelana itu telah menolong tuan putri.
Tapi entah mengapa justru aku menaruh rasa
curiga padanya. Bukan tak mungkin bahwa wabah pe-
nyakit yang melanda banyak desa itu, dialah yang
menjadi biang keladinya,..!"
"Tidak mungkin...!" bantah Karsa dan dengan terburu-buru langsung geleng-
gelengkan kepalanya.
"Jauh sebelum aku bertemu dengan Pendekar Golok Buntung, aku telah mendengar
tentang sepak terjangnya. Dia seorang tokoh muda yang memiliki kepan-
daian sangat tinggi. Berasal dari golongan lurus dan tak pernah bertindak
setengah-setengah dalam mem-basmi kejahatan...!!" bela laki-laki dari Gunung
Semeru itu tegas.
"Kalaulah benar tapi mengapa dia pergi mening-
galkan rumah kediaman Adipati Gupta begitu saja...?"
"Heh... bagi kalian hal itu memang terasa janggal, karena selama ini kalian
hidup dalam lingkungan tata krama dan peradatan. Tapi tingkah orang-orang
persilatan memang selalu begitu, aneh menurut kita, tetapi biasa bagi mereka
yang sudah mengerti...?"
"Menurut Paman Karsa, mungkinkah saat seka-
rang ini pendekar berperiuk itu juga sedang mencari
biang keladi penyebab malapetaka itu...?" tanya Ranggas berusaha ingin mencari
kepastian. "Kemungkinan itu ada, tapi aku tak dapat me-
mastikan apakah dia sedang berusaha mencari tabib
sesat Ki Sapta Rengga atau tidak! Tokh selamanya dia tak mau terikat dengan
segala macam hal yang berbau
kerja sama...!"
"Sulit juga! Tapi tak mengapa, ada baiknya kalau sekarang kita teruskan saja
perjalanan kita ini menuju perkampungan orang-orang cacat." kata Margono.
Kemudian tanpa berkata-kata lagi delapan orang utusan
Adipati Gupta itu pun kembali melanjutkan perjala-
nannya. *** Sementara itu di sela-sela teriknya cahaya men-
tari tengah hari, tampak sesosok tubuh berpakaian
serba putih dengan sebuah tongkat yang selalu me-
nyertainya kemanapun dia pergi, tengah mendaki Bu-
kit yang terletak di bagian Barat perkampungan kaum
cacat. Sekali dua tongkat di tangannya dia pukul-
pukulkan ke arah bagian depan. Kakek berpakaian
serba putih ini tak lain adalah Kakek Buta Tanpa Na-
ma. Rupanya kejadian yang menimpa para murid-
muridnya membuat kakek ini merasa terpukul. Tak
dapat dibayangkan bahwa pembantaian yang membabi
buta yang telah dilakukan oleh Suroso, Kali Gundil,
Bungkring dan Kethu Dadap telah membangkitkan se-
buah dendam dan kemarahan terhadap biang penye-
bar wabah misterius yang dia tahu telah pula mereng-
gut jiwa orang- orangnya. Sebagian besar orang-orang sengsara yang telah
dikucilkan dari kehidupan ramai
selama puluhan tahun itu, kini telah tewas. Tetapi
yang membuat batinnya terguncang justru kematian
mereka disebabkan oleh segolongan manusia yang
mengaku dirinya sebagai kaum yang lurus dan memi-
liki derajat hidup yang tinggi.
Sungguh hal ini benar-benar tak dapat diterima
oleh akal sehatnya. Dia memang ingin marah, atau
pun melakukan balas dendam, tapi mungkinkah" Atau
pantaskah hal itu untuk dilakukannya" Dia berpikir,
dendam mendendam sesungguhnya tiada guna-nya
dan itu tak perlu dilakukannya. Biarlah mereka meru-
pakan kaum yang tersisihkan dan dikucilkan oleh ma-
syarakat banyak. Asalkan sampai menutup mata me-
reka tak pernah melakukan kejahatan dalam bentuk
apa pun! Membatin Kakek Buta Tanpa Nama. Kini ka-
kek berpakaian putih itu tanpa memperdulikan terik-
nya sang surya yang terasa begitu menyengat terus
mendaki bukit terjal itu. Tekadnya sudah bulat, yaitu ingin mencari tau sumber
bau yang berasal dari atas
bukit yang kini sedang didakinya. Kalau pun nantinya dia menemukan tempat dan
menjadi sumber malapetaka itu, dia telah bertekad untuk memusnahkannya.
Tak perduli apakah di atas bukit itu dihuni oleh binatang buas, jin, setan
apalagi manusia. Kalau perlu dia
akan mengadu jiwa dengan orang itu.
Demikianlah Kakek Tanpa Nama yang sudah ter-
biasa dengan kegelapan itu, sedikit demi sedikit terus merangsak medan yang
sulit dan berbatu terjal. Bukan hal yang mudah bagi si kakek untuk cepat sampai
di tempat yang ditujunya. Berulangkali, tubuhnya terpe-
leset bahkan hampir terpelanting jatuh. Hanya karena mengandalkan ilmu
meringankan tubuh dan memiliki
keseimbangan gerak saja. Kakek Buta Tanpa Nama
sampai sejauh itu masih mampu menghindari anca-
man batu-batu runcing yang terdapat di bawah bukit.
Lewat sepemakan sirih, sampailah kakek itu di atas
bukit. Tenaganya yang sudah terkuras habis, membuat
dirinya langsung ngejeplok di atas rerumputan hijau.
Napas ngos-ngosan bagai habis dikejar-kejar perem-
puan setan muka jelek, sementara matanya yang tiada
dapat melihat, bekerlipan. Sekejap kemudian Kakek
Buta Tanpa Nama sudah mulai memasang indera pen-
dengarannya, yang dalam usia lanjut ini sudah mulai
rada-rada budek.
Lamat-lamat dia mendengar adanya suara lolon-
gan serigala hutan. Mula-mula kakek itu mendengar
lolongan serigala tadi dari berbagai penjuru, tetapi beberapa saat kemudian
suara itu bersumber dari satu
arah. Menyertai hembusan angin dari Barat Laut, ter-
cium pula bau bangkai. Kakek Tanpa Nama segera
menyadari bahwa bau tak sedap itu terkadang sampai
menjarah ke bagian lereng bukit. Dan bau itu pula
yang telah menyebabkan orang-orang cacat tewas se-
cara mengerikan. Cepat-cepat, ketua perkampungan
orang-orang cacat itu menutup pernapasannya. Begitu
pernapasan tertutup, bau menjijikkan itu pun sudah
tak tercium lagi. Namun seberapa lamakah Kakek Buta
Tanpa Nama dapat bertahan seperti itu" Bagaimana
pun saktinya kakek ini, dia tak mungkin terus mene-
rus menutup jalan nafasnya. Pada saat itu tiupan an-
gin dari satu arah terasa semakin bertambah kencang.
Pohon-pohon sebesar paha kerbau berderak patah.
Bahkan andai Kakek Buta Tanpa Nama tidak menge-
rahkan tenaga dalamnya untuk bertahan, sudah pasti
tubuhnya yang sudah renta itu akan terbang tertiup
angin yang datangnya bagai badai topan yang sangat
dahsyat. "Hehhh...!" Menggigil tubuh Kakek Buta Tanpa Nama, "Angin sehebat ini jelas
bukan badai topan biasa. Setidak-tidaknya seorang tokoh sakti yang telah
melakukan pekerjaan gila-gilaan ini...! Tapi siapakah...?" gumam kakek itu
sambil terus bertahan agar tubuhnya tidak ikut terbetot hembusan angin.
"Mahluk Tuna Netra! Turunlah kau dari atas bu-
kit ini... apa yang kau cari-cari itu sesungguhnya bukanlah lawanmu!" Dalam
hembusan angin itu terdengar pula suara gaib yang tiada dikenal oleh kakek bu-
ta. "Siapakah kau... apakah kau penyebar wabah penyakit itu...?" tanya kakek itu
dengan tubuh menggigil. "Bukan! Justru akulah yang menjadi pencegah agar tidak
jatuh banyak korban!" kata suara dalam hembusan angin itu menyahuti.
"Kalau begitu, engkau tahu siapa biang keladi
semua yang telah terjadi...?" tanya si kakek.
"Aku tahu! Tapi aku tak mampu menghentikan
sepak terjangnya...!" jawab suara gaib dalam hembusan angin tadi.


Pendekar Hina Kelana 21 Prahara Rimba Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Coba tolong kau sebutkan manusia-nya...?" pinta Kakek Buta Tanpa Nama.
"Orang itu bernama Ki Sapta Rengga!" jawab si suara gaib.
Alis mata Kakek Buta Tanpa Nama tampak
mengkerut. Dicoba-cobanya untuk mengingat sesuatu,
hingga beberapa saat. Namun tetap saja dia tak bisa
mengingat siapa adanya Ki Sapta Rengga yang disebut-
sebut oleh si suara gaib itu.
"Kau pasti tak mengenalnya, manusia... sudahlah cepat-cepat kau turun dan
tinggalkan bukit ini. Orang itu sebentar lagi akan sampai di depanmu...!" kata
si suara gaib merasa khawatir.
"Tidak! Percuma saja aku menghabiskan sisa-sisa hidupku andai selamanya aku dan
masyarakatku selalu terhina!" Kakek Buta Tanpa Nama membantah.
"Kau memang keras kepala orang tua! Jangan sa-
lahkan aku, karena aku tak mampu melakukan pem-
belaan atas keselamatan dirimu!"
"Pergilah! Saat ini aku tidak memerlukan pembe-
laan siapa pun...!" pinta Kakek Buta Tanpa Nama penuh percaya diri. Seiring
dengan hembusan angin yang sangat kuat, maka suara gaib itu pun tak terdengar
la-gi. Tinggallah pohon-pohon yang berserakan, dan ke-
sunyian yang mencekam. Tapi sunyi itu tidak berlang-
sung lama, karena saat selanjutnya terdengar pula suara lolongan serigala.
Meremang bulu tengkuk Kakek
Buta Tanpa Nama, kala itu Kakek Buta telah membu-
ka jalan pernafasannya. Hingga tak ayal lagi, bau tak sedap pun kembali tercium.
"Jliigkh...!"
Dari kerimbunan pohon sesosok bayangan nam-
pak melayang turun dan mendaratkan kakinya persis
di depan si kakek. Sejenak lamanya sepasang mata
orang itu memandang sinis pada laki-laki tuna netra
ini. Kemudian dia mendengus dan kembangkan se-
sungging senyum yang hanya membuat wajahnya yang
buruk itu semakin bertambah mengerikan.
"Kau orang buta! Ada keperluan apakah sehingga
berani lancang memasuki pekarangan orang lain?" ber-
tanya laki-laki bertampang menyeramkan berpakaian
ungu pada Kakek Buta Tanpa Nama.
"Sering kudengar lolongan anjing kurap, selalu
pula kuendus bau bangkai yang berasal dari bukit ini.
Selama berpuluh-puluh tahun baru beberapa waktu
ini saja aku merasakannya. Sialnya bau bangkai itu
justru bukan membuat kehidupan kaumku dan kaum
orang banyak semakin bertambah makmur! Malah se-
baliknya, pabila bau celaka itu menyebar, maka orang-orangku pada bergelimpangan
menemui ajal...!" berkata Kakek Buta Tanpa Nama setengah menuduh.
"Hehh...! Sekali pun penduduk perkampungan
orang-orang cacat pada mampus semuanya, aku be-
lum puas. Terkecuali bila seluruh penduduk yang be-
rada di bawah perintah Adipati Gupta yang pada
mampus, itulah yang ku ingini."
"Jad... jadi kaulah yang menyebar malapetaka
yang sekarang ini melanda seluruh desa dan perkam-
punganku...!" tanya Kakek Buta Tanpa Nama dengan mata membelalak.
"Tidak salah!" kata laki-laki berpakaian pendeta sambil memutar-mutar tasbih di
tangannya. "Tapi mengapa pula kau pergunakan Rimba
Buangan sebagai markas besarmu...?" sentak Kakek Buta Tanpa Nama, penuh teguran.
*** 9 Laki-laki berpakaian warna ungu itu tergelak-
gelak, kalau di dengarkan dengan seksama sesung-
guhnya suara laki-laki itu tak ubahnya bagai lolongan serigala. Dengan nada
dingin sekali kemudian laki-laki
itu berucap: "Engkau ini selain buta rupanya sangat tolol sekali! Dengan
bersembunyi di Rimba Buangan
ini! Tentu dunia luar akan menyangka kalau semua
sumber malapetaka itu berasal dari kalian...?"
"Dan niatmu itu telah kesampaian...?" tanya Kakek Buta Tanpa Nama sudah
merasakan sangat geram
sekali. "Ya, tapi tidak keseluruhannya! Sebab Adipati
Gupta pada gilirannya harus pula mampus di tangan-
ku, setelah sebelumnya kubuat dia jadi kelabakan...!"
"Keparaaat...! Jadi engkaulah yang disebut-sebut oleh seorang pendekar muda,
sebagai biangnya penyebar Racun Pembasmi Iblis?"
Mendengar disebut-sebutnya 'Racun Pembasmi
Iblis' laki-laki pemegang tasbih yang bernama Ki Sapta Rengga itu tampak
membelalakkan matanya. Sama sekali dia tiada menyangka kalau masih saja ada
orang lain yang mengetahui siapa dirinya. Tapi sebagaimana sifatnya yang sering
berterus terang, maka kali ini di-apun mengakui dengan pasti.
"Tabib Sapta Rengga, namaku! Racun Pembasmi
Iblis hasil ciptaanku! Dan semua orang yang ada di kolong langit ini akan
kujadikan manusia-manusia per-
cobaan dari semua hasil ciptaanku...!"
"Keparat...!" maki Kakek Buta sudah tak mampu lagi membendung amarahnya. "Aku
benar-benar akan mengadu jiwa dengan-mu...!" teriak kakek itu kalap, dan serta
merta dia hantamkan tongkatnya ke depan.
Tapi dengan sangat mudahnya Ki Sapta Rengga meng-
kelit serangan kilat yang dilakukan oleh Kakek Buta
Tanpa Nama. Hanya sambaran angin saja yang terasa
menerpa tubuh Ki Sapta Rengga, sementara tongkat
itu sendiri menerpa tempat yang kosong. Tampak debu
mengepul di udara. Laki-laki pemegang tasbih itu ke-
luarkan suara tawa bergelak-gelak.
Kakek Buta Tanpa Nama menyadari kalau saat
itu dia sedang berhadapan dengan seorang tokoh sesat yang tiada terukur
kesaktiannya. Bahkan dia pun menyadari pukulan tongkatnya yang diberi nama
'Tongkat Baja Menghantam Setan Kembar' yang tiada duanya
itu masih mampu dikelit oleh pihak lawan. Ini menan-
dakan bahwa Ki Sapta Rengga ternyata memang selain
seorang pencipta segala macam racun, ternyata juga
memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Tiada pilihan lain lagi, sebelum pihak
lawan sempat berbuat sesuatu, maka dengan mempergunakan jurus tongkat 'Badai
Gila Menerpa Gurun', Kakek Buta Tanpa Nama kemba-
li menyerang Ki Sapta Rengga dengan segenap ke-
mampuannya. "Wuuut... wuuut...!"
Tongkat di tangan Kakek Buta kembali menderu
mengintai pertahanan Ki Sapta Rengga yang lowong.
Dengan mengerahkan tenaga dalamnya pada bagian
tangan, Ki Sapta Rengga dengan berani memapaki
hantaman tongkat tadi.
"Duuk...!"
"Plaaak...!"
Begitu tongkat di tangan Kakek Buta membentur
tangan Ki Sapta Rengga, tubuh laki-laki itu terhuyung.
Tidak berhenti sampai di situ saja, satu tamparan keras membuat tubuh Kakek Buta
terbanting roboh.
"Auuung... kek... kek... kek...!" Lepas tawa laki-laki berwajah seram itu
melihat si Kakek Buta terguling-guling dan kerengkangan bangkit kembali.
"Sebelum kau mampus dengan Racun Pembasmi Iblis milik-
ku, memang tak salah kalau aku terpaksa harus men-
jajal permainanmu itu, tua buta...!" dengus Ki Sapta Rengga.
Bagai orang tuli saja, Kakek Buta Tanpa Nama
langsung berdiri pada posisi, kemudian dia putar-
putarkan tongkatnya, sehingga membentuk sebuah
benteng pertahanan yang kokoh. Sementara itu tangan
kirinya telah pula bersiap-siap melakukan satu puku-
lan jarak dekat.
"Beet! Wuuuus...!"
Satu sabetan satu tusukan tongkat disertai den-
gan satu pukulan yang bernama 'Macan Sehari Tiga',
datang menghantam tubuh Ki Sapta Rengga yang diam
tiada bergerak. Satu sambaran angin yang sangat ke-
ras langsung menghajar tubuh laki-laki berpakaian
ungu ini. "Buuuum...!"
Terdengar satu ledakan terasa menggoncangkan
bukit itu, celakanya malah tubuh si Kakek Buta yang
terpental jauh, bahkan hampir terpental ke dalam ju-
rang. Sedangkan Ki Sapta Rengga hanya tergetar saja, sambil geleng-gelengkan
kepalanya. "Hek... permainan tongkat yang tiada guna! Juga pukulan yang tiada bermutu...!"
maki laki-laki bertas-bih itu dengan wajah memerah. "Permainanmu yang tiada guna
kurasa cukuplah sudah. Kini tibalah gili-ranmu untuk mampus...!" teriak laki-
laki iblis ini. Se-detik kemudian dia sudah rangkapkan kedua tangan-
nya di atas kepala. Sekejap mulutnya berkomat kamit.
Tasbih dia kalungkan ke bagian leher. Sedangkan ke-
dua tangan yang telah menyatu itu tampak menggele-
tar, tubuh basah oleh keringat. Tak sampai sepemakan sirih, kedua tangan yang
menyatu tadi telah pula mengeluarkan uap berwarna hitam. Tubuh Ki Sapta Reng-
ga kini telah terbungkus kabut yang semakin menebal.
Bersamaan dengan semakin menebalnya kabut hitam
yang menyelimuti diri Ki Sapta Rengga, maka tercium
pula bau busuk yang sangat mengganggu pernapasan
Kakek Buta Tanpa Nama. Ketika dia menyadari bahwa
sesungguhnya bau busuk itu mengandung racun yang
sangat mematikan. Segalanya terasa sudah sangat ter-
lambat. Tapi dia masih berusaha menutup jalan per-
napasannya. Kemudian manakala Ki Sapta Rengga me-
luruk ke arah dirinya dengan satu pukulan 'Racun
Pembasmi Iblis'. Maka Kakek Buta Tanpa Nama han-
tamkan tongkatnya ke depan.
"Braak...!"
Tongkat di tangan Kakek Buta hancur berkeping-
keping, satu pukulan mempergunakan tangan kanan
dengan telak menghantam tubuh renta Kakek Buta
Tanpa Nama. Tidak berhenti sampai di situ saja, Ki
Sapta Rengga hamtamkan pula tangan kirinya ke arah
bagian perut lawannya.
"Hoeeeek...!"
Darah muncrat dari mulut Kakek Buta Tanpa
Nama, darah yang menyembur itu berwarna hitam pe-
kat. Ketua perkampungan orang-orang cacat ini tak la-gi sempat mengeluh,
jangankan lagi melolong. Dalam
waktu sebentar saja tubuhnya telah berubah menghi-
tam secara keseluruhan. Lalu tubuh renta tanpa nya-
wa itu pun ambruk untuk selama-lamanya. Ki Sapta
Rengga tergelak-gelak tanda puas, kemudian terdengar pula suara lolongannya yang
tak ubahnya bagai serigala kelaparan.
"Kaum persilatan sebentar lagi memang akan ku-
buat cerai berai. Tak satu orangpun tokoh yang kua-
nggap sakti kuberi hidup. Jangankan cuma Adipati
Gupta manusia pengecut yang tak tahu membalas bu-
di itu...! Kek... kek... kek...!" Laki-laki berpakaian ungu itu tiba-tiba saja
hentikan tawanya. Sejurus matanya memandang ke arah lereng bukit bawah sana.
Tampak olehnya beberapa orang laki-laki sedang memasuki
perkampungan orang-orang cacat yang hanya dihuni
oleh beberapa gelintir manusia saja.
Dengan cermat Ki Sapta Rengga mengawasi gerak
gerik orang-orang yang berada di bawah bukit itu.
"Aku merasa yakin orang-orang itu pasti meru-
pakan kaki tangan Adipati Gupta! Hek... kek... kek...!
Ada baiknya kalau aku menyingkir dulu, atau kupapak
mereka di bawah lereng bukit sana!" batin Ki Sapta Rengga sambil berlalu dari
bukit itu. *** Saat itu rombongan Ranggas dan kawan-
kawannya tampak sudah mulai memeriksa keadaan di
sekitar perkampungan orang-orang cacat yang sudah
berantakan. Tak terlihat sesuatu yang mencurigakan
di sana, kecuali beberapa orang bisu berpakaian gem-
bel yang ternyata sangat sulit untuk diajak bertanya jawab. Sementara di bagian
halaman rumah perkampungan orang cacat yang tak ubahnya bagai sebuah
kandang ayam itu. Tampak berpuluh-puluh mayat
bergelimpangan tak tentu ujudnya. Dengan teliti Ranggas, Margono dan Karsa
memeriksa keadaan mayat-
mayat itu. Setelah melakukan pemeriksaan sana sini.
Salah seorang dari mereka kemudian berteriak sembari membalikkan tubuh mayat
yang sedang dihadapinya.
"Lihat! Ini mayat Kali Gundil dan Bungkring...!"
desis Ranggas dengan mata membelalak tak percaya.
Dengan tergesa-gesa beberapa orang lainnya segera
mendatangi Ranggas, dan ternyata memang benar
bahwa mayat itu tak lain merupakan mayat Kali Gun-
dil dan Bungkring, dua orang tokoh persilatan yang
mereka sewa. "Agaknya telah terjadi pembantaian di sini!" gumam Karsa, tanpa sadar meraba
bagian hulu pedang-
nya. "Mungkinkah Kali Gundil dan Bungkring yang melakukan pembunuhan terhadap
orang-orang cacat
ini, lalu kemana perginya Suroso dan Kethu Dadap"
Padahal mereka pergi secara bersama-sama...!" ucap Margono penuh tanda tanya.
"Heh... benar! Kemana perginya kedua orang itu"
Atau mungkinkah ada orang lain lagi, yang telah mem-
bunuh orang-orang kita. Lihatlah... luka di bagian perut kawan-kawan kita ini
bagai bekas sabetan senjata yang sangat tajam! Tak mungkin ketua perkampungan
orang-orang cacat yang telah melakukannya!"
"Tapi Kakek Buta Tanpa Nama juga tidak ada di
tempat...!" membantah salah seorang anggota rombongan. "Kalau begitu pasti ada
orang lain yang telah melakukan pembantaian di sini!" sergah Ranggas menarik
satu kesimpulan. Karsa maupun Margono tampak sa-ma-sama terdiam. Mereka
tenggelam dalam pikiran
masing-masing. Tapi sesaat setelah itu kesunyian itu pun terpecah dengan
terdengarnya suara Margono.
"Melihat mayat orang-orang cacat ini, rasa-
rasanya, pembunuhannya tidak dilakukan oleh seo-
rang saja, dua orang atau bahkan lebih. Bukan tak
mungkin Kali Gundil dan Bungkring yang telah mela-
kukan penyerangan terhadap orang-orang cacat ini.
Kemudian datang seseorang berusaha menyelamatkan
orang-orang yang malang! Sayang sekali Kali Gundil
dan Bungkring terlalu bertindak ceroboh, sehingga sekian banyak korban tanpa
dosa menjadi pelampiasan
tindakan yang membabi buta...!" keluh Karsa menyesalkan.
"Hei... Paman bisa mengambil kesimpulan seperti itu, apakah paman mengenal siapa
orang-orang cacat
di sini?" tanya Margono curiga.
"Kenal mereka secara keseluruhan, sih tidak! Ta-pi aku mengenal Kakek Buta Tanpa


Pendekar Hina Kelana 21 Prahara Rimba Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nama yang jadi pimpinan mereka dengan baik! Seharusnya kita mera-
sa tak perlu untuk mencurigai mereka secara berlebih-lebihan. Karena mereka pun
selama hidupnya tak per-
nah pula mencampuri segala urusan yang berhubun-
gan dengan dunia luar...!"
"Bukankah asalnya wabah itu berasal dari Rimba
Buangan ini...?" bantah Ranggas. Laki-laki dari Gunung Semeru itu angguk-
anggukkan kepalanya.
*** 10 Seraya pun berucap: "Kalau memang benar, itu
bukan berarti orang-orang cacat itu yang menjadi pe-
nyebabnya. Mungkin saja ada orang lain yang sengaja
memanfaatkan tempat ini menjadi sarangnya dalam
bergerak...!"
"Kejadian-kejadian yang mencurigakan! Tapi aku
tak pernah dan belum melihat se-suatu yang ada hu-
bungannya dengan wabah penyakit itu!" keluh orang kepercayaan Adipati Gupta yang
bernama Ranggas.
"Sudahlah tak ada gunanya kita saling bertanya-
tanya. Ada baiknya kalau kita meneruskan penca-
rian...!" kata Margono. Namun belum lagi rombongan utusan adipati yang berjumlah
delapan orang itu sempat beranjak meninggalkan perkampungan orang-
orang cacat. Tiba-tiba salah seorang dari kelima orang-orang cacat yang tersisa,
tampak menyeruak dari da-
lam sebuah gubuk yang sudah berantakan. Orang ini
selain memiliki cacat lahir pada kedua belah tangan-
nya, ternyata juga gagu (alias tidak bisa bicara). Setelah berlari-lari
mendekati mereka, kemudian tanpa
merasa curiga apa pun dengan mempergunakan seba-
tang ranting yang terkepit pada bagian ketiaknya kayu
itu dia tudingkan ke arah atas bukit.
"Hei... apa maksudmu..?" tanya Margono tiada mengerti.
"Auu... auuu...!"
"Coba biar aku saja yang menanyainya!" kata Karsa yang sedikit banyaknya
mengetahui bahasa
isyarat. Beberapa saat kemudian pertanyaan demi per-
tanyaan dilontarkan oleh laki-laki dari Gunung Semeru ini. "Apa yang ingin kau
katakan..,?" tanya Karsa, dan laki-laki itu pencong-pencongkan bibirnya ke atas
dan ke bawah. "Kau bilang ketuamu mendaki ke atas bukit itu?" Laki-laki tiada
bertangan itu angguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dia menggerak-
gerakkan bibirnya lagi.
"Ha.... .... dia bilang... dari atas bukit sanalah sumber terjadinya
malapetaka...!" kata Karsa setelah sedapatnya berusaha mengerti apa yang
dikatakan oleh si cacat gagu barusan.
"Hhh.... Mungkin dari sanalah kita bisa memulai pemburuan terhadap biang kerok
penyebab terjadinya
wabah penyakit itu...!" selak Margono.
"Kita ke sana sekarang...!" perintah Ranggas. Kemudian tanpa menyia-nyiakan
waktu yang ada, mere-
ka pun bergerak ke arah bukit. Namun tak sampai se-
tengah jam kemudian rombongan itu mulai melintasi
batu-batu yang sangat tajam. Namun dengan mengan-
dalkan ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai
taraf sempurna, rombongan itu pun dapat melalui dae-
rah berbatu itu dengan sangat baik. Namun menuju
jalan mendaki yang berada di depannya lagi, keadaan
jalan yang mereka lalui terasa sulit dan licin. Berulang kali mereka hampir saja
tergelincir jatuh.
"Wuuust...!"
Tanpa mereka duga, tiba-tiba satu sambaran an-
gin yang begitu keras menerpa dengan telak tubuh me-
reka ini. "Sialan...!" maki Ranggas dan lain-lainnya hampir bersamaan. Mereka jatuh
terguling-guling. Namun tidak percuma karena sesungguhnya mereka ini terdiri
dari orang-orang pilihan. Andai tidak sudah dapat diduga serangan gelap yang
datangnya secara mendadak
itu pasti membuat tubuh mereka jatuh ke dalam ju-
rang yang lumayan dalamnya. Dengan sigap mereka
segera bangkit kembali, kemudian membentuk sebuah
pertahanan dengan posisi melingkar dengan posisi
punggung saling berhadap-hadapan.
"Pembokong gelap! Cepat-cepatlah tunjukkan
muka, kalau tidak jangan kau salahkan kami...!" teriak Ranggas dan Margono
hampir bersamaan. Suara teria-kan mereka menggema menjarah sampai ke lereng bu-
kit bahkan hingga sampai pada tebing batu yang san-
gat curam itu. Sesaat kemudian adalah kesunyian
yang mencekam. Namun utusan Adipati Gupta itu ti-
dak bisa lengah dari kewaspadaan.
"Tidak seorang pun muncul dari depan sana! Pu-
kulan yang hampir saja mencelakakan kita tadi sudah
jelas bukan pukulan biasa, bahkan aku yang sudah
tua lapuk ini dapat merasakan bahwa di sekitar tem-
pat ini terdapat hawa racun jahat. Berhati-hatilah kita.
Siapa tahu nyawa kita masih melekat hingga kita da-
pat kembali ke kadipaten dengan keadaan utuh...!"
menggumam laki-laki dari Gunung Semeru melalui il-
mu menyusupkan suara.
"Kita tak mungkin bertahan seperti ini secara terus menerus, Paman Karsa...!"
jawab Margono, juga melalui ilmu menyusupkan suara.
"Atau ada baiknya kalau kita terus mendaki bukit jahanam ini hingga sampai pada
puncaknya...?" desah Ranggas memberi usul.
"Jangan, terlalu berbahaya andai kita melaku-
kannya! Aku yakin, si keparat itu berada tidak begitu jauh di sekeliling kita.
Atau bahkan mungkin sekarang ini si penyebar maut itu malah sedang mentertawakan
kita...!" kata Karsa, melalui ilmu mengirimkan suara itu masih juga dia sempat
bercanda demi mengurangi
ketegangan. "Paman! Aku tak suka kau bertingkah konyol se-
perti itu, seharusnya kita pecahkan bagaimana jalan
keluarnya...!" kata Ranggas dengan wajah memerah.
Gusar. "Jangan bertindak gegabah, tak ada gunanya kita melakukan tindakan ceroboh.
Salah-salah nyawa kita
yang akan melayang."
"Tapi apakah kita harus tetap bertahan dengan
posisi menggelikan seperti ini" Orang-orang persilatan pasti akan mentertawai
kita andai mereka sampai melihat kepengecutan ini...!" sentak Margono masih
dengan mempergunakan ilmu mengirimkan suara. Karsa
geleng-gelengkan kepalanya, detik kemudian dilayang-
kannya pandangan matanya jauh-jauh ke depan tem-
pat di mana pukulan gelap tadi berasal. Karena selain sebagai tokoh persilatan
dan kiranya juga Karsa merupakan seorang ahli kebatinan. Maka tak salah kalau
saat itu sepasang matanya yang telah berubah meme-
rah saga dapat melihat sepasang mata yang mirip den-
gan mata binatang buas tampak mengintai ke arah
mereka dari jarak tak kurang dari dua puluh tombak.
Mengkirik bulu tengkuk laki-laki berbadan kecil dari Gunung Semeru itu
dibuatnya. Tanpa sadar kemudian
dia berkata, "Benar! Musuh tidak begitu jauh lagi di depan ki-ta, celakanya kita sekarang
berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Aku tak tahu, apakah pemilik
sepasang mata dalam kelebatan pohon itu, binatang
menjijikkan, jin setan atau apa. Tapi aku merasa ada darah siluman mengalir
dalam tubuhnya...."
"Apa maksudmu, Paman! Kau jangan bi-kin bin-
gung kami. Di depan sana aku tak melihat apa-apa...!"
kata Margono dengan perasaan serba tak menentu.
"Kalian memang tak melihat. Tapi mata batinku
melihat dengan jelas...!" bantah laki-laki berbadan pendek kurus itu dengan
bibir terus berkomat kamit
membacakan sesuatu yang tak jelas.
"Sukur-sukur Adipati Gupta tak pernah muncul
di Rimba Buangan ini. Sehingga dia akan memerintah
daerahnya hingga akhir hayatnya. Tapi kalau orang-
orang dari kadipaten sampai ke mari semua, alamat
celakalah kita...!" Akhirnya habislah sudah kesabaran Ranggas, Margono dan yang
lain-lainnya. Apalagi kata-kata Karsa semakin melantur tak menentu. Selanjut-
nya tanpa mempergunakan ilmu menyusupkan suara
lagi, Margono berkata ketus:
"Bicaramu semakin kacau balau, Paman...! Pa-
dahal semua orang juga tau kau bukan seorang pema-
buk! Apalagi sinting...! Namun kami semakin tak men-
gerti saja dengan apa yang kau katakan...!" kata laki-laki berkumis tipis itu.
Karsa terdiam, sepasang matanya tampak mem-
beliak bagai hendak melompat ke-luar. Semua keane-
han yang terjadi atas diri Karsa kiranya tak luput dari perhatian Margono dan
kawan-kawannya.
"Ada apa, Paman...!"
"Musuh sudah datang...!" jawab Karsa sambil menunjuk ke arah depan mereka. Apa
yang baru saja dikatakan oleh Karsa memang tak dapat dipungkiri,
karena sebentar kemudian berhembuslah angin yang
sangat kencang. Disertai dengan suara lolongan seriga-la hutan. Kemudian
terendus bau yang sangat busuk.
Serta merta, tampak sesosok tubuh melayang dari ke-
rimbunan pohon.
"Jleeekgh...!"
Di atas sebuah batu besar, sosok tubuh berpa-
kaian ungu telah berdiri di sana. Sepasang matanya
yang menjorok ke dalam tampak berkilat-kilat penuh
kesadisan ketika menyapu pandang pada orang- orang
kadipaten, kemudian sesungging senyum maut meng-
hias di bibirnya yang berwarna hitam pekat. Hanya
Karsa seorang yang tiada merasa terkejut atas kehadiran orang ini, sedangkan
Margono dan Ranggas sam-
pai keluarkan suara memekik:
"Tabib Canda Muka...?" seru Margono, dengan mata membelalak tak percaya.
"Bukankah engkau telah mati...?" tanya Ranggas, secara tak sadar dia sudah
meraba bagian hulu pe-dangnya. Si jubah ungu hanya keluarkan suara meng-
gereng bagai suara lolongan serigala lapar.
"Tabib Canda Muka memang telah mampus! Ju-
stru karena itu hanya nama samaran belaka. Sedang-
kan namaku yang sebenarnya adalah Tabib Sapta
Rengga dari Gunung Tengger...!" kata laki-laki pemegang tasbih muka menyeramkan
itu ketus. "Hah...!" Mata Margono semakin membelalak lebar. Sementara tubuhnya tersentak ke
belakang. "Jadi betul, kau iblis penyebar wabah penyakit
misterius itu...?" tanya Ranggas masih kurang begitu yakin dengan apa yang baru
saja didengarnya.
"Tak salah...!"
"Mengapa kau lakukan itu, bukankah selama ini
kau bersahabat baik dengan Adipati Gupta...?" Laki-laki berwajah menyeramkan
itu, lagi-lagi mendengus.
"Secara lahiriah memang aku bersahabat baik
dengan junjunganmu itu, namun secara batin, aku
menaruh dendam dengannya setinggi langit...!"
"Tidak salahkah apa yang kudengar?" tanya Mar-
gono semakin keheranan.
"Sama sekali tidak! Hek... hek... hek...! Sebenarnya aku segan memberi
penjelasan pada anjing-anjing
Adipati. Tapi karena kalian termasuk dalam daftar
orang-orang yang harus mampus. Kukira tak ada sa-
lahnya kalau aku memberi sedikit penjelasan pada ka-
lian...!" Ki Sapta Rengga alias Tabib Canda Muka, tampak terdiam sesaat lamanya.
Suasana dingin mence-
kam menyelimuti utusan dari kadipaten. Kemudian Ki
Sapta Rengga menyambung: "Sedikit banyaknya kalian pasti tau bahwa Adipati Gupta
tidaklah terpilih menjadi seorang adipati, andai bukan aku yang membantu
dia dalam melenyapkan nyawa Adipati Tambak Yoso.
Aku yang telah meracuninya, sehingga adipati tua
Tambak Yoso tewas secara misterius. Kalian pikir apakah semua itu tidak ada
imbalannya" Huh... Adipati
Gupta keparat itu telah memberiku janji yang muluk-
muluk. Katanya aku akan diberi hadiah sebidang ta-
nah yang luas. Sebuah istana yang bagus, juga sepu-
luh istri yang cantik-cantik. Tak taunya janji hanya tinggal janji, bahkan dia
malah mengulur-ngulur waktu...! Kalau aku dapat secara tidak langsung mengangkat
derajat hidupnya. Apakah kalian pikir aku tak
mampu menjatuhkan martabatnya...?" sentak Ki Sapta Rengga dingin.
"Bicaramu ngaco, tabib celaka! Adipati Gupta
menduduki jabatan itu melalui pemilihan yang sah...!"
bantah Ranggas merasa sangat tersinggung.
"Omong kosong! Aku mengetahui apa yang tidak
kalian ketahui...!"
"Keparat! Kau benar-benar telah menghina adipa-
ti...!" "Bukan hanya sekedar menghina saja, tapi tidak lama lagi, jiwanya pun
akan kurenggut...!" ancam Ki Sapta Rengga. Kata-kata laki-laki berpakaian ungu
itu benar-benar telah membuat kesabaran Ranggas dan
kawan-kawannya hilang sama sekali. Detik kemudian
dengan disertai kemarahan yang meluap-luap. Kedela-
pan orang itu pun langsung melakukan serangan-
serangan gencar.
Pertarungan sengit di celah yang sempit itu pun
tak dapat dihindari lagi. Walau pun Ki Sapta Rengga
mendapat keroyokan sedemikian rupa dari orang-
orang yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Tapi masih belum terlihat
tanda-tanda dirinya menjadi ke-teter. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tu-
buh yang sudah sangat sempurna. Tubuhnya terus
berkelebat di antara cecaran serangan pihak lawannya.
Kenyataan ini sudah barang tentu di luar perhitungan Margono dan Ranggas, yang
selama ini mengetahui secara pasti. Bahwa Tabib Canda Muka yang sesung-
guhnya, tidak memiliki ilmu silat yang luar biasa selain ilmu ketabiban. Tapi
kenyataannya, kiranya Tabib
Canda Muka alias Ki Sapta Rengga merupakan tokoh
persilatan yang sangat tangguh. Bahkan dalam perta-
rungan sengit menjelang lima belas jurus itu. Jangankan serangan kedelapan orang
itu mencapai sasaran
dengan baik. Sebaliknya menyentuh pakaiannya saja
tak dapat. "Benar-benar sangat keterlaluan sekali, manusia iblis ini" membatin
Margono. "Sebelum mampus, aku memang suka memper-
mainkan setiap lawan supaya jangan mati penasa-
ran...!" celetuk Ki Sapta Rengga sambil terus tergelak-gelak. Tanpa
memperdulikan ocehan Ki Sapta Rengga,
orang-orang itu segera mencabut senjatanya masing-


Pendekar Hina Kelana 21 Prahara Rimba Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masing. "Sriiing! Sriiing...!"
Senjata pedang di tangan mereka tampak berki-
lat-kilat diterpa cahaya matahari.
11 Tapi walaupun Ki Sapta Rengga telah melihat pi-
hak lawan telah mencabut senjatanya. Tetap saja dia
masih kelihatan masih tenang-tenang saja.
"Keluarkanlah semua kebisaan kalian! Masih ku-
beri waktu untuk memamerkan ilmu silat picisan yang
kalian miliki...!"
"Jahanam...! Kau harus mampus di tangan kami,
tabib keparat...!" teriak salah seorang utusan Adipati Gupta sambil melompat dan
hantamkan senjatanya ke
bagian dada si laki-laki pemegang tasbih. Sambaran
angin yang sangat kuat menderu ke arah Ki Sapta
Rengga. Tiada mengelak laki-laki berwajah angker ini kembangkan sebelah
tangannya. Sedangkan tangan
yang lain terkepal membentuk tinju, kemudian dia
hantamkan ke muka.
"Creep! Pletak...!"
"Braaak...!"
Tangan kiri berhasil menangkap pedang di tan-
gan lawan, sekaligus membetot dan mematahkannya,
sedangkan tangan kanan berhasil memukul hancur
wajah salah seorang dari utusan kadipaten itu. Dengan muka remuk, laki-laki
malang itu terbanting tubuhnya, berkelojotan sesaat kemudian terdiam untuk se-
lama-lamanya. "Bagus, majulah semuanya! Aku pasti akan me-
layani kalian dengan senang hati!" kata Ki Sapta Rengga dengan diiringi tawa
menggidikkan. "Heaa.... ciaaat...!"
"Weeer...! Weeeeer...!"
Senjata di tangan Margono dan Karsa menderu
laksana kilat, saat itu dari bagian belakang Ki Sapta Rengga, senjata yang sama
juga tampak meluruk ke
arahnya. Laki-laki berpakaian ungu itu hantamkan
dua pukulan berturut-turut ke arah belakang dan mu-
ka. Dua larik gelombang bersinar hitam kebiru-biruan menghajar mereka dengan
telak. Sementara Margono
dan Ranggas serta Karsa mampu mengelakkan puku-
lan yang datang dengan cepat berguling-guling. Seba-
liknya keempat orang kawan mereka yang berada di
bagian belakang Ki Sapta Rengga, sudah tak sempat
lagi. "Breeess...!"
Bagai ranting kering tubuh keempatnya tersapu
pukulan Ki Sapta Rengga, celakanya di belakang me-
reka merupakan sebuah jurang yang menganga. Hing-
ga tanpa dapat dicegah lagi tubuh yang sudah dalam
keadaan hangus akibat terkena pukulan beracun itu
melayang ke bawah. Sementara di dasar jurang sana,
batu-batu yang sangat tajam telah pula siap memang-
gang tubuh mereka. Tidak lagi terdengar lolongan
maut saat mana keempat tubuh yang sudah tiada ber-
daya itu menghantam batu yang berada di dasar ju-
rang itu hingga menimbulkan suara berdebum. Demi
melihat kematian keempat kawannya hanya dalam
waktu segebrakan saja, bukan main marahnya Margo-
no, Ranggas dan Karsa.
"Kau... kau telah membunuh kawan-kawan ka-
mi...?" jerit Margono. "Cincang iblis berkedok manusia ini...!" perintah laki-
laki berbadan tegap itu, kalap.
"Ha... hak... hak...! Cincang bagian mana saja
yang kalian suka...!" bentak Ki Sapta Rengga dengan sikap pasrah. Tak ayal lagi
sambaran-sambaran senjata di tangan mereka datang menggebur. Kemudian
menghunjani tubuh Ki Sapta Rengga dari berbagai
penjuru. Namun ternyata tubuh laki-laki berpakaian
pendeta itu tidak mempan dengan bacokan-bacokan
senjata di tangan mereka. Tiada perduli lagi, Karsa,
Margono dan Ranggas terus membabatkan senjatanya
ke sekujur tubuh Ki Sapta Rengga.
"Craak... craaak... craaak...!"
"Terus... terus hantam mana saja yang kalian su-ka...!" kata Ki Sapta Rengga
dengan disertai tawa bergelak-gelak.
"Keparat... ternyata iblis ini kebal segala macam senjata...!" teriak Margono.
Dan tampaknya mereka merasa tak putus asa, pukulan dan babatan pedang
mereka lakukan secara silih berganti, namun hanya
pakaian laki-laki itu saja yang tercabik-cabik di beberapa bagian sehingga Ki
Sapta Rengga nyaris tak ber-
baju. "Creeep...!"
"Kurasa cukup waktu bagi kalian untuk main-
main dengan Tabib Sapta Rengga. Lihatlah betapa pa-
kaianku yang mahal ini harus kalian gantikan dengan
jiwa kalian"
"Creeep...!"
Dua kepala dengan dua kali renggut telah berada
dalam cengkeraman jemari tangannya. Margono dan
Ranggas meronta-ronta, namun semakin dia memper-
hebat gerakannya, maka semakin bertambah eratlah
cengkeraman tangan itu.
"Hrrr...! Kalian sekejap lagi akan mampus secara mengerikan...!" geram Ki Sapta
Rengga menggeram.
Menyadari bahaya yang sedang mengancam keselama-
tan kawan-kawannya, maka Karsa pun tidak tinggal
diam. Dia hantamkan pukulan 'Segara Geni', yang se-
lama ini merupakan pukulan maut yang sangat dian-
dalkannya. Dengan sangat cepat begitu dia mengerah-
kan tenaga dalamnya ke arah bagian tangan kanan-
nya, maka beberapa saat kemudian tangan itu telah
berubah pula menjadi merah laksana bara.
Alis mata Ki Sapta Rengga tampak mengkerut,
tapi dia juga tak melepaskan rambut lawannya yang
masih tetap berada dalam genggaman tangannya. Di
luar sepengetahuan Karsa, Ki Sapta Rengga telah pula mengerahkan Racun Pembasmi
Iblis ke segenap tubuhnya.
"Haaaaaat...!"
Tubuh Karsa langsung melompat dan hantamkan
tangan kanannya yang telah berubah merah laksana
bara. "Buuuk...!"
"Wuaaaah...!"
Terdengar jeritan, keluar dari mulut Karsa. Se-
mentara itu, tubuh laki-laki dari Gunung Semeru itu
terhuyung-huyung ke belakang. Rupanya ketika dia
menghantamkan tangan kanannya ke bagian dada la-
wan tadi, selain pukulan miliknya membalik dan
menghantam tubuhnya sendiri. Kiranya tangannya
yang sempat menyentuh dada lawan yang mengan-
dung racun ganas tak dapat dia elakkan lagi, tak dapat disangkal kalau kemudian
dengan sangat cepat dia berusaha menyelamatkan diri dengan cara menarik balik
serangan itu. Namun terlambat karena selain terkena
pukulannya sendiri tapi juga 'Racun Pembasmi Iblis'
milik Ki Sapta Rengga sempat tersentuh oleh laki-laki itu. "Hoeeeeekgh...!"
Dengan mata melotot, Karsa muntahkan darah
kental berwarna hitam pekat. Tidak sampai di situ sa-ja, secara perlahan namun
pasti, sekujur tubuh Karsa pun mulai mengalami perubahan. Mula-mula tubuh
yang sudah tiada nyawa itu, tampak pucat bagaikan
kapas. Semakin lama berubah kebiru-biruan hingga
menghitam. "Hek... hek... hek...! Lihat... lihatlah kematian kawan-kawan kalian itu!
Menggelikan. Konyol... dan...!
Sebentar lagi giliran kalian berdua...!" kata Ki Sapta Rengga. Serta merta Ki
Sapta Rengga menotok urat gerak Margono dan Ranggas. Tubuh kedua orang itu
langsung menjadi kaku. Sementara kedua tangan Ki
Sapta Rengga sekarang telah terangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Margono dan
Ranggas hanya mampu
membelalakkan matanya saat mana kedua tangan Ki
Sapta Rengga tampak menggeletar dan mengepulkan
asap tipis berwarna kehitam-hitaman. Setelah asap beracun itu semakin menebal
dan bertambah banyak,
tiada ragu-ragu lagi. Ki Sapta Rengga bersiap-siap
dengan posisinya untuk segera lepaskan pukulan be-
racun yang sangat ganas itu.
Tak ada hal lain yang dapat dilakukan oleh
Ranggas dan Margono, jangankan untuk melawan atau
pun menghindar. Sedangkan untuk menggerakkan tu-
buhnya saja sudah terasa sangat sulit sekali. Tak ada pilihan lain bagi mereka
berdua terkecuali pejamkan
matanya untuk menerima kematian dengan sikap pa-
srah. "Hiaaaat...!"
Ki Sapta Rengga menerjang ke depan dengan se-
kali lompatan saja. Namun pada saat-saat yang sangat menegangkan itu, dari atas
bukit tampak berkelebat
bayangan merah dengan gerakan sangat cepat sekali.
"Buuuum...!"
Terdengar satu ledakan keras saat mana bayan-
gan merah tadi berusaha memapaki serangan maut
yang bersumber dari kekuatan Racun Pembasmi Iblis.
Tampak tubuh Ki Sapta Rengga terhuyung beberapa
tindak ke belakang. Sementara si bayangan merah
dengan mengandalkan kecepatan gerak dan ilmu men-
gentengi tubuh, setelah berjumpalitan langsung menje-jakkan kakinya di atas
sebuah batu besar. Siapakah
pemuda berpakaian merah dengan rambut dikuncir
ini" Tak lain dan tak bukan adalah Pendekar Hina Ke-
lana adanya. Seperti diketahui setelah pemuda itu menolong
Kakek Buta Tanpa Nama dari serangan, Suroso,
Bungkring, Kethu Dadap dan Kali Gundil. Buang
Sengketa meninggalkan perkampungan orang-orang
cacat begitu saja. Pemuda itu terus memburu ke arah
bagian Barat Rimba Buangan dengan maksud ingin
menyelidiki sumber bau bangkai yang sempat dia en-
dus dan berasal dari arah itu. Namun setelah mencaricari, di bagian yang dia
maksud. Ternyata di sana tidak ada apa-apanya terkecuali sosok mayat yang su-
dah membusuk. Melihat keadaan mayat yang sudah
tak karuan ujudnya, sadarlah pemuda keturunan raja
alam gaib itu, bahwa sebenarnya orang itu mati karena Racun Pembasmi Iblis. Dia
dapat berkesimpulan begitu justru sebelumnya dia pernah mengerti berbagai jenis
racun yang sangat ganas sekali pun. Pemuda ini akhirnya merasa curiga bahwa
Rimba Buangan merupa-
kan sarangnya tabib sesat Sapta Rengga, yang telah
meninggalkan Gunung Tengger beberapa tahun yang
lalu. Akhirnya Buang Sengketa merasa perlu untuk
melakukan penyelidikan di sekitar tempat itu. Barulah ketika dia tidak menemukan
Ki Sapta Rengga di sekitar mayat yang dia temukan, akhirnya pemuda ini
memutuskan untuk kembali ke perkampungan orang-
orang cacat. *** 12 Kebetulan saat dia sampai di tempat itu, dua
orang utusan adipati yang pernah dia jumpai pada sa-
lah sebuah warung hampir saja mendapat celaka di
tangan Ki Sapta Rengga. Tanpa sungkan-sungkan pe-
muda itu pun langsung bertindak. Setelah menggagal-
kan pukulan yang dilakukan oleh Ki Sapta Rengga,
maka kembali tubuh Pendekar Hina Kelana berkelebat
membebaskan totokan yang dialami oleh Margono dan
Ranggas. Ketika kedua utusan dari kadipaten itu telah terbebas dari pengaruh
totokan yang telah dilakukan
oleh Ki Sapta Rengga, maka keduanya cepat-cepat me-
nyingkir menjauh. Bukan main gusar laki-laki muka
bengis dari Gunung Tengger itu demi melihat ada seo-
rang bocah asing telah menggagalkan rencananya un-
tuk membunuh orang-orang kepercayaan Adipati Gup-
ta. Tetapi sedikit banyaknya dia menjadi terkejut ju-ga, pabila mengingat bahwa
pemuda berpakaian gem-
bel itu dengan baik dapat memapaki pukulan bera-
cunnya. Padahal dia menyadari selama ini belum per-
nah seorang tokoh persilatan golongan mana pun yang
mampu menahan pukulan sakti yang mengandung ra-
cun jahat miliknya. Menurutnya pemuda yang kini se-
dang memandang sinis padanya itu paling-paling baru
berusia dua puluh satu tahun. Tapi bagaimana mung-
kin bocah semuda itu sudah memiliki tenaga dalam
yang sudah sangat sempurna, pula tidak mempan
dengan racun ganas miliknya. Sungguh luar biasa. Ke-
tika Ki Sapta Rengga sedang berpikir atau tepatnya
merenungkan kehebatan yang dimiliki oleh si pemuda,
dalam pada itu Buang Sengketa sudah membentak:"Manusia muka jelek dari Gunung Tengger! Su-
dah berapa banyakkah jiwa yang me-layang karena
ulahmu...?"
"Heh... kau tau dari mana asal usulku...!" sentak Ki Sapta Rengga, dan entah
mengapa tiba-tiba saja darahnya bagai tersirep. Jantung terasa kian lambat ber-
detak: "Ha... mata itu! Rasanya dia bukanlah manusia biasa...!" batinnya pula.
"Bahkan aku tau siapa kau yang sesungguhnya
Ki Sapta Rengga! Cepat kau tarik kembali Racun Pem-
basmi Iblis yang telah kau sebarkan bersama hembu-
san bayu, di beberapa puluh desa...!" perintah Pendekar Hina Kelana, secara tak
diduga-duga, bersama
hembusan angin, pemuda itu mengendus adanya bau
siluman. "Tidak bisa! Adipati Gupta harus mampus di tan-
ganku dulu...!" bantah Ki Sapta Rengga. "Eee... mengapa bicara padanya aku tak
selantang ketika aku bi-
cara dengan orang lain" Tatapan matanya terasa me-
nembus ke ulu hati. Suaranya yang pelan itu bagai suara gelegar halilintar!
Mungkinkah ini manusianya
yang masih merupakan titisan rajanya para siluman.
Andai benar, aku tak mungkin mampu mengalahkan-
nya...!" batin Ki Sapta Rengga. Diam- diam dia mulai mempersiapkan segala
sesuatunya. "Aha... ha... ha...!" Tawa pemuda itu, dan dalam tawanya itu, Buang menyertakan
ilmu 'Lengkingan
Pemenggal Roh', yang sangat dahsyat itu. Sehingga
Margono dan Ranggas terpaksa menyumpal lubang te-
linganya dengan kedua jari telunjuknya. Sementara Ki Sapta Rengga cukup menutupi
telinganya dengan jemari tangan terkembang
"Aku tau siapa kau manusia setengah siluman,
bahkan aku mengenal kembaranmu yang selalu bicara
melalui perantaraan angin. Aku kenal dengan Batara


Pendekar Hina Kelana 21 Prahara Rimba Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bayu yang selalu memberi peringatan padamu, apakah
kau masih mau mungkir bahwa Batara Bayu itu se-
sungguhnya masih merupakan saudara kembar mu...!"
kata Buang Sengketa yang mengenal dengan baik silsi-
lah keluarganya para siluman. Pucat pasi wajah Ki
Sapta Rengga, tahulah dia kini mengapa tubuhnya te-
rasa lemah tiada bertenaga. Karena sebenarnya saat
itu dia berhadapan dengan titisan raja negeri alam
gaib. "Engkaukah yang berjuluk Pendekar Hina Kelana?" tanya Ki Sapta Rengga
menyelidik. "Tak salah...!"
"Kalau begitu kau merupakan titisan rajanya ne-
geri alam gaib...!" desah laki-laki berpakaian ungu itu bagai tak percaya.
"Kalau kau sudah tau, cepatlah kau sujud di de-
panku, kemudian tarik kembali Racun Pembasmi Iblis
yang telah kau sebar di mana-mana...!" perintah pemuda itu.
"Enak saja, kau pikir aku bisa percaya begitu sa-ja. Huh tidak nantinya aku
bersikap seperti itu sebelum kulihat sampai di maha kehebatan titisan raja pa-ra
siluman...!"
"Manusia siluman sepertimu memang terlalu su-
lit untuk diajak kompromi, Ki Sapta Rengga. Mampus-
lah... heeeeeaa...!" Buang Sengketa memang merasa tak perlu lagi berdebat dengan
Ki Sapta Rengga. Maka sebelum manusia setengah siluman itu berkata lebih
lanjut. Sekali menerjang pemuda ini langsung han-
tamkan pukulan 'Empat Anasir Kehidupan', tapi Ki
Sapta Rengga bukanlah manusia bodoh, dia tau puku-
lan yang memancarkan sinar Ultra Violet itu masih
merupakan hasil ciptaan manusia. Tak ayal lagi, dia
pun lepaskan pukulan 'Banteng Topan Melanda Iblis'.
Serangkum sinar berwarna biru melesat memapaki
pukulan yang dilepas Pendekar Hina Kelana. Dua
rangkum gelombang dari arah berlawanan menderu
dahsyat, untuk kemudian saling bertubrukan.
"Blaaar...!"
Lereng bukit Rimba Buangan terasa bagai digun-
cang gempa bumi. Tubuh Buang Sengketa terpelanting
roboh dan langsung muntahkan darah segar. Semen-
tara di pihak lawan hanya tergetar saja.
"Sialan! Dia benar-benar manusia siluman...!"
gumam pemuda itu, lalu dengan terhuyung-huyung
dia seka darah yang terus meleleh membasahi bibir-
nya. Setelah itu, cepat-cepat si pemuda mengerahkan
tenaga dalam untuk melepaskan pukulan 'Si Hina Ke-
lana Merana' yaitu puncak dari segala pukulan sakti
yang dimilikinya. Ki Sapta Rengga hanya mendengus
begitu melihat pendekar ini hantamkan tangan kanan-
nya ke depan. Ketika dia melihat berkelebatnya sinar merah menyala dan
menimbulkan udara panas luar
biasa. Ki Sapta Rengga hantamkan pula kedua tan-
gannya ke depan. Serangkum gelombang sinar hitam
pekat dan menebarkan bau bangkai tampak melesat
lebih cepat lagi.
"Buuuuum...!"
"Aghhk... hoeeeeek...!"
Buang Sengketa kembali muntahkan darah ken-
tal, masih sukur dia kebal terhadap segala jenis racun.
Andai tidak sudah tentu dia menemui ajalnya sudah
sejak tadi. Sungguh pun begitu, pemuda ini merasa-
kan kepalanya berdenyut-denyut sakit. Dada semakin
bertambah sesak dan terasa sulit untuk bernafas. Se-
mentara itu Margono dan Ranggas hanya mampu me-
mandangi Pendekar Hina Kelana, tanpa kuasa untuk
memberi pertolongan. Di lain pihak, Ki Sapta Rengga, tampaknya merasa puas
dengan apa yang telah dilakukannya. Dia memang menyadari, pendekar titisan
raja dari negeri alam gaib itu tak mungkin mempan
dengan jenis racun apa pun yang ada padanya. Tapi
dia masih punya senjata yang pasti dapat membuat
remuk batok kepala Buang Sengketa.
Akhirnya tanpa membuang-buang waktu, lagi, Ki
Sapta Rengga segera mengayunkan senjatanya yang
berupa tasbih. Senjata itu langsung menderu me-
nyambar ke arah bahu lawannya yang masih belum
siap dengan kuda-kudanya. Menyadari adanya bahaya
yang mengancam, pemuda itu membuang tubuhnya ke
samping, selanjutnya terus berguling-guling sambil
mencabut senjatanya yang berupa Golok Buntung. Be-
gitu senjata menggemparkan itu tergenggam di tan-
gannya, tak ayal lagi dia hantamkan golok itu ke arah tasbih yang terus menderu
merangsak tubuhnya.
"Traak... praaang...!"
Secepatnya Buang Sengketa melompat bangkit,
tasbih di tangan Ki Sapta Rengga hancur berantakan
terhantam senjata di tangan pemuda ini. Saat itu kea-nehan pun terjadi. Ki Sapta
Rengga tampak meraung-
raung dan undur selangkah demi selangkah ketika la-
ki-laki setengah siluman itu melihat golok pusaka yang memancarkan sinar merah
menyala. "Touuubaaat...! Pusaka kebesaran milik raja ne-
geri Bunian. Oh... ampun, aku mengaku kalah...! Ak...
aku akan a... kan menarik balik wabah penyakit yang
telah merenggut nyawa banyak orang... tobaat...!" teriak Ki Sapta Rengga.
"Kau harus mampus... heaaa...!"
Pendekar Hina Kelana yang sudah kalap ini, te-
rus mencecar dengan senjatanya. Tubuh laki-laki se-
tengah siluman itu terus pula terguling-guling men-
jauh. Dengan mempergunakan sebagian tenaga da-
lamnya, pendekar ini melompat sambil babatkan go-
loknya. "Craaas...!"
"Wuaaaa...!"
Bersamaan dengan lolongan Ki Sapta Rengga,
maka bertiuplah angin yang sangat kencang. Dan tiba-
tiba saja tubuh laki-laki setengah siluman itu pun lenyap. Beberapa saat setelah
lenyapnya tubuh Ki Sapta
Rengga, maka terdengar pula bisikan gaib, yang dapat didengar oleh semua orang
yang hadir di situ:
"Kuucapkan terima kasih padamu pangeran dari
negeri Bunian. Aku Batara Bayu, saudara kembar Ki
Sapta Rengga, saudaraku
itu memang bengal. Tapi jangan khawatir. Sebab den-
gan kekalahannya itu, dia telah menarik balik wabah
yang telah melanda desa-desa di sekitar sini. Aku
hanya berpesan, janganlah coba-coba berjanji, apalagi dengan para siluman,
karena janji itu adalah hu-tang...!" kata Batara Bayu.
Sekali lagi angin kencang berhembus, maka suara gaib itu sudah tak terlihat
lagi. Begitu pun Pendekar Hina Kelana telah lenyap pula dari hadapan utusan
Adipati Gupta. Tinggallah Margono dan Ranggas saling pandang dan mengurut dada,
karena mereka merasa ter-
lepas dari maut.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Panji Wulung 15 3 Kehidupan 3 Dunia 10 Mil Bunga Persik Three Lives Three Worlds Ten Miles Of Peach Blossoms Karya Tangqi Gongzi Tengkorak Maut 3
^