Pencarian

Sepasang Iblis Bermata Dewa 2

Pendekar Hina Kelana 11 Sepasang Iblis Bermata Dewa Bagian 2


sekali. Sepasang tangannya
yang terkembang bagaikan cakar burung elang menghan-
tam bagian sisi pertahanan lawan yang nampak lemah.
Pada saat itu sepasang kakinya pun tidak tinggal diam.
Berulang kali kaki kanannya melakukan sapuan ke arah
kaki Dwi Sumirah yang agak terpentang.
Bukan main gusarnya kepala Dusun Embacang itu
demi melihat kelihaian lawan. Lalu dengan diawali satu teriakan keras, tubuh Dwi
Sumirah nampak melentik ke
udara bagaikan seekor udang yang sedang berusaha
menghindari sergapan-sergapan lawannya. Lalu ketika tu-
buhnya kembali menukik ke bawah jurus-jurus pedangnya
sudah berubah sama sekali. Pedang bermata ganda di tan-
gannya menderu bahkan membabat tangan musuhnya
yang bergerak bagaikan cakar-cakar yang siap mencabik-
cabik wajahnya. Sementara gerakan kaki Pri Kumala Hijau tetap seperti semula,
menyapu pinggang Dwi Sumirah di
bagian bawah. Kepala dusun Embacang semakin lama se-
makin bertambah beringas. Lagi-lagi dia kirimkan satu tusukan satu babatan.
Semua itu mengarah pada bagian
leher dan dada lawannya. Pedang bermata ganda itu men-
deru cepat sehingga nampak hanya merupakan kilauan
warna biru saja, Tetapi di luar dugaan, Pri Kumala Hijau yang tetap
mempergunakan ilmu silat tangan kosong.
Dengan nekad malah memapaki datangnya sambaran ma-
ta pedang yang sangat tajam. Begitu pedang di tangan Dwi Sumirah hampir mencapai
sasarannya, maka dua jari Pri
Kumala Hijau malah menyongsong.
"Traaak! Creep!"
Pedang itu bagai membentur batu cadas saja
layaknya, bahkan yang lebih celaka lagi, pedang bermata ganda itu kini malah
terjepit di sela-sela kedua jemari Pri Kumala Hijau. Perempuan bermata dewa itu
nampak tersenyum sinis. Tangan tetap tidak berubah dari posisinya.
Tinggallah Dwi Sumirah yang nampak sedang berusaha
mati-matian unjuk membebaskan senjatanya dari jepitan
kedua jemarinya. Tapi sungguh pun Dwi Sumirah telah
mengerahkan segenap tenaga dalamnya, namun tetap saja
pedang itu tidak bergerak dari jepitan jemari Pri kumala Hijau yang semakin
bertambah mengeras.
Begitu pun Dwi Sumirah tidak putus asa, dengan
mempergunakan Pukulan Dewi Matahari, dipukulnya dada
Pri Kumala Hijau berulang-ulang. Tapi tetap saja perem-
puan Iblis Bermata Dewa itu tiada bergeming. Sebaliknya perempuan itu malah
tertawa panjang.
"Pukulan dari neraka sekalipun yang kau perguna-
kan untuk memukulku Tak satu pun yang mampu mero-
bohkan aku...!" ejeknya. Lalu dengan satu gerakan yang tiada terduga-duga,
tangan kiri Dwi Sumirah kena dipe-gangnya.
"Kepala dusun yang cantik, lihatlah mataku...!" perintah Pri Kumala Hijau. Bagai
ada kekuatan gaib yang
menuntun batin Dwi Sumirah, tanpa kuasa kepala dusun
Embacang itu menurut. Kemudian ketika bola matanya
beradu pandang dengan Pri Kumala Hijau, mendadak dia
merasakan ada kekuatan magis yang memancar dari sepa-
sang mata Pri Kumala Hijau. Sorot matanya yang meman-
carkan sinar kemerahan itu benar-benar membuat Dwi
Sumirah tak mampu berbuat banyak. Tak lama kemudian,
dengan kekuatan batinnya Pri Kumala Hijau memerintah:
"Pedang ini tiada guna! Sebaiknya dibuang saja!"
"Ya dibuang saja!" Bersamaan dengan ucapannya itu, maka Dwi Sumirah melepaskan
pedang yang sejak tadi berusaha ditariknya.
"Katakanlah, engkau sudah mengantuk sekali! Le-
bih baik engkau tidur...!" Begitu Pri Kumala Hijau selesai dengan ucapannya,
tiba-tiba Dwi Sumirah merasa sangat
mengantuk luar biasa, Maka tanpa dapat dicegah lagi, ma-ta kepala dusun Embacang
.Secara perlahan mulai terpe-
jam. Sampai pada akhirnya Dwi Sumirah terkulai di dalam
dekapan Pri Kumala Hijau. Perempuan Iblis Bermata Dewa
nampak tergelak-gelak. Lalu dipanggulnya tubuh Dwi Su-
mirah yang sudah tertidur pulas.
"Ajian Sirep Sukma! Mana ada duanya di dunia
ini....!" kata perempuan itu. Lalu sambil memanggul tubuh Dwi Sumirah, maka dia
pun cepat-cepat berlalu dari tempat itu.
* * * Pagar Dewa kini hanya merupakan sebuah daerah
angker tiada berpenghuni. Tak seorang pun ada orang
yang berani melintasi daerah itu. Bekas sisa kehidupan
memang pernah ada di sana. Di sebuah dataran tinggi, di situlah Sepasang Iblis
Bermata Dewa pernah menetap di
sana bersama dengan puluhan murid-muridnya. Tetapi
kini, semua itu hanya tinggal merupakan puing-puing se-
buah rumah yang nampak berserakan tiada berketentuan.
Dua tombak dari bekas rumah tersebut, nampaklah
deretan beberapa puluh makam para murid Sepasang Iblis
Bermata Dewa. Seperti diketahui, mereka tewas di tangan istri gurunya sendiri.
Sewaktu-waktu daerah itu nampak dikunjungi oleh
seorang laki-laki bertangan buntung dan bermata redup.
Terkadang berhari-hari laki-laki setengah sinting itu berada di sana, duduk
berlama-lama di tengah-tengah kubur
murid-muridnya. Seperti diketahui laki-laki bertangan
buntung dan berompi merah ini, sesungguhnya bekas su-
ami Pri Kumala Hijau. Setelah menjadi pecundang oleh istrinya sendiri perjalanan
hidup selanjutnya menjadi tiada
berketentuan. Sekali waktu dia bisa tergelak-gelak bagai orang gila, di lain
saat dia menangis, melolong bagai anak kecil.
Mungkin karena dia merasa putus asa tidak berha-
sil mengajak istri yang sangat dicintainya itu kembali ke jalan yang lurus, atau
mungkin pula dia merasa kecewa,
karena istrinya kini telah menjadi budak iblis akibat ulah gurunya yang bernama
si Setan Joma. Pagi itu setelah pertemuannya dengan Buang Seng-
keta di Tanjung Kait, Laki-laki yang bernama Mambang
Sadewa ini nampak kembali berada didaerah itu. Tetapi tidak terlihat sorot putus
asa dimatanya. Sungguh pun ma-
tanya yang redup itu sewaktu-waktu dapat memancarkan
sinar maut. Mungkin dia merasa begitu yakin bahwa Pen-
dekar Hina Kelana mampu menggusur sepak terjang Pri
Kumala Hijau dan gurunya. Begitupun kegairahan hidup
nampak sudah sirna sama sekali dari jiwanya yang merasa amat terpukul.
Matahari di pagi itu nampak bersinar cerah, embun
pun masih terasa segar menyesaki rongga dadanya. Se-
mentara semilir angin yang berhembus demikian lembut
sekali menyibakkan anak-anak rambutnya yang diikat
dengan selembar kain berwarna kelabu, Laki-laki itu ber-siul-siul kecil dengan
irama yang tak beraturan, saat dia berlaku seperti itu, sepasang kakinya terus
bergerak-gerak mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh menyemak di
atas makam murid-muridnya. Sesaat dalam kesendirian-
nya itu, tiba-tiba dia bergumam:
"Murid-muridku! Sungguh pun kalian telah tiada,
namun aku yakin kalau kalian masih mendengar apa yang
kukatakan ini. Walaupun kematian kalian tiada mampu
aku membalasnya. Tetapi kalian tak perlu gelisah. Setan Joma, ataupun bekas
istriku Pri Kumala Hijau, dia takkan berumur panjang. Sepak terjangnya akan
segera terhenti.
Murid orang tua yang mulia yaitu Pendekar Hina Kelana, aku yakin Sanggup
membasmi keangkara murkaan. Kalian
tak usah bersedih melihat nasibku, karena jika kalian bersedih, maka aku akan
menangis. Kalian pun tak usah me-
nangis, sebab jika kalian menangis aku lebih baik mati sa-ja. Sisa-sisa hidupku
hanya terbuang sia-sia!" Dalam berkata seperti itu, Mambang Sadewa terus
menggerak- gerakkan kakinya mencabuti rumput-rumput liar itu. Se-
pintas lalu keadaan laki-laki itu sangat terasa menyedihkan. Saat itu tanpa
sepengetahuan Mambang Sadewa,
nampak seorang gadis berselendang merah dan berusia
sekitar delapan belas tahun, nampak melintas tidak begitu jauh dari tempat
Mambang Sadewa. Mulanya gadis berwajah cantik dan berkulit kuning langsat itu
hendak mena- nyakan sesuatu pada laki-laki berambut kelabu ini. Namun begitu dia mendengar
suara siulan yang tak karuan
juntrungannya, kemudian ditambah lagi dengan ucapan-
ucapan si laki-laki si tangan buntung yang menyebut-
nyebut nama Pendekar Hina Kelana. Maka dia pun men-
coba mencuri dengar apa yang dikatakan oleh laki-laki itu, Sambil menunggu saat-
saat yang baik gadis berselendang
merah jitu menyelinap di balik sebuah batu besar. Dia
dengarkan apa yang dikatakan oleh orang tua aneh terse-
but. Kemudian manakala Mambang Sadewa tidak lagi me-
lanjutkan kata-katanya, maka gadis berselendang merah
itu keluar dari tempat persembunyiannya. Dan tanpa
canggung-canggung lagi, gadis belia yang berotak cerdik ini melangkah
menghampiri Mambang Sadewa yang sedang termangu-mangu dalam kesendiriannya.
Laki-laki bertangan buntung begitu menyadari ada
langkah-langkah kaki mendekat ke arahnya nampak ba-
likkan badan. Lalu dia pun bengong sendiri begitu melihat ada seorang gadis
berselendang merah tahu-tahu sudah
berada di depannya. Belum lagi ia angkat bicara, gadis
berselendang merah dengan beraninya terus menyela:
"Kakek! Siapakah dan bagaimanakah rupanya Pen-
dekar Hina Kelana yang baru saja kau sebut-sebut tadi...?"
tanya gadis itu setelah sebelumnya menjura beberapa kali.
Mendapat pertanyaan yang tiada terduga bahkan
dari seorang gadis yang belum pernah dikenal, membuat si Mambang Sadewa kerutkan
kening. Kecurigaan pun kembali menyelimuti hatinya. Sesaat dipandanginya gadis
berselendang merah ini dari ujung rambut sampai keujung
kaki. Dan tatapan si gadis yang bening dan lembut dari
sikapnya yang sopan. Mambang Sadewa pun dapat mena-
rik kesimpulan bahwa gadis itu sesungguhnya merupakan
seorang-gadis yang jujur dan baik hati. Tapi di balik ke-lembutan itu, nampaknya
seorang gadis itu juga menga-
lami penderitaan hidup yang mungkin tidak begitu beda
dengan yang dialaminya.
"'Cah ayu! Siapakah engkau ini" Apa perlumu kau
tanyakan Pendekar Hina Kelana?" tanya Mambang Sadewa menyelidik.
Tanpa memperdulikan pertanyaan laki-laki bertan-
gan buntung, gadis berselendang merah itu terus dalam
pertanyaannya sendiri.
"Kek...katakanlah! Apakah orang itu menyandang
sebuah periuk besar, wajahnya sangat tampan dan ram-
butnya dikuncir?" desak si gadis nampak tidak sabaran la-gi.
Mambang Sadewa belalakkan kedua matanya. Seo-
lah dia tak percaya dengan apa yang baru saja didengar-
nya. Bagaimana mungkin gadis yang masih sangat muda
itu bisa mengenali Pendekar Hina Kelana, atau mungkin-
kah gadis ini merupakan salah seorang kerabat pendekar
itu" Tetapi hal itu sangat mustahil sekali mengingat Buang Sengketa sejak kecil
sudah berada dalam asuhan si Bangkotan Koreng Seribu,
"Bocah, dari mana dan siapa engkau ini"'' tanya
Mambang Sadewa merasa enggan dan sangsi untuk men-
jawab pertanyaan gadis berselendang merah.
* * * 6 " Jawablah dulu" pertanyaanku, Kek...!" ucap si gadis dengan nada memelas.
Mambang Sadewa cepat-cepat gelengkan kepalanya.
"Tidak bisa, bukan aku yang memerlukanmu, tetapi
engkau yang perlu aku." tukas Mambang Sadewa tegas-tegas.
Gadis berselendang merah nampak menarik napas.
pendek. Ada rasa kesal di dalam hatinya, tetapi untuk
membantah perintah orang yang sangat dibutuhkan kete-
rangannya, rasanya tidak mungkin sekali. Keterangan itu baginya sangat perlu.
Sembilan tahun dia sangat merindukan orang yang disebut-sebut oleh Mambang
Sadewa. Dalam kerinduan itu dan demi orang yang sangat menarik
simpatinya, dia selalu berusaha dengan tekun mempelajari jurus-jurus aneh
peninggalan Padri Agung Pengayom Jagat. Di lereng Kerinci, bahkan hanya dengan
ditemani oleh bibinya.
Jurus-jurus tersebut dengan sangat sempurna ber-
hasil dia kuasai, semua itu dia lakukan demi orang yang sangat dia kagumi. Buang
Sengketa atau Pendekar Hina
Kelana. Lalu siapakah gadis berselendang merah itu" Dialah Wanti Sarati, yang
saat bertemu dengan Pendekar Hi-na Kelana baru berumur sembilan tahun. (Untuk
lebih je- lasnya silahkan anda ikuti judul Air Mata Di Sindang Darah). Demikianlah setelah
berfikir-fikir sejenak, pada akhirnya gadis berselendang merah itupun menjawab:
"Kakek! Namaku Wanti Sarat, sengaja datang dari
tempat yang jauh hanya ingin untuk bertemu dengan
orang yang bernama Buang Sengketa...!"
Mambang Sadewa lebih terkejut begitu Wanti Sarati
menyebut nama Pendekar Hina Kelana. Maka dia pun ak-
hirnya menjadi maklum bahwa jelas-jelas gadis berselen-
dang merah itu benar-benar mengenal Pendekar Hina Ke-
lana. Maka tanpa ragu-ragu lagi, Mambang Sadewa pun
berucap, "Aku yang tua dan buntung tangan ini bernama
Mambang Sadewa! Kurasa orang yang kau tanyakan itu
memang benar Pendekar Hina Kelana yang pernah kujum-
pa. Tapi ada hubungan apakah engkau dengan pendekar
itu...?" Kalau saja tidak merasa sungkan sudah barang
tentu Wanti Sarati melonjak-lonjak kegirangan. Sebab dia merasa usahanya selama
dua tahun mencari pendekar
yang sangat dia kagumi itu kini telah membuahkan hasil.
Sesaat kemudian dengan pandangan matanya yang
berbinar-binar dia pun berkata;
"Paman Buang Sengketa adalah orang yang pernah
menyelamatkan aku, kepadanya aku berhutang nyawa.
Setiap saat aku selalu merindukannya, dia pendekar sakti yang banyak membasmi
kaum golongan sesat".
Mambang Sadewa mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. "Benar, dia memang pendekar yang sangat meng-
gemparkan dunia persilatan. Apakah engkau ingin berte-mu dengannya?" tanya laki
berkumis dan berjanggut panjang itu pada Wanti Sarati.
"Dua tahun aku melakukan pengembaraan, semua
itu adalah karena rasa rinduku ingin bertemu dengannya!"
"Wanti... seperti yang kau lihat! Saat ini pendekar itu tidak ada bersamaku!"
ujar Mambang Sadewa. Wanti Sarati nampak sangat kecewa mendengar kata-kata kakek


Pendekar Hina Kelana 11 Sepasang Iblis Bermata Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tua tersebut. Kiranya hal itu tidak luput dari perhatian Mambang Sadewa. Dengan
diiringi sesungging senyum
maka dia pun berkata:
"Tapi kau tak perlu berkecil hati, sebab setelah
nanti menyelesaikan tugasnya, pendekar itu akan datang
menemuiku!"
"Tugas" Tugas apa Kek...?" tanya Wanti Sarati heran.
Kemudian secara singkat Mambang Sadewa mence-
ritakan apa yang sedang dikerjakan oleh Buang Sengketa, Wanti Sarati nampak
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Nampaklah dia semakin bertambah kagum pada pendekar
yang dirindukannya.
"Apakah kita tidak lebih baik menyongsongnya saja
Kek?" Mambang Sadewa nampak mengerutkan alisnya,
sungguhpun dia setuju dengan yang dikatakan gadis ber-
selendang merah ini, namun hatinya masih diliputi kera-
gu-raguan, Sebab walau bagaimanapun jika mereka ber-
dua bermaksud menemui Buang Sengketa, maka mau tak
mau keduanya harus pergi ke daerah Kayu Agung, yaitu
tempat bermukimnya Setan Joma dan bekas istrinya, Pri
Kumala Hijau. Tetapi kalau hal itu dia lakukan, setidak-tidaknya dia pasti
bertemu dengan perempuan yang telah
turun tangan jahat itu.
Padahal dia sudah berjanji untuk tidak berjumpa
dengan Pri Kumala Hijau untuk selama-lamanya. Atau ka-
laupun terpaksa harus bertemu, setidak-tidaknya dia ha-
rus mampu membunuh orang yang telah membuatnya ca-
cat seumur hidup. Tetapi dengan keadaannya yang seperti
itu, mampukah dia berbuat banyak" Walaupun pada ke-
nyataannya memang dia akui bahwa setelah peristiwa
yang sangat memalukan itu kini dia berlatih bahkan men-
ciptakan jurus-jurus silat si Tangan Buntung. Namun
agaknya untuk dipergunakan menghadapi dua orang yang
berkepandaian sangat luar biasa, hal itu terasa masih belum cukup.
Saat dia sedang berfikir begitu, Wanti Sarati yang
sejak tadi memandangi Mambang Sadewa kembali mem-
buyarkan lamunan manusia berambut kelabu itu.
"Kakek, kenapa diam" Apakah kau tidak setuju
dengan yang aku usulkan tadi?" Tanya si gadis.
"Eee...anu... tentu aku setuju saja. Tetapi untuk
bertemu dengan Pendekar Hina Kelana mau tak mau kita
harus ke Kayu Agung!".
"Mengapa harus ke Kayu Agung...?"
Andai saja Mambang Sadewa memiliki tangan yang
utuh. Tentu dia sudah garuk-garuk kepalanya yang tak
gatal. Wanti Sarati yang. Kekanak-kanakan membutnya
menjadi salah tingkah karena pertanyaan-pertanyaannya.
Tapi dia pun maklum sesungguhnya Wanti Sarati merupa-
kan gadis yang berpikiran cerdas.
"Kalau tidak mau ke Kayu Agung, lebih baik kita
menunggu di sini saja sampai tua!" kata laki-laki bertangan buntung itu
kemudian. "Jangan, Kek...!"
"Kalau tak mau, bukankah ada baiknya kalau kita
datangi sarangnya iblis itu!"
"Aku kan bagaimana kakek saja, Kalau kakek pu-
tuskan kita pergi, maka aku akan ikut. Tetapi kalau kakek tidak ada niat pergi,
maka aku pergi sendiri".
"Weiii...bocah gendeng seenak perutmu saja kau
ngomong" tukas laki-laki berambut kelabu itu. Sesaat setelahnya, maka tanpa
banyak kata lagi Mambang Sadewa
sudah berkelebat pergi dari tempat itu. Begitupun Wanti Sarati segera
menyusulnya. * * * Dikelilingi dengan hutan bakau yang sangat luas,
rumah bertonggak yang sangat besar dan berdiri di atas
tanah berlumpur becek itu memberi kesan jorok dan ang-
ker. Dari dalamnya hampir setiap saat selalu terdengar
rintihan dan erangan suara perempuan. Sedangkan bau
yang menyebar dari rumah bertonggak itu, tak lebih me-
rupakan bau amis dan bau tak sedap lainnya. Andai dili-
hat sepintas lalu, rumah hanya berpenghuni perempuan-
perempuan saja. Mereka ini terdiri dari gadis-gadis yang masih muda belia.
Cantik dan menggiurkan. Puluhan gadis yang berada di dalam rumah besar tersebut,
hampir keseluruhannya merupakan bekas korban nafsu si Setan
Joma. Yaitu guru Pri Kumala Hijau. Raja dari segala raja ilmu sesat. Gadis-gadis
itu hampir kesemuanya telah hilang mahkota nya. Milik mereka satu-satunya yang
paling berharga karena direnggut oleh Setan Joma untuk mem-perkuat ilmu hitam
yang sangat diyakininya.
Sungguh malang sekali nasib mereka, Karena me-
reka tak ubahnya bagai orang tolol. Sungguhpun tangan
dan kaki mereka tidak dibelenggu. Namun mereka tidak
mempunyai hasrat sama sekali untuk melarikan diri. Bah-
kan lebih dari itu gadis-gadis bertelanjang dada itu sudah tak dapat mengingat
siapa diri mereka.
Agaknya ilmu Sirep Peteng Dedet yang telah diper-
gunakan oleh Setan Joma untuk inenguasai gadis-gadis
itu, benar-benar telah mendarah daging. Sehingga bagai
seekor kerbau dicucuk hidung gadis-gadis cantik yang berasal dari berbagai desa
itu hanya mengikuti saja segala apa yang diperintahkan oleh si Setan Joma.
Sementara itu masih dalam rumah yang sama,
nampaklah Pri Kumala Hijau dan gurunya sedang berca-kap-cakap. Di dalam kamar
itu pula Dwi Sumirah nampak
terbaring di atas sebuah ranjang kayu yang berlapiskan je-rami. Kepala dusun
Embacang yang malang itu nampak-
nya masih pulas dari pengaruh sirep milik Pri Kumala Hijau.
"Purnama penuh beberapa jam lagi baru tiba,
Guru... 1" ucap perempuan itu pada laki-laki gemuk berwajah menyeramkan dan
hanya mengenakan cawat saja.
Nampaklah mata guru setan itu berkeriap setelah men-
dengar perkataan murid tunggalnya.
Degup dada laki-laki gemuk yang bagian dadanya
selalu menyebarkan bau amis itu pun semakin bertambah
kencang. Sesekali matanya yang liar dan selalu belingsatan seperti setan itu pun
memandangi ranjang kayu yang
berukir tengkorak tempat dimana tubuh Dwi Sumirah dile-
takkan. "Purnama penuh...!" sahut laki-laki bercawat itu
seolah-olah bergumam pada dirinya sendiri.
"Purnama penuh, adalah hidup yang paling berhar-
ga bagiku! Ilmu saktiku semakin bertambah menggunung.
Sementara surga dunia juga aku reguk...!" kata Setan Jo-ma tanpa malu-malu. Saat
dia berkata begitu sorot ma-
tanya memandang pada Pri Kumala Hijau. Seolah-olah
pandangan mata itu menggerayangi tubuh murid yang du-
duk bersila di depannya. Lalu setelah basahi bibirnya dengan lidahnya sendiri,
maka dia pun menyambung:
"Engkau benar-benar murid yang sangat berbakti
dan sangat. cerdik, Apa yang kau usahakan selama ini untukku dan untukku, belum
ada yang mengecewakan hati-
ku, Mudah-mudahan kehadiran perempuan yang kau ba-
wa itu benar-benar dapat menjadikan diriku semakin
sempurna!" kata Setan Joma, sementara sepasang matanya tetap berputar-putar
liar. "Semua itu kulakukan hanya demi rasa terima ka-
sihku padamu guru".
"Betul, Lebih dari semua itu apapun yang kumiliki
toh pada akhirnya akan kuturunkan padamu. Engkau
akan menjadi pewaris tunggal dari ilmu sakti yang kumili-ki...!" kata Guru
manusia iblis itu pasti.
Pri Kumala Hijau nampak sangat gembira sekali
begitu mendengar keputusan Setan Joma. Agaknya dia
merasa bahwa usaha kerasnya selama ini demi membantu
gurunya tidak sia-sia. Dan dia pun merasa bahwa pembe-
rian itu rasanya sangat pantas dan wajar. Mengingat dia sendiri telah berkorban
cukup banyak. Segala yang dia miliki telah dia berikan pada laki-laki gemuk
bercawat itu. Rasa-rasanya sudah tiada yang tersisa. Dan sebagai hasil dari pengorbanannya itu
dia telah mendapatkan ilmu sakti
yang tiada ternilai harganya. Bahkan antara sadar dan tidak dia telah berhasil
pula mengalahkan Mambang Sade-
wa suaminya sendiri. Dasar manusia yang sudah terlanjur sesat., apapun yang dia
lakukan tetap saja merasa diri telah benar.
Sang waktu terus berjalan dengan cepat, tanpa te-
rasa senja pun telah berganti malam, Suasana nampak
samar dan remang-remang. Pintu besar yang terbuat dari
anyaman daun rumbia telah ditutupkan. Nun diufuk Ti-
mur nampak semburat merah pertanda bulan purnama
penuh akan segera tiba.
"Sebagaimana kebiasaannya tampaknya Pri Kumala
Hijau telah begitu hafal dengan apa yang akan dikerjakan oleh gurunya.
Sesaat kemudian tanpa menunggu diperintah oleh
gurunya, Pri Kumala Hijau segera berlalu dari kamar itu.
Setelah menutupkan pintu kamar pribadi tersebut, maka
perempuan murid manusia sesat itu segera bergegas ke
luar dari rumah itu.
Sementara itu, di dalam kamarnya Setan Joma
nampak sedang menghadap sebuah dupa. Di dalam dupa
tersebut nampak setumpukan bara yang masih menyala.
Sedangkan di tangan kanan Setan Joma, nampak tergeng-
gam serpihan-serpihan kemenyan yang sudah siap untuk
ditaburkan di atas bara itu.
Mulut laki-laki berwajah menyeramkan itu terus
berkomat kamit, sesekali tangannya menaburkan serpihan
kemenyan yang ada di dalam genggaman tangannya. Kini
asap tipis mulai menyelimuti tubuh Setan Joma. Asap itu terus bergelung-gelung,
meliuk kemudian berputar-putar
disekitar Guru Iblis, yang hanya mengenakan cawat saja.
Keringat sebesar biji jagung mulai bercucuran dari dahi dan pipi laki-laki itu.
Setelah beberapa saat kemudian ma-ka terdengarlah mantra-mantra yang dibacanya.
"Hong Wiluheng"
"Aku tahu asal usulmu, aku lihat kepulanganmu,
roh adalah kehidupan,. Sedangkan jasad adalah rumah da-ri kehidupan itu sendiri.
Aku tahu asal usulmu. Menurutlah apa yang aku perintahkan. Engkau kini menjadi
budakku, seorang budak harus menurut keinginan majikan. Demi ke-sempurnaan
ilmuku, demi tujuh penjuru mata angin. Hai roh pulan binti pulan. Aku meminta
kehormatanmu dengan rela"
* * * 7 Selesai membaca mantra-mantra tersebut tubuh
Guru Iblis tergetar-getar sesaat lamanya. Lalu sepasang matanya yang terpejam
rapat-rapat itu secara perlahan
membuka kembali. Namun kini sepasang mata Guru Iblis
itu merona merah. Semakin lama bertambah semakin me-
rah, kemudian manakala dia memandang suasana di seki-
tarnya. Mata itu memancarkan cahaya aneh menggidik-
kan. Sungguh posisi tubuh Guru Iblis masih tetap seperti semula. Namun pandangan
matanya yang nanar dan memancarkan cahaya merah itu liar bagaikan orang yang se-
dang mencari-cari sesuatu yang sangat dibutuhkannya.
Hanya dalam penerangan lampu minyak yang samar-
samar, mata Guru Iblis itu menjelajah kesekeliling ruangan itu.
Dan manakala pandangan matanya membentur
pada sesosok tubuh yang terbaring dengan posisi terlen-
tang di atas ranjang kayu, maka pandangan matanya ber-
henti di sana. Mulut Guru Iblis berkomat kamit, lagi-lagi tangannya kembali
menaburkan serbuk kemenyan pada
tungku yang baranya sudah hampir mati. Keanehan kem-
bali terjadi, bara yang tadinya hampir padam kini marak kembali. Tubuh Guru
Iblis kembali tergetar, keringat semakin banyak bercucuran sehingga sekilas lalu
tubuhnya nampak berkilat-kilat bagaikan patung lilin. Tak lama setelah itu, Guru Iblis
alias si Setan Joma, segera berucap.
Sungguh pun pelan, namun cukup membangkitkan keku-
atan magis. "Hei, pulan binti pulan, bangkitlah, Sesungguhnya engkau tidak mengantuk Cepat
bangkit...!" Suara Guru Iblis bergemetaran dilanda gemuruh darahnya sendiri.
Anehnya tubuh Dwi Sumirah yang tadinya tertidur pulas
akibat pengaruh ilmu sirep milik Pri Kumala Hijau, kini secara perlahan mulai
bangkit dari pembaringan. Kedua matanya pun sudah membuka kembali. Sesaat
perempuan kepala dusun Embacang itu nampak celingukan bagai
orang yang sedang kebingungan. Manakala pandangan
matanya membentur sosok tubuh gemuk yang hanya
mengenakan cawat saja. Tiba-tiba terasa ada hawa hangat yang turut serta
mengalir dalam pembuluh darahnya. Lalu pandangan matanya berbinar-binar. Lalu
desahan-desahan kecil meluncur dari bibir Dwi Sumirah. Melihat
usahanya yang telah nampak mendatangkan hasil se-
sungging senyum tipis segera menghiasi wajahnya. Maka
perintah-perintah pun berlanjut.
"Turunlah kau dari atas ranjang itu...!!" perintah Guru Iblis masih dalam
kekuatan gaibnya. Dwi Sumirah
nampak turun dari atas ranjang kayu yang penuh beruki-
ran tengkorak manusia.
"Mendekat ke mari...!" lanjut si Guru Iblis, seraya memandang pada Dwi Sumirah.
Yang kini bergerak mendekat ke arahnya. Hanya dalam jarak setengah meter, Dwi
Sumirah menghentikan langkahnya. Guru Iblis memandangi tubuh Dwi Sumirah untuk
beberapa saat lamanya.
Mulutnya kemudian berdecap-decap, lalu basahi bibirnya, Hanya dalam waktu tak
sampai sepemakan sirih Guru Iblis kembali berkata seolah-olah seperti pada
dirinya sendiri,
"Wilayah Kayu Agung ini sudah harus dipenuhi
oleh budak-budak perempuan, aku berkuasa di atas me-
reka. Sementara kesaktianku tak seorang pun ada yang
mampu menandinginya". Bersamaan dengan ucapannya
itu, tak lama kemudian Guru Iblis kembali menoleh pada
Dwi Sumirah kemudian diapun melanjutkan ucapan-
ucapannya kembali.
"Hei, manusia yang bernama Dwi Sumirah! Kini
engkau sudah menjadi budakku, Mengertikah engkau?"
"Aku mengerti!" jawab Dwi Sumirah dengan tatapan mata hampa.
"Aku pangeranmu yang punya hak memperlaku-
kanmu sesuka hatiku.."
"Ya...!" sahut kepala dusun Embacang itu.
"Dan engkau wajib menuruti semua kehendakku,
karena aku ini pangeranmu. Kau dengarkah apa yang ku-
katakan ini...?"
"Aku dengar, dan aku akan melakukannya...!" Dwi Sumirah yang sudah lupa pada


Pendekar Hina Kelana 11 Sepasang Iblis Bermata Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri sendiri itu menyahuti.
Guru Iblis tergelak-gelak, selanjutnya dia kembali memerintah.
"Sekarang buka semua pakaianmu!" perintah laki-laki keparat itu dengan semangat
yang menggebu-gebu.
Sungguh luar biasa pengaruh gaib yang dimiliki oleh Guru Iblis itu. Karena
sesuai dengan perintahnya, maka tak la-ma kemudian Dwi Sumirah segera
menanggalkan pa-
kaiannya. "Tanggalkan semuanya...! perintah Guru Iblis sam-
bil memperhatikan pemandangan yang terpampang seten-
gah meter didepan hidungnya. Tak lama kemudian wanita
Kepala Dusun Embacang itu menanggalkan pakaian te-
rakhir miliknya. Tubuh Dwi Sumirah menebarkan bau ha-
rum yang membuat Guru Iblis blingsatan.
"Ke marilah engkau dan duduk di pangkuanku..?"
perintah laki-laki gemuk bercawat itu. Kemudian begitu
tubuh Dwi Sumirah mendekati. dia langsung saja menyen-
takkan tangan Dwi Sumirah. Tak ayal lagi perempuan
yang sudah berada dalam kekuasaan ilmu sirep milik
Guru Iblis itu pun terjerembab di pangkuan laki-laki gemuk itu. Tangan manusia
bangsat itu lalu meranjah ke segenap tubuh Dwi Sumirah yang tiada berpakaian.
Perem- puan itu hanya mampu merintih begitu tangan si Guru Ib-
lis menggerayangi bagian-bagian tertentu. Tak lama setelah itu Guru Iblis segera
membaringkan tubuh Dwi Sumi-
rah di atas lantai yang beralas tikar pandan. Lampu minyak kelapa di dalam
ruangan kamar pribadi itu menda-
dak menjadi padam. Guru Iblis sudah berada dalam posi-
sinya, selanjutnya hanya erangan dan desahan-desahan
kecil saja yang terdengar. Di dalam kamar suasana gelap gulita tubuh orang itu
sudah bermandikan keringat. Sementara di luar langit menjadi redup, awan putih
sesekali menutupi cahaya bulan sehingga suasana di atas bumi
menjadi gelap seketika. Nun di kejauhan sana terdengar dengus babi hutan saling
memperebutkan makanan. Sementara lolongan srigala hutan pun saling bersahut-
sahutan tiada henti-hentinya.
Setelah lebih kurang dua jam kemudian, tampaklah
guru setan keluar meninggalkan kamar pribadinya. Di bi-
birnya. menyunggingkan senyum puas dan licik. Sementa-
ra di dalam kamar yang gelap gulita tubuh Dwi Sumirah
nampak terbaring lemah tiada daya. Sepanjang malam pe-
rempuan kepala dusun Embacang itu tidak pernah istira-
hat karena harus melayani Guru Iblis yang bertenaga gila.
* * * Tanjung Lubuk di pagi hari selalu menampakkan
kesibukan yang luar biasa. Apalagi daerah itu merupakan tempat memasarkan hasil
bumi bagi penduduk yang bermukim di sekitar tempat itu.
Tak heran kalau sepanjang hari Tanjung Lubuk
merupakan sebuah tempat yang tak pernah sepi dari
orang-orang yang berbelanja keperluan bahan pokok seha-
ri-hari. Tidak jauh dari keramaian pasar itu, seorang kakek
bertangan buntung dan mengenakan topi capil pelindung
matahari, nampak sedang berjalan bersama seorang gadis
cantik berkulit kuning langsat.
Kakek dan gadis itu nampak dengan tenang me-
langkahkan kakinya menuju sebuah warung yang terdekat
dari tempat itu. Mereka tiada perduli pada orang-orang di sekitar pasar yang
sejak tadi nampak memperhatikan si
kakek buntung yang berjalan di sisi gadis itu.. Di mata mereka ada yang
memandang iba pada kakek tersebut,
ada yang mencemooh, bahkan ada pula yang merasa jijik.
Tak lama kemudian kedua orang itu pun sudah
memasuki sebuah warung penjual makanan. Nampak ada
beberapa pasang mata memandang pada mereka dengan
perasaan tak senang ketika mereka memasuki warung ter-
sebut. Namun sejauh itu kakek dan gadis yang tak lain
merupakan Mambang Sadewa dan Wanti Sarati adanya,
nampak masih dapat menahan diri.
Kedua orang itu akhirnya duduk saling berhadapan
di salah sebuah bangku yang terletak di sudut ruangan warung itu.
Tak lama kemudian seorang pelayan warung terse-
but nampak menghampiri mereka dengan perasaan eng-
gan. Dan sudah barang tentu hal ini didalam perhatian
Mambang Sadewa, yang nampak mulai tersinggung.
"Anda pesan apa, Ki...?" tanya pelayan itu ayal-ayalan.
Di luar dugaan kiranya Mambang Sadewa yang se-
sungguhnya berhati lembut kini nampak sudah tak saba-
ran. Lalu diinjaknya kaki pelayan yang berada di seberang
mejanya. Laki-laki pelayan itu menjerit, namun ketakutan luar biasa. Masih
dengan perasaan geram Mambang Sadewa berkata ketus.
"Pelayan sialan! Yang kubutuhkan sopan santun
yang baik, di sini kami bukan mengemis di warungmu ini.
Kalau aku mau. aku mampu beli seisi warungmu berikut
kepalamu dan kepala majikanmu!" bentak Mambang Sa-
dewa. Lalu tanpa terduga-duga dia merogoh sebuah kan-
tong yang menggelantung di lehernya. Pemandangan ini
sudah tentu membuat terbelalak kaget semua yang hadir
di warung itu. Sebab Mambang Sadewa yang buntung ke-
dua tangannya itu, ternyata dapat mengambil kantung
yang berisi uang emas itu dengan mulutnya. Bahkan den-
gan gerakan sangat cepat dia sekaligus membuka kantung
yang terikat tali tersebut. Dengan giginya pula dikelua-rkannya beberapa keping
uang emas. Setelah itu dia pun
berseru pada pelayan itu.
"Kau lihatlah pelayan goblok, bukankah uangku le-
bih dari cukup kalau hanya untuk membeli warung milik
majikanmu ini?" bentaknya, seraya melepaskan injakan kakinya di atas kaki si
pelayan yang sudah meringis-ringis ketakutan.
"Ampun...ampun tuan! Maafkan kesalahanku, se-
karang katakanlah apa yang ingin tuan pesan dari wa-
rungku ini...?" tanya si pelayan dengan sikap berubah sa-ma sekali.
"Sialan! Kau suruh dulu aku marah, baru kemu-
dian kau layani. Kalau tak ingat perutku sudah sangat la-par sekali. Warung ini
pasti sudah kubakar...!" tukas Mambang Sadewa merasa sangat kesal sekali.
"Sekali lagi maafkanlah kami, Tuan...!" "Sudahlah, cepat sana kau sediakan apa
yang kami ingini...!" kata Mambang Sadewa. Lalu tanpa banyak kata lagi pelayan
setengah baya itu pun segera meninggalkan mereka untuk
menyediakan apa yang dipesan oleh kedua orang itu.
"Sedari tadi orang-orang itu memperhatikan kita
melulu sih...!" Dalam suasana keramaian pengunjung. Ti-ba-tiba Wanti Sarati yang
sejak tadi hanya diam saja kini ikut menyela.
Mambang Sadewa tersenyum saja mendengar uca-
pan gadis lugu dari lereng Kerinci itu
"Agaknya tikus-tikus karung itu begitu kagum me-
lihat kecantikanmu, Wanti. Atau mungkin pula mereka
merasa iba bahkan benci melihat keadaanku yang cacat
ini...!" "Ah, kakek mengapa, berkata begitu! Kalau berani
macam-macam kita sikat saja mereka!" kata Wanti Sarati.
Karena kata-kata itu diucapkan dengan suara keras, maka hal itu cukup menarik
perhatian para pengunjung warung
itu. Beberapa orang laki-laki yang duduk di sudut lainnya nampak memperhatikan
Wanti Sarati dan Mambang Sadewa silih berganti. Dari pandangan mata mereka,
nampak sekali kalau orang-orang itu tidak bersahabat sama sekali.
Bahkan salah seorang di antara laki-laki itu, nampak
mengedip-kedipkan matanya pada Wanti Sarati. Sehingga
membuat wajah gadis itu berubah merah. Masih untung
gadis itu merupakan seorang gadis yang sangat penyabar.
Kalau tidak sudah barang tentu si laki-laki sudah kena di-damprat oleh Wanti
Sarati. Namun kiranya saat itu Mam-
bang Sadewa juga sempat melihat ulah si laki-laki itu,
sungguh pun setengah kesal melihat ulah laki-laki itu,
namun dia nyeletuk juga.
"Agaknya laki-laki muka tikus itu suka padamu,
Wanti...!"
Wanti Sarati nampak cemberut tanpa sadar dia pun
berucap, "Muka tikus itu. Heh, mana ada apa-apanya bila
dibandingkan. dengan Paman Kelana...!"
"Agaknya engkau lebih kepincut pada pendekar
yang telah menolongmu itu!" sindir Mambang Sadewa.
Wajah Wanti Sarati memerah seketika itu juga.
Kemudian buru-buru dia membantah.
"Kakek bisa-bisa saja, mana mungkin aku bisa
menganggap lain Paman Kelana! Aku tahu bagaimana si-
fatnya terhadap wanita...!"
Tahulah Mambang Sadewa, bahwa gadis yang ma-
sih sangat belia itu sesungguhnya selain memendam rasa
rindu kiranya juga menaruh perasaan pada pendekar yang
sangat tampan itu. Untuk mendesak dan mencari tahu le-
bih lanjut rasanya dia kurang enak. Apalagi pada saat itu pelayan tadi sudah
datang kembali dengan membawa pe-sanan mereka.
Untuk sesaat mereka saling terdiam. Sementara pe-
layan setengah tua Itu dengan rasa sungkan meletakkan
makanan yang dipesan oleh Mambang Sadewa. Lalu sete-
lah meletakkan makanan tersebut berucap:
"Silahkan, Tuan... kata laki-laki itu seraya cepat-cepat menyingkir dari tempat
itu. * * * 8 Seperginya pelayan itu, Mambang Sadewa tanpa
menghiraukan keadaan sekelilingnya terus menyantap hi-
dangan yang mereka pesan, Wanti Sarati merasa iba meli-
hat cara Mambang Sadewa menyantap makanan yang ter-
letak di hadapannya. Sebab cara Mambang Sadewa me-
makan makanan tersebut tak ubahnya bagai seekor itik
saja. Mula-mula dengan mempergunakan dagunya dia
mendekatkan mangkuk yang berisi makanan berikut lauk
pauknya. Setelah itu, wajahnya menunduk sehingga kebe-
radaannya persis benar dengan mangkuk yang terletak di-
depannya! Lalu mulut dan bibirnya segera dia benamkan
persis di dalam mangkuk tersebut. Namun sungguh pun
begitu cepat sekali menghabiskan makanannya. Yang pasti semua tingkah dan
keadaannya mengundang tawa semua
yang hadir disitu. Terkecuali Wanti Sarati yang sejak tadi memandangi Mambang
Sadewa dengan tatapan iba.
Bahkan tiga orang laki-laki muka tikus yang sejak
tadi memperhatikan mereka, kini malah tergelak-gelak.
Salah seorang di antara mereka lalu mencemooh.
"Ah rakus sekali kawan kita yang satu itu. Bagai
satu bulan tak ketemu nasi. Lihatlah bagaimana dia. me-
nyantap hidangan yang sesungguhnya sangat layak untuk
dimakan oleh seekor anjing budukan...!"
"Engkau betul. Aku pun merasa kasihan, agaknya
kita perlu menyuapinya dengan makanan bekas...!" menyela salah seorang laki-laki
hitam berewokan sambil
mengetuk-ngetukkan toyanya di atas meja. Meja itu nam-
pak tergetar lalu amblas sebatas siku manakala laki-laki berewokan itu menekan
meja tersebut. Di lain pihak, baik Mambang Sadewa maupun
Wanti Sarati nampak gusar sekali begitu mendengar uca-
pan tiga orang yang belum dikenalnya.
"Kakek tak usah turun, biarkan aku yang akan ka-
sih pelajaran pada tiga ekor tikus cacingan itu!" kata Wanti Sarati, lalu dia
pun segera menghampiri tiga laki-laki yang bertampang sangar tersebut. Laki-laki
itu tergelak-gelak begitu melihat si gadis menghampiri mereka. Sesaat setelah
berada di depan meja orang-orang itu Wanti Sarati berucap:
"Tiga ekor monyet. sialan! Kalian bilang apa tadi pada kakekku...?"
"Kawan! Perawan tingting ini berani sekali jual lagak di depan Tiga Begal Dari
Tulung Seluang. Hemm, hu-
kuman apa yang paling pantas untuk manusia secantik
dia..,"' kata si Tinggi Kurus Muka Tikus Curut. Dua orang kawannya tergelak-
gelak. "Itu gampang. Kita potes dulu kakeknya yang ber-
tangan buntung itu, setelah itu kita ringkus dia. Bukankah di pondok kita sangat
dingin?" "Nah, kita bisa bergilir menidurinya!" kata yang lainnya. Semakin bertambah
gusar saja Wanti Sarati mendengar kata-kata yang bermaksud kurang ajar itu. Saat
yang sama si kakek bertangan buntung nampak tenang-
tenang saja. Sebab sesungguhnya dia ingin mengetahui
sampai di mana kehebatan gadis yang selalu merindukan
kehadiran Pendekar Hina Kelana itu. Sementara itu, Wanti
Sarati yang sudah tidak dapat menahan kesabarannya se-
gera berseru "Begal sialan manusia jadah! Agaknya mulut kalian
perlu dihajar terlebih dulu!" bentak Wanti Sarati.
Belum lagi gadis itu selesai dengan ucapannya,
dengan tangan terkepal dia langsung kirimkan satu serangan kilat.
Nampaknya ketiga orang itu memang belum pernah
menduga sebelumnya, bahwa si gadis sesungguhnya me-
miliki kepandaian juga. Maka dengan sikap ayal-ayalan dia mencoba untuk
menangkap tangan Wanti Sarati.
"Plaaak"
Laki-laki berwajah tikus curut itu menjerit tertahan
begitu merasakan bagaikan remuk ketika berusaha me-
mapaki sekaligus menangkap tinju si gadis. Orang itu terus merintih-rintih
sambil memegangi tangannya yang
membengkak dan berwarna kemerah-merahan.
Sementara dua orang lainnya, di samping terkejut
juga sangat marah. Apalagi mengingat orang yang mem-
permalukan mereka hanyalah seorang gadis tanggung
yang mereka sangka tiada apa-apanya.
Dalam waktu sekejap saja orang-orang yang berada
di dalam warung itu segera menyingkir dari tempatnya.
Saat itu si Kulit Hitam Berewokan sudah berdiri
dan langsung membentak si gadis!
"Bocah! Berani betul kau menyakiti kawan kami,
tahukah kau bahwa si Tiga Begal Dari Tulung Seluang tak pernah bertindak
setengah-setengah?"
Bagaimanapun Wanti Sarati adalah seorang gadis
yang berpikiran cerdik, dia pun sudah tahu sampai dima-
na kemampuan ketiga orang itu. Maka tanpa banyak cing-
cong lagi dia pun kembali kirimkan satu pukulan keras.
Pukulan yang dilancarkan oleh si gadis, terus menderu
mengarah pada bagian dada laki-laki berewokan. Masih
untung laki-laki itu kiranya sudah bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan.
Maka sambil berkelit dia pun
kirimkan satu pukulan satu totokan.
"Plaaak! Deeeesss!"
Laki-laki berewokan itu terhuyung-huyung, kalau


Pendekar Hina Kelana 11 Sepasang Iblis Bermata Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja tidak ada meja di belakang yang menahan tubuhnya,
sudah barang tentu dia terjengkang.
Sadarlah-laki-laki berewokan ini, bahwa gadis itu
sesungguhnya memiliki ilmu silat dan pukulan tenaga da-
lam yang tangguh.
Kini tanpa sungkan-sungkan lagi, laki-laki berewo-
kan dan dua orang lainnya segera mencabut senjata mere-
ka yang berupa toya dan clurit.
Melihat gelagat yang tak baik, maka pelayan wa-
rung itu dengan suara gemetar nampak berucap;
"Tuan-tuan dan nona, janganlah berkelahi di dalam
warungku. Modal kami kecil. Itu pun setelah menjual
kambing yang cuma satu-satunya...." kata pemilik dan pelayan warung itu mengiba.
Dalam pada itu Mambang Sadewa sudah menyela.
"Pelayan goblok, biarkan mereka pada bertarung di
dalam warung ini. Kau jangan takut! Kalau tiga begal tikus itu pada bokek, nanti
biar aku yang mengganti segala ke-rusakan yang terjadi."
"Saat itu juga Mambang Sadewa dengan mulutnya
segera melemparkan tiga kepingan emas. Uang tersebut
langsung masuk ke dalam saku si pelayan. Bukan main gi-
rangnya pelayan itu begitu melihat tiga keping uang emas pemberian Mambang
Sadewa. "Apakah tiga keping emas itu sudah cukup?" tanya Mambang Sadewa, sambil melirik
pada si pelayan dan
Wanti Sarati. "Oh Cukup sekali, andai tuan-tuan bakar sekalipun
warungku ini kami bisa membangun dua buah yang lebih
baik dari warung yang ada...." kata pelayan itu, seraya segera berlalu dari
dalam warungnya.
Setelah pelayan itu menghilang di balik pintu bela-
kang maka Mambang Sadewa kembali pada tiga begal dan
Wanti Sarati. "Tunggu apa lagi" Warung ini sudah kubayar, su-
dah lama aku tak pernah melihat pertempuran. Cepat-
cepatlah kalian bertarung!" perintah Mambang Sadewa. Ti-ga begal kertakkan
rahang, orang-orang itu langsung men-gurung Wanti Sarati. Maka sesaat kemudian
ketiga orang langsung menyerang Wanti Sarati dengan senjata terhu-
nus. Dalam waktu sekejap saja pertarungan sengit pun
segera terjadi. Si muka tikus dengan toya di tangannya cepat-cepat kirimkan
serangan-serangan ganas. Toya di tangannya menderu laksana baling-baling.
Mencecar ke ba-
gian-bagian tubuh Wanti Sarati yang nampak lemah per-
tahanannya. Sementara dua orang lainnya dengan pedang
tajam berkilat-kilat mencecar Wanti Sarati dari bagian belakang.
Sungguhpun mereka itu hanyalah sekawanan beg-
al, namun nampaknya mereka memang sudah sangat ber-
pengalaman dalam hal pertarungan seperti itu. Sungguh
pun Wanti Sarati hanyalah merupakan seorang gadis yang
sangat muda belia dan belum punya pengalaman banyak
dalam hal pertarungan, tetapi dia merupakan pewaris
tunggal dari Dua Belas Jurus Aneh peninggalan bekas-se-
orang tokoh sakti Padri Agung Sindang Darah. Gerakan-
gerakan silatnya yang bervariasi dan menggambarkan se-
bagai orang yang putus asa dalam penyesalan. Tetapi selama itu belum satu pun
senjata lawannya yang sampai
menyentuh kulitnya. Jangankan lagi sampai melukainya,
Suatu saat bagai seekor udang yang menghindari
sergapan seekor ikan buas, dengan begitu indahnya. Tu-
buh si gadis melentik ke atas, kemudian gadis itu berkelebat cepat, tangan kiri
kanan kirimkan pukulan-pukulan
maut saling susul menyusul, sementara kaki kiri menen-
dang bagian selangkangan lawan-lawannya. Pada saat itu
serangan toya dari laki-laki bermuka tikus menderu men-
garah pada bagian punggungnya. Dan pada saat yang ber-
samaan pula, pedang di tangan si berewok membabat ke
bagian tangan si gadis yang sudah terjulur melakukan sa-tu pukulan.
Baik Mambang Sadewa dan para pengeroyok Wanti
Sarati sudah menduga bahwa kali ini gadis itu pasti sudah tak mungkin lagi
mengelakkan serangan ganas yang datangnya secara bersamaan itu.
Toya dan pedang di tangan lawan-lawannya terus
menderu dan timbulkan suara bercuitan. Wanti Sarati
sendiri sempat merasakan betapa sambaran angin senjata
lawannya saja sudah membuat dadanya menjadi sesak
luar biasa. Sungguh pun begitu dia tidak nampak menjadi
gugup, dengan, cepat begitu senjata-senjata di tangan lawannya hampir mencapai
sasarannya. Di luar dugaan la-
wan-lawannya, Wanti Sarati jatuhkan diri, lalu bergulingguling. Sementara
kakinya menggunting kaki si berewok
yang hampir saja bertubrukan sesamanya.
Jepitan kaki Wanti Sarati bukan main kuatnya, se-
hingga memaksa si berewok terbanting di atas lantai wa-
rung. Secepat kilat Wanti Sarati menarik kakinya. Kemudian tangan kanannya
kirimkan satu sodokan yang sangat
telak ke bagian kiri rusuk lawannya. Si berewok yang bersenjatakan pedang itu
menjerit keras manakala tulang
iganya patah dan timbulkan suara berderak.
Tanpa menghiraukan si berewok yang terus meng-
geliat-geliat, cepat-cepat si gadis bangkit. Sekali lagi tubuhnya berkelebat
menyongsong serangan dua senjata
lainnya yang berupa toya dan sebilah pedang.
"Pletok! Duuuk!"
Si Tinggi Muka Tikus berseru kaget, manakala pu-
taran toyanya membentur tangan si gadis. Tangannya ter-
getar hebat. Saat itu pula senjata lain menderu kearah bagian bahu si gadis.
Wanti Sarati menggeser tubuhnya sedikit kesamping. Dengan cepat dorongkan sebuah
kursi kayu yang berada didepannya.
"Wuuus"
"Braaak!"
Kursi dipergunakan oleh Wanti Sarati sebagai ta-
meng pelindung hancur berkeping-keping dilanda ketaja-
man pedang di tangan lawannya.
Dalam pada itu Mambang Sadewa yang sejak tadi
memperhatikan pertarungan itu dengan terkagum-kagum,
kini sudah berseru tidak sabar lagi;
"Wanti! Jangan kau beri hati begal-begal cacingan
itu"! Cepat mampusi mereka...!" perintah Mambang Sadewa.
Begitu Wanti Sarati mendengar aba-aba dari Mam-
bang Sadewa, saat itu juga dia cepat-cepat melolos Selendang Merah yang melilit
pinggangnya. Sesaat kemudian selendang di tangan si gadis me-
lesat ke arah lawannya. Selendang itu berkelebat-kelebat.
Menderu dan keluarkan suara mendesis bagai ribuan ekor
ular. Bertarung dengan tangan kosong saja membuat ti-
ga begal itu kalang kabut, bahkan salah seorang di antara mereka telah kena
dipatahkan tulang rusuknya. Apalagi
kini si gadis sudah mempergunakan selendangnya, Yang
juga merupakan kelanjutan dari dua belas jurus silat aneh peninggalan Padri
Agung Sindang Darah.
Tak dapat dihindari lagi pertarungan menjadi se-
makin sengit. Perabotan di dalam warung itu porak poran-da dilanda lecutan-
lecutan selendang di tangan Wanti Sarati.
Si tiga begal menjadi semakin kerepotan, mati-
matian mereka mempertahankan diri dari gempuran-
gempuran selendang yang sangat mematikan itu.
Satu ketika salah seorang dari mereka yang bersen-
jatakan pedang berteriak keras, tubuhnya melesat sedemikian cepatnya. Dia
bermaksud menerkam si gadis. Untuk
kemudian kirimkan satu tusukan ke bagian leher lawan-
nya. Namun baru tiga meter tubuhnya melayang, Selen-
dang Merah di tangan Wanti Sarati sudah memapakinya.
* * * 9 Ujung selendang itu melecut tepat di wajah si tinggi
berewokan, laki-laki bertampang sadis ini pun menjerit, wajahnya hancur. Tidak
kepalang tanggung lagi. Si gadis kirimkan satu pukulan lagi. Pedang di tangan
orang itu terpental. Suara raungan kembali terdengar. Bersamaan
dengan itu tubuh laki-laki itu terlempar. Tubuhnya menabrak dinding warung yang
terbuat dari anyaman lepas.
Dinding tersebut hancur berantakan manakala tubuh si
laki-laki berewokan menabraknya. Begitu tubuh si bere-
wok terjengkang di luar warung. Sekejap salah seorang da-ri tiga begal itu
menggeliat-geliat. Wajahnya yang hancur, dan dadanya yang remuk dilanda senjata
lawannya terus mengalirkan darah kental. Kemudian setelah berkejat-
kejat. Laki-laki berewokan itu pun meregang ajal, selanjutnya dia diam untuk
selamanya. Kini tinggallah laki-laki muka tikus bersenjata toya,
dan si laki-laki berewokan lainnya yang sudah patah tulang rusuknya.
Mengetahui kawan mereka tewas di tangan si gadis,
dengan kemarahan yang meluap-luap dan tanpa basa basi
lagi, dua orang ini dengan sangat nekat sekali kembali
menggempur si gadis dengan serangan-serangan yang le-
bih dahsyat. Dengan mempergunakan jurus-jurus Pedang
Menyebar Maut. Nampaknya kini serangan-serangan sen-
jata mereka berubah sama sekali.
Gerakan mereka dalam menempur lawannya nam-
pak semakin cepat, pedang maupun toya di tangan mende-
ru dan mencecar tubuh Wanti Sarati tanpa putus-
putusnya. Dalam menghadapi serangan-serangan yang sede-
mikian cepatnya, Wanti Sarati terpaksa harus mempergu-
nakan jurus silat aneh tingkat kedelapan. Sesaat si gadis bergerak lamban, bagai
orang pikun yang sudah tidak ta-hu lagi mana kawan mana lawan, di lain waktu
bagaikan orang kesurupan tubuhnya melabrak apa saja yang ada di
sekitarnya. Kemudian berlanjut lagi" Si gadis berteriak-teriak bagai orang yang
kurang waras, sungguh nya inilah yang merupakan salah satu unsur pengembangan
jurus-jurus aneh warisan Padri Agung Sindang Darah. Sebab tak lama setelah
teriakan- teriakan itu. Tubuh Wanti Sarati sudah berkelebat lenyap, hal ini
benar-benar membuat
bingung lawan-lawannya.
Bahkan salah seorang di antara lawannya sampai
keluarkan seruan tertahan!
"Ilmu iblissss!"
"Bet. Wuuut!"
Secara ayal-ayalan, salah seorang di antara mereka
membabatkan senjatanya. Namun pada saat itulah Selen-
dang Merah di tangan Wanti Sarati melecut!
"Breeessss!"
Bagai seekor anjing yang kena gebuk laki-laki be-
rewokan yang sudah patah tulang rusuknya itu melolong.
Bagian punggung laki-laki itu terobek sejengkal.
Darah mengucur dari luka akibat sambaran selendang
yang sangat ganas. Laki-laki itu nampak terhuyung-
huyung. Namun sebelum kawannya sempat berbuat ba-
nyak, laksana kilat selendang di tangan Wanti Sarati kembali melecut ke bagian
perutnya. "Breeeet!"
Si begal yang bersenjatakan pedang itu nampak ter-
lolong kedua tangannya! menekap pada bagian perutnya
yang terburai. Darah menyembur dari sela-sela ususnya
yang berserabutan keluar.
Laki-laki itu nampak pucat pasi. Begitu dia berusa-
ha menindakkan langkahnya. Laki-laki itu terhuyung, ke-
mudian tanpa ampun tubuhnya tersungkur. Tiada eran-
gan maut yang terdengar, tanpa dapat dicegah lagi orang itu pun tewas secara
menyedihkan. Kini tinggallah laki-laki bertoya muka tikus. Menge-
tahui kembrat-kembratnya tewas secara mengerikan, nya-
linya menjadi ciut. Dia mulai menoleh kanan kiri. Tetapi agaknya Wanti Sarati
sudah dapat menebak apa yang
akan dilakukan oleh sisa si tiga begal. Maka cepat-cepat dia pun membentak;
"Tiga begal tiada guna! Engkau hendak coba-coba
kabur dari maut" Hemm! Enak betul, setelah menghina
kakekku, setelah kawan-kawanmu pada mampus. Hi...
hi... hi....! Kau boleh pergi, asalkan kau tinggalkan kepalamu di warung ini!"
tukas Wanti Sarati dengan sesungging senyum mengejek.
"Perempuan bangsat! Aku akan mengadu jiwa den-
ganmu...!" Wanti Sarati kembali tergelak-gelak.
"Bukankah tadi kau bermaksud untuk meniduri-
ku" Hmm. Setelah kau tinggal sendirian, aku mau kau
bawa ke mana pun engkau suka. Asalkan engkau bisa
mengalahkan aku!" menyela gadis itu. Walau sesungguhnya hatinya memaki dan
menanam rasa benci pada si mu-
ka tikus. "Wanti! Sikat saja. Bicara dengan tikus begal cacingan hanya menambah umurnya
beberapa saat!" Mambang Sadewa merasa kurang sabar melihat kekonyolan gadis
yang sangat baik hati itu. Tanpa berpaling dari lawannya, Wanti Sarati kembali
membentak; "Kakekku bilang supaya aku cepat-cepat membu-
nuhmu. Cepat-cepatlah kau bela dirimu. Kalau sudah ma-
suk ke liang kubur menyesal pun tiada guna!"
"Perempuan iblis, makanlah toyaku. Hiaaat...!"
Agaknya setelah kematian kawan-kawannya, laki-laki mu-
ka tikus itu sudah tak punya pilihan lain. Maka akhirnya dia pun menjadi nekad.
Tak ayal lagi, akhirnya dengan segenap kemampuannya laki-laki bertoya itu segera
menge- rahkan segenap kemampuannya. Toya di tangan kembali
menderu, sebisa-bisanya dia berusaha mencecar lawan.
Dalam amarah yang meledak-ledak, tidak lagi terpikirkan akan keselamatan diri
Pendekar Guntur 23 Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Pedang Kiri 1
^