Pencarian

Undangan Maut 1

Pendekar Gila 26 Undangan Maut Bagian 1


UNDANGAN MAUT Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dan penerbit Firman Raharja
Serial Pendekar Gila
dalam episode: Undangan Maut 128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Hutan Bambu yang semula riuh oleh pertarun-
gan seru, seketika bagaikan mati. Semua terdiam den-
gan mata memandang kedua Maling Budiman yang
sudah sangat mereka kenali. Para prajurit Kerajaan
Surya Langit terkejut, setelah tahu siapa sebenarnya
maling budiman yang selama ini selalu menutupi wa-
jah dengan cadar. Bagaikan ada yang memerintah, per-
tarungan seketika terhenti. Semua tertegun, dengan
mata berusaha memperjelas penglihatan terhadap ke-
dua maling itu.
Perdana Menteri Giri Gantra masih terpaku du-
duk di pelana kudanya. Matanya melotot kaget. Tanpa
sadar, dari mulutnya mendesiskan nama pemuda ber-
pakaian biru. "Pangeran Prapanca, kau..."!"
"Pangeran...!" seru yang lainnya turut tersentak kaget, setelah tahu lelaki yang
tadi mengenakan cadar biru penutup wajah. Serta merta para prajurit melemparkan
pandangan keheranan pada Perdana Menteri
Giri Gantra, seakan mereka ingin bertanya, apa sebe-
narnya yang terjadi.
"Perdana Menteri, bagaimana mungkin ini ter-
jadi?" tanya Resi Wisangkara yang juga diliputi rasa heran dan tak mengerti.
"Ya, mengapa bisa begini?" sambung Gagak Se-lo. "Bukankah dulu Tuan mengatakan
Kanjeng Pangeran sudah mangkat?"
Perdana Menteri Giri Gantra kebingungan. Kini
dia benar-benar merasa terpojok. Namun begitu, sifat-
nya yang licik tidak begitu saja mau mengalah. Otak-
nya yang licik, berpikir keras untuk menghadapi se-
mua. Belum juga perdana menteri membuka suara,
Pendekar Gila telah mendahului.
"Hi hi hi...! Kau sekarang seperti kebingungan,
Perdana Menteri" Ah ah ah, jelas kau menyembunyi-
kan sesuatu," tukas Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. "Tutup mulutmu, Bocah Gila!" bentak Perdana Menteri Giri Gantra sengit. Matanya
melotot marah ke
arah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kaulah yang harus menutup mulut, Perdana
Menteri!" sergah Pangeran Prapanca dengan bentakan.
"Kau telah membohongi semua rakyat, dengan mengatakan aku telah mati!"
"Tidak!" teriak Perdana Menteri Giri Gantra.
"Kau bukan Pangeran Prapanca. Kau penjahat yang
menyamar sebagai Pangeran Prapanca. Putra mahkota
telah meninggal dunia!"
Pangeran Prapanca tersenyum sinis, menden-
gar ucapan Perdana Menteri Giri Gantra. Mata Pange-
ran Prapanca menatap tajam wajah Perdana Menteri
Giri Gantra. Kemudian mengalihkan ke wajah Resi Wi-
sangkara, Gagak Selo, dan Ki Naga Wilis, serta Pangli-ma Utama Rawa Sekti.
"Apakah kalian akan percaya dengan omongan-
nya"!" tanya Pangeran Prapanca, yang menjadikan semua pendekar pengikut Perdana
Menteri Giri Gantra
masih terdiam. Mereka sepertinya masih bingung den-
gan kejadian ini. "Aku Pangeran Prapanca, Putra Mahkota Kerajaan Surya Langit,
yang berhak untuk men-
dapatkan takhta kerajaan!"
"Tidak! Kau bukan pangeran!" sahut Perdana
Menteri Giri Gantra berusaha mempengaruhi orang-
orangnya, agar tak percaya dengan yang dikatakan
Pangeran Prapanca. "Tidak mungkin seorang pangeran berbuat jahat, mencuri, dan
membunuh pejabat-
pejabat kerajaan!"
"Cuih...!" Pangeran Prapanca meludah. "Sungguh berbisa mulutmu, Perdana Menteri!
Kalau saja kau tidak melakukan kejahatan dengan menindas ra-
kyat, aku tak akan melakukan pekerjaan ini! Kau be-
nar-benar iblis! Kau injak rakyat demi kepentingan
pribadimu!"
"Bohong...!" teriak Perdana Menteri Giri Gantra.
"Kau benar-benar bukan Pangeran Prapanca, tetapi pencuri! Kau terlalu banyak
berbuat salah. Kau harus
dihukum! Karena telah mengganggu keamanan rakyat
Kerajaan Surya Langit. Kau harus ditangkap!"
Pangeran Prapanca tertawa terbahak-bahak
mendengar ucapan Perdana Menteri Giri Gantra. Ma-
tanya memandang penuh kebencian ke arah orang ke-
percayaan Prabu Awangga itu.
"Perdana Menteri licik! Kau kira dengan cara
seperti itu, kau dapat lari dari tanggung jawabmu"!"
dengus Pangeran Prapanca dengan senyum sinis. Hal
itu menjadikan Perdana Menteri Giri Gantra semakin
sengit "Tangkap mereka...!" teriak Perdana Menteri Gi-ri Gantra memerintah pada
tokoh persilatan juga para
prajurit yang ikut bersamanya. Namun tak seorang
pun yang mau bertindak. Mereka masih saja terdiam
dalam kebimbangan. Bahkan mereka kini memandang
tajam pada Perdana Menteri Giri Gantra yang semakin
bertambah marah, menyaksikan para prajurit tak ada
yang menanggapi perintahnya. "Kurang ajar! Kalian akan mendapatkan hukuman, jika
tak mau melaksanakan tugas!"
"Kami tak peduli dengan ocehanmu, Perdana
Menteri!" Resi Wisangkara angkat bicara.
"Ya! Kami berpihak pada Pangeran Prapanca,"
sambung Gagak Selo tegas. "Selama ini, kami telah
kau bohongi, Perdana Menteri!"
"Tutup mulut kalian! Prajurit, serang mere-
ka...!" teriak Perdana Menteri Giri Gantra marah. "Bunuh mereka semua...!"
Prajurit kerajaan yang tersisa dua puluh orang
itu, sesaat bimbang. Mereka merasa bingung harus
berbuat apa, karena lawan yang mereka hadapi kini
terdiri dari pendekar-pendekar tangguh. Di samping
itu, mereka tahu bahwa di sana memang ada Pangeran
Prapanca. Pangeran yang sebenarnya berhak atas
takhta kerajaan.
"Prajurit, apa kalian tuli, heh"! Serang mere-
ka...!" Kembali Perdana Menteri Giri Gantra berteriak, memerintah pada para
prajuritnya agar menyerang.
"Jangan hiraukan dia, Prajurit! Aku Prapanca.
Kalian jangan ragu! Akulah pewaris takhta kerajaan!"
teriak Pangeran Prapanca, yang semakin membuat pa-
ra prajurit kian kebingungan. Mereka terhenti di ten-
gah jalan, ragu-ragu untuk melakukan tindakan.
"Kurang ajar! Serang mereka dan bunuh se-
mua...!" teriak Perdana Menteri Giri Gantra. Namun para prajurit tetap tak ada
yang melakukan tindakan
apa pun. Bahkan tiba-tiba mereka berbalik, hendak
menyerbu Perdana Menteri Giri Gantra.
"Gusti Pangeran, perintahkan pada kami untuk
menangkap perdana menteri keparat itu. Kami akan
segera menangkapnya, dan bila perlu, kami akan me-
menggal kepalanya!" seru pimpinan prajurit dengan lantang.
Mendengar ucapan pimpinan prajurit, seketika
Perdana Menteri Giri Gantra tersentak kaget. Wajah-
nya pucat pasi. Lalu tanpa banyak kata, kudanya sege-
ra d gebah meninggalkan Hutan Bambu.
Para prajurit hendak mengejar, namun dengan
cepat Pangeran Prapanca melarang.
"Jangan dikejar! Biarkan dia hidup!"
"Tetapi, ini sangat berbahaya, Pangeran," kata lelaki bertelanjang dada berusia
sekitar empat puluh
tahun dengan kumis tebal. "Perdana menteri itu sangat berbahaya."
"Aku tahu. Biarkan dia pergi! Yang penting, kita kini harus menghimpun kekuatan.
Menghadapi kerajaan, bukanlah hal yang mudah," tutur Pangeran Prapanca pada
prajurit-prajurit kerajaan. "Kumohon, su-dilah Tuan-Tuan Pendekar mau membantu
kami." "Aha, tak usah kau pinta, Kanjeng Pangeran!
Dengan senang hati kami akan membantumu," sahut
Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepa-
la. Matanya melirik ke wajah Mei Lie, yang tengah me-
masukkan Pedang Bidadari ke warangkanya. Sena pun
segera memasukkan Suling Naga Sakti ke ikat ping-
gang. "Terima kasih, aku pun tentu saja tak melupa-kanmu. Pendekar Gila." kata
Pangeran Prapanca sambil menjura. "Kalian berdua telah menolong kami. Nah,
bagaimana dengan yang lain" Apakah Tuan-Tuan juga
sudi mendukung perjuanganku?"
Resi Wisangkara melangkah mendekati Pange-
ran Prapanca. Kemudian lelaki tua berkepala botak itu melakukan sembah, diikuti
para pendekar yang lain.
"Kami berada di belakangmu, Kanjeng Pange-
ran," kata Resi Wisangkara sambil menyembah. "Kaulah pewaris takhta Kerajaan
Surya Langit yang sebe-
narnya. Kami tunduk dan pasrah padamu."
"Ya. Kami akan selalu di belakangmu," sam-
bung Gagak Selo.
"Benar, Pangeran. Izinkan kami mengabdi pa-
damu," tambah Ki Naga Wilis. Rupanya tokoh sesat ini menyadari kedudukannya yang
terjepit. Apalagi kini
dia tahu, kedua maling budiman ternyata Pangeran
Prapanca dan temannya, Pranala. Apalagi setelah tahu, kalau di antara mereka
terdapat Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa, sepasang pendekar yang su-
dah sangat terkenal.
"Bagaimana denganmu, Panglima?" tanya Pan-
geran Prapanca yang ditujukan pada Panglima Rawa
Sekti, karena sejak tadi lelaki bertubuh tinggi itu
hanya diam. Sepertinya dia dalam kebimbangan untuk
memilih. "Saya pun turut di belakangmu, Kanjeng Pan-
geran," jawab Panglima Rawa Sekti sambil bersujud.
"Terima kasih. Bangunlah kalian semua. Di si-
ni, tak ada peraturan seperti di kerajaan. Aku, Pendekar Gila, Bidadari Pencabut
Nyawa, dan kalian semua,
sama saja hak dan kewajibannya. Kita sama-sama
akan menumpas keangkaramurkaan," tutur Pangeran
Prapanca. "Benar! Lihatlah rakyat yang sangat menderita.
Mereka sangat membutuhkan uluran tangan kita. Se-
lama ini, mereka sangat tertindas," kata Pranala menambahkan. "Apakah kita akan
menutup mata, me-
nyaksikan penderitaan rakyat"!"
Semua yang berada di Hutan Bambu itu men-
gangguk-anggukkan kepala. Tampaknya mereka me-
maklumi apa yang dihasratkan Pangeran Prapanca se-
bagai putra mahkota.
"Terima kasih atas perhatian kalian semua," ka-ta Pangeran Prapanca sambil
tersenyum senang. "Pendekar Gila, bagaimana menurutmu yang baik untuk
kami lakukan" Apakah kami harus menyerang ke ke-
rajaan?" Ditanya begitu, Pendekar Gila cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala. Diliriknya Mei Lie
yang kini berdiri di sampingnya. Seakan ingin meminta
pendapat dari kekasihnya. Mei Lie hanya tersenyum
sambil mengangkat bahu, sepertinya menyerahkan
semua persoalan dan pendapat pada Sena.
"Hi hi hi...! Lucu sekali! Mengapa aku yang bo-
doh dan gila dimintai pendapat?" tanya Sena sambil cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
"Apakah nanti pendapatku tidak sama gilanya dengan keadaanku?"
"Ah, kau selalu merendah, Pendekar Gila," ujar Pangeran Prapanca sambil
tersenyum. Dia tahu siapa
sebenarnya Pendekar Gila. Meski tingkah lakunya
aneh seperti orang gila, namun dalam hal yang sung-
guh-sungguh, pendapat dan pikirannya tak kalah den-
gan orang waras yang berpendidikan tinggi.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak ketika
mendengar ucapan Pangeran Prapanca. Kepalanya di-
geleng-gelengkan, sambil digaruk-garuk dengan tangan
kanannya. Tingkah lakunya benar-benar konyol, men-
gundang semua orang yang ada di tempat itu terse-
nyum-senyum. "Ah ah ah, bagaimana ya" Aku orang tolol,
mengapa harus dimintai pendapat?" gumam Sena ma-
sih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Un-
tuk kedua kalinya, diliriknya Mei Lie, seakan meminta pendapat. Namun Mei Lie
hanya tersenyum sambil
mengangkat bahu, yang membuat Sena semakin keras
menggaruk-garuk kepalanya. "Ah, kenapa aku jadi begini?" "Ayolah, Sena! Kau
adalah penasihat kami, untuk itu kami mengharap nasihat darimu," desak Pangeran
Prapanca. "Benar, Sena. Kaulah yang kami rasa pantas
memberi nasihat dan saran-saran bagi kami," sam-
bung Pranala dengan mulut tersenyum, melihat ting-
kah laku Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Aneh sekali, mengapa mesti aku"
Aku sendiri sedang bingung, tak tahu harus bagaima-
na. Niatku sebenarnya ingin menemui guru. Tapi ada
masalah yang menghambat perjalananku. Dan kini,
kalian memintaku untuk mengeluarkan pendapat. Ah
ah ah, lucu..., lucu sekali!" Sena menggeleng-
gelengkan kepala sambil menggaruk-garukkan tan-
gannya di kepala.
"Bagaimana dengan Nini Mei Lie?" tanya Prana-la. Dia berharap Mei Lie akan bisa
memberi pandangan


Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagi mereka. "Kalau Nini Mei Lie ada pandangan bagi kami, kami sangat berharap
sekali." Mei Lie hanya tersenyum mendengar ucapan
Pranala. Dia merasa kalau pendapat dan pikirannya
selalu sama dengan kekasihnya. Ke mana Pendekar Gi-
la pergi, dia tentu akan mengikuti. Dengan kata lain, Mei Lie telah menyerahkan
segalanya pada Pendekar
Gila. "Aku hanya terserah pada Kakang Sena," jawab Mei Lie. "Aha, mengapa mesti
aku?" tanya Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Wuah wuah, bagaimana mungkin aku menjadi tum-
puanmu" Kurasa, pangeranlah yang lebih berwenang
dalam masalah ini.
"Baiklah kalau begitu," sahut Pangeran Prapanca. "Kalau memang tak ada yang
bermaksud memberi saran, aku akan memberi tugas pada semuanya."
"Katakanlah, Pangeran! Tugas apa pun, akan
kami lakukan," sambut pimpinan prajurit.
"Ya. Katakanlah, kami akan patuh menjalankan
perintahmu," timpal Ki Naga Wilis.
"Baik. Aku tak ingin terjadi pertumpahan da-
rah. Karena perang sebenarnya akan menjadikan ra-
kyat menderita," tutur Pangeran Prapanca, yang men-
jadikan semuanya membelalak kaget. Mereka hampir
tak percaya, kalau Pangeran Prapanca akan berlaku
begitu baiknya. Padahal dirinya tahu sang Ayah serta
keluarganya telah jatuh dalam perebutan kekuasaan.
Pangeran Prapanca pun menyadari kalau penguasa ke-
rajaan yang sekarang telah menyelewengkan kekua-
saannya. "Tapi, Pangeran," selak Pranala. "Bukankah Pangeran yang berhak atas takhta
kerajaan" Kalau
takhta kerajaan dibiarkan dipegang orang-orang dur-
jana, rakyat tak akan pernah aman."
Semua terdiam mendengar ucapan Pranala,
termasuk juga Pangeran Prapanca. Mereka benar-
benar tak menduga kalau Pranala yang pendiam men-
gerti masalah kerajaan. Wawasannya pun nampak ma-
ju. "Hal yang kedua, tentunya para penguasa akan
semakin bertindak semena-mena. Mereka akan beru-
saha memburu kita, karena mereka menganggap kita
takut," sambung Pranala.
"Kau memang benar, Pranala. Namun, kurasa
ada jalan lain selain dengan cara pertempuran. Ten-
tunya kau masih ingat kata-kata guru, kalau perta-
rungan sesungguhnya bukan penyelesaian yang baik,"
ujar Pangeran Prapanca mengingatkan saudara seper-
guruannya. "Aku masih ingat, Pangeran. Namun, bukankah
guru juga mengatakan, perjuangan membela kebena-
ran dan keadilan selalu saja membutuhkan pengorba-
nan," kilah Pranala.
"Hm, kau benar. Tapi, aku tak ingin mendahu-
lui. Bagaimana kalau aku mengutus Pendekar Gila dan
Mei Lie untuk menyampaikan pesanku pada raja?"
tanya Pangeran Prapanca meminta pendapat
"Aha, aku siap, Pangeran," jawab Sena dengan
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Kemu-
dian diliriknya Mei Lie, sepertinya ingin mengetahui
tanggapan gadis itu.
"Aku pun siap," jawab Mei Lie tegas.
"Terima kasih," ucap Pangeran Prapanca. "Baiklah, besok aku meminta bantuan
kalian berdua, untuk
menyampaikan surat pada Baginda Raja Awangga."
"Aha, akan kami laksanakan, Pangeran," sahut Sena. "Mari masuk! Kita rundingkan
rencana selanjutnya di dalam saja. Anggaplah gubuk ini sebagai is-
tana kita!" kata Pangeran Prapanca setengah bercanda sambil mempersilakan rekan-
rekannya agar masuk ke
gubuk yang selama ini menjadi tempat persembu-
nyiannya. Tanpa membantah, mereka pun menurut ma-
suk ke gubuk itu. Kemudian mereka duduk di atas ti-
kar pandan yang tergelar lebar di ruangan itu.
*** Sementara itu, Perdana Menteri Giri Gantra te-
lah sampai di dekat istana. Wajahnya pucat, setelah
menempuh perjalanan dalam ketakutan dan marah.
Napasnya tersengal-sengal. Kuda yang ditunggangi, di-
pacu cepat. Sehingga keempat penjaga pintu gerbang
istana hampir tertabrak kudanya.
"Aku harus bisa mengambil hati baginda," desis Perdana Menteri Giri Gantra
sambil turun dari kudanya. Kemudian lelaki bermuka bengis dan mengena-
kan pakaian kebesaran istana itu melangkah tergesa-
gesa memasuki Istana Kerajaan Surya Langit. Dia
langsung menghadap Baginda Raja Awangga, yang
saat itu tengah duduk di singgasananya, dikelilingi
dayang-dayang cantik.
"Ampun, Baginda! Hamba menghadap!"
"Ada apa, Paman Perdana Menteri?" tanya Ba-
ginda Raja Awangga dengan kening berkerut, menyak-
sikan ketegangan tergambar di wajah perdana mente-
rinya. "Hm.... Tampaknya ada berita buruk" Apakah kedua maling itu lagi?"
"Benar, Baginda," sahut Perdana Menteri Giri Gantra seraya menyembah.
"Katakanlah, ada apa dengan kedua maling
itu?" Perdana Menteri Giri Gantra sejenak terdiam.
Sepertinya dia tengah mengatur rencana, bagaimana
sebaiknya menuturkan perihal Pangeran Prapanca pa-
da baginda raja. Dia harus bisa mengambil hati Bagin-
da Raja Awangga, agar memusuhi Pangeran Prapanca
dan teman-temannya.
"Ampun, Baginda! Sesungguhnya, kedua mal-
ing itu tiada lain...."
Sampai di sini, Perdana Menteri Giri Gantra tak
meneruskan ucapannya. Hal itu membuat Baginda Ra-
ja Awangga merasa penasaran. Hatinya ingin tahu apa
sebenarnya yang telah terjadi.
"Ada apa, Perdana Menteri" Siapa sebenarnya
kedua maling itu?" desak Baginda Raja Awangga ingin tahu. "Ampun, Baginda!
Ternyata kedua maling itu, tiada lain Pangeran Prapanca dan sahabatnya,
Pranala," tutur Perdana Menteri Giri Gantra.
"Apa"!" mata Baginda Raja Awangga membela-
lak, mendengar penuturan Perdana Menteri Giri Gan-
tra. Dia sama sekali tak menduga kalau Pangeran Pra-
panca ternyata masih hidup. "Mengapa dia masih hidup" Bukankah telah kuutus
seseorang untuk mem-
bunuhnya?"
"Entahlah, Baginda. Yang pasti, kini beberapa
pendekar berpihak kepadanya, termasuk Pendekar Gi-
la dan kekasihnya Bidadari Pencabut Nyawa," ujar Perdana Menteri Giri Gantra.
Kemudian dengan sing-kat diceritakan semua yang terjadi di Hutan Bambu
(Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gi-la dalam episode
"Sepasang Maling Budiman").
"Hm...," gumam Baginda Raja Awangga lirih.
Tangannya membelai jenggotnya yang panjang. Ma-
tanya memandang lepas keluar lewat pintu istana. Ter-
sirat di wajahnya suatu perasaan kekhawatiran. Na-
mun, tentu saja hal itu tak diperlihatkan jelas di depan perdana menterinya.
Pangeran Prapanca yang harusnya telah tiada, tiba-tiba muncul. Kalau sampai
rakyat tahu, tentu mereka akan berpihak pada putra mahkota
itu. Jelas, baginya ini suatu ancaman yang tak boleh
dianggap sepele. Ini merupakan masalah besar. Masa-
lah negara, bahkan hidup dan matinya.
Baginda Raja Awangga dan Perdana Menteri Gi-
ri Gantra sesaat terdiam. Nampaknya mereka sedang
berpikir untuk mencari jalan keluar guna menyingkir-
kan Pangeran Prapanca dari Kerajaan Surya Langit.
Bahkan bila perlu, putra mahkota itu harus dibunuh
tanpa sepengetanuan rakyat Kerajaan Surya Langit.
"Apa yang harus kita perbuat, Perdana Mente-
ri?" tanya Baginda Raja Awangga seraya menatap dengan kening berkerut pada
Perdana Menteri Giri Gantra.
"Kita harus menyingkirkan dia dan teman-
temannya, Baginda!"
"Caranya...?"
Sesaat Perdana Menteri Giri Gantra terdiam.
Dia pun belum tahu, bagaimana cara menyingkirkan
Pangeran Prapanca dan Pranala serta teman-temannya
tanpa harus melibatkan rakyat kerajaan. Karena jika
sampai rakyat mengetahui, tentunya mereka tak akan
tinggal diam. Rakyat pasti akan melakukan pemberon-
takan. Apalagi selama ini, rakyat hidup dalam keseng-
saraan, akibat penindasan yang dilakukan para pem-
besar kerajaan.
"Bagaimana kalau kita undang mereka, Bagin-
da," ujar Perdana Menteri Giri Gantra.
"Lalu...?" tanya Baginda Awangga belum men-
gerti maksud perdana menterinya.
"Jika kita mengundangnya, kita tidak harus
berhadapan langsung dengan mereka. Kita akan men-
gundang jago-jago persilatan, untuk menghadapi me-
reka," kata Perdana Menteri Giri Gantra menjelaskan.
Namun, tampaknya Baginda Raja Awangga belum jelas
dengan rencana yang diterapkan perdana menterinya.
"Uraikan semua, Perdana Menteri! Aku belum
jelas, apa yang sebenarnya hendak kau lakukan," pinta Baginda Raja Awangga.
Perdana Menteri Giri Gantra menyembah, ke-
mudian mulai menjelaskan rencana yang akan dite-
rapkannya. "Hamba akan mengundang jago-jago dari kera-
jaan lain, guna menghadapi para pendekar yang mem-
bantu Pangeran Prapanca. Kemudian ketika mereka
sedang melakukan pertarungan sebagai hiburan dalam
penyambutan kerajaan atas kedatangan putra mahko-
ta, yang lain akan bergerak untuk menangkap. Kalau
Pangeran Prapanca dan kawan-kawannya tertangkap,
maka suasana akan kembali aman. Rakyat tidak tahu
siapa sebenarnya si Maling Budiman itu, juga tentang
kejadian di istana."
Baginda Raja Awangga diam mendengarkan ga-
gasan Perdana Menteri Giri Gantra. Kepalanya tampak
mengangguk-angguk, seakan berkenan mendengar
pendapat itu. "Begitulah rencana hamba, Baginda," kata Perdana Menteri Giri Gantra mengakhiri
penuturannya. "Hm, bagus! Aku setuju dengan maksudmu,"
ujar Baginda Raja Awangga sambil tersenyum-senyum.
Jenggotnya yang panjang dibelai-belai sambil kepa-
lanya terus manggut-manggut. Matanya bersinar-
sinar, seperti merasa senang. "Tak percuma kau kua-ngkat menjadi Perdana
Menteri, Giri Gantra. Ternyata
pikiranmu masih bisa kuandalkan. Ha ha ha...!"
"Terima kasih, Baginda. Kita harus secepatnya
mengundang mereka untuk datang kemari. Karena ka-
lau terlambat, bisa-bisa merekalah yang akan menda-
hului kita," lanjut Perdana Menteri Giri Gantra, seakan-akan tak sabar ingin
segera dapat meringkus Pan-
geran Prapanca.
"Lalu, bagaimana dengan rencana perkawinan
anakku?" tanya Baginda Raja Awangga. "Pesta perkawinan itu, akan dilaksanakan
dua minggu lagi, Perda-
na Menteri."
"Serahkan pada hamba, Baginda. Sebelum pes-
ta perkawinan itu berlangsung, penjahat-penjahat pas-
ti sudah tertangkap...," jawab Perdana Menteri Giri Gantra tegas.
"Baiklah..., baiklah. Aku serahkan semuanya
padamu," ujar Baginda Raja Awangga. Kemudian me-
reka tertawa terbahak-bahak, seperti merasa yakin
akan dapat menangkap Pangeran Prapanca dan te-
man-temannya. *** 2 Pagi telah datang dengan sinar matahari yang
menghangatkan bumi, ketika sepasang pendekar me-
langkah di jalan selebar tiga tombak, menuju Istana
Kerajaan Surya Langit. Sepasang pendekar yang tak
lain Sena Manggala atau Pendekar Gila dan Mei Lie itu tengah menjalankan tugas.
Mereka diutus Pangeran
Prapanca untuk menyampaikan surat pada Baginda
Raja Awangga. Dengan langkah tenang dan mantap, keduanya
mulai memasuki alun alun depan istana. Namun keti-
ka hendak memasuki pintu gerbang istana, empat pra-
jurit bersenjata tombak menghadang mereka
"Berhenti!" perintah salah seorang prajurit.
Pendekar Gila dan Mei Lie menurut berhenti.
Mata mereka memandangi keempat prajurit yang me-
nyilangkan tombak, menghadang langkah mereka.
Seorang prajurit bermuka beringas dengan tu-
buh kekar melangkah mendekat
"Siapa kalian" Dan ada kepentingan apa"!"
tanya prajurit bermuka garang itu tegas.
"Hi hi hi...! Kami diutus Pangeran Prapanca,
untuk menyampaikan surat pada Baginda Raja
Awangga," jawab Sena sambil cengengesan dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. Lalu melirik Mei Lie
yang menganggukkan kepala.
"Siapa kalian"!" sentak prajurit bertubuh tegap itu.
"Aha, apakah perlu sebuah nama?" sahut Sena masih cengengesan.
"Anak gila, siapa pun yang masuk istana semua
harus diketahui. Siapa namanya, dari mana, dan ke-
perluannya. Jangan berlaku kurang ajar di kerajaan,
mengerti"!" bentak prajurit itu merasa kesal dengan tingkah laku Pendekar Gila.
"Hm, baiklah. Aku Mei Lie, dan temanku Sena
Manggala. Kami diutus Pangeran Prapanca untuk me-
nyampaikan surat pada Baginda Raja Awangga. Sudah
jelas?" tanya Mei Lie dengan senyum sinis. Nampaknya
Mei Lei tak suka melihat sikap prajurit itu, yang terlalu angkuh dan lancang.
Sena sudah menjelaskan maksudnya, namun prajurit itu tetap saja ngotot. Bahkan
matanya memandang nakal pada Mei Lie. Benar-benar
kurang ajar! Kalau saja Pangeran Prapanca tak mela-
rang bentrok dengan prajurit-prajurit kerajaan, ingin sekali Mei Lie menyobek


Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulut atau mata prajurit ini.
"Baiklah, tunggu sebentar!" jawab prajurit itu sambil melangkah pergi
meninggalkan Pendekar Gila
dan Mei Lie yang dijaga oleh tiga orang temannya.
Pendekar Gila dan Mei Lie nampak tenang. Me-
reka memang telah dipesan agar tak melakukan perta-
rungan. Keduanya hanya diperintahkan untuk mem-
bawa surat dari Pangeran Prapanca. Dan Pangeran
Prapanca meminta Pendekar Gila dan Mei Lie tak me-
nyerang jika tidak diserang.
Tidak lama kemudian prajurit yang menghadap
raja kembali keluar. Kali ini dia bersama Perdana Menteri Giri Gantra, yang
tersenyum ramah pada Pendekar
Gila dan Mei Lie.
"Oh, rupanya Tuan-Tuan Pendekar yang da-
tang," sapa Perdana Menteri Giri Gantra dengan ramah, seakan berusaha
menunjukkan bagaimana sebe-
narnya keadaan istana dan menutupi keburukan
orang-orang istana. "Silakan...! Baginda telah menunggu kedatangan kalian."
"Terima kasih," jawab keduanya seraya menjura hormat. Kemudian dengan diantar
Perdana Menteri Gi-ri Gantra, keduanya menuju ke istana untuk menemui
Baginda Raja Awangga.
Baginda Raja Awangga nampaknya sudah be-
rada di singgasananya. Bibirnya mengurai senyum, se-
telah melihat kedatangan Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Selamat datang di istanaku," sambut Baginda Raja Awangga dengan ramahnya.
Pendekar Gila dan Mei Lie langsung memberi
sembah, lalu duduk bersila di hadapan Baginda Raja
Awangga. "Ampun, Baginda! Kami datang untuk me-
nyampaikan pesan dari Pangeran Prapanca," kata Sena sambil menyodorkan gulungan
daun lontar yang diba-wanya. Baginda Raja Awangga segera menerima surat
itu. Dibukanya gulungan daun lontar itu dan dibaca.
Bibir sang Baginda mengurai senyum, setelah memba-
ca surat yang disampaikan kedua utusan Pangeran
Prapanca. Dipandanginya kedua pemuda dan pemudi
yang duduk dan menundukkan kepala.
"Jadi, Pangeran Prapanca meminta agar rakyat
dibebaskan dari pajak" Serta kekayaan kerajaan untuk
kepentingan rakyat?" tanya Baginda Raja Awangga
dengan bibir masih tersenyum. Namun senyum itu
nampak sangat sinis.
"Kami tak tahu, Baginda. Kami hanya menja-
lankan tugas semata-mata," jawab Sena sambil cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
"Hm, baiklah. Aku akan menyetujui permintaan
Pangeran Prapanca. Namun aku tak ingin hanya utu-
san yang datang. Aku berharap Pangeran Prapanca da-
tang sendiri ke istana. Bukankah lebih baik orang yang bersangkutan datang
menghadap sendiri?" tanya Baginda Raja Awangga. Di bibirnya masih mengurai se-
nyum, seakan berusaha menunjukkan keramahannya.
"Kami hanya utusan, Baginda," ujar Mei Lie.
"Apa yang akan disampaikan, akan kami sampaikan."
"Bagus. Sampaikan pada Pangeran Prapanca!
Kami pihak istana sangat mengharapkan kedatangan-
nya," kata Baginda Raja Awangga sambil memandang sejenak pada perdana menterinya
yang tersenyum.
"Kami akan menjamunya, sesuai dengan kebiasaan is-
tana. Bagaimanapun, dia tetap seorang pangeran."
"Akan hamba sampaikan," jawab Sena sambil
menyembah. "Hamba mohon pamit!"
"Hamba pun mohon pamit," sambut Mei Lie
sambil mengikuti Pendekar Gila menyembah. Kemu-
dian Pendekar Gila dan Mei Lie bangun dari duduk
bersila. Sambil menyembah mereka melangkah mun-
dur. Meskipun keduanya utusan Pangeran Prapanca
yang dalam hal ini merupakan musuh kerajaan, mere-
ka tetap berlaku sopan santun di istana.
"Sampaikan salamku pada Pangeran Prapanca!
Usahakan agar dia segera sampai di istana secepat
mungkin!" kata Baginda Raja Awangga mengingatkan, sebelum Pendekar Gila dan Mei
Lie meninggalkan
ruang balai istana.
*** Mei Lie dan Pendekar Gila telah keluar dari is-
tana kerajaan. Keduanya kini tengah menyelusuri ja-
lanan yang sudah jauh dari istana. Seperti biasanya, mereka senantiasa bercanda
ria di dalam perjalanan.
Langit cerah pagi hari dan sinar matahari yang hangat seakan menemani mereka
dalam menempuh perjalanan pulang, setelah menyampaikan pesan dari Pange-
ran Prapanca. "Ah, akhirnya kita harus terlibat juga, Mei," ka-ta Sena sambil cengengesan
dengan tangan mengga-
ruk-garuk kepala. "Seharusnya, kita hampir sampai di tempat guru."
"Kenapa Kakang tadinya tak meneruskan perja-
lanan saja" Kalau saja Kakang tak ikut campur dengan
urusan Pangeran Prapanca, tentu kita hampir sampai,"
ujar Mei Lie sambil melangkah di samping kekasihnya.
Sesekali Mei Lie menoleh ke wajah Sena. Tidak pernah
jemu-jemunya gadis itu memandangi wajah sang Ke-
kasih. Meski cengengesan, namun wajahnya yang
tampan tetap tampak. Meski Sena seperti orang gila,
Mei Lie merasa damai jika berada di sampingnya.
"Ah ah ah, semua Hyang Widi yang mengatur,
Mei Lie. Aku hanya manusia, tak kuasa menolak sega-
la yang telah digariskan," kata Sena seraya menarik napas panjang. Sesaat
matanya memandang wajah Mei
Lie. "Ah, sudahlah! Sudah telanjur basah, apa salahnya kita sekalian
menyelaminya."
"Kalau memang itu sudah menjadi keputusan,
aku pun turut bersamamu, Kakang," desah Mei Lie
sambil menyandarkan kepalanya di pundak kanan
Pendekar Gila. "Terus terang kukatakan, aku sangat tenang jika berada di
sampingmu."
Sena tersenyum. Lalu dengan lembut diusap-
nya rambut Mei Lie. Keduanya terus melangkah den-
gan hati berbunga. Jalinan cinta kasih yang mereka
bina, semakin terasa di saat-saat seperti ini. Di mana mereka hanya berdua,
dengan ditemani suasana alam
yang tenang dan damai.
"Mungkinkah selamanya kita akan selalu ber-
sama, Kakang?"
Pertanyaan Mei Lie yang tiba-tiba itu menyen-
takkan Sena dari lamunannya. Seketika Pendekar Gila
menghentikan langkah, matanya memandang lekat
wajah Mei Lie. "Mengapa kau bertanya begitu, Mei Lie?" tanya Sena dengan kening mengerut, kaget
mendengar pertanyaan yang baru saja dilontarkan kekasihnya.
"Kakang Sena, semenjak kita bertemu, aku su-
dah merasakan jatuh cinta padamu. Dalam hati kecil-
ku, aku berjanji untuk mengabdi padamu," tutur Mei Lie dengan polos. Matanya
membalas tatapan Pendekar Gila. Gadis itu seakan ingin meminta kepastian da-
ri kekasihnya. "Aku mengerti, Mei Lie. Tapi, mengapa kau ber-
tanya seperti itu" Aku pun tak ingin kita berpisah.
Namun semua tetap tergantung Hyang Widi, kita tak
mungkin bisa menentangnya," ujar Sena sambil membelai rambut kekasihnya. Dia
berusaha menenangkan
hati Mei Lie. "Maafkan aku, Kakang!"
"Tak mengapa. Ayolah, perjalanan masih pan-
jang! Kita tak bisa berlama-lama di tempat seperti ini,"
ajak Sena, merasa kalau di tempat sepi dan senyap se-
perti itu bahaya akan senantiasa datang tiba-tiba. Apalagi di kanan kiri jalan
yang mereka lewati, tertutup pepohonan dan semak belukar.
Pendekar Gila dan Mei Lie terus melangkah ke
barat, untuk meneruskan perjalanan. Namun, baru
beberapa langkah mereka meneruskan perjalanan,
mendadak dari balik semak-semak bermunculan bebe-
rapa sosok tubuh berpakaian hitam dengan muka ter-
tutup. Di tangan mereka, tergenggam senjata.
"Berhenti...!" teriak seorang lelaki bertubuh tinggi besar dengan senjata berupa
gada berduri. Nampaknya lelaki ini, merupakan pimpinan dari empat
orang lelaki lainnya. Mata lelaki tinggi besar Ini, memandang tajam wajah
Pendekar Gila dan Mei Lie yang
saling pandang, setelah keduanya berhenti.
"Aha, mimpi apa kita semalam, Mei" Tidak ada
hujan dan angin, tahu-tahu mendapat durian jatuh,"
tukas Sena sambil tertawa terbahak-bahak dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. "Kulihat, ada niat tak baik pada mereka, Mei
Lie." "Benar, Kakang. Buktinya mereka menutupi
muka," sahut Mei Lie sambil turut tertawa gelak. Matanya yang seperti burung
elang, memandangi satu-
persatu kelima lelaki berwajah tertutup kain hitam.
Sehingga hanya sepasang mata mereka yang nampak,
beringas menunjukkan kalau kelima orang itu bukan
orang baik-baik.
"Kurang ajar! Lancang sekali mulut kalian!"
bentak lelaki tinggi besar bersenjata gada berduri. Matanya semakin tajam,
menatap Pendekar Gila dan Mei
Lie. Seakan-akan lelaki ini hendak menelan keduanya
bulat-bulat "Jawab pertanyaanku, benarkah kalian yang bergelar Pendekar Gila dan
Bidadari Pencabut
Nyawa...?"
"Hm, untuk apa kami menjawab pertanyaan-
mu," dengus Mei Lie sengit. "Apakah pantas orang bertanya menyembunyikan
wajahnya di balik topeng" Bu-
kalah topeng kalian! Baru kami akan menjawab perta-
nyaanmu!" "Sundel! Berani benar kau berkoar di daerah
kekuasaan kami, heh"! Apakah kalian tak kenal, kalau
Lima Gagak dari Lembah Bangkai tak akan pernah
mengampuni orang yang telah berani lancang"!" sentak lelaki bersenjata gada
berduri dengan suara keras.
Nampaknya lelaki ini sangat marah mendengar ucapan
Mei Lie yang seperti meremehkannya.
"Ah ah ah, rupanya kita bertemu dengan bina-
tang pemakan bangkai, Mei Lie" Hi hi hi..., lucu sekali!
Baru kali ini, aku melihat binatang pemakan bangkai
menyembunyikan wajahnya," Pendekar Gila mengejek sambil tertawa cekikikan dengan
tangan menggaruk-garuk kepala.
"Meski mereka binatang pemangsa bangkai,
aku tak akan takut! Mereka tidak sopan, tentunya me-
reka bermaksud tidak baik, Kakang," sahut Mei Lie dengan senyum sinis. Matanya
masih memandangi
Lima Gagak dari Lembah Bangkai yang tampak sema-
kin marah, mendengar tantangan dari Mei Lie. Walau
mereka menduga gadis Cina ini tak lain si Bidadari
Pencabut Nyawa, tapi tak merasa takut sedikit pun.
Apalagi mereka memang datang untuk menguji. Sam-
pai di mana ilmu Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut
Nyawa yang tersohor itu.
"Kurang ajar! Rupanya kalian mencari penyakit,
berani menantang Lima Gagak dari Lembah Bangkai!"
dengus pimpinan lelaki bertopeng itu. Gada berduri di tangan kanannya diangkat.
Pendekar Gila dan Mei Lie menyangka kalau le-
laki tinggi besar itu hendak menyerang. Itu sebabnya
keduanya segera menyurut mundur dua tindak, siap
untuk menghadapi serangan Lima Gagak Dari Lembah
Bangkai. Namun dugaan mereka melesat, ternyata....
"Serang...!"
Tiba-tiba pimpinan Lima Gagak dari Lembah
Bangkai berteriak memerintah. Saat itu pula, dari balik semak-semak muncul
puluhan anak panah melesat
cepat memburu Pendekar Gila dan Mei Lie.
Swing! Swing...!
"Awas, Mei...!" seru Sena mengingatkan sambil melompat bersalto, menghindari
puluhan anak panah
yang meluncur ke arahnya. Kemudian dengan tertawa
terbahak-bahak sambil tangan kiri menggaruk-garuk
kepala, Pendekar Gila telah berdiri tegap. Tangan ka-
nannya berhasil menangkap lima batang anak panah
yang memburunya.
Tep! Tep! Tep! "Hi hi hi...! Kiranya mainan anak-anak. Biarlah
kukembalikan pada kalian! Hih...!"
Pendekar Gila melemparkan kelima anak panah
yang berhasil ditangkapnya sambil bersalto. Seketika
itu pula, kelima anak panah itu melesat cepat ke se-
mak-semak belukar.
Swing! Swing! "Awas...!" membelalak mata pimpinan Lima Ga-
gak dari Lembah Bangkai, karena tak menyangka lun-
curan anak panah itu melebihi kecepatan semula. Se-
hingga, dari lesatan kelima anak panah itu terdengar
desingan keras diikuti deru angin.
Swer! Jlep! "Akh. .!"
Terdengar jeritan kematian dari balik semak-
semak. Rupanya ada seseorang yang terlambat menge-
lak. Sehingga anak panah yang dilemparkan Pendekar
Gila, menghunjam di dadanya. Sesaat orang bertopeng
hitam meregang berdiri, dengan anak panah menancap
di dada. Bahkan anak panah itu tembus sampai pung-
gung. Tubuh lelaki itu ambruk dan menggelepar-
gelepar menahan rasa sakit. Sesaat kemudian tak
nampak gerakannya, karena nyawanya telah me-
layang. Sementara itu, Mei Lie yang nampak tak saba-
ran itu dengan cepat mencabut Pedang Bidadarinya.
Pedang yang mengeluarkan sinar kuning kemerah-
merahan itu, dengan cepat ditebaskan ke depan me-
mapak anak panah yang meluncur ke tubuhnya.
"Heaaa...!"
Wrt! Trak! Sekali kibas, belasan anak panah tersambar
Pedang Bidadari. Seketika belasan anak panah itu
berpentalan dan jatuh ke tanah. Hampir semuanya pa-


Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tah jadi dua. Tak sebatang anak panah pun dapat me-
nembus pertahanan Mei Lie yang menggunakan jurus
'Sapuan Tameng Bidadari'. Bahkan semua mata terbe-
lalak, menyaksikan kehebatan sapuan Pedang Bidadari
di tangan Mei Lie. Baru kali ini, mereka melihat jurus pedang yang sangat hebat.
"Ayo keluarkan semua senjata kalian!" tantang
Mei Lie, penuh kemarahan. Dirinya benar-benar tak
suka dengan cara pengecut seperti yang dilakukan la-
wan-lawannya kali ini. Kalau dulu Segoro Wedi dan
anak buahnya bisa berbuat sekehendak hati terha-
dapnya, Mei Lie kini bukanlah Mei Lie yang dulu. Ga-
dis Cina itu kini telah memiliki kepandaian yang tinggi.
Bahkan dirinya sebagai pewaris jurus-jurus Pedang
Bidadari yang dahsyat dan belum tertandingi hingga
saat ini. "Ah ah ah, rupanya kau benar-benar senang
dengan permainan ini, Mei," ujar Sena dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. Matanya
dengan terpicing menatapi Lima Gagak dari Lembah
Bangkai yang masih terkesiap setelah menyaksikan
gebrakan Mei Lie.
"Cuih! Meski nama kalian setinggi langit, tapi
Lima Gagak dari Lembah Bangkai, takkan mengalah!"
dengus pimpinan Lima Gagak dari Lembah Bangkai
sengit. "Gagak Kuru, dan kau Gagak Pilangan, hadapi pemuda gila itu dibantu oleh
sebagian prajurit! Sementara Gagak Kabungan dan Gagak Pancalan, hadapi ga-
dis Cina itu. Tangkap dia hidup-hidup!"
"Baik!" sahut keempatnya. "Serang mereka!" perintah Gagak Kuru pada dua puluh
anak buahnya yang seketika berhamburan keluar dari semak-semak.
Mereka langsung menyerang Pendekar Gila dengan
senjata panah. "Hea...!"
Wrrt! Sing! Swing! Puluhan anak panah kembali berdesingan,
memburu tubuh Pendekar Gila. Namun dengan cepat,
pemuda berpakaian rompi dari kulit ular itu bergerak.
Tubuhnya melenting ke atas dengan jurus 'Si Gila Ter-
bang Menyambar Ayam'! Tubuhnya bagaikan terbang,
berjumpalitan melakukan salto. Kemudian dengan pa-
duan jurus 'Kera Gila Melempar Batu', Pendekar Gila
menyapu puluhan anak panah yang menderu ke tu-
buhnya. "Yeaaa...!"
Wrrr! Serangkum angin kencang, menderu ketika
tangan Pendekar Gila bergerak cepat seperti melempar
batu. Tangan kanan dan kirinya, bergerak tak berhenti dan bergantian. Puluhan
anak panah yang melesat
memburu tubuhnya, seketika berpentalan jatuh. Seba-
gian lagi berbalik meluncur ke tempat pemiliknya.
"Awas panah....'" teriak Gagak Kuru mengin-
gatkan anak buahnya, yang seketika serabutan keluar
berusaha menyelamatkan diri dari hujan anak panah
yang berbalik memburu mereka. Meskipun para anak
buah Gagak dari Lembah Bangkai telah berusaha me-
nyelamatkan diri, tetap saja ada beberapa orang yang harus menerima senjata
mereka sendiri.
Jlep! Jlep! "Wuaaa....!"
"Aduhhh...!"
Tiga orang terpekik keras, ketika dada dan wa-
jah mereka tertancap anak panah. Darah mengucur
deras, keluar dari tancapan anak panah beracun. Tu-
buh mereka seketika jatuh bergelimpangan ke tanah.
Sesaat kemudian ketiganya telah tewas dengan tubuh
kaku. Sementara itu, Mei Lie menghadapi Gagak Ka-
bungan dan Gagak Pancalan yang dibantu sepuluh
anak buah, nampak tak segan-segan melakukan se-
rangan. Pedang Bidadari di tangannya, digerakkan
dengan jurus 'Tebasan Bidadari Memenggal Gunung'.
Pedang bergerak datar dengan kecepatan luar biasa.
Sehingga membuat lawan yang hendak menyerang,
tersentak kaget. Mereka berusaha mundur, namun tak
urung pedang Mei Lie harus memakan korban.
"Heaaat...!"
Wrt! Cras! Cras...! "Akh...!"
Dalam sekali gebrak empat lawan menjerit ke-
sakitan. Dengan tubuh terhuyung-huyung mereka
mendekap perutnya yang tersambar Pedang Bidadari.
Seketika darah bercucuran dari perut, membasahi kaki
dan tanah di tempat pertarungan.
Mata mereka membeliak, kemudian dari mulut
keluar darah merah kehitaman. Hal itu tampak dari
topeng mereka yang merembeskan darah. Keempat
orang itu pun ambruk dan tewas hampir bersamaan.
*** Dalam satu gebrakan saja delapan orang telah
menjadi korban. Namun nampaknya Lima Gagak dari
Lembah Bangkai tak gentar sama sekali. Bahkan kini
kelimanya turut maju, membantu anak buah yang
tinggal dua puluh tiga orang menyerang Pendekar Gila
dan Mei Lie. "Rupanya kau bukan gadis sembarangan. Ha-
dapilah aku! Heaaa...!"
Gagak Pandera, yang merupakan pimpinan dari
Lima Gagak dari Lembah Bangkai menghantamkan
gada berdurinya ke tubuh Mei Lie. Desiran angin yang
keluar dari ayunan gada itu, sangat keras. Nampaknya
gada berduri itu, diayunkan dengan pengerahan tena-
ga dalam yang cukup tinggi.
Wrrrt! "Haits! Hea...!"
Dengan cepat gadis bergaun hijau itu meliuk-
kan tubuh ke samping kiri. Sehingga gada lawan tak
mampu mencapai sasaran. Dan ketika gada lawan
hampir saja menyambar kakinya, dengan cepat Mei Lie
menarik kaki kanannya. Lalu dengan cepat pedangnya
dibabatkan ke tubuh lawan yang lain sambil kakinya
menendang ke perut lawan yang saat itu dalam kea-
daan doyong ke depan, melakukan serangan.
"Heaaa...!"
Wrt! Cras! Cras...! Tak ampun lagi Pedang Bidadari menyambar
mangsa. Begk! "Akh...!"
"Aduh...!"
Dua orang menjerit dengan leher terbabat pe-
dang. Leher mereka hampir putus, mengeluarkan da-
rah yang menyembur deras. Sedangkan Gagak Pande-
ra yang terkena tendangan, terpekik lalu tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap pe-
rutnya. Mata Gagak Pandera membeliak. Mulutnya me-
ringis. Perutnya yang terkena tendangan dirasakan
mual dan nyeri sekali.
"Setan Betina!" Caci maki keluar dari mulut Gagak Pandera sambil menahan marah
dan sakit. "Kurang ajar! Kau memang pantas untuk dibunuh, Iblis
Betina!" "Hua ha ha...! Kaulah yang iblis!" sahut Mei Lie sambil tertawa
terbahak-bahak. Hal itu membuat Pendekar Gila yang sedang bertarung dengan
lawan- lawannya turut tertawa terbahak-bahak dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Baru kali ini, dirinya melihat Mei Lie tertawa lepas.
Padahal, biasanya Mei Lie hanya tersenyum. Nampaknya gadis itu benar-benar
senang dapat menunjukkan kehebatannya di hadapan sang
Kekasih. "Aha, hari ini kau nampak senang sekali, Mei
Lie," gumam Pendekar Gila sambil bergerak dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk
Lalat', mengelakkan se-
rangan-serangan lawan. Tubuhnya meliuk-liuk laksa-
na orang yang sedang menari. Sesekali tangannya ber-
gerak menepuk ke dada lawan yang ada di depan dan
samping kanan kirinya. Meski gerakannya kelihatan
lamban dan lemah, ternyata mampu membuat lawan-
lawannya tersentak kaget.
"Pecah kepalamu, Bocah Edan!" dengus Gagak
Kuru sambil menghantam gada berdurinya menyerang
Pendekar Gila. Wss! "Uts! He he he...!" Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Pendekar Gila segera
meliukkan tubuh ke
samping. Kemudian dengan gerakan aneh dan sulit di-
duga, Sena menghantamkan telapak tangan menepuk
ke dada lawan yang ada di sampingnya. Gerakannya
nampak lambat, namun dalam sekali gerak, mampu
menepuk empat dada lawan.
Plak! Plak! Plak...!
"Wuaaa...!"
"Aaa...!"
Keempat orang yang terhantam telapak tangan
Pendekar Gila menjerit keras. Tubuh mereka terpental
ke belakang bagaikan dilempar oleh kekuatan yang
dahsyat. Keempat tubuh terus melayang dan baru
berhenti ketika menerjang pohon jati.
Brak! "Engkh...!"
Keempat lelaki bertopeng itu jatuh ke tanah
dan langsung tak bergerak lagi.
Menyaksikan anak buahnya banyak yang mati,
Gagak Pandera dari Lembah Bangkai mulai merasa ta-
kut. Mereka nampaknya menyadari, kalau kedua pen-
dekar itu memang bukan tandingan.
"Mundur...!" teriak Gagak Pandera memerintah pada anak buahnya yang tersisa.
Dengan cepat para
anak buah lari meninggalkan tempat pertarungan. Me-
reka semua menyadari kehebatan kedua pendekar
muda itu. Maka karena ketakutan, semua lari tung-
gang langgang dari tempat itu.
Semula Mei Lei hendak mengejar mereka, na-
mun dengan cepat Pendekar Gila melarangnya.
"Aha, mengapa mesti capai-capai mengejar me-
reka, Mei" Bukankah masih ada tugas yang lebih pent-
ing" Tentunya pangeran tengah menunggu-nunggu
kedatangan kita," ujar Sena mengingatkan kekasihnya.
Mei Lie pun mengurungkan niat untuk menge-
jar. Dimasukkan Pedang Bidadari ke warangkanya.
Kemudian kakinya melangkah di samping Pendekar
Gila, untuk meneruskan perjalanan mereka guna me-
laporkan tugas pada Pangeran Prapanca.
*** 3 Mentari sore yang redup membiaskan cahaya
kuning penuh kedamaian. Sinarnya menyelusup di se-
la-sela daun bambu, menerangi suasana di dalam Hu-
tan Bambu. Angin sore yang bertiup lembut membawa
hawa sejuk menambah keindahan sore itu. Burung-
burung berkicau riang, berterbangan pulang ke sa-
rangnya. Saat itu, Pendekar Gila dan Mei Lie telah sam-
pai di pinggir Hutan Bambu, tempat Pangeran Prapan-
ca dan teman-temannya berada. Agak ke dalam dari
Hutan Bambu, empat prajurit yang kini berpihak pada
Pangeran Prapanca tampak berjaga lengkap dengan
senjata mereka.
"Siapa"!" seru salah seorang prajurit ketika Pendekar Gila dan Mei Lie melangkah
memasuki Hutan Bambu.
"Kami!" sahut Mei Lie.
"Pangeran sudah menunggu kedatangan ka-
lian!" kembali terdengar suara dari dalam.
Pendekar Gila tampak cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala, melangkah tenang bersama
kekasihnya memasuki Hutan Bambu. Mata mereka
memandang lurus ke depan. Kaki mereka melangkah
dengan ringan. Kalau orang yang belum berilmu tinggi, sulit untuk mendengar
langkah-langkah kaki Pendekar
Gila dan Mei Lie. Hal itu dilakukan, sengaja untuk
menguji sampai seberapa tinggi kewaspadaan para
prajurit jaga. Tampaknya para prajurit jaga benar-benar
mengerahkan kewaspadaan mereka. Hal itu dapat di-
ketahui dari pendengaran dan naluri serta perasaan
mereka yang mampu menangkap gerakan Pendekar
Gila dan Mei Lie.
"Hua ha ha...! Bagus...! Rupanya kalian benar-
benar menjaga kewaspadaan," seru Sena sambil tertawa terbahak-bahak. Suaranya
menggema di sekitar
Hutan Bambu, menjadi orang-orang yang berada di da-
lam gubuk segera tahu kalau Pendekar Gila telah da-
tang. Pangeran Prapanca, Pranala, Ki Naga Wilis, Ga-
gak Selo, Tirta Kayon, Resi Wisangkara dan Panglima
Rawa Sekti yang berada di dalam gubuk segera keluar.
Mereka ingin menyambut kedatangan Pendekar Gila
dan Mei Lie yang menjadi duta. Mulanya mereka
mengkhawatirkan keselamatan kedua pendekar itu.
Mereka takut kalau Pendekar Gila dan Mei Lie ditang-
kap pihak istana. Itu sebabnya setelah mendengar su-
ara tawa Pendekar Gila, serta merta mereka keluar un-
tuk menyambut kedatangannya.
"Selamat datang kembali!" mereka menyambut
dengan tersenyum senang, menyaksikan Pendekar Gila
dan Mei Lie datang tanpa kurang satu apa pun.
"Aha, terima kasih! Atas doa restu kalian, kami
bisa kembali tanpa kurang satu apa pun. Hi hi hi...!"
jawab Sena sambil tertawa cekikikan. Tangannya
menggaruk-garuk kepala, sambil matanya memandang
wajah Mei Lie.

Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, kami rasa atas doa kalian sehingga kami
bisa kembali dengan tak kurang satu apa pun," sambung Mei Lie dengan bibir
mengurai senyum. Dibalas-
nya tatapan mata Pendekar Gila.
"Hm..., dari penuturan kalian, nampaknya ka-
lian mengalami halangan," ujar Pangeran Prapanca ingin tahu, apa yang sebenarnya
terjadi. "Kalau boleh kami tahu, apa gerangan yang te-
lah terjadi?" tanya Pranala menambahkan.
"Hi hi hi...! Kalian seperti ahli nujum. Bagaima-na mungkin kalian bisa menduga
begitu" Padahal ka-
mi belum menceritakan apa pun pada kalian," jawab Pendekar Gila sambil tertawa
cekikikan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
Semua yang menyaksikan tingkah laku Pende-
kar Gila tersenyum-senyum. Kalau saja mereka tak in-
gat sedang berhadapan dengan pendekar sakti yang
saat ini belum ada tandingannya, mungkin akan ter-
tawa geli melihat tingkah laku Sena. Beruntung mere-
ka menyadari, kalau yang ada di hadapannya tak lain
Pendekar Gila. Seorang pendekar muda yang akhir-
akhir ini tengah ramai dibicarakan di kalangan rimba
persilatan. "Ah, bisa saja kau, Sena," sahut Pangeran Prapanca malu, disindir begitu oleh
Pendekar Gila, "Apa-lah artinya kami, dibandingkan dengan kalian yang
mempunyai nama besar."
"Hi hi hi...! Lucu sekali, Mei. Ada seorang pan-
geran sangat merendah. Ah, sudahlah, mari kita ma-
suk! Kita ngobrol di dalam saja," ajak Sena sambil melangkah seiring dengan Mei
Lie. Pangeran Prapanca, Pranala dan rekan-
rekannya segera mengikuti kedua pendekar itu masuk
ke gubuk. Mereka segera duduk di atas tikar pandan
yang digelar lebar di ruangan itu. Wajah mereka berse-ri, meski belum tahu apa
sebenarnya yang terjadi. Hal itu karena tingkah laku Pendekar Gila yang konyol
dan lucu, mengundang mereka untuk tersenyum.
"Bagaimana tugas kalian?" tanya Pangeran Prapanca membuka percakapan, setelah
semua duduk. "Aha, kurasa beres, Pangeran. Baginda telah
menerima surat yang Pangeran kirim," jawab Sena
dengan tingkah laku yang masih konyol, cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Benar, Pangeran," sambung Mei Lie. "Kami telah bertemu langsung dengan Baginda
Raja Awangga. Dan kami telah menyerahkan surat yang Pangeran tu-
lis." "Lalu, bagaimana tanggapan baginda?"
Pangeran Prapanca ingin tahu, bagaimana
tanggapan Baginda Raja Awangga yang sebenarnya
masih ada hubungan saudara dengannya. Karena
Awangga merupakan adik dari Prabu Jayawangga,
ayahanda Pangeran Prapanca yang sampai kini belum
diketahui nasibnya. Meski gurunya mengatakan aya-
handa dan ibundanya meninggal ketika terjadi pembe-
rontakan, namun Pangeran Prapanca tak percaya begi-
tu saja akan berita itu. Pangeran Prapanca merasa ada
sesuatu yang tidak beres di dalam istana. Namun
sampai sejauh ini dirinya belum bisa membuktikan ke-
tidakberesan tersebut, lantaran belum mendapatkan
bukti-bukti yang kuat.
"Baginda menerima," jawab Mei Lie. "Namun baginda meminta syarat"
"Hm...! Apa syaratnya?" tanya Pangeran Pra-
panca ingin tahu.
"Pangeran diminta datang ke istana," jawab Mei Lie, yang menyebabkan semua yang
ada di tempat itu
terdiam. Mereka seketika saling pandang, kemudian
memandang dengan perasaan cemas pada Pangeran
Prapanca. "Kanjeng Pangeran, kalau hamba diperkenan-
kan mengeluarkan pendapat," Resi Wisangkara seketika angkat bicara.
"Katakanlah, Paman Resi!"
"Sebaiknya, Pangeran jangan menuruti kata-
kata Baginda Awangga"
"Kenapa begitu?" tanya Pangeran Prapanca ingin penjelasan, karena dia memang
belum tahu apa yang menyebabkan Resi Wisangkara melarang dirinya
ke istana. "Bukankah baginda nampaknya menyadari kekeliruannya selama ini?"
"Hamba rasa, ini hanya suatu siasat, Pange-
ran," tukas Resi Wisangkara berusaha mengingatkan Pangeran Prapanca.
"Maksud Paman Resi?"
"Aha, kurasa Resi Wisangkara benar, Pange-
ran." Pendekar Gila menyela sebelum Resi Wisangkara yang masih kebingungan
sempat menjawab. Hal itu
menjadikan Resi Wisangkara menghela napas, merasa
lega ada orang yang membantunya menyampaikan
maksud perkataannya.
"Tolong kau jelaskan padaku, Sena!" pinta Pangeran Prapanca dengan penuh
persahabatan. "Kurasa, kaulah yang bisa menerangkan letak dari semua kea-nehan
undangan Paman Awangga kepadaku."
Pendekar Gila masih cengengesan dan dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. Sesaat dihelanya na-
pas. Kemudian melirik Mei Lie yang duduk di sam-
pingnya. Setelah memandang ke atas, menatap sirap
daun bambu sebagai penutup gubuk itu, Sena mulai
menceritakan apa yang telah terjadi.
Diceritakan, kalau secara diam-diam dia meli-
hat Baginda Raja Awangga berbisik-bisik dengan Per-
dana Menteri Giri Gantra. Setelah itu, baginda nampak tersenyum sinis. Sambil
membelai-belai jenggotnya
yang panjang, baginda meminta agar Sena dan Mei Lie
menyampaikan maksudnya, mengundang Pangeran
Prapanca untuk datang ke istana Kerajaan Surya Lan-
git Hal kedua, ketika mereka pulang ke Hutan
Bambu, di perjalanan mereka dicegat segerombolan le-
laki berkedok kain hitam yang dipimpin Gagak dari
Lembah Bangkai. Nampaknya ada hubungan kejadian
yang tak dapat dipisahkan, antara bisik-bisik Perdana Menteri Giri Gantra dengan
pengeroyokan itu.
"Begitulah ceritanya, Pangeran. Tetapi... Ah,
kurasa semua keputusan ada di tanganmu, Pangeran,"
ujar Sena mengakhiri ceritanya.
"Benar, Pangeran. Ketika kami pulang, kami di-
hadang hampir tiga puluh orang. Entah dari mana me-
reka itu. Yang pasti, mereka nampaknya menghendaki
nyawa kami," sambung Mei Lie, yang membuat semua mengangguk-anggukkan kepala.
"Aha, aku lupa. Apakah di antara kalian ada
yang mengenali julukan Lima Gagak dari Lembah
Bangkai?" tanya Sena dengan mulut cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
Semua yang ada di tempat itu mengerutkan
kening. Nampaknya mereka berusaha mengingat-ingat
julukan Lima Gagak dari Lembah Bangkai. Namun
nampaknya tak ada yang mengenal julukan itu. Bah-
kan kini pandangan mereka tertuju pada Gagak Selo,
yang memiliki nama hampir sama dengan julukan ge-
rombolan itu. "Bagaimana dengan Paman Gagak Selo" Apa-
kah Paman mengenal mereka...?" tanya Pangeran Prapanca sambil memandangi Gagak
Selo. "Apakah ada yang menyebut nama di antara
mereka?" tanya Gagak Selo dengan mata memandang
Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Aha, aku ingat. Orang yang tinggi besar yang
merupakan pimpinan mereka, menyebut temannya
Gagak Kuru. Dan orang itu sendiri, menyebut na-
manya Gagak Pandera," sahut Pendekar Gila, "Aha, bagaimana, Ki Gagak Selo"
Apakah kau kenal dengan
mereka?" "Hm, kurang ajar sekali mereka! Berani mereka
memakai nama gagak. Nama yang merupakan pembe-
rian guru kami," gumam Gagak Selo sengit "Kalau aku bertemu dengan mereka, ingin
rasanya menyobek mulut mereka yang telah berani lancang menyebut nama
gagak." Gagak Selo benar-benar geram, karena secara tidak langsung nama
pemberian guru mereka telah dicemarkan orang-orang yang tak bertanggung jawab.
"Jadi, Paman Gagak Selo tak mengenal mere-
ka?" tanya Pangeran Prapanca meminta kepastian.
"Memang aku pun berasal dari Lembah Bang-
kai. Namun aku sama sekali tak kenal dengan orang
yang mengaku bernama Gagak Pandera dan Gagak
Kuru," jawab Gagak Selo, menegaskan. "Kalau Pange-
ran mengizinkan, hamba akan mencari mereka. Akan
kuantarkan kepala mereka ke hadapan Pangeran. "
"Tidak usah, Paman! Belum saatnya kita mela-
kukan tindakan. Yang perlu kita pikirkan saat ini, bagaimana sebaiknya
menanggapi undangan baginda ra-
ja," ujar Pangeran Prapanca berusaha menyabarkan Gagak Selo yang begitu marah
karena merasa namanya dicemarkan oleh orang-orang yang mengaku
dari Perguruan Gagak Sakti.
"Hamba akan menuruti perintah Kanjeng Pan-
geran. " "Terima kasih, Paman," jawab Pangeran Prapanca sambil tersenyum puas,
menyaksikan Gagak Se-
lo kini nampak tenang. "Kembali pada masalah semu-la. Bagaimana" Apakah ada yang
bisa memberiku sa-
ran?" "Ampunilah hamba, Kanjeng Pangeran!" Panglima Rawa Sekti yang sejak tadi
diam, seketika angkat bicara. Hal itu menjadikan pandangan Pangeran Prapanca
kini tertuju ke wajah Panglima Rawa Sekti.
"Katakanlah, Paman Panglima!" Lelaki setengah baya bertelanjang dada itu
menundukkan kepala. Kemudian perlahan kepalanya didongakkan memandang
ke atas, sambil menghela napas perlahan, seakan-
akan ingin membuang kegelisahan hatinya.
"Ampun, Kanjeng Pangeran! Hamba mohon be-
ribu-ribu ampun, karena selama ini hamba tidak me-
nuturkan apa yang sebenarnya telah terjadi," ujar Panglima Rawa Sekti dengan
suara bergetar dan agak
parau. "Tentang apa, Paman?"
"Tentang Gusti Prabu, Pangeran."
"Hm, kenapa dengan ayahanda?"
"Sesungguhnya, Prabu Jayawangga masih hi-
dup. Beliau kini ditahan di dalam penjara bawah tanah
oleh Baginda Awangga atas perintah Panglima Utama
Giri Gantra," tutur Panglima Rawa Sekti.
Mendengar cerita itu Pangeran Prapanca dan
semua yang ada di dalam gubuk membelalakkan mata
terkejut. Mereka tak menyangka, kalau Prabu Jaya-
wangga masih hidup.
"Paman Panglima, ceritakanlah apa sebenarnya
yang telah terjadi di istana!" pinta Pangeran Prapanca karena merasa penasaran.
*** Panglima Rawa Sekti sesaat terdiam. Ditoleh-
kan wajah ke Resi Wisangkara, yang sebenarnya juga
tahu. Dan sepertinya Panglima Rawa Sekti ingin me-
minta pendapat dari Resi Wisangkara. Setelah melihat
Resi Wisangkara mengaggukkan kepala, Panglima Ra-
wa Sekti mulai menceritakan semua yang terjadi di is-
tana. Malam itu, Awangga yang masih menjabat se-
bagai perdana menteri mengumpulkan para pembesar
istana. Hadir di situ, Giri Gantra yang waktu itu masih Panglima Utama, Resi
Wisangkara, Panglima Rawa
Sekti dan para pembesar lain. Nampaknya Perdana
Menteri Awangga mengundang mereka, karena ada
masalah penting.
"Apakah kalian tahu mengapa kuundang ke
ruang pertama ini?" tanya Perdana Menteri Awangga membuka ucapan, membelah
kesunyian malam yang
dingin. Semua yang datang tidak menjawab. Mereka
diam, karena memang belum mengerti maksud Perda-
na Menteri Awangga mengundang malam itu.
"Dengar oleh kalian baik-baik! Raja kini tak bi-
sa berbuat apa-apa. Baginda Raja tak lebihnya bangkai
yang tiada guna. Dia sama sekali tak memperhatikan
kita. Untuk apa menjadi pejabat tinggi kerajaan, kalau kita dalam keadaan yang
pas-pasan. Raja hanya mementingkan rakyat sedangkan kita, tak pernah dipikir-
kan," tutur perdana Menteri Awangga berapi-api. Matanya yang tajam, memandangi
satu-persatu wajah
orang yang datang pada pertemuan itu. Mereka semua
terdiam sambil menundukkan kepala. Hanya Panglima
Utama Giri Gantra yang masih tenang, bahkan terse-
nyum-senyum. Semua tak ada yang bicara, karena tak tahu
apa yang sebenarnya terencana dalam pikiran Perdana
Menteri Awangga dan Panglima Utama Giri Gantra.
"Untuk itulah, kuundang semuanya datang ke
sini. Kita harus mengganti raja, kalau kita ingin hidup makmur dan serba
kecukupan. Kita tak ingin hidup
seperti ini selamanya, bukan?" tanya Perdana Menteri Awangga.
"Benar!" sahut Panglima Utama Giri Gantra,
"Kita tak ubahnya gembel dan pengemis. Untuk apa hidup seperti ini" Bahkan
kerajaan seakan menutup
semuanya bagi kita. Sehingga kita tak dapat bertindak.
Bahkan perdagangan dengan kerajaan luar pun ditu-
tup. Apakah kita akan diam terus" Membiarkan anak
cucu kita menderita?"
"Lalu, apa yang hendak Perdana Menteri laku-
kan?" tanya Resi Wisangkara mencoba memberanikan diri. "Kita harus menggulingkan
kekuasaan raja, dengan seolah-olah terjadi pemberontakan. Kemudian,
dengan pura-pura tak mengerti, kita hancurkan pem-
berontakan itu. Lalu kita sebar pengumuman, kalau
baginda raja telah terbunuh dalam pemberontakan.
Bukankah dengan begitu, kita akan bebas dari tuntu-
tan rakyat?" ujar Perdana Menteri Awangga menje-
laskan gagasannya.
"Kita korbankan banyak prajurit dan rakyat,
Tuan Perdana Menteri!" kata Panglima Rawa Sekti.
"Aku tak setuju!"
"Aku juga!" sambut Resi Wisangkara.
"Kalian boleh tak setuju. Tapi ingat, kalian
akan mendapatkan hukuman mati di tiang gantun-
gan!" ancam Panglima Utama Giri Gantra, yang membuat Panglima Rawa Sekti dan
Resi Wisangkara ter-


Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diam. Mata mereka membelalak, mendengar ancaman
itu. Mereka tahu, kedudukan mereka akan benar-
benar terpepet, kalau tak setuju dengan rencana per-
dana menteri dan panglima utama.
"Bagaimana...?" tanya Perdana Menteri Awang-ga dengan senyum sinis,
Panglima Rawa Sekti dan Resi Wisangkara tak
dapat berkata apa-apa. Keduanya benar-benar tak se-
tuju dengan rencana yang mereka anggap gila dan sa-
dis. Namun mereka tak dapat berbuat apa-apa dalam
ancaman perdana menteri dan panglima utama.
"Ingat oleh kalian. Jika kalian mau membantu
rencanaku, maka pangkat kalian akan kunaikkan. Di
samping itu, kalian akan menjadi orang kaya. Berlim-
pah harta dan wanita. Apakah itu tidak kalian ingin-
kan?" tanya Perdana Menteri Awangga merayu dengan janji-janjinya yang tinggi.
"Selama ini, kalian tak pernah merasakan kenikmatan duniawi. Kalian hanya
memiliki satu istri. Kalian tak bebas untuk mencari
wanita sesuka hati kalian, karena kalian dalam kekua-
saan undang-undang raja, yang sebenarnya raja sendi-
ri tak pernah melaksanakan undang-undang tersebut"
"Perdana Menteri...! Kau bisa bicara begitu,
apakah kau bisa membuktikannya?" tanya Resi Wi-
sangkara dengan tegas. Sebenarnya sebagai resi, Resi
Wisangkara merasa undang-undang yang dibuat oleh
Prabu Jayawangga benar. Karena dengan undang-
undang tersebut, maka para pembesar istana tidak
bertindak sewenang-wenang. Mereka akan terikat oleh
hukum yang tertulis. Dan menurut pandangan mere-
ka, baginda tak pernah salah. Kalau baginda memiliki
selir, itu sudah menjadi hal yang wajar. Karena setiap raja memang berhak
memiliki selir.
Perdana Menteri Awangga tersenyum sinis.
"Kau meminta bukti, Resi?" tanyanya.
"Ya!"
"Baik aku akan menguraikan bukti-bukti yang
kau inginkan. Seharusnya kau ingat, aku adalah adik-
nya," kata Perdana Menteri Awangga sambil tersenyum sinis. "Tetapi baiklah, akan
kubeberkan semua keburukan kakakku. Dia adalah lelaki yang pengecut, se-
hingga tak pernah berani mengambil resiko. Dia juga
suka keluyuran di tempat-tempat pelacuran. Suka
mabuk dan berjudi. Raja macam itukah yang kalian
anggap baik?"
"Hentikan!" teriak Resi Wisangkara sambil berdiri. Matanya yang tajam menatap
wajah perdana men-
teri. "Tak sepantasnya kau berkata begitu, Perdana Menteri! Baginda adalah yang
mulia!" "Duduk, Resi! Atau prajurit-prajurit itu akan
menyeretmu!" ancam Panglima Utama, yang menjadi-
kan Panglima Rawa Sekati seketika bangkit dari du-
duknya. "Panglima, kau tak bisa berlaku kasar pada Re-
si. Kalau sampai hal itu terjadi, maka terkutuklah
kau!" dengus Panglima Madya Rawa Sekti, memprotes ucapan panglima utamanya yang
dianggap telah menghina orang-orang istana yang seharusnya dihor-
mati dan dijunjung tinggi.
"Duduk, Rawa Sekti! Kau ada di bawahku! Aku
berhak memecatmu! Jangan berlaku kurang ajar ter-
hadapku!" bentak Panglima Utama Giri Gantra sambil melotot. Telunjuknya menunjuk
wajah Rawa Sekti
yang masih duduk di kursi.
"Kau memang pimpinanku. Namun begitu, akutak setuju dengan ucapanmu yang menghina orang-
orang istana!" balas Panglima Madya Rawa Sekti tak mau kalah.
"Hm, hebat! Baru kali ini aku mendengar ada
orang yang masih menghormati para pejabat istana.
Baik, aku minta maaf! Kini kuminta dengan hormat,
kalian duduk!" perintah Panglima Utama Giri Gantra tegas. Panglima Madya Rawa
Sekti dan Resi Wisangkara pun akhirnya menurut duduk, walau dengan
pandangan sinis tak senang, mendengar ucapan dan
tindakan panglima utama.
"Dengar oleh kalian semua! Besok malam, sebe-
lum fajar menyingsing, kalian harus bisa melakukan
sandiwara. Kami telah mempersiapkan orang-orang
yang akan melakukan pemberontakan. Sedangkan pe-
numpasannya, akan dipimpin olehku langsung!" kata Perdana Menteri Awangga.
"Ingat! Jangan sekali-kali berusaha membang-
kang dan membuka rahasia, karena hal itu berarti
nyawa kalian yang menjadi taruhannya," sambung
Panglima Utama Giri Gantra. "Jika ada yang berani melakukan tindakan bodoh itu,
kalian akan mendapatkan hukuman yang menyakitkan. Kalianlah yang
akan dituduh sebagai pemberontak!"
Semua tak ada yang berani membuka mulut.
Sampai pertemuan selesai tak ada yang berkata sepa-
tah kata pun. Nampaknya ancaman Panglima Utama
Giri Gantra dan Perdana Menteri Awangga, benar-
benar membuat para undangan tak berani bertindak
atau menolak, karena berarti akan menjerumuskan di-
ri mereka sendiri.
Keesokan harinya, tepat seperti apa yang diatur
oleh Panglima Utama Giri Gantra, pemberontakan ter-
jadi. Orang-orang yang sudah disiapkan, melakukan
aksi pemberontakan. Sekilas, tak nampak kalau se-
muanya sudah diatur. Mereka bekerja dengan rapi,
menculiki para pembesar istana yang masih mengabdi
pada baginda raja. Mereka membunuh para pembesar
istana. Bahkan patih dan hulubalang kerajaan diculik
dan dibunuh. Ketika pemberontakan berlangsung, orang-
orang yang juga sudah diatur oleh panglima utama
dan perdana menteri segera bergerak. Nyawa manusia
bagaikan tak berarti. Mereka saling bantai, hanya un-
tuk memerankan sebuah sandiwara yang sudah dibuat
oleh Giri Gantra dan Awangga. Dan akhirnya para
pemberontak yang hendak menggulingkan kekuasaan
raja dapat ditumpas.
Prabu Jawangga dan permaisuri yang sudah
mengungsi, dipaksa kembali ke istana. Lalu baginda
diteror dengan pertanyaan-pertanyaan dan tuduhan-
tuduhan yang menyudutkan kedudukannya. Sampai
akhirnya baginda jatuh sakit, lalu bersama sang Per-
maisuri dimasukkan ke sebuah kamar, yang sebenar-
nya penjara di bawah tanah. Begitu pula dengan para
Menjenguk Cakrawala 5 Elang Pemburu Karya Gu Long Bende Mataram 39
^