Pencarian

Undangan Maut 2

Pendekar Gila 26 Undangan Maut Bagian 2


pengikut baginda yang masih setia, dijebloskan ke penjara bawah tanah.
"Kami benar-benar menyesali diri sendiri, kare-
na tak berdaya. Kami tak dapat berbuat apa-apa," ujar Panglima Rawa Sekti dengan
air mata berlinang. "Namun begitu, secara diam-diam, kami selalu berusaha
memberi makanan pada baginda. Setiap hari kami
berharap, semoga datang Dewa Penolong yang akan
membebaskan Baginda Jawangga. Sampai akhirnya,
kami menemukan Kanjeng Pangeran."
"Kalau sekiranya kami salah, kami siap untuk
menerima hukuman, Kanjeng Pangeran," sambung Re-
si Wisangkara dengan kepala menunduk.
Pangeran Prapanca terdiam mendengar ucapan
mereka. Hatinya terenyuh sekali, jika mengingat nasib ayahanda dan ibundanya
yang mungkin menderita.
Dirinya sama sekali tak menyangka, kalau pamannya
sampai hati melakukan kekejian itu. Padahal ayahan-
danya, sangat sayang pada sang Adik, Awangga. Na-
mun balasan dari Awangga justru sebaliknya.
"Bedebah! Aku tak menyangka kalau pamanku
akan berbuat keji begitu!" dengus Pangeran Prapanca sambil menggenggam tangannya
kuat-kuat. "Tapi, kami rasa otak dari semuanya tiada lain
Panglima Utama Giri Gantra, Kanjeng Pangeran," tukas Ki Rawa Sekti.
"Dari mana Paman tahu?"
"Sesungguhnya, Panglima Utama Giri Gantra
yang mempunyai ambisi menjadi raja. Dia akan terus
mempengaruhi Baginda Awangga, sambil akhirnya ba-
ginda dapat dikendalikan. Memang di mata rakyat Ba-
ginda Awangga yang menjadi raja. Namun sesungguh-
nya, semua roda pemerintahan ada di tangan Giri Gan-
tra yang kemudian diangkat perdana menteri," tutur Rawa Sekti. "Hal itu bisa
kita ketahui, dari cara-cara melaksanakan roda pemerintahan. Semua menuruti
apa yang dikatakan Perdana Menteri Giri Gantra.
Hm..., tentu saja hamba banyak tahu keadaan istana,
Kanjeng Pangeran."
Pangeran Prapanca mengangguk-anggukkan
kepala. Tadi mungkin dirinya lupa kalau Rawa Sekti
merupakan seorang Panglima Utama di Kerajaan
Surya Langit "Hm, gumam Pangeran Prapanca. "Lalu apa
yang harus kita lakukan" Kalau aku tak memenuhi
undangan baginda, bukankah akan dikatakan penge-
cut?" tanya Pangeran Prapanca meminta pendapat dari teman-temannya.
"Jadi Kanjeng Pangeran tetap akan memenuhi
undangan Baginda Raja Awangga...?" tanya Resi Wisangkara dengan tatapan mata
cemas, karena sudah
menduga kalau semua ini sebenarnya sudah diatur.
"Tentunya semuanya sudah diatur oleh Perda-
na Menteri licik itu, Pangeran. Hamba tahu kelicikan
Giri Gantra jauh sebelum terjadi pemberontakan."
"Aku pun mengerti, Paman Resi. Mereka boleh
saja melakukan kelicikan. Namun kita tak boleh mun-
dur hanya karena kelicikan mereka!" kata Pangeran Prapanca. Nadanya sangat yakin
kalau dirinya akan
dapat menghadapi kelicikan yang akan dilakukan Per-
dana Menteri Giri Gantra dan Baginda Awangga.
"Tapi, Kanjeng Pangeran,"
Panglima Rawa Sekti kembali angkat bicara.
Wajahnya masih menggambarkan kebimbangan
dan rasa cemas, takut kalau-kalau Pangeran Prapanca
akan mengalami hal yang tidak diinginkan.
"Tapi apa, Paman?" tanya Pangeran Prapanca.
"Hamba mohon, Kanjeng Pangeran sudi mem-
pertimbangkannya lagi, agar tidak menyesal di kemu-
dian hari. Karena mereka benar-benar bukan manusia
lagi," tutur Panglima Rawa Sekti mengingatkan.
"Bagaimana kalau kita datang ke sana bareng?"
"Apakah nanti tak akan mengundang kesalah-
pahaman?" tanya Pangeran Prapanca, "Lebih baik, biar aku, Pranala, Sena dan Mei
Lie yang berangkat. Kalau
sampai terjadi sesuatu terhadap kami, aku mohon Pa-
man dan lainnya mengumpulkan bala bantuan. Semua
kuserahkan pada Paman."
"Kalau memang itu keputusan Kanjeng Pange-
ran, hamba tak bisa menentang," kata Rawa Sekti se-
raya membungkuk hormat
"Besok, kami akan berangkat. Jika dalam dua
hari kami tak pulang, kuserahkan pada Paman untuk
menentukan tindakan," ujar Pangeran Prapanca me-
mutuskan. Semua tak ada yang membantah. Semua
kini patuh dengan apa yang menjadi keputusan Pange-
ran Prapanca. *** 4 Jago-jago dari dua kerajaan yang diundang oleh
Perdana Menteri Giri Gantra berdatangan ke Kerajaan
Surya Langit. Nampaknya Perdana Menteri Giri Gan-
tra, hendak melaksanakan apa yang telah direncana-
kan, yaitu menyingkirkan Pangeran Prapanca dan para
pengikutnya. Jago-jago persilatan yang berasal dari Kerajaan
Tirta Buana dan Banyu Bumi kebanyakan tokoh-tokoh
golongan hitam. Di antara mereka tampak Sepasang
Toya Setan, si Mata Tunggal, Kala Prana, Jembel Pila-
rang, Jenggot Naga, Kati Asem, dan Hiwa Krana. Dela-
pan tokoh aliran hitam ini memiliki ilmu dan kedig-
dayaan tinggi. Tak mengherankan kalau nama mereka
sudah sangat dikenal dan disegani di kerajaan masing-
masing. Kedelapan tokoh aliran hitam ini, bersama to-
koh-tokoh hitam lainnya nampak tengah berkumpul di
alun-alun kerajaan. Mereka menunggu Perdana Mente-
ri Giri Gantra yang akan memberikan pen jelasan ten-
tang apa yang akan mereka lakukan.
Dari dalam istana, muncul Baginda Raja
Awangga dan Perdana Menteri Giri Gantra, diiringi pa-
ra punggawa dan prajurit kerajaan. Di bibir Perdana
Menteri Giri Gantra, tersungging sebuah senyuman.
Nampaknya sang Perdana Menteri merasa yakin, kalau
yang dia rencanakan akan berhasil.
"Dengan tokoh-tokoh hitam ini, tak akan
mungkin Pangeran Prapanca dan teman-temannya da-
pat lolos," ujar Perdana Menteri Giri Gantra pada Baginda Raja Awangga.
"Apa kau yakin?"
"Hamba yakin, Baginda."
"Apa kau telah menguji mereka."
"Belum," jawab Perdana Menteri Giri Gantra
dengan bibir masih mengurai senyum. "Tetapi, mereka merupakan tokoh-tokoh yang
namanya cukup kon-dang. Selama ini, mereka berpengaruh di kerajaan me-
reka masing-masing."
"Hm," gumam Baginda Raja Awangga turut ter-
senyum. Tangan kanannya membelai-belai jenggot
yang panjang putih. Matanya memperhatikan dari ke-
jauhan para tokoh hitam persilatan yang sudah me-
nunggu kedatangannya.
Baginda Raja Awangga dengan diiringi perdana
menteri, terus melangkah ke alun-alun. Kemudian Ba-
ginda Raja Awangga naik ke panggung yang sudah dis-
iapkan, diikuti Perdana Menteri Giri Gantra.
Semua tokoh aliran hitam yang ada di alun-
alun, seketika melakukan sembah. Mereka sujud di
hadapan Baginda Raja Awangga yang telah berdiri di
atas mimbar. "Perdana Menteri, apa rencanamu selanjutnya?"
tanya Baginda Raja Awangga kepada Perdana Menteri
Giri Gantra yang berdiri di sampingnya.
"Mereka akan kita tugaskan pada tempat-
tempat yang telah ku atur. Sebagian dari mereka, akan kita adu dengan Pangeran
Prapanca dan teman-
temannya. Kalau mereka ternyata mengalami kekala-
han, maka kita akan menangkap Pangeran Prapanca
dan teman-temannya," tutur Perdana Menteri Giri
Gantra menjelaskan rencananya. "Bukankah dengan
begitu, kita akan mudah menangkap mereka. Kita tak
perlu menguras tenaga. Ha ha ha...!"
Sang Raja turut tertawa mendengar penuturan
perdana menterinya. Kepalanya mengangguk-angguk,
menandakan setuju dengan rencana yang akan dila-
kukan Perdana Menteri Giri Gantra.
Baginda Raja Awangga nampak masih meman-
dangi semua tokoh persilatan di hadapannya. Mereka
masih tetap berdiri tenang menunggu apa yang hendak
disampaikan oleh raja. Baginda Raja Awangga terse-
nyum senang menyaksikan semuanya. Hatinya benar-
benar merasa senang atas usaha perdana menterinya.
Bagaimanapun dirinya tak menghendaki kedudukan-
nya sebagai pemimpin Kerajaan Surya Langit tergu-
lingkan. "Apakah kalian sudah mengerti apa yang akan
kalian lakukan?" tanya Baginda Raja Awangga.
"Belum, Baginda...!" sahut beberapa tokoh. Sedang lainnya hanya menggeleng-
geleng kepala. "Hm," gumam Baginda Raja Awangga. Matanya
masih memandang ke sekelilingnya. Sementara itu pa-
ra tokoh persilatan undangan itu menanti perintah
yang harus mereka lakukan. "Baiklah..., dengar baik-baik! Kalian semua kuundang,
semata-mata untuk
menjalankan tugas yang berat. Kalian harus bisa me-
lakukannya."
"Baginda...! Kalau hamba boleh tahu, tugas apa
yang harus kami lakukan?" tanya salah seorang tokoh persilatan yang berdiri di
depan. Baginda Raja Awangga tak segera menjawab.
Sesaat penguasa Kerajaan Surya Langit itu terdiam la-
lu menolehkan wajah pada Perdana Menteri Giri Gan-
tra. Ketika perdana menteri itu mengaggukkan kepala,
Baginda Raja Awangga kembali berkata. "Kalian kutu-gaskan untuk menangkap
seseorang yang nanti akan
datang ke istana ini."
"Siapa orangnya, Paduka?" tanya yang lain, karena belum tahu yang dimaksud sang
Raja. "Pangeran Prapanca dan teman-temannya. Di
antara mereka, terdapat seorang pemuda bertingkah
laku seperti orang gila yang sering disebut sebagai
Pendekar Gila. Juga seorang gadis Cina yang dikenal
dengan julukan Bidadari Pencabut Nyawa," tutur Baginda Raja Awangga.
Semua mata membeliak, setelah tahu siapa
yang harus dihadapi. Nama Pendekar Gila dan Bidada-
ri Pencabut Nyawa, bukanlah nama yang asing bagi
mereka. Keduanya telah mereka dengar sejak lama.
Tokoh muda di rimba persilatan. Namun kemampuan
pemuda gila itu cukup membuat siapa saja harus ber-
pikir seribu kali untuk melawannya. Meskipun di anta-
ra para tokoh yang diundang Raja Awangga belum
pernah berhadapan secara langsung dengan tokoh
yang telah menggemparkan rimba persilatan itu.
"Bagaimana" Apakah kalian siap?" tanya Ba-
ginda Raja Awangga.
Namun nampaknya tak satu pun di antara to-
koh itu yang berani menjawab. Semua diam. Kebisuan
saat itu membuat Baginda Raja Awangga mengerutkan
kening dan kembali bertanya.
"Bagaimana" Apakah kalian sanggup mengha-
dapi mereka"!"
"Hei, mengapa kalian diam"!"
Kali ini Perdana Menteri Giri Gantra yang ber-
tanya dengan suara keras. Tokoh kedua dalam kera-
jaan itu tampaknya tak sabar menyaksikan mereka
yang hanya membisu. Rencananya harus segera dilak-
sanakan. "Kalau kalian tak sanggup, katakan terus te-
rang! Biar urusannya cepat beres!"
"Sanggup, Tuan Perdana Menteri...!" sahut semua tokoh persilatan serentak. "Kami
sanggup...!"
"Bagus kalau begitu! Sekarang kalian boleh bu-
bar untuk bersiap siaga di tempat yang telah kutentu-
kan!" perintah Perdana Menteri Giri Gantra Pada para tokoh persilatan. Mereka
pun langsung bubar untuk
bersiap-siap di tempat yang telah ditentukan Perdana
Menteri Giri Gantra.
*** Mentari semakin condong ke sebelah barat. Su-
asana di Kerajaan Surya Langit masih terasa panas.
Sementara angin bertiup kencang, seakan-akan hen-
dak menyapu orang-orang yang kini mengelilingi tem-
pat pertemuan. Yang sekaligus sebagai arena perta-
rungan. Wajah-wajah mereka nampak tegang, menanti-
kan Pangeran Prapanca dan kawan-kawannya. Bagin-
da Raja Awangga dan Perdana Menteri Giri Gantra pun
tak luput dari perasaan cemas dan tegang.
"Apakah kau pasti, kalau mereka akan meme-
nuhi undanganku?" tanya Baginda Raja Awangga pada Perdana Menteri Giri Gantra.
Perdana menteri itu tak langsung menjawab.
Dihelanya napas panjang, lalu mencoba tersenyum
meskipun tampak kaku karena dipaksakan dan ber-
campur tegang. "Sabar Baginda Raja! Mereka pasti datang,
hamba merasakan itu..."
"Hm...! Semoga perasaanmu itu benar!" gumam
Baginda Raja Awangga sambil memegangi dagunya.
Kemudian suasana kembali hening, tegang. Ma-
ta semua orang yang ada di situ memandang ke pintu
gerbang istana. Pintu ruangan pertemuan pun terbuka
lebar. Ruang pertemuan besar itu terletak di tengah-
tengah istana kerajaan.
Kedelapan tokoh aliran hitam, Sepasang Toya
Setan, si Mata Tunggal, Jembel Pilarang, Kala Prana,
Jenggot Naga dan Kati Asem, serta Hiwa Krana pun
nampak tegang dan cemas. Perasaan cemas dan te-
gang itu tentu tak begitu saja dapat dihilangkan, kare-na mereka semua mendengar


Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung dari Baginda
Raja Awangga, bahwa Pendekar Gila dan kekasihnya,
Bidadari Pencabut Nyawa turut datang dalam acara
pertemuan penting itu. Ya, pertemuan yang akan di-
hadiri pewaris utama atas Kerajaan Surya Langit, Pan-
geran Prapanca.
Sementara itu Pangeran Prapanca, Pranala,
Pendekar Gila, dan Mei Lie dalam perjalanan menuju
Istana Kerajaan Surya Langit. Mereka melalui hutan
dan bukit cadas.
Pangeran Prapanca dan Pranala berjalan di de-
pan, sedangkan Pendekar Gila berada di belakang me-
reka. Semua meningkatkan kewaspadaan. Hanya Pen-
dekar Gila sendiri yang bersikap tenang, bahkan tam-
pak cengengesan, serta menggaruk-garuk kepala. Mei
Lie menghela napas panjang dan menggelengkan kepa-
la, melihat kekasihnya itu.
Angin berhembus kencang menyapu wajah me-
reka. Namun keempatnya terus melangkah dengan
mantap, menuruni dan menaiki perbukitan.
"Hi hi hi...!"
Tiba-tiba Pendekar Gila tertawa cekikikan sen-
diri. Hal itu membuat Pangeran Prapanca, Pranala,
dan juga Mei Lie merasa heran. Ketiganya menge-
rutkan kening. "Ada apa Sena...?" tanya Pangeran Prapanca, setelah menghentikan langkah.
Keningnya berkerut
memandangi Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Rupanya kita akan bermain-main
sebentar, Pangeran," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Apa maksudmu?" tanya Pangeran Prapanca,
tak mengerti. Belum sempat Pendekar Gila menjawab, tiba-
tiba muncul tiga orang bertopeng hitam. Pakaian me-
reka pun serba hitam dengan lengan panjang dan ikat
pinggang putih. Salah satu dari ketiga orang bertopeng itu memakai ikat kepala
belang-belang kuning hitam,
dengan rambut yang panjang sebatas bahu dibiarkan
lepas. Sedangkan dua lainnya tanpa ikat kepala. Ram-
butnya tertutup.
"Aha..., ternyata dugaanku tak salah, Pange-
ran," ucap Sena dengan cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Mei Lie segera
maju dengan tangan siap
mencabut pedang. Demikian pula Pranala, Pangeran
Prapanca. Hanya Pendekar Gila yang nampak tenang
dan terus tertawa sambil menggaruk-garuk kepala.
Tingkahnya seperti orang gila.
"Kisanak! Apa maksudmu menghadang ka-
mi...?" tegur Pangeran Prapanca pada ketiga orang bertopeng itu.
Orang yang berikat kepala kuning hitam tam-
pak berkacak pinggang dengan angkuh. Matanya yang
tampak dari dua lubang, menatap tajam.
"Kalau ingin selamat, sebaiknya urungkan niat
kalian meneruskan perjalanan...!" ujar orang bertopeng, dan berambut panjang
sebahu itu dengan suara
ramah. Pangeran Prapanca mengerutkan kening, tak
mengerti maksud ucapan lelaki bertopeng itu. Wajah-
nya menoleh ke Pendekar Gila, seakan meminta Pen-
dekar Gila agar menjawabnya.
Pendekar Gila hanya cengengesan dan mengga-
ruk-garuk kepala. Lalu tertawa-tawa sendiri.
"Hi hi hi..! Lucu! Kenapa kalian bicara seenak-
nya, menyuruh kami mengurungkan perjalanan ini"
Aneh sekali!"
"Ya! Jangan seenaknya bicara! Sebaiknya ka-
lian menyingkir, sebelum aku marah!" sambung Pranala dengan nada marah sambil
melangkah maju. Na-
mun Pangeran Prapanca menahan dengan tangan ki-
rinya. "Sabar, Pranala!" cegah Pangeran Prapanca.
"Kisanak, kami tak ingin bertengkar dengan kalian.
Namun kami harus segera meneruskan perjalanan.
Karena waktu sudah mendesak..."
"Hm..., Pangeran rupanya tak mengerti. Juga
Pendekar Gila, yang biasanya memiliki naluri tajam.
Kenapa seakan-akan tak berguna" Bagaimanapun ju-
ga, aku harus dapat mendesak mereka. Paling tidak
menghambat perjalanan mereka," gumam orang bertopeng yang berikat kepala seperti
ular weling itu. Nampaknya orang ini pimpinan dari kedua temannya. Tan-
pa menjawab lagi, orang itu mengangkat tangan kanan
memberi perintah kedua temannya agar menyerang.
Maka terjadilah pertarungan. Tanpa mengeta-
hui masalahnya, Pangeran Prapanca dan kawan-
kawannya terpaksa menghadapi ketiga penghadang
bertopeng hitam itu.
"Heaaa...!"
"Yeaaat..!"
Mereka saling serang dan tangkis. Tampaknya
pihak Pangeran Prapanca tak ingin hambatan ini terla-
lu lama. Semua, termasuk Pendekar Gila segera men-
geluarkan kepandaian mereka.
Namun baru beberapa jurus, tiba-tiba....
"Pangeran...! Sebaiknya biar saya yang meng-
hadapi mereka bersama Mei Lie...!" seru Sena sambil memerintah Pangeran Prapanca
agar mundur. "Kau
juga Pranala. Mundur...!"
"Heaaa...!"
Pendekar Gila dan Mei Lie segera menghadang
ketiga orang bertopeng itu. Mei Lie menghadapi dua
orang tanpa kewalahan. Gerakan tubuhnya sangat lin-
cah mengelak dan menyerang masih dengan tangan
kosong. Merasa kewalahan, kedua orang bertopeng itu
segera melakukan serangan secara serentak terhadap
Mei Lie. "Heaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Teriakan-teriakan keras seketika terdengar,
memecah keheningan siang menjelang senja di daerah
perbukitan itu.
Degk! "Ukh...!"
"Aaakh...!"
Dua pukulan beruntun Mel Lie mendarat di
tengkuk dan dada lawan. Ketika kedua orang berto-
peng itu menyerang, rupanya Mei Lie sudah me-
nyiapkan jurus ampuhnya. Mei Lie melenting ke udara
sambil bersalto. Dan sebelum mendarat gadis itu me-
lancarkan pukulan ke tengkuk dan dada lawan-
lawannya. Kedua orang bertopeng yang dihadapi Mei Lie
terhuyung dan jatuh terguling. Mei Lie tersenyum
mengejek menyaksikan kedua lawannya yang terguling
kesakitan. Sejurus kemudian, kedua lelaki bertopeng itu
bangkit berdiri. Keduanya lalu membuat gerakan ju-
rus-jurus andalan. Mereka bersama-sama mengangkat
kedua tangan ke atas kepala sambil mengepal. Kemu-
dian dilanjutkan dengan merentang lalu menjulurkan
yang kanan ke depan. Dengan jemari membentuk ca-
kar, mereka mengeluarkan jurus 'Cakar Harimau'.
Sementara itu Mei Lie tampak tersenyum me-
nyaksikan gerakan kedua lawannya. Namun dia tetap
tak menganggap remeh. Dengan tenang segera mem-
persiapkan diri untuk memapaki serangan lawan.
"Heaaa...!"
"Yeaaat..!"
Kedua lelaki bertopeng hitam itu melesat mela-
kukan serangan.
"Hiaaat..!"
Dengan cepat Mei Lie pun melompat memapaki
serangan itu. Plak! Plak! Tangan-tangan mereka beradu dan saling pu-
kul di udara. Kemudian sama-sama mendarat. Namun
kedua lawan Mei Lie dengan gerakan cepat bersama-
sama melompat memburu Mei Lie bagai gerakan hari-
mau menerkam mangsa.
Melihat itu dengan cepat Mei Lie berguling ke
depan menjauhi serangan lawan, sambil mencabut pe-
dang saktinya. Kemudian dengan cepat pula Mei Lie
membabatkan pedangnya ke tubuh kedua lawan.
"Hiaaa...!"
Srat! Tampaknya kedua lelaki bertopeng itu menge-
tahui kalau Mei Lie mencabut pedang saktinya. Den-
gan cepat keduanya bergerak menjauhi Mei Lie.
"Gawat...! Pedang Bidadari!" gumam salah seorang lawannya.
Sementara itu, Pendekar Gila pun tak mau ka-
lah. Lawan yang dihadapi tampaknya memiliki ilmu le-
bih tinggi dibandingkan kedua kawannya. Namun Pen-
dekar Gila nampak ringan menghadapi lawannya. Ge-
rakannya kelihatan lamban, tapi ternyata begitu cepat hingga membuat lelaki
berambut panjang sebahu itu
tampak kewalahan.
Tampaknya lelaki berkedok kain hitam itu tidak
bersungguh-sungguh dalam menghadapi Pendekar Gi-
la. Hal itu dapat dirasakan oleh Pendekar Gila sendiri.
Sebab ketika Pendekar Gila sengaja membuka perta-
hanannya, lelaki berambut panjang itu tak segera me-
nyerang. Bahkan menarik pukulannya yang sudah me-
lesat. "Aha, aneh kenapa serangannya tidak dilanjutkan"!" tanya Sena dalam hati
sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Pendekar Gila mencoba melancarkan serangan
dengan jurus-jurusnya, bermaksud agar lawan mela-
deni dengan sungguh-sungguh. Namun tetap saja lela-
ki berpakaian serba hitam itu hanya menangkis dan
membalas dengan serangan yang tak berarti.
"Huh! Benar-benar aneh orang ini. Apa mak-
sudnya..."!" gumam Sena keheranan dan merasa agak kesal. Lelaki bertopeng dan
berambut panjang dengan
ikat kepala kuning itu mulai melakukan serangan.
Pendekar Gila merasa senang mendapat perlawanan
itu. Maka dengan gesit dan tenang, Pendekar Gila
mengelak dan secara perlahan balik menyerang.
Pertarungan sudah menginjak jurus kesepuluh.
Namun masih tampak seimbang. Kalau saja Pendekar
Gila menghadapi dengan sungguh-sungguh, sudah se-
jak tadi lawan akan dapat ditaklukkan. Namun Pende-
kar Gila merasakan, bahwa lelaki bertopeng itu tidak
mau saling menciderai, atau bentrok. Itu terlihat dari cara lawannya melancarkan
serangan. Dan akhirnya kecemasan dan dugaan Pendekar
Gila terbukti, ketika lawan semakin terdesak. Pendekar Gila yang sudah tak sabar
mengeluarkan Suling Naga
Sakti. Sementara Mei Lie mulai mempermainkan pe-
dang saktinya. Ketiga orang bertopeng itu kabur, tak melanjutkan pertarungan
dengan Pendekar Gila dan
Mei Lie. "Hah..."!"
Pendekar Gila mengerutkan kening, demikian
juga Mei Lie ketika melihat ketiga lelaki bertopeng hitam itu lari, lalu
menghilang dengan cepat
"Aneh! Lucu...! Hi hi hi...!" gumam Pendekar Gi-la sambil menggaruk-garuk kepala
dan cengengesan.
"Siapa sebenarnya mereka itu, Kakang?" tanya Mei Lie pada Sena.
Pendekar Gila hanya menggelengkan kepala.
Mulutnya cengengesan sambil terus tertawa-tawa geli
sendiri. Lalu tangannya menggaruk-garuk kepala.
Pangeran Prapanca dan Pranala mendekati
Pendekar Gila dan Mei Lie. Mereka pun belum menger-
ti siapa ketiga orang bertopeng hitam itu.
"Apa kau tahu, Sena, siapa mereka sebenar-
nya" Lawan ataukah kawan..."!" tanya Pangeran Prapanca setelah berada di dekat
Pendekar Gila dan Mei
Lie. "Ah ah ah! Aku belum tahu, Pangeran. Tapi ba-
giku, tindakan mereka memang terasa aneh," jawab Sena sambil menggaruk-garuk
kepala. "Sepertinya mereka bermaksud baik, Pange-
ran...," sambung Mei Lie kemudian.
Pangeran Prapanca manggut-manggut, sambil
memegangi dagunya. Keningnya berkerut tajam, seper-
ti tengah berpikir keras. Siapa ketiga orang bertopeng
hitam itu. "Kita harus tetap waspada, Pangeran. Kita se-
mua tahu bahwa tempat ini termasuk wilayah Kera-
jaan Surya Langit. Mungkin ketiga orang tadi suruhan
perdana menteri penjilat itu...!" ujar Pranala dengan nada dingin.
"Mungkin juga," sahut Pangeran Prapanca pelan, lalu menarik napas panjang.
"Bagaimana dengan pendapatmu, Sena?"
Sena tak langsung menjawab. Tangannya
menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan. Matanya
melirik ke wajah Mei Lie.
"Aha! Perasaanku mengatakan kalau mereka
tak bermaksud menculik atau melukai Pangeran. Tapi
betul juga kita harus tetap waspada."
Pangeran Prapanca manggut-manggut tanda
mengerti. Kembali napasnya ditarik panjang-panjang.
"Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan! Aku yakin Baginda Raja Awangga telah
menunggu kita."
Mereka lalu segera bergerak bersama, melan-
jutkan langkah kaki menuju Kerajaan Surya Langit.
*** Sesampainya di Kerajaan Surya Langit Pange-
ran Prapanca dan kawan-kawannya disambut dengan
ramah oleh Baginda Raja Awangga. Namun Pendekar
Gila dan Mei Lie merasakan suasana yang tidak wajar.
Begitu pula dengan Pranala yang lak tersenyum sedikit pun. "Silakan, silakan...!
Duduklah di tempat yang telah kami sediakan, mari...!"
Baginda Raja Awangga dengan ramah memper-
silakan mereka. Para undangan lain nampak seperti
biasa. Memberikan salam pada Pangeran Prapanca pe-


Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nuh hormat. Sedangkan Pendekar Gila terus cengenge-
san dan menggaruk-garuk kepala. Dia tak peduli se-
dang berhadapan dengan siapa. Kebiasaan tingkah la-
kunya yang konyol bagaikan tak bisa dicegah.
Perdana Menteri Giri Gantra yang licik dan pen-
jilat itu pun bersikap ramah sekali. Namun Pranala tak menggubris, bahkan
matanya membelalak tajam, ketika Perdana Menteri Giri Gantra menyilakan duduk
Baginda Raja Awangga bicara panjang lebar
dengan Pangeran Prapanca. Dia meminta maaf atas
tindakan Perdana Menteri Giri Gantra. Kemudian
mengharap Pangeran Prapanca dapat melupakan se-
mua peristiwa yang sudah berlalu. Apapun keinginan
sang Putra Mahkota itu akan dipenuhi, asal bersedia
menerima syarat Baginda Raja Awangga.
"Apa syarat yang ingin Baginda katakan pada
kami?" tanya Pangeran Prapanca dengan kening berkerut.
"Hm..., tak sulit," jawab Baginda Raja Awangga.
Lalu dia berbisik pada Perdana Menteri Giri Gantra.
"Begini. Kalau kalian sanggup mengalahkan jago-jago silat yang telah bergabung
denganku, kalian boleh ambil alih takhta kerajaan ini...! Bagaimana, setuju"!"
Perdana Menteri Giri Gantra dan lainnya terta-
wa-tawa mengejek. Pranala sudah nampak tak sabar.
Dengan geram pedangnya dicabut. Namun Pangeran
Prapanca cepat menahannya.
"Sabar, Pranala! Kita harus hadapi dengan hari
sabar dan kepala dingin...."
Sementara itu Pendekar Gila dan Mei Lie yang
mendengar ucapan Baginda Raja Awangga agak kaget.
Namun keduanya tampak tenang. Pendekar Gila tam-
pak hanya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Tingkahnya yang seperti orang gila, membuat para un-
dangan merasa heran.
"Bagaimana menurutmu, Sena?" tanya Pange-
ran Prapanca seraya menoleh ke wajah Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Lucu, lucu sekali! Tapi kita harus hadapi dan terima keinginan
mereka. Kita bukan
orang-orang pengecut, Pangeran...," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan
terus cengengesan.
"Bagaimana...?" kembali Baginda Raja Awangga bertanya.
"Kami dengan senang hati menerima syarat
itu...!" jawab Pangeran Prapanca dengan tekad yang mantap.
"Ha ha ha...! Bagus, bagus! Itu memang jawa-
ban yang kutunggu-tunggu. Perdana Menteri Giri Gan-
tra...!" seru Baginda Raja Awangga.
"Ya, Baginda,..," jawab Perdana Menteri Giri Gantra sambil menjura.
"Segera siapkan dan laksanakan pertarun-
gan...!" "Baik, Baginda!"
Perdana Menteri Giri Gantra lalu berdiri. Den-
gan pongahnya, dia memerintahkan para tokoh persi-
latan aliran hitam yang sudah diatur olehnya.
"Hai...! Kalian para tokoh yang kuundang! Ma-
julah ke depan, dan laksanakan perintahku! Sesuai
dengan rencana kita...! Ha ha ha...!"
Maka satu persatu para tokoh yang telah ditun-
juk, muncul. Mereka bergerak maju ke arena yang su-
dah disediakan. Mereka tak lain, si Mata Tunggal, Se-
pasang Toya Setan, Kala Prana, Jembel Pilarang, Jeng-
got Naga, Kati Asem dan Hiwa Krana.
Pendekar Gila yang melihat kedelapan tokoh
persilatan aliran hitam itu, hanya cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala.
"Rupanya mereka sudah merencanakan, Ka-
kang. Kita harus waspada," kata Mei Lie pada kekasih-
nya. "Akan kuhabisi orang-orang penjilat itu!"
"Aha, Pangeran. Rupanya mereka sudah me-
rencanakan semua ini. Lucu! Dan aku sudah duga, ka-
lau mereka minta bantuan kunyuk-kunyuk itu...," ujar Pendekar Gila sambil
menunjuk kedelapan tokoh aliran hitam yang berada di tempat itu. "Pranala, Mei
Lie! Ayo kita sambut kunyuk-kunyuk ini! Hi hi hi...!"
Pendekar Gila melompat ke depan, disusul Mei
Lie dan Pranala. Sedangkan Pangeran Prapanca masih
sempat berdiam diri seperti tengah berpikir. Pendekar Gila berdekatan dengan Mei
Lie, sedangkan Pranala
berdekatan dengan Pangeran Prapanca.
"Hi hi hi...! Kita bagi dua...!" seru Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk
kepala dan cengengesan.
"Mei Lie, kau bergabung dengan pangeran, biar Pranala bersamaku!"
Dengan cepat Mei Lie bergeser ke dekat Pange-
ran Prapanca. Setelah dekat, diberikannya isyarat agar Pranala bergabung bersama
Pendekar Gila. Kini sudah
terbagi dua kelompok. Pendekar Gila bersama Pranala,
untuk menghadapi empat lawan tangguh. Mereka ter-
diri dari si Mata Tunggal, Jenggot Naga, Jembel Pila-
rang, dan Kala Prana. Sedangkan Mei Lie dan Pange-
ran Prapanca menghadapi Sepasang Toya Setan, Kati
Asem, Hiwa Krana.
"Hm...!" gumam Pangeran Prapanca sambil
mengerutkan kening dan menoleh ke arah Mei Lie yang
berada di samping kirinya. "Lawan kita bukan orang sembarangan, Mei Lie. Kita
harus hati-hati!"
"Tenang, Pangeran! Aku sudah tak tahan ingin
menghajar orang-orang penjilat ini!" sahut Mei Lie dengan suara geram. Tangannya
telah memegang Pedang
Bidadari dan diarahkan lurus ke depan.
"Heaaa...!"
"Hiaaat...!"
Pertarungan terjadi. Dengan pedangnya, Mei Lie
bergerak cepat memapaki serangan Sepasang Toya Se-
tan. Trak! Trak...! "Heaaa...!"
Wut! Wut..! Percikan api mencelat ketika Pedang Bidadari
Mei Lie membentur Toya Setan. Tidak sampai di situ,
Mei Lie terus merangsek lawannya. Dia tahu kalau ke-
dua lawan terkejut, ketika Pedang Bidadari menebas
dengan cepat bagai baling-baling, dalam jurus
'Tebasan Pedang Bidadari'.
"Hah,.."!" sentak Sepasang Toya Setan. Keduanya tampak mengerutkan kening. Lalu
segera melan- carkan serangan berikutnya. Namun Mei Lie tiba-tiba
melesat dan bersalto di udara, laksana seekor burung
seriti yang lincah. Tangan kirinya bergerak melakukan pukulan dan tangkisan.
Sedangkan tangan kanan menebaskan pedang sangat cepat, sampai bentuk senjata
itu tak terlihat.
"Heaaat...!"
Wut! Wut..! Pedang di tangan Mei Lie menebas tubuh kedua
lawan yang ada di samping kiri dan kanannya. Untung
Sepasang Toya Setan merupakan tokoh berilmu silat
yang cukup tangguh. Kalau tidak pasti telah mati,
dengan tubuh terbelah dua. Namun keduanya tak lu-
put dari cidera. Lengan kiri dan kanan kedua tokoh
bersenjata toya itu tergores pedang Mei Lie. Dari mulut mereka terdengar
rintihan kesakitan ketika saling melompat menghindari Mei Lie.
Sementara itu Pangeran Prapanca dengan sigap
menghadapi Kati Asem dan Hiwa Krana.
Pangeran Prapanca ternyata bukan orang sem-
barangan. Dengan gesit dan cepat Pangeran Prapanca
memapaki serangan lawannya. Baik Kati Asem mau-
pun Hiwa Krana masih ingin mengandalkan kekuatan
tenaga dalam. Terbukti kedua tokoh hitam itu tak
mengeluarkan senjata apapun.
Pangeran Prapanca yang nampak sudah sangat
marah, dengan jurus-jurus mautnya menyerang kedua
lawan. Wut! Wut..!
Degk! Degk! "Ukh...!"
Serangkum angin melesat dari tangan Pangeran
Prapanca. Hal itu cukup membuat Kati Asem dan Hiwa
Krana tersentak kaget. Keduanya melompat cepat sal-
ing menghindar untuk menyelamatkan diri.
"Hm!.., ternyata pangeran ini memiliki ilmu
yang lumayan. Hati-hati, Kawan!" ujar Kati Asem pada Hiwa Krana.
"Hm...!" Hiwa Krana hanya mendengus pelan.
Kati Asem serta Hiwa Krana kembali menyerbu
Pangeran Prapanca. Menghadapi satu saja keduanya
sudah merasa keteter. Apalagi kalau menghadapi dua
lawan sekaligus. Terpaksa mereka harus bertindak ce-
pat dan hati-hati. Sekali salah gerakan atau langkah, tak ampun lagi. Serangan
putra mahkota itu ternyata
sangat berbahaya!
Sambil berkelebat mengelak, Pangeran Prapan-
ca berteriak agar Kati Asem dan Hiwa Krana menghen-
tikan perlawanan. Namun dua orang tokoh aliran hi-
tam itu tak mau berhenti begitu saja. Apalagi Baginda Raja Awangga menjanjikan
kedudukan terhormat di
Kerajaan Surya Langit. Tanpa ragu-ragu mereka berte-
kad mempertaruhkan nyawa.
Keduanya makin memperhebat serangan mas-
ing-masing. Namun, tampaknya baik Kati Asem mau-
pun Hiwa Krana semakin terdorong oleh perasaan ma-
rah dan nafsu membunuh. Sehingga kurang menyada-
ri kalau hal itu justru mengurangi kewaspadaan.
Dua kali pukulan keras Pangeran Prapanca
bersarang di tubuh Kati Asem dan Hiwa Krana. Dis-
usul satu jotosan Pangeran Prapanca menghantam ru-
suk Kati Asem. Dan satu tendangan keras juga meng-
hantam rusuk Hiwa Krana.
"Hiaaa...!"
Blak! Plak! "Aaakh...!"
Kati Asem dan Hiwa Krana tampak terhuyung-
huyung. Mulut keduanya meringis kesakitan. Salah
satu pukulan Pangeran Prapanca telah membuat tu-
buh mereka terluka dalam.
Di lain tempat, Pendekar Gila bersama Pranala
tampak tak mendapatkan kesulitan untuk menghadapi
keempat lawannya. Pendekar Gila bagai menari dan
seakan tak bersungguh-sungguh menghadapi lawan-
lawannya. Si Mata Tunggal dan Jenggot Naga tambah
geram dan marah. Padahal sebenarnya sebelum ber-
tanding mereka mempunyai perasaan ragu dan segan
menghadapi Pendekar Gila. Karena sudah lama mere-
ka tahu kalau pendekar muda itu sangat disegani baik
oleh tokoh hitam maupun putih.
"Aha, kalian rupanya hanya besar mulut dan
bertampang seram! Tapi, tak punya nyali! Ayo maju...!"
ejek Pendekar Gila sambil cengengesan dan mengga-
ruk-garuk kepala. Meskipun dalam keadaan bertarung,
pemuda berpakaian rompi kulit ular itu masih saja
sempat bertingkah laku konyol, seperti orang gila.
"Hhh...!"
Jenggot Naga memutar tangan kiri ke belakang,
lalu menyentakkan ke depan. Sedang tangan kanan-
nya ditarik ke belakang, kemudian diputar dengan jari-jari terbuka. Setelah itu
dihentakkan lurus ke depan.
Gerakan itu merupakan pembuka dari jurus 'Sampar
Naga'. Menyaksikan lawan telah membuka jurus an-
dalan, Pendekar Gila justru tersenyum sambil mengga-
ruk-garuk kepala.
"Bersiaplah, Pendekar Gila!" dengus Jenggot Naga yang semakin sewot menyaksikan
tingkah konyol Sena. Hatinya kian marah dan geram menghadapi la-
wan yang ternyata mempunyai gerakan lamban dan
lemah, bagaikan tak bertenaga.
"Sejak tadi aku sudah siap...!" jawab Sena tenang. Si Mata Tunggal pun tak
tinggal diam, segera
membuka jurus mautnya yang dinamakan 'Mata Ma-
laikat Pencabut Nyawa'. Dari mata dan telapak tan-
gannya mulai mengeluarkan asap merah. Sementara
itu, Pendekar Gila yang menyaksikan ilmu si Mata
Tunggal hanya tersenyum sambil menggaruk-garuk
kepala. "Hi hi hi...! Ternyata ilmu kalian cukup aneh dan hebat! Hi hi hi...!"
ujar Pendekar Gila dengan nada mengejek. "Ayo..., akan kulayani kalian dengan
senang hati!" Semua tokoh hitam yang berada di dalam
ruang pertempuran itu terbelalak. Mereka merasa ka-
gum dan keheranan menyaksikan tingkah laku Pende-
kar Gila yang konyol. Pemuda tampan berambut gon-
drong dan berpakaian rompi kulit ular itu seakan tak
merasa takut sama sekali. Padahal lawan-lawannya
kali ini sudah sangat dikenal sebagai tokoh berilmu
tinggi. Namun bagi yang tahu, tingkah laku konyol itu merupakan pembuka jurus
'Si Gila Menari Menepuk
Lalat'. Jurus aneh yang sering membuat lawan terke-
sima, heran, bahkan terkejut.
Orang-orang yang menyaksikan ulah Sena me-
rasa yakin dan berpikiran kalau Pendekar Gila akan
dapat ditaklukkan kedua lawannya.
Tubuh Pendekar Gila tampak mulai menyurut
dua langkah ke belakang. Sambil tertawa-tawa, tu-
buhnya meliuk-liuk seperti menari. Kedua tangannya
bergerak lemah gemulai.
"Heaaa...!"
Jenggot Naga memekik keras untuk membuka
serangan, mendahului si Mata Tunggal yang masih
berjaga-jaga. Tubuhnya melesat ke depan, memburu
tubuh Pendekar Gila. Tangan kanannya membentuk
siku dengan kepalan ke atas. Sedangkan tangan kiri
diputar, lalu dihentakkan menghantam dada lawan.
Melihat lawan melakukan serangan, dengan ce-
pat Pendekar Gila menggerakkan tubuhnya. Tangan
kanannya diangkat lurus ke atas dengan telapak saling berhadapan. Kaki kanan
diangkat membentuk siku, la-lu direntangkan ke kanan. Hal itu diikuti dengan
gerakan membuka kedua telapak tangannya. Selanjutnya
terlihat gerakan menari. Tangan kanan masih di atas,
sedangkan tangan kiri lurus ke bawah. "Yeaaat...!"
Dengan menggunakan jurus pembuka 'Kera Gi-
la Melempar Batu'. Gerakannya seperti seekor kera


Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tengah melemparkan batu ke tubuh lawan. Dari
gerakan itu, keluar serangkum angin yang mampu
menahan gerak lawan.
"Yeaaat...!"
"Heaaa...!"
Jenggot Naga dan si Mata Tunggal kini sama-
sama melesat untuk melakukan serangan. Tangan dan
kaki mereka bergerak lincah, seirama dengan gerakan
tubuh. Secara bergantian dan cepat tangan mereka
melakukan serangan dan pertahanan. Sedangkan ke-
dua kaki mereka saling menyapu ke kaki lawan.
"Heaaat...! Mampus kau, Pendekar Gila!
Yeaaa...!"
Sambil membentak keras, Jenggot Naga mele-
sat cepat melancarkan serangan. Tangan kanannya
memukul ke dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan
kirinya membentuk pertahanan.
"Uts...! Hih!"
Dengan cepat Pendekar Gila menarik kaki ka-
nan lalu melangkah ke depan disusul dengan pukulan
telapak tangan.
"Hah..."! Edan!" maki Jenggot Naga kaget. Segera serangannya ditarik dengan
cepat, sementara tan-
gan kirinya memapak serangan lawan. Setelah itu, ka-
kinya digerakkan menendang.
Pendekar Gila meliukkan tubuhnya ke bawah.
Secepat kilat tangannya menyambar kaki lawan. Hal
itu memaksa Jenggot Naga menarik serangan dengan
cepat. Matanya semakin membelalak menyaksikan ju-
rus Pendekar Gila yang semakin sempurna. Jurus itu
membuat nyalinya makin kecil.
Melihat Jenggot Naga mulai kecut, si Mata
Tunggal merangsek ke depan menyerang Pendekar Gila
dengan geram. Pendekar Gila dengan tenang melom-
pat, mengelak dari serangan lawan. Rupanya si Mata
Tunggal melancarkan serangan dahsyatnya. Dari ma-
tanya keluar sinar merah, bagai api, meluncur cepat ke tubuh lawan. Namun
Pendekar Gila dengan cepat
mengelak. Sehingga tanpa diduga, serangan sinar me-
rah yang mengandung hawa panas itu melesat dan
menerjang orang-orang yang duduk di pinggir arena
pertempuran. "Heaaa...!"
Slats! Brets! "Aaakh...!"
Para tokoh aliran hitam yang menyaksikan di
pinggir arena pertarungan semua terkejut. Hampir tak
percaya mereka menyaksikan kekuatan hawa panas
yang keluar dari mata si Mata Tunggal yang mampu
menewaskan beberapa orang dalam seketika. Bahkan
tubuh mereka hangus bagai terbakar!
"Hi hi hi...! Boleh juga kunyuk ini!" ular Pendekar Gila dengan nada mengejek
sambil cengengesan
dan menggaruk-garuk kepala.
Melihat serangannya gagal, si Mata Tunggal
makin kesal dan penasaran. Kini dengan membabi bu-
ta lelaki bertubuh besar dan bermata satu itu merang-
sek Pendekar Gila.
"Heaaa...!"
"Hi hi hi...!"
Pendekar Gila cekikikan melihat kemarahan
lawannya. Dengan meliuk-liuk bagai menari, pemuda
berwajah tampan dan berompi kulit ular ini mengelak
dari serangan ganas lawan. Kemudian dengan gerakan
yang tampak lemah dan lamban, tiba-tiba tendangan
keras Pendekar Gila mendarat di perut si Mata Tung-
gal. "Hih!"
Bugk! "Aaakh...!"
Si Mata Tunggal memekik keras. tubuhnya ter-
jungkal keras ke tanah. Pendekar Gila dengan ting-
kahnya yang konyol tertawa-tawa dan berjingkrakan
bagai kera. Tangannya menggaruk-garuk kepala dan
menepuk-nepuk pantat.
Para tokoh persilatan yang berada di ruang per-
temuan besar itu terkagum-kagum. Dengan penuh ke-
heranan mereka memperhatikan, seakan tak ingin me-
lewatkan sedikit pun pertarungan itu. Mulut mereka
ternganga dan sesekali berdecak kagum.
"Ck ck ck..!"
"Benar-benar gila dan hebat pemuda itu!" Perdana Menteri Giri Gantra berbisik-
bisik pada Baginda
Raja Awangga yang nampak cemas dan tegang. Karena
jago-jagonya ternyata hampir semuanya terpecundan-
gi. Padahal kedelapan tokoh itu memiliki ilmu yang
cukup tinggi. "Sebaiknya kita lekas perintahkan prajurit dan
jago lainnya untuk menangkap mereka, Baginda. Ka-
lau tidak, gawat!" bisik Perdana Menteri Giri Gantra pada Baginda Raja Awangga.
Baginda menganggukkan kepala tanda setuju,
sambil menyeka keringat di keningnya. Menahan ce-
mas dan ketegangan dirinya. Sebab kalau Pangeran
Prapanca dan kawan-kawannya ternyata menang, tah-
ta Kerajaan Surya Langit akan jatuh pada putra mah-
kota itu. Pranala pun dengan tangan kosong terus
menghadapi lawannya. Kaki tangannya memukul dan
menendang lawan yang sudah terdesak. Jembel Pila-
rang nampak terhuyung-huyung lalu jatuh tertelung-
kup kena tendangan Pranala yang sangat keras. Se-
dangkan Kala Prana yang sudah lebih dulu kena puku-
lan 'Braja Sakti' milik Pranala muntah darah sambil
memegangi dadanya yang terasa sesak.
Melihat tokoh-tokoh undangan itu mulai berja-
tuhan, Perdana Menteri Giri Gantra segera memerin-
tahkan para prajurit dan orang-orang andalannya un-
tuk menangkap Pangeran Prapanca dan kawan-
kawannya. Termasuk Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Hah..."! Apa-apaan ini!" Gumam Mei Lie gusar.
Sambil melompat mendekati Pendekar Gila yang ten-
gah menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Seper-
tinya tak peduli dengan keadaan saat itu.
"Kakang Sena, bertindaklah! Kalau tidak..."
Belum sempat Mei Lie meneruskan kata-
katanya, tiba-tiba sebatang tombak meluncur ke tu-
buhnya. Dengan cepat Mei Lie menyabetkan pedang-
nya. Wret! Trak!
Tombak itu terhantam Pedang Bidadari dan
berbalik meluncur ke pemiliknya.
"Aaakh...!"
Tombak menancap ke tubuh pemiliknya yang
saat itu langsung tewas!
Pertempuran masal terjadi. Pendekar Gila, Mei
Lie, Pangeran Prapanca dan Pranala menghadapi pu-
luhan prajurit kerajaan dan para tokoh silat yang sangat tangguh. Pendekar Gila
dan Mei Lie terpusat piki-
rannya untuk menyelamatkan Pangeran Prapanca,
hanya berusaha mengusir dan menghalangi orang-
orang yang ingin menangkap putra mahkota itu. Hing-
ga keduanya tak sempat melancarkan serangan balik
yang mematikan. Pendekar Gila khawatir Pangeran
Prapanca akan cedera.
Keadaan ini menyebabkan para prajurit kera-
jaan berhasil mendesak Pangeran Prapanca dan ka-
wan-kawannya. Pendekar Gila yang masih nampak
cengengesan dan hanya sesekali berupaya melancar-
kan serangan mautnya, untuk menghalau para praju-
rit dan tokoh persilatan. Lalu kembali membentengi
Pangeran Prapanca.
Tiba-tiba melesat sesosok tubuh berambut pan-
jang tak beraturan. Sosok ini merupakan tokoh hitam
yang sangat menyeramkan. Matanya mencorong ba-
gaikan mata setan. Namun wajahnya mirip orang hu-
tan. Kuku-kukunya tajam dan runcing. Dialah Setan
dari Rimba Merawan
Pendekar Gila tersentak dan cepat melenting ke
udara, ketika dirasakan ada serangan dari belakang.
"Heaaa...!"
Wuuut! Wuuut! "Hi hi hi...! Aha, rupanya ada tamu tak diun-
dang membokongku. Hi hi hi..., lucu sekali!" ejek Pendekar Gila pada Setan dari
Rimba Merawan. Makhluk
berwajah seperti gorila itu marah.
"Grrr...!"
"Kau kunyuk raksasa! Beraninya menyerang
dari belakang. Ayo maju! Aku ingin main-main den-
ganmu. Hi hi hi...!" Pendekar Gila kembali mengejek sambil menggaruk-garuk
kepala dan cengengesan.
"Grrr...! Grrr...!"
Setan dari Rimba Merawan menggeram lalu
menerjang Pendekar Gila. Dengan kuku-kukunya yang
runcing dan beracun, makhluk aneh itu menyerang.
Wrets! Wrets! "Grrr...! Grrr...!"
"Hi hi hi.... Hebat juga ilmu kunyuk raksasa
ini," gumam Pendekar Gila sambil mengelak, dengan bersalto ke belakang. Kemudian
secara tiba-tiba Pendekar Gila melancarkan serangan balik dengan jurus
'Kera Gila Melempar Batu'. Seketika melesat serang-
kum angin yang mampu menahan gerak lawan.
Tubuh Setan dari Rimba Merawan bagai terdo-
rong angin dahsyat. Lalu dengan gerakan cepat Pende-
kar Gila menyambar makhluk berwajah gorila itu.
"Heaa...!"
Wret! "Aaakh...! Grrr...! Uaaak..!"
Bluk...! Setan dari Rimba Merawan mengerang kesaki-
tan, ketika cengkeraman tangan Pendekar Gila menda-
rat di kepalanya. Sementara sapuan kaki Pendekar Gi-
la mampu menjatuhkan tubuhnya yang besar itu.
Namun Setan dari Rimba Merawan masih
mampu melakukan perlawanan. Kedua tangannya
yang besar dan kokoh serta berkuku tajam, menyam-
bar bagian bawah tubuh Pendekar Gila.
"Grrr...! Heaaa...!"
Wret! "Aits...! Heaaa!"
Pendekar Gila melenting ke atas. Lalu bagai
elang menyambar mangsa tubuhnya meliuk. Ketika
mendarat dan masih dalam keadaan meliuk tangannya
menyambar cepat kaki lawan. Hal itu memaksa Setan
dari Rimba Merawan menarik serangan dengan cepat.
Matanya semakin membelalak menyaksikan jurus
Pendekar Gila yang semakin membahayakan.
"Edan! Pemuda gila ini benar-benar berilmu
tinggi," gumam Setan dari Rimba Merawan dalam hati.
Pendekar Gila terus menyerang. Gerakannya
yang seperti kera, terlihat lucu dan lamban. Namun
ternyata serangannya sangat cepat. Tangannya mene-
puk ke tubuh lawan secara gencar dan susul-
menyusul. "Grrr...! Benar-benar jurus berbahaya!" gerutu Setan dari Rimba Merawan
tersentak kaget, mendapatkan serangan yang aneh. Dilihatnya gerakan tan-
gan dan kaki Pendekar Gila itu lambat. Namun kalau
dirinya tak cepat berkelit, cakaran dan tepukan tangan Pendekar Gila tentu
menghajar tubuhnya.
"Heaaa...!"
Wrrrs...! "Hah!"
Setan dari Rimba Merawan lebih terkejut lagi
ketika merasakan gerakan lambat itu mampu menge-
luarkan angin pukulan yang menderu keras. Bagaikan
topan besar angin itu menerpa tubuhnya yang besar.
Setan dari Rimba Merawan cepat-cepat memu-
tar tubuhnya. Kemudian dengan gerakan cepat pula,
makhluk bermuka seperti gorila itu melontarkan puku-
lan ke dada Pendekar Gila.
"Yeaaa...!"
Wut! Setan dari Rimba Merawan rupanya kini tahu
gelagat. Dirinya yang semula memandang rendah Pen-
dekar Gila, kini tak berani lagi meremehkannya. Se-
rangannya yang menggunakan jurus-jurus ular pun
dipergencar susul-menyusul. Kedua tangannya mema-
tuk dan menampar ke dada dan muka lawan.
Pendekar Gila dengan cepat melompat lalu me-
liuk ke bawah, ketika tangan lawan mematuk ke wa-
jahnya. Dimiringkan tubuhnya ke belakang, ketika
tangan lawan menampar keras ke dadanya. Kakinya
bergerak lincah, menjejak berganti-ganti. Sedangkan
tangannya berusaha memapak dan menyambar kaki
lawan yang turut menyerang.
Ruangan tempat pertemuan di istana itu telah
berantakan. Meja kursi banyak yang hancur. Di sana
sini terjadi pertarungan seru. Baginda Raja Awangga
segera mencari perlindungan. Dua pengawal memben-
tengi. Ditambah lima orang pengawal lainnya, berada
di depan. Sementara itu Mei Lie pun tak tinggal diam.
Dengan gesit dan cepat gadis cantik itu menggerakkan
Pedang Bidadari menghalau lawan-lawannya. Dalam
beberapa gebrakan Mei Lie mampu membuat kocar-
kacir prajurit kerajaan yang menyerangnya.
"Hiaaa...!"
Wut! Wut! Kibasan pedang Mei Lie mengeluarkan angin
kencang dan hawa panas. Hal itu membuat lawan-
lawannya ketakutan dan menyingkir. Namun gadis


Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergaun hijau itu tetap saja memburu dengan kibasan
pedangnya. Kembali pada pertarungan Pendekar Gila mela-
wan Setan dari Rimba Merawan, yang semakin seru.
Sejauh itu keduanya masih memperlihatkan ketang-
guhan. Pendekar Gila kali ini bergerak menyerang den-
gan jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Kedua tangannya
menyapu ke atas, kemudian menyentak bareng ke de-
pan dengan telapak tangan terbuka. Kaki-kakinya me-
nyapu dan menendang bertubi-tubi ke arah lawan.
"Yeaaa...!"
"Uts...! Heaaat...! Grrr..."
Setan dari Rimba Merawan segera melejit ke
samping. Kemudian dengan gerakan membentuk se-
tengah putaran, tangannya mematuk ke wajah Pende-
kar Gila. Lalu, setelah melihat Pendekar Gila mengges-er kaki ke samping, Setan
dari Rimba Merawan melon-
tarkan tamparan tangan kiri ke dada Pendekar Gila.
Wuttt! Tangan kiri Setan dari Rimba Merawan mende-
ru cepat, mengarah ke dada lawan. Sedangkan Pende-
kar Gila yang tidak menyangka lawan akan kembali
menyerang dengan cepat, tersentak kaget. Matanya
membelalak ketika menyadari dirinya mati langkah.
Sehingga dengan cepat Pendekar Gila menyapukan
tangan kanan untuk memapak tamparan lawan. Gera-
kan tangannya seperti membelah dengan cepat
"Heaaa...!"
Setan dari Rimba Merawan menarik tamparan
tangan kirinya. Lalu mengganti serangan dengan ten-
dangan kaki kanan ke selangkangan lawan. Sedangkan
tangan kanannya, kini kembali mematuk ke wajah
Pendekar Gila. Mendapat serangan cepat, Pendekar Gila segera
melompat dengan berjumpalitan ke belakang. Semen-
tara tubuhnya di udara, kakinya menjejak cepat ke ta-
nah. Kemudian dengan tubuh membalik, Pendekar Gi-
la menyatukan pukulan tangannya, lalu menyerang ke
tubuh lawan. "Yeaaat..!"
Dengan tubuh meluncur cepat, Pendekar Gila
kini balik menyerang. Tangannya mencakar Setan dari
Rimba Merawan, yang menangkis dengan cepat setiap
pukulan yang dilancarkan Pendekar Gila.
"Heaaa...!"
Tangan mereka kini bergantian memukul dan
menangkis serangan lawan. Pendekar Gila terus mela-
kukan serangan dengan tubuh melayang di udara. Se-
dangkan tubuh Setan dari Rimba Merawan terus mun-
dur sambil menangkis serangan lawan dan sesekali ba-
las menyerang. Orang-orang yang tak ikut bertarung, membela-
lakkan mata. Tak ada kata-kata yang keluar dari mu-
lut mereka. Termasuk Baginda Raja Awangga, yang
mengintip dari balik tubuh pengawalnya.
Dengan tubuh melayang laksana terbang, Pen-
dekar Gila terus meluncur sambil melancarkan puku-
lan dan terkadang menangkis serangan lawan.
"Heaaa...!"
Mata Setan dari Rimba Merawan terbelalak le-
bar, dirinya tak sempat mengelak serangan lawan.
Hingga akhirnya hanya bisa menangkis.
Plak! "Aaakh...!"
Tubuh Setan dari Rimba Merawan terpekik ke-
ras. Tubuhnya yang besar terhuyung-huyung ke bela-
kang sambil memegangi kepala.
Tapi, baru saja Pendekar Gila hendak melaku-
kan serangan susulan, segera diurungkannya. Hal itu
karena tiba-tiba Pangeran Prapanca terkurung oleh
prajurit dan tokoh aliran hitam.
Pendekar Gila yang melihat itu, segera melesat
dengan bersalto ke udara untuk membantu Pangeran
Prapanca. "Heaaa...!"
Dalam sekejap saja Pendekar Gila telah berada
di antara kepungan para prajurit kerajaan, membantu
Pangeran Prapanca. Secepat itu pula tangan dan ka-
kinya langsung bergerak memapak dan menyerang
prajurit yang berusaha menyerbu Pangeran Prapanca.
Melihat keadaan Pangeran Prapanca, Mei Lie
pun segera melompat meninggalkan lawan-lawannya.
Dengan cepat dibabatkan pedangnya menghalau para
puluhan prajurit kerajaan yang mengepung Pangeran
Prapanca. "Heaaat...!"
Wret! Wret! Cras! Cras! Cras!
"Aaakh...! Aaa...!"
Maka bergelimpanganlah lima orang sekaligus,
tertebas pedang Mei Lie. Nampak kelima orang itu sea-
kan tak mengalami luka. Namun sesaat kemudian tu-
buh kelima prajurit itu roboh. Terbelah dua.
Tiba-tiba melompat dua orang tokoh aliran hi-
tam, Pakasti dan Sangkulawa bersiap menyerang Mei
Lie. Namun Mei Lie telah siap memapaki serangan ke-
dua lawannya. Ia melenting ke udara, lalu menukik,
sambil menebaskan pedangnya ke tubuh lawan.
Cras! Cras! "Aaakh...!"
"Uaaa...!"
Seketika tubuh kedua tokoh hitam itu roboh
dan terbelah dua.
Namun keadaan kini berubah. Pendekar Gila
memberikan isyarat, agar lebih mementingkan kesela-
matan Pangeran Prapanca.
Sementara itu, Perdana Menteri Giri Gantra
memerintahkan anak buahnya untuk menutup semua
pintu istana. "Tutup semua gerbang...! Kepung mereka!
Tangkaaap...!" seru Perdana Menteri Giri Gantra, sambil berlari menyelamatkan
diri. Pangeran Prapanca dan kawan-kawan kini be-
nar-benar terdesak dan terkepung. Puluhan prajurit
kerajaan dibantu tokoh-tokoh hitam rimba persilatan
terus merangsek. Hal itu tampaknya mampu memaksa
Pendekar Gila kewalahan.
Pendekar Gila segera mencari akal untuk ber-
buat sesuatu. Namun ketika hendak mencabut Suling
Naga Sakti-nya, tiba-tiba muncul tiga lelaki bertopeng, yang langsung masuk ke
arena pertempuran. Ketiganya membantu Pendekar Gila untuk menyelamatkan
Pangeran Prapanca. Sesaat kemudian menyusul pula
sesosok lelaki bertubuh raksasa ke tempat pertarun-
gan di dalam istana itu. Sosok bertubuh raksasa itu
tak lain Buto Gege yang rupanya telah bergabung den-
gan ketiga lelaki bertopeng hitam itu.
Pertempuran semakin seru. Satu di antara keti-
ga lelaki berkedok itu dengan cepat menyambar Pange-
ran Prapanca yang tampak telah terluka lengan kirinya oleh keris salah seorang
tokoh silat. Lelaki berkedok, dengan ikat kepala belang kuning hitam itu membawa
lari Pangeran Prapanca yang terluka. Melihat itu Pen-
dekar Gila cepat menyusul, diikuti oleh Mei Lie. Se-
dangkan Pranala, Buto Gege, dan dua orang berkedok
masih menghadapi lawan-lawannya. Berusaha mena-
han prajurit dan orang-orang aliran hitam yang terus
dengan beringas menyerang mereka.
Tiba-tiba Buto Gege melemparkan suatu benda
ke tanah yang menimbulkan asap ungu mengandung
racun. Asap itu mengepul di seluruh tempat pertarun-
gan. Kesempatan itu digunakan Pranala dan kedua le-
laki berkedok untuk kabur. Sementara Buto Gege me-
nyusul belakangan setelah sempat melukai Giri Gan-
tra. Hingga perdana menteri licik dan penjilat itu tak kuat lagi berdiri. Karena
Buto Gege mengangkat lalu
membantingnya keras ke tanah. Mungkin kakinya pa-
tah. "Kejar mereka...! Cepat..! Kejaaar...!" teriak Perdana Menteri Giri Gantra
sambil memegangi kaki ki-
rinya yang dirasakan seperti patah.
Sedangkan Baginda Raja Awangga kalang-
kabut, kebingungan dan lari ke dalam. Penguasa Kera-
jaan Surya Langit itu berusaha menyelamatkan diri,
karena suasana semakin kacau-balau. Belasan praju-
rit tewas seketika terserang racun yang dilemparkan
Buto Gege. Beberapa tokoh hitam pun tak ampun lagi,
seperti Hiwa Krana dan Kati Asem tak luput dari maut
Sedangkan yang lain luka-luka diamuk kemarahan
manusia raksasa itu.
*** 5 Mentari telah turun di ufuk barat Sinarnya
tampak kemerahan. Lelaki berkedok hitam melesat ba-
gai terbang membawa tubuh Pangeran Prapanca. Se-
dangkan di belakang nampak pemuda berambut gon-
drong dan berpakaian rompi dari kulit ular mengikuti
dengan cepat. Pemuda itu tak lain Pendekar Gila. Den-
gan ilmu 'Sapta Bayu' Pendekar Gila terus mengejar.
"Tunggu...! Kisanak!" seru Pendekar Gila setelah dapat menghadang orang berkedok
yang membawa Pangeran Prapanca yang telah ditotoknya.
Mei Lie pun yang tadi mengikuti dan jarak bela-
san tombak, kini telah sampai. Bahkan telah berada di samping Pendekar Gila.
Keduanya kini berhadapan
dengan lelaki bertopeng yang memanggul tubuh Pan-
geran Prapanca.
"Kisanak, siapa kau sebenarnya?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan
cengengesan. Matanya menatap lelaki berkedok hitam itu.
"Kenapa kau membantu kami...?" tanya Mei Lie kemudian, karena lelaki berkedok
itu tak juga menjawab. "Jawabannya ada di goa sana. Sebaiknya kalian memberi aku
jalan. Waktu kita sangat sempit," jawab lelaki berkedok hitam. Setelah itu
tubuhnya melesat
cepat. Tanpa banyak pikir Pendekar Gila dan Mei Lie
langsung mengikutinya. Hati keduanya masih diliputi
pertanyaan. "Siapa lelaki itu sebenarnya...?" gumam Pendekar Gua sambil berlari mengejar
lelaki berkedok yang
membawa Pangeran Prapanca.
Sementara itu dalam jarak beberapa puluh
tombak telah tampak Buto Gege. Pranala, dan dua le-
laki berkedok tengah melesat menuju arah yang sama.
Mereka pun terus mengejar lelaki berkedok yang mem-
bawa Pangeran Prapanca.
Sesampainya di depan sebuah goa yang nam-
pak sunyi, Pendekar Gila dan Mei Lie berhenti. Kedua-
nya mengawasi sekeliling goa yang tampak sepi dan
teduh. Karena di sekitarnya tumbuh pepohonan besar
dan rindang. "Hm..." gumam Sena, lalu menoleh kepada Mei Lie kekasihnya.
"Kenapa kita tak langsung masuk saja, Ka-
kang?" tanya Mei Lie sudah tak sabar.
"Aha, kau benar, Mei Lie. Ayo, kita masuki goa
itu...!" Keduanya segera melangkah memasuki goa itu.
Tak lama kemudian Buto Gege, Pranala, serta dua le-
laki bertopeng datang dan masuk pula.
Ruangan di dalam goa itu ternyata sangat ber-
sih dan tampak rapi. Di dalam ruangan yang cukup
luas itu ada sebuah batu besar. Duduk di atasnya seo-
rang wanita buta dengan tongkat di tangan kirinya.
Wanita setengah baya itu menyambut Pendekar Gila
dan Mei Lie dengan ramah. Sedang di sampingnya te-
lah duduk bersila lelaki berkedok yang membawa Pan-
geran Prapanca.
Pendekar Gila dan Mei Lie memberi hormat pa-
da wanita buta itu. Lalu mata keduanya sekilas me-
mandangi Pangeran Prapanca yang sudah sadar. Putra
mahkota itu duduk di sebelah kiri wanita buta yang
ternyata Nyi Kemuning Sari bekas kekasih Singo Edan
guru Sena Manggala.
Sena dan Mei Lie merasa heran melihat Pange-
ran Prapanca begitu tenang, bahkan tampak gembira.
Sedangkan lelaki berkedok itu ternyata Ki Jalna Wang-
ga. "Kau..."!"
Pendekar Gila tersentak kaget ketika Ki Jalna
Wangga membuka kedoknya. Ki Jalna Wangga yang
juga berjuluk si Pukulan Petir menganggukkan kepala
pada Pendekar Gila yang tampak belum mengerti. Na-
mun tiba-tiba pendekar muda itu tertawa dan cen-
gengesan sambil menggeleng-geleng kepala.
"Kau tak membuang sedikit pun tingkah laku
gurumu, Anak Muda..." terdengar suara parau dari mulut wanita buta itu.
Mendengar ucapan itu, Sena jadi kaget dan
mengerutkan kening. Lalu menoleh ke Mei Lie. Mei Lie
mengangkat kedua bahunya, karena merasa heran.
Bagaimana bisa tahu kalau Pendekar Gila sedang ber-
laku begitu. Padahal wanita itu buta.
"Heh..."!"
Sena tak bisa melanjutkan kata-katanya. Sebab
Nyi Kemuning Sari seakan bisa melihat dan mengenal
gurunya, Singo Edan.
"Hi hi hi...! Lucu... Lucu sekali! Siapa Nyisanak sebenarnya?" tanya Sena sambil
menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Pada saat itu Buto Gege, Pranala, dan dua lela-
ki berkedok masuk ke ruangan itu. Kedua lelaki ber-
kedok itu pun segera melepas kedoknya. Mereka ter-
nyata bekas pengawal kerajaan, yang bergabung den-
gan Ki Jalna Wangga.
Pendekar Gila dan Mei Lie semakin heran dan
bingung. Apalagi ketika Buto Gege berkata, "Nyi.., in-ilah murid Kakang Singo
Edan! Dan itu kekasihnya. "


Pendekar Gila 26 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sudah tahu, Adi Buto Gege. Aku merasa
seakan tengah berhadapan dengan Kakang Singo
Edan...," sahut wanita seumur Singo Edan itu.
"Hi hi hi...! Tadi...," ucapan Sena terputus. Lalu kembali menggaruk-garuk
kepala sambil cengengesan.
Mei Lie pun nampak bingung.
"Sena, kemarilah! Aku pun ingin melepas rin-
duku pada Kakang Singo Edan melalui dirimu. Kau ti-
dak keberatan, bukan?" tanya Nyi Kemuning Sari kemudian.
Pendekar Gila lalu segera menjura, kemudian
perlahan kakinya melangkah maju mendekati Nyi Ke-
muning Sari. Setelah Sena berada di depannya, Nyi
Kemuning Sari meletakkan telapak tangan ke pipi
Pendekar Gila. Dengan lembut diusap-usapnya pipi
Sena. "Sena, hatiku merasa lega. Kerinduanku pada
Kakang Singo Edan sedikit terobati melalui dirimu."
terdengar suara itu sedikit bergetar. Menandakan rasa haru yang dalam.
"Ah...! Maafkan aku Nyi Guru...! Tingkahku
yang kurang sopan tadi...."
"Ooo..., Sena. Tak perlu kau ucapkan itu! Aku
sudah lega, karena akhirnya kau datang ke tempatku.
Semua ini Hyang Widi yang telah mengaturnya...," ujar Nyi Kemuning Sari sambil
tersenyum gembira. Di-usapnya wajah Sena tiga kali. Lalu melepaskannya
perlahan. Wanita buta itu seakan melihat dengan jelas wajah pemuda murid bekas
kekasihnya. "Aha...! Bagaimana Nyi Guru bisa tega mening-
galkan Eyang Guru Singo Edan" Hingga dia sendirian,"
tanya Sena memberanikan diri.
Nyi Kemuning Sari menggelengkan kepala sam-
bil tertawa terkekeh-kekeh. Namun kemudian tiba-tiba
wajahnya berubah sedih. Pendekar Gila dan Mei Lie
saling pandang merasa terharu. Melihat wajah wanita
buta itu, hati keduanya semakin terenyuh.
"Dua puluh tahun yang silam aku dan Kakang
Singo Edan menjalin cinta kasih. Seperti kau saat ini bersama gadismu. Tapi
rupanya nasib membuat kami
berpisah.... Kami sama-sama keras. Sampai akhirnya
suatu peristiwa yang tak kami inginkan terjadi...;"
"Peristiwa apakah itu Nyi Guru...?" tanya Sena ingin tahu sambil menggaruk-garuk
kepala. Nyi Kemuning Sari tak langsung menjawab.
Wanita tua itu menghela napas panjang. Lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan.
"Aku terbius omongan lelaki bernama Ki Wang-
sa Dewa. Dia menghasutku, bahwa Kakang Singo Edan
akan memperistri gadis bernama Laraswati. Aku per-
caya, karena suatu hari aku melihat sendiri Kakang
Singo Edan berjalan bersama Laraswati...," sejenak Nyi
Kemuning Sari menghentikan ceritanya.
Pendekar Gila dan Mei Lie, serta yang ada di si-
tu diam, mendengarkan dengan seksama. Mei Lie yang
sesama wanita mulai merasa iba mendengar cerita Nyi
Kemuning Sari. Demikian juga Sena.
"Tapi rupanya itu hanya siasat Wangsa Dewa,
yang diam-diam menyukai diriku. Laraswati, ternyatasengaja disuruh oleh Wangsa Dewa untuk merayu Ka-
kang Singo Edan. Sampai akhirnya terjadi pertarun-
gan, antara Kakang Singo dan Wangsa Dewa. Wangsa
Dewa dapat ditaklukkan, dan dibunuhnya...," kembali Nyi Kemuning Sari
menghentikan tutur katanya. Dihelanya napas panjang. Kemudian menatap wajah Pen-
dekar Gila dan Mei Lie.
Pendekar Gila dan Mei Lie yang merasa ditatap,
menundukkan kepala, dengan perasaan tak menentu.
Demikian juga yang lainnya semua menunggu kelanju-
tan cerita Nyi Kemuning Sari.
"Aku merasa bersalah, telah percaya akan
omongan orang yang sebenarnya musuh Kakang Sin-
go. Karena rasa malu dan penuh penyesalan, aku den-
gan rela membutakan kedua mataku ini...," Nyi Kemuning Sari meneteskan air mata.
"Aku tak ingin melihat dunia yang penuh dengan kebohongan, kejaha-
tan, dan kedengkian. Dan ini telah menjadi sumpahku,
bahwa aku bayar semua kebodohan dan kekerasan ha-
tiku dengan membutakan mataku."
Pendekar Gila, Mei Lie dan yang ada terdiam.
Membuat suasana di dalam goa itu hening. Hanya pe-
rasaan hari mereka yang berbicara.
"Tapi, hatiku sebenarnya masih ingin Kakang
Singo Edan mau menerima dan memaafkan kebodo-
hanku ini. Dan karena akulah, hingga Kakang Singo
Edan, sengaja mengurung diri di dalam Goa Setan. Ka-
rena ia merasa wanita yang dikasihi mengkhiana-
tinya...."
Sampai di situ Nyi Kemuning Sari menutup ce-
ritanya. Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam.
Mei Lie menghapus air matanya yang tak kuasa diben-
dung. Gadis itu merasa terharu mendengar cerita Nyi
Kemuning Sari. Juga Pangeran Prapanca. Dan semua
yang ada di goa itu.
"Aku senang, Sena. Bahwa murid Kakang Singo
yang gagah memiliki ilmu yang tiada tandingannya."
Sesaat mereka diam. Hening seisi ruangan goa
itu. Sementara itu, Pangeran Prapanca tengah berpikir keras, bagaimana cara
menyusup masuk ke dalam Kerajaan Surya Langit. Karena tentunya mereka telah
mengetahui jati dirinya. Apalagi Pendekar Gila dan Mei Lie, yang sangat menyolok
baik tingkah laku maupun
penampilan mereka sebagai pendekar.
"Sekarang bagaimana cara kita untuk menyu-
sup ke dalam Kerajaan Surya Langit. Agar lebih mudah
mengetahui rencana mereka..."!" tanya Pangeran Prapanca pada Pendekar Gila.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil
cengengesan. Lalu menoleh ke wajah Ki Jalna Wangga.
Karena di samping seorang pendekar tokoh tua, Ki
Jalna Wangga pun pasti banyak mengetahui seluk-
beluk istana Kerajaan Surya Langit. Sebab lelaki berusia enam puluhan itu pernah
mengabdi di istana keti-
ka masih diperintah Prabu Jawangga. Ki Jalna Wangga
yang dipandang Pendekar Gila, langsung mengerti.
"Bagaimana menurutmu, Ki Jalna Wangga...?"
tanya Pendekar Gila.
"Aku saat ini belum bisa memberikan jawaban.
Karena sejak aku meninggalkan kerajaan, dan menga-
singkan diri di Bukit Yuyu aku tak pernah memasuki
kerajaan. Jadi aku tidak bisa memastikan dari mana
yang paling aman, untuk menyusup ke dalam istana,"
kata Ki Jalna Wangga memberikan penjelasan (Untuk
mengetahui lebih jelas tentang Jalna Wangga dan Nyi
Kemuning Sari, baca Pendekar Gila dalam episode "Sepasang Maling Budiman").
"Benar kata Ki Jalna Wangga," sahut Pangeran Prapanca. "Mereka pasti telah
merubah penjagaan lebih ketat. Apalagi dengan kejadian tadi."
Sesaat mereka diam. Tak ada yang bersuara.
Masing-masing sedang berpikir mencari jalan yang ter-
baik. "Bagaimana kalau kita menyamar sebagai rakyat biasa. Dengan memakai
pakaian desa..."!" usul Mei Lie. Suaranya memecah kesunyian. Pangeran Prapanca
nampak mengangguk-anggukkan kepala. Se-
dangkan Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dan
tertawa-tawa sendiri. Kemudian menatap Mei Lie yang
ada di sebelah kirinya. Sena nampak bangga dengan
pendapat Mei Lie.
"Aku rasa usul kekasihmu ini ada benarnya,
Sena...," ujar Nyi Kemuning Sari mendukung usul Mei Lie.
Mei Lie hanya tersenyum manis, sambil mena-
tap Sena, pemuda idamannya.
"Bagaimana menurutmu, Sena"!" tanya Pange-
ran Prapanca. "Juga kalian semua...?"
"Kami setuju saja. Usul Mei Lie bisa diterima.
Namun suatu tindakan yang cukup berbahaya. Kalau
salah satu tertangkap, gagallah rencana kita," tukas Pangeran Prapanca.
"Ya. Karena itu kita harus susun serapi mung-
kin. Orang di luar kita jangan ada yang mengetahui
rencana ini," sambung Ki Jalna Wangga kemudian.
Nyi Kemuning Sari manggut-manggut, lalu
menghentakkan tongkatnya pelan. Wajahnya terse-
nyum. "Kalian harus bersatu dan sehati. Demi terca-
painya cita-cita dan maksud baik ini. Itu saja pesanku.
Aku pun akan membantu kalian," kata Nyi Kemuning Sari dengan suara sedikit
serak, penuh wibawa.
"Terima kasih, Nyi...!" kata Pangeran Prapanca sambil menjura.
"Pangeran, saya khawatir kalau orang-orang
kerajaan murka, karena kejadian tadi. Dan kemudian
mereka menyerang Hutan Bambu, markas kita," ujar Pranala tiba-tiba. "Apakah tak
sebaiknya kita sekarang kembali ke Hutan Bambu...?"
"Benar juga. Tapi kita harus berunding pada
kawan-kawan yang lain. Bagaimana menurutmu, Se-
na?" tanya Pangeran Prapanca.
"Sebaiknya Nyi Guru yang memberikan keputu-
san," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana menurut pendapat Nyi Guru?"
"Hm..., sebenarnya aku merasa berat kalau se-
Pendekar Muka Buruk 8 Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 13
^