Pencarian

Teror Si Pedang Kilat 2

Pendekar Hina Kelana 33 Teror Si Pedang Kilat Bagian 2


mengintai dari semak-semak nampaknya merasa
sudah tidak sabar lagi melihat buruannya telah
berhasil dijinakkan. Dengan sekali berkelebat tubuh orang itu tahu-tahu telah
berada di depan Pertiwi.
Luar biasa nampaknya daya rangsangan yang
dibubuhkan laki-laki pengintai itu pada ayam hutan yang sempat dimakan oleh
Pertiwi itu. Sampai-sampai gadis cantik yang memiliki tenaga dalam
tinggi ini. Tidak dapat berbuat banyak atas
kehadiran laki-laki muda bertopi lebar ini. Bahkan pemuda bertopi lebar itu
dengan jelas dapat melihat
kepasrahan gadis rupawan yang terus mengerang
dalam keadaan terlentang ini.
Tanpa berkata apa-apa. Pemuda itu
mencopoti pakaiannya sendiri. Sementara sepasang
matanya nampak berkilat-kilat memandang bebas
pada tubuh yang tergolek menelentang di
hadapannya itu. Pemuda itu kemudian segera
berjongkok, lalu tangannya yang kokoh itu me-rayap ke bagian dada. Pertiwi yang
telah dirasuki hawa
aneh itu menggelinjang beberapa kali. Dan pada
saat jemari tangan pemuda itu meluncur menuruni
bagian perut hingga sampai ke bawah. Tanpa dapat
dicegah lagi gadis itu langsung memeluk si pemuda.
Bahkan ia nampak pasrah ketika pemuda itu
bermaksud menindihnya. Mungkin saja beberapa
saat kemudian Pertiwi akan kehilangan segala-galanya jika pada saat itu tidak muncul sesosok
bayangan yang menyambar deras ke arah pemuda
yang mulai menindih tubuh gadis rupawan itu.
Bayangan merah itu berkelebat menghantam bagian
tengkuk laki-laki itu. Mendapat serangan yang tiada terduga-duga. Laki-laki
bertopi lebar itu langsung tersungkur roboh. Namun di luar dugaan ia memiliki
daya tahan yang luar biasa sekali. Dengan cepat ia bangkit kembali. Sementara
bayangan merah tadi
telah menyambar tubuh telanjang bulat itu. Karena menyadari lawannya tidak dapat
dijatuhkan padahal ia telah melakukan tendangan dengan
mempergunakan setengah dari tenaga dalam yang
dimilikinya. Maka bayangan merah itu segera
berkelebat pergi dengan membawa tubuh Pertiwi
yang telanjang bulat.
Melihat mangsanya berhasil dilarikan oleh
bayangan merah itu. Pemuda bertopi lebar itu
bermaksud melakukan pengejaran. Tetapi ia jadi
mengurungkan niatnya ketika lamat-lamat ia
mendengar suara orang yang akan dikejarnya itu
berkata. "Bangsat cabul! Kalau engkau hendak
mengejar kami... sarungkan dulu pedang
keramatmu. Kalau tidak kan malu bila sempat
dilihat babi hutan...!" ejek bayangan merah itu melalui ilmu mengirimkan suara.
Tentu saja pemuda bertopi lebar itu segera
menyadari keadaan dirinya sendiri. Dan ketika ia
memandang ke arah bawah ia segera menutup
bagian itu dengan ke dua tangannya sendiri. Cepat-cepat ia menghampiri
pakaiannya yang tergeletak di tepi sungai. Namun ketika ia telah sampai di
tempat itu tidak dilihatnya pakaian yang berserakan tadi.
Begitupun ketika ia melihat ke arah sebongkah batu besar yang merupakan tempat
teronggoknya pakaian gadis yang telah dilarikan bayangan merah tadi. Ia pun tidak melihat
pakaian itu masih berada di tempatnya. Akhirnya pemuda bertopi lebar itupun
uring-uringan sendiri. Bahkan untuk sementara ia
terpaksa menggunakan daun-daun hutan yang
sangat lebar untuk melindungi tempat-tempat yang
sangat dikeramatkan itu. Setelah menutupi bagian-
bagian tertentu dengan ala kadarnya sejurus
kemudian pemuda bertopi lebar itu segera
melakukan pengejaran dengan membawa
kemarahan yang sangat besar.
Sementara itu Iblis Liang Kubur yang tidak
dapat tidur pulas. Begitu merasa betapa lamanya
muridnya mandi di sungai segera melakukan
pencarian. Namun ia menjadi terkejut sekali ketika di sungai itu ia tidak
menemukan Pertiwi. Bahkan
dugaan-dugaan yang tidak baik pun mulai terlintas di pikirannya. Tanpa putus
asa, Iblis Liang Kubur memanggil-manggil muridnya. Namun sampai
sejauh itu tidak ada sahutan. Iblis Liang Kubur tiba-tiba saja menjadi cemas.
Akhirnya setelah tidak
berhasil menemukan murid tunggalnya di tempat
itu. Iblis Liang Kubur pun malam itu juga ia
meninggalkan hutan Tengger untuk mencari
muridnya di tempat lain.
7 Bayangan merah itu terus saja berlari cepat
meninggalkan hutan Tengger. Barulah setelah
menjelang fajar dan telah jauh meninggalkan tempat yang dirasanya tidak aman.
Bayangan merah itu
menghentikan ilmu lari cepatnya. Namun di luar
dugaannya begitu langkahnya terhenti. Gadis
telanjang yang berada di atas pundaknya langsung
menghantam bagian punggung orang berpakaian
merah yang telah menyelamatkannya. Tak ayal lagi
tubuh sang penyelamat yang tidak lain Buang
Sengketa ini langsung tersungkur roboh. Sementara tubuh si gadis nampak melesat
ke udara. Setelah
bersalto beberapa kali. Gadis itu menjejakkan
kakinya dengan mulus di atas permukaan tanah.
Rupanya di luar sepengetahuan si pemuda. Pada
saat diselamatkan tadi. Tidak sampai setengah jam kemudian gadis itu mulai sadar
dari pengaruh rangsangan yang masih belum ia ketahui dari mana
sumbernya itu. Namun pada dasarnya gadis berparas cantik
jelita ini murid seorang datuk sesat. Tanpa
menghiraukan dirinya yang dalam keadaan bugil. Ia tetap terus berpura-pura belum
sadarkan diri. Bahkan sepanjang jalanan ia terus mengerang dan
mendesis-desis bagai ular kepanasan. Rupanya
gadis cantik muridnya Iblis Liang Kubur ini
merupakan seorang gadis yang berotak cerdik.
Setelah mengetahui bahwa ia diselamatkan oleh
seorang pemuda tampan yang baik hati. Maka tanpa
disangka-sangka ia telah memasang siasat untuk
menyelidiki siapa sebenarnya pemuda itu" Tapi
sepanjang perjalanan ketika tubuhnya berada di
atas bahu pemuda itu. Sebenarnya bukan hanya
pemuda yang menolongnya itu saja yang menjadi
pikirannya. Tetapi juga ada hal lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu siapakah
pemuda bertopi lebar
yang hampir memperkosanya itu" Rasanya selama
ini gadis yang bernama Pertiwi itu belum pernah
berjumpa dengan pemuda bertopi lebar itu.
"Uh... keparaat...!" tiba-tiba saja wajah gadis cantik itu berobah merah padam.
Apalagi bila ia
mengingat kejadian buruk yang hampir
menimpanya. Namun sekarangpun dia bukannya
tidak sedang ke bagian sialnya. Pemuda yang telah menolongnya itu bagaimanapun
sempat melihat lekuk lengkung bagian tubuhnya. Bahkan dengan
sejelas-jelasnya. Meskipun pada dasarnya pemuda
berbaju merah itu tidak memiliki niat yang tidak
baik. Bagaimanapun sebagai seorang gadis yang
sangat polos hal itupun ia anggap sebagai satu
penghinaan. Tanpa menghiraukan keadaan Buang
Sengketa yang di bagian bibirnya nampak
mengalirkan darah akibat pukulannya tadi. Kali ini si gadis kembali melakukan
serangan-serangan
gencar. Pendekar Hina Kelana menyadari selain
pukulan-pukulan gencar yang dilakukan oleh gadis
itu sangat ganas dan berbahaya. Namun ia juga
melihat pukulan yang dimiliki gadis itu mengandung racun yang sangat keji.
Dengan tubuh terhuyung-huyung, Buang Sengketa berusaha mencegah niat
gadis itu melanjutkan pukulan mautnya.
"Tunggu, nona...! Lebih baik nona memakai
pakaian dulu. Setelah itu terserah. Mau marah
silakan, mau memukuliku, lebih baik jangan
dilakukan...!" kata pemuda itu sambil memegangi dadanya yang terasa sakit
sekali. Rupanya gadis itu baru menyadari keadaan dirinya. Dengan cepat ia
mendekap dua bisul kembar di bagian dadanya.
Sedangkan sepasang kakinya langsung dirapatkan
dalam posisi menyilang dengan tujuan melindungi
hutan keramat dari penglihatan pemuda tampan di
depannya. Sebenarnya gadis itu tidak perlu berbuat seperti itu karena ternyata
sejak tadi Buang
Sengketa secara terus menerus memalingkan
perhatiannya ke arah lain.
"Keparaat. Pemuda kurang ajar... aku benar-
benar akan membunuhmu...!" teriak Pertiwi dalam kemarahannya yang tertahan-
tahan. "Kau tidak perlu marah-marah, nona...! Aku
masih sempat menyambar pakaianmu ketika
menyelamatkanmu dari orang yang bermaksud
kurang ajar itu...!" Buang Sengketa lalu
melemparkan seluruh pakaian milik si gadis. Sambil menangkap pakaian-pakaian
itu, Pertiwi semakin
membentak marah.
"Kau kira telah berbuat baik padaku. Puih...
siapa sudi. Kau tidak lebih baik dari manusia
brengsek itu. Tahukah kau gara-gara kau, aku
sampai terpisah dengan guruku...!" kata si gadis sambil mengenakan pakaiannya.
Dan ketika Pendekar Hina Kelana bermaksud menoleh dan
memandang padanya. Maka gadis itu pun kembali
membentak. "Hei... jangan lihat kemari dulu. Kau mau
mengintip ya...!" kata-kata Pertiwi yang ketus dan tanpa perasaan itu tentu saja
membuat Buang Sengketa kehilangan kesabarannya.
"Kalau aku mempunyai maksud-maksud
tidak baik kepadamu. Apakah kau tadi dapat
terhindar dari sebuah malapetaka yang sangat
menyakitkan itu?" tanya pendekar berwajah tampan ini seperti pada dirinya
sendiri. "Huh... baru saja memiliki kepandaian picisan begitu saja kau sudah berani jual
lagak di depanku...!" dengus Pertiwi yang baru saja selesai mengenakan pakaiannya.
"Aku bukannya jual lagak. Tapi... ah
sudahlah... selamanya aku paling tidak suka
berdebat dengan perempuan sepertimu...!" Buang Sengketa sudah bermaksud
meninggalkan tempat
itu. Tetapi begitu ia melangkahkan kakinya. Tahu-
tahu Pertiwi telah menghadang di depannya.
"Jangan coba-coba bertingkah di hadapanku.
Siapapun adanya engkau ini. Kau harus diberi
pelajaran yang setimpal atas segala ulahmu...!"
setelah berkata begitu. Pertiwi segera melancarkan serangan kilat mengarah pada
bagian urat darah
pemuda itu. Buang menyadari serangan yang
dilakukan oleh gadis itu merupakan sebuah
serangan yang tidak dapat dianggap ringan. Karena pada dasarnya ia memang tidak
bermusuhan dengan gadis yang dianggapnya sinting itu. Maka
untuk melindungi dirinya pemuda itu segera
mempergunakan jurus si 'Gila Mengamuk'. Dalam
sekejap itu juga, tubuh Buang Sengketa nampak
terhuyung-huyung. Gerakan kaki dan tangannya
tidak ubahnya bagai orang yang sedang mabuk.
Tubuhnya terkadang terhuyung-huyung ke kanan
dan kiri. Namun dilain saat bergerak cepat hingga tidak ubahnya bagai bayang-
bayang belaka. Bagaimana mungkin sejak tadi pukulan-
pukulan mautnya dapat dikandaskan oleh
lawannya. Padahal sampai saat itu ia telah
mempergunakan pukulan 'Si Buta Memandang
Bulan' dan pukulan 'Inti Sukma' secara silih
berganti. Tapi bagaimana mungkin pemuda itu
masih dapat menghindari dua pukulan ampuh
miliknya" Rupanya setelah bertarung selama hampir
empat puluh jurus. Pertiwi merasa kesal juga karena sejak tadi usahanya untuk
menjatuhkan lawannya
masih juga sia-sia. Akhirnya gadis itu sudah tidak dapat lagi mengendalikan
kemarahannya. Dengan
cepat Pertiwi merangkapkan kedua tangannya di
atas kepala. Pandangan gadis itu sekarang berubah tajam menusuk pada pemuda
tampan yang menjadi
lawannya. Selanjutnya dengan gerakan yang lincah
kedua kakinya bergeser ke kanan dan kiri. Tidak
jauh bedanya dengan seekor kuda betina yang
sedang ancang-ancang mengatur kakinya untuk
berlari sekencang-kencangnya.
"Pukulan 'Tarian Iblis'..."!" gumam pemuda itu ketika melihat kedua telapak
tangan Pertiwi menebarkan asap tipis berwarna putih ke biru-
biruan. Selain itu kedua telapak tangan yang
diselimuti kabut itu juga telah berubah warna
menjadi hitam legam. Buang Sengketa jelas-jelas
merasa terkesima dengan kehebatan yang dimiliki
oleh gadis berwajah jelita itu. Sebab seingatnya di dunia ini satu-satunya orang
yang memiliki ilmu
semacam itu hanyalah Nyai Sumirah seorang. Tapi
bukankah orang itu telah tewas di tangannya
beberapa tahun yang lalu" (Jelasnya dalam Episode Sepasang Iblis Bermata Dewa).
Atau mungkinkah
gadis cantik ini masih memiliki hubungan dengan
perempuan itu" Batin pemuda itu dengan perasaan
tidak mengerti. Namun lepas dari semua itu.
Pendekar Hina Kelana nampaknya sudah tidak
dapat berpikir lebih jauh lagi. Karena pada saat itu, gadis yang di tolongnya
itu sekarang telah


Pendekar Hina Kelana 33 Teror Si Pedang Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melepaskan pukulan beruntun yang sangat
berbahaya sekali.
Buang Sengketa tentu saja tidak ingin
bertindak secara gegabah. Apalagi ia belum dapat
memastikan siapa sebenarnya gadis yang
dihadapinya itu. Karena tindakannya yang sangat
berhati-hati itu. Maka ia terpaksa harus
mengerahkan segenap kemampuannya untuk
menghindari serangan-serangan yang berupa
pukulan jarak jauh dengan segenap kemampuan
yang dimilikinya. Melihat lawan masih juga mampu
menghindari dari pukulan Tarian Bidadari itu,
Pertiwi segera menggeser langkahnya ke samping
kiri sebanyak tujuh langkah. Melihat perobahan
yang sangat tiba-tiba ini Buang kembali dibuat
terheran-heran. Bukankah jurus yang dimainkan
oleh gadis itu tidak lain dan tidak bukan merupakan jurus 'Berhala Menyembah
Matahari'. Jurus ini
dulunya merupakan milik tiga tokoh iblis dari pulau Berhala. Tiada di sangka-
sangka kini gadis itu
memainkan jurus-jurus milik para tokoh iblis dari pulau Berhala itu!
Namun kali ini Buang Sengketa yang tidak
memiliki kemauan untuk melayani lawannya tidak
punya waktu yang cukup untuk menghindari
gerakan lawan yang begitu cepat datangnya.
Wuuees... Buuuk...! Pendekar Hina Kelana untuk kedua kalinya
kembali terpelanting roboh ketika tendangan yang
dilakukan oleh Pertiwi yang terisi tenaga dalam itu menghajar telak bagian
perutnya. Dengan langkah
tertatih-tatih pemuda itu berusaha bangkit berdiri, namun gerakannya itu limbung
sekali. Si pemuda
merasakan kepalanya sakit luar biasa. Perut terasa mulas bagai terpotong-potong.
Ketika dipaksanya
juga untuk bangkit berdiri. Maka pemuda itu pun
terbatuk beberapa kali. Dari sela-sela bibir pemuda itu nampak mengalir darah
kental. Dalam keadaan
menderita sakit yang cukup hebat itu. Lamat-lamat ia mendengar suara-suara aneh
dari belakangnya
sana. Ketika ia secara tidak sengaja memandang
pada gadis itu, Buang Sengketa melihat gadis
berwajah rupawan itu nampak cemas sekali. Dan di
luar dugaan dengan cepat ia menghampiri Buang
Sengketa. Si pemuda yang tidak mengetahui
maksud si gadis sudah barang tentu bersikap
waspada meskipun saat itu dirinya sedang terluka.
Tapi di luar dugaan gadis itu malah memberi
isyarat agar dia diam saja.
"Kau mau membawaku ke mana...?"
"Cerewet. Aku tidak membawamu ke mana-
mana. Aku hanya ingin membunuhmu di tempat
lain...!" cibir gadis itu. Lalu dengan cepat ia memanggul Buang Sengketa yang
dalam keadaan terluka akibat perbuatan gadis itu sendiri.
"Aku tahu kau takut dengan suara tadi...!"
sindir pemuda itu sinis.
Gadis itu terdiam. Ia sendiri tidak tahu
mengapa tiba-tiba dirinya yang selalu berbuat
telenggas itu sekarang tidak sampai hati untuk
menyakiti pemuda yang pernah menolongnya itu.
"Ternyata kau gadis pengecut...!" ejek Buang Sengketa ketika dilihatnya gadis
itu hanya diam saja. "Diam...! Orang yang bicara itu guruku dan kawannya. Kalau sampai ketahuan
aku menyelamatkan kau. Kita semua bisa celaka...!"
komentar gadis itu. Kemudian tanpa berkata-kata
lagi ia pun segera berlari cepat meninggalkan tempat itu.
8 Setelah mencari ke berbagai tempat dan tetap
tidak mendatangkan hasil. Akhirnya Iblis Liang
Kubur dan si Burung Hantu merasa hampir putus
asa juga. Padahal hampir setiap tempat yang mereka curigai, selalu tidak luput
dari perhatian mereka.
Tetapi sampai sejauh itu mereka masih belum juga
menemukan di mana murid Iblis Liang Kubur
bersembunyi atau disembunyikan. Hingga sampai
menjelang tengah hari, si Burung Hantu yang juga
ikut melakukan pencarian nampak menjadi kesal.
"Kita tidak mungkin menemukan muridmu
itu di tempat ini. Lagi pula kalau memang benar
muridmu diculik oleh Pendekar Hina Kelana itu.
Setidak-tidaknya kita telah menemukan mayatnya.
Atau mungkinkah muridmu itu di sekap di sebuah
tempat, Iblis Liang Kubur...?" kata si Burung Hantu.
Lalu memalingkan wajahnya dan memandang ke
jurusan lain. "Tidak mungkin. Aku masih ingat betul, saat
aku hendak tidur, muridku Pertiwi bicara padaku
hendak mandi di sungai. Setelah itu aku tidak
mendengar suara apa-apa hingga menjelang tengah
malam...!"
"Itu menandakan, bahwa pendekar yang telah
membunuh berbagai golongan itu ternyata memiliki
ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Bahkan bisa
saja melebihi kita-kita ini, apalagi hanya
muridmu...?" kata si Burung Hantu tidak ubahnya bagai orang yang sedang dalam
keragu-raguan. "Omong kosong. Pertiwi bukan gadis yang
lemah. Lebih dari itu kalau murid tunggalku itu
sampai mengalami suatu kejadian yang tidak
kuingini. Maka pelakunya tidak mungkin mendapat
pengampunan dari Iblis Liang Kubur...!"
"Bagaimana pula kalau orang itu tidak dapat
kau kalahkan...?" pancing si Burung Hantu.
Iblis Liang Kubur sungguh pun hatinya
sedang diliputi kesedihan masih juga tersenyum-
senyum. "Kalau memang ternyata si bangsat Hina
Kelana itu memiliki kepandaian yang tidak dapat di tandingi. Maka aku telah
memilih untuk mengadu
jiwa dengannya." sergah laki-laki bermuka bengis itu geram. "Baiklah... baiklah.
Sudah waktunya kita mencari jalan sendiri-sendiri. Aku merasa lebih baik kita
mencari jalan masing-masing dalam usaha
membunuh pendekar yang sekarang sedang menjadi
buronan kaum persilatan itu...!" kata si Burung Hantu merasa tidak sabar lagi
untuk berpisah.
"Aku pun tidak dapat membantumu, karena
aku sendiri sekarang sedang bingung dengan
hilangnya murid tunggalku itu...!"
"Siapa yang meminta bantuan siapa" Kita
sudah sama-sama tua bangka, Iblis Liang Kubur.
Dari pada kita merasa pusing mencari seorang
buronan dengan cara bekerja sama. Bukankah
malah lebih baik jika kita bekerja sendiri-sendiri"
Apalagi sekarang ini kau sedang bingung
memikirkan nasib murid tunggalmu" He... he...
he...!" si Burung Hantu terkekeh-kekeh.
"Cepatlah kau merat dari hadapanku, Burung
keparaat. Aku semakin muak mendengar ocehanmu
yang tidak bermutu itu..." hardik Iblis Liang Kubur semakin bertambah senewen.
"Baiklah... baiklah... aku segera pergi...!"
berkata begitu, tiba-tiba saja Burung Hantu sudah
tidak kelihatan lagi di tempatnya. Tinggallah Iblis Liang Kubur yang termangu-
mangu sendiri memikirkan nasib murid kesayangan satu-satunya.
Dalam kebingungannya itu entah mengapa
secara tiba-tiba ia teringat pada si Burung Hantu yang baru berlalu dari
hadapannya. Dan ketika ia
teringat segala sesuatu yang dimiliki orang itu. Maka Iblis Liang Kubur menepuk-
nepuk jidatnya sendiri
yang setengah botak pelontos.
"Dasar goblook. Burung Hantu tidak ubahnya
bagai setan alas, di depan hidungku bisa saja ia
berpura-pura tidak mengerti. Aha... betul juga...!"
sekali lagi Iblis Liang Kubur menepuk keningnya.
Kemudian dengan cepat ia melakukan pengejaran ke
arah perginya kawannya tadi.
9 Melalui jalan berbatu licin itu, Pertiwi terus
melangkahkan kakinya dengan mantap. Di atas
pundaknya Buang Sengketa masih dalam terlentang
dengan tubuh lemas lunglai.
Hal yang sebenarnya Pendekar Hina Kelana
itu sudah tidak merasakan akibat apa-apa. Bahkan
luka dalam yang dialaminya sudah hampir sembuh.
Hanya saja si pemuda terus berpura-pura. Walau
sebenarnya hatinya merasa geli sendiri. Sambil terus berjalan, "Hei... kau
jangan tidur! Bisa-bisa kucampakkan kau nanti. Emm... apa luka dalammu
masih sakit...!"
"Iya...!" jawab si pemuda dengan suara lirih.
Padahal saat itu ingin sekali ia tertawa keras-keras.
"Ah... tolol sekali engkau ini. Untuk apa
berkeliaran di rimba persilatan jika tidak memiliki kepandaian apa-apa...?"
Pertiwi mengumpat panjang pendek. Begitupun sebenarnya ia merasa suka
bergaul dengan pemuda yang baginya agak aneh ini.
Apalagi selain memiliki ketampanan yang
mengagumkan pemuda itu juga tidak mempunyai
watak-watak yang kurang ajar.
"Aku hanya seorang pengembara yang tidak
punya apa-apa. Tapi aku tidak perduli meskipun
kepandaianku hanya setahi kuku...!"
"Kau memang goblok. Harta benda juga hanya
berupa sebuah periuk butut. Kemudian apa ini yang melilit di pinggangmu...?"
Pertiwi tidak mengerti.
Dan sebenarnya ia tidak menduga sama sekali
bahwa saat itu ia sedang bersama-sama dengan
seorang pendekar yang sangat tangguh.
"Yang melilit di pinggangku ini hanya berupa gulungan kulit rotan...!"
"Apa kubilang... kau memang pemuda tolol
yang tidak becus apa-apa...!" kata gadis itu sambil terus memanggul tubuh Buang
Sengketa. Pendekar Hina Kelana kemudian hanya diam
saja tanpa punya niat untuk berdebat dengan gadis itu. Entah sudah berapa lama
Pertiwi terus melakukan perjalanan seperti itu. Yang pasti ketika mereka mulai menuruni kaki
bukit. Tiba-tiba dari
berbagai jurusan bermunculan puluhan laki-laki
berpakaian serba putih mengepung mereka berdua.
Melihat gelagat tak baik ini Pertiwi bersikap tenang-tenang saja.
"Bocah cantik... berhenti dulu...!" tiga orang
berbadan cebol yang menyertai puluhan laki-laki itu bergerak maju.
"Hei... monyet cebol berkumis. Apakah
keperluan kalian sehingga begitu berani
menghentikan perjalanan kami...?" bentak gadis itu.
"Kalian telah memasuki daerah kekuasaan
Elang Emas. Sudah menjadi peraturan di sini.
Siapapun yang akan meneruskan perjalanan dari
tempat ini harus kami periksa terlebih dulu...!" kata salah seorang laki-laki
cebol berperut buncit itu.
"Apalagi dia merupakan gadis yang sangat
cantik, Ketua...!" celetuk beberapa orang anggotanya dengan maksud cabul.
"Kalian pikir semudah itukah
melakukannya...! Ketahuilah oleh kalian bahwa
sekarang ini aku dalam keadaan tergesa-gesa.
Apalagi mengingat sahabatku yang sakit dan hampir kelenger ini. Maka lebih baik
kalian biarkan kami lewat...!"
Tiga orang laki-laki cebol yang menjadi
pimpinan lebih dari dua puluh orang laki-laki
bersenjata ruyung itu kelihatan saling
berpandangan sesamanya untuk beberapa saat
lamanya. Lalu secara serentak mereka
memperhatikan pemuda yang berada di atas bahu
gadis itu. Dan mereka jadi terkesima ketika melihat sebuah periuk mustika
menggelantung di bagian
pinggang pemuda itu.
"Bocah... siapakah engkau ini. Dan siapa pula pemuda yang kau gendong itu?"
tanya salah seorang dari laki-laki berbadan cebol itu curiga.
"Aku... he... he... he! Aku hanya muridnya
seorang manusia sesat. Sedangkan pemuda ini tidak
lain dan tidak bukan merupakan orang sinting yang kutemukan di tengah jalan...!"
"Bohong...! Kau tidak dapat membohong-
bohongi kami. Pemuda yang turut bersamamu itu
pastilah, orang yang telah membunuh golongannya
sendiri. Dia pasti Pendekar Hina Kelana...!"
Pertiwi tentu merasa terkejut sekali dengan
apa yang dikatakan oleh orang-orang Elang Emas.
Karena pada dasarnya ia sendiri bersama gurunya
sedang mencari-cari orang yang berjuluk Pendekar
Hina Kelana itu. Dalam rasa kepenasarannya itu,
Pertiwi tiba-tiba saja bertanya, "Bagaimana kalian bisa mengetahui kalau pemuda
yang dalam keadaan
terluka ini Pendekar Hina Kelana...?" tanya Pertiwi dengan hati berdebar-debar.
Tiga orang laki-laki bersenjata ruyung
raksasa dan berbadan cebol ini kembali tergelak-
gelak. "Di kolong langit ini hanya orang yang mempunyai gelar Pendekar Hina
Kelana saja yang
membawa-bawa periuk nasi ke manapun ia pergi...!"
jawab orang-orang itu merasa begitu yakin.
"Kau yang berada dalam gendonganku.
Benarkah apa yang dikatakan oleh orang-orang
cebol ini...!" bentak gadis itu pada Buang Sengketa.
"Katakan saja pada mereka. Jika mereka
beranggapan bahwa orang sepertiku ini yang telah
membunuh dan melakukan teror terhadap golongan
putih dan hitam. Maka lebih baik cepat-cepat
menarik ucapannya. Karena sekarang ini ada orang
yang sengaja menyebarkan fitnah untuk
mencelakakan orang yang bergelar Pendekar Hina
Kelana itu...!" kata Buang Sengketa tandas.


Pendekar Hina Kelana 33 Teror Si Pedang Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah kalian telah mendengar sendiri apa yang baru dikatakan oleh kawanku. Lebih
baik kalian menyingkirlah...!" perintah Pertiwi merasa tidak sabar lagi.
"Orang lain mungkin dapat saja kalian
bohongi. Namun kami orang-orang Elang Emas
tidak sebodoh itu. Bocah cantik, kau boleh pergi dari sini sesuka hatimu, asal
kau tinggalkan pemuda itu untuk kami...!" tukas salah seorang laki-laki cebol
berkumis lebat dan berambut riap-riapan itu.
"Mana bisa. Kawanku yang tolol ini sedang
terluka. Mana mungkin aku tega menyerahkannya
pada kalian begitu saja...!"
"Kalau begitu kalian berdua memang perlu di
ringkus...!" geram laki-laki cebol.
"Eeh... apa salah kami...?" Pertiwi
membentak. "Kesalahan kalian... coba tanyakan saja pada pemuda itu...!" sergah salah
seorang dari mereka dengan perasaan jengkel.
"Kalian hanya mengada-ada dan jangan
bermimpi aku mau menyerahkan pemuda ini pada
kalian...!"
"Kalau itu yang menjadi keputusanmu.
Hemm... rupanya kau lebih suka melindungi
seorang pembunuh dari pada menjaga keselamatan
sendiri. Anak-anak... ringkus mereka...!" perintah si cebol berkumis pada
seluruh anggotanya.
"Pemuda gendeng dalam gendonganku.
Apakah luka dalammu masih belum sembuh juga?"
tanya Pertiwi sambil berusaha menghindari
serangan sekian banyak orang yang
mempergunakan senjata ruyung dalam usahanya
meringkus gadis itu.
"Sakit sih sakit... tapi kurasa kalau cuma
menggebuk tikus-tikus penasaran. Aku pikir apa
sulitnya...!"
"Jangan sombong! Ruyung mereka sewaktu-
waktu dapat meremukkan batok kepalamu..." kata gadis itu masih terus memanggul
tubuh Buang Sengketa sambil melakukan serangan-serangan
balasan. Di kesempatan Buang Sengketa yang sudah
tidak sabar lagi melihat pertempuran itu segera
melesat dari bahu Pertiwi. Tubuhnya berjumpalitan.
Kemudian mendarat dengan baik di atas cabang
pohon. Apa yang dilakukan oleh si pemuda
sebenarnya membuat gadis itu menjadi marah.
Karena ia beranggapan bahwa Buang Sengketa
ternyata berpura-pura sakit. Padahal luka dalam
yang sesungguhnya mungkin saja sudah sembuh.
"Wah... bocah edan... kubilang kalau lagi
sakit tidak usah ke mana-mana. Ee... tidak tahunya malah nekad kabur. Aha...
apakah kau merasa takut dengan para badut bersenjata ruyung ini" Kalau
takut, baiknya kita hajar mereka...!" berkata begitu Pertiwi segera
mempergunakan segenap ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya. Sekarang
tanpa beban di pundaknya. Dalam waktu sebentar
saja pengeroyoknya dibuat terperangah tidak
percaya. Sampai pertempuran berlangsung empat
puluh jurus. Para pengeroyoknya itu jangankan
dapat menangkapnya. Sedangkan menyentuh
bajunya saja mereka tidak punya kemampuan.
Keadaan seperti ini tentu saja membuat tiga laki-laki cebol yang menjadi
pemimpinnya marah sekali.
"Pada tolol semuanya. Ringkus betina keparat
itu. Biarkan kami meringkus monyet yang berada di atas pohon itu...!" belum lagi
mereka selesai berkata.
Tahu-tahu tiga orang cebol itu melepaskan
pukulannya mengarah pada batang pohon yang
dijadikan tempat berpijak oleh Buang Sengketa.
Spontan, serangkum cahaya berwarna biru dan
menebarkan hawa panas luar biasa. Buang
Sengketa menyadari betapa berbahayanya pukulan
yang dilepaskan oleh para manusia cebol ini. Maka sebelum pukulan ini sampai
pada sasarannya.
Pemuda itu sudah mengempos tubuhnya bergerak
cepat meninggalkan dahan pohon yang sekarang
telah hancur berkeping-keping dilanda pukulan
maut itu "Hebat... benar-benar hebat sekali...!" puji Buang Sengketa begitu menjejakkan
kakinya di atas permukaan tanah.
"Keparaat... kau harus berani berterus terang.
Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Hina
Kelana...?" tanya laki-laki cebol berperut buncit sambil memperhatikan Buang
Sengketa dari ujung
rambut sampai ujung kaki.
"Betul...! Tapi aku bukan Pendekar Hina
Kelana palsu yang telah banyak membunuh orang
dan menyebar teror di mana-mana...!"
"Bagaimana kami dapat mempercayaimu...!
Kalau kau memang betul Pendekar itu, semua
sudah jelas bagi kami. Bahwa selama ini kaulah
yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan
itu...!" bentak laki-laki cebol itu dengan pandangan berapi-api.
"Kalian tidak pernah tahu siapa aku dan
siapa pula yang memfitnah aku. Lebih baik kalian
tidak melakukan tuduhan keji sebelum tahu betul
siapa yang telah melakukan fitnah dengan memakai
namaku itu...!"
"Tidak akan ada orang yang dapat
mempercayaimu. Lebih baik kau serahkan saja
kepalamu kepada kami...!" teriak ketiga laki-laki cebol itu sambil menghantamkan
ruyung besar di
tangan mereka ke bagian kepala dan leher Pendekar Hina Kelana. Sementara itu
tidak henti-hentinya
mereka melepaskan pukulan jarak jauhnya dalam
usahanya mendesak pemuda itu.
Pemuda itu menyadari sepenuhnya dia tidak
mungkin hanya melakukan pertahanan semata
tanpa ada usaha untuk menjatuhkan mereka.
Karena walau bagaimanapun orang-orang perguruan
Elang Emas itu jelas-jelas menginginkan jiwanya.
Kalaupun ia tetap mengambil kesimpulan untuk
tetap bertahan. Maka cepat atau lambat mungkin
saja ia bakal mengalami nasib celaka.
Namun jika saja ia sampai menjatuhkan
korban. Hal ini jelas membawa kesan bahwa dirinya memang benar yang telah
melakukan teror di mana-mana. Terjerat oleh belenggu keragu-raguan itu.
Buang Sengketa yang sering kali melirik ke arah
Pertiwi yang nampak mulai menjatuhkan lawan-
lawannya. Di suatu kesempatan yang kurang
menguntungkan pemuda ini lepas kontrol. Si cebol
kumis tebal yang menyerang dari bagian rusuk kiri berhasil mendaratkan
pukulannya. Buuk! Dua kali pukulan berturut-turut secara telak
dan keras membuat Buang Sengketa terhuyung-
huyung. Pertiwi yang sempat melihat kejadian yang dialami oleh pemuda yang
sangat disukainya
nampak khawatir sekali.
"Badut-badut cebol. Awas kalian semua. Jika
sampai kawanku itu mengalami hal-hal yang tidak
diingini. Kalian semua akan kugantung...!" sambil berteriak-teriak seperti itu.
Pertiwi tidak segan-segan menurunkan tangan mautnya terhadap murid-murid
perguruan Elang Emas yang bersenjata
ruyung itu. Korban demi korban pun berjatuhan. Melihat
apa yang dilakukan oleh perempuan cantik itu
sebenarnya Buang merasa tidak setuju. Tapi ia pun merasa tidak ingin
mempengaruhi gadis seorang
murid tokoh sesat itu dengan kemauannya sendiri.
"Hiaaaa...!"
Dengan disertai satu bentakan tinggi
melengking tubuh pemuda itu melesat di udara.
Tapi serangan ketiga laki-laki cebol itu cepatnya bukan main. Kemana pun Buang
Sengketa berusaha
menghindar, ke situ serangan ruyung raksasa itu
memburunya. Kenyataan seperti ini tentu saja tidak menguntungkan posisi si
pemuda. Dengan mempergunakan jurus si Jadah Terbuang dan
dipadukan dengan jurus silat tangan kosong si Gila Mengamuk. Tubuh pemuda itu
kemudian berkelebat
cepat menghindari setiap serangan lawan yang
datangnya tidak dapat diduga-duga itu. Tiga tokoh perguruan Elang Emas itu dalam
beberapa jurus di
depan nampak menjadi bingung. Ke manapun
mereka berusaha menyerang si pemuda, namun
mereka selalu tidak dapat menghantam sasarannya
sebagaimana yang mereka harapkan. Bahkan
mereka merasa bahwa pihak lawannya memiliki
gerakan tidak ubahnya bagai setan gentayangan.
Hal-hal seperti ini tentu saja semakin lama
membuat tiga laki-laki cebol itu menjadi jengkel dan frustasi. Dengan cepat
mereka segera mempergunakan senjata andalannya yang berupa
ruyung raksasa. Terdengar suara bercuitan saat
senjata yang dapat mengembang dan menguncup itu
menderu ke arah Buang Sengketa.
Pendekar ini terpaksa berlompatan mundur
saat merasakan adanya sambaran hawa panas
menerpa kulitnya. Dengan gerakan-gerakan yang
sangat sulit diikuti penglihatan biasa. Buang
Sengketa terus bergerak mundur. Keadaan seperti
ini jelas-jelas menguntungkan posisi lawannya.
Karena dengan begitu mereka dapat leluasa
menyabetkan senjatanya mencecar bagian tubuh
lawannya dari berbagai penjuru. Dalam pada itu
Pertiwi yang baru saja menyudahi pertempuran
dengan seluruh murid-murid perguruan Elang
Emas, nampak sudah menyarungkan senjatanya
kembali. Hampir seluruh orang-orang perguruan
Elang Emas tewas di tangan gadis berwatak kejam
itu. "Orang berperiuk. Jika kau benar-benar Pendekar Hina Kelana... mengapa
hanya menghadapi orang-orang Elang Emas saja kau
hanya mampu melompat-lompat kayak monyet
kesetanan...?" ejek gadis itu dengan posisi bertolak pinggang.
"Aku hanya ingin membuktikan pada mereka.
Bahwa selama ini aku tidak pernah berbuat nekad
dengan membunuhi orang-orang yang tidak
bersalah...!" kata pemuda itu sambil terus
menghindari serangan ruyung-ruyung maut di
tangan lawannya.
"Kalau kau tetap berbuat tolol seperti itu,
lama kelamaan kau pasti mampus di tangan badut-
badut cebol itu...!" teriak Pertiwi merasa sangat kesal sekali melihat kesabaran
si pemuda. Sementara lawan-lawannya bagai orang yang tidak
memiliki dasar pertimbangan dan pikiran terus saja melakukan serangan-serangan
gencar. Padahal
mereka sendiri sebenarnya menyadari sepenuhnya,
jika saja pemuda itu mempunyai maksud
menjatuhkannya. Tentu hal ini dapat dilakukannya
sejak tadi. "Orang-orang cebol manusia laknat...!
Kuperintahkan pada kalian untuk menyudahi
pertempuran. Jika tidak... jangan salahkan aku...
jika aku harus membunuh kalian...!" teriak pemuda itu dengan kemarahan yang
tertahan-tahan.
"Siapa sudi menyudahi pertarungan.
Terkecuali kau telah mampus di tanganku...!"
dengus salah seorang dari mereka. Mendengar ini
bukan Pendekar Hina Kelana yang menjadi panas
hatinya. Tetapi Pertiwi. Ya... gadis itu memang
sangat gusar sekali dengan kebandelan tiga orang
laki-laki yang dihadapi oleh Pendekar Hina Kelana.
Padahal secara jelas ia dapat mengetahui bahwa
kemampuan yang dimiliki oleh pemuda itu jauh
berada di atas para lawan-lawannya. Tapi karena
pemuda itu terus bersikap mengalah. Maka habislah sudah kesabaran yang dimiliki
oleh gadis berwajah rupawan itu. Tidak ayal lagi, dengan diawali satu teriakan
tinggi melengking Pertiwi segera menerjang
tiga laki-laki cebol itu. Bahkan dengan senjata
andalannya yang berupa pedang. Gadis itu
menggempur orang-orang yang dianggapnya tidak
tahu diri dengan tusukan-tusukan ganas senjata di tangannya.
"Kalau kau merasa tidak sampai hati untuk
membabat kepala orang-orang yang tidak tahu adat.
Silahkan menyingkir... biar aku yang akan
mencabut kepala mereka dari badannya...!"
"Lebih baik jangan kau campuri urusanku...!"
"Jangan gegabah... salah-salah akupun akan
memenggal kepalamu yang sangat pengasihan
itu...!" Pendekar Hina Kelana akhirnya terdiam. Dia tidak tahu harus berbuat
apa. Untuk tidak
memperkeruh suasana akhirnya Buang Sengketa
melompat mundur. Sedangkan tiga orang laki-laki
berbadan cebol itu segera mengurung Pertiwi.
Dengan mempergunakan jurus pedang Tarian
Bidadari, gadis berwajah rupawan ini melayani
permainan ruyung lawan-lawannya dengan gerakan-
gerakan yang sangat lincah sekali. Sebaliknya tiga laki-laki cebol ini rupanya
bukan lawan yang dapat dipecundangi dengan mudah. Beberapa kali
serangan ganas lawan hampir saja menghajar
bagian punggung dan dada Pertiwi. Sejauh itu si
gadis masih mampu mengelakkannya dengan baik.
Namun dalam gebrakan-gebrakan selanjutnya
Pertiwi kena batunya. Serangan ruyung dari si cebol berkumis menghantam bagian
bahunya. Breet...! "Aughk...!" gadis itu jatuh terguling-guling.
Sementara tiga orang lawan begitu melihat keadaan
si gadis berebut memburunya. Bahkan dengan


Pendekar Hina Kelana 33 Teror Si Pedang Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beringas mereka bermaksud menghabisi lawannya.
Pada saat-saat yang sangat kritis itu. Buang
Sengketa langsung bertindak cepat. Dengan
mempergunakan beberapa buah batu, pemuda itu
dengan mempergunakan setengah tenaga dalam
yang dimilikinya ia menyambitkan batu-batu itu
tepat pada sasarannya.
Tuuuk...! Tiga kali berturut-turut batu-batu yang
disambitkan oleh si pemuda mencapai sasarannya.
Ruyung di tangan mereka terlepas, sementara
tangan mereka terasa kaku dan sulit untuk
digerakkan. Dan ketika batu-batu berikutnya
menimpa punggung mereka. Maka semakin
bertambah terkejutlah ketiga orang cebol dari
perguruan Elang Emas itu. Karena mereka segera
merasakan tubuh mereka kaku dan sulit untuk
digerak-gerakkan. Melihat Buang Sengketa telah
bertindak membantunya. Pertiwi dengan pedang
terhunus bangkit berdiri dan berniat menghabisi
lawan-lawannya yang sedang dalam keadaan tidak
berdaya itu. Tetapi dengan gerakan kilat si pemuda telah menghadang langkahnya.
Masih untung Pertiwi segera membelokkan arah senjatanya. Jika
tidak tentu saja pedang di tangan gadis itu
menembus dada pemuda yang telah membuatnya
jatuh cinta itu.
"Mengapa kau malah melindungi mereka...!"
bentak gadis itu tanpa dapat menyembunyikan
kemarahannya. "Aku tidak ingin dunia persilatan semakin
benci padaku karena teror-teror yang tidak
beralasan itu. Apalagi jika mereka sampai tewas di tanganku. Pasti orang-orang
tidak tahu duduk
persoalan yang sebenarnya tetap beranggapan
akulah orang yang telah membunuh tokoh golongan
putih dan hitam...!" kata si pemuda beralasan.
"Oh. Jadi kau benar-benar orang yang punya
julukan Pendekar Hina Kelana itu?" tanya Pertiwi dengan kedua mata membelalak
lebar. "Sejujurnya kuakui, bahwa akulah orangnya.
Tetapi yang paling penting untuk diketahui oleh
orang Iain. Bahwa ada orang-orang tertentu yang
sedang melancarkan fitnah padaku...!"
Pertiwi nampak terdiam beberapa saat
lamanya. Sementara pandangan matanya tidak
henti-hentinya memperhatikan pemuda yang telah
mencuri hatinya itu.
"Kalau bukan kau, lalu siapa yang telah
melakukannya...?" tanya gadis itu ragu-ragu.
"Sudah kukatakan bahwa aku sedang
menyelidikinya...!"
"Kuharap kau tidak sedang bersandiwara...?"
kata gadis itu berubah serius.
Buang Sengketa tersenyum getir.
"Apakah aku punya tampang menjadi orang
sepengecut yang kau perkirakan...?" tukas si pemuda tanpa ekspresi.
"Aku tidak tahu. Cuma asal kau tahu saja,
aku punya tugas membunuhmu. Jika di kemudian
hari, ternyata kau orang yang kau sebut-sebut
sebagai pendekar gadungan itu...!" ancam Pertiwi.
"Untuk sebuah kebenaran aku tidak segan-
segan mempertaruhkan nyawaku...!"
Pertiwi menganggukkan kepalanya. Sebentar
ia memperhatikan tiga laki-laki yang masih dalam
keadaan tertotok kaku.
"Sekarang kau hendak ke mana...?" tanya gadis itu tanpa mengalihkan perhatiannya
dari orang-orang Elang Emas.
"Aku harus mencari manusia palsu yang telah
membuat rusak nama baikku...!"
"Lalu badut-badut cebol itu bagaimana...?"
"Biarkan saja... tokh nantinya mereka juga
akan terbebas dengan sendirinya dari pengaruh
totokan itu...!"
"Kalau begitu mari kita tinggalkan mereka...!"
kata Pertiwi lalu melangkah pergi.
"Tuan dan Nona...! Tolong bebaskan totokan
ini...!" si cebol berperut buncit berteriak-teriak penuh permohonan. Tetapi
kedua orang itu sudah
tidak terlihat lagi batang hidungnya.
10 Setelah sekian lama melakukan pengejaran
dan menelusuri jejak si Burung Hantu. Iblis Liang Kubur akhirnya merasa kecewa
saja. Dalam hati ia merasa heran sendiri mengapa orang yang
dikejarnya itu lenyap begitu saja. Seolah-olah hilang raib di telan bumi.
Padahal seingatnya dalam hal ilmu lari sekalipun Iblis Liang Kubur merasa tidak
kalah cepat dengan ilmu lari yang dimiliki
sahabatnya itu. Iblis Liang Kubur akhirnya hanya
mampu menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa tidak
tahu lagi apa yang harus dilakukannya selanjutnya.
Kejadian demi kejadian yang dialaminya membuat
kepalanya berdenyut-denyut sakit. Bagaimana tidak.
Mula-mula murid tunggalnya yang memiliki
kecantikan luar biasa itu hilang begitu saja. Bahkan hingga sampai saat itu ia
masih belum mengetahui
bagaimana kabar beritanya. Kemudian, ketika ia
mulai menemukan jalan dan berusaha
menyelidikinya. Satu-satunya orang yang begitu
dekat dengan dirinya hilang begitu saja. Merasa
bingung sendiri akhirnya Iblis Liang Kubur jatuh
terduduk di atas batu. Beberapa kali dari atas
perbukitan yang cukup tinggi itu, Iblis Liang Kubur mengitarkan pandangan
matanya ke segenap daerah
di sekelilingnya. Namun sampai sejauh itu. Ia tidak melihat adanya tanda-tanda
yang membuatnya
curiga. "Ah, sial betul nasib ini. Entah nasibku yang sial atau malah nasib
muridku. Atau nasib si
Burung Hantu yang lebih sial... aku tidak tahu.
Yang membuat aku tidak mengerti apakah semua ini
hasil pekerjaan pendekar sialan itu. Atau ia sengaja menculik muridku..." Kalau
betul, kemana pula
perginya si Burung Hantu. Atau orang itu juga
dijadikan sandera oleh Pendekar Hina Kelana" Kalau betul untuk apa" Kalau
manusia keparat itu sengaja membiarkan muridku hidup, hal itu masuk di akal.
Tetapi kalau si Burung Hantu yang dibiarkannya
hidup, untuk apa. Bukankah mereka sama-sama
memiliki pedang keramat... oh... oh... kiamat-
kiamat...!" Iblis Liang Kubur meracau sendiri bagai orang linglung.
Dalam keadaan serba tidak menentu seperti
itu, mendadak Iblis Liang Kubur mendongakkan
kepalanya. Lalu perhatiannya langsung tertuju pada
satu arah, di mana ia mendengar denting beradunya suara senjata tajam. Iblis
Liang Kubur hanya dalam sekelebatan saja sudah dapat memastikan sedang
terjadi pertempuran tidak jauh dari tempat ia
berada. Akhirnya tanpa membuang-buang waktu lagi,
tubuh laki-laki tua itupun melesat cepat mendekati tempat terjadinya
pertempuran. Setelah sampai di
tempat itu, benar saja dugaannya. Beberapa orang
laki-laki sedang mengeroyok seorang pemuda bertopi lebar dengan mempergunakan
berbagai jenis senjata. Sementara di sekitar tempat itu, mayat-mayat
terlihat bergeletakan tumpang tindih. Orang-orang yang tewas itu jumlahnya
mencapai puluhan orang.
Dan apabila Iblis Liang Kubur memperhatikan
mereka yang sedang terlibat pertempuran, maka
terbelalaklah kedua matanya. Bagaimana tidak.
Pemuda bertopi lebar itu memiliki kecepatan yang
sangat sulit diikuti oleh mata biasa dalam
mempergunakan senjatanya. Bahkan boleh dikata
pemuda bertopi lebar itu memiliki kecepatan
menggerakkan senjatanya dua kali kecepatan suara.
Bahkan Iblis Liang Kubur sendiri sampai tidak dapat memastikan jenis senjata
yang dipergunakan oleh
pemuda itu dalam membunuh lawan-lawannya
karena sedemikian cepatnya senjata itu berkelebat.
Dalam waktu sekedipan mata saja, lawan-
lawan si pemuda yang tadinya sempat melakukan
perlawanan sengit, sekarang sudah bergelimpangan
roboh bermandikan darah.
Sekarang setelah mereka-mereka itu tewas
keseluruhannya hingga tidak bersisa lagi. Maka
pemuda bertopi lebar itu pun tertawa tergelak-gelak.
Dengan perasaan puas dipandanginya mayat-mayat
bergelimpangan itu satu demi satu. Hampir seluruh korban yang berjatuhan itu
kesemuanya menderita
luka di bagian pangkal leher dan perutnya. Lagi-lagi pemuda bertopi lebar itu
memperdengarkan suara
tawanya yang terasa menggidikkan bulu kuduk yang
mendengarnya. "Ha... ha... ha...! Tidak seorang pun dapat
menandingi kecepatanku dalam mempergunakan
senjata. Akulah si Pedang Kilat yang tidak memiliki tanding. Lebih dari itu
hingga sampai saat ini tidak seorang pun yang tahu bahwa orang yang menyebut
dirinya dengan si Hina Kelana akulah orangnya.
Aha... ha... ha...! Kasihan sekali pendekar tangguh yang berjuluk si Hina Kelana
itu. Karena ia harus rela menjadi buronan para kaum persilatan. Yang
lebih celaka lagi, hingga sampai saat ini dia masih juga belum mengetahui siapa
sebenarnya yang telah melancarkan fitnah kepadanya itu...!" kata pemuda bertopi
lebar yang tidak lain merupakan si Hina
Kelana palsu, dengan suara lantang.
Dari tempat persembunyiannya Iblis Liang
Kubur yang sempat mendengarkan semua apa yang
dikatakan oleh pemuda bertopi lebar itu sempat
terbelalak tak percaya. Baru sekaranglah ia tahu, rupanya pemuda itulah yang
sedang menjalankan
fitnah pada Pendekar Hina Kelana. Itu berarti ia
memiliki dendam tersendiri pada pendekar yang
sekarang menjadi buronan kaum persilatan itu.
"Yang lebih celaka lagi adalah Iblis Liang
Kubur. Sampai saat ini dia tidak tahu siapa yang
telah melarikan muridnya yang cantik itu. Padahal
aku sendiri hampir saja berhasil... ha... ha... ha...!
Kalau saja tidak muncul bayangan merah itu, sudah pasti saat itu juga aku
berhasil mencicipi
kehangatan tubuhnya...!" lanjut pemuda bertopi lebar itu lalu tertawa-tawa
kembali Apa yang baru saja dikatakan oleh pemuda
itu kali ini benar-benar bagai sambaran petir di
siang bolong. Sama sekali ia tidak menyangka, kalau pemuda itulah yang hampir
saja mencelakai
muridnya sendiri. Sampai sejauh itu akhirnya ia
dapat menyimpulkan sedikit banyaknya tentu saja
pemuda itu tahu siapa yang telah melarikan
muridnya. Berpikir sampai ke situ, tiba-tiba Iblis Liang Kubur melesat cepat
dari tempat persembunyiannya.
Jligkh...! Dengan tepat Iblis Liang Kubur mendaratkan
kakinya persis di depan si pemuda bertopi lebar itu.
Melihat kemunculan Iblis Liang Kubur yang tiada di duga-duga itu. Sudah barang
tentu membuat pemuda itu menjadi terkejut.
"Kau, Iblis Liang Kubur...!" serunya spontan.
Apa yang dikatakan oleh pemuda itu tentu saja
membuat laki-laki berpakaian tambal-tambal itu
sangat kaget. Bagaimana mungkin pemuda itu dapat
mengenalinya. Iblis Liang Kubur nampak
mengerutkan keningnya. Tapi sedetik berikutnya
wajahnya yang penuh keriput itu menjadi merah
padam ketika Iblis Liang Kubur merasa mengenali
suara pemuda itu.
"Keparaat. Rupanya kaulah yang berjuluk
Pendekar Hina Kelana yang telah melakukan
pembunuhan demi pembunuhan itu...!" bentak Iblis
Liang Kubur berpura-pura tidak mengenali siapa
orang yang memakai topi lebar itu.
"Betul akulah orangnya...!" jawab si pemuda yang menyangka lawan bicaranya
benar-benar tidak
mengenal siapa dia.
"Hemm. Kau tadi ada menyebut-nyebut
bahwa kaulah orangnya yang hampir saja
memperkosa muridku. Apakah itu juga betul...?"
ejek kakek berpakaian tambal-tambal itu sambil
tersenyum sinis.
"Ha... ha... ha...! Kau rupanya telah
mendengarkan semuanya, Iblis Liang Kubur. Itu
berarti kau juga telah mengetahui siapa diriku
ini...?" bentak pemuda bertopi lebar tersebut dengan kemarahan tertahan-tahan.
"Betul... aku tahu siapa kau sebenarnya
Pendekar Hina Kelana palsu. Dalam sehari kau bisa saja mengganti penampilanmu
dengan seribu satu
macam topeng yang dapat kau ciptakan dengan
mudah. Tetapi kau tetap menemukan kesulitan
untuk merobah suaramu, Burung Hantu...!"
"Heh... jadi kau benar-benar dapat menebak
wajah tua di balik topeng ini?" kata pemuda yang selama ini telah menyebarkan
teror dengan mengatakan dirinya sebagai Pendekar Hina Kelana.
"Aku telah mengenal dirimu sebagai mana
aku mengenal telapak tanganku sendiri, Burung
Hantu. Hanya saja aku memang tidak menyadari
kemajuan yang kau peroleh dalam hal
mempergunakan pedang. Sebagai seorang sahabat.
Satu yang selalu kusesalkan. Mengapa kau begitu
tega dan punya niat hendak memperkosa murid
sahabatmu sendiri?" tanya Iblis Liang Kubur seolah


Pendekar Hina Kelana 33 Teror Si Pedang Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyesalkan tindakan sahabatnya yang dinilainya
sebagai satu tindakan yang sangat gegabah.
"Semua itu tidak perlu kau tanyakan padaku,
Iblis Liang Kubur. Meskipun kau sahabatku, tokh
kau telah tahu bagaimana kebiasaanku sejak
dulu...!" "Keparaat... jika kau berani merusak nama
baik sahabat sendiri, apa gunanya sebuah
persahabatan. Burung Hantu... cepat kau katakan
di mana kau sembunyikan muridku...?" teriak Iblis Liang Kubur dengan kemarahan
meluap-luap. "Sudah kukatakan aku gagal menggauli
muridmu itu. Sekarang aku tidak tahu ia berada di mana" Atau mungkin saja ia
telah menjadi istri
Pendekar Hina Kelana." jawab si Burung Hantu memanas-manasi sahabatnya.
"Kau jangan berpura-pura, Burung laknat.
Kaulah pendekar palsu yang telah menjatuhkan
nama baik Pendekar Hina Kelana. Ah... menyesal
sekali mengapa baru sekarang aku mengetahuinya.
Andai saja sejak dulu aku tahu tentang tabiatmu
yang jelek itu. Mungkin aku tidak akan pernah
menaruh kepercayaan padamu...!"
"Semua sudah terlambat sobat. Lagipula
karena di kolong langit ini hanya kau seorang yang tahu siapa aku yang
sebenarnya. Maka untuk
melancarkan jalan usahaku dalam menjebak
Pendekar Hina Kelana. Walau bagaimanapun aku
harus membunuhmu...!" kata si Burung Hantu yang saat itu merobah penampilannya
sebagai seorang
pemuda tampan. "Kau tidak mungkin mampu mengalahkan
aku begitu saja, Burung Hantu. Aku kenal betul
dengan segala jenis jurus-jurus silatmu...!" Iblis Liang Kubur tersenyum
mengejek. Tapi dengan
sikap tenang dan penuh percaya diri. Burung Hantu malah berkata sinis.
"Kau tidak akan mampu menandingi jurus-
jurus pedang hasil ciptaanku yang terakhir...!"
"Setan alas...! Terhadap manusia semacamku
ini. Jangan coba-coba menggertakku." kata Iblis Liang Kubur. Kemudian tanpa
berkata-kata lagi.
Laki-laki tua berpakaian tambal-tambal ini segera menyerang si Burung Hantu
dengan jurus-jurus
silat andalan yang sudah tidak asing lagi bagi si Burung Hantu. Pertempuran dua
tokoh sesat tingkat tinggi itu berlangsung seru dan menegangkan.
Menyadari betapa hebatnya jurus-jurus baru hasil
ciptaan si Burung Hantu. Maka sejak awal Iblis
Liang Kubur telah mempergunakan pukulan-
pukulan andalan yang dimilikinya. Bahkan saat itu Iblis Liang Kubur telah
mempergunakan pukulan
'Segara Geni" yang luar biasa kehebatannya itu. Si Burung Hantu sudah barang
tentu hapal betul
dengan pukulan andalan yang dipergunakan oleh
bekas sahabat baiknya itu. Dengan cepat ia segera pula mempergunakan pukulan
'Menguak Tabir Kegelapan' yang juga merupakan pukulan andalan
yang dimiliki oleh si Burung Hantu. Begitu masing-masing lawan melambaikan
tangannya ke depannya.
Maka detik itu juga serangkum gelombang berhawa
dingin menderu ke arah Iblis Liang Kubur.
Sebaliknya kakek tua renta itu mendorongkan
tangannya ke depan. Maka serangkum gelombang
berwarna putih kebiru-biruan menderu deras
memapaki serangan si Burung Hantu yang membuat
menggigil tulang belulang laki-laki itu.
Bldaaar...! Tidak dapat dihindari lagi, dua pukulan yang
teraliri tenaga sakti itupun saling bertemu di tengah jalan. Baik Iblis Liang
Kubur maupun si Burung
Hantu sama-sama terjengkang tiga tombak. Masing-
masing lawan mengalami luka dalam yang cukup
lumayan. Tetapi dengan cepat mereka menghimpun
hawa murninya kembali untuk menyembuhkan luka
dalam yang mereka derita. Tidak lama kemudian
setelah menyeka darah yang mengalir di sudut-
sudut bibirnya. Baik Burung Hantu maupun Iblis
Liang Kubur telah saling berhadapan kembali.
"Kau tidak mungkin menang berhadapan
dengan aku, Burung Hantu...!" bentak Iblis Liang Kubur dengan mata mencorong
merah. "Kau belum melihat bagaimana cepatnya
pedangku melubangi tenggorokan lawannya...!"
dengus sinis si Burung Hantu.
Burung Hantu segera menghimpun tiga
seperempat tenaga dalamnya ke bagian telapak
tangannya. Tidak lama setelah itu tubuh laki-laki bertopeng itupun nampak
menggeletar hebat.
Bahkan tidak lama setelah itu, kabut tipis mulai
menyelimuti tubuh si Burung Hantu. Sedangkan
telapak tangannya yang terus menebarkan bau
busuk itu mulai berubah warna menjadi merah
bara. "Kidung Kematian...!" seru Iblis Liang Kubur dengan mata membelalak.
Sekarang laki-laki tua itu sadar sepenuhnya bahwa si Burung Hantu benar-benar
menghendaki jiwanya. Maka tanpa ragu-ragu
lagi Iblis Liang Kubur juga langsung merentangkan
kepalanya tinggi-tinggi di atas kepala.
Selanjutnya tubuh laki-laki itu berputar
kencang tidak ubahnya bagai sebuah ganging. Lalu
dari tubuh yang berputar-putar itu berhembuslah
angin kencang yang sangat dahsyat sekali. Ketika si Burung Hantu melihat apa
yang dilakukan oleh
lawannya. Maka sekarang ia pun sadar, bahwa Iblis Liang Kubur sedang mengerahkan
ajian Bayu Pati,
yang dikenalnya sebagai sebuah ajian yang sangat
luar biasa itu.
Weeer... Deer...
Blaaam...! Suara angin ribut bercampur dengan
ledakan-ledakan yang keras dan terasa
memekakkan gendang-gendang telinga ketika
masing-masing kekuatan sakti itu saling gilas dan beradu secara terus menerus.
Pohon-pohon besar
yang berdiri kokoh di sekitar tempat pertempuran
itu menjadi porak poranda.
11 Si Burung Hantu benar-benar merasa
kewalahan mendapat serangan gencar seperti ini.
Berkali-kali tubuhnya jatuh bangun menghindari
serangan-serangan Iblis Liang Kubur yang terus
mengejarnya kemanapun ia berusaha menghindar.
Sampai pada satu keadaan yang sangat tidak
menguntungkan bagi laki-laki yang sangat ahli
dalam penyamaran itu.
Breet...! Tendangan kaki dan pukulan tangan yang
terus berputar-putar itu membuat si Burung Hantu
jatuh tersungkur dengan menderita luka memar di
bagian punggungnya. Melihat kenyataan ini Iblis
Liang Kubur bermaksud mengakhiri dengan satu
tendangan berputar. Namun pada saat-saat yang
sangat kritis bagi keselamatan jiwanya sendiri. Si Burung Hantu serta merta
mencabut pedang
pusakanya. Begitu ia memutar senjata itu dengan
kecepatan tinggi. Maka Iblis Liang Kubur yang
sedang dalam keadaan posisi berputar-putar itu
segera merasakan sambaran hawa dingin yang
menusuk pori-pori kulitnya. Dengan cepat kakek tua ini mencoba menarik balik
tendangan kakinya. Tapi di luar dugaan laki-laki tua itu. Gerakan kilat yang
dilakukannya masih kalah cepat dengan babatan
pedang yang dilakukan oleh si Burung Hantu. Tidak dapat dihindari lagi.
Craaas...! "Arggkh...!" Iblis Liang Kubur menjerit-jerit setinggi langit. Bagian kakinya
sebatas mata kaki terbabat putus oleh ketajaman mata pedang si
Burung Hantu. Dengan gerakan cepat ia segera
menotok jalan darah untuk mencegah pendarahan
lebih banyak lagi. Melihat apa yang dialami oleh
lawannya si Burung Hantu langsung tergelak-gelak.
"Kau harus mati ditanganku, Iblis Liang
Kubur...!" desis si Burung Hantu sambil memandang tidak berkedip pada Iblis
Liang Kubur yang nampak jatuh terduduk tidak jauh di hadapannya.
"Aku tidak takut, meskipun kau memiliki
kecepatan dalam mempergunakan ilmu pedang,
Burung laknat. Walau kau mau membunuhku,
cepat kau lakukan sekarang juga." kata Iblis Liang Kubur tanpa mengenal takut
sedikitpun juga
"Baik... baik sekarang kau bersiap-siaplah
untuk mampus...!" kata si Burung Hantu. Lalu dengan disertai jeritan tinggi
melengking tubuh laki-laki itu melesat cepat dengan senjata terhunus
mengarah bagian dada lawannya. Tapi sebelum
niatnya itu kesampaian. Dari arah yang berlawanan meluncur sebuah benda berwarna
hitam berkilat-kilat. Dengan telak benda hitam itu menghantam
bagian pergelangan tangan si Burung Hantu.
"Uhh...!" si Burung Hantu memekik keras sambil memegangi tangannya yang terasa
berdenyut-denyut sakit.
Ketika si Burung Hantu memandang ke
sekeliling tempat itu. Maka terlihatlah olehnya
seorang pemuda berpakaian serba merah dan
seorang gadis cantik yang sudah sangat dikenalnya.
Begitu melihat si Burung Hantu dan Iblis Liang
Kubur, Pertiwi langsung berteriak lantang.
"Inilah kunyuknya yang hampir memperkosa
aku tempo hari, Kelana...! Hei, bahkan sekarang ia
telah begitu berani membuntungi kaki guruku...!"
"Tidak salah lagi...! Pastilah dia orangnya
yang telah memfitnahku dengan tindakan-
tindakannya yang keji. Pertiwi... kau uruslah
gurumu. Biarkan kunyuk di balik topeng ini aku
yang mengurusnya...!"
Dengan menahan perasaan kesal, akhirnya
Pertiwi menuruti apa yang dikatakan oleh Buang
Sengketa. Sementara pemuda itu sekarang telah
berhadapan dengan si Burung Hantu.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Hina Kelana
itu...?" ejek Buang Sengketa berusaha menahan kejengkelannya.
"Kau tidak perlu bertanya lagi, bocah
gembel...! Tokh kau sudah tahu siapa orang yang
kau maksudkan itu. Bukankah engkau sendiri...!"
"Hemm... kau tahu siapa aku. Tapi alangkah
tidak bermalunya kau mempergunakan nama orang
untuk melakukan kejahatan bahkan membuat
rusak nama baikku. Apakah tujuanmu...?" tanya pemuda itu gusar sekali.
Di luar dugaan. Si Burung Hantu malah ter-
tawa tergelak-gelak.
"Semua orang dalam hidupnya tentu saja
menginginkan nama besar, sobat. Tetapi lebih dari sekedar itu, aku memang
sengaja merusak nama
baikmu untuk membalas sakit hati ini...!"
"Keparaat... kau jangan mengada-ada.
Bertemu denganmu pun baru sekali ini!" kata
pemuda itu semakin tidak sabar saja.
"Kau telah membunuh tiga orang saudara
seperguruanku. Masihkah kau mau mungkir...?"
"Saudara seperguruanmu, kalaupun aku
pernah membunuh orang. Pastilah mereka itu dari
golongan kaum sesat." sentak pemuda itu seolah pada dirinya sendiri.
"Bagus kalau kau mau mengingatnya. Tentu
kau tidak mungkin menyangkal bahwa kau telah
membunuh saudara seperguruanku dari Pulau
Berhala...?" tanya si Burung Hantu.
Buang Sengketa yang masih ingat betul
tentang orang yang dimaksud oleh lawannya hanya
menganggukkan kepalanya. (Untuk lebih jelasnya
dalami Episode Tiga Iblis Pulau Berhala).
"Kalau begitu sekarang juga kau harus
mampus di ujung pedangku...!" belum lagi si Burung Hantu selesai dengan kata-
katanya. Tahu-tahu
ujung pedang di tangannya telah berkelebat
menyambar di depan hidung Buang Sengketa.
Dengan cepat pemuda itu berjumpalitan ke
belakang. Tapi pemuda itu memang harus mengakui
betapa cepatnya permainan pedang lawannya itu.
Karena baru saja ia dapat berdiri tegak. Tahu-tahu pedang itu telah menyabet ke
bagian pundaknya.
Breet...! "Iihhh...!" Buang Sengketa memekik tertahan.
Bagian punggungnya sempat terobek besar dan
mengalirkan darah. Pedih sekali rasanya bagian
yang terluka itu. Masih untung Pendekar Hina
Kelana merupakan orang yang kebal terhadap
serangan racun. Kalau tidak tentu sudah sejak tadi ia tersungkur roboh karena
pedang di tangan si
Burung Hantu itu sebenarnya mengandung racun
yang sangat keji.
Sebaliknya begitu melihat lawannya terluka.
Si Burung Hantu semakin bernafsu untuk segera
menghabisi lawannya. Dengan ganas pedang di
tangan Burung Hantu menyambar ke bagian-bagian
tubuh si pemuda. Namun Buang Sengketa yang
telah mengetahui kehebatan lawannya segera
mempergunakan jurus silat tangan kosong, si Jadah Terbuang dan si Gila Mengamuk
secara silih berganti. Tapi Buang Sengketa lambat laun segera
menyadari bahwa melayani si Burung Hantu dengan
mempergunakan tangan kosong sama saja artinya
dengan mencari mati. Apalagi ketika sedetik
berikutnya senjata di tangan Burung Hantu kembali
menyambar bagian pangkal lengannya dan membuat
luka memanjang.
Pendekar Hina Kelana nampak terhuyung-
huyung. Darah semakin bertambah banyak yang
keluar. Sementara itu Pertiwi yang merasa khawatir melihat keadaan si pemuda


Pendekar Hina Kelana 33 Teror Si Pedang Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah bersiap-siap
untuk melakukan pengeroyokan. Namun Iblis Liang
Kubur mencegah niatnya itu.
"Biarkan saja... aku yakin pemuda itu tidak
akan tinggal diam mendapat tekanan-tekanan dari
lawannya. Apalagi lawan yang dihadapinya kali ini merupakan seorang lawan yang
telah mencemarkan
nama baiknya. Lebih baik kita tetap berada di
tempat ini sambil menjaga segala kemungkinan...!"
Benar saja apa yang dikatakan oleh Iblis
Liang Kubur. Karena tidak lama kemudian Buang
Sengketa yang telah mengalami luka-luka itu segera mencabut senjata andalannya
yang berupa golok
buntung. Begitu senjata maut itu keluar dari
sarungnya. Maka udara di sekitar tempat itu
berubah dingin sekali. Sementara sinar merah
menyala yang agak bercampur dengan warna
kebiru-biruan nampak terpancar dari senjata itu.
Baik si Burung Hantu ataupun Iblis Liang Kubur
dan Pertiwi yang turut menyaksikan pertarungan itu nampak terperangah. Tapi
mereka tidak dapat
melihat lebih lama lagi. Karena ketika tubuh Buang Sengketa bergerak, maka
terdengarlah suara
raungan bagai puluhan suara raungan harimau
terluka. Kemudian yang terlihat hanyalah sinar
merah dan hitam yang berkelebat cepat dan saling
menyambar. Sesekali terlihat pula pijaran bunga api setelah terdengar beradunya
suara senjata mustika
di tangan masing-masing lawannya.
"Traaang...!"
Dua senjata pusaka itu kembali saling
beradu. Begitu kerasnya getaran dua senjata maut
itu hingga menyebabkan senjata di tangan si Burung Hantu terlepas dari
genggamannya. Tapi laki-laki ini rupanya tidak mau menyerah. Begitu melihat
senjata pusakanya melayang entah ke mana. Ia
segera mengambil senjata lainnya. Dengan
mempergunakan senjata baru tersebut sekarang ia
menggempur Buang Sengketa. Semakin lama
serangan-serangan semakin bertambah cepat.
Buang Sengketa akhirnya terdesak hebat. Bahkan
beberapa kali sabetan senjata lawan berhasil
menggores bagian kakinya. Buang Sengketa yang
menyadari dirinya kalah cepat dalam
mempergunakan senjata langsung mengadu
senjatanya dengan senjata di tangan lawannya.
Traaang! Creeep...!
Senjata itu tiada disangka-sangka oleh
Burung Hantu saling menempel. Hal ini tentu saja
yang diharapkan oleh Pendekar Hina Kelana. Karena sedetik kemudian ia telah
mengerahkan jurus
Koreng Seribu untuk melumpuhkan lawannya.
Mulailah si Burung Hantu merasakan keganjilan
demi keganjilan. Mula-mula ketika ia mengerahkan
tenaganya untuk menarik senjatanya yang saling
melekat itu tidak mendatangkan hasil sama sekali.
Bahkan semakin kuat ia menyalurkan tenaga dalam
untuk membetot pedang miliknya. Ia merasakan ada
kekuatan lain seperti menyentak-nyentakkan
sesuatu dari dalam tubuhnya. Sampai sejauh itu ia tidak menyadari apa sebenarnya
yang sedang terjadi
pada dirinya. Hingga sampai sepemakan sirih,
barulah ia menyadari bahwa tenaganya telah
berkurang jauh. Dan semua itu tentu saja
membuatnya terkejut.
"Heaah...!"
Buang Sengketa menyentakkan senjatanya
hingga terlepas. Si Burung Hantu terperangah
merasakan tubuhnya yang terasa lemas sekali.
Dalam keadaan lengah seperti itu. Dengan cepat si pemuda membabatkan senjatanya.
"Heaaat...!"
Breees... Jrooos! Begitu senjata maut itu berkelebat. Tidak ayal
lagi kepala si Burung Hantu menggelinding ke atas tanah. Darah menyembur dari
luka di bagian leher
dan perut si Burung Hantu. Tubuh tanpa kepala itu kemudian limbung dan jatuh
tersungkur untuk
selama-lamanya.
"Kau memang harus membayarnya dengan
sangat mahal, Burung Hantu...!" setelah berkata begitu. Pendekar Hina Kelana
tanpa berpamitan lagi pada Pertiwi langsung berkelebat pergi.
"Kelana...!" panggil gadis itu ketika melihat sebuah bayangan merah bergerak
menjauh dan mereka. "Biarkan muridku...!"
"Tapi aku... aku ... mencin... tainya, guru...!"
kata gadis itu hampir saja menangis.
"Kalau kau mencintainya. Kau harus
membantunya mengembalikan nama baiknya...!"
kata Iblis Liang Kubur dengan perasaan penuh
kasih T A M A T https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Kemelut Iblis 1 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Payung Sengkala 2
^