Pencarian

Keris Peminum Darah 3

Dewa Arak 17 Keris Peminum Darah Bagian 3


langkah-langkah itu cukup berisi juga. Seketika, dia bersikap waspada.
Meskipun begitu, pemuda berambut putih
keperakan itu tetap berlaku tenang. Kembali gelas bambunya diangkat, untuk
meneruskan minumnya.
Dia bersikap seolah-olah tidak tahu akan kehadiran orang-orang di depan pintu
kedai. Tapi pen-dengarannya dipasang setajam mungkin, bersiap-siap menghadapi
segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Dengan sudut matanya, pemuda berambut putih keperakan itu melihat dua sosok
tubuh yang melangkah memasuki pintu kedai, kemudian
menghampiri tempat duduknya. Langkah mereka berhenti tepat di sebelah meja
pemuda itu. Mau tak mau, pemuda berpakaian ungu itu
menghentikan minumnya. Kepalanya mendongak menatap ke arah empat orang yang juga
tengah menatapnya.
"Semula aku tidak percaya ketika mendengar kalau desa ini kedatangan orang aneh.
Pemuda berambut putih keperakan menyandang guci, dan berpakaian ungu. Tapi
ternyata berita itu benar.
Sungguh tidak kusangka kalau orang sepertimu sudi datang ke desa ini, Dewa
Arak!" kata seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya tinggi
kurus dan berpakaian putih. Kumis dan jenggotnya masih berwarna hitam. Tapi
rambut di bagian pelipisnya telah bercampur warna putih. "Kenalkan, aku Ki
Jayus! Kepala Desa Pucung!"
Setelah berkata begitu, laki-laki berpakaian putih ini mengulurkan tangan pada
pemuda berambut putih keperakan.
Pemuda berpakaian ungu yang memang Dewa
Arak alias Arya Buana tersenyum. Disambutnya uluran tangan kepala desa itu, lalu
dijabatnya erat-erat.
"Kau terlalu berlebih-lebihan, Ki. Panggil saja aku Arya," sahut Dewa Arak.
Risih hatinya melihat sikap kepala desa itu yang terlalu berlebih-lebihan.
"Dan ini Wikalpa! Guru silat kenamaan Desa Pucung!" ujar Ki Jayus lagi seraya
melepaskan genggaman tangannya, memperkenalkan orang yang berada di sebelahnya.
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus, berusia sekitar empat puluh
lima tahun. Pakaiannya hitam. Kumis dan jenggot jarang-jarang menghias wajahnya.
Arya mengulurkan tangannya, tapi Wikalpa sama sekali tidak menyambutnya. Bahkan,
sebaliknya malah tersenyum mengejek. Terpaksa walau dengan muka merah, Dewa Arak
menarik kembali tangannya.
"Memang sifatnya begitu, De... eh! Arya," Ki Jayus cepat-cepat menengahi keadaan
yang tidak enak itu.
"Tapi, percayalah. Hatinya sangat baik."
Dewa Arak hanya menganggukkan kepala, tidak menyahuti ucapan Kepala Desa Pucung
itu. "Sayang sekali kami tidak bisa menemanimu minum, Arya. Kami mempunyai sebuah
urusan penting tentang Empu Sawung. Pandai besi desa kami itu telah tewas semalam.
Keadaan mayatnya rnengerikan sekali. Kurus kering dan pucat pasi seperti
kehabisan darah...!'
Setelah berbasa-basi sebentar, Ki Jayus melangkah meninggalkan tempat itu.
Wikalpa pun mengikuti di belakangnya, meninggalkan Dewa Arak yang tengah
tercenung kaget. Jadi, masih ada lagi korban dengan tubuh kurus kering kehabisan
darah" Kalau begitu, di desa ini tengah terjadi sesuatu. Dewa Arak bertekad dalam hati
untuk mencoba mengungkap rahasia pembunuhan yang penuh teka-teki itu. Makanya
dia memutuskan untuk tinggal di sini sementara waktu.
Setelah menyelesaikan minum dan membayar
pesanannya, Arya melangkah meninggalkan tempat itu. Kini tidak ada Melati di
sampingnya. Gadis berpakaian putih itu, sudah kembali ke Kerajaan Bojong Gading.
Kerusuhan masih saja terjadi di sana, karena ada dugaan Kerajaan Bojong Gading
sedang lemah akibat pemberontakan Adipati Tasik (Untuk jelasnya, baca serial
Dewa Arak dalam episode "Banjir Darah di Bojong Gading").
*** Waktu berlalu tanpa disadari. Terkadang cepat laksana anak panah lepas dari
busur. Tapi kadang pula merayap seperti seekor keong. Tak terasa tiga hari telah
berlalu, sejak Brajageni menyerahkan keris pada gurunya. Dia memang selalu
menunggu, sehingga terasa membosankan.
"Bagaimana, Guru?" tanya Brajageni begitu datang menagih janji gurunya.
"Keris ini akan menjadi senjata luar biasa, Brajageni," jelas Raja Racun Muka
Putih. "Maksud, Guru?" tanya Brajageni ingin tahu.
"Begitu mendengar ceritamu tentang keanehan keris ini, aku lalu memeriksanya.
Dan hasil yang ku-dapatkan, begitu mengejutkan!"
"Apa itu, Guru?" Brajageni mulai bergairah.
"Keris ini adalah keris peminum darah, Brajageni,"
sahut kakek muka putih itu.
"Maksud, Guru?"
"Setiap kali ditusukkan ke tubuh lawan, keris ini akan menghisap darahnya."
"Ahhh...!" Brajageni terperanjat.
"Setiap kali meminum darah, keris ini akan mendapat sebuah kekuatan
menggiriskan," sambung Raja Racun Muka Putih, tanpa mempedulikan
keterkejutan muridnya.
"Kekuatan apa itu, Guru?"
"Hanya satu yang baru kuketahui, Brajageni,"
jawab Raja Racun Muka Putih bernada mengeluh.
"Apa itu, Guru?" meskipun hatinya agak kecewa mendengar gurunya hanya mengetahui
satu, tapi Brajageni tak bisa menahan rasa keingintahuannya.
"Hawa dingin yang luar biasa!"
"Tapi kenyataannya tidak demikian, Guru," bantah Brajageni ketika teringat pada
salah seorang korban keris itu.
Raja Racun Muka Putih mendengus. Dia sudah tahu, mengapa laki-laki tinggi kurus
itu berkata demikian.
"Darah yang diminumnya, tidak cukup untuk menimbulkan pengaruh sampai seperti
itu," selak kakek bermuka putih itu. "Itulah sebabnya, hanya angin dingin biasa
yang menghembus kulitmu. "
"Jadi, maksud guru...?"
"Keris itu membutuhkan darah yang lebih banyak, Brajageni. Dan juga, selama
keris itu belum menunjukkan hasil yang diharapkan, jangan dipisahkan dari
darah!" "Memangnya kenapa kalau dipisahkan, Guru?"
tanya Brajageni ingin tahu, meskipun sebenarnya sudah bisa menduga.
"Kekuatan yang timbul itu akan kembali lenyap...."
Brajageni mengangguk-anggukkan kepala. Semua yang dikatakan gurunya benar-benar
masuk akal. "Kesimpulannya..., keris itu harus direndam dalam darah. Begitu kan, Guru?"
"Tepat!" jawab Raja Racun Muka Putih cepat. "Dan setelah itu, kita akan
membuktikan keampuhan senjata ini!"
"Kalau begitu, malam ini juga aku akan mulai bergerak, Guru."
Raja Racun Muka Putih sama sekali tidak
menyahut. Hanya bibir atasnya saja yang bergerak sedikit, pertanda menanggapi
ucapan muridnya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Brajageni segera melesat cepat meningalkan
tempat itu. *** Tong tong, tong...!
Bunyi kentongan terdengar mengiringi langkah dua orang peronda, yang berjalan
mengelilingi wilayah Desa Pucung. Kedua orang ini tak lain dari Rakapitu dan
Gibang. "Rakapitu..."
Laki-laki bertubuh tinggi besar itu menoleh.
"Ada apa, Gibang?" tanya Rakapitu.
Gibang terdiam sesaat, nampak kalau merasa ragu-ragu untuk berbicara. Karuan
saja hal ini membuat rekannya kesal. Untung, sebelum laki-laki tinggi besar itu
memuntahkan kekesalannya, Gibang telah terlebih dulu membuka suara.
"Kau tidak merasa ada keanehan malam ini, Rakapitu?"
"Kau ini bicara apa, sih"!" Rakapitu malah balik bertanya. Nada suaranya
menyiratkan kekesalan.
Rupanya, dia tengah tidak mau diganggu.
"Dengar dulu, Rakapitu," sahut Gibang cepat. "Aku belum selesai bicara!"
Rakapitu pun menghentikan ucapannya. Tangannya yang memegang kentongan kembali
bekerja. Tong, tong, tong...!
Bunyi kentongan itu terdengar nyaring menembus kesunyian malam yang mencekam.
"Malam ini perasaanku tidak enak sekali, Rakapitu," keluh Gibang setelah suara
kentongan itu lenyap. "Bahkan bulu kudukku sampai berdiri."
"Hm.... Lalu?" tanya Rakapitu dengan suara sumbang, seperti dilanda ketegangan.
Memang sebenarnya, dia sejak tadi dicekam
perasaan tidak enak dan rasa takut yang aneh. Itulah
sebabnya, laki-laki tinggi besar ini jadi agak kesal ketika Gibang membuka
pembicaraan seperti itu.
Akibatnya, rasa takutnya semakin besar melanda hatinya.
"Perasaanku..., ada sesuatu yang akan terjadi..,"
sambung Gibang pelan, lebih mirip bisikan.
Belum juga laki-laki berwajah penuh tahi lalat ini menutup mulut, pandangan
matanya menangkap adanya sosok serba hitam tak jauh di depan mereka.
Sosok serba hitam itu berjarak sekitar lima tombak dengan mereka.
Hati Rakapitu dan Gibang tercekat. Apalagi ketika menyadari kalau kini mereka
tengah berada di tempat yang agak jauh dari rumah-rumah penduduk.
Rakapitu dan Gibang sudah bisa memperkirakan kalau sosok serba hitam itu
mempunyai maksud buruk. Tanpa ragu-ragu lagi, Gibang segera me-mindahkan obornya
ke tangan kiri. Sementara tangan kanannya cepat bergerak ke arah pinggang.
Srattt..! Sinar terang berpendar ketika golok itu keluar dari sarung. Sementara Rakapitu
masih tetap belum bertindak apa-apa. Hanya sepasang matanya saja yang menatap
sosok serba hitam itu penuh selidik. Di tangan kanannya tetap tergenggam
kentongan. Dalam keremangan sinar bulan, tampak sosok hitam itu memang berniat menghadang
mereka. Sosok bertubuh tinggi kurus. Pakaiannya serba hitam. Wajahnya terturup kain
hitam mulai dari bawah mata. Bukan itu saja. Kepalanya pun terbungkus sebuah
caping bambu. Memang tidak ada yang menyangka kalau sosok di balik semua itu
adalah Brajageni. Namun siapa pun orangnya, Rakapitu dan Gibang harus bersikap
waspada. "Siapa kau"!" tanya Gibang agak keras, dengan jantung berdetak kencang. Sikap
dan dandanan orang ini menimbulkan kecurigaan di hatinya.
Namun bukan jawaban yang didapatkan Gibang.
Tapi terjangan! Tanpa berkata-kata lagi, Brajageni segera melompat. Tangan
kanannya yang berbentuk cakar meluncur deras ke arah dada.
Wuuut...! Angin menderu keras mengiringi tibanya serangan Brajageni. Jelas, serangannya
itu mengandung tenaga dalam tinggi. Hal ini tidak aneh, karena laki-laki
bertubuh tinggi kurus ini telah mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki.
Gibang terkejut bukan main melihat kecepatan gerak lawannya. Dengan gugup, obor
yang dipegang dilemparkan ke arah tubuh lawan yang tengah menuju ke arahnya.
Brajageni hanya mendengus. Terpaksa serangannya dibatalkan. Dan secepat itu pula
tangannya dikibaskan ke arah obor yang tengah menyambarnya.
Takkk...! Suara berderak keras terdengar begitu batang obor itu hancur berkeping-keping.
"Haaat..!"
Gibang berseru keras seraya melompat menerjang.
Golok di tangannya menusuk cepat ke arah perut Brajageni. Rakapitu pun tak
tinggal diam. Maka cepat dipukulnya kentongan berkali-kali.
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan tanda bahaya pun terdengar.
Dan sehabis memberi tanda, laki-laki tinggi besar ini mencabut golok untuk
membantu rekannya yang tengah menghadapi Brajageni. Golok di tangannya membabat
cepat ke arah leher.
Brajageni geram bukan kepalang melihat Rakapitu memukul kentongan tanda bahaya.
Sudah dapat diperkirakan kalau tak lama lagi penduduk desa akan berdatangan. Dan
dia tidak ingin masih berada di sini saat para penduduk datang. Bila hal itu
terjadi, maka akan banyak penduduk yang menjadi korban.
Brajageni tidak menginginkan hal itu. Malam itu cukup dua orang saja yang akan
dijadikan korban.
Sisanya esok malam. Makanya, kini dia harus bertindak cepat.
Brajageni sama sekali tidak berusaha mengelak atau menangkis, saat kedua orang
lawannya bergerak menyerang. Sepertinya laki-laki bertubuh kurus itu tidak
mempedulikan mereka. Karuan saja hal ini membuat Rakapitu dan Gibang jadi
gembira. Mereka menduga laki-laki bercaping itu tidak mampu mengelakkan serangan
gabungan yang dilakukan.
Takkk, takkk...!
Dua batang golok itu membalik ketika mengenai sasaran. Sementara tangan kedua
orang penyerang itu bergetar hebat, sampai-sampai senjata yang digenggam hampir
terlepas dari pegangan.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Brajageni.
Tubuhnya cepat menyelinap ke belakang. Dan setibanya di sana, cepat laksana
kilat, kedua tangannya menepuk tengkuk Rakapitu dan Gibang Gerakan Brajageni
cepat bukan mata. Terdengar suara keluhan lirih, disusul robohnya tubuh kedua
orang itu begitu kedua tangan Brajageni hinggap di sasaran. Rakapitu dan Gibang
kontan pingsan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Brajageni menyambar mereka sebelum menyentuh
tanah. Dan secepat itu pula laki-laki serba hitam itu melesat kabur dari situ,
sambil memanggul tubuh kedua orang
yang akan menjadi korbannya.
Baru saja tubuh Brajageni lenyap ditelan
kegelapan malam, para penduduk Desa Pucung muncul di tempat itu. Jumlah mereka
tak kurang dari dua puluh orang. Di tangan mereka semua
tergenggam sebatang obor, membuat suasana di tempat itu jadi terang-benderang.
Dengan dipimpin empat orang peronda lain yang tadi berjaga-jaga di pos, para
penduduk mencari-cari di sekitar tempat itu.
"Kau yakin suara kentongan itu berasal dari sini, Guriang?" tanya salah seorang
penduduk yang berusia setengah baya.
Guriang, yang ternyata adalah seorang pemuda, langsung menoleh.
"Aku yakin sekali, Paman," sahut Guriang, mantap.
"Kalau begitu, mari kita cari di sekitar sini!" seru laki-laki setengah baya
itu. "Hey...!" seru salah seorang penduduk. Telunjuk tangan kanannya menuding ke
tanah. Seperti mendapat aba-aba, belasan orang
rekannya menoleh ke arah yang ditunjuk, kemudian bergegas melangkah menghampiri.
Guriang membungkukkan tubuhnya, memungut
dua batang golok. Kemudian diperhatikannya golok itu dengan seksama.
"Ini golok Rakapitu dan Gibang," desak Guriang.
"Berarti mereka tadi berada di sini...," sambut seorang penduduk yang berbibir
tebal dan hitam.
"Benar!" sahut Guriang memberi dukungan.
"Mekipun tanda-tandanya sedikit, bisa diketahui kalau di sini telah terjadi
pertarungan...."
"Tapi, ke mana mereka..."!" tanya seorang penduduk yang bertubuh kecil kurus.
Tidak jelas, kepada siapa pertanyaan itu ditujukan. Dan andaikata ditujukan pun, orang yang
ditanya tidak akan bisa menjawabnya. Mereka semua memang sama-sama tidak tahu.
"Kita berpencar mencarinya," lagi-lagi Guriang yang mengambil keputusan cepat.
"Kita memecah diri menjadi empat kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari
lima orang. Bagaimana" Setuju"!"
"Setuju...!" sahut belasan orang penduduk serentak.
Guriang tersenyum lebar melihat sambutan yang menggembirakan itu. Setelah
merundingkan kembali, apa-apa yang hams dilakukan, keempat orang itu pun segera
berpencar. Dua puluh orang penduduk yang terbagi menjadi empat kelompok mulai menyusuri
sekitar daerah itu.
Mereka mencari-cari dengan penuh semangat.


Dewa Arak 17 Keris Peminum Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka menguak kerimbunan pepohonan dan
semak-semak seraya memanggil-manggil nama
kedua orang peronda itu. Tapi, tetap saja tidak ada tanda-tanda keberadaan
Rakapitu dan Gibang.
Akhirnya setelah lama mencari-cari tanpa hasil, para penduduk putus asa. Kedua
kaki mereka telah lelah sekali. Leher terasa sakit, dan suara pun serak karena
terlalu sering memanggil-manggil. Sedangkan, yang dicari tak kunjung datang.
Satu demi satu kelompok pencari itu mulai
kembali ke pos masing-masing dengan langkah lesu.
Mereka hanya dapat berharap, agar kedua orang itu selamat.
*** 7 Hari masih pagi di Desa Pucung. Matahari yang berbentuk bola raksasa baru saja
muncul di ufuk Timur. Warnanya merah jingga. Suasana pagi yang semula sunyi,
mendadak dipecahkan oleh teriakan keras diiringi sesosok tubuh yang berlari
terpontang-panting.
Menilik dari pakaiannya, dia pasti penduduk Desa Pucung. Orang itu terus saja
berlari cepat, sekalipun telah memasuki desa. Tentu saja hal ini menarik
perhatian beberapa penduduk lainnya.
"Ada apa, Soma?" tanya seorang yang rambutnya dikuncir, pada laki-laki
berpakaian kuning yang tengah berlari-lari itu.
Tapi Soma sama sekali tidak menghiraukannya, dan malah terus saja berlari. Hal
ini membuat laki-laki berkuncir itu penasaran. Segera perhatiannya dialihkan
pada orang yang berada di sebelahnya.
"Ada apa?" tanya laki-laki berkuncir itu.
Tapi orang yang ditanya juga hanya meng-
gelengkan kepala.
"Sepertinya dia menuju ke rumah kepala desa,"
tebak seorang penduduk yang bermata picak.
"Pasti ada sesuatu yang akan dilaporkannya,"
sambut laki-laki yang berambut dikuncir.
Karena perasaan ingin tahu, orang-orang itu pun bergerak mengikuti. Dan memang,
apa yang dikatakan orang bermata picak itu benar. Soma ternyata menuju rumah
kepala desa. "Ki..! Ki...!" masih dalam keadaan berlari-lari, dan
dalam jarak tak kurang dari lima tombak, laki-laki berpakaian kuning itu
berteriak-teriak memanggil Ki Jayus yang kebetulan tengah berada di halaman.
Karuan saja hal ini membuat Kepala Desa Pucung itu terperanjat.
"Ada apa"!" tanya Ki Jayus ketika Soma telah berada di hadapannya.
"Anu, Ki...." Dengan terputus-putus karena napasnya masih memburu, Soma berusaha
berbicara. "Tenanglah dulu," ujar Ki Jayus pelan. "Kau tidak akan bisa mengatakannya kalau
tidak tenang dulu."
Laki-laki berpakaian kuning yang bernama Soma itu terdiam, berusaha menenangkan
diri. "Tarik napas dalam-dalam, lalu keluarkan," saran Ki Jayus.
Kembali laki-laki setengah baya itu menuruti anjuran Kepala Desa Pucung itu.
Napasnya segera ditarik dalam-dalam, lalu dihembuskan kuat-kuat.
Memang setelah beberapa kali melakukan hal itu, dia mulai merasa tenang.
"Sekarang, katakanlah. Mengapa kau bersikap seperti itu?" ujar Ki Jayus penuh
wibawa. "Mereka, Ki. Aku telah menemukannya," Soma berusaha menjelaskan.
"Mereka siapa?" Ki Jayus mengerutkan kening.
"Bicaralah yang jelas!"
"Rakapitu dan Gibang, Ki."
"Rakapitu dan Gibang"!" ulang Ki Jayus lambat-lambat. "Memangnya, ada apa dengan
kedua orang itu"!"
"Jadi..., kau belum mengetahuinya, Ki?" sekarang malah laki-laki berpakaian
kuning itu yang terheran-heran.
"Mengetahui" Mengetahui apa"!" tanya Ki Jayus,
tak mengerti. "Rakapitu dan Gibang hilang secara aneh semalam, setelah memukul kentongan tanda
bahaya," jelas laki-laki berpakaian kuning itu.
"Heh"! Mengapa aku tidak diberi tahu"!" ada nada teguran dalam pertanyaan itu.
"Kami belum sempat memberitahukanmu, Ki,"
selak sebuah suara menyahuti, sebelum Soma menjawab.
Serentak Ki Jayus dan laki-laki setengah baya menoleh ke arah asal suara. Di
sana berdiri Guriang dan tiga orang lainnya. Mereka berempat adalah yang
bertugas ronda semalam.
"Semalam kami ingin memberitahukanmu, tapi malam sudah terlalu larut. Dan
menjelang dini hari, kami terpaksa mengurungkannya. Maaf, Ki. Kami tidak ingin
mengganggumu," jelas Guriang mewakili rekan-rekannya.
"Hm...," hanya gumaman tak jelas yang menyambuti ucapan pemuda bertubuh kekar
itu. "Rencananya, pagi ini kami akan memberitahumu.
Sekalian meneruskan pencarian. Tapi, rupanya kami sudah didahului Kakang Soma."
"Aku telah menemukan mereka, Guriang," jelas Soma.
"Aku telah mendengarnya tadi, Kang," sahut Guriang. "Bagaimana keadaan mereka?"
"Tidak ada harapan sama sekali," sahut Soma bernada mengeluh.
"Jadi...?" suara Guriang tercekat di tenggorokan.
"Ya," Soma menganggukkan kepala. "Mereka tewas."
"Ya, Tuhan...!" hampir berbareng, semua mulut berseru.
"Mari kita ke sana...!" ajak Ki Jayus yang terlebih dulu sadar dari
kesedihannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, keenam orang itu segera meninggalkan tempat
itu, menuju tempat Rakapitu dan Gibang ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa
lagi. Di tengah perjalanan mereka bertemu rombongan penduduk yang bermaksud menyusul
Soma. Dan begitu para penduduk itu mengetahui maksud rombongan kecil itu, mereka
juga ikut meng-gabungkan diri.
Semakin lama rombongan itu semakin banyak
jumlahnya. Dan menjelang mulut desa, Dewa Arak dan Wikalpa yang kebetulan ada di
situ segera meng-gabungkan diri. Suara riuh seperti ada serombongan lebah marah
terdengar ketika para penduduk berbicara satu sama lain.
Soma bertindak sebagai penunjuk jalan, membawa rombongan penduduk ini menuju
Hutan Dadap. "Bagaimana kau bisa menemukannya, Soma?"
tanya Guriang. Ada nada penasaran dalam suaranya.
Maklum, semalam dia bersama rekan-rekannya telah mencari-cari sampai semalam
suntuk, tapi tanpa hasil.
"Aku pun menemukannya secara tidak sengaja, Guriang. Kau tahu kan, aku selalu
mencari kayu bakar, di hutan ini. Dan secara tidak sengaja aku melihat mayat
mereka. Mengerikan!"
Setelah berkata demikian, Soma bergidik. Namun, Guriang tidak menanggapi.
Sehingga laki-laki setengah baya itu pun menghentikan ucapannya.
Tak lama kemudian rombongan penduduk Desa
Pucung ini telah memasuki Hutan Dadap. Soma terus berjalan di depan, sampai
akhirnya tiba di depan
sebatang pohon yang di sekitarnya terdapat semak-semak.
"Di situlah mayat mereka kutemukan," tunjuk laki-laki berpakaian kuning itu
memberi tahu. Telunjuk tangan kanannya menuding ke arah pohon dan semak-semak.
Guriang dan tiga orang rekannya segera
melangkah maju, lalu menguak kerimbunan semak-semak. Sementara yang lainnya
menunggu di tempat.
"Ah...!"
Terdengar jerit pelan bernada keluhan. Sesaat kemudian, keempat orang itu
bergerak terhuyung-huyung keluar kerimbunan. Wajah mereka tampak pucat pasi.
"Guriang! Ada apa..."!" tanya Ki Jayus tak sabar.
"Mengapa mayat mereka tidak dibawa keluar"!"
Tapi Guriang sama sekali tidak menyahuti pertanyaan Kepala Desa Pucung itu.
Tampak jelas kalau dia masih dilanda keterkejutan yang amat sangat.
Melihat hal ini, Wikalpa jadi tidak sabar lagi.
Segera kakinya melangkah, memasuki kerimbunan semak-semak itu.
Kini para penduduk kembali menanti, dengan perasaan tegang. Mereka ingin tahu,
apa yang akan terjadi lagi. Tapi, tidak terdengar suara keluhan sedikit pun dari
dalam kerimbunan semak-semak itu.
Bahkan tak lama kemudian, laki-laki berkumis jarang-jarang itu telah keluar dari
kerimbunan semak-semak.
Di bahu kanan kirinya sudah terpanggul dua sosok tubuh.
Dengan wajah tenang, Wikalpa menurunkan tubuh yang dipanggulnya. Memang yang
dikatakan Soma benar, bahwa dua sosok mayat itu adalah Rakapitu dan Gibang.
Tapi, keadaan mereka benar-benar
mengerikan. Kepala hampir terlepas dari leher, sedangkan tubuhnya kurus kering
dan pucat seolah-olah tak ada darah setetes pun di tubuh mereka.
Bukan itu saja. Sekujur tubuh mereka juga penuh luka sayatan. Bahkan pakaian
kedua orang itu compang-camping.
Arya mengerutkan alisnya. Kembali Dewa Arak melihat mayat-mayat dengan luka-luka
yang sama dengan yang pernah ditemukannya. Apakah ada makhluk peminum darah yang
berkeliaran di desa ini" "Keparat...!" Ki Jayus, Kepala Desa Pucung itu
menggertakkan gigi begitu melihat mayat kedua orang warganya. "Iblis mana yang
telah melakukan semua ini"!"
Tapi tidak ada satu pun warganya yang menjawab pertanyaan itu. Mereka semua sama
menundukkan kepala.
"Guriang...! Bagaimana ini bisa terjadi"! Bukankah Rakapitu dan Gibang bertugas
bersamamu?"
Guriang mengangkat kepala, menatap sebentar wajah Ki Jayus.
"Maafkan aku, Ki," pinta Guriang. "Waktu peristiwa itu terjadi, aku tidak berada
bersama mereka."
"Hm.... Lalu, kau berada di mana"!" sentak Ki Jayus.
"Aku dan yang lain berada di gardu jaga, Ki.
Sementara Rakapitu dan Gibang berkeliling."
"Hm...," hanya gumaman pelan yang keluar dari mulut Kepala Desa Pucung itu.
"Ki...," sapa Arya begitu mendapat kesempatan.
"Ada apa, Arya?" tanya Ki Jayus seraya menoleh ke arah pemuda berambut putih
keperakan itu. "Apakah ini adalah kejadian yang baru pertama
kali?" tanya Arya ingin tahu.
"Tidak, Arya," Ki Jayus menggelengkan kepala. "Ini adalah kejadian yang kedua
kalinya. Kejadian pertama telah menimpa Empu Sawung."
Dewa Arak menganggukkan kepala. Jadi, ini
adalah kejadian ketiga kalinya yang dilihat Arya. Yang kedua adalah sosok hitam
yang kemudian dikubur-kannya.
"Keadaan mayat mereka mengerikan sekali, Ki,"
kata Arya lagi. "Sepertinya darah di seluruh tubuh mereka habis! Apa mungkin di
desa ini ada makhluk peminum darah?"
Ki Jayus mengangkat bahu.
"Aku sama sekali tidak tahu, Arya. Tapi yang jelas, aku belum pernah
mendengarnya."
Dewa Arak terdiam.
"Nanti malam penjagaan harap lebih ditingkatkan.
Kalian semua harus bersikap waspada. Begitu melihat gelagat mencurigakan, lekas
pukul kentongan secepatnya," ujar Ki Jayus pada Guriang.
"Baik, Ki," semua kepala terangguk pelan.
"Bagus! Sekarang mari kita kembali, mengurus mayat kedua orang ini dulu," ujar
Ki Jayus lagi. Sesaat kemudian, rombongan penduduk Desa
Pucung itu pun bergerak meninggalkan Hutan Dadap.
*** Malam itu suasana terasa lebih menyeramkan.
Kematian demi kematian yang datang susul-
menyusul, benar-benar membuat Desa Pucung geger.
Para penduduknya kini dicekam rasa ketakutan.
Mereka khawatir, kalau pembunuh misterius itu akan mendatangi mereka.
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan terdengar mengusik keheningan malam sepi yang hanya dihiasi
bulan sabit di langit.
Guriang dan ketiga orang kawannya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Masing-
masing mengawasi arah yang berlainan.
"Hei...!" seru Guriang kaget. Mendadak saja, sesosok bayangan hitam bertubuh
tinggi kurus tampak melesat cepat ke arahnya. Pemuda bertubuh pendek kekar ini
memang bertugas mengawasi belakang. "Cepat menyingkir...!"
Seraya berseru demildan, Guriang melompat ke samping, dan membuang tubuhnya ke
tanah. Begitu juga ketiga orang kawannya. Maka serangan sosok hitam itu hanya
mengenai tempat kosong.
"Cepat pukul kentongan...!" teriak Guriang keras seraya melompat menyerang sosok
hitam itu. Golok di tangannya membabat cepat ke arah leher sosok bercaping itu.
"Hmh...!"
Sosok hitam yang jika dibuka selubung kain hitamnya adalah Brajageni, hanya
mendengus. Tangan kirinya bergerak cepat ke arah golok yang menyambarnya.
Tappp...! Guriang terbelalak kaget ketika goloknya dapat dicengkeram lawan. Dan sekali
Brajageni bergerak membetot, kontan tubuh pemuda pendek kekar ini terhuyung ke
depan. Di saat itulah telunjuk kanan laki-laki tinggi kurus ini bergerak cepat
ke arah dada. Tidak ada pilihan lagi bagi Guriang, kecuali melepaskan goloknya dan melempar
tubuh ke belakang. Maka, serangan Brajageni hanya mengenai tempat kosong. Pada saat yang
sama, salah seorang
peronda telah memukul kentongan.
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan tanda bahaya terdengar keras menguak keheningan malam sepi.
Brajageni menggertakkan gigi. Sayang, dia harus berusaha keras agar calon
korbannya tidak mati.
Korbannya harus dibawa dalam keadaan hidup kalau ingin darah itu berguna untuk
kerisnya. Dengan perasaan geram, Brajageni melompat
menyerang. Laki-laki tinggi kurus ini tahu, kalau dia harus bertindak cepat.
Masalahnya, orang-orang pasti akan berkumpul di sini.
Maka tanpa ragu-ragu lagi, segera dikerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya.
Betapapun Guriang dan ketiga orang kawannya telah
mengerahkan seluruh kemampuan, namun dalam dua gebrakan saja, laki-laki tinggi
kurus ini telah berhasil menotok lemas dua orang lawannya.
Dan secepat kedua orang itu roboh, secepat itu pula Brajageni memanggulnya.
Kemudian, laki-laki tinggi kurus itu membawanya kabur.
Di saat itulah, melesat sesosok bayangan ungu.
Dan dengan gerakan indah dan manis, sosok
bayangan itu bersalto beberapa kali di udara, kemudian hinggap di hadapan
Brajageni. "Mau lari ke mana, Penjahat Keji"!" bentak sosok ungu yang tak lain dari Dewa
Arak. Sepasang mata pemuda berambut putih keperakan itu merayapi sekujur tubuh
laki-laki bercaping.
Brajageni tercenung bingung. Dia kini tengah memanggul tubuh dua orang
korbannya. Lalu, bagaimana mungkin melawan Dewa Arak" Di saat laki-laki bertubuh
tinggi kurus ini kebingungan, sesosok bayangan merah tiba-tiba menerjang dari
udara ke arah Dewa Arak dengan serangan totokan-totokan jari tangan terbuka
lurus ke arah ubun-ubun dan pelipis.
Arya terperanjat. Sama sekali tidak disangka akan mendapat serangan mendadak dan
dahsyat begitu.
Tanpa pikir panjang lagi, pemuda berambut putih keperakan itu membalikkan tubuh
dan menggerakkan tangan menangkis.
Plak, plak, plak...!
Terdengar benturan keras seperti dua batang logam beradu ketika dua pasang
tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan.
Akibatnya sungguh hebat! Tubuh Dewa Arak
terhuyung dua langkah ke belakang. Sekujur tangannya terasa bergetar hebat.
Sementara sosok bayangan merah itu terpental balik ke atas.
Arya terkejut. Disadari kalau penyerangnya memiliki tenaga dalam amat kuat.
Tenaga sosok bayangan merah itu tidak kalah dengan tenaganya sendiri.
Sebenarnya, bukan hanya Dewa Arak saja yang terkejut. Ternyata sosok bayangan


Dewa Arak 17 Keris Peminum Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merah itu pun dilanda perasaan yang sama. Dan dengan gerakan indah dan manis,
kakinya mendarat di tanah.
Brajageni tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Dia tahu kalau sosok bayangan merah itu adalah gurunya yang berjuluk Raja Racun
Muka Putih. Maka tanpa pikir panjang lagi, laki-laki bertubuh tinggi kurus ini
melesat kabur. "Hey...!" seru Arya keras seraya melesat memburu.
Tapi sebelum maksud Dewa Arak terlaksana,
sesosok bayangan merah telah berkelebat cepat dan tahu-tahu telah berada di
hadapannya. Mau tak mau Arya terpaksa mengurungkan niatnya untuk mengejar
Brajageni. Sosok bayangan merah di hadapannya ini memang seorang lawan yang amat
tangguh. Dalam keremangan malam yang hanya diterangi cahaya bulan, Dewa Arak menatap
penyerangnya. Dia adalah seorang kakek bertubuh sedang, berpakaian serba merah.
Kumis dan jenggotnya berwarna hitam.
Sangat pas sekali dengan kulit wajahnya yang putih seperti kapur. Kulit wajahnya
yang putih, nampak terlihat jelas dalam suasana malam kelam.
"Ha ha ha...!" Raja Racun Muka Putih tertawa keras sekali. Bahkan bagai
menggelegar seperti guntur.
Jelas kalau tawanya disertai pengerahan tenaga dalam.
Dan akibatnya sungguh hebat. Guriang dan
seorang temannya yang masih berada di situ seketika terjungkal jatuh. Dari
mulut, hidung, dan telinga kedua orang itu mengalir darah segar. Yang pasti,
mereka tewas seketika dengan dada pecah.
Arya kaget bukan main, merasakan pengaruh
suara tawa itu. Dadanya tergetar hebat dan telinganya pun berdengung keras.
Buru-buru tenaga dalamnya dikerahkan untuk menahan serangan tawa Raja Racun Muka
Putih. Belasan orang penduduk yang berdatangan, dan berada dalam jarak yang cukup jauh
pun mengalami akibat yang serupa. Tubuh mereka terjungkal, lalu buru-buru
mendekapkan kedua tangan ke telinga dalam usaha menahan serangan suara tawa itu.
Meskipun tidak melihat, Arya tahu apa yang dialami para penduduk itu. Dan kalau
dibiarkan, mereka semua akan tewas. Maka pemuda berambut putih keperakan ini
segera menghentakkan kedua tangannya ke arah lawan menggunakan jurus
'Pukulan Belalang'.
Wusss...! Angin keras berhawa panas menyengat,
menyambar ke arah Raja Racun Muka Putih. Seketika tokoh sesat yang menggiriskan
ini terperanjat, mengenali serangan berbahaya itu. Maka tanpa membuang-buang
waktu lagi, tubuhnya segera dilempar ke samping dan bergulingan di tanah.
Dengan sendirinya, suara tawanya pun terhenti.
Tanpa diduga, begitu kakek bermuka putih ini bangkit dari berguling, tubuhnya
langsung melesat ke arah kerumunan penduduk yang tadi terjungkal di tanah sambil
mendekap telinga. Dan sekali tangan kakek ini terulur, dua sosok tubuh telah
berada dalam panggulannya.
Tentu saja Dewa Arak tidak membiarkan begitu saja. Cepat laksana kilat tubuhnya
melompat memburu. Tapi, rupanya hal itu sudah diperhitungkan Raja Racun Muka
Putih. Tangan kanannya yang bebas langsung dikibaskan. Maka sekumpulan benda-
benda berbentuk serbuk berbau amis memuakkan,
meluncur ke arah Arya.
Pemuda berambut putih keperakan ini tidak punya pilihan lagi, kecuali cepat
melompat ke samping dan bergulingan di tanah. Untunglah taburan serbuk beracun
dari lawannya mengenai tempat kosong.
Raja Racun Muka Putih memang tidak bermaksud sungguh-sungguh menyerang. Serangan
itu ternyata dimaksudkan hanya untuk mencegah usaha Dewa Arak menghalangi
kepergiannya. Maka begitu Arya mengelak, kesempatan ini segera dipergunakannya.
Tubuhnya melesat cepat bagai kilat. Dan dalam sekejapan saja, tubuhnya sudah
lenyap ditelan kerimbunan pepohonan di tengah kegelapan malam.
8 "Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat, dan sama
sekali tidak mengejar. Dia merasa, hal itu sama sekali tidak ada gunanya. Maka
bergegas perhatiannya dialihkan pada para penduduk desa yang masih terduduk di
tanah. "Mana Ki Jayus dan Wikalpa?" tanya Arya, setelah tidak melihat adanya kedua
orang itu dalam kerumunan penduduk.
Tidak ada satu pun penduduk yang menyahut.
"Aneh...," gumam Dewa Arak pelan. "Kedua orang itu tidak pernah ada setiap kali
terjadi pembunuhan seperti ini."
"Kau menduga, mereka pelakunya, Dewa Arak?"
tanya Soma begitu mendengar nada suara Arya.
"Tidak sampai sejauh itu. Aku hanya agak curiga saja. Ketidakhadiran merekalah
yang membuatku curiga. Apalagi ciri-ciri kedua orang itu mirip sosok hitam
bercaping," sahut Arya tidak berani menduga sembarangan. "Tapi yang membuatku
ragu, mengapa sampai kedua-duanya tidak hadir pada setiap kejadian."
"Jadi, salah satu di antara mereka kau curigai sebagai pelakunya, Dewa Arak?"
desak Soma lagi.
Perlahan kepala Arya mengangguk.
"Andaikata benar, siapa di antara kedua orang itu yang lebih kau curigai?" tanya
Soma ingin tahu.
"Ki Jayus," kata Arya pelan.
"Hm...! Mengapa bukan Wikalpa, Dewa Arak"!"
Soma terkejut. "Aku lebih condong padanya."
"Mengapa?" tanya Arya ingin tahu.
"Gerak-geriknya kasar. Dan lagi, pakaiannya pun cocok dengan orang tadi," sahut
laki-laki berpakaian kuning memberi alasan.
"Aku lebih condong pada Ki Jayus," pelan suara Dewa Arak.
"Apa dasarnya hingga kau menuduh begitu?" kejar Soma. Rasa penasarannya
terdengar jelas dalam suaranya.
Arya menarik napas dalam-dalam dan meng-
hembuskannya kuat-kuat, sebelum menjawab pertanyaan itu.
"Seorang pembunuh yang tidak ingin dikenali, dengan sendirinya berusaha
menyamarkan diri.
Wikalpa terlalu menonjol sikap kasarnya. Juga pakaiannya. Jadi, itulah sebabnya
aku lebih condong pada Ki Jayus," urai Dewa Arak panjang lebar.
Soma kontan terdiam, kemudian bangkit berdiri.
Sikapnya diikuti penduduk lainnya. Mereka juga tak lupa membawa mayat Guriang
dan rekannya. Arya pun melangkah di belakang mereka.
Menjelang tembok batas desa, tampak sosok berpakaian putih berlari-lari
menyambut. Sosok itu bertubuh tinggi kurus.
Baik Dewa Arak maupun penduduk Desa Pucung segera mengetahui, siapa adanya sosok
berpakaian putih itu. Meskipun jaraknya masih cukup jauh, namun potongan tubuh
sosok itu sangat dikenal.
Siapa lagi kalau bukan Ki Jayus!
Dugaan mereka memang tidak salah! Laki-laki berpakaian putih itu memang Ki
Jayus, Kepala Desa Pucung. Seketika jantung Dewa Arak dan Soma
berdebar tegang, karena teringat akan pembicaraan tadi.
Begitu telah berada dekat mereka, tanpa mempedulikan yang lain, Ki Jayus berlari
mendekati Dewa Arak. Kemudian ditariknya tangan Dewa Arak, men-jauhkannya dari
rombongan penduduk
"Kalian berangkat lebih dulu...!" seru Ki Jayus pada para penduduk yang
menghentikan langkah, dan baru kembali berjalan setelah mendengar perintah itu.
Setelah rombongan penduduk itu melangkah pergi, Ki Jayus menarik tangan Arya
melangkah meninggalkan tempat itu. Mereka menuju arah yang berlawanan.
"Ada apa, Ki?" tanya Arya. Teringat akan dugaannya, membuat pemuda berambut
putih keperakan ini bersikap waspada.
Ki Jayus tidak langsung menjawab, tapi terus saja melangkah. Arya yang merasa
penasaran terpaksa mengikuti, meskipun kini tangannya tidak dituntun seperti
tadi. "Aku telah mengetahui tempat persembunyian orang bercaping itu, Arya," jelas
Kepala Desa Pucung pelan seraya menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri sambil
tetap melangkah. Jelas kalau Ki Jayus tidak ingin ada orang lain yang mendengar
ucapannya. "Benarkah apa yang kau katakan itu, Ki?" tanya Arya meminta ketegasan, seraya
ikut melangkah di sebelah Kepala Desa Pucung itu.
Ki Jayus menatap Arya tajam-tajam.
"Kau tidak mempercayaiku, Arya?" tanya laki-laki berpakaian putih itu. Ada nada
ketidaksenangan dalam suaranya.
"Bukannya tidak percaya, Ki," sahut Arya mengelak. "Tapi merasa ragu...."
"Apa yang membuatmu ragu, Arya?" selak Ki Jayus ingin tahu.
"Dari mana kau mengetahui tempat tinggal orang bercaping itu, Ki?"
"Diam-diam aku mengikutinya," sahut laki-laki berpakaian putih itu.
Dewa Arak menoleh. Menatap wajah Ki Jayus
tanpa berkata-kata.
"Begitu mendengar suara kentongan tadi, aku segera menuju ke sana. Tapi, kulihat
kau tengah bertempur menghadapi seorang kakek berpakaian merah. Sementara orang
bercaping hitam kulihat melarikan diri sambil membawa dua orang wargaku.
Semula aku kebingungan, tapi akhirnya kuputuskan untuk mengikuti orang bercaping
itu. Ternyata usahaku tidak sia-sia, karena aku berhasil mengetahui sarangnya,"
jelas laki-laki berpakaian putih panjang lebar.
Arya tercenung mendengar uraian panjang lebar Ki Jayus. Hatinya jadi ragu dengan
dugaannya semula.
Kalau apa yang di katakan Kepala Desa Pucung ini benar, berarti orang bercaping
itu adalah Wikalpa!
Sementara, dugaan kalau orang bercaping adalah Ki Jayus kontan menguap. Memang,
rasanya tidak mungkin kalau Kepala Desa Pucung ini pelakunya.
Benar kata Soma. Pasti pembunuh biadab itu adalah Wikalpa!
"Sekarang apa rencanamu, Ki?"
"Kita serbu sarang mereka...!" sahut Ki Jayus.
Tegas dan mantap kata-katanya.
"Sekarang, Ki?" tanya Arya memastikan.
Ki Jayus menggelengkan kepala.
"Besok," jawab laki-laki berpakaian putih itu.
*** Hari masih pagi. Angin yang sejuk dan dingin berhembus pelan, terasa nikmat
sampai ke dalam dada. Tampak dua sosok tubuh melangkah pelan memasuki Hutan
Dadap. Dua sosok itu adalah Dewa Arak dan Ki Jayus.
"Ki...," ucap Arya memecah keheningan pagi.
"Hm...," hanya gumam pelan Ki Jayus yang menyambuti sapaan Arya.
"Apakah kau sanggup menghadapi orang bercaping itu?" tanya Arya ragu-ragu.
"Aku tidak berani memastikannya, Arya," jawab laki-laki berpakaian putih bernada
memutar. Dewa Arak terdiam, tidak berkata-kata lagi. Dan karena Ki Jayus juga tidak
berkata-kata lagi, suasana pun jadi hening. Kini yang terdengar hanyalah suara kerosak rerumputan
dan semak-semak kering yang terpijak kaki-kaki mereka.
Mendadak Arya mengernyitkan keningnya. Pendengarannya yang tajam menangkap
adanya suara langkah perlahan dan ringan di belakangnya. Tapi, dia berpura-pura
tidak tahu, dan terus saja melangkah.
Hanya saja, Dewa Arak mulai bersikap waspada, bersiap-siap menghadapi serangan
mendadak. "Masih jauhkah tempat itu, Ki?" tanya Arya lagi ketika mereka telah semakin jauh
masuk ke dalam hutan.
Tidak ada sahutan yang menyambuti pertanyaan Dewa Arak. Karuan saja hal itu
mengherankan hati Arya. Apalagi ketika beberapa saat menunggu, juga tak
terdengar sahutan.
"Hih...!"
Mendadak Ki Jayus mendoyongkan tubuh ke
kanan sambil mengirimkan kibasan tangan kiri ke arah pelipis Arya. Karuan saja
hal ini membuat pemuda berambut putih keperakan ini terkejut. Sama sekali tidak
disangka kalau akan mendapat serangan maut yang dilakukan dalam jarak dekat dan
tiba-tiba sekali.
Tapi Dewa Arak adalah tokoh berkepandaian
tinggi, yang telah kenyang bertempur menghadapi tokoh-tokoh licik dan
menggiriskan. Sudah tak ter-hitung lagi ancaman maut dan serangan mendadak yang
dihadapinya. Maka meskipun berada dalam keadaan gawat
seperti itu, Dewa Arak masih mampu menyelamatkan diri. Cepat-cepat tubuhnya
didoyongkan ke kiri, sehingga kibasan itu mengenai tempat kosong. Hanya berjarak
sekitar tiga jari dari sasaran semula.
Menilik dari rambut dan pakaian Arya yang ber-kibaran keras, bisa diperkirakan
kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu.
Belum juga Dewa Arak berbuat sesuatu, Ki Jayus telah melancarkan serangan
susulan. Laki-laki berpakaian putih ini mengirimkan tendangan miring ke arah
pelipis, sambil memutar tubuh.
Arya tetap bersikap tenang, karena sudah tidak berada dalam keadaan berbahaya
lagi. Namun demikian, dia masih berada dalam keadaan terdesak.
Tanpa ragu-ragu, segera ditangkisnya serangan lawan dengan tangan kanan.
Plakkk...! Ki Jayus memekik tertahan. Tubuh laki-laki ini terhuyung dua langkah ke
belakang. Sementara, Dewa Arak hanya merasakan tangan yang berbenturan dengan
kaki Kepala Desa Pucung itu bergetar. Dan hebatnya, kuda-kudanya sama sekali
tidak bergeming.
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa terbahak-bahak mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sesaat kemudian, di belakang Ki Jayus telah berdiri Raja Racun Muka Putih.
"Ini milikmu, Brajageni...!" kata Raja Racun Muka Putih seraya menyerahkan
sebilah keris kepada Ki Jayus. Laki-laki berpakaian putih itu langsung
menerimanya. "Brajageni"!" ulang Dewa Arak.
"Ha ha ha...!" Raja Racun Muka Putih tertawa bergelak. "Brajageni tunjukkanlah
padanya siapa diri-mu."
"Baik, Guru," sahut Ki Jayus yang ternyata adalah Brajageni. Kemudian laki-laki
berpakaian putih ini menyelinap ke balik rerimbunan pohon.
Begitu tubuh Kepala Desa Pucung itu lenyap di balik kerimbunan pepohonan, Arya
kembali mengalihkan perhatian pada Raja Racun Muka Putih.
Kakek berpakaian merah itu juga balas menatap, tak kalah tajam.
Tapi sebelum kedua orang ini berbuat sesuatu, terdengar bentakan keras.
"Mau kabur ke mana lagi kau, Raja Racun..."!"
Berbareng dengan lenyapnya bentakan itu, tiba-tiba di dekat Arya telah berdiri
seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus.
"Wikalpa...," desis Arya.
"Malaikat Halilintar...," desah Raja Racun Muka Putih. Ada nada kegentaran dalam
nada suaranya. Sepasang matanya menatap penuh rasa tak percaya pada sosok yang berdiri di
hadapannya. "Malaikat Halilintar...?" desis Arya tak percaya.
Dewa Arak memang pernah mendengar julukan
itu. Memang, Malaikat Halilintar adalah seorang pendekar yang terkenal memiliki
kepandaian amat tinggi. Hanya sayangnya, dia telah mengundurkan diri dari dunia
persilatan. Sungguh tidak disangka kalau tokoh itu tiba-tiba ada di sini. Kini
Dewa Arak tahu, langkah ringan yang tadi didengarnya adalah langkah kaki
Malaikat Halilintar.
"Uruslah pembunuh itu, Arya," ujar Wikalpa alias Malaikat Halilintar. "Biar aku
yang mengurus orang ini."
Dewa Arak tidak membantah. Bergegas disusulnya Brajageni, alias Ki Jayus. Dan
kedatangannya bertepatan dengan selesainya laki-laki bertubuh tinggi kurus itu
berganti pakaian.
Brajageni terperanjat, namun sekejap kemudian, sudah bisa menguasai diri. Sambil
berteriak keras, laki-laki bertubuh tinggi kurus ini menghunus kerisnya.
Srattt..! Bulu tengkuk Dewa Arak meremang ketika melihat keris yang digenggam Brajageni,
karena memiliki perbawa yang begitu menggiriskan. Jantung Arya berdetak keras
tanpa mampu menahannya. Ada hawa dingin yang memancar dari bilah keris itu.
Tahu akan keampuhan keris lawan, Dewa Arak tidak berani bersikap main-main lagi.
Cepat-cepat guci araknya diangkat, lalu dituangkan ke mulut.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Arya.


Dewa Arak 17 Keris Peminum Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baru saja Dewa Arak menurunkan guci itu,
Brajageni sudah melompat menerjang. Keris di tangannya ditusukkan cepat ke arah
leher Arya. Dewa Arak terperanjat kaget, merasakan hawa dingin yang amat sangat menyambar
sebelum serangan-serangan keris itu tiba. Hawa dingin itu membuat sekujur otot-otot
tubuh Dewa Arak kaku seperti tak bisa digerakkan. Bahkan giginya pun
bergemeletukan.
Begitu serangan itu menyambar dekat, hawa
dingin yang menyerang Dewa Arak semakin menjadi-jadi. Buru-buru Arya mengerahkan
ilmu 'Tenaga Sakti Inti Matahari'nya untuk menghilangkan pengaruh hawa dingin
yang membuatnya sukar bergerak!
Untung Dewa Arak bertindak cepat. Kalau tidak, mungkin sudah tersambar keris
Brajageni karena otot-ototnya mendadak kaku. Berkat ilmu 'Tenaga Sakti Inti
Matahari', pemuda berambut putih keperakan itu mampu menggerakkan ototnya
kembali, meskipun masih kaku.
Berbeda dengan biasanya, kali ini Arya tidak berani, mengelak tanpa berpindah
tempat. Apalagi tanpa berpindah kaki! Dewa Arak mengelak sejauh-jauhnya, dengan
melempar tubuh ke belakang. Dia bersalto beberapa kali di tanah, kemudian
hinggap dengan agak terhuyung karena kekakuan yang melanda otot-ototnya.
Sesaat kemudian, pertarungan sengit yang tidak menarik pun terjadi. Untuk
pertama kali dalam hidupnya, Dewa Arak mengalami kesulitan me-mainkan ilmu
'Belalang Sakti'nya.
Ilmu 'Belalang Sakti' adalah ilmu yang meng-andalkan kelenturan otot. Tenaga
yang terkandung dalam setiap serangan ilmu 'Belalang Sakti', adalah pengerahan
tenaga yang teratur dan tiba-tiba. Jadi perubahan yang mendadak seperti yang
dialami Dewa Arak ini sungguh menyulitkannya dalam
menguasai ilmu 'Belalang Sakti'.
Dan kali ini, Dewa Arak seperti tidak bisa menggunakan ilmu. 'Belalang Sakti'
dengan sempurna.
Gerakannya kaku dari patah-patah. Menyerang pun kelihatannya hampir tidak
pernah. Arya selalu mengajak lawan agar bertarung jarak jauh. Ini dilakukan agar
pengaruh keris tidak terlalu menekannya. Beberapa kali Dewa Arak menyerang lawan
dengan semburan araknya. Hebatnya, berkat tenaga dalamnya yang telah terlatih
baik, semburan arak itu tak kalah dengan serangan senjata rahasia lainnya! Bila
terkena, mampu merobek pakaian dan menembus daging!
Menggiriskan sekali akibat pertarungan yang terjadi antara Dewa Arak dan
Brajageni. Suasana di sekitar arena pertarungan diliputi hawa dingin menusuk
tulang. Sementara dari atas kepala Arya, mengepul uap berwarna putih tebal. Ini
karena Dewa Arak mengerahkan ilmu 'Tenaga Sakti Inti Matahari'
untuk mengurangi kekakuan yang melanda otot-ototnya.
"Haaat..!"
Brajageni yang merasa di atas angin melompat menerjang. Dan dari atas, kerisnya
ditusukkan ke arah ubun-ubun Arya.
Kali ini Arya tidak mengelakkan serangan. Dia, memekik keras seraya mengerahkan
seluruh tenaga dalam. Dan bersamaan dengan itu, gucinya segera disampirkan di
punggung. Lalu, kedua tangannya dihentakkan ke depan. Maka, angin keras berhawa
panas menyengat seketika berhembus keras ke arah laki-laki bercaping itu.
Memang, Dewa Arak mengerahkan jurus 'Pukulan Belalang'.
Hebat serangan beruntun yang dilakukan Dewa
Arak. Akibat teriakan yang dikeluarkannya, tubuh Brajageni yang tengah di udara,
kontan menggeliat.
Tangan kanannya yang memegang keris nampak menggigil. Dada laki-laki bertubuh
tinggi kurus ini terguncang hebat, dan telinganya pun terasa sakit bukan main.
Di saat itulah serangan jurus 'Pukulan Belalang'
Dewa Arak tiba, telak dan keras sekali menghantam dadanya. Seketika itu juga
tubuh Brajageni terlempar jauh ke belakang, dan kerisnya pun terlepas dari
pegangan, terlempar entah ke mana. Dari mulut, hidung, dan telinganya, mengalir
darah segar. Sekujur tubuhnya pun hangus. Brajageni tewas seketika sebelum
sempat menyentuh tanah.
Brukkk...! Dengan mengeluarkan suara berdebuk keras,
tubuh laki-laki tinggi kurus itu jatuh ke tanah.
"Hhh...!"
Arya menghela napas lega, kemudian mengusap peluh yang membasahi wajahnya dengan
punggung tangan. Ketika mata Dewa Arak melihat keris Brajageni yang terjatuh
tadi, dia lalu memungutnya.
Kemudian dimasukkan ke dalam sarungnya. Maka kini keris yang telah banyak
meminta korban itu diselipkan di pinggangnya. Terpaksa Arya mengambil keris yang
menggiriskan itu agar tidak jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab.
Telah dirasa-kannya sendiri kemukjizatan keris itu. Dia memutuskan untuk
menyimpannya di tempat yang aman.
"Sebuah pukulan jarak jauh yang ampuh...."
Tentu saja ucapan itu membuat Arya terperanjat.
Cepat dia menoleh ke arah asal suara, dan tampak Malaikat Halilintar tengah
memandangnya takjub.
"Ah! Kau terlalu memuji, Ki," sahut Arya malu-malu.
"O, ya. Bagaimana dengan Raja Racun...?"
"Hhh...!" Malaikat Halilintar menghela napas berat.
Diliriknya sebentar pinggang Arya. Memang laki-laki tinggi kurus ini melihat
pemuda berpakaian ungu itu menyelipkan keris. Tapi karena dia sendiri tengah
dilibat masalah, hal itu tidak dipedulikannya. "Dia kabur."
"Kabur?"
"Benar! Dia telah melemparkan sebuah benda kepadaku, kemudian meledak. Dan dari
situ, keluar asap hitam beracun. Di saat itulah dia kabur tanpa aku dapat
berbuat apa-apa."
"Kalau boleh kutahu, ada urusan apakah antara kau dengannya, Ki?" tanya Arya
hati-hati. "Dia membunuh muridku. Maka aku harus mencarinya, untuk membalaskan dendam.
Setelah bertemu, kami bertarung, dan dia berhasil ku-kalahkan. Tapi sayang, dia
berhasil melarikan diri dan bersembunyi. Bertahun-tahun aku berusaha mencarinya.
Sampai akhirnya, kulihat muridnya di Desa Pucung. Aku pun lalu tinggal di sini,
berpura-pura menjadi guru silat untuk anak-anak kecil."
Malaikat Halilintar menghentikan ceritanya sejenak.
"Dan akhirnya usahaku tidak sia-sia. Aku berhasil bertemu dengannya, hanya
sayang... Dia berhasil kabur...."
"Lalu, mengapa waktu itu kau sepertinya tidak menyukai kedatanganku, Ki?" tanya
Arya begitu teringat sikap laki-laki bertubuh tinggi kurus ini padanya.
"Aku khawatir, kau mengganggu usahaku. Takutnya pencarianku selama bertahun-
tahun akan sia-
sia." Mendadak Malaikat Halilintar menghentikan
ucapannya, lalu menoleh. Dewa Arak pun bersikap demikian. Mereka mendengar
banyak langkah kaki menuju ke arah mereka yang ternyata penduduk Desa Pucung.
"Aku pergi dulu, Dewa Arak. Aku harus mencari si keparat itu...!"
Setelah berkata demikian, Malaikat Halilintar melesat meninggalkan tempat itu.
Arya menatap tubuh laki-laki tinggi kurus itu sebentar, kemudian menatap ke arah
penduduk desa. Para penduduk memang tahu kalau dia dan Ki Jayus pergi untuk
menumpas pembunuh kejam itu.
Setelah menatap tubuh Brajageni sesaat, Dewa Arak kemudian melesat meninggalkan
tempat itu. Angin yang tidak lagi dingin menggigilkan, meniup kulit pemuda berambut putih
keperakan itu. SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujifenkikagawa)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Istana Sekar Jagat 3 Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long Bloon Cari Jodoh 2
^