Rahasia Surat Berdarah 3
Dewa Arak 07 Rahasia Surat Berdarah Bagian 3
kepalang. "Mari kuperkenalkan pada mereka, Ayah," ucap gadis itu lagi seraya berjalan
mendahului ayahnya yang sudah
melangkah ke arah Dewa Arak dan Melati.
"Inilah ayahku, Kang Arya, Kak Melari," ucap Nirmala memperkenalkan.
Sudiraja mengulurkan tangannya.
"Sudiraja,"
ucap laki-laki berperut gendut itu memperkenalkan diri.
"Arya Buana," sahut Dewa Arak sambil menyambut uluran tangan itu.
"Melati," sahut Melati pula.
Sudiraja menatap wajah kedua muda-mudi di hadapannya berganti-ganti.
"Terima kasih atas pertolongan yang kalian berikan pada anakku," ucap laki-laki
berperut gendut itu ramah.
"Ah...! Hanya kebetulan saja, KI," sahut Dewa Arak merendah.
Sudiraja hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kagum hatinya melihat kerendahan
hati pemuda berambut putih keperakan di hadapannya ini.
"Mari kita bicara di dalam saja," ajaknya sambil melangkah mendahului. Tidak ada
pilihan lain bagi Dewa Arak dan Mebti kecuali turut melangkah lebih dahulu.
*** Pandira dan Kanulaga yang sedang berbincang-bincang di ruangan tengah yang mewah
dan megah Itu menghentikan pembicaraan,
begitu mendengar banyak langkah kaki
mendekat. Tak lama kemudian pintu ruangan itu pun terkuak Kanulaga dan Pandira menduga-
duga dalam hati, siapakah orang-orang
yang menuju ruang ini. Bukankah ruang ini khusus untuk Sudiraja"
Semula Kanulaga dan Pandira tidak heran begitu melihat orang yang pertama kali
muncul. Tapi sepasang alis mereka berkerut ketika melihat seorang gadis cantik
berpakaian serba merah, melangkah di belakang laki-laki berperut gendut itu.
Wajar apabila Kanulaga sama sekali tidak mengenal
Nirmala. Gadis berpakaian serba merah ini belum berumur lima tahun ketika laki-
laki berwajah keras ini pergi mengembara.
Pandira saja mengagumi kecantikan Nirmala, apalagi
Kanulaga yang masih muda dan berdarah panas. Pandang matanya tidak berkedip
memperhatikan Nirmala dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Sepasang mata Kanulaga semakin terbelalak lebar ketika dari balik pintu itu
masuk lagi seorang gadis berpakaian serba putih. Tak kalah cantiknya dari gadis
berpakaian serba merah tadi.
Tapi pandang mata kekaguman Kanulaga dan Pandira
segera lenyap, begitu melihat orang terakhir yang masuk ke dalam ruangan.
Seorang pemuda berambut putih keperakan, berbaju ungu. Sebuah guci arak terbuat
dari perak, tersampir di punggungnya.
Berbeda dengan Sudiraja. Kanulaga dan Pandira tahu
pergolakan yang terjadi di dunia persilatan. Mereka telah mendengar berita yang
menggemparkan tentang munculnya tokoh muda berilmu tinggi, berjuluk Dewa Arak.
Inikah tokoh yang menggemparkan itu" tanya mereka dalam hati.
"Kau kenal gadis ini, Kanulaga?" tanya Sudiraja pada putra sulungnya. Kepalanya
ditolehkan ke arah Nirmala. Sementara gadis berpakaian merah itu hanya tersenyum
geli dalam hati.
Laki-laki berwajah keras itu menggelengkan kepalanya.
"Kau tidak mengenalnya"!" tanya Sudiraja lagi setengah tidak percaya.
'Tidak, Ayah," jawab Kanulaga, setelah dipandanginya kembali gadis berpakaian
merah itu lekat-lekat
"Ha ha ha...!" laki-laki berperut gendut itu tertawa terbahak-bahak. Tentu saja
hal ini membuat Kanulaga terheran-heran.
"Dia adikmu, Kanulaga," jelas Sudiraja setelah rasa gelinya lenyap.
Kanulaga terlongong.
"Adikku?" tanya laki-laki berwajah keras iri tak percaya.
"Dia.. dia Nirmala...?" Kanulaga agaknya masih belum mempercayai ucapan ayahnya.
"Benar," sahut Sudiraja. Sementara Nirmala tidak dapat menahan perasaan geli
melihat kebingungan kakak sulungnya
"Anak nakaL..! Awas! Nanti kujewer telingamu...!" gurau Kanulaga dengan hati
gembira. "Lalu kedua orang ini siapa, Kang?" tanya Pandira sambil menatap Melati dan Dewa
Arak. "Mereka adalah penolong-penolong Nirmala. Yang gadis bernama Melati. Dan pemuda
ini bernama Arya Buana," jelas Sudiraja seraya menepuk-nepuk bahu Arya.
"Ah..., Dewa Arak...!" seru Kanulaga dan Pandira berbareng. Memang sudah menjadi
rahasia umum kalau nama Dewa Arak yang sesungguhnya adalah Arya Buana.
"Sungguh tidak disangka,
pendekar yang tersohor
sepertimu bisa sampai ke Kadipaten Palangka ini," desah Pandira setengah tidak
percaya. "Hanya kebetulan lewat. Paman," sahut Dewa Arak merendah seraya menatap wajah
laki-laki berkumis lebat itu.
"Ayo, Nirmala. Ceritakan pada Ayah dan semua yang ada di sini, pengalaman yang
kau alami," ucap Sudiraja.
Nirmala pun menceritakan semuanya. Mulai dari surat yang bisa sampai ke
tangannya atas pertolongan Dewa Arak dan Melati, hingga dirinya diselamatkan
dari tangan orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Aneh sekali...," desah Pandira begitu Nirmala mengakhiri ceritanya. Sebagai
seorang pengawal rahasia Adipati, laki-laki berkumis
lebat ini dapat merasakan adanya hal-hal
mencurigakan dalam kejadian yang dialami Nirmala.
Semua mata kini tertuju pada Pandira. Mereka menunggu kelanjutan ucapan yang
akan disampaikan pengawal rahasia Adipati Palangka ini.
"Apa yang aneh, Adi Pandira?" tanya Sudiraja.
Laki-laki berkumis lebat itu menatap tajam wajah Sudiraja.
"Sepengetahuanku,
yang mengetahui kalau Kakang mengirim surat untuk memanggil Nirmala dan Jalatara hanya Kakang Sudiraja
sendiri, aku, dan Kanulaga. Lalu mengapa sampai diketahui orang Perkumpulan
Kalajengking Merah?"
Ada nada kecurigaan dalam suara pengawal rahasia Adipati Palangka. Sementara
Dewa Arak hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam-diam dikaguminya kecerdikan
laki-laki berkumis lebat ini.
Kanulaga menarik napas panjang.
"Memang, aku telah menceritakan hal ini," ucap laki-laki berwajah keras pelan.
Ada nada penyesalan dalam suaranya.
"Kau"l" Sudiraja membelalakkan sepasang matanya.
Sementara berpasang-pasang mata lainnya juga tertuju pada putra sulung Sudiraja
ini. "Sudah kuduga...," sambut Pandira cepat "Pada siapa kau menceritakannya,
Kanulaga?"
"Ki Toji"
"Ki Tojl"!" Sudiraja mengerutkan alisnya. Sementara yang lain memandang pada
laki-laki berperut gendut Ini dengan sinar mata bingung.
"Siapa itu Ki Taji, Kang?" tanya Pandira lagi.
"Kepala urusan dalam rumah tangga. Tapi mungkinkah dia anggota gerombolan itu?"
tanya Sudiraja setengah tidak percaya.
"Kemungkinan itu bisa juga. Kang. Bagaimana denganmu, Dewa Arak?" tanya Pandira
sambil menoleh pada Arya yang sejak tadi hanya diam saja mendengarkan.
Kini semua mata tertuju pada Dewa Arak Tanpa setahu mereka, sejak tadi pun sudah
ada sepasang mata yang menatap Dewa Arak secara sembunyi-sembunyi. Sepasang mata
bening dan indah milik Nirmala.
"Sejak pertama kali membaca surat itu, sebenarnya aku sudah menduga adanya orang
dalam rumah Ini yang menjadi anggota gerombolan itu," jelas Dewa Arak. Nada
bicaranya hati-hati. Pemuda itu tidak ingin menyinggung perasaan orang-orang
yang ada di ruangan ini.
Sudiraja mengerutkan keningnya.
"Sayang sekali, Jalatara belum juga tiba. Kalau tidak masalah ini akan dapat
diselesaikan sekarang, " ucap laki-laki berperut gendut itu mengalihkan
persoalan. "Memangnya ada masalah apa, Ayah?" tanya Nirmala yang sejak tadi hanya berdiam
diri saja. "Ayah ingin beristirahat dan menyerahkan semua usaha Ayah pada kalian bertiga,"
sahut Sudiraja, seakan-akan enggan untuk menjelaskan.
"Jangan-jangan utusan yang membawa surat Itu juga tidak pernah sampai ke sana,
Ayah," duga Kanulaga. Sepasang
matanya kembali melirik ke arah Melati. Gadis yang berwajah cantik luar biasa
itu memang telah membuat hati laki-laki berwajah keras Ini terpikat
"Mudah-mudahan saja tidak," sahut laki-laki gendut itu mengharap.
"Tapi sudah dua hari utusan itu berangkat, dan sampai sekarang belum Juga
kembali," bantah Kanulaga lagi.
"Kita tunggu saja, Kanulaga. O ya, mungkin dua penolongmu ini ingin
beristirahat, Nirmala. Antarkan mereka beristirahat Kau juga mungkin lelah.
Beristirahatlah dulu."
"Hhh...!" Kanulaga menghela napas panjang melihat ayahnya memutuskan begitu saja
pembicaraannya. Laki-laki berwajah keras ini pun terpaksa diam.
"Baik, Ayah," sambut gadis berpakaian merah itu cepat Kemudian diantarnya Dewa
Arak dan Melati yang mau tak mau terpaksa menurut, menuju ke tempat
peristirahatannya.
Kanulaga menundukkan kepalanya. Tapi sepasang matanya sempat melirik ke arah
Melati, hingga bayangan gadis berpakaian serba putih lenyap di balik pintu.
*** 6 "Aunggg...!"
Suara lolong anjing hutan memecah kesunyian malam.
Rembulan di langit kini tidak bulat lagi. Malam bulan purnama telah bedaki
kemarin. Dalam keremangan malam itu, berkelebat dua sol sok
bayangan memasuki hutan. Gerakan mereka cepat bukan main. Sehingga yang terlihat
hanyalah bayangan merah dan hitam.
Dua sosok bayangan itu terus berlari. Sesekali keduanya menoleh ke belakang.
Sepertinya mereka khawatir kalau ada yang mengikuti.
Kedua bayangan itu terus saja bergerak melewati jalan berliku-liku. Lari mereka
baru diperlambat setelah mendekati sebuah bangunan tua yang sudah tidak terawat
lagi. Dan tepat di depan bangunan itu, kedua bayangan tadi
menghentikan larinya.
Dalam keremangan sinar bulan, terlihat cukup jelas kedua bayangan itu. Yang
seorang berpakaian serba hitam. Di dadanya bergambar kalajengking merah.
Wajahnya tidak nampak
jelas, karena tertutup selubung.
Pada dahi selubungnya terdapat gambar kalajengking merah.
Sementara yang seorang lagi adalah seorang kakek berkulit merah. Kakek berkulit
merah ini mengenakan rompi yang juga berwarna merah. Pada bagian dahi dan
dadanya, terdapat gambar kalajengking merah. Berbeda dengan rekannya, gambar
kalajungking pada kakek berkulit merah ini tertera pada kulitnya, bukan pada
pakaian atau selubungnya.
Baru saja kedua orang ini melangkah masuk, terdengar suara sapaan penuh hormat
"Hormat kami untuk Ketua...!"
Sosok berselubung hitam yang di dahi selubungnya bergambar kalajengking, menoleh
ke arah asal suara. Rupanya orang ini adalah Ketua Perkumpulan Kalajengking
Merah. Kini di hadapan Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah, telah berdiri dua sosok
yang tengah menjura padanya Kedua orang itu mengenakan seragam yang sama.
Pakaian serba hitam yang di dadanya bergambar kalajengking berwarna merah.
Yang membedakan kedua orang itu adalah pada kedua
selubung wajahnya Memang mereka sama-sama mengenakan selubung hitam. Tapi pada
dahi selubungnya, tertera gambar yang berlainan. Pada yang seorang terdapat
totol merah. Sementara pada yang lain, bergambar ekor kalajengking merah.
Memang, Perkumpulan Kalajengking Merah mempunyai
aturan tersendiri. Tanda tingkatan seseorang dalam perkumpulan itu dapat diketahui dengan melihat tanda pada dahi selubungnya Tanda
kalajengking merah menunjukkan kalau orang itu adalah sang ketua. Tanda ekor
kalajengking, menunjukkan wakil ketua. Tanda totol merah menunjukkan ketua
kelompok. Sementara anggota biasa sama sekali tidak mempunyai tanda.
"Bagaimana usaha kalian" Berhasil?" tanya sai ketua.
"Maafkan kami,
Ketua...," jawab kedua orang itu
berbareng. "Jadi, kalian gagal"!"
sergah Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah agak keras. Sementara kakek berkulit merah itu hanya berdiam
diri saja. "Benar, Ketua," jawab kedua orang itu lagi. "Hhh...!
Tolol...! Membunuh dua tikus kecil saja tidak mampu"!
Haruskah aku yang turun tangan sendiri"!" bentak sang ketua gusar.
"Kau...!" tunjuk sang pemimpin pada orang yang di dahi selubungnya bergambar
ekor kalajengking, Wakil Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Ya, Ketua," sahut si selubung bergambar ekor kalajengking cepat
"Jelaskan mengapa kau gagal" Hanya membunuh orang seperti Kanulaga saja tidak
becus"!" sang ketua kembali membentak,
"Pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, Ketua. Yang membuatku tambah repot lagi
Di situ ada Pandira," Jawab si selubung bergambar ekor kalajengking. Kemudian
diceritakan kejadian yang dialaminya.
"Pandira" Apakah orang yang selalu berpakaian serba hitam dan memiliki kumis
lebat itu?" tanya sang ketua. Nada keterkejutan jelas terlihat pada wajahnya.
"Benar, Ketua. Ketua mengenalnya?" tanya si selubung bergambar ekor
kalajengking. Sang pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dia adalah salah seorang pengawal rahasia Adipati Palangka."
"Ahhh...!" seru Wakil Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah itu terkejut "Lalu,
untuk apa dia di sana, Ketua?"
"Adipati Palangka sudah mencium adanya gerakan kita.
Pada saat ini Adipati Palangka sudah menyebar pengawal-pengawal rahasianya untuk
menyelidiki perkumpulan kita.
Sungguh tidak kusangka kalau Pandira bisa sampai ke sana...," desah sang ketua.
"Kalau menurutku, Sudiraja telah bekerjasama dengan Pandira, Ketua," ucap si
Dewa Arak 07 Rahasia Surat Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wakil itu lagi.
"Mengapa kau bisa menduga begitu?" tanya sang ketua.
"Sewaktu aku datang meminta upeti, kulihat Sudiraja seperti sengaja mengulur-
ulur waktu. Sepertinya ada sesuatu yang ditunggunya. Kalau tidak mengingat pesan
Ketua, sudah kubunuh dia."
"Kau bertindak bodoh kalau membunuhnya!" sergah sang ketua keras. "Kalau kau
lakukan itu, sama saja kau menghancurkan apa yang kita cita-citakan selama ini!
Menguasai Kadipaten Palangka! Dan kemudian merebut
kerajaan!"
"Ada yang membuatku heran, Ketua," ucap orang yang di dahinya bergambar ekor
kalajengking lagi.
"Apa itu?"
"Mengapa Ketua tidak membunuh adipati itu saja.
Bukankah dengan kedudukan Ketua sekarang ini, tidak sulit untuk membunuh adipati
itu?" "Apa yang kau katakan itu benar. Tapi, untuk apa membunuh adipati itu kalau
akhirnya aku tidak bisa
menggantikan kedudukannya" Lagi pula raja tidak akan tinggal diam. Beliau pasti
akan mengirimkan pasukan besar untuk menghancurkan kita. Tapi yang jelas,
rencanaku hampir sampai di puncaknya. Sayang sekali kailan gagal membunuh
Kanulaga dan Nirmala Rencanaku terpaksa berubah!" ucap sang ketua jang lebar.
Setelah berkata demikian, Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah ini terdiam.
Sesaat lamanya di berbuat seperti itu. Baru kemudian perhatiannya diarahkan pada
si selubung totol merah.
"Kau..., mengapa gagal membunuh Nirmala" Padahal dua belas
anggota perkumpulan telah kuberikan untuk membantumu?" tanya sang ketua meminta penjelasan.
"Maafkan aku, Ketua. Sebetulnya kami sudah hampir berhasil membunuh gadis itu,"
ucap si selubung totol merah.
"Lalu, kenapa gagal"!" sergah sang ketua keras.
"Ada orang yang menolongnya, Ketua!" sahut si selubung totol merah.
"Hm..., siapa orangnya"!" tanya sang ketua agak terkejut
"Aku tidak mengenalnya, Ketua. Tapi kepandaiannya tinggi sekali. Hanya dengan
angin pukulannya saja, dia bisa menewaskan empat anggota kita sekaligus. Mereka
tewas seketika dengan tubuh hangus."
Sang ketua terdiam mendengar penjelasan si totol merah.
Sementara kakek berkulit merah tercenung.
"Bagaimana ciri-ciri orang sok jagoan Itu?" tanya sang ketua lagi.
Si selubung bertotol merah terdiam sejenak. Rupa nya dia sedang berusaha
mengingat-ingat wajah penolong Nirmala.
"Nggg..., pemuda berambut keperakan, berpakaian ungu.
Di punggungnya tergantung sebuah guci arak..."
"Dewa Arak...!" potong kakek berkulit merah keras. Ada nada keterkejutan yang
amat sangat pada wajahnya.
"Dewa Arak..."!" sentak sang ketua terkejut mendengar ucapan kakek kulit merah
itu. "Benarkah orang itu Dewa Arak yang menggemparkan itu, Guru?" tanyanya pada
kakek berkulit merah.
Kakek berkulit merah, yang ternyata guru sang Ketua Perkumpulan
Kalajengking Merah itu menganggukkan kepalanya. "Kalau ciri-ciri yang disebutnya benar, sudah pasti pemuda itu adalah Dewa Arak.
Seorang pendekar muda yang telah menggemparkan dunia persilatan beberapa bulan
belakangan ini," jelas kakek kulit merah itu lebih jauh.
Sang ketua tercenung mendengar penjelasan gurunya.
'Terpaksa rencana harus kuubah," ucap sang ketua.
Kemudian dlhampirinya kedua anak buahnya, dan dibisikkan rencana barunya ke
telinga mereka "Mengerti"!" tanya Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah setelah selesai
membisikkan rencananya.
"Mengerti, Ketua!" sahut kedua orang itu serempak
"Bagus! Sekarang kalian boleh pergi!" perintah sang ketua.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, dua orang Itu pun melesat pergi, setelah
terlebih dahulu menjura pada sang ketua dan kakek kulit merah.
Sepeninggal kedua anak buahnya, sang ketua mengalihkan perhatian pada kakek
berkulit merah.
"Untung Guru telah kembali Bagaimana Guru, berhasilkah Guru mendapatkan racun
itu?" tanya sang ketua.
Kakek bermuka merah itu tertawa bergelak "Jangan panggil aku Kalajengking Merah
kalau tidak mampu mendapatkannya!
Ha ha ha...," sahut kakek yang ternyata berjuluk Kalajengking Merah itu sambil
tertawa bergelak.
"Terima kasih atas semua bantuan Guru," ucap sang Ketua Perkumpulan
Kalajengking Merah. Kalajengking Merah mengidapkan tangannya. "Tidak usah berterima kasih. Kau adalah muridku, apalagi
kau mempunyai cita-cita yang begitu besar. Sudah merupakan kewajibanku sebagal
gurumu untuk membantu mewujudkan cita-citamu! Tambahan lagi kau telah
mengharumkan namaku dengan menggunakan nama Kalajengking Merah sebagai nama perkumpulan rahasiamu!
Tertawalah...! Tawa untuk keberhasilan kita!"
Setelah berkata demikian, kakek berkulit merah ini tertawa bergelak. Sang Ketua
Perkumpulan Kalajengking Merah pun ikut tertawa bergelak tawa mereka yang
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, menggema dan membuat bangunan tua Itu bergetar
hebat *** Hari sudah agak siang, matahari pun sudah naik agak
tinggi. Pada siang yang terik ini tampak seekor kuda melangkah
pelan memasuki perbatasan Desa Rinji. Penunggangnya adalah seorang pemuda berusia selatar dua puluh lima tahun. Pada
wajahnya yang tampan terhias sebaris kumis tipis. Pakaiannya serba hitam.
"Hooop...!"
Tali kekang kudanya ditarik, tepat di depan pintu gerbang rumah termegah di desa
itu. Dari kejauhan, rumah itu sudah terlihat kalau dikelilingi pagar tembok
tinggi. Kuda coklat putih yang ditungganginya meringkik. Kedua kaki depannya pun
diangkat tinggi-tinggi.
"Hup...!"
Dengan gerakan manis dan indah, pemuda berkumis tipis itu melompat dari punggung
kudanya. Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di tanah.
Kemudian dipegangnya tali kekang kudanya. Lalu binatang tunggangan itu
dituntunnya menghampiri pintu gerbang.
"Aku Jalatara, putra Tuan Sudiraja," ucap pemuda berkumis tipis itu ketika
melihat dua orang penjaga mencoba
menghadang. "Ah...I Maafkan kami. Den. Silakan masuk. Keda tangan Aden memang sudah
ditunggu-tunggu," ucap salah seorang penjaga.
Tanpa bicara apa-apa, Jalatara melangkah ke dalam. Kuda tunggangannya
ditinggalkan di depan pintu gerbang. Pandira yang tengah duduk di teras depan,
langsung mengenali Jalatara.
"Jalatara...," desis laki-laki berkumis lebat ini pelan seraya bangkit dari
duduknya dan berjalan menyambut kedatangan pemuda berkumis tipis itu. Dikenali
betul siapa Jalatara, salah seorang kepercayaan Adipati Palangka.
"Ah...! Kakang Pandira...! Rupanya kau berada di sini...!
Sungguh tidak kusangka!" ucap Jalatara kaget Mulutnya menyunggingkan senyum
lebar. "Kedatanganmu yang begitu tiba-tiba ini membuatku terkejut, Jalatara. Ah,
terpaksa kepulanganku kutunda sejenak," ucap pengawal rahasia Adipati Palangka
ini. "Eh..."! Mengapa begitu, Kang?" tanya Jalatara tidak mengerti.
"Yahhh...! Tugasku gagal, Jala! Aku baru saja akan kembali ke kadipaten sambil
membawa pesan dari ayahmu," Jelas Pandira seraya menarik napas panjang.
"Pesan" Pesan apa, Kang?" tanya Jalatara lagi. Wajahnya terlihat agak tegang.
"Agar kau segera pulang. Ada urusan penting yang akan dibicarakan denganmu,"
beritahu Pandira.
"Urusan penting" Urusan penting apa, Kang" tanya pemuda berkumis tipis ini
dengan alis berkerut.
'Tanyalah pada ayahmu," sahut Pandira kalem. Baru saja Jalatara hendak
meninggalkan tempat Itu, Sudiraja telah keburu keluar dari dalam rumahnya.
Rupanya percakapan kedua orang itu terdengar olehnya, sehingga buru-buru dia
berlari keluar.
Jalatara mengerutkan alisnya begitu melihat banyak orang yang berjalan di
belakang ayahnya. Tapi sesaat kemudian dia menjadi gembira begitu mengetahui dua
di antara mereka adalah saudaranya.
"O ya, Jalatara," ucap Sudiraja tiba-tiba.
"Ada apa, Ayah?" tanya pemuda berkumis tipis itu.
Ditolehkan kepalanya menatap ayahnya.
"Apakah surat yang Ayah kirimkan sudah kau terima?"
tanya Sudiraja.
"Surat"!" tanya Jalatara. Sepasang alisnya berkerut dalam.
Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Ya! Surat!" sahut Sudiraja menegaskan. "Kau terima?"
"Tidak!" sahut Jalatara seraya menggelengkan kepalanya.
"Kapan Ayah mengirimkannya?"
"Beberapa hari yang lalu. Hhh...! Kukira kau datang kemari karena surat itu
telah kau terima." Kemudian Sudiraja menceritakan perjalanan surat yang
dikirimkan untuk Nirmala.
"Tidak, Ayah. Aku sama sekali tidak menerima sepucuk surat pun. Aku kemari
karena rindu pada Ayah."
Sudiraja tersenyum lebar.
"Kalau begitu, lupakan saja persoalan itu! Sekarang mari kita rayakan
berkumpulnya seluruh keluarga kita dengan minum-minum! " teriak Sudiraja penuh
ra aa gembira. "Biarlah hari ini aku yang menjadi pelayannya, Ayah," pinta Jalatara.
Tawa Sudiraja terhenti.
'Tidak, Jala! Kau baru saja tiba dari perjalanan yang Jauh.
Kau masih capek!" bantah laki-laki berperut gendut Ini.
Pemuda berkumis tipis Itu tersenyum.
'Tadi, memang aku lelah, Ayah. Tapi setelah bertemu dengan Ayah, Kakang Kanulaga
dan Adik Nir mala, rasa lelahku langsung sirna. Percayalah, Ayah. Aku sudah
tidak lelah lagi."
"Kalau begitu, terserah kaulah...," sahut Sudiraja mengalah.
Tanpa sepengetahuan mereka, sesosok bayangan! merah berkelebat melompati pagar
tembok rumah Sudiraja yang tinggi Itu. Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak
tanah. Lalu cepat bayangan itu menyelinap di balik kerimbunan pohon.
Keluarga Sudiraja, Pandira, Dewa Arak dan Melati
memasuki ruang tengah. Sudiraja berjalan paling depan.
Dengan gembira laki-laki berperut gendut ini mengajak semuanya ke dalam ruangan
tengah yang mewah dan megah.
Tiba-tiba Melati merandek kaget Dia mendengar suara bisikan halus di telinganya.
Suara Itu dikenalnya betul Suara kekasihnya, Dewa Arak!
"Masukkan benda pemberian Gusti Prabu Nalan da dalam minumanmu nanti,
Melati...."
"Ada apa, Kak Melati?" tanya Nirmala, begitu dilihatnya Melati menghentikan
langkahnya. Nirmala dan yang lain-lainnya memang tidak mendengar ucapan itu.
Dengan kepandaian yang dimilikinya, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengirimkan suara
kepada orang yang dikehendakinya.
"Tidak ada apa-apa, Mala," sahut Melati cepat Nirmala pun terdiam. Apalagi
setelah dilihatnya gadis berpakaian serba putih itu sudah kembali melangkah. Tak
diketahuinya kalau pikiran Melati berputar keras. Gadis itu memang telah
menceritakan pada Dewa Arak bahwa
semenjak dia diangkat anak oleh Prabu Nalanda, Raja Kerajaan Bojong Gading itu
memberikan pusaka istana padanya. Pusaka itu berbentuk bulat kecil, sebesar
kelereng dan berwarna bening. Apabila benda itu dimasukkan dalam minuman yang
diduga mengandung racun, benda pusaka itu akan berubah warna. Setelah racun Itu
terserap habis oleh pusaka itu, maka benda pusaka itu akan kembali ke warna
asalnya. Tak lama kemudian mereka pun sudah tiba di ruang tengah yang mewah dan megah.
Mereka duduk di bangku yang
mengelilingi sebuah meja marmer panjang. Sementara
Jalatara sibuk menyiapkan minuman.
Sudiraja adalah seorang kaya raya, tidak aneh kalau dia memiliki persediaan arak
yang berlimpah. Semua Itu
disimpannya dalam sebuah ruang khusus di sebelah ruangan tengah ini.
Pemuda berkumis tapis itu mengambil satu di antara sekian banyak guci arak yang
berjejer. Tanpa sepengetauan siapa
pun, diambilnya sebuah bungkusan dari balik lipatan ikat pinggangnya. Dibukanya
bungkusan yang ternyata berisi bubuk putih, kemudian dimasukkannya ke dalam guci
arak itu. Setelah itu, Jalatara kembali ke ruang tengah. Dituangkannya arak itu ke dalam
gelas-gelas indah yang berjejer di atas meja.
Setelah selesai mengisi gelas-gelas yang berada di meja, Jalatara pun duduk di
bangku yang masih kosong.
Sementara itu, diam-diam Melati memasukkan benda bulat berang sebesar kelereng
pemberian Prabu Nalanda, ke dalam gelasnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya
gadis ini ketika melihat benda bulat bening itu berubah warna.
Melati mengerutkan alisnya. Gadis itu tahu kalau pusaka pemberian Prabu Nalanda
itu tengah menghiisap racun yang terkandung dalam minuman itu. Dan memang tak
lama kemudian, warna benda itu kembali seperti semula. Bening.
Sudiraja mengangkat gelas minumannya. "Mari kita rayakan peristiwa besar
ini...!" ucap laki-laki bertubuh gemuk itu. Kemudian didekatkan gelasnya itu ke
mulutnya dan diminumnya. Jalatara pun mengikuti, diteguknya araknya. Tapi ekor
mata pemuda itu melirik ke orang-orang di sekelilingnya.
Pemuda itu mengerutkan alisnya saat melihat Dewa Arak sama sekali belum
menyentuh minumannya. Rupanya Arya tahu kalau arak di gelasnya mengandung racun.
Ketika Sudiraja mengangkat gelas tadi, pemuda Ini sempat melihat benda pusaka
Melati berubah warna.
"Maaf, Tuan Sudiraja. Aku sudah terbiasa minum melalui guci. Bagaimana kalau aku
minum arak dalam guciku saja?"
pinta Dewa Arak.
Jantung Jalatara berdebar tegang. Otaknya berputar keras.
Sebelum ayahnya sempat menjawab pertanyaan Arya, buru-buru dia mendahului. Cepat
diambil guci arak yang sebagian isinya sudah dibagi-bagikan.
Dewa Arak diam-diam memaki kecerdikan pemuda
berkumis tipis itu. Tapi, bukan Arya Buana namanya kalau menghadapi orang
seperti itu saja kehilangan akal.
"Sayang sekali, Kang Jalatara. Aku sudah terbiasa minum arak dari guciku
sendiri. Boleh aku tuang arak dalam guci ini ke dalam guciku?"
"Silakan...! Silakan, Arya. Jangankan hanya seguci. Seratus guci pun akan
kuberikan kalau kau mau!" Sudiraja yang menyahuti.
Dewa Arak 07 Rahasia Surat Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'Terima kasih, Tuan Sudiraja."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak segera menuangkan arak dalam guci itu ke
dalam gucinya. Memang, guci arak pemuda itu memiliki banyak keistimewaan. Salah
satunya adalah mampu membuat semua jenis racun jadi tawar. Maka, meskipun
diketahuinya kalau minuman yang disediakan Jalatara mengandung racun, Dewa Arak
tetap berani meminumnya. Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki
tenggorokannya.
Lega hati Jalatara, ketika dilihatnya semua yang ada di situ telah meminum arak
yang disediakannya Dia sendiri telah lebih dulu menelan obat penawar racun itu,
sehingga berani meminumnya.
Rupanya racun yang dicampurkan dalam minuman Itu
tergolong racun yang bereaksi cepat. Sudiraja adalah orang pertama yang menerima
akibatnya. "Ah..., kok kepalaku pusing...," desah laki-laki berperut gendut ini
sambil memegangi kepalanya Suaranya mengambang, seperti orang pilek.
Nirmala dan Kanulaga tidak terkejut melihat kejadian yang dialami ayahnya.
Dugaan mereka, hal Itu terjadi karena usia ayah mereka yang sudah tua.
Baru ketika tubuh Sudiraja limbung dan sudah pasti jatuh, keadaan menjadi
gempar. Untunglah Kanulaga yang duduk di sebelahnya, sigap menangkap tubuh
ayahnya. Serentak mereka bangkit dari duduk dan mendekati Sudiraja.
Tapi sebelum berhasil mendekat, berturut-turut mereka memegang kepalanya yang
tiba-tiba mendadak pusing. Melati dan Dewa Arak tentu saja merupakan
kekecualian. Melati bingung, tak tahu harus berbuat apa. Diliriknya wajah Dewa
Arak. Dan di saat Itulah, pendengarannya menangkap suara bisikan
halus "Berpura-puralah,
Melati. Kita tunggu perkembangannya...."
Melati tidak membantah. Begitu dilihat Arya memegangi kepalanya, gadis itu pun
berpura-pura memegangi kepalanya, bersikap seolah-olah terserang pusing.
"Arak itu beracun...," desah Arya sebelum roboh terguling.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa berkepanjangan menyambut ucapan Dewa
Arak. Sebuah tawa kemenangan. Tawa yang berasal dari mulut Jalatara.
*** 7 Begitu melihat yang lain pingsan, Dewa Arak dan Melati pun turut berpura-pura
pingsan. Tidak sulit bagi dua orang sakti ini untuk berbuat seperti itu
Jangankan hanya berpura-pura pingsan, berpura-pura mati pun mereka sanggup.
Baru ketika pendengaran mereka menangkap suara
keluhan lirih dari Kanulaga dan Pandira yang mulai sadar, Dewa Arak dan Melati
pun membuka matanya
Begitu mereka membuka mata, tahu-tahu di hadapan
mereka telah berdiri Jalatara, seorang kakek berkulit merah dan belasan orang
Perkumpulan Kalajengking Merah. Pada bagian dada pakaian hitam yang dikenakan
Jalatara terdapat gambar kalajengking merah.
Nirmala dan Sudiraja merupakan orang terakhir tersadar dari pingsannya. Dapat
dibayangkan betapa kagetnya laki-laki berperut gendut itu tatkala melihat
putranya berdiri bersama-sama
dengan perkumpulan yang selama ini selalu memerasnya. "Kau..."! Jalatara..."! Apa maksudmu"! Mengapa kau melakukan semua ini"! Dan
mengapa kau berhubungan
dengan orang-orang jahat seperti mereka!" seru Sudiraja sambil menunjuk belasan
orang Perkumpulan Kalajengking Merah.
Jalatara hanya tersenyum sinis.
"Berhubungan" Aku adalah pemimpin mereka Akulah Ketua Perkumpulan Kalajengking
Merah!" "Kau"!" sentak Sudiraja dan Pandira berbarengan. Berbeda dengan Sudiraja yang
masih bingung, Pandira nampaknya sudah mengerti. Dan hal ini membuatnya geram
bukan main. Sayangnya racun yang dicampur dalam minuman itu telah membuat
sekujur tubuhnya lemas. Walaupun sudah dipusatkan seluruh pikirannya, namun tetap saja tidak ada getaran tenaga dalam
yang bergolak. Baik di bawah pusarnya, maupun ke tangan dan kakinya. Tenaga
dalamnya telah musnah!
"Rupanya kaulah pemimpin mereka, Jalatara! Pantas, gerombolan itu sukar
dibasmi!" ujar pengawal rahasia Adipati Palangka ini.
"Dasar kalian saja semua yang dungu!" sahut pemuda berkumis tipis itu kasar.
"Hanya satu yang kuherankan, Jalatara! Mengapa kau tidak membunuh Gusti Adipati
sejak dulu. Bukankah kau mempunyai banyak kesempatan untuk membunuh beliau?"
tanya Pandira tidak mengerti.
"Ha ha ha...! Pertanyaanmu itu semakin membuktikan kebodohanmu, Pandira! Buat
apa aku membunuhnya kalau aku tidak dapat menggantikan kedudukannya" Saat itu
kedudukanku masih terlalu rendah. Dan bila aku membunuhnya, pastilah kau atau yang lainnya yang akan menjadi penggantinya. Aku
tidak sebodoh itu, Pandira!"
sergah Jalatara sambil tersenyum mengejek.
"Lalu kenapa tidak kau rebut saja Kadipaten Palangka dengan kekerasan"!" pancing
pengawal rahasia adipati ini.
"Kau kira aku ini bodoh, Pandira"! Kalau aku merebut dengan kekerasan, pasukan
kerajaan tidak akan tinggal diam.
Mereka pasti akan menghancurkanku. Dan aku tidak ingin hal itu terjadi!" jawab
Jalatara agak sengit.
"Lalu sekarang, bagaimana?" Pandira kembal bertanya.
"Sekarang saatnya sudah tiba. Kau tahu, Pandira, Cita-citaku tidak kecil! Aku
tidak hanya ingin menjadi adipati, tapi aku ingin menjadi raja! Kau dengar,
Pandira" Raja! Dan untuk mewujudkan cita-citaku, aku membutuhkan biaya besar
untuk membentuk pasukan yang besar dan terlatih!"
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya, "Jadi, itukah sebabnya kau ingin
menyingkirkan Nirmala dan Kanulaga, Jalatara?" selak Arya cepat.
"Ha ha ha...! Kau pintar, Dewa Arak. Kau tidak sebodoh si kumis lebat Ini Dari
Ki Taji, kudengar ayahku mengirim utusan untuk memanggil Nirmala dan aku pulang,
karena Kakang Kanulaga telah terlebih dahulu pulang. Ayah ingin membagi-
bagi warisan. Aku tidak ingin warisan ayah dibagi-bagi. Aku ingin semuanya.
Jalan satu-satunya untuk memperolehnya hanyalah dengan melenyapkan Kanulaga dan
Nirmala! Tapi, sayang anak buahku gagal. Terpaksalah aku yang harus turun
tangan. Yahhh..., seperti apa yang kalian rasakan sekarang ini!" jelas Jalatara
panjang lebar. Terdengar suara geram kemarahan dari mulut Kanulaga.
Laki-laki berwajah keras ini memang geram bukan main mendengar semua keterangan
adiknya. Ingin rasanya dia melompat menyerang, tapi apa dayanya.
Sekujur tubuhnya lemah lunglai tak bertenaga. Bahkan tenaga dalamnya pun lenyap.
Tidak ada yang dapat dilakukannya kecuali menggeram dan mengutuk.
"Jahanam kau, Jalatara...!" desis Kanulaga tajam. Sinar matanya menyorotkan
kemarahan hebat. Tapi ucapan
kemarahan kakaknya hanya ditanggapi Jalatara dengan tawa terbahak-bahak. Sebuah
tawa kemenangan.
"Kau yakin rencanamu akan berhasil, Jalatara?" Pandira angkat suara.
'Tentu saja!" sentak pemuda berkumis tipis itu keras. "Aku telah merencanakannya
dengan matang. Guruku telah
mendapatkan racun yang dapat kumasukkan ke makanan atau minuman adipati. Racun
yang bekerja tanpa meninggalkan bekas, seolah-olah kematian adipati adalah
kematian yang wajar. Lagi pula guruku akan membantu menyingkirkan orang-orang
kepercayaan adipati sepertimu, Pandira. Dan dengan kedudukanku sekarang, tidak
sulit bagiku menjadi adipati. Dengan harta milik ayahku, akan kubentuk pasukan
yang besar dan terlatih untuk menyerbu kotaraja. Dan kemudian aku akan menjadi
raja! Ha ha ha...!"
"Sayang sekari, usahamu tidak akan berhasil, Jalatara!"
sergah Dewa Arak seraya bangkit dari berbaringnya. Melati pun segera pula
bangkit. "Heh"l Kau..." Kau tidak terkena racunku?" tanya Jalatara gagap.
"Untunglah aku sedikit menaruh curiga padamu, Jalatara,"
sahut Arya kalem. Diangkatnya guci araknya ke atas kepala, kemudian dituangkan
ke mulutnya. Gluk.. gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki
kerongkongan Dewa Arak.
"Keparat..! Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan suara bentakan nyaring Jalatara melompat menyerbu. Kedua
tangannya yang membentuk
cakar aneh, menyampok deras ke arah Dewa Arak. Yang kanan ke arah pelipis,
sementara yang kiri mengancam dagu.
Dari bawah ke atas.
Suara berciutan nyaring terdengar sebelum serangan itu mencapai sasaran. Tapi
Dewa Arak bersikap tenang. Dengan penuh percaya diri, dipapaknya kedua serangan
itu Kedua tangannya yang membentuk jari-jari belalang bergerak aneh, sebelum
akhirnya menangkis serangan lawannya. Dewa Arak yang mengetahui keadaan yang
tidak menguntungkan, tanpa sungkan-sungkan
segera mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Plak, plak...! "Ah...!"
Jalatara berseru kaget. Pemuda berkumis tipis ini langsung terjengkang ke
belakang. Sekujur tangannya dirasakan ngilu bukan main. Dadanya pun terasa sesak
bukan kepalang.
Sedangkan Dewa Arak hanya mundur satu langkah ke
belakang. Tampak jelas kalau tenaga dalam Arya berada jauh di atas lawannya.
"Kau urus yang lain, Jalatara! Biar Dewa Arak bagianku!"
seru kakek berkulit merah seraya melompat ke depan Arya.
Kalajengking Merah tahu kalau Jalatara bukan tandingan Dewa Arak.
"Sudah lama kudengar nama besarmu. Dewa Arak. Dan sudah lama pula aku ingin
menjajal kelihaianmu. Aku, Kalajengking Merah ingin mengetahui sampai di mana
kehebatanmu yang tersohor itu!"
Setelah berkata demikian, kakek berkulit merah itu tiba-tiba membalikkan
tubuhnya, seraya mengirimkan sebuah kibasan kaki.
Wusss...! Angin menderu keras mengawali tibanya serangan itu.
Tapi, dengan permainan jurus 'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit bagi Dewa
Arak untuk memunahkan serangan itu.
Dengan langkah terhuyung-huyung yang menjadi khasnya, dielakkan serangan itu.
Secepat kakinya melangkah, secepat itu pula, Dewa Arak berbalik mengancam lawan.
Arya kini telah berada di belakang lawannya.
"Hih...!"
Dewa Arak mengayunkan guci yang tergenggam di
tangannya ke kepala lawannya.
Tapi, Kalajengking Merah memang seorang tokoh luar
biasa. Cepat-cepat tubuhnya dirundukkan, sehingga serangan itu lewat di atas
punggungnya. Berbareng dengan itu, kaki kanannya menendang ke belakang. Persis
seperti tendangan kaki belakang seekor kuda.
"Eh..."!" pekik Dewa Arak terkejut. Serangan seperti itu sungguh di luar
dugaannya. Tapi berkat keunikan jurus
'Delapan Langkah Belalang', serangan yang datang begitu tiba-tiba itu masih
dapat dielakkan-nya
Tak lama kemudian kedua tokoh inipun sudah terlibat dalam sebuah pertempuran
sengit Jalatara memperhatikan sejenak pertarunganan tara
gurunya menghadapi Dewa Arak
"Bunuh mereka semua...!" perintah pemuda ber kumis tipis ini kepada anak
buahnya, seraya menunjuk beberapa tubuh yang tergolek lemah tanpa daya.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, belasan orang
Perkumpulan Kalajengking Merah itu bergerak menyerbu.
Tongkat merah berujung ekor kalajengking mereka, berkelebatan mengancam. Tapi sebelum balasan orang itu berhasil melaksanakan
perintah sang ketua, Melati telah menghadang.
Srattt..! Tanpa sungkan-sungkan lagi gadis berpakaian putih ini mencabut pedangnya.
Disadari akan keadaan pihak lawan yang lebih menguntungkan, seketika Itu juga
segera dikeluarkan ilmu pedang andalannya, 'Ilmu Pedang Seribu Naga'. Terdengar suara
mengaung bagaikan seekor naga yang tengah meraung
murka, begitu Melati menggerakkan pedangnya. "Selubung ini sudah tidak kuperlukan lagi!" ucap orang yang pada dahi
selubungnya bergambar ekor kalajengking, seraya mencabut selubungnya.
"Ah...! Kau... kau... Ki Taji!"
Terdengar seruan-seruan kaget dari mulut keluarga
Sudiraja begitu melihat wajah di balik selubung itu.
Wajah Ki Taji! Kepala urusan dalam rumah tangga. Jadi, orang yang hendak
membunuh Kanulaga, dan orang yang selama Ini menerima upeti dari Sudiraja adalah
Ki Taji. "Ya, aku! Kaget?" ejek Ki Taji sambil tersenyum sinis.
'Tunggulah. Setelah kubereskan wanita liar ini. Baru kalian akan kubereskan!"
Setelah berkata demikian, Wakil Ketua Perguruan Kalajengking Merah itu segera membabatkan tongkat
berujung ekor kalajengking ke leher Melati.
Wuttt..! Tongkat itu lewat di atas kepala Melati, begitu gadis itu merendahkan tubuhnya.
Tidak sampai di situ saja yang dilakukan Melati. Pada saat yang bersamaan,
pedangnya menusuk cepat ke leher Ki Taji. Suara menggerung dahsyat bagaikan
seekor naga murka, mengiringi tibanya serangan itu.
Hebat bukan main 'Ilmu Pedang Seribu Naga' yang dimiliki gadis itu.
Ki Taji terpekik kaget Serangan itu datang begitu cepat Tak mungkin lagi Wakil
Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah itu mengelak. Tapi sebelum ujung pedang
Melati menembus tenggorokannya, Jalatara melesat cepat, memapak pedang itu
Dewa Arak 07 Rahasia Surat Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan tongkat berujung ekor kalajengking yang sejak tadi digenggamnya
Tranggg...! Bunga-bunga api memercik ke udara, begitu kedua senjata itu beradu. Jalatara
merasakan betapa sekujur tangannya tergetar hebat Pemuda berkumis tipis ini
kaget bukan main.
Sungguh di luar dugaannya kalau tenaga dalam yang dimiliki gadis berpakaian puuh
Ini kuat sekali! Semula Jalatara menduga kalau hanya Dewa Arak sajalah yang
merupakan lawan tangguh. Sungguh tidak diduganya kalau Melati pun merupakan
lawan yang amat berat baginya.
Jalatara tidak punya pilihan lain. Pemuda ini tidak Ingin usahanya yang telah
lama dirintisnya gagal total Maka tanpa malu-malu lagi, anak buahnya diperintah
kan mengepung Melati
"Serbu...!"
Tanpa diperintah dua kali, belasan anak buahnya meluruk menyerang Melati, Sesaat
kemudian hujan senjata pun berkelebatan ke arah gadis berpakaian serba putih
itu. Jalatara pun tidak tinggal diam. Bersama Ki Taji, pemuda berkumis tipis ini ikut
menyerbu. Melati menggertakkan gigi. Dua belas orang anak buah Perkumpulan Kalajengking
Merah bukanlah lawan yang berat baginya. Tapi Jalatara dan Ki Taji, merupakan lawan
yang patut diperhitungkan. Mau tak mau Melati terpaksa harus mengerahkan seluruh
kemampuannya, bila ingin selamat Sesaat kemudian d ruangan Itu telah terjadi
pertempuran sengit.
Sementara itu pertarungan antara Dewa Arak melawan
Kalajengking Merah sudah bergeser jauh dari tempat semula.
Ruang tengah yang sebenarnya cukup luas, terasa sangat sempit bagi kedua orang
sakti itu. Lantai dan dinding ruangan telah banyak yang retak-retak, karena
setiap kali kedua tokoh itu melancarkan pukulan, dinding ruangan itu selalu
bergetar. Hal ini membuat kedua tokoh sakti Itu tidak leluasa untuk melancarkan serangan.
Khawatir bila bangunan itu roboh dan menimpa mereka.
Kini Dewa Arak dan Kalajengkingi Merah telah berada di halaman. Semakin
bertambah luas tempat pertarungan
gerakan mereka pun semakin leluasa.
Pertarungan antara kedua orang yang sama-sama memiliki kepandaian amat tinggi
ini berlangsung cepat. Dalam hati, Dewa Arak memuji kelihaian lawannya.
Kalajengking Merah memang memiliki kepandaian luar biasai Baik tenaga dalam
maupun ilmu meringankan tubuhnya tidak berada di bawah Dewa Arak.
Dan yang lebih menyulitkan bagi Dewa Arak, adalah
keanehan ilmu yang dimainkan kakek berkulit merah itu. Ilmu milik kakek berkulit
merah itu mengingatkan Arya pada binatang kalajengking dan kuda.
Sepasang tangannya yang membentuk cakar aneh
menyambar-nyambar penuh ancaman maut ke berbagai
bagian tubuh Dewa Arak. Tapi yang lebih berbahaya adalah kibasan kakinya.
Kibasan kaki itu mengingatkan Dewa Arak pada sabetan ekor kalajengking. Di
samping itu, kaki kakek berkulit merah itu pun dapat mementil seperti seekor
kuda. Itulah sebabnya, sepasang kaki kakek itu jauh lebih berbahaya daripada kedua
tangannya. Serangan sepasang kaki si kakek selalu datang tiba-tiba.
Kalau saja Dewa Arak tidak mempunyai jurus 'Delapan Langkah Belalang', sudah
sejak tadi pemuda berambut putih keperakan ini roboh di tangan Kalajengking
Merah. Setelah bertarung selama seratus enam puluh jurus, Dewa Arak belum juga mampu
mendesak kakek berkulit merah itu.
Kehebatan jurus 'Belalang Mabuk pupus menghadapi sepasang kaki Kalajengking
Merah yang selalu datang tiba-tiba.
Beberapa kali Dewa Alah hampir saja terkena serangan kaki yang terkadang,
mengibas dan sesekali mementil itu. Tapi berkat keunikan Jurus 'Delapan Langkah
Belalang', Arya masih mampu mengelakkannya.
Dewa Arak tidak punya pilihan lain lagi. Pemuda itu memutuskan untuk
mengeluarkan Jurus yang jarang
digunakannya kalau tidak terpaksa sekali, Jurus 'Pukulan Belalang'!
"Haaattt..!"
Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, di jurus ke seratus delapan puluh tujuh,
Kalajengking Merah mengibaskan kaki kanannya sambil memutar tubuh. Dan seperti
biasanya, serangan itu datang secara tidak terduga-duga, sehingga membuat Dewa
Arak kaget bukan main. Tapi berkat
keistimewaan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Arya masih sanggup mengelakkan
serangan itu. Cepat-cepat pemuda berambut putih keperakan ini
merunduk, sehingga kibasan itu lewat sejengkal di atas kepalanya. Rambutnya
sampai berkibaran akibat kerasnya tenaga dalam yang terkandung dalam tendangan
itu. Tapi sungguh di luar dugaan Dewa Arak kalau tiba-tiba saja kaki kiri
Kalajengking Merah menendang ke arah perutnya.
Bukkk...! "Hugh...!"
Dewa Arak mengeluh tertahan. Tendangan itu keras bukan main. Seketika itu juga
tubuh pemuda itu terjengkang beberapa tombak ke belakang. Rasa sesak yang amat
sangat mendera Arya. Untung saja Dewa Arak yang terkena
tendangan itu, kalau orang lain pasti tewas seketika,
"He he he...!"
Kakek berkulit merah itu terkekeh. Tanpa memberi
kesempatan lagi, segera diserbunya Dewa Arak yang masih terhuyung-huyung ke
belakang. Kedua tangannya bagaikan dua buah capit kalajengking menyambar ganas
ke pelipis dan ubun-ubun Dewa Arak.
Mendadak saja, Arya menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Dan angin keras berhawa panas menyengat
menyambar, memapak tubuh Kalajengking Merah yang tengah melunak ke arahnya.
Kakek berkulit merah ini terpekik kaget. Serangan Itu datangnya begitu tiba-
tiba. Apalagi tubuhnya tengah berada di udara. Belum sempat guru Jalatara itu
berbuat sesuatu, jurus
'Pukulan Belalang' Dewa Arak, telak menghantamnya.
Bresss...! "Aaakh...!"
Kalajengking Merah melayang jauh diiringi teriakan
menyayat, dan jatuh beberapa tombak dari tempatnya
semula. Kakek berkulit
merah ini menggelepar-gelepar
beberapa saat sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Kalajengking Merah tewas dengan sekujur tubuh hangus.
"Uhk... uhk...!"
Dewa Arak terbatuk-batuk. Ada cairan merah kental yang memercik dari mulutnya
seiring suara batuknya. Arya memang menderita luka dalam. Tendangan Kalajengking
Merah yang mengenal perutnya memang kuat luar biasa. Tapi pengerahan tenaga
dalam akhir jurus 'Pukulan Belalang' itulah yang semakin memperparah luka
dalamnya. Meskipun terluka dalam, tapi kekhawatiran Dewa Arak akan keselamatan Melati yang
tengah dikeroyok, membuat pemuda itu mengesampingkan luka dalam nya. Bergegas
Arya melangkah ke dalam ruang tengah yang luas dan megah itu.
Pemuda berambut putih keperakan itu menghela napas
lega. Dilihatnya Melati telah berhasil menguasai keadaan. Dua belas
orang Perkumpulan Kalajengking Merah telah bergeletakan di lantai. Semuanya tewas. Kini yang dihadapi gadis berpakaian
putih itu tinggal Jalatara dan Ki Taji saja. Itu pun keduanya sudah terdesak
hebat Memang, Melati dengan
'Ilmu Pedang Seribu Naga'nya terlalu kuat bagi kedua lawannya.
Hati Dewa Arak tenang melihat hal ini. Kini pemuda berbaju ungu itu tidak perlu
khawatir lagi akan keselamatan Melati.
Segera saja Arya duduk bersila. Tak lama kemudian Dewa Arak sudah tenggelam
dalam semadinya untuk mengatasi luka dalamnya yang cukup parah.
Sementara itu pertarungan antara Melati dengan kedua orang pimpinan Perkumpulan
Kalajengking Merah semakin sengit.
"Hiyaaat..!"
Cappp...! "Aaakh...!"
Ki Taji menjerit memilukan ketika pedang Melati menghunjam perutnya.
Jalatara tidak menyia-
nyiakan kesempatan itu
Selagi pedang Melati masih
tertancap di perut Ki Taji,
dari belakang dia melompat
menerjang. Dan selagi tubuhnya berada di udara,
senjatanya disabetkan ke
leher Melati. Tidak ada jalan lain bagi
Melati. Pegangan pada pedangnya terpaksa dilepaskan, sambil menjatuhkan diri ke lantai.
Melati terpaksa bergulingan
sehingga kini gadis
ini berada dalam posisi terlentang.
Wuttt..! Babatan tongkat berujung ekor kalajengking itu mengenai tempat kosong. Dan di
saat itulah Melati menghentakkan kedua tangannya yang membentuk cakar naga ke
atas, ke arah tubuh Jalatara yang masih berada di udara. Inilah jurus
'Naga Merah Membuang Mustika'.
Wusss...! Bresss..!
"Aaakh...!"
Jalatara menjerit memilukan. Tubuhnya yang tengah
berada di udara itu melambung kembali atas. Pukulan jarak jauh Melati telak
mengenai dadanya. Seketika itu juga sekujur tulang dadanya remuk. Darah segar
mengalir deras dari
mulut, hidung, dan telinga-nya. Pemuda berkumis tipis ini tewas sebelum tubuhnya
sempat mencapai tanah. Dengan mengeluarkan suara berdebuk keras tubuh Jalatara
jatuh ke lantai.
Sudiraja, Kanulaga, dan Nirmala menatap mayat. Jalatara dengan perasaan yang
sukar untuk dilukiskan. Ada perasaan lega melihat pemuda itu mati. Tapi perasaan
sedih, mendera lebih besar lagi. Bagaimanapun juga, pemuda itu adalah keluarga
mereka. Terlebih lagi Sudiraja! Tanpa dapat ditahannya, sepasang mainnya
merembang berkaca-kaca.
Dewa Arak dan Melari menghampiri. Sudiraja sekeluarga dan Pandira yang kini
sudah tidak terlalu lemah lagi. Mereka kini sudah mampu bangkit dan dapat
berbuat sebagaimana orang biasa layaknya. Tapi, tetap saja tenaga dalam yang
mereka miliki musnah.
"Sayang sekali, kami tidak tahu bagaimana caranya memunahkan racun itu," keluh
Dewa Arak penuh sesal setelah menyelesaikan semadinya. Kini luka-luka dalamnya
telah sembuh. "Aku dapat memunahkannya, Dewa Arak," sahut Kanulaga.
"Kau bisa?" tanya Arya ingin memastikan.
"Ya! Guruku ahli pengobatan. Racun ini bukan apa-apa bagiku,"
ucap laki-laki berwajah keras itu seperti menyombongkan diri.
"Lalu, kenapa sejak tadi kau diam saja?" tanya Dewa Arak menyalahkan.
'Tadi aku belum mampu bangkit.... Eh! Dewa Arak...!"
panggil Kanulaga keras. Sebelum pemuda itu menyelesaikan ucapannya, Dewa Arak
melesat pergi dari situ di kuti oleh Melati.
Tapi Arya dan Melari sama sekali tidak mempedulikan panggilan Kanulaga. Kedua
pendekar muda ini sengaja
bergegas pergi, karena tidak ingin menerima ucapan terima kasih dari orang yang
ditolongnya. Lagi pula urusannya telah selesai. Kanulaga, Sudiraja, Pandira, dan
Nirmala, hanya dapat teriongong melihat kepergian penolong mereka.
Sementara itu, nun jauh di sana nampak dua sejoli tengah berjalan berdampingan.
Seorang pemuda berambut putih keperakan dan seorang gadis cantik berpakaian
serba putih. Kedua orang itu adalah Dewa Arak dan Melati yang terus mengembara memenuhi tugas
sebagai pendekar pembela
kebenaran SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Dewi KZ
Editor : Dewi KZ
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
Kaki Tiga Menjangan 37 Malaikat Berwajah Putih Lo Ban Teng Karya Tk Kiong Beruang Salju 18
kepalang. "Mari kuperkenalkan pada mereka, Ayah," ucap gadis itu lagi seraya berjalan
mendahului ayahnya yang sudah
melangkah ke arah Dewa Arak dan Melati.
"Inilah ayahku, Kang Arya, Kak Melari," ucap Nirmala memperkenalkan.
Sudiraja mengulurkan tangannya.
"Sudiraja,"
ucap laki-laki berperut gendut itu memperkenalkan diri.
"Arya Buana," sahut Dewa Arak sambil menyambut uluran tangan itu.
"Melati," sahut Melati pula.
Sudiraja menatap wajah kedua muda-mudi di hadapannya berganti-ganti.
"Terima kasih atas pertolongan yang kalian berikan pada anakku," ucap laki-laki
berperut gendut itu ramah.
"Ah...! Hanya kebetulan saja, KI," sahut Dewa Arak merendah.
Sudiraja hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kagum hatinya melihat kerendahan
hati pemuda berambut putih keperakan di hadapannya ini.
"Mari kita bicara di dalam saja," ajaknya sambil melangkah mendahului. Tidak ada
pilihan lain bagi Dewa Arak dan Mebti kecuali turut melangkah lebih dahulu.
*** Pandira dan Kanulaga yang sedang berbincang-bincang di ruangan tengah yang mewah
dan megah Itu menghentikan pembicaraan,
begitu mendengar banyak langkah kaki
mendekat. Tak lama kemudian pintu ruangan itu pun terkuak Kanulaga dan Pandira menduga-
duga dalam hati, siapakah orang-orang
yang menuju ruang ini. Bukankah ruang ini khusus untuk Sudiraja"
Semula Kanulaga dan Pandira tidak heran begitu melihat orang yang pertama kali
muncul. Tapi sepasang alis mereka berkerut ketika melihat seorang gadis cantik
berpakaian serba merah, melangkah di belakang laki-laki berperut gendut itu.
Wajar apabila Kanulaga sama sekali tidak mengenal
Nirmala. Gadis berpakaian serba merah ini belum berumur lima tahun ketika laki-
laki berwajah keras ini pergi mengembara.
Pandira saja mengagumi kecantikan Nirmala, apalagi
Kanulaga yang masih muda dan berdarah panas. Pandang matanya tidak berkedip
memperhatikan Nirmala dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Sepasang mata Kanulaga semakin terbelalak lebar ketika dari balik pintu itu
masuk lagi seorang gadis berpakaian serba putih. Tak kalah cantiknya dari gadis
berpakaian serba merah tadi.
Tapi pandang mata kekaguman Kanulaga dan Pandira
segera lenyap, begitu melihat orang terakhir yang masuk ke dalam ruangan.
Seorang pemuda berambut putih keperakan, berbaju ungu. Sebuah guci arak terbuat
dari perak, tersampir di punggungnya.
Berbeda dengan Sudiraja. Kanulaga dan Pandira tahu
pergolakan yang terjadi di dunia persilatan. Mereka telah mendengar berita yang
menggemparkan tentang munculnya tokoh muda berilmu tinggi, berjuluk Dewa Arak.
Inikah tokoh yang menggemparkan itu" tanya mereka dalam hati.
"Kau kenal gadis ini, Kanulaga?" tanya Sudiraja pada putra sulungnya. Kepalanya
ditolehkan ke arah Nirmala. Sementara gadis berpakaian merah itu hanya tersenyum
geli dalam hati.
Laki-laki berwajah keras itu menggelengkan kepalanya.
"Kau tidak mengenalnya"!" tanya Sudiraja lagi setengah tidak percaya.
'Tidak, Ayah," jawab Kanulaga, setelah dipandanginya kembali gadis berpakaian
merah itu lekat-lekat
"Ha ha ha...!" laki-laki berperut gendut itu tertawa terbahak-bahak. Tentu saja
hal ini membuat Kanulaga terheran-heran.
"Dia adikmu, Kanulaga," jelas Sudiraja setelah rasa gelinya lenyap.
Kanulaga terlongong.
"Adikku?" tanya laki-laki berwajah keras iri tak percaya.
"Dia.. dia Nirmala...?" Kanulaga agaknya masih belum mempercayai ucapan ayahnya.
"Benar," sahut Sudiraja. Sementara Nirmala tidak dapat menahan perasaan geli
melihat kebingungan kakak sulungnya
"Anak nakaL..! Awas! Nanti kujewer telingamu...!" gurau Kanulaga dengan hati
gembira. "Lalu kedua orang ini siapa, Kang?" tanya Pandira sambil menatap Melati dan Dewa
Arak. "Mereka adalah penolong-penolong Nirmala. Yang gadis bernama Melati. Dan pemuda
ini bernama Arya Buana," jelas Sudiraja seraya menepuk-nepuk bahu Arya.
"Ah..., Dewa Arak...!" seru Kanulaga dan Pandira berbareng. Memang sudah menjadi
rahasia umum kalau nama Dewa Arak yang sesungguhnya adalah Arya Buana.
"Sungguh tidak disangka,
pendekar yang tersohor
sepertimu bisa sampai ke Kadipaten Palangka ini," desah Pandira setengah tidak
percaya. "Hanya kebetulan lewat. Paman," sahut Dewa Arak merendah seraya menatap wajah
laki-laki berkumis lebat itu.
"Ayo, Nirmala. Ceritakan pada Ayah dan semua yang ada di sini, pengalaman yang
kau alami," ucap Sudiraja.
Nirmala pun menceritakan semuanya. Mulai dari surat yang bisa sampai ke
tangannya atas pertolongan Dewa Arak dan Melati, hingga dirinya diselamatkan
dari tangan orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Aneh sekali...," desah Pandira begitu Nirmala mengakhiri ceritanya. Sebagai
seorang pengawal rahasia Adipati, laki-laki berkumis
lebat ini dapat merasakan adanya hal-hal
mencurigakan dalam kejadian yang dialami Nirmala.
Semua mata kini tertuju pada Pandira. Mereka menunggu kelanjutan ucapan yang
akan disampaikan pengawal rahasia Adipati Palangka ini.
"Apa yang aneh, Adi Pandira?" tanya Sudiraja.
Laki-laki berkumis lebat itu menatap tajam wajah Sudiraja.
"Sepengetahuanku,
yang mengetahui kalau Kakang mengirim surat untuk memanggil Nirmala dan Jalatara hanya Kakang Sudiraja
sendiri, aku, dan Kanulaga. Lalu mengapa sampai diketahui orang Perkumpulan
Kalajengking Merah?"
Ada nada kecurigaan dalam suara pengawal rahasia Adipati Palangka. Sementara
Dewa Arak hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam-diam dikaguminya kecerdikan
laki-laki berkumis lebat ini.
Kanulaga menarik napas panjang.
"Memang, aku telah menceritakan hal ini," ucap laki-laki berwajah keras pelan.
Ada nada penyesalan dalam suaranya.
"Kau"l" Sudiraja membelalakkan sepasang matanya.
Sementara berpasang-pasang mata lainnya juga tertuju pada putra sulung Sudiraja
ini. "Sudah kuduga...," sambut Pandira cepat "Pada siapa kau menceritakannya,
Kanulaga?"
"Ki Toji"
"Ki Tojl"!" Sudiraja mengerutkan alisnya. Sementara yang lain memandang pada
laki-laki berperut gendut Ini dengan sinar mata bingung.
"Siapa itu Ki Taji, Kang?" tanya Pandira lagi.
"Kepala urusan dalam rumah tangga. Tapi mungkinkah dia anggota gerombolan itu?"
tanya Sudiraja setengah tidak percaya.
"Kemungkinan itu bisa juga. Kang. Bagaimana denganmu, Dewa Arak?" tanya Pandira
sambil menoleh pada Arya yang sejak tadi hanya diam saja mendengarkan.
Kini semua mata tertuju pada Dewa Arak Tanpa setahu mereka, sejak tadi pun sudah
ada sepasang mata yang menatap Dewa Arak secara sembunyi-sembunyi. Sepasang mata
bening dan indah milik Nirmala.
"Sejak pertama kali membaca surat itu, sebenarnya aku sudah menduga adanya orang
dalam rumah Ini yang menjadi anggota gerombolan itu," jelas Dewa Arak. Nada
bicaranya hati-hati. Pemuda itu tidak ingin menyinggung perasaan orang-orang
yang ada di ruangan ini.
Sudiraja mengerutkan keningnya.
"Sayang sekali, Jalatara belum juga tiba. Kalau tidak masalah ini akan dapat
diselesaikan sekarang, " ucap laki-laki berperut gendut itu mengalihkan
persoalan. "Memangnya ada masalah apa, Ayah?" tanya Nirmala yang sejak tadi hanya berdiam
diri saja. "Ayah ingin beristirahat dan menyerahkan semua usaha Ayah pada kalian bertiga,"
sahut Sudiraja, seakan-akan enggan untuk menjelaskan.
"Jangan-jangan utusan yang membawa surat Itu juga tidak pernah sampai ke sana,
Ayah," duga Kanulaga. Sepasang
matanya kembali melirik ke arah Melati. Gadis yang berwajah cantik luar biasa
itu memang telah membuat hati laki-laki berwajah keras Ini terpikat
"Mudah-mudahan saja tidak," sahut laki-laki gendut itu mengharap.
"Tapi sudah dua hari utusan itu berangkat, dan sampai sekarang belum Juga
kembali," bantah Kanulaga lagi.
"Kita tunggu saja, Kanulaga. O ya, mungkin dua penolongmu ini ingin
beristirahat, Nirmala. Antarkan mereka beristirahat Kau juga mungkin lelah.
Beristirahatlah dulu."
"Hhh...!" Kanulaga menghela napas panjang melihat ayahnya memutuskan begitu saja
pembicaraannya. Laki-laki berwajah keras ini pun terpaksa diam.
"Baik, Ayah," sambut gadis berpakaian merah itu cepat Kemudian diantarnya Dewa
Arak dan Melati yang mau tak mau terpaksa menurut, menuju ke tempat
peristirahatannya.
Kanulaga menundukkan kepalanya. Tapi sepasang matanya sempat melirik ke arah
Melati, hingga bayangan gadis berpakaian serba putih lenyap di balik pintu.
*** 6 "Aunggg...!"
Suara lolong anjing hutan memecah kesunyian malam.
Rembulan di langit kini tidak bulat lagi. Malam bulan purnama telah bedaki
kemarin. Dalam keremangan malam itu, berkelebat dua sol sok
bayangan memasuki hutan. Gerakan mereka cepat bukan main. Sehingga yang terlihat
hanyalah bayangan merah dan hitam.
Dua sosok bayangan itu terus berlari. Sesekali keduanya menoleh ke belakang.
Sepertinya mereka khawatir kalau ada yang mengikuti.
Kedua bayangan itu terus saja bergerak melewati jalan berliku-liku. Lari mereka
baru diperlambat setelah mendekati sebuah bangunan tua yang sudah tidak terawat
lagi. Dan tepat di depan bangunan itu, kedua bayangan tadi
menghentikan larinya.
Dalam keremangan sinar bulan, terlihat cukup jelas kedua bayangan itu. Yang
seorang berpakaian serba hitam. Di dadanya bergambar kalajengking merah.
Wajahnya tidak nampak
jelas, karena tertutup selubung.
Pada dahi selubungnya terdapat gambar kalajengking merah.
Sementara yang seorang lagi adalah seorang kakek berkulit merah. Kakek berkulit
merah ini mengenakan rompi yang juga berwarna merah. Pada bagian dahi dan
dadanya, terdapat gambar kalajengking merah. Berbeda dengan rekannya, gambar
kalajungking pada kakek berkulit merah ini tertera pada kulitnya, bukan pada
pakaian atau selubungnya.
Baru saja kedua orang ini melangkah masuk, terdengar suara sapaan penuh hormat
"Hormat kami untuk Ketua...!"
Sosok berselubung hitam yang di dahi selubungnya bergambar kalajengking, menoleh
ke arah asal suara. Rupanya orang ini adalah Ketua Perkumpulan Kalajengking
Merah. Kini di hadapan Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah, telah berdiri dua sosok
yang tengah menjura padanya Kedua orang itu mengenakan seragam yang sama.
Pakaian serba hitam yang di dadanya bergambar kalajengking berwarna merah.
Yang membedakan kedua orang itu adalah pada kedua
selubung wajahnya Memang mereka sama-sama mengenakan selubung hitam. Tapi pada
dahi selubungnya, tertera gambar yang berlainan. Pada yang seorang terdapat
totol merah. Sementara pada yang lain, bergambar ekor kalajengking merah.
Memang, Perkumpulan Kalajengking Merah mempunyai
aturan tersendiri. Tanda tingkatan seseorang dalam perkumpulan itu dapat diketahui dengan melihat tanda pada dahi selubungnya Tanda
kalajengking merah menunjukkan kalau orang itu adalah sang ketua. Tanda ekor
kalajengking, menunjukkan wakil ketua. Tanda totol merah menunjukkan ketua
kelompok. Sementara anggota biasa sama sekali tidak mempunyai tanda.
"Bagaimana usaha kalian" Berhasil?" tanya sai ketua.
"Maafkan kami,
Ketua...," jawab kedua orang itu
berbareng. "Jadi, kalian gagal"!"
sergah Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah agak keras. Sementara kakek berkulit merah itu hanya berdiam
diri saja. "Benar, Ketua," jawab kedua orang itu lagi. "Hhh...!
Tolol...! Membunuh dua tikus kecil saja tidak mampu"!
Haruskah aku yang turun tangan sendiri"!" bentak sang ketua gusar.
"Kau...!" tunjuk sang pemimpin pada orang yang di dahi selubungnya bergambar
ekor kalajengking, Wakil Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Ya, Ketua," sahut si selubung bergambar ekor kalajengking cepat
"Jelaskan mengapa kau gagal" Hanya membunuh orang seperti Kanulaga saja tidak
becus"!" sang ketua kembali membentak,
"Pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, Ketua. Yang membuatku tambah repot lagi
Di situ ada Pandira," Jawab si selubung bergambar ekor kalajengking. Kemudian
diceritakan kejadian yang dialaminya.
"Pandira" Apakah orang yang selalu berpakaian serba hitam dan memiliki kumis
lebat itu?" tanya sang ketua. Nada keterkejutan jelas terlihat pada wajahnya.
"Benar, Ketua. Ketua mengenalnya?" tanya si selubung bergambar ekor
kalajengking. Sang pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dia adalah salah seorang pengawal rahasia Adipati Palangka."
"Ahhh...!" seru Wakil Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah itu terkejut "Lalu,
untuk apa dia di sana, Ketua?"
"Adipati Palangka sudah mencium adanya gerakan kita.
Pada saat ini Adipati Palangka sudah menyebar pengawal-pengawal rahasianya untuk
menyelidiki perkumpulan kita.
Sungguh tidak kusangka kalau Pandira bisa sampai ke sana...," desah sang ketua.
"Kalau menurutku, Sudiraja telah bekerjasama dengan Pandira, Ketua," ucap si
Dewa Arak 07 Rahasia Surat Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wakil itu lagi.
"Mengapa kau bisa menduga begitu?" tanya sang ketua.
"Sewaktu aku datang meminta upeti, kulihat Sudiraja seperti sengaja mengulur-
ulur waktu. Sepertinya ada sesuatu yang ditunggunya. Kalau tidak mengingat pesan
Ketua, sudah kubunuh dia."
"Kau bertindak bodoh kalau membunuhnya!" sergah sang ketua keras. "Kalau kau
lakukan itu, sama saja kau menghancurkan apa yang kita cita-citakan selama ini!
Menguasai Kadipaten Palangka! Dan kemudian merebut
kerajaan!"
"Ada yang membuatku heran, Ketua," ucap orang yang di dahinya bergambar ekor
kalajengking lagi.
"Apa itu?"
"Mengapa Ketua tidak membunuh adipati itu saja.
Bukankah dengan kedudukan Ketua sekarang ini, tidak sulit untuk membunuh adipati
itu?" "Apa yang kau katakan itu benar. Tapi, untuk apa membunuh adipati itu kalau
akhirnya aku tidak bisa
menggantikan kedudukannya" Lagi pula raja tidak akan tinggal diam. Beliau pasti
akan mengirimkan pasukan besar untuk menghancurkan kita. Tapi yang jelas,
rencanaku hampir sampai di puncaknya. Sayang sekali kailan gagal membunuh
Kanulaga dan Nirmala Rencanaku terpaksa berubah!" ucap sang ketua jang lebar.
Setelah berkata demikian, Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah ini terdiam.
Sesaat lamanya di berbuat seperti itu. Baru kemudian perhatiannya diarahkan pada
si selubung totol merah.
"Kau..., mengapa gagal membunuh Nirmala" Padahal dua belas
anggota perkumpulan telah kuberikan untuk membantumu?" tanya sang ketua meminta penjelasan.
"Maafkan aku, Ketua. Sebetulnya kami sudah hampir berhasil membunuh gadis itu,"
ucap si selubung totol merah.
"Lalu, kenapa gagal"!" sergah sang ketua keras.
"Ada orang yang menolongnya, Ketua!" sahut si selubung totol merah.
"Hm..., siapa orangnya"!" tanya sang ketua agak terkejut
"Aku tidak mengenalnya, Ketua. Tapi kepandaiannya tinggi sekali. Hanya dengan
angin pukulannya saja, dia bisa menewaskan empat anggota kita sekaligus. Mereka
tewas seketika dengan tubuh hangus."
Sang ketua terdiam mendengar penjelasan si totol merah.
Sementara kakek berkulit merah tercenung.
"Bagaimana ciri-ciri orang sok jagoan Itu?" tanya sang ketua lagi.
Si selubung bertotol merah terdiam sejenak. Rupa nya dia sedang berusaha
mengingat-ingat wajah penolong Nirmala.
"Nggg..., pemuda berambut keperakan, berpakaian ungu.
Di punggungnya tergantung sebuah guci arak..."
"Dewa Arak...!" potong kakek berkulit merah keras. Ada nada keterkejutan yang
amat sangat pada wajahnya.
"Dewa Arak..."!" sentak sang ketua terkejut mendengar ucapan kakek kulit merah
itu. "Benarkah orang itu Dewa Arak yang menggemparkan itu, Guru?" tanyanya pada
kakek berkulit merah.
Kakek berkulit merah, yang ternyata guru sang Ketua Perkumpulan
Kalajengking Merah itu menganggukkan kepalanya. "Kalau ciri-ciri yang disebutnya benar, sudah pasti pemuda itu adalah Dewa Arak.
Seorang pendekar muda yang telah menggemparkan dunia persilatan beberapa bulan
belakangan ini," jelas kakek kulit merah itu lebih jauh.
Sang ketua tercenung mendengar penjelasan gurunya.
'Terpaksa rencana harus kuubah," ucap sang ketua.
Kemudian dlhampirinya kedua anak buahnya, dan dibisikkan rencana barunya ke
telinga mereka "Mengerti"!" tanya Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah setelah selesai
membisikkan rencananya.
"Mengerti, Ketua!" sahut kedua orang itu serempak
"Bagus! Sekarang kalian boleh pergi!" perintah sang ketua.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, dua orang Itu pun melesat pergi, setelah
terlebih dahulu menjura pada sang ketua dan kakek kulit merah.
Sepeninggal kedua anak buahnya, sang ketua mengalihkan perhatian pada kakek
berkulit merah.
"Untung Guru telah kembali Bagaimana Guru, berhasilkah Guru mendapatkan racun
itu?" tanya sang ketua.
Kakek bermuka merah itu tertawa bergelak "Jangan panggil aku Kalajengking Merah
kalau tidak mampu mendapatkannya!
Ha ha ha...," sahut kakek yang ternyata berjuluk Kalajengking Merah itu sambil
tertawa bergelak.
"Terima kasih atas semua bantuan Guru," ucap sang Ketua Perkumpulan
Kalajengking Merah. Kalajengking Merah mengidapkan tangannya. "Tidak usah berterima kasih. Kau adalah muridku, apalagi
kau mempunyai cita-cita yang begitu besar. Sudah merupakan kewajibanku sebagal
gurumu untuk membantu mewujudkan cita-citamu! Tambahan lagi kau telah
mengharumkan namaku dengan menggunakan nama Kalajengking Merah sebagai nama perkumpulan rahasiamu!
Tertawalah...! Tawa untuk keberhasilan kita!"
Setelah berkata demikian, kakek berkulit merah ini tertawa bergelak. Sang Ketua
Perkumpulan Kalajengking Merah pun ikut tertawa bergelak tawa mereka yang
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, menggema dan membuat bangunan tua Itu bergetar
hebat *** Hari sudah agak siang, matahari pun sudah naik agak
tinggi. Pada siang yang terik ini tampak seekor kuda melangkah
pelan memasuki perbatasan Desa Rinji. Penunggangnya adalah seorang pemuda berusia selatar dua puluh lima tahun. Pada
wajahnya yang tampan terhias sebaris kumis tipis. Pakaiannya serba hitam.
"Hooop...!"
Tali kekang kudanya ditarik, tepat di depan pintu gerbang rumah termegah di desa
itu. Dari kejauhan, rumah itu sudah terlihat kalau dikelilingi pagar tembok
tinggi. Kuda coklat putih yang ditungganginya meringkik. Kedua kaki depannya pun
diangkat tinggi-tinggi.
"Hup...!"
Dengan gerakan manis dan indah, pemuda berkumis tipis itu melompat dari punggung
kudanya. Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di tanah.
Kemudian dipegangnya tali kekang kudanya. Lalu binatang tunggangan itu
dituntunnya menghampiri pintu gerbang.
"Aku Jalatara, putra Tuan Sudiraja," ucap pemuda berkumis tipis itu ketika
melihat dua orang penjaga mencoba
menghadang. "Ah...I Maafkan kami. Den. Silakan masuk. Keda tangan Aden memang sudah
ditunggu-tunggu," ucap salah seorang penjaga.
Tanpa bicara apa-apa, Jalatara melangkah ke dalam. Kuda tunggangannya
ditinggalkan di depan pintu gerbang. Pandira yang tengah duduk di teras depan,
langsung mengenali Jalatara.
"Jalatara...," desis laki-laki berkumis lebat ini pelan seraya bangkit dari
duduknya dan berjalan menyambut kedatangan pemuda berkumis tipis itu. Dikenali
betul siapa Jalatara, salah seorang kepercayaan Adipati Palangka.
"Ah...! Kakang Pandira...! Rupanya kau berada di sini...!
Sungguh tidak kusangka!" ucap Jalatara kaget Mulutnya menyunggingkan senyum
lebar. "Kedatanganmu yang begitu tiba-tiba ini membuatku terkejut, Jalatara. Ah,
terpaksa kepulanganku kutunda sejenak," ucap pengawal rahasia Adipati Palangka
ini. "Eh..."! Mengapa begitu, Kang?" tanya Jalatara tidak mengerti.
"Yahhh...! Tugasku gagal, Jala! Aku baru saja akan kembali ke kadipaten sambil
membawa pesan dari ayahmu," Jelas Pandira seraya menarik napas panjang.
"Pesan" Pesan apa, Kang?" tanya Jalatara lagi. Wajahnya terlihat agak tegang.
"Agar kau segera pulang. Ada urusan penting yang akan dibicarakan denganmu,"
beritahu Pandira.
"Urusan penting" Urusan penting apa, Kang" tanya pemuda berkumis tipis ini
dengan alis berkerut.
'Tanyalah pada ayahmu," sahut Pandira kalem. Baru saja Jalatara hendak
meninggalkan tempat Itu, Sudiraja telah keburu keluar dari dalam rumahnya.
Rupanya percakapan kedua orang itu terdengar olehnya, sehingga buru-buru dia
berlari keluar.
Jalatara mengerutkan alisnya begitu melihat banyak orang yang berjalan di
belakang ayahnya. Tapi sesaat kemudian dia menjadi gembira begitu mengetahui dua
di antara mereka adalah saudaranya.
"O ya, Jalatara," ucap Sudiraja tiba-tiba.
"Ada apa, Ayah?" tanya pemuda berkumis tipis itu.
Ditolehkan kepalanya menatap ayahnya.
"Apakah surat yang Ayah kirimkan sudah kau terima?"
tanya Sudiraja.
"Surat"!" tanya Jalatara. Sepasang alisnya berkerut dalam.
Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Ya! Surat!" sahut Sudiraja menegaskan. "Kau terima?"
"Tidak!" sahut Jalatara seraya menggelengkan kepalanya.
"Kapan Ayah mengirimkannya?"
"Beberapa hari yang lalu. Hhh...! Kukira kau datang kemari karena surat itu
telah kau terima." Kemudian Sudiraja menceritakan perjalanan surat yang
dikirimkan untuk Nirmala.
"Tidak, Ayah. Aku sama sekali tidak menerima sepucuk surat pun. Aku kemari
karena rindu pada Ayah."
Sudiraja tersenyum lebar.
"Kalau begitu, lupakan saja persoalan itu! Sekarang mari kita rayakan
berkumpulnya seluruh keluarga kita dengan minum-minum! " teriak Sudiraja penuh
ra aa gembira. "Biarlah hari ini aku yang menjadi pelayannya, Ayah," pinta Jalatara.
Tawa Sudiraja terhenti.
'Tidak, Jala! Kau baru saja tiba dari perjalanan yang Jauh.
Kau masih capek!" bantah laki-laki berperut gendut Ini.
Pemuda berkumis tipis Itu tersenyum.
'Tadi, memang aku lelah, Ayah. Tapi setelah bertemu dengan Ayah, Kakang Kanulaga
dan Adik Nir mala, rasa lelahku langsung sirna. Percayalah, Ayah. Aku sudah
tidak lelah lagi."
"Kalau begitu, terserah kaulah...," sahut Sudiraja mengalah.
Tanpa sepengetahuan mereka, sesosok bayangan! merah berkelebat melompati pagar
tembok rumah Sudiraja yang tinggi Itu. Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak
tanah. Lalu cepat bayangan itu menyelinap di balik kerimbunan pohon.
Keluarga Sudiraja, Pandira, Dewa Arak dan Melati
memasuki ruang tengah. Sudiraja berjalan paling depan.
Dengan gembira laki-laki berperut gendut ini mengajak semuanya ke dalam ruangan
tengah yang mewah dan megah.
Tiba-tiba Melati merandek kaget Dia mendengar suara bisikan halus di telinganya.
Suara Itu dikenalnya betul Suara kekasihnya, Dewa Arak!
"Masukkan benda pemberian Gusti Prabu Nalan da dalam minumanmu nanti,
Melati...."
"Ada apa, Kak Melati?" tanya Nirmala, begitu dilihatnya Melati menghentikan
langkahnya. Nirmala dan yang lain-lainnya memang tidak mendengar ucapan itu.
Dengan kepandaian yang dimilikinya, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengirimkan suara
kepada orang yang dikehendakinya.
"Tidak ada apa-apa, Mala," sahut Melati cepat Nirmala pun terdiam. Apalagi
setelah dilihatnya gadis berpakaian serba putih itu sudah kembali melangkah. Tak
diketahuinya kalau pikiran Melati berputar keras. Gadis itu memang telah
menceritakan pada Dewa Arak bahwa
semenjak dia diangkat anak oleh Prabu Nalanda, Raja Kerajaan Bojong Gading itu
memberikan pusaka istana padanya. Pusaka itu berbentuk bulat kecil, sebesar
kelereng dan berwarna bening. Apabila benda itu dimasukkan dalam minuman yang
diduga mengandung racun, benda pusaka itu akan berubah warna. Setelah racun Itu
terserap habis oleh pusaka itu, maka benda pusaka itu akan kembali ke warna
asalnya. Tak lama kemudian mereka pun sudah tiba di ruang tengah yang mewah dan megah.
Mereka duduk di bangku yang
mengelilingi sebuah meja marmer panjang. Sementara
Jalatara sibuk menyiapkan minuman.
Sudiraja adalah seorang kaya raya, tidak aneh kalau dia memiliki persediaan arak
yang berlimpah. Semua Itu
disimpannya dalam sebuah ruang khusus di sebelah ruangan tengah ini.
Pemuda berkumis tapis itu mengambil satu di antara sekian banyak guci arak yang
berjejer. Tanpa sepengetauan siapa
pun, diambilnya sebuah bungkusan dari balik lipatan ikat pinggangnya. Dibukanya
bungkusan yang ternyata berisi bubuk putih, kemudian dimasukkannya ke dalam guci
arak itu. Setelah itu, Jalatara kembali ke ruang tengah. Dituangkannya arak itu ke dalam
gelas-gelas indah yang berjejer di atas meja.
Setelah selesai mengisi gelas-gelas yang berada di meja, Jalatara pun duduk di
bangku yang masih kosong.
Sementara itu, diam-diam Melati memasukkan benda bulat berang sebesar kelereng
pemberian Prabu Nalanda, ke dalam gelasnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya
gadis ini ketika melihat benda bulat bening itu berubah warna.
Melati mengerutkan alisnya. Gadis itu tahu kalau pusaka pemberian Prabu Nalanda
itu tengah menghiisap racun yang terkandung dalam minuman itu. Dan memang tak
lama kemudian, warna benda itu kembali seperti semula. Bening.
Sudiraja mengangkat gelas minumannya. "Mari kita rayakan peristiwa besar
ini...!" ucap laki-laki bertubuh gemuk itu. Kemudian didekatkan gelasnya itu ke
mulutnya dan diminumnya. Jalatara pun mengikuti, diteguknya araknya. Tapi ekor
mata pemuda itu melirik ke orang-orang di sekelilingnya.
Pemuda itu mengerutkan alisnya saat melihat Dewa Arak sama sekali belum
menyentuh minumannya. Rupanya Arya tahu kalau arak di gelasnya mengandung racun.
Ketika Sudiraja mengangkat gelas tadi, pemuda Ini sempat melihat benda pusaka
Melati berubah warna.
"Maaf, Tuan Sudiraja. Aku sudah terbiasa minum melalui guci. Bagaimana kalau aku
minum arak dalam guciku saja?"
pinta Dewa Arak.
Jantung Jalatara berdebar tegang. Otaknya berputar keras.
Sebelum ayahnya sempat menjawab pertanyaan Arya, buru-buru dia mendahului. Cepat
diambil guci arak yang sebagian isinya sudah dibagi-bagikan.
Dewa Arak diam-diam memaki kecerdikan pemuda
berkumis tipis itu. Tapi, bukan Arya Buana namanya kalau menghadapi orang
seperti itu saja kehilangan akal.
"Sayang sekali, Kang Jalatara. Aku sudah terbiasa minum arak dari guciku
sendiri. Boleh aku tuang arak dalam guci ini ke dalam guciku?"
"Silakan...! Silakan, Arya. Jangankan hanya seguci. Seratus guci pun akan
kuberikan kalau kau mau!" Sudiraja yang menyahuti.
Dewa Arak 07 Rahasia Surat Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'Terima kasih, Tuan Sudiraja."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak segera menuangkan arak dalam guci itu ke
dalam gucinya. Memang, guci arak pemuda itu memiliki banyak keistimewaan. Salah
satunya adalah mampu membuat semua jenis racun jadi tawar. Maka, meskipun
diketahuinya kalau minuman yang disediakan Jalatara mengandung racun, Dewa Arak
tetap berani meminumnya. Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki
tenggorokannya.
Lega hati Jalatara, ketika dilihatnya semua yang ada di situ telah meminum arak
yang disediakannya Dia sendiri telah lebih dulu menelan obat penawar racun itu,
sehingga berani meminumnya.
Rupanya racun yang dicampurkan dalam minuman Itu
tergolong racun yang bereaksi cepat. Sudiraja adalah orang pertama yang menerima
akibatnya. "Ah..., kok kepalaku pusing...," desah laki-laki berperut gendut ini
sambil memegangi kepalanya Suaranya mengambang, seperti orang pilek.
Nirmala dan Kanulaga tidak terkejut melihat kejadian yang dialami ayahnya.
Dugaan mereka, hal Itu terjadi karena usia ayah mereka yang sudah tua.
Baru ketika tubuh Sudiraja limbung dan sudah pasti jatuh, keadaan menjadi
gempar. Untunglah Kanulaga yang duduk di sebelahnya, sigap menangkap tubuh
ayahnya. Serentak mereka bangkit dari duduk dan mendekati Sudiraja.
Tapi sebelum berhasil mendekat, berturut-turut mereka memegang kepalanya yang
tiba-tiba mendadak pusing. Melati dan Dewa Arak tentu saja merupakan
kekecualian. Melati bingung, tak tahu harus berbuat apa. Diliriknya wajah Dewa
Arak. Dan di saat Itulah, pendengarannya menangkap suara bisikan
halus "Berpura-puralah,
Melati. Kita tunggu perkembangannya...."
Melati tidak membantah. Begitu dilihat Arya memegangi kepalanya, gadis itu pun
berpura-pura memegangi kepalanya, bersikap seolah-olah terserang pusing.
"Arak itu beracun...," desah Arya sebelum roboh terguling.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa berkepanjangan menyambut ucapan Dewa
Arak. Sebuah tawa kemenangan. Tawa yang berasal dari mulut Jalatara.
*** 7 Begitu melihat yang lain pingsan, Dewa Arak dan Melati pun turut berpura-pura
pingsan. Tidak sulit bagi dua orang sakti ini untuk berbuat seperti itu
Jangankan hanya berpura-pura pingsan, berpura-pura mati pun mereka sanggup.
Baru ketika pendengaran mereka menangkap suara
keluhan lirih dari Kanulaga dan Pandira yang mulai sadar, Dewa Arak dan Melati
pun membuka matanya
Begitu mereka membuka mata, tahu-tahu di hadapan
mereka telah berdiri Jalatara, seorang kakek berkulit merah dan belasan orang
Perkumpulan Kalajengking Merah. Pada bagian dada pakaian hitam yang dikenakan
Jalatara terdapat gambar kalajengking merah.
Nirmala dan Sudiraja merupakan orang terakhir tersadar dari pingsannya. Dapat
dibayangkan betapa kagetnya laki-laki berperut gendut itu tatkala melihat
putranya berdiri bersama-sama
dengan perkumpulan yang selama ini selalu memerasnya. "Kau..."! Jalatara..."! Apa maksudmu"! Mengapa kau melakukan semua ini"! Dan
mengapa kau berhubungan
dengan orang-orang jahat seperti mereka!" seru Sudiraja sambil menunjuk belasan
orang Perkumpulan Kalajengking Merah.
Jalatara hanya tersenyum sinis.
"Berhubungan" Aku adalah pemimpin mereka Akulah Ketua Perkumpulan Kalajengking
Merah!" "Kau"!" sentak Sudiraja dan Pandira berbarengan. Berbeda dengan Sudiraja yang
masih bingung, Pandira nampaknya sudah mengerti. Dan hal ini membuatnya geram
bukan main. Sayangnya racun yang dicampur dalam minuman itu telah membuat
sekujur tubuhnya lemas. Walaupun sudah dipusatkan seluruh pikirannya, namun tetap saja tidak ada getaran tenaga dalam
yang bergolak. Baik di bawah pusarnya, maupun ke tangan dan kakinya. Tenaga
dalamnya telah musnah!
"Rupanya kaulah pemimpin mereka, Jalatara! Pantas, gerombolan itu sukar
dibasmi!" ujar pengawal rahasia Adipati Palangka ini.
"Dasar kalian saja semua yang dungu!" sahut pemuda berkumis tipis itu kasar.
"Hanya satu yang kuherankan, Jalatara! Mengapa kau tidak membunuh Gusti Adipati
sejak dulu. Bukankah kau mempunyai banyak kesempatan untuk membunuh beliau?"
tanya Pandira tidak mengerti.
"Ha ha ha...! Pertanyaanmu itu semakin membuktikan kebodohanmu, Pandira! Buat
apa aku membunuhnya kalau aku tidak dapat menggantikan kedudukannya" Saat itu
kedudukanku masih terlalu rendah. Dan bila aku membunuhnya, pastilah kau atau yang lainnya yang akan menjadi penggantinya. Aku
tidak sebodoh itu, Pandira!"
sergah Jalatara sambil tersenyum mengejek.
"Lalu kenapa tidak kau rebut saja Kadipaten Palangka dengan kekerasan"!" pancing
pengawal rahasia adipati ini.
"Kau kira aku ini bodoh, Pandira"! Kalau aku merebut dengan kekerasan, pasukan
kerajaan tidak akan tinggal diam.
Mereka pasti akan menghancurkanku. Dan aku tidak ingin hal itu terjadi!" jawab
Jalatara agak sengit.
"Lalu sekarang, bagaimana?" Pandira kembal bertanya.
"Sekarang saatnya sudah tiba. Kau tahu, Pandira, Cita-citaku tidak kecil! Aku
tidak hanya ingin menjadi adipati, tapi aku ingin menjadi raja! Kau dengar,
Pandira" Raja! Dan untuk mewujudkan cita-citaku, aku membutuhkan biaya besar
untuk membentuk pasukan yang besar dan terlatih!"
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya, "Jadi, itukah sebabnya kau ingin
menyingkirkan Nirmala dan Kanulaga, Jalatara?" selak Arya cepat.
"Ha ha ha...! Kau pintar, Dewa Arak. Kau tidak sebodoh si kumis lebat Ini Dari
Ki Taji, kudengar ayahku mengirim utusan untuk memanggil Nirmala dan aku pulang,
karena Kakang Kanulaga telah terlebih dahulu pulang. Ayah ingin membagi-
bagi warisan. Aku tidak ingin warisan ayah dibagi-bagi. Aku ingin semuanya.
Jalan satu-satunya untuk memperolehnya hanyalah dengan melenyapkan Kanulaga dan
Nirmala! Tapi, sayang anak buahku gagal. Terpaksalah aku yang harus turun
tangan. Yahhh..., seperti apa yang kalian rasakan sekarang ini!" jelas Jalatara
panjang lebar. Terdengar suara geram kemarahan dari mulut Kanulaga.
Laki-laki berwajah keras ini memang geram bukan main mendengar semua keterangan
adiknya. Ingin rasanya dia melompat menyerang, tapi apa dayanya.
Sekujur tubuhnya lemah lunglai tak bertenaga. Bahkan tenaga dalamnya pun lenyap.
Tidak ada yang dapat dilakukannya kecuali menggeram dan mengutuk.
"Jahanam kau, Jalatara...!" desis Kanulaga tajam. Sinar matanya menyorotkan
kemarahan hebat. Tapi ucapan
kemarahan kakaknya hanya ditanggapi Jalatara dengan tawa terbahak-bahak. Sebuah
tawa kemenangan.
"Kau yakin rencanamu akan berhasil, Jalatara?" Pandira angkat suara.
'Tentu saja!" sentak pemuda berkumis tipis itu keras. "Aku telah merencanakannya
dengan matang. Guruku telah
mendapatkan racun yang dapat kumasukkan ke makanan atau minuman adipati. Racun
yang bekerja tanpa meninggalkan bekas, seolah-olah kematian adipati adalah
kematian yang wajar. Lagi pula guruku akan membantu menyingkirkan orang-orang
kepercayaan adipati sepertimu, Pandira. Dan dengan kedudukanku sekarang, tidak
sulit bagiku menjadi adipati. Dengan harta milik ayahku, akan kubentuk pasukan
yang besar dan terlatih untuk menyerbu kotaraja. Dan kemudian aku akan menjadi
raja! Ha ha ha...!"
"Sayang sekari, usahamu tidak akan berhasil, Jalatara!"
sergah Dewa Arak seraya bangkit dari berbaringnya. Melati pun segera pula
bangkit. "Heh"l Kau..." Kau tidak terkena racunku?" tanya Jalatara gagap.
"Untunglah aku sedikit menaruh curiga padamu, Jalatara,"
sahut Arya kalem. Diangkatnya guci araknya ke atas kepala, kemudian dituangkan
ke mulutnya. Gluk.. gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki
kerongkongan Dewa Arak.
"Keparat..! Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan suara bentakan nyaring Jalatara melompat menyerbu. Kedua
tangannya yang membentuk
cakar aneh, menyampok deras ke arah Dewa Arak. Yang kanan ke arah pelipis,
sementara yang kiri mengancam dagu.
Dari bawah ke atas.
Suara berciutan nyaring terdengar sebelum serangan itu mencapai sasaran. Tapi
Dewa Arak bersikap tenang. Dengan penuh percaya diri, dipapaknya kedua serangan
itu Kedua tangannya yang membentuk jari-jari belalang bergerak aneh, sebelum
akhirnya menangkis serangan lawannya. Dewa Arak yang mengetahui keadaan yang
tidak menguntungkan, tanpa sungkan-sungkan
segera mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Plak, plak...! "Ah...!"
Jalatara berseru kaget. Pemuda berkumis tipis ini langsung terjengkang ke
belakang. Sekujur tangannya dirasakan ngilu bukan main. Dadanya pun terasa sesak
bukan kepalang.
Sedangkan Dewa Arak hanya mundur satu langkah ke
belakang. Tampak jelas kalau tenaga dalam Arya berada jauh di atas lawannya.
"Kau urus yang lain, Jalatara! Biar Dewa Arak bagianku!"
seru kakek berkulit merah seraya melompat ke depan Arya.
Kalajengking Merah tahu kalau Jalatara bukan tandingan Dewa Arak.
"Sudah lama kudengar nama besarmu. Dewa Arak. Dan sudah lama pula aku ingin
menjajal kelihaianmu. Aku, Kalajengking Merah ingin mengetahui sampai di mana
kehebatanmu yang tersohor itu!"
Setelah berkata demikian, kakek berkulit merah itu tiba-tiba membalikkan
tubuhnya, seraya mengirimkan sebuah kibasan kaki.
Wusss...! Angin menderu keras mengawali tibanya serangan itu.
Tapi, dengan permainan jurus 'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit bagi Dewa
Arak untuk memunahkan serangan itu.
Dengan langkah terhuyung-huyung yang menjadi khasnya, dielakkan serangan itu.
Secepat kakinya melangkah, secepat itu pula, Dewa Arak berbalik mengancam lawan.
Arya kini telah berada di belakang lawannya.
"Hih...!"
Dewa Arak mengayunkan guci yang tergenggam di
tangannya ke kepala lawannya.
Tapi, Kalajengking Merah memang seorang tokoh luar
biasa. Cepat-cepat tubuhnya dirundukkan, sehingga serangan itu lewat di atas
punggungnya. Berbareng dengan itu, kaki kanannya menendang ke belakang. Persis
seperti tendangan kaki belakang seekor kuda.
"Eh..."!" pekik Dewa Arak terkejut. Serangan seperti itu sungguh di luar
dugaannya. Tapi berkat keunikan jurus
'Delapan Langkah Belalang', serangan yang datang begitu tiba-tiba itu masih
dapat dielakkan-nya
Tak lama kemudian kedua tokoh inipun sudah terlibat dalam sebuah pertempuran
sengit Jalatara memperhatikan sejenak pertarunganan tara
gurunya menghadapi Dewa Arak
"Bunuh mereka semua...!" perintah pemuda ber kumis tipis ini kepada anak
buahnya, seraya menunjuk beberapa tubuh yang tergolek lemah tanpa daya.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, belasan orang
Perkumpulan Kalajengking Merah itu bergerak menyerbu.
Tongkat merah berujung ekor kalajengking mereka, berkelebatan mengancam. Tapi sebelum balasan orang itu berhasil melaksanakan
perintah sang ketua, Melati telah menghadang.
Srattt..! Tanpa sungkan-sungkan lagi gadis berpakaian putih ini mencabut pedangnya.
Disadari akan keadaan pihak lawan yang lebih menguntungkan, seketika Itu juga
segera dikeluarkan ilmu pedang andalannya, 'Ilmu Pedang Seribu Naga'. Terdengar suara
mengaung bagaikan seekor naga yang tengah meraung
murka, begitu Melati menggerakkan pedangnya. "Selubung ini sudah tidak kuperlukan lagi!" ucap orang yang pada dahi
selubungnya bergambar ekor kalajengking, seraya mencabut selubungnya.
"Ah...! Kau... kau... Ki Taji!"
Terdengar seruan-seruan kaget dari mulut keluarga
Sudiraja begitu melihat wajah di balik selubung itu.
Wajah Ki Taji! Kepala urusan dalam rumah tangga. Jadi, orang yang hendak
membunuh Kanulaga, dan orang yang selama Ini menerima upeti dari Sudiraja adalah
Ki Taji. "Ya, aku! Kaget?" ejek Ki Taji sambil tersenyum sinis.
'Tunggulah. Setelah kubereskan wanita liar ini. Baru kalian akan kubereskan!"
Setelah berkata demikian, Wakil Ketua Perguruan Kalajengking Merah itu segera membabatkan tongkat
berujung ekor kalajengking ke leher Melati.
Wuttt..! Tongkat itu lewat di atas kepala Melati, begitu gadis itu merendahkan tubuhnya.
Tidak sampai di situ saja yang dilakukan Melati. Pada saat yang bersamaan,
pedangnya menusuk cepat ke leher Ki Taji. Suara menggerung dahsyat bagaikan
seekor naga murka, mengiringi tibanya serangan itu.
Hebat bukan main 'Ilmu Pedang Seribu Naga' yang dimiliki gadis itu.
Ki Taji terpekik kaget Serangan itu datang begitu cepat Tak mungkin lagi Wakil
Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah itu mengelak. Tapi sebelum ujung pedang
Melati menembus tenggorokannya, Jalatara melesat cepat, memapak pedang itu
Dewa Arak 07 Rahasia Surat Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan tongkat berujung ekor kalajengking yang sejak tadi digenggamnya
Tranggg...! Bunga-bunga api memercik ke udara, begitu kedua senjata itu beradu. Jalatara
merasakan betapa sekujur tangannya tergetar hebat Pemuda berkumis tipis ini
kaget bukan main.
Sungguh di luar dugaannya kalau tenaga dalam yang dimiliki gadis berpakaian puuh
Ini kuat sekali! Semula Jalatara menduga kalau hanya Dewa Arak sajalah yang
merupakan lawan tangguh. Sungguh tidak diduganya kalau Melati pun merupakan
lawan yang amat berat baginya.
Jalatara tidak punya pilihan lain. Pemuda ini tidak Ingin usahanya yang telah
lama dirintisnya gagal total Maka tanpa malu-malu lagi, anak buahnya diperintah
kan mengepung Melati
"Serbu...!"
Tanpa diperintah dua kali, belasan anak buahnya meluruk menyerang Melati, Sesaat
kemudian hujan senjata pun berkelebatan ke arah gadis berpakaian serba putih
itu. Jalatara pun tidak tinggal diam. Bersama Ki Taji, pemuda berkumis tipis ini ikut
menyerbu. Melati menggertakkan gigi. Dua belas orang anak buah Perkumpulan Kalajengking
Merah bukanlah lawan yang berat baginya. Tapi Jalatara dan Ki Taji, merupakan lawan
yang patut diperhitungkan. Mau tak mau Melati terpaksa harus mengerahkan seluruh
kemampuannya, bila ingin selamat Sesaat kemudian d ruangan Itu telah terjadi
pertempuran sengit.
Sementara itu pertarungan antara Dewa Arak melawan
Kalajengking Merah sudah bergeser jauh dari tempat semula.
Ruang tengah yang sebenarnya cukup luas, terasa sangat sempit bagi kedua orang
sakti itu. Lantai dan dinding ruangan telah banyak yang retak-retak, karena
setiap kali kedua tokoh itu melancarkan pukulan, dinding ruangan itu selalu
bergetar. Hal ini membuat kedua tokoh sakti Itu tidak leluasa untuk melancarkan serangan.
Khawatir bila bangunan itu roboh dan menimpa mereka.
Kini Dewa Arak dan Kalajengkingi Merah telah berada di halaman. Semakin
bertambah luas tempat pertarungan
gerakan mereka pun semakin leluasa.
Pertarungan antara kedua orang yang sama-sama memiliki kepandaian amat tinggi
ini berlangsung cepat. Dalam hati, Dewa Arak memuji kelihaian lawannya.
Kalajengking Merah memang memiliki kepandaian luar biasai Baik tenaga dalam
maupun ilmu meringankan tubuhnya tidak berada di bawah Dewa Arak.
Dan yang lebih menyulitkan bagi Dewa Arak, adalah
keanehan ilmu yang dimainkan kakek berkulit merah itu. Ilmu milik kakek berkulit
merah itu mengingatkan Arya pada binatang kalajengking dan kuda.
Sepasang tangannya yang membentuk cakar aneh
menyambar-nyambar penuh ancaman maut ke berbagai
bagian tubuh Dewa Arak. Tapi yang lebih berbahaya adalah kibasan kakinya.
Kibasan kaki itu mengingatkan Dewa Arak pada sabetan ekor kalajengking. Di
samping itu, kaki kakek berkulit merah itu pun dapat mementil seperti seekor
kuda. Itulah sebabnya, sepasang kaki kakek itu jauh lebih berbahaya daripada kedua
tangannya. Serangan sepasang kaki si kakek selalu datang tiba-tiba.
Kalau saja Dewa Arak tidak mempunyai jurus 'Delapan Langkah Belalang', sudah
sejak tadi pemuda berambut putih keperakan ini roboh di tangan Kalajengking
Merah. Setelah bertarung selama seratus enam puluh jurus, Dewa Arak belum juga mampu
mendesak kakek berkulit merah itu.
Kehebatan jurus 'Belalang Mabuk pupus menghadapi sepasang kaki Kalajengking
Merah yang selalu datang tiba-tiba.
Beberapa kali Dewa Alah hampir saja terkena serangan kaki yang terkadang,
mengibas dan sesekali mementil itu. Tapi berkat keunikan Jurus 'Delapan Langkah
Belalang', Arya masih mampu mengelakkannya.
Dewa Arak tidak punya pilihan lain lagi. Pemuda itu memutuskan untuk
mengeluarkan Jurus yang jarang
digunakannya kalau tidak terpaksa sekali, Jurus 'Pukulan Belalang'!
"Haaattt..!"
Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, di jurus ke seratus delapan puluh tujuh,
Kalajengking Merah mengibaskan kaki kanannya sambil memutar tubuh. Dan seperti
biasanya, serangan itu datang secara tidak terduga-duga, sehingga membuat Dewa
Arak kaget bukan main. Tapi berkat
keistimewaan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Arya masih sanggup mengelakkan
serangan itu. Cepat-cepat pemuda berambut putih keperakan ini
merunduk, sehingga kibasan itu lewat sejengkal di atas kepalanya. Rambutnya
sampai berkibaran akibat kerasnya tenaga dalam yang terkandung dalam tendangan
itu. Tapi sungguh di luar dugaan Dewa Arak kalau tiba-tiba saja kaki kiri
Kalajengking Merah menendang ke arah perutnya.
Bukkk...! "Hugh...!"
Dewa Arak mengeluh tertahan. Tendangan itu keras bukan main. Seketika itu juga
tubuh pemuda itu terjengkang beberapa tombak ke belakang. Rasa sesak yang amat
sangat mendera Arya. Untung saja Dewa Arak yang terkena
tendangan itu, kalau orang lain pasti tewas seketika,
"He he he...!"
Kakek berkulit merah itu terkekeh. Tanpa memberi
kesempatan lagi, segera diserbunya Dewa Arak yang masih terhuyung-huyung ke
belakang. Kedua tangannya bagaikan dua buah capit kalajengking menyambar ganas
ke pelipis dan ubun-ubun Dewa Arak.
Mendadak saja, Arya menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Dan angin keras berhawa panas menyengat
menyambar, memapak tubuh Kalajengking Merah yang tengah melunak ke arahnya.
Kakek berkulit merah ini terpekik kaget. Serangan Itu datangnya begitu tiba-
tiba. Apalagi tubuhnya tengah berada di udara. Belum sempat guru Jalatara itu
berbuat sesuatu, jurus
'Pukulan Belalang' Dewa Arak, telak menghantamnya.
Bresss...! "Aaakh...!"
Kalajengking Merah melayang jauh diiringi teriakan
menyayat, dan jatuh beberapa tombak dari tempatnya
semula. Kakek berkulit
merah ini menggelepar-gelepar
beberapa saat sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Kalajengking Merah tewas dengan sekujur tubuh hangus.
"Uhk... uhk...!"
Dewa Arak terbatuk-batuk. Ada cairan merah kental yang memercik dari mulutnya
seiring suara batuknya. Arya memang menderita luka dalam. Tendangan Kalajengking
Merah yang mengenal perutnya memang kuat luar biasa. Tapi pengerahan tenaga
dalam akhir jurus 'Pukulan Belalang' itulah yang semakin memperparah luka
dalamnya. Meskipun terluka dalam, tapi kekhawatiran Dewa Arak akan keselamatan Melati yang
tengah dikeroyok, membuat pemuda itu mengesampingkan luka dalam nya. Bergegas
Arya melangkah ke dalam ruang tengah yang luas dan megah itu.
Pemuda berambut putih keperakan itu menghela napas
lega. Dilihatnya Melati telah berhasil menguasai keadaan. Dua belas
orang Perkumpulan Kalajengking Merah telah bergeletakan di lantai. Semuanya tewas. Kini yang dihadapi gadis berpakaian
putih itu tinggal Jalatara dan Ki Taji saja. Itu pun keduanya sudah terdesak
hebat Memang, Melati dengan
'Ilmu Pedang Seribu Naga'nya terlalu kuat bagi kedua lawannya.
Hati Dewa Arak tenang melihat hal ini. Kini pemuda berbaju ungu itu tidak perlu
khawatir lagi akan keselamatan Melati.
Segera saja Arya duduk bersila. Tak lama kemudian Dewa Arak sudah tenggelam
dalam semadinya untuk mengatasi luka dalamnya yang cukup parah.
Sementara itu pertarungan antara Melati dengan kedua orang pimpinan Perkumpulan
Kalajengking Merah semakin sengit.
"Hiyaaat..!"
Cappp...! "Aaakh...!"
Ki Taji menjerit memilukan ketika pedang Melati menghunjam perutnya.
Jalatara tidak menyia-
nyiakan kesempatan itu
Selagi pedang Melati masih
tertancap di perut Ki Taji,
dari belakang dia melompat
menerjang. Dan selagi tubuhnya berada di udara,
senjatanya disabetkan ke
leher Melati. Tidak ada jalan lain bagi
Melati. Pegangan pada pedangnya terpaksa dilepaskan, sambil menjatuhkan diri ke lantai.
Melati terpaksa bergulingan
sehingga kini gadis
ini berada dalam posisi terlentang.
Wuttt..! Babatan tongkat berujung ekor kalajengking itu mengenai tempat kosong. Dan di
saat itulah Melati menghentakkan kedua tangannya yang membentuk cakar naga ke
atas, ke arah tubuh Jalatara yang masih berada di udara. Inilah jurus
'Naga Merah Membuang Mustika'.
Wusss...! Bresss..!
"Aaakh...!"
Jalatara menjerit memilukan. Tubuhnya yang tengah
berada di udara itu melambung kembali atas. Pukulan jarak jauh Melati telak
mengenai dadanya. Seketika itu juga sekujur tulang dadanya remuk. Darah segar
mengalir deras dari
mulut, hidung, dan telinga-nya. Pemuda berkumis tipis ini tewas sebelum tubuhnya
sempat mencapai tanah. Dengan mengeluarkan suara berdebuk keras tubuh Jalatara
jatuh ke lantai.
Sudiraja, Kanulaga, dan Nirmala menatap mayat. Jalatara dengan perasaan yang
sukar untuk dilukiskan. Ada perasaan lega melihat pemuda itu mati. Tapi perasaan
sedih, mendera lebih besar lagi. Bagaimanapun juga, pemuda itu adalah keluarga
mereka. Terlebih lagi Sudiraja! Tanpa dapat ditahannya, sepasang mainnya
merembang berkaca-kaca.
Dewa Arak dan Melari menghampiri. Sudiraja sekeluarga dan Pandira yang kini
sudah tidak terlalu lemah lagi. Mereka kini sudah mampu bangkit dan dapat
berbuat sebagaimana orang biasa layaknya. Tapi, tetap saja tenaga dalam yang
mereka miliki musnah.
"Sayang sekali, kami tidak tahu bagaimana caranya memunahkan racun itu," keluh
Dewa Arak penuh sesal setelah menyelesaikan semadinya. Kini luka-luka dalamnya
telah sembuh. "Aku dapat memunahkannya, Dewa Arak," sahut Kanulaga.
"Kau bisa?" tanya Arya ingin memastikan.
"Ya! Guruku ahli pengobatan. Racun ini bukan apa-apa bagiku,"
ucap laki-laki berwajah keras itu seperti menyombongkan diri.
"Lalu, kenapa sejak tadi kau diam saja?" tanya Dewa Arak menyalahkan.
'Tadi aku belum mampu bangkit.... Eh! Dewa Arak...!"
panggil Kanulaga keras. Sebelum pemuda itu menyelesaikan ucapannya, Dewa Arak
melesat pergi dari situ di kuti oleh Melati.
Tapi Arya dan Melari sama sekali tidak mempedulikan panggilan Kanulaga. Kedua
pendekar muda ini sengaja
bergegas pergi, karena tidak ingin menerima ucapan terima kasih dari orang yang
ditolongnya. Lagi pula urusannya telah selesai. Kanulaga, Sudiraja, Pandira, dan
Nirmala, hanya dapat teriongong melihat kepergian penolong mereka.
Sementara itu, nun jauh di sana nampak dua sejoli tengah berjalan berdampingan.
Seorang pemuda berambut putih keperakan dan seorang gadis cantik berpakaian
serba putih. Kedua orang itu adalah Dewa Arak dan Melati yang terus mengembara memenuhi tugas
sebagai pendekar pembela
kebenaran SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Dewi KZ
Editor : Dewi KZ
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
Kaki Tiga Menjangan 37 Malaikat Berwajah Putih Lo Ban Teng Karya Tk Kiong Beruang Salju 18