Pencarian

Pendekar Tangan Baja 3

Dewa Arak 09 Pendekar Tangan Baja Bagian 3


Maka tidak aneh jika setiap kali tangan atau kaki kedua orang itu berbenturan.
Selalu pengawal berambut kepang itu terhuyung-huyung ke belakang. Mulutnya
menyeringai kesakitan.
Semakin lama Pendekar Tangan Baja semakin men-
desak anggota Pasukan Kuku Garuda itu. Dan kini laki-laki berambut kepang itu
hanya mampu bertahan. Hanya
sesekali saja dia melancarkan serangan balasan. Itu pun dengan mudah dapat
dikandaskan pemuda berbaju
kuning. Tujuh orang rekannya tentu saja melihat keadaan laki-laki berambut kepang itu.
Tapi mereka diam saja. Hanya memandang dengan sinar mata khawatir. Mereka tidak
berani bertindak lancang tanpa perintah Prabu
Jayalaksana. Walaupun tidak memiliki ilmu kepandaian setinggi para pengawal khususnya, Prabu
Jayalaksana sedikit banyak dapat mengetahui kalau anggota Pasukan Kuku Garuda
itu terdesak. "Kalian bantu tangkap Pendekar Tangan Baja," perintahnya pada tiga orang yang
tadi sudah melangkah maju.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, tiga orang anggota Pasukan Kuku Garuda itu
segera melesat ke depan.
Menceburkan diri dalam arena pertarungan, dan langsung melakukan serangan
serangan berbahaya.
Dengan adanya tambahan tiga anggota Pasukan Kuku
Garuda, Pendekar Tangan Baja terpaksa menghentikan desakan pada laki-laki
berambut kepang. Cepat pemuda berbaju kuning melentingkan tubuhnya ke belakang,
kemudian bersalto beberapa kali di udara dan hinggap di tanah. Dan secepat itu
pula bersiap. Empat orang Pasukan Kuku Garuda tidak mengejar.
Dibiarkan saja pemuda berbaju kuning itu memperbaiki kuda-kudanya. Sementara
Pendekar Tangan Baja bersiap siaga menghadapi empat orang jago-jago istarta ini.
Tapi sebelum Pendekar Tangan Baja dan empat
pengawal khusus Raja Kamujang ini bentrok, sebuah
bisikan di telinga pemuda berbaju kuning ini membuatnya tertegun.
"Gusti Prabu Jayalaksana tidak bersalah, Pendekar Tangan Baja. Ada orang yang
memfitnahnya...."
"Arya...?" desah pemuda berbaju kuning ini pelan.
Dikenali betul siapa pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak.
Perasaan kagum menyeruak dalam hati pemuda berbaju kuning ini. Dia tahu kalau
pemuda berambut putih keperakan itu menggunakan ilmu
mengirimkan suara dari jauh untuk menyampaikan pesan itu padanya.
Beberapa saat lamanya Pendekar Tangan Baja jadi
bimbang. Antara menuruti saran Dewa Arak atau melanjutkan pertarungan. Tapi
akhimya, pemuda berbaju kuning ini memutuskan untuk menuruti saran Arya. Toh,
kalau nanti ternyata apa yang dikatakan pemuda berambut putih
keperakan itu tidak benar, masih ada kesempatan lain untuk melaksanakan niat nya
itu. Setelah memutuskan demikian, Pendekar Tangan Baja
segera melentingkan tubuhnya ke belakang. Bersalto beberapa kali di udara
kemudian melesat kabur dari situ.
"Tangkap...! Jangan biarkan dia lolos...!" teriak Panglima Ramkin, yang tiba-
tiba sudah datang ke tempat itu.
Teriakan-teriakan keras bernada perintah terdengar bersahut- sahutan. Tentu saja
pasukan Kerajaan Kamujang tidak tinggal diam. Belasan prajurit mencoba
menghadang, tapi segera buyar begitu pemuda berbaju kuning itu mengamuk membuka
jalan. Empat orang Pasukan Kuku Garuda tidak tinggal diam.
Mereka pun segera bergerak mengejar. Tapi Pendekar Tangan Baja segera
mengerahkan seluruh ilmu peringan tubuh yang dimilikinya. Tubuhnya berkelebatan
cepat. Dan beberapa saat kemudian, sudah berada di dinding tembok istana.
"Hih...!"
Pendekar Tangan Baja menggenjotkan kakinya. Sesaat kemudian tubuhnya pun
melayang ke atas. Tepat pada saat pasukan panah Kerajaan Kamujang melepaskan
puluhan anak panah ke arahnya.
Kembali pemuda berbaju kuning ini membuktikan
kelihaiannya. Selagi tubuhnya berada di udara, kedua tangannya bergerak cepat
menyampok puluhan anak
panah yang menyambar deras ke arahnya.
Tak, tak. tak...!
Puluhan batang anak panah itu pun berpentalan tak
tentu arah ketika tersampok sepasang tangan Pendekar Tangan Baja. Ada beberapa
di antara anak-anak panah itu yang masih utuh. Tapi sebagian besar sudah tidak
berbentuk lagi.
"Hup...!"
Wataupun agak terhuyung sedikit, karena tingginya
tembok istana dan juga karena adanya gangguan, pemuda berbaju kuning ini
berhasil mendarat mulus di luar tembok istana. Tanpa membuang-buang waktu lagi
Pendekar Tangan Baja segera melesat kabur dari situ.
Belum berapa jauh Pendekar Tangan Baja berlari, tiba-tiba sesosok bayangan
berkelebat menghadang. Dan tahu-tahu di depan pemuda berbaju kuning telah
berdiri seorang pemuda berambut putih keperakan.
"Arya...," desis Pendekar Tangan Baja seraya menghentikan larinya.
Pemuda yang memang bukan lain dari Dewa Arak itu
tersenyum lebar.
"Sudah kuduga kalau kau mau mendengar saranku itu, Pendekar Tangan Baja," ucap
pemuda berambut putih keperakan ini.
"Benarkah yang kau katakan tadi, Arya?" tanya pemuda berbaju kuning. Mulutnya
menyunggingkan senyuman getir.
"Benar, Pendekar Tangan Baja," sahut Dewa Arak sambil menganggukkan kepalanya.
"Dan kau tahu siapa orang yang memfitnahnya?" desak Pendekar Tangan Baja lagi.
Ada nada keingintahuan yang amat sangat terpancar dari raut wajahnya.
"Hhh.... Sayang sekali, Pendekar Tangan Baja," jawab Dewa Arak sambii menghela
napas panjang. "Aku sama sekali tidak mengenalnya. Hanya yang kutahu ciri-ciri
orang itu saja."
"Bisa kau sebutkan ciri-cirinya, Arya?" tanya pemuda berbaju kuning setengah
hati. Dewa Arak menganggukkan kepalanya. Beberapa saat
lamanya pemuda berambut putih keperakan ini tercenung.
"Seorang laki-laki setengah baya berpakaian rompi coklat. Dan.... hanya
mempunyai sebuah daun telinga...."
"Apa"!" tanya Pendekar Tangan Baja setengah berteriak.
Keterkejutan yang amat sangat jelas membayang di
wajahnya. Sepasang matanya pun membelalak lebar.
Bagaikan melihat hantu di slang bolong. "Betulkah ciri-dri yang kau sebutkan
itu, Arya?"
Tentu saja Dewa Arak jadi terkejut campur bingung
melihat sikap pemuda berbaju kuning yang nampak jelas begitu terkejut mendengar
keterangannya. Masih dengan sinar mata penuh pertanyaan, pemuda berambut putih
keperakan ini menganggukkan kepalanya.
"Ada apa, Pendekar Tangan Baja?" tanya Arya hati-hati.
Khawatir kalau pertanyaannya menyinggung perasaan
pemuda berbaju kuning yang pemarah ini.
"Ciri-ciri yang kau sebutkan itu, mirip dengan orang yang selama ini kucari-
cari, Arya," sahut Pendekar Tangan Baja pelahan.
"Maksudmu...." Dewa Arak tidak melanjutkan ucapannya. Memang, pemuda berbaju
kuning ini pernah bercerita mengenal tugasnya mencari paman gurunya.
"Yahhh..., paman guruku, Arya," sahut Pendekar Tangan Baja dengan suara
mendesah. Dewa Arak terdiam mendengar penjelasan itu. Sesaat lamanya suasana pun jadi
hening. "Kau tahu di mana paman guruku itu berada, Arya?"
Dewa Arak menganggukkan kepalanya.
"Bisa kau beritahukan aku tempatnya?" tanya Pendekar Tangan Baja.
"Kita pergi bersama-sama Pendekar Tangan Baja." sahut Dewa Arak.
"Tidak! Ini adalah urusan pribadi. Kau tidak usah ikut campur, Arya," bantah
pemuda berbaju kuning itu.
Dewa Arak tersenyum. Disadari kebenaran ucapan
pemuda berbaju kuning di hadapannya.
"Tapi kini persoalan itu sudah bukan persoalanmu
sendiri, Pendekar Tangan Baja."
"Apa maksudmu" Aku masih belum mengerti," tanya pemuda berbaju kuning ini. Nada
suaranya menyiratkan tuntutan.
"Karena paman gurumulah orang yang telah memfitnah Prabu Jayalaksana!"
"Memfitnah"! Ceritakanlah, Arya!" desak Pendekar Tangan Baja ingin tahu.
Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak kecuali menceritakan hal yang sebenarnya
pada pemuda berbaju kuning ini.
Dan begitu Arya menyelesaikan ceritanya. Pendekar
Tangan Baja baru mengerti.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Arya" Mari kita serbu tempat itu!" ajak pemuda
berbaju kuning itu penuh semangat.
Dewa Arak hanya tersenyum. Sesaat kemudian tubuh
kedua pemuda perkasa itu telah melesat meninggalkan tempat itu. Cepat bukan main
gerakan kedua pemuda
gagah itu. Dalam sekejap saja, bayangan tubuh mereka telah lenyap ditelan
kerimbunan pepohonan.
*** 6 Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja berlari cepat
mengerahkan ilmu meringankan tubuh mereka. Cepat
bukan main gerakan kedua pemuda perkasa itu. Sehingga yang terlihat hanyalah
sekelebatan bayangan keunguan dan kekuningan.
Diam-diam baik Pendekar Tangan Baja maupun Dewa
Arak sama-sama memuji kelihaian masing-maslng. Arya memang sudah menduga kalau
pemuda berpakaian
kuning ini memiliki kepandaian tinggi. Tapi sungguh tidak diduganya kalau sampai
setinggi ini. Ilmu meringankan tubuh Pendekar Tangan Baja ini amat luar biasa.
Meskipun begitu, seandainya pemuda berambut putih keperakan ini mau mengerahkan
seluruh ilmu meringankan tubuhnya, sudah dapat dipastikan akan mampu
meninggalkan pemuda berpakaian kuning.
Pendekar Tangan Baja pun dilanda perasaan serupa.
Pemuda berpakaian kuning ini adalah seorang pendekar muda yang baru pertama kali
terjun ke dunia persilatan.
Sehingga belum pemah mendengar julukan Dewa Arak
alias Arya Buana yang menggemparkan dunia persilatan.
Pendekar Tangan Baja merasa kagum bukan main
melihat kehebatan pemuda berambut putih keperakan ini.
Padahal dia telah mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, tapi tetap saja
tidak mampu meninggalkan Arya.
Bahkan kini terlihat jelas kalau Dewa Arak itu pelahan namun pasti, mulai
meninggalkan beberapa langkah di depannya. Pendekar Tangan Baja sama sekali
tidak tahu kalau pemuda berambut putih keperakan ini belum
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Berkat ilmu meringankan tubuh kedua pemuda perkasa yang telah mencapai tingkatan
tinggi, tak berapa lama kemudian, bangunan dimaksud telah terlihat oleh
keduanya. Begitu bangunan itu sudah terlihat Jelas, Dewa Arak dan Pendekar
Tangan Baja segera menghentikan
langkahnya. Agak jauh dari bangunan itu. Cepat kedua pemuda perkasa ini
berlindung di balik sebatang pohon.
"Kelihatannya sepi-sepi saja, Arya," ucap Pendekar Tangan Baja setelah sepasang
matanya mengamati sekitar bangunan tua yang berhalaman cukup luas itu.
Dewa Arak hanya menggumam tidak Jelas.
"Aku khawatir kalau keterangan yang kau terima itu hanya tipuan belaka," ucap
pemuda berpakaian kuning lagi begitu dilihatnya pemuda berambut putih keperakan
tidak menyahuti ucapannya.
"Aku yakin orang itu tidak menipu kita," sahut Dewa Arak tanpa mengalihkan
perhatiannya pada bangunan tua yang menjadi pusat perhatian mereka.
"Apa yang membuatmu begitu yakin, Arya?"
Dewa Arak mengalihkan pandangannya dari bangunan
tak terurus itu. Ditatapnya wajah Pendekar Tangan Baja lekat-lekat.
"Orang itu merasa sakit hati karena dikhianati oleh pemimpinnya. Coba kau
pikirkan, Pendekar Tangan Baja.
Andaikan kau yang menjadi orang itu. Lalu kau telah melaksanakan tugasmu dengan
baik, tapi kau malah
dibunuhnya. Apakah kau tidak sakit hati" Tidak ingin membalas kekejian
pemimpinmu itu?" Arya balik bertanya.
"Hhh...!" Pendekar Tangan Baja menghela napas panjang. "Itukah dasar pemikIran
yang membuatmu yakin akan keterangannya, Arya?"
"Ya." sahut Dewa Arak singkat.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi" Mari kita serbu bangunan itu. Aku sudah tidak
sabar lagi untuk bertemu dengan paman guruku!" ajak Pendekar Tangan Baja seraya
hendak beranjak dari tempat persembunyiannya.
"Sabar, Pendekar Tangan Baja!" ucap Dewa Arak mencegah.
"Ada apa" Kau takut?" tanya pemuda berpakaian kuning itu seraya mengernyitkan
kening. Merah wajah Dewa Arak mendengar ucapan itu. Sikap
Pendekar Tangan Baja begitu keras. Dan ucapannya pun terkadang sering
menyakitkan hati. Sepertinya setiap ucapan pemuda berpakaian kuning ini keluar
begitu saja tanpa dipikir lebih dulu.
"Tidak ada kata takut dalam kamus hidupku, Pendekar Tangan Baja!" tandas pemuda
berambut putih keperakan itu agak keras.
"Hm.... Lalu" Mengapa kau ragu-ragu?" desak Pendekar Tangan Baja lagi.
"Dalam menghadapi setiap persoalan, kita tidak boleh menuruti emosi saja,
Pendekar Tangan Baja," jawab Dewa Arak setengah menggurui. Disadari kalau
ucapannya itu agak keras. Tapi Arya tidak mempedulikannya lagi. Ber-bicara
dengan pemuda di hadapannya ini memang harus tegas.
"Jadi, menurutmu... lebih baik kita bersembunyi saja di sini. Begitu, Arya,"
sindir Pendekar Tangan Baja sambil tersenyum mengejek.
"Bukan itu yang kumaksudkan!" ucap Dewa Arak agak keras. "Ingat, kita kemari
bukan hanya untuk bertarung saja. Tapi juga menyelamatkan Permaisuri Kerajaan
Kamujang."
"Heh"! Kau salah kira rupanya, Arya."
"Maksudmu?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu masih kurang mengerti.
"Aku datang kemari bukan untuk menyelamatkan
permaisuri yang diculik itu! Tapi untuk membawa paman guruku hidup atau mati'"
tandas Pendekar Tangan Baja tegas.
"Kalau begitu, hapus saja julukan pendekarmu itu.
Pendekar Tangan Baja'" sambut Dewa Arak tak kalah keras.
"Apa hubungannya sebutan pendekar itu dengan
menyelamatkan permaisuri" Hm.... Baru kali ini kudengar kalau seorang berhak
mendapat julukan pendekar, kalau sudah menyelamatkan seorang permaisuri!" ejek
Pendekar Tangan Baja.
"Hhh...! Tak kusangka kalau secepat ini kau melupakan janjimu pada Ki Paladi.
Tak kusangka kalau kau begitu mudahnya mengingkan janji " keluh Dewa Arak.
"Jaga mulutmu, Arya!" sentak Pendekar Tangan Baja gusar. "Aku sama sekali tidak
berjanji menyelamatkan permaisuri raja pada Ki Paladi!"
"Bukankah kau telah bertekad untuk menghilangkan kekacauan yang terjadi di
wilayah Kerajaan Kamujang?"
tanya Arya dengan nada tinggi.
"Benar."
"Nah! Perlu kau ketahui! Sumber semua kekacauan di Kerajaan Kamujang ini adalah
karena permaisuri Prabu Jayalaksana disandera oleh paman gurumu! Selama
permaisuri masih di tangan mereka, Raja Kamujang tidak bisa berbuat apa-apa
untuk menentang kekacauan itu!"
jelas Dewa Arak panjang lebar.
Pendekar Tangan Baja pun terdiam seketika. Kini baru disadarinya kalau masalah
yang tengah dihadapi tidak sesederhana yang dia duga. Memang pemuda berpakaian
kuning ini kurang mengandalkan pikirannya dalam


Dewa Arak 09 Pendekar Tangan Baja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapi setiap persoalan.
"Sekarang terserah padamu! Kalau kau tetap tidak ingin menyelamatkan permaisuri
itu, aku tidak akan memaksa!
Tapi kumohon, kau menahan dulu urusan dengan paman gurumu itu sampai aku
berhasil menyelamatkan
permaisuri," pinta pemuda berambut putih keperakan itu seraya menatap tajam
wajah pemuda berpakaian kuning.
"Hhh...!" Pendekar Tangan Baja menghela napas panjang. Kemarahannya yang sejak
tadi bangkit, pelahan mulai mereda.
"Bagaimana" Bisa kau penuhi permintaanku ini?" tanya Dewa Arak lagi begitu
melihat pemuda berpakaian kuning belum memberikan jawaban.
"Maafkan atas kebodohanku, Arya," ucap pemuda berpakaian kuning lagi. Nada
suaranya menyiratkan
penyesalan yang mendalam.
"Jadi...?"
"Aku ikut denganmu. Kita bersama-sama menyelamatkan permaisuri dulu. Biar urusan
dengan paman guruku, kuurus setelah kita berhasil menyelamatkan permaisuri''
Dewa Arak tersenyum lebar. Diulurkan tangannya.
Pendekar Tangan Baja menyambut hangat, dan meng-
genggamnya erat-erat. Perasaan kagumnya kepada Arya semakin besar. Sungguh tidak
disangka, kalau pemuda berambut putih keperakan itu memiliki pandangan yang
begitu luas. Siapakah sebenarnya Arya ini" tanya Pendekar Tangan Baja dalam
hati. *** Matahari tepat berada di atas kepala. Sinamya yang
terik menyorot garang ke permukaan bumi Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja
melesat cepat mendekati pagar tembok yang mengelilingi bangunan tua yang tak
terurus itu. Berkat ilmu meringankan tubuh kedua pemuda itu yang sudah mencapai
tingkatan tinggi, dalam sekejap saja keduanya sudah berada di balik pagar
tembok. "Kita bagi tugas, Pendekar Tangan Baja," ucap Dewa Arak.
"Maksudmu?" tanya Pendekar Tangan Baja seraya mengernyitkan keningnya.
"Kita harus bertindak hati-hati. Bukankah kita belum mengetahui seberapa besar
kekuatan gerombolan paman gurumu itu" Untuk menghindari kegagalan, akan kucoba
menarik perhatian mereka "
"Bicara jangan berbelit-belit, Arya," tegur pemuda berpakaian kuning itu. Memang
Pendekar Tangan Baja masih belum mengerti arah pembicaraan pemuda
berambut putih keperakan ini.
"Aku akan membuat kekacauan. Dan begitu semua perhatian mereka sudah tertuju
padaku. Kau cari dan selamatkan permaisuri. Mengerti?"
Pendekar Tangan Baja menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu bersiapiah, aku akan menarik perhatian mereka!"
Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih
keperakan menggenjotkan kaki. Sesaat kemudian tubuh pemuda ini pun melenting ke
atas. Dan.... "Hup...!"
Indah dan manis sekali, kedua kakinya mendarat di
pagar tembok. Tapi belum sempat pemuda berambut putih keperakan ini berbuat
sesuatu, beberapa orang yang tengah berjaga-jaga di sekitar bangunan itu telah
me-mergokinya. "Cepat lapor pada ketua," perintah salah seorang dari mereka. Sementara dia
sendiri bersama beberapa orang lainnya segera meluruk ke arah Dewa Arak.
Arya yang memang sengaja hendak mengalihkan
perhatian, segera melompat turun dari pagar tembok batu.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak tanah,
tepat pada saat delapan anggota gerombolan itu meluruk ke arahnya dengan senjata
terhunus. Karena ingin mengalihkan perhatian, Dewa Arak tidak bertindak setengah-setengah.
Segera saja dikeluarkan seluruh kemampuan yang dimilikinya.
Singgg, singgg, wuttt....!
Delapan batang senjata tajam yang terdiri dari tombak, pedang dan golok
berkelebatan cepat ke berbagai bagian tubuh pemuda berambut putih keperakan itu.
Tapi, Dewa Arak tetap bersikap tenang. Dibiarkan saja hujan senjata-senjata
tajam itu meluruk ke berbagai bagian tubuhnya.
Tak, tak, tak...!
Suara-suara pekikan kaget segera terdengar begitu
hujan senjata-senjata tajam itu mengenai sasarannya.
Betapa tidak" Semua senjata yang mengenai sekujur
tubuh Dewa Arak berbalik kembali. Seolah-olah yang terbabat itu bukan tubuh
manusia yang terdiri dari daging dan tulang. Melainkan gumpalan karet yang keras
dan kenyal. Tapi suara pekik kekagetan itu segera berganti dengan pekik kesakitan, begitu
tangan Dewa Arak bergerak.
Padahal gerakan tangan pemuda berambut putih
keperakan itu terlihat pelahan saja. Tapi akibatnya, delapan orang kasar
berpentalan tak tentu arah bagai dilanda angin badai!
Tapi baru juga delapan orang itu roboh, dari dalam bangunan tua itu muncul
puluhan orang bahkan mungkin seratus orang! Berdiri paling depan adalah seorang
laki-laki setengah baya berompi coklat, berdaun telinga satu.
Dewa Arak terperanjat kaget. Sungguh tidak disangkanya kalau jumlah anak buah
Paman Guru Pendekar Tangan Baja begitu besar. Beberapa saat lamanya, pemuda
berambut putih keperakan ini terlihat bingung.
Belum juga Arya berhasil menghilangkan perasaan
kagetnya, tahu-tahu tangan laki-laki setengah baya ini berkelebat. Seketika itu
juga anak buahnya yang berjumlah tak kurang dari tiga ratus orang itu bergerak
cepat mengurung. Dalam sekejap Dewa Arak telah terkurung rapat.
Dewa Arak menyadari keadaan yang tidak menguntung-
kan baginya. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dijumput-nya guci arak yang
tersampir di punggungnya. Kemudian dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu arak itu memasuki
tenggorokan Arya. Seketika itu juga ada hawa hangat yang merayap memasuki perut
Dewa Arak. Dan kemudian naik ke kepala.
Baru Juga Dewa Arak menurunkan kembali gucinya.
Laki-laki berompi coklat itu telah berseru keras.
"Serang...!"
Tanpa menunggu diperintah dua kali, orang-orang yang telah mengurung itu
langsung bergerak menyerbu Dewa Arak. Hujan senjata pun berkelebatan ke arah
pemuda berambut putih keperakan itu.
Bukan hanya Dewa Arak saja yang terkejut melihat hal ini. Pendekar Tangan Baja
pun dilanda perasaan serupa.
Kini kekagumannya pada Dewa Arak semakin bertambah besar. Sikap hati-hati pemuda
berambut putih keperakan itu begitu tepat, gumam pemuda berpakaian kuning dalam
hati. Tapi Pendekar Tangan Baja tidak bisa terlalu lama larut dalam keterkejutannya.
Pemuda berpakaian kuning ini tahu, betapa pun lihainya Arya, tidak mungkin mampu
menghadapi sekian banyak orang. Apalagi di situ ada paman gurunya! Maka dia
harus bertindak cepat kalau ingin Dewa Arak tetap selamat.
Sekali lagi Pendekar Tangan Baja memandang ke arah Dewa Arak yang sudah sibuk
bertarung menghadapi
pengeroyokan lawannya. Kemudian tanpa membuang-
buang waktu lagi, pemuda berpakaian kuning ini melesat ke belakang. Mengelilingi
bagian luar pagar tembok.
Pemuda berpakaian kuning ini mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Pendekar Tangan Baja ingin buru-buru membantu Dewa Arak. Tapi untuk itu dia
harus lebih dulu menyelamatkan permaisuri.
Setelah berada di pagar tembok bagian belakang,
Pendekar Tangan Baja menghentikan Langkahnya.
Pemuda berpakaian kuning terdiam sejenak. Kemudian digenjotkan kakinya.
"Hih...!"
Sesaat kemudian tubuhnya melenting, melewati pagar tembok. Indah dan manis
gerakannya. Dan....
"Hup...!"
Seperti yang sudah direncanakan Dewa Arak, keadaan di sini hening dan sepi.
Sesaat Pendekar Tangan Baja mengawasi keadaan di sekitar bangunan. Lalu melesat
ke dalam melalui pinru belakang.
Tanpa mengalami kesulitan, pemuda berpakaian kuning ini memasuki pintu itu dan
terus menerobos ke dalam.
Agak bingung juga pemuda berpakaian kuning melihat begitu banyak ruangan yang
ditemuinya dalam bangunan ini. Tapi perkenalannya dengan Dewa Arak telah membuat
pemuda ini mulai bisa mempergunakan akalnya.
Pendekar Tangan Baja buru-buru menyelinap ke balik sebuah tiang, ketika
dilihatnya empat orang berwajah kasar dan bertubuh kekar berada di depan pintu
sebuah ruangan. Pikiran pemuda berpakaian kuning ini pun
bekerja. Mengapa ruangan itu dijaga sementara ruangan-ruangan lainnya tidak"
Kemungkinannya hanya satu,
permaisuri Prabu Jayalaksana ditahan di dalam ruangan itu! Setelah yakin pada
dugaannya, pemuda berpakaian kuning ini lalu melesat Pendekar Tangan Baja tidak
ingin memberi kesempatan pada para penjaga itu untuk
mempergunakan permaisuri sebagai sandera. Pemuda
berpakaian kuning ini mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya.
Tentu saja empat orang penjaga itu kaget bukan main begitu melihat di hadapan
mereka tahu-tahu berdiri seorang pemuda berpakaian kuning. Pendekar Tangan
Baja terkejut begitu mengenal salah seorang di antara mereka adalah Rupangga.
Sesaat, perasaan bimbang
melanda hatinya. Mengapa punggawa Kerajaan Kamujang ini berada di sini"
Tapi, Pendekar Tangan Baja tidak bisa berpikir lama, Rupangga ternyata sudah
mengenalnya. Terbukti, begitu dilihatnya pemuda berpakaian kuning ini, segera
dicabut goloknya. Tentu saja ketiga rekannya mengikuti gerakannya itu.
Srat, srat..! Serentak keempat orang itu menghunus senjatanya
masing-masing. Dan secepat itu pula membabatkannya ke arah Pendekar Tangan Baja.
Tak pelak lagi empat buah senjata yang terdiri dari pedang dan golok,
berkelebatan cepat mengancam berbagai bagian tubuh Pendekar
Tangan Baja. Pendekar Tangan Baja hanya mendengus. Sekali lihat saja, pemuda berpakaian
kuning ini sudah dapat mengukur tingkat kepandaian empat orang penjaga itu.
Pendekar Tangan Baja tidak mau mengulur-ulur waktu lagi. Cepat-cepat kedua
tangannya digerakkan memapak hujan
senjata yang menyambar ke arahnya.
Tak, tak...! Suara benturan keras terdengar hampir bersamaan,
begitu kedua tangan pemuda berpakaian kuning itu berbenturan dengan pedang dan
golok di tangan para
penjaga. Terdengar pekikan-pekikan kaget dari mulut orang-orang kasar itu
tatkala merasakan tangan-tangan mereka tergetar hebat. Dan hampir hampir senjata
mereka terlepas dari genggaman.
Dengan perasaan terkejut mereka memandang senjata
masing-masing. Seketika sepasang mata mereka ter-
belalak tatkala melihat mata senjata mereka gompal. Dan belum lagi mereka sempat
berbuat sesuatu, kedua tangan Pendekar Tangan Baja sudah bergerak cepat ke arah
mereka. Wut, wut...! Buk! Buk! "Hugh!"
"Aaakh...!"
Jertt melengking memilukan terdengar hampir
bersamaan ketika sepasang tangan Pendekar Tangan Baja mendarat di perut mereka.
Seketika itu juga tubuh para penjaga itu terlontar jauh ke belakang bagai
diseruduk banteng. Darah segar mengalir deras dari mulut, hidung, dan telinga
keempat penjaga itu.
Suara berdebukan keras terdengar susul menyusul
begitu tubuh mereka menghantam lantai. Saat itu juga keempat orang penjaga itu
diam tidak bergerak lagi. Diam untuk selama lamanya.
Tanpa mempedulikan keadaan lawan-lawannya lagi,
Pendekar Tangan Baja segera bergerak ke arah pintu.
Tinjunya dipukulkan ke daun pintu itu. Dan....
Brakkk! Daun pintu itu hancur berantakan ketika tinju Pendekar Tangan Baja
menghantamnya. Pemuda berpakaian kuning itu segera melesat ke dalam. Dan
terlihatlah seorang wanita setengah baya berpakaian indah beringsut ke sudut
ruangan. "Apakah Nisanak permaisuri Gusti Prabu Jayalaksana?"
tanya Pendekar Tangan Baja tanpa mempedulikan sikap wanita setengah baya itu.
Diam tak ada jawaban dari wanita setengah baya itu.
"Bicara cepat, Nisanak! Aku tidak mempunyai banyak waktu. Aku dan kawanku datang
untuk menyelamatkan
Permaisuri Kerajaan Kamujang. Kawanku tengah meng-
halangi yang lainnya. Cepat jawab, Nisanak. Benarkah kau permaisuri Gusti Prabu
Jayalaksana?" desak Pendekar Tangan Baja.
Wanita setengah baya itu menatap wajah Pendekar
Tangan Baja lekat-lekat. Kemudian pelahan kepalanya terangguk pelan.
"Kalau begitu maafkan aku."
Setelah berkata demikian, Pendekar Tangan Baja
melesat cepat menyambar tubuh wanita setengah baya itu.
Tappp...! "Hup...!"
Secepat tubuh Permaisuri Kerajaan Kamujang itu
dipondongnya, secepat itu pula Pendekar Tangan Baja melesat keluar.
*** Sementara itu di halaman depan yang luas, laki-laki
berompi coklat tengah memperhatikan Dewa Arak yang sibuk menghadapi keroyokan
anak buahnya. Wajah laki-laki setengah baya ini merah padam, menyaksikan anak
buahnya berjatuhan dan tak bangun lagi setiap kali tangan, kaki, atau guci Dewa
Arak bergerak. Sedangkan setiap serangan anak buahnya selalu kandas. Sudah
belasan orang anak buahnya yang roboh bergeletakan di tanah.
"Minggir semua...!" teriak laki-laki berompi coklat itu keras. Seketika itu juga
anak buahnya berlompatan
mundur. "Hup...!"
Lincah dan indah laksana seekor kera, laki-laki berompi coklat itu melompat
mendekati Arya.
"Jangan harap dapat lolos dari sini, Dewa Arak!" desis laki-laki berdaun telinga
satu itu tajam. Sepasang matanya menatap wajah pemuda berambut putih keperakan
penuh ancaman. "Kita lihat saja buktinya!" sahut Arya tenang. Memang luar biasa sekali kekuatan
hati Dewa Arak. Meskipun berada dalam ancaman maut, masih mampu bersikap
tenang. "Hiyaaa...!"
Seraya mengeluarkan teriakan nyaring, laki-laki berompi coklat melompat
menerjang Dewa Arak. Paman Guru
Pendekar Tangan Baja ini sebelumnya memang pernah
merasakan kelihaian pemuda berambut putih keperakan itu. Maka tanpa ragu-ragu
lagi segera dikeluarkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Kedua tangannya yang
berbentuk paruh bangau melakukan patukan bertubi-tubi ke arah ubun-ubun dan
pelipis Arya. Dewa Arak tidak mau bersikap main-main lagi. Pemuda berambut putih keperakan ini
menyadari posisinya tidak menguntungkan. Kalau dia bersikap setengah-setengah,
sudah dapat dipastikan akan tewas terbantai di sini. Maka tanpa ragu- ragu lagi,
segera dikeluarkan Ilmu 'Belalang Sakti' andalannya. Dengan keunikan jurus
'Delapan Langkah Belalang', kakinya melangkah terhuyung-huyung seperti akan jatuh. Laki-
laki berdaun telinga satu menggeram keras begitu melihat lawannya tahu-tahu
lenyap. Tapi berkat pengalaman sebelumnya, sudah dapat diduga kalau lawan berada di
belakangnya. Maka begitu Dewa Arak telah tidak berada lagi di depannya segera
dibalikkan tubuhnya.
Bertepatan dengan berbaliknya tubuh laki-laki berompi coklat itu, Arya sudah


Dewa Arak 09 Pendekar Tangan Baja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melancarkan serangan, Guci di tangan Dewa Arak terayun deras ke arah kepala
laki-laki berdaun telinga satu itu.
Laki-laki berompi coklat itu agak gugup. Serangan itu memang datangnya begitu
tiba-tiba. Tapi laki-laki setengah baya itu mempertunjukkan kelihaiannya. Cepat
dirundukkan tubuhnya. Sehingga serangan guci itu menyambar tempat kosong. Lewat
sekitar sejengkal di atas kepalanya.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan oleh laki-laki berompi coklat
itu. Seraya merundukkan tubuh, kedua tangannya melakukan totokan-totokan dengan
jari telunjuk yang tertekuk. Inilah ilmu 'Totokan Bangau'!
Dewa Arak terkesima melihat kehebatan laki-laki
berompi coklat itu. Sungguh di luar dugaannya kalau dalam keadaan terjepit
seperti itu, lawan mampu berbalik mengancam.
Tapi berkat jurus 'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit bagi Dewa Arak untuk
mengelakkan serangan itu. Kembali kakinya melangkah terhuyung-huyung seperti
akan jatuh. Tapi hebatnya, sesaat kemudian serangan lawan kandas percuma. Sesaat kemudian,
kedua orang sakti itu pun terlibat dalam pertarungan sengit.
Dewa Arak kini berada dalam puncak tertinggi
pemakaian ilmunya. Banyaknya lawan dan keadaan yang terjepitlah yang menjadikan
pemuda berambut putih
keperakan ini mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimilikinya. Pertarungan antara kedua orang sakti ini berlangsung cepat. Sehingga dalam waktu
singkat tujuh puluh jurus telah berlalu. Meskipun begitu, belum nampak tanda-
tanda ada yang akan terdesak. Baik Dewa Arak maupun laki-laki berpakaian coklat
itu sama-sama memiliki tingkat
kepandaian seimbang. Dalam hal ilmu meringankan tubuh dan kekuatan tenaga dalam,
kedua orang ini pun ternyata setingkat.
Rupanya laki-laki berdaun telinga satu itu tidak sabar lagi untuk mengakhiri
pertarungan. Tapi sampai sejauh ini dia tidak yakin kalau Dewa Arak mampu
dikalahkannya seorang diri. Bagaimana bisa mengalahkan, kalau
menyentuh baju pemuda berambut putih keperakan itu saja sudah sulit bukan main.
Dengan langkah anehnya, Dewa Arak selalu membuat semua serangannya kandas.
Perasaan tidak sabar itulah yang mendorong, laki-laki berompi coklat ini
berteriak keras memberi perintah.
"Maju...! Tangkap pemuda ini..!"
Belum juga habis gema perintah itu, seorang laki-laki tinggi besar berkulit
hitam dan berambut jarang telah melesat ke depan. Laki-laki ini adalah saudara
kembar dari Gajah Putih. Dia berjuluk Gajah Hitam Begitu masuk arena
pertarungan, laki-laki tinggi besar berkulit hitam ini segera mencabut
senjatanya yang berupa ganco. Dan seketika itu juga diayunkan ke arah kepala
Dewa Arak. Wuuuttt..! Angin berhembus keras mengiringi tibanya serangan itu.
"Hih...!"
Cepat Dewa Arak menggenjotkan kakinya. Sekejap
kemudian, tubuhnya melesat ke udara sehingga serangan ganco itu lewat di bawah
kakinya. Tapi selagi tubuh pemuda berambut putih keperakan
masih berada di udara, laki-laki berompi coklat melompat memburu. Kedua
tangannya yang berbentuk paruh bangau itu mematuk- matuk cepat mencari sasaran.
Tidak ada pilihan lain bagi Dewa Arak kecuali menangkis serangan itu. Tubuhnya
yang sedang berada di udara, menyulitkannya untuk mengelakkan serangan itu.
Plak, plak....!
Terdengar suara keras begitu dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga
dalam tinggi itu bertemu.
Akibatnya, balk Dewa Arak maupun laki-laki berdaun telinga satu itu sama-sama
terpental ke belakang.
"Hup...!"
Rlngan tanpa suara kedua kaki Dewa Arak menjejak
bumi. Tapi sebelum pemuda berambut putih keperakan ini sempat berbuat sesuatu,
beberapa sosok bertompatan menyerbu dengan senjata terhunus, dan langsung
membabatkan senjatanya.
Dari suara desingan senjata mereka, Dewa Arak
langsung dapat mengetahui kalau penyerangnya mem-
punyai kepandaian yang tidak bisa diremehkan. Memang, mereka adalah para kepala-
kepala rampok yang ditundukkan dan dijadikan anak buah oleh laki-laki berompi
coklat. Arya tidak berani menangkis serangan-serangan itu
dengan tangan kosong. Cepat-cepat diayunkan gucinya menangkis semua serangan
itu. Klang, kang, klanggg...!
Suara berkerontangan terdengar begitu guci itu beradu dengan senjata para
penyerbu itu. Seketika itu juga, senjata-senjata terhunus di tangan para
pengeroyok itu berpentalan. Bahkan bukan hanya senjata-senjata itu saja, tapi
tubuh mereka juga berpentalan.
Tapi belum sempat Dewa Arak menarik napas lega,
serangan selanjutnya datang menyusul. Seraya berteriak nyaring, laki-laki tinggi
besar berkulit hitam kembali menerjang pemuda berambut putih keperakan itu. Dan
sebelum serangan itu sendiri tiba, serangan dari laki-laki bertelinga satu pun
datang menyusul. Berturut-turut datang pula serangan susulan lainnya.
Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak kecuali melentingkan tubuh ke belakang.
Bersalto beberapa kali di udara kemudian mendarat ringan di tanah, beberapa
tombak dari tempat semula.
*** 7 Baru saja Arya menjejakkan kakinya di tanah, tahu-tahu lawan-lawannya sudah
meluruk menyerbu. Pertarungan sengit pun kembali berlangsung
Dewa Arak mengeluh dalam hati. Betapa pun tinggi dan uniknya jurus 'Delapan
Langkah Belalang", tapi karena lawan yang dihadapinya terlalu banyak, akhirnya
pemuda berambut putih keperakan ini mulai terdesak.
"Hih...!"
Wut..! Gajah Hitam membabatkan ganconya ke pelipis Dewa
Arak. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini tidak berani bersikap gegabah.
Dari desir angin yang mengiringi tibanya serangan itu, pendekar muda ini sudah
dapat mengukur kedahsyatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya. Maka buru-
buru dirundukkan tubuhnya.
Wusss...! Sabetan ganco itu menyambar lewat di atas kepala
Dewa Arak. Belum lagi pemuda berbaju ungu ini sempat berbuat sesuatu, laki-laki
berompi coklat mengayunkan kaki ke perutnya. Agak terkejut juga Dewa Arak.
Posisiya benar-benar tidak menguntungkan, karena pada saat itu dia baru saja
mengelakkan serangan Gajah Hitam. Tidak ada jalan lain baginya, kecuali
menghadang tendangan itu dengan guci arak nya.
Bukkk...! Keras bukan main tendangan yang dilontarkan laki-laki berompi coklat itu. Kuda-
kuda Dewa Arak sampai goyah dibuatnya, dan tubuh pemuda berambut putih keperakan
ini pun oleng ke belakang. Keadaan ini segera dimanfaat-kan oleh empat orang
kepala rampok yang kini sudah meluruk cepat menyerbu Dewa Arak.
Tapi untunglah Dewa Arak memiliki ilmu 'Belalang Sakti'
yang membuat dirinya dapat melompat atau bergerak
dalam posisi apa pun. Kalau tidak, mungkin Dewa Arak sudah tewas. Dan kini,
dengan mempergunakan jurus
'Delapan Langkah Belalang' Dewa Arak berusaha mengelakkan serangan-serangan itu.
Tapi di saat itu, Gajah Hitam mengayunkan ganconya.
Cepat-cepat Arya mengelak. Tapi...
Crattt..! "Akh...!"
Dewa Arak memekik pelan. Sabetan ganco itu
menyerempet perutnya. Cairan merah kental pun mengalir keluar dari perut Arya
yang terobek cukup lebar. Tubuh pemuda berambut putih keperakan ini terhuyung-
huyung ke belakang.
"Ha ha ha....!" laki-laki berompi coklat tertawa bergelak.
"Sekarang terimalah kematianmu, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, laki-laki berdaun telinga satu itu melompat menerjang
Dewa Arak. Kedua jari-Jari tangannya yang berbentuk cakar, meluruk ke arah dada
Dewa Arak. Tercekat hati Arya melihat hal ini. Segera dicekalnya guci arak dengan kedua
tangan, kemudian didorongkan ke
depan, memapak serangan yang menuju dadanya.
Plakkk...! Dewa Arak terjengkang ke belakang dan jatuh ber-
gulingan di tanah saking kerasnya benturan. Darah yang mengalir dari perutnya
semakin banyak merembes keliar.
Tapi pemuda berambut putih keperakan ini bergegas
bangkit. Sementara laki-laki berompi coklat, melangkah lambat-lambat
menghampiri. Namun belum tiga tindak laki-laki berdaun telinga satu ini
melangkah, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
"Sanca Mauk! Akulah lawanmu....!"
Sebuah teriakan keras membuat langkah laki-laki
berompi coklat ini terhenti. Kepalanya menoleh ke arah asal suara. Seketika
wajah laki-laki setengah baya ini berubah begitu melihat seorang yang bergerak
cepat mendatanginya.
"Gumintang....," desah laki-laki berompi coklat yang ternyata bemama Sanca Mauk
ini. Cepat bukan main gerakan orang yang bemama
Gumintang itu. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah berada tiga tombak di depan laki-
laki berdaun telinga satu.
"Pendekar Tangan Baja," desah Dewa Arak begitu melihat orang yang dipanggil
Gumintang. "Ooo... Jadi, kau rupanya orang yang berjuluk Pendekar Tangan Baja itu,
Gumintang"! Ha ha ha...! Mana si tua bangka itu?" ucap Sanca Mauk sambil
tersenyum sinis.
"Untuk membawamu kembali, tak perlu guruku turun tangan. Aku sendiri pun
sanggup, Sanca Mauk!" tandas Pendekar Tangan Baja tegas.
"Ha ha ha....! Sanca Mauk tertawa bergelak. "Kau hanya mengantarkan nyawa saja,
Bocah! Jangankan dirimu,
gurumu sendiri pun tidak akan mampu melawanku!"
"Kita lihat saja buktinya, Sanca Mauk!" sergah Pendekar Tangan Baja keras.
Setelah berkata demikian, pemuda berpakaian kuning ini melompat menerjang Sanca
Mauk. Kedua tangannya mengirimkan pukulan beruntun ke arah dada dan ulu hati
Sanca Mauk. Begitu Pendekar Tangan Baja telah terlibat pertarungan dengan Sanca Mauk, anak
buah laki-laki berompi coklat itu segera menyerbu Dewa Arak. Kembali pemuda
berambut putih keperakan ini harus mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk menghadapi keroyokan puluhan
lawannya. Walaupun telah terluka, Dewa Arak masih mampu
mengadakan perlawanan sengit. Ke mana saja tangan, kaki atau gucinya bergerak,
pasti ada lawan yang roboh dan tidak mampu bangkit lagi.
Tapi lawan yang dlhadapi pemuda berambut putih
keperakan ini terlalu banyak. Lagi pula tidak sedikit di antara mereka yang
memiliki kepandaian tinggi. Maka pelahan namun pasti Dewa Arak mulai terdesak.
Apa lagi, pemuda berambut putih keperakan ini memang sudah
terluka. Meskipun tidak terlalu parah, tapi sedikit banyak mengurangi
kelincahannya. Di saat Dewa Arak semakin terdesak, terdengar suara berderak keras disusul
hancumya pintu gerbang depan.
Tentu saja suara ribut-ribut itu mengejutkan semua yang ada di situ. Untuk
sesaat pertarungan terhenti. Dan kini semua perhatian tertuju ke arah pintu
gerbang. Dari sekian banyak orang yang ada di situ, hanya Pendekar Tangan Baja
saja yang tidak merasa terkejut. Karena pemuda berpakaian kuning ini sudah bisa menduga apa yang
terjadi. Apalagi kalau bukan perbuatan pasukan Kerajaan Kamujang yang datang
bersamanya! Hanya saja karena tidak sabar lagi, pemuda berpakaian kuning ini
melesat lebih dulu.
Dapat dibayangkan betapa terkejutnya Sanca Mauk dan anak buahnya, begitu melihat
beratus-ratus pasukan kerajaan memasuki markas mereka. Menilik dari
banyaknya, mungkin tidak kurang dari lima ratus orang!
Dan yang lebih gila lagi, di antara mereka terdapat Pasukan Kuku Garuda. Dan
tentu saja di antara mereka ada pula Prabu Jayalaksana.
Begitu masuk, pasukan Kerajaan Kamujang itu segera menceburkan diri dalam kancah
pertarungan. Dan dalam sekejap saja keadaan berbalik seratus delapan puluh
derajat. Pasukan Kerajaan Kamujang yang datang
menyerbu adalah pasukan pilihan. Maka dalam sekejap saja, anak buah Sanca Mauk
berguguran. Sepak terjang Pasukan Kuku Garuda lebih hebat lagi.
Setiap kali tangan atau kaki mereka bergerak, sudah dapat dipastikan ada anak
buah Sanca Mauk yang roboh.
Amukan pasukan khusus itu baru agak tertahan ketika berhadapan dengan Gajah
Hitam dan empat orang kepala rampok lainnya.
Sekali lihat saja, Dewa Arak sudah dapat mengetahui kalau tanpa bantuannya pun,
pasukan Kerajaan Kamujang mampu memenangkan pertarungan. Maka pemuda
berambut putih keperakan ini segera bergerak menyingkir dari kancah pertarungan.
Dan hanya berdiri memperhatikan saja.
Prabu Jayalaksana yang sejak tadi berdiri mem-
perhatikan jalannya pertarungan, dengan dikawal oleh empat orang Pasukan Kuku
Garuda, melangkah menghampiri Dewa Arak.
"Bagaimana Gusti Prabu bisa sampai kemari?" tanya Arya. Sebenarnya dia sudah
bisa menduganya. Tapi
pemuda berambut putih keperakan ini ingin mendengamya langsung dari mulut yang
bersangkutan. "Pendekar Tangan Baja datang ke istana sambil membawa permaisuri. Pemuda perkasa
itu juga menceritakan kalau kau tengah menghadapi banyak lawan di sini. Hhh...!
Mudah-mudahan saja semua kekacauan di wilayah
Kerajaan Kamujang segera berakhir karena orang dalam yang telah menculik
permaisuri, juga telah tertangkap,"
jelas Prabu Jayalaksana.
"Siapa orang dalam yang terlibat itu, Gusti Prabu?" tanya Arya setengah hati.
Sekedar menyahuti ucapan Raja
Kamujang itu. "Panglima Ramkin. Orang yang dulu kusuruh memimpin pasukan untuk menangkapmu dan
Pendekar Tangan Baja,"
jawab Prabu Jayalaksana. "Dari Dinda Permaisurilah keterlibatannya dengan para
pengacau itu kuketahui.
Hhh,..! Sungguh tidak kusangka...."
Dewa Arak hanya diam mendengarkan. Sedikit pun tidak diselanya ucapan Raja
Kamujang itu. "Ternyata Panglima Ramkin berambisi menduduki
jabatan yang lebih tinggi. Maka dia bergabung dengan komplotan penculik untuk
merongrong keutuhan Kerajaan Kamujang," sambung Raja Kamujang lagi. "Kalau saja
tidak ada dirimu dan Pendekar Tangan Baja, mungkin usahanya akan berhasil.
Seluruh daerah telah siap memberontak akibat fitnahan yang dilancarkannya.
Hhh...! Syukurlah kini semua telah teratasi."
Arya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pandangannya segera dilayangkan ke arah pertarungan antara Pendekar Tangan Baja
melawan Sanca Mauk yang masih berlangsung sengit. Seratus jurus telah berlalu.
Tapi belum nampak tanda-tanda ada yang akan terdesak.
Kepandaian kedua orang itu ternyata seimbang.
Hebat bukan main akibat yang ditimbulkan dari per-
tarungan antara Pendekar Tangan Baja melawan Sanca Mauk itu. Tanah terbongkar di
sana-sini. Desir angin tajam, menderu dan mencicit, menyemaraki pertarungan itu.
Debu pun mengepul tinggi ke udara.
Sebetulnya tingkat kepandaian Pendekar Tangan Baja masih di bawah Sanca Mauk.
Tapi karena keistimewaan tangan pemuda ini, tambahan lagi gurunya telah
mewariskan ilmu yang dapat dipakai untuk melumpuhkan ilmu Sanca Mauk, membuat
Pendekar Tangan Baja yang bernama Gumintang ini mampu mengimbangi lawannya.
Sanca Mauk menggeram keras. Sungguh tidak disangka kalau kepandaian yang
dimiliki murid keponakannya ini demikian tinggi. Tepat pada jurus ke seratus
lima puluh, seraya membentak keras, laki-laki berompi coklat ini mengibaskan


Dewa Arak 09 Pendekar Tangan Baja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya. Serrr...! Pendekar Tangan Baja terkejut bukan main begitu
melihat berpuluh puluh jarum beracun menyambar ke
arahnya. Apalagi saat itu dirinya berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.
Cepat-cepat tubuhnya di lempar ke samping dan bergulingan di tanah beberapa
kali. Sanca Mauk memang sudah menduganya. Maka begitu
dilihatnya Pendekar Tangan Baja melompat, segera laki-laki berompi coklat ini
melompat menyusul. Dan langsung melancarkan serangan beruntun ke arah Pendekar
Tangan Baja yang masih bergulingan di tanah.
Tidak ada jalan lain bagi Pendekar Tangan Baja selain terus menggulingkan tubuh,
menyelamatkan selembar
nyawanya. Tapi Sanca Mauk yang sudah menang posisi, tidak mau membiarkannya.
Diburunya tubuh yang
bergulingan itu seraya terus melancarkan serangan
bertubi-tubi. Pendekar Tangan Baja sadar bila keadaan masih terus seperti ini, suatu saat
serangan lawan akan mengenainya juga. Maka pemuda berpakaian kuning ini
mengambil keputusan nekad. Pada suatu kesempatan, tubuhnya
melenting ke atas.
"Hih...!"
Ternyata hal itu sudah diperhitungkan oleh Sanca Mauk.
Terbukti begitu tubuh Pendekar Tangan Baja itu melenting, kakinya bergerak
menendang. Cepat bukan main gerakannya. Gumintang mencoba menggeliatkan tubuh
untuk mengelak, tapi...
Bukkk! "Akh...!"
Pendekar Tangan Baja memekik tertahan. Keras dan
telak sekali tendangan Sanca Mauk mengenai perutnya.
Seketika itu juga, rasa mual dan mules yang amat sangat mendera perutnya. Cairan
merah kental pun meleleh di sudut bibirnya. Belum lagi pemuda berpakaian kuning
ini berbuat sesuatu, paman gurunya kembali melancarkan serangan bertubi-tubi
Tukkk! Plakkk! "Akh...!"
Gumintang kembali memekik tertahan ketika patukan
tangan kanan Sanca Mauk mengenai bahunya. Sementara tangan kiri yang mengibas
mengenai dadanya. Tubuh
Pendekar Tangan Baja kontan terpental ke belakang dan terbanting keras di tanah.
Pendekar Tangan Baja berusaha bangkit. Tapi ternyata tidak mampu. Tiga buah
serangan yang diterimanya,
membuat pemuda itu terluka cukup parah. Belum lagi rasa sakit yang melanda
perutnya hilang, datang lagi rasa sesak yang amat sangat di dadanya. Bahunya
juga robek mengeluarkan darah segar, terkena patukan tangan Sanca Mauk.
"Terimalah kematianmu, Anak Keparat!" teriak laki-laki berompi coklat itu seraya
melompat menerkam Gumintang yang sudah tergolek tidak berdaya.
Sudah dapat dipastikan kalau Sanca Mauk akan
berhasil membunuh Pendekar Tangan Baja. Tapi sebelum serangan laki-laki berdaun
telinga satu itu mengenai sasaran, Dewa Arak telah lebih dulu melesat memapak
serangannya. Plak, plak....!
Terdengar suara keras berkali-kali, ketika dua pasang tangan dari dua sosok
tubuh yang sama-sama berada di udara berbenturan. Akibatnya, baik tubuh Sanca
Mauk maupun Dewa Arak sama-sama terjengkang ke belakang.
Tapi baik Sanca Mauk, maupun Dewa Arak dengan
mudah meredam daya dorong itu. Indah dan manis sekali tubuh keduanya bersalto di
udara. Serrr...! Kembali untuk yang ke sekian katinya, Sanca Mauk
mengibaskan tangan, melepaskan jarum-jarum beracunnya. Dan itu dilakukannya
ketika tubuhnya masih bersaho di udara. Sudah barang tentu hal ini membuat Dewa
Arak kaget. Apalagi serangan jarum itu cfilepaskan selagi tubuhnya juga masih
berada di udara.
Cepat diturunkan kedua tangannya, dan dijadikan
sebagai landasan kaki. Sekali kakinya bergerak
menggenjot tubuh pemuda berambut putih keperakan ini telah melayang kembali ke
atas. Sehingga serangan jarum itu lewat di bawah kakinya.
Selagi berada di udara, Dewa Arak menghentakkan
kedua tangannya ke bawah, ke arah tubuh lawan yang masih berada di udara. Dalam
kemarahannya karena
lawan berlaku licik, pemuda berambut putih keperakan ini telah menggunakan jurus
'Pukulan Belalang' yang jarang dipergunakannya.
Angin berhawa panas menyengat berhembus keras ke
arah Sanca Mauk. Laki-laki berompi coklat ini kaget bukan main. Apalagi saat ini
tubuhnya tengah berada di udara.
Serangan Dewa Arak benar-benar di luar dugaannya.
Sedapat mungkin Sanca Mauk berusaha menggeliatkan
tubuhnya. Tapi....
Bresss...! "Aaakh...!"
Sanca Mauk menjerit melengking memilukan ketika
pukulan jarak jauh Dewa Arak, telak menghantam
tubuhnya. Usahanya untuk menyelamatkan diri gagal total.
Brukkk! Dengan mengeluarkan suara berdebuk keras, tubuh
Sanca Mauk terbanting di tanah. Seketika itu juga nyawa laki-laki berdaun
telinga satu ini lepas dari raganya.
Sekujur tubuhnya hangus mengeluarkan bau sangit daging terbakar.
Berbareng tewasnya Sanca Mauk, pertarungan antara
pasukan Kerajaan Kamujang dengan anak buah laki-laki berdaun telinga satu itu
pun berakhir. Pihak pasukan Kerajaan Kamujang memperoleh kemenangan mutlak.
Sebagian besar lawan tewas terbunuh. Hanya tinggal beberapa gelintir saja yang
selamat. Itu pun karena menyerah. Dan kini mereka menjadi tawanan.
Melihat kemenangan pasukannya, Prabu Jayalaksana
gembira bukan kepalang. Sesaat lamanya Raja Kamujang ini melupakan Dewa Arak dan
Pendekar Tangan Baja. Dan ketika akhirnya Prabu Jayalaksana teringat, kedua
pemuda perkasa itu telah tidak berada lagi di situ. Bahkan mayat Sanca Mauk pun
telah lenyap. "Hhh...!" Raja Kamujang menghela napas dalam. Orang nomor satu di Kerajaan
Kamujang ini mengetahui betul alasan kedua pemuda itu pergi tanpa pamit. Dan ini
jadi membuatnya lebih kagum. Dewa Arak dan Pendekar
Tangan Baja tidak memerlukan ucapan terima kasih atau imbalan atas perbuatan
yang mereka lakukan. Kedua
pemuda perkasa itu melakukan semua ini tanpa pamrih.
"Kalau saja di dunia ini banyak orang seperti mereka, tidak akan ada
kekacauan...," gumam Prabu Jayalaksana.
Sepasang matanya memandang kosong ke langit.
Sementara hari telah menjelang senja. Sinar mentari yang mulai meredup,
menyinari dua sosok tubuh yang tengah berjalan pelahan. Dua sosok itu adalah
Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja yang tengah melangkah
berdampingan. Di bahu Pendekar Tangan Baja nampak
terpanggul mayat Sanca Mauk.
Sesampainya di sebuah persimpangan kedua pemuda
perkasa ini menghentikan langkahnya.
"Kau tidak bersedia ikut denganku, Arya" Kurasa guruku senang berkenalan
denganmu," ucap Pendekar Tangan Baja yang sudah agak sembuh dari luka dalamnya.
"Terima kasih, Pendekar Tangan Baja! Sayang sekali aku tidak bisa memenuhi
ajakanmu. Perjalananku masih jauh.
Percayalah! Suatu saat nanti, pasti aku akan
mengunjungimu," janji Dewa Arak.
"Kalau begitu baiklah. Aku akan menunggu kedatanganmu, Arya, " sahut Gumintang
mengalah. "O ya, terima kasih atas semua bantuanmu "
"Lupakanlah, Pendekar Tangan Baja!" sambut Dewa Arak seraya tersenyum lebar.
Pendekar Tangan Baja juga tersenyum. Kemudian pemuda berpakaian kuning ini
melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.
Dewa Arak memandangi kepergian Pendekar Tangan
Baja beberapa saat. Baru setelah itu dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat
itu. Masih banyak tugas yang harus diselesaikannya. Tugas selaku pendekar
pembela kebenaran. SELESAI Terbang Harum Pedang Hujan 8 Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 1
^