Pencarian

Badai Di Karang Langit 2

Pendekar Mata Keranjang 15 Badai Di Karang Langit Bagian 2


cari Kinanti...."
lalu Dadung Rantak luruskan pandangannya pa-
da Wong Agung yang kini telah duduk bersila di depan bangunan batu.
"Wong Agung! Semuanya belum berakhir!
Suatu hari nanti aku akan tetap menagih darah
Ragil Sedura!" desis Dadung Rantak dengan suara pelan. Namun suara itu cukup
jelas didengar telinga Wong Agung.
Sambil menahan sakit di sekujur tubuh-
nya, Wong Agung luruskan kepalanya menghadap
Dadung Rantak. Setelah mendehem beberapa
kali, ia buka suara.
"Dadung Rantak! Semua itu kuserahkan
padamu. Yang kuharap, kau mempertimbangkan
kembali segala sesuatunya. Dan satu hal lagi,
semoga niatmu itu tak dipergunakan orang lain
untuk mengambil keuntungan tanpa kau sadari!"
Meski Dadung Rantak masih merasakan
sakit di seluruh tubuhnya, dan ingin cepat me-
ninggalkan Karang Langit, namun mendengar
ucapan Wong Agung ia kernyitkan dahi. Niatnya
untuk cepat meninggalkan Karang Langit dia
urungkan, lalu dengan menahan dadanya ia ber-
kata. "Wong Agung! Jaga mulutmu! Jangan kau berani menuduh tanpa bukti!"
Walau terasa sakit untuk digunakan terta-
wa, mendengar kata-kata Dadung Rantak, Wong
Agung keluarkan tawa pelan.
"Dadung Rantak! Kukira kedatanganmu ke
Karang Langit tidak sendirian! Aku tidak menu-
duh. Namun, melihat keadaannya, orang yang
bersamamu telah mengambil keuntungan dari
masalah kita! Aku belum tahu persis apa keun-
tungannya. Tapi hal itu dapat ku rasakan!"
Dadung Rantak terlihat terhenyak men-
dengar keterangan Wong Agung. Diam-diam da-
lam hati ia berkata.
"Hmm.... Rupanya dia telah mengetahui
adanya Kinanti. Tapi, apa untungnya Kinanti
dengan kejadian ini..." Tapi, kenapa ia tak muncul di sini..." Apakah...?" laki-
laki bertelanjang dada ini tak meneruskan kata hatinya, karena
saat itu Wong Agung telah lanjutkan ucapannya.
"Dadung Rantak! Siapa pun adanya te-
manmu, yang pasti ia telah meninggalkan tempat ini!" Dadung Rantak tak sepatah
kata pun keluarkan suara. Hanya sepasang matanya tak ber-
kedip pandangi Wong Agung.
"Ah, aku masih belum bisa menduga apa
tujuan Kinanti sebenarnya. Lebih baik aku tinggalkan tempat ini, dan setelah itu
menyelidiki Kinanti. Aku merasa ada sesuatu yang tak beres!"
Berpikir begitu, tanpa berkata-kata lagi
Dadung Rantak lantas bangkit lalu balikkan tu-
buh dan melangkah perlahan ke arah sisi samp-
ing Karang Langit. Dan tanpa berpaling lagi, ia berkelebat turun dari Karang
Langit. "Hmm.... Daya tarik seorang perempuan
nyatanya bisa mengalahkan segalanya. Hanya
manusia yang mau belajar dari kehidupan yang
bisa menyadarinya," gumam Wong Agung setelah kepergian Dadung Rantak. Penghuni
Karang Langit ini lantas bangkit dan dengan perlahan me-
langkah memasuki bangunan batu tempat ting-
galnya. LIMA KETIKA memasuki ruangan bawah tempat
tinggalnya, Wong Agung tiba-tiba hentikan langkahnya. Kepalanya berputar seakan
melihat sekeliling. "Heran. Hatiku makin gelisah. Pertanda apa ini..." Aku
hampir yakin, teman Dadung Rantak telah memasuki tempat ini. Apa yang ia ca-
ri..." Apakah ia...," penghuni Karang Langit ini tak meneruskan gumamannya. Ia
cepat berkelebat.
Wong Agung terlihat melengak kaget tatka-
la mengetahui batu besar yang biasanya ia guna-
kan untuk duduk telah terguling. Dan semakin
tercekat tatkala tangannya yang dimasukkan ke
lobang di bagian bawah batu yang terguling tak menemukan apa-apa.
"Ah, firasatku tak salah. Ternyata teman
Dadung Rantak telah berhasil mengambil kipas
hitam serta bumbung bambu!" gumam Wong
Agung dengan tubuh agak lemas. Tubuhnya ber-
getar, lalu perlahan-lahan penghuni Karang Langit ini duduk bersandar di tembok
ruangan den- gan kepala beberapa kali bergerak menggeleng.
"Maha Besar Tuhan. Kipas hitam dan
bumbung bambu berisi jurus pamungkas telah
dapat dicuri orang. Rimba persilatan akan ter-
guncang lagi. Bagaimana aku harus mempertang-
gung jawabkan semua ini..." Semua ini adalah
kesalahanku...! Aku harus...."
Mendadak Wong Agung hentikan guma-
mannya. Kepalanya digerakkan tengadah.
"Ada orang mendekati tempat ini! Siapa lagi dia..." Dadung Rantak..." Atau
temannya?"
Selagi Wong Agung menduga-duga, sesosok
bayangan tampak berkelebat memasuki ruangan
di mana ia berada.
Sosok ini ternyata adalah seorang laki-laki
berusia lanjut. Paras wajahnya tak jelas, karena kepalanya mengenakan sebuah
caping lebar hingga menutup sebagian wajahnya. Tapi melihat
tingkahnya, sosok yang baru datang ini telah
mengenal betul Karang Langit. Karena ia begitu saja memasuki ruangan di mana
Wong Agung berada.
"Jayeng Parama! Apa yang telah terjadi...?"
kata sosok bercaping begitu melihat keadaan
Wong Agung yang pakaiannya masih bersimbah
darah dan tergulingnya batu besar yang biasanya dibuat duduk.
Mendengar suara orang. tampaknya Wong
Agung telah dapat menduga siapa adanya orang
yang kini melangkah ke arahnya. Apalagi orang
yang baru datang memanggilnya dengan sebutkan
nama aslinya. "Paman Selaksa.... Suatu keberuntungan
kau datang. Duduklah Paman...." kata Wong Agung seraya membetulkan ikatan kulit
pada bagian belakang kepalanya
Sosok bercaping, yang bukan lain memang
Eyang Selaksa, penghuni Kampung Blumbang
yang juga adalah paman Wong Agung sejenak
mengawasi keadaan Wong Agung lalu duduk di
depan Wong Agung dan berkata.
"Jayeng Parama! Apa yang telah terjadi...?"
tanya Eyang Selaksa mengulangi pertanyaannya.
Untuk beberapa saat lamanya Wong Agung
tak segera memberi jawaban. Ia hanya menghela
napas dalam-dalam seraya mengusap-usap da-
danya. Namun tampaknya Eyang Selaksa memak-
lumi keadaan Wong Agung. Ia pun tak lagi ulangi pertanyaannya. Ia diam menunggu
seraya memperhatikan.
"Paman...," kata Wong Agung setelah agak lama diam. "Sebenarnya aku sudah tak
ingin be-rurusan dengan dunia persilatan. Namun kali ini keadaan rupanya
memaksa...!"
Eyang Selaksa angguk-anggukkan kepala.
Tapi ia tak keluarkan suara. Tapi setelah agak lama ditunggu Wong Agung juga
tetap diam, Eyang Selaksa akhirnya berkata.
"Kalau kau berniat turun lagi ke rimba persilatan, berarti memang ada sesuatu
yang luar biasa telah terjadi. Kau sudi menceritakan...?"
Wong Agung anggukkan kepalanya. Lalu ia
menceritakan apa yang baru saja terjadi.
"Itulah. Paman. Karena aku yang bertang-
gung jawab atas kedua benda tersebut, maka aku harus dapat mengambil kembali
kipas hitam serta bumbung bambu itu. Jika tidak, dapat kita
bayangkan apa yang akan menimpa dunia persi-
latan. Apalagi kita tahu, Dadung Rantak adalah salah seorang dari tokoh hitam,
jadi temannya yang telah berhasil mencuri benda itu adalah
orang dari golongan sesat pula!"
Eyang Selaksa manggut-manggut.
"Jayeng Parama. Niatmu untuk turun
kembali ke rimba persilatan dan merampas kem-
bali kipas hitam serta bumbung bambu memang
baik. Tapi apa tidak lebih baik jika hal ini kau serahkan saja pada Aji" Ini
bukan berarti kita lepas tangan, lari dari tanggung jawab. Ini semata-mata untuk
menempa kematangan anak itu!"
"Tidak, Paman. Aku tak mau mengalihkan
tanggung jawab. Lagi pula sulit rasanya mencari di mana beradanya anak itu!"
Eyang Selaksa sunggingkan senyum. Kepa-
lanya menggeleng perlahan.
"Jayeng Parama. Sekali lagi kukatakan,
semua ini bukan berarti pelimpahan tanggung
jawab. Namun justru untuk mematangkan anak
itu agar ia lebih tahu tentang hidup dan perjuangan. Suatu saat kita pasti
meninggalkan anak itu, kalau tidak mulai sekarang kita tempa, aku khawatir anak
itu akan kurang matang begitu kita telah tiada. Dan soal di mana beradanya anak
itu, itu bisa kita cari. Karena ancar-ancarnya aku telah tahu!"
Sejenak Wong Agung terdiam. Ia seakan
merenungkan ucapan Pamannya. Setelah agak
lama baru ia berkata.
"Jika itu memang yang terbaik, aku menu-
rut saja. Tapi kita harus segera menemukan anak itu. Di mana kira-kira ia
berada...?"
"Jayeng Parama. Kau tentunya telah den-
gar tentang hebohnya rimba persilatan saat ini...."
"Yang Paman maksud heboh tentang Arca
Dewi Bumi?" sela Wong Agung.
"Benar. Aji memang telah kusuruh membu-
juk Dewi Kayangan agar mau menunjukkan di
mana beradanya Arca Dewi Bumi!"
"Hmm.... Jika demikian, kita harus segera menyusulnya. Agar ia tahu apa yang
telah terjadi di Karang Langit...," putus Wong Agung pada akhirnya. "Lebih cepat
bertemu dengan anak itu, tentunya lebih baik. Namun kau perlu pengobatan
dahulu. Ayo, kubantu...!" kata Eyang Selaksa lalu menggeser duduknya lebih dekat
pada Wong Agung. Bersamaan dengan menggesernya Eyang
Selaksa, Wong Agung balikkan tubuh membela-
kangi Eyang Selaksa. Lalu kedua tangannya ditakupkan sejajar dada. Mulutnya
berkemik-kemik.
Eyang Selaksa pun segera buka telapak
tangannya dan ditempelkan pada punggung Wong
Agung. Begitu hawa murni yang dikerahkan Wong
Agung dan Eyang Selaksa mulai merambat masuk
tubuh Wong Agung, penghuni Karang Langit ini
perlahan-lahan merasa hawa sejuk mulai mengi-
kis hawa panas yang sedari tadi mengoyak bagian dalam tubuhnya. Dan perlahan-
lahan pula kedua
tangan Wong Agung berubah warna seperti sedia-
kala. "Cukup, Paman...," kata Wong Agung seraya luruhkan kembali kedua
tangannya. Eyang Selaksa tarik pulang kedua tangan-
nya. Lalu menghela napas dalam-dalam seraya
mengusap keringat yang meleleh dari kening dan lehernya.
"Apa tidak istirahat dulu...?" kata Eyang Selaksa seraya geser kembali duduknya.
Wong Agung balikkan tubuh. Kepalanya
menggeleng. "Masalah ini tidak bisa kita tunda-tunda
lagi, Paman. Dan aku pun merasa sudah cukup
sehat!" "Jika demikian, kita berangkat sekarang...,"
ujar Eyang Selaksa seraya bangkit berdiri. Demikian pula Wong Agung. Kedua orang
seperguruan ini lalu melangkah keluar ruangan.
Begitu keduanya telah berada di pelataran
Karang Langit, ujung laut sebelah timur tampak telah berwarna kemerahan pertanda
sang surya tak lama lagi akan muncul.
ENAM SEORANG pemuda berparas tampan, men-
genakan pakaian hijau yang dilapis dengan baju dalam warna kuning lengan
panjang, rambut panjang dikuncir ekor kuda, di siang yang dibungkus dengan
sengatan terik sang mentari terlihat mondar-mandir di kaki bukit sebelah barat
Gunung Arjuna. Mungkin karena panasnya udara, pemuda
ini seraya mondar-mandir tampak menggerakkan
tangannya yang memegang kipas ungu pulang ba-
lik di bawah dagunya. Tangan kirinya pun tak jarang terlihat mengusap-usap ujung
hidungnya ju-ga sesekali menarik-narik kuncir rambutnya yang berkibar-kibar
diterpa angin gunung. Dari mulutnya terdengar nyanyian yang tak bisa ditangkap
maknanya. "Heran, hampir tiga hari tiga malam ku
aduk-aduk tempat di sekitar sini, namun tak juga kutemukan orang yang kucari!
Apakah aku salah
alamat..." Atau kabar tentang Arca Dewi Bumi itu hanya bohong belaka" Tapi,
kenapa Dewi Kayangan mengisyaratkan adanya arca itu" Malah ia
yang memberi petunjuk...," gumam sang pemuda dengan paras kecewa.
Pemuda yang bukan lain adalah Aji alias
Pendekar Mata Keranjang 108 lalu melangkah ke
arah sebuah pohon besar. Disandarkannya tu-
buhnya seraya berkipas-kipas. Sepasang matanya tak henti-hentinya menebar
berkeliling di sekitar tempat itu.
"Namun kalau melihat banyaknya tokoh
yang tiba-tiba muncul dan kebanyakan dari me-
reka adalah bukan tokoh sembarangan, kabar
tentang arca itu nampaknya bukan hanya kabar
kosong. Aku tak habis pikir, bagaimana bentuk
area dan apa keistimewaannya sehingga rimba
persilatan begitu guncang dengan berita tentang arca itu" Ah, hal itu tak perlu
terlalu kupikirkan.
Yang penting aku bisa bertemu dahulu dengan
orang yang bernama Sahyang Resi Gopala.... Tapi di mana dia...?"
Entah karena jengkel tak bisa menemukan
orang yang dicari atau karena lelah, Pendekar 108
lantas menggelosokan tubuhnya dengan pung-
gung bersandar pada batang pohon. Tangannya
tetap bergerak pulang baik berkipas-kipas, na-
mun sepasang matanya tampak mulai menyipit.


Pendekar Mata Keranjang 15 Badai Di Karang Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara dendang nyanyian tak lagi terdengar
dari mulutnya. Malah mulut itu berulang kali
menguap. Selagi murid Wong Agung ini didera kan-
tuk, tiba-tiba tiga bayangan terlihat berkelebat cepat dan tahu-tahu telah
berada di sekitar Pendekar 108 dengan posisi berpencar mengurung.
Yang berada di tengah dan tepat di hada-
pan Aji adalah seorang perempuan bertubuh ge-
muk besar. Sepasang matanya besar melotot dan
masuk dalam cekungan rongga yang sangat da-
lam. Bibirnya merah dipoles. Rambutnya putih
dan disanggul ke atas. Telinganya mengenakan
anting-anting hanya sebelah. Namun, anting-
anting itu begitu besar dan dimuati beberapa anting-anting kecil.
Sementara di sebelah kanan Aji adalah seo-
rang laki-laki berusia lanjut. Mengenakan jubah putih yang bercak-bercak merah
bekas darah yang telah mengering. Sepasang matanya ditutup dengan sepotong kain yang
diikatkan ke belakang kepala. Rambut dan jenggotnya panjang serba putih.
Beberapa kali laki-laki ini nampak mengelus dadanya.
Sedangkan di sebelah kiri Aji adalah juga
seorang laki-laki yang usianya juga sudah lanjut.
Mengenakan pakaian putih panjang dan di kepa-
lanya tampak sebuah caping lebar yang menutupi hampir sebagian wajahnya. Rambut
dan jenggotnya juga telah putih dan panjang.
Merasa ada beberapa orang yang menge-
pung, tanpa melihat terlebih dahulu siapa adanya orang itu, Aji kibaskan kipas
ungunya seraya lesatkan diri di atas pohon.
Wuuttt! Serangkum angin keras deras putih berki-
lau yang membentuk sebuah kipas menebar leng-
kung dari kiri ke kanan.
Ketiga orang yang mengurung saling pan-
dang sejenak. Lalu hanya dengan miringkan mas-
ing-masing bahunya, ketiga orang ini bisa menghindari sambaran angin yang
melesat dari kipas
Pendekar 108. "Anak geblek! Turun! Hik... hik... hik...!" ti-ba-tiba orang yang di sebelah
tengah keluarkan suara menegur seraya tertawa cekikikan. Lalu perempuan ini
bantingkan sepasang kakinya dua
kali ke atas tanah.
Blekkk! Blekkk!
Hebatnya, meski bantingan kakinya hanya
perlahan, namun suara yang ditimbulkannya de-
mikian dahsyat. Dan kejap itu juga batangan pohon di mana Pendekar 108 berada
bergoyang- goyang. Anehnya, meski batangan pohon itu ber-
goyang-goyang, tak satu pun daunnya yang gu-
gur! Dari sini jelas terlihat betapa tingginya il-mu orang itu. Karena meski
mampu menggoyang-
kan batang pohon, namun dia juga mampu mere-
dam jatuhnya daun!
Begitu batangan pohon bergoyang, Pende-
kar Mata Keranjang cepat buka sepasang ma-
tanya. Dan murid Wong Agung ini seketika be-
liakkan sepasang matanya demi mengetahui siapa adanya orang yang menegur serta
dua orang di sampingnya. Dengan masih membelalak seakan tak per-
caya dengan penglihatannya, buru-buru Aji me-
layang turun. Dan ketika ia yakin, serta-merta Aji menjura hormat pada orang di
sebelah kanannya
lalu beralih ke tengah dan berakhir pada laki-laki yang mengenakan caping lebar.
"Eyang Wong Agung, Dewi Kayangan,
Eyang Selaksa. Maaf atas tindakanku tadi yang
tidak terlebih dahulu melihat...," kata Aji seraya angkat kepalanya dan
palingkan wajahnya pada
orang di sebelah kanannya yang memang bukan
lain adalah Wong Agung.
Pendekar dari Karang Langit ini untuk be-
berapa saat memandang tak kesiap. Dahinya
mengernyit melihat gurunya terus usap-usap da-
da. "Sesuatu tampaknya telah terjadi atas
Eyang Wong Agung...," membatin Pendekar 108.
Lalu ia buka mulut hendak bertanya. Namun se-
belum suaranya keluar, perempuan bertubuh
gemuk besar dan mengenakan anting-anting se-
belah yang bukan lain memang Dewi Kayangan
telah terlebih dahulu bicara.
"Aku bangga melihatmu menuruti segala
petunjukku. Apa kau telah menemukan orang
yang kau cari..." Hik... hik... hik...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 urungkan
niat untuk bertanya tentang Wong Agung, ia pa-
lingkan wajah menghadapi Dewi Kayangan. Sete-
lah menatapi perempuan ini berlama-lama, Pen-
dekar 108 buka mulut seraya gelengkan kepala.
"Dewi. Aku sudah tiga hari tiga malam ke-
panasan kedinginan di sini. Semua tempat di sekitar sini telah ku aduk-aduk
sampai ludes! Tapi batang hidung apalagi kepalanya orang yang kau sebutkan tak
kutemukan! Apa dia pindah alamat...?"
Dewi Kayangan keraskan cekikikannya,
sementara baik Wong Agung maupun Eyang Se-
laksa tampak gelengkan kepalanya masing-
masing. "Pindah alamat tidak. Hanya saat itu
mungkin kau salah dengar atau aku yang salah
ucap! Hik... hik... hik...!"
"Maksud Dewi...?"
"Aku dulu bilang apa...?" Dewi Kayangan balik bertanya.
Meski agak mangkel dengan tingkah Dewi
Kayangan, namun murid Wong Agung ini menja-
wab juga. "Dewi menyuruhku pergi ke arah utara.
Mencari daerah bernama Bajul Mati serta seorang petapa bernama Sahyang Resi
Gopala...!"
Dewi Kayangan makin deras cekikikannya
demi mendengar keterangan Aji, membuat Pende-
kar 108 ini makin tak mengerti. Setelah puas
dengan cekikikannya, perempuan beranting-
anting sebelah ini berkata.
"Kalau begitu benar...!"
"Apanya yang benar" Setiap orang yang ku-
tanyai, mengatakan bahwa kaki bukit ini adalah daerah Bajul Mati. Namun
kenyataannya, orang
yang bernama Sahyang Resi Gopala tak juga ada
bayang-bayangnya!" seru Aji dengan lipat kipas-nya dan disimpan ke balik
pakaiannya. Namun
sambil menyimpan kipas ungunya matanya tak
berkedip memandangi Dewi Kayangan.
Dewi Kayangan angguk-anggukkan kepala
hingga terdengar gemerincing anting-antingnya.
"Aku belum selesai dengan ucapanku. Yang
kumaksud dengan benar adalah benar, jika wak-
tu itu kau salah dengar dengan ucapanku!"
Pendekar 108 kernyitkan dahi. Telinganya
ia tarik-tarik hingga melebar. Ia seakan tak percaya dengan ucapan Dewi
Kayangan. "Dewi! Rasa-rasanya telingaku masih nor-
mal. Aku tak mungkin salah dengar!" Dewi
Kayangan kembali tertawa cekikikan. "Ucapmu benar. Telingamu memang masih sehat.
Namun kau salah dengar karena waktu itu aku memang
salah ucap! Hingga meski kau telah aduk-aduk
tempat ini, kau tak menemukan orang yang kau
cari! Hik... hik... hik...!"
"Sialan! Ternyata dia telah mengucapkan
tempat yang salah! Bagaimana ini bisa terjadi"
Apa ia main-main...?" kata Pendekar 108 dalam hati seraya membesarkan sepasang
matanya, karena merasa dipermainkan Dewi Kayangan.
Melihat hal ini Eyang Selaksa keluarkan
batuk-batuk beberapa kali, lalu angkat bicara.
"Aji. Kau tak bisa menyalahkan Dewi
Kayangan karena salah ucapnya!"
"Tapi, Eyang...." '
"Aji. Sebelum mencarimu, aku dan gurumu
Jayeng Parama telah menemui Dewi Kayangan
terlebih dahulu. Ia menceritakan segalanya.
Sampai pada masalah salah ucap itu!"
"Jadi salah ucapnya itu memang disenga-
ja...?" Eyang Selaksa anggukkan kepalanya seraya berkata.
"Namun semua itu ada maksudnya! Kau
jangan terburu menduga yang tidak-tidak!"
"Maksudnya...?" tanya Pendekar Mata Ke-
ranjang seolah tak sabar melihat Eyang Selaksa tidak segera melanjutkan
ucapannya. "Kau tahu, masalah Arca Dewi Bumi ada-
lah persoalan yang amat rahasia. Tak seorang
pun boleh mengetahui di mana berada arca serta orang yang memegangnya. Karena
saat itu Dewi Kayangan masih khawatir Dewi Bunga Iblis masih berada di situ dan mencuri dengar
pembicaraan kalian, maka Dewi Kayangan sengaja mengu-
capkan petunjuk yang salah!"
Mendengar keterangan Eyang Selaksa, Aji
tampak menarik napas dalam-dalam. Meski da-
lam hati masih jengkel, namun akhirnya ia bisa memaklumi.
"Eyang Selaksa. Tampaknya ada sesuatu
yang sangat penting hingga Eyang bersama Eyang Wong Agung serta Dewi Kayangan
mencariku...,"
berkata Pendekar 108 setelah di antara mereka
tidak ada yang mulai lagi buka pembicaraan.
Eyang Selaksa sejenak alihkan pandan-
gannya pada Dewi Kayangan, lalu pada Wong
Agung. Wong Agung terlihat batuk sebentar, lalu berkata.
"Paman. Sebaiknya Paman saja yang mene-
rangkan...."
"Aji, memang ada hal penting yang harus
kau ketahui selain apa yang nanti hendak dikatakan Dewi Kayangan...," sejenak
Eyang Selaksa hentikan kata-katanya. Lalu melanjutkan.
"Perlu kau ketahui, bahwa kipas hitam ser-ta bumbung bambu yang disimpan gurumu
telah lenyap dicuri orang!"
Aji terhenyak mendengar keterangan Eyang
Selaksa hingga sepasang matanya mendelik be-
sar. Dadanya terlihat bergetar, sementara mulutnya menganga.
"Siapa yang mencurinya, Eyang...?"
"Kalau aku atau Jayeng Parama tahu, tak
usah jauh-jauh mencarimu!"
"Jadi Eyang menugaskan aku untuk men-
cari sang pencuri itu?"
Eyang Selaksa dan Wong Agung yang nama
aslinya Jayeng Parama anggukkan kepala mas-
ing-masing. Pendekar 108 tampak usap-usap hidung-
nya. Dalam hati dia berkata.
"Tugas satu belum selesai, datang lagi tugas baru. Hmm.... Tapi apa boleh buat.
Ini tugas dari guruku. Bagaimanapun juga aku harus men-jalankannya...," lalu Aji
berkata. "Baiklah, Eyang. Perintahmu akan kuja-
lankan! Tapi dapatkan Eyang memberi sedikit petunjuk agar aku tak buta sama
sekali tentang sang pencuri itu?"
Eyang Selaksa palingkan wajahnya pada
Wong Agung. Seakan tahu bahwa dirinya dipan-
dang, Wong Agung lantas mengangguk dan berka-
ta. "Aku memang tak tahu siapa adanya pen-
curi itu. Namun satu hal yang pasti, ia adalah seorang perempuan. Dan untuk
lebih jelasnya,
kau harus menyelidiki seorang bernama Dadung
Rantak. Karena perempuan itu datang bersama
Dadung Rantak...."
"Dadung Rantak...?" ulang Pendekar Mata Keranjang 108 seraya tengadahkan kepala
dengan kening mengkerut. Ia seakan-akan coba mengingat-ingat nama yang baru saja
disebutkan Wong
Agung. "Benar. Dadung Rantak adalah seorang tokoh tua dari golongan hitam. Ia
adalah seorang berilmu tinggi. Sebenarnya ia telah berpuluh-puluh tahun tak
muncul lagi ke rimba persilatan.
Ketidak munculannya mungkin karena ia sedang
memperdalam ilmu. Ia tinggal di sebuah lembah
bernama Lembah Rawa Buntek. Kabar yang per-
nah kudengar, ia pun telah mengangkat dua
orang sebagai muridnya. Hanya itu yang kuketa-
hui tentang Dadung Rantak...."
Pendekar 108 terlihat angguk-anggukkan
kepala meski dalam hati ia diselimuti berbagai perasaan. Eyang Selaksa rupanya
menyadari akan apa yang ada di benak Pendekar 108 ini. Sambil melangkah mendekati Aji laki-laki
penghuni Kampung Blumbang ini berkata perlahan.
"Aji. Tugasmu memang berat, karena harus
mencari orang yang belum diketahui nama serta
tempat tinggalnya. Namun kau harus sadar. Ini
semua demi ketenteraman dan kedamaian rimba
persilatan. Kau bisa bayangkan apa yang terjadi nanti seandainya senjata
berbahaya itu disalah-gunakan!"
Kembali Pendekar 108 anggukkan kepa-
lanya. "Baiklah, Eyang. Aku siap mengemban tugas itu!"
"Bagus. Hanya pesanku, kau harus lebih
berhati-hati dan waspada. Dadung Rantak adalah tokoh tua yang ketinggian ilmunya
tidak bisa dis-angsikan lagi. Aku yang baru saja menghadapinya harus bersusah
payah untuk dapat menggagalkan
niatnya!" kali ini yang berkata adalah Wong Agung. Sambil berkata, penghuni
Karang Langit ini tetap usap-usap dadanya. Wajahnya pun terlihat masih pucat.
"Aji...!" berkata Eyang Selaksa, setelah agak lama di antara mereka tidak ada
yang buka suara. "Dewi Kayangan mungkin akan mengatakan sesuatu padamu!" sambil
berkata, Eyang Selaksa palingkan wajahnya pada Dewi Kayangan, lalu
memberi isyarat dengan anggukkan kepalanya.


Pendekar Mata Keranjang 15 Badai Di Karang Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi Kayangan bukannya langsung angkat
bicara. Perempuan bertubuh gemuk besar ini ce-
kikikan terlebih dahulu, hingga gemerincing anting-antingnya seakan bersahut-
sahutan dengan suara cekikikannya. Mendadak Dewi Kayangan
hentikan cekikikannya, lalu berkata.
"108, menyusuli mulutku yang salah ucap
dahulu, sekarang dengar baik-baik! Pergilah kau ke arah selatan. Di daerah
Bokor, kau akan menemukan dua buah gunung yang berdiri berdam-
pingan. Orang-orang menyebutnya Gunung Kem-
bar. Di antara dua gunung tersebut ada sebuah
hutan kecil. Di sana kau akan menemukan se-
buah kuil tua. Di sanalah Sahyang Resi Gopala
berada!" Sejurus Pendekar Mata Keranjang 108
memandangi Dewi Kayangan dengan tak berke-
dip. Lalu seraya rapikan rambutnya ia berkata.
"Dewi. Harap dewi suka mengulanginya.
Aku khawatir salah dengar seperti dahulu!"
Kali ini perempuan yang suka cekikikan ini
tak lagi keluarkan tawa cekikikannya. Malah sepasang matanya yang besar
membeliak. Sementa-
ra kakinya ia bantingkan ke tanah. Namun sesaat kemudian ia turuti juga
permintaan Pendekar
108. "Dewi yakin jika kali ini tak salah ucap la-gi...?" kata Aji dengan arahkan
pandangannya pada Eyang Selaksa yang tampak tersenyum.
Yang ditanya bukannya menjawab. Namun
tertawa cekikikan dengan kerasnya, hingga Pen-
dekar 108 harus keluarkan tenaga dalam ke gen-
dang telinganya.
"Kalau kali ini aku salah ucap, berarti kau yang benar-benar salah dengar'!"
Pendekar Mata Keranjang sunggingkan se-
nyum seraya berkata.
"Mudah-mudahan, Dewi tidak salah ucap
dan aku tidak salah dengar!"
"Nah, kurasa kau telah tahu untuk apa
kami mencarimu. Sekarang aku, Dewi Kayangan
serta gurumu harus meninggalkan tempat ini.
Bukankah begitu?" sambil berkata Eyang Selaksa arahkan pandangannya pada Dewi
Kayangan dan Eyang Wong Agung.
Dewi Kayangan keluarkan tawa cekikikan
sambil anggukkan kepala, sementara Wong Agung
tersenyum seraya mengangguk.
Ketiga orang ini lantas balikkan tubuh
masing-masing hendak pergi. Namun Pendekar
Mata Keranjang cepat meloncat ke arah Eyang Selaksa. "Eyang. Apakah antara Eyang
dan Dewi Kayangan telah berbaik-baikan" Kulihat paras
Dewi Kayangan lebih cerah dan tak henti-
hentinya tertawa."
Eyang Selaksa urungkan niat untuk pergi.
Ia berpaling sebentar. Bibirnya sunggingkan senyum. Ia lantas berkata, namun
wajahnya berpaling pada Dewi Kayangan.
"Kali Nyamat!" panggil Eyang Selaksa menyebut nama asli Dewi Kayangan.
"Anak ini menanyakan tentang kita! Harap
kau saja yang memberi jawabannya!"
Kali Nyamat atau Dewi Kayangan berpal-
ing. Sepasang matanya tampak mendelik besar.
"Anak geblek! Untuk apa kau tahu masalah
orang tua, he..."!"
Pendekar Mata Keranjang 108 moncongkan
mulutnya, tangan kanannya mengusap-usap
ujung hidungnya.
"Untuk sekadar tahu kan tidak apa-apa,
Dewi. Karena jika sudah jelas, rencanaku ku
urungkan!"
"Rencana" Kau punya rencana apa, he...?"
tanya Dewi Kayangan seraya balikkan tubuh
kembali menghadap Aji.
Sejenak Pendekar 108 tertawa perlahan, la-
lu berkata. "Aku punya banyak kenalan gadis-gadis
cantik. Kalau memang di antara Dewi dan Eyang
Selaksa tidak ada hubungan lagi, aku berniat
memperkenalkan beberapa orang pada Eyang Se-
laksa, barangkali salah satu di antaranya ada
yang berkenan di hati Eyang...."
"Kurang ajar! Jadi kau hendak menjodoh-
kan Tua bau tanah itu dengan gadis-gadis cantik kenalanmu" Bagus! Dengar Anak
kurang ajar! Meski begini-begini, aku masih bisa cari pemuda tampan dan gagah! Kau ingin
bukti..."!" seraya berkata sepasang mata Dewi Kayangan makin
membeliak. Sementara Pendekar Mata Keranjang
108 menahan tawanya. Dan baik Eyang Selaksa
maupun Wong Agung tampak tersenyum-senyum.
"Maaf, Dewi. Makanya aku ingin tahu hu-
bungan Dewi dengan Eyang Selaksa agar nan-
tinya tak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan.
Namun melihat sikap Dewi, tanpa dijawab pun
aku sudah tahu!"
"Tahu apa..."!"
"Bahwa antara Eyang Selaksa dan Dewi te-
lah...," Aji tidak meneruskan ucapannya, karena saat itu Dewi Kayangan telah
banting-bantingkan kaki menghentak tanah seraya menggerendeng
panjang pendek.
"Kau memang seharusnya diberi pelajaran!"
habis berkata, Dewi Kayangan maju dua langkah.
Namun sebelum melangkah lagi dan gerakkan
kedua tangannya, Eyang Selaksa mendekati dan
berkata. "Kali Nyamat. Kalau sejak tadi kau menja-
wab ya, mungkin kau tak usah menampakkan ra-
sa cemburumu begitu rupa...."
"Sialan! Siapa cemburu padamu! Aku
hanya tak suka ia memperkenalkan kenalan ga-
disnya padamu! Tak ada cemburu! Sekali lagi tak ada cemburu!"
"Betul. Tak ada cemburu, tapi kau takut
aku tertarik salah satu teman Aji. Benarkan....?"
"Edan! Siapa takut kau tertarik pada seo-
rang gadis"!" kini sepasang mata Dewi Kayangan melotot pada Eyang Selaksana.
"Ah, sudahlah. Waktu kita tak banyak. Kita harus cepat tinggalkan tempat
ini...!" kali ini yang angkat bicara adalah Wong Agung.
Seraya mengomel tak karuan, Dewi Kayan-
gan balikkan tubuh. Tapi ekor matanya sempat
melirik pada Eyang Selaksa yang tampak terse-
nyum-senyum, bahkan kerdipkan sebelah ma-
tanya pada Pendekar 108, yang dibalas dengan
tawa tertahan oleh Aji.
"Aji. Selamat tinggal...," ujar Wong Agung seraya berkelebat meninggalkan tempat
itu. Tak lama kemudian, Dewi Kayangan dan Eyang Selaksa tampak saling pandang.
Lalu tanpa berkata apa-apa lagi kedua orang ini pun berkelebat menyusul Wong
Agung. Namun bersamaan dengan
berkelebatnya Dewi Kayangan terdengar suara
tawa cekikikannya yang bersahutan dengan ge-
merincing anting-antingnya.
Begitu ketiga orang telah berkelebat, Pen-
dekar Mata Keranjang 108 tertawa terbahak-
bahak. "Cemburu tidak, tapi takut kehilangan ya,
Ha-ha... ha...!"
TUJUH SETENGAH purnama berlalu.... Pendekar
Mata Keranjang 108 terlihat melangkah perlahan memasuki sebuah perkampungan yang
padat penduduk. Selain padat penduduk hingga jalan-
jalan tampak ramai, perkampungan ini tampak-
nya dihuni beberapa orang kaya, karena sepan-
jang jalan tampak berdiri rumah-rumah megah
dengan pekarangan luas.
"Hmm.... Rasanya perutku sudah minta di-
isi. Sambil istirahat, memang sebaiknya aku
mengisi perut. Lagi pula, menurut orang yang tadi sempat kutanya, daerah Bokor
terletak di sebelah timur daerah ini, dan sudah tidak jauh.... Mudah-mudahan
ucapan Dewi Kayangan tak salah lagi....
Dan aku dapat segera menemukan orang yang
bernama Sahyang Resi Gopala...," Aji membatin seraya terus melangkah. Sepasang
matanya terus menebar mengawasi tempat-tempat yang dila-luinya. Ketika matanya
melihat sebuah kedai,
Pendekar 108 hentikan langkahnya. Ia tampak
bimbang. Namun sesaat kemudian ia sudah men-
dendangkan nyanyian seraya melangkah ke arah
kedai yang hari ini rupanya ramai pengunjung.
Dengan hanya sekilas menebar pandan-
gannya, Aji tahu mana tempat duduk yang ko-
song. Ia dengan pandangan acuh lantas melang-
kah ke bangku yang kosong dan kebetulan ada di bagian samping, hingga bisa
melihat ke halaman kedai. Seorang pelayan mendekat. Setelah Pendekar 108
mengatakan pesanannya, sang pelayan
lantas ke belakang. Dan tak berapa lama kemu-
dian telah kembali dengan membawa pesanan Aji.
Mungkin karena lapar, begitu makanan
terhidang, Murid dari Karang Langit ini pun segera melahapnya.
Selagi Pendekar 108 tengah menyantap
makanan, tiba-tiba terdengar derap ladam kaki-
kaki kuda menghentak. Lalu terdengar suara
ringkik kuda bersahut-sahutan bersamaan den-
gan lenyapnya derap langkah. Debu nampak
mengepul dan sebagian masuk ke dalam kedai,
karena kuda-kuda itu sengaja dihentikan dengan tiba-tiba di halaman depan kedai.
Meski Pendekar Mata Keranjang sempat
keluarkan gerendengan panjang pendek, karena
harus menepiskan kepulan debu, namun ia te-
ruskan makannya. Bahkan ketika tiga orang ber-
tampang angker memasuki kedai, murid Wong
Agung ini seakan-akan tak terpengaruh, padahal beberapa pengunjung kedai tampak
cepat-cepat selesaikan makannya, malah sebagian tak mene-
ruskan makannya.
Tiga orang yang baru saja injakkan kaki
masing-masing ke dalam kedai sejenak saling
pandang satu sama lain. Lalu ketiganya menya-
pukan pandangannya pada para pengunjung.
Tak satu pun dari pengunjung yang masih
selesaikan makannya berani angkat kepala untuk membalas pandangan tiga orang
ini. Malah beberapa orang tampak tubuhnya bergetar.
Melihat tingkah para pengunjung kedai, ti-
ga orang ini lantas keluarkan tawa bergelak-gelak.
Ketiga orang ini adalah semuanya laki-laki.
Yang tengah laki-laki berusia setengah
baya. Mengenakan pakaian hitam-hitam. Tubuh-
nya besar dengan perut buncit. Parasnya bulat.
Rambutnya panjang, kumisnya lebat hingga me-
nutupi mulutnya. Tapi yang membuat laki-laki ini tampak angker, mata sebelah
kanan tampak menonjol ke depan seolah hendak meloncat keluar.
Sedangkan mata sebelah kiri masuk terlalu dalam pada cekungannya.
Sementara orang yang di sebelah kanan la-
ki-laki bertubuh besar berperut buncit ini adalah laki-laki yang usianya juga
setengah baya. Tubuhnya kecil kurus. Rambutnya panjang dan ja-
rang, demikian pula kumisnya. Ia mengenakan
pakaian warna merah menyala agak gombrong.
Sepasang matanya amat sipit sedangkan hidung-
nya besar. Yang membuat laki-laki ini seram, pa-da wajahnya tampak codet
menyilang panjang da-
ri kening samping kiri hingga dagu sebelah ka-
nan. Sedangkan laki-laki paling kiri, usianya ju-ga setengah baya. Mengenakan
pakaian warna kuning dengan ikat kepala juga berwarna kuning.
Tubuhnya gemuk agak pendek. Kepalanya gun-
dul. Laki-laki ini terlihat angker, karena pada seluruh wajahnya yang bulat
lebar itu terdapat tato.
"Pelayan! Cepat sediakan makan untuk ki-
ta!" tiba-tiba laki-laki bertubuh besar berperut buncit yang mengenakan pakaian
hitam-hitam keluarkan bentakan.
Beberapa orang pelayan yang sedari tadi
hanya berdiri tanpa berani memandang buru-
buru melangkah ke belakang. Sementara ketiga
orang laki-laki ini langsung henyakkan pantat
masing-masing pada bangku yang kini banyak
yang kosong. Tak berapa lama tiga orang pelayan terlihat
melangkah dengan tubuh bergetar ke arah meja
tiga laki-laki berwajah angker ini.
Selesai menghidangkan makanan dan mi-
numan, tiga pelayan segera melangkah kembali
ke belakang tanpa berani lagi berpaling.
Seraya tertawa tergelak-gelak, ketiga laki-
laki ini langsung menyantap makanan di atas me-ja.
"Kita tak perlu tergesa-gesa. Waktu kita
masih panjang. Lagi pula apa enaknya melakukan perjalanan tanpa terlebih dahulu
mengasah pe-dang" Kulihat di sini banyak perempuan cantik
yang menjanjikan kehangatan! Apakah kau akan
sia-siakan kesempatan ini..."!"
"Tapi...," sahut yang berpakaian kuning.
Namun sebelum ia melanjutkan ucapannya, laki-
laki yang berpakaian hitam telah menyela.
"Tak ada tapi. Perjalanan ini akulah yang memimpin. Kalian berdua menurut saja!
Apa kalian memang sudah bosan dengan tubuh molek
perempuan, he...?"
"Ah, hanya orang bodoh yang bosan den-
gan kemolekan tubuh perempuan! Kalau Kakang
masih ingin, tentunya aku pun masih mengge-
bu...!" berkata yang berpakaian merah seraya tertawa. Ketiga orang laki-laki ini
pun lantas kembali tergelak-gelak.
"Hentikan tawa kalian! Lihat!" mendadak laki-laki yang mengenakan pakaian hitam-
hitam membentak dan mengarahkan pandangan ma-
tanya pada pintu masuk kedai.
Laki-laki berpakaian merah dan kuning ce-
pat palingkan wajah masing-masing ke arah pan-
dangan mata laki-laki yang berpakaian hitam-


Pendekar Mata Keranjang 15 Badai Di Karang Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hitam. Seorang perempuan berparas cantik tam-
pak melangkah masuk kedai. Ia mengenakan pa-
kaian tipis warna biru gelap. Usianya kira-kira masih dua puluh lima tahun.
Rambutnya bergerai panjang dan berombak. Hidungnya mancung di-hias bibir yang
membentuk bagus. Sedangkan se-
pasang matanya tampak bulat tajam serta ber-
warna kebiruan. Dadanya membusung kencang,
sementara pinggulnya tampak mencuat besar.
Sejenak perempuan ini layangkan sepasang
matanya yang berbola kebiruan ke seluruh ruan-
gan. Untuk beberapa saat matanya terhenti pada sosok pemuda duduk sendirian di
meja samping yang tak acuh dengan keadaan. Malah pemuda
ini terdengar mendendangkan nyanyian sambil
melahap makanan.
Lalu perempuan cantik ini alihkan pan-
dangannya pada tiga laki-laki yang memandan-
ginya seakan hendak menelan habis. Pada tiga
laki-laki ini sang perempuan hanya memandang
sekilas, lalu melangkah perlahan pada bangku
yang kini tampak kosong semua.
Sang perempuan tampaknya memilih
bangku kosong yang lurus dengan bangku sang
pemuda yang bukan lain adalah Aji.
Begitu sang perempuan duduk, laki-laki
berpakaian hitam berkata.
"Dengar! Untuk yang ini kalian tak kuizinkan mencicipi! Ia khusus untukku!"
habis berkata, laki-laki berpakaian hitam ini melangkah ke arah meja sang
perempuan, sementara bibirnya
yang tertutup kumis lebat terlihat tersenyum lebar. Pendekar Mata Keranjang 108
yang sedari tadi acuh dengan keadaan di situ, angkat kepa-
lanya demi mendengar kata-kata laki-laki berpakaian hitam. Dan begitu melihat
sang perempuan yang memang lurus dengannya, murid Wong
Agung ini tampak sunggingkan senyum. Sepasang
matanya yang tajam memandangi sang perem-
puan dari rambut hingga kaki.
"Gila! Perempuan ini benar-benar mempe-
sona! Pakaiannya yang amat ketat dan tipis sepertinya sengaja dibuat untuk
menambah daya ta-
riknya! Dada serta pinggulnya begitu serasi.
Hmm...," namun pandangan Aji segera beralih pada laki-laki berpakaian hitam yang
kini telah berdiri di samping sang perempuan. Sang perempuan tampaknya acuh
didekati begitu, malah bi-
birnya terlihat sunggingkan senyum.
"Manis! Kuharap kau tak keberatan bila ku temani makan!" berkata laki-laki
berpakaian hitam dan langsung duduk di hadapan sang pe-
rempuan. Sang perempuan hanya sunggingkan se-
nyum tanpa memandang, namun diam-diam tan-
pa diketahui sang laki-laki, ia gerakkan tangan kanannya di bawah meja.
Kejap itu juga bangku yang diduduki laki-
laki berpakaian hitam berderak dan hancur ber-
keping-keping. Namun dugaan sang perempuan
ternyata meleset. Karena bersamaan dengan han-
curnya bangku, tubuh laki-laki berpakaian hitam bukannya ikut terhumbalang
jatuh. Tubuh besar
itu tetap tak bergeming! Dari sini bisa dilihat jika baik sang perempuan maupun
laki-laki berpakaian hitam bukanlah orang yang bisa dianggap
remeh. Sang perempuan, meski hanya mengge-
rakkan tangannya begitu amat pelan, namun
mampu membuat bangku hancur berkeping-
keping. Sementara sang laki-laki berpakaian hitam, dapat menahan tubuhnya meski
hancurnya bangku itu secara tiba-tiba.
Melihat dugaannya meleset, sang perem-
puan bukannya menunjukkan rasa kejut, seba-
liknya bibir perempuan ini makin lebar terse-
nyum. Dan bersamaan itu tangannya yang di ba-
wah meja kembali bergerak pelan.
Saat itu juga serangkum angin deras
menggebrak di bawah meja dan menyapu ke arah
kedua kaki laki-laki berpakaian hitam yang pan-tatnya masih tampak mengapung di
udara. "Ha... ha... ha.... Rupanya kau ingin mengajak main-main di sini sebelum main-
main di atas ranjang jerami. Baiklah!" bersamaan dengan selesainya ucapannya, laki-laki
berpakaian hitam ini sentakkan tangan kanannya ke bawah.
Wuuttt! Tiba-tiba tubuhnya yang besar melesat ke
udara. Dengan gerakan lincah, laki-laki ini membuat gerakan berputar satu kali
di udara. Namun tubuhnya mendadak melesat lurus ke arah sang
perempuan dengan tangan kiri menggapai.
Pendekar Mata Keranjang yang mengetahui
hal ini segera angkat tangannya dan hendak didorong ke depan untuk menghalangi
gerak tubuh laki-laki berpakaian hitam agar tidak menggapaikan tangan kirinya yang tampak
mengarah pada dada sang perempuan.
Namun gerakan tangan pendekar murid
Wong Agung ini diurungkan, karena sang perem-
puan cantik tampak tarik tubuhnya ke belakang
dan serta merta disorongkan kembali ke depan.
Hebatnya, meski hanya gerakkan tubuhnya ke
depan, namun gapaian dan gerak laju tubuh sang laki-laki kontan tertahan! Malah
kalau laki-laki ini tidak segera tambah tenaga dalamnya dan melesat ke udara,
niscaya tubuhnya akan jatuh ter-jengkang!
"Jahanam...! Siapa kau..."!" laki-laki berpakaian hitam berteriak begitu telah
mendarat kembali. Sepasang matanya tampak berkilat.
Yang ditanya hanya tersenyum. Malah se-
pasang matanya memandang pada Pendekar 108
berlama-lama. Yang dipandang sunggingkan se-
nyum dan kerdipkan mata kirinya. Namun demi-
kian diam-diam dalam hati Aji berkata.
"Perempuan cantik ini tak bisa dianggap
sebelah mata. Tenaga dalamnya tampak cukup
tinggi. Siapa dia..." Rupanya makin banyak saja tokoh-tokoh rimba persilatan
yang tak kukenal telah muncul. Apakah ia juga memburu Arca Dewi
Bumi, seperti tokoh-tokoh lainnya..." Atau...,"
Pendekar 108 tak meneruskan kata hatinya, ka-
rena saat itu juga terdengar lagi bentakan dari la-ki-laki berpakaian hitam-
hitam. "Aku hanya mengulangi sekali. Siapa
kau..."!"
Lagi-lagi yang dibentak hanya sunggingkan
senyum. Mulutnya memang tampak membuka
seakan hendak berkata, namun ditunggu agak
lama perempuan ini tak juga keluarkan kata-
kata. "Rupanya kau tak bisa diajak berhalus-halus!" kata laki-laki berpakaian
hitam seraya maju selangkah. Kedua tangannya ditarik ke belakang. Namun sebelum
laki-laki ini sempat ki-
rimkan serangan, laki-laki berpakaian merah dan kuning bangkit dari duduknya.
Salah satu di antaranya melangkah dan berkata.
"Kakang. Kalau soal yang begini, Kakang
tak usah turun tangan sendiri! Serahkan padaku dan Datuk Kumbang. Kakang nanti
tinggal terima masaknya! Bukankah begitu, Datuk Kumbang...?"
kata laki-laki yang ternyata berpakaian merah seraya palingkan wajah pada laki-
laki berpakaian
kuning yang dipanggilnya dengan Datuk Kum-
bang. Datuk Kumbang tersenyum menyeringai.
Sepasang matanya memandang silih berganti pa-
da dada dan pinggul sang perempuan, lalu berka-ta.
"Benar! Kakang Pragolo tak usah repot-
repot! Perempuan ini serahkan saja padaku dan
Suro Dadak! Kakang tinggal siap-siap saja untuk menikmatinya!"
Mendengar perkataan dua laki-laki ini, la-
ki-laki berpakaian hitam yang dipanggil dengan Pragolo tertawa ngakak, sementara
laki-laki berpakaian merah yang dipanggil Suro Dadak tam-
pak melangkah maju.
Sementara itu baik para pelayan maupun
pemilik kedai tampak sudah sama berlarian ke-
luar begitu merasa akan timbul keributan. Se-
dangkan Pendekar 108 terlihat meneruskan ma-
kannya meski sepasang matanya tak henti melirik pada sang perempuan.
"Sial benar! Selera makanku tiba-tiba ikut lenyap!" gumam Pendekar Mata
Keranjang seraya usap-usap hidungnya. Pandangannya diarahkan
ke luar halaman kedai.
"Baiklah jika itu kehendak kalian berdua.
Tapi ingat, aku tak mau dia cedera, apalagi sampai kulitnya lecet-lecet. Nanti
akan mengurangi kenikmatan. Kalian dengar...?" kata Pragolo sambil melangkah ke
arah meja dan duduk ongkang-
ongkang, tawanya terus terdengar dari mulutnya.
"Kau tak usah khawatir, Kakang! Kulitnya
kujamin tetap mulus!" kata si kecil kurus berbaju merah Suro Dadak sambil terus
maju. "Bahkan kujamin kami tak akan menyen-
tuhnya! Asal Kakang berlaku seperti biasanya!"
kali ini yang bicara adalah si pendek gundul berpakaian kuning yakni Datuk
Kumbang. Pragolo hentikan tawanya. Dipandanginya
satu persatu Suro Dadak dan Datuk Kumbang.
"Rupanya kalian juga berminat. Baiklah!
Aku akan berlaku seperti biasanya. Aku yang
mendahului, lantas Suro Dadak dan terakhir kau, Datuk Kumbang! Melihat gesitnya
dia, tampaknya kita masih kekurangan tenaga untuk menggilir-nya! Bagaimana kalau
pemuda itu kita ajak sekalian...?"
Suro Dadak dan Datuk Kumbang paling-
kan wajahnya masing-masing pada Aji. Mendadak
Datuk Kumbang tertawa tergerai-gerai.
"Kakang! Jika laki-laki masih ingusan se-
perti dia kita ajak serta dalam pesta nikmat ini, aku khawatir dia akan terkapar
terlebih dahulu sebelum sampai tujuan! Ha... ha... ha...!"
"Benar, Kakang. Malah akan terkencing-
kencing dahulu! Sebaiknya kita tak usah tambah tenaga kalau hanya dengan satu
perempuan. Aku rasa, aku masih sanggup biar semalam suntuk!
Ha... ha... ha...!" berkata si kecil kurus Suro Dadak seraya alihkan kembali
pandangannya pada
sang perempuan.
Di seberang, Pendekar Mata Keranjang 108
terlihat membelalakkan sepasang matanya men-
dengar ucapan-ucapan yang keluar dari Datuk
Kumbang dan Suro Dadak. Namun ia tak hendak
menyahuti. Ia memang ingin melihat bagaimana
sepak terjang tiga laki-laki ini. Maka meski dengan memaki dalam hati, Aji pun
alihkan pandan-
gannya, dan seolah acuh dengan apa yang hen-
dak diperbuat oleh Pragolo, Datuk Kumbang, ser-ta Suro Dadak.
Sang perempuan sendiri hanya tersenyum-
senyum mendengar ucapan tiga laki-laki ini. Tak segurat pun tanda ketakutan di
wajahnya. Suro Dadak dan Datuk Kumbang saling
berpandangan sebentar. Lantas kedua-duanya
sama-sama melangkah mendekat. Tiba-tiba saja
si kecil kurus Suro Dadak kelebatkan tangannya, demikian juga si pendek gundul
Datuk Kumbang. Wuttt! Wuuttt! Dua tangan tampak berkelebat cepat. Dan
jelas yang dituju adalah bagian dada serta punggung sang perempuan!
Yang diserang hanya gerakkan tubuh ke
samping. Tangan Suro Dadak dan Datuk Kum-
bang menerobos angin sejengkal di samping tu-
buh sang perempuan. Bukan hanya sampai di si-
tu, begitu gerakkan tubuhnya perempuan ini ce-
pat pula angkat kakinya ke atas dan disapukan
ke depan menyamping!
Deesss! Deesss!
Terdengar seruan tertahan dari mulut Suro
Dadak dan Datuk Kumbang begitu kaki sang pe-
rempuan menghantam paha masing-masing
orang ini. Dua laki-laki ini terlihat kerahkan tenaga
dalamnya untuk menghentikan laju tubuh mas-
ing-masing yang menyuruk lurus. Namun tam-
paknya sapuan kaki sang perempuan demikian
derasnya, hingga keduanya tak sanggup lagi me-
nahan laju tubuh masing-masing. Maka kejap itu juga kedua orang ini langsung
terjerembab di atas lantai kedai setelah terlebih dahulu menghantam meja. Baik
Pendekar 108 maupun Pragolo tampak sedikit terkejut melihat hal ini. Meski
sapuan kaki perempuan itu tampak tanpa tenaga, namun
kenyataannya mampu membuat Suro Dadak dan
Datuk Kumbang terjerembab!
"Bangsat! Kupatahkan kakimu!" teriak si kecil kurus Suro Dadak sambil bangkit.
Sepasang matanya berubah merah dan membesar. Pelipisnya bergerak-gerak membuat
codetnya seakan
hendak membuka kembali. Datuk Kumbang pun
ikut-ikutan marah. Sambil bangkit dari mulutnya terdengar umpatan tak karuan.
Tampaknya rencana mereka yang akan tidak melecetkan kulit
sang perempuan terlupa seketika.
Kedua laki-laki ini serentak lesatkan tubuh
masing-masing, namun baru saja mereka menda-
rat, sang perempuan telah melesat dan serta-
merta kakinya kembali menggebrak ke arah dada
Suro Dadak dan Datuk Kumbang!
Wuuttt! Wuutttt!
Demikian cepatnya gerakan sang perem-
puan, hingga baik Suro Dadak maupun Datuk
Kumbang walau sempat menghindar namun ge-
rakannya kalah cepat. Hingga....
Desss! Dessss! Suro Dadak dan Datuk Kumbang memekik
tinggi. Tubuh keduanya melayang jauh menghan-
tam meja dan bangku hingga patah dan hancur.
Tubuh keduanya baru terhenti ketika punggung
masing-masing orang ini menghantam sisi samp-
ing bangunan kedai yang terbuat dari batu bata.
Batu bata itu tampak rengkah!
"Jahanam busuk! Kubunuh kau, Perem-
puan Liar!" bentak si pendek gundul Datuk Kumbang seraya meludah dan bangkit.


Pendekar Mata Keranjang 15 Badai Di Karang Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ludah yang muncrat tampak berwarna kehitaman, menanda-
kan bahwa Datuk Kumbang telah terluka dalam.
Tak jauh beda dengan Datuk Kumbang, demikian
pula yang dialami Suro Dadak. Malah laki-laki ini tampaknya lebih parah, karena
seraya bangkit tangan kanannya mendekap dada dan berulang
kali mengurutnya. Dan tak lama kemudian melu-
dah. Ludahnya pun berwarna kehitaman, bahkan
tampak mengental!
Perempuan berparas cantik dongakkan ke-
palanya menatap langit-langit kedai. Tiba-tiba da-ri mulutnya terdengar suara
tawa panjang. Lalu tanpa peduli pada Suro Dadak dan Datuk Kumbang, perempuan ini
balikkan tubuh dan melang-
kah keluar kedai.
"Jangan harap bisa lari sebelum ku aduk-
aduk tubuhmu!" teriak Datuk Kumbang seraya melesat keluar yang kemudian disusul
oleh Suro Dadak. Sampai halaman kedai, Datuk Kumbang
serta Suro Dadak langsung kirimkan serangan
dengan sentakkan tangan masing-masing. Kedua
orang ini tampaknya tak lagi menganggap enteng sang perempuan. Karena
serangannya kini dialiri dengan tenaga dalam penuh, hingga saat itu juga empat
gelombang angin kencang melesat dari belakang sang perempuan!
Sang perempuan hentikan langkahnya.
Tanpa berpaling ke belakang, ia jejakkan kakinya di atas tanah. Tubuhnya
mengangkasa, hingga
serangan Suro Dadak dan Datuk Kumbang
menghajar tempat kosong.
Hebatnya, begitu di atas udara, perempuan
ini langsung putar tubuhnya dan dengan sekali
membentak, tubuhnya melesat cepat ke arah Su-
ro Dadak dan Datuk Kumbang!
Suro Dadak dan Datuk Kumbang terkejut
besar. Keduanya segera melompat ke samping.
Namun bersamaan dengan itu, tangan kiri kanan
sang perempuan mendorong.
Wuuttt! Wuutttt!
Dua larik sinar hitam menyambar keluar
dengan disertai suara menggemuruh.
Suro Dadak dan Datuk Kumbang tercekat.
Paras wajah kedua orang ini berubah seketika.
Dan mungkin karena terperangah, keduanya tak
lagi berbuat sesuatu, hingga tak ampun lagi sinar hitam itu menghantam dada
masing-masing laki-laki ini!
Desss! Deesssss!
Tak ada suara terdengar dari mulut Suro
Dadak dan Datuk Kumbang. Yang kemudian ter-
lihat adalah mencelatnya tubuh kedua laki-laki
ini sampai kira-kira sepuluh tombak ke belakang.
Begitu bergelimpangan di atas tanah, tu-
buh Suro Dadak dan Datuk Kumbang terlihat
bergerak-gerak sebentar, namun tak lama kemu-
dian diam kaku dengan darah hitam meleleh dari mulut, hidung, dan telinganya!
Ketika sang perempuan mengirimkan se-
rangan tadi, sebenarnya Pragolo telah tahu ba-
haya, dan buru-buru sentakkan kedua tangannya
untuk menangkis. Namun pukulan sang perem-
puan tampaknya lebih cepat, hingga tangkisan
yang dilancarkan Pragolo hanya menerabas tem-
pat kosong. Melihat dua temannya roboh bersimbah
darah, Pragolo kertakkan rahang. Mata sebelah
kanannya makin menonjol ke luar, sementara ge-
rahamnya keluarkan suara bergemeretak.
Namun diam-diam Pragolo tak urung me-
rasa terguncang juga dan sadar jika dugaannya
pada perempuan ini jauh meleset. Tapi sebagai
orang yang telah lama terjun dalam rimba persilatan, ia tak mau menunjukkan rasa
gentarnya. Malah seolah acuh dengan kedua temannya, laki-
laki berpakaian hitam-hitam ini melangkah men-
dekati sang perempuan.
Di lain pihak, Pendekar Mata Keranjang
108 yang melihat kejadian itu dari dalam kedai, tampak sedikit terkejut. Meski
ia telah menduga bahwa sang perempuan mempunyai ilmu, namun
ia tak menyangka jika perempuan ini demikian
cepat bertindak bahkan menewaskan Suro Dadak
dan Datuk Kumbang.
"Siapa perempuan ini" Tak dapat dipungki-
ri, ilmunya sangat tinggi! Belum sampai aku bertindak untuk mencegah, ia telah
berhasil mene- waskan dua laki-laki itu! Memang sudah layak la-ki-laki itu diberi pelajaran,
tapi tewas adalah hukuman terlalu berat! Apakah aku harus turun
tangan untuk mencegahnya...?" membatin Pendekar Mata Keranjang tatkala
dilihatnya Pragolo telah melangkah dan telah ancang-ancang hendak
kirimkan serangan.
"Kalau aku ikut campur. apakah tidak
mendatangkan persoalan baru" Hm.... Kulihat sa-ja perkembangannya...!" lanjut
Pendekar Mata Keranjang 108 dalam hati sambil geleng-gelangkan kepala dan mata
mengarah pada sang perempuan
dan Pragolo yang kini telah saling berhadapan.
"Keparat busuk! Sebelum mampus, kata-
kan dahulu siapa kau!" bentak Pragolo dengan sepasang mata menyengat menusuk
pada bola mata kebiruan sang perempuan.
Sang perempuan alihkan pandangan pada
jurusan lain, lalu ke arah kedai di mana Pendekar Mata Keranjang berada dan
sedang memandang
ke arahnya. "Laki-laki binatang! Dengar baik-baik. Agar arwahmu tak penasaran, untukmu akan
kuse-butkan yang kau minta. Melihat tingkahmu, aku
yakin kau adalah seorang pesilat. Dan jika kau bukan pesilat kelas teri tentunya
kau pernah dengar orang yang bergelar Ratu Pulau Merah!
Nah, kau sekarang sedang berhadapan dengan-
nya!" Pragolo buka sedikit mulutnya karena ter-
kejut. Malah tanpa diketahui sang perempuan,
yang berjuluk Ratu Pulau Merah, Pragolo undur-
kan langkahnya dua tindak ke belakang.
Memang siapa saja yang berkecimpung da-
lam rimba persilatan pasti pernah mendengar
nama itu. Ia adalah seorang tokoh dari jajaran atas golongan hitam yang telah
lama tak muncul.
Sesuai dengan gelar yang disandang, perempuan
ini memang berguru pada tokoh yang bermukim
di Pulau Merah. Selain dikenal sebagai tokoh sesat, Ratu Pulau Merah juga
dikenal manusia be-
rilmu tinggi yang sangat kejam. Perkara membu-
nuh bagi Ratu Pulau Merah bukan lagi masalah
besar. Anehnya, meski ia tokoh yang bisa dibilang tua, namun parasnya tetap muda
dan cantik! Sambil undur diri ke belakang, Pragolo ke-
rutkan dahi, sepasang matanya makin membesar.
"Aku pernah dengar gelar Ratu Pulau Me-
rah, tapi itu kudengar sudah beberapa puluh tahun silam. Kalau ia memang Ratu
Pulau Merah, kenapa wajahnya tetap muda..." Apakah ia tak
mengada-ada sebagai Ratu Pulau Merah" Tapi,
melihat hanya dalam beberapa gebrakan telah
berhasil menewaskan Suro Dadak dan Datuk
Kumbang, siapa pun ia adanya, aku harus berha-
ti-hati!" Sama dengan Pragolo, demi mendengar
sang perempuan sebutkan nama, Pendekar Mata
Keranjang juga terperangah kaget. Sepasang ma-
tanya makin tak kesiap mengawasi Ratu Pulau
Merah. "Hmm.... Ratu Pulau Merah. Aku pernah
mendengar nama tokoh itu. Tapi kalau begini
orangnya, aku tak menduga sama sekali! Aku ha-
rus berhati-hati, kudengar Ratu Pulau Merah
adalah tokoh golongan hitam! Ia berada di sini, apakah ia tengah memburu Arca
Dewi Bumi ju-ga..." Aku harus mengawasinya!"
Meski Pragolo dihantui rasa kaget, namun
ia tak mau menunjukkan rasa terkejutnya. Malah sambil menyeringai, ia berkata.
"Hari ini aku sangat beruntung sekali da-
pat berjumpa dengan sahabat satu golongan, tapi karena kau telah bertindak
ceroboh pada kedua
temanku, maka mau tak mau kau harus meng-
gantinya!"
Ratu Pulau Merah mendengus keras.
"Kau akan dapat ganti jika telah menyusul dua temanmu!"
Habis berkata begitu, Ratu Pulau Merah
kelebatkan tubuhnya. Sosoknya mendadak lenyap
dari halaman kedai. Namun sesaat kemudian
muncul lagi dari atas udara dengan kedua telapak tangan Ratu Pulau Merah terarah
menuju kepala Pragolo. Tahu keadaan berbahaya dan tak mau ma-
ti konyol, Pragolo segera hantamkan pula kedua tangannya.
Plaarrr! Dua buah pukulan bertenaga dalam ben-
Pengelana Rimba Persilatan 7 Gento Guyon 5 Hutang Dosa Dendam Gila Dari Kubur 2
^