Pencarian

Badai Di Karang Langit 3

Pendekar Mata Keranjang 15 Badai Di Karang Langit Bagian 3


trok di udara mengeluarkan suara letupan keras.
Sebentar kemudian terdengar seruan tertahan da-ri mulut Pragolo. Tubuhnya
terseret ke belakang
sampai dua tombak! Ia memang berhasil mena-
han tubuhnya hingga tak jatuh terkapar, namun
sesaat kemudian, paras laki-laki ini pucat pasi.
Karena secara tidak terduga, Ratu Pulau Merah
telah melesat ke arahnya. Padahal ia belum siap untuk menangkis apalagi
melancarkan serangan!
"Celaka! Tamat riwayatku!" gumam Pragolo.
Dan belum selesai ia berkata, dua larik sinar hitam telah menghantam dadanya.
Deesss! Jeritan melengking tinggi keluar dari mulut
Pragolo bersamaan dengan melayangnya tubuh-
nya. Anehnya, untuk beberapa saat tubuh besar
Pragolo mengapung diam di udara, lalu tak lama kemudian jatuh terkapar di atas
tanah dengan baju bagian dada robek besar dan hangus!
Pragolo terlihat diam, namun tak lama ke-
mudian ia bergerak-gerak akan bangkit. Dari sini bisa dilihat, jika Pragolo
adalah laki-laki yang tahan pukul, jika tidak tentu nasibnya akan sama dengan
Suro Dadak dan Datuk Kumbang.
Melihat lawan masih bisa bergerak, bahkan
hendak bangkit, Ratu Pulau Merah melangkah
mendekat. Kedua tangannya ditarik sedikit ke belakang, lalu dengan gerakan cepat
kedua tangannya didorong ke depan.
DELAPAN DUA larik sinar hitam menggebrak ke arah
Pragolo. Pragolo palingkan wajah. Ia terlihat
membuka mulutnya. Wajahnya telah pias seperti
orang kehabisan darah. Ia tampak kerahkan sisa-sisa tenaganya untuk bergerak
menghindar. Na-
mun karena tubuhnya telah terluka dalam, maka
gerakannya tak mampu melebihi kecepatan puku-
lan Ratu Pulau Merah. Hingga laki-laki ini tampak pasrah. Sepasang matanya ia
pejamkan dan me-nanti maut menjemput!
Namun sebelum pukulan Ratu Pulau Me-
rah mengantar Pragolo ke liang kubur, sesosok
bayangan berkelebat. Dan bersamaan dengan itu, serangkum angin kencang
menggemuruh mema-pasi pukulan Ratu Pulau Merah.
Plaarrr! Terdengar letupan. Ratu Pulau Merah ter-
surut dua langkah ke belakang. Sepasang ma-
tanya tampak membeliak besar. Bibirnya saling
menggegat pertanda marah.
"Bangsat rendah! Siapa berani campuri
urusan orang"!" bentak Ratu Pulau Merah seraya menebar pandangan. Karena
bayangan yang tadi
menghadang serangannya tiba-tiba lenyap bagai
ditelan bumi. Selagi Ratu Pulau Merah mencari-cari, ter-
dengar orang mendendangkan nyanyian. Sambil
memaki, Ratu Pulau Merah palingkan wajah ke
arah sumber nyanyian.
Perempuan berparas cantik ini melotot
dengan dahi mengkerut. Kedua tangannya yang
hendak melepaskan pukulan serta-merta ia lu-
ruhkan. Matanya tak berkedip memandang ke
atas atap kedai.
Di atap kedai yang terbuat dari ijuk tam-
pak seorang berpakaian hijau sedang tiduran
dengan berkipas-kipas, dari mulutnya terdengar nyanyian yang tak bisa ditangkap
maknanya. "Hmm.... Pemuda itu...! Siapa dia" Paras-
nya tampan dan tampaknya seperti pemuda suka
perempuan! Di dalam kedai tadi, ia sempat ker-
dipkan sebelah matanya padaku...! Dan siapa pun ia adanya, yang pasti ia
memiliki ilmu yang tidak rendah. Gerakannya begitu cepat dan mampu
menangkis seranganku!" Ratu Pulau Merah membatin. Lalu tanpa mengacuhkan lagi
pada Pragolo ia melangkah ke arah sang pemuda yang bukan
lain adalah Aji alias Pendekar Mata Keranjang
108. Sementara itu tatkala terdengar letupan, Pragolo tampak mengejang, namun ia
buru-buru membuka kelopak matanya ketika dirasa ada an-
gin menderu kencang dan tubuhnya tidak kena
hantam. Sejenak sepasang mata Pragolo mengawasi
Ratu Pulau Merah, lalu beralih ke atap kedai saat dilihatnya Ratu Pulau Merah
menengadah seraya
melangkah ke arah kedai.
"Edan! Apakah pemuda itu yang menyela-
matkan jiwaku" Siapa dia..." Dan tingkahnya seperti anak-anak sedang main-main.
Apa dia tak merasa, sedang berhadapan dengan siapa kali
ini...?" Hampir sampai kedai, Ratu Pulau Merah menghentikan langkahnya.
"He...! Siapa kau..." Dan apa hubunganmu
dengan laki-laki binatang itu..."!" Ratu Pulau Merah membentak.
Aji sepertinya tak mendengar bentakan
orang. Malah nyanyiannya semakin ia keraskan.
Ratu Pulau Merah makin kernyitkan ken-
ing. Dari mulutnya terdengar gumam tak jelas.
Namun mendadak ia berteriak lagi.
"He...! Kalau kau tak mau jawab, jangan
menyesal jika tubuhmu terjerembab!"
Tiba-tiba Pendekar Mata Keranjang 108
hentikan nyanyiannya. Perlahan kepalanya dige-
rakkan berpaling ke bawah. Bibirnya menyung-
gingkan seulas senyum.
"Ratu.... Aku tak ada hubungan apa-apa
dengan laki-laki itu. Kenal pun tidak!" kata Pendekar 108 setelah berlama-lama
memandang Ra- tu Pulau Merah.
"Hmm.... Begitu" Lantas apa maksudmu
mencampuri urusanku" Dan sebutkan siapa kau
dan apa gelarmu!"
Pendekar 108 lipat kipas ungunya, dima-
sukkan ke balik pakaiannya jalu dengan gerakan ringan, ia melayang turun.
Sejenak, kembali Aji pandangi Ratu Pulau
Merah, lalu berkata.
"Nama memang aku punya, tapi untuk ge-
lar, bagaimana kalau Ratu saja yang mencarikan untukku" Tapi.... Ah, itu tak
pantas. Aku yang hanya seorang pengelana jalanan tak enak rasanya membawa-bawa
gelar! Kata orang-orang
'gelar' itu berat untuk dibawa. Apa betul...?"
Mendengar ucapan Pendekar Mata Keran-
jang 108, Ratu Pulau Merah tertawa pendek. Se-
mentara Pragolo geser tubuhnya pelan-pelan ke
sebuah pagar yang tampaknya tidak terpakai.
Namun mendadak Ratu Pulau Merah hen-
takkan tangannya ke bawah. Kepalanya ia don-
gakkan ke atas, hingga tampak jelas lehernya
yang putih dan jenjang, membuat murid Wong
Agung tak kesiapkan matanya.
Bersamaan dengan menyentaknya tangan
Ratu Pulau Merah, tanah di sekitar situ bergetar.
Ratu Pulau Merah lantas membentak garang.
"He...! Kau tak usah banyak omong. Jawab
saja pertanyaanku!"
Pendekar 108 anggukkan kepalanya perla-
han. "Namaku Aji. Orang menggelariku Aji Sapu-tra. Seorang pengelana jalanan
yang tak punya arah tujuan. Dan kalau boleh, aku tak segan-
segan ikut dengan Ratu Pulau Merah! Aku tidak
akan...." "Cukup!" bentak Ratu Pulau Merah menyela ucapan Pendekar 108. Namun Pendekar
dari Karang Langit ini tampaknya tak mengindahkan
bentakan perempuan di hadapannya. Ia terus me-
lanjutkan ucapannya.
"Aku tidak akan meminta seperti tiga laki-laki tadi jika Ratu memang bersedia
mengajak- ku.... Aku...."
"Diam!" lagi-lagi Ratu Pulau Merah membentak. Sepasang matanya melotot besar
mem- perhatikan Aji dari kaki hingga rambut.
"Ada yang tak beres dengan diriku...?"
tanya Pendekar 108 seraya memandangi tubuh-
nya sendiri seperti apa yang dilakukan Ratu Pulau Merah.
"Hmm.... Siapa sebenarnya pemuda ini..."
Tingkahnya seperti orang tidak waras. Tapi tampangnya menarik.... Seandainya aku
tak harus mempelajari isi bumbung bambu, pemuda ini
layak kujadikan selimut malamku. Hmm.... Sung-
guh sayang sekali...."
Ratu Pulau Merah gerakkan tangannya me-
raba pinggangnya. Ia tampak menarik napas lega.
Ternyata tangannya masih merasakan adanya ki-
pas lipat dan bumbung bambu di balik pakaian-
nya. "He...! Dengar baik-baik. Kalau kau memang tak kenal dengan laki-laki
binatang itu, nyawamu kuampuni! Tapi cepat tinggalkan tem-
pat ini!" sambil berkata, tangan kanan Ratu Pulau Merah menunjuk Pragolo yang
tampak kerahkan
tenaga dalam untuk memulihkan dirinya.
Pendekar Mata Keranjang 108 usap-usap
hidungnya dengan punggung tangan.
"Ratu. Terima kasih kau masih berbaik hati mengampuniku. Tapi jika aku tak
meninggalkan tempat ini, apa kau akan menarik ampunan
mu...?" "Waktuku tak banyak. Kau tak perlu banyak omong. Lekas tinggalkan tempat
ini!" "Ah!" Aji keluarkan seruan seperti orang terkejut. Kepalanya menggeleng pulang
balik. "Ratu! Menyesal sekali. Aku sepertinya tak bisa meninggalkan tempat ini. Aku
adalah pengelana yang menurutkan ke mana kaki melangkah.
Kali ini rupanya kakiku tak mau melangkah, jadi terpaksa aku pun tak bisa
meninggalkan tempat
ini! Entah kalau Ratu yang mengajak...."
"Hmm.... Ternyata kau memang komplotan
laki-laki binatang itu! Dan kau harus pula mene-rima hajaran!"
Habis berkata begitu, Ratu Pulau Merah
dorong tangannya ke depan.
Wuuuttt! Serangkum angin menderu kencang ke
arah Pendekar 108. Meski Ratu Pulau Merah
tampak marah, namun melihat serangan yang di-
kirimkan, ia rupanya tidak bersungguh-sungguh.
Pendekar Mata Keranjang yang tampak ter-
senyum-senyum cepat melompat ke samping ka-
nan. Pukulan Ratu Pulau Merah menyambar satu
depa di samping Pendekar Mata Keranjang 108.
Begitu dapat menghindar dari serangan
Ratu Pulau Merah, Pendekar 108 cepat tunduk-
kan kepala seperti orang memberi hormat. Lalu
seraya melirik , ia berkata.
"Ratu. Kuharap Ratu Pulau Merah tak sa-
lah paham. Aku bukan komplotan dia! Hanya ku-
rang layak jika kesalahan yang begitu saja harus ditebus dengan nyawa! Hajaran
yang kini telah di-terima, kurasa itu lebih dari cukup!"
Ratu Pulau Merah tampak mulai jengkel.
Sambil melompat dan kirimkan serangan, perem-
puan ini berteriak lantang.
"Siapa percaya mulutmu! Kau tampaknya
pandai omong! Mulutmu pantas mendapat tam-
paran!" Dua tangan Ratu Pulau Merah berkelebat
cepat mengarah pada kepala dan dada Pendekar
Mata Keranjang 108! Sebelum tangan itu berkelebat menghantam sasaran, dua larik
angin mende- ru. Begitu cepatnya gerakan Ratu Pulau Me-
rah, hingga sebelum Aji sempat untuk menghin-
dar, kedua tangan Ratu Pulau Merah telah di depan matanya!
"Gila! Gerakannya sangat cepat!" gumam Pendekar Mata Keranjang 108 sambil angkat
satu tangannya di atas kepala dan satunya disilangkan di depan dada.
Desss! Deessss!
Terdengar dua kali benturan. Ratu Pulau
Merah terlihat membelalakkan sepasang matanya
karena terkejut. Tubuhnya mental balik. Tangannya terasa seakan menghantam benda
keras. "Hmm.... Semuda ini tenaga dalamnya be-
gitu hebat! Siapa dia sebenarnya" Daripada di
kemudian hari menjadi penghalang, mumpung
masih baru mekar lebih baik ditebas dahulu!" Ra-tu Pulau Merah membatin. Niatnya
yang semula tidak ingin berlama-lama di situ berganti dengan ingin melenyapkan Pendekar 108!
Namun begitu pandangan matanya bentrok lagi dengan pandan-
gan Pendekar 108, hati perempuan ini dilanda
kebimbangan. "Tapi, kalau ia memang berilmu tinggi,
apakah tidak sebaiknya jika dia kujadikan te-
man..." Bukankah setelah mempelajari isi bum-
bung bambu aku masih punya rencana memburu
Arca Dewi Bumi yang kini menggegerkan rimba
persilatan..." Memburu arca itu kurasa pekerjaan berat, dan aku butuh teman!
Kalau dia tidak
mau...?" Selagi Ratu Pulau Merah dirundung ke-
bimbangan, Pendekar Mata Keranjang cepat ba-
likkan tubuh hendak pergi. Ia berbuat begitu karena dilihatnya Pragolo secara
diam-diam ternyata telah meninggalkan tempat itu sewaktu Ratu Pulau Merah
menyerang Pendekar 108.
Namun belum sampai Aji melangkah, Ratu
Pulau Merah telah berteriak. Teriakannya nampak bernada marah, apalagi tatkala
dilihatnya Pragolo sudah pergi.
"Tunggu! Tidak semudah itu kau bisa me-
ninggalkan tempat ini!"
Tanpa palingkan wajah Pendekar 108 ber-
kata. "Ratu. Bukankah kau tadi menyuruhku meninggalkan tempat ini..." Sekarang


Pendekar Mata Keranjang 15 Badai Di Karang Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika kakiku mengajak pergi, kau balik mencegahku! Apa maksudmu
sebenarnya..."!"
Ratu Pulau Merah keluarkan dengusan.
Matanya berkilat-kilat menindih hawa marah.
"Karena kau, laki-laki binatang tadi minggat tanpa sepengetahuanku! Maka sebagai
gan- tinya, kau harus rela menyerahkan nyawamu!"
"Jadi aku harus menanggung hukuman la-
ki-laki tadi...?"
"Kau jangan berpura-pura tolol! Hadapilah kematianmu!"
Habis berkata begitu, Ratu Pulau Merah
cepat jejakkan sepasang kakinya ke atas tanah.
Tubuhnya melesat lenyap! Sesaat kemudian so-
soknya tiba-tiba telah satu langkah di belakang Pendekar 108. Dan serta-merta
tangannya dihantamkan pada kepala dan punggung Aji.
Tanpa balikkan tubuh, Pendekar 108 cepat
lorotkan tubuhnya hingga duduk menggelosoh di
atas tanah. Hingga hantaman Ratu Pulau Merah
hanya menghajar tempat kosong. Namun perem-
puan ini tak buang kesempatan, begitu dilihatnya Pendekar 108 duduk menggelosoh,
sepasang kakinya ia majukan ke depan seraya membuat lon-
catan. Wuuttt! Wuutttt!
Tampaknya Pendekar 108 telah dapat
membaca apa yang hendak dilakukan oleh Ratu
Pulau Merah, hingga sebelum dua kaki sempat
menggebrak punggungnya, murid Wong Agung ini
gelundungkan tubuhnya, namun bersamaan itu
tangan kanannya bergerak menelikung ke bela-
kang. Wuuuttt! Praakkk! Praaakkkk!
Ratu Pulau Merah keluarkan seruan terta-
han tatkala kakinya terpapak tangan Pendekar Mata Keranjang. Ia segera mundur
sampai lima langkah. Wajahnya meringis menahan sakit. Se-
mentara Aji terus menggelundungkan tubuhnya
agak menjauh. Setelah dirasa agak jauh, Pende-
kar Mata Keranjang 108 cepat membuat gerakan
menghentak. Tubuhnya melenting, lalu mendarat
dengan kaki kokoh.
"Setan jahanam! Ternyata pemuda ini be-
nar-benar berilmu tinggi! Hm.... Apakah dia bukan...," sepasang mata Ratu Pulau
Merah memperhatikan Aji lebih seksama.
"Apakah dia bukan pemuda yang bergelar
Pendekar Mata Keranjang 108..." Bukankah tadi
dia berkipas-kipas..." Sial! Kenapa aku baru ingat sekarang" Hm.... Sebelum
membalas pada gurunya, muridnya dahulu pun tak jadi apa!"
Kini keputusan hati Ratu Pulau Merah un-
tuk membunuh Pendekar Mata Keranjang 108
pun jadi bulat. Apalagi setelah agak yakin jika pemuda berbaju hijau di
hadapannya adalah murid tunggal Wong Agung, seorang yang pernah
menewaskan gurunya pada beberapa puluh ta-
hun silam. Di seberang, begitu melihat Ratu Pulau Me-
rah tercenung memandangi dirinya, Pendekar 108
berkata dalam hati.
"Pragolo telah berhasil melarikan diri. Sebaiknya aku pun cepat meninggalkan
tempat ini. Aku harus segera sampai di Bokor. Lagi pula
tampaknya cuaca sebentar lagi akan hujan...."
Berpikir begitu, Pendekar 108 lantas jejak-
kan kakinya. Tubuhnya melenting lurus ke atas.
Ratu Pulau Merah sedikit terkejut melihat
Pendekar 108 membuat gerakan. Ia menduga Aji
akan melakukan serangan. Namun perhitungan
Ratu Pulau Merah meleset. Karena begitu lurus di atas udara, Pendekar Mata
Keranjang 108 segera balikkan tubuh dan berkelebat meninggalkan
tempat itu! "Jahanam pengecut! Jangan mimpi bisa lo-
los dari tanganku!" teriak Ratu Pulau Merah seraya berkelebat menyusul.
SEMBILAN KEPARAT! Ke mana lenyapnya manusia
itu" Sesaat ia kulihat masih di sini!" maki Ratu Pulau Merah sambil menebarkan
pandangan matanya ke sekeliling tempat di mana dia berdiri.
Tempat itu amat sepi dan di kanan kirinya hanya ada deretan pohon-pohon besar
serta semak belukar. "Heran, gerakannya begitu cepat! Aku makin yakin jika
manusia itu adalah pemuda yang
berjuluk Pendekar Mata Keranjang 108! Murid sa-tu-satunya si jahanam Wong
Agung....!" ia lantas tengadahkan kepalanya ke atas.
"Brengsek! Malam rupanya sebentar lagi
akan datang dan hujan tampaknya mulai turun.
Ini menambah kesulitan dalam mencarinya" Ratu Pulau Merah luruskan lagi
kepalanya. Sepasang
matanya yang berwarna kebiruan kembali mene-
bar kian kemari. Tampaknya perempuan ini di-
landa kebingungan antara meneruskan perjala-
nan menuju Pulau Merah tempat tinggalnya dan
mempelajari isi dalam bumbung bambu yang ber-
hasil dicurinya dari Karang Langit atau mene-
ruskan mencari pemuda yang diyakini Pendekar
108. Selagi dia mempertimbangkan langkah
yang hendak diambil, tiba-tiba semak belukar sepuluh langkah di sebelah kanannya
terlihat ber- gerak-gerak. Tanpa berpikir panjang lagi, Ratu Pulau Merah segera meloncat
dengan kedua tangan siap kirimkan pukulan.
Namun Ratu Pulau Merah mengomel pan-
jang pendek tatkala tak satu manusia pun yang
ditemuinya di semak belukar itu. Mungkin karena jengkel, tangan kanannya yang
telah dialiri tenaga dalam disentakkan ke arah semak belukar.
Breettt! Serangkum angin keras menderu. Sekejap
kemudian, semak belukar itu terbabat rata, ma-
lah sebagian ada yang terbongkar tanahnya!
Namun setelah melepaskan kejengkelan-
nya, perempuan ini tercenung.
"Kurasa tidak ada angin, dan hujan pun
baru rintik-rintik, kalau tidak ada yang menggerakkan tak mungkin semak tadi
bergerak-gerak!
Dan kalau binatang, tentunya telah ikut terbang ke atas bersama bongkaran semak
belukar! Hm....
Yang menggerakkan pasti dia! Dan kalau ia telah lari lagi, mestinya masih belum
jauh dari sini!"
otak cerdik perempuan berparas cantik ini men-
duga-duga. Tanpa berkata-kata lagi, ia pun lantas ber-
kelebat ke jurusan lurus dengan semak belukar
yang baru saja terbongkar.
Sementara itu, hampir memasuki daerah
Bokor, Pendekar Mata Keranjang memperlambat
larinya. Ia sebentar-sebentar palingkan wajahnya ke belakang.
"Untung aku tadi bergerak cepat, jika tidak Ratu Pulau Merah sudah pasti dapat
menemu- kanku! Perempuan itu benar-benar gila. Ia tega-teganya membunuh hanya karena
masalah kecil! Hmm.... Aku juga heran, kalau ia memang Ratu
Pulau Merah kenapa masih muda begitu" Padahal
menurut yang pernah kudengar, tokoh yang ber-
nama Ratu Pulau Merah adalah tokoh yang mun-
cul pada beberapa puluh tahun yang lalu. Bagaimana ini bisa terjadi..." Apakah
dia hanya mengaku-aku sebagai Ratu Pulau Merah..." Atau dia punya ilmu awet
muda..." Aku masih belum bisa
memastikannya. Hanya satu yang bisa kupasti-
kan, dia adalah seorang perempuan berparas cantik! Dadanya menantang dan
pinggulnya meng-
gemaskan...," Pendekar 108 berkata dalam hati seraya senyum-senyum dan gelengkan
kepalanya. Selagi murid Wong Agung ini senyum-
senyum membayangkan Ratu Pulau Merah, tiba-
tiba sesosok bayangan berkelebat seraya berseru lantang.
"Bumi terlalu sempit untuk dapat mem-
buatmu lolos dari tanganku, Bocah!"
Bersamaan dengan terdengarnya seruan,
serangkum angin menderu dahsyat.
Pendekar 108 terkejut besar, namun ia tak
hendak berlaku ceroboh karena dia telah dapat
menduga siapa adanya orang yang keluarkan se-
ruan. Maka sambil menindih rasa terkejut, ia cepat melompat ke depan. Namun
gerakannya ter-
tahan karena saat itu sosok yang keluarkan suara tiba-tiba telah menghadang di
depannya, membuat pendekar murid Wong Agung ini segera be-
lokkan tubuhnya ke samping.
"Sialan betul! Kukira dia telah tak menge-jarku lagi!" gumam Pendekar 108 seraya
arahkan pandangan matanya ke depan, di mana seorang
perempuan berwajah cantik yang bukan lain ada-
lah Ratu Pulau Merah telah berdiri sambil tersenyum menyeringai.
"Ratu Pulau Merah. Aku mohon maaf pa-
damu atas kelancanganku tadi ikut campur uru-
sanmu. Tapi percayalah, aku tidak kenal apalagi berkomplot dengan laki-laki
bernama Pragolo itu!
Aku hanya merasa kasihan, dan memang tidak
selayaknya hukuman mati dijatuhkan padanya!
Seperti yang dialami kedua temannya!"
Ratu Pulau Merah mendengus keras. Sepa-
sang matanya membeliak besar.
"Hm.... Begitu" Baik. Sekarang jawab per-
tanyaanku. Ingat, aku hanya sekali mengu-
capkannya...!" sejenak Ratu Pulau Merah hentikan ucapannya. Seraya alihkan
pandangannya pada jurusan lain ia melanjutkan.
"Apakah benar kau manusia yang bergelar
Pendekar Mata Keranjang 108 murid tunggal
Wong Agung"!"
Aji kerutkan dahi mendengar pertanyaan
Ratu Pulau Merah. Dalam hati ia berkata.
"Bagaimana ini" Apa aku harus terus te-
rang" Hmm.... Tidak! Aku harus merahasiakan
siapa diriku! Siapa tahu ia mengetahui rahasia tentang Arca Dewi Bumi. Itu akan
menambah kesulitan...," berpikir begitu, murid Wong Agung ini lantas berkata.
"Ratu. Seperti kukatakan tadi, namaku
adalah Aji. Dan aku tak punya gelar. Karena aku adalah seorang pengelana jalanan
yang tak pantas menyandang gelar. Tentang orang bernama
Wong Agung, aku memang pernah mendengar.
Tapi aku bukan muridnya! Jelas...?"
Ratu Pulau Merah memandang tajam me-
nusuk bola mata Pendekar 108. Ia tampak dige-
layuti rasa bimbang. Lalu tak lama kemudian, kepalanya mengangguk perlahan.
"Coba tunjukkan kipasmu padaku!"
Aji terkejut mendengar permintaan perem-
puan di hadapannya. Namun sejenak kemudian
bibirnya telah menyunggingkan seulas senyum.
"Maaf, Ratu. Aku menemukan kipas di da-
lam kedai. Sudah usang dan berkarat. Tadi waktu berjalan kemari ku buang! Apa
Ratu suka kipas..." Nanti akan kucarikan...."
Ratu Pulau Merah tertawa pendek.
"Kau nyatanya tidak hanya pandai omong,
tapi juga pandai berkata bohong. Kuberi kesem-
patan sekali lagi. Jawab dengan jujur perta-
nyaanku!" "Ratu. Rasanya tidak ada gunanya berkata
bohong padamu. Kau telah mendengar kata-
kataku dengan jujur!"
Ratu Pulau Merah sunggingkan senyum ge-
lak. Kesabarannya telah habis. Seraya melangkah satu tindak ke depan ia berkata.
"Nampaknya kau lebih suka dikasari dari-
pada berkata jujur!"
Bersamaan dengan selesainya ucapannya,
tubuhnya melesat ke depan. Kedua tangannya
disentakkan ke arah kepala Pendekar 108.
Wuutttt! Pendekar 108 tidak tinggal diam. Kedua
tangannya pun diangkat ke atas kepala.
Desss! Deessss!
Kedua tangan Ratu Pulau Merah beradu
dengan tangan Pendekar 108. Perempuan berpa-
ras cantik ini keluarkan seruan perlahan. Kakinya surut dua langkah. Sepasang
matanya menyipit
dan membesar. Ia memang sengaja mengadu tan-
gannya lagi, untuk meyakinkan bahwa sang pe-
muda adalah seperti yang ia duga. Dan ia sema-
kin yakin, karena meski kedua tangannya tidak
cedera namun ia segera maklum jika sang pemu-
da memiliki tenaga dalam kuat. Sadar akan hal
itu, Ratu Pulau Merah tak mau main-main lagi.
Ketika untuk kesekian kalinya melancarkan se-
rangan, ia kerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Hingga saat itu juga gelombang angin dahsyat
serta berlarik-larik sinar hitam mendera ke arah Pendekar 108!
Pendekar 108 menggumam tak karuan. Se-
raya membentak ia lesatkan dirinya ke udara. Da-ri atas udara kedua tangannya
dihantamkan ke depan menangkis serangan Ratu Pulau Merah.
Plaarrrr! Letupan keras segera membuncah tempat
itu. Karena Ratu Pulau Merah telah kerahkan seluruh tenaga dalamnya, hingga
meski terjadi bentrok pukulan, tubuhnya tak bergeming sama se-
kali. Aji segera undurkan langkah. Tapi baru sa-
ja melangkah, Ratu Pulau Merah telah kembali
menerjang dengan kedua kaki terpentang!
Pendekar Mata Keranjang 108 segera men-
gelak dengan melompat ke samping kanan, na-
mun gerakannya tertahan karena kaki kiri Ratu Pulau Merah telah menghadang.
Untuk menghindar, tak ada jalan lain bagi murid Wong Agung ini kecuali dengan
tarik kembali tubuhnya ke samping kanan. Namun gerakannya kalah cepat den-
gan kaki kiri Ratu Pulau Merah yang tampaknya
telah tahu ke mana arah tubuh Pendekar Mata
Keranjang hendak bergerak.
Deessss! Pendekar Mata Keranjang keluarkan se-
ruan tertahan. Tubuhnya mencelat ke samping
begitu kaki kiri Ratu Pulau Merah menghajar ba-hu kanannya. Dan pekikan dari
mulut Aji terdengar saat tubuhnya menghantam pohon besar dan


Pendekar Mata Keranjang 15 Badai Di Karang Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jatuh terduduk.
Ratu Pulau Merah tertawa panjang. Den-
gan sepasang mata tak kesiap, ia melangkah perlahan mendekat.
"Meski kau tak mau mengatakan siapa kau
sebenarnya, aku yakin kaulah manusia bergelar
Pendekar Mata Keranjang 108! Nasibmu sungguh
malang, Pendekar! Karena kau harus ikut me-
nanggung dosa gurumu Wong Agung keparat itu,
yang telah membunuh guruku!"
"Ratu. Rupanya kau belum bisa memisah-
misahkan masalah. Urusanmu adalah dengan
Wong Agung, bukan dengan aku! Terlalu bodoh
jika kau menumpahkan dendammu padaku! Lagi
pula, gurumu pastilah orang sesat jika sampai
guruku bertindak padanya!"
Ratu Pulau Merah kembali keluarkan tawa
panjang mendengar ucapan Pendekar 108. Na-
mun tiba-tiba tawanya terhenti. Tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu telah dua
langkah di hadapan Aji dan serta-merta kedua tangannya meng-
hantam ke arah kepala Pendekar108!
Meski terkejut, namun murid Wong Agung
ini segera rundukkan kepalanya dan dihantam-
kan ke arah perut Ratu Pulau Merah.
Deesss! Ratu Pulau Merah keluarkan keluhan pen-
dek. Namun bersamaan itu, kedua tangannya
menghentak ke bawah.
Pendekar Mata Keranjang 108 menyambuti
pukulan itu dengan dorong tangannya. Hingga kejap itu juga terdengar kembali
letupan keras. Namun belum lenyap suara letupan, Ratu Pulau Me-
rah telah menerjang!
Pendekar 108 tampaknya tertipu, karena
serangan yang dilancarkan Ratu Pulau Merah tadi hanya untuk mencari kesempatan
ruang gerak Aji. Karena begitu Pendekar 108 kirimkan serangan tangkisan, ia segera
menerjang! Aji mau tak mau jadi terkejut. Namun murid Wong Agung ini
tak mau begitu saja menyerah. Begitu terjangan datang, ia cepat angkat tangannya
dan dihantamkan menyamping. Namun lagi-lagi ia tertipu, karena Ratu Pulau Merah
tarik pulang kakinya. Tubuhnya berputar dan serta-merta kakinya me-
layang ke arah kepala Pendekar 108.
Pendekar 108 merinding tengkuknya. Ka-
rena ia sudah kirimkan serangan, ia tak bisa
mengelak lagi. Meski tangan satunya sempat di-
angkat untuk menangkis, namun terjangan kaki
Ratu Pulau Merah telah terlebih dahulu mener-
jang tengkuknya!.
Beekkkk! Tubuh Pendekar 108 berputar kencang, la-
lu roboh di atas tanah!
"Hmm.... Dia tak main-main, dan memang
ingin membunuhku! Meski dia tak menggunakan
senjata, aku terpaksa menggunakan kipasku! Dia terlalu bahaya jika dilawan
dengan tangan kosong!" kata Aji dalam hati seraya merayap bangkit. Sepasang
matanya melirik ke arah Ratu Pulau Merah yang saat itu tampak memejamkan
sepasang matanya.
Melihat sikapnya ternyata diam-diam Ratu
Pulau Merah sedang kerahkan tenaga dalamnya,
karena sesaat kemudian tangannya telah berge-
rak menghantam ke arah Pendekar 108, padahal
saat itu Pendekar Mata Keranjang sedang tarik
kipas ungu dari balik baju hijaunya.
"Celaka! Serangannya harus kuhindari da-
hulu!" gumam Pendekar 108 seraya cepat bangkit dan berkelebat, namun gerakan
murid Wong Agung ini tertahan, karena dari arah samping
menderu angin kencang. Lalu....
Plaarrrr! Hamparan angin pukulan Ratu Pulau Me-
rah terhadang dan ambyar di tengah jalan sebe-
lum mengenai sasaran. Bahkan baik tubuh Aji
maupun tubuh Ratu Pulau Merah tampak tersu-
rut masing-masing tiga langkah.
"Bangsat! Siapa jahanam yang ikut-ikutan
urusan orang"!" teriak Ratu Pulau Merah dan cepat palingkan wajah ke samping,
demikian juga Pendekar 108. SEPULUH BERSAMAAN dengan berpalingnya Ratu
Pulau Merah dan Pendekar 108, terdengar suara
cekikikan tawa panjang bersahut-sahutan dengan suara gemerincing anting-anting.
Ratu Pulau Merah geser kakinya ke bela-
kang karena terkejut. Sedangkan Pendekar 108
urungkan niat untuk keluarkan kipas ungunya
demi mengetahui siapa adanya yang keluarkan
cekikikan. "Dewi Kayangan...," gumam Aji dengan pandangan tak berkedip. "Bagaimana dia
tahu-tahu muncul di sini..." Mengikuti perjalananku"
Atau..." Dan ke mana Eyang Selaksa..." Bukan-
kah dia sewaktu di lereng Gunung Arjuna masih
sama-sama Eyang Selaksa...?" Habis membatin begitu, murid Wong Agung ini
melangkah hendak
mendekat, karena saat itu orang yang keluarkan tawa cekikikan dan bukan lain
adalah Dewi Kayangan tampak tengadah tak memandang Pen-
dekar 108 dan Ratu Pulau Merah.
Namun belum sampai Pendekar Mata Ke-
ranjang bergerak, Dewi Kayangan telah angkat bi-
cara. "Anak monyet! Kenapa kau masih berku-tat-kutat di daerah sini" Dengan
gadis cantik lagi.
Apa dia kekasihmu...?"
Ratu Pulau Merah kernyitkan dahi. Sepa-
sang matanya membesar memperhatikan. "Pe-
rempuan bertubuh gemuk besar. Bibirnya merah
menyala. Rambutnya disanggulkan ke atas, se-
mentara telinganya hanya mengenakan anting-
anting sebelah. Hmm...," sejenak kepala Ratu Pulau Merah mendongak.
"Di rimba persilatan ini hanya seorang bergelar Dewi Kayangan yang mempunyai
ciri-ciri demikian. Apa dia Dewi Kayangan..." Hmm.... Apa hubungannya dengan pemuda itu"
Bukankah Dewi Kayangan telah lama tak muncul ke rimba
persilatan" Urusan akan kacau jika dia ikut-
ikutan. Kudengar Dewi Kayangan adalah seorang
berilmu tinggi! Seandainya aku telah berhasil
mempelajari isi bumbung bambu, aku tak akan
berpikir dua kali untuk menghadapinya! Tapi aku tak akan diam begitu saja!" lalu
perempuan berparas cantik ini luruskan kepalanya dan keluarkan bentakan galak.
"Tua bangka! Siapa kau..." Jangan berani
berlaku lancang jika tak ingin babak belur!"
Dewi Kayangan cekikikan. Kali ini meski
kepalanya ikut bergerak-gerak, namun gemerinc-
ing anting-antingnya tak lagi terdengar.
"Anak monyet!" kata Dewi Kayangan sambil arahkan pandangan matanya yang besar ke
arah Pendekar108. "Kau dengar kekasihmu itu mengancam-
ku..." Apa kau tak pernah cerita padanya tentang nenekmu yang cantik ini, he..."
Hik... hik... hik...!" Pendekar 108 usap-usap ujung hidungnya dengan punggung tangan kanan,
kepalanya bergerak menggeleng.
"Dewi. Dia bukan...," Aji tak meneruskan ucapannya, karena saat itu pula Ratu
Pulau Merah telah menyela dengan suara tinggi.
"Tua bangka! Jaga mulutmu! Siapa bilang
pemuda tengik itu kekasihku"! Jangan banyak
omong, lekas jawab tanyaku!"
"Ooo.... Jadi kalian bukan sepasang keka-
sih..." Tapi kenapa berada di tempat sepi berdua-duaan..."!"
Wajah cantik Ratu Pulau Merah berubah
merah mengelam. Namun perempuan ini belum
berani bertindak, ia sadar perempuan tua bertubuh gemuk besar bukanlah orang
yang bisa di- anggap remeh. Dan untuk meyakinkan diri bahwa
yang dihadapinya adalah orang yang bergelar De-wi Kayangan, ia berkata.
"Tua keparat! Kalau tak salah, bukankah
kau manusia jelek berjuluk Dewi Kayangan"!"
Mendengar dirinya disebut manusia jelek,
Dewi Kayangan memperkeras cekikikannya.
"Hik... hik... hik...! Ternyata kau manusia berotak bebal! Sudah tahu masih juga
bertanya-tanya!" Paras Ratu Pulau Merah makin mengelam.
Sepasang matanya berkilat-kilat dengan tangan
mengepal, namun ia masih menahan amarahnya.
Dan untuk menggertak Dewi Kayangan ia berka-
ta. "Bagus! Dewi Kayangan. Buka matamu le-
bar-lebar. Apa kau sudah tahu berhadapan den-
gan siapa saat ini"!"
Yang ditanya menyambuti kata-kata Ratu
Pulau Merah dengan mendongak seraya tawa ce-
kikikan malah cekikikannya dibuat tersendat-
sendat seperti orang tersedak.
"Kalau kau suruh menebak, baiklah. Kalau
tak salah...," Dewi Kayangan hentikan ucapannya sebentar, lalu melanjutkan.
"Kalau tak salah kau adalah manusia ber-
gelar Kontal-Kantil! Betul..." Hik... hik... hik...!
Jawabanku pasti tak salah!"
Ratu Pulau Merah menggeram. Dadanya
berdegup makin kencang.
"Manusia setan ini tak bisa diancam atau
digertak. Hm.... Tak ada salahnya aku mencoba
ilmunya. Hitung-hitung sebagai penjajakan...,"
membatin Ratu Pulau Merah. Lalu ia melangkah
maju, mulutnya membuka hendak keluarkan ka-
ta-kata. Namun sebelum kata-katanya terdengar, Dewi Kayangan telah berucap.
"Kontal-Kantil! Meski wajahmu cantik, na-
mun baumu tidak enak! Sebaiknya kau segera
tinggalkan tempat ini, sebelum aku muntah men-
cium baumu! Hik... hik... hik...!"
Mendengar ucapan Dewi Kayangan, Pende-
kar 108 mau tak mau tertawa, sementara Ratu
Pulau Merah mendengus keras. Kesabaran pe-
rempuan ini sudah tak dapat ditahan lagi. Maka begitu Dewi Kayangan selesai
berkata, ia membentak garang, tubuhnya berkelebat. Dan tahu-
tahu kakinya telah lurus mengarah pada kepala
Dewi Kayangan. Cekikikan Dewi Kayangan tiba-tiba lenyap.
Kedua kakinya menekuk. Begitu terjangan kaki
Ratu Pulau Merah lewat sejengkal di atas kepa-
lanya, dia segera angkat tangannya.
Beekkk! Angin deras laksana gelombang menyam-
but tubuh Ratu Pulau Merah yang ada di atasnya.
Perempuan cantik ini terpekik kaget. Meski dia mengerahkan tenaga dalamnya untuk
menghindar, namun gerakan Dewi Kayangan lebih cepat.
Hingga tak ampun lagi pantat Ratu Pulau Merah
terhantam tangan Dewi Kayangan.
Tubuh Ratu Pulau Merah membumbung
tinggi ke atas. Tapi tiba-tiba perempuan cantik ini keluarkan seruan. Tubuhnya
mendadak lenyap.
Dan tahu-tahu gelombang angin dahsyat me-
nyambar deras ke arah Dewi Kayangan.
Dewi Kayangan keluarkan gerendengan
panjang pendek. Kedua tangannya diangkat ke
atas kepala lalu diputar-putar.
Terjadi hal yang hampir tak dapat diper-
caya. Gelombang angin yang datang menyambar
ke arah Dewi Kayangan tiba-tiba tertahan. Dan
Dewi Kayangan luruhkan tangannya dan dido-
rong, gelombang angin itu melesat balik ke udara!
Dan hebatnya, lesatan balik gelombang angin ini lebih cepat daripada datangnya!
Bersamaan dengan mentalnya kembali ge-
lombang angin, tiba-tiba terdengar pekikan tertahan. Ternyata Ratu Pulau Merah
yang baru saja lancarkan serangan dari udara tidak dapat menghindar dari mentalan serangannya
sendiri, hingga kejap itu juga tubuhnya berputar dan menukik
deras sebelum akhirnya jatuh terduduk!
Namun, perempuan cantik ini sepertinya
tak merasakan sakit. Ia bergerak bangkit dengan cepat. Dan serta-merta kedua
tangannya dihantamkan ke depan.
Wuuttt! Dewi Kayangan yang masih berdiri dengan
celingukan putar tubuhnya. Hebatnya. saat itu
juga entah dari mana datangnya, tiba-tiba asap putih menghampar. Lalu terdengar
suara cekikikan sebentar kemudian lenyap.
Anehnya, bersamaan lenyapnya suara ce-
kikikan, hamparan asap putih pun lenyap dan serangan yang dilancarkan Ratu Pulau
Merah menghajar tempat kosong.
"Jahanam! Ke mana perempuan gendut
itu"! Seandainya saja ... Ya, seandainya saja aku telah mempelajari bumbung
bambu.... Akan ku-pergunakan kipas hitam ini!" kata Ratu Pulau Merah dalam hati
dengan sepasang mata menebar
mencari-cari, karena sosok Dewi Kayangan ter-
nyata telah lenyap!
Pendekar 108 yang sedari tadi hanya diam
memperhatikan juga ikut-ikutan melayangkan
pandangannya mencari sosok Dewi Kayangan.
Namun sampai agak lama, baik Ratu Pulau Me-
rah maupun Pendekar 108 tak menemukan sosok
Dewi Kayangan. "Gila! Ke mana perginya...?" gumam Aji sambil tarik-tarik kuncir rambutnya.
"Keparat! Apa dia sudah mampus" Tapi ji-
ka benar mampus ke mana mayatnya"!" sekali la-gi Ratu Pulau Merah tebarkan
pandangannya berkeliling. Mendadak perempuan ini terperan-
gah. Lima tombak di sampingnya terlihat pohon
besar yang kulitnya telah mengelupas hangus dan daunnya berguguran berdiri
kokoh. "Gila! Bukankah pohon itu tadi telah tum-
bang" Kenapa sekarang berdiri lagi..."!"
Pendekar 108 ikut-ikutan melengak kaget


Pendekar Mata Keranjang 15 Badai Di Karang Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan berdirinya pohon yang tadi telah tumbang akibat terkena terjangan Ratu
Pulau Merah. "Apa ada setan gundul yang main-main ba-
tang pohon...?"
Mungkin karena penasaran, Ratu Pulau
Merah cepat melangkah ke arah pohon yang ku-
litnya telah mengelupas dan tiba-tiba berdiri itu.
Namun seraya melangkah mendekati, perempuan
ini siapkan pukulan.
Tiba-tiba dari balik pohon itu terdengar su-
ara tawa cekikikan. Lalu sekonyong-konyong
muncul kepala Dewi Kayangan dengan mengge-
leng pulang balik.
Pendekar 108 tak bisa lagi menahan leda-
kan tawanya. Sementara Ratu Pulau Merah cepat
hantamkan kedua tangannya.
Namun bersamaan dengan menghantam-
nya tangan Ratu Pulau Merah, pohon itu bergerak
roboh menyongsong pukulan Ratu Pulau Merah!
Braakkk! Batang pohon mental dan hancur berkep-
ing-keping. Tiba-tiba terdengar suara cekikikan. Ratu
Pulau Merah cepat berpaling ke samping.
"Jahanam! Mampus kau kali ini!" secepat kilat Ratu Pulau Merah sentakkan kedua
tangannya. Seberkas sinar hitam berkilat dan memba-
wa hawa panas segera menggebrak ke arah Dewi
Kayangan yang saat itu berada enam langkah di
sampingnya. Dewi Kayangan bantingkan dua kakinya di
atas tanah. Tubuhnya melenting ke udara. Dari
atas udara tiba-tiba menghampar bayangan me-
rah meliuk yang disertai dengan suara deruan.
Ratu Pulau Merah yang tidak menduga jika
lawan bisa menghindari serangannya tampak ter-
kejut. Dan makin kaget tatkala dari udara tampak meliuk bayangan berwarna merah.
Belum sempat Ratu Pulau Merah bergerak
menghindar, liukan bayangan merah yang ternya-
ta adalah sehelai selendang merah telah melilit tubuh dan tangannya. Meski
perempuan ini kerahkan segenap tenaga dalamnya, namun lilitan
itu tak bisa dilepaskannya. Bahkan tatkala dari atas udara Dewi Kayangan putar
pergelangan tangan kanannya yang memegang ujung selen-
dang, Ratu Pulau Merah terpekik kesakitan.
Dewi Kayangan seraya cekikikan lantas
melayang turun dan bersamaan dengan itu tan-
gannya diangkat lalu ditarik lagi ke bawah. Ratu Pulau Merah makin keras
memekik, dan tiba-tiba tubuhnya terangkat ke atas.
Dewi Kayangan tarik sedikit ujung selen-
dangnya pulang balik, membuat tubuh Ratu Pu-
lau Merah terlihat maju mundur di udara.
"Anak monyet! Apa kau tak ingin main
layang-layang...?" seraya berkata ujung selendang di tangan kanannya dilemparkan
pada Aji. Dan belum sampai Pendekar 108 menangkap ujung
selendang, di udara Ratu Pulau Merah menjerit
lengking. Karena bersamaan dengan bergeraknya
ujung selendang, tubuh Ratu Pulau Merah makin
terlilit dan tertarik kencang.
"Hik... hik... hik...! Aneh. Baru kali ini ada layang-layang bisa keluarkan
suara menjerit-jerit...!" Habis berkata begitu, Dewi Kayangan melesat menyambar
kembali ujung selendangnya. Lalu tiba-tiba tubuhnya berputar. Kembali terdengar
jeritan Ratu Pulau Merah. Tapi kali ini tubuhnya tampak menukik turun dengan
derasnya. Dan setengah depa lagi tubuh Ratu Pulau Merah meng-
hempas tanah, tangan Dewi Kayangan menyen-
tak. Weerrrr! Lilitan selendang pada tubuh Ratu Pulau
Merah terlepas, namun bersamaan dengan itu,
tubuh Ratu Pulau Merah berputar dan jatuh ber-
gulingan di atas tanah!
"Jahanam! Aku harus segera tinggalkan
tempat ini. Aku harus cepat mempelajari isi da-
lam bumbung bambu. Rupanya banyak tokoh-
tokoh yang telah lama menghilang muncul lagi.
Hmm.... Ini mungkin ada kaitannya dengan geger Arca Dewi Bumi. Jika aku tidak
segera mempelajari, bukan tak mungkin aku hanya sebagai anak bawang...,"
membatin Ratu Pulau Merah. Lalu dengan perlahan-lahan sambil melirik pada Dewi
Kayangan, perempuan ini merambat bangkit.
"Dewi Kayangan, dan kau, anak monyet!
Aku belum kalah, suatu hari nanti kita buktikan siapa yang berhak mampus
terlebih dahulu! Ingat itu!" Habis berkata begitu, Ratu Pulau Merah berkelebat
meninggalkan tempat itu.
Pendekar Mata Keranjang 108 sebenarnya
hendak bergerak mengejar, namun gerakannya
tertahan tatkala Dewi Kayangan cekikikan seraya berkata.
"Apa kau tertarik padanya...?"
SEBELAS PENDEKAR 108 hentikan langkah dan ber-
paling pada Dewi Kayangan. "Dewi, ini bukan soal tertarik atau tidak. Tapi orang
macam dia perlu diberi peringatan keras. Dia mendendam pada
Eyang Wong Agung, dan...," Aji tak meneruskan kata-katanya, karena Dewi Kayangan
telah menyahut.
"Sudahlah! Suatu hari kelak, dia pasti
akan memperoleh ganjarannya sendiri! Dan aku
yakin, kau akan bertemu dengannya lagi!"
Pendekar Mata Keranjang 108 anggukkan
kepala. "Dewi. Beberapa hari yang lalu Eyang Selaksa bersamamu, apa dia telah
balik ke Kam- pung Blumbang...?"
"Hikkk... hik... hik...! Kau rupanya suka usil dengan hubungan orang tua. Pulang
atau tidak apa pedulimu" Dengar baik-baik, anak mo-
nyet! Kau sekarang tak usah berpikir macam-
macam! Tugasmu kali ini amat berat. Kau tahu,
siapa perempuan yang baru saja minggat itu...?"
Pendekar 108 gelengkan kepala.
"Dia adalah seorang tokoh sesat seangka-
tan dengan gurumu Wong Agung. Kalau orang
macam dia telah berkeliaran lagi, demikian juga munculnya Dadung Rantak, dan
kudengar telah muncul pula Dayang Naga Puspa, Jogaskara, Ba-
wuk Raga Ginting, Gembong Raja Muda, Restu
Canggir Rumekso, Malaikat Berdarah Biru, Datuk Lembah Neraka, serta banyak lagi
tokoh berilmu tinggi, maka rimba persilatan sudah pasti akan diguncang
kegegeran. Dan munculnya tokoh-tokoh tersebut tentunya bukan tanpa sebab...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 tersurut dua
tindak mendengar keterangan Dewi Kayangan.
"Jadi.... Tokoh-tokoh tersebut telah berkeliaran lagi...?"
"Hmm... Begitulah. Tapi kemunculan me-
reka kali ini dengan jalan sembunyi-sembunyi.
Dan satu hal yang tampak, di antara mereka ti-
dak mau kedahuluan satu sama lain!"
"Apakah tujuan mereka memburu Arca
Dewi Bumi?" tanya Aji.
"Kalau melihat kemunculan mereka ber-
samaan dengan tersebarnya berita tentang arca
itu, maka sudah barang tentu tujuan mereka adalah memburu arca itu. Namun bisa
jadi di antara mereka ada yang muncul karena ingin balas dendam! Maka dari itu
aku sengaja mengikuti perja-lananmu. Tapi ingat, aku hanya bisa sampai di
sini saja. Masih ada yang harus kuselesaikan!
Lain kali kau harus lebih berhati-hati!"
Pendekar Mata Keranjang memandang le-
kat-lekat pada Dewi Kayangan.
"Hmm.... Dewi Kayangan, Dewi Bayang-
Bayang, Gongging Baladewa, mereka rupanya be-
gitu memperhatikan diriku. Aku berhutang budi
pada mereka...," kata Aji dalam hati. Lalu sambil menjura hormat, Pendekar 108
berkata. "Dewi. Aku berterima kasih atas jerih
payahmu selama ini...."
Melihat sikap Pendekar Mata Keranjang,
Dewi Kayangan keluarkan cekikikannya.
"Anak monyet bodoh! Kau tak perlu berte-
rima kasih begitu rupa! Semua ini semata-mata
demi ketenangan rimba persilatan, dan itu sudah menjadi tugas setiap manusia
yang berjalan di ja-lur kebenaran! Nah, aku sudah capek omong me-
lulu! Aku ingin tertawa!"
Habis berkata begitu, dari mulut Dewi
Kayangan keluar suara cekikikan. Panjang dan
bersahut-sahutan dengan gemerincing anting-
antingnya. Pendekar Mata Keranjang 108 hanya bisa
geleng-gelengkan kepala seraya kerahkan tenaga dalamnya untuk menangkis suara
cekikikan dan gemerincing anting-anting yang begitu menusuk
telinga! "Gila! Bicara masalah penting ujung-ujungnya hanya ingin cekikikan!"
omel Pendekar Mata Keranjang dalam hati lantas bergerak jongkok dan memandangi
Dewi Kayangan dengan
tangan bertopang pada dagu.
Setelah puas dengan cekikikannya, tanpa
berkata dan memandang, Dewi Kayangan balik-
kan tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat
itu. "Dewi. Tunggu...!" tahan Pendekar 108
dengan bangkit dan berkelebat menyusul. Namun
sosok Dewi Kayangan telah lenyap. Yang ada ha-
nyalah suara cekikikannya yang bersahut-
sahutan dengan gemerincing anting-antingnya-
yang makin lama makin menjauh sebelum akhir-
nya tak terdengar sama sekali.
Pendekar Mata Keranjang 108 usap wajah-
nya dengan telapak tangan. Lalu menghela napas panjang.
"Menurut keterangan Dewi Kayangan, ru-
panya rimba persilatan telah bagaikan api dalam sekam dan setiap saat bisa
menyala dan memba-kar ke mana-mana! Hmm.... Aku harus segera
menemukan Sahyang Resi Gopala!"
Berpikir demikian, Pendekar dari Karang
Langit ini pun lantas berkelebat ke arah timur di mana telah tampak gugusan dua
buah gunung yang berhadap-hadapan.
DUA BELAS DUA penunggang kuda terlihat berpacu ce-
pat melintasi malam yang sudah kian mengelam.
Hawa dingin menusuk serta hembusan angin
yang menebar kencang seakan tak dihiraukan
oleh kedua penunggang ini. Mereka terus melarikan kuda tunggangannya masing-
masing bahkan tak jarang tangan kanan sang penunggang me-
nyentak punggung kuda tunggangannya agar da-
pat berlari lebih kencang.
Baru ketika memasuki kawasan hutan ke-
cil di kaki dua buah gunung yang berhadap-
hadapan, dua penunggang kuda ini hentikan ku-
da masing-masing.
"Apakah benar dua gunung di hadapan ki-
ta itu yang disebut orang Gunung Kembar"!" berkata penunggang kuda di sebelah
kiri. Dia adalah seorang gadis berparas jelita. Kulitnya putih mulus. Mengenakan
pakaian warna putih tipis yang dibuat memanjang sampai paha. Sementara pakaian
bawahnya berupa sarung gombrong kem-
bang-kembang. Walau pakaian bawahnya ini
gombrong, namun di bagian tengahnya dibuat
membelah panjang. Hingga tatkala duduk di atas kuda, sepasang pahanya yang putih
mulus terlihat jelas. Sepasang matanya bulat dan tajam. Bu-lu matanya panjang
dan lentik. Meski rautnya jelita, namun gadis ini tampak garang. Bibirnya tak
pernah menyunggingkan seulas senyum. Semen-
tara sepasang matanya terus berputar liar. Rambutnya yang sengaja dipotong
pendek menambah
kegarangan tampangnya
Gadis jelita ini memang baru dua tahun
muncul. Dia muncul dari kawasan timur, tepat-
nya dari Pulau Bima. Di kawasan timur, kemun-
culannya langsung menebar keguncangan. Ba-
nyak tokoh-tokoh berilmu tinggi di kawasan timur dibuatnya tewas. Beberapa tokoh
yang coba-coba bersekutu dan hendak membuat perhitungan
dengannya bukan saja tak berhasil, namun satu
persatu di antara mereka raib begitu saja dan ta-hu-tahu telah tewas dengan
keadaan menge- naskan! Karena kecantikan dan kekejamannya itu-
lah, orang-orang rimba persilatan di kawasan timur menggelari gadis ini Bidadari
Bertangan Iblis.
Sedang penunggang kuda di sebelah kiri
adalah juga seorang gadis muda, parasnya juga
jelita. Mengenakan pakaian warna hijau muda
yang di bagian dadanya dibuat agak rendah,
hingga dadanya yang tampak membusung ken-
cang terlihat sedikit menyembul. Rambutnya panjang dan dikepang dua. Seperti
halnya Bidadari Bertangan Iblis, pakaian bawah gadis berbaju hijau ini pun
dibuat membelah di bagian tengah, hingga pahanya pun terlihat jelas.
Tak beda dengan Bidadari Bertangan Iblis,
meski berwajah cantik jelita, namun kesan beringas tak bisa disembunyikan dari
raut muka gadis berbaju hijau ini. Malah beberapa kali gadis ini
tampak meludah ke tanah dengan kedua tangan
berkacak di atas pinggang.
Konon, kemunculan gadis berbaju hijau ini
memang bersamaan dengan munculnya Bidadari
Bertangan Iblis. Dan kemunculannya pun lang-
sung membawa kegegeran. Karena tak segan-
segan gadis ini mendatangi beberapa tokoh dan
ditantangnya. Banyak tokoh silat baik dari golongan hitam apalagi dari golongan
putih yang telah berhasil dikalahkan dan dibunuh.
Karena keganasan ini pulalah yang menye-
babkan orang-orang di kawasan timur menggelari gadis berbaju hijau ini dengan
julukan Singa Betina Dari Timur.
Menurut kabar yang tersebar, kedua gadis
berparas cantik jelita ini memang masih saudara seperguruan.
Setelah menguasai rimba persilatan di dae-
rah timur, tampaknya dua gadis ini ingin mele-
barkan langkahnya, apalagi ketika mereka berdua mendengar keterangan gurunya
tentang rahasia
Arca Dewi Bumi. Maka dengan berbekal ilmu
tinggi, kedua gadis ini pun melakukan perjalanan ke tanah Jawa. Sampai akhirnya


Pendekar Mata Keranjang 15 Badai Di Karang Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua gadis ini tiba di hutan kecil di kaki Gunung Kembar.
"Kau yakin jika gunung itu yang bernama
Gunung Kembar"!" kembali gadis berbaju putih atau Bidadari Bertangan Iblis
ajukan pertanyaan.
Kali ini kepalanya ikut berpaling pada Singa Betina Dari Timur.
Sejenak si gadis berbaju hijau Singa Betina
Dari Timur luruskan pandangannya memandang
ke arah gunung. Lalu kepalanya menunduk sedi-
kit dan tanpa menoleh ia berkata.
"Menurut yang kudengar, di tanah Jawa
hanya ada satu daerah yang memiliki dua buah
gunung yang saling berhadapan. Daerah itu ada-
lah daerah Bokor. Dan gunung itu adalah Gu-
nung Kembar!"
Bidadari Bertangan Iblis palingkan kembali
wajahnya memandang ke arah Gunung Kembar.
"Kalau itu benar, berarti sebelum matahari terbit kita telah sampai di tempat
tujuan. Bukankah yang kita tuju adalah daerah di sela dua gunung itu"!"
Singa Betina Dari Timur anggukkan kepa-
lanya. Namun tiba-tiba wajahnya dirambahi ke-
bimbangan. "Apakah benar tentang adanya Arca Dewi
Bumi itu" Kalau benar ada kenapa tokoh-tokoh di tanah Jawa tak ada yang mencoba
memburunya"
Kulihat di sini sepi-sepi saja. Bahkan nyamuk
pun tak tampak berkeliaran...! Apakah cerita arca itu bohong belaka...?" Singa
Betina Dari Timur ini mengatakan apa yang ada dalam benaknya pada
Bidadari Bertangan Iblis. Kemudian ajukan per-
tanyaan. "Menurutmu bagaimana...?"
"Aku belum bisa menduga. Tapi kita tak
perlu terpancing dengan semua itu. Mungkin saja tokoh-tokoh di tanah Jawa belum
tahu rahasia tentang Arca Dewi Bumi. Dan jika itu benar, ma-ka itu adalah sebuah keuntungan
besar bagi ki- ta!" Singa Betina Dari Timur yang berbaju hijau
anggukkan kepalanya. Namun kegundahan tam-
paknya belum bisa dihapus dari raut wajahnya.
"Kalau ternyata keterangan Guru tidak terbukti...?" tanya Singa Betina Dari
Timur sambil mengusap lehernya yang dibasahi keringat.
"Guru bukan orang sembarangan. Kalau
dia memberi petunjuk pada kita, apalagi perjala-nannya saja sudah memerlukan
berminggu- minggu, kukira dia tak akan berdusta! Lagi pula apa untungnya jika dia berkata
dusta pada ki-ta...?" "Yah, semuanya kita buktikan nanti!" tukas Singa Betina
Dari Timur. la lalu tengadah ke langit. Mendadak gadis cantik ini terkejut.
Saking terkejutnya dari mulutnya keluar jeritan perlahan. Melihat tingkah
saudara seperguruannya.
Bidadari Bertangan Iblis ikut-ikutan tengadahkan kepala. Seperti halnya Singa
Betina Dari Timur.
gadis ini pun melengak kaget.
Di atas angkasa tampak rembulan bersinar
terang. Padahal sesaat yang lalu angkasa tampak gelap gulita. Anehnya, sang
bulan itu tidak berwarna putih kekuningan seperti biasanya, me-
lainkan berwarna merah darah!
"Isyarat apa ini..."!" tanya Singa Betina Da-ri Timur seraya memandangi bulan
tanpa berke- dip. Meski hatinya dihantui perasaan bercam-
pur aduk, namun si baju putih Bidadari Bertan-
gan Iblis tampaknya lebih tegar. Tanpa mengalihkan pandangan ke angkasa, ia
berkata. "Kalau kita menurutkan perasaan dan
isyarat macam-macam, kita tak akan sampai tu-
juan dengan mulus! Kita teruskan perjalanan! Ki-ta jangan tersurut hanya karena
rembulan beru- bah warna!"
Habis berkata, Bidadari Bertangan Iblis ce-
pat sentakkan tali kekang kuda tunggangannya.
Singa Betina Dari Timur sejenak masih te-
tap mendongak. "Isyarat kadang-kadang memang terbukti,
namun kali ini aku tak percaya akan hal itu!"
Gadis cantik berbaju hijau ini pun lantas
tarik tali kekang kuda tunggangannya dan me-
nyusul saudara seperguruannya.
SELESAI Ikuti kisah selanjutnya:
ARCA DEWI BUMI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Si Pemanah Gadis 10 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 Karya Marshall Pedang Medali Naga 9
^