Pencarian

Kemelut Rimba Hijau 1

Dewa Arak 35 Kemelut Rimba Hijau Bagian 1


KEMELUT RIMBA HIJAU
Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Kemelut Rimba Hijau
128 hal. ; 12 x 18 cm
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Hari sudah agak siang. Kicau sang burung-burung sudah tidak seramai sebelumnya.
Angin yang bertiup pun terasa tidak begitu nikmat lagi di kulit. Memang, sang
surya sudah sejak tadi muncul di ufuk Timur, menglringi perjalanan sebuah kereta
kuda yang dikawal delapan orang penunggang kuda. Para pengiringnya rata-rata
memiliki wajah maupun sikap gagah. Kereta kuda itu ternyata juga tidak memakai
kusir. Jadi jalannya kereta itu karena tali kekang kuda penariknya ditarik oleh
seorang pengawal yang berada di depan.
Rombongan kereta kuda itu tampak bergerak pelan di dalam hutan Kaji. Sebuah
hutan yang cukup lebat dan ditumbuhi pohon-pohon besar berdaun rimbun, sehingga
menghalangi pancaran sinar matahari yang berhasil menerobos lebatnya hutan hanya
berupa bias sinar-sinar yang berbentuk cahaya memanjang. Meskipun demikian,
cukup membuat suasana di dalam hutan jadi terang.
Para pengiring kereta kuda itu masing-masing empat berada di depan, dan yang
empat lagi berada di belakang. Menilik dari gerak-geriknya, bisa diduga kalau
mereka benar-benar bertugas sebagai pengawal kereta.
Memang, sebenarnya mereka bertugas sebagai pengawal barang-barang kiriman yang
dibawa kereta kuda itu. Pada bagian badan kereta kuda tampak sehelai kain
panjang berwarna putih bersih, bergambar seekor harimau bersayap yang disulam
dari benang warna merah. Gambar serupa tampak pula pada bagian dada kiri pakaian
para pengawal yang berwarna putih bersih itu.
Seorang yang bertubuh kekar dan berkumis tebal rupanya menjadi pemimpin
rombongan ini. Terbukti, dialah yang berkuda paling depan sambil memberi aba-
aba. "Kakang Sangga Juwana," sapa salah seorang dari empat orang yang berkuda paling
depan. Laki-laki berkumis tebal yang ternyata bernama Sangga Juwana itu menoleh ke arah
orang yang menyapanya. Dia seorang laki-laki bertubuh kekar berotot dan berwajah
persegi. "Ada apa, Lantar?" tanya Sangga Juwana.
"Begitu berhargakah kiriman yang harus kita antarkan, sehingga sampai-sampai
guru menyuruhmu ikut dalam rombongan ini" Padahal, biasanya kau tidak pernah
diikutsertakan "
Dua orang penunggang kuda lainnya yang berada di depan kereta menganggukkan
kepala, pertanda membenarkan ucapan Lantar. Sementara, Sangga Juwana
menyunggingkan senyum lebar sebelum menjawab pertanyaan Lantar.
"Mungkin kau benar, Lantar. Sayang sekali, aku juga tidak tahu barang yang akan
kita antarkan ini. Tapi menilik dari pesan guru yang memperingatkan agar kita
lebih meningkatkan kewaspadaan, bisa diperkirakan kalau barang yang akan dikirim
ini benar-benar berbahaya. Oleh karena itu, kuharap kalian semua lebih
meningkatkan kewaspadaan."
"Jangan khawatir, Kang," jawab Lantar mantap. "Aku pun tidak ingin memupuskan
kepercayaan orang yang menitipkan barang-barang ini, karena kita tidak sanggup
mengantarnya sampai tujuan."
"Benar, Kang," sambut orang yang berwajah bulat "Kalau hal itu terjadi,
langganan kita akan lari ke Perguruan Naga Laut"
"Syukur kalau kau pun tahu itu, Guntar," sahut Sangga Juwana. "Memang, Perguruan
Naga Laut adalah saingan kuat kita dalam hal pengiriman barang."
"Tapi, toh Perguruan Harimau Terbang tidak kalah dengan Perguruan Naga Laut.
Buktinya, orang-orang lebih suka menitipkan barang kiriman pada kita," sanggah
Lantar bernada sombong.
"Buang jauh-jauh sikap seperti itu, Lantar," tegur Sangga Juwana sambil menatap
tajam wajah laki-laki bertubuh kekar berotot itu.
"Maafkan aku, Kang. Aku tidak bermaksud menyombongkan diri," sahut Lantar dengan
kepala tertunduk.
"Lupakanlah," desah Sangga Juwana, tanpa mampu memperpanjang persoalan.
Kini, iring-iringan Perguruan Harimau Terbang melanjutkan perjalanan tanpa
berkata-kata lagi. Langkah pelan kaki kuda yang menapak tanah, dan disertai
derit pelan suara roda kereta, memecah keheningan hutan. Karena, Sangga Juwana
dan rekan-rekannya sama sekali tidak terlibat dalam percakapan
lagi. Sikap mereka semuanya tampak waspada,
memperhatikan sekeliling hutan.
"Hati-hatilah," ujar Sangga Juwana memecahkan keheningan yang terjadi di antara
mereka. "Kudengar, di hutan ini ada gerombolan perampok..."
"Tapi, Kang.... Gerombolan perampok di sini telah kami hancurkan beberapa waktu
yang lalu," bantah Lantar.
Sangga Juwana menatap wajah Lantar sekilas. Seakan-akan dia ingin mencari
kebenaran di wajah laki-laki kekar berotot itu.
"Meskipun benar begitu, kita harus tetap berhati-hati. Beritahukan pada
rombongan di belakang, agar bersikap lebih waspada."
"Baik, Kang," sahut Lantar, tak berani membantah lagi. Disadari ada kebenaran
dalam ucapan laki-laki berkumis tebal itu.
Lantar lalu bersiul. Tentu saja disertai pengerahan tenaga dalam, sehingga
terdengar sampai ke rombongan belakang. Inilah tanda rahasia untuk bersikap
hati-hati. Baru saja siulan itu lenyap, mendadak....
Singgg.... Cappp!
Diiringi suara mendesing nyaring, tiba-tiba sebatang tombak meluncur dan
menancap di tanah. Tepat, hanya beberapa tombak di depan Sangga Juwana dan
ketiga rekannya.
Tentu saja hal itu mengejutkan seluruh anggota rombongan Perguruan Harimau
Terbang. Kontan Sangga Juwana dan ketiga rekannya menarik tali kekang kuda, lalu
baru diikuti yang lain. Dan didahului suara ringkikan nyaring, kuda-kuda itu
menghentikan langkahnya sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke
atas. Srat, srat, srat..!
Sinar-anar keperakan langsung berkelebatan ketika Sangga Juwana dan semua
rekannya mencabut pedang masing-madng, yang bergagang kepala harimau.
Dan sambil tetap memegangi tali kekang kuda dengan tangan kiri agar binatang itu
tidak menjadi liar, rombongan Perguruan Harimau Terbang mengedarkan pandangan
berkeliling. Sikap mereka tampak waspada. Bahkan tangan yang menggenggam pedang
tampak sudah mengejang penuh tenaga.
Tidak percuma mereka bersikap demikian. Karena sesaat kemudian, terdengar suara
berkerosakan keras. Lalu, disusul bermunculannya sosok-sosok tubuh dari balik
kerimbunan semak-semak di depan iring-iringan rombongan itu.
Melihat hal ini, penunggang-penunggang kuda yang berada di belakang kereta
langsung bergerak ke depan, bergabung dengan rombongan Sangga Juwana. Meskipun
demikian, dua di antara mereka tetap berjaga-jaga di belakang kereta. Mereka
bersiap-siap untuk menghadapi hal yang tidak diinginkan.
*** Para penghadang yang berjumlah lima belas orang itu rata-rata bertubuh kekar dan
bersikap liar. Menilik cara kemunculan mereka, bisa ditebak kalau mereka
bermaksud tidak baik.
"Siapa kalian"! Mengapa menghadang perjalanan kami"!" tanya Sangga Juwana tidak
mau bersikap sembrono.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa bergelak yang keluar dari seorang laki-laki berkepala botak menjadi
jawaban pertanyaan Sangga Juwana tadi. Sekujur wajah laki-laki itu tampak
dipenuhi kumis, cambang, dan jenggot yang kasar serta lebat.
Rupanya, laki-laki berkepala botak ini adalah pimpinan rombongan penghadang itu.
Buktinya, ketika dia tertawa, belasan orang kasar lainnya tertawa bergelak.
Meskipun mendapat sambutan seperti itu, Sangga Juwana tetap bersikap tenang.
Raut wajahnya sama sekali tidak menyiratkan ketegangan. Hanya sinar matanya
tampak sekelebatan berkilat, pertanda amarahnya mulai bangkit.
Berbeda dengan Sangga Juwana yang mampu mengekang amarah, ternyata Lantar tidak
demikian. Perasaannya kontan tersinggung bukan kepalang melihat perlakukan
belasan orang kasar itu. Suara bergemeretak keras dari gigi-giginya yang beradu
karena perasaan geram, menjadi pertanda kemarahannya.
"Anjing-anjing kurap dari mana kalian"!" teriak Lantar keras dan lantang "Aku
yakin, kalian bukan perampok-perampok Hutan Kaji. Karena, semua perampok di sini
telah kami basmi beberapa waktu yang lalu!"
Keras dan kasar bukan kepalang makian yang dilontarkan Lantar. Sehingga, bukan
hanya membuat belasan orang kasar itu menghentikan tawa, tapi juga membuat
Sangga Juwana terkejut. Dia pun sadar, bentrokan tidak akan bisa dihindari lagi.
Laki-laki berkumis tebal itu tidak menyangka kalau Lantar akan bersikap seperti
itu. "Semula, kami tidak ingin bertindak kejam, kecuali mengambil barang kiriman
kalian. Tapi, kini kami berubah pikiran. Di samping barang itu, kami juga ingin ambil
nyawa kalian semua!" tegas lelaki berkepala botak.
"Kau lucu, Kisanak," sambut Sangga Juwana, tenang. Bagi kami, lebih baik mati
daripada kehilangan barang kiriman. Kami adalah orang yang dipercayakan mengawal
barang. Bagi kami, keberadaan barang ini lebih berharga ketimbang nyawa kami. Sikap kami
tidak main-main lagi bila kau terus melanjutkan keinginan untuk mengambil
barang!" "Keparat! Kau tahu, dengan siapa berhadapan sekarang"!" bentak laki-laki
berkepala botak, sete-ngah menggertak.
Sangga Juwana menggelengkan kepala.
"Sudah banyak aku mengenal tokoh persilatan, baik aliran hitam maupun putih.
Tapi aku belum pernah bertemu atau mengenal tokoh sepertimu," lanjut Sangga
Juwana. "Keparat! Rupanya kau mencari mampus sendiri, Kunyuk! Serbu...!" teriak laki-
laki berkepala botak memberi aba-aba pada kawan-kawannya.
Maka, serentak belasan orang kasar itu menyerbu rombongan Sangga Juwana.
Disertai teriakan-teriakan keras membahana, mereka meluruk maju dengan senjata
terhunus di tangan. Namun Sangga Juwana dan kawan-kawannya memang sudah siaga
sejak tadi. Mereka menyambut serangan ini dengan lompatan lincah laksana kera dari punggung
kuda. Para pengawal kereta barang ini langsung bergerak menyongsong serbuan belasan
orang laki-laki kasar itu. Sementara dua orang pengawal barang lainnya hanya
berjaga-jaga di belakang kereta. Kedua orang itu tidak ikut bertarung, karena
hams menjaga kereta.
Pertarungan antara para pengawal barang kiriman dari Perguruan Harimau Terbang
menghadapi lima belas orang kasar pun tidak bisa dielakkan lagi
Trang, trang..!
Dentang senjata beradu diiringi percikan bunga-bunga api ke udara menyemaraki
bentrokan yang terjadi. Apalagi, kedua belah pihak mengerahkan sekuruh kemampuan
yang dimiliki. Maka yang terjadi adalah pertempuran yang benar-benar
menegangkan. Sadar kalau laki-laki berkepala botak itu bertindak sebagai pemimpin, yang sudah
pasti memihki kepandaian paling tinggi, Sangga Juwana tidak tanggung-tanggung
lagi menghadapinya. Sedangkan Lantar, Guntar, dan yang lainnya menghadapi
belasan orang kasar itu. Sementara, dua orang lagi tetap berjaga-jaga.
"Haaat...!"
Laki-laki berkepala botak itu berteriak keras sambil melancarkan serangan
bertubi-tubi. Senjata andalannya berupa golok besar yang salah satu matanya
bergerigj dikelebatkan cepat ke leher lawan.
Wuttt...! Sambaran golok itu ternyata hanya mengenai tempat kosong, ketika Sangga Juwana
menundukkan kepala sedikit. Bahkan sebaliknya, serangan balasan Sangga Juwana
yang berupa sapuan kaki telah memaksa laki-laki berkepala botak itu melompat
mundur. Namun sambil melompat mundur, goloknya dibabatkan untuk mencegah
pengejaran lawan.
Dan memang, usaha laki-laki berkepala botak itu tidak sia-sia. Buktinya, Sangga
Juwana terpaksa menahan serangan untuk memburu lawannya, kalau tidak ingin
terbacok! Namun sesaat kemudian, kedua orang itu sudah terlibat pertarungan sengit.
Namun bukan hanya pertarungan antara kedua orang pemimpin itu saja yang
berlangsung sengit. Di tempat lain, pertarungan para pengawal kereta barang
melawan para perampok juga tak kalah sengitnya.
Memang, meskipun jumlah orang-orang kasar itu dua kali lipat, tapi belum mampu
mendesak para pengawal kereta barang. Hal itu terjadi karena kepandaian murid-
murid Perguruan Harimau Terbang memang di atas anggota gerombolan perampok itu.
Terutama sekali kepandaian Lantar dan Guntar. Dua orang ini biasanya bertindak
sebagai pimpinan rombongan, apabila Sangga Juwana tidak ditunjuk guru mereka.
Dan tentu saja sebagai pimpinan rombongan, mereka memiliki kepandaian yang jauh
lebih tinggi daripada para anggota lainnya.
Sekarang pun, baik Lantar maupun Guntar menghadapi keroyokan lawan-lawannya.
Masing-masing menghadapi empat orang lawan. Sedangkan sisanya dihadapi oleh tiga
orang anggota Perguruan Harimau Terbang Sementara, dua orang pengawal masih
tetap berjaga-jaga di belakang kereta barang dengan sikap waspada. Sampai saat
ini, memang belum ada perampok yang menyerang mereka.
Walaupun menghadapi lawan lebih banyak, tidak ada satu pengawal barang pun yang
terdesak. Bahkan sebaliknya, pihak Perguruan Harimau Terbang tampak berada di
atas angin. Terutama sekali, pertarungan antara Sangga Juwana menghadapi laki-laki berkepala
botak. Tidak sampai lima belas jurus, pimpinan rombongan Perguruan Harimau
Terbang itu telah berhasil mendesak lawan.
Kini, laki-laki berkepala botak itu hanya bisa bertarung mundur. Serangan-
serangannya yang semula bertubi-tubi, kini tampak tumpul kembali. Laki-laki
berkepala botak itu sekarang lebih sering mengelak. Bahkan menangkis pun jarang
dilakukan, karena hanya akan merugikan dirinya. Memang, tenaga dalam Sangga
Juwana jauh lebih unggul daripada tenaga pimpinan orang-orang kasar itu.
Beberapa kali ketika menangkis, laki-laki berkepala botak itu menyeringai.
Tangannya tergetar hebat, dan jari-jari tangannya terasa seperti tersengat kala
berbisa. Sementara itu, dua anggota Perguruan Harimau Terbang yang tidak ikut bertempur,
menyaksikan jalannya pertarungan dengan hati lega. Mereka tahu, kemenangan di
pihak para pengawal barang hanya tinggal menunggu waktu saja.
Dugaan itu ternyata tidak salah. Karena beberapa saat kemudian terdengar jeritan
menyayat, yang disusul oleh robohnya salah seorang dari pihak penghadang.
Ternyata, pedang di tangan Lantar telah merobek lehernya.
Belum juga lenyap gema teriakan itu, segera menyusul jerit kematian lainnya.
Kematian, susul-menyusul orang-orang kasar itu berguguran di tanah tanpa mampu
bangkit lagi untuk selamanya. Maka dalam waktu sebentar saja, sudah lebih dari
lima orang perampok yang tewas. Sedangkan lelaki berkepala botak itu pun
tampaknya sudah terdesak hebat.
"Haaat...!"
Sangga Juwana berteriak keras. Pedang di tangan kanannya ditusukkan bertubi-tubi
ke arah leher lawan. Karuan saja hal ini membuat laki-laki berkepala botak itu
terkejut bukan kepalang. Dia ingin mengelak, tapi sudah tidak memiliki
kesempatan lagi. Maka, terpaksa serangan itu ditangkisnya.
Trang, tranggg....
Cappp! Lelaki berkepala botak ini memang berhasil menangkis serangan Sangga Juwana.


Dewa Arak 35 Kemelut Rimba Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi, serangan yang dilakukan laki-laki berkumis tebal itu begitu bertubi-tubi.
Dan pada tusukan yang ketiga kalinya, laki-laki berkepala botak itu tidak mampu
menangkis lagi. Akibatnya, pedang Sangga Juwana langsung memanggang lehernya!
Darah segar kontan menyembur keluar. Apalagi, ketika mencabut pedang itu. Maka
darah semakin mengucur deras.
Pimpinan perampok kasar itu rupanya memiliki kekuatan tubuh yang mengagumkan
juga. Meskipun luka-luka yang dideritanya amat pa rah, tapi masih mampu berdiri
beberapa saat lamanya dengan kedua kaki limbung.
Tapi, hanya beberapa saat saja lelaki berkepala botak itu mampu bertahan. Karena
tak lama kemudian, dia roboh di tanah tanpa bergerak lagi untuk selamanya.
Berbarengan dengan robohnya laki-laki berkepala botak itu, Lantar, Guntar, dan
tiga orang anggota Perguruan Harimau Terbang telah berhasil pula merobohkan
lawan-lawannya.
Dan hebatnya, tidak ada seorang pun anggota Perguruan Harimau Terbang yang
tewas. Bahkan terluka berat pun tidak. Meskipun demikian, ternyata seorang di antara
mereka yang menderita luka ringan.
Trek! Sangga Juwana memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangkanya. Demikian pula
yang dilakukan rekan-rekannya. Kemudian setelah memperhatikan mayat orang-orang
kasar itu sejenak, mereka beranjak menghampiri binatang tunggangan mereka.
"Hup!"
Indah dan manis gerakan anggota-anggota Perguruan Harimau Terbang itu saat
melompat ke atas punggung kuda.
"Mari kita lanjutkan perjalanan," kata Sangga Juwana memberi perintah sambil
mengibaskan tangannya.
Setelah memberi aba-aba demikian, laki-laki berkumis tebal ini menggeprak pelan
tali kekang kudanya. Mulutnya pun berdecak pelan, memberi tanda pada binatang tunggangannya untuk segera berangkat. Maka, kuda itu pun melangkah perlahan.
Lantar, Guntar, dan yang lainnya pun berbuat hal yang sama. Maka, sesaat
kemudian rombongan Perguruan Harimau Terbang telah kembali melanjutkan
perjalanan. Pengawalan pun telah seperti semula. Empat orang berada di belakang,
dan empat orang berada di depan kereta. Hanya saja, kedudukan Guntar diubah. Dia
tidak lagi berada di depan, melainkan di belakang. Hal ini karena atas perintah
Sangga Juwana. Sangga Juwana ingin, di rombongan belakang juga mempunyai orang
yang dapat diandalkan. Jadi tidak semua tokoh yang memiliki kemampuan tinggi
berada di depan.
Suara tapak kaki kuda dan derit roda kereta terdengar kembali. Rombongan
Perguruan Harimau Terbang melanjutkan perjalanan untuk meng-antarkan barang
kiriman ke tempat yang telah ditentukan.
2 Waktu berjalan sesuai kodratnya. Dan kini, sang surya tidak lagi berada di
langit sebelah Timur. Tapi, tepat berada di atas kepala. Warna dan bentuknya pun
sudah mulai berubah. Tidak lagi merah dan besar seperti waktu pagi. Tapi kecil
dan menyilaukan mata.
Seiring letak matahari yang telah berubah, suasana di persada pun berganti.
Tidak lagi sejuk seperti sebelumnya, melainkan panas menyengat kulit. Bahkan
angin yang berhembus pun terasa kering
"Hooop...!"
Sangga Juwana mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke atas. Berbarengan dengan
itu, tangan kirinya menarik tali kekang kudanya. Dengan sendirinya, langkah
binatang tunggangannya pun berhenti. Lantar dan yang lainnya pun menghentikan
langkah kudanya pula.
"Kita beristirahat di sini," ujar Sangga Juwana.
Lantar memandang berkeliling. Diam-diam hatinya memuji tempat yang dipilih
Sangga Juwana untuk beristirahat. Terlihat sejuk, karena terlindung pepohonan
lebat. Sehingga, sinar matahari tidak mampu menerobos masuk ke tempat itu.
"Bagaimana, Lantar?" tanya Sangga Juwana, meminta pendapat.
Laki-laki berkumis tebal itu tahu kalau Lantar tengah menilai tempat
beristirahat yang dipilihnya. Itulah sebabnya pertanyaan seperti itu
diajukannya. "Kau memang pintar memilih tempat, Kang," puji Lantar sambil mengacungkan ibu
jari tangan kanannya.
"Ha ha ha...!" Sangga Juwana tertawa terbahak-bahak. "Kau memang pintar
mengangkat perasaan orang, Lantar!"
"Lho"! Aku mengatakan yang sebenarnya, Kang!" sambut Lantar cepat. "Kalau tidak
percaya, tanyakan saja pada Guntar!"
"Tidak perlu, Lantar. Aku percaya padamu. Lebih baik, kita lupakan masalah itu.
Mari lata istirahat dan mengisi perut. Setuju"!"
"Tidak usah kau tanyakan lagi, Kang. Memang sudah sejak tadi perutku menjerit-
jerit minta diisi. Pertempuran tadi rupanya telah membuat perutku lebih cepat
lapar," sergah Lantar.
"Itulah sebabnya kalian semua kuajak beristirahat," tegas Sangga Juwana. "Karena
aku pun merasa lapar juga."
Usai berkata demikian, Sangga Juwana langsung melompat turun dari kudanya
diikuti yang lainnya. Sesaat kemudian mereka semua sudah duduk di atas
rerumputan hijau tebal yang menghampar laksana permadani.
Sementara, kuda-kuda mereka dibiarkan istirahat sambil menikmati rumput-rumput
hijau segar yang terhampar luas. Sama sekali tak ada perasaan khawatir kalau
binatang-binatang itu akan kabur.
Dengan perasaan tenang, rombongan Perguruan Harimau Terbang mulai mengeluarkan bekal makanan yang dibawa. Nasi, ikan bakar, sambal terasi, dan
arak. "Lantar!" panggil Sangga Juwana sebelum mulai menyentuhkan tangan pada bekalnya.
"Ya, Kang," sahut Lantar, cepat.
Laki-laki bertubuh kekar berotot itu langsung mengalihkan pandangan dari bekal
yang dibawa-nya.
"Kurasa, ada baiknya sebelum kita makan kau mencari air dulu. Tanganku kotor
sekali. Penuh debu."
Lantar melirik ke arah tangannya. Ternyata, sama seperti yang dikatakan laki-
laki berkumis tebal itu. Maka mangkuknya diletakkan, lalu bangkit berdiri.
"Apakah di sekitar tempat ini ada sungai, Lantar?" tanya Sangga Juwana lagi.
Lantar membalikkan tubuhnya.
"Sepengetahuanku, di dekat sini ada sungai, Kang."
"Kalau begitu, lekaslah," perintah Sangga Juwana. "Tapi, ingat. Jangan
tinggalkan kewaspadaan, Lantar."
"Beres, Kang."
Lantar pun beranjak meninggalkan anggota Perguruan Harimau Terbang lainnya.
Sementara, Sangga Juwana dan yang lain mulai terlibat dalam percakapan. Tapi,
tentu saja tanpa melepaskan perhatian pada kereta yang berisikan barang kiriman.
*** Dengan agak tergesa-gesa, Lantar mengayunkan langkahnya. Dia ingin secepatnya
tiba di sungai untuk mengambil air. Perutnya sudah lapar bukan kepalang.
Memang, Lantar tidak berdusta pada Sangga Juwana. Sungai yang ditujunya memang
tidak jauh dari tempat rekan-rekannya beristirahat. Paling jauh, hanya berjarak
sepuluh tombak. Hanya saja, letaknya tidak bisa terlihat dari tempat
peristirahatan mereka karena terhalang pepohonan.
Sebentar kemudian, Lantar telah tiba di tempat yang dimaksud. Ternyata, bukan
sungai seperti yang dikatakannya, melainkan sebuah mata air. Letaknya di bawah
sebatang pohon besar dengan garis tengah tak lebih dari satu setengah tombak.
Lantar tersenyum melihat air yang terlihat amat jernih itu. Kelihatannya segar
sekali kalau wajahnya yang telah dipenuhi keringat ini dibasuh dengan air itu.
Tapi itu nanti! Yang penting, sekarang memasukkan air yang jernih itu ke dalam
guci besar yang dibawanya sebagai tempat menampung air.
Dengan hati-hati Lantar menenggelamkan guci itu ke dalam air. Dan ketika seluruh
bagian guci telah terendam air, laki-laki kekar berotot ini lalu mengangkatnya
ke atas. Mudah saja Lantar melakukannya, karena leher guci itu telah diikat
dengan tali. Jadi dia hanya tinggal menarik saja.
Permukaan air tampak bergelombang ketika guci itu terangkat keluar. Lalu, Lantar
meletakkannya di atas tanah. Lantar kemudian
menggulung lengan
bajunya, dan mengulurkan tangannya ke permukaan air. Memang, melihat jernihnya air itu, laki-
laki kekar berotot ini tidak kuat menahan keinginannya untuk membasuh wajahnya.
Kesegaran air itu sudah terasa pada kulit wajahnya, meskipun belum membasuhnya.
"Akh...!"
Jeritan keras keluar dari mulut Lantar ketika kedua tangannya telah tercelup ke
dalam air. Secepat itu pula, kedua tangannya ditarik.
Dengan wajah pucat Lantar menatap kedua tangannya. Tampak warna kedua
punggung tangannya merah seperti kepiting rebus. Memang, sakit yang diderita
kedua tangannya ketika tercelup ke dalam air, membuat laki-laki kekar berotot
buru-buru menarik tangannya. Namun rasa panas membakar dan gatal-gatal yang luar
biasa langsung mendera.
Baik ketika kedua tangannya berada di dalam air, maupun sesudahnya.
Wajah Lantar yang sudah pucat semakin pias ketika melihat warna merah yang
semula hanya mencapai pergelangan tangannya kini bergerak naik ke atas. Demikian
pula rasa panas dan gatal yang mendera.
Mendadak, telinga Lantar mendengar suara langkah-langkah kaki yang menuju ke
arahnya. Maka, buru-buru kepalanya menoleh ke belakang. Dia bersiap-siaga untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Tapi, sekujur urat-urat syaraf di tubuhnya yang semula menegang kaku penuh
kewaspadaan, langsung mengendur kembali. Ternyata, yang datang kedua orang
rekannya sendiri, yakni Sangga Juwana dan salah seorang anggota Perguruan
Harimau Terbang.
"Ada apa, Lantar?" tanya Sangga Juwana, cepat bernada khawatir.
Raut kecemasan tampak jelas di wajah Sangga Juwana. Bahkan pertanyaan tadi
diajukannya saat masih berada beberapa tombak dari Lantar.
Memang, jeritan yang keluar dari mulut Lantar terdengar sampai ke tempat
peristirahatan rekan-rekannya. Begitu mendengar, Sangga Juwana langsung melesat
bersama salah seorang rekannya.
Dan rupanya kedatangan Sangga Juwana bersama rekannya ini tepat waktunya
dengan Lantar memperhatikan tangannya.
"Aku tidak tahu, Kang. Yang jelas, tanganku jadi seperti ini ketika kucelupkan
ke dalam air ini," jelas Lantar sambil menunjukkan kedua tangannya.
Kemudian secara singkat, laki-laki kekar berotot menceritakan semua kejadiannya.
Sementara Sangga Juwana memperhatikan tangan Lantar sambil mendengarkan cerita
yang tengah dituturkan.
"Air itu pasti mengandung racun ganas, Lantar," jelas Sangga Juwana ketika
Lantar telah menyelesaikan ceritanya.
"Aku juga menduga demikian, Kang. Lalu, apa yang harus kulakukan?"
Baru kali ini Lantar merasa begitu tidak berdaya. Otaknya sama sekali tidak bisa
digunakan untuk berpikir. Sedangkan sepasang matanya menatap wajah Sangga Juwana
penuh permohonan.
Sangga Juwana tentu saja mengerti arti pandangan mata Lantar. Tapi apa dayanya"
Pikirannya juga sama seperti Lantar. Bingung! Harus diakui, baru pertama kalinya
dia melihat racun yang demikian ganas, dan menyebar demikian cepat. Untuk
beberapa saat lamanya, pimpinan rombongan Perguruan Harimau Terbang ini
tertegun. "Kang..."! Tanganku, Kang..."!"
Panggilan yang bercampur kengerian itu mem buat Sangga Juwana kembali menatap ke
arah tangan Lantar. Dan seketika itu pula, sepasang matanya terbelalak lebar.
Betapa tidak" Jari-jari tangan Lantar ternyata mulai mencair seperti film
terkena api! Dan hal itu dimulai dari ujung-ujung jarinya.
Sangga Juwana bingung bukan kepalang. Apalagi ketika tanda merah itu semakin
merayap naik. Dan sekarang, tanda merah itu sudah hampir mencapai sikut!
Srattt..! Sinar terang berkiblat ketika Sangga Juwana mencabut pedangnya. Melihat tindakan
Sangga Juwana, karuan saja Lantar dan rekannya merasa heran. Apa yang hendak
dilakukan laki-laki berkumis tebal itu"
Namun, Sangga Juwana sama sekali tidak mempedulikan keheranan dalam
pandangan mata kedua rekannya.
"Maafkan aku, Lantar. Terpaksa hal ini harus kulakukan, agar kau selamat! Kau
jangan bertindak apa pun."
Setelah berkata demikian, sambil menggertakkan gigj Sangga Juwana mengayunkan
pedangnya. Dan....
Crasss...! "Aaakh...!"
Lantar menjerit ngeri ketika pedang Sangga Juwana membabat kedua sikutnya. Maka
darah segar kontan membanjir ke luar.
Sedangkan Sangga Juwana segera melemparkan pedangnya ke tanah, lalu secepat
kilat bergerak menghampiri Lantar. Segera ditotoknya jalan darah di sekitar
luka, agar darah yang mengalir keluar terhenti. Memang, setelah Sangga Juwana
menotok beberapa jalan darah di sekitar luka, aliran darah itu langsung
terhenti. *** "Hhh...!"
Sangga Juwana menghela napas lega ketika melihat tidak ada warna kemerahan di
tangan Lantar. Dengan pandangan mata sayu, ditatapnya wajah laki-laki kekar
berotot itu. "Maafkan aku, Lantar. Terpaksa hal ini kulakukan agar dirimu sdamat! Kau jangan
bertindak apa pun!"
Setelah berkata demikian, Sangga Juwana langsung mengayunkan pedangnya,
membabat kedua sikut Lantar.
Sementara itu, Lantar sama sekali tidak menunjukkan tanggapan apa-apa. Dia hanya
berdiri mematung, dengan pandangan tertuju lurus, ke depan. Sekujur wajahnya
dipenuhi buur-butir keringat sebesar biji jagung
Sangga Juwana tahu perasaan yang bergolak di hati Lantar. Maka dengan langkah
perlahan-lahan dihampirinya Lantar. Kemudian, ditepuk-tepuknya bahu laki-laki
kekar berotot itu.
Sedangkan anggota Perguruan Harimau Terbang yang tadi datang bersama Sangga
Juwana, sama sekali tidak berkata apa-apa. Seperti juga Lantar, hatinya begitu
terkesiap melihat tindakan yang diambil Sangga Juwana. Raut keterkejutan pun
masih tampak jelas pada wajahnya.
"Sudahlah, Lantar. Lupakanlah kedua tanganmu yang telah hilang itu. Walaupun
sebenarnya aku menyesal melakukan hal ini, tapi penyesalanku akan lebih besar
lagi apabila membiarkan kau tewas secara mengerikan. Yahhh..., hanya inilah
satu-satunya yang bisa kulakukan untukmu," urai Sangga Juwana panjang lebar.
Lantar tetap diam. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa pun.
Jelas, laki-laki kekar berotot ini mengalami pukulan batin yang amat kuat.
"Lantar, sadarlah,"
Sangga Juwana masih terus berusaha menyadarkan Lantar sambil memukul-mukul bahu
Lantar. Malah kini, tidak lagi dipukul-pukulkan ke bahu, tapi ke pipi.
Plok, plok...! Tapi usaha yang dilakukan Sangga Juwana sama sekali tidak menunjukkan hasil.
Keadaan Lantar masih tetap seperti semula. Dia berdiri mematung dengan sepasang
mata menatap tajam pada satu titik. Wajahnya pun tetap tidak berubah. Dingin
tanpa gairah kehidupan apa pun!
"Hhh...!"
Sangga Juwana menghela napas berat. Dia tahu, Lantar sangat terpukul menerima
kenyataan kalau tangannya telah buntung. Memang sungguh tidak disangka, akan
sebesar ini pukulan yang diterima laki-laki kekar berotot itu.
"Tampaknya dia sangat terpukul, Kang," kata anggota Perguruan Harimau Terbang
yang datang bersama Sangga Juwana.


Dewa Arak 35 Kemelut Rimba Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yahhh...! Kira-kira begitulah, Sarka," sahut Sangga Juwana setengah mendesah.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya orang yang bernama Sarka, ingin
tahu. Sangga Juwana menatap Sarka sejenak, kemudian kembali menatap Lantar.
"Apa boleh buat," desah Sangga Juwana pelan. "Menyadarkan orang yang mengalami
hal seperti ini, membutuhkan kekuatan hati."
"Aku belum mengerti maksudmu, Kang." Sarka mengernyitkan keningnya.
"Menghadapi orang yang mengalami guncangan batin seperti ini, membutuhkan
kekuatan hati untuk melawan perasaan kita sendiri," jelas Sangga Juwana lagi.
Setelah berkata demikian, Sangga Juwana kembali mengalihkan perhatian pada
Lantar. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat, seperti
hendak membuang perasaan yang mengganjal hatinya.
Mendadak Sangga Juwana mengayunkan tangannya. Dan....
Plak, plak, plak...!
Keras dan bertubi-tubi telapak tangan Sangga Juwana singgah di wajah Lantar.
Kepala laki-laki kekar berotot itu sampai terpaling ke kanan dan ke kiri
mengikuti gerak tamparan.
"Kang...!" seru Sarka, bernada tidak setuju.
Memang, Sarka merasa tidak tega melihat Lantar yang baru saja mengalami
kehilangan tangan harus menerima tamparan keras bertubi-tubi. Itulah sebabnya,
mengapa dia mengeluarkan teriakan keras.
Tapi, Sangga Juwana sama sekali tidak mempedulikannya. Tangannya terus saja
diayunkan untuk menampar wajah Lantar, dengan seluruh kekuatan tenaga kasarnya.
Pada tamparan yang entah untuk keberapa belas kalinya, Lantar tidak diam begitu
saja. Badannya tiba-tiba dicondongkan ke belakang, sehingga tamparan itu
mengenai tempat kosong. Lewat beberapa jari di depan wajahnya.
Kontan Sangga Juwana menghentikan tamparannnya. Bibirnya menyunggingkan
senyum getir ketika menatap Lantar. Raut wajah laki-laki kekar berotot itu
membuat hati Sangga Juwana tersiksa. Wajah yang bengkak-bengkak. Bahkan sepasang
matanya pun hampir tak terlihat, karena tertutup bengkak dan memar.
"Mengapa kau memukulku, Kang?" tanya Lantar, pelan. Bahkan hampir tak terdengar
suaranya. Sangga Juwana tersenyum getir, meskipun terselip perasaan gembira di hatinya
ketika Lantar bisa disadarkan.
"Maafkan aku, Lantar. Aku tidak menemukan jalan lain untuk menyadarkanmu,
kecuali dengan cara itu," jelas Sangga Juwana, meminta pengertian laki-laki
kekar berotot. "Hahhh..."!"
Lantar tersentak. Ucapan Sangga Juwana mengingatkannya kembali pada keadaan
tangannya. Dengan pandangan mata sayu, ditatapnya kedua tangannya yang hanya
sampai sikut saja.
"Apa yang bisa kulakukan tanpa adanya kedua tangan, Kang"! Mengapa aku tidak
dibiarkan mati saja" Hidup seperti ini malah akan menyiksa diriku!"
"Hhh...!"
Sangga Juwana menghela napas berat. "Aku pun bisa merasakannya, Lantar. Tapi
percayalah. Masih banyak hal yang bisa kau lakukan, meskipun kau tidak mempunyai
tangan lagi. Kau toh, masih dapat menggunakan kaki," hibur Sangga Juwana sambil
menepuk-nepuk pundak Lantar.
Lantar hanya memandang kedua tangannya yang telah buntung itu. Dia tampaknya
masih belum percaya dengan keadaannya. Namun demikian, dia berusaha memaklumi
maksud Sangga Juwana.
"Tenagamu masih kami butuhkan Lantar. Perjalanan kami masih panjang. Dan kau
merupakan orang yang paling mengetahui keadaan," sambung Sangga Juwana.
Lantar masih terdiam. Namun, semangatnya yang tadi sudah hampir pudar pun timbul
kembali. Sangga Juwana bukan orang bodoh. Dia tahu ucapannya itu mengenai sasaran. Maka
buru-buru ditepuk-tepuknya bahu Lantar, kemudian secara halus diajaknya
meninggalkan tempat itu.
"Mari kita kembali ke tempat peristirahatan, Lantar. Kawan-kawan yang lain sudah
menunggu kita," ajak Sangga Juwana seraya melangkah meninggalkan tempat itu.
Tanpa banyak bicara, Sarka pun melangkah mengikuti. Dalam hati dipujinya
kemampuan Sangga Juwana yang selalu saja menemukan cara untuk menemukan jalan
keluar bagi setiap persoalan yang dihadapi.
3 "Hieeeh...!"
Ringkik suara kuda membuat Sangga Juwana, Lantar, dan Sarka terperanjat.
Nampaknya ringkikan itu menandakan kegelisahan. Dan hal ini menjadi pertanda
kalau ada sesuatu yang membuat binatang-binatang itu ketakutan.
"Sarka...!" Sangga Juwana menolehkan kepala ke arah Sarka. "Kau berangkat lebih
dulu. Lihat apa yang terjadi! Kalau tidak ada sesuatu, tak mungkin kuda-kuda itu
akan demikian gelisah."
"Baik, Kang!" sahut Sarka cepat sambil berlari meninggalkan Sangga Juwana dan
Lantar."Hieeeh...!"
Kali ini ringkikan itu terdengar lebih keras dari sebelumnya. Bahkan bukan hanya
itu saja. Berbarengan dengan terdengarnya ringkikan itu, terdengar pula derap
kaki kuda yang bertubi-tubi menghantam bumi. Menilik dari suaranya, jelas tidak
hanya seekor kuda saja yang tengah berlari, tapi beberapa ekor!
Sangga Juwana dan Lantar saling berpandangan.
"Sepertinya, kuda-kuda itu kabur, Kang," kata Lantar, pelan
"Sepertinya memang begitu," sambut Sangga Juwana setelah mengernyitkan kening
sejenak. "Apa saja sih, kerjanya yang lain" Mengapa tidak berusaha menenangkan
kuda-kuda itu?"
Ada nada kejengkelan dalam pembicaraan laki-laki berkumis tebal. Hal ini wajar
saja, bila mengingat bahwa Sangga Juwana telah ditimpa masalah yang bertubi-tubi
dalam waktu sebentar saja. Persoalan yang satu belum tuntas, muncul persoalan
lainnya. Siapa yang tidak menjadi jengkel"
Belum juga Lantar sempat mengatakan sesuatu sebagai sambutan atas kata-kata
Sangga Juwana, terdengar siulan nyaring. Bunyinya mengingatkan orang akan suara
burung perkutut.
"Tanda bahaya dari Guntar," desis Sangga Juwarna, setelah saling berpandangan
sejenak dengan Lantar.
Laki-laki bertubuh kekar berotot itu menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, kita harus cepat, Kang," ajak Lantar. "Kalau tidak ada bahaya
yang terlalu besar, Guntar tak akan mengirimkan tanda seperti itu."
"Kau benar, Lantar."
Kini kedua orang tokoh penting dari Perguruan Harimau Terbang ini segera berlari
cepat. Perasaan gelisah akan keselamatan rekan-rekan mereka, membuat Lantar
mampu berlari cepat. Rasa sakit yang mendera tangannya sama sekali tidak
diingatnya lagi.
Berkat ilmu meringahkan tubuh yang sudah mencapai tingkat lumayan, tambahan lagi
jarak tempat peristirahatan itu memang tidak terlalu jauh, sekejapan saja Lantar
dan Sangga Juwana telah bisa melihat bahaya yang tengah mengancam rombongan
mereka. Di depan sana, tampak Guntar dan yang lain tengah berdiri di depan kereta,
dengan pedang terhunus di tangan masing-masing. Tapi, sebenarnya bukan hal itu
yang menarik perhatian Sangga Juwana dan Lantar, melainkan apa yang ada di
sekeliling rekan-rekan mereka. Sekerika baru disadari, mengapa kuda-kuda mereka
kabur. Betapa tidak" Di sekeliling rombongan Perguruan Harimau Terbang tampak puluhan,
bahkan mungkin ratusan ekor ular dari berbagai jenis. Maka berdiri bulu tengkuk
Sangga Juwana dan Lantar melihat pemandangan yang disaksikan.
Untuk sesaat lamanya Sangga Juwana dan Lantar terpaku dengan sepasang mata
terbelalak lebar. Saat itu pula, pertanyaan bergayut di benak mereka. Dari mana
munculnya ular sebanyak itu"
Tapi ketika tampak sosok yang tengah berdiri di hadapan rombongan Perguruan
Harimau Terbang, seketika kedua orang ini baru mengerti. Memang, mereka telah
banyak mendengar tentang sosok tubuh itu.
Sosok tubuh itu adalah seorang kakek kecil kurus, namun bermata picak.
Pakaiannya hanya berupa sebuah rompi dan celana sebatas lutut, terbuat dari
kulit ular. Di tangannya tampak tergenggam sebuah suling yang telah ditiupnya.
Baik Sangga Juwana maupun Lantar tahu, alunan tiupan suling itulah yang telah
mendatangkan ratusan ekor binatang melata yang menjijikkan itu.
Sosok tubuh itu dikenal Sangga Juwana dan Lantar sebagai tokoh sesat aliran
hitam. Bahkan bukan hanya sekadar tokoh, melainkan seorang datuk gotongan hitam. Dia
adalah satu di antara tiga datuk yang merajai dunia persilatan. Julukannya Raja
Ular Beracun, dan dia adalah datuk sesat yang merajai daratan.
Raja Ular Beracun menolehkan kepala ke arah Sangga Juwana dan Lantar tanpa
menghentikan tiupan sulingnya yang bernada aneh di telinga. Memang, nada aneh
inilah yang menyebabkan datangnya ular-ular yang ada di hutan itu.
Sangga Juwana dan Lantar menoleh ketika mendengar suara berkerosakan di
belakang mereka. Maka seketika keduanya terperanjat saat melihat banyak sekali
ular yang tengah merayap ke arah Raja Ular Beracun.
Srattt..! Khawatir akan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan, Sangga Juwana segera
mencabut pedangnya. Dia bersiap-siap untuk melindungi dirinya dan Lantar,
apabila binatang-binatang melata yang menjijikkan itu menyerang.
Tapi kekhawatiran Sangga Juwana sama sekali tidak beralasan. Binatang-binatang
itu sama sekali tidak mempedulikan keberadaan mereka. Ular-ular itu terus saja
merayap melewati Sangga Juwana dan Lantar. Bahkan beberapa di antaranya ada yang
melewati sela-sela kaki dua orang tokoh penting Perguruan Harimau Terbang itu.
Tampak jelas kalau ular-ular itu ingin segera tiba di tempat asal suara suling
itu. "He he he...!"
Raja Ular Beracun tertawa terkekeh melihat ratusan ular telah berada di sekitar
tempat itu. Baru kemudian, tiupan sulingnya dihentikan.
Berbeda dengan Raja Ular Beracun yang merasa gembira bukan kepalang melihat
banyaknya ular telah berkumpul, rombongan Perguruan Harimau Terbang merasa
ngeri. Mereka tak berani membayangkan apabila binatang-binatang melata yang menjijikkan
itu menyerang. Sangga Juwana dan Lantar yang berada di luar kurungan ular-ular itu saja sudah
merasa ngeri. Apalagi Guntar dan kawan-kawannya yang berada dalam kepungan ular,
bersama-sama Raja Ular Beracun.
"He he he...!"
Untuk yang kedua kalinya, Raja Ular Beracun kembali tertawa terkekeh, Kemudian
pandangannya beralih ke arah Sangga Juwana dan Lantar.
"Sebentar lagi, kalian berdua akan melihat sebuah pertunjukan menarik," kata
Raja Ular Beracun.
Sangga Juwana dan Lantar saling berpandangan. Meskipun Raja Ular Beracun belum
menjelaskan, mereka berdua sudah mengerti. Pertunjukan menarik itu pasti
serangan ratusan ular pada rombongan Perguruan Harimau Terbang!
Tentu saja hal itu membuat Sangga Juwana dan Lantar merasa khawatir bukan
kepalang. Kalau Raja Ular Beracun benar-benar akan memerintahkan binatang-
binatang peliaraannya agar menyerang Guntar dan rekan-rekan Perguruan Harimau
Terbang lainnya, jelas mereka tidak akan bisa membantu. Karena, tempat rombongan
Perguruan Harimau Terbang itu terkurung ratusan ekor ular. Jadi, bagaimana
mereka bisa menerobos"
"Kalau tidak salah lihat, kau adalah Raja Ular Beracun," kata Sangga Juwana
mencoba mengulur-ulur waktu.
Sambil berkata demikian, laki-laki berkumis tebal ini memutar otaknya, mencari
jalan untuk menyelamatkan nyawa rekan-rekannya.
"He he he...! Matamu awas juga, Monyet Kecil," sambut Raja Ular Beracun
seenaknya. "Guruku sering menceritakan tentang dirimu. Kata beliau, kau adalah seorang
datuk sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi. Di samping itu, kau pun
memiliki ilmu yang dapat memerintahkan ular."
"Hanya itu yang diceritakan gurumu?" tanya Raja Ular Beracun setengah tidak
percaya."Ya," sahut Sangga Juwana sambil menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, pengetahuan gurumu tentang diriku tidak seberapa banyak,"
terdengar agak kesal nada suara Raja Ular Beracun.
"Apa yang tidak diketahuinya. Raja Ular?" tanya Sangga Juwana, berpura-pura
tertarik. Dan sewaktu mengajukan pertanyaan itu, benaknya terus berputar untuk
mencari jalan agar dapat menyelamatkan rekan-rekannya.
"Keahlianku mengenai racun," jelas kakek berompi ular ini. "Bukankah kawanmu itu
telah merasakannya. Bagaimana, Kecoa Buntung" Hebat tidak racun yang kusebarkan
dalam mata air itu?"
Raja Ular Beracun menatap Lantar.
Gigi Lantar kontan bergemeletuk, menahan geram bukan kepalang. Dia memang sudah
menyangka kalau ada orang yang telah mencampurkan racun tidak berwarna dan tidak
berbau dalam air itu. Tapi sungguh di luar dugaan kalau justru akan mendengar
pengakuan dari mulut si pelaku sendiri.
"Ah...!" Sangga Juwana mendesah kaget. Kini Sangga Juwana tidak merasa heran
lagi, mengapa ada orang yang bisa menaruh racun dalam mata air itu tanpa
diketahui. Lagi pula, dari mana Raja Ular Beracun itu tahu kalau Lantar akan
menuju ke mata air" Hanya ada sebuah kesimpulan yang berhasil didapat Raja Ular
Beracun mengikuti semua gerak-gerik mereka dari jarak dekat. Dan menilik dari
ketidaktahuan mereka, bisa diperkirakan kelihaian penguntit itu.
Sebenarnya, Sangga Juwana pun merasa marah bukan kepalang berhadapan dengan
orang yang telah membuat buntung kedua tangan rekannya. Tapi, perasaan itu
terpaksa ditelannya dulu demi keselamatan rekan-rekannya. Maka buru-buru
pergelangan tangan Lantar disentuhnya untuk menenangkan hati laki-laki kekar
berotot itu. Untungnya, Lantar bisa ditenangkan.
"Aku hanya merasa heran, mengapa orang yang memiliki kepandaian sepertimu,
sampai hati mencegat rombongan kami" Apabila sampai didengar orang-orang
persilatan, apakah kau tidak malu?"
Merah selebar wajah Raja Ular Beracun ketika Sangga Juwana menghentikan
pertanyaannya. Jelas, pertanyaan itu mengenai sasaran.
"Kalau saja tidak suatu hal yang lebih penting, jangan harap keroco-keroco dari
Perguruan Harimau Terbang lolos dari tanganku," jawab Raja Ular Beracun mencari
alasan. "Katakan, apa yang dapat kami lakukan?" tawar Sangga Juwana.
Laki-laki berkumis tebal ini bukan orang bodoh. Dia tahu, keadaan Raja Ular
Beracun berada di atas angin. Kalau dituruti perasaan hati, maka yang rugi
adalah pihaknya sendiri.
"Kalau permintaanku dituruti, kalian semua tidak akan kusakiti atau kubunuh."
Raja Ular Beracun memutuskan demikian karena termakan pujian yang dikeluarkan
Sangga Juwana. "Tidak berat," lanjut Raja Ular Beracun kalem. "Serahkan barang yang hendak
kalian antarkan, maka kalian semua akan selamat."
"Hehhh..."!" Sangga Juwana tersentak kaget. "Tidak salahkah pendengaranku"
Apakah kini Raja Ular Beracun yang menjadi datuk persilatan aliran hitam bagian
daratan telah menjadi seorang perampok barang kiriman?"
Kata-kata itu diucapkan Sangga Juwana untuk menolak permintaan Raja Ular
Beracun. Paling tidak, agar tokoh hitam itu malu hati.
"Tutup mulutmu!" sentak Raja Ular Beracun, keras.
"Bagaimana kalau peristiwa ini didengar orang-orang persilatan, Raja Ular?"
sambung Sangga Juwana lagi tanpa mengenal takut "Mau ditaruh di mana mukamu?"
Raja Ular Beracun tersentak kaget. Diam-diam hatinya memaki kecerobohan rencana
sebelumnya. Dan pikirannya baru terbuka ketika Sangga Juwana mengucapkannya.
Namun, hanya sesaat saja kakek bermata picak ini kebingungan. Karena, sekarang
wajahnya telah kembali cerah seperti semula. Bahkan sebuah senyum keji
tersungging di bibirnya.
"Kalau begitu, apa boleh buat," kata Raja Ular Beracun. "Kalian berdua pun akan
mendapat giliran setelah semua rekan kalian kubereskan."
Sangga Juwana dan Lantar saling berpandangan. Tampak ada sorot keheranan yang
amat sangat dalam pandangan mata mereka. Memang kedua orang ini merasa heran
bukan kepalang, karena seorang seperti Raja Ular Beracun berminat pula dengan
barang yang akan dikirimkan! Sebenarnya, barang apakah yang dikawal ini,
sehingga seorang tokoh sakti seperti Raja Ular Beracun ingin pula merebutnya"
"Sebenarnya tanpa binatang-binatang ini pun sangat mudah bagiku untuk membunuh
kalian semua," kata Raja Ular Beracun, pongah. "Tapi saat ini, aku ingin sebuah
pertunjukan menarik untuk menyegarkan otakku. Maka, dengan terpaksa hal ini
kulakukan."
Usai berkata demikian, datuk sesat yang merajai daratan ini menghentakkan tangan
kanannya ke arah sebatang pohon besar yang berjarak tak kurang dari delapan
tombak. Wusss! Brakkk...!
Hembusan angin keras seketika keluar dari tangan yang dihentakkan, dan langsung
menghantam sebatang pohon besar hingga tumbang. Suara gemuruh terdengar
mengiringi robohnya pohon itu.


Dewa Arak 35 Kemelut Rimba Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sangga Juwana, Lantar, Guntar, dan semua orang yang berada dalam rombongan
Perguruan Harimau Terbang memandang dengan sepasang mata terbelalak. Kalau
sebatang pohon yang berbatang besar dan terlihat kuat itu saja hancur
berantakan, apalagi tubuh mereka"
"Hak hak hak...!"
Suara tawa keras mirip burung gagak terdengar menyambut, seiring robohnya pohon
besar itu. Ada nada meremehkan dan mengejek dalam suara tawa tadi.
"Tak kusangka, Raja Ular Beracun sekarang telah memiliki jiwa seperti anak
kecil. Suka me-memamerkan kemampuan yang tak seberapa," sambung si pemilik tawa.
Seperti juga suara tawa tadi, nada ucapan pemilik tawa itu pun terdengar parau
dan serak seperti suara burung gagak.
Bukan hanya Raja Ular Beracun saja yang menoleh ke arah teguran itu, tapi juga
seluruh rombongan Perguruan Harimau Terbang. Termasuk di antaranya, Sangga
Juwana dan Lantar.
Tampak oleh mereka seorang kakek bertubuh kurus, namun tinggi sekali. Mungkin
tingginya tak akan kurang dari satu setengah kali manusia biasa. Sedangkan
kepalanya kecil, sepasang matanya sipit. Kumis dan jenggot yang pendek-pendek
tapi kasar, tampak menghias wajahnya.
Yang lebih menggelikan hati, seluruh tubuh laki-laki tua itu tertutup pakaian
hingga ke jari-jari tangannya. Warna pakaiannya yang berwarna merah menyala
semakin menampakkan kepucatan wajahnya.
Alis Sangga Juwana dan rombongan Perguruan Harimau Terbang mengerut, mencoba
mengingat-ingat tokoh yang memiliki ciri-ciri seperti ini. Tapi, tetap saja
mereka tidak mengetahuinya.
Tapi kebingungan rombongan Perguruan Harimau Terbang, tidak melanda Raja Ular
Beracun. Karena, nyatanya dia sudah mengenal kakek itu.
"Garuda Laut Timur," desis Raja Ular Beracun menyebut julukan kakek berpakaian
merah menyala itu.
"Hak hak hak...!"
Kakek tinggi kurus yang ternyata berjuluk Garu da Laut Timur itu tertawa
berkakakan. Sebuah tawa yang membuat telinga terasa sakit
"Sungguh tidak kusangka, kau akan pergi meninggalkan kandangmu," kata Raja Ular
Beracun lagi. "Tentu ada hal penting, sehingga mendorongmu merantau kemari."
"Tidak usah berpura-pura bodoh, Raja Ular Beracun!" sergah Garuda Laut Timur,
keras. "Urusan yang membuatku keluar dari istanaku, tidak berbeda denganmu!"
Sangga Juwana, Lantar, dan Guntar yang mendengarkan percakapan itu menjadi
terkejut bukan kepalang. Dua buah keterkejutan kini melanda hati mereka.
Pertama, ketika mengetahui kakek berpakaian merah menyala itu berjuluk Garuda
Laut Timur. Sementara kedua ketika mendengar kalau kedatangan tokoh itu
bermaksud sama dengan Raja Ular Beracun! Apa lagi kalau bukan merampas barang
kiriman" Sangga Juwana, Lantar, dan Guntar saling berpandangan satu sama lain. Sebuah
pertanyaan seketika bergayut dalam benak mereka. Barang apakah yang tengah
mereka kawal sehingga tokoh seperti Garuda Laut Timur dan Raja Ular Beracun pun
berkeinginan untuk memilikinya"
Memang meskipun tidak mengenal, julukan Garuda Laut Timur pernah didengar para
pemimpin rombongan Perguruan Harimau Terbang ini. Seperti juga Raja Ular
Beracun, Garuda Laut Timur adalah seorang datuk golongan hitam. Hanya saja,
kakek tinggi kurus itu merajai seluruh lautan. Dan tempat tinggalnya memang di
Laut Timur. Untuk pertama kalinya barang kiriman yang dibawa Perguruan Harimau Terbang
diinginkan dua orang datuk persilatan aliran hitam. Jangankan menyangka, dalam
mimpi pun Sangga Juwana tidak pernah terlintas akan terjadi hal seperti ini.
Tapi tokoh-tokoh penting Perguruan Harimau Terbang ini tidak bisa berlama-lama
tenggelam dalam alun pikirannya. Karena, perdebatan antara kedua tokoh
persilatan aliran hitam itu sudah mulai memanas. Maka mereka pun mengalihkan
perhatian ke arah perdebatan itu kembali.
*** "Kau benar-benar keterlaluan, Garuda Laut Timur," kata Raja Ular Beracun, mulai
meninggi nada suaranya. "Kau ternyata telah berani melanggar wilayah
kekuasaanku."
"Hak hak hak...!" Garuda Laut Timur melepas sebuah tawa parau. "Masalah barang
kiriman itu membuatku harus melupakan wilayah kekuasaanmu, Raja Ular Beracun!"
"Ini artinya kau mengajukan sebuah tantangan terbuka kepadaku, Garuda Laut
Timur!" tandas Raja Ular Beracun
"Terserah bagaimana anggapanmu, Raja Ular!" sahut Garuda Laut Timur, tak kalah
gertak. "Demi benda itu, apa pun akan kulakukan!"
Raja Ular Beracun menggertakkan gigi. Tampak jelas kalau datuk penguasa daratan
ini tengah dilanda amarah menggelegak.
"Kini aku mengerti, mengapa banyak kujumpai beberapa mayat, di sekitar tempat
ini. Padahal aku tahu, mereka tokoh yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Beberapa
di antara mereka adalah tokoh aiiran putih dan hitam yang cukup ternama. Semula
aku bingung, siapa pembunuh mereka" Dan rasanya, tak mungkin kalau rombongan
kecoa dari Perguruan Harimau Terbang yang membunuh mereka. Karena aku tahu,
mereka tidak akan mampu melakukan hal itu," kata Raja Ular Beracun pelan,
seperti bicara pada diri sendiri.
"Hak hak hak...! Syukur kalau kau telah mengetahuinya, Raja Ular! Aku benar-
benar tidak menyangka, demikian banyak orang yang menginginkan benda itu. Tidak
hanya dari golongan kita, tapi juga dari golongan putih. Daripada merepotkan
nantinya, kukirim saja mereka semuanya ke neraka!"
"Sebenarnya aku ingin segera menerjangmu, Garuda Laut Timur! Tapi sayang
sekali..., aku sudah lama tidak menonton pertunjukan menarik. Jadi, kau akan
kuurus belakangan.
Aku akan mengurus kecoa-kecoa Perguruan Harimau Terbang dulu!"
Usai berkata demikian. Raja Ular Beracun segera menempelkan ujung suling ke
mulutnya, dan mulai meniup. Tapi nada kali ini berbeda dengan sebelumnya.
Luar biasa pengaruh tiupan suling itu. Ratusan ular dari berbagai jenis yang
sejak tadi diam saja seperti menunggu perintah, langsung bergerak cepat ke arah
rombongan Guntar dan rekan-rekannya.
"Sss...!"
Suara mendesis dari ratusan ekor ular segera meramaikan suasana di tempat itu.
Dan berbareng keluarnya desisan, binatang-binatang itu merayap ke arah sasaran.
"Ha ha ha...! Sebentar lagi aku akan menyaksikan sebuah pertunjukan yang sangat
menarik!" kata Raja Ular Beracun gembira, di sela-sela tiupan sulingnya.
*** Sangga Juwana dan Lantar saja yang tidak diserang menjadi terkesiap hatinya.
Apalagi Guntar dan rekan-rekannya yang diserang. Bulu kuduk mereka berdiri
melihat sekian banyaknya ular telah menyergap ke arah mereka.
Meskipun demikian, sebagai pengawal-pengawal barang yang sudah terbiasa
berhadapan dengan maut, mereka tidak menjadi gugup. Rombongan Perguruan Harimau
Terbang ini pun bersiap mengadakan perlawanan
Guntar dan rekan-rekannya tidak sudi menunggu hingga gerombolan binatang melata
itu mendekat. Karena bila hal itu terjadi, kecelakaanlah yang akan diterima.
Jumlah binatang itu terlalu banyak. Dan dalam waktu yang sama, mungkin bisa
puluhan ular yang melancarkan patukan. Lalu, bagaimana mungkin mereka bisa
menghalau serangan sebanyak itu"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Guntar dan rekan-rekannya segera mengeluarkan
senjata rahasia yang berupa pisau-pisau terbang, mata anak panah, dan juga
jarum-jarum. "Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, rombongan Perguruan Harimau Terbang melontarkan
senjata-senjata rahasia ke arah kumpulan ular yang tengah merayap ke arah
mereka. Singgg, siuttt, wuttt...!
Riuh suara senjata-senjata rahasia yang meluncur, menyaingi suara desis yang
keluar dari mulut ular-ular itu.
Tasss, cappp, cappp...!
Belasan ekor ular langsung menggelepar sesaat, dan tidak bergerak lagi untuk
selamanya ketika tersambar senjata-senjata rahasia yang dilemparkan anggota
Perguruan Harimau Terbang. Sebagian tewas dengan kepala terpisah dari badan, dan
sebagian lagi mati tertembus jarum atau mata anak panah.
Tidak hanya sekali saja hal itu dilakukan rombongan Perguruan Harimau Terbang.
Mereka terus saja melontarkan senjata-senjata rahasia ke sasaran. Dan seperti
juga yang pertama, usaha mereka selanjutnya tampaknya membuahkan hasil.
Tapi sisa ular-ular lainnya terus saja merangsek maju. Matinya puluhan ular itu
seakan-akan tidak mengurangi jumlahnya. Padahal, dari belakang pun Sangga Juwana
membantu mengurangi jumlah binatang melata itu dengan lemparan-lemparan senjata
rahasianya hingga habis.
Malah Lantar pun tidak ketinggalan pula. Meskipun kedua tangannya tidak bisa
digunakan lagi, namun laki-laki bertubuh kekar berotot ini tidak kehilangan
akal. Dengan kakinya, dikirimkannya bantuan untuk rekan-rekannya. Secara
bergantian, kedua kakinya menendangi batu-batu kecil yang ada di situ.
Tentu saja Lantar tidak sembarangan menendangi batu-batu itu. Dengan kepandaiannya yang cukup tinggi, Lantar mampu menendangi batu-batu dengan
sebagai sasaran adalah kepala ular-ular yang tengah mengancam rekan-rekannya.
Tak, tak, tak...!
Berkali kali batu-batu yang ditendangi Lantar menghancurkan kepala ular-ular
yang tengah merayap itu.
Tapi seperti juga Sangga Juwana, tak lama kemudian Lantar pun kehabisan batu-
batu. Tanpa mempedulikan keselamatan dirinya, pemuda kekar berotot ini melesat
ke arah kumpulan ular yang telah dekat sekali dengan rombongan Perguruan Harimau
Terbang yang dipimpin Guntar. Padahal, Guntar dan rekan-rekannya telah bergerak
mundur dan merapat dengan kereta.
"Lantar...!"
Sangga Juwana terpekik kaget ketika melihat tindakan yang diambil laki-laki
kekar berotot itu. Memang, tindakan yang diambil Lantar sama saja bunuh diri.
Jelas, dia menghadapi gerombolan ular itu hanya dengan kakinya. Dan itu berarti,
kemungkinan terpatuk ular sangat besar. Maka, tanpa ragu-ragu Sangga Juwana pun
melesat menyusul Lantar, menerobos gerombolan ular.
Bertepatan dengan masuknya Lantar ke dalam gerombolan ular yang paling belakang,
rombongan ular yang di depan telah berada dalam jarak patuk terhadap Guntar dan
rekan-rekannya.
Saat itu pula, Sangga Juwana tiba di samping Lantar. Mereka berdua pun mengamuk.
Lantar menggunakan sepasang kakinya untuk membasmi gerombolan binatang melata
itu. Dan tentu saja hal ini cukup menyulitkan, karena berarti Lantar harus
mengarahkan serangannya ke kepala ular.
Namun tidak demikian halnya dengan Sangga Juwana atau rombongan Perguruan
Harimau Terbang lainnya. Mereka bebas mengayunkan senjata ke berbagai bagian
tubuh ular. Dan pertarungan mengerikan antara manusia menghadapi gerombolan ular pun
berlangsung. Dan pada akhirnya, Lantar memang menjadi korban pertama. Keadaan tubuhnya yang
memang kurang menguntungkan, menjadi penyebabnya. Beberapa ekor ular langsung
mematuknya tanpa mampu dielakkan.
Tuk, tuk, tuk...!
"Aaakh...!" pekik Lantar, menahan sakit.
Di saat Lantar jatuh ambruk di tanah, puluhan ekor ular segera mengerubutinya.
Hanya dalam sekejap, tubuh laki-laki kekar berotot ini sudah tidak terliat lagi,
tertutup kerumunan binatang melata itu!
"Lantar...!" Jerit Sangga Juwana kaget ketika melihat nasib yang menimpa
rekannya itu. Kalau saja menuruti hati, ingin rasanya Sangga Juwana berlari ke sana. Namun apa
daya" Dia juga tengah terkurung puluhan ekor ular. Jangankan untuk menuju ke
tempat robohnya Lantar, untuk melindungi diri sendiri dari keroyokan ular itu
saja sudah kewalahan.
Guntar pun tahu nasib mengenaskan yang menimpa Lantar. Dan itu membuatnya geram
bukan kepalang. Maka kegeramannya itu dilampiaskan pada binatang-binatang yang
tengah mengeroyoknya. Pedang di tangannya langsung berkelebat cepat membabati
tubuh-tubuh ular yang mengurungnya.
Darah langsung muncrat-muncrat setiap kali pedang Guntar berkelebat. Entah sudah
berapa puluh ekor ular yang tewas terbabat pedangnya. Sehingga, senjatanya pun
hampir tidak kelihatan lagi karena dipenuhi darah ular. Bahkan sampai hampir ke
gagangnya! Bukan hanya Guntar saja yang telah merobohkan demikian banyak binatang melata,
tapi juga semua anggota Perguruan Harimau Terbang Maka, darah pun membanjiri
seluruh tempat itu. Potongan-potongan tubuh ular berserakan di sana-sini. Bau
anyir darah pun menyebar di sekitar tempat itu.
Sementara itu, gerombolan ular yang tadi menggeluti tubuh Lantar telah bergerak
meninggalkan korbannya. Seketika, berdiri bulu kuduk semua anggota rombongan
Perguruan Harimau Terbang saat melihat keadaan mayat Lantar yang sudah tidak
berbentuk lagi. Yang tampak hanyalah tubuh bengkak membiru, dengan kulit
terkelupas! Benar-benar mengerikan!
Namun perasaan ngeri sama sekali tidak melanda hati Raja Ular Beracun dan Garuda
Laut Timur yang menyaksikan jalannya pertarungan antara manusia melawan
keroyokan ular di depan mereka. Bahkan wajah kedua datuk sesat itu tampak
berseri-seri. "Ha ha ha...!" Raja Ular Beracun tertawa terbahak-bahak. "Baru kali ini tontonan
yang begitu menarik kulihat. Hm..., sebentar lagi akan terpampang yang lebih
menarik." Apa yang diucapkan Raja Ular Beracun ternyata tidak salah. Beberapa saat
kemudian, anggota rombongan Perguruan Harimau Terbang mulai roboh satu persatu.
Dan nasib seperti yang menimpa Lantar pun terjadi pada mereka. Gerombolan ular
mengerubuti tubuh dan mematuki mereka. Sehingga, tubuh mereka menjadi bengkak
membiru dengan kulit terkelupas!
"Aaakh...!"
Setelah enam anggota rombongan Perguruan Harimau Terbang tewas, kali ini giliran
Guntar. Bahkan salah seekor ular telah berhasil mematuk betisnya. Kontan tubuh
Guntar menegang kaku, lalu roboh. Tak pelak lagi, ular-ular lainnya segera
mengerubuti tubuhnya.
Kini tubuh Guntar tak terlihat lagi. Dan sudah bisa dipastikan, ba gaimana
bentuk tubuh Guntar.
Kini hanya tinggal Sangga Juwana seorang yang masih mengamuk. Namun,
gerakannya sudah tidak begitu lincah lagi. Memang tenaga yang dimiiikinya telah
hampir habis terkuras. Sudah dapat dipastikan, nyawa laki-laki berkumis tebal
ini pun akan sirna pula menyusul rekan-rekannya. Mendadak....
"Swiiinggg...!"
Tiba-tiba siulan bernada aneh terdengar. Keras sekali, dan bahkan mampu membuat
telinga Sangga Juwana sakit. Jelas, siulan itu dikeluarkan lewat pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Hebatnya, serangan ular-ular itu terhadap Sangga Juwana kontan terhenti.
Binatang-binatang melata itu bergerak mundur. Jelas, siulan itu mempunyai
pengaruh besar terhadap binatang-binatang melata ini.
Sangga Juwana bukan orang bodoh. Dia tahu, pasti ada orang sakti yang
menolongnya untuk mengusir ular-ular dengan siulan tadi. Maka tanpa membuang-
buang waktu, dia melompat meninggalkan kerumunan ular yang terus bergerak
mundur. Kalau Sangga Juwana saja tahu ada pertolongan terhadap dirinya, apalagi Raja
Ular Beracun dan Garuda Laut Timur.
"Keparat! Siapa yang berani main-main dengan Raja Ular Beracun"!" teriak kakek
kecil kurus ini bernada kemarahan.
Setelah berkata demikian, kembali sulingnya ditiup. Dibunyikannya nada-nada yang
menyuruh ular-ular berbisa itu untuk menyerang Sangga Juwana kembali.
Pengaruh tiupan suling Raja Ular Beracun segera nampak. Gerombolan ular yang
semula bergerak mundur, kembali merayap maju sambil mendesis keras. Memang,
dalam kemarahannya, Raja Ular Beracun telah menciptakan nada-nada yang membuat
ular-ular berbisa itu menjadi amat ganas!
Tapi baru juga beberapa rayapan, suara melengking nyaring tadi kembali


Dewa Arak 35 Kemelut Rimba Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdengar. Untuk kedua kalinya, rayapan gerombolan binatang melata itu kembali terhenti.
Suara desis kegelisahan kembali keluar dari mulut ular-ular yang hendak
menyerang Sangga Juwana.
Meskipun tidak paham dengan nada-nada suling maupun siulan tadi, Garuda Laut
Timur dan Sangga Juwana tahu kalau ada dua belah pihak tengah berusaha
memerintah binatang-binatang melata itu. Yang satu memerintahkan menyerang,
sedangkan yang lain mengusir. Tak heran kalau ular-ular itu menjadi kebingungan.
"Keparat!" bentak Raja Ular Beracun.
Raja Ular Beracun tahu, tidak ada gunanya meneruskan perintah terhadap ular-ular
itu. Maka, tiupan suling yang bernada perintah dihentikannya. Sebaliknya, dia
malah mengeluarkan nada yang menyuruh binatang-binatang itu pergi.
Ular-ular itu pun merayap pergi, dan kini yang tinggal hanyalah ceceran darah
potongan-potongan tubuh ular, dan mayat-mayat rombongan Perguruan Harimau
Terbang. "Kalau benar-benar jantan, tunjukkan dirimu, Pengecut! Jangan hanya berani main
kucing-kucingan seperti anak kecil!" tantang Raja Ular Beracun sambil
mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
Datuk sesat yang merajai daratan ini memang ingin melihat orang yang telah
membuat pasukan ularnya berantakan. Dia marah bukan kepalang, karena hal itu
disaksikan saingannya, Garuda Laut Timur. Bahkan kakek tinggi kurus itu tertawa
terbahak-bahak.
Sudah bisa ditebak maksudnya. Apalagi kalau bukan menertawakan dirinya yang
mendapat sandungan" Masih terdengar jelas, tawa Garuda Laut Timur di sampingnya.
"Hak hak hak...!"
"Aku sudah berada di sini sejak tadi, Raja Ular Beracun," sahut pemilik siulan
itu. Raja Ular Beracun, Garuda Laut Timur, dan Sangga Juwana menoleh ke arah asal
suara: Berbeda dengan sebelumnya, suara kali ini terdengar jelas arahnya.
Memang, siulan tadi tidak jelas berasal dari mana, dan seakan-akan keluar dari
delapan penjuru angin.
Tampak beberapa tombak di hadapan mereka sosok tubuh berpakaian ungu. Dia adalah
seorang pemuda berwajah tampan dan gagah, serta memiliki tubuh tegap dan kekar.
Pemuda itu tengah duduk di sebuah cabang pohon yang agak tinggi.
Raja Ular Beracun, Garuda Laut Timur, dan Sangga Juwana menatap penuh selidik.
Ternyata warna rambut pemuda itu aneh sekali. Rambutnya yang putih keperak-
perakan itu kini tengah berkibaran keras, karena tertiup angin. Sebuah guci arak
di punggungnya, membuat ketiga orang itu mengenal pemilik siulan tadi
"He he he...! Rupanya Dewa Arak!" kata Raja Ular Beracun, terdengar kalem
suaranya. "Pantas saja berani mencampuri urusanku! Berita tentang keusilanmu sudah lama
kudengar. Tapi, baru kali ini kubuktikan sendiri kebenaran beritanya."
"Hak hak hak...! Apa yang kau ucapkan itu sama sekali tidak salah, Raja Ular!
Beberapa pekan yang lalu, dia telah melanggar wilayah kekuasaanku. Gerombolan
bajak laut di bawah pimpinan Tengkorak Mata Satu yang terhitung taklukanku,
telah dihancurkannya.
Sayang sebelum sempat bertemu denganku, dia telah kabur!" sambung Garuda Laut
Timur. (Untuk jelasnya mengenai cerita ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode
'Perjalanan Menantang Maut").
"Belum terlambat untuk menghukumnya sekarang, Garuda Laut Timur," tandas Raja
Ular Beracun "Kau benar, Raja Ular."
Sementara itu, di saat dua orang datuk sesat dunia persilatan itu terlibat dalam
pembicaraan, pemuda berpakaian ungu yang memang Dewa Arak melompat turun dari
cabang pohon yang didudukinya. Kelihatan enak saja Arya saat melompat. Ringan
seperti kapas. Tentu saja semua tindakan Dewa Arak tidak lepas dari pengamatan Raja Ular
Beracun dan Garuda Laut Timur. Memang, kedua datuk sesat ini berbincang-bincang
dengan mata tertuju pada Arya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di tanah. Kemudian
dengan langkah tenang, kakinya terayun ke arah tempat Sangga Juwana berdiri.
Laki-laki berkumis tebal itu tetap memperhatikan semua gerak-gerik Dewa Arak.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak," ucap Sangga Juwana, masih dengan
pandangan penuh kagum pada Arya.
"Lupakanlah, Kisanak," sambung Dewa Arak. "Tolong-menolong sudah menjadi
kewajiban kita bersama. Sayang sekali, kedatanganku agak terlambat. Sehingga,
semua temanmu menjadi korban."
Ada nada penyesalan dalam ucapan pemuda berambut putih keperakan itu. Dan
memang, sebenarnya Arya merasa menyesal atas keterlambatannya. Saat itu, Dewa
Arak memang tengah melalui hutan ini ketika mendengar suara seperti orang
bertarung. Dan ketika dihampirinya, ternyata Sangga Juwana tengah dikeroyok
gerombolan ular.
Dengan pengerahan tenaga dalamnya, Arya menciptakan bunyi-bunyian yang dapat
digunakan untuk menguasai ular. Memang, pemuda berambut putih keperakan ini
mampu membunyikan siulan bernada untuk memanggil dan juga mengusir binatang.
Bahkan bukan hanya ular saja, tapi juga binatang-binatang lain. Ilmu itu
didapatkan ketika telah beberapa kali memasukkan belalang raksasa ke dalam
dirinya. Kali ini, Arya terlihat sendirian. Melati saat ini tidak ikut bersamanya, karena
masih tinggal di Kerajaan Bojong Gading. Gadis itu memang harus ikut membantu
memulihkan keadaan di wilayah Kerajaan Bojong Gading yang hancur berantakan
akibat serbuan Kerajaan Medang (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak
dalam episode "Runtuhnya Sebuah Kerajaan").
5 "Dewa Arak...!" panggil Raja Ular Beracun keras, disertai pengerahan tenaga
dalam penuh. Arya menoleh. Tenang sekali kelihatan sikapnya.
"Kau telah berani mencampuri urusanku, Dewa Arak! Padahal, tidak ada seorang
pun, yang bisa selamat setelah mencampuri urusan Raja Ular Beracun! Bersiaplah
kau, Dewa Arak!"
Arya tersenyum getir.
"Bukan hanya kau saja yang menjadi urusan, Raja Ular!" sambut pemuda berambut
putih keperakan itu. "Aku pun demikian pula! Tindakanmu yang begitu keji telah
membuatku cukup mempunyai alasan untuk membunuhmu!"
Sambil berkata demikian, pemuda berambut putih keperakan ini mengedarkan
pandangan ke arah rombongan Perguruan Harimau Terbang yang telah membengkak dan
membiru, serta kulit terkelupas.
"Orang lain boleh kau robohkan, Dewa Arak. Tapi jangan harap bisa merobohkanku!"
tandas Raja Ular Beracun, bernada jumawa.
"Hm...!"
Hanya gumaman perlahan Dewa Arak yang menyambuti ucapan datuk sesat yang
merajai wilayah daratan itu. Dan rupanya, Raja Ular Beracun sudah tidak sabar
Golok Naga Kembar 2 Pendekar Bloon 5 Memburu Manusia Setan Pedang Dan Kitab Suci 1
^