Pencarian

Lembaran Kulit Naga Pertala 1

Pendekar Mata Keranjang 26 Lembaran Kulit Naga Pertala Bagian 1


LEMBARAN KULIT NAGA PERTALA
Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Lembaran Kulit Naga Pertala
128 hal. https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
SATU UTUSAN Iblis dan Kamaratih tampak terkejut. Sepasang mata mereka mendelik besar
tahu siapa adanya orang yang tiba-tiba menyeruak, dan
kini tegak memandang tak berkedip pada kakek
berpakaian perempuan dan berambut dikepang
dua yang bukan lain adalah Mata Malaikat.
Seperti telah dituturkan, secara tak sengaja
Mata Malaikat menemukan pakaian perempuan
dan rambut hitam dikepang dua di suatu tempat,
yang baru saja digunakan Dewi Penyebar Cinta
untuk menyamar sebagai Setan Pesolek dan berhasil mengelabui Pendekar 108 dengan
membawa lari kipas ungu 108 serta mendapat petunjuk tentang Lembaran Kulit Naga Pertala.
Melihat pakaian perempuan yang dikenakan
Mata Malaikat serta melihat rambutnya yang dikepang dua, Pendekar 108 segera
menduga jika orang yang menyamar bukan lain adalah Mata Malaikat.
"Mendengar keterangan guru, jelas jika kakek ini yang bergelar Mata Malaikat.
Hm.... Tak kusangka sebelumnya jika dia yang menyamar....
Kurang ajar betul. Dia telah dua kali membuatku
celaka! Tapi soal penyamarannya jauh lebih menyakitkan hatiku!" gumam Aji dalam
hati. Dada murid Wong Agung ini makin bergetar keras. Wajahnya merah padam dengan dagu
mengembang. Tanpa pedulikan lagi pada pandangan Utusan Iblis
dan Kamaratih, Aji maju selangkah. Sepasang ma-
tanya menusuk tajam ke arah Mata Malaikat yang
memandang Aji dengan sedikit acuh. Dia maklum
dengan sikap yang ditunjukkan Aji. Dia mengira
Aji telah tahu bahwa dialah yang mengatakan pada
Utusan Iblis jika orang yang bergelar Mata Malaikat adalah Aji (Untuk jelasnya,
silakan baca episode: "Bidadari Penyebar Cinta").
"Orang tua! Lekas kembalikan kipasku!" teriak Aji menahan amarahnya.
Mata Malaikat sedikit kerutkan dahi. Lalu
sepasang matanya dipentangkan dengan tubuh
sedikit dicondongkan ke depan, seolah ingin lebih
jelas mendengar ucapan orang. Sepasang matanya
jadi terlihat semakin mengerikan, karena yang sebelah kanan seperti hendak
melompat keluar. Sementara yang kiri, tetap tak berubah, berupa garis
memanjang! "Sialan betul! Telingaku yang kurang benar
atau bocah ini yang salah buka mulut?" desis Mata
Malaikat dalam hati setelah tadi menyimak ucapan
Aji. Untuk beberapa saat orang tua ini terdiam
dengan mata terpentang.
Di samping mereka berdua, Utusan iblis
dan Kamaratih tampak hanya diam memperhatikan. Namun diam-diam Utusan Iblis
berkata dalam hati. "Hm.... Sandiwara apa lagi yang dimainkan kedua keparat ini"
Untuk menolong perempuan sundal itu mampus di tanganku" Rupanya
mereka berdua selalu mengikuti ke mana aku pergi. Kali ini keduanya tak akan
kubiarkan lolos! Perempuan sundal itu pun harus mampus! Bagaimanapun juga,
ketiga orang ini bisa menjadi batu
penghalang...."
Kalau Utusan Iblis membatin demikian, tidak begitu yang ada di benak Kamaratih.
Perempuan setengah baya berambut kepang ini menangkap ada yang tidak beres di
antara Mata Malaikat
dan Aji. Hal itu dia tangkap dari perubahan pada
wajah Mata Malaikat yang telah dikenalnya. Justru
dia menduga jika Ratu Hitam-lah yang membawa
lari kipasnya Aji. Namun dia juga tak berani memastikan Mata Malaikat tidak
membawa lari kipas
itu. Dia sadar, siapa pun orang rimba persilatan
pasti menginginkan kipas pusaka itu meski hanya
tersimpan dalam hati. Memikir sampai di situ dia
menunggu apa yang akan terjadi antara Mata Malaikat dan Aji walau dia tetap
waspada pada Utusan Iblis.
Melihat teriakannya hanya disambut dengan pentangan mata, murid Wong Agung jadi
naik pitam. "Tua bangka! Rupanya kau memaksaku untuk mengambil kipas itu dari tubuhmu yang
sudah jadi bangkai busuk!"
Meski perubahan makin tampak di wajah
Mata Malaikat namun orang tua ini masih coba
tak perdengarkan suara. Membuat Aji tak dapat
membendung lagi marahnya.
"Setan!" dengus Pendekar 108, geram. "Bersiaplah untuk menerima kematianmu,
Orang Tua!"
"Tunggu!" tahan Mata Malaikat. "Anak muda! Terus terang, aku tak mengerti dengan
maksud kata-katamu! Coba Jelaskan!"
'Kau masih juga berpura-pura!"
Mata Malaikat pejamkan matanya, lalu dibuka kembali. Sekejap kemudian yang
terdengar adalah suara tawanya mengekeh panjang, hingga
kepala dan badannya ikut berguncang-guncang.
"Anak muda, pantang bagiku bersikap purapura! Jika kau masih menganggapku
sebagai sahabat, jelaskan persoalan! Jangan menabur garam
di air laut!"
Pendekar 108 menyeringai dingin. "Semuanya sudah jelas. Apalagi yang akan
kujelaskan! Serahkan kipas itu atau.... "
"Anak muda!" potong Mata Malaikat. "Dengar baik-baik! Kau tak mau jelaskan
tuduhanmu! Mungkin saja mengada-ada. Atau, hem.... Kau ingin aku segera tinggalkan tempat
ini karena kau tertarik dengan temanku yang cantik itu"!" kata
Mata Malaikat seraya arahkan kepalanya ke arah
Kamaratih. Kamaratih sunggingkan senyum. "Tua
bangka jelek! Diajak sungguh-sungguh malah bercanda. Heran. Beberapa saat lalu
dia mengatakan padaku hendak mencari anaknya. Saat itu wajahnya tampak murung. Tapi kali ini
dia seperti tidak
menanggung beban apa-apa! Jangan-jangan ucapannya yang lalu itu hanya bualan
untuk alihkan perhatian setelah dia membawa lari kipas milik
pemuda itu...," kata Kamaratih dalam hati mulai
menaruh curiga.
Di lain pihak, mendengar kata Mata Malaikat, Pendekar Mata Keranjang serentak
tarik kedua tangannya yang telah dikembangkan. Sertamerta kedua tangannya
dihantamkan ke arah Ma-
ta Malaikat. Wuuuttt! Wuuuttt!
Diawali bunyi gemuruh laksana gelombang
mengamuk, dua rangkum angin keras menggebrak
keluar dari telapak tangan Aji dan meluncur ke
arah Mata Malaikat.
"Hai! Kau tampaknya tidak main-main!" seru Mata Malaikat sambil cepat membuat
gerakan jongkok di tempat.
"Aku memang tidak main-main!" teriak Aji
seraya kerahkan kembali tenaga dalamnya untuk
menyusuli pukulan pertamanya. Murid Wong
Agung ini sadar, jika orang tua di hadapannya bukan orang sembarangan.
Dia telah menyaksikan itu waktu terjadi
pertemuan dengan Utusan iblis beberapa waktu lalu. Hingga dia tak berani
bertindak setengahsetengah.
Di seberang, begitu pukulan Aji setengah
tombak lagi menghajar, Mata Malaikat tekankan
kedua bahunya ke bawah.
Wuuut! Tubuh Mata Malaikat melenting ke atas.
Membuat gerakan berputar-putar di udara dengan
kaki ditekuk di depan dada. Hebatnya, tubuh melingkar Mata Malaikat terus
berputar-putar di udara meski pukulan sakti yang dilepas Aji telah
menghajar kerimbunan semak dan membuat tumbuhan itu porak-poranda serta hangus!
Murid Wong Agung nyalang memandang ke
arah sosok Mata Malaikat di udara. Dia memang
sengaja menunggu. Raut wajahnya sudah merah
mengelam. Rahangnya menggegat rapat dengan gigi keluarkan suara gemeletak.
Sosoknya pun terlihat berguncang. Menahan marah dan tenaga dalam yang
dikerahkan. Tiba-tiba Mata Malaikat gerakkan kedua
tangannya. Kejap lain putaran tubuhnya terhenti,
dan kini melayang turun. Dan begitu mendarat,
sepasang matanya terarah pada Kamaratih tanpa
keluarkan sepatah kata.
Kamaratih tahu apa arti pandangan Mata
Malaikat meski si kakek tak keluarkan ucapan. Perempuan setengah baya ini lantas
buka mulut. Namun sebelum ucapannya terdengar, Aji telah
meradang. "Bibi! Jangan campur urusan ini!"
Kamaratih katupkan kembali mulutnya. Lalu berpaling pada Mata Malaikat. Belum
sampai kepala Kamaratih sepenuhnya menghadap Mata
Malaikat, kakek ini telah gerakkan tubuhnya
menggelundung, lalu berhenti dengan bersandar
pada sebatang pohon yang lolos dari hajaran pukulan Aji.
"Sialan! Aku benar-benar tua bangka sial!
Dituduh yang bukan-bukan dan teman pun tak
sudi menolong! Padahal aku tak mimpi buruk...."
Mata Malaikat berkata sendiri.
"Orang tua sepertimu tak pantas mendapat
mimpi, meski hanya mimpi buruk isyarat kematianmu!" teriak Aji. Lalu kembali
dorong tangannya
ke depan. Untuk ke dua kalinya angin keras
menggebrak, dengan disertai bunyi gemuruh seperti gelombang mengamuk!
"Anak muda! Seandainya urusanku telah
selesai, mungkin aku pasrah dengan mati di tanganmu. Namun karena urusanku belum
tuntas, maka aku belum mau mati dulu!" ujar Mata Malaikat. Lalu melenting ke atas
setinggi satu tombak. Tiba-tiba tangannya disentakkan ke depan.
Beeettt! Beeettt!
Sesaat asap tipis keluar dari kibasan tangan
itu, namun sesaat kemudian asap itu mengembang besar dan kejap lain bergerak
cepat naik turun.
Blaaammm! Ledakan dahsyat mengguncang tempat itu.
Utusan Iblis serta Kamaratih cepat kerahkan tenaga dalam masing-masing untuk
mengatasi sapuan
angin deras yang ternyata menggebrak di belakang
asap putih! Kalau Utusan Iblis dan Kamaratih dapat
mengatasi tubuh masing-masing, tidak demikian
halnya dengan Aji. Karena sewaktu terjadi bentrok
pukulan tubuhnya terhuyung-huyung, maka saat
sapuan angin menggebrak ia tak kuasa lagi menahan huyungan tubuhnya.
Hingga sosoknya terseret sampai beberapa
tombak sebelum akhirnya jatuh berlutut dengan
tubuh gemetar! "Hem.... Nampaknya mereka tidak bersandiwara!" desis Utusan Iblis sambil
menyeringai dan
melirik ke belakang, ke arah Aji yang mulai merambat bangkit dengan mulut
meringis dan menggumam tak jelas.
Sebenarnya sedari tadi Utusan Iblis masih
menduga jika antara Pendekar Mata Keranjang
dan Mata Malaikat bermain sandiwara seperti yang
dilakukan keduanya saat pertama kali bertemu.
Namun setelah melihat apa yang terjadi, pemuda
ini berkesimpulan lain. Malah kesimpulannya ini
membuatnya penasaran.
"Mereka berdua dari tadi memperbincangkan soal kipas. Kipas apa..." Hai....
Kalau antar teman sampai saling bunuh untuk memperebutkan kipas, berarti kipas itu sangat
berharga dan bukan mustahil kipas pusaka...." Tiba-tiba
dahi Utusan Iblis mengernyit. Lalu memandang
pada Aji sepintas, kemudian alihkan pandangan
pada Mata Malaikat. Dia memperhatikan si kakek
berlama-lama. "Sialan! Mengapa aku lupa. Janganjangan yang diperebutkan bangsat-
bangsat ini kipas yang kata guru menjadi barang rebutan.... Ah,
pasti kipas itu.... Hem.... Kebetulan sekali. Sekali
berlayar, dua tiga pulau terlewati. Ha ha ha...!"
Di sebelah samping, melihat Aji jatuh berlutut, Kamaratih mulai geram pada Mata
Malaikat. Kecurigaannya makin kuat. Namun perempuan ini
tidak mau bertindak gegabah. Sebagai orang yang
lama berkecimpung dalam rimba persilatan, dia
tahu bahwa tingkat kepandaiannya masih berada
di bawah Mata Malaikat. Tokoh rimba persilatan
yang bisa dikatakan sejajar dengan Mata Malaikat
hanya beberapa orang saja. Di antara mereka adalah tokoh golongan hitam bergelar
Titisan Iblis, guru Utusan Iblis. Lalu Peri Kupu-kupu, dan seorang lagi adalah Raksasa Bermuka
Hijau. Hingga begitu Mata Malaikat melayang turun kembali dan
duduk menyembunyikan kedua kaki dan tangannya, Kamaratih cepat berpaling dan
coba menegur. "Kau telah tua. Apakah kau masih ingin
malang melintang di usiamu yang bau tanah itu"!"


Pendekar Mata Keranjang 26 Lembaran Kulit Naga Pertala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sobatku cantik! Apa maksud ucapanmu"!"
tanya Mata Malaikat seraya pejamkan mata sebentar.
"Berikan kembali kipas itu pada pemiliknya.
Marilah kita yang tua-tua ini tahu diri dan memberi kesempatan pada yang muda
untuk mengganti!"
Mata Malaikat dongakkan kepala. Lalu terdengar tawanya mengekeh panjang.
"Tampaknya kau juga menuduhku. Ah, betul-betul sial nasibku! Padahal, sejak
lahir aku telah memberikan jalan terpentang pada siapa saja
yang hendak malang mujur di rimba persilatan.
Aku tak punya niat untuk mengangkangi dunia gila ini! Telah cukup diri tua
bangka ini merana di
dalamnya!"
"Orang lebih percaya pada tindakan daripada ucapan, Sobatku!" kata Kamaratih
masih coba memperhalus nada suaranya.
"Hem.... Maksudmu"!"
"Kau boleh saja bicara begitu, namun jika
kau membawa lari kipas itu untuk apa jika tidak
untuk mengarungi rimba persilatan"!"
Sepasang mata Mata Malaikat mendelik.
"Kamaratih! Dengar baik-baik! Aku tak membawa
lari kipas! Dan seperti katamu, tindakan lebih dipercaya daripada ucapan!
Sekarang buktikan ucapan tuduhanmu!"
Kamaratih sesaat terdiam. Dia terlihat ragu-
ragu. Malah dia sempat melirik ke arah Aji yang
kini tegak memandang berkilat-kilat pada Mata
Malaikat. "Sebenarnya aku tidak menuduhmu...,"
ucap Kamaratih pada akhirnya. "Tapi kalau si pemilik telah mengatakan bahwa kau
adalah orangnya, apakah perlu lagi sebuah bukti?"
"Hem.... Begitu" Apakah kau telah tahu jika
si pemilik telah membuktikan sendiri atas kebenaran tuduhannya"!" tanya Mata
Malaikat membuat
Kamaratih tergagu.
"Aku akan buktikan!" Mendadak Aji menyela dengan suara keras. Lalu, melangkah ke
depan. Meski langkahnya tegap, namun dia tak dapat menyembunyikan kepucatan wajahnya.
Dan sepintas pandang orang telah dapat menduga jika pemuda
ini telah terluka bagian dalam.
Mata Malaikat berpaling pada Pendekar Mata Keranjang. Meski kakek ini merasa tak
pernah melakukan yang dituduhkan orang, namun mendengar ucapan Aji, mau tak mau membuat
orang tua ini sedikit berdebar.
Enam langkah di depan Mata Malaikat yang
masih duduk, Aji hentikan langkah. Matanya
mendelik besar, bibirnya bergetar sebelum akhirnya dia berkata.
"Orang tua! Penampilanmu sekarang berubah, lain dengan beberapa waktu lalu saat
kita jumpa!" Sejenak Aji hentikan ucapannya. Sementara Mata Malaikat diam-diam
memperhatikan dirinya. Belum sampai berpikir jauh, Aji telah melanjutkan
ucapannya. "Dengar! Kipasku dibawa lari oleh seseorang. Dan aku tahu persis, orang itu
mengenakan pakaian perempuan yang bermodel dan berwarna
seperti yang kau kenakan. Rambutnya panjang,
dikepang dua! Soal suara mudah bagi orang sepertimu untuk merubah! Jelas?"
Mata Malaikat kembali memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Lalu meraba
rambut berkepang dua yang bertengger sampai ke belakang tubuhnya. Dalam hati orang tua
ini memaki habis-habisan. "Setan! Gara-gara pakaian dan rambut ini
aku jadi bulan-bulanan tuduhan orang! Kukira
akan menambah penampilanku ternyata malah
membuatku terperosok!"
"Anak muda! Orang yang mengenakan pakaian seperti ini bukan aku saja. Juga
rambut kepang ini. Bahkan kawanku yang cantik itu pun berambut kepang dua,"
kilah Mata Malaikat seraya
menunjuk Kamaratih. "Jadi bukti tuduhanmu kukira...."
"Orang tua! Justru itulah yang menguatkan
tuduhan! Karena orang yang mengenakan pakaian
seperti itu sekaligus rambut demikian dalam rimba
persilatan hanyalah Setan Pesolek! Dan orang seperti Setan Pesolek tak mungkin
berbuat licik! Kau
telah menyamar seperti Setan Pesolek hingga aku
percaya saja saat kau pinta kipasku!"
"Anak muda! Pakaian ini...."
Lagi-lagi Pendekar 108 telah memotong
ucapan Mata Malaikat sebelum ucapannya selesai.
"Kau tak bisa menipuku, Orang Tua! Kau masih
mengenakan pakaian dan rambut itu. Atau kau
mungkin kesenangan hingga lupa menanggalkannya. Orang berbuat salah memang akan
tetap terlihat!"
Mata Malaikat pejamkan mata sebentar dan
pentangkan lagi. "Anak muda! Pakaian dan rambut
ini kutemukan di suatu tempat...."
Pendekar Mata Keranjang tertawa perlahan
penuh ejekan. "Alasan murahan begitu orang gila
pun akan tertawa mendengarnya!"
Mata Malaikat benar-benar terpojok. Bersilat lidah pun tak mungkin bisa
diterima. Berpikir
sampai ke sana, kakek ini lantas bergerak bangkit.
Sementara Aji siap lepaskan pukulan.
"Anak muda! Jika begini akhirnya, berarti
aku ketambahan tugas lagi! Mencari siapa pemilik
pakaian dan rambut ini untuk membuktikan bahwa ucapanku benar! Soal hilangnya
kipasmu, aku tak mau tahu. Aku hanya akan menyerahkan padamu pemilik pakaian dan rambut ini.
Urusan dia atau bukan yang membawa lari kipasmu itu, sekali
lagi bukan urusanku!"
Habis berkata begitu, Mata Malaikat melangkah perlahan meninggalkan tempat itu.
"Orang tua! Kau kira bisa tinggalkan tempat
ini begitu saja"!" bentak Pendekar Mata Keranjang
lalu hantamkan kedua tangannya, lepaskan pukulan jarak jauh.
Melihat Aji telah lepaskan pukulan, Utusan
Iblis yang sedari tadi secara diam-diam juga telah
kerahkan tenaga dalam segera angkat kedua tangannya.
"Dengan mampusnya setan peot itu, tentunya akan lebih mudah merampas kipas itu!"
desisnya lalu serta-merta dorong kedua tangannya
ke arah Mata Malaikat.
Di samping, demi mendengar keterangan
Aji, dugaan Kamaratih semakin kuat. Dan saat
melihat Mata Malaikat hendak berlalu tanpa terlebih dulu menyerahkan kipas itu,
dada perempuan setengah baya ini bergetar marah. Kedua tangannya ditarik ke belakang dan
sekonyong-konyong
dipukulkan ke arah Mata Malaikat.
Hingga saat itu juga, tempat itu laksana
disapu gelombang amat dahsyat yang seluruhnya
menuju Mata Malaikat. Hawa panas menebar laksana memanggang apa saja di
sekitarnya. Suasana
berubah redup mengandung hawa kematian!
*** DUA MAKLUM hawa kematian menuju ke arahnya, Mata Malaikat gerakkan bahunya setengah
lingkaran. Sepasang mata orang tua ini langsung
terpentang lebar! Namun demikian, meski hanya
sekilas pandang, kakek ini telah tahu jika pukulan
yang kini mengarah padanya itu dilancarkan oleh
tiga orang sekaligus!
"Edan! Bagaimana bisa jadi begini"! Padahal
kedatanganku tadi dengan maksud baik!" gumam
si kakek. Sebenarnya dia masih ingin mengutara-
kan sesuatu. Namun sebelum ucapannya keluar,
serangan ketiga orang telah datang menggebrak!
Dengan menggerendeng panjang pendek,
Mata Malaikat putar melompat ke depan seakan
hendak melarikan diri, membuat Pendekar Mata
Keranjang, Utusan Iblis dan Kamaratih lipat gandakan tenaga dalam masing-masing
dan siap lepaskan pukulan susulan. Tapi sebelum ketiga
orang ini sempat kirimkan pukulan susulan, di
depan sana, Mata Malaikat balikkan tubuh, dan
kebutkan bagian jubahnya, lalu di kejap lain kedua tangannya disentakkan!
Betttt! Wuttt! Yang melesat pertama kali adalah gelombang angin dahsyat yang keluarkan suara
menggidikkan, di kejap lain disusul asap putih yang langsung melesat turun naik,
di belakangnya masih
menderu angin deras!
Gelombang angin yang datang pertama
langsung menyambut pukulan yang dilepas murid
Wong Agung. Terdengar bunyi gemuruh ketika
bentrok. Di saat lain asap putih segera memapak
pukulan Utusan Iblis, lalu angin yang menderu
bentrok dengan pukulan Kamaratih!
Bummm! Bummm! Bummm!
Tempat itu laksana diguncang gempa dahsyat. Tanah langsung berhamburan dan
meninggalkan lobang menganga Lebar. Kerimbunan semak-semak tercerabut dan
bermentalan sebelum
akhirnya hancur berkeping di udara!
Karena Pendekar 108, Utusan Iblis, dan
Kamaratih sedang siapkan pukulan, mereka len-
gah dengan tak kerahkan tenaga untuk membendung arus balik bentroknya pukulan,
hingga saat terjadi bentrok pukulan, sosok ketiga orang ini
mencelat mental ke belakang. Karena Aji sebelumnya telah terluka, dia tidak
dapat segera menguasai tubuh, hingga dia jatuh terkapar. Sepuluh
langkah di sampingnya, Utusan Iblis tampak terduduk dengan muka pucat dan tangan
gemetar. Di sebelah Utusan Iblis, tampak Kamaratih jatuh
dengan tubuh bersitekan pada pinggang kanannya!
Agak jauh di depan, Mata Malaikat tampak
terhuyung-huyung dengan tubuh bagian atasnya
hampir menyusup pasir. Namun sebelum kepalanya tersuruk, orang tua ini cepat
gerakkan kedua tangannya ke depan. Pasir tampak berhamburan dan membentuk
lobang. Serta-merta dengan
gerakan aneh, kakek ini masukkan kepalanya ke
arah lobang di depannya. Begitu kepalanya masuk
lobang, huyungan tubuhnya terhenti. Karena kepalanya masuk lobang, posisi kakek
menungging ke arah tiga orang jauh di belakangnya! Dari sini
bisa terlihat, meski Utusan Iblis adalah murid Titisan Iblis, namun ketinggian
ilmunya masih berada
di bawah Mata Malaikat.
"Setan tua keparat!' desis Utusan Iblis dengan mata tak berkedip memperhatikan
Mata Malaikat yang masih tetap menungging. Pemuda ini
melirik sinis pada Kamaratih. Kamaratih sendiri
saat itu sedang memandang pada Aji. Wajah perempuan ini jelas membayangkan
kekhawatiran pada keadaan murid Wong Agung. Namun berpikir
bahwa merebut kipas untuk dikembalikan pada
pemiliknya lebih penting, Kamaratih segera arahkan kembali pandangannya pada
Mata Malaikat. Meski sepasang mata perempuan ini lurus memandang ke depan, namun diam-diam
dalam hatinya dia berkata.
"Aku belum bisa menebak, kenapa pemuda
sombong ini ikut-ikutan. Jangan-jangan dia menginginkan kipas itu! Hem....
Urusan ini makin bertele-tele.... " Dia melirik pada Utusan Iblis. "Ah, itu
urusan nanti. Kalau dia memang menginginkan
kipas itu apa boleh buat. Aku akan mempertahankan mati-matian!"
Karena ditunggu agak lama, Mata Malaikat
tidak juga bergerak bangkit, Utusan Iblis merasa
dihina dengan sikap si kakek itu. Tanpa berkata
lagi, pemuda ini langsung berkelebat. Kamaratih
tak tinggal diam. Dia pun ikut berkelebat.
Empat tombak dari Mata Malaikat, tiba-tiba
Utusan Iblis dan Kamaratih hantamkan tangan
masing-masing ke arah Mata Malaikat dari udara!
Wuttt! Wuttt! Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua gulungan awan hitam pekat segera melesat keluar dari kedua tangan Utusan
Iblis. Bersamaan dengan itu terdengar laksana petir menyambar bersahut-sahutan
dan keluarkan kilatankilatan! Inilah pukulan sakti milik Titisan Iblis
yang telah diwariskan pada Utusan Iblis, yakni
'Gemuruh Badai'
Pada saat bersamaan dari arah samping
melesat gelombang angin yang bersiut-siut tajam
dari tangan Kamaratih. Siutan itu begitu kerasnya
hingga menyerupai babatan kipas yang hendak
menghajar! Blaaarrr! Blaaarrr!
Terdengar dua kali gelegar keras. Untuk kedua kalinya tempat itu bergetar dengan
keadaan hitam pekat. Utusan Iblis dan Kamaratih sama-sama melayang turun dengan mata sama-sama
dipentangkan ke depan. Mereka ingin lihat apa yang terjadi,
karena Mata Malaikat tidak membuat gerakan untuk balas menyerang atau menangkis
pukulan yang datang. Saat suasana reda, kedua orang ini makin
mendelik, karena sosok Mata Malaikat tak tampak
lagi! Sementara di depan sana banyak lobanglobang menganga akibat pukulan Utusan
Iblis dan Kamaratih. "Aku yakin, setan itu tak melarikan diri! Tapi ke mana lenyapnya" Keparat
betul!" gumam
Utusan Iblis dengan mata tetap nyalang. Di sampingnya Kamaratih tampak putar
kepalanya dengan mata kian kemari. Namun, perempuan ini akhirnya hanya gelengkan
kepalanya saat sepasang
matanya memang tak berhasil menemukan sosok
Mata Malaikat. "Benar-benar luar biasa setan bermata
mengerikan itu! Rasanya aku hampir tak percaya
jika masih mampu lolos!" desis Kamaratih.
Tanpa diketahui oleh Utusan Iblis dan Kamaratih dari salah satu lobang yang
menganga, tubuh Mata Malaikat tampak bergerak-gerak men-
gibaskan hamburan pasir yang menimpa tubuhnya. Sebenarnya, saat kepala Mata


Pendekar Mata Keranjang 26 Lembaran Kulit Naga Pertala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malaikat masuk ke dalam lobang dengan pantat menungging,
orang tua ini secara diam-diam kerahkan tenaga
dalam, hingga pasir di bawah tubuhnya telah berlobang besar. Hingga waktu
pukulan Utusan Iblis
dan Kamaratih datang menggebrak, si kakek cepat
turunkan tubuhnya ke lobang di bawahnya, hingga pukulan kedua orang itu hanya
menghajar dataran pasir di kanan kiri lobang di mana Mata Malaikat berada.
"Sial betul aku ini! Urusan sendiri belum selesai, sekarang ditambah dengan
urusan orang! Dan urusan ini bukan main-main, karena nanti
pasti akan melibatkan beberapa tokoh. Apalagi dia
menyebut-nyebut Setan Pesolek. Ah.... Nasi sudah
telanjur tertelan. Bagaimanapun rasanya, aku harus menerima!" pikir Mata
Malaikat. Orang tua ini
lalu mendongak seraya dekatkan telinga kanannya
ke arah lamping lobang.
"Mereka mendekat...," gumamnya. "Apa
hendak dikata. Terpaksa kulakukan karena jika
tidak, nyawaku sendiri yang akan melayang...."
Dugaan Mata Malaikat memang tidak meleset. Karena di sebelah atas, Utusan Iblis
dan Kamaratih mulai melangkah ke arah beberapa lobang. Tapi, meski kedua orang
ini sama-sama melangkah, tak sepatah kata pun keluar dari mulut
keduanya. Malah keduanya saling lirik dengan
pandangan sinis. Namun mereka berdua sepertinya sudah sepakat untuk melupakan
urusan mereka dan mendahulukan urusan dengan Mata Ma-
laikat meski kesepakatan itu tanpa ucapan. Dan
setelah mereka tidak menemukan sosok Mata Malaikat, keduanya pun seperti punya
dugaan sama yaitu Mata Malaikat berada pada salah satu lobang. Lalu mereka pun melangkah ke
arah beberapa lobang.
Lima langkah lagi keduanya sampai di lobang di mana Mata Malaikat berada, tiba-
tiba dari salah satu lobang melesat sebuah jubah pakaian
perempuan. Tanpa pikir panjang lagi, Utusan iblis dan
Kamaratih sentakkan tangan masing-masing kirimkan pukulan. Karena lesatan
pakaian itu ke arah samping, kedua orang ini arahkan pukulannya ke arah mana pakaian melesat.
Namun baru saja kedua orang ini lepaskan
pukulan, dari lobang di mana pakaian tadi melesat, muncul sosok tubuh Mata
Malaikat! Utusan
Iblis dan Kamaratih terlengak. Mereka berdua segera hendak kirimkan pukulan,
namun keduanya terlambat, karena bersamaan dengan itu, Mata
Malaikat sentakkan tangan ke depan dan ke samping.
Utusan Iblis dan Kamaratih merasakan tubuh masing-masing laksana dihempas badai
dahsyat. Kedua orang ini sama-sama keluarkan seruan tertahan. Sesaat kemudian
sosok keduanya tersapu ke belakang dan jatuh terkapar di tanah.
Pada saat bersamaan, dari arah samping terdengar
ledakan keras tatkala pukulan yang dilancarkan
Utusan Iblis dan Kamaratih ke arah pakaian merah yang mereka sangka sosok Mata
Malaikat ben- trok dengan pukulan Mata Malaikat.
Belum lenyap suara ledakan, dengan meninggalkan suara tawa panjang, Mata
Malaikat melesat meninggalkan tempat itu.
Pendekar Mata Keranjang yang keadaannya
sudah agak baik, cepat berkelebat mengejar. Melihat hal itu, Utusan Iblis segera
hendak hantamkan
kedua tangannya, namun yang hendak dihantam
sudah lenyap. "Setan jahanam!" umpat Utusan Iblis sambil
bangkit dan mengurut dadanya yang berdenyut
nyeri. Tiba-tiba dia teringat pada Kamaratih yang
saat itu sedang bergerak bangkit. Utusan Iblis melirik. Kemarahannya pada Mata
Malaikat yang masih menggelora kini ditumpahkan pada perempuan
setengah baya itu.
Tanpa berkata lagi, dia cepat bangkit. Kedua tangannya diangkat lantas
dihantamkan ke arah Kamaratih yang belum bangkit sepenuhnya.
Meski pukulan itu tidak dengan sepenuh tenaga,
namun karena dialiri tenaga dalam tinggi, pukulan
itu mampu membuat tubuh orang tercabik-cabik.
Di sebelah samping, mendengar deru dahsyat mengarah padanya, Kamaratih
berpaling. Perempuan ini serentak membelalak dengan bibir
mengatup rapat. Dia tak punya kesempatan lagi
untuk membuat gerakan menghindar apalagi menangkis serangan. Hingga perempuan
ini hanya bengong pasrah, karena pukulan lawan sudah setengah tombak di depan hidungnya!
Sejengkal lagi tubuh Kamaratih terhajar
pukulan Utusan Iblis dan saat perempuan ini pa-
srah menerima kematian, mendadak dari arah
samping menderu gelombang hitam membuat suasana selain pekat juga panas.
Pukulan Utusan Iblis tersapu gelombang hitam hingga melenceng ke samping. Di
kejap lain sebuah bayangan berkelebat dan dengan gerak cepat menyambar sosok Kamaratih.
Utusan Iblis menggereng marah. Dan ketika
samar-samar dia
menangkap berkelebatnya bayangan, pemuda ini segera hantamkan kembali
kedua tangannya seraya membentak keras.
Byuuurrr! Tanah di mana tadi Kamaratih berada muncrat ke udara terkena hantaman Utusan
Iblis. Namun, begitu pasir luruh, Utusan Iblis tidak melihat
seorang pun! "Jahanam! Keparat! Setan alas!" Utusan Iblis berteriak memaki-maki. Saking
geramnya, pemuda ini hantamkan kedua tangannya ke arah
pasir sebelum sosoknya berkelebat meninggalkan
tempat itu. Begitu Utusan Iblis pergi, dari kerimbunan
semak-semak berkelebat sesosok bayangan lalu
tegak di tempat mana Kamaratih berada. Sejenak
sosok ini arahkan pandangannya ke sebelah timur,
arah yang diambil oleh sosok yang menyambar tubuh Kamaratih.
"Bangsat jadah! Aku terlambat!" maki si sosok seraya saling pukulkan kepalan
tangannya. "Aku yang menangkis pukulannya, tapi orang lain
yang membawanya lari! Setan alas! Siapa bayangan tadi" Gerakannya begitu cepat
hingga tak da- pat kupastikan laki perempuannya!"
Sosok ini menghela napas panjang. "Kamaratih.... Kau muncul juga di sini. Adakah
kemunculanmu karena lembaran kulit itu" Atau ada sebab lain yang ada hubungannya
dengan masa silam kita" Ah, persetan dengan semua itu! Hem...
Siapa pula pemuda berjubah merah tadi" Tokohtokoh telah banyak bermunculan,
kalau aku tak segera bertindak, orang lain akan mendapatkan
lembaran kulit itu. Hem...."
Sosok ini kembali putar kepalanya berkeliling. Ternyata dia adalah seorang laki-
laki berusia lanjut. Paras wajahnya merah membara. Rambutnya awut-awutan. Tubuhnya yang kekar
terbungkus oleh pakaian yang compang-camping serta
hangus seperti baru saja terbakar. Asap tipis mengepul dari sekujur tubuhnya,
Orang tua ini bukan lain adalah Manusia
Neraka! Untuk beberapa saat Manusia Neraka tegak
diam dengan dahi berkerut. Dia sepertinya sedang
berpikir. Sesaat kemudian dia putar tubuh lalu
berkelebat meninggalkan tempat itu.
*** TIGA PENDEKAR Mata Keranjang harus kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya untuk
mengejar Mata Malaikat. Mula-mula dia masih dapat
menangkap kelebatan orang tua itu. Namun pada
satu tempat, dia kehilangan jejak.
"Tua bangka setan! Kau bisa lolos hari ini.
Tapi, nyawamu di ujung tanduk tanganku!" gumam Aji sendirian. Rahangnya makin
menggembung dan sepasang matanya laksana bara.
"Hem.... Aku harus cepat menuju Bukit Siluman. Bukan mustahil setan tua itu
sedang ke sana juga. Bukankah dia telah mendapatkan kipas
dan petunjuk?" Berpikir sampai di situ, murid
Wong Agung ini segera putar diri, lalu berkelebat
menuju arah sungai.
"Anak muda! Kebimbangan akan membawamu makin jauh terperosok! Cepat ambil
keputusan jika kau tak ingin orang lain mendahului!"
Tiba-tiba terdengar suara orang.
Kedua kaki Pendekar Mata Keranjang laksana dipantek. Gerakannya tertahan
seketika. Tubuhnya cepat diputar setengah lingkaran ke arah
datangnya suara. Sepasang matanya mendelik besar. Dari suara orang, murid Wong
Agung sudah dapat menebak siapa adanya orang yang bersuara.
Mata murid Wong Agung tak berkedip
menghujam lurus ke depan. Lima langkah di hadapannya kini, tampak Mata Malaikat
tegak dengan kepala tengadah.
"Setan!" bentak Aji lalu cepat kerahkan tenaga dalam. Tubuhnya mulai berguncang
dan keringat membasahi wajah dan lehernya, pertanda
dia kerahkan segenap tenaga yang dimiliki.
"Tahan, Anak Muda!" kata Mata Malaikat
masih tanpa memandang. "Tak ada gunanya hal
kecil begini dibuat besar! Tantangan di hadapanmu masih lebih besar dan lebih
penting!" "Mata Malaikat!" teriak Aji. "Kau tak perlu
beri nasihat! Serahkan kipas itu atau serahkan
nyawamu!" Mata Malaikat tertawa pelan. "Syukur kau
telah mengenalku....." kata Mata Malaikat lalu
alihkan pandangannya ke arah Aji setelah luruskan kepalanya. "Sudah kubilang.
Seandainya urusanku telah usai dan tak ketambahan urusan
gilamu, aku sebenarnya memilih mati daripada harus hidup dalam dunia edan
begini!" "Aku tak tanya urusanmu!" sahut Aji garang.
"Betul! Tapi kau harus mengerti. Karena
keinginanmu yang menggebu untuk membunuhku
harus tertunda karena urusanku itu belum usai.
Dan tampaknya keinginanmu masih terulur lagi
karena ketambahan urusanmu denganku! Sungguh aku menyesal, Anak Muda...."
"Kata penyesalan telah terlambat, Orang
Tua! Dan kau harus menerima nasib buruk! Mati
sebelum urusanmu usai!"
"Setiap penyesalan pasti terlambat datangnya! Namun tak ada kata terlambat bagi
orang yang berpikir jernih dan memperbaiki diri. Dan kalau buruk-burukan nasib,
sebenarnya kau lebih
buruk dariku!"
Murid Wong Agung menyeringai. Sementara
Mata Malaikat kembali dongakkan kepala sambil
lanjutkan ucapannya.
"Kalau aku mau, kau sudah tak berdiri te-
gak di situ!"
Aji terdiam mendengar lanjutan kata-kata
Mata Malaikat. Dan dia tampaknya sadar jika ucapan Mata Malaikat benar. Karena
seandainya Mata
Malaikat mau tak sulit bagi orang tua itu untuk
membuat dirinya roboh sebab dia tak tahu kehadiran si kakek di belakangnya.
"Anak muda!" Mata Malaikat terus berkata.
"Aku tak mau melakukan itu karena aku masih
ingin buktikan bahwa ucapanku benar dan tuduhanmu salah alamat!"
"Ucapan orang tua ini ada benarnya. Tapi
apakah alasannya bisa diterima?" batin Aji.
"Anak muda! Aku tak hendak ikut-ikutan
menuduh orang sepertimu. Namun berat dugaan,
orang yang menyamar sebagai Setan Pesolek adalah seorang perempuan!"
"Kau tahu dari mana" Jangan kau menebar
fitnah dan mengkambinghitamkan orang lain!"
Mata Malaikat kembali perdengarkan suara
tawa pelan. "Anak muda! Kambing itu putih dan
mungkin cantik! Aku dapat membaui dari harum
tubuhnya yang tertinggal pada pakaian itu sewaktu kutemukan. Kurasa sampai
sekarang bau itu
belum hilang...."
"Sebagai penipu, bisa saja orang menggunakan bau harum agar orang salah tebak!"
ujar Aji sengit. Namun nadanya sudah agak menurun.
"Betul! Betul katamu! Namun harum khas
dan asli seorang perempuan tak bisa disarukan
dengan aroma bau-bauan palsu! Apalagi tua bangka sepertiku ini tak dapat
dibohongi, karena ber-
tahun-tahun aku lari dari pelukan satu perempuan ke perempuan lain. Aku hafal
luar kepala tentang bau seorang perempuan dan bau buatan.
Lebih-lebih bau seorang pemilik burung sepertimu!"
Murid Wong Agung mau tak mau menggerendeng habis-habisan dalam hati. Namun
sedikit demi sedikit Aji mulai mempercayai kata-kata
orang tua di hadapannya itu.
"Nah! Anak muda! Kurasa tugas di hadapanmu lebih penting daripada ke sana kemari
mencari orang yang belum diketahui. Bukankah
kau tak ingin didahului orang lain"! Apalagi kau
telah mendapatkan petunjuk! Tunggu apa lagi..."!"
"Tapi..."!" Aji tak meneruskan ucapannya.
Dia tampak ragu-ragu.
"Tapi apa, Anak Muda?"
"Apa akan kukatakan padanya terus terang" Apakah ini bukan umpan untuk mengorek
keteranganku menyangkut petunjuk itu?" Aji berpikir sejenak. Namun akhirnya dia
memutuskan untuk mengatakannya pada Mata Malaikat. Tapi
sebelum dia berkata, si kakek telah berujar.
"Kalau kau keberatan meneruskan ucapanmu, tak apa. Namun jangan lupa. Gonggongan
anjing kerempeng pun terkadang menyelamatkan
nyawa kita!"
Habis berkata begitu, Mata Malaikat balikkan tubuh. Namun sebelum berputar, Aji
telah berkata. "Mata Malaikat. Kipas yang hilang itu adalah salah satu syarat untuk mendapatkan
lemba- ran kulit!"
"Jika begitu kenapa kau tidak segera ke sana"!"


Pendekar Mata Keranjang 26 Lembaran Kulit Naga Pertala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aneh! Bukankah sia-sia tanpa persyaratan
cukup"!"
Mata Malaikat kali ini perdengarkan suara
tawa bergelak-gelak, membuat murid Wong Agung
kerutkan dahi. "Ah, ternyata gonggongan anjing kerempeng
pun ada manfaatnya...."
"Apa maksudmu, Orang Tua?"
"Dengar, Anak Muda! Kalau benar keteranganmu bahwa orang yang menyamar itu telah
membawa kipas serta kau mengatakan petunjuk
padanya, apakah dia akan membuang kesempatan
yang sudah di tangan" Aku tanya padamu. Jika
kailmu telah menggaet ikan besar, apakah kau
akan membuangnya kembali ke air"!"
"Aku benar-benar tak mengerti ucapanmu!"
"Dengar baik-baik! Siapa pun orangnya
yang menyamar, pasti sekarang sudah melakukan
perjalanan menuju ke Bukit Siluman. Petunjuk
sudah di tangannya, syarat sudah digenggamannya. Apalagi yang perlu dia tunggu?"
Tanpa sadar murid Wong Agung tepuk jidatnya. "Bodoh. Kenapa aku tak berpikir ke
arah sana?" Pendekar Mata Keranjang menatap lekatlekat ke arah Mata Malaikat.
"Orang tua, meski kau masih dalam daftar
hitamku, namun atas keteranganmu aku harus
memberi hormat padamu sebelum pergi...." Habis
berkata demikian, murid Wong Agung menjura dalam-dalam dengan bungkukkan tubuh
dan tundukkan kepalanya.
Terdengar Mata Malaikat tertawa bergelakgelak, membuat Aji tekapkan kedua
tangannya ke telinga. Saat Aji mengangkat kepalanya, murid
Wong Agung jadi mendelik. Mata Malaikat tak lagi
di hadapannya! Namun suara tawanya masih saja
bergelak-gelak di seantero tempat Itu.
*** EMPAT SAAT itu sang Surya sudah menggelincir
dari titik pusatnya. Cahaya panasnya leluasa
menghujam ke permukaan bumi karena awan putih hanya tampak di sebelah timur. Di
Sungai Siluman pun, permukaan air tampak berkilat-kilat
seraya menebarkan uap. Permukaan air tampak
tak tenang. Arus demikian deras. Uap yang mengepul di permukaan, membuat
pemandangan terhalang.
Di pinggir Sungai Siluman, sesosok tubuh
keluar dari dalam lobang. Sosok ini kemudian melangkah mendekati sungai.
Ternyata dia adalah
seorang pemuda berpakaian hijau ketat dan berambut dikuncir ekor kuda. Dia bukan
lain dari Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108.
Aji kembang-kempiskan hidung ketika mencium bau harum menusuk hidung. Pemuda
ber- pakaian hijau ini edarkan pandangan ke sana kemari karena mengira adanya
kelompok perempuan
cantik di sekitar tempat itu.
Tapi, Pendekar 108 tak melihat adanya seorang pun wanita! Ketika pemandangannya
menghujam permukaan air, sepasang mata pemuda ini
membeliak lebar. Mulutnya menganga seperti
orang yang tak percaya akan apa yang dilihatnya.
"Apakah aku tak tengah bermimpi"!" gumam Aji lirih. "Benarkah air berwarna
merah"! Sungguhkah yang kulihat"! Kalau benar, air atau
darah"!"
Saat itu, permukaan air tampak berwarna
merah darah. Aji menatap tanpa berkedip. Di lain
kejap, Aji baru tahu kalau bau harum itu berasal
dari sungai! "Tak berlebihan kalau sungai dan bukitnya
dinamakan Sungai dan Bukit Siluman...." Pendekar 108 membatin seraya dongakkan
kepala. "Dan
bukit itu pasti berada di seberang sungai tepat di
depanku. Karena sekarang aku telah bertemu dengan air yang berwarna merah
seperti darah dan
berbau harum! Hanya sayangnya aku tak tahu berapa lebar sungai ini. Karena Peri
Kupu-kupu tak pernah memberitahukannya. Peri Kupu-kupu...,
kau berjasa besar dalam hal ini. Kalau kau tak
memberiku jalan rahasia menuju ke tempat ini.
Pasti akan membutuhkan waktu lama bagiku untuk menemukan Bukit Siluman. Aku
harus berperahu dari hulu sungai ke hilir, sampai menemukannya. Padahal, menurut
berita yang kudapatkan
panjang Sungai Siluman ini entah berapa ratus ri-
bu tombak! Buat orang yang tak mendapat petunjuk sepertiku, akan membutuhkan
waktu yang jauh lebih lama.... Jalan rahasia yang aneh....
Mencari sebuah pohon beringin tua dan besar, lalu
menarik salah satu cabangnya, hingga muncul lobang ke dalam tanah. Menempuhnya,
dan muncul di pinggir sungai ini. Sebuah jalan rahasia yang
luar biasa...!"
Usai membatin, Aji melemparkan batang
kayu besar. Tak lama kemudian di antara derasnya arus sungai dan tiupan angin
kencang batangan kayu itu meluncur membelah arus yang deras!
Terlihat tertatih-tatih.
"Semoga dugaan Mata Malaikat benar
adanya. Orang yang menyamar sebagai Setan Pesolek itu telah berada di Bukit
Siluman...," gumam
Pendekar Mata Keranjang. Sambil menggumam
kedua tangannya bergerak mengayun ke dalam air
sungai di sisi kanan kirinya. Bersamaan dengan
itu, batangan kayu yang dibuatnya sebagai perahu
meluncur deras ke depan, membelah derasnya
arus. "Kalaupun dia tidak ada di sana, aku akan
menunggu. Dengan petunjuk dan kipas itu, sudah
pasti dia akan ke sana! Hem.... Petunjuk belum bisa kumengerti, sialnya petunjuk
itu telah diketahui orang. Lebih-lebih kipas itu telah beralih tangan...."
Aji terus meluncur dengan dada dipenuhi
beberapa pikiran. "Mata Malaikat menduga si penyamar adalah seorang perempuan.
Busyet. Lagilagi perempuan! Siapa lagi yang ini..."!" Aji coba
mengingat beberapa orang perempuan yang selama ini dikenalnya. Namun tak satu
pun yang menguatkan dugaan pada salah satunya, membuat pikiran murid Wong Agung makin
dibuncah berbagai hal. Tiba-tiba Pendekar Mata Keranjang hentikan buncahan pikiran yang melanda
dadanya. Batangan kayu yang didudukinya dirasakan bergerak
oleng ke samping kiri padahal angin berhembus
dari kiri! "Aneh. Angin dari kiri, tapi kenapa batang
kayu ini oleng ke samping kiri, tidak ke kanan"!"
Merasa ada kejanggalan, murid Wong Agung
segera putar kepalanya ke kanan. Tapi baru saja
kepalanya berputar, tiba-tiba sebuah gelombang
angin dahsyat melesat menggebrak ke arah murid
Wong Agung. Brakkkk! Batangan kayu yang dibuat peluncur patah
seketika. Untung murid Wong Agung telah waspada. Sebelum batangan kayu patah
jadi dua, dia telah melesat ke udara membuat gerakan berputar
dan melayang turun lalu berdiri tegak di salah satu patahan batangan kayu.
Patahan satunya lagi
telah lenyap. Dengan mata berkilat menahan marah, Aji
arahkan pandangannya ke sebelah kanan. Sesaat
kemudian, dia melihat meluncurnya sebuah rakit.
Tegak di atasnya seorang pemuda mengenakan jubah besar panjang sebatas lutut
berwarna merah.
Rambutnya yang panjang dibiarkan bergerai ditiup
angin. Tangan kanannya memegang sebuah ba-
tangan kayu kecil yang sesekali ditusukkan ke dalam air sungai hingga rakit itu
meluncur deras ke
depan. "Utusan Iblis!" seru Pendekar Mata Keranjang begitu matanya mengenali siapa
adanya pemuda di atas rakit.
Murid Wong Agung arahkan pandangannya
ke depan. "Celaka! Pinggir Bukit Siluman masih
jauh. Sedangkan patahan kayu ini tak mungkin
bisa membawaku ke sana. Terlalu pendek! Belum
lagi jika pemuda gila itu menyerangku dan menghancurkan kayu ini...."
"Ha ha ha....!" Tiba-tiba di tengah suara deru gelombang air terdengar suara
tawa dari pemuda di atas rakit yang bukan lain memang Utusan
Iblis yang terus meluncur ke arah Aji cepat bukan
main. Karena di samping pengerahan tenaga Utusan Iblis, masih ditambah lagi
dengan tenaga luncuran arus sungai yang deras
"Akhirnya kau mampus tanpa kubur di tengah sungai!" Meski saat itu suara Utusan
Iblis dapat ditangkap oleh pendengaran Aji. Dan belum
lenyap suara Utusan Iblis, tiba-tiba melesat gulungan awan hitam disertai
kilatan-kilatan dan suara
petir bersahutan. Ternyata Utusan Iblis telah lepaskan pukulan Gemuruh Badai.
Karena tak mungkin lepaskan pukulan
sambil berdiri di atas patahan kayu yang terombang-ambing, akhirnya Aji bergerak
duduk dengan kaki kiri kanan menjepit. Tenaga dalam segera dikerahkan dan dengan didahului
bentakan keras, ia
hentakkan sepasang tangannya.
Blaaarrr! Air sungai membubung sampai beberapa
tombak ke udara saat dua pukulan itu bentrok.
Sosok Aji terpental ke belakang. Namun murid
Wong Agung ini mempererat jepitan kakinya pada
patahan kayu, karena dia sadar, jika patahan kayu
itu terlepas, maka tak ampun lagi tubuhnya akan
tenggelam. Di seberang, rakit yang ditumpangi Utusan
Iblis tampak melesat ke udara. Utusan Iblis lesatkan dirinya lebih tinggi lagi
lalu melayang turun
begitu rakit telah berada kembali di atas air sungai.
Paras wajah kedua pemuda ini tampak sama-sama pucat pasi. Dada masing-masing
tampak bergetar keras. Namun karena tempat pijakan
Utusan Iblis lebih leluasa, pemuda ini cepat dapat
menguasai keadaan tubuhnya. Sebaliknya murid
Wong Agung harus bersusah payah karena harus
mengatasi olengan tubuh yang terombang-ambing
mengikuti olengan patahan kayu yang kini didudukinya.
Melihat lawan mengalami kesulitan, Utusan
Iblis tak buang kesempatan. Sekali tusukkan kayu
di tangan kanannya, rakit itu meluncur deras ke
depan. Bersamaan dengan itu kedua tangannya
bergerak kirimkan pukulan 'Gemuruh Badai'!
Untuk kedua kalinya gulungan awan hitam
yang disertai kilatan dan sambaran petir menggebrak ke arah murid Wong Agung.
Karena tak ada ruang untuk menghindar,
mau tak mau akhirnya Aji harus menghadang se-
rangan. Pemuda berpakaian hijau ketat ini pun segera dorongkan sepasang
tangannya ke depan.
Kembali terdengar gelegar dahsyat! Karena
waktu lepaskan pukulan harus dengan pertahankan kedua kakinya yang menjepit
patahan kayu, membuat pukulan Aji tidak sempurna. Hingga
tatkala terjadi bentrok pukulan, sosok Aji terlihat
melenting ke udara. Melihat hal ini, Utusan Iblis
yang saat itu juga membuat gerakan berputar di
udara lepaskan pukulan sekali lagi.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Aji berseru keras. Dia cepat sentakkan kedua bahunya hingga tubuhnya makin
melenting ke udara. Namun tak urung kedua kakinya tersambar
pukulan Utusan Iblis. Pendekar 108 merasakan
laksana disengat api. Kedua kakinya bergetar keras. Meski Aji coba bertahan,
namun sia-sia, hingga akhirnya dia tak kuasa lagi menahan jepitan
patahan kayu di kakinya. Sambil berputar, kakinya melepas patahan kayu. Ternyata
patahan kayu itu telah hancur berkeping sebelum terburai
di atas air sungai!
Untuk beberapa saat tubuh Pendekar Mata
Keranjang masih tampak berputar-putar di udara
di atas air sungai. Namun meski bagaimanapun
tingginya ilmu seseorang, tak mungkin terusmenerus membuat gerakan berputar-
putar di udara. Demikian pula yang dialami murid Wong
Agung. Lama-lama gerakan berputarnya makin
lemah sebelum akhirnya meluncur deras ke bawah
dan.... Byuuurr! Sosok Pendekar Mata Keranjang amblas
masuk ke dalam air sungai. Sejenak sosoknya
tampak timbul tenggelam diterjang arus air. Namun sesaat kemudian tubuhnya tak
tampak lagi! Di atas rakit, Utusan Iblis usap-usap dadanya, lalu memperhatikan ke permukaan
air sungai. Saat sepasang matanya tak lagi menangkap sosoknya Aji, pemuda ini
mendongak lalu perdengarkan tawa bergelak!
Di dalam air, murid Wong Agung merasakan
dadanya seperti pecah karena menahan napas terus-menerus agar tak kemasukan air.
Namun pada akhirnya pertahanannya pun bobol. Pelanpelan air mulai masuk ke
rongga mulut melalui
hidung dan mulutnya.
"Celaka! Apakah akhirnya aku harus mati di
sungai" Ah..." Murid Wong Agung tak bisa berpikir
terlalu panjang, karena kepalanya mulai pening
dan air mulai leluasa masuk ke mulutnya.
"Sialan! Ini gara-gara aku menuruti ucapan
Mata Malaikat yang menyuruhku cepat-cepat menuju Bukit Siluman. Padahal...."
Pendekar 108 tak
lanjutkan kata hatinya. Ingat Mata Malaikat tibatiba Aji teringat akan kantong
putih yang diberikan
orang tua itu beberapa waktu lalu.
"Tak ada salahnya aku mencobanya.... Siapa tahu...." Tangan Aji cepat menyelinap
ke balik pakaiannya. Dia sedikit lega saat tangannya dapat


Pendekar Mata Keranjang 26 Lembaran Kulit Naga Pertala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasakan kantong itu masih ada di balik pakaiannya. Dengan gerakan yang mulai
lamban, dia buka kantong putih pemberian Mata Malaikat.
Tanpa melihat isinya dia mengambil sebuah. Ter-
nyata seperti yang dikatakan Mata Malaikat benda
di dalam kantong itu mirip tahi kambing. Yakni
butiran kecil namun agak keras. Tanpa melihat
warna butiran di tangannya, murid Wong Agung
segera memasukkannya ke mulut, lalu menelannya. Kantong putih kembali disimpan
ke balik pakaiannya.
Begitu butiran kecil itu masuk, Aji merasakan perutnya laksana diaduk-aduk dan
panas bukan main.
"Celaka! Jangan-jangan ini racun. Bangsat
betul! Kenapa aku begitu saja menelannya"!" gumam Aji dalam hati seraya berusaha
muntahkan kembali butiran itu, namun terlambat karena telah
masuk ke dalam lambung. Dan sekarang bukan
hanya lambungnya yang terasa diaduk-aduk, kepalanya pun mendadak pening,
sepasang matanya
berkunang-kunang lalu merasakan semuanya gelap!
Tapi tiba-tiba Aji merasa lambungnya normal kembali dan peningnya lenyap. Dia
coba membuka matanya. Pendekar Mata Keranjang jadi
terlonjak sendiri di dalam air. Seakan tak percaya,
dia pentangkan kedua matanya. Dan keanehan itu
memang benar-benar terjadi. Meski berada di dalam air, sepasang matanya kini
jelas dapat memandang! Malah secara aneh pula kekuatan tubuhnya pulih, dan
dadanya tidak sesak!
"Ucapan orang tua itu benar! Ah, selama ini
aku salah sangka padanya! Aku berhutang nyawa
padanya!" Aji kembali meraba kantong yang ada di ba-
lik pakaiannya untuk meyakinkan jika kantong itu
masih ada. Dia menarik napas lega.
Setelah menarik napas panjang dia mendongak ke atas. Karena pandangannya jelas,
kini Aji dapat melihat apa yang ada di atasnya. Saat
sepasang matanya dapat melihat luncuran rakit
tak jauh di depannya! Rakit yang ditumpangi oleh
Utusan Iblis. Rupanya murid Titisan Iblis itu tak
lagi mengikuti arus sungai. Dia meluncurkan rakitnya membelah arus sungai!
Mengikuti arah yang tadi diambil Aji! Aji cepat menggenjot tubuhnya meluncur ke depan!
Sementara itu di atas rakit yang terus meluncur membelah derasnya arus! Utusan
Iblis tak henti-hentinya dirasuki perasaaan heran. Sepasang matanya tak henti-hentinya
nyalang kian kemari ke permukaan air sungai.
"Bangsat itu sudah tewas apa bagaimana"
Kalau menemui ajal tentu sekarang tubuhnya sudah mengapung! Kalau tak mampus"
Apa mungkin dia mampu berendam di dalam air sungai begitu lama" Bangsat! Kenapa
aku memikirkannya"!"
Selagi Utusan Iblis menduga-duga, tiba-tiba
dia merasakan getaran aneh di sebelah kanan rakitnya. Sebagai orang yang
memiliki kepandaian
tinggi serta bertahun-tahun digembleng di bawah
air terjun, pemuda ini dapat membedakan gerakan
akibat air sungai dan bukan.
"Setan alas! Aku tak percaya jika dia masih
hidup!" ujar Utusan Iblis seraya melangkah ke
samping kanan. Matanya tak berkedip menembusi
ke dalam air sungai di sebelah sisi kanan rakitnya.
Selagi dia termangu, dari sebelah kiri rakit terlihat
gerakan. Cepat Utusan Iblis melompat, lalu tusukkan kayu di tangan kirinya ke
dalam air sungai.
Byuuurrr! Air sungai di sisi kiri rakit muncrat. Namun
Utusan Iblis tak melihat siapa-siapa.
"Jahanam! Jangan-jangan aku dipermainkan perasaanku saja! Atau...." Ucapan
Utusan Iblis terputus. Dia memandang ke depan, ke arah gerakan air sungai yang menghadang
arah gelombang.
Belum dapat memastikan apa yang membuat gerakan, tiba-tiba air sungai di depan
rakitnya muncrat ke udara. Di lain kejap sesosok tubuh menyeruak dari dalam air
lalu melesat ke atas air laut setengah tombak sebelum akhirnya mendarat di
bagian depan rakit.
Air tampak mengucur deras dari rambut,
tubuh serta pakaiannya yang basah kuyup dari
sosok di sebelah depan rakit.
Entah karena masih tak percaya dengan
pandangan matanya, untuk beberapa saat Utusan
Iblis hanya memandang dengan mulut terkancing
rapat. Sebaliknya sosok di hadapan Utusan Iblis
yang bukan lain adalah Aji memandang dengan
mata merah berkilat dan dagu mengembang.
Begitu sadar siapa yang di hadapannya,
Utusan Iblis campakkan kayu di tangan kirinya.
Dan tanpa terlebih dahulu buka suara, pemuda ini
meloncat ke depan. Kedua tangannya segera bergerak menghantam ke arah kepala
Aji. Tindakan yang dilakukan Utusan Iblis,
membuat rakitnya terbawa arus sungai! Tapi hal
itu tak dipedulikannya. Yang ada di benaknya sekarang adalah membunuh Pendekar
Mata Keranjang!
Pendekar Mata Keranjang tak tinggal diam.
Kedua tangannya segera pula diangkat lalu disentak ke samping di atas kepalanya.
Bukkk! Bukkk! Terdengar benturan keras dua kali. Rakit
yang menjadi pijakan kedua orang ini sebentar
tampak tenggelam hingga kedua pemuda ini hanya
terlihat sampai sebatas dada masing-masing.
Murid Wong Agung dan Utusan Iblis tampak
sama-sama meringis menahan sakit pada kedua
tangan masing-masing. Namun hal itu hanya sekejap. Sesaat kemudian Utusan Iblis
telah angkat kaki kanannya sementara tangan kirinya bergerak
menghantam. Pendekar Mata Keranjang cepat lorotkan
tubuhnya hingga sejajar rakit. Kaki kirinya melesat
menghantam kaki kiri Utusan Iblis yang dibuat
untuk tumpuan tubuhnya.
Bukkk! Utusan Iblis terjajar tiga langkah ke belakang. Sementara Aji cepat bergerak
bangkit. "Bangsat!" maki Utusan Iblis. Tenaga dalamnya segera disalurkan pada kedua
tangannya. Lalu serta merta kedua tangannya menghantam
lepaskan pukulan 'Gemuruh Badai'.
Rakit tampak berguncang keras dan timbul
tenggelam ke dalam air. Murid Wong Agung segera
pula hantamkan kedua tangannya papaki serangan Utusan Iblis!
Blammm! Byurrr! Prakkk!
Ledakan segera terdengar, kejap kemudian
air sungai berhamburan dan permukaan air menyibak! Bersamaan itu dua sosok tubuh
mental dari dalam sungai ke udara disusul kemudian
dengan mencelatnya rakit yang ternyata telah pecah jadi dua!
Tiga tombak di atas permukaan air sungai,
sosok Pendekar Mata Keranjang dan Utusan Iblis
kembali menukik ke bawah dan langsung amblas
masuk ke dalam air sungai.
Setelah dapat menguasai tubuh, di dalam
air sepasang mata murid Wong Agung cepat memandang berkeliling. Saat matanya
dapat menangkap kelebatan tubuh Utusan Iblis, dia cepat
mengejar. Utusan Iblis sendiri tampaknya tak mengalami kesulitan di dalam air, karena dia
sudah terbiasa berhari-hari berada di bawah air terjun.
Hingga tatkala merasa ada gerakan dalam air dari
arah belakangnya, pemuda ini cepat berbalik dan
sekonyong-konyong lepaskan pukulan!
Bettt! Bettt! Seketika tampaklah alur panjang yang bergerak cepat menyibak air sungai ke arah
Pendekar Mata Keranjang yang ada di hadapannya!
Meski tampak terkejut karena tak menduga,
murid Wong Agung segera dorong kedua tangannya.
Alur panjang pun seketika melesat ke depan. Lalu terdengar ledakan, disusul
dengan membuncahnya air sungai sampai beberapa tom-
bak ke atas! Sosok Utusan Iblis tampak jungkir balik di
dalam air kemudian terseret jauh ke belakang.
Pemuda ini merasakan dadanya hendak pecah.
Matanya kabur dan mulutnya megap-megap. Sebelum air lebih banyak masuk ke dalam
mulutnya, dia kerahkan tenaga untuk melesat ke permukaan
air sungai. Begitu menyembul, tampak jelas perubahan pada raut mukanya. Bahkan
dari mulutnya mengalir darah kehitaman!
"Keparat! Untuk sementara aku harus
menghindar! Tak kusangka jika jahanam itu
punya ilmu selam luar biasa!" gumam Utusan Iblis
sambil nyalangkan sepasang matanya mencari pecahan rakitnya. Namun hingga agak
lama matanya tak dapat menemukan barang yang dicari.
Di belakangnya, murid Wong Agung yang
sosoknya baru saja mental di dalam air cepat kerahkan tenaga dalam. Lalu melesat
ke atas. Meski wajahnya tampak berubah pucat pasi, namun dia
tak mengalami cedera dalam. Hingga begitu matanya dapat menangkap sembulan
kepala Utusan iblis, Pendekar 108 segera meluncur ke depan.
Mendengar kecipak di belakang, Utusan Iblis sudah dapat menduga. Tanpa berpaling
lagi, pemuda ini cepat menyelam! Aji yang kedua tangannya telah siap kirimkan pukulan
ditarik kembali. Lalu teruskan luncuran tubuhnya.
Pendekar Mata Keranjang layangkan pandangannya ke seluruh permukaan air sungai,
namun sampai matanya lelah memandang, sosok
Utusan Iblis laksana ditelan air sungai! Malah
hingga lama Aji menunggu, yang ditunggu tak juga
kelihatan batang hidungnya!
"Ke mana dia"! Apa punya ilmu berendam
dalam air"!" tanya Aji sambil sesekali putar pandangannya berkeliling. Dan
ketika Utusan Iblis tak
juga muncul, akhirnya Aji memutuskan untuk
meneruskan perjalanan.
"Hem.... Aku harus menemukan kembali
rakit itu. Tak mungkin aku berenang sampai ke
Bukit Siluman.... " Berpikir begitu, Pendekar Mata
Keranjang kembali layangkan pandangannya ke
seluruh permukaan air sungai. Saat itulah tibatiba matanya menangkap pecahan
rakit yang terseret arus!
Murid Wong Agung tanpa pikir panjang lagi
segera berenang menuju arah pecahan rakit.
Begitu dekat, pecahan rakit segera disambar
dan sekali melesat tubuhnya telah berada di atas
pecahan rakit. Dengan duduk di sebelah sisi, tangan kanannya bergerak mengayun
ke dalam air! Bersamaan dengan itu, pecahan rakit bergerak
melawan arus. Pemuda ini berusaha kembali ke
tempat di mana permukaan air berwarna merah!
Karena saat ini, permukaan air tempatnya mempunyai warna seperti warna air
sungai umumnya.
Dan, memang bagian Sungai Siluman yang airnya
berwarna merah hanya sepanjang satu tombak!
*** LIMA KITA tinggalkan dulu Pendekar Mata Keranjang yang melaju ke arah Bukit Siluman.
Kita kembali dulu ke pinggir Sungai Siluman. Seperti
dituturkan sebelumnya, waktu Utusan Iblis lancarkan pukulan pada Kamaratih tiba-
tiba seseorang yang ternyata adalah Manusia Neraka dapat
menghalau pukulan yang siap merenggut nyawa
Kamaratih. Namun di kejap lain sebelum Manusia
Neraka berkelebat, sebuah bayangan lain mendadak telah berkelebat dan tahu-tahu
Kamaratih telah tidak ada lagi di tempat itu.
Kamaratih sendiri yang waktu itu telah pasrah menghadapi kematian tiba-tiba
merasa tersapu oleh sambaran angin halus. Lalu sepasang tangan memegang
pinggangnya dan dengan gerak cepat tahu-tahu tubuhnya telah berada di bahu
seseorang yang kini membawanya berkelebat.
Pada satu tempat, si bayangan yang membawa lari Kamaratih hentikan larinya.
Kepala orang ini sejenak berputar dengan mata nyalang
kian ke mari. Kedua tangannya bergerak ke atas
bahu. Lalu menurunkan tubuh Kamaratih dan diletakkan di atas pasir.
Kamaratih buka kelopak matanya. Wajah
perempuan setengah baya ini serentak berubah.
Sepasang matanya membesar memperhatikan
orang yang tegak empat langkah di hadapannya
tanpa berkedip. Tiba-tiba dari mulutnya keluar seruan tertahan. "Putri
Hitam...!"
Orang di hadapan Kamaratih sunggingkan
senyum. Tapi meski orang ini tersenyum, tidak
menambah keramahan wajahnya. Karena ternyata
wajah orang ini ditutup dengan bedak hitam yang
memantulkan cahaya berkilat. Pakaiannya yang
gombrong besar menyembunyikan seluruh anggota
tubuhnya hingga sulit ditebak orang ini laki-laki
atau perempuan. Lebih-lebih di lehernya melingkar
sehelai kain batik seakan menyembunyikan ciri
orang itu laki atau perempuan. Rambutnya ikal
merah dan dikuncir sampai sepuluh buah yang
tiap kunciran itu diberi hiasan pita dari kain batik.
"Terima kasih.... Kau telah menolongku!"
kata Kamaratih setelah dapat menguasai rasa kejutnya.
Orang di hadapan Kamaratih dan bukan
lain memang orang yang memperkenalkan diri
dengan Putri Hitam kembali sunggingkan senyum.
"Kau tak perlu berterima kasih. Sudah sepatutnya di antara sesama saling tolong.
Apalagi

Pendekar Mata Keranjang 26 Lembaran Kulit Naga Pertala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita sudah kenal dan kuanggap kau adalah seorang sahabat...."
Mendengar ucapan Putri Hitam, keberangan
Kamaratih pada orang ini mulai sirna. Perempuan
setengah baya ini lalu bergerak bangkit. Setelah
menarik napas panjang dia bertanya.
"Kalau tak keberatan, boleh aku tahu siapa
kau sebenarnya" Dengan penyamaranmu, pasti
kau punya maksud tertentu. Boleh aku tahu" Siapa tahu aku dapat membalas budimu
dengan memberi sedikit pertolongan"!"
Putri Hitam gelengkan kepalanya. "Terima
kasih. Untuk saat ini aku masih tak mau membuat repot orang lain...." Putri
Hitam batuk-batuk
sebentar. Lalu melanjutkan ucapannya. "Siapa diriku sebenarnya, bukanlah hal
penting bagi orang
lain. Dan seperti dugaanmu, aku memang mempunyai maksud tertentu...."
"Boleh aku tahu"!" tanya Kamaratih.
Putri Hitam untuk kedua kalinya gelengkan
kepala. "Aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk
tidak mengatakan pada siapa pun juga. Hem....
Hanya kalau suka, kau kuharap jawab beberapa
tanyaku.... "
"Katakan!" sahut Kamaratih.
"Apa betul kakek berpakaian perempuan,
berambut kepang dua yang memiliki mata cacat
tadi adalah tokoh dunia persilatan bergelar Mata
Malaikat"!"
Sejurus Kamaratih menatap paras wajah
Putri Hitam. Dia menduga-duga. "Suaranya disarukan, wajahnya disembunyikan. Tapi
mendengar pertanyaannya kemungkinan besar dia adalah
seorang perempuan...."
"Putri Hitam.... Kau menanyakan kakek itu.
Jangan-jangan kau tertarik padanya. Berarti kau
ini adalah seorang perempuan sepertiku, benar"!"
Putri Hitam tertawa panjang. "Orang bertanya tentang seorang laki-laki tidak
Kasih Diantara Remaja 12 Jodoh Rajawali 02 Misteri Topeng Merah Anak Rajawali 20
^