Lorong Batas Dunia 1
Dewa Arak 82 Lorong Batas Dunia Bagian 1
1 "Benarkah apa yang kulihat ini"!"
Pertanyaan itu dilontarkan Begawan Narasoma dengan suara bergetar. Pandang
matanya tidak beralih dari langit yang berwarna kuning emas.
"Apakah aku tengah bermimpi"!"
Lagi-lagi pertanyaan yang mengandung ketidakpercayaan keluar dari mulut Begawan
Narasoma. Dirgantara dan Tulini masih terkesima menatap pemandangan menakjubkan
itu. "Tidak, Kak Nara," Tulini memberikan tanggapan. Kepalanya menggeleng tanpa
melepaskan perhatian dari langit.
"Benar, Ayah." Dirgantara menimpali. "Ayah tidak bermimpi. Apa yang kita lihat
itu benar-benar lerjadi."
"Ular Emas telah keluar ke dunia ramai, Kak Nara. Ular yang akan membuat Telur
Elang Perak kehilangan kemampuannya," sambung Tulini.
"Kalian benar." Begawan Narasoma mengangguk-angguk "Alangkah adilnya Yang Maha
Kuasa. Begitu Telur Elang Perak terjatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung
jawab, Ular Emas dikeluarkan dari alamnya."
"Dapatkah Ayah mencari di mana Ulas Emas itu keluar?" tanya Dirgantara penuh
minat. "Entahlah, Dirga." Begawan Narasoma menghela napas berat. "Aku tidak
yakin. Apalagi keadaanku sekarang tidak mengizinkan."
"Tapi, tidak ada salahnya kau mencoba, Kak Nara?" desak Tulini. "Barangkali
sudah menjadi garis Dirgantara anugerah ini."
"Akan kucoba, Tulini. Tapi, ingat! Aku tidak berani memastikan usahaku akan
berhasil. Kalian jangan terlalu berharap."
Tulini tersenyum gembira. Demikian pula Dirgantara. Tulini yakin suaminya akan
berhasil. Dia tahu betul kesaktian kakek berpakaian putih ini. Terutama dalam
hal ilmu gaib. Maka, perkataan Begawan Narasoma yang terakhir tidak
diperhatikannya.
"Ayah, apakah cerita tentang Ular Emas dan mustikanya ini banyak diketahui
orang?" Tulini menatap Begawan Narasoma dengan hati kaget. Pertanyaan Dirgantara
menimbulkan kekhawatiran dalam hatinya. Kalau banyak orang yang tahu, mereka
pasti akan melakukan pencarian. Ini berarti banyak saingan. Kemungkinan
Dirgantara mendapatkan Mustika Ular Emas menjadi kecil.
Begawan Narasoma tidak segera menjawab. Dia tercenung beberapa saat. Dirgantara
dan Tulini hampir kehilangan kesabaran.
"Kalau menurut pendapatku, jarang bahkan hampir tidak ada orang yang mengetahui
cerita mengenai Ular Emas. Tapi, perlu kalian sadari, peristiwa langit berwarna
kuning emas ini terlalu menyolok. Aku yakin ini akan berakibat panjang. Tokoh-
tokoh persilatan pasti akan mencari tahu mengapa alam menjadi seperti ini. Bila
itu terjadi, apalagi sampai tokoh-tokoh ahli kebatinan turun tangan, aku yakin
masalah Ular Emas ini terungkap."
"Kita harus bertindak cepat, Kak Nara. Mumpung tokoh-tokoh lainnya belum tahu.
Kau yang menjadi andalan kami, Kak Na ra. Hanya kau yang bisa melacak di mana
munculnya binatang ajaib itu."
Begawan Narasoma tersenyum getir. Ucapan Tulini tidak salah. Tapi, dia sudah
tidak berhasrat lagi ikut campur dalam urusan seperti ini. Kalau saja tidak ada
Dirgantara amat menginginkan pusaka itu, mungkin dia akan lepas tangan.
"Mari kita cari tempat untuk menyembuhkan lukaku dan mencari tahu di mana adanya
ular itu. Aku punya firasat tempat ini sudah tidak aman lagi."
"Pindah ke mana, Kak Nara?"
"Aku pun belum tahu, Tulini. Yang jelas pindah dari sini. Aku merasa tidak enak.
Aku yakin ada bahaya besar tengah mengancam. Sayang, aku tidak tahu!"
Dirgantara bingung. Tapi, tidak demikian dengan Tulini. Wanita ini tahu betul
siapa Begawan Narasoma. Kakek itu mempunyai indera keenam yang sangat tajam.
Tanpa membuang-buang waktu lagi dibopongnya tubuh Begawan Narasoma.
"Mari, Dirga. Cepat..!" Tulini melesat cepat meninggalkan tempat itu.
Dirgantara tidak mempunyai kesempatan untuk menanggapi ucapan ibunya. Dia pun
melesat mengikuti wanita itu.
*** "Arya...! Lihat...!"
Arya yang tengah berlari di sebelah Linggar mengarahkan pandangan ke arah yang
ditunjuk gadis berpakaian hitam itu. Sepasang mata Arya membelalak seperti
halnya Linggar. Pemuda berambut putih keperakan ini memperlambat larinya.
Linggar mengikuti.
"Apa yang terjadi, Arya" Mengapa langit berwarna keemasan?"
"Aku tidak mengerti, Linggar. Tapi, aku merasa tidak enak. Sepertinya akan
terjadi sesuatu yang menyeramkan," jawab Arya sungguh-sungguh.
Pemuda berambut putih keperakan ini memang mempunyai naluri tajam. Dia bisa tahu
bila bahaya mengancam dirinya. Keistimewaan itu didapatnya setelah belalang
raksasa dari alam gaib beberapa kali masuk ke dalam dirinya. (Untuk jelasnya
mengenai belalang raksasa, silakan baca episode: "Dalam Cengkeraman Biang
Iblis"). "Bahaya menyeramkan" Bahaya apa itu, Arya?" tanya Linggar, penuh rasa ingin
tahu. "Aku tidak tahu, Linggar. Tapi, aku yakin betul hal itu. Perasaan ini
tidak pernah menipuku." Arya mengedarkan pandangan ke sana kemari. Urat-urat sa
rafnya menegang Siap menghadapi segala kemungkinan.
"Bagaimana dengan maksud kita untuk menemui Begawan Narasoma alias Iblis Buta?"
Linggar mengingatkan Arya akan tujuan mereka.
2010Kurasa hal itu bisa diurus belakangan, Linggar. Aku yakin dia sudah tidak
berada di tempatnya.2010
2010Apakah ini ada hubungannya dengan warna langit itu"2010
"Aku tidak tahu. Menurut pendapatku, mungkin ada hubungannya. Tak mungkin alam
menunjukkan tanda-tanda aneh kalau tidak akan terjadi sesuatu yang luar
biasa,2010 jelas Arya. Lingga r dia m. Gadis ini merasakan adanya kebenaran dalam ucapan
pemuda berambut putih keperakan itu.
"Terserah kau saja, Arya. Aku hanya mengikuti. " Gadis berpakaian hitam ini
tersenyum manis.
Jawaban Linggar langsung mendapat tanggapan Arya. La rinya dipercepat, Linggar
melakukan hal yang sama. Muda-mudi ini bagaikan dua sosok bayangan berkejaran
menuju kaki gunung.
Kekhawatiran Arya ternyata beralasan. Begitu mereka hampir tiba di kaki gunung,
bumi yang dipijak bergetar. Semakin lama semakin keras.
"Apa yang terjadi, Arya"!" Linggar terkejut. Wajah gadis itu tampak sedikit
pias. "Entahlah, Linggar. Mungkin gunung ini hendak meletus! Tidakkah kau lihat
keriuhan di sana. Binatang berbondong-bondong menuju kaki gunung." Wajah Arya
juga memperlihatkan ketegangan
Linggar tidak memberikan sambutan. Membayangkan gunung meletus membuat
nyali gadis ini ciut. Rasa takut dan cemas mendera hatinya. Perasaan itu
mendorongnya ingin berlari secepat mungkin agar bisa berada sejauh-jauhnya dari
tempat ini. Tiba-tiba, terdengar bunyi menggelegar. Arya maupun Linggar merasakan tanah yang
mereka pijak bergetar cepat. Tubuh keduanya terlempar jauh ke atas.
Beruntung mereka memiliki ketenangan yang cukup. Itu pulalah yang menyelamatkan nyawa orang-orang muda ini. Keduanya bersalto beberapa kali untuk
mematahkan kekuatan yang membuat lubuh mereka terlontar. Sesaat kemudian,
keduanya menjejak tanah dengan mantap.
Keberhasilan tindakan mereka tidak membuat bahaya yang mengancam lenyap.
Bunyi menggelegar yang ternyata berasal dari gunung meletus membuat keadaan di
sekitar tempat itu bagai kiamat!
Batu-batu besar dan kecil saling berlomba menggelinding ke kaki gunung. Di
belakangnya mengalir lava panas bagai tangan-tangan maut. Menghanguskan apa saja
yang dilandanya. Arya dan Linggar berusaha sekuat tenaga menyelamatkan selembar
nyawa. Dengan susah payah akhirnya mereka berhasil menjauhi tempat itu. Keduanya terus
berlari kencang. Baru ketika berada di tempat yang dirasa a man mereka
menghentikan langkah dan berbalik memperhatikan gunung yang tadi mereka pijak.
Wajah mereka tampak diliputi kengerian.
*** Penunggang kuda berpakaian coklat itu memacu binatang tunggangannya bagai
dikejar setan. Jalan berbatu yang menanjak tidak membuatnya memperlambat
kecepatan kuda. Terpaan angin kencang mengibarkan rambut dan pakaiannya. Panas
menyengat dari sang surya berada tepat di atas kepala.
"Uh...!"
Penunggang kuda yang ternyata seorang pemuda itu mengeluarkan keluhan kaget.
Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi berdesing nyaring. Dia melihat
beberapa batang anak panah meluncur ke arahnya dengan kecepatan tinggi.
Si pemuda melompat dari
punggung kuda sera ya menggebah
binatang tunggangannya. Bersamaan dengan tubuhnya yang melayang ke atas, kuda hitam itu
melesat ke depan. Tindakan pemuda itu membuat anak-anak panah meluncur lewat di
bawah kakinya. Pemuda berpakaian coklat bersalto ke depan beberapa kali dan mendarat di
punggung kuda hitamnya yang masih terus berlari. Bagai tidak terjadi perisriwa
apa pun, digepraknya tali kekang hingga kuda hitam itu berlari semakin cepat
Baru beberapa tombak terdengar bunyi bergemuruh dari tempat yang tengah dituju
si pemuda. Wajah pemuda berpakaian coklat berubah hebat. Dia bisa memperkirakan
apa yang tengah terjadi.
Kuda hitam itu pun demikian. Nalurinya memperingatkan adanya bahaya
mengancam. Binatang ini menghentikan lari dan meringkik keras-keras. Kedua kaki
depannya diangkat tinggi ke udara.
Pemuda berpakaian coklat mengerti maksud binatang tunggangannya. Kuda itu
gelisah dan ingin melemparkan tuannya dari punggung, lalu dia berlari
meninggalkan tempat itu untuk mencari selamat
Si pemuda tidak menginginkan hal itu terjadi. Ditepuk-tepuknya leher dan
punggung binatang itu untuk menenangkannya. Tapi, kuda hitam ternyata telah
benar-benar ketakutan. Usaha yang dilakukan pemuda berpakaian coklat sia-sia.
Kuda hitam terus meringkik, kalap. Bahkan sekarang melonjak-lonjak tak karuan.
Tapi, usaha kuda hitam tidak membuahkan hasil. Pemuda berpakaian coklat bagai
lintah, melekat erat di punggungnya. Betapapun punggungnya telah dilekukkan
sedemikian rupa tetap saja tubuh si pemuda tidak terlontar. Saat itulah batu-
batu sebesar kerbau muncul. Tidak hanya satu.
Tapi beberapa buah. Yang paling kecil mempunyai ukuran sebesar kambing.
Kuda hitam semakin kalap. Binatang itu menggulingkan tubuhnya. Pemuda
berpakaian coklat terperanjat. Tubuhnya akan tertindih dan terus terguling. Si
pemuda tentu saja tidak menginginkan itu terjadi. Di saat kuda hitam baru
memiringkan tubuh pemuda berpakaian coklat mengerahkan tenaga untuk menahan.
Sementara baru sebesar kerbau yang lebih dulu meluncur akan menabrak kuda hitam
berikut penunggangnya.
Pemuda berpakaian coklat mengeluarkan pekikan nyaring. Wajahnya menegang. Sesaat
kemudian, tubuh kuda hitam terangkat ke udara. Si pemuda menjepit perut kuda
dengan kedua kakinya.
Kuda hitam terangkat dari tanah tak kurang dari satu tombak. Batu sebesar kerbau
meluncur lewat di bawahnya. Demikian pula dengan batu-batu lalnnya. Kuda hitam
itu ba ru menjejak tanah dengan keempat kakinya ketika luncuran batu-batu telah
usai. "Wahai orang yang berada di atas! Tahan serangan...! Aku datang tidak dengan
maksud jahat...2010 Pemuda berpakaian coklat berteriak, keras. Kemudian hening
sejenak setelah si pemuda mengeluarkan seruan. Pemuda itu tidak memacu kudanya
lagi. Dalam keadaan masih duduk di atas punggung kuda, dia mengedarkan pandangan
ke depan. "Kalau kau memang tidak berniat jahat, kami sarankan untuk meninggalkan tempat
ini!" sambut sebuah suara dari bagian atas bukit tempat pemuda berpakaian coklat
berada. Bagian itu terlindung gundukan baru yang agak besar.
"Aku tidak bisa memenuhi permintaan itu!" lantang jawaban pemuda berpakaian
coklat. "Aku mempunyai urusan penting. Karena itu, aku berada di tempat ini!"
"Kami ulangi peringatan kami...! Kalau kau memang mempunyai kepentingan, harap
tunda dulu sehingga beberapa hari. Kalau tidak, kau terpaksa akan berhadapan
dengan kami!2010 timpal suara dari balik gundukan baru.
2010Urusanku ini tidak bisa ditunda! Aku tidak ingin perjalananku sia-sia!2010
Pemuda berpakaian coklat memperkeras suaranya. "Apakah kalian prajurit-prajurit
kerajaan...?"
Tidak ada tanggapan.
"Ketahuilah, kedatanganku kemari menyangkut keselamatan Panglima Anggar Bayu!
Ada seorang sakti yang dendam terhadapnya. Ia akan melakukan pembalasan. Kuharap
kalian bersedia memberitahukan dan memintanya untuk meninggalkan tempat ini
sesegera mungkin!" Si pemuda menyambung ucapannya. Dia yakin ucapannya di
dengarkan kendati tidak diterimanya sambutan dari atas.
Kembali suasana menjadi hening ketika pemuda berpakaian coklat menyelesaikan
perkataannya. Sesaat kemudian, sebelum pemuda berpakaian coklat kehilangan
kesabaran itu bergerak ke atas, pendengarannya yang tajam menangkap bunyi
gerakan. Ia segera mengurungkan maksudnya.
Sekejap kemudian dua sosok tubuh muncul. Mereka mengenakan seragam pasukan
kerajaan. Yang seorang bertubuh pendek kekar, sedang yang lain tinggi kurus. Di tangan
kedua prajurit ini tergenggam tombak panjang.
"Siapa kau, Anak Muda" Apa maksud ucapanmu tadi" Kami tidak mengerti!" Prajurit
tinggi kurus mengernyitkan dahi seperti orang kebingungan.
"Sikap kalian untuk merahasiakan keberadaan Panglima Anggar Bayu di sini memang
bagus. Tapi, terhadapku kalian tidak perlu bermain sandiwara. Masalah ini sangat
penting. Harap kalian beritahukan kedatanganku. Katakan saja adik
seperguruannya, I Made Sangkara murid Eyang Brihaspati, datang menjenguknya,"
beritahu pemuda berpakaian coklat, buru-buru.
Prajurit tinggi kurus saling berpandangan dengan rekannya. Nama Eyang Brihaspati
memang telah mereka dengar dari Panglima Anggar Bayu. Beliau adalah guru dari
panglima mereka. Panglima Anggar Bayu sedang berada di tempat ini untuk berburu
macan putih. "Tunggu apa lagi" Cepat sampaikan kedatanganku sebelum semuanya terlambat dan
kalian akan menyesal!" desak I Made Sangkara
Melihat sikap 1 Made Sangkara yang kelihatan bersungguh-sungguh dan penuh rasa
khawatir, dua prajurit kerajaan ini pun terpengaruh. Lelaki yang bertubuh pendek
kekar membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu. Tapi, baru beberapa langkah ia
berhenti. Tubuhnya segera dibalikkan.
2010Aku lupa lagi. Namamu siapa tadi, Anak Muda" I Made....2010
2010I Made Sangkara,2010 lanjut I Made Sangkara, tidak saba r. 2010Aku dari
Pulau Dewata!2010
Prajurit pendek kekar mengangguk-angguk. Kemudian, dengan bibir komat-kamit
mengingat nama itu dia meneruskan maksudnya untuk menemui Panglima Anggar Bayu.
Sekarang yang tinggal di tempat itu hanya prajurit tinggi kurus dan I Made
Sangkara. Si prajurit tampak bersikap waspada. Sepasang matanya tak lepas dari I
Made Sangkara. Tombak di tangannya digenggam dengan kedua tangan, siap untuk digunakan.
I Made Sangkara sendiri seakan tidak peduli. Dia duduk di atas punggung kuda
dengan perasaan gelisah yang tidak bisa disembunyikan. Pandangannya tertuju ke
belakang prajurit tinggi kurus. Arah di mana prajurit yang hendak melapor pada
Panglima Anggar Bayu itu lenyap.
I Made Sangkara sa mpai melompat turun dari punggung kuda ketika melihat
kedatangan prajurit pendek kekar. Bias kecewa tampak pada wajahnya. Prajurit itu
datang sendirian. Tidak nampak orang lain di sebelahnya.
2010Bagaimana" Apakah kau sudah sampaikan kedatanganku pada Panglima
Anggar Bayu" Ba gaimana tanggapannya" Mengapa beliau tidak datang kemari" Atau,
aku yang harus datang ke sana?" Dengan sikap tidak sabar I Made Sangkara
mengajkan pertanyaan bertubi-tubi.
2
Dewa Arak 82 Lorong Batas Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Prajurit pendek kekar malah tersenyum mengejek.
"Lebih baik kau segera pergi dari sini, Penipu Muda. Jika kau tidak mempedulikan
peringatan ini dengan sangat menyesal kami akan menjadikanmu sate manusia!"
"Apa artinya ini" Mana Panglima Anggar Bayu..."!" I Made Sangkara maju
selangkah. Karena sebelum kakinya terus diayunkan, prajurit pendek kekar telah mengeluarkan
ancaman. "Selangkah lagi kau maju, anak-anak panah akan menyate tubuhmu!"
Pemuda berpakaian coklat melihat prajurit pendek kekar menjentikkan jari.
Seketika itu pula di belakangnya muncul belasan prajurit dengan busur terentang!
"Rupanya kau masih juga mau berpura-pura, Penipu Busuk! Baiklah, kalau itu yang
kau inginkan. Rupanya kebohonganmu ingin ditelanjangi. Dengar, Panglima Anggar
Ba yu tidak pernah mempunyai adik seperguruan. Apalagi orang yang mempunyai nama
aneh sepertimu. Nah, sekarang menyingkirlah dari sini! Mengingat kau masih muda,
aku mau bertindak sabar. Tapi, ini yang terakhir kali "
I Made Sangkara tertegun sebentar. Dia tengah berpikir keras. "Kalian terlalu
memaksa. Aku tidak punya pilihan lain!"
Usai berkata, tanpa merasa gentar sedikit pun I Made Sangkara melangkah maju.
"Pemuda gila! Kau memang sudah bosan hidup. Serang...!"
Berbarengan dengan selesainya seruan prajurit pendek kekar, belasan prajurit di
belakangnya melepaskan anak panah. Belasan anak panah meluncur ke arah I Made
Sangkara. Terdengar bunyi berdesing nyaring yang menyakitkan telinga.
I Made Sangkara tidak melakukan gerakan apa pun. Dia terus mengayunkan kaki.
Kendati demikian, karena tidak ingin mati konyol, pemuda ini mengerahkan tenaga
dalam untuk melindungi sekujur tubuhnya. Prajurit pendek kekar dan semua yang
ada di tempat itu sudah membayangkan betapa tubuh I Made Sangkara penuh
ditembusi belasan anak panah. Bila ini terjadi, sulit rasanya bagi pemuda itu
untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Tapi, mata mereka membelalak lebar. Anak-anak panah runtuh semua ke tanah
sebelum berhasil mengenai tubuh I Made Sangkara. Seakan di sekeliling tubuh
pemuda itu terdapat benteng yang tidak tampak!
Kenyataan yang terpampang di depan mata itu terlalu mengejutkan para prajurit
kerajaan. Mereka tidak percaya. Ketika prajurit pendek kekar kembali memberi
aba-aba, belasan anak panah meluncur siap merajam I Made Sangkara. Tapi, seperti
juga sebelumnya, anak-anak panah runtuh sebelum mengenai sasaran.
I Made Sangkara tetap melangkah dengan tenang.
Para prajurit kerajaan tidak putus asa dengar kegagalan serangan mereka. Sambil
berseru nyaring, mereka menghunus golok. Senjata tajam itu digenggam dengan
tangan kanan. Sedangkan di tangan kiri tercekal tameng. Dengan pasangan senjata
ini kelompok pasukan kerajaan menyerbu I Made Sangkara.
I Made Sangkara menghela napas berat. Sikapnya menyesali kejadian yang sama
sekali tidak diharapkan ini. Sambil terus melangkah maju, kedua tangannya
berulang kali didorongkan ke depan.
Prajurit-prajurit kerajaan bagai bulu-bulu dihembus angin. Mereka berpentalan ke
belakang dan jatuh terguling-guling di tanah. Untungnya I Made Sangkara tidak
berniat jahat. Mereka tidak mengalami luka parah. Hanya lecet-lecet karena kulit
mereka bergesekan dengan batu-batu.
I Made Sangkara tidak menghiraukan keadaan lawan-lawannya. Dia terus saja
mengayunkan kaki. Kelihatannya hanya langkah biasa. Pendek-pendek dan lambat-
lambat. Tapi, belasan prajurit kerajaan yang mengejarnya dengan mempergunakan ilmu lari
cepat tidak mampu menyusul.
Suasana jadi gaduh. Prajurit-prajurit
itu melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak. Kegaduhan ini yang menyebabkan sebuah tenda yang tampak
didepannya tersingkap. Dari dalam tenda keluar seorang lelaki tinggi besar
bercambang bauk lebat dan berpakaian seragam panglima kerajaan. Di kanan kirinya
tampak dua orang yang tidak berpakaian prajurit. Sepasang mata mereka tajam
menusuk. Dua prajurit yang menjaga bagian depan tenda segera memberi hormat dan berjalan
di belakang sang panglima. Panglima itu sendiri dengan tenangnya melangkah lebar
menghampiri I Made Sangkara.
"Kaukah orang yang mengaku murid Eyang Brihaspati yang menjadi guruku?" tanya
sang panglima yang bukan lain Anggar Bayu. Sikap panglima ini demikian tenang
dan penuh percaya diri.
"Benar. Namaku I Made Sangkara. Benarkah aku tengah berhadapan dengan Panglima
Anggar Bayu yang terkenal lihai baik ilmu perang maupur ilmu silatnya?" puji I
Made Sangkara penuh hormat
Panglima Anggar Bayu mengangguk. Tanpa merasa curiga sedikit pun. Padahal, itu
amat berbahaya. Kalau orang bermaksud tidak baik dan jauh lebih lihai, dia akan
celaka. "Bisa lolos dari kepungan prajuritku menjadi pertanda kau memiliki kepandaian
cukup. Hanya, yang kusayangkan, mengapa dalam usia semuda ini kau berada di
jalan sesat" Mencatut nama orang lain untuk kepentingan sendiri"!"
Ucapan Panglima Anggar Ba yu terdengar tegas dan penuh wibawa. Menunjukkan kalau
dia orang yang telah kenyang pengalaman hidup. "Kalau tidak mengingat usiamu
yang masih sangat muda itu, pencatutan nama terhadap guruku telah cukup untuk
kujadikan alasan menindakmu!"
"Maafkan aku, Panglima." I Made Sangkara memberi hormat. "Aku tidak berbicara
dusta. Eyang Brihaspati memang guruku. Selama lima tahun ini aku menjadi
muridnya."
"Hmmm...!"
Panglima Anggar Ba yu menggumam. Ditatapnya I Made Sangkara penuh selidik.
Dengan matanya lelaki gagah yang telah berusia empat puluh lima tahun ini ingin
mencari kebenaran ucapan I Made Sangkara.
"Panglima mungkin meragukan keteranganku, ingatkah Panglima akan cerita Eyang
Brihaspati" Eyang pernah mengatakan padaku kalau beliau telah menceritakan pada
Panglima mengenai sahabatnya di Pulau Dewata."
"Maksudmu..., I Nyoman Tirta" Pembuat keris nomor satu di Pulau Dewata itu"!"
seru Panglima Anggar Bayu, kaget.
"Benar, Panglima. Tiang adalah putranya. Lima tahun yang lalu Bapa membawa Tiang
untuk menemui Eyang Brihaspati. Ida menerima Tiang menjadi muridnya. Atas
perintah Ida, Tiang memberanikan diri datang kemari, Panglima," beritahu I Made
Sangkara. Ia mempergunakan dialek daerahnya untuk lebih meyakinkan hati Panglima Anggar
Bayu. Panglima Anggar Bayu tersenyum lebar. Dia tiak merasa ragu lagi, I Made Sangkara
tidak berniat jahat. Nama Nyoman Tirta telah sering didengarnya. Tokoh itu
sahabat gurunya.
Eyang Brihaspa memang telah merantau ke berbagai tempat. Salah satunya adalah
Pulau Dewata. "Kiranya Cai bukan orang lain. Siapa namamu tadi, Adi" I Made Sangkara?"
Panglima Anggar Ba yu meminta kepastian. Panglima yang rupanya cukup menguasai
bahasa I Made Sangkara ikut-ikutan berbicara dalam dialek tersebut.
"Benar, Panglima. Itu memang nama Tiang," jawab I Made Sangkara dengan hati
lega. "Mari. Mari, Adi. Masuk ke tendaku. Kita berbincang-bincang. Aku ingin tahu
masalah yang membuat guruku mengutus Adi kemari," ajak Panglima Anggar Bayu. Ia
mendahului membalikkan tubuh dan melangkah menuju tendanya.
I Made Sangkara mengikuti di belakang.
*** "Sayang sekali, Adi. Aku tidak bisa memenuhi anjuran Guru. Aku bukan seorang
pengecut. Apa kata orang nanti bila aku lebih dulu melarikan diri sebelum
bertanding"2010
Panglima Anggar Ba yu bangkit dari duduk bersilanya. Ia berjalan mondar-mandir
di dalam tenda. I Made Sangkara tetap duduk bersila. Di sisi kanan dan kiri dua
lelaki gagah berdiri dengan sikap waspada. Mereka tidak mencampuri urusan antara
Panglima Anggar Bayu dengan I Made Sangkara.
2010Lihat, Panglima Anggar Bayu yang ditakuti lawan dan disegani kawan, lari
lintang-pukang dari seorang musuh yang belum diketahui kepandaiannya! Bila itu
terjadi, mau ditaruh di mana mukaku, Adi"122010
2010Maafkan Tiang, Panglima. Bukan maksud Tiang membuat marah Panglima.
Tiang hanya menyampaikan amanat Eyang Brihaspati. Ida amat berharap Tiang dapat
melunakkan hati Panglima."
"Penasaran!"
Panglima Anggar Bayu memukulkan tangan kanan pada telapak tangan kirinya.
Terdengar bunyi benturan keras.
"Mengapa Guru terlalu memandang remeh padaku" Begitu yakinkah beliau musuh
keparat itu akan berhasil mengalahkanku"!"
"Maafkan Tiang, Panglima. Menurut Ida, musuh besar Panglima memang tak akan
mungkin di kalahkan oleh siapa pun! Dia telah menelan pusaka yang bernama Telur
Elang Perak Pusaka itu menyebabkan tidak ada seorang tokoh pun akan dapat
mengalahkan apalagi membunuhnya!"
"Telur Elang Perak"!" Panglima Anggar Ba yu berteriak, kaget. "Aku memang sudah
lama mendengar pusaka itu. Tapi, menurut berita Telur Elang Perak berada di
tangan Iblis Buta. Ia sudah lama tidak kedengaran beritanya lagi. Lenyap bagai
ditelan bumi!"
I Made Sangkara diam. Panglima Anggar Bayu kembali berjalan mondar-mandir. Kali
ini bukan karena rasa penasaran melainkan resah.Berapa kali dia menghela napas
berat. "Sungguh tidak kusangka Panglima Sabu yang berkhianat itu memiliki seorang anak.
Hhh...! Aku kecolongan!"
"Eyang Brihaspati mencari tahu melalui semadinya. Musuh besar Panglima bernama
Lanang. Dia lolos ketika Panglima menumpas pemberontakan Panglima Sabu belasan
tahun lalu," Beritahu I Made Sangkara. "Lanang tidak akan bisa dikalahkan.
Kecuali...."
2010Kecuali apa, Adi"122010 sa mbar Panglima Anggar Hayu, cepat.
2010Kecuali oleh Mustika Ular Emas. Orang yang berhasil mendapatkan mustika itu
berkesempatan untuk menamatkan riwayat Lanang. Telah belasan tokoh persilatan
dibunuh Lanang. Sebagian besar merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi122010
2010Mustika Ula r Emas"122010 ulang Panglima Anggar Hayu. 2010Rasanya aku belum
pernah mendengarnya....2010
2010Tak aneh, Panglima. Eyang Brihaspati sendiri mengetahuinya belum lama.
Menurut Ida, Ular Emas itu telah keluar ke dunia persilatan. Ida telah
mendapatkan tanda-tandanya.2010 Kemudian, dengan singkat I Made Sangkara
menceritakan semua yang diketahuinya. Panglima Anggar Bayu mendengarkan dengan
perasaan tertarik. Tak sedikit pun dia memotong hingga I Made Sangkara selesai
menceritakan semuanya.
2010Lanang mencari berita mengenai Panglima. Tiang yakin akhirnya ia akan
menemukan Panglima. Sebelum itu terjadi, lebih baik Panglima tinggalkan tempat
ini. Sementara itu, Tiang akan mencoba mencari Mustika Ular Emas. Apabila sudah
berhasil Tiang dapatkan, Panglima tidak perlu bersembunyi lagi. Lanang akan kita
bunuh!" Panglima Anggar Bayu tersenyum pahit. Dengan pandang mata sungguh-sungguh
ditatapnya I Made Sangkara lekat-lekat.
"Kuucapkan terima kasih atas jerih payahmu, Adi. Sampaikan salam hormatku pada
Guru. Perhatian beliau dan kau amat kuhargai. Tapi, sayang aku tidak bisa
memenuhi permintaan itu. Aku bukan seorang pengecut. Tidak, Adi! Aku tidak takut
mati. Kuharap kau mau menyampaikan hal ini pada Guru!" jawab Panglima Anggar
Bayu dengan suara lantang dan sikap gagah.
I Made Sangkara tidak berkata-kata lagi. Di merasakan nada kesungguhan dalam
sikap dan ucapan Panglima Anggar Bayu. Dia tahu tidak ada gunanya berusaha
membujuk. Orang yang memiliki pendirian seperti sang panglima ini tak akan mudah dibujuk!
"Ha ha ha...!"
Tawa bergelak yang penuh nada ejekan menguak keheningan. Semua orang yang berada
di situ langsung bersikap waspada.
I Made Sangkara langsung berdiri dan berjalan keluar tenda. Ia mengedarkan
pandangan mencari-cari sumber suara. Demikian juga dengan Panglima Anggar Ba yu.
Dua lelaki berpakaian ringkas yang menjadi pengawal pribadi Panglima Anggar Bayu
telah melesat dari tempatnya dan berdiri di kanan kiri sang panglima. Mereka
bersikap melindungi.
Panglima Anggar Bayu dan I Made Sangkara bertukar pandang sesaat ketika
mengetahui sumber suara itu tidak bisa mereka lacak. Ini berarti si pemilik
suara memiliki ilmu "Memindahkan Suara". Sebuah ilmu yang hanya dikuasai orang-
orang berilmu tinggi.
Sekarang, kakak dan adik seperguruan ini mulai mengerti mengapa Eyang Brihaspati
begitu khawatir. Pemilik suara yang diduga I Made Sangkara dan Panglima Angga r
Ba yu sebagai sang musuh besar terbukti memiliki kepandaian tinggi.
2010Benar-benar seorang panglima yang gagah perkasa...122010 Kembali suara itu
terdengar. 2010Siapa kau, Pengecut" Tunjukkan dirimu kalau kau memang berhati jantan12
Jangan beraninya hanya bersembunyi seperti nenek-nenek keriput!" pancing
Panglima Anggar Bayu.
"Siapa bilang aku bersembunyi" Aku berada di sini sejak tadi..."
Hampir bersamaan Panglima Anggar Bayu, I Made Sangkara, dan dua orang
pangawal pribadi sang panglima membalikkan tubuh. Tidak seperti sebelumnya, kali
ini suara itu terdengar jelas dan bisa ditebak dari mana asalnya. Si pemilik
suara tidak menggunakan ilmu 'Memindahkan Suara'-nya lagi.
Hanya berjarak satu tombak dari Panglima Anggar Bayu duduk sesosok tubuh
dengan cara yang amat luar biasa. Panglima Anggar Bayu dan teman-temannya
membelalakkan mata karena kaget.
Sosok itu duduk bersila di ujung sebuah tambang yang berdiri kaku. Tambang yang
biasa dipergunakan untuk mengikat oleh sosok yang baru datang ini digunakan
untuk tempat duduk!
Panglima Anggar Ba yu dan yang lainnya merasa tegang. Tindakan yang dilakukan
sosok berpakaian mewah itu membutuhkan ilmu meringankan tubuh sangat tinggi.
Panglima Anggar Bayu dan I Made Sangkara tahu pasti mereka tidak mampu melakukan
hal itu! "Bagaimana, Panglima" Sudah puas melihatku" Aku bukan pengecut, bukan?" Sosok
berpakaian mewah yang ternyata seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun itu
kembali membuka suara. Lantang dan keras. Padahal Panglima Anggar Bayu dan yang
lainnya tidak melihat bibir pemuda itu berkemik sedikit pun.
Pertanyaan itu membuat Panglima Anggar Bayu sadar dari kesimanya.
"Kau memang hebat, Anak Muda. Tapi, jangan harap mampu menakut-nakutiku dengan
permainan anak-anakmu itu!" tandas sang panglima, mantap dan gagah.
"Ha ha ha...!"
Pemuda berpakaian mewah tertawa. Ucapan Panglima Anggar Bayu membuatnya
merasa geli. Kembali Panglima Anggar Bayu dan yang lain-lain tercekat. Bibir pemuda itu tidak
terbuka walau sedang tertawa.
3 Keterkejutan yang melanda Panglima Anggar Bayu dengan kejadian itu sebenarnya
sudah cukup besar. Namun, masih tidak sebesar rasa kaget yang dialaminya
kemudian. Tawa pemuda berpakaian mewah ternyata bukan main-main
Panglima Anggar Ba yu, I Made Sangkara, dan dua lelaki berpakaian ringkas
merasakan telinga mereka seperti kemasukan beduk berbunyi. Terasa sakit dan
nyeri bukan main. Bagian dalam telinga mereka bagai disentak-sentak. Ditambah
lagi dengan getaran hebat
yang melanda sekujur tubuh. Seperti ada tangan tak nampak yang mengguncang-guncangkan tubuh keempat orang itu.
Panglima Anggar Bayu dan yang lain-lain segera tahu pemuda berpakaian mewah itu
melakukan serangan tenaga dalam melalui suara tawa. Bagai telah disepakati
Dewa Arak 82 Lorong Batas Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelumnya, keempat orang ini segera mengambil senjata masing-masing. Dua lelaki
berpakaian ringkas melemparkan pisau-pisau putih berkilat. Sedangkan Panglima
Anggar Bayu mempergunakan mata panah. I Made Sangkara meluncurkan logam
berbentuk bintang segi tiga.
Tiga macam senjata rahasia yang berjumlah belasan itu meluncur dengan
mengeluarkan bunyi berdesing nyaring. Tapi, pemuda berpakaian mewah tetap duduk
tenang di tempatnya. Tidak terlihat hendak menangkis atau mengelakkannya. Pemuda
berpakaian mewah bahkan semakin mengeraskan tawa. Belasan senjata rahasia itu
runtuh ke tanah seperti terpukul serangan jarak jauh.
Kejadian ini benar-benar luar biasa. Panglima Anggar Bayu dan yang lainnya
sampai terkesima. Sungguh luar biasa lawan yang tengah mereka hadapi. Hanya
dengan suara tawa mampu meruntuhkan serangan senjata. Tawa itu ternyata tidak
hanya mampu digunakan untuk menyerang, tapi juga dipakai untuk menggantikan
tangan atau kaki!
"Apakah kau orang yang hendak membunuhku"! Kaukah keturunan Panglima Sabu yang
be-khianat itu?" tanya Panglima Anggar Bayu, mencoba bersikap tenang. Namun,
getar kegentaran pada suaranya tetap tidak bisa ditutupi.
Pemuda berpakaian mewah terkekeh.
"Apa yang kau duga tidak salah. Aku memang putra Panglima Sabu. Na maku Lanang!
Akulah orang yang diceritakan adik seperguruanmu itu!" jawab pemuda berpakaian
indah dengan sikap memandang remeh.
I Made Sangkara hanya bisa mengepalkan tinju. Dia menyesalkan kekerasan hati
Panglima Anggar Bayu. Kalau saja sang panglima tidak berkeras hati, mereka tentu
tidak perlu bertemu dengan Lanang.
"Tanpa kujelaskan lagi pun kau sudah tahu maksud kedatanganku kemari, Panglima
Anggar Bayu! Aku ingin membunuhmu! Bukan hanya kau, tapi juga semua orang yang
mempunyai hubunga denganmu!" desis Lanang dengan sinar mata berkilat-kilat.
"Kau terlalu, Lanang! Yang bertanggung jawab atas kematianmu adalah aku.
Pasukanku mungkin bisa kau bawa-bawa pula. Tapi, I Made Sangkara tidak ada
hubungannya dengan dendammu. Kuharap kau mau membiarkan dia pergi dari sini!"
Panglima Anggar Ba yu mencoba menawar.
Lanang menggeleng.
"Aku telah bersumpah untuk membunuh setiap orang yang mempunyai hubungan
denganmu, Anggar Ba yu! Siapa pun mereka. Juga I Made Sangkara. Gurumu dan semua
sahabat gurumu. Istrimu, pelayan-pelayanmu, dan juga anak-anakmu!"
"Manusia keji! Aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Panglima Anggar Bayu mencabut pedang yang menjadi tanda pangkatnya.
Kemudian, disertai terjangan dibabatnya pedang itu ke leher Lanang!
Dua lelaki berpakaian ringkas yang merupakan pengawal pribadi sang panglima ikut
mengirimkan serangan. Dua orang ini menggunakan tombak pendek.
I Made Sangkara menyerang belakangan. Pemuda gagah ini menggunakan keris
berlekuk enam. Gabungan serangan keempat orang itu yang melancarkan serangan
susul-menyusul, dahsyat bukan main.
Tapi, seperti semula Lanang tidak bergeming dari kedudukannya. Tawanya segera
dihentikan. Pemuda ini kemudian malah menangis. Kelihatan aneh sekali tingkah
Lanang. Mendapat serangan maut kok malah menangis. Apakah pemuda ini ketakutan sekali"
Ternyata tidak demikian. Tangis Lanang bukan tangisan sembarangan. Tangis yang
dialirkan dengan menggunakan tenaga dalam. Dirancang sedemikian rupa. Suara
tangis itu menyelusup melalui telinga dan singgah di kepala.
Akibat suara tangisan itu dahsyat dan mengerikan. Panglima Anggar Bayu dan
ketiga orang lainnya menghentikan serangan. Wajah mereka membiaskan rasa sakit
yang sangat. Bunyi tangisan seperti mengiris-iris bagian dalam kepala mereka, menimbulkan
rasa sakit dan nyeri.
Semakin lama rasa sakit dan nyeri semakin dahsyat. Panglima Anggar Bayu dan yang
lainnya tidak tahan untuk berdiam diri. Mereka memegangi kepala dengan kedua
tangan. Seluruh tenaga dalam dikerahkan untuk menghilangkan rasa yang menyiksa.
Usaha keempat orang gagah yang malang ini sia-sia belaka. Rasa sakit tidak mau
hilang. Malah, semakin menghebat. Mereka menggeliat-geliat seperti cacing
kepanasan. Dari mulut mereka keluar erangan menyayat hati.
Semakin Lanang memperhebat tangisnya semakin tersiksalah mereka. Ketika
akhirnya Lanang menangis menggerung terdengarlah
bunyi letupan. Pelan tapi
menggidikkan hati. Darah bercampur otak muncrat ketika letupan itu terdengar.
Letupan itu terjadi akibat meletusnya kepala dua orang pengawal pribadi Panglima
Anggar Bayu! Disusul dengan kepala panglima itu sendiri.
Lanang menghentikan tangisnya. Seketika itu pula pengaruh yang menggiriskan
lenyap. I Made Sangkara yang masih hidup dan sejak tadi menggelepar-gelepar kini
terdiam. "Aku sengaja tidak membunuhmu, Monyet!" Tanpa peduli pada I Made Sangkara yang
masih belum sada r sepenuhnya, Lanang berkata dengan suara dingin. I Made
Sangkara masih berdiri limbung dengan pandangan nanar.
"Aku memberimu kesempatan untuk memberitahukan musibah ini pada gurumu.
Barangkali kau ingin mengajak gurumu mengungsi ke tempat yang aman. Tapi ingat,
aku tidak akan tinggal diam. Aku bermaksud menjumpai gurumu. Kita berlomba untuk
lebih dulu sampai di sana. Kalau kau tiba lebih dulu, kalian mempunyai
kesempatan menghirup udara dunia ini lebih lama. Sebaliknya, bila aku yang lebih
dulu tiba... kau hanya akan menjumpai mayat gurumu yang mungkin tidak akan bisa
kau kenali lagi!"
Ucapan Lanang sebenarnya keras dan lantang, tapi pengaruh serangan dahsyat
pemuda ini membuat I Made Sangkara hanya mendengarnya samar-samar. Pemuda
berpakaian coklat ini mendengarnya antara sadar dan tidak.
Lanang tanpa menunggu jawaban dari I Made Sangkara segera melesat pergi.
Bertepatan dengan perginya Lanang tubuh I Made Sangkara bergerak limbung.
Kemudian, ambruk bagai sehelai kain basah. Pemuda ini jatuh pingsan. Pengaruh
serangan Lanang memang luar biasa!
*** Seorang kakek berambut awut-awutan dan bermata buta menghela napas berat.
Wajahnya yang penuh dibasahi peluh membuat keadaannya terlihat mengenaskan.
Kakek ini tengah duduk bersila di atas baru karang hitam di pinggir laut.
"Benar-benar luar biasa...,2010 ucap kakek berambut awut-awutan seraya
menggeleng-gelengkan kepala. Ucapannya meski pelan tapi mampu mengatasi riuhnya
bunyi di sekelilingnya.
Sekitar tempat kakek itu berada memang penuh kegaduhan. Ombak besar
bergulung-gulung datang dari tengah laut menghantam karang dekat pantai.
Termasuk batu karang di mana kakek buta itu berada. Apalagi batu karang itu
berada agak menjorok ke laut.
Hanya, ada kejadian yang aneh. Setiap kali ombak besar menghantam karang di mana
si kakek berada, percikan-percikan airnya tak setetes pun mengenai tubuh kakek
itu. Percikan air berpentalan kembali ke laut.
Pada karang lainnya tidak demikian. Kendati sebagian besar air yang menghantam
karang kembali ke laut, tapi sebagian lagi memercik ke atas batu karang dan
membasahinya. Pada celah-celah karang tertinggal keong-keong laut dan ikan-ikan kecil yang
tadi ikut terbawa ombak.
Tempat kakek buta itu berada sebenarnya sepi. Meski di pinggir laut tak satu pun
tampak perahu nelayan. Sejauh mata memandang yang kelihatan hanya gugusan batu
karang. Desa yang paling dekat jaraknya amat jauh dari tempat ini.
Tapi, kali ini ada sesosok tubuh melesat cepat menuju tempat kakek buta itu
berada. Sosok itu seorang kakek jangkung berwajah mirip kuda. Meski telah tua kakek ini
memiliki kecepatan lari yang mengagumkan. Kaki-kakinya seperti tidak menginjak
tanah. Dengan lompatan-lompatan luar biasa kakek bermuka kuda melalui karang-karang
licin yang banyak ditempeli lumut. Kakek ini melompat-lompat tanpa merasa
khawatir akan tergelincir. Karang demi karang dilalui dengan enaknya, seperti
orang berlari di tempat rata.
Kakek buta rupanya mendengar seseorang mendatangi tempatnya. Kepalanya segera
ditelengkan. Sekejap kemudian, dia melakukan tindakan luar biasa. Dalam keadaan
masih duduk bersih tubuhnya perlahan-lahan naik ke atas.
Setelah mencapai ketinggian sepinggang, kedua kakinya diturunkan. Sekarang dia
berdiri dengan kedua kaki. Seperti orang yang mempunya mata normal pandangannya
diarahkan pada tempat di mana kakek berwajah kuda melesat ke arahnya.
Sementara itu kakek berwajah kuda sadar kalau kakek buta telah mengetahui
kedatangannya. Pada batu karang yang berhadapan dengan batu karang tempat kakek
buta berdiri larinya dihentikan. Kakek berwajah kuda berdiri menghadap kakek
buta di pinggir batu karang yang dipisahkan oleh celah laut selebar tiga tombak.
"Siapa kau" Apa maksud kedatanganmu ke tempat ini?" Kakek buta bertanya tanpa
menyembunyikan perasaan tidak senangnya.
Kakek berwajah kuda tidak memberikan jawaban. Setelah memperhatikan kakek buta
sesaat dia lalu tertawa. Suara tawanya tidak layak keluar dari mulut manusia.
Lebih mirip suara kuda!
Wajah kakek buta beriak. Terlihat jelas dia merasa kaget. "Kukira siapa. Kiranya
kau si muka kuda yang berani bergelar Raja Sihir Penyebar Maut! Apa maksud
kedatanganmu kemari, Muka Kuda"!"
Raja Sihir Penyebar Maut kembali meringkik. Suaranya melengking nyaring
mengatasi gemuruh umbak laut pasang.
"Syukur kau masih mengenaliku, Dewa Mata Putih," ujar kakek bermuka kuda.
"Kukira sudah lupa. Ingatanmu ternyata masih kuat. Pendengaranmu pun semakin
tajam sehingga bisa mengetahui kedatanganku."
Kakek buta yang bergelar Dewa Mata Putih mengibaskan tangan dengan sikap
mencela. "Tidak usah memuji-mujiku, Muka Kuda!" sergah kakek itu, lantang.
"Kalau kau bersikap seperti ini pasti ada sesuatu yang diinginkan dariku. Aku
tahu betul dengan tingkahmu!"
Raja Sihir Penyebar Maut hanya meringkik "Perasaanmu pun semakin tajam, Buta.
Kau tahu maksud kedatanganku kemari sebelum kuutarakan. Luar Biasa!"
Dewa Mata Putih mendengus. Tidak terlihat kemarahan, kendati Raja Sihir Penyebar
Maut menyapanya dengan cacat yang dimilikinya.
2010Aku datang kemari untuk sebuah keperluan. Tapi, itu tidak terlalu
penting.2010 Raja Sihir Penyebar Maut mulai mengutarakan maksudnya. Dia tidak kecil hati
meski Dewa Mata Putih tersenyum mengejek. 2010Yang lebih penting adalah apakah
kau mendapatkan kemajuan setelah belasan tahun kita tidak bersua. Aku ingin
menguji kemampuanmu, Buta!"
"Mengapa berbelit-belit, Muka Kuda" Katakan saja maksudmu itu. Tidak usah
plintat-plintut seperti perawan dilamar!" sergah Dewa Mata Putih, tak sabar.
"Aku mempunyai urusan lain yang jauh lebih penting. Kau ingin menguji bagaimana"
Pertarungan sampai selaksa jurus! Mengadu kekuatan tenaga dalam sampai di antara
kita ada yang menggeletak" Aku siap menghadapinya!"
"Sayang sekali, Buta! Pertarungan semacam itu tidak menarik hatiku lagi. Aku
sudah terlalu tua. Urat-uratku telah kaku," kilah Raja Sihir Penyebar Maut
sambil tertawa.
"Lalu, pertarungan bagaimana yang kau inginkan?"
"Bukan pertarungan. Aku hanya ingin menguji kemampuanmu. Katakan dulu kau berani
atau tidak" Kalau tidak berani, aku akan segera pergi dari sini!2010 Raja Sihir
Penyebar Maut membakar keangkuhan Dewa Mata Putih. Kakek muka kuda ini tahu
benar kakek buta memiliki penghargaan yang tinggi terhadap dirinya sendiri.
Pantang baginya dianggap takut atau pengecut.
Dewa Mata Putih tertawa mengejek
2010Aku membaui adanya maksud untuk mencari keuntungan diri sendiri dalam
tantanganmu, Muka Kuda. Kau hendak menipuku! Tapi, jangan kira aku menjadi
gentar. Pantang bagiku menolak tantangan! Sekarang, katakan maksudmu secara jelas!2010
2010Aku yakin kau telah melihat keanehan di langit beberapa hari yang lalu,
Buta. Selama tiga hari tiga malam warna langit tetap demikian.2010 Raja Sihir Penyebar
Maut berkata seraya memperhatikan wajah Dewa Mata Putih. Ia ingin melihat setiap
riak sekecil apa pun di wajah tua itu. Maksud kakek muka, kuda ini terkabul.
Wajah Dewa Mata Putih terlihat beriak. "Bukankah kau melihatnya, Buta?"
Dewa Mata Putih mengangguk pelan seperti merasa berat untuk menjawab.
"Dan, aku yakin kau tahu penyebabnya. Iya, kan?" desak Raja Sihir Penyebar Maut.
Perubahan pada wajah Dewa Mata Putih semakin terlihat jelas. Agaknya, pertanyaan
yang di ajukan Raja Sihir Penyebar Maut merupakan rahasia.
"Bagaimana, Buta" Kau bermaksud menarik lagi ucapanmu yang mengatakan akan
bersedia memenuhi ujian dariku?" Raja Sihir Penyebar Maut mengeluarkan kata-kata
kuncinya. 4 Dewa Mata Putih menggertakkan gigi. Wajahnya mengelam. Beberapa saat hal ini
berlangsung sebelum akhirnya memudar seiring dengan helaan napas dari mulutnya.
"Sudah kuduga kau menyimpan maksud licik, Muka Kuda! Sejak dulu watakmu tidak
juga berubah!" desis Dewa Mata Putih, geram. Tapi, di dalamnya terkandung
ketidakberdayaan dan penyesalan.
"Apakah kau hendak menjilat ludah yang sudah kau keluarkan, Buta?" gertak Raja
Sihir Penyebar Maut.
"Katakan apa yang ingin kau tanyakan. Setelah itu, enyahlah dari sini! Aku tidak
ingin melihat wajahmu lagi!" ketus ucapan Dewa Mata Putih.
Raja Sihir Penyebar Maut sebenarnya merasa tersinggung. Tapi, dia menahan
amarahnya. Kakek muka kuda ini memiliki keangkuhan yang besar. Pantang baginya
diremehkan orang. Kalau tidak mengingat pentingnya masalah yang tengah dihadapi,
sudah diterjangnya Dewa Mata Putih.
Sayang, Raja Sihir Penyebar Maut terlalu terbawa rasa tersinggungnya. Kalau saja
ditelaahnya kata-kata Dewa Mata Putih dia pasti akan merasa geli. Mana mungkin
Dewa Mata Putih yang buta melihat wajahnya"
2010Aku hanya ingin kau memberikan jawaban di mana Ular Emas itu" Maksudku, di
mana tempat binatang aneh itu keluar!2010
2010Sejak tiga hari yang lalu aku telah berusaha mencari tahu, Muka Kuda. Tapi,
aku tidak ma mpu mengetahuinya. Ada tabir yang menutupi. Batas pengetahuanku
kurasa sama denganmu.2010
2010Aku yakin kau belum mengeluarkan seluruh kemampuanmu, Buta,2010 ujar
Raja Sihir Penyeba Maut setengah mengingatkan.
2010Bagaimana mungkin aku bisa mengerahkan seluruh kemampuanku" Aku tidak ingin
meninggalkan tempat ini. Harus kuakui kalau seluruh kemampuanku kukeluarkan,
mungkin tabir itu bisa kuungkap. Jadi, bukannya aku tidak mampu lulus dari
ujianmu. Tapi, tidak ada bantuan alat-alat yang dapat membuatku mengerahkan seluruh
kemampuan."
Raja Sihir Penyebar Maut tersenyum penuh rahasia. Dia tidak kelihatan kecewa.
Kakek muka kuda ini berdiam diri. Dewa Mata Putih yang tidak bisa melihat jadi
kebingungan. Kakek buta ini gelisah mendengar tidak adanya tanggapan Raja Sihir
Penyebar Maut "Apakah kau masih di situ, Muka Kuda?" tanya Dewa Mata Putih, kepalanya
ditelengkan ke kiri kanan untuk dapat lebih jelas menangkap bunyi-bunyi halus.
Sebenarnya kakek buta itu tahu pertanyaannya kedengaran bodoh. Tapi, dia tidak
bisa menahan rasa ingin tahunya ketika beberapa saat lamanya menunggu tidak juga
mendengar suara. Bahkan desah napas Raja Sihir Penyebar Maut. Kakek muka kuda
itu seperti sudah tidak berada di hadapannya lagi...
Raja Sihir Penyebar Maut tertawa melihat kegelisahan kakek buta di depannya.
"Tentu saja aku masih di sini, Buta. Mana mungkin kutinggalkan tempat ini
sebelum kudapat keterangan tentang Ular Emas itu"!"
"Bukankah sudah kukatakan kalau...."
"Kerahkanlah seluruh kemampuanmu, Buta! Semua bahan-bahan yang kau
perlukan sudah kusediakan!" potong Raja Sihir Penyebar Maut. Kakek muka kuda
melemparkan buntalan kecil yang sejak tadi dijinjing dengan tangan kirinya.
Sembarangan dan kelihatan tanpa tenaga kakek ini melemparkannya.
Dewa Mata Putih menyeringai. Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi
menderu keras. Kakek ini tidak bodoh. Meski matanya buta, tapi dengan
kepandaiannya dia tahu yang tengah meluncur ke arahnya hanya sebuah buntalan
kecil. Kakek buta ini tidak mau kalah gertak. Dengan sikap seperti orang malas tangan
kirinya diulurkan menyambut buntalan kecil. Dan buntalan itu dapai diterimanya
tanpa kesulitan sama sekali. Tanpa berkata apa pun kakek buta itu membuka
buntalan. Mudah sekali. Seakan matanya tidak buta. Dengan mempergunakan tangan
kanan diperiksanya isi buntalan. Dikeluarkan satu persatu dan dirabanya serta
diciumnya. "Kiranya kau telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan rapi, Muka Kuda.
Semua alat-alat yang kubutuhkan tersedia. Tak kusangka. Aku hampir tidak percaya
Dewa Arak 82 Lorong Batas Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang setua kau masih saja tamak dengan pusaka. Bukankah lebih enak menyepi di
tempat yang sunyi, menunggu ajal tiba dengan batin bersih?"
2010Kau tidak usah mengajariku, Buta!2010 bentak Uaja Sihir Penyebar Maut.
2010Kau boleh mempraktekkan ajaranmu itu untuk dirimu sendiri. Tidak untukku!
2010 2010Sungguh tidak kusangka kau masih ingat peralatan yang kuperlukan. Tak ada
yang kurang satu pun.2010 Dewa Mata Putih tidak mempedulikan ucapan Raja Sihir
Penyebar Maut. "Apa susahnya mengingat benda-benda menjijikkan itu"!" ejek Raja Sihir Penyebar
Maut. "Rambut mayat, hati kelelawar, kepala burung bantu, dan darah ayam hitam."
"Menjauhlah dariku, Muka Kuda! Aku ingin mulai bekerja. Keberadaanmu di sini
hanya akan mengacaukan pemusatan pikiranku. Nanti apabila telah kutemukan
hasilnya, kuberitahukan padamu!" usir Dewa Mata Putih, caranya memutuskan
pembicaraan terdengar kasar.
Sepasang mata Raja Sihir Penyebar Maut seperti memancarkan api. Tapi, orang yang
dipandang tidak mengetahuinya. Dia duduk bersila dan mulai sibuk dengan
pekerjaannya. Raja Sihir Penyebar Maut tidak berani menurutkan hawa nafsu. Saat ini kemampuan
si kakek buta amat diperlukan. Jadi, dia harus mengalah. Dengan kemarahan yang
bergolak ditinggalkannya tempat itu.
Raja Sihir Penyebar Maut tidak pergi jauh. Dia duduk menanti dengan perasaan
tidak sabar. Lima-puluh tombak da ri tempat Dewa Mata Putih. Kakek muka kuda ini
memilih sebuah gundukan karang yang agak tinggi sehingga dapat mengawasi
pekerjaan Dewa Mata Putih.
Tanpa sadar, ingatan kakek muka kuda ini melayang pada masa belasan tahun silam,
saat dia pertama kali bertemu Dewa Mata Putih. Saat itu dia sedang haus-hausnya
mengadu kesaktian dengan tokoh-tokoh persilatan baik dari golongan hitam maupun
putih. Dewa Mata Putih pun demikian. Bedanya, kalau Raja Sihir Penyebar Maut beraliran
hitam, Dewa Mata Putih beraliran putih. Perbedaan golongan ini menyebabkan
terjadinya pertarungan antara mereka.
Pertarungan dimenangkan oleh Raja Sihir Penyebar Maut. Tapi, kakek muka kuda ini
tidak membunuh lawannya. Ia ingin mengajak Dewa Mata Putih melakukan pertarungan
ilmu gaib. Dalam bidang ini Raja Sihir Penyebar Maut harus mengakui keunggulan
lawan. Kakek muka kuda ini jadi mengetahui alat-alat yang dibutuhkan Dewa Mata Putih
untuk mengeluarkan ilmu gaibnya.
Itulah sebabnya ketika tidak berhasil mencari tahu keberadaan Ular Emas, Raja
Sihir Penyebar Maut mencari Dewa Mata Putih. Dia yakin kakek buta itu bisa
mengetahuinya. (Untuk jelasnya mengenai tokoh yang berjuluk Raja Sihir Penyebar Maut, silakan
baca episode: "Pembantai Dari Mongol").
"Muka Kuda, cepat kemari! Aku telah menemukan sesuatu!"
Pemberitahuan Dewa Mata Putih yang dikirim lewat Ilmu 'Mengirim Suara Dari
Jauh', menyadarkan Raja Sihir Penyebar Maut dari lamunan. Bergegas dia bangkit
dan melesat ke arah kakek buta.
"Kau telah tahu di mana Ular Emas itu, Buta" Ternyata kemampuan ilmu gaibmu
tidak berkurang. Kau memang luar biasa...!" puji Raja Sihir Penyebar Maut, tanpa
menyembunyikan perasaan gembiranya.
"Telan dulu pujian berbisamu itu, Muka Kuda. Lebih baik kau dengarkan
penjelasanku," sergah Dewa Mata Putih.
Raja Sihir Penyebar Maut terdiam. Wajahnya mengelam. Sinar matanya berapi-api.
Kalau menuruti perasaan sudah diterjangnya kakek buta yang berkali-kali
menyakiti hatinya ini.
2010Ular Emas memang telah keluar. Tempat di mana keluarnya tidak dapat
kupastikan. Aku hanya melihat adanya lorong panjang dan gelap. Lorong yang
merupakan jalan menuju batas dunia kasar dan halus. Asal mula lorong ini adatah
Gunung Cikuray.
Rupanya, itulah yang menyebabkan gunung ini meletus. Aku melihat seseorang
berjalan melalui lorong. Seorang perempuan muda dan cantik. Mungkin dia yang
akan mendapatkan mustika yang tengah kau cari,2010 beritahu Dewa Mata Putih.
2010Apakah gadis itu yang akan mendapatkannya, Buta"2010 Dalam ketegangan, Raja
Sihir Penyebar Maut mengajukan pertanyaan yang semestinya tidak dikeluarkan
karena kakek buta telah mengatakannya. "Bisakah kau beritahukan ciri-ciri tempat
Ular Emas itu akan keluar?"
Dewa Mata Putih menggeleng.
"Samar-samar aku mendengar bisikan bahwa yang berjodoh dengan mustika itu hanya
orang yang masih suci. Dalam arti, belum pernah mengadakan hubungan badan.
Jadi, kurasa kau lebih baik mengurungkan maksudmu untuk mendapatkan mustika
itu." Raja Sihir Penyebar Maut menggertakkan gigi.
Jauh-jauh dia datang ke tempat ini dengan membawa bahan-bahan yang dibutuhkan
Dewa Mata Putih. Sekarang disuruh melupakan mustika itu. Sebuah usul yang benar-
benar gila! "Kau telah berusaha keras, Buta. Sepantasnya kalau kuberikan tanda mata untukmu.
Terimalah!"
Raja Sihir Penyebar Maut menutup ucapannya yang sarat dengan perasaan kecewa
melalui lemparan sebuah benda bulat lonjong sebesar telur angsa. Warnanya putih
kecoklatan. Kakek muka kuda ini melemparkannya ke atas. Diperkirakan benda ini
akan jatuh di depan Dewa Mata Putih.
Dewa Mata Putih bukan tokoh hijau yang baru pertama kali menghadapi hal-hal
aneh. Memang kakek ini buta matanya. Tapi, justru karena itu perasaannya tajam
bukan main. Dewa Mata Putih tahu siapa Raja Sihir Penyebar Maut. Kakek muka kuda ini seorang
pentolan dunia hitam. Yang ada di benaknya hanyalah mencari keuntungan untuk
dirinya sendiri. Tidak peduli orang lain dirugikan. Tak ada dalam hidup Raja
Sihir Penyebar Maut untuk mengingat kebaikan orang! Apalagi memberikan hadiah
tanda mata. Pikiran semacam ini membuat curiga Dewa Mata Putih. Ditambah lagi dengan
bisikan hatinya yang mengatakan adanya bahaya mengancam. Maka kakek buta ini
tidak berani menyambuti benda yan dilemparkan Raja Sihir Penyebar Maut. Khawatir
benda itu mengandung racun keji!
Kakek buta melompat ke belakang. Inderanya yang tajam dapat mengetahui pinggir
tebing karang hanya dengan mempergunakan telinga untuk menangkap bunyi ombak.
Dewa Mata Putih tidak terjeblos ke dalam laut. Kakek buta ini berdiri tepat di
pinggir batu karang.
Blarrr! Nyawa Dewa Mata Putih bagai melayang alam baka ketika mendengar bunyi
berdentum nyaring. Dirasakannya karang bergetar hebat. Kaki kakinya kehilangan
keseimbangan karena tempat yang dipijaknya lenyap. Karang tempatnya berdiri
hancur berantakan! Untungnya Dewa Mata Putih cepat bertindak. Saat tubuhnya
dirasakan terlempar ke udara akibat ledakan dahsyat itu, kakek buta ini bersalto
beberapa kali di udara. Kemampuan pendengarannya dikerahkan untuk mendengarkan
bunyi-bunyi yang terdengar di sekelilingnya. Sekecil apa pun. Salah sedikit saja
kakinya akan menjejak lautan lepas dan nyawanya lenyap di perairan yang maha
luas itu. Raja Sihir Penyebar Maut mendengus. Dia tahu maksud gerakan Dewa Mata Putih.
Dengan senyum keji menghias bibir dikirimkannya pukulan jarak jauh berupa
hentakan kedua tangan. Hembusan angin keras yang mengeluarkan bunyi berkesiutan
nyaring menghambur ke arah tubuh Dewa Mata Putih.
Dewa Mata Putih mendengar bahaya besar itu. Di dalam hati dia memaki kelicikan
Raja Sihir Penyebar Maut! Kedudukannya yang berada di udara dan ketiadaan
pijakan membuatnya tidak bisa mengelak
Blarrr! Untuk kedua kalinya terjadi bunyi ledakan keras. Kali ini terjadi akibat
benturan dua pukulan jarak jauh. Tubuh Raja Sihir Penyebar Maut maupun Dewa Mata
Putih terpental ke belakang.
Raja Sihir Penyebar Maut tidak mempunyai kesulitan untuk mematahkan kekuatan
yang membuat tubuhnya terlempar. Dengan ringan kedua kakinya dijejakkan pada
batu karang lain. Tapi, tidak demikian dialami oleh Dewa Mata Putih. Betapapun
berhasil mematahkan kekuatan yang melontarkan tubuhnya, tak urung tubuhnya jatuh
ke hamparan air laut biru. Bunyi benturan yang diiringi muncratnya air
menimbulkan seringai keji di wajah Raja Sihin Penyebar Maut.
Dengan hati puas kakek bermuka kuda melesat meninggalkan tempat itu. Sementara
Dewa Mata Putih tenggelam ke dalam laut yang memiliki kedalaman tak terukur.
Bunyi nyaring yang cukup merdu di telinga terdengar berkali-kali dengan irama
tetap. Bunyi benda kecil yang tidak begitu berat jatuh ke permukaan air. Bunyi
itu tercipta karena keisengan sesosok tubuh ramping berpakaian kuning yang duduk
di pinggir sungai.
Pandangannya tertuju lurus ke depan. Sinar matanya tampak kosong. Tapi,
tangannya tak henti-henti memungut batu sebesar kepalan bayi yang ada di
sekitarnya dan dilemparkan ke tengah sungai.
Sosok berpakaian kuning ini ternyata seorang gadis berwajah sangat cantik.
Meskipun saat itu kemurungan menyelimuti wajahnya, namun tidak mengurangi
kecantikannya. Kembali gadis berpakaian kuning ini mengulurkan tangan. Kali ini
sudah tidak ada lagi batu yang bisa diambil. Sudah habis. Di depannya ada tapi
jaraknya cukup jauh untuk bisa dijangkau tangan. Gadis ini duduk di bagian
tabing pinggir sungai.
Menurun ke depan sedikit terhampar sungai dengan sedikit daratan di
pinggirnya.Tangan gadis berpakaian kuning itu tidak dapat menjangkau batu-batu
yang berserakan di depannya. Jaraknya tak kurang dari satu setengah tombak.
Tapi, ketika si gadis menggetarkan tangannya, salah satu batu yang berada di
bawah sana mela-ang ke arahnya dan mendarat tepat di telapak tangan! Dengan
wajah dan sinar mata orang kehilangan semangat gadis itu melemparkan batu ke
tengah sungai. Begitu seterusnya.
Ketika kesekian kalinya, gadis berpakaian kuning ini mengalami kejadian
mengejutkan. Batu yang melayang ke arahnya terus meluncur melewatinya dengan
kecepatan yang mendadak bertambah. Si gadis menggertakkan gigi. Sinar matanya
berkilat-kilat. Ada orang yang telah bertindak usil padanya.
Gadis berpakaian kuning membalikkan tubuh seraya bangkit berdiri. Dugaannya
tidak salah. Di belakangnya berdiri seorang kakek dalam jarak tiga tombak. Kakek
itu berwajah kuning. Di tangan kanannya tergenggam batu yang tadi hampir
berhasil ditangkap si gadis
2010Tua bangka usilan!122010 maki gadis berpakaian kuning dengan suara lantang
penuh kemarahan. 2010Rupanya kau ingin menerima gebukanku!2010
Kakek bermuka kuning tertawa. Tanpa sadar bulu kuduk si gadis meremang. Tawa
kakek itu melengking tinggi seperti suara tawa seorang wanita. Nadanya pun tidak
menyenangkan hati. Terkesan dibuat-buat.
Gadis berpakaian kuning saat itu tengah uring-uringan. Maka mendapat gangguan,
apalagi si pengganggu mempunyai tingkah menyebalkan, seperti menemukan tempat
untuk melampiaskan kekesalan hatinya. Jari telunjuknya yang runcing dan lentik
ditudingkan. "Ayo, Kakek Penyakitan! Kembalikan batuku. Sebelum mukamu yang kuning itu
kujadikn hitam!"
Wajah kakek muka kuning mengelam. Biasan wajahnya menyiratkan ancaman.
"Kambing betina! Kau berani menghinaku. Di lain keadaan mungkin kau sudah
kubunuh! Tapi karena tengah
mengemban urusan penting, biar kucicipi
saja keperawananmu! Sudah hampir duapuluh tahun aku tidak bersenang-senang dengan
wanita. Apalagi dengan gadis liar sepertimu. Pasti menyenangkan sekali!"
"Keparat!" Gadis berpakaian kuning semakin kalap. Sorot matanya memancarkan hawa
maut mendengar ucapan yang jelas-jelas kurang ajar itu. "Tua bangka seperti kau
lebih baik dilenyapkan dari muka bumi!"
Setelah berkata demikian, gadis berpakaian kuning mencabut pedang. Dia melompat
seraya membacokkan pedangnya dari atas ke bawah. Apabila mengenai sasaran, tubuh
kakek itu akan terbelah menjadi dua bagian sama.
Kakek muka kuning tertawa dengan nada aneh. Ia seperti tengah melihat kejadian
lucu. Kakek itu tidak berusaha mengelak atau pun menangkis.
"Pedang tumpul seperti itu mana mungkin dapat membelah kepalaku" Membelah tahu
saja kukira tidak akan mempan!"
Takkk! Belum juga gema ucapannya habis, mata pedang si gadis telah menghantam
kepalanya dengan keras. Tapi, seperti sesumbar yang dikeluarkan si kakek pedang
gadis berpakaian kuning tidak mampu membelah kepalanya. Pedang itu terpental
balik Gadis berpakaian kuning bersalto beberapa kali di udara untuk mematahkan
kekuatan yang mementalkan tubuh ke belakang. Perasaan kaget yang sangat melanda
hatinya. Ia seperti bukan membacok kepala, tapi gumpalan baja amat keras.
Sekujur tubuhnya tergetar hebat. Tangannya yang menggenggam pedang hampir lu
mpuh. Wajah si gadis masih belum bebas dari keterkejutan ketika kedua kakinya
menjejak tanah.
2010Betulkan yang kukatakan, Denok"2010 ejek si kakek dengan suara genit.
"Tutup mulutmu, Tua Bangka Cabul!"
Gadis berpakaian kuning semakin marah. Ia kembali mengirimkan serangan
mematikan. Kali ini melalui tusukan cepat ke arah jantung. Kakek bermuka kuning
tertawa. Ketika serangan menyambar dekat, telunjuk dan jari tengahnya digerakkan ke depan
untuk memapaki.
Si gadis mengeluarkan pekikan tertahan. Pedangnya terjepit di antara dua jari si
kakek. Dicobanya melepaskan pedang dengan menarik atau mendorong. Dia yakin ca
ra ini akan berhasil. Gesekan mata pedang dan jari tangan akan membuat jari
kakek itu terluka!
5 Ternyata rencana itu hanya mudah untuk dilaksanakan dalam angan-angan. Gadis
berpakaian kuning itu harus menelan kenyataan pahit. Pedangnya tidak bergeming
sedikit pun. Gadis berpakaian kuning ini ternyata memiliki watak keras kepala. Dia tidak mau
melepaskan pedangnya kendati telah dibuat mati kutu oleh lawan. Dengan tangan
kiri dilancarkannya tusukan dua jari tangan ke arah ubun-ubun si kakek.
2010Uh...!2010 Kakek berwajah kuning mengeluh, kaget. Serangan jari-jari tangan gadis
berpakaian kuning memang menggiriskan. Bunyi bercicitan nyaring mengiringi
luncuran serangan itu.
"Apa hubunganmu dengan Pendekar Jari Maut"!"
Berbarengan dengan dikeluarkannya pertanyaan itu kakek bermuka kuning
memapaki dengan telapak tangan kiri. Dua jari si gadis yang mampu melubangi
karang paling keras itu bertemu dengan telapak tangan tua yang kelihatan lunak.
Wajah si gadis memucat. Jari-jarinya tidak mampu melukai tangan lawan. Malah,
ujung-ujung jarinya melekat dengan telapak tangan itu. Gadis berpakaian kuning
bersikeras menariknya. Tapi, sia-sia. Dari telapak tangan kakek bermuka kuning
seolah ada kekuatan dahsyat yang menyedot jari-jari tangannya hingga tetap
menempel. Dengan sendirinya sekarang si gadis tidak ma mpu berbuat apa-apa lagi. Kedua
tangannya telah dikunci. Namun dia masih berusaha keras untuk membebaskan diri!
Rontaannya mulai melemah ketika merasakan hawa panas merayap dari kedua
tangannya. Hawa panas itu semakin lama semakin dahsyat. Si gadis berusaha keras
mengurangi kekuatan hawa yang menyiksa dengan mengerahkan tenaga dalam.
Lagi-lagi usaha gadis berpakaian kuning ini tidak membuahkan hasil. Lawan
terlalu kuat. Dia kalah dalam segalanya. Peluh membasahi sekujur wajah dan
tubuh. Wajah gadis ini sampai merah padam seperti udang rebus.
"Katakan apa hubunganmu dengan Pendekar Jari Maut" Cepat! Sebelum kau kubuat
pingsan karena tak kuat dengan siksaan ini!" Kakek berpakaian kuning berteriak
dengan tidak sabar.
"Aku putrinya, Tua Bangka tak tahu malu! Kalau ayahku tahu, kau akan dihajarnya
sampai mukamu yang kuning itu luntur warnanya!" jawab gadis berpakaian kuning
dengan terengah. Serangan hawa panas membuat si gadis sulit bernapas.
"Hi hi hi...!"
Kakek bermuka kuning tertawa dengan suara nyaring. Jawaban si gadis yang penuh
ancaman dianggapnya hal yang lucu.
"Kau mengancamku, Denok" Lucu sekali. Kau kira aku takut dengan ayahmu si
Pendekar Jari Ma ut itu" Dan, kau bilang dia akan menghajarku" Kau salah besar,
Montok. Malah, kalau tahu kau dicelakai olehku dia akan menutup mata!"
"Bohong! Kau bohong, Tua Bangka bau. Memangnya kau siapa sehingga ayahku takut
padamu" Sekarang kau berani membuka mulut karena ayahku tidak ada! Coba kalau
beliau ada, kau akan terberak-berak di celana karena takut!" Si gadis balas
mengejek, tak kalah keras dan kasar.
"Wanita liar! Mulutmu terlalu tajam!" Kakek bermuka kuning yang kalah pintar
Dewa Arak 82 Lorong Batas Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdebat menjadi berang bukan main. Dia tahu tak akan menang adu mulut dengan
gadis yang pintar bicara ini. "Kau ingin tahu siapa aku" Aku dijuluki Raja Racun
Sakti. Kau pernah mendengar julukan ini dari ayahmu, bukan" Aku yakin ayahmu
telah menceritakan betapa takutnya dia padaku!"
Kakek bermuka kuning lalu meniup. Serangkum angin yang tidak keras,
menyambar. Gadis berpakaian kuning mengeluh tertahan. Bahu kanannya seperti
terkena sodokan tongkat besi. Pengerahan tenaga dalamnya pun terhenti. Tubuh si
gadis ambruk ke tanah. Raja Racun Sakti telah menotoknya dengan cara yang luar
biasa. "Nah! Apakah ayahmu mampu melakukan hal seperti ini" Tidak bukan?" tanya Raja
Racun Sakti dengan penuh kebanggaan.
Gadis berpakaian kuning yang memang putri Pendekar Jari Maut dan tidak lain
Jumini hanya tersenyum mengejek. Sikapnya memandang rendah sekali.
"Kemampuan seperti itu saja kau banggakan, Kakek Bau! Ayahku tanpa melakukan
tindakan apa pun mampu membuat puluhan orang yang memiliki kepandaian lebih
dariku roboh tidak berkutik. Yang kau pamerkan padaku ini tidak ada artinya sama
sekali!" Wajah Raja Racun Sakti semakin kuning karena rasa tersinggung. Diam-diam dia
memaki kebodohannya yang masih saja mengajak si gadis berdebat. Dia tadi sudah
berjanji tidak akan mengadu mulut dengan Jumini!
Jumini yang memang memiliki kepintaran berbicara tentu saja melihat perubahan
wajah Raja Racun Sakti. Gadis ini yakin kalau kakek itu tersinggung. Kesempatan
itu segera digunakannya untuk mengobati sakit hatinya.
"Ayahku memang telah menceritakan tentang seorang tokoh yang berjuluk Raja Racun
Sakti, bahkan terlalu sering. Menurut Ayah, dia seorang tokoh hitam yang
memiliki kepandaian rendah. Anehnya, tokoh itu memiliki watak sombong. Dia juga
seorang pengecut! Begitu mendengar berita ayahku akan datang, dia lari terbirit-
birit dan hampir pingsan!" Dengan beraninya Jumini mengarang cerita. Padahal,
sebenarnya tidak demikian.
Ayahnya memang pernah menceritakan tentang Raja Racun Sakti. Tapi, tidak dengan
cerita seperti yang diuraikan Jumini. Pendekar Jari Maut menceritakan apa adanya
dan mengatakan kalau Raja Racun Sakti merupakan salah seorang datuk kaum sesat
yang amat terkenal pada masa puluhan tahun lalu. Tokoh itu bersama Raja Sihir
Penyebar Maut hampir mengundurkan diri dari dunia persilatan.
2010Keparat!2010 Sepasang mata Raja Racun Sakti bagai hendak keluar. 2010Kau
terlalu lancang, Wanita Liar! Berani mempermainkan Raja Racun Sakti. Sekarang
akan kubuat kau menyesal seumur hidup!"
Jumini yang sejak tadi memasang sikap angkuh dan tak henti-hentinya tersenyum
mengejek, mulai memucat wajahnya. Naluri kewanitaannya membisikkan adanya bahaya
besar. Bahaya yang lebih dahsyat dari maut. Rasa takut pun mulai menyeruak di
hatinya. Kakek bermuka kuning mulai dengan ancamannya. Dia tetap berdiri di tempatnya.
Kedua tangannya digerak-gerakkan di depan dada seperti sedang membolang-
Kehidupan Para Pendekar 2 Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin Raja Pedang 9
1 "Benarkah apa yang kulihat ini"!"
Pertanyaan itu dilontarkan Begawan Narasoma dengan suara bergetar. Pandang
matanya tidak beralih dari langit yang berwarna kuning emas.
"Apakah aku tengah bermimpi"!"
Lagi-lagi pertanyaan yang mengandung ketidakpercayaan keluar dari mulut Begawan
Narasoma. Dirgantara dan Tulini masih terkesima menatap pemandangan menakjubkan
itu. "Tidak, Kak Nara," Tulini memberikan tanggapan. Kepalanya menggeleng tanpa
melepaskan perhatian dari langit.
"Benar, Ayah." Dirgantara menimpali. "Ayah tidak bermimpi. Apa yang kita lihat
itu benar-benar lerjadi."
"Ular Emas telah keluar ke dunia ramai, Kak Nara. Ular yang akan membuat Telur
Elang Perak kehilangan kemampuannya," sambung Tulini.
"Kalian benar." Begawan Narasoma mengangguk-angguk "Alangkah adilnya Yang Maha
Kuasa. Begitu Telur Elang Perak terjatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung
jawab, Ular Emas dikeluarkan dari alamnya."
"Dapatkah Ayah mencari di mana Ulas Emas itu keluar?" tanya Dirgantara penuh
minat. "Entahlah, Dirga." Begawan Narasoma menghela napas berat. "Aku tidak
yakin. Apalagi keadaanku sekarang tidak mengizinkan."
"Tapi, tidak ada salahnya kau mencoba, Kak Nara?" desak Tulini. "Barangkali
sudah menjadi garis Dirgantara anugerah ini."
"Akan kucoba, Tulini. Tapi, ingat! Aku tidak berani memastikan usahaku akan
berhasil. Kalian jangan terlalu berharap."
Tulini tersenyum gembira. Demikian pula Dirgantara. Tulini yakin suaminya akan
berhasil. Dia tahu betul kesaktian kakek berpakaian putih ini. Terutama dalam
hal ilmu gaib. Maka, perkataan Begawan Narasoma yang terakhir tidak
diperhatikannya.
"Ayah, apakah cerita tentang Ular Emas dan mustikanya ini banyak diketahui
orang?" Tulini menatap Begawan Narasoma dengan hati kaget. Pertanyaan Dirgantara
menimbulkan kekhawatiran dalam hatinya. Kalau banyak orang yang tahu, mereka
pasti akan melakukan pencarian. Ini berarti banyak saingan. Kemungkinan
Dirgantara mendapatkan Mustika Ular Emas menjadi kecil.
Begawan Narasoma tidak segera menjawab. Dia tercenung beberapa saat. Dirgantara
dan Tulini hampir kehilangan kesabaran.
"Kalau menurut pendapatku, jarang bahkan hampir tidak ada orang yang mengetahui
cerita mengenai Ular Emas. Tapi, perlu kalian sadari, peristiwa langit berwarna
kuning emas ini terlalu menyolok. Aku yakin ini akan berakibat panjang. Tokoh-
tokoh persilatan pasti akan mencari tahu mengapa alam menjadi seperti ini. Bila
itu terjadi, apalagi sampai tokoh-tokoh ahli kebatinan turun tangan, aku yakin
masalah Ular Emas ini terungkap."
"Kita harus bertindak cepat, Kak Nara. Mumpung tokoh-tokoh lainnya belum tahu.
Kau yang menjadi andalan kami, Kak Na ra. Hanya kau yang bisa melacak di mana
munculnya binatang ajaib itu."
Begawan Narasoma tersenyum getir. Ucapan Tulini tidak salah. Tapi, dia sudah
tidak berhasrat lagi ikut campur dalam urusan seperti ini. Kalau saja tidak ada
Dirgantara amat menginginkan pusaka itu, mungkin dia akan lepas tangan.
"Mari kita cari tempat untuk menyembuhkan lukaku dan mencari tahu di mana adanya
ular itu. Aku punya firasat tempat ini sudah tidak aman lagi."
"Pindah ke mana, Kak Nara?"
"Aku pun belum tahu, Tulini. Yang jelas pindah dari sini. Aku merasa tidak enak.
Aku yakin ada bahaya besar tengah mengancam. Sayang, aku tidak tahu!"
Dirgantara bingung. Tapi, tidak demikian dengan Tulini. Wanita ini tahu betul
siapa Begawan Narasoma. Kakek itu mempunyai indera keenam yang sangat tajam.
Tanpa membuang-buang waktu lagi dibopongnya tubuh Begawan Narasoma.
"Mari, Dirga. Cepat..!" Tulini melesat cepat meninggalkan tempat itu.
Dirgantara tidak mempunyai kesempatan untuk menanggapi ucapan ibunya. Dia pun
melesat mengikuti wanita itu.
*** "Arya...! Lihat...!"
Arya yang tengah berlari di sebelah Linggar mengarahkan pandangan ke arah yang
ditunjuk gadis berpakaian hitam itu. Sepasang mata Arya membelalak seperti
halnya Linggar. Pemuda berambut putih keperakan ini memperlambat larinya.
Linggar mengikuti.
"Apa yang terjadi, Arya" Mengapa langit berwarna keemasan?"
"Aku tidak mengerti, Linggar. Tapi, aku merasa tidak enak. Sepertinya akan
terjadi sesuatu yang menyeramkan," jawab Arya sungguh-sungguh.
Pemuda berambut putih keperakan ini memang mempunyai naluri tajam. Dia bisa tahu
bila bahaya mengancam dirinya. Keistimewaan itu didapatnya setelah belalang
raksasa dari alam gaib beberapa kali masuk ke dalam dirinya. (Untuk jelasnya
mengenai belalang raksasa, silakan baca episode: "Dalam Cengkeraman Biang
Iblis"). "Bahaya menyeramkan" Bahaya apa itu, Arya?" tanya Linggar, penuh rasa ingin
tahu. "Aku tidak tahu, Linggar. Tapi, aku yakin betul hal itu. Perasaan ini
tidak pernah menipuku." Arya mengedarkan pandangan ke sana kemari. Urat-urat sa
rafnya menegang Siap menghadapi segala kemungkinan.
"Bagaimana dengan maksud kita untuk menemui Begawan Narasoma alias Iblis Buta?"
Linggar mengingatkan Arya akan tujuan mereka.
2010Kurasa hal itu bisa diurus belakangan, Linggar. Aku yakin dia sudah tidak
berada di tempatnya.2010
2010Apakah ini ada hubungannya dengan warna langit itu"2010
"Aku tidak tahu. Menurut pendapatku, mungkin ada hubungannya. Tak mungkin alam
menunjukkan tanda-tanda aneh kalau tidak akan terjadi sesuatu yang luar
biasa,2010 jelas Arya. Lingga r dia m. Gadis ini merasakan adanya kebenaran dalam ucapan
pemuda berambut putih keperakan itu.
"Terserah kau saja, Arya. Aku hanya mengikuti. " Gadis berpakaian hitam ini
tersenyum manis.
Jawaban Linggar langsung mendapat tanggapan Arya. La rinya dipercepat, Linggar
melakukan hal yang sama. Muda-mudi ini bagaikan dua sosok bayangan berkejaran
menuju kaki gunung.
Kekhawatiran Arya ternyata beralasan. Begitu mereka hampir tiba di kaki gunung,
bumi yang dipijak bergetar. Semakin lama semakin keras.
"Apa yang terjadi, Arya"!" Linggar terkejut. Wajah gadis itu tampak sedikit
pias. "Entahlah, Linggar. Mungkin gunung ini hendak meletus! Tidakkah kau lihat
keriuhan di sana. Binatang berbondong-bondong menuju kaki gunung." Wajah Arya
juga memperlihatkan ketegangan
Linggar tidak memberikan sambutan. Membayangkan gunung meletus membuat
nyali gadis ini ciut. Rasa takut dan cemas mendera hatinya. Perasaan itu
mendorongnya ingin berlari secepat mungkin agar bisa berada sejauh-jauhnya dari
tempat ini. Tiba-tiba, terdengar bunyi menggelegar. Arya maupun Linggar merasakan tanah yang
mereka pijak bergetar cepat. Tubuh keduanya terlempar jauh ke atas.
Beruntung mereka memiliki ketenangan yang cukup. Itu pulalah yang menyelamatkan nyawa orang-orang muda ini. Keduanya bersalto beberapa kali untuk
mematahkan kekuatan yang membuat lubuh mereka terlontar. Sesaat kemudian,
keduanya menjejak tanah dengan mantap.
Keberhasilan tindakan mereka tidak membuat bahaya yang mengancam lenyap.
Bunyi menggelegar yang ternyata berasal dari gunung meletus membuat keadaan di
sekitar tempat itu bagai kiamat!
Batu-batu besar dan kecil saling berlomba menggelinding ke kaki gunung. Di
belakangnya mengalir lava panas bagai tangan-tangan maut. Menghanguskan apa saja
yang dilandanya. Arya dan Linggar berusaha sekuat tenaga menyelamatkan selembar
nyawa. Dengan susah payah akhirnya mereka berhasil menjauhi tempat itu. Keduanya terus
berlari kencang. Baru ketika berada di tempat yang dirasa a man mereka
menghentikan langkah dan berbalik memperhatikan gunung yang tadi mereka pijak.
Wajah mereka tampak diliputi kengerian.
*** Penunggang kuda berpakaian coklat itu memacu binatang tunggangannya bagai
dikejar setan. Jalan berbatu yang menanjak tidak membuatnya memperlambat
kecepatan kuda. Terpaan angin kencang mengibarkan rambut dan pakaiannya. Panas
menyengat dari sang surya berada tepat di atas kepala.
"Uh...!"
Penunggang kuda yang ternyata seorang pemuda itu mengeluarkan keluhan kaget.
Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi berdesing nyaring. Dia melihat
beberapa batang anak panah meluncur ke arahnya dengan kecepatan tinggi.
Si pemuda melompat dari
punggung kuda sera ya menggebah
binatang tunggangannya. Bersamaan dengan tubuhnya yang melayang ke atas, kuda hitam itu
melesat ke depan. Tindakan pemuda itu membuat anak-anak panah meluncur lewat di
bawah kakinya. Pemuda berpakaian coklat bersalto ke depan beberapa kali dan mendarat di
punggung kuda hitamnya yang masih terus berlari. Bagai tidak terjadi perisriwa
apa pun, digepraknya tali kekang hingga kuda hitam itu berlari semakin cepat
Baru beberapa tombak terdengar bunyi bergemuruh dari tempat yang tengah dituju
si pemuda. Wajah pemuda berpakaian coklat berubah hebat. Dia bisa memperkirakan
apa yang tengah terjadi.
Kuda hitam itu pun demikian. Nalurinya memperingatkan adanya bahaya
mengancam. Binatang ini menghentikan lari dan meringkik keras-keras. Kedua kaki
depannya diangkat tinggi ke udara.
Pemuda berpakaian coklat mengerti maksud binatang tunggangannya. Kuda itu
gelisah dan ingin melemparkan tuannya dari punggung, lalu dia berlari
meninggalkan tempat itu untuk mencari selamat
Si pemuda tidak menginginkan hal itu terjadi. Ditepuk-tepuknya leher dan
punggung binatang itu untuk menenangkannya. Tapi, kuda hitam ternyata telah
benar-benar ketakutan. Usaha yang dilakukan pemuda berpakaian coklat sia-sia.
Kuda hitam terus meringkik, kalap. Bahkan sekarang melonjak-lonjak tak karuan.
Tapi, usaha kuda hitam tidak membuahkan hasil. Pemuda berpakaian coklat bagai
lintah, melekat erat di punggungnya. Betapapun punggungnya telah dilekukkan
sedemikian rupa tetap saja tubuh si pemuda tidak terlontar. Saat itulah batu-
batu sebesar kerbau muncul. Tidak hanya satu.
Tapi beberapa buah. Yang paling kecil mempunyai ukuran sebesar kambing.
Kuda hitam semakin kalap. Binatang itu menggulingkan tubuhnya. Pemuda
berpakaian coklat terperanjat. Tubuhnya akan tertindih dan terus terguling. Si
pemuda tentu saja tidak menginginkan itu terjadi. Di saat kuda hitam baru
memiringkan tubuh pemuda berpakaian coklat mengerahkan tenaga untuk menahan.
Sementara baru sebesar kerbau yang lebih dulu meluncur akan menabrak kuda hitam
berikut penunggangnya.
Pemuda berpakaian coklat mengeluarkan pekikan nyaring. Wajahnya menegang. Sesaat
kemudian, tubuh kuda hitam terangkat ke udara. Si pemuda menjepit perut kuda
dengan kedua kakinya.
Kuda hitam terangkat dari tanah tak kurang dari satu tombak. Batu sebesar kerbau
meluncur lewat di bawahnya. Demikian pula dengan batu-batu lalnnya. Kuda hitam
itu ba ru menjejak tanah dengan keempat kakinya ketika luncuran batu-batu telah
usai. "Wahai orang yang berada di atas! Tahan serangan...! Aku datang tidak dengan
maksud jahat...2010 Pemuda berpakaian coklat berteriak, keras. Kemudian hening
sejenak setelah si pemuda mengeluarkan seruan. Pemuda itu tidak memacu kudanya
lagi. Dalam keadaan masih duduk di atas punggung kuda, dia mengedarkan pandangan
ke depan. "Kalau kau memang tidak berniat jahat, kami sarankan untuk meninggalkan tempat
ini!" sambut sebuah suara dari bagian atas bukit tempat pemuda berpakaian coklat
berada. Bagian itu terlindung gundukan baru yang agak besar.
"Aku tidak bisa memenuhi permintaan itu!" lantang jawaban pemuda berpakaian
coklat. "Aku mempunyai urusan penting. Karena itu, aku berada di tempat ini!"
"Kami ulangi peringatan kami...! Kalau kau memang mempunyai kepentingan, harap
tunda dulu sehingga beberapa hari. Kalau tidak, kau terpaksa akan berhadapan
dengan kami!2010 timpal suara dari balik gundukan baru.
2010Urusanku ini tidak bisa ditunda! Aku tidak ingin perjalananku sia-sia!2010
Pemuda berpakaian coklat memperkeras suaranya. "Apakah kalian prajurit-prajurit
kerajaan...?"
Tidak ada tanggapan.
"Ketahuilah, kedatanganku kemari menyangkut keselamatan Panglima Anggar Bayu!
Ada seorang sakti yang dendam terhadapnya. Ia akan melakukan pembalasan. Kuharap
kalian bersedia memberitahukan dan memintanya untuk meninggalkan tempat ini
sesegera mungkin!" Si pemuda menyambung ucapannya. Dia yakin ucapannya di
dengarkan kendati tidak diterimanya sambutan dari atas.
Kembali suasana menjadi hening ketika pemuda berpakaian coklat menyelesaikan
perkataannya. Sesaat kemudian, sebelum pemuda berpakaian coklat kehilangan
kesabaran itu bergerak ke atas, pendengarannya yang tajam menangkap bunyi
gerakan. Ia segera mengurungkan maksudnya.
Sekejap kemudian dua sosok tubuh muncul. Mereka mengenakan seragam pasukan
kerajaan. Yang seorang bertubuh pendek kekar, sedang yang lain tinggi kurus. Di tangan
kedua prajurit ini tergenggam tombak panjang.
"Siapa kau, Anak Muda" Apa maksud ucapanmu tadi" Kami tidak mengerti!" Prajurit
tinggi kurus mengernyitkan dahi seperti orang kebingungan.
"Sikap kalian untuk merahasiakan keberadaan Panglima Anggar Bayu di sini memang
bagus. Tapi, terhadapku kalian tidak perlu bermain sandiwara. Masalah ini sangat
penting. Harap kalian beritahukan kedatanganku. Katakan saja adik
seperguruannya, I Made Sangkara murid Eyang Brihaspati, datang menjenguknya,"
beritahu pemuda berpakaian coklat, buru-buru.
Prajurit tinggi kurus saling berpandangan dengan rekannya. Nama Eyang Brihaspati
memang telah mereka dengar dari Panglima Anggar Bayu. Beliau adalah guru dari
panglima mereka. Panglima Anggar Bayu sedang berada di tempat ini untuk berburu
macan putih. "Tunggu apa lagi" Cepat sampaikan kedatanganku sebelum semuanya terlambat dan
kalian akan menyesal!" desak I Made Sangkara
Melihat sikap 1 Made Sangkara yang kelihatan bersungguh-sungguh dan penuh rasa
khawatir, dua prajurit kerajaan ini pun terpengaruh. Lelaki yang bertubuh pendek
kekar membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu. Tapi, baru beberapa langkah ia
berhenti. Tubuhnya segera dibalikkan.
2010Aku lupa lagi. Namamu siapa tadi, Anak Muda" I Made....2010
2010I Made Sangkara,2010 lanjut I Made Sangkara, tidak saba r. 2010Aku dari
Pulau Dewata!2010
Prajurit pendek kekar mengangguk-angguk. Kemudian, dengan bibir komat-kamit
mengingat nama itu dia meneruskan maksudnya untuk menemui Panglima Anggar Bayu.
Sekarang yang tinggal di tempat itu hanya prajurit tinggi kurus dan I Made
Sangkara. Si prajurit tampak bersikap waspada. Sepasang matanya tak lepas dari I
Made Sangkara. Tombak di tangannya digenggam dengan kedua tangan, siap untuk digunakan.
I Made Sangkara sendiri seakan tidak peduli. Dia duduk di atas punggung kuda
dengan perasaan gelisah yang tidak bisa disembunyikan. Pandangannya tertuju ke
belakang prajurit tinggi kurus. Arah di mana prajurit yang hendak melapor pada
Panglima Anggar Bayu itu lenyap.
I Made Sangkara sa mpai melompat turun dari punggung kuda ketika melihat
kedatangan prajurit pendek kekar. Bias kecewa tampak pada wajahnya. Prajurit itu
datang sendirian. Tidak nampak orang lain di sebelahnya.
2010Bagaimana" Apakah kau sudah sampaikan kedatanganku pada Panglima
Anggar Bayu" Ba gaimana tanggapannya" Mengapa beliau tidak datang kemari" Atau,
aku yang harus datang ke sana?" Dengan sikap tidak sabar I Made Sangkara
mengajkan pertanyaan bertubi-tubi.
2
Dewa Arak 82 Lorong Batas Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Prajurit pendek kekar malah tersenyum mengejek.
"Lebih baik kau segera pergi dari sini, Penipu Muda. Jika kau tidak mempedulikan
peringatan ini dengan sangat menyesal kami akan menjadikanmu sate manusia!"
"Apa artinya ini" Mana Panglima Anggar Bayu..."!" I Made Sangkara maju
selangkah. Karena sebelum kakinya terus diayunkan, prajurit pendek kekar telah mengeluarkan
ancaman. "Selangkah lagi kau maju, anak-anak panah akan menyate tubuhmu!"
Pemuda berpakaian coklat melihat prajurit pendek kekar menjentikkan jari.
Seketika itu pula di belakangnya muncul belasan prajurit dengan busur terentang!
"Rupanya kau masih juga mau berpura-pura, Penipu Busuk! Baiklah, kalau itu yang
kau inginkan. Rupanya kebohonganmu ingin ditelanjangi. Dengar, Panglima Anggar
Ba yu tidak pernah mempunyai adik seperguruan. Apalagi orang yang mempunyai nama
aneh sepertimu. Nah, sekarang menyingkirlah dari sini! Mengingat kau masih muda,
aku mau bertindak sabar. Tapi, ini yang terakhir kali "
I Made Sangkara tertegun sebentar. Dia tengah berpikir keras. "Kalian terlalu
memaksa. Aku tidak punya pilihan lain!"
Usai berkata, tanpa merasa gentar sedikit pun I Made Sangkara melangkah maju.
"Pemuda gila! Kau memang sudah bosan hidup. Serang...!"
Berbarengan dengan selesainya seruan prajurit pendek kekar, belasan prajurit di
belakangnya melepaskan anak panah. Belasan anak panah meluncur ke arah I Made
Sangkara. Terdengar bunyi berdesing nyaring yang menyakitkan telinga.
I Made Sangkara tidak melakukan gerakan apa pun. Dia terus mengayunkan kaki.
Kendati demikian, karena tidak ingin mati konyol, pemuda ini mengerahkan tenaga
dalam untuk melindungi sekujur tubuhnya. Prajurit pendek kekar dan semua yang
ada di tempat itu sudah membayangkan betapa tubuh I Made Sangkara penuh
ditembusi belasan anak panah. Bila ini terjadi, sulit rasanya bagi pemuda itu
untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Tapi, mata mereka membelalak lebar. Anak-anak panah runtuh semua ke tanah
sebelum berhasil mengenai tubuh I Made Sangkara. Seakan di sekeliling tubuh
pemuda itu terdapat benteng yang tidak tampak!
Kenyataan yang terpampang di depan mata itu terlalu mengejutkan para prajurit
kerajaan. Mereka tidak percaya. Ketika prajurit pendek kekar kembali memberi
aba-aba, belasan anak panah meluncur siap merajam I Made Sangkara. Tapi, seperti
juga sebelumnya, anak-anak panah runtuh sebelum mengenai sasaran.
I Made Sangkara tetap melangkah dengan tenang.
Para prajurit kerajaan tidak putus asa dengar kegagalan serangan mereka. Sambil
berseru nyaring, mereka menghunus golok. Senjata tajam itu digenggam dengan
tangan kanan. Sedangkan di tangan kiri tercekal tameng. Dengan pasangan senjata
ini kelompok pasukan kerajaan menyerbu I Made Sangkara.
I Made Sangkara menghela napas berat. Sikapnya menyesali kejadian yang sama
sekali tidak diharapkan ini. Sambil terus melangkah maju, kedua tangannya
berulang kali didorongkan ke depan.
Prajurit-prajurit kerajaan bagai bulu-bulu dihembus angin. Mereka berpentalan ke
belakang dan jatuh terguling-guling di tanah. Untungnya I Made Sangkara tidak
berniat jahat. Mereka tidak mengalami luka parah. Hanya lecet-lecet karena kulit
mereka bergesekan dengan batu-batu.
I Made Sangkara tidak menghiraukan keadaan lawan-lawannya. Dia terus saja
mengayunkan kaki. Kelihatannya hanya langkah biasa. Pendek-pendek dan lambat-
lambat. Tapi, belasan prajurit kerajaan yang mengejarnya dengan mempergunakan ilmu lari
cepat tidak mampu menyusul.
Suasana jadi gaduh. Prajurit-prajurit
itu melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak. Kegaduhan ini yang menyebabkan sebuah tenda yang tampak
didepannya tersingkap. Dari dalam tenda keluar seorang lelaki tinggi besar
bercambang bauk lebat dan berpakaian seragam panglima kerajaan. Di kanan kirinya
tampak dua orang yang tidak berpakaian prajurit. Sepasang mata mereka tajam
menusuk. Dua prajurit yang menjaga bagian depan tenda segera memberi hormat dan berjalan
di belakang sang panglima. Panglima itu sendiri dengan tenangnya melangkah lebar
menghampiri I Made Sangkara.
"Kaukah orang yang mengaku murid Eyang Brihaspati yang menjadi guruku?" tanya
sang panglima yang bukan lain Anggar Bayu. Sikap panglima ini demikian tenang
dan penuh percaya diri.
"Benar. Namaku I Made Sangkara. Benarkah aku tengah berhadapan dengan Panglima
Anggar Bayu yang terkenal lihai baik ilmu perang maupur ilmu silatnya?" puji I
Made Sangkara penuh hormat
Panglima Anggar Bayu mengangguk. Tanpa merasa curiga sedikit pun. Padahal, itu
amat berbahaya. Kalau orang bermaksud tidak baik dan jauh lebih lihai, dia akan
celaka. "Bisa lolos dari kepungan prajuritku menjadi pertanda kau memiliki kepandaian
cukup. Hanya, yang kusayangkan, mengapa dalam usia semuda ini kau berada di
jalan sesat" Mencatut nama orang lain untuk kepentingan sendiri"!"
Ucapan Panglima Anggar Ba yu terdengar tegas dan penuh wibawa. Menunjukkan kalau
dia orang yang telah kenyang pengalaman hidup. "Kalau tidak mengingat usiamu
yang masih sangat muda itu, pencatutan nama terhadap guruku telah cukup untuk
kujadikan alasan menindakmu!"
"Maafkan aku, Panglima." I Made Sangkara memberi hormat. "Aku tidak berbicara
dusta. Eyang Brihaspati memang guruku. Selama lima tahun ini aku menjadi
muridnya."
"Hmmm...!"
Panglima Anggar Ba yu menggumam. Ditatapnya I Made Sangkara penuh selidik.
Dengan matanya lelaki gagah yang telah berusia empat puluh lima tahun ini ingin
mencari kebenaran ucapan I Made Sangkara.
"Panglima mungkin meragukan keteranganku, ingatkah Panglima akan cerita Eyang
Brihaspati" Eyang pernah mengatakan padaku kalau beliau telah menceritakan pada
Panglima mengenai sahabatnya di Pulau Dewata."
"Maksudmu..., I Nyoman Tirta" Pembuat keris nomor satu di Pulau Dewata itu"!"
seru Panglima Anggar Bayu, kaget.
"Benar, Panglima. Tiang adalah putranya. Lima tahun yang lalu Bapa membawa Tiang
untuk menemui Eyang Brihaspati. Ida menerima Tiang menjadi muridnya. Atas
perintah Ida, Tiang memberanikan diri datang kemari, Panglima," beritahu I Made
Sangkara. Ia mempergunakan dialek daerahnya untuk lebih meyakinkan hati Panglima Anggar
Bayu. Panglima Anggar Bayu tersenyum lebar. Dia tiak merasa ragu lagi, I Made Sangkara
tidak berniat jahat. Nama Nyoman Tirta telah sering didengarnya. Tokoh itu
sahabat gurunya.
Eyang Brihaspa memang telah merantau ke berbagai tempat. Salah satunya adalah
Pulau Dewata. "Kiranya Cai bukan orang lain. Siapa namamu tadi, Adi" I Made Sangkara?"
Panglima Anggar Ba yu meminta kepastian. Panglima yang rupanya cukup menguasai
bahasa I Made Sangkara ikut-ikutan berbicara dalam dialek tersebut.
"Benar, Panglima. Itu memang nama Tiang," jawab I Made Sangkara dengan hati
lega. "Mari. Mari, Adi. Masuk ke tendaku. Kita berbincang-bincang. Aku ingin tahu
masalah yang membuat guruku mengutus Adi kemari," ajak Panglima Anggar Bayu. Ia
mendahului membalikkan tubuh dan melangkah menuju tendanya.
I Made Sangkara mengikuti di belakang.
*** "Sayang sekali, Adi. Aku tidak bisa memenuhi anjuran Guru. Aku bukan seorang
pengecut. Apa kata orang nanti bila aku lebih dulu melarikan diri sebelum
bertanding"2010
Panglima Anggar Ba yu bangkit dari duduk bersilanya. Ia berjalan mondar-mandir
di dalam tenda. I Made Sangkara tetap duduk bersila. Di sisi kanan dan kiri dua
lelaki gagah berdiri dengan sikap waspada. Mereka tidak mencampuri urusan antara
Panglima Anggar Bayu dengan I Made Sangkara.
2010Lihat, Panglima Anggar Bayu yang ditakuti lawan dan disegani kawan, lari
lintang-pukang dari seorang musuh yang belum diketahui kepandaiannya! Bila itu
terjadi, mau ditaruh di mana mukaku, Adi"122010
2010Maafkan Tiang, Panglima. Bukan maksud Tiang membuat marah Panglima.
Tiang hanya menyampaikan amanat Eyang Brihaspati. Ida amat berharap Tiang dapat
melunakkan hati Panglima."
"Penasaran!"
Panglima Anggar Bayu memukulkan tangan kanan pada telapak tangan kirinya.
Terdengar bunyi benturan keras.
"Mengapa Guru terlalu memandang remeh padaku" Begitu yakinkah beliau musuh
keparat itu akan berhasil mengalahkanku"!"
"Maafkan Tiang, Panglima. Menurut Ida, musuh besar Panglima memang tak akan
mungkin di kalahkan oleh siapa pun! Dia telah menelan pusaka yang bernama Telur
Elang Perak Pusaka itu menyebabkan tidak ada seorang tokoh pun akan dapat
mengalahkan apalagi membunuhnya!"
"Telur Elang Perak"!" Panglima Anggar Ba yu berteriak, kaget. "Aku memang sudah
lama mendengar pusaka itu. Tapi, menurut berita Telur Elang Perak berada di
tangan Iblis Buta. Ia sudah lama tidak kedengaran beritanya lagi. Lenyap bagai
ditelan bumi!"
I Made Sangkara diam. Panglima Anggar Bayu kembali berjalan mondar-mandir. Kali
ini bukan karena rasa penasaran melainkan resah.Berapa kali dia menghela napas
berat. "Sungguh tidak kusangka Panglima Sabu yang berkhianat itu memiliki seorang anak.
Hhh...! Aku kecolongan!"
"Eyang Brihaspati mencari tahu melalui semadinya. Musuh besar Panglima bernama
Lanang. Dia lolos ketika Panglima menumpas pemberontakan Panglima Sabu belasan
tahun lalu," Beritahu I Made Sangkara. "Lanang tidak akan bisa dikalahkan.
Kecuali...."
2010Kecuali apa, Adi"122010 sa mbar Panglima Anggar Hayu, cepat.
2010Kecuali oleh Mustika Ular Emas. Orang yang berhasil mendapatkan mustika itu
berkesempatan untuk menamatkan riwayat Lanang. Telah belasan tokoh persilatan
dibunuh Lanang. Sebagian besar merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi122010
2010Mustika Ula r Emas"122010 ulang Panglima Anggar Hayu. 2010Rasanya aku belum
pernah mendengarnya....2010
2010Tak aneh, Panglima. Eyang Brihaspati sendiri mengetahuinya belum lama.
Menurut Ida, Ular Emas itu telah keluar ke dunia persilatan. Ida telah
mendapatkan tanda-tandanya.2010 Kemudian, dengan singkat I Made Sangkara
menceritakan semua yang diketahuinya. Panglima Anggar Bayu mendengarkan dengan
perasaan tertarik. Tak sedikit pun dia memotong hingga I Made Sangkara selesai
menceritakan semuanya.
2010Lanang mencari berita mengenai Panglima. Tiang yakin akhirnya ia akan
menemukan Panglima. Sebelum itu terjadi, lebih baik Panglima tinggalkan tempat
ini. Sementara itu, Tiang akan mencoba mencari Mustika Ular Emas. Apabila sudah
berhasil Tiang dapatkan, Panglima tidak perlu bersembunyi lagi. Lanang akan kita
bunuh!" Panglima Anggar Bayu tersenyum pahit. Dengan pandang mata sungguh-sungguh
ditatapnya I Made Sangkara lekat-lekat.
"Kuucapkan terima kasih atas jerih payahmu, Adi. Sampaikan salam hormatku pada
Guru. Perhatian beliau dan kau amat kuhargai. Tapi, sayang aku tidak bisa
memenuhi permintaan itu. Aku bukan seorang pengecut. Tidak, Adi! Aku tidak takut
mati. Kuharap kau mau menyampaikan hal ini pada Guru!" jawab Panglima Anggar
Bayu dengan suara lantang dan sikap gagah.
I Made Sangkara tidak berkata-kata lagi. Di merasakan nada kesungguhan dalam
sikap dan ucapan Panglima Anggar Bayu. Dia tahu tidak ada gunanya berusaha
membujuk. Orang yang memiliki pendirian seperti sang panglima ini tak akan mudah dibujuk!
"Ha ha ha...!"
Tawa bergelak yang penuh nada ejekan menguak keheningan. Semua orang yang berada
di situ langsung bersikap waspada.
I Made Sangkara langsung berdiri dan berjalan keluar tenda. Ia mengedarkan
pandangan mencari-cari sumber suara. Demikian juga dengan Panglima Anggar Ba yu.
Dua lelaki berpakaian ringkas yang menjadi pengawal pribadi Panglima Anggar Bayu
telah melesat dari tempatnya dan berdiri di kanan kiri sang panglima. Mereka
bersikap melindungi.
Panglima Anggar Bayu dan I Made Sangkara bertukar pandang sesaat ketika
mengetahui sumber suara itu tidak bisa mereka lacak. Ini berarti si pemilik
suara memiliki ilmu "Memindahkan Suara". Sebuah ilmu yang hanya dikuasai orang-
orang berilmu tinggi.
Sekarang, kakak dan adik seperguruan ini mulai mengerti mengapa Eyang Brihaspati
begitu khawatir. Pemilik suara yang diduga I Made Sangkara dan Panglima Angga r
Ba yu sebagai sang musuh besar terbukti memiliki kepandaian tinggi.
2010Benar-benar seorang panglima yang gagah perkasa...122010 Kembali suara itu
terdengar. 2010Siapa kau, Pengecut" Tunjukkan dirimu kalau kau memang berhati jantan12
Jangan beraninya hanya bersembunyi seperti nenek-nenek keriput!" pancing
Panglima Anggar Bayu.
"Siapa bilang aku bersembunyi" Aku berada di sini sejak tadi..."
Hampir bersamaan Panglima Anggar Bayu, I Made Sangkara, dan dua orang
pangawal pribadi sang panglima membalikkan tubuh. Tidak seperti sebelumnya, kali
ini suara itu terdengar jelas dan bisa ditebak dari mana asalnya. Si pemilik
suara tidak menggunakan ilmu 'Memindahkan Suara'-nya lagi.
Hanya berjarak satu tombak dari Panglima Anggar Bayu duduk sesosok tubuh
dengan cara yang amat luar biasa. Panglima Anggar Bayu dan teman-temannya
membelalakkan mata karena kaget.
Sosok itu duduk bersila di ujung sebuah tambang yang berdiri kaku. Tambang yang
biasa dipergunakan untuk mengikat oleh sosok yang baru datang ini digunakan
untuk tempat duduk!
Panglima Anggar Ba yu dan yang lainnya merasa tegang. Tindakan yang dilakukan
sosok berpakaian mewah itu membutuhkan ilmu meringankan tubuh sangat tinggi.
Panglima Anggar Bayu dan I Made Sangkara tahu pasti mereka tidak mampu melakukan
hal itu! "Bagaimana, Panglima" Sudah puas melihatku" Aku bukan pengecut, bukan?" Sosok
berpakaian mewah yang ternyata seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun itu
kembali membuka suara. Lantang dan keras. Padahal Panglima Anggar Bayu dan yang
lainnya tidak melihat bibir pemuda itu berkemik sedikit pun.
Pertanyaan itu membuat Panglima Anggar Bayu sadar dari kesimanya.
"Kau memang hebat, Anak Muda. Tapi, jangan harap mampu menakut-nakutiku dengan
permainan anak-anakmu itu!" tandas sang panglima, mantap dan gagah.
"Ha ha ha...!"
Pemuda berpakaian mewah tertawa. Ucapan Panglima Anggar Bayu membuatnya
merasa geli. Kembali Panglima Anggar Bayu dan yang lain-lain tercekat. Bibir pemuda itu tidak
terbuka walau sedang tertawa.
3 Keterkejutan yang melanda Panglima Anggar Bayu dengan kejadian itu sebenarnya
sudah cukup besar. Namun, masih tidak sebesar rasa kaget yang dialaminya
kemudian. Tawa pemuda berpakaian mewah ternyata bukan main-main
Panglima Anggar Ba yu, I Made Sangkara, dan dua lelaki berpakaian ringkas
merasakan telinga mereka seperti kemasukan beduk berbunyi. Terasa sakit dan
nyeri bukan main. Bagian dalam telinga mereka bagai disentak-sentak. Ditambah
lagi dengan getaran hebat
yang melanda sekujur tubuh. Seperti ada tangan tak nampak yang mengguncang-guncangkan tubuh keempat orang itu.
Panglima Anggar Bayu dan yang lain-lain segera tahu pemuda berpakaian mewah itu
melakukan serangan tenaga dalam melalui suara tawa. Bagai telah disepakati
Dewa Arak 82 Lorong Batas Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelumnya, keempat orang ini segera mengambil senjata masing-masing. Dua lelaki
berpakaian ringkas melemparkan pisau-pisau putih berkilat. Sedangkan Panglima
Anggar Bayu mempergunakan mata panah. I Made Sangkara meluncurkan logam
berbentuk bintang segi tiga.
Tiga macam senjata rahasia yang berjumlah belasan itu meluncur dengan
mengeluarkan bunyi berdesing nyaring. Tapi, pemuda berpakaian mewah tetap duduk
tenang di tempatnya. Tidak terlihat hendak menangkis atau mengelakkannya. Pemuda
berpakaian mewah bahkan semakin mengeraskan tawa. Belasan senjata rahasia itu
runtuh ke tanah seperti terpukul serangan jarak jauh.
Kejadian ini benar-benar luar biasa. Panglima Anggar Bayu dan yang lainnya
sampai terkesima. Sungguh luar biasa lawan yang tengah mereka hadapi. Hanya
dengan suara tawa mampu meruntuhkan serangan senjata. Tawa itu ternyata tidak
hanya mampu digunakan untuk menyerang, tapi juga dipakai untuk menggantikan
tangan atau kaki!
"Apakah kau orang yang hendak membunuhku"! Kaukah keturunan Panglima Sabu yang
be-khianat itu?" tanya Panglima Anggar Bayu, mencoba bersikap tenang. Namun,
getar kegentaran pada suaranya tetap tidak bisa ditutupi.
Pemuda berpakaian mewah terkekeh.
"Apa yang kau duga tidak salah. Aku memang putra Panglima Sabu. Na maku Lanang!
Akulah orang yang diceritakan adik seperguruanmu itu!" jawab pemuda berpakaian
indah dengan sikap memandang remeh.
I Made Sangkara hanya bisa mengepalkan tinju. Dia menyesalkan kekerasan hati
Panglima Anggar Bayu. Kalau saja sang panglima tidak berkeras hati, mereka tentu
tidak perlu bertemu dengan Lanang.
"Tanpa kujelaskan lagi pun kau sudah tahu maksud kedatanganku kemari, Panglima
Anggar Bayu! Aku ingin membunuhmu! Bukan hanya kau, tapi juga semua orang yang
mempunyai hubunga denganmu!" desis Lanang dengan sinar mata berkilat-kilat.
"Kau terlalu, Lanang! Yang bertanggung jawab atas kematianmu adalah aku.
Pasukanku mungkin bisa kau bawa-bawa pula. Tapi, I Made Sangkara tidak ada
hubungannya dengan dendammu. Kuharap kau mau membiarkan dia pergi dari sini!"
Panglima Anggar Ba yu mencoba menawar.
Lanang menggeleng.
"Aku telah bersumpah untuk membunuh setiap orang yang mempunyai hubungan
denganmu, Anggar Ba yu! Siapa pun mereka. Juga I Made Sangkara. Gurumu dan semua
sahabat gurumu. Istrimu, pelayan-pelayanmu, dan juga anak-anakmu!"
"Manusia keji! Aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Panglima Anggar Bayu mencabut pedang yang menjadi tanda pangkatnya.
Kemudian, disertai terjangan dibabatnya pedang itu ke leher Lanang!
Dua lelaki berpakaian ringkas yang merupakan pengawal pribadi sang panglima ikut
mengirimkan serangan. Dua orang ini menggunakan tombak pendek.
I Made Sangkara menyerang belakangan. Pemuda gagah ini menggunakan keris
berlekuk enam. Gabungan serangan keempat orang itu yang melancarkan serangan
susul-menyusul, dahsyat bukan main.
Tapi, seperti semula Lanang tidak bergeming dari kedudukannya. Tawanya segera
dihentikan. Pemuda ini kemudian malah menangis. Kelihatan aneh sekali tingkah
Lanang. Mendapat serangan maut kok malah menangis. Apakah pemuda ini ketakutan sekali"
Ternyata tidak demikian. Tangis Lanang bukan tangisan sembarangan. Tangis yang
dialirkan dengan menggunakan tenaga dalam. Dirancang sedemikian rupa. Suara
tangis itu menyelusup melalui telinga dan singgah di kepala.
Akibat suara tangisan itu dahsyat dan mengerikan. Panglima Anggar Bayu dan
ketiga orang lainnya menghentikan serangan. Wajah mereka membiaskan rasa sakit
yang sangat. Bunyi tangisan seperti mengiris-iris bagian dalam kepala mereka, menimbulkan
rasa sakit dan nyeri.
Semakin lama rasa sakit dan nyeri semakin dahsyat. Panglima Anggar Bayu dan yang
lainnya tidak tahan untuk berdiam diri. Mereka memegangi kepala dengan kedua
tangan. Seluruh tenaga dalam dikerahkan untuk menghilangkan rasa yang menyiksa.
Usaha keempat orang gagah yang malang ini sia-sia belaka. Rasa sakit tidak mau
hilang. Malah, semakin menghebat. Mereka menggeliat-geliat seperti cacing
kepanasan. Dari mulut mereka keluar erangan menyayat hati.
Semakin Lanang memperhebat tangisnya semakin tersiksalah mereka. Ketika
akhirnya Lanang menangis menggerung terdengarlah
bunyi letupan. Pelan tapi
menggidikkan hati. Darah bercampur otak muncrat ketika letupan itu terdengar.
Letupan itu terjadi akibat meletusnya kepala dua orang pengawal pribadi Panglima
Anggar Bayu! Disusul dengan kepala panglima itu sendiri.
Lanang menghentikan tangisnya. Seketika itu pula pengaruh yang menggiriskan
lenyap. I Made Sangkara yang masih hidup dan sejak tadi menggelepar-gelepar kini
terdiam. "Aku sengaja tidak membunuhmu, Monyet!" Tanpa peduli pada I Made Sangkara yang
masih belum sada r sepenuhnya, Lanang berkata dengan suara dingin. I Made
Sangkara masih berdiri limbung dengan pandangan nanar.
"Aku memberimu kesempatan untuk memberitahukan musibah ini pada gurumu.
Barangkali kau ingin mengajak gurumu mengungsi ke tempat yang aman. Tapi ingat,
aku tidak akan tinggal diam. Aku bermaksud menjumpai gurumu. Kita berlomba untuk
lebih dulu sampai di sana. Kalau kau tiba lebih dulu, kalian mempunyai
kesempatan menghirup udara dunia ini lebih lama. Sebaliknya, bila aku yang lebih
dulu tiba... kau hanya akan menjumpai mayat gurumu yang mungkin tidak akan bisa
kau kenali lagi!"
Ucapan Lanang sebenarnya keras dan lantang, tapi pengaruh serangan dahsyat
pemuda ini membuat I Made Sangkara hanya mendengarnya samar-samar. Pemuda
berpakaian coklat ini mendengarnya antara sadar dan tidak.
Lanang tanpa menunggu jawaban dari I Made Sangkara segera melesat pergi.
Bertepatan dengan perginya Lanang tubuh I Made Sangkara bergerak limbung.
Kemudian, ambruk bagai sehelai kain basah. Pemuda ini jatuh pingsan. Pengaruh
serangan Lanang memang luar biasa!
*** Seorang kakek berambut awut-awutan dan bermata buta menghela napas berat.
Wajahnya yang penuh dibasahi peluh membuat keadaannya terlihat mengenaskan.
Kakek ini tengah duduk bersila di atas baru karang hitam di pinggir laut.
"Benar-benar luar biasa...,2010 ucap kakek berambut awut-awutan seraya
menggeleng-gelengkan kepala. Ucapannya meski pelan tapi mampu mengatasi riuhnya
bunyi di sekelilingnya.
Sekitar tempat kakek itu berada memang penuh kegaduhan. Ombak besar
bergulung-gulung datang dari tengah laut menghantam karang dekat pantai.
Termasuk batu karang di mana kakek buta itu berada. Apalagi batu karang itu
berada agak menjorok ke laut.
Hanya, ada kejadian yang aneh. Setiap kali ombak besar menghantam karang di mana
si kakek berada, percikan-percikan airnya tak setetes pun mengenai tubuh kakek
itu. Percikan air berpentalan kembali ke laut.
Pada karang lainnya tidak demikian. Kendati sebagian besar air yang menghantam
karang kembali ke laut, tapi sebagian lagi memercik ke atas batu karang dan
membasahinya. Pada celah-celah karang tertinggal keong-keong laut dan ikan-ikan kecil yang
tadi ikut terbawa ombak.
Tempat kakek buta itu berada sebenarnya sepi. Meski di pinggir laut tak satu pun
tampak perahu nelayan. Sejauh mata memandang yang kelihatan hanya gugusan batu
karang. Desa yang paling dekat jaraknya amat jauh dari tempat ini.
Tapi, kali ini ada sesosok tubuh melesat cepat menuju tempat kakek buta itu
berada. Sosok itu seorang kakek jangkung berwajah mirip kuda. Meski telah tua kakek ini
memiliki kecepatan lari yang mengagumkan. Kaki-kakinya seperti tidak menginjak
tanah. Dengan lompatan-lompatan luar biasa kakek bermuka kuda melalui karang-karang
licin yang banyak ditempeli lumut. Kakek ini melompat-lompat tanpa merasa
khawatir akan tergelincir. Karang demi karang dilalui dengan enaknya, seperti
orang berlari di tempat rata.
Kakek buta rupanya mendengar seseorang mendatangi tempatnya. Kepalanya segera
ditelengkan. Sekejap kemudian, dia melakukan tindakan luar biasa. Dalam keadaan
masih duduk bersih tubuhnya perlahan-lahan naik ke atas.
Setelah mencapai ketinggian sepinggang, kedua kakinya diturunkan. Sekarang dia
berdiri dengan kedua kaki. Seperti orang yang mempunya mata normal pandangannya
diarahkan pada tempat di mana kakek berwajah kuda melesat ke arahnya.
Sementara itu kakek berwajah kuda sadar kalau kakek buta telah mengetahui
kedatangannya. Pada batu karang yang berhadapan dengan batu karang tempat kakek
buta berdiri larinya dihentikan. Kakek berwajah kuda berdiri menghadap kakek
buta di pinggir batu karang yang dipisahkan oleh celah laut selebar tiga tombak.
"Siapa kau" Apa maksud kedatanganmu ke tempat ini?" Kakek buta bertanya tanpa
menyembunyikan perasaan tidak senangnya.
Kakek berwajah kuda tidak memberikan jawaban. Setelah memperhatikan kakek buta
sesaat dia lalu tertawa. Suara tawanya tidak layak keluar dari mulut manusia.
Lebih mirip suara kuda!
Wajah kakek buta beriak. Terlihat jelas dia merasa kaget. "Kukira siapa. Kiranya
kau si muka kuda yang berani bergelar Raja Sihir Penyebar Maut! Apa maksud
kedatanganmu kemari, Muka Kuda"!"
Raja Sihir Penyebar Maut kembali meringkik. Suaranya melengking nyaring
mengatasi gemuruh umbak laut pasang.
"Syukur kau masih mengenaliku, Dewa Mata Putih," ujar kakek bermuka kuda.
"Kukira sudah lupa. Ingatanmu ternyata masih kuat. Pendengaranmu pun semakin
tajam sehingga bisa mengetahui kedatanganku."
Kakek buta yang bergelar Dewa Mata Putih mengibaskan tangan dengan sikap
mencela. "Tidak usah memuji-mujiku, Muka Kuda!" sergah kakek itu, lantang.
"Kalau kau bersikap seperti ini pasti ada sesuatu yang diinginkan dariku. Aku
tahu betul dengan tingkahmu!"
Raja Sihir Penyebar Maut hanya meringkik "Perasaanmu pun semakin tajam, Buta.
Kau tahu maksud kedatanganku kemari sebelum kuutarakan. Luar Biasa!"
Dewa Mata Putih mendengus. Tidak terlihat kemarahan, kendati Raja Sihir Penyebar
Maut menyapanya dengan cacat yang dimilikinya.
2010Aku datang kemari untuk sebuah keperluan. Tapi, itu tidak terlalu
penting.2010 Raja Sihir Penyebar Maut mulai mengutarakan maksudnya. Dia tidak kecil hati
meski Dewa Mata Putih tersenyum mengejek. 2010Yang lebih penting adalah apakah
kau mendapatkan kemajuan setelah belasan tahun kita tidak bersua. Aku ingin
menguji kemampuanmu, Buta!"
"Mengapa berbelit-belit, Muka Kuda" Katakan saja maksudmu itu. Tidak usah
plintat-plintut seperti perawan dilamar!" sergah Dewa Mata Putih, tak sabar.
"Aku mempunyai urusan lain yang jauh lebih penting. Kau ingin menguji bagaimana"
Pertarungan sampai selaksa jurus! Mengadu kekuatan tenaga dalam sampai di antara
kita ada yang menggeletak" Aku siap menghadapinya!"
"Sayang sekali, Buta! Pertarungan semacam itu tidak menarik hatiku lagi. Aku
sudah terlalu tua. Urat-uratku telah kaku," kilah Raja Sihir Penyebar Maut
sambil tertawa.
"Lalu, pertarungan bagaimana yang kau inginkan?"
"Bukan pertarungan. Aku hanya ingin menguji kemampuanmu. Katakan dulu kau berani
atau tidak" Kalau tidak berani, aku akan segera pergi dari sini!2010 Raja Sihir
Penyebar Maut membakar keangkuhan Dewa Mata Putih. Kakek muka kuda ini tahu
benar kakek buta memiliki penghargaan yang tinggi terhadap dirinya sendiri.
Pantang baginya dianggap takut atau pengecut.
Dewa Mata Putih tertawa mengejek
2010Aku membaui adanya maksud untuk mencari keuntungan diri sendiri dalam
tantanganmu, Muka Kuda. Kau hendak menipuku! Tapi, jangan kira aku menjadi
gentar. Pantang bagiku menolak tantangan! Sekarang, katakan maksudmu secara jelas!2010
2010Aku yakin kau telah melihat keanehan di langit beberapa hari yang lalu,
Buta. Selama tiga hari tiga malam warna langit tetap demikian.2010 Raja Sihir Penyebar
Maut berkata seraya memperhatikan wajah Dewa Mata Putih. Ia ingin melihat setiap
riak sekecil apa pun di wajah tua itu. Maksud kakek muka, kuda ini terkabul.
Wajah Dewa Mata Putih terlihat beriak. "Bukankah kau melihatnya, Buta?"
Dewa Mata Putih mengangguk pelan seperti merasa berat untuk menjawab.
"Dan, aku yakin kau tahu penyebabnya. Iya, kan?" desak Raja Sihir Penyebar Maut.
Perubahan pada wajah Dewa Mata Putih semakin terlihat jelas. Agaknya, pertanyaan
yang di ajukan Raja Sihir Penyebar Maut merupakan rahasia.
"Bagaimana, Buta" Kau bermaksud menarik lagi ucapanmu yang mengatakan akan
bersedia memenuhi ujian dariku?" Raja Sihir Penyebar Maut mengeluarkan kata-kata
kuncinya. 4 Dewa Mata Putih menggertakkan gigi. Wajahnya mengelam. Beberapa saat hal ini
berlangsung sebelum akhirnya memudar seiring dengan helaan napas dari mulutnya.
"Sudah kuduga kau menyimpan maksud licik, Muka Kuda! Sejak dulu watakmu tidak
juga berubah!" desis Dewa Mata Putih, geram. Tapi, di dalamnya terkandung
ketidakberdayaan dan penyesalan.
"Apakah kau hendak menjilat ludah yang sudah kau keluarkan, Buta?" gertak Raja
Sihir Penyebar Maut.
"Katakan apa yang ingin kau tanyakan. Setelah itu, enyahlah dari sini! Aku tidak
ingin melihat wajahmu lagi!" ketus ucapan Dewa Mata Putih.
Raja Sihir Penyebar Maut sebenarnya merasa tersinggung. Tapi, dia menahan
amarahnya. Kakek muka kuda ini memiliki keangkuhan yang besar. Pantang baginya
diremehkan orang. Kalau tidak mengingat pentingnya masalah yang tengah dihadapi,
sudah diterjangnya Dewa Mata Putih.
Sayang, Raja Sihir Penyebar Maut terlalu terbawa rasa tersinggungnya. Kalau saja
ditelaahnya kata-kata Dewa Mata Putih dia pasti akan merasa geli. Mana mungkin
Dewa Mata Putih yang buta melihat wajahnya"
2010Aku hanya ingin kau memberikan jawaban di mana Ular Emas itu" Maksudku, di
mana tempat binatang aneh itu keluar!2010
2010Sejak tiga hari yang lalu aku telah berusaha mencari tahu, Muka Kuda. Tapi,
aku tidak ma mpu mengetahuinya. Ada tabir yang menutupi. Batas pengetahuanku
kurasa sama denganmu.2010
2010Aku yakin kau belum mengeluarkan seluruh kemampuanmu, Buta,2010 ujar
Raja Sihir Penyeba Maut setengah mengingatkan.
2010Bagaimana mungkin aku bisa mengerahkan seluruh kemampuanku" Aku tidak ingin
meninggalkan tempat ini. Harus kuakui kalau seluruh kemampuanku kukeluarkan,
mungkin tabir itu bisa kuungkap. Jadi, bukannya aku tidak mampu lulus dari
ujianmu. Tapi, tidak ada bantuan alat-alat yang dapat membuatku mengerahkan seluruh
kemampuan."
Raja Sihir Penyebar Maut tersenyum penuh rahasia. Dia tidak kelihatan kecewa.
Kakek muka kuda ini berdiam diri. Dewa Mata Putih yang tidak bisa melihat jadi
kebingungan. Kakek buta ini gelisah mendengar tidak adanya tanggapan Raja Sihir
Penyebar Maut "Apakah kau masih di situ, Muka Kuda?" tanya Dewa Mata Putih, kepalanya
ditelengkan ke kiri kanan untuk dapat lebih jelas menangkap bunyi-bunyi halus.
Sebenarnya kakek buta itu tahu pertanyaannya kedengaran bodoh. Tapi, dia tidak
bisa menahan rasa ingin tahunya ketika beberapa saat lamanya menunggu tidak juga
mendengar suara. Bahkan desah napas Raja Sihir Penyebar Maut. Kakek muka kuda
itu seperti sudah tidak berada di hadapannya lagi...
Raja Sihir Penyebar Maut tertawa melihat kegelisahan kakek buta di depannya.
"Tentu saja aku masih di sini, Buta. Mana mungkin kutinggalkan tempat ini
sebelum kudapat keterangan tentang Ular Emas itu"!"
"Bukankah sudah kukatakan kalau...."
"Kerahkanlah seluruh kemampuanmu, Buta! Semua bahan-bahan yang kau
perlukan sudah kusediakan!" potong Raja Sihir Penyebar Maut. Kakek muka kuda
melemparkan buntalan kecil yang sejak tadi dijinjing dengan tangan kirinya.
Sembarangan dan kelihatan tanpa tenaga kakek ini melemparkannya.
Dewa Mata Putih menyeringai. Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi
menderu keras. Kakek ini tidak bodoh. Meski matanya buta, tapi dengan
kepandaiannya dia tahu yang tengah meluncur ke arahnya hanya sebuah buntalan
kecil. Kakek buta ini tidak mau kalah gertak. Dengan sikap seperti orang malas tangan
kirinya diulurkan menyambut buntalan kecil. Dan buntalan itu dapai diterimanya
tanpa kesulitan sama sekali. Tanpa berkata apa pun kakek buta itu membuka
buntalan. Mudah sekali. Seakan matanya tidak buta. Dengan mempergunakan tangan
kanan diperiksanya isi buntalan. Dikeluarkan satu persatu dan dirabanya serta
diciumnya. "Kiranya kau telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan rapi, Muka Kuda.
Semua alat-alat yang kubutuhkan tersedia. Tak kusangka. Aku hampir tidak percaya
Dewa Arak 82 Lorong Batas Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang setua kau masih saja tamak dengan pusaka. Bukankah lebih enak menyepi di
tempat yang sunyi, menunggu ajal tiba dengan batin bersih?"
2010Kau tidak usah mengajariku, Buta!2010 bentak Uaja Sihir Penyebar Maut.
2010Kau boleh mempraktekkan ajaranmu itu untuk dirimu sendiri. Tidak untukku!
2010 2010Sungguh tidak kusangka kau masih ingat peralatan yang kuperlukan. Tak ada
yang kurang satu pun.2010 Dewa Mata Putih tidak mempedulikan ucapan Raja Sihir
Penyebar Maut. "Apa susahnya mengingat benda-benda menjijikkan itu"!" ejek Raja Sihir Penyebar
Maut. "Rambut mayat, hati kelelawar, kepala burung bantu, dan darah ayam hitam."
"Menjauhlah dariku, Muka Kuda! Aku ingin mulai bekerja. Keberadaanmu di sini
hanya akan mengacaukan pemusatan pikiranku. Nanti apabila telah kutemukan
hasilnya, kuberitahukan padamu!" usir Dewa Mata Putih, caranya memutuskan
pembicaraan terdengar kasar.
Sepasang mata Raja Sihir Penyebar Maut seperti memancarkan api. Tapi, orang yang
dipandang tidak mengetahuinya. Dia duduk bersila dan mulai sibuk dengan
pekerjaannya. Raja Sihir Penyebar Maut tidak berani menurutkan hawa nafsu. Saat ini kemampuan
si kakek buta amat diperlukan. Jadi, dia harus mengalah. Dengan kemarahan yang
bergolak ditinggalkannya tempat itu.
Raja Sihir Penyebar Maut tidak pergi jauh. Dia duduk menanti dengan perasaan
tidak sabar. Lima-puluh tombak da ri tempat Dewa Mata Putih. Kakek muka kuda ini
memilih sebuah gundukan karang yang agak tinggi sehingga dapat mengawasi
pekerjaan Dewa Mata Putih.
Tanpa sadar, ingatan kakek muka kuda ini melayang pada masa belasan tahun silam,
saat dia pertama kali bertemu Dewa Mata Putih. Saat itu dia sedang haus-hausnya
mengadu kesaktian dengan tokoh-tokoh persilatan baik dari golongan hitam maupun
putih. Dewa Mata Putih pun demikian. Bedanya, kalau Raja Sihir Penyebar Maut beraliran
hitam, Dewa Mata Putih beraliran putih. Perbedaan golongan ini menyebabkan
terjadinya pertarungan antara mereka.
Pertarungan dimenangkan oleh Raja Sihir Penyebar Maut. Tapi, kakek muka kuda ini
tidak membunuh lawannya. Ia ingin mengajak Dewa Mata Putih melakukan pertarungan
ilmu gaib. Dalam bidang ini Raja Sihir Penyebar Maut harus mengakui keunggulan
lawan. Kakek muka kuda ini jadi mengetahui alat-alat yang dibutuhkan Dewa Mata Putih
untuk mengeluarkan ilmu gaibnya.
Itulah sebabnya ketika tidak berhasil mencari tahu keberadaan Ular Emas, Raja
Sihir Penyebar Maut mencari Dewa Mata Putih. Dia yakin kakek buta itu bisa
mengetahuinya. (Untuk jelasnya mengenai tokoh yang berjuluk Raja Sihir Penyebar Maut, silakan
baca episode: "Pembantai Dari Mongol").
"Muka Kuda, cepat kemari! Aku telah menemukan sesuatu!"
Pemberitahuan Dewa Mata Putih yang dikirim lewat Ilmu 'Mengirim Suara Dari
Jauh', menyadarkan Raja Sihir Penyebar Maut dari lamunan. Bergegas dia bangkit
dan melesat ke arah kakek buta.
"Kau telah tahu di mana Ular Emas itu, Buta" Ternyata kemampuan ilmu gaibmu
tidak berkurang. Kau memang luar biasa...!" puji Raja Sihir Penyebar Maut, tanpa
menyembunyikan perasaan gembiranya.
"Telan dulu pujian berbisamu itu, Muka Kuda. Lebih baik kau dengarkan
penjelasanku," sergah Dewa Mata Putih.
Raja Sihir Penyebar Maut terdiam. Wajahnya mengelam. Sinar matanya berapi-api.
Kalau menuruti perasaan sudah diterjangnya kakek buta yang berkali-kali
menyakiti hatinya ini.
2010Ular Emas memang telah keluar. Tempat di mana keluarnya tidak dapat
kupastikan. Aku hanya melihat adanya lorong panjang dan gelap. Lorong yang
merupakan jalan menuju batas dunia kasar dan halus. Asal mula lorong ini adatah
Gunung Cikuray.
Rupanya, itulah yang menyebabkan gunung ini meletus. Aku melihat seseorang
berjalan melalui lorong. Seorang perempuan muda dan cantik. Mungkin dia yang
akan mendapatkan mustika yang tengah kau cari,2010 beritahu Dewa Mata Putih.
2010Apakah gadis itu yang akan mendapatkannya, Buta"2010 Dalam ketegangan, Raja
Sihir Penyebar Maut mengajukan pertanyaan yang semestinya tidak dikeluarkan
karena kakek buta telah mengatakannya. "Bisakah kau beritahukan ciri-ciri tempat
Ular Emas itu akan keluar?"
Dewa Mata Putih menggeleng.
"Samar-samar aku mendengar bisikan bahwa yang berjodoh dengan mustika itu hanya
orang yang masih suci. Dalam arti, belum pernah mengadakan hubungan badan.
Jadi, kurasa kau lebih baik mengurungkan maksudmu untuk mendapatkan mustika
itu." Raja Sihir Penyebar Maut menggertakkan gigi.
Jauh-jauh dia datang ke tempat ini dengan membawa bahan-bahan yang dibutuhkan
Dewa Mata Putih. Sekarang disuruh melupakan mustika itu. Sebuah usul yang benar-
benar gila! "Kau telah berusaha keras, Buta. Sepantasnya kalau kuberikan tanda mata untukmu.
Terimalah!"
Raja Sihir Penyebar Maut menutup ucapannya yang sarat dengan perasaan kecewa
melalui lemparan sebuah benda bulat lonjong sebesar telur angsa. Warnanya putih
kecoklatan. Kakek muka kuda ini melemparkannya ke atas. Diperkirakan benda ini
akan jatuh di depan Dewa Mata Putih.
Dewa Mata Putih bukan tokoh hijau yang baru pertama kali menghadapi hal-hal
aneh. Memang kakek ini buta matanya. Tapi, justru karena itu perasaannya tajam
bukan main. Dewa Mata Putih tahu siapa Raja Sihir Penyebar Maut. Kakek muka kuda ini seorang
pentolan dunia hitam. Yang ada di benaknya hanyalah mencari keuntungan untuk
dirinya sendiri. Tidak peduli orang lain dirugikan. Tak ada dalam hidup Raja
Sihir Penyebar Maut untuk mengingat kebaikan orang! Apalagi memberikan hadiah
tanda mata. Pikiran semacam ini membuat curiga Dewa Mata Putih. Ditambah lagi dengan
bisikan hatinya yang mengatakan adanya bahaya mengancam. Maka kakek buta ini
tidak berani menyambuti benda yan dilemparkan Raja Sihir Penyebar Maut. Khawatir
benda itu mengandung racun keji!
Kakek buta melompat ke belakang. Inderanya yang tajam dapat mengetahui pinggir
tebing karang hanya dengan mempergunakan telinga untuk menangkap bunyi ombak.
Dewa Mata Putih tidak terjeblos ke dalam laut. Kakek buta ini berdiri tepat di
pinggir batu karang.
Blarrr! Nyawa Dewa Mata Putih bagai melayang alam baka ketika mendengar bunyi
berdentum nyaring. Dirasakannya karang bergetar hebat. Kaki kakinya kehilangan
keseimbangan karena tempat yang dipijaknya lenyap. Karang tempatnya berdiri
hancur berantakan! Untungnya Dewa Mata Putih cepat bertindak. Saat tubuhnya
dirasakan terlempar ke udara akibat ledakan dahsyat itu, kakek buta ini bersalto
beberapa kali di udara. Kemampuan pendengarannya dikerahkan untuk mendengarkan
bunyi-bunyi yang terdengar di sekelilingnya. Sekecil apa pun. Salah sedikit saja
kakinya akan menjejak lautan lepas dan nyawanya lenyap di perairan yang maha
luas itu. Raja Sihir Penyebar Maut mendengus. Dia tahu maksud gerakan Dewa Mata Putih.
Dengan senyum keji menghias bibir dikirimkannya pukulan jarak jauh berupa
hentakan kedua tangan. Hembusan angin keras yang mengeluarkan bunyi berkesiutan
nyaring menghambur ke arah tubuh Dewa Mata Putih.
Dewa Mata Putih mendengar bahaya besar itu. Di dalam hati dia memaki kelicikan
Raja Sihir Penyebar Maut! Kedudukannya yang berada di udara dan ketiadaan
pijakan membuatnya tidak bisa mengelak
Blarrr! Untuk kedua kalinya terjadi bunyi ledakan keras. Kali ini terjadi akibat
benturan dua pukulan jarak jauh. Tubuh Raja Sihir Penyebar Maut maupun Dewa Mata
Putih terpental ke belakang.
Raja Sihir Penyebar Maut tidak mempunyai kesulitan untuk mematahkan kekuatan
yang membuat tubuhnya terlempar. Dengan ringan kedua kakinya dijejakkan pada
batu karang lain. Tapi, tidak demikian dialami oleh Dewa Mata Putih. Betapapun
berhasil mematahkan kekuatan yang melontarkan tubuhnya, tak urung tubuhnya jatuh
ke hamparan air laut biru. Bunyi benturan yang diiringi muncratnya air
menimbulkan seringai keji di wajah Raja Sihin Penyebar Maut.
Dengan hati puas kakek bermuka kuda melesat meninggalkan tempat itu. Sementara
Dewa Mata Putih tenggelam ke dalam laut yang memiliki kedalaman tak terukur.
Bunyi nyaring yang cukup merdu di telinga terdengar berkali-kali dengan irama
tetap. Bunyi benda kecil yang tidak begitu berat jatuh ke permukaan air. Bunyi
itu tercipta karena keisengan sesosok tubuh ramping berpakaian kuning yang duduk
di pinggir sungai.
Pandangannya tertuju lurus ke depan. Sinar matanya tampak kosong. Tapi,
tangannya tak henti-henti memungut batu sebesar kepalan bayi yang ada di
sekitarnya dan dilemparkan ke tengah sungai.
Sosok berpakaian kuning ini ternyata seorang gadis berwajah sangat cantik.
Meskipun saat itu kemurungan menyelimuti wajahnya, namun tidak mengurangi
kecantikannya. Kembali gadis berpakaian kuning ini mengulurkan tangan. Kali ini
sudah tidak ada lagi batu yang bisa diambil. Sudah habis. Di depannya ada tapi
jaraknya cukup jauh untuk bisa dijangkau tangan. Gadis ini duduk di bagian
tabing pinggir sungai.
Menurun ke depan sedikit terhampar sungai dengan sedikit daratan di
pinggirnya.Tangan gadis berpakaian kuning itu tidak dapat menjangkau batu-batu
yang berserakan di depannya. Jaraknya tak kurang dari satu setengah tombak.
Tapi, ketika si gadis menggetarkan tangannya, salah satu batu yang berada di
bawah sana mela-ang ke arahnya dan mendarat tepat di telapak tangan! Dengan
wajah dan sinar mata orang kehilangan semangat gadis itu melemparkan batu ke
tengah sungai. Begitu seterusnya.
Ketika kesekian kalinya, gadis berpakaian kuning ini mengalami kejadian
mengejutkan. Batu yang melayang ke arahnya terus meluncur melewatinya dengan
kecepatan yang mendadak bertambah. Si gadis menggertakkan gigi. Sinar matanya
berkilat-kilat. Ada orang yang telah bertindak usil padanya.
Gadis berpakaian kuning membalikkan tubuh seraya bangkit berdiri. Dugaannya
tidak salah. Di belakangnya berdiri seorang kakek dalam jarak tiga tombak. Kakek
itu berwajah kuning. Di tangan kanannya tergenggam batu yang tadi hampir
berhasil ditangkap si gadis
2010Tua bangka usilan!122010 maki gadis berpakaian kuning dengan suara lantang
penuh kemarahan. 2010Rupanya kau ingin menerima gebukanku!2010
Kakek bermuka kuning tertawa. Tanpa sadar bulu kuduk si gadis meremang. Tawa
kakek itu melengking tinggi seperti suara tawa seorang wanita. Nadanya pun tidak
menyenangkan hati. Terkesan dibuat-buat.
Gadis berpakaian kuning saat itu tengah uring-uringan. Maka mendapat gangguan,
apalagi si pengganggu mempunyai tingkah menyebalkan, seperti menemukan tempat
untuk melampiaskan kekesalan hatinya. Jari telunjuknya yang runcing dan lentik
ditudingkan. "Ayo, Kakek Penyakitan! Kembalikan batuku. Sebelum mukamu yang kuning itu
kujadikn hitam!"
Wajah kakek muka kuning mengelam. Biasan wajahnya menyiratkan ancaman.
"Kambing betina! Kau berani menghinaku. Di lain keadaan mungkin kau sudah
kubunuh! Tapi karena tengah
mengemban urusan penting, biar kucicipi
saja keperawananmu! Sudah hampir duapuluh tahun aku tidak bersenang-senang dengan
wanita. Apalagi dengan gadis liar sepertimu. Pasti menyenangkan sekali!"
"Keparat!" Gadis berpakaian kuning semakin kalap. Sorot matanya memancarkan hawa
maut mendengar ucapan yang jelas-jelas kurang ajar itu. "Tua bangka seperti kau
lebih baik dilenyapkan dari muka bumi!"
Setelah berkata demikian, gadis berpakaian kuning mencabut pedang. Dia melompat
seraya membacokkan pedangnya dari atas ke bawah. Apabila mengenai sasaran, tubuh
kakek itu akan terbelah menjadi dua bagian sama.
Kakek muka kuning tertawa dengan nada aneh. Ia seperti tengah melihat kejadian
lucu. Kakek itu tidak berusaha mengelak atau pun menangkis.
"Pedang tumpul seperti itu mana mungkin dapat membelah kepalaku" Membelah tahu
saja kukira tidak akan mempan!"
Takkk! Belum juga gema ucapannya habis, mata pedang si gadis telah menghantam
kepalanya dengan keras. Tapi, seperti sesumbar yang dikeluarkan si kakek pedang
gadis berpakaian kuning tidak mampu membelah kepalanya. Pedang itu terpental
balik Gadis berpakaian kuning bersalto beberapa kali di udara untuk mematahkan
kekuatan yang mementalkan tubuh ke belakang. Perasaan kaget yang sangat melanda
hatinya. Ia seperti bukan membacok kepala, tapi gumpalan baja amat keras.
Sekujur tubuhnya tergetar hebat. Tangannya yang menggenggam pedang hampir lu
mpuh. Wajah si gadis masih belum bebas dari keterkejutan ketika kedua kakinya
menjejak tanah.
2010Betulkan yang kukatakan, Denok"2010 ejek si kakek dengan suara genit.
"Tutup mulutmu, Tua Bangka Cabul!"
Gadis berpakaian kuning semakin marah. Ia kembali mengirimkan serangan
mematikan. Kali ini melalui tusukan cepat ke arah jantung. Kakek bermuka kuning
tertawa. Ketika serangan menyambar dekat, telunjuk dan jari tengahnya digerakkan ke depan
untuk memapaki.
Si gadis mengeluarkan pekikan tertahan. Pedangnya terjepit di antara dua jari si
kakek. Dicobanya melepaskan pedang dengan menarik atau mendorong. Dia yakin ca
ra ini akan berhasil. Gesekan mata pedang dan jari tangan akan membuat jari
kakek itu terluka!
5 Ternyata rencana itu hanya mudah untuk dilaksanakan dalam angan-angan. Gadis
berpakaian kuning itu harus menelan kenyataan pahit. Pedangnya tidak bergeming
sedikit pun. Gadis berpakaian kuning ini ternyata memiliki watak keras kepala. Dia tidak mau
melepaskan pedangnya kendati telah dibuat mati kutu oleh lawan. Dengan tangan
kiri dilancarkannya tusukan dua jari tangan ke arah ubun-ubun si kakek.
2010Uh...!2010 Kakek berwajah kuning mengeluh, kaget. Serangan jari-jari tangan gadis
berpakaian kuning memang menggiriskan. Bunyi bercicitan nyaring mengiringi
luncuran serangan itu.
"Apa hubunganmu dengan Pendekar Jari Maut"!"
Berbarengan dengan dikeluarkannya pertanyaan itu kakek bermuka kuning
memapaki dengan telapak tangan kiri. Dua jari si gadis yang mampu melubangi
karang paling keras itu bertemu dengan telapak tangan tua yang kelihatan lunak.
Wajah si gadis memucat. Jari-jarinya tidak mampu melukai tangan lawan. Malah,
ujung-ujung jarinya melekat dengan telapak tangan itu. Gadis berpakaian kuning
bersikeras menariknya. Tapi, sia-sia. Dari telapak tangan kakek bermuka kuning
seolah ada kekuatan dahsyat yang menyedot jari-jari tangannya hingga tetap
menempel. Dengan sendirinya sekarang si gadis tidak ma mpu berbuat apa-apa lagi. Kedua
tangannya telah dikunci. Namun dia masih berusaha keras untuk membebaskan diri!
Rontaannya mulai melemah ketika merasakan hawa panas merayap dari kedua
tangannya. Hawa panas itu semakin lama semakin dahsyat. Si gadis berusaha keras
mengurangi kekuatan hawa yang menyiksa dengan mengerahkan tenaga dalam.
Lagi-lagi usaha gadis berpakaian kuning ini tidak membuahkan hasil. Lawan
terlalu kuat. Dia kalah dalam segalanya. Peluh membasahi sekujur wajah dan
tubuh. Wajah gadis ini sampai merah padam seperti udang rebus.
"Katakan apa hubunganmu dengan Pendekar Jari Maut" Cepat! Sebelum kau kubuat
pingsan karena tak kuat dengan siksaan ini!" Kakek berpakaian kuning berteriak
dengan tidak sabar.
"Aku putrinya, Tua Bangka tak tahu malu! Kalau ayahku tahu, kau akan dihajarnya
sampai mukamu yang kuning itu luntur warnanya!" jawab gadis berpakaian kuning
dengan terengah. Serangan hawa panas membuat si gadis sulit bernapas.
"Hi hi hi...!"
Kakek bermuka kuning tertawa dengan suara nyaring. Jawaban si gadis yang penuh
ancaman dianggapnya hal yang lucu.
"Kau mengancamku, Denok" Lucu sekali. Kau kira aku takut dengan ayahmu si
Pendekar Jari Ma ut itu" Dan, kau bilang dia akan menghajarku" Kau salah besar,
Montok. Malah, kalau tahu kau dicelakai olehku dia akan menutup mata!"
"Bohong! Kau bohong, Tua Bangka bau. Memangnya kau siapa sehingga ayahku takut
padamu" Sekarang kau berani membuka mulut karena ayahku tidak ada! Coba kalau
beliau ada, kau akan terberak-berak di celana karena takut!" Si gadis balas
mengejek, tak kalah keras dan kasar.
"Wanita liar! Mulutmu terlalu tajam!" Kakek bermuka kuning yang kalah pintar
Dewa Arak 82 Lorong Batas Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdebat menjadi berang bukan main. Dia tahu tak akan menang adu mulut dengan
gadis yang pintar bicara ini. "Kau ingin tahu siapa aku" Aku dijuluki Raja Racun
Sakti. Kau pernah mendengar julukan ini dari ayahmu, bukan" Aku yakin ayahmu
telah menceritakan betapa takutnya dia padaku!"
Kakek bermuka kuning lalu meniup. Serangkum angin yang tidak keras,
menyambar. Gadis berpakaian kuning mengeluh tertahan. Bahu kanannya seperti
terkena sodokan tongkat besi. Pengerahan tenaga dalamnya pun terhenti. Tubuh si
gadis ambruk ke tanah. Raja Racun Sakti telah menotoknya dengan cara yang luar
biasa. "Nah! Apakah ayahmu mampu melakukan hal seperti ini" Tidak bukan?" tanya Raja
Racun Sakti dengan penuh kebanggaan.
Gadis berpakaian kuning yang memang putri Pendekar Jari Maut dan tidak lain
Jumini hanya tersenyum mengejek. Sikapnya memandang rendah sekali.
"Kemampuan seperti itu saja kau banggakan, Kakek Bau! Ayahku tanpa melakukan
tindakan apa pun mampu membuat puluhan orang yang memiliki kepandaian lebih
dariku roboh tidak berkutik. Yang kau pamerkan padaku ini tidak ada artinya sama
sekali!" Wajah Raja Racun Sakti semakin kuning karena rasa tersinggung. Diam-diam dia
memaki kebodohannya yang masih saja mengajak si gadis berdebat. Dia tadi sudah
berjanji tidak akan mengadu mulut dengan Jumini!
Jumini yang memang memiliki kepintaran berbicara tentu saja melihat perubahan
wajah Raja Racun Sakti. Gadis ini yakin kalau kakek itu tersinggung. Kesempatan
itu segera digunakannya untuk mengobati sakit hatinya.
"Ayahku memang telah menceritakan tentang seorang tokoh yang berjuluk Raja Racun
Sakti, bahkan terlalu sering. Menurut Ayah, dia seorang tokoh hitam yang
memiliki kepandaian rendah. Anehnya, tokoh itu memiliki watak sombong. Dia juga
seorang pengecut! Begitu mendengar berita ayahku akan datang, dia lari terbirit-
birit dan hampir pingsan!" Dengan beraninya Jumini mengarang cerita. Padahal,
sebenarnya tidak demikian.
Ayahnya memang pernah menceritakan tentang Raja Racun Sakti. Tapi, tidak dengan
cerita seperti yang diuraikan Jumini. Pendekar Jari Maut menceritakan apa adanya
dan mengatakan kalau Raja Racun Sakti merupakan salah seorang datuk kaum sesat
yang amat terkenal pada masa puluhan tahun lalu. Tokoh itu bersama Raja Sihir
Penyebar Maut hampir mengundurkan diri dari dunia persilatan.
2010Keparat!2010 Sepasang mata Raja Racun Sakti bagai hendak keluar. 2010Kau
terlalu lancang, Wanita Liar! Berani mempermainkan Raja Racun Sakti. Sekarang
akan kubuat kau menyesal seumur hidup!"
Jumini yang sejak tadi memasang sikap angkuh dan tak henti-hentinya tersenyum
mengejek, mulai memucat wajahnya. Naluri kewanitaannya membisikkan adanya bahaya
besar. Bahaya yang lebih dahsyat dari maut. Rasa takut pun mulai menyeruak di
hatinya. Kakek bermuka kuning mulai dengan ancamannya. Dia tetap berdiri di tempatnya.
Kedua tangannya digerak-gerakkan di depan dada seperti sedang membolang-
Kehidupan Para Pendekar 2 Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin Raja Pedang 9