Pencarian

Malaikat Berdarah Biru 2

Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru Bagian 2


"Apakah Teluk Gonggong masih jauh dari sini, Ki?" Aji balik bertanya.
Orang tua pemilik kedai sedikit
terkejut. Agak lama dia terdiam.
"Apakah kau ingin ke sana...?"
tanya orang tua ini. Aji mengangguk perlahan.
"Teluk Gonggong sudah dekat dari sini. Jalan ini lurus, lalu berbelok sedikit,"
jelas pemilik kedai sambil menunjukkan tangannya ke arah selatan.
"Dari belokan itu, Pantai Sendang Biru yang merupakan bagian dari Teluk
Gonggong bisa terlihat...! Kalau Den Aji tak keberatan, bisakah menjelaskan ada
apa sebenarnya di sana..." Aku sendiri heran, karena beberapa hari ini, banyak
orang asing di mataku pergi ke arah Pantai Sendang Biru.
Malah jika tidak salah, orang sombong tadi juga menuju ke arah Pantai
Sendang Biru...!"
"Apakah yang kau maksud perempuan yang berbaju putih tadi...?"
"Den Aji tahu...?" pemilik kedai balik bertanya. Aji hanya senyum-senyum.
Sementara si pemilik kedai menggeleng-geleng.
"Bukan, bukan yang perempuan.
Temannya yang berpakaian hitam-hitam dengan ikat kepala berwarna hitam pula...."
Belum sampai keduanya berbincang
lebih lama, dari arah utara terdengar hentakan kaki kuda, lalu disusul
ringkikan disertai hingar-bingar
helaan dari mulut sang penunggangnya.
Melihat gelagatnya, rupanya si penunggang kuda ingin mempercepat lari
tunggangannya. Namun tepat di sebelah kedai, binatang itu meringkik keras lalu
berhenti. Dan sesaat kemudian, kedua kaki kuda itu doyong.
Sebelum binatang
malang itu ambruk kehabisan tenaga, penunggangnya telah meloncat. Setelah membuat dua
putaran, dia mendarat dengan kaki kokoh di depan kedai.
"Hm.... Binatang malang. Apa boleh buat...!"
Sambil bergumam, si penunggang
kuda memandang ke belakang, arah dia tadi lewat. Sesaat kemudian, kakinya
melangkah menuju pintu kedai.
Di ambang pintu baru jelas sosok
penunggang kuda ini. Ternyata, dia adalah seorang laki-laki berpakaian hijau-
hijau agak tua. Usianya sudah tak muda lagi. Ini bisa ditebak dari warna rambut
panjangnya yang telah berwarna dua. Hidungnya mancung. Kulit mukanya meski telah
tersaput ketuaan, namun bersih dan cerah. Kedua kakinya memakai alas kaki dari
kayu. Dan di lehernya, melingkar untaian kalung dari manik-manik berwarna hijau
yang berkilauan.
Dengan langkah ringan, laki-laki
ini melangkah menuju sebuah meja.
Blem! Blem! Ternyata, setiap injakan alas
kakinya, membuat mata para pengunjung kedai melotot hampir tak percaya.
Begitu menginjak tanah, suaranya mampu menggetarkan dada setiap pengunjung
kedai! Sementara itu, si pemilik kedai
dengan mata sedikit menyipit memandang ke arah Aji. Namun kali ini Pendekar Mata
Keranjang 108 tak memandangnya.
Matanya saat ini lurus menatap laki-laki berbaju hijau yang baru saja masuk.
Segera saja pemilik kedai meng-
hampiri laki-laki yang baru datang, dengan sedikit menjura hormat.
"Beri aku makan dari minum,
Ki...," ujar laki-laki berbaju hijau ini.
Dengan sedikit gugup, si pemilik
kedai segera berlalu untuk menyediakan pesanan.
Namun di saat laki-laki berbaju
hijau ini menunggu pesanannya, terdengar kembali ringkikan kuda yang sepertinya
dihentikan secara mendadak.
Tepat ketika laki-laki ini
menoleh ke pintu kedai, terdengar orang melangkah menuju kedai. Dan sesaat
kemudian, di pintu masuk
berdiri seorang laki-laki berpakaian putih-putih. Di baju bagian dadanya nampak
gambar kecil berbentuk sebuah Pura. Pakaiannya nampak rapi, meski tampak habis
melakukan perjalanan jauh. Kumis dan jenggotnya terawat rapi. Rambutnya panjang,
hitam, dan kelimis, dibiarkan jatuh di atas
bahunya yang kekar. Namun dari sorot matanya yang agak merah, dia tampak menahan
geram. Apalagi ketika sapuan matanya berujung pada laki-laki
berbaju hijau-hijau.
"Manik Angkeran! Kau tak akan bisa lolos dari tanganku!" teriak laki-laki
berbaju putih yang masih berdiri. Matanya nyalang memandang tak berkedip ke arah
laki-laki berbaju hijau bernama Manik Angkeran.
Orang tua pemilik kedai yang baru saja meletakkan makanan pesanan laki-
laki berbaju hijau, kembali menyambut kehadiran tamunya. Dan dengan ramah
dipersilakannya sang tamu untuk duduk.
Namun laki-laki berbaju putih
yang disambut tak mengacuhkan. Sepasang matanya tetap menatap Manik
Angkeran. "Manik Angkeran! Selesaikan makan terakhirmu! Kutunggu kau di luar!"
lanjut laki-laki berbaju putih dengan suara menggelegar. Akibatnya, piring-
piring di atas meja langsung jatuh pecah berantakan.
Sehabis berkata, laki-laki ber-
baju putih berbalik. Dan sekali
kelebat, tubuhnya telah berada di halaman kedai.
Orang tua pemilik kedai hanya
bisa melongo. Dan sambil menutupi telinganya dengan kedua tangannya, dia
berpaling ke arah Aji.
Pendekar Mata Keranjang 108 hanya mengangguk sambil tersenyum menahan tawa.
Sehingga, bahunya nampak sedikit terangkat.
Sementara itu, Manik Angkeran
yang merasakan ucapan laki-laki
berbaju putih ditujukan padanya, hanya melirik sebentar. Lalu dia mulai makan
yang tersedia. Piring makannya tadi memang tak ikut beterbangan. Karena waktu
laki-laki berbaju putih
mengerahkan tenaga dalam melalui suaranya, rupanya dia telah waspada. Maka
segera sedikit tangannya dikerahkan, sehingga piring dan mejanya tak
bergeming sedikit pun.
Sesudah menghabiskan makanannya,
laki-laki berbaju hijau ini bangkit dan mendekati pemilik kedai. Dibayar-nya
semua pesanannya, lalu dengan tenang melangkah keluar."
"Hm.... Ada apa lagi
ini..." Rupanya mereka akan segera bertarung!
Ah! Dunia ternyata penuh perselis-ihan...," kata batin Aji prihatin.
Aji pun segera beranjak dari
mejanya, untuk membayar makanan. Dan segera kakinya melangkah keluar dari kedai.
Di tiang penyangga kedai,
Pendekar Mata Keranjang 108 menyandarkan tubuhnya. Dia ingin tahu, apakah yang
dirasakan akan segera meledak.
Di halaman kedai, Manik Angkeran
menghentikan langkah. Dan dengan
tenang tubuhnya berbalik menghadap laki-laki berbaju putih yang berada sepuluh
tombak di hadapannya.
Sementara itu, laki-laki berbaju
putih tampak tak sabar. Tangannya telah mengepal, membuat otot-otot tangannya
bergurat jelas. Sepasang matanya menyengat tajam, seperti ingin segera
menggebrak. "Bagus! Ternyata kau bukan
manusia pengecut, Manik Angkeran!
Terimalah hukumanmu!" desis laki-laki
berbaju putih. Suaranya tetap
menggeram dan dahsyat.
"Rama Gita! Sebenarnya aku tak ingin berurusan denganmu. Karena, menang atau
kalah tak membawa arti apa-apa bagiku! Tapi jika kau masih tetap menuduhku, apa
boleh buat"!
Nyawaku pun akan kupertaruhkan untuk mempertahankan keyakinanku!" sahut Manik
Angkeran, mantap.
Laki-laki berbaju putih yang
dipanggil Rama Gita mendengus.
"Kau terlalu banyak bersilat lidah, Manik Angkeran! Akui saja
perbuatanmu! Setelah itu, ikutlah aku untuk menghadap raja. Beliaulah yang nanti
akan menentukan nasibmu! Namun jika kau tetap membendel, jangan
menyesal kalau aku langsung turun tangan untuk mengirimmu ke neraka tanpa
pengadilan!"
"Rama Gita!" bentak Manik Angkeran disertai pengerahan tenaga dalam pada
suaranya. "Sewaktu kau mengobrak-abrik tempatku, pertanyaanku kau belum
jawab...! Apa hubunganmu dengan Gusti Agung Penatek yang katamu telah tewas
terbunuh"!"
"Manik Angkeran! Meski kuduga pertanyaanmu hanya pura-pura, namun biar
perjalananmu menuju alam neraka tak penasaran, akan kujelaskan. Gusti Agung
Penatek adalah putra mahkota!
Dan aku adalah Hulubalang Perang
Kerajaan! Dan tentunya kau telah tahu, kerajaan geger setelah Gusti Agung
Penatek diketemukan mangkat terbunuh!"
Wajah Manik Angkeran berubah
sebentar pertanda terkejut. Sementara Aji yang semula acuh saat mendengarkan
percakapan mendadak ternganga!
"Hm.... Ini rupanya peristiwa besar...," kata batin Aji.
"Dan kau menuduhku, bahwa aku pelaku pembunuhan itu. Begitu, bukan?"
tanya Manik Angkeran dengan senyum tersungging.
"Telah kau jawab sendiri
pertanyaanmu, Manik Angkeran!"
"Ah! Ini sebuah cerita besar sepanjang hidupku. Kau menyebut Gusti Agung Penatek
sebagai putra mahkota.
Apakah kau tahu, kapan seorang
gelandangan seperti aku mendapat
kesempatan menemui seorang putra
mahkota" Kau rupanya sengaja membuat cerita bohong, Rama Gita!" kilah Manik
Angkeran. "Ha... ha... ha...!"
Rama Gita tertawa terbahak-bahak.
"Manik Angkeran!" teriak Rama
Gita garang, begitu tawanya lenyap.
"Ini bukan cerita bohong atau dibuat-buat. Kau adalah seorang pendekar.
Maka seharusnya tak melakukan
perbuatan pengecut dengan dalih tak masuk akal! Akuilah
perbuatanmu! Segalanya akan beres...!"
"Kau berani menuduhku, tentunya punya bukti!" kata Manik Angkeran dengan hujaman
mata menyengat.
Dari kantong bajunya, Rama Gita
mengeluarkan sebuah bungkusan kecil.
Segera dibukanya bungkusan itu, lalu diambilnya dua buah manik-manik kecil
berwarna hijau berkilauan dan dilemparkan ke hadapan Manik Angkeran.
Melihat manik-manik berwarna
hijau, wajah Manik Angkeran segera berubah. Keningnya mengernyit dalam
menunjukkan keheranannya.
"Bagus! Kau menuduh, sekalian dengan bukti! Namun sayang, bukti itu tak bisa
memberikan kepastian kalau aku sebagai pembunuh! Siapa saja bisa mendapatkan
manik-manik seperti itu!
Bahkan tak mustahil, kau sengaja
menjebakku untuk segera menuntaskan masalahmu dengan Raja. Dan tidak
mustahil pula, kaulah pelaku itu. Lalu kau, cari kambing hitam!" balas Manik
Angkeran, menuduh balik.
"Kau pandai bicara, Tua Bangka!
Tapi, bukalah matamu lebar-lebar!
Lihat manik-manik itu. Dan hitung untaian manik-manik yang melingkar di
lehermu...!" dengus Rama Gita.
Belum usai Rama Gita dengan kata-
katanya, Manik Angkeran telah menarik telapak tangannya sedikit ke belakang.
Seakan tak dapat dipercaya, dua
manik-manik yang berada di tanah
mencelat bagai tersedot ke arah Manik Angkeran. Sesaat kemudian, laki-laki
berbaju hijau ini sudah mengamati manik-manik yang ada di tangannya.
Begitu manik-manik itu dilihat,
wajahnya berubah pias. Dgn tanpa
sadar, tangan kirinya bergerak menghi-tung manik-manik di untaian kalungnya.
Tepat ketika tangannya berhenti,
wajahnya tambah tercengang. Bahkan sepasang matanya mendelik!
"Manik Angkeran! Sekarang, kau tak bisa lagi mengelak! Bukti itu menguatkan
bahwa kaulah pelaku
perbuatan keji itu!" teriak Rama Gita, lantang.
"Tunggu!" cegah Manik Angkeran.
Namun Rama Gita rupanya sudah tak sabar lagi. Kakinya segera menjejak tanah.
Tubuhnya langsung melenting dan membuat putaran. Lalu, manis sekali kakinya
mendarat dua tombak di samping Manik Angkeran.
Dari arah samping, Rama Gita
segera menyentakkan kedua tangannya yang telah dialiri tenaga dalam,
mengirimkan serangan jarak jauh.
Wesss...! "Hiaaa...!"
Didahului bentakan menggemuruh,
Manik Angkeran berkelebat menghindar.
Dan tiba-tiba tubuhnya telah lima langkah di samping Rama Gita dan
langsung menghentakkan tangannya
melepaskan serangan.
Wesss...! Wesss...!
Rama Gita terkejut. Segera
dipapaknya serangan itu dengan
sentakan tangannya kembali.
Blar! Blarrr! Dua dentuman segera menyambut,
ketika dua serangan bertemu. Bahkan membuat debu halaman kedai menggumpal
membubung ke udara. Di udara gumpalan debu itu pecah. Sehingga, sebentar
kemudian mata dibuat tertutup debu yang beterbangan dan menyelimuti
halaman. Belum hilang saputan debu, Rama
Gita telah melangkah dua tindak ke depan. Dengan menarik sedikit tubuhnya ke
belakang, kedua tangannya didorong ke depan.
Wesss...! Kembali gelombang angin berderak ke depan, menuju Manik Angkeran.
Sementara laki-laki berbaju hijau itu segera melepas kalung dan memutar-
mutarkannya di depan dada.
Wes! Wesss...! Angin putaran yang mengeluarkan
suara menderu keras, menyentak
suasana. Bahkan segera memapak
serangan Rama Gita. Dan ketika dua serangan itu bertemu....
Blar! Btarrr...!
Kembali terdengar suara ledakan
menggelegar. Manik Angkeran dan Rama Gita
sama-sama menghindar dengan melesatkan tubuh masing-masing ke udara. Begitu
berada di udara satu sama lain saling menyerang kembali.
Rama Gita yang tampaknya sudah
hilang kesabarannya, segera menggeser tubuhnya yang masih di udara ke


Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

samping. Seketika
tubuhnya jungkir
balik, menerobos dengan terjangan kaki ke arah selangkangan Manik Angkeran.
"Hup!"
Manik Angkeran segera mengangkat
kakinya. Dan begitu terjangan kaki Rama Gita datang, kakinya bergerak menyapu.
Dig! Dig! Dua pasang kaki yang mengandung
tenaga dalam tinggi itu berbenturan, menimbulkan suara keras. Dan akibatnya
lebih parah lagi. Tubuh Rama Gita berputar-putar beberapa kali di udara, sebelum
akhirnya terjerembab di tanah.
Sementara Manik Angkeran yang memapak terjangan, hanya jatuh terduduk.
"Hiaaa...!"
Dengan mengeluarkan teriakan
beringas, Rama Gita merambat bangkit.
Namun baru saja tubuhnya mulai
bergerak, Manik Angkeran
segera memutar pantatnya.
Set! Settt! Seketika dua alas
kaki Manik Angkeran yang terbuat dari kayu
melesat cepat, mengeluarkan desingan ke arah Rama Gita yang mulai bergerak
bangkit. Adanya angin keras yang melabrak
sebelum serangan itu sendiri datang, cukup membuat Rama Gita waspada.
Sebelum dua alas kaki itu menggebrak tubuhnya, tangannya cepat menghentak tanah.
Bug! "Hup!"
Maka saat itu pula tubuh Rama
Gita kembali melesat ke udara. Dan seketika, tangannya kembali disentakkan ke
arah dua alas kaki yang
berdesing tak terlihat di bawahnya.
Wes! Wesss! Bagai terkena tekanan angin keras dari atas, luncuran dua alas kaki Manik
Angkeran terhenti dan menukik ke bawah.
Crep! Crep! Dua alas kaki itu menancap di
tanah hingga dua pertiga dalamnya.
Namun yang membuat mata agak mendelik, tanah yang tertancap menjadi hitam legam,
dalam jarak satu putaran
tombak. Pada saat yang sama, tepat ketika tubuh Rama Gita akan mendarat, Manik Angkeran
bangkit. Seketika tubuhnya berputar sekali berkelebat cepat dan langsung tak
terlihat. Dan....
Des! Des...! "Aaakh...!"
Terdengar suara jeritan, disusul
ambruknya tubuh Rama Gita di atas tanah. Sambil mengeluarkan lenguhan keras,
laki-laki berbaju putih itu memandangi tangan dan kakinya yang terasa ngilu dan
panas. Seketika
wajahnya mendadak pucat pasi dengan bibir bergetar. Ternyata tangan dan kaki
Rama Gita telah berubah kemerahan seperti kulit terpanggang.
"Rama Gita! Cepatlah minggat dari hadapanku, sebelum nafsuku mengalahkan otak
jernihku!" bentak Manik Angkeran sambil mengalungkan kembali kalungnya.
Dipandangnya Rama Gita dengan senyum.
Sementara Rama Gita kembali
merambat bangkit, disertai sorot mata tajam.
"Aku tak akan pulang ke Bali dan menghadap Raja dengan tangan kosong, Manik
Angkeran!" sahut Rama Gita setengah berteriak.
Pada saat itu juga, Rama Gita
mengangkat kedua tangannya ke depan kening, membuat gerakan seperti orang
menyembah. Mulutnya kemak-kemik. Dan kini wajahnya berubah menjadi
kehitaman. "Dua belas tahun aku mengasah ilmu
pukulan 'Guntur Sajen'. Dan
selama itu pula, banyak para pemberon-tak tangguh yang mencoba berbuat makar
terhadap Raja jatuh terkapar.
Sekarang, kau yang merasakan, Manik Angkeran!"
Baru saja Rama Gita selesai
berucap, Manik Angkeran segera pula menakupkan
kedua tangannya sejajar
dada. Matanya terpejam rapat. Mulutnya menguncup, lalu meniup tangannya.
Kemudian tubuhnya berputar membela-kangi Rama Gita.
"Dua puluh tahun aku mempelajari ilmu pukulan 'Sirna Jagat'. Dan jika korban
pertama yang jatuh adalah
seorang hulubalang kerajaan, itu
adalah suatu keistimewaan tersendiri, Rama Gita!"
Baru saja kata-kata Manik
Angkeran tuntas....
"Suiiittt"
Mendadak terdengar suara. Pertama perlahan, namun makin lama makin
melengking. Mendapati suara suitan yang
mengandung tenaga dahsyat, perhatian Rama Gita dan Manik Angkeran terpecah.
Di satu sisi mereka harus mengerahkan tenaga untuk menyerang, di sisi lain juga
harus menangkal suara suitan.
Rama Gita segera mencari tahu,
siapa gerangan yang berbuat usil.
Sementara Manik Angkeran membuka
matanya, lalu berbalik.
"Hentikan pertempuran!"
Rama Gita dan Manik Angkeran
sama-sama mendelik tak percaya melihat
siapa orang yang telah berbuat usil dengan berteriak menghentikan pertempuran.
Bahkan sebelumnya dengan suara suitan.
*** 4 Rama Gita menghentikan gerakan-
nya, seraya mundur dua tindak ke
belakang. Sementara Manik Angkeran menggeser kakinya ke samping.
Tak jauh dari mereka berdua telah berdiri seorang pemuda berjubah ketat lengan
pendek warna hijau dengan
pakaian dalam warna kuning. Rambutnya panjang, dikuncir ekor kuda.
Untuk beberapa saat, Rama Gita
dan Manik Angkeran mengamati pemuda berambut gondrong
yang tak lain Pendekar Mata Keranjang 108 tanpa berkedip.
"Hm.... Selama aku berkecimpung dalam rimba persilatan, rasa-rasanya belum
pernah menemukan orang seusianya yang mempunyai tenaga dalam demikian tinggi.
Siapa pemuda ini..." Apakah dia yang akhir-akhir ini jadi berita?"
tanya Manik Angker, membatin.
"Hm.... Semuda itu sudah memiliki tenaga dalam yang tak bisa dipandang sebelah
mata. Siapakah pemuda ini...?"
Tak jauh dari kata batin Manik
Angkeran benak Rama Gita pun berkata demikian.
Namun karena merasa urusannya
dicampuri, wajahnya jadi berubah merah padam.
"Orang asing! Siapa kau..."! Dan, apa urusanmu berani ikut campur...?"
bentak Rama Gita.
Aji berpaling. Dibalasnya tatapan Rama Gita dengan tajam.
"Aku Aji. Dan, maaf. Aku bukan ikut campur masalah kalian. Aku hanya tak ingin
melihat persoalan yang dapat diatasi dengan jalan bicara baik-baik, harus
diakhiri pertumpahan darah!"
kata Aji, setelah sedikit menjura.
Wajah Rama Gita berubah membesi.
Dagunya mengeras, sementara pelipisnya bergerak-gerak. Lalu....
"Ha... ha... ha...! Anak muda!
Dia telah membunuh seseorang! Lalu, apakah kurang pantas jika imbalan yang harus
diterimanya adalah kematian.."!"
"Kau terlalu ceroboh menuduh orang, Rama Gita!" sahut Manik Angkeran. Nadanya
tenang, meski matanya nampak berkilat-kilat.
"Bukti telah berbicara, Manik Angkeran! Kau tak perlu lagi banyak omong!" ujar
Rama Gita seraya berpaling pada Manik Angkeran.
"Anak muda! Kuharap kau lekas menyingkir dari sini! Ini urusanku
dengan Manik Angkeran. Namun bila kau ikut campur, jangan menyesal bila aku akan
bertindak kasar padamu!"
Seperti tidak mendengar nada
ancaman, Pendekar Mata Keranjang 108
mengalihkan pandangan pada Manik
Angkeran. "Paman Manik Angkeran! Meski kita belum pernah jumpa, namun aku pernah mendengar
nama besarmu. Makanya aku tidak yakin kalau Hulubalang Rama Gila menuduhmu
sebagai pembunuh. Bagaimana, Paman?" tanya Pendekar Mata Keranjang 108 mencoba
memancing dengan kata-kata halus.
Manik Angkeran tidak segera
menjawab. Dipandangnya silih berganti pada Rama Gita dan Aji. Lalu
ditariknya napas dalam-dalam.
Memang, dalam rimba persilatan
Manik Angkeran dikenal sebagai tokoh golongan putih yang sabar. Kendati
demikian, dia tidak segan bertindak keras jika memang diperlukan. Menurut kabar
yang tersiar, Manik Angkeran telah mengundurkan diri dari gelang-gang
persilatan. Jadi jika saat ini muncul, tentu ada sesuatu yang sangat penting.
Dan Aji mendengar perihal Manik
Angkeran dari Eyang Selaksa. Saat itu Pendekar Mata Keranjang 108 tengah
dirawat, setelah terjadinya peristiwa di Jurang Guringring.
Karena merasa ada yang tak beres
dalam masalah ini, apalagi tuduhan pembunuhan yang tidak mungkin dila-kukan
seorang pendekar seperti Manik Angkeran, maka Aji mencoba menengahi masalah.
"Ngg.... Bagaimana, Paman...?"
tanya Aji setelah agak lama Manik Angkeran belum juga menjawab.
"Hm.... aku merasa ada yang tidak wajar dalam persoalan ini. Ada pihak ke tiga
yang sengaja memfitnah dan menjebakku!" sahut Manik Angkeran kalem.
"Tidak usah mencari-cari alasan, Manik Angkeran!" sahut Rama Gita.
Sikapnya masih keras.
Manik Angkeran tak menanggapi
kata-kata Rama Gita.
"Anak muda!" panggil Manik Angkeran pada Aji. "Aku tak menyalah-kan dia, jika
menuduhku sebagai
pembunuh putra mahkota Gusti Agung Penatek. Karena manik-manikku ada di
tangannya. Dan katanya, ditemukan di samping mayat sang putra mahkota. Tapi aku
yakin, di balik semua ini ada tangan-tangan kotor yang menjadikanku sebagai
kambing hitam. Dan aku curiga pada seorang gadis muda yang beberapa minggu
berselang telah datang ke
tempatku. Waktu datang, dia dalam keadaan mengenaskan. Tubuhnya terkena racun
ganas. Aku berusaha mengobatinya
dan menyuruhnya tinggal di tempatku untuk sementara waktu. Tapi..., ketika
tubuhnya agak pulih, gadis itu pergi tanpa pamit. Dia hanya meninggalkan pesan,
jika ada kesempatan, aku
diundang ketempatnya pada malam
purnama bulan ketiga. Dan tempat yang disebut adalah Teluk Gonggong!"
Sebentar Manik Angkeran menghela
napas. "Aku sebenarnya tidak tertarik pada undangan itu. Tapi karena tanpa ujung
pangkal mendadak Rama Gita
mengobrak-abrik tempatku, bahkan
menuduhku melakukan pembunuhan, maka aku jadi berhasrat untuk datang ke Teluk
Gonggong. Karena aku curiga dengan gadis itu, sekaligus ingin menunjukkan bahwa
tuduhan ini tidak benar!" lanjut Manik Angkeran, mantap.
"Kau curiga gadis itu mencuri manik-manikmu. Lalu dia membunuh putra mahkota,
dan meninggalkan manik-manik curian itu di sampingnya...," simpul Aji sambil
usap-usap dagunya.
Manik Angkeran batuk-batuk.
"Benar. Jadi ada yang sengaja mengadu domba dengan menebar fitnah!" jawab Manik
Angkeran. Aji mengangguk, sementara Rama
Gita masih nampak gusar. Sikap belum puas masih terpancar dari wajahnya,
mendengar alasan Manik Angkeran.
Dan belum sempat Aji mengalihkan
pandangan pada Rama Gita untuk minta penjelasan....
"Manik Angkeran!" panggil Rama Gita, tiba-tiba. "Dengar! Walau aku belum puas
dengan alasanmu, namun karena tujuan kita sama-sama ke Teluk Gonggong, maka
untuk sementara masalah ini kutunda, hingga aku dapat
menyelesaikan tugasku yang lain di Teluk Gonggong! Tapi kau jangan
terburu senang. Aku menunda masalah ini dengan syarat!"
"Hm.... Syarat apa"!" tanya Manik Angkeran cepat. "Kau harus melingkar-kan
sebuah karet pada pergelangan tanganmu! Karet
gelang itu akan
bekerja dua hari, setelah malam
purnama dan akan memutus urat nadimu.
Tapi jika malam purnama kelak ucapanmu bisa dibuktikan, karet itu akan
kulepas!" sahut Rama Gita.
Wajah Manik Angkeran sejenak
berubah mendengar kata-kata Rama Gita.
"Bagaimana, Manik Angkeran...?"
desak Rama Gita seraya mengeluarkan sebuah lingkaran karet kecil berwarna putih.
"Jika kau tak menerima syarat yang kuajukan, berarti alasanmu hanya omong kosong
belaka!" Manik Angkeran tersenyum.
"Serahkan karet gelang itu
padaku!" ujar Manik Angkeran, sambil mengangkat bahunya.
Begitu kata-kata Manik Angkeran
selesai, Rama Gita menyentilkan
tangannya. Maka karet gelang di
tangannya melesat ke arah Manik
Angkeran. Sementara, Manik Angkeran segera
meluruskan tangannya ke depan. Maka karet gelang itu menerabas masuk ke dalam
pergelangan tangannya.
"Bagus! Urusan kita untuk
sementara selesai. Sekarang, aku harus pergi. Empat hari lagi, tepatnya pada
malam purnama, kita akan bertemu di Teluk Gonggong....'"
Selesai berkata, Rama Gita
berbalik hendak pergi.
"Tunggu!" teriak
Aji, menahan kepergian Rama Gita
Rama Gita mengurungkan niatnya.
Tubuhnya kembali berbalik. Matanya menatap tajam penuh selidik.
"Apalagi, Anak Muda..."!" tanya Rama Gita.
"Ngg.... Kalau boleh tahu, apa tujuan Hulubalang Rama Gita ke Teluk
Gonggong...?"
Agak lama Rama Gita terdiam.
Lalu.... "Anak muda! Kedatanganku ke tanah Jawa dengan dua maksud. Pertama,
menangkap hidup-hidup pembunuh putra mahkota Gusti Agung Penatek. Kedua,
menangkap putra mahkota pengkhianat kerajaan, yang berhasil dilarikan seseorang.
Menurut para penyelidik
kerajaan, mereka kini menetap di Teluk Gonggong. Ketika aku sampai di sini,


Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah tersiar kabar kalau di Teluk Gonggong pada malam purnama bulan ketiga,
akan ada suatu perhelatan besar. Aku sendiri tak tahu,
perhelatan apa. Yang pasti, kedatanganku ke sana dengan tujuan
tertentu!"
Selesai berkata, Rama Gita
berbalik dan berkelebat ke arah
pantai. "Aji! Purnama masih empat hari lagi. Aku sekarang harus pergi dulu, karena masih
ada yang harus kuselesaikan," pamit Manik Angkeran.
"Sebentar, Paman!" ujar Aji sambil melangkah mendekat. "Mendengar penuturanmu,
mungkin ada kaitannya dengan apa yang dipercakapkan Ratu Sekar Langit, Buyut
Linggar Dipa, dan Dajal Ireng tempo hari...."
"Heh"! Kau mengenai mereka..."!"
sentak Manik Angkeran dengan mata disipitkan. Sementara kerutan di
keningnya bertambah.
"Tidak. Aku tidak mengenai
mereka. Hanya saja, aku sempat bertukar jurus dengan mereka. Karena percakapan
mereka pulalah yang
membuatku ingin lebih tahu, apa
sebenarnya yang bakal terjadi di Teluk Gonggong!" jelas Joko.
"Bertukar jurus dengan mereka"
Hm.... Mungkin benar dugaanku, pemuda itulah yang berjuluk Pendekar Mata
Keranjang. Mereka bertiga, sedangkan dia sendiri. Dan kulihat, dia tidak
mengalami cedera. Juga, melihat
penampilannya" Hm..., pasti dia Pendekar Mata Keranjang!"
Pendekar Manik Angkeran mengang-
guk-anggukkan kepalanya sambil berkata sendiri dalam hati. Sebentar kemudian,
dia sudah memandang Aji.
"Apa yang mereka percakapkan...?"
tanya Manik Angkeran sambil mengawasi Aji tanpa kedip.
Pendekar Mata Keranjang 108
lantas menceritakan percakapan antara Ratu Sekar Langit. Buyut Linggar Dipa, dan
Dajal Ireng. Belum juga habis keterangan Aji, mata Manik Angkeran terbelalak. Bahkan dia
segera meloncat, langsung memegang pundak Pendekar Mata Keranjang 108.
"Kau tidak main-main dengan
ceritamu, Aji?" terabas Manik Angkeran.
Aji menggeleng. Sementara, raut
wajah Manik Angkeran merah padam.
Rahangnya sedikit terangkat, menahan kecamuk amarah di hatinya.
"Hm.... Jika demikian dugaanku tidak meleset. Dan peristiwa besar mungkin bakal
terjadi di Teluk
Gonggong!"
Kembali kepala Manik Angkeran
mengangguk-angguk perlahan. Sepertinya, apa yang selama ini jadi ganjalan
hatinya hampir terjawab. Terutama tentang gadis yang telah memfitnah dirinya,
sehingga dia dituduh sebagai pembunuh.
"Nah, Aji. Persoalan Teluk
Gonggong bagiku sudah jelas. Sekarang, aku harus pergi untuk kembali ke Teluk
Gonggong empat hari lagi. Tapi..., ngg.... Jika dugaanku tak salah,
apakah kau yang berjuluk Pendekar Mata Keranjang?" tanya Manik Angkeran menatap
Aji. Aji hanya tersenyum.
"Ah! Itu hanya orang-orang yang menjuluki. Bukan aku yang membuat julukan...,"
desah Pendekar Mata Keranjang 108, merendah.
Manik Angkeran tersenyum, lalu
berbalik. "Pendekar Mata Keranjang! Kuharap kau akan datang pada malam purnama di Teluk
Gonggong!" kata Manik Angkeran, sebelum berkelebat.
"Kurasa begitu, Pendekar Manik Angkeran!" kata Aji agak keras.
Memang, Manik Angkeran telah
berkelebat meninggalkan tempat. Kini, hanya ada Pendekar Mata Keranjang 108
sendiri di depan kedai.
"Sementara
menunggu malam purnama, aku akan berkeliling di
daerah sini...," kata Aji dalam hati.
*** 5 "Ada seorang berdiri di pinggiran teluk!"
Kata-kata yang nyaris berbisik
itu keluar dari mulut laki-laki
berpakaian hitam, ikat kepalanya juga warna hitam.
"Aku sudah melihat itu!" jawab laki-laki tua yang tangan kanannya memegang
sebuah tongkat,
tanpa mengalihkan pandangan.
"Menurut Buyut, apakah rencana Bidadari Telapak Setan akan
berlangsung tanpa hambatan...?" tanya orang berpakaian hitam yang tak lain Dajal
Ireng. Sementara yang diajak bicara adalah Buyut Linggar Dipa.
Memang, saat ini Buyut Linggar
Dipa, Dajal Ireng, dan Ratu Sekar Langit baru saja tiba di Teluk
Gonggong. Sementara kereta kuda masih tetap berjalan, walaupun beberapa puluh
tombak didepan, berdiri sesosok tubuh dengan rambut panjang yang
dikuncir ekor kuda. Jubah toganya yang berwarna merah tampak berkibaran
ditiup angin. Berdirinya bagai
menghadang di atas batu padas
pinggiran teluk.
"Pertanyaanmu aneh, Dajal Ireng!
Jika tahu apa yang bakal terjadi, aku tak usah jauh-jauh keluar dari Istana
Padalarang!" sahut Buyut Linggar Dipa, agak keras.
Mendengar jawaban orang tua yang
bertindak sebagai kusir itu, wajah Dajal Ireng tampak mengelam. Dalam hati dia
memaki panjang pendek habis-habisan. Tanpa sepengetahuan Buyut Linggar Dipa,
ekor mata Dajal Ireng melirik tajam.
"Jahanam tua! Suatu saat kelak, mulut sombongmu akan kusumpal dengan kepalan
tanganku. Tubuh rentamu akan kupatah-patahkan!" maki Dajal Ireng dalam hati.
Suasana jadi hening, ketika tak
terdengar lagi ada yang buka suara.
Sementara kereta terus berderak
melewati alur teluk.
"Harap sebutkan
nama masing- masing, sebelum kalian bergerak maju lagi!"
Tiba-tiba terdengar suara mene-
gur, yang jelas datangnya dari sosok yang berdiri kokoh di atas batu padas.
Dua orang yang berada di atas
kereta saling berpandangan. Buyut Linggar Dipa segera menghentikan
kereta, seraya mengangkat bahu.
Sementara Dajal Ireng mengalihkan pandangan pada sosok yang berdiri di atas batu
padas. "Buyut! Jangan-jangan kita datang
ketempat...."
"Dasar manusia penakut!" bentak Buyut Linggar Dipa, memotong bayangan buruk
Dajal Ireng. Kemudian dia
beringsut hendak meloncat turun.
Tapi.... "Keparat busuk! Siapa berani memerintah dengan seenak dengkulnya, he"! Buyut!
Jalan terus...!" terdengar teguran dari dalam kereta.
Buyut Linggar Dipa mengurungkan
niatnya. Kembali tali kekang kudanya disentakkan. Dan kereta pun kembali melaju.
Dekat sebuah batu padas yang menggugus, kereta berhenti.
Belum sampai Buyut Linggar Dipa
dan Dajal Ireng loncat turun dari kereta, mendadak sesosok bayangan merah
berkelebat. Dan tahu-tahu, sosok itu berdiri berkacak pinggang, tak jauh dari
mereka. Kedua tokoh persilatan ini segera berpaling, menatap sosok yang ternyata seorang
pemuda berjubah toga warna merah
menyala. Wajahnya tampan.
Sepasang matanya menatap tajam pada Buyut Linggar Dipa dan Dajal Ireng.
"Malaikat Berdarah Biru!" seru Dajal Ireng begitu mengenali pemuda berjubah toga
merah yang ternyata Malaikat Berdarah Biru.
Sementara dahi Buyut Linggar Dipa berkernyit. Sepasang matanya mengawasi pemuda
bertoga merah itu dengan senyum
yang lebih mirip seringai.
"Siapa kalian..."!" tanya Malaikat Berdarah Biru dengan sorot mata menyelidik.
"Aku Buyut Linggar Dipa! Dan di sebelahku Dajal Ireng. Sedang yang ada dalam
kereta adalah Ratu Sekar Langit!
Kami dari Istana Padalarang!"
Mendengar nama-nama itu, bibir
Malaikat Berdarah Biru mengembangkan senyum. Wajahnya berseri, memancarkan rasa
gembira. "Ah! Rupanya para sobat guruku!
Terima kasih, karena kalian bersedia datang menyambuti undangan kami.
Silakan langsung menuju tempat
Bidadari Telapak Setan di gubuk itu,"
ucap Malaikat Berdarah Biru, seraya menunjuk sebuah gubuk yang tinggal beberapa
tombak lagi di depan.
"Dasar manusia congkak! Rupanya belum kenal kami!" rutuk Buyut Linggar Dipa
dalam hati. Laki-laki ini belum juga bergerak melangkah. Sedangkan sebentar-sebentar melirik
Buyut Linggar Dipa.
"Kalian nampaknya ragu-ragu" Apa takut datang ke tempat yang salah...?"
tegur Malaikat Berdarah Biru.
Tanpa menyahuti kata-kata Mala-
ikat Berdarah Biru, Buyut Linggar Dipa, dan Dajal Ireng segera loncat turun. Dan
bersamaan dengan itu, pintu kereta terbuka. Sebentar kemudian,
muncullah sesosok tubuh nampak
berkelebat, dan tegak di samping
kereta. "Ratu Sekar Langit...!" desis Malaikat Berdarah Biru.
Sepasang mata Malaikat Berdarah
Biru liar berputar begitu melihat sosok Ratu Sekar Langit. Napasnya saat itu
juga bagai diatur dan berhembus panjang-panjang. Walau sudah sering mendengar,
namun dia memang belum pernah bertemu wanita itu. Hingga matanya untuk beberapa
saat tak ingin beranjak memandang dari wajah Ratu Sekar Langit.
"Sungguh tak kuduga jika orangnya demikian cantik! Hm.... Seandainya saat ini
bukan waktunya untuk berbenah diri, ingin rasanya tubuhnya segera kucicipi...,"
kata hati Malaikat Berdarah Biru, disertai senyum penuh hasrat.
Tanpa menghiraukan pandangan liar Malaikat Berdarah Biru, Ratu Sekar Langit
melangkah menuju gubuk diikuti Buyut Linggar Dipa dan Dajal Ireng.
Namun baru beberapa langkah, dari dalam gubuk melesat sesosok tubuh. Dan tahu-
tahu di hadapan Ratu Sekar Langit telah berdiri tegak seorang perempuan tua
berpakaian panjang warna merah.
"Selamat datang di tempatku, Ratu Sekar Langit, Buyut Linggar Dipa, dan Dajal
Ireng...," sambut perempuan tua
yang tak lain Bidadari Telapak Setan, guru Malaikat Berdarah Biru. "Mohon
dimaafkan jika sambutanku
kurang begitu berkenan. Dan harap dimaafkan pula, tingkah muridku yang menyambut
kedatangan sahabat-sahabat dengan tidak sebagaimana mestinya. Aku
sungguh gembira melihat kalian semua memenuhi undanganku. Terimalah rasa hormat
dan terima kasihku atas
kedatangan kalian...."
Ratu Sekar Langit menganggukkan
kepala pelan. "Kami datang jauh-jauh ke sini bukan hanya untuk menyambuti
undanganmu saja!" kata Ratu Sekar Langit, langsung.
"O, begitu..." Lantas...?" tanya Bidadari Telapak Setan.
"Sebelum Teluk Gonggong dibanjiri genangan darah tokoh-tokoh golongan putih,
sebelum peristiwa besar ini mengguncang dunia persilatan, kuharap kau bersumpah
di hadapan kami!" ujar wanita dari Istana Padalarang ini, tegas.
Mendengar kata-kata pedas Ratu
Sekar Langit, tenggorokan Bidadari Telapak Setan bagai tercekat. Untuk sesaat
wajahnya menengadah menghadap langit.
"Manusia busuk ini rupanya belum tahu, dengan siapa berhadapan. Huh!
Berani-beraninya dia mengatur....
Hem..., aku tidak sebodoh yang kau kira...!" kata hati Bidadari Telapak Setan.
"Bidadari Telapak Setan!
Ketahuilah! Setelah urusan besar Teluk Gonggong usai, kuharap kau mau
menyumbangkan tenaga untuk berdirinya partai kami! Dan kau harus ucapkan sumpah
hari ini juga sebagai anggota!"
ujar Ratu Sekar Langit.
"Sobatku, Ratu Sekar Langit!
Kalau hanya soal itu, kau tak usah khawatir! Jika segala rencana di Teluk
Gonggong ini berjalan mulus, sebagai balas jasa, segala pintamu akan
kupenuhi. Jangankan hanya untuk
mengucapkan sumpah. Kepalaku kau minta pun aku tidak akan menolak!" sahut
Bidadari Telapak Setan, meyakinkan.
Bidadari Telapak Setan kini
memalingkan wajah, menghadap gubuk.
"Hm.... Aku bukan manusia tolol yang begitu saja bisa diatur, Betina!
Begitu urusan Teluk Gonggong selesai, maka selesai pula riwayatmu!" rutuk
Bidadari Telapak Setan, dalam hati.
Ratu Sekar Langit menyunggingkan
senyum mendengar kata-kata Bidadari Telapak Setan.
"Aku tahu siapa kau sebenarnya, Tua Bangka! Aku sangsi, apakah kau bersungguh-
sungguh dengan ucapanmu!
Namun jika kau berdusta, jangan harap kau bisa tinggal di Teluk Gonggong
dengan tubuh utuh!"
Ternyata, Ratu Sekar Langit juga
membatin tak kalah garangnya. Tentu saja dia tak semudah itu mempercayai kata-
kata Bidadari Telapak Setan.
Sejenak suasana dilanda kebisuan.
Namun, tak lama. Karena....
"Sobatku sekalian! Udara di luar sini lembab. Sebaiknya kita ke gubuk saja.
Sambil menunggu kedatangan
teman-teman yang lain, kita bisa
berbincang-bincang lebih enak...."
Sambil berkata, Bidadari Telapak
Setan menunjukkan tangannya kearah
gubuk. Ratu Sekar Langit mengangguk.
Seketika Bidadari Telapak Setan
mendahului melesat ke arah gubuk, diikuti Ratu Sekar Langit, Buyut
Linggar Dipa, dan Dajal Ireng.
Waktu terus merangkak. Malam
purnama kurang tiga hari.
Teluk Gonggong masih tampak sepi.
Hanya gempuran ombak yang sayup-sayup terdengar gelegarnya. Namun kesunyian itu
tidak berlangsung lama, ketika....
"Anak Agung! Apakah kau lihat ada orang datang tanpa diundang?" tanya Bidadari
Telapak Setan. "Betul, Guru! Bahkan mungkin aku lebih tahu, siapa orang itu!" jawab Anak Agung
alias Malaikat Berdarah Biru.
Seketika tubuh pemuda itu melesat
keluar. Tubuhnya berkelebat ke balik gundukan sebuah batu padas, sehingga tak
terlihat. "Hm.... Jahanam Rama Gita!


Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rupanya kau datang mengantar nyawa busukmu...! Kebetulan sekali. Berarti aku tak
usah jauh-jauh mencarimu...!
Hm..., hari ini rupanya dendam yang telah
tertindih sekian lama akan
tersampaikan juga. Rama Gita,
bangkaimu akhirnya harus terpuruk di sini...!" desis Malaikat
Berdarah Biru, perlahan.
"Anak Agung! Kau tentunya tahu, apa yang harus diperbuat pada orang yang datang
tanpa diundang...!"
Terdengar lagi suara dari dalam gubuk.
"Aku tahu, Guru! Malah aku sudah menyiapkan sesuatu tersendiri bagi pendatang
haram ini!" sahut Malaikat Berdarah Biru, sedikit menahan
suaranya. Karena, ia merasa tamu yang datang tanpa diundang telah dekat dengan
tempatnya mendekam.
"Bagus! Laksanakan tugasmu!"
Malaikat Berdarah Biru mengeluarkan seringai ganas. Dengan sekali jejak,
tubuhnya melenting. Setelah berpu-
taran, dia berdiri kokoh di atas
sebuah gugusan batu padas yang paling tinggi.
Sebentar kemudian, sepasang mata
Malaikat Berdarah Biru tampak memejam.
Kedua telinganya tampak bergerak-gerak
ke belakang. Kelihatannya, dia tengah mengerahkan ilmu pendengarannya untuk
menentukan keberadaan tamu yang datang tanpa diundang.
Dan memang, di bawah sebuah
lekukan batu padas tampak sesosok tubuh berpakaian putih bergerak
mengendap-endap. Sesekali kepala sosok itu berputar, diikuti sapuan sepasang
matanya yang liar berkeliling. Tak lama kemudian, tubuhnya berkelebat cepat
menuju gubuk yang hanya satu-satunya di Teluk Gonggong ini.
Namun belum juga tubuh sosok ini
sempat menyelinap ke balik gundukan batu padas di sampingnya, mendadak sesosok
bayangan telah berkelebat.
Dan.... "Hup!"
"Heh"!"
Tahu-tahu satu sosok lain telah
berdiri menghadang, membuat sosok berbaju putih yang tak lain Rama Gita
tersentak kaget. Untuk beberapa saat Rama Gita hanya memperhatikan sosok
penghadang yang tak lain Malaikat Berdarah Biru.
"Hm.... Aku memang sudah berpuluh tahun tak lagi pernah bertemu Anak Agung Gede
Mantra. Namun, mataku tak akan bisa melupakan raut wajahmu!"
gumam Rama Gita.
Malaikat Berdarah Biru hanya
menatap tajam Rama Gita yang ada di
depannya. "Rama Gita! Lama tak berjumpa, ternyata tak membuat dua biji matamu menjadi
rabun!" kata Malaikat Berdarah Biru, bernada meremehkan.
"Bagus! Berarti aku tidak datang ke tempat yang salah...! Sekarang menyerahlah,
Anak Agung! Dan, ikut aku menghadap
Raja. Kau harus
pertanggungjawabkan pengkhianatanmu di pengadilan Raja!" ujar Rama Gita.
"Ha... ha... ha...!"
Mendadak Malaikat Berdarah Biru
tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya menggelegar, hingga untuk sesaat Rama Gita
harus mengerahkan hawa murni ke telinga dan dadanya.
"Ucapanmu salah, Rama Gita! Yang benar adalah, kau datang ke tempat yang salah.
Karena kedatanganmu hanya mengantar selembar nyawa! Sungguh suatu hal yang tak
terduga jika darah orang pertama yang tergenang di Teluk Gonggong adalah darah
hulubalang kerajaan...! Ha... ha... ha...!"
Mendengar nada suara dan tawa
Malaikat Berdarah Biru, Rama Gita merasa harus waspada dan tidak bisa menganggap
remeh. Namun, tugas adalah tugas. Bagaimanapun tinggi ilmu yang dimiliki, dia
harus tetap melaksanakan tugas!
"Dengar, Anak Agung! Aku tak butuh pamer kekuatan yang muluk-muluk.
Kedatanganku hanyalah mengemban tugas, membawamu menghadap Raja! Dan jika kau
membangkang, aku punya cara tersendiri untuk menyelesaikannya!" tandas Rama
Gita, mantap. "Membawaku menghadap
Raja...?" ulang Malaikat Berdarah Biru dengan senyum mengejek. "Kau lagi-lagi salah ucap",
Rama Gita! Justru aku yang akan membawa kepalamu ke hadapan Rajamu!
Setelah itu baru Rajamu akan menyusul mengalami nasib sama!"
"Cakapmu terlalu besar, Anak Agung!
Sekali lagi kuperingatkan,
menyerahlah secara baik-baik! Dengan demikian, pengadilan kerajaan mungkin bisa
mempertimbangkan hukumanmu!"
"Ah! Bahasanmu terlalu tinggi, Rama Gita! Camkan baik-baik! Sebelum sempat
membawaku ke pengadilan
kerajaan, mungkin kau akan kuadili dahulu! Saat ini, kau berada di
tempatku. Berarti, sekarang kau harus tunduk pada aturan-aturanku...!"
"Anak Agung! Pasang telingamu baik-baik! Kedatanganku ke sini bukan untuk
mengikuti segala aturan-aturan gilamu, tapi untuk menangkapmu sebagai
pengkhianat kerajaan!"
"Ha... ha... ha.... Begitu, Rama Gita" Baik, baiklah! Tapi sebelum membawaku
menghadap Rajamu, boleh aku tanya sesuatu...?"
ujar Malaikat Berdarah Biru dengan tersenyum. "Tapi,
pertanyaanku kali ini tak perlu
dijawab! Hanya perlu kau dengar dan camkan baik-baik!"
Mendengar kata-kata Malaikat
Berdarah Biru, kening Rama Gita
berkernyit pertanda heran dan berpikir keras. Matanya menyipit. Namun begitu
mulut Malaikat Berdarah Biru bergerak akan bicara lagi, mata Rama Gita
kembali membesar.
"Rama Gita! Kau tahu jalan pintas menuju neraka"! Kalau kau belum tahu,
kedatanganmu ke sini adalah jalan pintas itu!" leceh Malaikat Berdarah Biru
singkat dan tandas.
"Tak ada jalan lain. Berarti aku harus pergunakan cara tersendiri untuk
membawamu, Anak Agung!"
Sambil berkata Rama Gita segera
menghentakkan tangannya.
Bet! Wesss...! Saat itu juga, serangkum angin
deras menggebrak ke arah Malaikat Berdarah Biru. Namun pemuda bernama Anak Agung
itu hanya tertawa. Bahkan tawanya tak putus saat mendorongkan telapak tangannya,
menyambut serangan Rama Gita.
Wesss...! Blarrr! "Aaakh...!"
Terdengar suara ledakan mengge-
legar, sewaktu terjadi bentrokan
antara dua kekuatan yang sama-sama mengandung tenaga dalam.
Dari mulut Rama Gita terdengar
seruan tertahan.
Parasnya langsung
memerah. Meski tubuhnya hanya terjajar dua tindak ke belakang, namun dalam
hatinya kini benar-benar percaya, bahwa Malaikat Berdarah Biru memang telah jauh
berubah. "Rama Gita! Kenapa diam..."
Bukankah kau akan menangkapku..." Atau ingin segera kutunjukkan jalan pintas
menuju neraka itu"!" ejek Malaikat Berdarah Biru saat melihat Rama Gita agak
lama tercenung.
"Hiaaa...!"
Diejek demikian, dibarengi
bentakan menggemuruh, Rama Gita
melangkah dua tindak ke depan. Lalu sambil mengepalkan kedua tangan,
kakinya menjejak tanah. Seketika
tubuhnya melesat cepat dengan kepalan tangan bergerak ke sana kemari
mengeluarkan angin berkesiutan keras.
Bet! Bet! Bettt!
Sementara, Malaikat Berdarah Biru hanya meloncat ke arah samping
menghindari. Sehingga kepalan tangan Rama Gita hanya menghantam tempat kosong.
Selagi Rama Gita belum melepaskan serangan kembali, Malaikat Berdarah Biru sudah
memutar tubuhnya. Dan tahu-tahu, tubuhnya melenting ke belakang
membuat jarak. Pada saat yang sama, Rama Gita
segera mengangkat kedua tangannya ke depan perut. Sedangkan mulutnya kemak-
kemik. Perlahan-lahan dari tubuhnya mengeluarkan asap putih. Mula-mula tipis.
Namun dalam waktu sekejap telah menggumpal, membungkus tubuh Rama Gita.
Dalam rimba persilatan, para
tokoh dari daratan timur selain
dikenal mempunyai pukulan hebat, juga diketahui memiliki sebuah ilmu penangkal
yang dikenal ilmu 'Pembungkus Sukma'. Ilmu ini memang digunakan untuk menangkis
serangan yang datang tak terlihat. Jika seseorang telah mengerahkannya, maka
tubuhnya akan terbungkus asap putih. Sehingga,
setiap serangan yang datang akan
seperti membentur dinding tembok.
Melihat lawan mengerahkan ilmu
'Pembungkus Sukma', Malaikat Berdarah Biru segera menakupkan tangannya
sejajar dada. Kedua matanya memejam.
"Heaaat...!"
Didahului bentakan garang bagai
menusuk langit, Malaikat Berdarah Biru mendorong tangannya kedepan.
Wet! Wesss! Seketika segulung angin panas
berwarna merah segera meluruk ke
depan. Sebentar udara terang benderang bagai terkena jilatan api. Lalu....
Blarrr...! Dibarengi bunga api yang
beterbangan ke segala arah, terdengar gelegar membahana saat gulungan angin
warna merah mendobrak asap putih yang membungkus Rama Gita.
Cras! Prashhh...! "Aaakh...!"
Asap putih yang membungkus tubuh
Rama Gita ambyar dan pecah. Sementara hulubalang kerajaan itu sendiri
terpental disertai jeritan melengking, dan jatuh keras di tanah beberapa tombak
dari asap yang tadi
menyelubunginya. Namun ada keanehan.
Ternyata asap itu tak ambyar kemana-mana, melainkan tetap menggumpal tak
bergerak dan berubah menjadi hitam!
Itulah bias pukulan 'Serat Jiwa' yang telah dilancarkan Malaikat Berdarah Biru.
Rama Gita berusaha bergerak
bangkit. Dari sela bibirnya tampak mengalir darah kehitaman. Tangannya melepuh
dan berwarna kemerahan.
Pakaian putihnya telah menghitam dan robek di sana-sini.
Namun belum juga Rama Gita
sempurna berdiri, Malaikat Berdarah Biru telah menghentakkan tangannya pada asap
yang masih menggumpal.
"Hih!"
Wesss...! Seketika asap hitam itu bergerak
cepat ke arah Rama Gita. Begitu hampir mencapai tubuhnya, gumpalan itu
berderak pecah berkeping-keping. Dan di luar dugaan, asap-asap hitam itu
menyerang hulubalang kerajaan ini dari berbagai jurusan.
Mendapat hujan kepingan asapnya
sendiri, Rama Gita jadi gugup bukan main.
Segera tubuhnya direbahkan
sejajar tanah. Seketika kedua kaki dan tangannya bergerak kesana kemari
menghalau kepingan asap hitam yang rupanya telah membatu!
Selagi Rama Gita menghalau
serangan asap hitam, Malaikat Berdarah Biru kembali melepaskan pukulan 'Serat
Jiwa'. Namun kali ini tenaga yang dikeluarkannya tidak penuh.
"Aku tak ingin kau cepat-cepat tewas. Agar kau bisa merasakan,
bagaimana nikmatnya meregang nyawa!"
desis Malaikat Berdarah Biru.
"Hih...!"
Wesss...! Rama Gita sedang sibuk menghalau
kepingan asap kontan terkejut, saat serangkum angin bergerak ke arahnya.
Tak ada yang bisa diperbuat, kecuali memandangi datangnya serangan dengan mata
terbeliak lebar. Dan....
Prash...! "Aaa...!"
Dibarengi jeritan panjang, tubuh
Rama Gita melayang jauh dan tercebur ke laut.
Byurrr...! Air laut tempat tubuh Rama Gita
jatuh tampak sebentar bergolak,
mengeluarkan semburan merah. Sesaat kemudian tubuh Rama Gita tampak
mengambang. Dan sekali diterjang
ombak. tubuhnya menepi lalu
menggeletak di pantai.
Sementara Malaikat Berdarah Biru
segera melangkah mendekati tubuh Rama Gita. Disertai senyum menggiriskan,
kakinya segera terayun keras melepaskan tendangan.
Namun sejengkal kaki itu menerpa
tubuh Rama Gita....
"Kekasih! Bolehkah kakiku juga mencicipi tubuh hulubalang itu...?"
Mendadak terdengar sebuah suara
dari belakang. Dan Malaikat Berdarah biru cepat menarik pulang kakinya.
Kepalanya segera berputar mencari arah sumber suara. Sepasang mata pemuda
bernama Anak Agung ini membesar tak berkedip. Napasnya berdegup makin kencang.
"Selir Iblis!" bisik Malaikat Berdarah Biru dengan mata menelusuri tubuh sosok
yang barusan berbicara.
Memang, tak jauh dari Malaikat
Berdarah Biru telah berdiri tegak sosok perempuan cantik berpakaian warna hitam
ketat. Rambutnya panjang
bergerai. Dan memang Selir Iblis!
"Ah! Untuk yang satu ini, khusus bagianku, Selir Iblis!" desah Malaikat Berdarah
Biru seraya bergegas
mendekati wanita cantik ini. Senyumnya menyeruak.
"Hm.... Begitu" Lantas untuk ku...?" tanya Selir Iblis sambil mengedipkan
sebelah matanya. Sementara tubuhnya ditegakkan sedikit, hingga dadanya yang
terbungkus pakaian ketat makin kencang menantang.
"Untukmu, aku telah menyiapkan sesuatu yang mungkin akan membuatmu lebih kerasan
tinggal di sini...,"
jelas Malaikat Berdarah Biru balas mengerdip.
"Ah...!" desah Selir Iblis seakan terkejut. Bola matanya
sedikit memejam. "Tak sia-sia aku datang sebelum waktunya, jika ternyata kau telah siap
menemani malam-malamku, Malaikat Berdarah Biru...."
Malaikat Berdarah Biru seakan tak mendengar ucapan Selir Iblis. Segera diraihnya
wanita cantik ini.
Selir Iblis sebentar menggeliat.


Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun ketika bibir Anak Agung bergerak menutup bibirnya, tangannya cepat
melingkar pada leher. Langsung diba-lasnya pagutan pemuda ini.
Di tengah mereka mereguk kenikma-
tan, mendadak berkelebat sesosok
tubuh. Angin kedatangannya begitu
deras, sehingga membuat Malaikat Berdarah Biru dan Selir Iblis terkejut.
"Setan alas!" maki Selir Iblis, langsung melepaskan pagutan bibirnya.
"Siapa kurang ajar menghalangi kenikmatan orang, he..."!"
Selir Iblis sambil menoleh.
Demikian pula Malaikat Berdarah Biru, walaupun disertai gerutuan kecewa.
Tiga tombak di sebelah Selir
Iblis tahu-tahu telah berdiri tegak sesosok tubuh perempuan tua. Pakaiannya
merah dengan rambut disanggul ke atas.
"Bidadari Telapak Setan!" desis Selir Iblis dengan raut wajah cemberut campur
merah padam. "Selamat datang di Teluk
Gonggong, Selir Iblis. Maaf jika aku menunda kenikmatanmu. Ngg, sebaiknya biar
muridku menyelesaikan urusannya dulu dengan manusia yang tergeletak itu.
Setelah itu, silakan kalian
bersenang-senang!" ucap perempuan berpakaian merah yang memang Bidadari Telapak
Setan sambil tersenyum. Sementara, matanya melirik sekilas.
Melihat siapa yang telah menghen-
tikan kenikmatannya, wajah Malaikat Berdarah Biru yang merah padam segera
berpaling. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah mendekati tubuh Rama Gita yang
nampak mulai bergerak-gerak
disertai erangan menyayat.
"Sobatku, Selir Iblis. Sebuah anugerah tersendiri bagiku, hingga kau sudi
sedikit meluangkan waktu untuk menyambuti undanganmu. Kelak jika urusan Teluk
Gonggong selesai, kau akan mendapatkan imbalan besar...,"
sambut Bidadari Telapak Setan, setelah Malaikat Berdarah Biru melangkah ke arah
Rama Gita. "Hm.... Terima kasih, Sobatku.
Tapi, perlu kau
ketahui. Aku menyambuti undanganmu, bukan karena imbalan. Hidupku telah cukup, tanpa bantuan
siapa pun juga!" sahut Selir Iblis.
"Begitu...?" tanya Bidadari Telapak Setan dengan senyum. "Lantas, apa gerangan
yang membuatmu datang..?"
Lama Selir Iblis terdiam. Lalu.... "Apa kau telah
mendengar munculnya seorang pemuda berjuluk Pendekar Mata Keranjang...?"
Bidadari Telapak Setan mengangguk perlahan. Senyumnya tetap menyungging.
"Apakah kau juga telah tahu, jika pendekar itu memiliki sebuah kipas?"
Lagi-lagi Bidadari Telapak Setan
hanya mengangguk.
"Dan, apakah kau juga telah
mendengar kabar, bahwa gulungan kulit yang menjadi buah bibir rimba
persilatan juga telah jatuh ke
tangannya...?"
Kali ini Bidadari Telapak Setan
tidak mengangguk. Bahkan sebaliknya mengeluarkan seruan kaget, seakan tak
percaya. "Sobatku Bidadari Telapak Setan!
Aku akan turun tangan dan berada di barisanmu, jika pendekar itu datang dan ikut
berlaga di sini! Jika tidak, terpaksa aku hanya akan jadi
penonton!" tandas Selir Iblis.
Dengan menekan rasa terkejut,
Bidadari Telapak Setan tersenyum.
"Perhelatan ini telah kusebarkan pada seluruh tokoh silat. Sebagai tokoh muda,
apalagi dari jalur putih, tentu Pendekar Mata Keranjang
penasaran. Dan aku yakin, dia pasti akan datang!" sahut Bidadari Telapak Setan
meyakinkan. "Bagus! Jika dia benar-benar datang, serahkan padaku!" ujar Selir Iblis.
"Hanya itu...?" tanya Bidadari Telapak Setan.
Selir Iblis tersenyum dan
mengangguk. "Hm.... Itu bisa kita atur nanti!
Sekarang, sebaiknya kau ikut ke
tempatku. Malaikat Berdarah Biru biar menyelesaikan tugasnya dulu!" ajak
Bidadari Telapak Setan dengan
mengerling. Tubuhnya lantas berbalik dan langsung berkelebat ke arah gubuk.
Dengan wajah bersemu merah, Selir
Iblis cemberut. Lantas kakinya
melangkah ke arah Malaikat Berdarah Biru yang masih tegak mengawasi Rama Gita.
Melihat kedatangan Selir Iblis,
Malaikat Berdarah Biru segera
mengalihkan pandangan. Dan bibirnya melepas senyum menatap Selir Iblis.
Selir Iblis berkelebat. Dan tahu-
tahu, dia telah berdiri tegak tepat dihadapan Malaikat Berdarah Biru. Dan belum
sempat pemuda itu berbuat apa-apa Selir Iblis telah memeluk dan mengecup
bibirnya. Sejenak Malaikat Berdarah Biru
kaget. Namun sesaat kemudian, telah membalas kehangatan bibir Selir Iblis.
Tapi saat tangan pemuda ini bergerak hendak mengelus punggung, Selir Iblis telah
menarik tubuhnya dan berkelebat kearah gubuk.
"Anak Agung! Selesaikan dulu tugasmu. Segalanya akan kau nikmati, setelah malam
menjelang nanti....
Hik.... Hik.... Hik...!"
"Sialan!" gerutu Malaikat Berdarah Biru sambil melengos dan memaki tak karuan.
Dan begitu Selir Iblis telah tidak kelihatan lagi, segera diawasinya Rama Gita
yang masih bergerak-gerak.
"Nyawamu akan ku
perpanjang hingga malam purnama, Bangsat!" desis Malaikat Berdarah Biru.
*** 6 Dua sosok tubuh tampak memacu
cepat kuda tunggangannya. Hentakan ladam besi kaki-kaki kuda ditingkahi teriakan
penunggangnya seakan menyentak desa kecil pinggiran Pantai
Sendang Biru. Mendekati sebuah kedai yang
terletak di ujung desa, kedua sosok itu
tak juga menghentikan kuda
tunggangannya. Malah kedua kaki mereka dikepakkan ke pantat kuda masing-masing.
Sehingga, kuda tunggangannya itu melonjak kaget dan mengeluarkan ringkikan
keras, sebelum akhirnya melesat lebih cepat menuju arah Pantai Sendang Biru.
"Semoga kedatangan kita tiga hari sebelum waktunya ini bisa memberikan gambaran
lebih jelas tentang apa
maksud di balik undangan itu...!" kata sang penunggang di sebelah kanan,
mendadak memperlambat lari kudanya.
"Betul! Tapi menurutmu, apakah Guru akan menyambuti undangan ini...?"
tanya si penunggang di sebelah kiri juga memperlambat lari kudanya.
"Ternyata dia seorang gadis muda belia. Pakaiannya agak ketat berwarna coklat
bergaris-garis. Wajahnya
cantik. Sepasang matanya tampak sayu namun tajam berkilat-kilat. Rambutnya
panjang sepinggang. Hidungnya mancung serta bibirnya mungil.
"Aku tak bisa menduga, karena beliau juga menunggu berita dari
penyelidikan kita ini. Tapi, nanti akan kucoba mengajukan usul agar
beliau tidak usah datang. Lebih baik, kita yang datang mewakilinya," sahut
penunggang kuda di sebelah kanan.
Dia ternyata seorang pemuda
tampan. Alis matanya tebal dan menukik tajam. Sepasang matanya menyorot
berbinar. Di sela pakaiannya yang berwarna coklat bergaris-garis,
tepatnya di bagian pinggang, tampak menyembul sebuah trisula berwarna kuning
keemasan. Hampir mencapai belokan menuju
pantai, mendadak....
Werrr...! "Heh"!"
Kedua anak muda ini dikejutkan
sebuah suara yang kemudian disusul melesatnya sebuah selendang berwarna hitam.
Selendang itu bergerak cepat meliuk-liuk. Satu tombak hampir
menghantam mereka, mendadak selendang itu berubah mengeras. Dan bagai sebuah
potongan besi hitam berputar-putar, selendang itu menghujam ke arah dua
penunggang ini.
"Hup!"
Begitu menyadari adanya bahaya,
kedua penunggang ini melenting hampir bersamaan ke udara, setelah menyapu pantat
kuda masing-masing. Seketika kedua binatang itu kaget dan melonjak ke depan.
Tapi selendang yang telah berubah menjadi seperti potongan besi itu bergerak
sangat cepat. Hingga...
Tak! Tak! "Hieeekh...!"
Walau binatang itu selamat dari
hantaman keras potongan besi hitam, namun tak urung kedua kaki belakang masing-
masing terhantam. Binatang itu kontan terguling, diiringi ringkikan keras.
Sebentar kuda-kuda itu mengge-lepar, akhirnya diam tak bergerak dengan kaki
tertekuk! Begitu mendarat, kedua anak muda ini saling berpandangan.
"Adik Sakawuni, hati-hati! Penye-rang pengecut ini rupanya memiliki kepandaian
tinggi!" bisik pemuda pada gadis di sebelahnya.
Gadis yang dipanggil
Sakawuni mengangguk perlahan. Matanya berkilat mengawasi ke arah potongan besi hitam.
"Kakang Pandu! Belum sampai
tujuan, rupanya telah ada kerikil penghalang!" kata Sakawuni tanpa menoleh.
Baru saja kata-kata Sakawuni
selesai selendang hitam itu telah bergerak cepat ke arah Sakawuni dan
pemuda bernama Pandu.
Sakawuni dan Pandu segera
melompat ke samping kanan dan kiri.
Dari arah samping, mereka berdua cepat melepaskan pukulan jarak jauh.
Wut! Wuttt! Dua rangkum angin dari samping
kanan dan kiri saat itu juga meluncur, menimbulkan suara menderu ke arah
selendang hitam. Namun, tiba-tiba selendang kembali berubah lemas, dan meliuk-
liuk menghindari serangan angin yang datang menderu.
"Keluarlah kau! Jangan hanya sembunyi seperti kucing karung!"
bentak Pandu, lantang.
"Hik.... Hik.... Hik...!"
Sebuah suara tawa menyambuti
bentakan Pandu.
"Kalian belum waktunya melihatku, Bocah-bocah! Lihat selendangku dulu!"
Begitu kata-kata itu lenyap
selendang itu bergerak kembali,
mengeluarkan suara bersiutan dan
melabrak ke arah Sakawuni dan Pandu.
"Kakang Pandu! Gunakan jurus
'Kilat Halilintar'!" seru Sakawuni seraya menakupkan kedua tangannya di depan
bahu kanan. Matanya memejam.
Sementara, Pandu pun segera
berbuat sama. Begitu membuka, tangan mereka didorong ke depan.
"Heaaah...!"
Srat! Srat! Seketika beberapa larik gelombang bergaris-garis yang berkilat melesat.
Namun, selendang yang meliuk-liuk itu kali ini tak bisa lagi menghindar.
Dan.... Bret! Bret! Terjadi keanehan. Begitu larikan
gelombang garis berkilat menghantam telak, selendang itu mengeluarkan asap
hitam. "Lumpuhkan!"
Terdengar nada perintah dari
balik pohon. Dan mendadak, kepulan asap hitam lenyap. Bahkan kini
berganti dengan seekor ular berwarna hitam legam mendesis-desis, langsung
menyambar. Kepalanya melesat ke arah Sakawuni, sementara ekornya bergerak
menghantam ke arah Pandu.
Sakawuni cepat mundur ke bela-
kang. Sedangkan Pandu menghindar dari sabetan ekor ular dengan melesatkan diri
ke atas. Namun, tiba-tiba ekor ular yang
menghantam tempat kosong segera
melesat ke arah Sakawuni yang baru saja menghindar dari sambaran kepala ular.
Karena terkejut, Sakawuni tak
bisa lagi berkelit. Yang dapat dila-kukan hanya menyambut ekor ular itu dengan
kedua tangannya.
Des! Cras! "Aaakh...!"
Ekor ular terpental. Namun,
tangan Sakawuni mengeluarkan darah, karena kulit ular itu memang tajam bagai
pisau. Dengan tubuh terjajar beberapa langkah sambil memegangi tangannya yang
berdarah. Sakawuni menjerit.
Pandu segera menoleh. Dan saat
itulah kepala ular hitam menukik deras ke arahnya.
Pandu tersentak kaget. Cepat
tubuhnya merebah. Dan dengan mengangkat kakinya tinggi-tinggi, sambil berputar
kepala ular itu disapunya.
Des! Cras! "Aaakh...!"
Kepala ular hitam
itu kontan terbanting ke tanah. Namun seperti halnya Sakawuni, kaki Pandu tiba-tiba seperti
terkena hujaman pisau dan langsung mengucurkan darah!
Selagi Sakawuni dan Pandu
tercekat, mendadak ular hitam yang telah rebah ke tanah itu menggeliat.
Dari mulutnya tampak keluar asap
hitam. Belum sempat kedua anak muda itu berbuat sesuatu, mendadak ular itu
kembali bergerak dengan cepat ke arah Sakawuni.
"Adik Sakawuni! Jangan sampai
menyentuh! Menghindar saja!" teriak Pandu mengingatkan, seraya siap dengan
trisula di tangannya.
Sakawuni cepat melesatkan diri ke udara, dan langsung
mengirimkan pukulan jarak jauh.
Wuttt...! Desss...! Gelombang garis-garis yang
berkilat menghantam kepala binatang melata ini. Tapi bersamaan dengan itu, ekor
ular cepat menyambar. Sakawuni tak bisa menghindar, karena saat ini masih berada
di udara. Sehingga....
Bret! "Aaakh...!"
Tubuh Sakawuni kontan terpental.
Begitu jatuh di atas tanah, tampak baju bagian perutnya menganga lebar.
Sementara kulitnya berbarut-barut mengucurkan darah! Wajahnya pucat pasi. Begitu


Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan bangkit, tubuhnya tampak limbung dan akhirnya jatuh terduduk.
Mendapati Sakawuni terluka, Pandu marah besar. Dengan mendengus keras, pemuda
ini melompat dengan trisula berdesingan ke arah kepala ular yang kini tampak
diam di atas tanah.
Sementara kepala ular itu nampak
diam, ketika Pandu melabraknya. Bahkan saat pemuda ini menghujamkan
trisulanya ke arah kepala, ular itu tak bergeming. Hingga....
Cras! Crep! Kepala ular kontan terhujam
trisula Pandu. Tapi karena dihujamkan disertai tenaga dalam, maka trisula itu
menancap dan tak bisa dicabut. Dan saat itulah....
Wut! Tiba-tiba ekor ular berkelebat
cepat dari arah belakang. Pandu
terkejut. Tapi, dia terlambat untuk menghindar. Hingga....
Bret! Bret! "Aaakh...!"
Pandu terjungkal ke depan
disertai lenguhan keras. Pakaian
bagian belakang terkoyak. Kulitnya mengucur darah!
Tepat ketika tubuh Pandu ambruk,
ular itu pun jatuh berdebam ke atas tanah.
"Hi... hi... hi...!"
Sesaat kemudian terdengar tawa
panjang. Begitu suara tawa lenyap, dari balik pohon melesat sesosok
tubuh. Dan tahu-tahu, sosok itu telah berdiri di samping ular yang kini diam tak
bergerak. Sejenak sosok itu
mengawasi kepala ular yang tertancap trisula.
Lalu tangannya dikebutkan. Ular hitam itu tampak menggeliat mengeluarkan asap.
Begitu asap sirna, kulit ular itu tampak mengelupas bagai baru saja dijilat api.
Dan dari kulit ular yang mengelupas, tampak selendang berwarna
hitam! Dengan senyum, sosok di hadapan
ular itu kembali mengebutkan tangannya. Maka selendang warna hitam di balik
kulit ular seperti bergerak meliuk ke genggaman sosok yang di sampingnya.
Sakawuni dan Pandu sebentar
melotot seakan tak percaya. Sementara sosok di samping ular yang ternyata
seorang gadis itu melangkah mendekati Sakawuni.
"He....! Apa maumu sebenarnya!"
teriak Pandu. Gadis yang menggenggam selendang
menghentikan langkahnya. Tubuhnya
segera berbalik, menghadap Pandu.
Sesaat pemuda itu terkesima. Ternyata, gadis yang menggenggam selendang
berparas cantik. Rambutnya panjang sebahu. Bola matanya bulat dan
berbinar. Pakaiannya biru ketat. Baju atasnya dibuat agak rendah, hingga lekukan
buah dadanya nampak jelas.
"Jaga mulutmu, Bangsat! Aku yang berhak bertanya! Bukan kau!" bentak gadis
jelita itu tiba-tiba dengan sorot mata menyengat pada Pandu.
"Siapa kalian berdua"!"
"Kau tak perlu tahu siapa kami!"
sahut Sakawuni ketus.
"Begitu..." Baik! Melihat arah kalian pasti akan menuju Teluk
Gonggong! Dan kalian pasti dari
golongan putih. Nah, dengar baik-baik!
Aku tak suka melihat kerucuk-kerucuk golongan putih macam kalian mengotori Teluk
Gonggong. Bersiaplah kalian berdua untuk menerima ajal di sini!"
Sehabis berkata, gadis berbaju
biru segera mengibaskan tangannya yang memegang selendang hitam. Maka
seketika selendang hitam itu bergerak meliuk, mengeluarkan angin bersiutan ke
arah Sakawuni yang masih terduduk memegangi perutnya.
Karena tak mampu lagi melesatkan
tubuhnya, Sakawuni hanya menghindar dengan merebahkan diri di atas tanah.
Wajahnya tampak menunjukkan kepas-rahan.
Tubuh Pandu sendiri tak kuasa
digerakkan. Sehingga ketika melihat serangan datang ke arah Sakawuni, dia hanya
bisa menggigit bibir dengan mata terpejam. Jelas, hatinya tak tega melihat
Sakawuni. Selendang hitam terus meliuk.
Satu depa hampir menghantam Sakawuni, tiba-tiba....
Wesss! Dari arah samping mendadak ber-
tiup angin kencang memapak selendang, hingga langsung berbelok kearah
samping Sakawuni dan menghantam tempat kosong.
Gadis berbaju biru cepat menarik
pulang selendangnya. Sementara Saka-
wuni yang telah pasrah, perlahan
membuka matanya tatkala dirasa
selendang itu tak menghantam dirinya.
"Setan alas!" maki gadis berbaju biru, langsung menoleh ke samping.
Sakawuni cepat pula palingkan
wajahnya. Gadis berbaju biru dan Sakawuni
sama-sama terkejut. Tak jauh dari samping mereka, duduk seorang pemuda berjubah
lengan pendek warna hijau.
Rambutnya panjang dan dikuncir ekor kuda. Sambil duduk mengipas-ngipas, bibirnya
tersenyum manis pada gadis berbaju biru.
Gadis berbaju biru hampir tak
percaya. Ternyata, angin dahsyat yang telah membelokkan selendangnya keluar dari
kebutan kipas berwarna ungu yang ada di tangan pemuda berjubah hijau!
"Hiaaat...!"
Disertai bentakan garang, gadis
berbaju biru mengebutkan selendangnya ke arah pemuda yang tak lain Pendekar Mata
Keranjang. Sementara, Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108 seperti acuh dengan
selendang yang meliuk datang ke arahnya. Tapi satu depa selendang itu menerabas,
kipasnya cepat dikebutkan.
Wut! Weer! Selendang itu bagai menghantam
angin dahsyat, dan mental meliuk ke
arah gadis berbaju biru.
Sakawuni dan juga Pandu yang
telah membuka mata tersentak melihat-nya. Mata mereka masing-masing
memandang tak berkedip ke arah pemuda itu.
"Siapa kau...?" bentak gadis berbaju biru dengan tatapan garang.
Sedangkan Aji sendiri seperti tak mendengar. Malah kepalanya menoleh memandang
ke arah Pandu. "Lekas bawa temanmu sedikit
menjauh dari sini!" ujar Pendekar Mata Keranjang 108.
Merasa dirinya tak ditanggapi,
wajah gadis berbaju biru merah padam.
Dengan sekali loncat, tubuhnya telah lima langkah di depan Aji yang mulai
bangkit berdiri.
Sepasang mata gadis berbaju biru
mengawasi Pendekar Mata Keranjang 108
dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan dahi berkerut.
"Maaf, aku menghalangi niatmu.
Aku tak suka melihat seorang gadis cantik menghabisi lawan yang sudah tak
berdaya!" ucap Aji seraya memasukkan kipasnya ke balik jubah hijaunya.
Matanya balas menatap dengan seulas senyum.
Ditatap demikian, wajah gadis
berbaju biru melengos ke samping
sambil memberengut. Namun hal ini membuat wajahnya tambah cantik di mata
Pedang Penakluk Iblis 17 Jodoh Rajawali 01 Wasiat Dewa Geledek Kaki Tiga Menjangan 15
^