Pencarian

Manusia Titisan Dewa 2

Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa Bagian 2


gan menyelidik. Dari mulutnya terdengar suaranya
menegur. "Siapa kau..."!" Meski nadanya menegur, tapi jelas sekali bahwa suaranya parau
dan sedikit bergetar.
Sang pemuda palingkan wajahnya. Sejenak
matanya liar memperhatikan wajah gadis di hada-
pannya. Bibirnya sunggingkan senyum. Namun
dia tak segera menjawab pertanyaan, membuat si
gadis kernyitkan dahi dan mengulangi pertanyaan.
"Gadis cantik! Makam siapa itu" Kerabat
atau kekasih...?" si pemuda ajukan pertanyaan.
Sang gadis berbaju hijau tipis terdiam seje-
nak. Sepasang matanya diseka dengan punggung
tapak tangan. Mata itu lalu memperhatikan si pe-
muda dari atas hingga bawah.
"Makam siapa pun apa pedulimu" Kau be-
lum katakan siapa dirimu!"
Sang pemuda tertawa mendengar nada ke-
ras si gadis. Dia melangkah lebih dekat, membuat
si gadis bangkit dan melangkah dua tindak ke be-
lakang. "Gadis cantik! Kau tak usah takut begitu rupa padaku! Aku hanyalah
seorang yang sedang
lewat. Kebetulan aku mendengar suara isak tan-
gismu. Kau sendiri siapa..."!"
"Siapa diriku, kau tak usah tahu, karena
kau sendiri enggan sebutkan siapa dirimu! Kuha-
rap kau lekas tinggalkan tempat ini!"
"Apa kalau aku sebutkan siapa diriku berar-
ti aku boleh di sini...?" kata si pemuda dengan ma-ta tak kesiap memandang ke
arah dada gadis di
hadapannya yang terlihat membusung dan mem-
bentuk bagus karena pakaian yang dikenakannya
basah dan melekat pada tubuhnya.
"Kau terlalu banyak bicara! Tinggalkan saja
aku sendirian!" sahut gadis agak jengkel dan juga jengah melihat dirinya
dipandangi dengan tatapan
penuh arti. "Baiklah, akan kusebutkan siapa diriku...,"
si pemuda hentikan ucapannya sejenak. Lalu me-
lanjutkan. "Soal nama asli ku, tak enak rasanya kuberitahukan. Karena aku telah
menguburnya dalam-dalam! Biar kuberi tahu saja gelar yang ku-
sandang. Orang-orang rimba persilatan menjulu-
kiku Gembong Raja Muda!"
Dugaan sang pemuda yang menyangka ga-
dis di hadapannya akan terkejut setelah dia se-
butkan gelarnya ternyata meleset. Karena gadis itu tak menunjukkan rasa terkejut
sama sekali, malah
tertawa pendek dan berkata.
"Gelar bagus! Kau tentunya keturunan 'raja'
atau mungkin juga putra mahkota. Namun siapa
pun dirimu, saat ini aku ingin sendirian. Jadi kuharap kau tinggalkan tempat
ini!" "Begitu..." Itu tidak adil. Aku telah sebutkan siapa diriku. Aku tidak akan
tinggalkan tempat ini sebelum kau sebutkan siapa dirimu!"
Dalam hati si gadis memaki habis-habisan.
Wajahnya telah berubah agak mengelam menahan
marah dan geram. Namun entah karena tidak in-
gin diganggu dan tak ingin membuat masalah,
sang gadis lantas tersenyum dan berkata.
"Baik kalau itu kehendakmu! Dengar baik-
baik. Aku sebenarnya sungkan sebutkan siapa di-
riku. Jadi akan kukatakan siapa julukanku. Aku
adalah Singa Betina Dari Timur!"
Sang pemuda yang bukan lain memang
Gembong Raja Muda atau yang bernama asli Pan-
du bekas anak murid Ageng Panangkaran yang se-
karang telah diangkat murid oleh Bawuk Raga
Ginting, tersenyum lebar. Namun sesaat kemudian
senyumnya berubah sinis. Dia memang baru kali
ini mendengar nama Singa Betina Dari Timur.
Hingga sifatnya yang selalu meremehkan orang
nampak jelas, bahkan tak lama kemudian terden-
gar suara tawanya yang jelas-jelas bernada menge-
jek. Setelah puas dengan tawa, Gembong Raja
Muda palingkan wajah ke arah lain seraya beru-
cap. "Singa Betina Dari Timur. Hmm.... Julukan yang sesuai dengan orangnya.
Tentunya kau juga
seperti singa lapar jika diajak bersenang-senang.
Bagaimana kalau aku ingin melihat dan merasa-
kan geliatan sang singa...?"
Paras wajah si gadis yang bukan lain adalah
Singa Betina Dari Timur salah seorang dari dua
gadis yang berasal dari pulau Bima merah padam.
Gerahamnya saling beradu keluarkan suara geme-
letak. Sementara sepasang matanya melotot ang-
ker. Namun sejauh ini dia masih mencoba menin-
dih rasa marahnya. Tanpa memandang lagi, dia
berkata. "Kesabaranku ada batasnya! Turuti uca-
panku, lekas tinggalkan tempat ini!"
"Hmm.... Kau menolak ajakan ku?" kata
Gembong Raja Muda sambil gelengkan kepala.
"Sungguh sayang sekali. Atau kau hanya pura-
pura.... Karena kita masih baru kenal" Jika demi-
kian, bagaimana kalau kita ngobrol dahulu...?" seraya berkata Gembong Raja Muda
ajukan lagi ka-
kinya. Singa Betina Dari Timur semakin membe-
liak, dan kedua kakinya tersurut dua tindak ke belakang. Kesabaran yang sedari
tadi ditindihnya
serta-merta meledak.
"Kau tampaknya pemuda kurang waras!
Dan harus diajari cara sopan-santun!" Tiba-tiba Singa Betina Dari Timur melompat
ke depan dan dengan gerak yang hampir tak dapat ditangkap
mata tangan kanannya berkelebat kirimkan puku-
lan ke arah kepala Gembong Raja Muda.
Yang diserang tersenyum aneh. Dia tidak
mencoba untuk bergerak menghindar. Baru tatka-
la tangan si gadis sejengkal lagi menghajar kepala, Gembong Raja Muda tarik
sedikit kepalanya, sementara tangan kanannya diangkat.
Wuuttt! Taakkk! Singa Betina Dari Timur terkejut besar. Ke-
lebatan tangannya yang dipastikan tak akan lolos
menghajar kepala pemuda di hadapannya ternyata
menghajar tempat kosong sejengkal di depan kepa-
la si pemuda. Malah ketika pukulannya meleset
dan si pemuda angkat tangannya disentakkan pa-
da tangan si gadis, gadis itu tubuhnya terputar
dan terhuyung-huyung hendak jatuh karena begi-
tu kerasnya hantaman tangannya. Namun belum
sampai bisa mengimbangi diri, tahu-tahu tubuh-
nya terhenti mendadak bahkan kedua tangannya
dan tubuhnya bagaikan dibelit sesuatu.
Singa Betina Dari Timur tundukkan wajah
melihat apa yang terasa membelit pinggangnya
hingga dirinya terhindar dari jatuh ke atas tanah.
Begitu melihat bahwa yang membelit adalah dua
tangan kekar dan berotot, serta-merta gadis ini
berseru dan sekonyong-konyong tanpa lagi melihat
siapa adanya si empunya tangan, dia segera han-
tamkan kedua sikunya ke belakang.
Beettt! Beettt!
Untuk kali kedua Singa Betina Dari Timur
terperangah. Sodokan kedua sikunya yang didu-
ganya tak akan meleset, ternyata menghantam an-
gin. Namun dengan gerakan sikunya, belitan tan-
gan di tubuhnya lepas.
"Tubuhmu hangat.... Hmm.... Juga...," belum selesai ucapan si pemuda, Singa
Betina Dari Timur telah balikkan tubuh dan serta-merta me-
nerjang ke arah Gembong Raja Muda. Kali ini ter-
jangannya disertai dengan tenaga dalam. Karena si gadis sadar, bahwa pemuda di hadapannya
mempunyai ilmu tinggi.
Bersamaan terjangan kaki Singa Betina Dari
Timur, terdengar deru angin menyambar serta me-
lesat mendahului kaki yang bergerak menerjang!
Gembong Raja Muda geser bahunya ke
samping. Tangan kanannya diangkat lalu dihan-
tamkan ke depan.
Dess! Deesss! Singa Betina Dari Timur berseru tertahan
tatkala kakinya terhantam tangan Gembong Raja
Muda. Seraya melompat mundur kedua tangannya
dihantamkan! Wuutt! Wuuuttt!
Dua rangkum angin dahsyat yang berhawa
panas melesat cepat ke arah Gembong Raja Muda.
Di depan, Gembong Raja Muda tarik kedua
tangannya sedikit ke belakang, dan ketika seran-
gan satu depa di depannya, kedua tangannya dido-
rong. Plarrr! Letupan keras membuncah tempat itu
tatkala dua serangan bentrok di udara, tanahnya
bergetar dan sebagian terbongkar, lalu membum-
bung ke angkasa menutupi tempat itu.
Selagi bongkaran tanah yang membumbung
belum surut, Gembong Raja Muda jejakkan sepa-
sang kakinya. Tak ada suara yang terdengar. Na-
mun tahu-tahu tubuhnya telah melesat lenyap dan
mendadak muncul satu langkah di samping Singa
Betina Dari Timur yang masih terhuyung-huyung
ke belakang! Singa Betina Dari Timur tersirap darahnya.
Tanpa pedulikan tubuhnya lagi, kaki kanannya di-
angkat dan dihantamkan ke samping.
Gembong Raja Muda rundukkan kepala,
dan begitu kaki melesat di atas kepalanya, kaki
kanannya bergerak menyapu pada kaki kanan
Singa Betina Dari Timur yang dibuat tumpuan tu-
buhnya. Desss! Singa Betina Dari Timur terpekik, tubuhnya
oleng ke samping. Namun sebelum tubuh itu ter-
hempas ke atas tanah, Gembong Raja Muda mele-
sat dan dengan gerak cepat tangan kirinya men-
gayun dari bawah sementara tangan kanannya
mengayun dari atas.
Sett! Settt! Begitu cepatnya gerakan Gembong Raja
Muda, hingga tahu-tahu yang terlihat adalah ro-
bohnya tubuh Singa Betina Dari Timur pada reng-
kuhan tangan kirinya sementara tangan kanannya
menotok jalan darah si gadis yang ada direngku-
hannya! "Jahanam busuk! Lepaskan diriku!"
Ternyata totokan Gembong Raja Muda
hanya membuat tubuh si gadis tegang kaku tak
bisa digerakkan, namun mulutnya masih bisa di-
gerakkan. "Singa Betina! Aku tahu, kau hanya berpu-
ra-pura saja! Sementara hatimu berbunga-
bunga.... Ha ha ha...!" Gembong Raja Muda takupkan tangannya dan serta-merta
tubuh Singa Betina Dari Timur direngkuhnya lalu ditariknya
mendekat ke wajahnya.
Sebelum wajah Singa Betina Dari Timur da-
pat dicium, tiba-tiba gadis ini buka mulutnya.
Pyyuuhhh! Sebercak ludah melesat dan membasahi wa-
jah Gembong Raja Muda. Pemuda ini serta-merta
hentikan tarikan tangannya yang merengkuh tu-
buh si gadis. Wajahnya merah padam. Pelipis kiri
kanan bergerak-gerak, sementara sepasang ma-
tanya menatap jalang.
"Keparat! Kau memang pantas diajari ba-
gaimana bersikap yang baik!" kata Gembong Raja Muda. Tangan kanannya diangkat
dan serta-merta
dilayangkan pada pipi Singa Betina Dari Timur.
Plakkk! Singa Betina Dari Timur menjerit lengking.
Bibirnya pecah dan keluarkan darah. Tidak hanya
sampai di situ, begitu tangan kanannya melayang
menampar, tangan kirinya yang masih merengkuh
tubuh si gadis diluruhkannya! Karena Singa Beti-
na Dari Timur tak bisa menggerakkan anggota tu-
buhnya, maka tak ayal lagi tubuhnya terhempas
jatuh ke atas tanah!
"Jahanam licik! Kau akan menyesal! Dan
jangan mimpi kau bisa jamah tubuhku!" maki Sin-
ga Betina Dari Timur sambil meludah di tanah.
Ludahnya berwarna merah bercampur darah.
Gembong Raja Muda tertawa panjang. Na-
mun cuma sesaat. Tak lama kemudian tawanya
lenyap. Sepasang matanya kembali memandangi
tubuh Singa Betina Dari Timur. Bibirnya sung-
gingkan senyum sinis. Tubuhnya lantas mem-
bungkuk dengan tangan diangkat ke atas.
Mengira bahwa akan mendapat tamparan
lagi Singa Betina Dari Timur pejamkan sepasang
matanya. Bibirnya saling menggigit. Namun gadis
ini terlengak. Karena bukan tamparan yang dira-
sakan, melainkan usapan pada lehernya!
Singa Betina Dari Timur buka kelopak ma-
tanya. Mulutnya membuka hendak keluarkan ma-
kian, namun gadis ini terkejut. Meski mulutnya telah membuka namun tiada sepatah
kata pun yang terdengar dari mulutnya! Ternyata usapan tangan


Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gembong Raja Muda adalah totokan untuk meng-
hentikan jalan suara!
"Memakilah sepuas hatimu, gadis cantik!
Ha ha ha...!" Gembong Raja Muda teruskan bung-kukan tubuhnya, kedua tangannya
bergerak me- rengkuh tubuh Singa Betina Dari Timur yang su-
dah tegang tak bisa bergerak dan tak bisa bicara.
"Kita cari tempat yang enak, karena mung-
kin ini adalah pengalaman pertama bagimu...! Ka-
sihan kau jika pengalaman pertama kau rasakan
di tempat yang jelek begini. Apalagi dekat kubu-
ran...! Ha ha ha...!" Gembong Raja Muda tarik tangannya lalu tubuh Singa Betina
Dari Timur dile-
takkan di pundak kiri, lalu melangkah ke tempat
di mana tadi meletakkan tubuh orang yang di-
panggul. ENAM Siapa gerangan orang pertama yang dipang-
gul Gembong Raja Muda dan untuk sementara di-
letakkan di atas tanah begitu melihat Singa Betina Dari Timur menangis di sisi
makam" Orang itu tidak lain adalah Guru dari Gembong Raja Muda
yang bukan lain adalah Bawuk Raga Ginting. Se-
perti dituturkan dalam episode "Arca Dewi Bumi", Bawuk Raga Ginting melakukan
perjalanan memburu Arca Dewi Bumi. Namun dalam perjalanan
dia bertemu dengan Pendekar 108 juga Dewi
Kayangan. Dalam sebuah pertarungan sengit, ak-
hirnya Bawuk Raga Ginting dapat dilumpuhkan
Pendekar 108. Bahkan setelah itu dililit rotan oleh Dewi Kayangan, hingga dalam
keadaan luka tubuhnya masih dililit tak bisa digerakkan.
Di lain pihak, Gembong Raja Muda yang ju-
ga sedang melakukan perjalanan memburu Arca
Dewi Bumi sampai pula di lereng Gunung Kembar.
Namun yang dijumpai di sana adalah beberapa
orang yang dalam keadaan terluka. Mereka adalah
Dewi Bunga Iblis yang selain terluka juga masih
terlilit selendang merah dan tersandar di batang
potion. Lalu tampak juga seorang laki-laki yang telah tewas yang bukan lain
adalah Jogaskara. Dan
di sana juga Gembong Raja Muda mendapati gu-
runya Bawuk Raga Ginting telah terlalu dan terlilit
rotan. "Sialan! Apa yang telah terjadi...?" seru Gembong Raja Muda seraya
melangkah mendekati
Bawuk Raga Ginting.
Bawuk Raga Ginting yang saat itu tengah
pasrah putus asa, karena tidak bisa membebaskan
diri dari lilitan rotan di tubuhnya membuka kelo-
pak matanya begitu mendengar seruan dan lang-
kah-langkah yang mendekati ke arahnya.
Sepasang mata Bawuk Raga Ginting serta-
merta membesar dan harapannya kembali mera-
suki dadanya tatkala dapat mengenali siapa
adanya orang yang melangkah.
"Pandu! Cepat singkirkan rotan keparat ini!"
kata Bawuk Raga Ginting dengan suara parau se-
rak. Sejenak Gembong Raja Muda tegak mem-
perhatikan. Dalam hati sebenarnya dia berkata se-
raya melecehkan.
"Kalau saja tidak mengingat jasamu, akan
kubiarkan tubuhmu tewas dengan terbelit ro-
tan...." "Pandu! Kau dengar ucapanku bukan..."
Kenapa masih enak-enakan berdiri" Cepat be-
baskan aku!" kembali Bawuk Raga Ginting berse-ru.
Dengan agak berat, Pandu alias Gembong
Raja Muda melangkah lebih dekat lalu jongkok
dan hendak melepaskan rotan yang membelit tu-
buh gurunya. Namun, betapa terkejutnya pemuda
ini. Belitan rotan pada tubuh gurunya tidak mu-
dah dilukar begitu saja. Bahkan meski Pandu te-
lah kerahkan tenaga dalamnya.
"Keparat! Ini bukan belitan biasa.... Pastilah yang melakukan ini adalah orang
yang berilmu sangat tinggi. Hmm.... Siapa dia" Pendekar 108"
Atau orang lain...?" lalu Pandu utarakan apa yang ada di hatinya pada gurunya.
"Itu bisa kita bicarakan nanti!" jawab Bawuk Raga Ginting ketika mendengar
pertanyaan Pandu. "Sekarang bebaskan dulu!"
Meski dalam hati memaki panjang pendek,
Pandu laksanakan juga perintah gurunya. Namun
lagi-lagi dia belum bisa melukar lilitan rotan itu.
"Ambil tombak itu! Dan gunakan untuk
memutus," kata Bawuk Raga Ginting seraya arahkan pandangannya pada tombaknya
yang tergele- tak. Dengan keluarkan dengusan pertanda tidak
senang dengan perintah gurunya Pandu bangkit
lalu melangkah ke arah tergeletaknya tombak. Di-
pungutnya tombak itu dan kembali mendekati gu-
runya. "Tua sialan! Sekali lagi kau keluarkan kata-kata meradang, kutampar
mulutmu!" gumam Pan-
du dengan mata memandang pada jurusan lain.
Setelah dekat, Pandu kerahkan tenaga da-
lam lalu.... Tasss! Taasss! Tasss!
Rotan yang melilit tubuh Bawuk Raga Gint-
ing rantas sebelum akhirnya putus. Bawuk Raga
Ginting oleng sebentar lalu jatuh miring di atas tanah. "Muridku!" berkata Bawuk
Raga Ginting dengan suara perlahan. Mungkin dia merasa ada
perubahan pada Pandu hingga suaranya kini per-
lahan bahkan seakan meratap. "Bantu aku salurkan hawa murni...."
Melihat dan mendengar nada ratapan Ba-
wuk Raga Ginting, Pandu akhirnya kerahkan tena-
ga hawa murninya, lalu kedua telapak tangannya
ditempelkan pada dada Bawuk Raga Ginting.
Beberapa saat berlalu, Bawuk Raga Ginting
terlihat gerak-gerakkan kedua kaki dan tangan-
nya. Pandu tarik pulang tangannya. Dan perlahan-
lahan pula Bawuk Raga Ginting bergerak duduk.
Kedua pundaknya digerak-gerakkan, kepalanya
dipalingkan ke kanan dan kiri.
Merasa tubuhnya sudah agak baik. Bawuk
Raga Ginting bergerak bangkit. Sesaat memang bi-
sa tegak berdiri, namun sesaat kemudian kedua
kakinya tampak meliuk. Bawuk Raga Ginting coba
atasi dengan kerahkan tenaga dalam, namun gag-
al, hingga tanpa ampun lagi tubuhnya jatuh ter-
duduk. "Bangsat! Ini gara-gara pukulan pendekar keparat itu!" maki Bawuk Raga
Ginting seraya takupkan kedua tangannya mengatasi getaran da-
danya yang berdenyut nyeri.
Selagi Bawuk Raga Ginting mengatasi di-
rinya, Dewi Bunga Iblis yang ada tak jauh dari
sampingnya dan tubuhnya terbelit selendang me-
rah buka mulut.
"Pemuda! Kuharap kau mau menolongku
juga dari belitan selendang keparat ini!"
Pandu yang sedari tadi sudah tahu namun
tak ambil peduli segera palingkan wajahnya. Tapi
dia hanya memandang dengan bibir tersenyum si-
nis dan sepertinya enggan meladeni ucapan Dewi
Bunga Iblis, membuat perempuan ini memaki da-
lam hati. Namun karena mengharapkan pertolon-
gan, makiannya tak diucapkan, justru yang ditun-
jukkan adalah wajah murung dan putus asa.
"Pemuda! Sekali lagi kuharap kau sudi
membebaskan diriku!" suara Dewi Bunga iblis seperti tercekat di tenggorokan.
Lagi-lagi Pandu hanya memandang dengan
senyum sinis. Namun pada akhirnya Pandu buka
mulut, tapi pandangannya ke arah lain. "Siapa kau...?"
"Setan alas! Dimintai pertolongan saja ma-
sih tanya-tanya! Awas kau!" kata Dewi Bunga Iblis dalam hati.
"Aku disebut orang Dewi Bunga Iblis!"
Meski dalam hati diam-diam terperangah
kaget mendengar sang perempuan sebutkan di-
rinya, namun Pandu tak memperlihatkan wajah
terkejut. Malah bibirnya tersenyum lebar dan ke-
luarkan tawa perlahan.
"Heran. Tentunya kau manusia yang men-
gaku-aku sebagai Dewi Bunga Iblis. Karena menu-
rut yang kudengar manusia berjuluk Dewa Bunga
Iblis adalah tokoh yang kepandaiannya sulit dija-
jaki. Tapi bagaimana tokoh yang begitu tinggi il-
munya tidak bisa melepaskan diri dari belitan se-
lendang butut?"
Kembali Dewi Bunga Iblis memaki dalam
hati. Lalu berkata.
"Dengar pemuda! Belitan yang di tubuhku
serta yang baru saja terlepas dari tubuh gurumu,
bukan sembarangan belitan. Ini dilakukan oleh
Dewi Kayangan! Tanpa pertolongan orang lain yang
bertenaga dalam tinggi, mustahil seseorang dapat
terbebas!"
Pandu kembali terkejut mendengar penutu-
ran Dewi Bunga Iblis, dahinya berkerut.
"Dewi Kayangan..." Kabarnya tokoh itu ada-
lah orang yang tidak ada tanding. Hmm..,. Kalau
manusia itu telah pula ikut-ikutan dalam masalah
perebutan Arca Dewi Bumi, arca itu nyata-nyata
luar biasa kesaktiannya!"
"He. Lekas ambil tombak itu dan bebaskan
aku!" teriak Dewi Bunga Iblis saat dilihatnya Pandu masih tak beranjak dari
tempatnya. "Perempuan konyol! Kau tak berhak meme-
rintah aku! Kau sekarang sedang dalam keadaan
di ujung tanduk. Kalaupun aku pergi dari sini ma-
ka jiwamu tinggal menunggu malaikat pencabut
nyawa!" Dewi Bunga Iblis terdiam.
"Hmm.... Sialan betul! Apa hendak dikata,
kalau dia atau Bawuk Raga Ginting tak mau me-
nolongku...," Dewi Bunga Iblis tak meneruskan ka-ta hatinya karena saat itu
dilihatnya Pandu me-
langkah mendekati.
"Dengar! Aku mau menolongmu dengan
syarat!" kata Pandu seraya memperhatikan Dewi Bunga Iblis.
Dewi Bunga Iblis mengernyit. Dalam hati
dia menyumpah habis-habisan. Namun karena
mengharapkan pertolongan, akhirnya dia berkata.
"Katakan syaratmu!"
Gembong Raja Muda atau Pandu tidak sege-
ra menjawab. Sebaliknya dia ajukan pertanyaan.
"Mengapa kau menerima syarat ku"!"
Dewi Bunga Iblis sepertinya tak dapat lagi
menahan rasa jengkelnya. Dengan mata membe-
liak angker dia menjawab.
"Anak muda! Kulihat kedua matamu tidak
buta. Juga tadi telah kukatakan bahwa tanpa per-
tolongan orang lain yang punya tenaga dalam ting-
gi belitan ini tak bisa lepas. Apa hal itu belum cukup untuk sebuah alasan
mengapa aku menerima
syaratmu"!"
Mendengar ucapan Dewi Bunga Iblis, Pandu
bukannya menjadi marah, malah dia terlihat ter-
tawa. "Hmm.... Kalau begitu nyawamu tergantung padaku. Benar..."!"
"Banyak mulut! Kalau kau tak mau meno-
long, lekas pergi dari sini!" kejengkelan Dewi Bunga Iblis habis sudah. Seraya
berkata begitu pan-
dangannya dialihkan pada jurusan lain.
Pandu tanpa berpaling lagi segera balikkan
tubuh hendak melangkah ke arah Bawuk Raga
Ginting, namun langkahnya tertahan tatkala ter-
dengar seruan Dewi Bunga Iblis.
"Anak muda! Tunggu!"
"Ada yang ingin kau katakan...?" kata Pandu tanpa balikkan tubuh.
"Ucapanmu benar. Nyawaku tergantung pa-
damu! Sekarang katakanlah apa syarat yang kau
minta!" "Kau benar-benar perempuan sialan. Mengaku saja masih menimbang-nimbang
segala ma- cam!" desis Pandu seraya balikkan tubuh menghadap Dewi Bunga Iblis.
"Dengar baik-baik!" kata Pandu dengan senyum sinis. "Sebagai tokoh kau pasti
telah tahu manusia keparat bergelar Pendekar Mata Keranjang 108. Kalau nyawamu
ingin selamat, kau ha-
rus dapat membawa kepala manusia keparat itu
padaku! Kau kuberi waktu sepuluh purnama mu-
lai sekarang. Jika kau berhasil kau bisa menemui-
ku di Lembah Bandar Lor! Bagaimana..."!"
Dewi Bunga Iblis tampak terkejut. Dia tak
menyangka akan syarat yang diajukan Pandu.
Namun karena ingin terbebas dia sengaja me-
nyembunyikan rasa kejutnya meski dalam hati dia
berkata. "Setan alas betul anak ini! Akan kuterima
syarat yang dia ajukan. Tapi setelah aku terbebas, jangan mimpi kau bisa memeras
ku begitu rupa!
Aku memang akan memenggal kepala Pendekar
108, namun bukan karena perintahmu. Aku
punya masalah sendiri. Lebih dari itu aku mengin-
ginkan arca yang sekarang ada di tangannya...,"
batin Dewi Bunga iblis, lalu berkata.
"Anak muda! Kalau hanya itu syaratnya, sa-
tu purnama saja telah cukup. Dan aku akan
membawa kepala Pendekar 108 ke tempat yang
kau tentukan!"
"Baik. Aku memberimu waktu sampai sepu-
luh purnama, kalau kau bisa satu purnama itu le-
bih baik...," habis berkata Pandu balikkan tubuh dan melangkah ke arah Bawuk
Raga Ginting yang
masih tampak duduk sambil pejamkan sepasang
matanya salurkan tenaga dalam. Diambilnya tom-
bak yang tergeletak di sampingnya, lalu balik lagi ke arah Dewi Bunga Iblis.
Dewi Bunga Iblis terlihat tersenyum.
Namun senyum Dewi Bunga Iblis tiba-tiba


Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berubah menjadi senyum kecut. Dahinya berkerut,
sementara sepasang matanya tak kesiap meman-
dangi Pandu yang bukannya cepat membebaskan
dirinya, melainkan hentikan langkah dan menarik
gagang tombak yang tampak menggelembung. Be-
gitu gagang tombak tertarik, tampak lobang di
pangkal gelembungnya. Dari lobang itu Pandu
tampak mengeluarkan tiga butiran kecil berwarna
hitam. "Racun...," desis Dewi Bunga Iblis dengan wajah pias. "Gila! Apa yang
hendak dilakukan bangsat ini padaku! Meracuni ku..." Keparat!"
Setelah memasang kembali gagang tombak,
Pandu arahkan pandangannya pada Dewi Bunga
Iblis yang tampak semakin pucat pasi. Pandu ter-
tawa penuh ejekan.
"Dewi Bunga Iblis. Aku tidak percaya begitu
saja pada mulut orang!"
"Apa maksudmu...?"
"Kau telah menerima syarat ku. Tapi itu di
mulutmu. Dalam hati siapa tahu ini hanya musli-
hatmu saja agar kuselamatkan. Nah, ini adalah
racun ganas. Racun ini akan bekerja setelah sepu-
luh purnama. Jika dalam waktu itu kau tidak me-
nemuiku, maka kau tahu sendiri akibatnya!"
"Bangsat licik! Kau benar-benar meme-
rasku!" seru Dewi Bunga Iblis dengan sepasang mata terbeliak.
Pandu tengadahkan kepala. Tawanya ter-
dengar panjang dan bernada mengejek.
"Terserah apa katamu. Memilih mati terbelit
selendang atau menerima syarat yang ku ajukan!"
Mulut Dewi Bunga Iblis komat-kamit. Ter-
dengar gumamannya yang tak jelas ditangkap te-
linga. Setelah agak lama dia berkata.
"Baiklah! Syaratmu kuterima!"
"Bagus!" kata Pandu dengan tersenyum. Dia lalu mendekat ke arah Dewi Bunga
Iblis. "Buka mulutmu!" serunya. Seraya menimang-nimang butiran hitam di telapak
tangan kanannya.
Dengan paras merah mengelam dan mata
mendelik, Dewi Bunga Iblis buka mulutnya. Serta-
merta bersamaan dengan itu Pandu gerakkan tan-
gan kanannya. Tiga butiran hitam itu langsung
melesat dan masuk ke mulut Dewi Bunga Iblis.
Dewi Bunga Iblis diam-diam kerahkan tena-
ga dalamnya, hingga butiran hitam tadi tersangkut dilehernya. Namun Pandu
ternyata lebih cerdik.
Begitu butiran masuk, dia segera melangkah lebih
dekat. Dan tanpa diduga sama sekali oleh Dewi
Bunga Iblis, tangan kanan Pandu bergerak memu-
kul tengkuk perempuan ini.
Heeekkk! Dewi Bunga Iblis keluarkan suara laksana
orang tercekik. Bersamaan dengan itu butiran
yang tersangkut di lehernya menerabas masuk ke
perutnya! "Jangan mimpi kesiangan jika kau akan
menipuku!" kata Pandu seraya tertawa mengekeh.
Dia lalu melangkah ke balik pohon, lalu kerahkan
tenaga dalam dan serta-merta tombak di tangan-
nya diayunkan pada selendang yang membelitkan
tubuh Dewi Bunga Iblis pada batang pohon.
Begitu selendang itu robek terbelah, tubuh
Dewi Bunga Iblis jatuh bergulingan. Begitu gulin-
gannya terhenti, Dewi Bunga Iblis tampak terlen-
tang seraya berulang kali menarik napas panjang-
panjang berusaha menghirup udara segar dan me-
lepas rasa sesak yang hampir dua puluh sembilan
hari menghimpit dadanya.
"Sekarang kau bebas! Tapi dalam jangka
waktu yang ku tentukan kau tidak datang ke tem-
patku, tubuhmu akan hancur satu persatu! Kau
dengar"!"
Dewi Bunga Iblis tidak menyahut. Hanya
bahunya yang tampak turun naik menghirup dan
menghembuskan udara. Sepasang matanya lantas
berpaling pada Pandu, namun dia masih belum ju-
ga keluarkan suara. Sesaat kemudian, dia bangkit
dan duduk dengan kedua tangan saling menakup,
kerahkan tenaga dalam untuk memulihkan tu-
buhnya. Setelah dirasa tubuhnya agak normal,
Dewi Bunga Iblis bergerak berdiri.
"Kenapa kau menginginkan kepala manusia
bergelar Pendekar Mata Keranjang 108" Kau men-
ginginkan arca itu..."!" Dewi Bunga Iblis ajukan pertanyaan.
Mendengar kata-kata Dewi Bunga Iblis, pa-
ras wajah Pandu berubah sesaat. Dia tak me-
nyangka sama sekali jika Arca Dewi Bumi telah ja-
tuh ke tangan Pendekar108.
"Anjing buduk! Jadi keparat itu telah berha-
sil mendapatkan arca itu!" maki Pandu dalam hati.
Kepalanya lantas berpaling menatap Dewi Bunga
Iblis. "Dewi Bunga Iblis! Persyaratan mu bertambah satu lagi!"
"Apa maksudmu..."! Jangan kau main-main
dengan ingkar janji!" seru Dewi Bunga Iblis.
"Dewi Bunga iblis! Ingat. Nyawamu ada di
tanganku. Kau tak usah banyak mulut. Aku yang
kuasa atas dirimu!. Pasang telingamu baik-baik.
Selain kepala manusia keparat itu, kau juga harus merampas arca itu dan
menyerahkan padaku! Kau
dengar"!"
"Bedebah! Edan! Kau licik!" teriak Dewi Bunga Iblis dengan mata mendelik.
Pandu tertawa bergelak. Lalu tanpa peduli-
kan lagi dia balikkan tubuh dan melangkah ke
arah Bawuk Raga Ginting yang tampak telah
membuka kelopak matanya.
Di belakangnya, seraya mengomel tak ka-
ruan Dewi Bunga Iblis segera pula balikkan tubuh
dan tinggalkan tempat itu.
"Pandu! Kau benar-benar cerdik!" puji Bawuk Raga Ginting. Manusia bertubuh cebol
ini lan- tas bergerak hendak berdiri, namun lagi-lagi sepasang kakinya oleng, dan
tubuhnya hendak terjatuh
kembali. Namun sebelum tubuhnya jatuh Pandu
telah melompat dan tanpa banyak bicara lagi me-
nangkap tubuh gurunya itu dan dipanggulnya di
atas pundak. "Kau terluka parah. Kau harus istirahat da-
hulu!" kata Pandu seraya melangkah meninggalkan tempat itu. Dan apa yang
dikatakan Pandu
benar adanya. Baru saja tiga langkahan kaki, Ba-
wuk Raga Ginting donggakkan kepalanya yang ada
di dada Pandu. Dari mulutnya muncrat darah ke-
hitam-hitaman, pertanda dia terluka dalam yang
cukup parah. "Kita harus cepat sampai ke Bandar Lor!"
kata Pandu, lalu berkelebat.
*** Sementara itu, jauh sebelum kedatangan
Pandu ke lereng Gunung Kembar, Singa Betina
Dari Timur telah meninggalkan lereng gunung itu
dengan membopong tubuh saudara seperguruan-
nya, Bidadari Bertangan Iblis yang telah tewas terkena hujaman keris hitam
Jogaskara. (Mengenai
kematian Bidadari Bertangan Iblis silakan baca
serial Pendekar Mata keranjang 108 dalam episode
"Arca Dewi Bumi").
Singa Betina Dari Timur terus melangkah
tak tentu arah tujuan. Seraya melangkah dia tak
henti-hentinya terisak menyesali tewasnya Bidada-
ri Bertangan Iblis. Bahkan tak jarang dia hentikan langkahnya, lalu meletakkan
tubuh saudara seperguruannya di tanah, lalu
diguncang- guncangnya bahu saudara seperguruannya itu
sambil panggil-panggil namanya.
Namun karena telah tewas, yang diguncang
hanya diam. Setelah lima hari melakukan perjala-
nan tak tentu arah, pada sebuah tempat yang sepi, Singa Betina Dari Timur
menemukan sebuah gubuk. Di gubuk itulah berhari-hari Singa Betina
Dari Timur menekuri nasibnya serta Bidadari Ber-
tangan Iblis. Dia sengaja tak segera menguburkan
jasad saudara seperguruannya, karena dia seakan
masih tak percaya dengan kematian Bidadari Ber-
tangan Iblis. Bahkan tiap kali dia panggil-panggil nama Bidadari Bertangan Iblis
malah tak jarang
kerahkan tenaga dalamnya untuk mencoba mem-
bangunkan. Sementara tubuh Bidadari Bertangan Iblis
terlihat masih utuh dan tidak berbau, ini karena
Singa Betina Dari Timur terus menerus masukkan
hawa murni ke dalam tubuh Bidadari Bertangan
Iblis. Namun menginjak hari ke dua puluh dela-
pan, tubuh Bidadari Bertangan Iblis mulai mene-
barkan bau tak sedap meski Singa Betina Dari Ti-
mur telah masukkan hawa murni. Bahkan sedikit
demi sedikit, tubuh Bidadari Bertangan Iblis tam-
pak berubah menghitam.
Sadar bahwa Bidadari Bertangan Iblis tak
bisa didiamkan, maka pada hari ke tiga puluh,
Singa Betina Dari Timur menguburkan jenazah
saudara seperguruannya itu. Namun baru saja tu-
buh Bidadari Bertangan Iblis disemayamkan,
muncullah Pandu alias Gembong Raja Muda.
TUJUH Bersabar sedikit, Gadis Cantik! Sebentar la-
gi kau akan merasakan nikmatnya malam perta-
ma. Dan tentu kau akan keterusan lalu minta la-
gi!" kata Gembong Raja Muda seraya melangkah pelan dan tertawa bergelak-gelak.
Tangan kanannya bergerak mengusap punggung Singa Betina
Dari Timur yang ada di pundaknya, hingga tubuh-
nya sedikit tertekan dan membuat buah dadanya
menempel ketat pada dada Gembong Raja Muda.
Sementara Singa Betina Dari Timur hanya
bisa memaki habis-habisan dalam hati. Bahkan
mungkin karena kesalnya, sepasang matanya ter-
lihat merebak merah dan berkaca-kaca.
"Bidadari Bertangan Iblis! Daripada harus
mengalami nasib seperti ini, lebih baik aku me-
nyusulmu...," bisik Singa Betina Dari Timur dalam hati seraya pejamkan lagi
sepasang matanya, karena tangan Gembong Raja Muda telah merambah
ke arah pinggulnya.
Namun gerak langkah kaki Gembong Raja
Muda tertahan, karena mendadak saja terdengar
suara tawa terkekeh panjang melingkupi tempat
itu, Gembong Raja Muda hentikan langkah. Tan-
gannya yang mulai merambat ke pinggul Singa Be-
tina Dari Timur dia turunkan. Parasnya terlihat
sedikit tegang, sedangkan kedua matanya liar me-
nyapu ke kanan kiri, sementara telinganya dia ta-
jamkan baik-baik. Dia merasa bahwa suara tawa
itu bukan suara tawa biasa, karena kedua kakinya
yang menginjak tanah terasa bergetar hebat, men-
gisyaratkan siapa pun orang yang mengeluarkan
tawa, bisa dipastikan bukan orang sembarangan
dan memiliki tenaga dalam yang sempurna.
Menangkap gelagat tidak baik, Gembong
Raja Muda segera kerahkan tenaga dalam dan ber-
gerak menyelinap ke balik sebuah pohon. Dari sini sepasang matanya menebar
berkeliling. Kedua
tangannya telah disiapkan untuk kirimkan seran-
gan. Namun murid Bawuk Raga Ginting ini jadi
tergagu sendiri, karena sepasang matanya tak me-
nemukan sosok manusia! Dan tak ada tanda-
tanda akan munculnya seseorang!
"Heran. Aku jelas-jelas mendengar suara
tawa. Dan pasti orangnya tidak jauh dari tempat
ini karena suaranya begitu keras! Tapi.... Mataku tak dapat menemukan batang
hidungnya, telingaku tak dapat menentukan di mana beradanya! Ke-
parat jahanam! Siapa dia..."!" maki Gembong Raja Muda dalam hati. Sepasang
matanya lalu memandang pada tubuh Singa Betina Dari Timur yang di-
geletakkan di samping kakinya. Lalu sekali lagi
menebar berkeliling. Dan begitu matanya tak lagi
menemukan orang, dia diam sesaat menunggu.
Dan setelah ditunggu agak lama tak juga ada tan-
da-tanda munculnya seseorang, Gembong Raja
Muda memutuskan untuk membopong Singa Beti-
na Dari Timur kembali.
"Mungkin hanya telingaku yang terpenga-
ruh oleh suara tawaku sendiri!" Gembong Raja Muda menentramkan hatinya. Lalu
membungkuk hendak meraih Singa Betina Dari Timur.
Saat itulah kembali terdengar suara tawa
mengekeh panjang. Kemudian terdengar Suara.
"Pengalaman pertama memang sulit dilupa-
kan. Tapi apa enaknya jika dilakukan dengan pak-
sa..." Malah-malah hanya basah kuyup dan ngos-
ngosan..."
Mendengar suara itu, Singa Betina Dari Ti-
mur berubah parasnya menjadi merah padam.
Namun dia merasa sedikit lega, karena keinginan
Gembong Raja Muda setidaknya bisa tertunda, wa-
lau hatinya masih sangat cemas.
Kalau Singa Betina Dari Timur sedikit lega,
tidak demikian halnya dengan Gembong Raja Mu-
da. Begitu terdengar suara yang melecehkan, se-
pasang kakinya dibantingkan ke atas tanah. Ta-
nah itu terbongkar dan meninggalkan kubangan
membentuk telapak kaki sedalam mata kaki. Den-
gan busungkan dada dan mata nyalang, Gembong
Raja Muda membentak.
"Anjing keparat! Kenapa hanya berani ber-
koar tapi takut unjukkan diri" Keluarlah dari per-sembunyianmu!"
Suara tawa kembali terdengar membahana.


Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun tiba-tiba lenyap. Yang terdengar kemudian
adalah suara bernada teguran.
"Pandu! Kau sepertinya tak ada puas-
puasnya soal perempuan. Apakah rasanya me-
mang enak"!"
Mendengar orang sebutkan namanya, diam-
diam sirap juga darah Pandu. Keningnya berker-
nyit. "Sialan! Dia mengenaliku, berarti aku tahu
siapa dia! Setidak-tidaknya aku pernah berjumpa
dengannya. Hmmm.... Siapa dia?" Pandu terdiam untuk beberapa lama seraya
menduga-duga dan
menunggu kemunculan orang. Namun setelah
agak lama tak juga ada orang menunjukkan diri,
kembali Pandu berteriak.
"Kau telah mengenaliku, kenapa masih ber-
laku pengecut tak menampakkan tampangmu"!"
"Apakah kau tidak akan merasa malu ber-
temu muka denganku lagi dalam masalah yang
sama..." Soal perempuan! Ha... ha... ha...!"
Kemarahan Pandu tak dapat dipertahankan
lagi. Dengan sekali kelebat tubuhnya telah keluar dari balik pohon. Sejenak
sepasang matanya menyapu ke sekitar tempat itu. Tiba-tiba kedua tan-
gannya disentakkan ke samping kanan.
Wuuttt! Gelombang angin deras menyambar keluar
dart tapak tangannya. Semak belukar, ranting ser-
ta daun-daun pohon di samping kanannya tahu-
tahu telah bertebaran dan sekejap kemudian be-
rubah menjadi serpihan kecil-kecil yang langsung
lenyap tertiup angin!
Bersamaan dengan lenyapnya serpihan, di
belakang Pandu tiba-tiba terdengar orang tertawa.
Secepat kilat Pandu balikkan tubuh dan siapkan
serangan. Namun begitu tahu siapa adanya orang di
belakangnya, Pandu urungkan niat, malah bibir-
nya sunggingkan senyum lebar. Meski dalam hati
dia sempat terperangah
Di hadapannya kini tegak seorang pemuda
berwajah tampan. Mengenakan pakaian hijau den-
gan rambut panjang dikucir ekor kuda. Sepertinya
acuh saja pemuda ini tak memandang pada Pan-
du, malah tersenyum-senyum dengan pandangan
ke jurusan lain sambil berkipas-kipas.
"Nasibku mujur sekali. Dicari-cari ke selu-
ruh pelosok tahu-tahu bertemu di sini. Perhitun-
gan waktu silam belum selesai!" paras Pandu
mendadak berubah. Dagunya mengembang den-
gan geraham gemeletak saling beradu.
"Pendekar Mata Keranjang jahanam! Seka-
rang tiba waktunya penentuan di antara kita yang
berhak penghuni kubur terlebih dahulu!"
Pemuda berbaju hijau yang bukan lain me-
mang Pendekar Mata Keranjang 108 palingkan wa-
jah. Bibirnya masih tetap sunggingkan senyum.
Sementara tangan kanannya pulang balik di depan
dada berkipas-kipas. Dari mulutnya tidak terden-
gar sahutan suara. Hanya sepasang matanya kini
memperhatikan Pandu dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Tiba-tiba dari mulutnya mengumbar
suara tawa keras membahana.
"Pandu! Tidak pantas rasanya kita yang ma-
sih muda-muda ini harus membicarakan kubur-
kubur! Terus terang aku ngeri mendengarnya. Ba-
gaimana kalau penentuan itu kita tunda saja" Ke-
cuali kalau kau memang sudah bosan dengan ke-
nikmatan hidup! Apakah kau sudah bosan..."!"
Pandu tengadahkan kepala. Dari mulutnya
terdengar tawa menggembor keras.
"Aku tahu, kau takut padaku! Hmm....
Baiklah kalau itu maumu! Namun kau harus cepat
tinggalkan tempat ini! Juga tinggalkan arca yang
ada padamu!"
"Hmm.... Begitu" Dengar, Pandu! Kau ter-
lambat. Benda itu telah kuberikan pada seorang
gadis cantik! Kau tahu, sebagai orang muda, kita tentu punya selera sama!"
"Hmm,... Jika begitu yang bisa meninggal-
kan tempat ini hanya nyawamu!" seru Pandu seraya tarik ke belakang kaki kanannya
sementara tangan kiri kanan dikembangkan siap lancarkan
pukulan. "Mana bisa begitu..." Aku justru harus me-
ninggalkan tempat ini dengan membawa gadis
berbaju hijau itu! Aku pun tertarik padanya!" kata Aji masih dengan senyum-
senyum. Sementara itu di balik pohon, mendengar
percakapan orang, tengkuk Singa Betina Dari Ti-
mur makin merinding. Keringat dingin makin
membasahi sekujur tubuhnya. "Malang benar nasibku. Lepas dari mulut singa, masuk
ke mulut harimau! Bidadari Bertangan Iblis.... Jika demi-
kian nasibku, aku memilih menyusulmu...," kembali dari sudut mata gadis cantik
ini merebak air bening. Di seberang, mendengar kata-kata Pendekar Mata
Keranjang, Pandu alias Gembong Raja Muda
pelototkan sepasang matanya. Dia tampaknya ma-
sih belum memulai serangan. Karena diam-diam
dalam hati pemuda ini timbul juga rasa jerih.
"Dia telah berhasil mendapatkan arca. Arca
yang dikabarkan mempunyai isi jurus-jurus hebat.
Hmm.... Menurut perhitungan, telah satu purnama
arca itu ada di tangannya. Berarti dia telah berhasil mempelajari isinya....
Sialan! Tapi semua ini belum terbukti. Apa yang perlu ditakutkan...?"
"Kau tampaknya memikirkan sesuatu. Ada-
kah kau menimbang-nimbang tawaranku..." Kura-
sa itu memang lebih baik! Setelah aku, kau bisa
memakai gadis itu! Sepuasmu!" berkata Aji setelah dilihatnya Pandu terdiam
hingga beberapa lama.
"Keparat! Kau boleh ambil gadis itu! Tapi
tinggalkan arca itu!"
Pendekar 108 kembali keluarkan tawa pan-
jang, malah sambil kerjap-kerjapkan matanya.
"Tawaranku tidak begitu! Aku meninggalkan
tempat ini dengan membawa gadis itu dan tanpa
syarat apa pun!"
Gembong Raja Muda angkat kepalanya.
"Meski kau sekarang bernama besar, jangan mimpi kau bisa mengatur ku! Lekas
serahkan arca itu
padaku! Atau kau akan mampus tanpa merasakan
gadis itu!"
Pendekar 108 gelengkan kepalanya beru-
lang kali. "Tidak bisa. Tidak bisa.... Aku memang tak
bermimpi bisa mengatur mu. Tapi kau harus turu-
ti tawaranku! Kau tahu kata harus, bukan..."!"
"Kau benar-benar minta tewas!" hardik
Gembong Raja Muda. Kedua tangannya dihantam-
kan ke arah Pendekar 108. Bersamaan dengan itu
gelombang angin dahsyat yang menghamparkan
hawa panas serta suara menggemuruh melesat.
Hebatnya, larikan-larikan bersitan sinar hitam melesat mendahului gelombang
angin. Di depan, Pendekar Mata Keranjang 108
masih tampak tegak seakan terkesima, membuat
Gembong Raja Muda tersenyum dan berteriak.
"Mampus kau!"
Namun begitu setengah depa lagi pukulan
Gembong Raja Muda menghajar tubuh Pendekar
108, tiba-tiba dengan gerakan cepat murid Wong
Agung angkat kaki kanannya. Lalu dengan men-
gandalkan kaki kiri sebagai tumpuan tubuh, dia
memutar tubuhnya dan tangan kanannya mene-
bar kipas. Werrrr! Sinar putih berkilau membentuk lingkaran
kipas menebar dengan keluarkan suara laksana
gelombang ombak.
Di seberang, senyum Gembong Raja Muda
lenyap seketika. Karena baik bersitan sinar hitam serta gelombang angin yang
keluar dari kedua tangannya tertahan di udara, malah ketika Pendekar
108 mendorong tangan kirinya, bersitan sinar hi-
tam serta gelombang angin mental balik dan kini
menyambar ke arahnya!
Dengan menindih rasa terkejut, Gembong
Raja Muda cepat jejakkan sepasang kakinya ke ta-
nah. Tubuhnya melenting ke udara. Namun betapa
terkejutnya murid Bawuk Raga Ginting ini. Karena
ternyata Pendekar 108 telah tebarkan kipasnya
kembali! Hingga dari bawah dan atas tampak ge-
lombang angin menyambar ke arahnya!
"Jahanam bangsat!" maki Gembong Raja
Muda dari atas udara. Untungnya dalam keadaan
yang demikian, dia masih sempat putar otak un-
tuk menghindar. Maka dengan kerahkan tenaga
dalamnya, dia sentakkan bahunya ke belakang
hingga tubuhnya tertarik deras ke belakang. Dan
tanpa membuang waktu lagi, dia segera hantam-
kan kembali kedua tangannya.
Blarrr! Terdengar ledakan dahsyat tatkala dua pu-
kulan bertemu di udara. Pendekar 108 tampak
tersurut dua tindak, sementara Gembong Raja
Muda terus melesat ke belakang. Dan begitu di be-
lakangnya tampak sebatang pohon, kedua kakinya
disentakkan ke belakang!
Braakkk! Pohon besar itu berderak dan tumbang.
Namun bersamaan dengan itu tubuh Gembong Ra-
ja Muda membal balik dan meleset ke depan den-
gan cepat! "Edan! Ternyata ilmunya telah bertambah
dengan pesat!" gumam Pendekar 108 seraya tengadah mencari sosok Gembong Raja
Muda, karena begitu cepatnya lesatan Gembong Raja Muda hing-
ga sosoknya seakan lenyap!
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 tenga-
dah mencari, tiba-tiba Gembong Raja Muda telah
menerjang ke arahnya. Kedua kakinya melejang
sementara kedua tangannya siap menghantam ke
arah kepala dari atas!
Karena demikian dekatnya sosok Gembong
Raja Muda, hingga terlalu beresiko jika membuat
gerakan menghindar. Berpikir sampai di situ, Pen-
dekar 108 takupkan kipasnya. Kakinya dibanting-
kan ke atas tanah. Dan saat tubuhnya membum-
bung satu tombak di atas udara, kedua tangannya
dihantamkan ke depan memapak hantaman kedua
tangan lawan! Terdengar benturan keras ketika dua pa-
sang tangan beradu di udara. Tangan Pendekar
108 maupun tangan Gembong Raja Muda terlihat
sama-sama mental ke belakang. Namun kejap itu
juga Gembong Raja Muda kerahkan tenaga dalam
lalu hantamkan kembali kedua tangannya. Melihat
hal itu murid Wong Agung tak tinggal diam. Tena-
ga dalamnya dikerahkan pada kedua tangannya
lalu dihantamkan pula ke depan! Hal demikian ter-
jadi berulang-ulang di udara! Hingga saat itu berulang-ulang terdengar suara
benturan. Dan baru
terhenti tatkala terdengar suara pekikan lengking dari mulut Gembong Raja Muda
bersamaan dengan terpentalnya tubuhnya ke belakang lalu jatuh
terkapar di atas tanah!
Di depan, bersamaan dengan terpentalnya
tubuh Gembong Raja Muda, Pendekar 108 terlihat
tubuhnya terputar lalu menukik dengan deras ke
bawah. Untung murid Wong Agung ini masih sem-
pat membuat gerakan jumpalitan, hingga meski
terjatuh namun dengan posisi kaki kanan tertekuk
sebatas lutut, sementara kaki kiri lurus sejajar tanah. Sejenak Pendekar Mata
Keranjang 108 ge-
leng-gelengkan kepalanya. Lalu tangan kanannya
kembali berkipas-kipas, dari mulutnya terdengar
ucapan. "Pandu! Semasa pikiranku masih jernih, le-
kas tinggalkan tempat ini! Juga gadis itu! Kau bo-
leh pergi hanya berbekal tubuh gurumu!"
Gembong Raja Muda keluarkan seringai bu-
ruk. Dari hidungnya terdengar suara dengusan ke-
ras. Sambil menahan sakit pada kedua tangannya
yang tampak merah kehitaman, dia sengatkan se-
pasang matanya pada Aji.
"Bangsat keparat! Kau tak bisa begitu saja
memerintahku. Aku belum kalah!" habis berkata begitu, Gembong Raja Muda tekankan
kedua sikunya ke atas tanah. Tubuhnya yang tergeletak
mendadak sontak membumbung ke udara! Dan
tahu-tahu Pendekar 108 merasakan desiran angin
di atas kepalanya. Bersamaan dengan itu sepasang
kaki telah menerjang deras dengan keluarkan deru
dahsyat. "Sapu Bumi!" seru Pendekar Mata Keran-
jang mengenali pukulan kaki Gembong Raja Muda.
Seraya berseru, murid Wong Agung cepat tarik tu-
buhnya ke belakang hingga tubuhnya sejajar ta-
nah. Dan secepat itu pula kedua kakinya diangkat
dan dihantamkan ke atas.
Prakkk! Praakkkk!
Gembong Raja Muda melengak kaget. Ter-
jangan kedua kakinya yang memang memainkan
jurus 'Sapu Bumi' dapat dipatahkan Pendekar
108. Bahkan tubuhnya mencelat kembali ke bela-
kang dan terhempas di atas tanah!


Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Keparat! Dari mana dia mengenali puku-
lanku" Dan dia juga mainkan jurus 'Sapu Bu-
mi'...," gumam Gembong Raja Muda seraya usap dadanya yang terasa bergetar dan
melirik pada kedua kakinya yang tampak menggembung merah!
Di seberang, Pendekar 108 terlihat meringis.
Kedua kakinya terasa berdenyut sakit dan tampak
membiru. Memang, Aji baru saja memapak seran-
gan Gembong Raja Muda dengan jurus 'Sapu Bu-
mi' yang berhasil dipelajarinya dari Gongging Ba-
ladewa, yang sebenarnya adalah guru Bawuk Raga
Ginting. Setelah kerahkan tenaga dalam untuk men-
gatasi rasa sakit pada kaki dan tangannya, Aji ma-ju dua tindak dan berkata.
"Pandu! Batas kesabaranku telah tipis!
Waktumu tinggal sedikit lagi. Kalau kau tidak
tinggalkan tempat ini, jangan menyesal jika kau
akan tewas bersama gurumu!" gertak Pendekar
108 sambil simpan kipasnya.
Gembong Raja Muda yang diam-diam juga
merasa kecut segera bangkit terhuyung-huyung.
Namun dia tak segera melangkah pergi, malah se-
pasang matanya memandang tajam pada Pendekar
108. "Tunggu apa lagi?" kata Aji dengan tersenyum, meski senyum itu sedikit
dipaksakan kare-
na merasakan sakit pada kedua kakinya.
Gembong Raja Muda melengos dengan mata
berkilat. Lalu melangkah ke arah Bawuk Raga
Ginting yang digeletakkan di semak belukar.
Bersamaan dengan melangkahnya Gembong
Raja Muda, Pendekar 108 berkelebat ke balik po-
hon di mana Singa Betina Dari Timur berada.
Begitu Singa Betina Dari Timur tahu siapa
adanya orang yang muncul, dadanya berdegup
kencang. Bibirnya mengatup rapat-rapat. Sepa-
sang matanya memperhatikan dengan pandangan
aneh. "Dia.... Apakah.... Apakah dia juga akan berbuat seperti Gembong Raja
Muda..." Mendengar percakapannya tadi.... Ah, tak kusangka.... Kalau dia memang
hendak berniat tidak baik, aku..,,"
gadis ini tidak teruskan kata hatinya karena Pen-
dekar Mata Keranjang 108 telah berdiri di sam-
pingnya seraya tersenyum.
"Singa Betina Dari Timur.... Kau tak usah
takut! Aku akan membebaskan mu!"
Singa Betina Dari Timur tampak sipitkan
sepasang matanya. Meski wajahnya tampak agak
cerah, namun kebimbangan belum lenyap juga da-
ri parasnya. Malah ketika Aji bergerak jongkok dan ulurkan tangannya untuk
membebaskan totokan-nya, gadis ini pejamkan sepasang matanya. Dan
dalam hati berkata.
"Kalau kau berbuat yang tidak-tidak, aku
lebih baik mati!"
Singa Betina Dari Timur merasa jari-jari
tangan menekan bagian-bagian tubuhnya, dan be-
gitu gerakan jari-jari terhenti, tubuhnya bisa digerakkan.
Begitu tubuhnya bisa digerakkan, gadis ini
cepat bangkit dan dengan paras merah dadu dia
berkata. "Terima kasih, Pendekar...."
"Simpan dulu ucapanmu itu. Kita harus ce-
pat tinggalkan tempat ini!" kata Pendekar 108 seraya berkelebat dari balik
pohon. Singa Betina Dari Timur segera menyusul.
Namun baru saja injakkan kaki masing-
masing tak jauh dari makam, sesosok bayangan
berkelebat, dan berdiri di hadapan Pendekar 108.
DELAPAN Pendekar Mata Keranjang 108 kerutkan da-
hi. Sepasang matanya mengawasi sosok di hada-
pannya. Dia adalah seorang gadis muda berparas
cantik. Mengenakan pakaian warna coklat berga-
ris-garis. Sepasang matanya bundar tajam. Ram-
butnya panjang sebahu. Bentuk tubuhnya bagus
dengan dada membusung dan pinggul besar.
Tiba-tiba mulut murid Wong Agung ini
membuka keluarkan seruan begitu dapat menge-
nali siapa adanya gadis di hadapannya.
"Sakawuni!" seraya berseru Aji melangkah mendekati. Namun baru saja satu tindak,
gadis di hadapannya yang bukan lain memang Sakawuni
dongakkan kepala sambil membentak garang.
"Tetap di tempatmu, Pendekar! Dan jangan
bergerak tanpa perintahku!"
"Sakawuni! Kau tidak sedang bergurau, bu-
kan..."!" kata Pendekar 108 seakan masih tak percaya dengan sikap Sakawuni.
Malah mungkin diki-
ra bergurau, Aji teruskan langkah seraya terse-
nyum-senyum. Sakawuni gerakkan kepalanya lurus ke de-
pan. Sepasang matanya melotot tajam. "Sekali lagi maju selangkah, putus
nyawamu!" hardik Sakawuni dengan tarik kedua tangannya ke belakang
seakan hendak lancarkan serangan.
Meski masih dengan pandangan tak per-
caya, Pendekar 108 hentikan langkah. Sepasang
matanya melebar dan menyipit memperhatikan
Sakawuni. "Aneh. Kenapa sikapnya mendadak beru-
bah...?" Aji membatin seraya gelengkan kepala.
Tanpa mempedulikan keheranan Pendekar
108, Sakawuni palingkan wajah menghadap Singa
Betina Dari Timur yang berdiri tak jauh darinya.
"Gadis muda! Siapa kau..."!" tegur Sakawuni dengan suara keras. Sepasang matanya
menga- wasi Singa Betina Dari Timur dari bawah sampai
atas. Yang dipandangi sejenak tampak bingung.
Matanya silih berganti memandang ke arah Pende-
kar 108 lalu pada Sakawuni.
"He...! Kau punya mulut, kenapa tidak sege-
ra jawab pertanyaan orang"!" Sakawuni kembali membentak tatkala Singa Betina
Dari Timur tidak
segera menjawab.
Karena dibentak, Singa Betina Dari Timur
balas menatap. Dua pasang mata bentrok. Namun
sesaat kemudian, Singa Betina Dari Timur alihkan
pandangannya seraya berkata. Nadanya pun tinggi
dan agak bergetar karena menahan jengkel.
"Siapa diriku tak usah kau ketahui! Kau
sendiri siapa..."!"
Sakawuni ikut-ikutan alihkan pandangan-
nya pada jurusan lain. Mulutnya keluarkan tawa
perlahan bernada mengejek.
"Telingamu tadi sudah dengar orang me-
manggil. Apa perlu ku ulangi..." Atau telingamu
memang tuli"!"
Paras wajah Singa Betina Dari Timur beru-
bah merah padam. Wajahnya kembali berpaling
dan matanya memandang Sakawuni. Mulutnya
membuka hendak berkata, namun sebelum uca-
pannya terdengar, Sakawuni telah berkata.
"Apa hubunganmu dengan manusia keparat
itu"!" telunjuk Sakawuni lurus-lurus memandang Pendekar Mata Keranjang, membuat
Aji usap-usap hidungnya seraya membatin.
"Ah, apa karena ada gadis ini hingga sikap-
nya berubah..." Sialan betul! Sebelum perkaranya
berlarut panjang, aku harus menjelaskan siapa
adanya Singa Betina Dari Timur...," Aji angkat tangan kanannya memberi isyarat
pada Singa Betina
Dari Timur agar tidak berkata. Namun baru saja
murid Wong Agung ini hendak bicara, Sakawuni
telah mendahului berkata tanpa menoleh.
"Pendekar Mata Keranjang! Kau jangan ikut
campur! Tunggu, aku nanti juga akan bicara den-
ganmu!" "Walah, kenapa bisa jadi begini...?" gumam Aji sambil tarik kuncir rambutnya dan
geleng-geleng kepala.
Sementara itu di seberang agak jauh, Gem-
bong Raja Muda yang sedang melangkah ke arah
Bawuk Raga Ginting hentikan langkahnya begitu
mendengar Pendekar 108 menyebut nama Saka-
wuni. Dan secepat kilat pemuda ini balikkan tu-
buh. Sepasang matanya memandang tak berkedip
ke arah Sakawuni.
"Sakawuni..." Hmm.... Telah lama kita tak
jumpa. Nyatanya kau makin menarik!" Niatnya untuk segera pergi dengan membawa
serta gurunya dia urungkan. Dia tegak menunggu seraya terus
memperhatikan. Dan ketika terjadi percakapan an-
tara Sakawuni, Pendekar Mata Keranjang 108, dan
Singa Betina Dari Timur, bibirnya sunggingkan
senyum. "Hmm.... Sakawuni tampaknya berubah.
Dan nada-nadanya telah terjadi masalah antara
dia dengan pendekar keparat itu! Aku akan me-
nunggu...," Gembong Raja Muda lantas tegak diam seraya memandang ke arah
Sakawuni. "He...! Apa hubunganmu dengan keparat
itu"!" Sakawuni ulangi pertanyaannya pada Singa Betina Dari Timur.
"Soal hubunganku, juga tak berhak kau ke-
tahui! Lagi pula apa pedulimu ingin tahu urusan
orang"!" jawab Singa Betina Dari Timur dengan suara lantang.
Sakawuni angkat kepalanya mendongak, la-
lu tertawa panjang.
"Silat lidahmu boleh juga. Kau tunggulah di
situ! Aku akan bicara dengan temanmu itu! Kalau
kau nanti nyata-nyata bersekongkol, jangan harap
bisa tinggalkan tempat ini dengan masih memba-
wa nyawa!" Sakawuni lantas berpaling pada Pendekar 108.
"Hmm.... Manusia ini benar-benar gila! Ke
mana-mana selalu bersama gadis cantik! Apa dia
juga kekasihnya" Mungkin gadis itu yang mem-
buat sikapnya berubah saat bertemu denganku te-
rakhir kali dulu. Ah, kenapa aku pikirkan hal itu"
Bukankah aku mencarinya untuk urusan darah
Pendekar Ageng Panangkaran?" Sakawuni beliakkan sepasang matanya lalu berkata.
"Pendekar Mata Keranjang! Telah cukup bi-
cara dustamu selama ini. Aku menyesal mengapa
begitu percaya dengan segala bualanmu! Kau nya-
tanya tak lebih dari orang hina yang berkedok sok suci!" Pendekar 108 jadi
terkesiap mendengar ucapan Sakawuni yang belum dimengerti mak-sudnya.
"Sakawuni! Kau bicara apa...?"
Sakawuni tertawa panjang, hingga dada dan
bahunya terlihat berguncang-guncang.
"Kau tak usah menutup-nutupi perbuatan-
mu, Pendekar! Atau kau merasa malu perbuatan-
mu diketahui gadismu itu"!"
Pendekar 108 yang masih belum tahu arah
pembicaraan Sakawuni gelengkan kepalanya per-
lahan. Sementara Singa Betina Dari Timur merah
dadu parasnya mendengar dirinya disebut sebagai
gadis Pendekar 108.
"Sakawuni.... Kau tidak...," Pendekar Mata Keranjang 108 tidak meneruskan
ucapannya, karena saat itu juga Sakawuni telah menyahut den-
gan suara lantang.
"Jangan menyela! Aku belum selesai bicara!"
tubuhnya sedikit berguncang serta matanya men-
delik pertanda amarahnya telah meluap.
"Pendekar Mata Keranjang! Sebagai laki-laki
kuharap kau mengakui perbuatanmu! Dan siap
pula menerima ganjarannya!"
Pendekar 108 yang bingung dengan segala
ucapan Sakawuni tampak sedikit jengkel. Dengan
suara keras akhirnya dia berkata.
"Sakawuni! Dari tadi kudengar kau bicara
tak karuan. Katakan terus terang apa masalah-
nya!" "Laki-laki bodoh!" ujar Sakawuni. "Kalau kau masih tak juga mengerti,
pasang telingamu
baik-baik! Bukankah kau yang membunuh Ageng
Panangkaran"!"
Pendekar murid Wong Agung ini terperan-
gah kaget. Kedua kakinya sampai tersurut dua
langkah ke belakang. Dahinya mengernyit semen-
tara sepasang matanya mengerjap-ngerjap seakan
tak percaya "Sakawuni! Meski aku laki-laki bodoh, na-
mun pantang bagiku melakukan hal sekeji itu. Apa
lagi Ageng Panangkaran adalah sahabat dari
Eyang guruku! Kau jangan memperturutkan uca-
pan orang!"
Sakawuni keluarkan dengusan. Senyumnya
tersungging sinis. Seraya pancangkan kedua tan-
gan di pinggang, dia berkata tanpa memandang.
"Dulu kau masih berkata begitu padaku
dan aku bisa percaya. Namun untuk sekarang,
Jangan harap aku mempercayai kata-katamu! Dan
perlu kau ketahui. Setelah kau mampus, kedua
gurumu pun akan menyusul!"
"Sialan benar! Siapa gerangan bangsatnya
yang telah meniupkan hal tak benar ini" Kalau ti-
dak segera dicegah, hal ini akan berlarut-larut....
Apakah Pandu yang mengatakan hal ini...?" Pendekar 108 lantas palingkan wajahnya
pada Pandu yang masih terlihat tegak diam seraya memandang
dan mendengarkan percakapan.
"Sakawuni, apa bangsat itu yang merecoki
jalan pikiranmu hingga kau berkata demikian...?"
kata Pendekar 108 sambil arahkan telunjuknya
pada Pandu. Sakawuni tertawa mengejek. Masih tanpa
memandang dia menjawab.
"Kalau hanya omongannya dia, belum tentu
aku percaya! Sekarang tak usah banyak mulut.


Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akui saja perbuatanmu! Dan bersiaplah menerima
tebusan tetes darah Ageng Panangkaran!"
"Hmm.... Pasti ada orang lain yang mem-
pengaruhinya...," Aji membatin lalu berkata. "Sakawuni, marilah kita bicara
baik-baik. Biar masa-
lahnya jelas dan tak ada silang sengketa di antara kita!" "Aku sudah bosan
dengar omongan mu!
Orang culas sepertimu pasti pandai bersilat lidah untuk menutupi kesalahan!
Sekarang jawab saja
ya atau tidak! Tapi ingat! Hal itu tidak bisa men-gubah keputusanku!"
Sebenarnya dalam hati gadis ini masih ingin
bicara baik-baik dahulu, namun begitu bertemu
dan dilihatnya Pendekar 108 bersama seorang ga-
dis, maka rencananya semula terlupakan. Malah
yang berkecamuk dalam dadanya adalah rasa
cemburu. Karena dalam dasar hati gadis yang se-
karang telah diangkat murid oleh Manusia Titisan
Dewa ini sebenarnya masih menyukai Pendekar
108. "Sakawuni! Kau jangan termakan fitnah!"
"Kau memang terlalu banyak bacot!" seru Sakawuni. Habis berkata begitu dia
keluarkan bentakan keras lalu berkelebat ke arah Pendekar
108. Wuuttt! Wuuttt!
Sakawuni hantamkan kedua tangannya
yang dikembangkan. Saat itu juga dari telapak
tangan kanannya melesat selarik sinar hitam den-
gan menebar hawa panas, sedang dari telapak
tangan kirinya melarik sinar putih yang menebar-
kan hawa sangat dingin. Inilah ilmu yang berhasil dipelajarinya dari Manusia
Titisan Dewa yang di-namakan jurus 'Menggiring Sinar Menebar Hawa'.
Melihat Sakawuni langsung keluarkan jurus
andalan, jelas sekali bahwa gadis ini ingin segera menyelesaikan masalah.
Di depan, Pendekar 108 tampak sedikit ter-
kejut. Dia tak menduga jika Sakawuni telah maju
begitu pesat. Namun murid Wong Agung ini tidak
mau bertindak ayal. Meski dia tidak tahu keheba-
tan jurus yang sedang dilancarkan Sakawuni, na-
mun melihat menggebunya serangan serta hawa
yang ditebarkan, dia sadar jika jurus serangan itu berhawa maut!
Dengan menahan rasa terkejut, Pendekar
108 segera melompat ke samping. Sinar hitam dan
putih lolos menerabas tempat kosong, namun te-
baran hawa yang ditebarkan Sakawuni sempat
menyambar pakaian bagian bawahnya. Dan beta-
pa terperangahnya murid dari Karang Langit ini,
karena begitu melirik terlihat pakaian bagian ba-
wahnya telah hangus! Dan robek besar!
Hebatnya melihat serangannya tidak meng-
hajar sasaran, Sakawuni langsung menyergap ke
depan dengan meloncat. Kedua tangannya kembali
dihantamkan. Kembali sinar hitam dan putih me-
larik, sementara panas dan dingin menebar!
Karena jaraknya begitu dekat, maka tak ada
lagi tempat untuk menghindar bagi Pendekar 108.
Hingga satu-satunya jalan adalah memapak se-
rangan. Sadar akan hal ini murid dari Karang Lan-
git ini segera putar tubuhnya dan ketika membalik kembali tangan kanannya
menebarkan kipas ungunya! Sementara tangan kirinya mendorong pelan
ke depan. Sinar putih berkilau menebar membentuk
kipas segera melesat ke depan, sedangkan dari
tangan kirinya menyambar angin kencang yang ke-
luarkan suara menggemuruh dahsyat!
Namun betapa terkejutnya Pendekar dari
Karang Langit ini karena semula menduga seran-
gan Sakawuni akan tertahan di udara. Dugaannya
ternyata meleset. Larikan sinar hitam dan putih terus menerobos tebaran sinar
yang membentuk ki-
pas dan kini telah setengah depa di hadapannya.
"Sialan! Siapa gerangan yang telah menu-
runkan ilmu keparat ini pada Sakawuni?" Aji membatin seraya cepat rebahkan
tubuhnya ke belakang hingga sejajar tanah. Kedua tangannya lan-
tas didorong kuat-kuat ke atas!
Blarrr! Terdengar letupan dahsyat begitu hantaman
kedua tangan Pendekar 108 yang keluarkan angin
deras melesat melabrak serangan Sakawuni. Na-
mun murid Wong Agung ini tubuhnya segera ber-
gulingan seraya dari mulutnya terdengar seruan
pelan. Begitu gulingan tubuhnya terhenti, Pende-
kar 108 segera melirik kedua tangannya yang tera-
sa nyeri. Ternyata kedua tangannya telah merah
kebiruan dan gemetaran. Dia cepat kerahkan te-
naga dalam untuk mengurangi rasa sakit. Semen-
tara Sakawuni cepat melompat mundur sambil
membuat gerakan berjumpalitan dan akhirnya
mendarat di atas tanah dengan kaki terpentang.
Namun raut wajahnya tak dapat menyembunyikan
rasa sakit. Dan kala matanya memperhatikan, ga-
dis ini juga terkejut. Kedua tangannya telah berubah menjadi keputihan! Dan
terasa panas! Melihat kejadian ini, Gembong Raja Muda
yang sedari tadi memperhatikan diam-diam berka-
ta dalam hati. "Hmm.... Sakawuni tampaknya telah beru-
bah pikiran. Siapa gerangan yang membuatnya
begitu! Dan astaga! Ilmunya demikian cepat ber-
tambah.... Hm.... Ini saatnya aku ikut serta!" habis berpikir begitu, dia segera
berkelebat. Namun gerakannya tertahan karena tiba-tiba saja Singa Be-
tina Dari Timur telah menghadangnya.
"Laki-laki busuk! Kau harus mampus di
tanganku!" seraya berseru kedua tangannya bergerak mendorong ke depan.
Serangkum angin dahsyat melesat. Di ha-
dapannya Gembong Raja Muda hanya memandang
seraya tersenyum sinis. Nyali pemuda ini telah
Pusaka Negeri Tayli 4 Duel 2 Jago Pedang Pendekar 4 Alis Buku 3 Karya Khulung Geger Dunia Persilatan 18
^