Misteri Penari Ronggeng 1
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng Bagian 1
MISTERI PENARI RONGGENG Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa Izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108 dalam episode:
Misteri Penari Ronggeng 114 hal.
1 "Biar angin bangun dan mengintai menggalang iringan awan
Sibak timbunan dunia dengan darah!
Kaulah panjang tanganku!
Kaulah lidah merah ku!
Genggamlah semuanya, agar mereka tahu
Darah adalah lambang kematian!"
Sebuah syair melantun indah dengan irama tu-
run naik terdengar mengalun dari sebuah gubuk di
tengah Hutan Batu Licin. Sebuah hutan sunyi dan se-
nyap yang sebenarnya jarang dirambah manusia. Na-
mun entah kenapa, di tengah-tengah hutan itu justru
berdiri sebuah gubuk. Mungkin saja penghuninya sen-
gaja memilih tempat sepi seperti ini dengan alasan tertentu. Sebuah sendang yang
cukup luas dan berair
jernih, menjadi pemandangan indah satu-satunya.
Keindahan itu makin memikat, melihat gubuk yang
dinding, atap, dan alasnya terbuat dari daun-daun jati hutan berdiri di atasnya.
Gubuk itu ditopang oleh empat buah batang kayu yang tidak begitu besar yang
ditancapkan ke dasar sendang.
Untuk mencapai gubuk, tidak tampak jembatan
penghubung atau rakit, kecuali dua lembar daun jati
yang mengambang. Satu di tepian sendang, sedang sa-
tunya di sebelah bawah gubuk.
Bukan hanya itu saja. Ternyata di antara kera-
patan pepohonan hutan dengan sendang, dipisahkan
sebuah jurang lebar dan curam. Sehingga jika dilihat dari atas, yang terlihat
hanya lekukan tanah hitam pe-
kat. Dan anehnya" Jembatan penghubung di atas ju-
rang hanyalah berupa seutas rotan yang besarnya ti-
dak lebih dari ibu jari kaki.
Sementara itu, suara lantunan syair tadi seper-
tinya datang dari kejauhan. Namun, gemanya menera-
bas hingga ke dasar jurang!
Bahkan begitu gema lantunan syair lenyap, se-
bersit sinar biru melesat ke atas. Sesaat sinar itu berubah merah dengan arah
menukik ke bawah. Lalu....
Blarrr! Hutan belantara sunyi itu seketika bagai ter-
hempas gempa dahsyat. Beberapa pohon besar terden-
gar bergemeretak, lalu tumbang dengan kulit kayu
mengelupas dan daun mengelinting merah.
Belum lagi gema suara memekakkan telinga itu
hilang, terdengar suara tawa mengekeh panjang dari
dalam gubuk. Sebuah suara berat dan serak dari
penghuni gubuk. Menilik suaranya, jelas itu berasal
dari mulut seorang laki-laki tua.
Memang, di dalam gubuk itu tengah duduk
bersila seorang laki-laki tua berpakaian serba hitam.
Rambutnya yang panjang dan berwarna putih selu-
ruhnya, terlihat acak-acakan tak terurus. Mulutnya
hampir tak memiliki bibir, sehingga giginya yang berwarna kuning terlihat jelas.
Dan yang membuat wa-
jahnya semakin angker adalah alisnya yang tebal. Se-
hingga matanya yang menyipit seperti menjorok ke da-
lam. Bahkan dari kedua matanya seperti menyorot si-
nar kemerahan. Di depan laki-laki tua ini, duduk seorang gadis
cantik berpakaian tipis warna putih. Begitu ketat pakaian yang dikenakan,
sehingga dadanya yang mem-
busung indah bagai hendak melompat keluar.
"Lintang Sari! Melihat pukulanmu telah sem-
purna, rasanya bekalmu untuk mendapatkan kembali
hakmu terhadap tahta Kerajaan Malowopati yang te-
rampas, sudah lebih dari cukup. Bagaimanapun ca-
ranya, tahta itu harus kembali ke tanganmu! Maka
berbekal kepandaian yang sekarang kau miliki serta
senjata alami yang melekat di dirimu, aku yakin tahta kerajaan yang hilang itu
akan kau dapatkan."
Sebentar laki-laki tua itu menghentikan kata-
katanya yang bernada penuh dendam. Tarikan napas-
nya kelihatan memburu, membayangkan cita-cita yang
diyakini bakal terwujud lewat tangan gadis di depan-
nya yang di panggil Lintang Sari.
"Namun bukan berarti jalan untuk menggapai
tahta itu akan mudah. Perjalananmu nanti sangat be-
rat dan membutuhkan keyakinan, pengorbanan, serta
keberanian! Karena di tengah-tengah perjalananmu
akan sarat berbagai rintangan. Dan karena kaulah sa-
tu-satunya pewaris syah kerajaan yang tersisa, maka
kau harus dapat mempergunakan segala celah yang
dapat diterobos dengan kekuatan dan kecerdikan! Bila tidak, tidak mustahil cita-
cita mu hanyalah sebuah
impian! Bahkan bisa jadi merupakan kenyataan dari
mimpi buruk! Ingat, Lintang Sari! Tinggal kaulah satu-satunya kekuatan yang
tersisa! Aku yang tua ini, tak bisa lagi membantumu. Aku hanya dapat melihat
dari jauh. Syukur kalau diberi usia panjang, aku bisa menjadi salah seorang saksi
bila kelak kau naik tahta menjadi seorang ratu!" lanjut orang tua bertampang
angker ini, penuh tekanan.
Sementara, gadis cantik berpakaian tipis ini
hanya tertunduk menekuri lantai gubuk yang hanya
terbuat dari daun-daun jati. Dan bila lantai ini tidak ambrol, menjadi pertanda
kalau ilmu meringankan tubuh kedua orang Ini sudah sangat, tinggi.
"Dan satu hal yang penting, Lintang Sari!" tambah orang tua itu. "Kau terlebih
dahulu harus menciptakan suatu kegemparan! Bantai dulu tokoh-tokoh
utama kerajaan. Juga tokoh-tokoh yang disegani saat
ini, baik dari golongan hitam atau golongan putih! Ini adalah sebagai tolok
ukur. Jika kau berhasil, maka jalan mu selanjutnya akan lebih ringan. Dan bila
tidak berhasil, muka jalan mu selanjutnya akan semakin berat. Karena jika kau
berhasil membuat kegemparan,
maka perhatian kerajaan akan terpusat pada satu ma-
salah! Saat itulah waktunya bagimu menelusup masuk
dalam kalangan istana. Pergunakan tarian dan dirimu
sebagai senjata, selain syair yang telah kau pelajari!"
"Segala amanat dan pesan Guru akan kuperha-
tikan!" sahut Lintang Sari singkat dan tegas. Nadanya berapi-api dan tinggi.
"Lintang Sari! Malam ini saatmu telah tiba!"
ujar laki-laki tua berwajah menyeramkan itu.
Dahi gadis bermata bulat dengan sorot tajam
ini terlihat sedikit berkerut pertanda terkejut.
"Maksud Guru...?" tanya Lintang Sari agak heran. Tujuh tahun kau berguru di
Hutan Batu Licin
dengan menyimpan impian dan harapan, juga memen-
dam bara! Malam ini, saat bagimu untuk memulai per-
jalanan menggapai impian dan melampiaskan bara!
Berangkatlah malam ini...! Ingat! Buatlah keguncan-
gan! Lalu, masuklah melalui celah-celah yang keropos!
Gunakan segala cara, agar di antara putra-putra selir dan petinggi kerajaan
timbul saling mencurigai!" tandas laki-laki tua ini, penuh tekanan.
"Tapi..., kenapa harus malam ini, Guru?" tanya Lintang Sari lagi.
"Lintang Sari! Tujuh tahun bukan waktu yang
pendek. Maka jangan lagi beri kesempatan pada pen-
guasa sekarang untuk memperkokoh barisan! Itu akan
membuat jalan mu bertambah berat!"
"Jika demikian aku akan menurut perintahmu.
Guru...!" jawab Lintang Sari berat.
Sepasang mata gadis ini yang berbinar tajam
memandang tajam laki-laki tua di hadapannya. Dan
saat mata itu berkedip dan membuka lagi, air bening telah bergulir dari sudut-
sudutnya. "Guru!" panggil Lintang Sari seraya beringsut, dan menjatuhkan wajahnya di kaki
gurunya. "Lintang Sari! Aku, Restu Palaran, tak suka me-
lihat orang menangis! Tangis adalah lambang kelema-
han! Padahal, yang akan kau hadapi adalah tantangan
yang membutuhkan kekuatan! Bangkitlah...!" ujar laki-laki di hadapan Lintang
Sari yang menyebut dirinya
Restu Palaran, setengah menegur.
Lintang Sari perlahan-lahan mengangkat kepa-
lanya. Sebentar kedua matanya yang masih mengelua-
rkan butiran air bening dikatupkan.
"Aku mengerti, Guru! Kelak jika urusan ini te-
lah selesai, aku akan datang untuk memboyong mu!
Muridmu mohon diri...."
Selesai berkata Lintang Sari menjura hormat,
lalu bangkit berdiri. Tubuhnya hendak berbalik, na-
mun.... "Sebentar. Lintang Sari!" tahan Restu Palaran.
Tangan kanan lelaki berwajah mengerikan ini mene-
puk tiang penyangga gubuk hingga terkelupas dan ber-
lubang. Dari dalam lubang, dikeluarkannya sebuah ko-
tak kecil berlapis emas. Dengan perlahan dan sedikit gemetar, Restu Palaran
membuka kotak. Seketika seberkas sinar hijau berkilauan langsung memancar dari
dalam kotak. "Lintang Sari! Ini adalah cincin bermata hijau
yang bernama Aswagitha! Sebuah pusaka kerajaan
yang hingga saat ini masih menjadi incaran orang-
orang. Aswagitha adalah lambang kerajaan! Siapa pun
yang memilikinya dialah yang berhak menyandang ge-
lar raja atau ratu! Selain sebagai lambang kerajaan, Aswagitha adalah sebuah
senjata sakti! Jika kau lantunkan 'Syair Pamungkas', maka segala kekuatan la-
wan akan tersedot dalam cincin ini.! Pakailah...!" ujar Restu Palaran, sambil
menjelaskan tentang cincin yang bernama Aswagitha.
Dengan mata terbelalak dan tangan gemetar.
Lintang Sari mengambil cincin bermata hijau dari da-
lam kotak yang ada di tangan gurunya. Dan dengan
hati-hati dikenakannya di jari manisnya.
Begitu cincin itu masuk, Lintang Sari tersentak.
Dadanya seketika seperti dibebani muatan yang berat, namun sebentar kemudian
lenyap. Selagi keterkejutannya belum sirna, mendadak Restu Palaran menja-
tuhkan dirinya, hingga wajahnya menyentuh alas gu-
buk. "Apa sebenarnya semua ini. Guru...?" tanya Lintang Sari tak habis pikir.
Restu Palaran mengangkat kepalanya. "Kau te-
lah memakai Aswagitha. Maka, berarti kau telah me-
nyandang gelar ratu, penguasa tunggal Kerajaan Ma-
lowopati. Aku adalah hambamu yang harus hormat,
dan berbakti!" kata Restu Palaran, bernada rendah.
Bibir Lintang Sari terkatup rapat. Sekuat tena-
ga dia menahan agar air matanya tak menetes.
"Guru! Waktunya belum tiba untuk melakukan
hal seperti itu. Aku adalah Lintang Sari. Dan kau adalah Restu Palaran, Guru dan
pengasuh ku! Tidak lebih, tidak kurang, meski aku kelak telah menjadi seorang
ratu!" kata gadis itu, dengan dada bergemuruh, karena rasa haru yang tak
tertahankan. Restu Palaran tersenyum lebar. "Itu adalah dua
hal yang berbeda. Ratu!" sergah Restu Palaran langsung mengubah panggilannya
pada Lintang Sari. "Dan siapa pun juga tak akan dapat menyatukannya....
Hm.... masih ada satu lagi. Ratu...!"
Dari balik pakaian hitamnya. Restu Palaran
mengeluarkan sebuah kotak kecil langsung diangsur-
kannya pada Lintang Sari.
"Di dalam kotak ini juga terdapat sebuah cin-
cin. Bentuk dan warnanya sama persis dengan Aswagi-
tha. Aku memang telah membuat tiruannya. Kuharap,
Ratu bisa mempergunakannya untuk lebih membuat
istana guncang!" jelas Restu Palaran.
Dengan sedikit terkejut, Lintang Sari menerima
kotak dan memasukkannya ke balik bajunya.
"Hm.... Tak kusangka jika kau telah memper-
siapkan segala sesuatunya. Kerja keras mu tak akan
kulupakan seumur hidupku...," kata batin Lintang Sari seraya memandang lekat-
lekat. "Ratu.... Saatnya telah tiba. Selamat jalan...."
kata Restu Palaran pelan namun tegas.
Sedikit berat, Lintang Sari berbalik kembali.
Kedua bibirnya nampak saling menggigit. Dan dengan
sekali kelebat, tubuhnya melesat turun, lalu mendarat di atas daun jati yang
mengambang di bawah gubuk.
Dengan sekali menggerakkan tubuh, Lintang
Sari telah membuat daun jati itu meluncur menuju te-
pian sendang. Namun belum mencapai tepi, tubuhnya
telah kembali berkelebat, dan mendarat di atas tanah.
Sejenak Lintang Sari berbalik, memandang ke
arah gubuk. Lamat-lamat dari gubuk terdengar lantu-
nan syair. "Malam berbalut sepi
Ciptakan bentuk mimpimu
Lahir mu akan guncang dunia
Dunia yang hilang dari tanganmu...."
Begitu gema lantunan syair berhenti. Lintang
Sari berbalik kembali. Dengan ringan, kakinya menje-
jak di rotan penghubung di atas jurang sambil mem-
buat beberapa putaran di udara, hingga akhirnya
sampai di seberang. Dan tanpa menoleh lagi, tubuhnya segera berkelebat, lalu
lenyap ditelan rimbunan pohon dan semak belukar hutan.
*** 2 Gubuk di tengah sendang belantara Hutan Ba-
tu Licin kembali disentak sunyi. Udara malam yang
merayap dingin menusuk tulang, membuat kesunyian
semakin mencekam. Namun semua itu rupanya tak
mampu menyurutkan dua sosok bayangan yang berke-
lebat cepat bagai kilat.
Menilik arahnya, jelas kalau dua sosok bayan-
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gan ini menuju sendang. Tatkala sampai pada batas
pepohonan hutan dengan jurang, mereka berhenti. Sa-
lah satu sosok sejenak memandang ke arah jurang, la-
lu menoleh ke arah bayangan di belakangnya yang te-
gak mematung sambil memandangi gubuk yang ada di
tengah-tengah sendang.
"Hm.... Orang tua itu rupanya cerdik juga da-
lam memilih tempat bersembunyi. Tujuh tahun diburu
dan di cari, baru kali ini tempat persembunyiannya di-
temukan. Kita harus cepat menyelesaikannya, Tantra
Gilang! Sekaligus, menyeret mereka menghadap raja!"
kata sosok yang berdiri paling depan yang ternyata la-ki-laki berusia sekitar
empat puluh tujuh tahun. Suaranya terdengar pelan, mungkin takut terdengar oleh
penghuni gubuk di seberang sana.
"Tapi kita harus berhati-hati, Rambu Pamulih!
Restu Palaran adalah bekas tokoh silat kerajaan yang kedigdayaannya sukar
dijajaki. Bukan tak mungkin
kepandaiannya sekarang lebih hebat daripada tujuh
tahun yang silam...!" tukas sosok di belakang yang dipanggil Tantra Gilang.
Sosok yang juga seorang laki-laki berusia em-
pat puluh delapan tahun ini lantas melangkah maju ke arah rotan penghubung di
atas jurang. Kaki kanannya
dijulurkan untuk menjejak-jejak rotan. Lalu diberinya isyarat dengan anggukan
pada sosok berbaju putih
yang dipanggil Rambu Pamulih.
Tak lama kemudian, sosok berbaju coklat ber-
nama Tantra Gilang menjejak pinggiran jurang. Den-
gan membuat putaran di udara, ia lantas meloncat-
loncat di atas rotan dengan cepat hingga mencapai seberang. Sementara Rambu
Pamulih lantas mengikuti
dari belakang. Sampai seberang jurang, tepatnya di tepian
sendang, kedua laki-laki yang usianya tak jauh beda
itu berhenti dan berdiri tegak. Rambu Pamulih yang
berpakaian putih, di dada sebelah kanannya terdapat
lukisan kecil bergambar gapura kerajaan. Rambutnya
hitam dan kelimis serta panjang. Wajahnya cerah. Se-
pasang matanya menyorot tajam dan berkesan wibawa.
Sementara, Tantra Gilang berpakaian coklat muda, se-
bagian rambutnya telah memutih. Wajahnya tampak
sedikit garang. Ini terlihat dari senyumnya yang sering
menyeruak sinis. Tangan kirinya memegang sebuah
tongkat kecil dari besi putih.
Sejenak kedua laki-laki ini saling berpandan-
gan. Tak lama. Rambu Pamulih yang tampaknya men-
jadi pimpinan mengalihkan pandangan ke arah gubuk.
Sejenak ditariknya napas dalam-dalam. Lalu....
"Restu Palaran! Kami utusan kerajaan datang,
untuk membawamu dan Lintang Sari menghadap raja!
Menyerahlah baik-baik!" teriak Rambu Pamulih, yang disertai sedikit pengerahan
tenaga dalam. Suara laki-laki berbaju putih ini menggema
dahsyat. Sampai-sampai air sendang yang tenang se-
dikit bergelombang.
Tak ada sahutan. Namun sebentar kemudian....
"Mandi kembang tujuh warna
Tak akan sirnakan bara terpendam di dada
Sambut kedatangan sang pendatang baru, wa-
hai penghuni neraka.
Mereka akan datang dengan genangan darah!
Darah lambang kematian...!"
Mendadak terdengar lantunan syair. Begitu ke-
ras menggema, hingga bagai datang dari segala penju-
ru. Bahkan sampai mengiang, menusuk telinga dua
laki-laki yang berdiri tegak di tepian sendang.
Wajah Rambu Pamulih dan Tantra Gilang se-
bentar berubah. Merah padam.
"Restu Palaran! Kami tak butuh syair-syairmu!
Sekali lagi kami peringatkan, menyerahlah secara baik-baik agar urusan ini tak
berlarut-larut!" teriak Rambu Pamulih, setelah menekan rasa terkejutnya.
"Rambu Pamulih, Tantra Gilang! Tujuh tahun
aku menanti kedatangan kalian. Dan rupanya, penan-
tianku malam ini akan berakhir! Aku sebelumnya ce-
mas, jangan-jangan kalian berdua telah tewas di tan-
gan orang lain!" balas suara dari dalam gubuk yang memang Restu Palaran.
Dua orang laki-laki, yang mengaku sebagai
utusan kerajaan itu tampak terkejut. Betapa tidak, jelas kalau kehadiran mereka
memang sudah diketahui
Restu Palaran. Buktinya, nama mereka bisa diketahui
dari dalam gubuk.
Saat itu juga Tantra Gilang menarik tangan ka-
nannya ke belakang. Sementara tangan kirinya yang
memegang tongkat ditarik sejajar dada, siap melancarkan serangan. Sedangkan
Rambu Pamulih memberi
isyarat agar Tantra Gilang mengurungkan serangan.
"Restu Palaran! Kami masih menghormatimu
sebagai bekas tokoh kerajaan. Kedatangan kami den-
gan baik-baik untuk membawamu serta Lintang Sari
menghadap Paduka Raja! Namun jika kalian berdua
tak bisa dihormati, jangan menyesal jika kami menye-
ret tubuh kalian berdua!" teriak Rambu Pamulih.
"Ha.... Ha.... Ha...." Restu Palaran malah tertawa mengekeh. "Rambu Pamulih,
Tantra Gilang! Apakah kalian yakin telah datang ke tempat yang benar"
Ketahuilah! Lintang Sari tidak berada di sini! Aku di sini sendirian...! Kalau
kalian tak percaya, silakan kemari! Biar sekalian aku dapat melihat wajah kalian
berdua untuk yang terakhir kali! Bukankah kedatan-
gan kalian berdua sebenarnya ingin menghiasi air sendang itu dengan warna
merah..."!"
"Tua bangka keparat!" bentak Tantra Gilang dengan dada bergemuruh karena hawa
amarah yang memang sudah menggelegak sejak tadi. "Restu Palaran! Kau telah kami beri
kesempatan. Namun rupanya
kau ingin kekerasan. Baiklah, Restu Palaran. Bersiap-
lah! Kau dan anak asuhmu malam ini tak akan dapat
lolos lagi!"
Sehabis berkata, Tantra Gilang kembali mena-
rik tangan kanannya ke belakang. Lalu tangan kiri ditarik sejajar dada. Sesaat
kemudian, tangan kanannya didorong perlahan ke depan. Dan....
Wesss...! Seketika angin deras menggeledek menghempas
ke depan. Maka air sendang yang semula tenang itu
mendadak bergolak liar dan berputar-putar, membuat
gubuk yang berada di tengah-tengah sendang tampak
oleng ke kanan dan ke kiri, seakan-akan amblas ke
dasarnya. Dinding serta atapnya yang terbuat dari
daun jati berkibar-kibar. Namun anehnya, tak satu
pun daun jati itu rontok! Padahal, angin yang menerpa begitu keras!
"Tantra Gilang! Aku yang sudah tua ini muak
dan bosan melihat mainan anak-anakan seperti itu!"
dengus Restu Palaran.
Belum juga serangan Tantra Gilang sampai,
Restu Palaran telah membuka mulut kembali.
"Angin adalah raga
Air adalah jiwa
Gelombang adalah penghias di antaranya!"
Tepat ketika Restu Palaran selesai melantun-
kan syair, dari salah satu daun jati yang berkibar-
kibar me-lesat selarik sinar. Pelan dan tak bersuara.
Namun, air sendang yang bergolak liar itu tiba-tiba
menggulung dan membentuk gelombang.
Brrr...! Lalu dengan suara dahsyat air sendang itu ber-
gerak ke arah Tantra Gilang dan Rambu Pamulih, se-
kaligus melabrak serangan Tantra Gilang. Sementara,
gubuk yang berada di tengah sendang tetap diam tak
bergerak! Tantra Gilang tersenyum sinis mendapati se-
rangannya berbalik, meski kaki kanannya surut ke be-
lakang setengah tindak. Sementara, Rambu Pamulih
tetap tegak tak bergeming. Keduanya seperti siap me-
nanti. Belum sampai gulungan gelombang menghan-
tam.... "Gelombang bertabur angin pusaran
Gejolak menghias udara malam
Darah adalah pemadam di antaranya!"
Air sendang yang telah bergelombang dahsyat
dan menggemuruh itu mendadak menggumpal, dan
melesat bagai bongkahan batu besar! Di kejap lain,
bongkahan air yang telah mengeras tiba-tiba pecah
berkeping-keping bertaburan ke arah Tantra Gilang
dan Rambu Pamulih dari segala penjuru.
"Hiaaah...!"
Serta-merta Tantra Gilang dan Rambu Pamulih
serentak mengangkat kedua tangannya. Dan sekali
sentak, tubuh mereka bergerak berputar-putar.
Wesss...! Tak! Tak! Beberapa kepingan air yang telah mengeras
langsung mental tersapu ke sana kemari, tersambar
angin kencang yang keluar dari putaran tubuh Tantra
Gilang dan Rambu Pamulih. Sesaat kemudian, Tantra
Gilang tampak melesat ke arah kanan. Sedangkan
Rambu Pamulih ke arah kiri.
"Chiaaa...!"
Dari kanan dan kiri, serentak mereka meng-
hantam pukulan jarak jauh. Wesss! Wesss!
Dua rangkum angin panas langsung mengge-
brak ke arah gubuk Namun bersamaan dengan itu, da-
ri dalam gubuk melesat dua larik sinar tanpa suara ke arah kanan dan kiri,
memapak dua rangkum angin
panas yang menderu tajam.
Tas! Tasss! Terjadi benturan empat kekuatan dahsyat. Wa-
laupun hanya menimbulkan suara perlahan, namun
tubuh Rambu Pamulih dan Tantra Gilang sempat terja-
jar tiga langkah ke belakang. Sementara gubuk itu sedikit bergoyang.
"Restu Palaran!" bentak Rambu Pamulih begitu mendarat kembali di tanah.
"Keluarlah! Jangan hanya sembunyi dalam gubuk jika kau benar-benar jantan!"
"Ha.... Ha.... Ha...!" Restu Palaran malah tertawa panjang. "Sudah kukatakan,
kemarilah! Aku sebagai tuan rumah yang baik mempersilakan kalian ma-
suk! Tapi kuperingatkan, ini adalah tempat Restu Palaran. Bukan istana! Jadi,
kalian tak berhak memerin-
tah!" Sebentar Rambu Pamulih dan Tantra Gilang saling berpandangan. Tepat ketika
Rambu Pamulih mengangguk perlahan dari jarak jauh, Tantra Gilang
kembali mengirimkan serangan dengan sentakkan ke-
dua tangan ke depan.
Wesss...! Namun didahului suara kekehan, dari dalam
gubuk kembali melesat seberkas sinar memapasi se-
rangan Tantra Gilang. Glarrr!
Dentuman menggelegar pecah saat dua puku-
lan jarak jauh yang telah dialiri tenaga dalam tinggi bentrok di atas sendang.
Maka seketika air sendang
kembali bergolak.
Dalam suasana demikian, mendadak Rambu
Pamulih kembali menghentakkan tangannya, mele-
paskan pukulan tanpa suara ke arah gubuk.
Settt! Brak! Sekejap kemudian, empat batang kayu pe-
nyangga gubuk berderak patah. Namun, lagi-lagi Ram-
bu Pamulih dan Tantra Gilang terbelalak. Gubuk itu
ternyata tak bergoyang atau amblas. Bahkan menga-
pung, dan melesat menuju arah tepian sendang!
Melihat gubuk itu meluncur. Rambu Pamulih
dan Tantra Gilang kembali segera mendorongkan tan-
gan ke arah gubuk.
Wes! Wesss...! Dua kilatan seketika meluruk dari arah kiri dan
kanan. Namun kali ini dari dalam gubuk tak ada bala-
san serangan. Hingga....
Brasss...! Tak ampun lagi gubuk dari daun jati itu hancur
berhamburan. Sejenak Rambu Pamulih dan Tantra Gilang
menunggu dengan mata nyalang, mengawasi hambu-
ran daun-daun jati yang telah menghitam. Namun
sampai sepasang mata mereka melotot, tak menemu-
kan tubuh Restu Palaran.
Selagi mereka berdua mencari-cari...
"Pandangan hati adalah pangkal segala tahu
Pandangan mata manusia sering tertipu.
Buang segala impianmu
Darah telah menanti mu!"
Terdengar kembali lantunan syair yang tak da-
pat ditebak, dari mana sumbernya. Rambu Pamulih
dan Tantra Gilang sama-sama tercekat. Sehingga me-
reka berdua tersurut mundur dua langkah ke belakang
seraya memasang kuda-kuda menyerang. Kepala me-
reka bagai diberi aba-aba berputar dengan sepasang
mata menyengat mencari-cari.
Belum hilang rasa tercekat dua orang ini, dari
dasar sendang berkelebat sebuah bayangan hitam. Sa-
tu tombak di atas sendang, bayangan hitam ini ren-
tangkan kedua tangannya.
Wesss...! Wesss...!
Dua rangkum angin menderu kencang lang-
sung melesat ke arah Rambu Pamulih dan Tantra Gi-
lang, begitu sosok berpakaian serba hitam ini menyentakkan kedua tangannya.
Dengan menekan rasa terkejut, Rambu Pamu-
lih dan Tantra Gilang segera memapak dengan kepalan
tangan menjotos ke depan.
Brak! Brak! "Aaakh..."
Terdengar dua bentrokan keras disertai kelu-
han tertahan. Tubuh Tantra Gilang tampak terjeng-
kang, lalu jatuh terduduk. Sementara Rambu Pamulih
tergontai-gontai sebentar, sebelum akhirnya dapat segera kuasai keadaan.
"Sedangkan bayangan hitam, yang tak lain Res-
tu Palaran terus melayang dan mendarat dengan kaki
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kokoh di tepian sendang.
Begitu mendarat. Restu Palaran cepat berbalik.
Sepasang matanya yang hanya menyerupai garis pen-
dek tipis itu berkilat-kilat melirik ke arah Rambu Pamulih dan Tantra Gilang.
"Restu Palaran! Sebelum kau kuseret mengha-
dap raja, lekas katakan di mana Lintang Sari!" bentak
Rambu Pamulih, ketika melihat Lintang Sari tak ber-
sama Restu Palaran.
"Ha.... Ha.... Ha...! Percuma rajamu mengang-
kat kalian menjadi tokoh-tokoh silat kerajaan jika be-rotak bebal! Sejak pertama
kedatangan kalian tadi, sudah kukatakan bahwa Lintang Sari tidak ada di sini!
Apa kalian tidak mengerti bahasa ku" Atau kalian
memang manusia-manusia dungu yang harus ditusuk
telinganya"!" ejek Restu Palaran.
Kening Rambu Pamulih berkerut menahan ge-
ram. Wajahnya merah padam. Dagunya terangkat per-
tanda amarahnya telah meluap. Sementara Tantra Gi-
lang membuka telapak tangan kirinya yang memegang
tongkat. Lalu tangan kanannya yang mengepal dihan-
tamkan ke telapak tangan kirinya. Senyum sinisnya
menyeruak. Mulutnya mengembung. Sebentar wajah-
nya berpaling, lalu meludah.
"Rambu Pamulih! Mana ada seorang penjahat
buronan kerajaan yang bisa bicara baik-baik?" kata Tantra Gilang, seraya
tersenyum sinis.
"Kau tak salah omong, Tantra Gilang" Apa bu-
kan kau yang pantas disebut penjahat" Penjahat kepa-
la dua! Yang mencari kehormatan dengan menjual
harga diri"!" balas Restu Palaran.
"Jahanam!" bentak Tantra Gilang, seraya meloncat dan mendarat satu tombak di
samping kiri Res-
tu Palaran. Seketika tangan kanannya cepat didorong-
kan ke depan. Satu gelombang angin segera melabrak, menge-
luarkan suara menderu keras. Dan saat itu juga, tu-
buh Tantra Gilang melesat di belakang angin serangan.
"Uts!"
Sedapa sebelum angin menggebrak bahu, Restu
Palaran membuat gerakan seperti orang menari. Tan-
gannya melenggang turun ke bawah, sementara tu-
buhnya melorot sedikit. Sehingga serangan Tantra Gi-
lang lewat di atas kepalanya. Bahkan secepat itu pula tangannya dikibaskan,
dengan kaki terangkat.
Tantra Gilang terkejut. Apalagi tubuhnya telah
melayang ke arah Restu Palaran. Dan mau tak mau
tangan serta kaki Restu Palaran yang telah siap me-
nanti harus didobraknya.
Prak! Des! Benturan rak dapat dihindari lagi. Tubuh Tan-
tra Gilang terpental di udara. Dan belum sampai me-
layang turun, Restu Palaran telah melesat sambil
mendorongkan kedua tangannya ke arah tubuh Tantra
Gilang yang mulai menukik turun disertai tenaga da-
lam tinggi. "Hih!"
Wut... Sekali terhantam, tak ampun lagi dipastikan
tubuh Tantra Gilang akan berderak dengan tulang pa-
tah-patah. Namun ketika pukulan tangan Restu Palaran
lima jengkal sebelum mencapai sasaran, dari arah
samping kiri melesat serangkum gelombang angin dis-
ertai sinar putih, langsung memotong serangannya.
Darrr! Tantra Gilang selamat dari serangan maut tan-
gan Restu Palaran. Namun, tubuhnya kembali terpen-
tal terkena bias bentrok antara dua pukulan di ba-
wahnya. Begitu kembali menukik, keseimbangan tu-
buhnya sudah tak dapat dikuasai lagi, hingga tanpa
ampun lagi menabrak pohon besar.
Brak! "Aaakh...!"
Tantra Gilang berusaha merangkak bangkit.
Tampak dari sudut-sudut bibirnya menetes darah.
Lengan baju coklatnya hangus. Dan tatkala tegak, tu-
buhnya terhuyung-huyung dan kembali jatuh terdu-
duk. Sementara itu tanpa menoleh. Restu Palaran te-
lah tahu siapa yang telah memotong pukulannya. Ma-
ka tanpa melihat, segera tangannya dihentakkan ke
arah penghadangnya yang tak lain Rambu Pamulih.
Hantaman tangan Restu Palaran tak terdengar.
Namun tanah tak jauh dari tempatnya berdiri terbong-
kar. Dan tangannya dihantamkan kembali ke arah ta-
nah yang terbongkar. Seketika tanah itu membum-
bung, membuat malam yang sudah gelap bertambah
pekat. Tatkala udara pekat, Restu Palaran mengen-
dus-endus. Dan secepat itu pula tangannya diangkat
dan dihantamkan ke arah samping.
Desss! "Aaakh...!"
Terdengar jeritan tertahan di samping Restu Pa-
laran. Begitu hamburan tanah lenyap, tampak Rambu
Pamulih terkapar sambil memegangi bahunya.
Namun dia segera merambat bangkit, dan sege-
ra meloncat ke arah Tantra Gilang yang sudah berdiri tegak walau masih agak
terhuyung-huyung.
"Tantra Gilang, dugaanku tidak meleset! Ilmu si tua itu telah meningkat
dibanding tujuh tahun yang la-lu. Kita harus berpencar, agar serangannya
terbagi. Jangan menyerang bersamaan. Kita harus menyerang
beriringan, biar tenaganya terkuras!" bisik Rambu Pamulih.
"Malam menjelang pagi
Hamparan embun telah menapak datang
Lihat! Malaikat Maut telah menyosong turun
Tangannya berlumuran darah
Darah kematian!"
Terdengar kembali lantunan syair dari mulut
Restu Palaran. "Menyingkir, Tantra Gilang!" ujar Rambu Pamulih seraya melesat menjauh.
Sementara Tantra Gilang cepat pula melesat
mengambil arah berlawanan dari yang diambil Rambu
Pamulih. "Ha... Ha... Ha...! Kenapa kalian pontang-
panting. Hamba Kerajaan" Bukankah kalian datang un-
tuk menyeretku menghadap junjunganmu?" ejek Restu Palaran seraya melirik tempat
beradanya Tantra Gilang dan Rambu Pamulih.
Kali ini baik Tantra Gilang maupun Rambu
Pamulih tak ada yang menyahut. Mereka sadar, ke-
pandaian Restu Palaran masih berada di atasnya. Wa-
laupun Rambu Pamulih dan Tantra Gilang adalah ba-
risan kedua dari tokoh persilatan kerajaan.
"Hm.... Jika kalian tak jadi menyeretku, seka-
rang akulah yang akan menyeret kalian ke neraka!"
Sehabis berkata, kepala Restu Palaran men-
dongak ke atas dengan telapak tangan membuka te-
gang. Dengan memajukan kakinya satu langkah ke
depan, tangannya tiba-tiba menyentak ke arah Tantra
Gilang. Rupanya, dia ingin menyelesaikan riwayat lela-ki berbaju coklat itu
terlebih dahulu, yang telah terluka dalam.
Wesss"! Gelombang angin langsung menggelinding ce-
pat. Namun, Tantra Gilang yang telah waspada segera
memapak dengan menghentakkan tangannya. Pada
saat yang sama, Rambu Pamulih pun telah menghen-
takkan tangannya melepaskan pukulan jarak jauh.
"Heh"!"
Restu Palaran tak dapat menahan seruan ka-
getnya, melihat serangan yang meluruk ke arahnya.
Namun secepat itu pula tangannya dihentakkan, un-
tuk memapak serangan Rambu Pamulih.
Karena baru saja melepaskan pukulan penuh
pada Tantra Gilang, maka pukulan Restu Palaran yang
memapak serangan Rambu Pamulih tak begitu kuat.
Sehingga.... Blarrr...! Darrr...! Tubuh Restu Palaran kontan terpental dan ber-
gulingan di atas tanah. Sementara, Rambu Pamulih
hanya terjajar satu langkah ke belakang.
Namun tidak demikian halnya Tantra Gilang.
Karena keadaannya telah terluka, begitu terjadi benturan, tubuhnya masih
terpelanting dan terbanting ke
tanah disertai erangan panjang pendek.
"Keparat busuk! Mana sifat ksatria mu sebagai
tokoh silat kerajaan" Ternyata kau tak lebih dari kela-kuan para perampok-
perampok! Main bokong!" dengus Restu Palaran sambil menahan dadanya yang terasa
berdenyut sakit.
"Kau tak usah banyak mulut, Restu Palaran!
Untuk menangkap seorang buronan, tak diperlukan
lagi peraturan! Terimalah saat kematianmu untuk me-
nuju neraka!" bentak Rambu Pamulih, seraya berkelebat. Dan tahu-tahu, dia telah
berada di samping Restu Palaran yang masih bergerak bangkit.
Belum sampai Restu Palaran tegak, Rambu
Pamulih telah menyapukan kakinya ke arah kepala.
Wuttt! Mau tak mau, Restu Palaran harus merunduk
untuk menghindar terjangan kaki. Namun tanpa didu-
ga sama sekali. Rambu Pamulih langsung berputar.
Maka ketika serangan pertama lolos, secepat itu pula kakinya yang kanan
menggebrak ke arah dada.
Begitu cepat serangan Rambu Pamulih, mem-
buat Restu Palaran terlambat menghindar. Hingga....
Desss! "Aaakh...!"
Restu Palaran terpental dua tombak ke samp-
ing disertai jerit kesakitan. Begitu mencium tanah, dia mencoba merangkak
bangkit. Wajahnya tampak menyiratkan kemarahan. Tangannya mengepal. Sepasang
matanya menyorot tajam dan berkilat-kilat merah.
Secepat kilat Restu Palaran mengatupkan ke-
dua tangannya sejajar dada. Matanya yang hanya
tampak segaris mengatup. Mulutnya bergerak-gerak,
seperti mengucapkan mantera-mantera.
"Hiaaah...!"
Tepat ketika Restu Palaran selesai berkemak-
kemik, kedua tangannya bergerak ke depan. Dan saat
itu pula satu gelombang sinar biru mendadak bergu-
lung-gulung. Dan ketika sinar itu bergerak ke depan, mendadak berubah merah dan
langsung melesat cepat
ke arah Rambu Pamulih.
Rambu Pamulih rupanya telah mengetahui pu-
kulan andalan Restu Palaran. Maka sebelum gelom-
bang sinar merah menghantam, tenaga dalamnya sege-
ra dikerahkan ke kedua tangannya, sehingga tampak
berkilau. Lantas dengan mata terpejam tangannya di-
dorongkan ke depan.
"Hiaaah...!"
Seberkas sinar putih dari telapak tangan Ram-
bu Pamulih yang terbuka segera melesat bagai dinding tebal, menahan gerak maju
gulungan sinar merah dari
telapak Restu Palaran.
Beberapa saat kedua orang ini saling bertahan.
Namun sesaat kemudian Restu Palaran segera me-
nambah tenaga dalamnya. Wajahnya telah dibanjiri ke-
ringat. Sementara Rambu Pamulih tampak mulai
goyah. Tubuhnya bergetar, dan sedikit demi sedikit kedua kakinya amblas ke dalam
tanah. Matanya makin
terpejam. Sedangkan tangannya makin terdorong ke
belakang. Dan....
Bret! Bret! Pakaian putih Rambu Pamulih mulai koyak di
sana-sini terkena pengaruh kekuatan sinar merah dari tangan Restu Palaran. Dari
seluruh lubang pori-pori di tubuhnya mulai mengeluarkan darah. Sementara kakinya
lelah amblas hingga betis.
Melihat keadaan ini, Tantra Gilang yang meng-
gelosor di tanah cepat merangkak mendekati Rambu
Pamulih. "Tahan terus. Rambu! Aku bantu dari bela-
kang...," ujar Tantra Gilang.
Segera laki-laki berpakaian coklat ini menem-
pelkan telapak tangannya pada kedua kaki Rambu
Pamulih. Hingga, untuk sementara waktu kaki Rambu
Pamulih kembali terangkat. Dan tangannya perlahan-
lahan pula mulai bergerak ke depan. Bahkan kini,
dinding gelombang sinar putih miliknya mulai mendo-
rong gelombang merah.
Begitu membuka kelopak matanya, Restu Pala-
ran menggeram, melihat Tantra Gilang telah memban-
tu menyalurkan tenaga dalam.
"Hiaaat...!"
Didahului bentakan menggemuruh, Restu Pala-
ran mengerahkan seluruh tenaganya, sehingga pori-
pori tangan dan wajahnya sudah mengeluarkan darah!
Di saat yang demikian itulah, tiba-tiba Tantra
Gilang melemparkan tongkat putihnya.
Wuttt! Restu Palaran terkejut, membuat perhatiannya
terpecah. Dan Rambu Pamulih pun tak menyia-
nyiakan kesempatan yang hanya sekejap ini. Dengan
seluruh tenaga sisanya tangannya didorongkan kuat-
kuat. Akibatnya, gulungan sinar merah melemah,
hingga berbalik dan menggebrak ke arah Restu Pala-
ran. Restu Palaran makin terkesiap. Namun di saat
sinar merah itu menerpa bahunya, ia cepat melempar
tubuh ke samping sambil menyentakkan tangannya
dengan tenaga yang masih tersisa.
Rambu Pamulih yang barusan lepaskan tenaga
terakhirnya, tak bisa lagi menghindar, sementara Tantra Gilang sendiri tak kuasa
lagi berkelit. Desss! Desss!
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaakh...! Aaakh...!"
Tubuh Rambu Pamulih dan Tantra Gilang kon-
tan terhempas ke belakang disertai jeritan lengking
menyentak. Tubuh mereka kontan terjerembab di atas
tanah. Tantra Gilang sudah tak bergerak-gerak lagi.
Sedangkan Rambu Pamulih masih sempat memandang
ke arah langit sebelah timur yang mulai terang. Namun sebentar kemudian sepasang
matanya lantas meredup
dan mengatup! Di lain pihak, Restu Palaran bergerak bangkit.
Namun, begitu akan duduk... "Hoeeekh...!"
Darah kehitaman ambyar dari mulut orang tua
ini. Segera tubuhnya ditelentangkan di atas tanah. Sedikit demi sedikit,
ditariknya napas dalam-dalam.
Agak lama, baru Restu Palaran telungkup.
Dengan sekujur tubuh gemetar serta hidung, bibir, telinga mengeluarkan darah,
tubuhnya segera bangkit.
Tak ada suara keluhan dari mulutnya. Dia terus me-
langkah walaupun sempat terhuyung dan ambruk.
Dan begitu ambruk, tubuhnya langsung bangkit dan
kembali berjalan terhuyung-huyung menuju pohon be-
sar di sebelah sendang.
*** 3 "Kegegeran... Hm..., kegegeran! Aku harus
membuat kegegeran!" gumam seorang gadis berbaju ketat warna putih, di tengah
kelebatan tubuhnya yang berlari cepat dalam keremangan suasana Hutan Batu
Licin. Meski udara cukup dingin, namun sekujur tu-
buh gadis ini nampak berkeringat. Sehingga lekuk-
lekuk tubuhnya tampak membayang jelas, di balik pa-
kaian yang tipis dan ketat.
Begitu sampai di perbatasan antara Hutan Batu
Licin dengan Hutan Batu Ampar, gadis yang tak lain
Lintang Sari ini menghentikan larinya. Sebentar pa-
kaian yang terangkat ke atas ditariknya, karena melekat di dadanya yang
membusung. Sementara itu sang mentari telah mulai beran-
jak dari sebelah timur, membuat udara mulai hangat,
Lintang Sari sejenak memperhatikan pakaian dan tu-
buhnya. Sepertinya sudah mengenali daerah itu, dia
segera kembali berkelebat ke dalam Hutan Batu Ampar
yang tidak begitu lebat ini. Di bawah pohon besar yang di sampingnya terdapat
sebuah pancuran, gadis ini
berhenti. Dengan mata berbinar dan bibir tersenyum,
Lintang Sari melangkah ke arah air pancuran. Lang-
sung ditadahkannya air pancuran, dan di siramkan ke
wajahnya. Mendapati kesegaran air, timbul niat di hatinya untuk mandi, sekaligus
menyegarkan tubuhnya.
Jari-jari lentik gadis ini lantas langsung saja bergerak cepat membuka satu
persatu kancing bajunya. Sebentar kemudian, tampak tubuh polosnya yang sudah te-
lah berada di bawah pancuran.
Lintang Sari sepertinya ingin berlama-lama di
bawah air pancuran. Sebentar-sebentar jarinya yang
lentik menggosok seluruh tubuhnya. Namun menda-
dak, gerakan tangannya terhenti. Secepat kilat, tubuhnya berkelebat ke arah
pakaiannya. Dengan gerakan
cepat pula, pakaiannya dikenakan.
Sebentar kemudian, tampak gadis ini telah
mengendap-endap di balik sebuah pohon dengan mata
nyalang dan telinga terpasang tajam-tajam.
Dan memang, sayup-sayup dari arah perbata-
san hutan terdengar derap kaki kuda.
"Hm.... Tujuh tahun mendekam di belantara
ini, baru kali ini ada orang berkuda melintas. Siapa mereka" Jangan-jangan...?"
batin gadis berbaju putih ini.
Sebelum pertanyaannya terjawab, Lintang Sari
telah berkelebat ke arah perbatasan kembali, ke arah suara derap kaki kuda yang
tadi terdengar.
"Hup!"
Begitu sampai di jalan yang membatasi antara
Hutan Batu Licin dengan Hutan Batu Ampar, Lintang
Sari menggenjot tubuhnya ke atas. Di sebuah dahan
pohon yang agak besar di pinggir jalan ini, kakinya
mendarat ringan. Sementara itu, derap kaki kuda yang didengarnya semakin
mendekati ke arahnya.
"Hm.... Menilik pakaiannya..., dua orang ini
pasti dari kerajaan! Apakah tempat ini telah diendus bangsat-bangsat kerajaan?"
gumam Lintang Sari. Sepasang matanya tak berkedip memandang ke arah dua
penunggang kuda yang sebentar lagi melintasi pohon
tempat persembunyiannya.
Baru saja dua penunggang kuda ini lewat....
"Perjalanan panjang yang gila dan melelahkan Perjalanan yang berujung dengan
penyesalan Perjalanan yang harus dibayar dengan darah!"
Terdengar lantunan syair yang sepertinya ke-
luar dari sela-sela pohon. Dengan rasa terkejut, kedua penunggang kuda ini
segera menghentikan kuda tunggangannya. Mata mereka nyalang mencari sumber su-
ara. "Ha... ha... ha...!"
Belum juga bisa menebak dari mana suara
syair, mereka dikejutkan kembali dengan suara tawa
panjang. Begitu mendongak, baru mata kedua pe-
nunggang ini terbelalak, menelusuri lekukan tubuh
dan dada gadis berbaju putih yang duduk menjuntai di atas sebuah pohon menghadap
ke arahnya. Kedua kakinya sengaja direnggangkan, hingga pahanya yang
berkulit putih tampak jelas.
"Hati-hati! Bila mendengar suara tawanya, pe-
rempuan ini agaknya bukan orang sembarangan!" bisik penunggang di sebelah kiri
tanpa menoleh. Mata penunggang kuda itu tajam menatap ga-
dis berbaju putih ketat yang tak lain Lintang Sari.
"Siapa kau..."!" bentak penunggang kuda yang ternyata seorang laki-laki berusia
setengah baya. Dua penunggang kuda ini memang dua orang
laki-laki setengah baya. Mereka mengenakan pakaian
putih-putih. Di bagian dada pakaian tampak lukisan
kecil sebuah gapura kerajaan. Wajah mereka hampir
mirip dengan tubuh kekar dan berotot
"Aku yang seharusnya bertanya pada kalian!
Siapa kalian"! Dan hendak ke mana"! Jangan coba-
coba memasuki kawasan hutan ini tanpa terlebih da-
hulu mengatakan siapa dan hendak ke mana!" balas Lintang Sari setengah
berteriak. "Oh, begitu...?" kata penunggang sebelah kiri seraya kernyitkan kening dan
tersenyum penuh arti.
Lalu mengangguk.
"Gadis cantik! Apakah kau penguasa hutan
ini?" tanya laki-laki yang di sebelah kanan disertai senyum lebar. Matanya tak
beranjak dari dada membu-
sung Lintang Sari.
"Kalian tak berhak bertanya sebelum menye-
butkan nama dan tujuan!" bentak Lintang Sari disertai pengerahan tenaga dalam.
Dua laki-laki kembar di depannya terkejut, me-
rasakan telinga seperti ditusuk
"Aku, Jayeng Palaguna!" kata laki-laki sebelah kiri. "Sedangkan di sebelahku,
saudara kembar ku.
Namanya, Jayeng Parawira. Kami berdua adalah utu-
san Kerajaan Malowopati. Kami dari tokoh silat kera-
jaan barisan ketiga! Soal tujuan kami, maaf. Itu adalah rahasia kerajaan!"
Laki-laki di sebelah kiri yang mengaku bernama
Jayeng Palaguna sengaja menyebutkan diri dari tokoh
silat kerajaan barisan ketiga, dengan tujuan agar gadis berbaju putih itu tahu
diri. "Ha... ha... ha... hi... hi... hi...!"
Namun keterangan Jayeng Palaguna disambut
kekehan tawa Lintang Sari.
"Ah! Rupanya, kalian kacung-kacung kerajaan
yang memburu rahasia. Apakah kaitan tak tersesat,
hingga sampai menelusuri kawasan hutan sunyi
ini..."!" ejek gadis itu.
Lintang Sari kemudian melayang turun, dan
mendarat dua tombak di hadapan laki-laki kembar itu.
"Sungguh kasihan jalan manusia-manusia yang tersesat.
Mereka harus membayar mahal kesesatannya
Dan bayaran yang setimpal adalah darah?"
"Bangsat!" dengus Jayeng Parawira. "Gadis ini tak bisa dibiarkan! Dia telah
berani menghina kita dan kerajaan!"
"Hm.... Rupanya bangsat-bangsat kerajaan te-
lah mengendus tempat kediaman Restu Palaran"! Se-
belum segalanya berlarut, aku harus menyingkirkan
keduanya!" kata batin Lintang Sari.
Sementara, dua pasang mata Jayeng Palaguna
dan Jayeng Parawira segera membelalak, saat Lintang
Sari berdiri seraya busungkan dada.
"Gadis cantik! Siapa kau sebenarnya"!" tanya Jayeng Palaguna. dengan mata tak
beralih dari dada
Lintang Sari. "Sayang, kalian sekarang belum saatnya men-
getahui tentang diriku. Tapi jika kalian penasaran, bisa ditanyakan pada teman
baru kalian di alam neraka!"
sahut Lintang Sari, enteng.
Baru saja kata-katanya selesai, Lintang Sari
langsung menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Wesss...! Saat itu juga melesat serangkum gelombang
angin panas, menderu tajam ke arah orang kembar ini.
Jayeng Palaguna dan Jayeng Parawira yang
menyadari adanya bahaya, cepat melesat seraya
menghantamkan tangan ke arah leher kuda masing-
masing. Dua binatang itu meringkik kaget, lalu melesat cepat. Sehingga kedua
kuda itu selamat dari hantaman tangan Lintang Sari.
Begitu mendarat, Jayeng Palaguna dan Jayeng
Parawira segera berdiri berjajar dan siap menyerang.
Sementara Lintang Sari tampak diam tak bergerak.
Hanya sepasang matanya tampak menyengat tajam.
"Jayeng Palaguna! Aku curiga, jangan-jangan
dia gadis yang kita cari-cari! Tujuh tahun wajah seseorang memang telah berubah.
Apalagi seorang perem-
puan! Sayang sekali, aku dahulu hanya sempat sekali
bertemu dengannya!" bisik Jayeng Parawira.
"Aku pun masih belum bisa menentukan. Jika
bersama Restu Palaran, jelas aku bisa mengenali! Tapi siapa pun gadis ini, kita
harus cepat menyudahinya.
Apalagi, rupanya dia menginginkan kematian kita! Lagi pula kita akan terlambat
menyusul Kanda Rambu Pamulih dan Tantra Gilang, jika tak segera menyelesaikan
urusan dengan gadis ini!"
Selesai berkata, Jayeng Palaguna cepat melon-
cat dan berdiri tegak satu tombak di hadapan Lintang Sari. Tak lama, Jayeng
Parawira segera menyusul.
Diapit dua orang. Lintang Sari tenang-tenang
saja. Malah bibirnya mengulas senyum manis hingga,
giginya yang putih tampak berkilat. Bibirnya yang
membentuk bagus ditarik sedikit ke dalam, lalu mu-
lutnya dibuka sedikit. Lantas ujung lidahnya menjulur sedikit perlahan ke sana
kemari seperti mengundang
kedua laki-laki itu untuk mengulumnya. Sepasang ma-
tanya yang tadi berbinar tajam meredup, dan setengah memejam.
Jayeng Palaguna dan Jayeng Parawira terbe-
liak, terpesona melihat tingkah Lintang Sari yang sepertinya menginginkan
sesuatu. Namun selagi mereka
terkesima, mendadak tubuh gadis itu berputar cepat
dan lenyap dari pandangan. Belum sempat kedua laki-
laki kembar itu berbuat apa-apa, Lintang Sari telah
berkelebat cepat. Dan....
Des! Des...! "Aaakh...!"
"Aaa...!"
Sesaat kemudian terdengar dua jeritan me-
lengking. Di kejap lain tampak Lintang Sari telah kembali duduk menjuntai di
atas pohon sambil tersenyum
memandang Jayeng Palaguna dan Jayeng Parawira
yang terkapar sambil memegang dada masing-masing
yang terkena hantaman gadis itu.
"Huh! Kurang ajar...!"
Disertai dengusan keras, Jayeng Palaguna dan
Jayeng Parawira bangkit. Saat itu juga, mereka mengerahkan tenaga dalam tinggi
di kedua tangan masing-
masing hingga tampak membiru.
"Hantam bersama-sama!" seru Jayeng Palagu-
na. Serentak kedua orang ini menjejak tanah, lalu
melesat dengan kedua tangan mengepal ke arah Lin-
tang Sari berada. Namun belum juga sampai, gadis itu telah menyongsong turun.
Prak! Prakkk! Terdengar dua kali benturan. Tubuh Jayeng Pa-
la-guna dan Jayeng Parawira menukik turun dengan
deras, lalu terbanting di tanah.
Bruk! Bruk! Sementara. Lintang Sari membuat gerakan ber-
putar dua kali dan mendarat dengan kokoh. Namun
belum sampai berbalik, Jayeng Palaguna dan Jayeng
Parawira yang telah cepat bangkit telah menyentakkan tangannya.
"Hih...!" Set! Set!
Dua buah pisau kecil berwarna putih seketika
melesat cepat ke arah Lintang Sari tanpa mengelua-
rkan suara. Lintang Sari yang baru saja berputar tercen-
gang. Secepat kilat tubuhnya dihempaskan ke samp-
ing. Pisau yang satu memang dapat dihindari, namun
pisau satunya terus menerabas. Dengan gerakan men-
gagumkan, gadis ini berguling-guling di tanah. Namun demikian....
Srat! Tak urung pisau kecil itu menyerempet pakaian
bagian bawah ketiak Lintang Sari, hingga terkoyak.
Dahsyatnya, koyakan itu langsung menghitam dan
merembet. Sehingga tanpa ampun lagi, kulit putih Lintang Sari bagian bawah
ketiak dan dada sebelah kanan terlihat. Buah dadanya yang sebelah kanan
menyembul tak tertutup.
Lintang Sari menggeram marah. Tanpa mempe-
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dulikan dadanya yang tak tertutup, tubuhnya segera
menggeliat. Sementara tangannya melenggang lembut
ke atas bagai orang menari. Namun sesaat kemudian,
tangan itu menegang. Dan dengan kuda-kuda kokoh
kedua tangannya cepat mendorong ke depan.
Wesss...! Wesss.!
Dua larik gelombang biru melesat ke arah ke-
dua orang kembar itu. Dan di kejap lain larikan gelombang biru itu berubah
merah. Jayeng Palaguna dan Jayeng Parawira tercekat.
Tampang mereka berubah pucat, dengan sepasang ka-
ki mundur dua langkah ke belakang.
"Benar dugaanmu, Jayeng Parawira! Gadis ini
buronan kerajaan! Aku tak akan lupa. Jurus yang ini
adalah milik Restu Palaran! Cepat menghindar!" ujar Jayeng Palaguna,
mengingatkan. Seketika tubuhnya
melesat. Namun, terlambat bagi Jayeng Parawira. Aki-
batnya gelombang warna merah sempat menyapu da-
danya. Prat! "Aaa...!"
Jeritan menyayat keluar dari mulut Jayeng Pa-
rawira seakan menyentak tempat itu. Tubuhnya lang-
sung terpelanting sampai beberapa tombak ke bela-
kang. Saat terhempas di atas tanah, keadaannya telah mengenaskan. Dari mulutnya
keluar gumpalan darah
kehitaman. Pakaiannya tercabik-cabik, dan kulitnya
membiru. Sebentar kedua kaki Jayeng Parawira mere-
gang, sesaat kemudian kaku!
Jayeng Palaguna menggereng keras mendapati
saudara kembarnya tewas. Sedangkan Lintang Sari
tersenyum mengejek.
"Lintang Sari! Kau telah menewaskan saudara
kembarku! Tak ada imbalan lain yang sepadan, selain
nyawa busukmu! Setelah itu, penggalan kepalamu
akan kutenteng ke hadapan paduka raja! Menyesal
aku baru tahu sekarang!" teriak Jayeng Palaguna.
"Ha... ha... ha..,"
Penyesalan di akhir perjalanan tiada arti
Kematian adalah sebuah tidur panjang
Jalan pintas ke arahnya penuh liku dan warna
Siapa pun makhluk di kolong langit tahu
Darah adalah salah satu jalan itu!"
Seiring lantunan syair. Lintang Sari kembali
mendorongkan kedua tangannya.
"Hih!"
Wesss! Gelombang warna merah kembali melesat diser-
tai deru angin dahsyat ke arah Jayeng Palaguna. Wa-
lau telah tahu kehebatan pukulan yang telah mene-
waskan saudara kembarnya, lelaki ini tak gentar. Se-
gera dipapaknya serangan disertai penyaluran seluruh tenaga dalam ke kaki dan
tangan. Lalu dengan berteriak nyaring, tangannya mendorong, sedangkan ka-
kinya menancap kokoh di atas tanah.
Werrr...! Gulungan angin menggemuruh melesat dari
tangan Jayeng Palaguna, memapak gelombang merah
dari tangan Lintang Sari. Hingga....
Glarrr! Desss! Terdengar gelegar dahsyat begitu dua kekuatan
beradu. Kedua kaki Jayeng Palaguna bergetar dan go-
yah. Namun tak lama kemudian, tubuh lelaki itu men-
celat dan bergulingan di atas tanah.
Lintang Sari melangkah lebar-lebar mengham-
piri saat tubuh Jayeng Palaguna terlihat masih bergerak-gerak. Satu depa di
samping lelaki itu, langkahnya berhenti. Dan ketika dua kelopak mata Jayeng
Palaguna membuka dan menatap ke arahnya, gadis ini terse-
nyum. Bahkan tanpa berusaha menutup buah da-
danya yang menyembul.
"Dengar Jayeng Palaguna! Aku akan menyem-
buhkan luka-lukamu. Bahkan merawatmu, jika kau
setuju syarat yang ku ajukan!"
"Uh! Jika penjahat kerajaan menjanjikan sesua-
tu, pasti di baliknya ada maksud tertentu!" jawab Jayeng Palaguna, tersendat-
sendat. Lintang Sari tersenyum, lalu jongkok. Sehingga
kulit pahanya yang putih mulus tepat berada di muka
Jayeng Palaguna. Sementara, jemarinya yang lentik
memegangi lengan lelaki ini.
"Jangan salah sangka, Jayeng Palaguna! Jika
setuju, kau nanti juga dapat memiliki ku...," desah Lintang Sari, masih dengan
senyum. "Hm.... Katakan, apa maksudmu!" ujar Jayeng Palaguna pelan.
"Melihat tugasmu, aku yakin kau orang keper-
cayaan raja. Jika kau berhasil memasukkan aku da-
lam kalangan istana, biar jadi apa pun. kau bisa mendapatkan apa yang kujanjikan
tadi...." Mendengar keterangan Lintang Sari, meski
dengan meringis menahan sakit sekujur tubuhnya,
Jayeng Palaguna coba tersenyum.
"Hm.... Sayang sekali. Aku tak tertarik ucapan
mu! Dan juga, tak tergiur kemolekan tubuhmu! Lebih
baik mati berkalang tanah daripada berkhianat seperti kau!" desis Jayeng
Palaguna. Baru saja kata-kata lelaki ini selesai, Lintang
Sari cepat mengebulkan tangannya.
Prak! Prak! "Aaakh...!"
Dua kepalan tangan Lintang Sari melayang ke-
ras ke mulut, membuat kepala Jayeng Palaguna ter-
banting ke samping. Mulutnya mengeluarkan erangan
pendek di sertai darah menggumpal. Dua matanya me-
lotot, lalu meredup dan terpejam selamanya!
Lintang Sari menggeram. Segera dia bangkit,
dan mengayunkan kakinya menyapu tubuh Jayeng Pa-
laguna. Saat itu juga tubuh yang telah kaku ini me-
layang dan jatuh keras tak jauh dari tubuh Jayeng Parawira. Dengan senyum
mengiriskan, Lintang sari ber-
kelebat dan berdiri di antara tubuh Jayeng Palaguna
dan Jayeng Parawira. Matanya melirik sebentar. Lan-
tas dengan sedikit membungkuk, tangannya bergerak
cepat melepas kancing-kancing baju Jayeng Palaguna
yang masih utuh. Lalu sekali sentak, tubuh lelaki itu membalik. Dan saat itu
juga, baju putihnya lelah berada di tangan Lintang Sari.
Seraya keluarkan tawa panjang, gadis itu ber-
kelebat dan menghilang.
*** 4 Matahari bersinar garang, membuat kulit terasa
melepuh. Namun keadaan ini sama sekali tidak dipe-
dulikan seorang gadis cantik berpakaian putih yang di-rangkap baju putih. Di
dadanya tampak lukisan kecil
berbentuk gapura kerajaan. Gadis ini melangkah cepat menuju sebuah bukit.
Begitu sampai lereng bukit ini, gadis yang tak
lain Lintang Sari menghentikan langkahnya. Telapak
kirinya menghadang di depan kening untuk menangkis
silaunya sinar matahari. Dengan begitu, puncak bukit baru dapat terlihat jelas.
"Hm.... Bangunan agak megah di puncak bukit.
Menurut Paman Restu Palaran, itulah tempat tinggal
tokoh hitam yang saat ini disegani dan menjadi kaki
tangan kerajaan. Hm.... Dada Sukma atau Iblis Peng-
gali Kubur, sambutlah kedatanganku! Gumam Lintang
Sari, seraya kembali melangkah ke arah puncak bukit.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah
cukup tinggi, sebentar saja Lintang Sari telah sampai sepuluh tombak dari
bangunan megah di puncak bukit. Namun, mendadak langkahnya tertahan, ketika
tahu-tahu berkelebat satu sosok bayangan dan lang-
sung berdiri menghadang.
"Berhenti!"
Lintang Sari menghentikan langkahnya. Diper-
hatikannya sosok laki-laki bertubuh gemuk di hada-
pannya dengan kening berkerut pada jarak dua tom-
bak. "Hm.... Siapa kau, Cah Ayu. Apa keperluanmu datang ke puncak Bukit Prono
Jiwo ini?" tegur laki-laki gemuk itu. Matanya tak cepat ke arah dada Lintang
Sari yang membusung menantang.
"Hei" Apakah matamu buta, sampai-sampai tak
mengenali pakaian yang ku kenakan... " Cepat kata-
kan pada Iblis Penggali Kubur, ada orang kerajaan datang ingin bertemu! Ada
pesan yang harus kusampai-
kan langsung padanya!" bentak gadis itu sambil menu-tupkan pakaian luarnya yang
seperti sengaja tak di-
kancingkan. "Hm..., begitu" Baik, akan kusampaikan! Tapi
sebutkan dahulu, siapa namamu. Dan, dari barisan ke
berapa?" "Kau terlalu banyak mulut! Siapa aku dan dari
barisan ke berapa, itu tak penting! Yang jelas, aku utusan kerajaan dan
mengemban tugas untuk me-
nyampaikan pesan raja!"
"Kalau kau tak menyebutkan nama, jangan ha-
rap bisa menemui Iblis Penggali Kubur! Lagi pula saat ini Iblis Penggali Kubur
sedang tak menerima tamu!
Siapa pun adanya tamu itu! Kalau memang ada pesan,
aku, Kumbara mewakilinya!" kata sosok bertubuh gemuk yang mengaku bernama
Kumbara seraya mene-
puk dada. Lintang Sari mengangguk perlahan sambil ter-
senyum. Lantas tubuhnya menggeliat dengan kedua
tangan merentang. Dan untuk kedua kalinya, pakaian
luarnya menyingkap, sehingga buah dadanya yang tak
tertutup tampak jelas. Seraya melenggang mendekati
Kumbara, pinggulnya sedikit digoyang.
Sepasang mata Kumbara kembali melotot. Ja-
kunnya naik turun dengan napas memburu lebih ken-
cang. Sementara bibirnya tersenyum, namun lebih mi-
rip seringai. Selagi Kumbara terpesona, tiba-tiba Lintang Sa-
ri menjejakkan kakinya sambil mendorong kedua tan-
gan ke depan. Begitu cepat gerakannya, dan sama se-
kali tidak terdengar.
Wesss...! Gelombang angin segera menggebrak ke arah
Kumbara yang masih terkesima. Dan belum sempat
Kumbara bergerak menghindar, pukulan jarak jauh
Lintang Sari yang telah dialiri tenaga dalam telah ke-buru datang.
Des! "Aaakh...!"
Tubuh gembrot Kumbara kontan terpelanting
begitu pukulan Lintang Sari mendarat di bahunya. Tu-
buhnya terus meluncur, dan menabrak batu-batuan
bukit dengan keras. Mulutnya yang mengeluarkan da-
rah tampak menyeringai. Namun baru saja Kumbara
bergerak bangkit, Lintang Sari telah berkelebat cepat dengan tangan bergerak
menotok. Tuk! Tuk! "Aaakh...!"
Dua buah totokan Lintang Sari pada pundak,
membuat Kumbara melenguh pendek dan kembali ja-
tuh tak bisa bergerak lagi.
Baru saja Lintang Sari berbalik, kembali dua
sosok tubuh berkelebat dari bangunan megah di pun-
cak bukit ini. Sebentar saja dua sosok yang ternyata dua orang laki-laki berusia
sekitar tiga puluh lima tahun itu telah berdiri di depan Lintang Sari. Rupanya,
mereka berdua tadi melihat tindakan gadis itu terhadap Kumbara.
"Siapa kau, Cah Ayu"! Mengapa kau lukai te-
man ku"!" tegur laki-laki yang bermuka lebar.
Sepasang mata kedua laki-laki ini mendelik dan
siap melancarkan serangan. Apalagi melihat Kumbara
di buat tak berkutik.
"Manusia-manusia buta! Sudah tahu masih
bertanya pula!" kata Lintang Sari sambil busungkan dadanya. Kedua tangannya
diangkat ke atas kepala
dengan perlahan dan lembut Sementara, tubuhnya
menggeliat. "Hati-hati, Kakang Randu Paksa! Jangan terpe-
sona. Kulihat tadi Kakang Kumbara tertipu dengan ge-
rakannya!" bisik laki-laki yang berkumis lebat sambil mengawasi.
Laki-laki bermuka lebar yang dipanggil Randu
Paksa mengangguk perlahan.
"Kakang Kumbara roboh. Ganda Manik! Dia tak
tahu harus bagaimana caranya menghadapi gadis ma-
cam begini!" ujar Randu Paksa disertai senyum penuh
makna. Namun baru saja kata-kata Randu Paksa habis,
mendadak. "Hah.... Hah...!"
Mendadak terdengar suara tawa dari mulut Lin-
tang Sari, membuat kedua laki-laki di depannya ter-
sentak kaget. Mereka hendak berbuat sesuatu, namun
terlambat. Keduanya seperti terkena gempuran tenaga
dalam dahsyat, hingga tak bisa menggerakkan anggota
tubuh. Rasanya, tulang-tulang mereka seperti di lolosi, mendengar suara tawa
Lintang Sari. Randu Paksa dan Ganda Manik berusaha men-
gempos semangat dengan mengerahkan tenaga dalam.
Namun sebelum itu terjadi. Lintang Sari segera meng-
hentikan tawanya. Tubuhnya mendadak melesat ke
depan. Lalu satu langkah di depan kedua laki-laki itu gadis ini melepaskan dua
tendangan berturut-turut.
Des! Des! "Aaakh!"
"Aaa...!"
Terdengar dua jeritan kematian, ketika tendan-
gan Lintang Sari yang berturut-turut tepat menghan-
tam dada mereka. Tubuh Randu Paksa dan Ganda
Manik terpental dan jatuh di atas tanah. Sesaat tam-
pak mereka kelojotan, lantas diam tak bergerak lagi!
Lintang Sari merapikan pakaiannya. Sebentar
matanya menatap dua mayat lawannya, lalu melesat
ke arah bangunan. Di depan bangunan, matanya bere-
dar ke sekeliling.
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dada Sukma! Keluarlah! Aku, utusan kerajaan
datang untuk menangkapmu...!" teriak Lintang Sari.
Beberapa saat tak ada sahutan. Tapi saat Lin-
tang Sari akan buka mulut....
"Berpuluh-puluh tahun malang melintang da-
lam rimba persilatan, berpuluh-puluh tahun melan-
glang buana, hanya liga gelintir manusia di kolong langit yang mengetahui nama
asli ku, Cah Ayu! Kau telah mengaku sebagai utusan kerajaan yang mengusik ke-
tenangan ku. Siapa kau sebenarnya..."!"
Terdengar sahutan dengan suara berat.
Lintang Sari tak menjawab. Matanya nyalang
mengawasi sekeliling.
"Baik! Kalau kau tak mau mengatakan, mung-
kin kau menunggu tanganku yang akan membuka mu-
lut mu!" Terdengar lagi suara dari dalam bangunan. Lin-
tang Sari mendelik.
"Dada Sukma! Kau tak usah mengumbar suara!
Keluarlah. Terimalah gurat kematianmu hari ini!" ancam gadis ini.
"Anjing kurap tak tahu adat! Kau kira sedang
berhadapan dengan siapa saat ini, he"! Setan kecil! Ketahuilah! Kedatanganmu ke
puncak Prono Jiwo hanya-
lah mengantar nyawa!" bentak suara dari dalam bangunan. Kelihatannya, dia amat
geram, sehingga sua-
ranya terdengar menggemuruh.
"Setan hutan! Memangnya kau siapa..." Kau
tak lebih dari tua bangka yang menunggu saat kema-
tian! Keluarlah, Tua Busuk!" balas Lintang Sari.
"Aku telah di luar. Setan Kecil!"
Paras muka Lintang Sari seketika berubah.
Dengan menahan rasa keterkejutan, kepalanya meno-
leh ke samping. Sepasang matanya melotot, seakan lak percaya. Karena tahu-tahu
di sebelah bangunan telah
berdiri seorang laki-laki berusia lanjut. Pakaiannya warna kuning kusam.
Tubuhnya kurus kering. Jenggotnya panjang dan kaku. Bibirnya sangat tebal.
Sepasang matanya besar, menjorok masuk ke dalam rongga
yang menganga lebar. Mukanya sangat pucat. Tangan
kirinya memegang sekop kecil berwarna kuning yang
berkilatan. "Bagus! Ternyata kau bukan pengecut, Dada
Sukma! Dengar baik-baik! Aku utusan kerajaan yang
datang untuk menangkapmu dan menyeret tubuhmu
ke hadapan raja!" kata Lintang Sari, setelah menyembunyikan rasa terkejut.
"Ha... ha... ha...! Kau kira aku bisa dikelabui, Setan Kecil" Di dunia ini hanya
tiga manusia yang ta-hu nama ku! Dua gelintir, sudah masuk liang lahat.
Sementara yang satunya adalah buronan kerajaan.
Namanya Restu Palaran! Tanpa kau beritahu, aku su-
dah dapat menebak. Kau adalah anak asuh buron ke-
rajaan itu!" kata laki-laki tua bernama Dada Sukma yang di kalangan persilatan
berjuluk Iblis Penggali Kubur. Sebentar Dada Sukma menghentikan kata-
katanya. Dikenalinya dulu wajah Lintang Sari yang
cantik. "Hari ini rupanya ada orang mengantar rejeki besar! Ketahuilah, Lintang
Sari! Kau adalah deretan
pertama nama buron kerajaan! Dan siapa pun juga
yang mengantar kepalamu ke hadapan raja, akan
mendapatkan imbalan besar. Dan hari ini, rupanya
kau datang mengantar kepalamu tanpa aku susah-
susah mencarinya...!" lanjut laki-laki tua berjuluk Iblis Penggali Kubur.
"Bagus, jika kau telah tahu. Tua Bangka! Na-
mun sayang. Karena, hal itulah kau harus pergi ke neraka!" desis Lintang Sari.
Dan seketika, Lintang Sari melompat setinggi
dua tombak ke atas. Dengan membual gerakan berpu-
tar satu kali di udara, sepasang kakinya melesat bagai
sambaran kilat ke arah Iblis Penggali Kubur.
"Hm.... Rupanya kau telah mewarisi ilmu si ke-
parat Restu Palaran. Tapi, ketahuilah. Restu Palaran sudah pernah menjilat
pantat ku! Dan sekarang kau
harus menjilat seluruh tubuhku! Ha... ha... ha...!" le-ceh Iblis Penggali Kubur,
mengekeh panjang.
Sejengkal kaki Lintang Sari menghantam. Iblis
Penggali Kubur menghentikan kekehan tawanya. Seke-
tika tubuhnya mendadak kaku. Dan bagai sebatang
kayu, tubuhnya cepat di rebah sejajar tanah.
Wesss! Sepasang kaki Lintang Sari hanya lewat di atas
tubuh Iblis Penggali Kubur yang rebah di atas tanah.
"Keparat busuk!" geram Lintang Sari begitu mendarat di tanah dan berbalik Cepat
kaki kanannya menyapu deras ke arah tubuh Iblis Penggali Kubur
yang masih kejang di alas tanah.
Wut! Lintang Sari kembali dibuat tercengang dan tak
percaya ketika kaki kanannya yang menyapu deras
ternyata hanya menghantam angin. Dan begitu gadis
ini mendongak, ternyata laki-laki kurus kering itu telah mengapung di udara
dengan senyum mengejek.
Hebatnya, masih dalam keadaan berselonjor kaki se-
perti tadi! Sementara, sekop kecilnya tetap dipanggul di atas pundaknya.
"Bangsat!" bentak Lintang Sari marah karena beberapa serangannya dengan mudah
dapat dihindari.
"Chiaaat...!"
Disertai bentakan nyaring, Lintang Sari menje-
jakkan kakinya. Seketika tubuhnya telah mengangka-
sa. Namun bersamaan dengan itu, tubuh Iblis Penggali Kubur yang masih kaku
berputar cepat bagai baling-baling.
Bahkan langsung menukik turun dengan se-
buah serangan kaki dan tangan, menyongsong Lintang
Sari yang melayang ke atas.
Plak! Kaki Iblis Penggali Kubur dapat ditangkis tan-
gan Lintang Sari. Namun, tangan kanan laki-laki tua
kurus kering itu tak terbendung lagi menghantam
pinggang Lintang Sari.
Des...! Bret...! Tubuh Lintang Sari langsung menukik deras
kembali ke bawah, dan menghantam tanah dengan ke-
ras. Bruk! Gadis itu bergerak bangkit. Namun baju luar
yang telah koyak di bagian pinggang segera di lepasnya. Saat mendarat, sepasang
mata Iblis Penggali
Kubur yang besar dan menjorok berkilat-kilat meman-
dang tak berkedip. Ternyata di balik baju luar yang telah dilepas; buah dada
sebelah kanan Lintang Sari
menyembul menantang karena bajunya robek agak be-
sar. Namun seperti tak menghiraukan pandangan
mata Iblis Penggali Kubur, Lintang Sari cepat mena-
kupkan kedua tangannya sejajar dada. Dengan kuda-
kuda kokoh, dilepaskannya pukulan ke arah laki-laki
tua ini.... Wesss...! Saat itu juga. gelombang sinar biru yang lang-
sung berubah merah bergerak dengan suara mengge-
muruh mengancam keselamatan laki-laki tua itu.
Namun dengan tenang, Iblis Penggali Kubur se-
gera memutar-mutar sekop kecil di tangan kirinya.
Sementara, tangan kanan mendorong ke depan.
Glarrr! Terdengar gelegar hebat begitu dua kekuatan
dahsyat bertemu. Pohon-pohon di puncak bukit berde-
rak-derak tumbang. Bahkan bangunan agak megah itu
bergetar. Tubuh Lintang Sari terjajar dua langkah ke belakang, dan jatuh
terduduk. Dari mulutnya mengalir darah. Di pihak lain, Iblis Penggali Kubur
hanya tergontai-gontai.
Baru saja Lintang Sari mengusap mulutnya, se-
rangan Iblis Penggali Kubur menggebrak. Sekop kecil
di tangannya berputar-putar, dan mendadak lenyap.
Yang ada hanyalah biasan warna kuning disertai suara menggidikkan. Disertai
suara menderu, tiba-tiba sekop di tangan Iblis Penggali Kubur melesat ke arah
bahu kanan Lintang Sari.
Gadis itu akan bergerak menghindar dengan
melemparkan tubuhnya ke samping kiri, namun dari
arah sama sekonyong-konyong menggebrak angin de-
ras di sertai hawa dingin.
Mendapati dirinya terkurung serangan, Lintang
Sari tampak tercekat. Namun tubuhnya segera melesat
ke atas, karena hanyalah itu tempat aman dari seran-
gan. Namun mendadak Iblis Penggali Kubur meme-
jamkan mata. Seketika tubuhnya kaku. Dan sekali je-
jak, tubuhnya yang kaku melesat dengan kepala me-
nusuk. Karena tak menduga, Lintang Sari tak bisa
menghindar. Sehingga....
Des! Lintang Sari memekik tertahan ketika kepala
Iblis Penggali Kubur menusuk tepat perutnya, dan
langsung berputar.
Bret! Baju Lintang San terkoyak, dengan tubuh ter-
kapar di atas tanah. Kini kedua buah dadanya sudah
tak tertutup lagi. Dan darah pun kembali menyembur
dari mulutnya. "He... he... he...!"
Iblis Penggali Kubur mengeluarkan kekehan
panjang- "Setan kecil! Sungguh sayang aku sudah tua.
Sehingga, lak tertarik dengan bentuk tubuh mu! Sean-
dainya saja aku masih muda, mungkin kau akan me-
rasakan kenikmatan terakhir, sebelum kematian men-
jemput mu! Tapi kau harus berbahagia. Karena meski
telah tewas, kepalamu berharga mahal di hadapan ra-
ja! Nah, bersiaplah!" ancam laki-laki tua itu.
Dengan menahan rasa sakit dan mual-mual,
Lintang Sari menggeser tubuhnya dan bersandar pada
pecahan balu besar. Sesaat tangannya ditarik. Dan secepat itu pula, diputarnya
Cincin Aswagitha mengha-
dap ke depan. "Biar angin bangun dan mengintai menggalang iringan awan
Sibak timbunan dunia dengan darah
Kaulah panjang tanganku
Kaulah lidah merahku
Genggam semuanya, agar mereka tahu
Darah adalah lambang kematian!"
Dari bibir-Lintang Sari meluncur lantunan
syair. Tepat ketika lantunan syairnya selesai, Iblis Penggali Kubur telah
bergerak dengan memutar sekop
di tangan kirinya. Sementara tangan kanannya mendo-
rong kuat-kuat ke depan.
Wesss...! Segelombang angin deras berhawa dingin yang
menderu, ditingkahi kilatan-kilatan kuning menyam-
bar-nyambar meluncur ke arah Lintang Sari.
Namun dengan gerakan cepat, Lintang Sari
memalangkan tangannya yang mengenakan Cincin
Aswagitha. Sementara, tangan satunya menakup pe-
rut. Terjadi keanehan. Gelombang serangan dari Ib-
lis Penggali Kubur seketika bergerak perlahan dan bersatu menuju pada satu titik
berwarna hijau yang ada
di tangan Lintang Sari. Dan perlahan-lahan pula, titik berwarna hijau itu menyedot gelombang
angin dan kilatan-kilatan warna kuning!
Mata Iblis Penggali Kubur terbeliak. Dan men-
dadak dia mengeluarkan seruan tertahan, karena tu-
buhnya tiba-tiba terasa bergetar dan tertarik ke depan.
"Hiaaah...!"
Dengan mengeluarkan bentakan keras, Iblis
Penggali Kubur mengerahkan segenap tenaga untuk
bertahan agar tubuhnya tak tersedot ke depan. Namun
sedotan dari Cincin Aswagitha rupanya lebih kuat. Sehingga, kedua kaki laki-laki
ini sedikit demi sedikit ter-seret ke depan. Dicobanya untuk menggerakkan sekop,
tapi tangannya seolah-olah tak bisa digerakkan. Hing-ga tanpa bisa dibendung
lagi, tubuh Iblis Penggali Kubur bergerak mendekati Lintang Sari yang masih du-
duk. Dua langkah lagi Iblis Penggali Kubur mencapai tempatnya, Lintang Sari
mengibaskan tangannya. Ma-ka saat itu juga tubuh laki-laki tua ini terdorong
deras ke depan. Pada saat yang sama Lintang Sari mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya ke kaki. Dan saat itu juga di hantamnya selangkangan Iblis Penggali
Kubur yang menghambur ke arahnya.
Tubuh Iblis Penggali Kubur terpental ke bela-
kang disertai jeritan panjang. Begitu terjerembab di atas tanah, bagian bawah
tubuh Iblis Penggali Kubur
telah berlumuran darah. Sekop di tangannya terpental jatuh ke lereng bukit.
Dengan memegangi anggota tubuh bagian ba-
wanya, Iblis Penggali Kubur merambat bangkit. Namun
tiba-tiba matanya membelalak. Tubuhnya terasa rin-
gan dan kekuatannya lenyap! Makin ciutlah nyali Iblis Penggali Kubur. Apalagi
saat dilihatnya Lintang Sari bergerak perlahan mendatangi.
"Ternyata penggalan kepalamu yang akan
menghadap raja, Dada Sukma!" kata Lintang Sari seraya melesat ke atas. Di udara,
gadis ini berputar-
putar, lalu berkelebat ke arah laki-laki tua itu. Dan....
Diegkh! Krak! "Aaakh.."
Jeritan melengking terdengar diiringi suara tu-
lang patah, ketika hantaman Lintang Sari mendarat telak di kepala.
Ketika Lintang Sari telah tegak kembali, tampak
tubuh Iblis Penggali Kubur terkapar tanpa kepala!
Sebentar Mala Lintang Sari yang berkilat-kilat
beredar ke sekeliling, mencari-cari. Senyumnya segera tersungging, saat melihat
penggalan kepala Iblis Penggali Kubur masih tergeletak di samping sebuah bong-
kahan batu. Dengan senyum seringai, Lintang Sari meng-
hampiri kepala Iblis Penggali Kubur. Penggalan kepala yang masih berlumuran
darah itu segera diambil dan
dijinjing. Lalu dengan cepat dibungkusnya dengan ba-
ju putih yang tadi dibuat rangkapan.
Sambil menenteng bungkusan berisi kepala Ib-
lis Penggali Kubur, Lintang Sari melesat masuk ke dalam bangunan. Tak lama gadis
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu berada di dalam,
sebentar saja dia keluar dengan mengenakan pakaian
warna kuning sambil menenteng kotak.
Seraya tertawa mengekeh. Lintang Sari me-
layang turun dari puncak bukit. Sampai di tempat
Kumbara yang masih tertotok, gadis itu berhenti. Dengan cepat, dibebaskannya
totokan di tubuh Kumbara.
Selagi Kumbara tercengang tak percaya, gadis ini telah berkelebat turun.
"Sengaja ku perpanjang umurmu, agar kau
menyebar berita ini! Hi... hi... hi...!" gumam Lintang Sari.
*** 5 Matahari telah tenggelam, ketika Lintang Sari
memasuki kotaraja.
"Hmm.... Kegelapan bisa membantu kelelua-
saan gerakanku...!" gumam Lintang Sari perlahan, seraya terus berkelebat ke arah
istana. Gadis ini rupanya melewati jalan yang sepi. Bahkan tak jarang masih
menyelinap dan muncul lagi, saat keadaan telah me-
mungkinkan. Tak berapa kemudian. Lintang Sari telah tam-
pak mengendap-endap di belakang istana yang dibata-
si tembok tinggi dan tebal. Sejenak sepasang matanya nyalang mengawasi ke
sekeliling. Setelah dirasa tak
ada mata yang melihat, dilemparkannya kotak yang
tadi dibawanya, masuk ke dalam istana bagian bela-
kang. Seiring senyum yang menghiasi bibir, Lintang
Sari berbalik dan berkelebat ke arah selatan.
"Hm.... Kegegeran sebentar lagi akan berlang-
sung. Dan tentunya, akan bertambah seru jika ditam-
bah penggalan kepala Pendekar Lembah Seribu Bunga,
bekas kepala tokoh silat kerajaan! Aku harus segera menambah keguncangan itu
dengan kepala pendekar
itu!" gumam Lintang Sari sambil bergegas menuju kedai di ujung kotaraja.
*** Selesai mengisi perut. Lintang Sari melangkah
keluar kedai. Sesekali matanya masih mengawasi jalan yang dilaluinya. Namun
begitu sampai di tempat yang
agak sepi, segera dikerahkannya ilmu meringankan
tubuhnya untuk berkelebat cepat ke arah selatan.
Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh
setinggi mungkin. Lintang Sari melesat bagaikan
bayangan setan. Sebentar saja dia lelah jauh mening-
galkan kota-raja. Dan kini, gadis itu telah tiba di sebuah lembah yang banyak
ditumbuhi aneka bunga.
Lintang Sari memperlambat langkah. Matanya
segera berkeliling menyelidik. Namun hingga agak la-
ma, tak juga menemukan sebuah bangunan pun. Yang
tampak hanyalah gundukan-gundukan batu dan tum-
buh-tumbuhan beraneka ragam.
"Hm.... Menurut Guru, Pendekar Lembah Seri-
bu Bunga bertempat tinggal di sini. Tapi yang kulihat di sini hanya berupa
tumbuh-tumbuhan dan gundukan batu-batu...."
Wajah Lintang Sari tampak mulai kesal. Tapi
matanya terus mengawasi setiap sudut lembah. Tak
ada tanda-tanda penghuninya.
Setelah menarik napas dalam-dalam, Lintang
Sari menuju sebuah gundukan batu yang paling besar.
Dengan kecewa, pantatnya dihempaskan di atas gun-
dukan batu. Namun begitu menyentuh gundukan itu,
matanya mendadak mendelik. Parasnya berubah, se-
mentara telinganya tertarik ke belakang. Ternyata,
gundukan batu yang didudukinya bergerak-gerak tera-
tur seperti mengembang dan mengempis.
Lintang Sari cepat berdiri, lalu melangkah men-
gitari gundukan batu. Saat matanya tertumbuk pada
sebuah lobang di bagian belakang, senyumnya segera
menyungging. "Pendekar itu pasti berada di bawah lobang ini!
Orang-orang persilatan memang aneh-aneh dalam
memilih tempat...!" gumam Lintang Sari dalam hati.
Gadis itu segera mendekati lobang. Dan begitu
kepalanya melongok....
Wesss! Seketika serangkum angin hangat dan deras
menghambur dari dalam lobang. Dengan cepat Lintang
Sari menarik pulang kepalanya dengan melotot lak
percaya "Tak salah dugaanku.... Dia berada di sini!
Akan ku coba memancingnya!"
Lintang Sari mundur dua langkah.
"Pendekar Lembah Seribu Bunga! Aku utusan
kerajaan datang untuk menemuimu!" teriak Lintang Sari, disertai sedikit
pengerahan tenaga dalam.
Teriakan Lintang Sari hanya terjawab oleh ge-
ma suaranya sendiri yang memantul. Dan karena dis-
ertai tenaga dalam, suaranya sempat menggugurkan
bunga-bunga di sekitarnya.
Namun tak lama kemudian....
"Anak muda! Berlakulah sopan di tempat orang!
Kalau kau benar-benar utusan kerajaan, masuklah!
Dan, bicaralah baik-baik!"
Tiba-tiba terdengar suara yang seakan-akan da-
tang dari langit. Suara itu seperti masuk ke dalam lobang, langsung memantul
menimbulkan gema panjang
yang menggidikkan bulu roma.
Lintang Sari mendengus, lalu melangkah ke
mulut lobang. Namun baru satu tindak....
Wesss! Seketika dari dasar lobang kembali berhembus
angin deras. Lintang Sari cepat menarik tubuh dengan kening berkernyit. Dan
tiba-tiba kaki kanannya menjejak gundukan batu.
Derrr...! Gundukan batu itu pecah berkeping-keping.
Segera saja gadis itu memungut kepingan batu agak
besar. Langsung dilemparkannya batu itu ke dalam lo-
bang. Tak lama Lintang Sari menunggu hasil tinda-
kannya. Sekejap kemudian, kepingan batu itu telah
mental keluar. Setengah tombak di atas lobang, men-
dadak kepingan batu itu bertaburan ke udara dan be-
rubah menjadi debu lembut berwarna hitam.
"Gila! Akibat hembusan angin itu begitu dah-
syat Bagaimana aku harus masuk...?" rutuk Lintang Sari dalam hati. Tanpa dapat
dicegah lagi, tengkuknya terasa dingin.
Agak lama baru anak asuh Restu Palaran ini
tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala. Ia ru-
panya telah menemukan cara. Lintang Sari lalu mun-
dur tiga langkah ke belakang. Dan tiba-tiba kedua tangannya menyentak ke arah
gundukan balu. Pelan.
Gundukan batu itu kembali pecah berkeping-
keping, berjatuhan di atas tanah. Dan dengan senyum
di-kulum, Lintang Sari duduk di antara kepingan-
kepingan batu. Kemudian tangannya mulai bergerak,
melemparkan kepingan batu satu persatu ke arah lo-
bang. Setiap batu yang dilempar masuk, langsung
mental dan berhamburan jadi debu. Namun, gadis itu
terus melempar kepingan batu.
"Kau akan terus mengeluarkan tenaga. Pende-
kar! Dan itu sebuah keuntungan bagiku...!" gumam Lintang Sari.
Dugaan Lintang Sari benar, karena tak lama
kemudian, batu-batu yang dilemparkan tak lagi men-
tal. Seketika dengan kecepatan kilat, tubuhnya segera berputar-putar.
Angin berputar menderu-deru segera melin-
dungi diri Lintang Sari. Dan seketika tubuhnya cepat melesat masuk ke dalam
lobang. Ketika tubuhnya
mendarat pada sebuah ruangan, putaran tubuhnya
segera dihentikan. Saat itu juga, matanya memandang
ke sekeliling. Saat matanya berujung pada sebuah ba-
tu besar putih yang berkilauan, langkahnya surut dua tindak ke belakang.
Di atas batu yang berkilauan tampak duduk
bersila seorang laki-laki. Rambutnya panjang dan hitam. Demikian pula jenggot
dan kumisnya. Wajahnya
berseri-seri, meski usia lanjut tak dapat disembunyikannya. Kedua matanya
terpejam rapat. Sementara,
napasnya berhembus secara teratur. Dan seakan-akan
tak ambil peduli dengan kedatangan Lintang Sari.
"Anak muda! Katakan siapa dirimu..."! Dan,
apa maksudmu mengusik tempatku..."!"
Sedikit saja laki-laki di atas batu putih mem-
buka mulut. Namun suara yang keluar sangat menu-
suk dan menggetarkan.
Untuk menyembunyikan rasa terkejutnya, Lin-
tang Sari tersenyum.
"Pendekar Lembah Seribu Bunga! Kau ingat ke-
jadian tujuh tahun lalu di Istana Malowopati"!" Lintang Sari malah bertanya.
Tanpa membuka kelopak matanya, laki-laki
yang di panggil Pendekar Lembah Seribu Bunga men-
gangguk perlahan.
"Bagus, jika kau belum pikun. Pendekar! Lalu,
apa kau juga masih ingat dengan pembantaian yang
dilakukan tokoh-tokoh silat kerajaan yang kau pimpin pada sang raja dan anggota
keluarganya..."!" susul gadis itu. Laki-laki tua itu tersentak kaget. Sehingga,
bahunya terangkat. Namun matanya tetap tak membuka.
Lantas kepalanya sedikit mendongak.
"Tunggu!" seru Pendekar Lembah Seribu Bunga tertahan. "Kau...."
Tiba-tiba Pendekar Lembah Seribu Bunga men-
gurungkan bicaranya.
"Harap kau meneruskan kata-katamu, Orang
Tua!" kejar Lintang Sari.
Pendekar Lembah Seribu Bunga perlahan
membuka kelopak matanya. Sekilas dipandangnya ta-
jam-tajam ke arah Lintang Sari.
"Gadis cantik, dengar baik-baik. Kau mungkin
men-dengar perihal itu dari....!"
"Restu Palaran...!" sambar Lintang Sari, ketika Pendekar Lembah Seribu Bunga tak
segera meneruskan kata-katanya.
"Hm.... Dugaanku tak meleset!" kata Pendekar Lembah Seribu Bunga kalem. "Dan aku
juga sekarang. bisa menduga, kalau kau adalah Lintang Sari. Tapi ka-
lau boleh kukatakan, peristiwa tujuh tahun yang lalu itu sebenarnya telah
menyimpang dari apa yang dis-epakati sebelumnya! Jadi dalam hal ini, kau tak
bisa menumpahkan segala kejadian itu hanya padaku!"
"Hm.... Begitu" Lantas, siapa yang bertang-
gungjawab atas peristiwa pembantaian itu"!" cecar Lintang. Untuk beberapa saat
Pendekar Lembah Seribu
Bunga tak menjawab. Bibirnya mengatup rapat. Se-
mentara sepasang matanya memancarkan rasa berat.
Mata Lintang Sari makin menyala melihat Pen-
dekar Lembah Seribu Bunga tak segera menjawab per-
tanyaannya. "Jawab, Pendekar! Siapa yang bertanggung ja-
wab atas peristiwa pembantaian Sri Baginda dan selu-
ruh anggota keluarganya tujuh tahun yang lalu"!"
Pendekar Lembah Seribu Bunga menarik napas
lam-dalam. "Lintang Sari! Kau waktu itu masih belum men-
getahui apa-apa! Bukan tak mungkin Restu Palaran ti-
dak mengatakan kejadian yang sebenarnya!" sentak Pendekar Lembah Seribu Bunga
akhirnya. "Kau jangan menambah dosa-dosamu dengan
menuduh orang!" tukas Lintang Sari geram setengah membentak.
"Lintang San! Aku tidak menuduh, tapi curiga.
Jangan-jangan Restu Palaran memperalat mu untuk
menumpahkan dendam kesumatnya! Lintang Sari, sa-
darlah! Peristiwa itu telah terjadi! Bagaimanapun usa-hamu, Sri Baginda ayahmu,
serta seluruh kerabat mu,
tidak akan bisa lagi kembali! Belajarlah menerima kenyataan!"
"Pendekar Lembah Seribu Bunga! Camkan ka-
ta-kataku! Kedatanganku dengan satu tujuan. Yakni,
ingin mendengar dari mulutmu sendiri tentang siapa
yang bertanggung jawab atas terjadinya pembantaian
itu! Kau tak usah mengumbar suara yang bukan-
bukan!" bentak Lintang Sari, disertai kegeraman yang amat sangat. Napasnya
terlihat turun naik, siap me-muntahkan amarahnya.
"Aku tak bisa mengatakan, siapa yang bertang-
gung jawab atas peristiwa pembantaian itu. Lintang
Sari! Waktu itu keadaan sangat kacau. Lagi pula...."
Belum selesai Pendekar Lembah Seribu Bunga
dengan kata-katanya....
"Siapa kepala tokoh silat kerajaan waktu itu?"
tukas Lintang Sari, makin keras. Matanya sudah men-
corong tajam, seperti hendak menelan bulat-bulat laki-laki itu. "Aku...!" jawab
Pendekar Lembah Seribu Bunga berusaha kalem.
"Mengapa waktu itu kau tak berusaha mence-
gah" Malah, bersekongkol dengan musuh untuk
menggulingkan Sri Baginda"!"
"Jangan salah sangka, Lintang Sari! Waktu itu,
aku sudah berusaha agar pembantaian tak berlang-
sung. Tapi apalah artinya aku, jika menghadapi bebe-
rapa tokoh silat lain, serta pembesar-pembesar ista-
na"!" kilah Pendekar Lembah Seribu Bunga, tetap berusaha tenang.
"Alasan usang yang ketinggalan zaman, Pende-
kar!" ejek Lintang Sari, dengan senyum sinis.
"Kau jangan termakan hasutan Restu Palaran,
Lintang Sari! Itu hanya akan menambah beban den-
dam di hatimu! Terimalah keadaan saat ini. tanpa ha-
rus membuka luka lama! Dan kalau kau menuduhku
berbuat kelalaian, sekarang aku bersedia menerima
hukuman dan minta maaf padamu!" ujar Pendekar
Lembah Seribu Bunga menenangkan hati Lintang Sari
yang telah diamuk hawa amarah dan dendam.
"Hanya begitu! Phuih!" ejek Lintang Sari disertai dengusan sinis dan semburan
ludah. "Terlalu enak jika segala perbuatan salah hanya berujung pada kata
maaf! Pendekar! Jika kau tak bisa jawab siapa yang
bertanggung jawab atas peristiwa itu, sekarang jawab pertanyaanku. Jika
seseorang berhutang nyawa, bayaran apa yang harus dikembalikan!"
Pendekar Lembah Seribu Bunga terkejut. Dan
untuk beberapa lama dia tak membuka suara.
"Kau ternyata bodoh. Pendekar! Kedua perta-
nyaanku tak bisa kau jawab. Jika demikian, baiklah.
Dengarkan baik-baik, aku akan jawab sendiri perta-
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nyaan tadi...!"
"Sebentar, Lintang Sari!" tahan Pendekar Lembah Seribu Bunga mencoba memotong
pembicaraan Lintang Sari. Namun rupanya gadis itu tak menghi-
raukan. "Yang bertanggung jawab atas pembantaian itu adalah kau sendiri.
Pendekar! Dan hutang nyawa harus di bayar nyawa!"
Lintang San mengakhiri kata-katanya dengan
tekanan. Bukan hanya itu saja. Setelah selesai bicara, tubuhnya segera melesat
ke atas. Dengan sekali jungkir balik di udara, mendadak tubuhnya menukik deras
dengan kaki menghantam ke arah Pendekar Lembah
Seribu Bunga. Namun dengan tenang Pendekar Lembah Seri-
bu Bunga memiringkan tubuhnya. Sementara, tan-
gannya bergerak cepat menangkap tangan Lintang Sari
yang bergerak ke arah dada.
Hantaman kaki Lintang Sari lewat di atas bahu
Pendekar Lembah Seribu Bunga. Namun tangan gadis
itu lebih cepat bergerak. Sehingga tanpa bisa diben-
dung lagi tangan yang kelihatan ringan itu menggedor dada Pendekar Lembah Seribu
Bunga. Desss! Pendekar Lembah Seribu Bunga yang masih
dalam keadaan duduk bersila terpelanting dan jatuh
terkapar. Namun tanpa mengeluarkan keluhan ia
bangkit sambil tersenyum.
"Tunggu, Lintang Sari. Kau tak usah terlalu
menguras tenaga begitu banyak, jika hanya mengin-
ginkan nyawaku! Lakukanlah apa yang kau inginkan.
Aku tak akan melawan!" ujar Pendekar Lembah Seribu Bunga sambil melangkah
mendekati Lintang Sari yang
kini telah tegak di tempatnya semula.
"Berarti kau mengakui kesalahanmu, Pende-
kar"!" desis gadis murid Restu Palaran ini.
"Tidak! Aku tidak merasa melakukan kesala-
han! Namun karena peristiwa itu di bawah tanggung
jawabku, maka sudah selayaknya jika aku menang-
gung segala sepak terjang bawahanku! Nah, lakukan-
lah apa yang kau mau!" sahut Pendekar Lembah Seribu Bunga, mantap.
"Ha... ha... ha...! Kau membuat tingkah lucu
yang seharusnya tak dilakukan orang sepertimu, Pen-
dekar! Dengan ucapanmu tadi, berarti kau mengajari
ku berbuat pengecut dengan membunuh orang yang
tidak melawan!" ejek Lintang Sari.
Paras Pendekar Lembah Seribu Bunga merah
padam. Sepasang matanya menatap tajam ke arah Lin-
tang Sari. "Ketahuilah, Lintang Sari! Setelah peristiwa
yang menimpa seluruh keluargamu, aku keluar dari
lingkungan istana. Karena, aku merasa tindakan para
tokoh silat kerajaan serta pembesar-pembesar istana,
sudah tak sesuai hati nurani ku! Aku ingin mengha-
biskan sisa-sisa hari tuaku dengan membersihkan diri tanpa mencampuri urusan
istana!" jelas Pendekar Lembah Seribu Bunga, tenang dan lembut.
"Itu urusanmu! Biar kau malang melintang
atau jungkir balik, aku tak peduli! Namun satu hal
yang perlu kau ingat. Pendekar! Hutang harus tetap dilunasi! Dan aku tak akan
berbuat pengecut, seperti
yang kau ajarkan! Kuberikan bak padamu untuk
membela diri. Entah digunakan apa tidak, aku tak
mau tahu!" tandas lintang Sari.
Sejenak gadis itu terdiam. Diambilnya napas
dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Seper-
tinya dia ingin segera menuntaskan keinginannya se-
karang juga. "Biar angin bangun dan mengintai menggalang iringan awan
Sibak rimbunan dunia dengan darah!
Kaidah panjang tanganku
Kaulah lidah merah ku
Genggam semuanya, agar mereka tahu
Darah adalah lambang kematian!"
Begitu lantunan syairnya selesai, lintang Sari
mengatupkan kedua tangannya sejajar dada.
"Hm.... Anak ini rupanya tak main-main! Anak
keras kepala! Sungguh sayang, anak ini telah terma-
kan kata-kata Restu Palaran! Apa boleh buat" Aku ha-
rus bertahan...," gumam Pendekar Lembah Seribu
Bunga sambil memejamkan mata.
Pendekar Lembah Seribu Bunga segera mem-
persiapkan diri dengan mengempos semangatnya. Saat
itu juga tenaga dalamnya dialirkan ke seluruh tubuh.
Kemudian, pelan-pelan matanya membuka.
"Lintang Sari! Baiklah jika itu yang kau kehen-
daki! Tapi, ingat! Aku hanya mempertahankan diri,
tanpa berniat mencederai!"
Mendengar ucapan Pendekar Lembah Seribu
Bunga, Lintang San lak menyahut. Malah segera kedua
tangannya didorong ke depan.
Wesss...! Gelombang sinar merah segera bergerak ke
arah Pendekar Lembah Seribu Bunga.
"Hiaaat...!"
Didahului bentakan membahana, Pendekar
Lembah Seribu Bunga segera melemparkan diri ke
samping sambil mendorongkan kedua telapak tangan-
nya, memapaki gelombang sinar merah.
Blarrr! Ruangan bawah tanah ini kontan bergetar ba-
gai hendak ambruk. Dinding, lantai serta langit-
langitnya yang terbuat dan batu-batu langsung retak.
Pendekar Lembah Seribu Bunga sendiri tersungkur ke
pojok ruangan dengan kepala mengantuk dinding. Ter-
dengar keluhan dari mulutnya.
Sementara itu Lintang Sari tampak terkapar di
lantai ruangan. Namun dengan sigap dia segera bang-
kit. "Bagus! Keluarkan simpanan ilmumu. Pende-
kar! Hutang itu harus dilunasi sekarang!"
Di akhir kalimatnya. Lintang Sari kembali me-
nyentakkan kedua tangannya melepaskan pukulan ja-
rak jauhnya. Wesss...! Seketika melesat gelombang kekuatan berwar-
na merah ke arah Pendekar Lembah Seribu Bunga.
Tapi tentu saja laki-laki tua itu tidak tinggal diam.
Tubuhnya segera melesat ke atas, menghindari
serangan. Dari udara, dilepaskannya satu pukulan ja-
rak jauh pula. "Hiaaa..!"
Pada saat yang sama mendadak Lintang Sari
memalangkan tangannya yang memakai Cincin Aswa-
githa. Pendekar Lembah Seribu Bunga tersentak kaget.
Parasnya tiba-tiba pucat pasi. Tapi, keterkeju-
tannya terlambat. Saat itu juga serangan yang dilan-
carkannya dari udara perlahan-lahan tersedot masuk
ke dalam Cincin Aswagitha. Dan di kejap itu juga tu-
buhnya bagai tak bertenaga dan menukik deras ke ba-
wah! Lintang Sari yang telah di rasuki hawa amarah
tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Saat tubuh Pen-
dekar Lembah Seribu Bunga luruh ke arahnya, gadis
itu melepaskan tendangan dahsyat berisi tenaga dalam tinggi. Desss...!
Tubuh Pendekar Lembah Seribu Bunga yang le-
lah tak bertenaga kontan terhempas ke atas.
Brolll...! Tubuh laki-laki itu langsung menerabas pinggi-
ran lobang, hingga keluar.
Brukkk! Keras sekali tubuh Pendekar Lembah Seribu
Bunga jatuh di luar lobang, dan terkapar. Sekujur tubuhnya tampak merah melepuh.
Rambutnya terpang-
kas hampir habis. Sementara pakaiannya telah ter-
koyak-koyak. Ketika membuka kedua mata. Pendekar Lem-
bah Seribu Bunga tercekat. Satu tombak di depannya,
Lin-tang Sari telah berdiri dengan tatapan garang. Namun tatapan mata gadis itu
hanya sekejap. Saat kepa-
lanya mendongak...
"Sunyi mengandung maut menggantung di udara Maut yang datang tanpa diundang
Maut yang setiap saat pasti menjelang
Maut yang berawal dari darah!"
Selantun syair keluar dari mulut Lintang Sari.
Dan sebentar kemudian matanya telah menyorot tajam
ke arah laki-laki ini
"Pendekar Lembah Seribu Bunga, bekas kepala
tokoh silat kerajaan! Hari ini hutangmu padaku lunas!"
Sambil berkata, Lintang Sari mendorongkan
tangannya ke arah laki-laki ini yang telah memejam
pasrah. Wesss...!
Gelombang sinar merah kembali bergerak ke
arah Pendekar Lembah Seribu Bunga yang telah tak
berdaya, dengan kecepatan luar biasa.
Namun saat pukulan berhawa maut itu siap
melepas nyawa Pendekar Lembah Seribu Bunga.
Werrr...! Tanpa diduga dari arah samping terdengar sua-
ra menggemuruh bagai gelombang laut, memotong se-
rangan yang dilepaskan Lintang Sari.
Akibatnya, gelombang sinar merah itu berbelok
ke samping, menghantam tumbuh-tumbuhan bunga.
Blarrr...! Terdengar ledakan dahsyat, mengiringi ber-
hamburannya bunga beraneka warna itu ke segala
arah. Bahkan tanah tempat tumbuh tanaman-
tanaman itu terbongkar, menciptakan lobang cukup
dalam. "Jahanam!" teriak Lintang Sari geram. "Siapa
bertindak lancang mencampuri urusan kerajaan!"
Lintang Sari melangkah mundur.
"Kurang ajar! Pukulanku begitu saja melenceng
saat terpotong. Siapa gerangan jahanam usil ini"! Apakah orang kerajaan"!"
Berpikir begitu, Lintang Sari segera menoleh ke
samping. Tepat pada saat itu pula Pendekar Lembah
Seribu Bunga membuka kelopak matanya. Dan dia
ikut-ikutan menoleh ke samping, ke arah Lintang Sari memandang.
Keduanya sama-sama terkejut. Lima tombak di
samping mereka, tahu-tahu lelah berdiri seorang pe-
muda berambut gondrong dan dikuncir ekor kuda. Ju-
bahnya warna hijau ketat, dengan pakaian dalam war-
na kuning lengan panjang. Raut wajahnya tampan.
Tubuhnya kekar. Pemuda ini berdiri tegak dengan si-
kap tak acuh. Sementara dari mulutnya terdengar
dendang nyanyian yang tak jelas.
"He! Siapa kau..."! Jangan berani bertindak
mencampuri urusan ini, jika tak ingin tubuhmu hitam
legam!" bentak Lintang Sari.
Gadis ini menggeram marah. Senyumnya me-
nyeringai beringas. Namun, rupanya Lintang Sari tak
mau bertindak sembrono. Disadari betul, jika puku-
lannya berhasil dipotong berarti orang itu memiliki
tingkat kepandaian yang tak bisa dipandang sebelah
mata. Sambil menjentikkan jari-jari pada ujung hi-
dungnya, pemuda tampan berambut gondrong yang
tak lain Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108 ini celingukan memandang ke arah
Lintang Sari dan Pende-
kar Lembah Seribu Bunga berganti-ganti.
"Orang ini tampangnya keren. Tapi, sikapnya
seperti orang tolol dan sinting! Namun melihat puku-
lannya tadi, dia pasti menyembunyikan sesuatu di ba-
lik sikapnya! Hm..., menilik pakaian yang dikenakan, dia bukan dari kalangan
istana. Meski, wajahnya pantas jadi orang istana!" kata batin Lintang Sari
sambil tak kedip mengawasi pemuda di sampingnya dari
ujung kaki hingga ujung rambut.
Namun ditunggu agak lama, pemuda itu tetap
saja celingukan. Bahkan sambil senyam-senyum dan
bergumam tak karuan. Melihat hal ini Lintang Sari jadi jengkel. "He...! Kau
dengar kata-kataku bukan..."! Apa telingamu minta dikorek" Lekas katakan, siapa
kau..."!" bentak Lintang Sari, disertai pengerahan tenaga dalam.
Dibentak begitu. Pendekar Mata Keranjang 108
tersenyum. Bahkan balik menatap tajam.
"Gadis cantik! Apalah pentingnya sebuah na-
ma" Kau bisa memanggilku apa saja! Sesukamu lah.
Terserah kau mau, terserah kau pilih!" kata Aji.
"Orang sinting!" rutuk Lintang Sari, kesal.
"Panggilan itu juga boleh...!" sahut Aji cengengesan.
Namun, matanya berkedip nakal.
"Sinting! Benar-benar sinting! Baru kali ini aku menemui orang edan seperti
dia!" kata Lintang Sari, dalam hati. "He, Sinting! Cepat tinggalkan tempat ini!
Ku-peringatkan, jangan turut campur masalah ini ka-
lau masih ingin lebih lama menikmati kesintingan mu!"
bentak Lintang Sari, kembali.
"Oh, begitu" Baiklah, Gadis Ayu! Segala perin-
gatanmu akan kuperhatikan. Tapi, harap dengar dahu-
lu ucapanku. Jika kau masih akan menghajar orang
yang sudah tak berdaya, jangan harap aku pergi dari
sini! Malah aku akan membuntuti ke mana kau pergi!"
Meski Lintang Sari menggeram menahan ma-
rah, namun sesaat bibirnya tersenyum.
"Apakah berarti kau akan mencampuri urusan
ini" Urusan yang siapa saja tak berhak mencampu-
rinya..."!"
Setelah berkata sinis, Lintang Sari mendongak.
Lalu.... "Sungguh kasihan orang yang bersikap tolol Mereka harus membayar mahal
ketololannya Dengan tetesan darah
Darah kematian!"
Satu bait syair, meluncur dari bibir Lintang Sa-
ri. "Hai, Orang Sinting! Mumpung masih ada ke-
sempatan, sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini. Da-
ripada kau terpuruk di sini tanpa kubur, cepat patuhi perintah ku!" dengus gadis
itu, bernada mengancam.
Matanya yang melotot, seperti hendak menghujam jan-
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tung Pendekar Mata Keranjang 108.
Masih dengan senyam-senyum, Aji mendongak
ke atas. Lalu....
" Sungguh minta dikasihani orang yang keras kepala Mereka melangkah dengan
tertatih-tatih Padahal tongkat di tangannya telah rapuh
Sedang yang dituju adalah alam kegelapan"
Pendekar Mata Keranjang malah ikut-ikutan
melantunkan syair.
"Gadis cantik! Selagi ada waktu, sadarlah! Per-
buatanmu ini tak terpuji. Kalau kau memang ksatria,
beri kesempatan pada orang tua yang telah tak ber-
daya itu untuk meninggalkan tempat ini!" ujar Aji, tak kalah garang.
Lintang Sari mengumpat panjang pendek dalam
hati. "Kau memang orang sinting yang cari mati!" Setelah berkala. Lintang Sari
segera menyentakkan tan-
gannya ke arah Aji.
Wesss...! Seketika dari telapak tangan gadis ini meluruk
gelombang berwarna merah yang berhawa maut, men-
gancam keselamatan pemuda tampan itu.
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat melenting-
kan diri ke udara. Dan masih dengan cengengesan,
kakinya mendarat di samping Pendekar Lembah Seribu
Bunga. Lintang Sari semakin marah, karena merasa
dipermainkan. Lalu tanpa bicara lagi, segera kedua
tangannya disatukan sejajar dada.
"Orang muda, hati-hati!" kala Pendekar Lembah Seribu Bunga, dengan suara
tersendat di tenggorokan.
Baru saja Aji hendak menoleh, gelombang sinar
merah telah kembali bergerak cepat ke arahnya.
"Jika aku menghindar, gelombang sinar ini
akan menghajar orang tua ini...!"
Berpikir begitu. Pendekar Mala Keranjang 108
segera mengepalkan tangannya, membuat jurus
'Gelombang Prahara'. Dan ketika gelombang sinar me-
rah telah melesat, cepat pula tangannya dihentakkan ke depan.
Werrr...! Gelombang angin disertai suara menggemuruh
segera pula menggebrak memapak serangan gelom-
bang sinar merah.
Blarrr...! Ketika dua pukulan bentrok, tempat itu laksa-
na di guncang gempa dahsyat. Bunga-bunga kembali
berguguran dan menghitam. Sementara Aji terpelant-
ing hingga dua tombak ke samping, lalu jatuh men-
cium tanah. Wajah dan sebagian jubah hijau ketatnya
tampak kemerah-merahan. Tenggorokannya bagai ter-
jilat api, dengan napas sesak.
Di lain pihak. Lintang San terpental hingga em-
pat tombak ke belakang. Baju bagian pinggang dan
bahu tampak terbakar. Wajah pucat pasi. Namun saat
terpental tadi, dia masih sempat membual gerakan
berputar di udara. Begitu mendarat tubuhnya sebentar tergontai-gontai, tapi
segera dapat berdiri tegak kokoh.
Di sudut-sudut bibirnya mengalir darah agak kehita-
man pertanda terluka dalam. Hal ini bisa dimaklumi,
karena sudah untuk yang ketiga kalinya jurus ini dikerahkan. Hingga bagaimanapun
hebatnya pukulan itu,
bentrokan yang ditimbulkan tak bisa menghindarkan
dirinya dari luka dalam.
Untuk beberapa lama. gadis murid Restu Pala-
ran ini tegak tak bergeming. Parasnya meringis mena-
han sakit. Bahkan tatkala melirik tangannya, matanya langsung mendelik. Kulit
tangannya tampak kemerahan dan serasa seperti ditusuk jarum.
Melihat hal ini Lintang Sari menggoreng. Saat
itu juga tangannya yang mengenakan Cincin Aswagi-
tha dipalangkan. Sementara, tangan satunya bersiap
melepaskan pukulan jarak jauh. Sinar hijau berki-
lauan tampak memancar dari jari tangan kanannya.
Aji tercengang dan melotot, melihat cincin yang
dikenakan Lintang Sari.
"Cincin Aswagitha!" gumam Pendekar Lembah
Seribu Bunga perlahan. "Anak muda! Cincin itu adalah senjata sakti. Kau harus
berhati-hati! Jangan menge-
luarkan tenaga jika menghadapinya!" Aji mengangguk perlahan, mendengar
penjelasan sekaligus peringatan
dari bibir Pendekar Lembah Seribu Bunga.
Merasa keadaan agak gawat, Pendekar Mata
Keranjang 108 segera mengeluarkan kipas lipatnya.
Dipentangkannya benda itu di depan kepala dengan
kaki membuat kuda-kuda kokoh.
Begitu kipas terpentang, sinar hijau dan putih
menyilaukan segera memancar. Dan ini membuai Lin-
tang Sari dan Pendekar Lembah Seribu Bunga sama-
sama terkesima. Bahkan gadis itu surut setengah
langkah ke belakang.
"Aku harus memancingnya, agar dia menye-
rangku. Dengan demikian, tenaganya akan tersedot ke
dalam Cincin Aswagitha!" kata batin Lintang Sari.
Lantas dengan sedikit menyimpan rasa jerih
Lintang Sari tersenyum sinis.
"Hm.... Kipas rombeng, apa hebatnya!" ejek Lintang Sari. "Hei, Sinting! Sungguh
kasihan kau. Sudah sinting, masih juga jadi antek pengkhianat! Kau memang pantas
segera menghuni neraka!"
"Hm..!"
Aji hanya menggumam panjang mendengar ka-
ta-kata Lintang Sari. Bibirnya tersenyum, dengan tatapan menusuk.
"Gadis cantik! Urusan menghuni neraka, kukira
bukan kau yang menentukan! Dan satu hal yang ha-
rus diingat, aku bukannya ikut campur urusanmu.
Aku hanya tak suka melihat kau masih ringan tangan
terhadap orang yang sudah tak berdaya! Dan, jangan
harap aku akan menyerang mu. Aku hanya berusaha
mematahkan seranganmu!" balas Pendekar Mata Ke-
ranjang 108, kalem.
Lintang Sari terkejut mendengar ucapan Aji.
"Bajingan! Apa orang ini tahu tentang Cincin
Aswagitha..."!" batin Lintang Sari.
Dan Lintang Sari makin melongo tak percaya
melihat Aji tersenyum-senyum dan melangkah ke
arahnya dengan terus memandangi tak berkedip.
"Edan! Betul-betul edan manusia satu ini!" rutuk Lintang Sari seraya mundur.
Tangan kiri Lintang Sari yang tadi siap melan-
carkan serangan, perlahan-lahan luruh ke bawah. Se-
pasang matanya mendelik tak berkedip melihat sikap
Aji. "Gara-gara orang gila ini, urusanku dengan
Pendekar Lembah Seribu Bunga terpaksa harus ku-
tunda!" kata Lintang Sari dalam hati sambi! berbalik.
Gadis itu berdiri membelakangi Aji. Dia seperti
tak peduli pada Pendekar Mata Keranjang 108 yang te-
rus melangkah mendatangi
"Berhenti, Orang Sinting! Kali ini omongan mu
ku turuti! Tapi, jangan harap urusanku dengan Pende-
kar Lembah Seribu Bunga selesai sampai di sini! Kelak aku akan datang menjemput
nyawanya yang tertunda!
Dan kau, Orang Sinting! Sekali lagi ikut campur, aku tak akan bermurah hati
lagi!" Selesai berkata Lintang Sari berkelebat dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sebentar
saja, tubuhnya telah lenyap dari pandangan Pendekar
Mata Keranjang 108.
"Terima kasih, Orang Muda...!" kata Pendekar Lembah Seribu Bunga sambil
memegangi dadanya.
Suaranya tersendat-sendat dan hampir tak terdengar.
Ketika menoleh, Aji terkejut. Ternyata Pendekar
Lembah Seribu Bunga telah kembali terkapar. Mulut-
nya tampak mengeluarkan gumpalan darah kehita-
man. "Kalau boleh tahu, ada sengketa apa sebenar-
nya hingga gadis tadi sepertinya sangat menginginkan kematianmu, Pendekar...?"
tanya Aji seraya membantu mendudukkan Pendekar Lembah Seribu Bunga.
Sebentar Pendekar Lembah Seribu Bunga men-
gatur jalan napasnya.
"Ah! Itu sebenarnya urusan lama yang telah ku
lupakan. Dan..., aku sendiri tak menduga..., jika..., dia akan muncul!" sahut
laki-laki itu, tersendat.
Baru saja kata-katanya selesai kembali gumpa-
lan darah kehitaman keluar dari mulut Pendekar Lem-
bah Seribu Bunga.
"Bertahanlah, Pendekar! Aku akan membantu-
mu menyalurkan hawa murni!" ujar Aji.
Pendekar Mata Keranjang 108segera membuka
telapak tangannya. Segera ditempelkannya ke dada
Pendekar Lembah Seribu Bunga.
"Anak muda, percuma! Tenagaku sudah habis
tersedot cincin gadis tadi. Aku tak bisa diselamatkan lagi! Hanya saja aku mohon
padamu. Cegah keinginan
Lintang Sari! Dia..., sangat berbahaya!" desah Pendekar Lembah Seribu Bunga.
"Lintang Sari..."' gumam Aji perlahan dengan
kening berkernyit.
"Gadis tadi.... Dia..., adalah putri..., Sri Baginda yang telah terguling.
Dia..., akan...."
Pendekar Lembah Seribu Bunga tak kuasa lagi
meneruskan kata-katanya. Hanya mulutnya bergerak-
gerak tanpa ada suara yang keluar.
Aji berusaha menyalurkan hawa murni ke tu-
buh Pendekar Lembah Seribu Bunga. Namun seperti
kata laki-laki tua itu, ternyata hawa yang disalurkan Aji tak membawa arti.
Hingga sejenak kemudian tampak mata Pendekar Lembah Seribu Bunga meredup.
Dan sesaat kemudian, terpejam bersamaan dengan ge-
rakan kepalanya yang lunglai.
*** 6 Istana Kerajaan Malowopati menjadi gempar
saat pagi hari di depan bangsal keputren ditemukan
kotak yang berisi penggalan kepala tokoh sesat yang
belakangan diketahui menjadi kaki tangan kerajaan.
Iblis Penggali Kubur! Namun, bukan penggalan kepala
Iblis Penggali Kubur yang membuat kalangan istana
guncang dan curiga. Tapi, pembungkus kepala itu
yang membuat kalangan istana bertanya-tanya. Kare-
na pembungkus kepala itu berupa baju berlambang
kerajaan. Untuk mengatasi guncangan itu. malam hari ini
Sri Baginda Kerta Bumi mengadakan pertemuan den-
gan mahapatih. "Paman Patih Gagak Rimang! Keresahan yang
mulai merambat di kalangan istana ini harus segera
dicari jawabannya! Jika tidak, aku khawatir keadaan
ini akan dijadikan kesempatan oleh orang-orang yang
berniat buruk terhadap kerajaan!" titah Sri Baginda pada patih Kerajaan
Malowopati yang bernama Gagak
Rimang. Mendengar penuturan Sri Baginda Kerta Bumi,
patih bertampang wibawa dan berusia agak lanjut itu
mengangguk. "Benar, Sri Baginda! Malah tadi seorang tokoh
silat kerajaan mengatakan, bahwa mereka diam-diam
telah mulai mengadakan penyelidikan, dengan tujuan
agar ruang gerak lebih leluasa. Dan tentu saja untuk menjaga agar keresahan ini
tak menjalar ke seluruh
wilayah kerajaan!"
"Hm.... Bagus! Hatiku memang belum tenteram
jika kejelasan tentang Restu Palaran dan Lintang Sari tak juga kunjung selesai.
Bahkan aku curiga, jangan-jangan Rambu Pamulih dan Tantra Gilang menda-
patkan rintangan. Atau, mungkin saja secara diam-
diam mereka berkhianat pada kerajaan" Buktinya
pembungkus kepala Iblis Penggali Kubur itu berlam-
bang kerajaan! Bagaimana pendapatmu, Paman Pa-
tih..?" Mendengar pertanyaan Sri Baginda, Mahapatih Gagak Rimang mengangkat
kepalanya. "Rambu Pamulih dan Tantra Gilang, serta dua
orang prajurit yang menyusul adalah orang-orang yang telah teruji kesetiaannya
pada kerajaan. Jadi kemung-kinan mereka berkhianat, rasanya mustahil. Yang
mungkin terjadi adalah, mereka mendapat rintangan
dalam tugasnya menangkap Restu Palaran dan Lintang
Sari! Sekarang para tokoh istana juga sedang menyeli-diki, apa tujuan di balik
pemenggalan kepala Iblis
Penggali Kubur yang dibungkus dengan baju berlam-
bang kerajaan itu! Sekadar membuat keresahan, atau
ada tujuan tertentu"! Namun demikian, Sri Baginda
harap tidak begitu mencemaskan kejadian-kejadian
ini! Kami akan segera mengirim tokoh-tokoh silat barisan pertama, untuk menyusul
Rambu Pamulih dan
Tantra Gilang. Juga, penjagaan lingkungan istana
akan lebih diperketat!"
"Hm.... Namun satu hal yang di atas segalanya,
Paman Patih. Dan ini yang membuatku tak enak dalam
menjalankan roda pemerintahan...."
Sri Baginda menghentikan kata-katanya. Dita-
rik napas panjang.
"Soal belum diketemukannya lambang kera-
jaan! Yaitu, Cincin Aswagitha!" lanjut laki-laki berusia lima puluh dua tahun
ini. "Masalah Cincin Aswagitha, kami juga sedang
mencarinya, Sri Baginda. Bahkan kami telah mengum-
pulkan beberapa ahli nujum untuk membantu penca-
rian cincin itu!"
Sri Baginda Kerta Bumi mengangguk menden-
gar keterangan Mahapatih Gagak Rimang.
'Hamba perlu petunjuk lebih lanjut, Sri Bagin-
da!" kala Mahapatih Gagak Rimang setelah saling diam agak lama.
Untuk beberapa saat Sri Baginda masih ter-
diam. "Paman Patih!" panggil Sri Baginda, akhirnya.
"Untuk mengatasi keadaan ini, kau harus mengambil langkah-langkah. Pertama,
persiapkan orang-orang
khusus yang terpercaya untuk mencari jejak Cincin
Aswagitha. Kedua, bentuk pasukan yang dipimpin to-
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
koh silat kerajaan barisan pertama, untuk menangkap
Restu Palaran dan Lintang Sari. Ketiga lipat gandakan penjagaan. Terutama,
sekitar istana dan bangsal keputren. Keempat, perintahkan pada seluruh adipati
yang berada di bawah wilayah Kerajaan Malowopati, untuk
perketat daerah masing-masing. Ini untuk berjaga-
jaga, jika Restu Palaran dan Lintang Sari bisa lolos dari sergapan. Dan semua
ini harus kau laksanakan secepat mungkin!"
"Jika demikian, titah Sri Baginda akan kami
laksanakan. Hamba mohon diri...," pamit Mahapatih Gagak Rimang seraya menjura.
Dan setelah itu, dia
berlalu. Siang ini, di ruang pendopo istana tampak Ma-
hapatih Gagak Rimang sedang membicarakan titah Sri
Baginda pada tokoh-tokoh silat dan pembesar-
pembesar kerajaan. Termasuk, putra-putra dari selir
Sri Baginda "Demikianlah titah Sri Baginda Kerta Bumi
yang harus segera dilaksanakan! Dan khusus untuk
pasukan yang bertugas mencari jejak Cincin Aswagi-
tha, langsung di bawah tanganku!" jelas Mahapatih Gagak Rimang mengakhiri
pembicaraannya.
"Mahapatih! Ada berita buruk Dan ini mungkin
ada kaitannya dengan tewasnya Iblis Penggali Kubur!"
seru salah seorang dari golongan tokoh silat. "Hm.."
Berita apa...?"
"Seseorang tadi pagi dalang ke tempatku. Dia
mengatakan, bahwa tempat tinggal Pendekar Lembah
Seribu Bunga telah porak poranda. Dan, pendekar itu
tidak ada di tempatnya!"
Seluruh orang yang hadir tersentak kaget. Bah-
kan Mahapatih Gagak Rimang sempat ternganga.
"Lalu...?" susul Mahapatih Gagak Rimang.
"Mendapati kabar itu, aku segera berangkat ke
Lembah Seribu Bunga. Dan nyatanya, berita itu benar.
Pendekar Lembah Seribu Bunga tak kutemukan. Tem-
pat tinggalnya berantakan. Dan di sekitar tempat itu, aku juga melihat ceceran
darah yang sudah menger-ing. Namun yang lebih dari semua itu, tak jauh dari si-
tu kutemukan tanah gundukan baru. Sepertinya, ku-
buran!" papar tokoh silat Kerajaan Malowopati itu.
"Rentetan peristiwa ini mungkin saling mengait.
Dan rupanya, si pembuat keresahan ini menginginkan
kita sulit menebak, dari golongan mana sebenarnya.
Karena Iblis Penggali Kubur dan Pendekar Lembah Se-
ribu Bunga adalah tokoh yang berhaluan berbeda. Dan
jika demikian halnya, berarti keadaan mulai genting!
Aku akan menghadap Sri Baginda. Kalian masing-
masing, harap melaksanakan tugas! Kalau ada sesuatu
yang mencurigakan, cepat lapor! Untuk hari ini kita
cukup-kan sekian dulu!"
Setelah berkala. Mahapatih Gagak Rimang se-
gera berlalu. Di antara rombongan orang yang keluar dari
pendopo Istana Kerajaan Malowopati, tampak seorang
laki-laki berusia kira-kira tiga puluh tahun. Pakaian lengkap dengan lambang
kerajaan. Dia menunggang
kuda, di iringi empat orang berkuda yang berpakaian pasukan prajurit kerajaan.
Ketika dia keluar dari gapura istana, para penjaga di luar tampak menjura
hormat. Sementara, laki-laki ini sendiri tampak acuh.
"Pengawal! Kita terus saja ke Hutan Wonosari.
Aku ingin berburu!" kata laki-laki muda saat telah berada di luar istana.
Keempat orang yang rupanya pengawal kera-
jaan hanya menjura tanpa berkata
Maka rombongan berkuda itu segera mengge-
bah kudanya dengan cepat. Hutan Wonosari yang be-
rada di utara. Namun tanpa disadari, sejak keluar dari istana rombongan ini
diikuti satu sosok bayangan yang mengendap-endap dari arah belakang. Melihat
gerakannya, sosok ini memiliki tingkat kepandaian tinggi.
Nyatanya tanpa menunggang seekor kuda, sosok ini
tak tertinggal jauh dari orang-orang yang diikuti. Bahkan tanpa menimbulkan
suara, dia leluasa bergerak
dari satu pohon ke pohon lainnya.
Karena tidak begitu jauh, sebentar saja, rom-
bongan berkuda itu telah tiba di kawasan Hutan Wo-
nosari. Sementara, laki-laki berpakaian kebesaran istana itu segera turun dari
kuda tunggangannya, diikuti empat pengawalnya. Setelah mempersiapkan panah,
kakinya mulai melangkah dengan mata nyalang men-
cari binatang buruan.
Namun belum sampai laki-laki ini menemukan
seekor binatang yang siap diburu....
"Ketika kesunyian menghempas suasana belan-
tara Sang pemburu tiba-tiba datang menghentak, ja-lang Datangnya bagai mata dewa
pengutuk jagat raya Kasih sayang seperti hilang ditelan suka
Darah sang buruan akan segera membasahi
bumi Ditingkah gema tawa calon penghuni neraka!"
Sayup-sayup terdengar lantunan syair, yang
kelihatannya dari arah sebuah dangau.
"Hm.... Di tengah hutan sunyi, siapa gerangan
yang melantunkan syair?" kata laki-laki berpakaian indah itu seraya memandang
berkeliling. Sementara
empat orang pengiringnya yang berdiri agak jauh nam-
pak mencari-cari asal suara.
Bunga Ceplok Ungu 3 Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Bangau Putih 6
MISTERI PENARI RONGGENG Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa Izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108 dalam episode:
Misteri Penari Ronggeng 114 hal.
1 "Biar angin bangun dan mengintai menggalang iringan awan
Sibak timbunan dunia dengan darah!
Kaulah panjang tanganku!
Kaulah lidah merah ku!
Genggamlah semuanya, agar mereka tahu
Darah adalah lambang kematian!"
Sebuah syair melantun indah dengan irama tu-
run naik terdengar mengalun dari sebuah gubuk di
tengah Hutan Batu Licin. Sebuah hutan sunyi dan se-
nyap yang sebenarnya jarang dirambah manusia. Na-
mun entah kenapa, di tengah-tengah hutan itu justru
berdiri sebuah gubuk. Mungkin saja penghuninya sen-
gaja memilih tempat sepi seperti ini dengan alasan tertentu. Sebuah sendang yang
cukup luas dan berair
jernih, menjadi pemandangan indah satu-satunya.
Keindahan itu makin memikat, melihat gubuk yang
dinding, atap, dan alasnya terbuat dari daun-daun jati hutan berdiri di atasnya.
Gubuk itu ditopang oleh empat buah batang kayu yang tidak begitu besar yang
ditancapkan ke dasar sendang.
Untuk mencapai gubuk, tidak tampak jembatan
penghubung atau rakit, kecuali dua lembar daun jati
yang mengambang. Satu di tepian sendang, sedang sa-
tunya di sebelah bawah gubuk.
Bukan hanya itu saja. Ternyata di antara kera-
patan pepohonan hutan dengan sendang, dipisahkan
sebuah jurang lebar dan curam. Sehingga jika dilihat dari atas, yang terlihat
hanya lekukan tanah hitam pe-
kat. Dan anehnya" Jembatan penghubung di atas ju-
rang hanyalah berupa seutas rotan yang besarnya ti-
dak lebih dari ibu jari kaki.
Sementara itu, suara lantunan syair tadi seper-
tinya datang dari kejauhan. Namun, gemanya menera-
bas hingga ke dasar jurang!
Bahkan begitu gema lantunan syair lenyap, se-
bersit sinar biru melesat ke atas. Sesaat sinar itu berubah merah dengan arah
menukik ke bawah. Lalu....
Blarrr! Hutan belantara sunyi itu seketika bagai ter-
hempas gempa dahsyat. Beberapa pohon besar terden-
gar bergemeretak, lalu tumbang dengan kulit kayu
mengelupas dan daun mengelinting merah.
Belum lagi gema suara memekakkan telinga itu
hilang, terdengar suara tawa mengekeh panjang dari
dalam gubuk. Sebuah suara berat dan serak dari
penghuni gubuk. Menilik suaranya, jelas itu berasal
dari mulut seorang laki-laki tua.
Memang, di dalam gubuk itu tengah duduk
bersila seorang laki-laki tua berpakaian serba hitam.
Rambutnya yang panjang dan berwarna putih selu-
ruhnya, terlihat acak-acakan tak terurus. Mulutnya
hampir tak memiliki bibir, sehingga giginya yang berwarna kuning terlihat jelas.
Dan yang membuat wa-
jahnya semakin angker adalah alisnya yang tebal. Se-
hingga matanya yang menyipit seperti menjorok ke da-
lam. Bahkan dari kedua matanya seperti menyorot si-
nar kemerahan. Di depan laki-laki tua ini, duduk seorang gadis
cantik berpakaian tipis warna putih. Begitu ketat pakaian yang dikenakan,
sehingga dadanya yang mem-
busung indah bagai hendak melompat keluar.
"Lintang Sari! Melihat pukulanmu telah sem-
purna, rasanya bekalmu untuk mendapatkan kembali
hakmu terhadap tahta Kerajaan Malowopati yang te-
rampas, sudah lebih dari cukup. Bagaimanapun ca-
ranya, tahta itu harus kembali ke tanganmu! Maka
berbekal kepandaian yang sekarang kau miliki serta
senjata alami yang melekat di dirimu, aku yakin tahta kerajaan yang hilang itu
akan kau dapatkan."
Sebentar laki-laki tua itu menghentikan kata-
katanya yang bernada penuh dendam. Tarikan napas-
nya kelihatan memburu, membayangkan cita-cita yang
diyakini bakal terwujud lewat tangan gadis di depan-
nya yang di panggil Lintang Sari.
"Namun bukan berarti jalan untuk menggapai
tahta itu akan mudah. Perjalananmu nanti sangat be-
rat dan membutuhkan keyakinan, pengorbanan, serta
keberanian! Karena di tengah-tengah perjalananmu
akan sarat berbagai rintangan. Dan karena kaulah sa-
tu-satunya pewaris syah kerajaan yang tersisa, maka
kau harus dapat mempergunakan segala celah yang
dapat diterobos dengan kekuatan dan kecerdikan! Bila tidak, tidak mustahil cita-
cita mu hanyalah sebuah
impian! Bahkan bisa jadi merupakan kenyataan dari
mimpi buruk! Ingat, Lintang Sari! Tinggal kaulah satu-satunya kekuatan yang
tersisa! Aku yang tua ini, tak bisa lagi membantumu. Aku hanya dapat melihat
dari jauh. Syukur kalau diberi usia panjang, aku bisa menjadi salah seorang saksi
bila kelak kau naik tahta menjadi seorang ratu!" lanjut orang tua bertampang
angker ini, penuh tekanan.
Sementara, gadis cantik berpakaian tipis ini
hanya tertunduk menekuri lantai gubuk yang hanya
terbuat dari daun-daun jati. Dan bila lantai ini tidak ambrol, menjadi pertanda
kalau ilmu meringankan tubuh kedua orang Ini sudah sangat, tinggi.
"Dan satu hal yang penting, Lintang Sari!" tambah orang tua itu. "Kau terlebih
dahulu harus menciptakan suatu kegemparan! Bantai dulu tokoh-tokoh
utama kerajaan. Juga tokoh-tokoh yang disegani saat
ini, baik dari golongan hitam atau golongan putih! Ini adalah sebagai tolok
ukur. Jika kau berhasil, maka jalan mu selanjutnya akan lebih ringan. Dan bila
tidak berhasil, muka jalan mu selanjutnya akan semakin berat. Karena jika kau
berhasil membuat kegemparan,
maka perhatian kerajaan akan terpusat pada satu ma-
salah! Saat itulah waktunya bagimu menelusup masuk
dalam kalangan istana. Pergunakan tarian dan dirimu
sebagai senjata, selain syair yang telah kau pelajari!"
"Segala amanat dan pesan Guru akan kuperha-
tikan!" sahut Lintang Sari singkat dan tegas. Nadanya berapi-api dan tinggi.
"Lintang Sari! Malam ini saatmu telah tiba!"
ujar laki-laki tua berwajah menyeramkan itu.
Dahi gadis bermata bulat dengan sorot tajam
ini terlihat sedikit berkerut pertanda terkejut.
"Maksud Guru...?" tanya Lintang Sari agak heran. Tujuh tahun kau berguru di
Hutan Batu Licin
dengan menyimpan impian dan harapan, juga memen-
dam bara! Malam ini, saat bagimu untuk memulai per-
jalanan menggapai impian dan melampiaskan bara!
Berangkatlah malam ini...! Ingat! Buatlah keguncan-
gan! Lalu, masuklah melalui celah-celah yang keropos!
Gunakan segala cara, agar di antara putra-putra selir dan petinggi kerajaan
timbul saling mencurigai!" tandas laki-laki tua ini, penuh tekanan.
"Tapi..., kenapa harus malam ini, Guru?" tanya Lintang Sari lagi.
"Lintang Sari! Tujuh tahun bukan waktu yang
pendek. Maka jangan lagi beri kesempatan pada pen-
guasa sekarang untuk memperkokoh barisan! Itu akan
membuat jalan mu bertambah berat!"
"Jika demikian aku akan menurut perintahmu.
Guru...!" jawab Lintang Sari berat.
Sepasang mata gadis ini yang berbinar tajam
memandang tajam laki-laki tua di hadapannya. Dan
saat mata itu berkedip dan membuka lagi, air bening telah bergulir dari sudut-
sudutnya. "Guru!" panggil Lintang Sari seraya beringsut, dan menjatuhkan wajahnya di kaki
gurunya. "Lintang Sari! Aku, Restu Palaran, tak suka me-
lihat orang menangis! Tangis adalah lambang kelema-
han! Padahal, yang akan kau hadapi adalah tantangan
yang membutuhkan kekuatan! Bangkitlah...!" ujar laki-laki di hadapan Lintang
Sari yang menyebut dirinya
Restu Palaran, setengah menegur.
Lintang Sari perlahan-lahan mengangkat kepa-
lanya. Sebentar kedua matanya yang masih mengelua-
rkan butiran air bening dikatupkan.
"Aku mengerti, Guru! Kelak jika urusan ini te-
lah selesai, aku akan datang untuk memboyong mu!
Muridmu mohon diri...."
Selesai berkata Lintang Sari menjura hormat,
lalu bangkit berdiri. Tubuhnya hendak berbalik, na-
mun.... "Sebentar. Lintang Sari!" tahan Restu Palaran.
Tangan kanan lelaki berwajah mengerikan ini mene-
puk tiang penyangga gubuk hingga terkelupas dan ber-
lubang. Dari dalam lubang, dikeluarkannya sebuah ko-
tak kecil berlapis emas. Dengan perlahan dan sedikit gemetar, Restu Palaran
membuka kotak. Seketika seberkas sinar hijau berkilauan langsung memancar dari
dalam kotak. "Lintang Sari! Ini adalah cincin bermata hijau
yang bernama Aswagitha! Sebuah pusaka kerajaan
yang hingga saat ini masih menjadi incaran orang-
orang. Aswagitha adalah lambang kerajaan! Siapa pun
yang memilikinya dialah yang berhak menyandang ge-
lar raja atau ratu! Selain sebagai lambang kerajaan, Aswagitha adalah sebuah
senjata sakti! Jika kau lantunkan 'Syair Pamungkas', maka segala kekuatan la-
wan akan tersedot dalam cincin ini.! Pakailah...!" ujar Restu Palaran, sambil
menjelaskan tentang cincin yang bernama Aswagitha.
Dengan mata terbelalak dan tangan gemetar.
Lintang Sari mengambil cincin bermata hijau dari da-
lam kotak yang ada di tangan gurunya. Dan dengan
hati-hati dikenakannya di jari manisnya.
Begitu cincin itu masuk, Lintang Sari tersentak.
Dadanya seketika seperti dibebani muatan yang berat, namun sebentar kemudian
lenyap. Selagi keterkejutannya belum sirna, mendadak Restu Palaran menja-
tuhkan dirinya, hingga wajahnya menyentuh alas gu-
buk. "Apa sebenarnya semua ini. Guru...?" tanya Lintang Sari tak habis pikir.
Restu Palaran mengangkat kepalanya. "Kau te-
lah memakai Aswagitha. Maka, berarti kau telah me-
nyandang gelar ratu, penguasa tunggal Kerajaan Ma-
lowopati. Aku adalah hambamu yang harus hormat,
dan berbakti!" kata Restu Palaran, bernada rendah.
Bibir Lintang Sari terkatup rapat. Sekuat tena-
ga dia menahan agar air matanya tak menetes.
"Guru! Waktunya belum tiba untuk melakukan
hal seperti itu. Aku adalah Lintang Sari. Dan kau adalah Restu Palaran, Guru dan
pengasuh ku! Tidak lebih, tidak kurang, meski aku kelak telah menjadi seorang
ratu!" kata gadis itu, dengan dada bergemuruh, karena rasa haru yang tak
tertahankan. Restu Palaran tersenyum lebar. "Itu adalah dua
hal yang berbeda. Ratu!" sergah Restu Palaran langsung mengubah panggilannya
pada Lintang Sari. "Dan siapa pun juga tak akan dapat menyatukannya....
Hm.... masih ada satu lagi. Ratu...!"
Dari balik pakaian hitamnya. Restu Palaran
mengeluarkan sebuah kotak kecil langsung diangsur-
kannya pada Lintang Sari.
"Di dalam kotak ini juga terdapat sebuah cin-
cin. Bentuk dan warnanya sama persis dengan Aswagi-
tha. Aku memang telah membuat tiruannya. Kuharap,
Ratu bisa mempergunakannya untuk lebih membuat
istana guncang!" jelas Restu Palaran.
Dengan sedikit terkejut, Lintang Sari menerima
kotak dan memasukkannya ke balik bajunya.
"Hm.... Tak kusangka jika kau telah memper-
siapkan segala sesuatunya. Kerja keras mu tak akan
kulupakan seumur hidupku...," kata batin Lintang Sari seraya memandang lekat-
lekat. "Ratu.... Saatnya telah tiba. Selamat jalan...."
kata Restu Palaran pelan namun tegas.
Sedikit berat, Lintang Sari berbalik kembali.
Kedua bibirnya nampak saling menggigit. Dan dengan
sekali kelebat, tubuhnya melesat turun, lalu mendarat di atas daun jati yang
mengambang di bawah gubuk.
Dengan sekali menggerakkan tubuh, Lintang
Sari telah membuat daun jati itu meluncur menuju te-
pian sendang. Namun belum mencapai tepi, tubuhnya
telah kembali berkelebat, dan mendarat di atas tanah.
Sejenak Lintang Sari berbalik, memandang ke
arah gubuk. Lamat-lamat dari gubuk terdengar lantu-
nan syair. "Malam berbalut sepi
Ciptakan bentuk mimpimu
Lahir mu akan guncang dunia
Dunia yang hilang dari tanganmu...."
Begitu gema lantunan syair berhenti. Lintang
Sari berbalik kembali. Dengan ringan, kakinya menje-
jak di rotan penghubung di atas jurang sambil mem-
buat beberapa putaran di udara, hingga akhirnya
sampai di seberang. Dan tanpa menoleh lagi, tubuhnya segera berkelebat, lalu
lenyap ditelan rimbunan pohon dan semak belukar hutan.
*** 2 Gubuk di tengah sendang belantara Hutan Ba-
tu Licin kembali disentak sunyi. Udara malam yang
merayap dingin menusuk tulang, membuat kesunyian
semakin mencekam. Namun semua itu rupanya tak
mampu menyurutkan dua sosok bayangan yang berke-
lebat cepat bagai kilat.
Menilik arahnya, jelas kalau dua sosok bayan-
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gan ini menuju sendang. Tatkala sampai pada batas
pepohonan hutan dengan jurang, mereka berhenti. Sa-
lah satu sosok sejenak memandang ke arah jurang, la-
lu menoleh ke arah bayangan di belakangnya yang te-
gak mematung sambil memandangi gubuk yang ada di
tengah-tengah sendang.
"Hm.... Orang tua itu rupanya cerdik juga da-
lam memilih tempat bersembunyi. Tujuh tahun diburu
dan di cari, baru kali ini tempat persembunyiannya di-
temukan. Kita harus cepat menyelesaikannya, Tantra
Gilang! Sekaligus, menyeret mereka menghadap raja!"
kata sosok yang berdiri paling depan yang ternyata la-ki-laki berusia sekitar
empat puluh tujuh tahun. Suaranya terdengar pelan, mungkin takut terdengar oleh
penghuni gubuk di seberang sana.
"Tapi kita harus berhati-hati, Rambu Pamulih!
Restu Palaran adalah bekas tokoh silat kerajaan yang kedigdayaannya sukar
dijajaki. Bukan tak mungkin
kepandaiannya sekarang lebih hebat daripada tujuh
tahun yang silam...!" tukas sosok di belakang yang dipanggil Tantra Gilang.
Sosok yang juga seorang laki-laki berusia em-
pat puluh delapan tahun ini lantas melangkah maju ke arah rotan penghubung di
atas jurang. Kaki kanannya
dijulurkan untuk menjejak-jejak rotan. Lalu diberinya isyarat dengan anggukan
pada sosok berbaju putih
yang dipanggil Rambu Pamulih.
Tak lama kemudian, sosok berbaju coklat ber-
nama Tantra Gilang menjejak pinggiran jurang. Den-
gan membuat putaran di udara, ia lantas meloncat-
loncat di atas rotan dengan cepat hingga mencapai seberang. Sementara Rambu
Pamulih lantas mengikuti
dari belakang. Sampai seberang jurang, tepatnya di tepian
sendang, kedua laki-laki yang usianya tak jauh beda
itu berhenti dan berdiri tegak. Rambu Pamulih yang
berpakaian putih, di dada sebelah kanannya terdapat
lukisan kecil bergambar gapura kerajaan. Rambutnya
hitam dan kelimis serta panjang. Wajahnya cerah. Se-
pasang matanya menyorot tajam dan berkesan wibawa.
Sementara, Tantra Gilang berpakaian coklat muda, se-
bagian rambutnya telah memutih. Wajahnya tampak
sedikit garang. Ini terlihat dari senyumnya yang sering
menyeruak sinis. Tangan kirinya memegang sebuah
tongkat kecil dari besi putih.
Sejenak kedua laki-laki ini saling berpandan-
gan. Tak lama. Rambu Pamulih yang tampaknya men-
jadi pimpinan mengalihkan pandangan ke arah gubuk.
Sejenak ditariknya napas dalam-dalam. Lalu....
"Restu Palaran! Kami utusan kerajaan datang,
untuk membawamu dan Lintang Sari menghadap raja!
Menyerahlah baik-baik!" teriak Rambu Pamulih, yang disertai sedikit pengerahan
tenaga dalam. Suara laki-laki berbaju putih ini menggema
dahsyat. Sampai-sampai air sendang yang tenang se-
dikit bergelombang.
Tak ada sahutan. Namun sebentar kemudian....
"Mandi kembang tujuh warna
Tak akan sirnakan bara terpendam di dada
Sambut kedatangan sang pendatang baru, wa-
hai penghuni neraka.
Mereka akan datang dengan genangan darah!
Darah lambang kematian...!"
Mendadak terdengar lantunan syair. Begitu ke-
ras menggema, hingga bagai datang dari segala penju-
ru. Bahkan sampai mengiang, menusuk telinga dua
laki-laki yang berdiri tegak di tepian sendang.
Wajah Rambu Pamulih dan Tantra Gilang se-
bentar berubah. Merah padam.
"Restu Palaran! Kami tak butuh syair-syairmu!
Sekali lagi kami peringatkan, menyerahlah secara baik-baik agar urusan ini tak
berlarut-larut!" teriak Rambu Pamulih, setelah menekan rasa terkejutnya.
"Rambu Pamulih, Tantra Gilang! Tujuh tahun
aku menanti kedatangan kalian. Dan rupanya, penan-
tianku malam ini akan berakhir! Aku sebelumnya ce-
mas, jangan-jangan kalian berdua telah tewas di tan-
gan orang lain!" balas suara dari dalam gubuk yang memang Restu Palaran.
Dua orang laki-laki, yang mengaku sebagai
utusan kerajaan itu tampak terkejut. Betapa tidak, jelas kalau kehadiran mereka
memang sudah diketahui
Restu Palaran. Buktinya, nama mereka bisa diketahui
dari dalam gubuk.
Saat itu juga Tantra Gilang menarik tangan ka-
nannya ke belakang. Sementara tangan kirinya yang
memegang tongkat ditarik sejajar dada, siap melancarkan serangan. Sedangkan
Rambu Pamulih memberi
isyarat agar Tantra Gilang mengurungkan serangan.
"Restu Palaran! Kami masih menghormatimu
sebagai bekas tokoh kerajaan. Kedatangan kami den-
gan baik-baik untuk membawamu serta Lintang Sari
menghadap Paduka Raja! Namun jika kalian berdua
tak bisa dihormati, jangan menyesal jika kami menye-
ret tubuh kalian berdua!" teriak Rambu Pamulih.
"Ha.... Ha.... Ha...." Restu Palaran malah tertawa mengekeh. "Rambu Pamulih,
Tantra Gilang! Apakah kalian yakin telah datang ke tempat yang benar"
Ketahuilah! Lintang Sari tidak berada di sini! Aku di sini sendirian...! Kalau
kalian tak percaya, silakan kemari! Biar sekalian aku dapat melihat wajah kalian
berdua untuk yang terakhir kali! Bukankah kedatan-
gan kalian berdua sebenarnya ingin menghiasi air sendang itu dengan warna
merah..."!"
"Tua bangka keparat!" bentak Tantra Gilang dengan dada bergemuruh karena hawa
amarah yang memang sudah menggelegak sejak tadi. "Restu Palaran! Kau telah kami beri
kesempatan. Namun rupanya
kau ingin kekerasan. Baiklah, Restu Palaran. Bersiap-
lah! Kau dan anak asuhmu malam ini tak akan dapat
lolos lagi!"
Sehabis berkata, Tantra Gilang kembali mena-
rik tangan kanannya ke belakang. Lalu tangan kiri ditarik sejajar dada. Sesaat
kemudian, tangan kanannya didorong perlahan ke depan. Dan....
Wesss...! Seketika angin deras menggeledek menghempas
ke depan. Maka air sendang yang semula tenang itu
mendadak bergolak liar dan berputar-putar, membuat
gubuk yang berada di tengah-tengah sendang tampak
oleng ke kanan dan ke kiri, seakan-akan amblas ke
dasarnya. Dinding serta atapnya yang terbuat dari
daun jati berkibar-kibar. Namun anehnya, tak satu
pun daun jati itu rontok! Padahal, angin yang menerpa begitu keras!
"Tantra Gilang! Aku yang sudah tua ini muak
dan bosan melihat mainan anak-anakan seperti itu!"
dengus Restu Palaran.
Belum juga serangan Tantra Gilang sampai,
Restu Palaran telah membuka mulut kembali.
"Angin adalah raga
Air adalah jiwa
Gelombang adalah penghias di antaranya!"
Tepat ketika Restu Palaran selesai melantun-
kan syair, dari salah satu daun jati yang berkibar-
kibar me-lesat selarik sinar. Pelan dan tak bersuara.
Namun, air sendang yang bergolak liar itu tiba-tiba
menggulung dan membentuk gelombang.
Brrr...! Lalu dengan suara dahsyat air sendang itu ber-
gerak ke arah Tantra Gilang dan Rambu Pamulih, se-
kaligus melabrak serangan Tantra Gilang. Sementara,
gubuk yang berada di tengah sendang tetap diam tak
bergerak! Tantra Gilang tersenyum sinis mendapati se-
rangannya berbalik, meski kaki kanannya surut ke be-
lakang setengah tindak. Sementara, Rambu Pamulih
tetap tegak tak bergeming. Keduanya seperti siap me-
nanti. Belum sampai gulungan gelombang menghan-
tam.... "Gelombang bertabur angin pusaran
Gejolak menghias udara malam
Darah adalah pemadam di antaranya!"
Air sendang yang telah bergelombang dahsyat
dan menggemuruh itu mendadak menggumpal, dan
melesat bagai bongkahan batu besar! Di kejap lain,
bongkahan air yang telah mengeras tiba-tiba pecah
berkeping-keping bertaburan ke arah Tantra Gilang
dan Rambu Pamulih dari segala penjuru.
"Hiaaah...!"
Serta-merta Tantra Gilang dan Rambu Pamulih
serentak mengangkat kedua tangannya. Dan sekali
sentak, tubuh mereka bergerak berputar-putar.
Wesss...! Tak! Tak! Beberapa kepingan air yang telah mengeras
langsung mental tersapu ke sana kemari, tersambar
angin kencang yang keluar dari putaran tubuh Tantra
Gilang dan Rambu Pamulih. Sesaat kemudian, Tantra
Gilang tampak melesat ke arah kanan. Sedangkan
Rambu Pamulih ke arah kiri.
"Chiaaa...!"
Dari kanan dan kiri, serentak mereka meng-
hantam pukulan jarak jauh. Wesss! Wesss!
Dua rangkum angin panas langsung mengge-
brak ke arah gubuk Namun bersamaan dengan itu, da-
ri dalam gubuk melesat dua larik sinar tanpa suara ke arah kanan dan kiri,
memapak dua rangkum angin
panas yang menderu tajam.
Tas! Tasss! Terjadi benturan empat kekuatan dahsyat. Wa-
laupun hanya menimbulkan suara perlahan, namun
tubuh Rambu Pamulih dan Tantra Gilang sempat terja-
jar tiga langkah ke belakang. Sementara gubuk itu sedikit bergoyang.
"Restu Palaran!" bentak Rambu Pamulih begitu mendarat kembali di tanah.
"Keluarlah! Jangan hanya sembunyi dalam gubuk jika kau benar-benar jantan!"
"Ha.... Ha.... Ha...!" Restu Palaran malah tertawa panjang. "Sudah kukatakan,
kemarilah! Aku sebagai tuan rumah yang baik mempersilakan kalian ma-
suk! Tapi kuperingatkan, ini adalah tempat Restu Palaran. Bukan istana! Jadi,
kalian tak berhak memerin-
tah!" Sebentar Rambu Pamulih dan Tantra Gilang saling berpandangan. Tepat ketika
Rambu Pamulih mengangguk perlahan dari jarak jauh, Tantra Gilang
kembali mengirimkan serangan dengan sentakkan ke-
dua tangan ke depan.
Wesss...! Namun didahului suara kekehan, dari dalam
gubuk kembali melesat seberkas sinar memapasi se-
rangan Tantra Gilang. Glarrr!
Dentuman menggelegar pecah saat dua puku-
lan jarak jauh yang telah dialiri tenaga dalam tinggi bentrok di atas sendang.
Maka seketika air sendang
kembali bergolak.
Dalam suasana demikian, mendadak Rambu
Pamulih kembali menghentakkan tangannya, mele-
paskan pukulan tanpa suara ke arah gubuk.
Settt! Brak! Sekejap kemudian, empat batang kayu pe-
nyangga gubuk berderak patah. Namun, lagi-lagi Ram-
bu Pamulih dan Tantra Gilang terbelalak. Gubuk itu
ternyata tak bergoyang atau amblas. Bahkan menga-
pung, dan melesat menuju arah tepian sendang!
Melihat gubuk itu meluncur. Rambu Pamulih
dan Tantra Gilang kembali segera mendorongkan tan-
gan ke arah gubuk.
Wes! Wesss...! Dua kilatan seketika meluruk dari arah kiri dan
kanan. Namun kali ini dari dalam gubuk tak ada bala-
san serangan. Hingga....
Brasss...! Tak ampun lagi gubuk dari daun jati itu hancur
berhamburan. Sejenak Rambu Pamulih dan Tantra Gilang
menunggu dengan mata nyalang, mengawasi hambu-
ran daun-daun jati yang telah menghitam. Namun
sampai sepasang mata mereka melotot, tak menemu-
kan tubuh Restu Palaran.
Selagi mereka berdua mencari-cari...
"Pandangan hati adalah pangkal segala tahu
Pandangan mata manusia sering tertipu.
Buang segala impianmu
Darah telah menanti mu!"
Terdengar kembali lantunan syair yang tak da-
pat ditebak, dari mana sumbernya. Rambu Pamulih
dan Tantra Gilang sama-sama tercekat. Sehingga me-
reka berdua tersurut mundur dua langkah ke belakang
seraya memasang kuda-kuda menyerang. Kepala me-
reka bagai diberi aba-aba berputar dengan sepasang
mata menyengat mencari-cari.
Belum hilang rasa tercekat dua orang ini, dari
dasar sendang berkelebat sebuah bayangan hitam. Sa-
tu tombak di atas sendang, bayangan hitam ini ren-
tangkan kedua tangannya.
Wesss...! Wesss...!
Dua rangkum angin menderu kencang lang-
sung melesat ke arah Rambu Pamulih dan Tantra Gi-
lang, begitu sosok berpakaian serba hitam ini menyentakkan kedua tangannya.
Dengan menekan rasa terkejut, Rambu Pamu-
lih dan Tantra Gilang segera memapak dengan kepalan
tangan menjotos ke depan.
Brak! Brak! "Aaakh..."
Terdengar dua bentrokan keras disertai kelu-
han tertahan. Tubuh Tantra Gilang tampak terjeng-
kang, lalu jatuh terduduk. Sementara Rambu Pamulih
tergontai-gontai sebentar, sebelum akhirnya dapat segera kuasai keadaan.
"Sedangkan bayangan hitam, yang tak lain Res-
tu Palaran terus melayang dan mendarat dengan kaki
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kokoh di tepian sendang.
Begitu mendarat. Restu Palaran cepat berbalik.
Sepasang matanya yang hanya menyerupai garis pen-
dek tipis itu berkilat-kilat melirik ke arah Rambu Pamulih dan Tantra Gilang.
"Restu Palaran! Sebelum kau kuseret mengha-
dap raja, lekas katakan di mana Lintang Sari!" bentak
Rambu Pamulih, ketika melihat Lintang Sari tak ber-
sama Restu Palaran.
"Ha.... Ha.... Ha...! Percuma rajamu mengang-
kat kalian menjadi tokoh-tokoh silat kerajaan jika be-rotak bebal! Sejak pertama
kedatangan kalian tadi, sudah kukatakan bahwa Lintang Sari tidak ada di sini!
Apa kalian tidak mengerti bahasa ku" Atau kalian
memang manusia-manusia dungu yang harus ditusuk
telinganya"!" ejek Restu Palaran.
Kening Rambu Pamulih berkerut menahan ge-
ram. Wajahnya merah padam. Dagunya terangkat per-
tanda amarahnya telah meluap. Sementara Tantra Gi-
lang membuka telapak tangan kirinya yang memegang
tongkat. Lalu tangan kanannya yang mengepal dihan-
tamkan ke telapak tangan kirinya. Senyum sinisnya
menyeruak. Mulutnya mengembung. Sebentar wajah-
nya berpaling, lalu meludah.
"Rambu Pamulih! Mana ada seorang penjahat
buronan kerajaan yang bisa bicara baik-baik?" kata Tantra Gilang, seraya
tersenyum sinis.
"Kau tak salah omong, Tantra Gilang" Apa bu-
kan kau yang pantas disebut penjahat" Penjahat kepa-
la dua! Yang mencari kehormatan dengan menjual
harga diri"!" balas Restu Palaran.
"Jahanam!" bentak Tantra Gilang, seraya meloncat dan mendarat satu tombak di
samping kiri Res-
tu Palaran. Seketika tangan kanannya cepat didorong-
kan ke depan. Satu gelombang angin segera melabrak, menge-
luarkan suara menderu keras. Dan saat itu juga, tu-
buh Tantra Gilang melesat di belakang angin serangan.
"Uts!"
Sedapa sebelum angin menggebrak bahu, Restu
Palaran membuat gerakan seperti orang menari. Tan-
gannya melenggang turun ke bawah, sementara tu-
buhnya melorot sedikit. Sehingga serangan Tantra Gi-
lang lewat di atas kepalanya. Bahkan secepat itu pula tangannya dikibaskan,
dengan kaki terangkat.
Tantra Gilang terkejut. Apalagi tubuhnya telah
melayang ke arah Restu Palaran. Dan mau tak mau
tangan serta kaki Restu Palaran yang telah siap me-
nanti harus didobraknya.
Prak! Des! Benturan rak dapat dihindari lagi. Tubuh Tan-
tra Gilang terpental di udara. Dan belum sampai me-
layang turun, Restu Palaran telah melesat sambil
mendorongkan kedua tangannya ke arah tubuh Tantra
Gilang yang mulai menukik turun disertai tenaga da-
lam tinggi. "Hih!"
Wut... Sekali terhantam, tak ampun lagi dipastikan
tubuh Tantra Gilang akan berderak dengan tulang pa-
tah-patah. Namun ketika pukulan tangan Restu Palaran
lima jengkal sebelum mencapai sasaran, dari arah
samping kiri melesat serangkum gelombang angin dis-
ertai sinar putih, langsung memotong serangannya.
Darrr! Tantra Gilang selamat dari serangan maut tan-
gan Restu Palaran. Namun, tubuhnya kembali terpen-
tal terkena bias bentrok antara dua pukulan di ba-
wahnya. Begitu kembali menukik, keseimbangan tu-
buhnya sudah tak dapat dikuasai lagi, hingga tanpa
ampun lagi menabrak pohon besar.
Brak! "Aaakh...!"
Tantra Gilang berusaha merangkak bangkit.
Tampak dari sudut-sudut bibirnya menetes darah.
Lengan baju coklatnya hangus. Dan tatkala tegak, tu-
buhnya terhuyung-huyung dan kembali jatuh terdu-
duk. Sementara itu tanpa menoleh. Restu Palaran te-
lah tahu siapa yang telah memotong pukulannya. Ma-
ka tanpa melihat, segera tangannya dihentakkan ke
arah penghadangnya yang tak lain Rambu Pamulih.
Hantaman tangan Restu Palaran tak terdengar.
Namun tanah tak jauh dari tempatnya berdiri terbong-
kar. Dan tangannya dihantamkan kembali ke arah ta-
nah yang terbongkar. Seketika tanah itu membum-
bung, membuat malam yang sudah gelap bertambah
pekat. Tatkala udara pekat, Restu Palaran mengen-
dus-endus. Dan secepat itu pula tangannya diangkat
dan dihantamkan ke arah samping.
Desss! "Aaakh...!"
Terdengar jeritan tertahan di samping Restu Pa-
laran. Begitu hamburan tanah lenyap, tampak Rambu
Pamulih terkapar sambil memegangi bahunya.
Namun dia segera merambat bangkit, dan sege-
ra meloncat ke arah Tantra Gilang yang sudah berdiri tegak walau masih agak
terhuyung-huyung.
"Tantra Gilang, dugaanku tidak meleset! Ilmu si tua itu telah meningkat
dibanding tujuh tahun yang la-lu. Kita harus berpencar, agar serangannya
terbagi. Jangan menyerang bersamaan. Kita harus menyerang
beriringan, biar tenaganya terkuras!" bisik Rambu Pamulih.
"Malam menjelang pagi
Hamparan embun telah menapak datang
Lihat! Malaikat Maut telah menyosong turun
Tangannya berlumuran darah
Darah kematian!"
Terdengar kembali lantunan syair dari mulut
Restu Palaran. "Menyingkir, Tantra Gilang!" ujar Rambu Pamulih seraya melesat menjauh.
Sementara Tantra Gilang cepat pula melesat
mengambil arah berlawanan dari yang diambil Rambu
Pamulih. "Ha... Ha... Ha...! Kenapa kalian pontang-
panting. Hamba Kerajaan" Bukankah kalian datang un-
tuk menyeretku menghadap junjunganmu?" ejek Restu Palaran seraya melirik tempat
beradanya Tantra Gilang dan Rambu Pamulih.
Kali ini baik Tantra Gilang maupun Rambu
Pamulih tak ada yang menyahut. Mereka sadar, ke-
pandaian Restu Palaran masih berada di atasnya. Wa-
laupun Rambu Pamulih dan Tantra Gilang adalah ba-
risan kedua dari tokoh persilatan kerajaan.
"Hm.... Jika kalian tak jadi menyeretku, seka-
rang akulah yang akan menyeret kalian ke neraka!"
Sehabis berkata, kepala Restu Palaran men-
dongak ke atas dengan telapak tangan membuka te-
gang. Dengan memajukan kakinya satu langkah ke
depan, tangannya tiba-tiba menyentak ke arah Tantra
Gilang. Rupanya, dia ingin menyelesaikan riwayat lela-ki berbaju coklat itu
terlebih dahulu, yang telah terluka dalam.
Wesss"! Gelombang angin langsung menggelinding ce-
pat. Namun, Tantra Gilang yang telah waspada segera
memapak dengan menghentakkan tangannya. Pada
saat yang sama, Rambu Pamulih pun telah menghen-
takkan tangannya melepaskan pukulan jarak jauh.
"Heh"!"
Restu Palaran tak dapat menahan seruan ka-
getnya, melihat serangan yang meluruk ke arahnya.
Namun secepat itu pula tangannya dihentakkan, un-
tuk memapak serangan Rambu Pamulih.
Karena baru saja melepaskan pukulan penuh
pada Tantra Gilang, maka pukulan Restu Palaran yang
memapak serangan Rambu Pamulih tak begitu kuat.
Sehingga.... Blarrr...! Darrr...! Tubuh Restu Palaran kontan terpental dan ber-
gulingan di atas tanah. Sementara, Rambu Pamulih
hanya terjajar satu langkah ke belakang.
Namun tidak demikian halnya Tantra Gilang.
Karena keadaannya telah terluka, begitu terjadi benturan, tubuhnya masih
terpelanting dan terbanting ke
tanah disertai erangan panjang pendek.
"Keparat busuk! Mana sifat ksatria mu sebagai
tokoh silat kerajaan" Ternyata kau tak lebih dari kela-kuan para perampok-
perampok! Main bokong!" dengus Restu Palaran sambil menahan dadanya yang terasa
berdenyut sakit.
"Kau tak usah banyak mulut, Restu Palaran!
Untuk menangkap seorang buronan, tak diperlukan
lagi peraturan! Terimalah saat kematianmu untuk me-
nuju neraka!" bentak Rambu Pamulih, seraya berkelebat. Dan tahu-tahu, dia telah
berada di samping Restu Palaran yang masih bergerak bangkit.
Belum sampai Restu Palaran tegak, Rambu
Pamulih telah menyapukan kakinya ke arah kepala.
Wuttt! Mau tak mau, Restu Palaran harus merunduk
untuk menghindar terjangan kaki. Namun tanpa didu-
ga sama sekali. Rambu Pamulih langsung berputar.
Maka ketika serangan pertama lolos, secepat itu pula kakinya yang kanan
menggebrak ke arah dada.
Begitu cepat serangan Rambu Pamulih, mem-
buat Restu Palaran terlambat menghindar. Hingga....
Desss! "Aaakh...!"
Restu Palaran terpental dua tombak ke samp-
ing disertai jerit kesakitan. Begitu mencium tanah, dia mencoba merangkak
bangkit. Wajahnya tampak menyiratkan kemarahan. Tangannya mengepal. Sepasang
matanya menyorot tajam dan berkilat-kilat merah.
Secepat kilat Restu Palaran mengatupkan ke-
dua tangannya sejajar dada. Matanya yang hanya
tampak segaris mengatup. Mulutnya bergerak-gerak,
seperti mengucapkan mantera-mantera.
"Hiaaah...!"
Tepat ketika Restu Palaran selesai berkemak-
kemik, kedua tangannya bergerak ke depan. Dan saat
itu pula satu gelombang sinar biru mendadak bergu-
lung-gulung. Dan ketika sinar itu bergerak ke depan, mendadak berubah merah dan
langsung melesat cepat
ke arah Rambu Pamulih.
Rambu Pamulih rupanya telah mengetahui pu-
kulan andalan Restu Palaran. Maka sebelum gelom-
bang sinar merah menghantam, tenaga dalamnya sege-
ra dikerahkan ke kedua tangannya, sehingga tampak
berkilau. Lantas dengan mata terpejam tangannya di-
dorongkan ke depan.
"Hiaaah...!"
Seberkas sinar putih dari telapak tangan Ram-
bu Pamulih yang terbuka segera melesat bagai dinding tebal, menahan gerak maju
gulungan sinar merah dari
telapak Restu Palaran.
Beberapa saat kedua orang ini saling bertahan.
Namun sesaat kemudian Restu Palaran segera me-
nambah tenaga dalamnya. Wajahnya telah dibanjiri ke-
ringat. Sementara Rambu Pamulih tampak mulai
goyah. Tubuhnya bergetar, dan sedikit demi sedikit kedua kakinya amblas ke dalam
tanah. Matanya makin
terpejam. Sedangkan tangannya makin terdorong ke
belakang. Dan....
Bret! Bret! Pakaian putih Rambu Pamulih mulai koyak di
sana-sini terkena pengaruh kekuatan sinar merah dari tangan Restu Palaran. Dari
seluruh lubang pori-pori di tubuhnya mulai mengeluarkan darah. Sementara kakinya
lelah amblas hingga betis.
Melihat keadaan ini, Tantra Gilang yang meng-
gelosor di tanah cepat merangkak mendekati Rambu
Pamulih. "Tahan terus. Rambu! Aku bantu dari bela-
kang...," ujar Tantra Gilang.
Segera laki-laki berpakaian coklat ini menem-
pelkan telapak tangannya pada kedua kaki Rambu
Pamulih. Hingga, untuk sementara waktu kaki Rambu
Pamulih kembali terangkat. Dan tangannya perlahan-
lahan pula mulai bergerak ke depan. Bahkan kini,
dinding gelombang sinar putih miliknya mulai mendo-
rong gelombang merah.
Begitu membuka kelopak matanya, Restu Pala-
ran menggeram, melihat Tantra Gilang telah memban-
tu menyalurkan tenaga dalam.
"Hiaaat...!"
Didahului bentakan menggemuruh, Restu Pala-
ran mengerahkan seluruh tenaganya, sehingga pori-
pori tangan dan wajahnya sudah mengeluarkan darah!
Di saat yang demikian itulah, tiba-tiba Tantra
Gilang melemparkan tongkat putihnya.
Wuttt! Restu Palaran terkejut, membuat perhatiannya
terpecah. Dan Rambu Pamulih pun tak menyia-
nyiakan kesempatan yang hanya sekejap ini. Dengan
seluruh tenaga sisanya tangannya didorongkan kuat-
kuat. Akibatnya, gulungan sinar merah melemah,
hingga berbalik dan menggebrak ke arah Restu Pala-
ran. Restu Palaran makin terkesiap. Namun di saat
sinar merah itu menerpa bahunya, ia cepat melempar
tubuh ke samping sambil menyentakkan tangannya
dengan tenaga yang masih tersisa.
Rambu Pamulih yang barusan lepaskan tenaga
terakhirnya, tak bisa lagi menghindar, sementara Tantra Gilang sendiri tak kuasa
lagi berkelit. Desss! Desss!
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaakh...! Aaakh...!"
Tubuh Rambu Pamulih dan Tantra Gilang kon-
tan terhempas ke belakang disertai jeritan lengking
menyentak. Tubuh mereka kontan terjerembab di atas
tanah. Tantra Gilang sudah tak bergerak-gerak lagi.
Sedangkan Rambu Pamulih masih sempat memandang
ke arah langit sebelah timur yang mulai terang. Namun sebentar kemudian sepasang
matanya lantas meredup
dan mengatup! Di lain pihak, Restu Palaran bergerak bangkit.
Namun, begitu akan duduk... "Hoeeekh...!"
Darah kehitaman ambyar dari mulut orang tua
ini. Segera tubuhnya ditelentangkan di atas tanah. Sedikit demi sedikit,
ditariknya napas dalam-dalam.
Agak lama, baru Restu Palaran telungkup.
Dengan sekujur tubuh gemetar serta hidung, bibir, telinga mengeluarkan darah,
tubuhnya segera bangkit.
Tak ada suara keluhan dari mulutnya. Dia terus me-
langkah walaupun sempat terhuyung dan ambruk.
Dan begitu ambruk, tubuhnya langsung bangkit dan
kembali berjalan terhuyung-huyung menuju pohon be-
sar di sebelah sendang.
*** 3 "Kegegeran... Hm..., kegegeran! Aku harus
membuat kegegeran!" gumam seorang gadis berbaju ketat warna putih, di tengah
kelebatan tubuhnya yang berlari cepat dalam keremangan suasana Hutan Batu
Licin. Meski udara cukup dingin, namun sekujur tu-
buh gadis ini nampak berkeringat. Sehingga lekuk-
lekuk tubuhnya tampak membayang jelas, di balik pa-
kaian yang tipis dan ketat.
Begitu sampai di perbatasan antara Hutan Batu
Licin dengan Hutan Batu Ampar, gadis yang tak lain
Lintang Sari ini menghentikan larinya. Sebentar pa-
kaian yang terangkat ke atas ditariknya, karena melekat di dadanya yang
membusung. Sementara itu sang mentari telah mulai beran-
jak dari sebelah timur, membuat udara mulai hangat,
Lintang Sari sejenak memperhatikan pakaian dan tu-
buhnya. Sepertinya sudah mengenali daerah itu, dia
segera kembali berkelebat ke dalam Hutan Batu Ampar
yang tidak begitu lebat ini. Di bawah pohon besar yang di sampingnya terdapat
sebuah pancuran, gadis ini
berhenti. Dengan mata berbinar dan bibir tersenyum,
Lintang Sari melangkah ke arah air pancuran. Lang-
sung ditadahkannya air pancuran, dan di siramkan ke
wajahnya. Mendapati kesegaran air, timbul niat di hatinya untuk mandi, sekaligus
menyegarkan tubuhnya.
Jari-jari lentik gadis ini lantas langsung saja bergerak cepat membuka satu
persatu kancing bajunya. Sebentar kemudian, tampak tubuh polosnya yang sudah te-
lah berada di bawah pancuran.
Lintang Sari sepertinya ingin berlama-lama di
bawah air pancuran. Sebentar-sebentar jarinya yang
lentik menggosok seluruh tubuhnya. Namun menda-
dak, gerakan tangannya terhenti. Secepat kilat, tubuhnya berkelebat ke arah
pakaiannya. Dengan gerakan
cepat pula, pakaiannya dikenakan.
Sebentar kemudian, tampak gadis ini telah
mengendap-endap di balik sebuah pohon dengan mata
nyalang dan telinga terpasang tajam-tajam.
Dan memang, sayup-sayup dari arah perbata-
san hutan terdengar derap kaki kuda.
"Hm.... Tujuh tahun mendekam di belantara
ini, baru kali ini ada orang berkuda melintas. Siapa mereka" Jangan-jangan...?"
batin gadis berbaju putih ini.
Sebelum pertanyaannya terjawab, Lintang Sari
telah berkelebat ke arah perbatasan kembali, ke arah suara derap kaki kuda yang
tadi terdengar.
"Hup!"
Begitu sampai di jalan yang membatasi antara
Hutan Batu Licin dengan Hutan Batu Ampar, Lintang
Sari menggenjot tubuhnya ke atas. Di sebuah dahan
pohon yang agak besar di pinggir jalan ini, kakinya
mendarat ringan. Sementara itu, derap kaki kuda yang didengarnya semakin
mendekati ke arahnya.
"Hm.... Menilik pakaiannya..., dua orang ini
pasti dari kerajaan! Apakah tempat ini telah diendus bangsat-bangsat kerajaan?"
gumam Lintang Sari. Sepasang matanya tak berkedip memandang ke arah dua
penunggang kuda yang sebentar lagi melintasi pohon
tempat persembunyiannya.
Baru saja dua penunggang kuda ini lewat....
"Perjalanan panjang yang gila dan melelahkan Perjalanan yang berujung dengan
penyesalan Perjalanan yang harus dibayar dengan darah!"
Terdengar lantunan syair yang sepertinya ke-
luar dari sela-sela pohon. Dengan rasa terkejut, kedua penunggang kuda ini
segera menghentikan kuda tunggangannya. Mata mereka nyalang mencari sumber su-
ara. "Ha... ha... ha...!"
Belum juga bisa menebak dari mana suara
syair, mereka dikejutkan kembali dengan suara tawa
panjang. Begitu mendongak, baru mata kedua pe-
nunggang ini terbelalak, menelusuri lekukan tubuh
dan dada gadis berbaju putih yang duduk menjuntai di atas sebuah pohon menghadap
ke arahnya. Kedua kakinya sengaja direnggangkan, hingga pahanya yang
berkulit putih tampak jelas.
"Hati-hati! Bila mendengar suara tawanya, pe-
rempuan ini agaknya bukan orang sembarangan!" bisik penunggang di sebelah kiri
tanpa menoleh. Mata penunggang kuda itu tajam menatap ga-
dis berbaju putih ketat yang tak lain Lintang Sari.
"Siapa kau..."!" bentak penunggang kuda yang ternyata seorang laki-laki berusia
setengah baya. Dua penunggang kuda ini memang dua orang
laki-laki setengah baya. Mereka mengenakan pakaian
putih-putih. Di bagian dada pakaian tampak lukisan
kecil sebuah gapura kerajaan. Wajah mereka hampir
mirip dengan tubuh kekar dan berotot
"Aku yang seharusnya bertanya pada kalian!
Siapa kalian"! Dan hendak ke mana"! Jangan coba-
coba memasuki kawasan hutan ini tanpa terlebih da-
hulu mengatakan siapa dan hendak ke mana!" balas Lintang Sari setengah
berteriak. "Oh, begitu...?" kata penunggang sebelah kiri seraya kernyitkan kening dan
tersenyum penuh arti.
Lalu mengangguk.
"Gadis cantik! Apakah kau penguasa hutan
ini?" tanya laki-laki yang di sebelah kanan disertai senyum lebar. Matanya tak
beranjak dari dada membu-
sung Lintang Sari.
"Kalian tak berhak bertanya sebelum menye-
butkan nama dan tujuan!" bentak Lintang Sari disertai pengerahan tenaga dalam.
Dua laki-laki kembar di depannya terkejut, me-
rasakan telinga seperti ditusuk
"Aku, Jayeng Palaguna!" kata laki-laki sebelah kiri. "Sedangkan di sebelahku,
saudara kembar ku.
Namanya, Jayeng Parawira. Kami berdua adalah utu-
san Kerajaan Malowopati. Kami dari tokoh silat kera-
jaan barisan ketiga! Soal tujuan kami, maaf. Itu adalah rahasia kerajaan!"
Laki-laki di sebelah kiri yang mengaku bernama
Jayeng Palaguna sengaja menyebutkan diri dari tokoh
silat kerajaan barisan ketiga, dengan tujuan agar gadis berbaju putih itu tahu
diri. "Ha... ha... ha... hi... hi... hi...!"
Namun keterangan Jayeng Palaguna disambut
kekehan tawa Lintang Sari.
"Ah! Rupanya, kalian kacung-kacung kerajaan
yang memburu rahasia. Apakah kaitan tak tersesat,
hingga sampai menelusuri kawasan hutan sunyi
ini..."!" ejek gadis itu.
Lintang Sari kemudian melayang turun, dan
mendarat dua tombak di hadapan laki-laki kembar itu.
"Sungguh kasihan jalan manusia-manusia yang tersesat.
Mereka harus membayar mahal kesesatannya
Dan bayaran yang setimpal adalah darah?"
"Bangsat!" dengus Jayeng Parawira. "Gadis ini tak bisa dibiarkan! Dia telah
berani menghina kita dan kerajaan!"
"Hm.... Rupanya bangsat-bangsat kerajaan te-
lah mengendus tempat kediaman Restu Palaran"! Se-
belum segalanya berlarut, aku harus menyingkirkan
keduanya!" kata batin Lintang Sari.
Sementara, dua pasang mata Jayeng Palaguna
dan Jayeng Parawira segera membelalak, saat Lintang
Sari berdiri seraya busungkan dada.
"Gadis cantik! Siapa kau sebenarnya"!" tanya Jayeng Palaguna. dengan mata tak
beralih dari dada
Lintang Sari. "Sayang, kalian sekarang belum saatnya men-
getahui tentang diriku. Tapi jika kalian penasaran, bisa ditanyakan pada teman
baru kalian di alam neraka!"
sahut Lintang Sari, enteng.
Baru saja kata-katanya selesai, Lintang Sari
langsung menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Wesss...! Saat itu juga melesat serangkum gelombang
angin panas, menderu tajam ke arah orang kembar ini.
Jayeng Palaguna dan Jayeng Parawira yang
menyadari adanya bahaya, cepat melesat seraya
menghantamkan tangan ke arah leher kuda masing-
masing. Dua binatang itu meringkik kaget, lalu melesat cepat. Sehingga kedua
kuda itu selamat dari hantaman tangan Lintang Sari.
Begitu mendarat, Jayeng Palaguna dan Jayeng
Parawira segera berdiri berjajar dan siap menyerang.
Sementara Lintang Sari tampak diam tak bergerak.
Hanya sepasang matanya tampak menyengat tajam.
"Jayeng Palaguna! Aku curiga, jangan-jangan
dia gadis yang kita cari-cari! Tujuh tahun wajah seseorang memang telah berubah.
Apalagi seorang perem-
puan! Sayang sekali, aku dahulu hanya sempat sekali
bertemu dengannya!" bisik Jayeng Parawira.
"Aku pun masih belum bisa menentukan. Jika
bersama Restu Palaran, jelas aku bisa mengenali! Tapi siapa pun gadis ini, kita
harus cepat menyudahinya.
Apalagi, rupanya dia menginginkan kematian kita! Lagi pula kita akan terlambat
menyusul Kanda Rambu Pamulih dan Tantra Gilang, jika tak segera menyelesaikan
urusan dengan gadis ini!"
Selesai berkata, Jayeng Palaguna cepat melon-
cat dan berdiri tegak satu tombak di hadapan Lintang Sari. Tak lama, Jayeng
Parawira segera menyusul.
Diapit dua orang. Lintang Sari tenang-tenang
saja. Malah bibirnya mengulas senyum manis hingga,
giginya yang putih tampak berkilat. Bibirnya yang
membentuk bagus ditarik sedikit ke dalam, lalu mu-
lutnya dibuka sedikit. Lantas ujung lidahnya menjulur sedikit perlahan ke sana
kemari seperti mengundang
kedua laki-laki itu untuk mengulumnya. Sepasang ma-
tanya yang tadi berbinar tajam meredup, dan setengah memejam.
Jayeng Palaguna dan Jayeng Parawira terbe-
liak, terpesona melihat tingkah Lintang Sari yang sepertinya menginginkan
sesuatu. Namun selagi mereka
terkesima, mendadak tubuh gadis itu berputar cepat
dan lenyap dari pandangan. Belum sempat kedua laki-
laki kembar itu berbuat apa-apa, Lintang Sari telah
berkelebat cepat. Dan....
Des! Des...! "Aaakh...!"
"Aaa...!"
Sesaat kemudian terdengar dua jeritan me-
lengking. Di kejap lain tampak Lintang Sari telah kembali duduk menjuntai di
atas pohon sambil tersenyum
memandang Jayeng Palaguna dan Jayeng Parawira
yang terkapar sambil memegang dada masing-masing
yang terkena hantaman gadis itu.
"Huh! Kurang ajar...!"
Disertai dengusan keras, Jayeng Palaguna dan
Jayeng Parawira bangkit. Saat itu juga, mereka mengerahkan tenaga dalam tinggi
di kedua tangan masing-
masing hingga tampak membiru.
"Hantam bersama-sama!" seru Jayeng Palagu-
na. Serentak kedua orang ini menjejak tanah, lalu
melesat dengan kedua tangan mengepal ke arah Lin-
tang Sari berada. Namun belum juga sampai, gadis itu telah menyongsong turun.
Prak! Prakkk! Terdengar dua kali benturan. Tubuh Jayeng Pa-
la-guna dan Jayeng Parawira menukik turun dengan
deras, lalu terbanting di tanah.
Bruk! Bruk! Sementara. Lintang Sari membuat gerakan ber-
putar dua kali dan mendarat dengan kokoh. Namun
belum sampai berbalik, Jayeng Palaguna dan Jayeng
Parawira yang telah cepat bangkit telah menyentakkan tangannya.
"Hih...!" Set! Set!
Dua buah pisau kecil berwarna putih seketika
melesat cepat ke arah Lintang Sari tanpa mengelua-
rkan suara. Lintang Sari yang baru saja berputar tercen-
gang. Secepat kilat tubuhnya dihempaskan ke samp-
ing. Pisau yang satu memang dapat dihindari, namun
pisau satunya terus menerabas. Dengan gerakan men-
gagumkan, gadis ini berguling-guling di tanah. Namun demikian....
Srat! Tak urung pisau kecil itu menyerempet pakaian
bagian bawah ketiak Lintang Sari, hingga terkoyak.
Dahsyatnya, koyakan itu langsung menghitam dan
merembet. Sehingga tanpa ampun lagi, kulit putih Lintang Sari bagian bawah
ketiak dan dada sebelah kanan terlihat. Buah dadanya yang sebelah kanan
menyembul tak tertutup.
Lintang Sari menggeram marah. Tanpa mempe-
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dulikan dadanya yang tak tertutup, tubuhnya segera
menggeliat. Sementara tangannya melenggang lembut
ke atas bagai orang menari. Namun sesaat kemudian,
tangan itu menegang. Dan dengan kuda-kuda kokoh
kedua tangannya cepat mendorong ke depan.
Wesss...! Wesss.!
Dua larik gelombang biru melesat ke arah ke-
dua orang kembar itu. Dan di kejap lain larikan gelombang biru itu berubah
merah. Jayeng Palaguna dan Jayeng Parawira tercekat.
Tampang mereka berubah pucat, dengan sepasang ka-
ki mundur dua langkah ke belakang.
"Benar dugaanmu, Jayeng Parawira! Gadis ini
buronan kerajaan! Aku tak akan lupa. Jurus yang ini
adalah milik Restu Palaran! Cepat menghindar!" ujar Jayeng Palaguna,
mengingatkan. Seketika tubuhnya
melesat. Namun, terlambat bagi Jayeng Parawira. Aki-
batnya gelombang warna merah sempat menyapu da-
danya. Prat! "Aaa...!"
Jeritan menyayat keluar dari mulut Jayeng Pa-
rawira seakan menyentak tempat itu. Tubuhnya lang-
sung terpelanting sampai beberapa tombak ke bela-
kang. Saat terhempas di atas tanah, keadaannya telah mengenaskan. Dari mulutnya
keluar gumpalan darah
kehitaman. Pakaiannya tercabik-cabik, dan kulitnya
membiru. Sebentar kedua kaki Jayeng Parawira mere-
gang, sesaat kemudian kaku!
Jayeng Palaguna menggereng keras mendapati
saudara kembarnya tewas. Sedangkan Lintang Sari
tersenyum mengejek.
"Lintang Sari! Kau telah menewaskan saudara
kembarku! Tak ada imbalan lain yang sepadan, selain
nyawa busukmu! Setelah itu, penggalan kepalamu
akan kutenteng ke hadapan paduka raja! Menyesal
aku baru tahu sekarang!" teriak Jayeng Palaguna.
"Ha... ha... ha..,"
Penyesalan di akhir perjalanan tiada arti
Kematian adalah sebuah tidur panjang
Jalan pintas ke arahnya penuh liku dan warna
Siapa pun makhluk di kolong langit tahu
Darah adalah salah satu jalan itu!"
Seiring lantunan syair. Lintang Sari kembali
mendorongkan kedua tangannya.
"Hih!"
Wesss! Gelombang warna merah kembali melesat diser-
tai deru angin dahsyat ke arah Jayeng Palaguna. Wa-
lau telah tahu kehebatan pukulan yang telah mene-
waskan saudara kembarnya, lelaki ini tak gentar. Se-
gera dipapaknya serangan disertai penyaluran seluruh tenaga dalam ke kaki dan
tangan. Lalu dengan berteriak nyaring, tangannya mendorong, sedangkan ka-
kinya menancap kokoh di atas tanah.
Werrr...! Gulungan angin menggemuruh melesat dari
tangan Jayeng Palaguna, memapak gelombang merah
dari tangan Lintang Sari. Hingga....
Glarrr! Desss! Terdengar gelegar dahsyat begitu dua kekuatan
beradu. Kedua kaki Jayeng Palaguna bergetar dan go-
yah. Namun tak lama kemudian, tubuh lelaki itu men-
celat dan bergulingan di atas tanah.
Lintang Sari melangkah lebar-lebar mengham-
piri saat tubuh Jayeng Palaguna terlihat masih bergerak-gerak. Satu depa di
samping lelaki itu, langkahnya berhenti. Dan ketika dua kelopak mata Jayeng
Palaguna membuka dan menatap ke arahnya, gadis ini terse-
nyum. Bahkan tanpa berusaha menutup buah da-
danya yang menyembul.
"Dengar Jayeng Palaguna! Aku akan menyem-
buhkan luka-lukamu. Bahkan merawatmu, jika kau
setuju syarat yang ku ajukan!"
"Uh! Jika penjahat kerajaan menjanjikan sesua-
tu, pasti di baliknya ada maksud tertentu!" jawab Jayeng Palaguna, tersendat-
sendat. Lintang Sari tersenyum, lalu jongkok. Sehingga
kulit pahanya yang putih mulus tepat berada di muka
Jayeng Palaguna. Sementara, jemarinya yang lentik
memegangi lengan lelaki ini.
"Jangan salah sangka, Jayeng Palaguna! Jika
setuju, kau nanti juga dapat memiliki ku...," desah Lintang Sari, masih dengan
senyum. "Hm.... Katakan, apa maksudmu!" ujar Jayeng Palaguna pelan.
"Melihat tugasmu, aku yakin kau orang keper-
cayaan raja. Jika kau berhasil memasukkan aku da-
lam kalangan istana, biar jadi apa pun. kau bisa mendapatkan apa yang kujanjikan
tadi...." Mendengar keterangan Lintang Sari, meski
dengan meringis menahan sakit sekujur tubuhnya,
Jayeng Palaguna coba tersenyum.
"Hm.... Sayang sekali. Aku tak tertarik ucapan
mu! Dan juga, tak tergiur kemolekan tubuhmu! Lebih
baik mati berkalang tanah daripada berkhianat seperti kau!" desis Jayeng
Palaguna. Baru saja kata-kata lelaki ini selesai, Lintang
Sari cepat mengebulkan tangannya.
Prak! Prak! "Aaakh...!"
Dua kepalan tangan Lintang Sari melayang ke-
ras ke mulut, membuat kepala Jayeng Palaguna ter-
banting ke samping. Mulutnya mengeluarkan erangan
pendek di sertai darah menggumpal. Dua matanya me-
lotot, lalu meredup dan terpejam selamanya!
Lintang Sari menggeram. Segera dia bangkit,
dan mengayunkan kakinya menyapu tubuh Jayeng Pa-
laguna. Saat itu juga tubuh yang telah kaku ini me-
layang dan jatuh keras tak jauh dari tubuh Jayeng Parawira. Dengan senyum
mengiriskan, Lintang sari ber-
kelebat dan berdiri di antara tubuh Jayeng Palaguna
dan Jayeng Parawira. Matanya melirik sebentar. Lan-
tas dengan sedikit membungkuk, tangannya bergerak
cepat melepas kancing-kancing baju Jayeng Palaguna
yang masih utuh. Lalu sekali sentak, tubuh lelaki itu membalik. Dan saat itu
juga, baju putihnya lelah berada di tangan Lintang Sari.
Seraya keluarkan tawa panjang, gadis itu ber-
kelebat dan menghilang.
*** 4 Matahari bersinar garang, membuat kulit terasa
melepuh. Namun keadaan ini sama sekali tidak dipe-
dulikan seorang gadis cantik berpakaian putih yang di-rangkap baju putih. Di
dadanya tampak lukisan kecil
berbentuk gapura kerajaan. Gadis ini melangkah cepat menuju sebuah bukit.
Begitu sampai lereng bukit ini, gadis yang tak
lain Lintang Sari menghentikan langkahnya. Telapak
kirinya menghadang di depan kening untuk menangkis
silaunya sinar matahari. Dengan begitu, puncak bukit baru dapat terlihat jelas.
"Hm.... Bangunan agak megah di puncak bukit.
Menurut Paman Restu Palaran, itulah tempat tinggal
tokoh hitam yang saat ini disegani dan menjadi kaki
tangan kerajaan. Hm.... Dada Sukma atau Iblis Peng-
gali Kubur, sambutlah kedatanganku! Gumam Lintang
Sari, seraya kembali melangkah ke arah puncak bukit.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah
cukup tinggi, sebentar saja Lintang Sari telah sampai sepuluh tombak dari
bangunan megah di puncak bukit. Namun, mendadak langkahnya tertahan, ketika
tahu-tahu berkelebat satu sosok bayangan dan lang-
sung berdiri menghadang.
"Berhenti!"
Lintang Sari menghentikan langkahnya. Diper-
hatikannya sosok laki-laki bertubuh gemuk di hada-
pannya dengan kening berkerut pada jarak dua tom-
bak. "Hm.... Siapa kau, Cah Ayu. Apa keperluanmu datang ke puncak Bukit Prono
Jiwo ini?" tegur laki-laki gemuk itu. Matanya tak cepat ke arah dada Lintang
Sari yang membusung menantang.
"Hei" Apakah matamu buta, sampai-sampai tak
mengenali pakaian yang ku kenakan... " Cepat kata-
kan pada Iblis Penggali Kubur, ada orang kerajaan datang ingin bertemu! Ada
pesan yang harus kusampai-
kan langsung padanya!" bentak gadis itu sambil menu-tupkan pakaian luarnya yang
seperti sengaja tak di-
kancingkan. "Hm..., begitu" Baik, akan kusampaikan! Tapi
sebutkan dahulu, siapa namamu. Dan, dari barisan ke
berapa?" "Kau terlalu banyak mulut! Siapa aku dan dari
barisan ke berapa, itu tak penting! Yang jelas, aku utusan kerajaan dan
mengemban tugas untuk me-
nyampaikan pesan raja!"
"Kalau kau tak menyebutkan nama, jangan ha-
rap bisa menemui Iblis Penggali Kubur! Lagi pula saat ini Iblis Penggali Kubur
sedang tak menerima tamu!
Siapa pun adanya tamu itu! Kalau memang ada pesan,
aku, Kumbara mewakilinya!" kata sosok bertubuh gemuk yang mengaku bernama
Kumbara seraya mene-
puk dada. Lintang Sari mengangguk perlahan sambil ter-
senyum. Lantas tubuhnya menggeliat dengan kedua
tangan merentang. Dan untuk kedua kalinya, pakaian
luarnya menyingkap, sehingga buah dadanya yang tak
tertutup tampak jelas. Seraya melenggang mendekati
Kumbara, pinggulnya sedikit digoyang.
Sepasang mata Kumbara kembali melotot. Ja-
kunnya naik turun dengan napas memburu lebih ken-
cang. Sementara bibirnya tersenyum, namun lebih mi-
rip seringai. Selagi Kumbara terpesona, tiba-tiba Lintang Sa-
ri menjejakkan kakinya sambil mendorong kedua tan-
gan ke depan. Begitu cepat gerakannya, dan sama se-
kali tidak terdengar.
Wesss...! Gelombang angin segera menggebrak ke arah
Kumbara yang masih terkesima. Dan belum sempat
Kumbara bergerak menghindar, pukulan jarak jauh
Lintang Sari yang telah dialiri tenaga dalam telah ke-buru datang.
Des! "Aaakh...!"
Tubuh gembrot Kumbara kontan terpelanting
begitu pukulan Lintang Sari mendarat di bahunya. Tu-
buhnya terus meluncur, dan menabrak batu-batuan
bukit dengan keras. Mulutnya yang mengeluarkan da-
rah tampak menyeringai. Namun baru saja Kumbara
bergerak bangkit, Lintang Sari telah berkelebat cepat dengan tangan bergerak
menotok. Tuk! Tuk! "Aaakh...!"
Dua buah totokan Lintang Sari pada pundak,
membuat Kumbara melenguh pendek dan kembali ja-
tuh tak bisa bergerak lagi.
Baru saja Lintang Sari berbalik, kembali dua
sosok tubuh berkelebat dari bangunan megah di pun-
cak bukit ini. Sebentar saja dua sosok yang ternyata dua orang laki-laki berusia
sekitar tiga puluh lima tahun itu telah berdiri di depan Lintang Sari. Rupanya,
mereka berdua tadi melihat tindakan gadis itu terhadap Kumbara.
"Siapa kau, Cah Ayu"! Mengapa kau lukai te-
man ku"!" tegur laki-laki yang bermuka lebar.
Sepasang mata kedua laki-laki ini mendelik dan
siap melancarkan serangan. Apalagi melihat Kumbara
di buat tak berkutik.
"Manusia-manusia buta! Sudah tahu masih
bertanya pula!" kata Lintang Sari sambil busungkan dadanya. Kedua tangannya
diangkat ke atas kepala
dengan perlahan dan lembut Sementara, tubuhnya
menggeliat. "Hati-hati, Kakang Randu Paksa! Jangan terpe-
sona. Kulihat tadi Kakang Kumbara tertipu dengan ge-
rakannya!" bisik laki-laki yang berkumis lebat sambil mengawasi.
Laki-laki bermuka lebar yang dipanggil Randu
Paksa mengangguk perlahan.
"Kakang Kumbara roboh. Ganda Manik! Dia tak
tahu harus bagaimana caranya menghadapi gadis ma-
cam begini!" ujar Randu Paksa disertai senyum penuh
makna. Namun baru saja kata-kata Randu Paksa habis,
mendadak. "Hah.... Hah...!"
Mendadak terdengar suara tawa dari mulut Lin-
tang Sari, membuat kedua laki-laki di depannya ter-
sentak kaget. Mereka hendak berbuat sesuatu, namun
terlambat. Keduanya seperti terkena gempuran tenaga
dalam dahsyat, hingga tak bisa menggerakkan anggota
tubuh. Rasanya, tulang-tulang mereka seperti di lolosi, mendengar suara tawa
Lintang Sari. Randu Paksa dan Ganda Manik berusaha men-
gempos semangat dengan mengerahkan tenaga dalam.
Namun sebelum itu terjadi. Lintang Sari segera meng-
hentikan tawanya. Tubuhnya mendadak melesat ke
depan. Lalu satu langkah di depan kedua laki-laki itu gadis ini melepaskan dua
tendangan berturut-turut.
Des! Des! "Aaakh!"
"Aaa...!"
Terdengar dua jeritan kematian, ketika tendan-
gan Lintang Sari yang berturut-turut tepat menghan-
tam dada mereka. Tubuh Randu Paksa dan Ganda
Manik terpental dan jatuh di atas tanah. Sesaat tam-
pak mereka kelojotan, lantas diam tak bergerak lagi!
Lintang Sari merapikan pakaiannya. Sebentar
matanya menatap dua mayat lawannya, lalu melesat
ke arah bangunan. Di depan bangunan, matanya bere-
dar ke sekeliling.
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dada Sukma! Keluarlah! Aku, utusan kerajaan
datang untuk menangkapmu...!" teriak Lintang Sari.
Beberapa saat tak ada sahutan. Tapi saat Lin-
tang Sari akan buka mulut....
"Berpuluh-puluh tahun malang melintang da-
lam rimba persilatan, berpuluh-puluh tahun melan-
glang buana, hanya liga gelintir manusia di kolong langit yang mengetahui nama
asli ku, Cah Ayu! Kau telah mengaku sebagai utusan kerajaan yang mengusik ke-
tenangan ku. Siapa kau sebenarnya..."!"
Terdengar sahutan dengan suara berat.
Lintang Sari tak menjawab. Matanya nyalang
mengawasi sekeliling.
"Baik! Kalau kau tak mau mengatakan, mung-
kin kau menunggu tanganku yang akan membuka mu-
lut mu!" Terdengar lagi suara dari dalam bangunan. Lin-
tang Sari mendelik.
"Dada Sukma! Kau tak usah mengumbar suara!
Keluarlah. Terimalah gurat kematianmu hari ini!" ancam gadis ini.
"Anjing kurap tak tahu adat! Kau kira sedang
berhadapan dengan siapa saat ini, he"! Setan kecil! Ketahuilah! Kedatanganmu ke
puncak Prono Jiwo hanya-
lah mengantar nyawa!" bentak suara dari dalam bangunan. Kelihatannya, dia amat
geram, sehingga sua-
ranya terdengar menggemuruh.
"Setan hutan! Memangnya kau siapa..." Kau
tak lebih dari tua bangka yang menunggu saat kema-
tian! Keluarlah, Tua Busuk!" balas Lintang Sari.
"Aku telah di luar. Setan Kecil!"
Paras muka Lintang Sari seketika berubah.
Dengan menahan rasa keterkejutan, kepalanya meno-
leh ke samping. Sepasang matanya melotot, seakan lak percaya. Karena tahu-tahu
di sebelah bangunan telah
berdiri seorang laki-laki berusia lanjut. Pakaiannya warna kuning kusam.
Tubuhnya kurus kering. Jenggotnya panjang dan kaku. Bibirnya sangat tebal.
Sepasang matanya besar, menjorok masuk ke dalam rongga
yang menganga lebar. Mukanya sangat pucat. Tangan
kirinya memegang sekop kecil berwarna kuning yang
berkilatan. "Bagus! Ternyata kau bukan pengecut, Dada
Sukma! Dengar baik-baik! Aku utusan kerajaan yang
datang untuk menangkapmu dan menyeret tubuhmu
ke hadapan raja!" kata Lintang Sari, setelah menyembunyikan rasa terkejut.
"Ha... ha... ha...! Kau kira aku bisa dikelabui, Setan Kecil" Di dunia ini hanya
tiga manusia yang ta-hu nama ku! Dua gelintir, sudah masuk liang lahat.
Sementara yang satunya adalah buronan kerajaan.
Namanya Restu Palaran! Tanpa kau beritahu, aku su-
dah dapat menebak. Kau adalah anak asuh buron ke-
rajaan itu!" kata laki-laki tua bernama Dada Sukma yang di kalangan persilatan
berjuluk Iblis Penggali Kubur. Sebentar Dada Sukma menghentikan kata-
katanya. Dikenalinya dulu wajah Lintang Sari yang
cantik. "Hari ini rupanya ada orang mengantar rejeki besar! Ketahuilah, Lintang
Sari! Kau adalah deretan
pertama nama buron kerajaan! Dan siapa pun juga
yang mengantar kepalamu ke hadapan raja, akan
mendapatkan imbalan besar. Dan hari ini, rupanya
kau datang mengantar kepalamu tanpa aku susah-
susah mencarinya...!" lanjut laki-laki tua berjuluk Iblis Penggali Kubur.
"Bagus, jika kau telah tahu. Tua Bangka! Na-
mun sayang. Karena, hal itulah kau harus pergi ke neraka!" desis Lintang Sari.
Dan seketika, Lintang Sari melompat setinggi
dua tombak ke atas. Dengan membual gerakan berpu-
tar satu kali di udara, sepasang kakinya melesat bagai
sambaran kilat ke arah Iblis Penggali Kubur.
"Hm.... Rupanya kau telah mewarisi ilmu si ke-
parat Restu Palaran. Tapi, ketahuilah. Restu Palaran sudah pernah menjilat
pantat ku! Dan sekarang kau
harus menjilat seluruh tubuhku! Ha... ha... ha...!" le-ceh Iblis Penggali Kubur,
mengekeh panjang.
Sejengkal kaki Lintang Sari menghantam. Iblis
Penggali Kubur menghentikan kekehan tawanya. Seke-
tika tubuhnya mendadak kaku. Dan bagai sebatang
kayu, tubuhnya cepat di rebah sejajar tanah.
Wesss! Sepasang kaki Lintang Sari hanya lewat di atas
tubuh Iblis Penggali Kubur yang rebah di atas tanah.
"Keparat busuk!" geram Lintang Sari begitu mendarat di tanah dan berbalik Cepat
kaki kanannya menyapu deras ke arah tubuh Iblis Penggali Kubur
yang masih kejang di alas tanah.
Wut! Lintang Sari kembali dibuat tercengang dan tak
percaya ketika kaki kanannya yang menyapu deras
ternyata hanya menghantam angin. Dan begitu gadis
ini mendongak, ternyata laki-laki kurus kering itu telah mengapung di udara
dengan senyum mengejek.
Hebatnya, masih dalam keadaan berselonjor kaki se-
perti tadi! Sementara, sekop kecilnya tetap dipanggul di atas pundaknya.
"Bangsat!" bentak Lintang Sari marah karena beberapa serangannya dengan mudah
dapat dihindari.
"Chiaaat...!"
Disertai bentakan nyaring, Lintang Sari menje-
jakkan kakinya. Seketika tubuhnya telah mengangka-
sa. Namun bersamaan dengan itu, tubuh Iblis Penggali Kubur yang masih kaku
berputar cepat bagai baling-baling.
Bahkan langsung menukik turun dengan se-
buah serangan kaki dan tangan, menyongsong Lintang
Sari yang melayang ke atas.
Plak! Kaki Iblis Penggali Kubur dapat ditangkis tan-
gan Lintang Sari. Namun, tangan kanan laki-laki tua
kurus kering itu tak terbendung lagi menghantam
pinggang Lintang Sari.
Des...! Bret...! Tubuh Lintang Sari langsung menukik deras
kembali ke bawah, dan menghantam tanah dengan ke-
ras. Bruk! Gadis itu bergerak bangkit. Namun baju luar
yang telah koyak di bagian pinggang segera di lepasnya. Saat mendarat, sepasang
mata Iblis Penggali
Kubur yang besar dan menjorok berkilat-kilat meman-
dang tak berkedip. Ternyata di balik baju luar yang telah dilepas; buah dada
sebelah kanan Lintang Sari
menyembul menantang karena bajunya robek agak be-
sar. Namun seperti tak menghiraukan pandangan
mata Iblis Penggali Kubur, Lintang Sari cepat mena-
kupkan kedua tangannya sejajar dada. Dengan kuda-
kuda kokoh, dilepaskannya pukulan ke arah laki-laki
tua ini.... Wesss...! Saat itu juga. gelombang sinar biru yang lang-
sung berubah merah bergerak dengan suara mengge-
muruh mengancam keselamatan laki-laki tua itu.
Namun dengan tenang, Iblis Penggali Kubur se-
gera memutar-mutar sekop kecil di tangan kirinya.
Sementara, tangan kanan mendorong ke depan.
Glarrr! Terdengar gelegar hebat begitu dua kekuatan
dahsyat bertemu. Pohon-pohon di puncak bukit berde-
rak-derak tumbang. Bahkan bangunan agak megah itu
bergetar. Tubuh Lintang Sari terjajar dua langkah ke belakang, dan jatuh
terduduk. Dari mulutnya mengalir darah. Di pihak lain, Iblis Penggali Kubur
hanya tergontai-gontai.
Baru saja Lintang Sari mengusap mulutnya, se-
rangan Iblis Penggali Kubur menggebrak. Sekop kecil
di tangannya berputar-putar, dan mendadak lenyap.
Yang ada hanyalah biasan warna kuning disertai suara menggidikkan. Disertai
suara menderu, tiba-tiba sekop di tangan Iblis Penggali Kubur melesat ke arah
bahu kanan Lintang Sari.
Gadis itu akan bergerak menghindar dengan
melemparkan tubuhnya ke samping kiri, namun dari
arah sama sekonyong-konyong menggebrak angin de-
ras di sertai hawa dingin.
Mendapati dirinya terkurung serangan, Lintang
Sari tampak tercekat. Namun tubuhnya segera melesat
ke atas, karena hanyalah itu tempat aman dari seran-
gan. Namun mendadak Iblis Penggali Kubur meme-
jamkan mata. Seketika tubuhnya kaku. Dan sekali je-
jak, tubuhnya yang kaku melesat dengan kepala me-
nusuk. Karena tak menduga, Lintang Sari tak bisa
menghindar. Sehingga....
Des! Lintang Sari memekik tertahan ketika kepala
Iblis Penggali Kubur menusuk tepat perutnya, dan
langsung berputar.
Bret! Baju Lintang San terkoyak, dengan tubuh ter-
kapar di atas tanah. Kini kedua buah dadanya sudah
tak tertutup lagi. Dan darah pun kembali menyembur
dari mulutnya. "He... he... he...!"
Iblis Penggali Kubur mengeluarkan kekehan
panjang- "Setan kecil! Sungguh sayang aku sudah tua.
Sehingga, lak tertarik dengan bentuk tubuh mu! Sean-
dainya saja aku masih muda, mungkin kau akan me-
rasakan kenikmatan terakhir, sebelum kematian men-
jemput mu! Tapi kau harus berbahagia. Karena meski
telah tewas, kepalamu berharga mahal di hadapan ra-
ja! Nah, bersiaplah!" ancam laki-laki tua itu.
Dengan menahan rasa sakit dan mual-mual,
Lintang Sari menggeser tubuhnya dan bersandar pada
pecahan balu besar. Sesaat tangannya ditarik. Dan secepat itu pula, diputarnya
Cincin Aswagitha mengha-
dap ke depan. "Biar angin bangun dan mengintai menggalang iringan awan
Sibak timbunan dunia dengan darah
Kaulah panjang tanganku
Kaulah lidah merahku
Genggam semuanya, agar mereka tahu
Darah adalah lambang kematian!"
Dari bibir-Lintang Sari meluncur lantunan
syair. Tepat ketika lantunan syairnya selesai, Iblis Penggali Kubur telah
bergerak dengan memutar sekop
di tangan kirinya. Sementara tangan kanannya mendo-
rong kuat-kuat ke depan.
Wesss...! Segelombang angin deras berhawa dingin yang
menderu, ditingkahi kilatan-kilatan kuning menyam-
bar-nyambar meluncur ke arah Lintang Sari.
Namun dengan gerakan cepat, Lintang Sari
memalangkan tangannya yang mengenakan Cincin
Aswagitha. Sementara, tangan satunya menakup pe-
rut. Terjadi keanehan. Gelombang serangan dari Ib-
lis Penggali Kubur seketika bergerak perlahan dan bersatu menuju pada satu titik
berwarna hijau yang ada
di tangan Lintang Sari. Dan perlahan-lahan pula, titik berwarna hijau itu menyedot gelombang
angin dan kilatan-kilatan warna kuning!
Mata Iblis Penggali Kubur terbeliak. Dan men-
dadak dia mengeluarkan seruan tertahan, karena tu-
buhnya tiba-tiba terasa bergetar dan tertarik ke depan.
"Hiaaah...!"
Dengan mengeluarkan bentakan keras, Iblis
Penggali Kubur mengerahkan segenap tenaga untuk
bertahan agar tubuhnya tak tersedot ke depan. Namun
sedotan dari Cincin Aswagitha rupanya lebih kuat. Sehingga, kedua kaki laki-laki
ini sedikit demi sedikit ter-seret ke depan. Dicobanya untuk menggerakkan sekop,
tapi tangannya seolah-olah tak bisa digerakkan. Hing-ga tanpa bisa dibendung
lagi, tubuh Iblis Penggali Kubur bergerak mendekati Lintang Sari yang masih du-
duk. Dua langkah lagi Iblis Penggali Kubur mencapai tempatnya, Lintang Sari
mengibaskan tangannya. Ma-ka saat itu juga tubuh laki-laki tua ini terdorong
deras ke depan. Pada saat yang sama Lintang Sari mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya ke kaki. Dan saat itu juga di hantamnya selangkangan Iblis Penggali
Kubur yang menghambur ke arahnya.
Tubuh Iblis Penggali Kubur terpental ke bela-
kang disertai jeritan panjang. Begitu terjerembab di atas tanah, bagian bawah
tubuh Iblis Penggali Kubur
telah berlumuran darah. Sekop di tangannya terpental jatuh ke lereng bukit.
Dengan memegangi anggota tubuh bagian ba-
wanya, Iblis Penggali Kubur merambat bangkit. Namun
tiba-tiba matanya membelalak. Tubuhnya terasa rin-
gan dan kekuatannya lenyap! Makin ciutlah nyali Iblis Penggali Kubur. Apalagi
saat dilihatnya Lintang Sari bergerak perlahan mendatangi.
"Ternyata penggalan kepalamu yang akan
menghadap raja, Dada Sukma!" kata Lintang Sari seraya melesat ke atas. Di udara,
gadis ini berputar-
putar, lalu berkelebat ke arah laki-laki tua itu. Dan....
Diegkh! Krak! "Aaakh.."
Jeritan melengking terdengar diiringi suara tu-
lang patah, ketika hantaman Lintang Sari mendarat telak di kepala.
Ketika Lintang Sari telah tegak kembali, tampak
tubuh Iblis Penggali Kubur terkapar tanpa kepala!
Sebentar Mala Lintang Sari yang berkilat-kilat
beredar ke sekeliling, mencari-cari. Senyumnya segera tersungging, saat melihat
penggalan kepala Iblis Penggali Kubur masih tergeletak di samping sebuah bong-
kahan batu. Dengan senyum seringai, Lintang Sari meng-
hampiri kepala Iblis Penggali Kubur. Penggalan kepala yang masih berlumuran
darah itu segera diambil dan
dijinjing. Lalu dengan cepat dibungkusnya dengan ba-
ju putih yang tadi dibuat rangkapan.
Sambil menenteng bungkusan berisi kepala Ib-
lis Penggali Kubur, Lintang Sari melesat masuk ke dalam bangunan. Tak lama gadis
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu berada di dalam,
sebentar saja dia keluar dengan mengenakan pakaian
warna kuning sambil menenteng kotak.
Seraya tertawa mengekeh. Lintang Sari me-
layang turun dari puncak bukit. Sampai di tempat
Kumbara yang masih tertotok, gadis itu berhenti. Dengan cepat, dibebaskannya
totokan di tubuh Kumbara.
Selagi Kumbara tercengang tak percaya, gadis ini telah berkelebat turun.
"Sengaja ku perpanjang umurmu, agar kau
menyebar berita ini! Hi... hi... hi...!" gumam Lintang Sari.
*** 5 Matahari telah tenggelam, ketika Lintang Sari
memasuki kotaraja.
"Hmm.... Kegelapan bisa membantu kelelua-
saan gerakanku...!" gumam Lintang Sari perlahan, seraya terus berkelebat ke arah
istana. Gadis ini rupanya melewati jalan yang sepi. Bahkan tak jarang masih
menyelinap dan muncul lagi, saat keadaan telah me-
mungkinkan. Tak berapa kemudian. Lintang Sari telah tam-
pak mengendap-endap di belakang istana yang dibata-
si tembok tinggi dan tebal. Sejenak sepasang matanya nyalang mengawasi ke
sekeliling. Setelah dirasa tak
ada mata yang melihat, dilemparkannya kotak yang
tadi dibawanya, masuk ke dalam istana bagian bela-
kang. Seiring senyum yang menghiasi bibir, Lintang
Sari berbalik dan berkelebat ke arah selatan.
"Hm.... Kegegeran sebentar lagi akan berlang-
sung. Dan tentunya, akan bertambah seru jika ditam-
bah penggalan kepala Pendekar Lembah Seribu Bunga,
bekas kepala tokoh silat kerajaan! Aku harus segera menambah keguncangan itu
dengan kepala pendekar
itu!" gumam Lintang Sari sambil bergegas menuju kedai di ujung kotaraja.
*** Selesai mengisi perut. Lintang Sari melangkah
keluar kedai. Sesekali matanya masih mengawasi jalan yang dilaluinya. Namun
begitu sampai di tempat yang
agak sepi, segera dikerahkannya ilmu meringankan
tubuhnya untuk berkelebat cepat ke arah selatan.
Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh
setinggi mungkin. Lintang Sari melesat bagaikan
bayangan setan. Sebentar saja dia lelah jauh mening-
galkan kota-raja. Dan kini, gadis itu telah tiba di sebuah lembah yang banyak
ditumbuhi aneka bunga.
Lintang Sari memperlambat langkah. Matanya
segera berkeliling menyelidik. Namun hingga agak la-
ma, tak juga menemukan sebuah bangunan pun. Yang
tampak hanyalah gundukan-gundukan batu dan tum-
buh-tumbuhan beraneka ragam.
"Hm.... Menurut Guru, Pendekar Lembah Seri-
bu Bunga bertempat tinggal di sini. Tapi yang kulihat di sini hanya berupa
tumbuh-tumbuhan dan gundukan batu-batu...."
Wajah Lintang Sari tampak mulai kesal. Tapi
matanya terus mengawasi setiap sudut lembah. Tak
ada tanda-tanda penghuninya.
Setelah menarik napas dalam-dalam, Lintang
Sari menuju sebuah gundukan batu yang paling besar.
Dengan kecewa, pantatnya dihempaskan di atas gun-
dukan batu. Namun begitu menyentuh gundukan itu,
matanya mendadak mendelik. Parasnya berubah, se-
mentara telinganya tertarik ke belakang. Ternyata,
gundukan batu yang didudukinya bergerak-gerak tera-
tur seperti mengembang dan mengempis.
Lintang Sari cepat berdiri, lalu melangkah men-
gitari gundukan batu. Saat matanya tertumbuk pada
sebuah lobang di bagian belakang, senyumnya segera
menyungging. "Pendekar itu pasti berada di bawah lobang ini!
Orang-orang persilatan memang aneh-aneh dalam
memilih tempat...!" gumam Lintang Sari dalam hati.
Gadis itu segera mendekati lobang. Dan begitu
kepalanya melongok....
Wesss! Seketika serangkum angin hangat dan deras
menghambur dari dalam lobang. Dengan cepat Lintang
Sari menarik pulang kepalanya dengan melotot lak
percaya "Tak salah dugaanku.... Dia berada di sini!
Akan ku coba memancingnya!"
Lintang Sari mundur dua langkah.
"Pendekar Lembah Seribu Bunga! Aku utusan
kerajaan datang untuk menemuimu!" teriak Lintang Sari, disertai sedikit
pengerahan tenaga dalam.
Teriakan Lintang Sari hanya terjawab oleh ge-
ma suaranya sendiri yang memantul. Dan karena dis-
ertai tenaga dalam, suaranya sempat menggugurkan
bunga-bunga di sekitarnya.
Namun tak lama kemudian....
"Anak muda! Berlakulah sopan di tempat orang!
Kalau kau benar-benar utusan kerajaan, masuklah!
Dan, bicaralah baik-baik!"
Tiba-tiba terdengar suara yang seakan-akan da-
tang dari langit. Suara itu seperti masuk ke dalam lobang, langsung memantul
menimbulkan gema panjang
yang menggidikkan bulu roma.
Lintang Sari mendengus, lalu melangkah ke
mulut lobang. Namun baru satu tindak....
Wesss! Seketika dari dasar lobang kembali berhembus
angin deras. Lintang Sari cepat menarik tubuh dengan kening berkernyit. Dan
tiba-tiba kaki kanannya menjejak gundukan batu.
Derrr...! Gundukan batu itu pecah berkeping-keping.
Segera saja gadis itu memungut kepingan batu agak
besar. Langsung dilemparkannya batu itu ke dalam lo-
bang. Tak lama Lintang Sari menunggu hasil tinda-
kannya. Sekejap kemudian, kepingan batu itu telah
mental keluar. Setengah tombak di atas lobang, men-
dadak kepingan batu itu bertaburan ke udara dan be-
rubah menjadi debu lembut berwarna hitam.
"Gila! Akibat hembusan angin itu begitu dah-
syat Bagaimana aku harus masuk...?" rutuk Lintang Sari dalam hati. Tanpa dapat
dicegah lagi, tengkuknya terasa dingin.
Agak lama baru anak asuh Restu Palaran ini
tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala. Ia ru-
panya telah menemukan cara. Lintang Sari lalu mun-
dur tiga langkah ke belakang. Dan tiba-tiba kedua tangannya menyentak ke arah
gundukan balu. Pelan.
Gundukan batu itu kembali pecah berkeping-
keping, berjatuhan di atas tanah. Dan dengan senyum
di-kulum, Lintang Sari duduk di antara kepingan-
kepingan batu. Kemudian tangannya mulai bergerak,
melemparkan kepingan batu satu persatu ke arah lo-
bang. Setiap batu yang dilempar masuk, langsung
mental dan berhamburan jadi debu. Namun, gadis itu
terus melempar kepingan batu.
"Kau akan terus mengeluarkan tenaga. Pende-
kar! Dan itu sebuah keuntungan bagiku...!" gumam Lintang Sari.
Dugaan Lintang Sari benar, karena tak lama
kemudian, batu-batu yang dilemparkan tak lagi men-
tal. Seketika dengan kecepatan kilat, tubuhnya segera berputar-putar.
Angin berputar menderu-deru segera melin-
dungi diri Lintang Sari. Dan seketika tubuhnya cepat melesat masuk ke dalam
lobang. Ketika tubuhnya
mendarat pada sebuah ruangan, putaran tubuhnya
segera dihentikan. Saat itu juga, matanya memandang
ke sekeliling. Saat matanya berujung pada sebuah ba-
tu besar putih yang berkilauan, langkahnya surut dua tindak ke belakang.
Di atas batu yang berkilauan tampak duduk
bersila seorang laki-laki. Rambutnya panjang dan hitam. Demikian pula jenggot
dan kumisnya. Wajahnya
berseri-seri, meski usia lanjut tak dapat disembunyikannya. Kedua matanya
terpejam rapat. Sementara,
napasnya berhembus secara teratur. Dan seakan-akan
tak ambil peduli dengan kedatangan Lintang Sari.
"Anak muda! Katakan siapa dirimu..."! Dan,
apa maksudmu mengusik tempatku..."!"
Sedikit saja laki-laki di atas batu putih mem-
buka mulut. Namun suara yang keluar sangat menu-
suk dan menggetarkan.
Untuk menyembunyikan rasa terkejutnya, Lin-
tang Sari tersenyum.
"Pendekar Lembah Seribu Bunga! Kau ingat ke-
jadian tujuh tahun lalu di Istana Malowopati"!" Lintang Sari malah bertanya.
Tanpa membuka kelopak matanya, laki-laki
yang di panggil Pendekar Lembah Seribu Bunga men-
gangguk perlahan.
"Bagus, jika kau belum pikun. Pendekar! Lalu,
apa kau juga masih ingat dengan pembantaian yang
dilakukan tokoh-tokoh silat kerajaan yang kau pimpin pada sang raja dan anggota
keluarganya..."!" susul gadis itu. Laki-laki tua itu tersentak kaget. Sehingga,
bahunya terangkat. Namun matanya tetap tak membuka.
Lantas kepalanya sedikit mendongak.
"Tunggu!" seru Pendekar Lembah Seribu Bunga tertahan. "Kau...."
Tiba-tiba Pendekar Lembah Seribu Bunga men-
gurungkan bicaranya.
"Harap kau meneruskan kata-katamu, Orang
Tua!" kejar Lintang Sari.
Pendekar Lembah Seribu Bunga perlahan
membuka kelopak matanya. Sekilas dipandangnya ta-
jam-tajam ke arah Lintang Sari.
"Gadis cantik, dengar baik-baik. Kau mungkin
men-dengar perihal itu dari....!"
"Restu Palaran...!" sambar Lintang Sari, ketika Pendekar Lembah Seribu Bunga tak
segera meneruskan kata-katanya.
"Hm.... Dugaanku tak meleset!" kata Pendekar Lembah Seribu Bunga kalem. "Dan aku
juga sekarang. bisa menduga, kalau kau adalah Lintang Sari. Tapi ka-
lau boleh kukatakan, peristiwa tujuh tahun yang lalu itu sebenarnya telah
menyimpang dari apa yang dis-epakati sebelumnya! Jadi dalam hal ini, kau tak
bisa menumpahkan segala kejadian itu hanya padaku!"
"Hm.... Begitu" Lantas, siapa yang bertang-
gungjawab atas peristiwa pembantaian itu"!" cecar Lintang. Untuk beberapa saat
Pendekar Lembah Seribu
Bunga tak menjawab. Bibirnya mengatup rapat. Se-
mentara sepasang matanya memancarkan rasa berat.
Mata Lintang Sari makin menyala melihat Pen-
dekar Lembah Seribu Bunga tak segera menjawab per-
tanyaannya. "Jawab, Pendekar! Siapa yang bertanggung ja-
wab atas peristiwa pembantaian Sri Baginda dan selu-
ruh anggota keluarganya tujuh tahun yang lalu"!"
Pendekar Lembah Seribu Bunga menarik napas
lam-dalam. "Lintang Sari! Kau waktu itu masih belum men-
getahui apa-apa! Bukan tak mungkin Restu Palaran ti-
dak mengatakan kejadian yang sebenarnya!" sentak Pendekar Lembah Seribu Bunga
akhirnya. "Kau jangan menambah dosa-dosamu dengan
menuduh orang!" tukas Lintang Sari geram setengah membentak.
"Lintang San! Aku tidak menuduh, tapi curiga.
Jangan-jangan Restu Palaran memperalat mu untuk
menumpahkan dendam kesumatnya! Lintang Sari, sa-
darlah! Peristiwa itu telah terjadi! Bagaimanapun usa-hamu, Sri Baginda ayahmu,
serta seluruh kerabat mu,
tidak akan bisa lagi kembali! Belajarlah menerima kenyataan!"
"Pendekar Lembah Seribu Bunga! Camkan ka-
ta-kataku! Kedatanganku dengan satu tujuan. Yakni,
ingin mendengar dari mulutmu sendiri tentang siapa
yang bertanggung jawab atas terjadinya pembantaian
itu! Kau tak usah mengumbar suara yang bukan-
bukan!" bentak Lintang Sari, disertai kegeraman yang amat sangat. Napasnya
terlihat turun naik, siap me-muntahkan amarahnya.
"Aku tak bisa mengatakan, siapa yang bertang-
gung jawab atas peristiwa pembantaian itu. Lintang
Sari! Waktu itu keadaan sangat kacau. Lagi pula...."
Belum selesai Pendekar Lembah Seribu Bunga
dengan kata-katanya....
"Siapa kepala tokoh silat kerajaan waktu itu?"
tukas Lintang Sari, makin keras. Matanya sudah men-
corong tajam, seperti hendak menelan bulat-bulat laki-laki itu. "Aku...!" jawab
Pendekar Lembah Seribu Bunga berusaha kalem.
"Mengapa waktu itu kau tak berusaha mence-
gah" Malah, bersekongkol dengan musuh untuk
menggulingkan Sri Baginda"!"
"Jangan salah sangka, Lintang Sari! Waktu itu,
aku sudah berusaha agar pembantaian tak berlang-
sung. Tapi apalah artinya aku, jika menghadapi bebe-
rapa tokoh silat lain, serta pembesar-pembesar ista-
na"!" kilah Pendekar Lembah Seribu Bunga, tetap berusaha tenang.
"Alasan usang yang ketinggalan zaman, Pende-
kar!" ejek Lintang Sari, dengan senyum sinis.
"Kau jangan termakan hasutan Restu Palaran,
Lintang Sari! Itu hanya akan menambah beban den-
dam di hatimu! Terimalah keadaan saat ini. tanpa ha-
rus membuka luka lama! Dan kalau kau menuduhku
berbuat kelalaian, sekarang aku bersedia menerima
hukuman dan minta maaf padamu!" ujar Pendekar
Lembah Seribu Bunga menenangkan hati Lintang Sari
yang telah diamuk hawa amarah dan dendam.
"Hanya begitu! Phuih!" ejek Lintang Sari disertai dengusan sinis dan semburan
ludah. "Terlalu enak jika segala perbuatan salah hanya berujung pada kata
maaf! Pendekar! Jika kau tak bisa jawab siapa yang
bertanggung jawab atas peristiwa itu, sekarang jawab pertanyaanku. Jika
seseorang berhutang nyawa, bayaran apa yang harus dikembalikan!"
Pendekar Lembah Seribu Bunga terkejut. Dan
untuk beberapa lama dia tak membuka suara.
"Kau ternyata bodoh. Pendekar! Kedua perta-
nyaanku tak bisa kau jawab. Jika demikian, baiklah.
Dengarkan baik-baik, aku akan jawab sendiri perta-
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nyaan tadi...!"
"Sebentar, Lintang Sari!" tahan Pendekar Lembah Seribu Bunga mencoba memotong
pembicaraan Lintang Sari. Namun rupanya gadis itu tak menghi-
raukan. "Yang bertanggung jawab atas pembantaian itu adalah kau sendiri.
Pendekar! Dan hutang nyawa harus di bayar nyawa!"
Lintang San mengakhiri kata-katanya dengan
tekanan. Bukan hanya itu saja. Setelah selesai bicara, tubuhnya segera melesat
ke atas. Dengan sekali jungkir balik di udara, mendadak tubuhnya menukik deras
dengan kaki menghantam ke arah Pendekar Lembah
Seribu Bunga. Namun dengan tenang Pendekar Lembah Seri-
bu Bunga memiringkan tubuhnya. Sementara, tan-
gannya bergerak cepat menangkap tangan Lintang Sari
yang bergerak ke arah dada.
Hantaman kaki Lintang Sari lewat di atas bahu
Pendekar Lembah Seribu Bunga. Namun tangan gadis
itu lebih cepat bergerak. Sehingga tanpa bisa diben-
dung lagi tangan yang kelihatan ringan itu menggedor dada Pendekar Lembah Seribu
Bunga. Desss! Pendekar Lembah Seribu Bunga yang masih
dalam keadaan duduk bersila terpelanting dan jatuh
terkapar. Namun tanpa mengeluarkan keluhan ia
bangkit sambil tersenyum.
"Tunggu, Lintang Sari. Kau tak usah terlalu
menguras tenaga begitu banyak, jika hanya mengin-
ginkan nyawaku! Lakukanlah apa yang kau inginkan.
Aku tak akan melawan!" ujar Pendekar Lembah Seribu Bunga sambil melangkah
mendekati Lintang Sari yang
kini telah tegak di tempatnya semula.
"Berarti kau mengakui kesalahanmu, Pende-
kar"!" desis gadis murid Restu Palaran ini.
"Tidak! Aku tidak merasa melakukan kesala-
han! Namun karena peristiwa itu di bawah tanggung
jawabku, maka sudah selayaknya jika aku menang-
gung segala sepak terjang bawahanku! Nah, lakukan-
lah apa yang kau mau!" sahut Pendekar Lembah Seribu Bunga, mantap.
"Ha... ha... ha...! Kau membuat tingkah lucu
yang seharusnya tak dilakukan orang sepertimu, Pen-
dekar! Dengan ucapanmu tadi, berarti kau mengajari
ku berbuat pengecut dengan membunuh orang yang
tidak melawan!" ejek Lintang Sari.
Paras Pendekar Lembah Seribu Bunga merah
padam. Sepasang matanya menatap tajam ke arah Lin-
tang Sari. "Ketahuilah, Lintang Sari! Setelah peristiwa
yang menimpa seluruh keluargamu, aku keluar dari
lingkungan istana. Karena, aku merasa tindakan para
tokoh silat kerajaan serta pembesar-pembesar istana,
sudah tak sesuai hati nurani ku! Aku ingin mengha-
biskan sisa-sisa hari tuaku dengan membersihkan diri tanpa mencampuri urusan
istana!" jelas Pendekar Lembah Seribu Bunga, tenang dan lembut.
"Itu urusanmu! Biar kau malang melintang
atau jungkir balik, aku tak peduli! Namun satu hal
yang perlu kau ingat. Pendekar! Hutang harus tetap dilunasi! Dan aku tak akan
berbuat pengecut, seperti
yang kau ajarkan! Kuberikan bak padamu untuk
membela diri. Entah digunakan apa tidak, aku tak
mau tahu!" tandas lintang Sari.
Sejenak gadis itu terdiam. Diambilnya napas
dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Seper-
tinya dia ingin segera menuntaskan keinginannya se-
karang juga. "Biar angin bangun dan mengintai menggalang iringan awan
Sibak rimbunan dunia dengan darah!
Kaidah panjang tanganku
Kaulah lidah merah ku
Genggam semuanya, agar mereka tahu
Darah adalah lambang kematian!"
Begitu lantunan syairnya selesai, lintang Sari
mengatupkan kedua tangannya sejajar dada.
"Hm.... Anak ini rupanya tak main-main! Anak
keras kepala! Sungguh sayang, anak ini telah terma-
kan kata-kata Restu Palaran! Apa boleh buat" Aku ha-
rus bertahan...," gumam Pendekar Lembah Seribu
Bunga sambil memejamkan mata.
Pendekar Lembah Seribu Bunga segera mem-
persiapkan diri dengan mengempos semangatnya. Saat
itu juga tenaga dalamnya dialirkan ke seluruh tubuh.
Kemudian, pelan-pelan matanya membuka.
"Lintang Sari! Baiklah jika itu yang kau kehen-
daki! Tapi, ingat! Aku hanya mempertahankan diri,
tanpa berniat mencederai!"
Mendengar ucapan Pendekar Lembah Seribu
Bunga, Lintang San lak menyahut. Malah segera kedua
tangannya didorong ke depan.
Wesss...! Gelombang sinar merah segera bergerak ke
arah Pendekar Lembah Seribu Bunga.
"Hiaaat...!"
Didahului bentakan membahana, Pendekar
Lembah Seribu Bunga segera melemparkan diri ke
samping sambil mendorongkan kedua telapak tangan-
nya, memapaki gelombang sinar merah.
Blarrr! Ruangan bawah tanah ini kontan bergetar ba-
gai hendak ambruk. Dinding, lantai serta langit-
langitnya yang terbuat dan batu-batu langsung retak.
Pendekar Lembah Seribu Bunga sendiri tersungkur ke
pojok ruangan dengan kepala mengantuk dinding. Ter-
dengar keluhan dari mulutnya.
Sementara itu Lintang Sari tampak terkapar di
lantai ruangan. Namun dengan sigap dia segera bang-
kit. "Bagus! Keluarkan simpanan ilmumu. Pende-
kar! Hutang itu harus dilunasi sekarang!"
Di akhir kalimatnya. Lintang Sari kembali me-
nyentakkan kedua tangannya melepaskan pukulan ja-
rak jauhnya. Wesss...! Seketika melesat gelombang kekuatan berwar-
na merah ke arah Pendekar Lembah Seribu Bunga.
Tapi tentu saja laki-laki tua itu tidak tinggal diam.
Tubuhnya segera melesat ke atas, menghindari
serangan. Dari udara, dilepaskannya satu pukulan ja-
rak jauh pula. "Hiaaa..!"
Pada saat yang sama mendadak Lintang Sari
memalangkan tangannya yang memakai Cincin Aswa-
githa. Pendekar Lembah Seribu Bunga tersentak kaget.
Parasnya tiba-tiba pucat pasi. Tapi, keterkeju-
tannya terlambat. Saat itu juga serangan yang dilan-
carkannya dari udara perlahan-lahan tersedot masuk
ke dalam Cincin Aswagitha. Dan di kejap itu juga tu-
buhnya bagai tak bertenaga dan menukik deras ke ba-
wah! Lintang Sari yang telah di rasuki hawa amarah
tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Saat tubuh Pen-
dekar Lembah Seribu Bunga luruh ke arahnya, gadis
itu melepaskan tendangan dahsyat berisi tenaga dalam tinggi. Desss...!
Tubuh Pendekar Lembah Seribu Bunga yang le-
lah tak bertenaga kontan terhempas ke atas.
Brolll...! Tubuh laki-laki itu langsung menerabas pinggi-
ran lobang, hingga keluar.
Brukkk! Keras sekali tubuh Pendekar Lembah Seribu
Bunga jatuh di luar lobang, dan terkapar. Sekujur tubuhnya tampak merah melepuh.
Rambutnya terpang-
kas hampir habis. Sementara pakaiannya telah ter-
koyak-koyak. Ketika membuka kedua mata. Pendekar Lem-
bah Seribu Bunga tercekat. Satu tombak di depannya,
Lin-tang Sari telah berdiri dengan tatapan garang. Namun tatapan mata gadis itu
hanya sekejap. Saat kepa-
lanya mendongak...
"Sunyi mengandung maut menggantung di udara Maut yang datang tanpa diundang
Maut yang setiap saat pasti menjelang
Maut yang berawal dari darah!"
Selantun syair keluar dari mulut Lintang Sari.
Dan sebentar kemudian matanya telah menyorot tajam
ke arah laki-laki ini
"Pendekar Lembah Seribu Bunga, bekas kepala
tokoh silat kerajaan! Hari ini hutangmu padaku lunas!"
Sambil berkata, Lintang Sari mendorongkan
tangannya ke arah laki-laki ini yang telah memejam
pasrah. Wesss...!
Gelombang sinar merah kembali bergerak ke
arah Pendekar Lembah Seribu Bunga yang telah tak
berdaya, dengan kecepatan luar biasa.
Namun saat pukulan berhawa maut itu siap
melepas nyawa Pendekar Lembah Seribu Bunga.
Werrr...! Tanpa diduga dari arah samping terdengar sua-
ra menggemuruh bagai gelombang laut, memotong se-
rangan yang dilepaskan Lintang Sari.
Akibatnya, gelombang sinar merah itu berbelok
ke samping, menghantam tumbuh-tumbuhan bunga.
Blarrr...! Terdengar ledakan dahsyat, mengiringi ber-
hamburannya bunga beraneka warna itu ke segala
arah. Bahkan tanah tempat tumbuh tanaman-
tanaman itu terbongkar, menciptakan lobang cukup
dalam. "Jahanam!" teriak Lintang Sari geram. "Siapa
bertindak lancang mencampuri urusan kerajaan!"
Lintang Sari melangkah mundur.
"Kurang ajar! Pukulanku begitu saja melenceng
saat terpotong. Siapa gerangan jahanam usil ini"! Apakah orang kerajaan"!"
Berpikir begitu, Lintang Sari segera menoleh ke
samping. Tepat pada saat itu pula Pendekar Lembah
Seribu Bunga membuka kelopak matanya. Dan dia
ikut-ikutan menoleh ke samping, ke arah Lintang Sari memandang.
Keduanya sama-sama terkejut. Lima tombak di
samping mereka, tahu-tahu lelah berdiri seorang pe-
muda berambut gondrong dan dikuncir ekor kuda. Ju-
bahnya warna hijau ketat, dengan pakaian dalam war-
na kuning lengan panjang. Raut wajahnya tampan.
Tubuhnya kekar. Pemuda ini berdiri tegak dengan si-
kap tak acuh. Sementara dari mulutnya terdengar
dendang nyanyian yang tak jelas.
"He! Siapa kau..."! Jangan berani bertindak
mencampuri urusan ini, jika tak ingin tubuhmu hitam
legam!" bentak Lintang Sari.
Gadis ini menggeram marah. Senyumnya me-
nyeringai beringas. Namun, rupanya Lintang Sari tak
mau bertindak sembrono. Disadari betul, jika puku-
lannya berhasil dipotong berarti orang itu memiliki
tingkat kepandaian yang tak bisa dipandang sebelah
mata. Sambil menjentikkan jari-jari pada ujung hi-
dungnya, pemuda tampan berambut gondrong yang
tak lain Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108 ini celingukan memandang ke arah
Lintang Sari dan Pende-
kar Lembah Seribu Bunga berganti-ganti.
"Orang ini tampangnya keren. Tapi, sikapnya
seperti orang tolol dan sinting! Namun melihat puku-
lannya tadi, dia pasti menyembunyikan sesuatu di ba-
lik sikapnya! Hm..., menilik pakaian yang dikenakan, dia bukan dari kalangan
istana. Meski, wajahnya pantas jadi orang istana!" kata batin Lintang Sari
sambil tak kedip mengawasi pemuda di sampingnya dari
ujung kaki hingga ujung rambut.
Namun ditunggu agak lama, pemuda itu tetap
saja celingukan. Bahkan sambil senyam-senyum dan
bergumam tak karuan. Melihat hal ini Lintang Sari jadi jengkel. "He...! Kau
dengar kata-kataku bukan..."! Apa telingamu minta dikorek" Lekas katakan, siapa
kau..."!" bentak Lintang Sari, disertai pengerahan tenaga dalam.
Dibentak begitu. Pendekar Mata Keranjang 108
tersenyum. Bahkan balik menatap tajam.
"Gadis cantik! Apalah pentingnya sebuah na-
ma" Kau bisa memanggilku apa saja! Sesukamu lah.
Terserah kau mau, terserah kau pilih!" kata Aji.
"Orang sinting!" rutuk Lintang Sari, kesal.
"Panggilan itu juga boleh...!" sahut Aji cengengesan.
Namun, matanya berkedip nakal.
"Sinting! Benar-benar sinting! Baru kali ini aku menemui orang edan seperti
dia!" kata Lintang Sari, dalam hati. "He, Sinting! Cepat tinggalkan tempat ini!
Ku-peringatkan, jangan turut campur masalah ini ka-
lau masih ingin lebih lama menikmati kesintingan mu!"
bentak Lintang Sari, kembali.
"Oh, begitu" Baiklah, Gadis Ayu! Segala perin-
gatanmu akan kuperhatikan. Tapi, harap dengar dahu-
lu ucapanku. Jika kau masih akan menghajar orang
yang sudah tak berdaya, jangan harap aku pergi dari
sini! Malah aku akan membuntuti ke mana kau pergi!"
Meski Lintang Sari menggeram menahan ma-
rah, namun sesaat bibirnya tersenyum.
"Apakah berarti kau akan mencampuri urusan
ini" Urusan yang siapa saja tak berhak mencampu-
rinya..."!"
Setelah berkata sinis, Lintang Sari mendongak.
Lalu.... "Sungguh kasihan orang yang bersikap tolol Mereka harus membayar mahal
ketololannya Dengan tetesan darah
Darah kematian!"
Satu bait syair, meluncur dari bibir Lintang Sa-
ri. "Hai, Orang Sinting! Mumpung masih ada ke-
sempatan, sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini. Da-
ripada kau terpuruk di sini tanpa kubur, cepat patuhi perintah ku!" dengus gadis
itu, bernada mengancam.
Matanya yang melotot, seperti hendak menghujam jan-
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tung Pendekar Mata Keranjang 108.
Masih dengan senyam-senyum, Aji mendongak
ke atas. Lalu....
" Sungguh minta dikasihani orang yang keras kepala Mereka melangkah dengan
tertatih-tatih Padahal tongkat di tangannya telah rapuh
Sedang yang dituju adalah alam kegelapan"
Pendekar Mata Keranjang malah ikut-ikutan
melantunkan syair.
"Gadis cantik! Selagi ada waktu, sadarlah! Per-
buatanmu ini tak terpuji. Kalau kau memang ksatria,
beri kesempatan pada orang tua yang telah tak ber-
daya itu untuk meninggalkan tempat ini!" ujar Aji, tak kalah garang.
Lintang Sari mengumpat panjang pendek dalam
hati. "Kau memang orang sinting yang cari mati!" Setelah berkala. Lintang Sari
segera menyentakkan tan-
gannya ke arah Aji.
Wesss...! Seketika dari telapak tangan gadis ini meluruk
gelombang berwarna merah yang berhawa maut, men-
gancam keselamatan pemuda tampan itu.
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat melenting-
kan diri ke udara. Dan masih dengan cengengesan,
kakinya mendarat di samping Pendekar Lembah Seribu
Bunga. Lintang Sari semakin marah, karena merasa
dipermainkan. Lalu tanpa bicara lagi, segera kedua
tangannya disatukan sejajar dada.
"Orang muda, hati-hati!" kala Pendekar Lembah Seribu Bunga, dengan suara
tersendat di tenggorokan.
Baru saja Aji hendak menoleh, gelombang sinar
merah telah kembali bergerak cepat ke arahnya.
"Jika aku menghindar, gelombang sinar ini
akan menghajar orang tua ini...!"
Berpikir begitu. Pendekar Mala Keranjang 108
segera mengepalkan tangannya, membuat jurus
'Gelombang Prahara'. Dan ketika gelombang sinar me-
rah telah melesat, cepat pula tangannya dihentakkan ke depan.
Werrr...! Gelombang angin disertai suara menggemuruh
segera pula menggebrak memapak serangan gelom-
bang sinar merah.
Blarrr...! Ketika dua pukulan bentrok, tempat itu laksa-
na di guncang gempa dahsyat. Bunga-bunga kembali
berguguran dan menghitam. Sementara Aji terpelant-
ing hingga dua tombak ke samping, lalu jatuh men-
cium tanah. Wajah dan sebagian jubah hijau ketatnya
tampak kemerah-merahan. Tenggorokannya bagai ter-
jilat api, dengan napas sesak.
Di lain pihak. Lintang San terpental hingga em-
pat tombak ke belakang. Baju bagian pinggang dan
bahu tampak terbakar. Wajah pucat pasi. Namun saat
terpental tadi, dia masih sempat membual gerakan
berputar di udara. Begitu mendarat tubuhnya sebentar tergontai-gontai, tapi
segera dapat berdiri tegak kokoh.
Di sudut-sudut bibirnya mengalir darah agak kehita-
man pertanda terluka dalam. Hal ini bisa dimaklumi,
karena sudah untuk yang ketiga kalinya jurus ini dikerahkan. Hingga bagaimanapun
hebatnya pukulan itu,
bentrokan yang ditimbulkan tak bisa menghindarkan
dirinya dari luka dalam.
Untuk beberapa lama. gadis murid Restu Pala-
ran ini tegak tak bergeming. Parasnya meringis mena-
han sakit. Bahkan tatkala melirik tangannya, matanya langsung mendelik. Kulit
tangannya tampak kemerahan dan serasa seperti ditusuk jarum.
Melihat hal ini Lintang Sari menggoreng. Saat
itu juga tangannya yang mengenakan Cincin Aswagi-
tha dipalangkan. Sementara, tangan satunya bersiap
melepaskan pukulan jarak jauh. Sinar hijau berki-
lauan tampak memancar dari jari tangan kanannya.
Aji tercengang dan melotot, melihat cincin yang
dikenakan Lintang Sari.
"Cincin Aswagitha!" gumam Pendekar Lembah
Seribu Bunga perlahan. "Anak muda! Cincin itu adalah senjata sakti. Kau harus
berhati-hati! Jangan menge-
luarkan tenaga jika menghadapinya!" Aji mengangguk perlahan, mendengar
penjelasan sekaligus peringatan
dari bibir Pendekar Lembah Seribu Bunga.
Merasa keadaan agak gawat, Pendekar Mata
Keranjang 108 segera mengeluarkan kipas lipatnya.
Dipentangkannya benda itu di depan kepala dengan
kaki membuat kuda-kuda kokoh.
Begitu kipas terpentang, sinar hijau dan putih
menyilaukan segera memancar. Dan ini membuai Lin-
tang Sari dan Pendekar Lembah Seribu Bunga sama-
sama terkesima. Bahkan gadis itu surut setengah
langkah ke belakang.
"Aku harus memancingnya, agar dia menye-
rangku. Dengan demikian, tenaganya akan tersedot ke
dalam Cincin Aswagitha!" kata batin Lintang Sari.
Lantas dengan sedikit menyimpan rasa jerih
Lintang Sari tersenyum sinis.
"Hm.... Kipas rombeng, apa hebatnya!" ejek Lintang Sari. "Hei, Sinting! Sungguh
kasihan kau. Sudah sinting, masih juga jadi antek pengkhianat! Kau memang pantas
segera menghuni neraka!"
"Hm..!"
Aji hanya menggumam panjang mendengar ka-
ta-kata Lintang Sari. Bibirnya tersenyum, dengan tatapan menusuk.
"Gadis cantik! Urusan menghuni neraka, kukira
bukan kau yang menentukan! Dan satu hal yang ha-
rus diingat, aku bukannya ikut campur urusanmu.
Aku hanya tak suka melihat kau masih ringan tangan
terhadap orang yang sudah tak berdaya! Dan, jangan
harap aku akan menyerang mu. Aku hanya berusaha
mematahkan seranganmu!" balas Pendekar Mata Ke-
ranjang 108, kalem.
Lintang Sari terkejut mendengar ucapan Aji.
"Bajingan! Apa orang ini tahu tentang Cincin
Aswagitha..."!" batin Lintang Sari.
Dan Lintang Sari makin melongo tak percaya
melihat Aji tersenyum-senyum dan melangkah ke
arahnya dengan terus memandangi tak berkedip.
"Edan! Betul-betul edan manusia satu ini!" rutuk Lintang Sari seraya mundur.
Tangan kiri Lintang Sari yang tadi siap melan-
carkan serangan, perlahan-lahan luruh ke bawah. Se-
pasang matanya mendelik tak berkedip melihat sikap
Aji. "Gara-gara orang gila ini, urusanku dengan
Pendekar Lembah Seribu Bunga terpaksa harus ku-
tunda!" kata Lintang Sari dalam hati sambi! berbalik.
Gadis itu berdiri membelakangi Aji. Dia seperti
tak peduli pada Pendekar Mata Keranjang 108 yang te-
rus melangkah mendatangi
"Berhenti, Orang Sinting! Kali ini omongan mu
ku turuti! Tapi, jangan harap urusanku dengan Pende-
kar Lembah Seribu Bunga selesai sampai di sini! Kelak aku akan datang menjemput
nyawanya yang tertunda!
Dan kau, Orang Sinting! Sekali lagi ikut campur, aku tak akan bermurah hati
lagi!" Selesai berkata Lintang Sari berkelebat dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sebentar
saja, tubuhnya telah lenyap dari pandangan Pendekar
Mata Keranjang 108.
"Terima kasih, Orang Muda...!" kata Pendekar Lembah Seribu Bunga sambil
memegangi dadanya.
Suaranya tersendat-sendat dan hampir tak terdengar.
Ketika menoleh, Aji terkejut. Ternyata Pendekar
Lembah Seribu Bunga telah kembali terkapar. Mulut-
nya tampak mengeluarkan gumpalan darah kehita-
man. "Kalau boleh tahu, ada sengketa apa sebenar-
nya hingga gadis tadi sepertinya sangat menginginkan kematianmu, Pendekar...?"
tanya Aji seraya membantu mendudukkan Pendekar Lembah Seribu Bunga.
Sebentar Pendekar Lembah Seribu Bunga men-
gatur jalan napasnya.
"Ah! Itu sebenarnya urusan lama yang telah ku
lupakan. Dan..., aku sendiri tak menduga..., jika..., dia akan muncul!" sahut
laki-laki itu, tersendat.
Baru saja kata-katanya selesai kembali gumpa-
lan darah kehitaman keluar dari mulut Pendekar Lem-
bah Seribu Bunga.
"Bertahanlah, Pendekar! Aku akan membantu-
mu menyalurkan hawa murni!" ujar Aji.
Pendekar Mata Keranjang 108segera membuka
telapak tangannya. Segera ditempelkannya ke dada
Pendekar Lembah Seribu Bunga.
"Anak muda, percuma! Tenagaku sudah habis
tersedot cincin gadis tadi. Aku tak bisa diselamatkan lagi! Hanya saja aku mohon
padamu. Cegah keinginan
Lintang Sari! Dia..., sangat berbahaya!" desah Pendekar Lembah Seribu Bunga.
"Lintang Sari..."' gumam Aji perlahan dengan
kening berkernyit.
"Gadis tadi.... Dia..., adalah putri..., Sri Baginda yang telah terguling.
Dia..., akan...."
Pendekar Lembah Seribu Bunga tak kuasa lagi
meneruskan kata-katanya. Hanya mulutnya bergerak-
gerak tanpa ada suara yang keluar.
Aji berusaha menyalurkan hawa murni ke tu-
buh Pendekar Lembah Seribu Bunga. Namun seperti
kata laki-laki tua itu, ternyata hawa yang disalurkan Aji tak membawa arti.
Hingga sejenak kemudian tampak mata Pendekar Lembah Seribu Bunga meredup.
Dan sesaat kemudian, terpejam bersamaan dengan ge-
rakan kepalanya yang lunglai.
*** 6 Istana Kerajaan Malowopati menjadi gempar
saat pagi hari di depan bangsal keputren ditemukan
kotak yang berisi penggalan kepala tokoh sesat yang
belakangan diketahui menjadi kaki tangan kerajaan.
Iblis Penggali Kubur! Namun, bukan penggalan kepala
Iblis Penggali Kubur yang membuat kalangan istana
guncang dan curiga. Tapi, pembungkus kepala itu
yang membuat kalangan istana bertanya-tanya. Kare-
na pembungkus kepala itu berupa baju berlambang
kerajaan. Untuk mengatasi guncangan itu. malam hari ini
Sri Baginda Kerta Bumi mengadakan pertemuan den-
gan mahapatih. "Paman Patih Gagak Rimang! Keresahan yang
mulai merambat di kalangan istana ini harus segera
dicari jawabannya! Jika tidak, aku khawatir keadaan
ini akan dijadikan kesempatan oleh orang-orang yang
berniat buruk terhadap kerajaan!" titah Sri Baginda pada patih Kerajaan
Malowopati yang bernama Gagak
Rimang. Mendengar penuturan Sri Baginda Kerta Bumi,
patih bertampang wibawa dan berusia agak lanjut itu
mengangguk. "Benar, Sri Baginda! Malah tadi seorang tokoh
silat kerajaan mengatakan, bahwa mereka diam-diam
telah mulai mengadakan penyelidikan, dengan tujuan
agar ruang gerak lebih leluasa. Dan tentu saja untuk menjaga agar keresahan ini
tak menjalar ke seluruh
wilayah kerajaan!"
"Hm.... Bagus! Hatiku memang belum tenteram
jika kejelasan tentang Restu Palaran dan Lintang Sari tak juga kunjung selesai.
Bahkan aku curiga, jangan-jangan Rambu Pamulih dan Tantra Gilang menda-
patkan rintangan. Atau, mungkin saja secara diam-
diam mereka berkhianat pada kerajaan" Buktinya
pembungkus kepala Iblis Penggali Kubur itu berlam-
bang kerajaan! Bagaimana pendapatmu, Paman Pa-
tih..?" Mendengar pertanyaan Sri Baginda, Mahapatih Gagak Rimang mengangkat
kepalanya. "Rambu Pamulih dan Tantra Gilang, serta dua
orang prajurit yang menyusul adalah orang-orang yang telah teruji kesetiaannya
pada kerajaan. Jadi kemung-kinan mereka berkhianat, rasanya mustahil. Yang
mungkin terjadi adalah, mereka mendapat rintangan
dalam tugasnya menangkap Restu Palaran dan Lintang
Sari! Sekarang para tokoh istana juga sedang menyeli-diki, apa tujuan di balik
pemenggalan kepala Iblis
Penggali Kubur yang dibungkus dengan baju berlam-
bang kerajaan itu! Sekadar membuat keresahan, atau
ada tujuan tertentu"! Namun demikian, Sri Baginda
harap tidak begitu mencemaskan kejadian-kejadian
ini! Kami akan segera mengirim tokoh-tokoh silat barisan pertama, untuk menyusul
Rambu Pamulih dan
Tantra Gilang. Juga, penjagaan lingkungan istana
akan lebih diperketat!"
"Hm.... Namun satu hal yang di atas segalanya,
Paman Patih. Dan ini yang membuatku tak enak dalam
menjalankan roda pemerintahan...."
Sri Baginda menghentikan kata-katanya. Dita-
rik napas panjang.
"Soal belum diketemukannya lambang kera-
jaan! Yaitu, Cincin Aswagitha!" lanjut laki-laki berusia lima puluh dua tahun
ini. "Masalah Cincin Aswagitha, kami juga sedang
mencarinya, Sri Baginda. Bahkan kami telah mengum-
pulkan beberapa ahli nujum untuk membantu penca-
rian cincin itu!"
Sri Baginda Kerta Bumi mengangguk menden-
gar keterangan Mahapatih Gagak Rimang.
'Hamba perlu petunjuk lebih lanjut, Sri Bagin-
da!" kala Mahapatih Gagak Rimang setelah saling diam agak lama.
Untuk beberapa saat Sri Baginda masih ter-
diam. "Paman Patih!" panggil Sri Baginda, akhirnya.
"Untuk mengatasi keadaan ini, kau harus mengambil langkah-langkah. Pertama,
persiapkan orang-orang
khusus yang terpercaya untuk mencari jejak Cincin
Aswagitha. Kedua, bentuk pasukan yang dipimpin to-
Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
koh silat kerajaan barisan pertama, untuk menangkap
Restu Palaran dan Lintang Sari. Ketiga lipat gandakan penjagaan. Terutama,
sekitar istana dan bangsal keputren. Keempat, perintahkan pada seluruh adipati
yang berada di bawah wilayah Kerajaan Malowopati, untuk
perketat daerah masing-masing. Ini untuk berjaga-
jaga, jika Restu Palaran dan Lintang Sari bisa lolos dari sergapan. Dan semua
ini harus kau laksanakan secepat mungkin!"
"Jika demikian, titah Sri Baginda akan kami
laksanakan. Hamba mohon diri...," pamit Mahapatih Gagak Rimang seraya menjura.
Dan setelah itu, dia
berlalu. Siang ini, di ruang pendopo istana tampak Ma-
hapatih Gagak Rimang sedang membicarakan titah Sri
Baginda pada tokoh-tokoh silat dan pembesar-
pembesar kerajaan. Termasuk, putra-putra dari selir
Sri Baginda "Demikianlah titah Sri Baginda Kerta Bumi
yang harus segera dilaksanakan! Dan khusus untuk
pasukan yang bertugas mencari jejak Cincin Aswagi-
tha, langsung di bawah tanganku!" jelas Mahapatih Gagak Rimang mengakhiri
pembicaraannya.
"Mahapatih! Ada berita buruk Dan ini mungkin
ada kaitannya dengan tewasnya Iblis Penggali Kubur!"
seru salah seorang dari golongan tokoh silat. "Hm.."
Berita apa...?"
"Seseorang tadi pagi dalang ke tempatku. Dia
mengatakan, bahwa tempat tinggal Pendekar Lembah
Seribu Bunga telah porak poranda. Dan, pendekar itu
tidak ada di tempatnya!"
Seluruh orang yang hadir tersentak kaget. Bah-
kan Mahapatih Gagak Rimang sempat ternganga.
"Lalu...?" susul Mahapatih Gagak Rimang.
"Mendapati kabar itu, aku segera berangkat ke
Lembah Seribu Bunga. Dan nyatanya, berita itu benar.
Pendekar Lembah Seribu Bunga tak kutemukan. Tem-
pat tinggalnya berantakan. Dan di sekitar tempat itu, aku juga melihat ceceran
darah yang sudah menger-ing. Namun yang lebih dari semua itu, tak jauh dari si-
tu kutemukan tanah gundukan baru. Sepertinya, ku-
buran!" papar tokoh silat Kerajaan Malowopati itu.
"Rentetan peristiwa ini mungkin saling mengait.
Dan rupanya, si pembuat keresahan ini menginginkan
kita sulit menebak, dari golongan mana sebenarnya.
Karena Iblis Penggali Kubur dan Pendekar Lembah Se-
ribu Bunga adalah tokoh yang berhaluan berbeda. Dan
jika demikian halnya, berarti keadaan mulai genting!
Aku akan menghadap Sri Baginda. Kalian masing-
masing, harap melaksanakan tugas! Kalau ada sesuatu
yang mencurigakan, cepat lapor! Untuk hari ini kita
cukup-kan sekian dulu!"
Setelah berkala. Mahapatih Gagak Rimang se-
gera berlalu. Di antara rombongan orang yang keluar dari
pendopo Istana Kerajaan Malowopati, tampak seorang
laki-laki berusia kira-kira tiga puluh tahun. Pakaian lengkap dengan lambang
kerajaan. Dia menunggang
kuda, di iringi empat orang berkuda yang berpakaian pasukan prajurit kerajaan.
Ketika dia keluar dari gapura istana, para penjaga di luar tampak menjura
hormat. Sementara, laki-laki ini sendiri tampak acuh.
"Pengawal! Kita terus saja ke Hutan Wonosari.
Aku ingin berburu!" kata laki-laki muda saat telah berada di luar istana.
Keempat orang yang rupanya pengawal kera-
jaan hanya menjura tanpa berkata
Maka rombongan berkuda itu segera mengge-
bah kudanya dengan cepat. Hutan Wonosari yang be-
rada di utara. Namun tanpa disadari, sejak keluar dari istana rombongan ini
diikuti satu sosok bayangan yang mengendap-endap dari arah belakang. Melihat
gerakannya, sosok ini memiliki tingkat kepandaian tinggi.
Nyatanya tanpa menunggang seekor kuda, sosok ini
tak tertinggal jauh dari orang-orang yang diikuti. Bahkan tanpa menimbulkan
suara, dia leluasa bergerak
dari satu pohon ke pohon lainnya.
Karena tidak begitu jauh, sebentar saja, rom-
bongan berkuda itu telah tiba di kawasan Hutan Wo-
nosari. Sementara, laki-laki berpakaian kebesaran istana itu segera turun dari
kuda tunggangannya, diikuti empat pengawalnya. Setelah mempersiapkan panah,
kakinya mulai melangkah dengan mata nyalang men-
cari binatang buruan.
Namun belum sampai laki-laki ini menemukan
seekor binatang yang siap diburu....
"Ketika kesunyian menghempas suasana belan-
tara Sang pemburu tiba-tiba datang menghentak, ja-lang Datangnya bagai mata dewa
pengutuk jagat raya Kasih sayang seperti hilang ditelan suka
Darah sang buruan akan segera membasahi
bumi Ditingkah gema tawa calon penghuni neraka!"
Sayup-sayup terdengar lantunan syair, yang
kelihatannya dari arah sebuah dangau.
"Hm.... Di tengah hutan sunyi, siapa gerangan
yang melantunkan syair?" kata laki-laki berpakaian indah itu seraya memandang
berkeliling. Sementara
empat orang pengiringnya yang berdiri agak jauh nam-
pak mencari-cari asal suara.
Bunga Ceplok Ungu 3 Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Bangau Putih 6