Pencarian

Misteri Penari Ronggeng 2

Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng Bagian 2


"Mungkinkah hantu hutan yang bersuara?"
tanya salah seorang dari empat pengawal dengan men-
gangkat bahu. "Dasar penakut! Mana ada hantu bisa melan-
tunkan syair" Siang-siang lagi...!" timpal prajurit lain, sambil tertawa.
"Kalian tetap tunggu di situ!" teriak laki-laki berpakaian indah, seraya
bergegas menuju arah
sumber suara. "Hm..., pangeran bila dengar suara perempuan
saja sudah blingsatan!" bisik salah seorang pengawal.
"Ya, apa mau dikata" Itu memang kesukaan-
nya!" Sementara itu, laki-laki berpakaian kebesaran istana yang tak lain putra
Sri Baginda Kerta Bumi telah tak nampak lagi dari pandangan para pengawal-
nya. Dia terus melangkah ke arah datangnya lantunan
syair. Dan kini, pangeran ini tiba di pinggir sebuah dangau yang terletak di
bawah sebuah pohon besar.
Pangeran muda ini melihat seorang perempuan be-
rambut panjang duduk sendirian di sana.
"Hm.... Seorang perempuan sendirian di tepi
dangau. Mudah-mudahan tak mengecewakan...!" gu-
mam, laki-laki ini.
Pangeran muda itu terus melangkah, menera-
bas semak belukar. Lalu dia memutar ke kiri. Dari
arah sini, untuk beberapa saat dia hanya berdiri tegak termangu, seraya
mengawasi perempuan yang tampaknya masih mengumandangkan syair-syair. Sesaat,
tampak senyum menyungging di bibir pangeran muda
ini. "Hm..., gadis cantik dan masih muda! Dan...,
tubuhnya. Hm..., baru kali ini aku melihat dada mem-
busung dan menantang menggemaskan seperti itu!
Dan..., pinggulnya.... Mendebarkan! Ah, sungguh sem-
purna!" desah batin laki-laki yang agaknya mata ke-ranjang ini.
Gadis cantik yang duduk di tepi dangau, seper-
tinya tak mengetahui kalau ada sepasang mata sedang
menelusuri tubuhnya disertai senyum penuh arti. Ga-
dis itu terus menggumam perlahan, seperti melantun-
kan nada-nada syair. Bahkan sesekali mulutnya mem-
buka untuk menarik napas dalam-dalam. Sehingga,
dadanya yang terbungkus pakaian putih ketat tampak
membusung kencang.
Jakun pangeran muda ini tampak turun naik.
Namun rupanya dia masih belum berani mengusik
keasyikan gadis itu, sehingga hanya tetap tegak me-
mandangi dengan sorot aneh, penuh hasrat. Dan keti-
ka telah terbakar nafsu, kakinya mulai melangkah pe-
lan mendatangi.
Bibir mungil gadis yang tampak bergerak-gerak
melantunkan syair, mendadak sontak berhenti saat
mendengar ada langkah-langkah mendekat. Dan begi-
tu menoleh, dia serentak berdiri.
Sementara pangeran muda itu terkesiap. Dalam
keadaan berdiri, lekukan tubuh gadis ini lebih tampak jelas. Sehingga untuk
beberapa saat membuat terkesima laki-laki itu. Sepasang matanya berputar liar.
Sebaliknya, gadis itu tampak tersentak kaget
Segera langkahnya tersurut mundur ke belakang. Se-
pasang mata bulatnya yang berbinar tajam meman-
dang penuh selidik.
"Cah Ayu, kau tak usah khawatir! Aku orang
baik-baik yang kebetulan sedang berburu di hutan ini!"
sergah pangeran muda ini.
"Kau..., kau siapa..."!" tanya gadis itu tersendat. Paras wajahnya tak busa
menyembunyikan rasa
takut. Pangeran muda itu tersenyum.
"Aku..., Puja Manggala pangeran dari Kerajaan
Malowopati. Kebetulan, aku sedang berburu.... Kau
sendiri siapa..." Dan. sedang apa di pinggir dangau
sendirian" Aku tadi mendengar lantunan syair mu. In-
dah dan merdu! Apakah kau seorang pesinden.?" kata pangeran muda yang mengaku
bernama Puja Manggala, lembut.
Melihat laki-laki di depannya adalah seorang
pangeran, seketika gadis itu menjura dalam-dalam.
"Maafkan sikapku yang tak hormat. Pangeran.
Hamba tak menduga jika sedang berhadapan dengan
Pangeran Puja Manggala putra Sri Baginda Kerta Bu-
mi, Penguasa Kerajaan Malowopati...," ucap gadis cantik ini tetap menjura.
Pangeran Puja Manggala tersenyum. Lalu dipe-
gangnya bahu gadis itu dan menyuruhnya tegak kem-
bali. "Cah ayu.... Kau belum menjawab pertanyaanku! Siapa kau sebenarnya?" tanya
pangeran ini. Laki-laki itu terus memandangi gadis di depan-
nya yang kini menunduk tak berani memandang. Dan
ini membuat mata Pangeran Puja Manggala lebih lelu-
asa menelusuri lekuk tubuh gadis itu.
"Hamba..., hamba Kumala Dewi. Hamba berasal
dari Dusun Kepatihan. Seperti kata Pangeran, hamba
memang seorang pesinden. Namun, tepatnya juga seo-
rang penari. Penari dusun! Hamba datang ke kotaraja
berniat mencari paman hamba. Tapi, dia lak bisa ham-
ba temukan. Sehingga, hamba berniat pulang kembali
ke Dusun Kepatihan. Waktu lewat hutan ini, hamba
terpesona melihat pemandangannya. Lalu, hamba du-
duk-duduk di sini, sampai Pangeran datang...."
Pangeran Puja Manggala mengangguk-
anggukkan kepala mendengar penuturan gadis yang
mengaku bernama Kumala Dewi.
"Ngg.... Kumala Dewi! Kalau kau mau, bagai-
mana kalau sementara waktu tak usah kembali dulu
ke Dusun Kepatihan. Aku akan menolongmu mencari
pamanmu itu. Karena aku sudah mengenal daerah ini,
mungkin aku lebih mudah mencarinya. Atau, aku nan-
ti bisa memerintah para pengawal untuk mencari pa-
manmu itu...!" ujar Pangeran Puja Manggala, lemah
lembut. "Terima kasih atas tawaran Pangeran. Tapi, hal itu tak mungkin.
Pangeran! Karena hamba di sini tak
punya kerabat. Sementara, harus menunggu!" tolak Kumala Dewi halus.
Pangeran Puja Manggala tersenyum lebar.
"Soal itu kau tak usah khawatir, Kumala Dewi!
Sementara sambil menunggu, kau bisa tinggal di tem-
patku!" Kumala Dewi terperanjat, seolah tak percaya mendengar kata-kata pangeran
ini. Kepalanya sampai
terangkat menatap laki-laki itu.
"Kau lak percaya" Sekarang juga aku akan
membawamu ke tempatku!" kata Pangeran Puja Manggala saat melihat wajah Kumala
Dewi mengisyaratkan
tak percaya. "Tapi..., hamba.... hanyalah seorang dusun,
Pangeran. Tak pantas rasanya harus tinggal di tempat Pangeran!" kilah Kumala
Dewi. Pangeran muda tertawa tergelak-gelak.
"Kumala Dewi! Lupakanlah hal itu! Dari mana
pun asalmu, yang pasti kau adalah seorang gadis can-
tik dan pantas tinggal di tempatku. Dan kalau kau
mau, aku tak keberatan mengusulkan kau jadi penari
istana!" Kumala Dewi kembali tengadah, seakan-akan terkejut. Sementara pangeran
itu tersenyum-senyum
sambil mengawasi sekeliling.
"Hari sudah hampir gelap. Sebaiknya kita sege-
ra pergi dari sini. Kau tentunya lelah dan perlu istirahat...," kata pangeran
ini, mengajak. Kemudian tangan Pangeran Muda memegang
tangan Kumala Dewi yang halus mulus berjari lentik.
Sejenak Kumala Dewi tersipu malu dan jengah.
Namun ketika melihat pangeran itu tersenyum, Kuma-
la Dewi menurut saja ketika dituntun ke arah para
pengawal. *** Pangeran Puja Manggala dan Kumala Dewi
sampai di tempat para pengawal. Dan ini membuat pa-
ra pengawal terkesima. Namun, mereka tak berani
memandangi terus-terusan ke arah Kumala Dewi.
Bahkan mereka segera menjura hormat.
"Pengawal! Berikan satu kuda pada Kumala
Dewi! Dan kau berdua, menunggang satu kuda!" titah Pangeran Puja Manggala pada
salah seorang pengawal.
Pengawal itu menjura, lalu mendekatkan ku-
danya pada Kumala Dewi. Lantas dengan tangannya
yang kekar, pangeran itu mengangkat tubuh Kumala
Dewi ke atas punggung kuda.
"Pengawal! Kalian jalan di muka!" pinta Pangeran Puja Manggala seraya meloncat
ke atas punggung
kudanya dan menjajari Kumala Dewi.
Keempat pengawal itu tanpa bicara menarik
kuda masing-masing, melangkah mendahului sang
pangeran. *** 7 Pagi ini langit tampak cerah, tanpa tertutup
awan sedikit pun. Sang mentari yang baru saja me-
rambat dari bentangan kaki langit sebelah timur, tidak terhalang lagi menyapu
dataran bumi dengan sinarnya
yang terasa menghangat.
Seorang pemuda berwajah tampan terbungkus
pakaian jubah ketat berwarna hijau dengan pakaian
dalam warna kuning lengan panjang tampak melang-
kah di keramaian kotaraja Malowopati. Pemuda ini
berbadan tegap dan kekar. Rambutnya gondrong dan
dikuncir ekor kuda. Sambil melangkah, kepalanya ber-
gerak ke kanan dan ke kiri, dengan sepasang mata
menebar pandangan seakan mencari sesuatu. Melihat
arah langkahnya, arah yang dituju adalah istana.
"Lintang Sari, putri bekas Sri Baginda yang terguling, mendadak muncul. Dan
menurut Pendekar
Lembah Seribu Bunga, dia harus dicegah. Hm..., dice-
gah..." Apa gerangan yang akan dilakukannya" Ber-
buat makar pada Sri Baginda yang sekarang berkua-
sa" Ini tak mungkin! Kukira, dia tak mengarah sampai sejauh itu. Balas dendam"
Ini mungkin yang mendekati kebenaran! Namun, apa hubungannya dengan Pen-
dekar Lembah Seribu Bunga" Yang dikatakan gadis itu
sebagai seorang pengkhianat. Berkhianat pada sia-
pa..." Pada ayahnya yang terguling" Hm.... Aku belum jelas betul dengan
persoalan ini! Aku akan menanyakan hal ini...!" gumam pemuda berambut gondrong
yang tak lain Aji Saputra, alias Pendekar Mata Keranjang 108, berkala pada diri
sendiri. Pendekar Mata Keranjang terus melangkah,
mendekati istana. Dan di depan pintu gerbang istana, langkahnya berhenti.
Sementara beberapa pengawal
jaga di pintu gerbang terus mengawasinya dengan
pandangan rasa curiga.
Aji tampak celingak-celinguk dan tersenyum-
senyum sendiri. Sementara dari mulutnya terdengar
gumaman seperti orang mendendangkan nyanyian.
Karena seluruh pengawal telah diperintah agar
memperkuat penjagaan, maka ketika mendapati ada
seorang pemuda yang bertingkah mencurigakan, dua
orang penjaga lantas bergegas melangkah mendekati.
"Hei, ada perlu apa kau berdiri di sini" Apa kau tak tahu, sedang berada di mana
saat ini..."!" bentak salah seorang penjaga.
Pemuda yang dibentak tidak menjawab, atau
berpaling pada kedua orang yang di dekatnya. Malah
gumamannya agak dikeraskan.
Tingkah pemuda ini tentu saja membuat dua
orang penjaga itu jengkel dan marah.
"Mungkin orang sinting yang datang minta di-
hajar. Beri saja dia sedikit pelajaran, biar tahu sopan santun. Sekalian gampar
mulutnya biar mau bunyi...!"
ujar pengawal satunya.
"He...! Apa kau ingin aku melakukan seperti
yang dikatakan temanku tadi..."!"bentak penjaga itu kembali.
Seakan tak mendengar teguran dan nada an-
caman, pemuda berjubah ketat berwarna hijau itu te-
tap bertingkah seperti semula. Bahkan Aji terus tersenyum-senyum. Sekilas
matanya melirik ke arah dua
orang penjaga yang membentaknya.
"Apakah aku bisa bertemu Paman Patih...?"
tanya Pendekar Mata Keranjang 108, seenaknya.
"Kawan! Kau dengar omongannya" Dia ingin
bertemu Mahapatih...! Apa dikira Mahapatih itu pa-
mannya"!" ejek salah seorang penjaga pada kawannya seraya tertawa bergelak.
"Seperti yang kukatakan tadi, dia pemuda sint-
ing yang ingin diajar sopan santun! Gampar saja mu-
lutnya!" timpal pengawal lain ikut tertawa.
"Penjaga! Waktuku tidak banyak! Antarkan aku
ke hadapan Paman Patih!" desak Aji.
Sikap Pendekar Mata Keranjang 108 seketika
berubah. Nada suaranya menusuk. Sengaja pada saat
berkata tenaga dalamnya sedikit disalurkan. Hingga
meski Aji hanya membuka sedikit mulutnya, suara
yang keluar sudah cukup membuat telinga seperti di-
tusuk. Dan ini membuat dua orang penjaga yang bera-
da di dekatnya tersentak dan mendelik.
"Kurang ajar! Rupanya kau ingin unjuk kebole-
han, Bocah!"dengus salah seorang penjaga. Seketika pangkal tombaknya ditusukkan
ke arah kaki Aji.
Namun hanya menarik kakinya satu tindak ke
belakang, Pendekar Mata Keranjang 108 mudah sekali
menghindarinya. Dan tombak itu terus melesat, hanya
mengenai tempat kosong.
"Jahanam!" bentak penjaga yang lain saat melihat tusukan temannya begitu mudah
dihindari pemu-
da agak sinting.
Penjaga ini lantas menghantamkan tombaknya
ke dada Aji. Rupanya, hatinya sudah jengkel. Sehingga hantaman tombaknya kali
ini mengarah pada anggota
yang mematikan. Namun, lagi-lagi Aji hanya menghin-
dar dengan sedikit miringkan tubuhnya.
Melihat ada keributan, para penjaga lain yang
berada di pintu gerbang segera mendatangi. Dan tanpa bicara lagi mereka langsung
mengurung Aji. "Para penjaga, dengar baik-baik! Kedatanganku


Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan niat baik! Dan aku tak ingin membuat keribu-
tan!" ujar Aji sambil memandang ke sekeliling pada delapan orang yang
mengurungnya. "Terlalu banyak mulut! Hajar dan tangkap dia!"
teriak salah seorang yang rupanya bertindak
sebagai kepala jaga.
Orang ini sambil berteriak langsung memba-
batkan tombaknya. Melihat hal ini, tujuh penjaga lain
segera pula menghujamkan tombak masing-masing ke
setiap penjuru tubuh pemuda itu.
Dengan membabi buta para penjaga ini terus
menyerang. Namun sesaat kemudian mereka seper-
tinya tak mempercayai apa yang terjadi. Tombak mere-
ka ternyata hanya menghantam tempat kosong. Bah-
kan beberapa orang sempat terkena hajaran tombak
temannya sendiri. Rupanya pada saat mereka menye-
rang, Pendekar Mata Keranjang 108 telah berkelebat
cepat tanpa terlihat mata.
"Kalian memang orang-orang cekatan! Tapi ter-
lalu sembrono menilai seseorang...!"
Begitu menoleh, kedelapan penjaga sama-sama
terbeliak Pemuda yang dikiranya akan babak belur
terhajar tombak, sudah enak-enakan duduk di tanah
sambil berdendang ria.
"Aku telah membuat mereka agar tak gegabah
menilai seseorang!" gumam Aji sambil bangkit berdiri.
Selagi ke delapan orang penjaga memandang ke
arahnya dengan rasa tak percaya, Aji cepat memutar
tubuhnya. Sesaat kemudian tubuhnya berkelebat ce-
pat hingga seperti lenyap. Yang tampak hanya bayang-
bayang tangan yang bergerak, mengeluarkan suara
berkesiutan. Gerakannya benar-benar sulit diikuti ma-ta.
Plak! Des! Des! "Aaakh!"
"Aaa...!"
Sekejap kemudian, terdengar beberapa seruan
tertahan berturut-turut. Di kejap lain, Aji telah berdiri tegak kembali agak
jauh dari delapan orang penjaga itu.
Enam batang tombak yang tadi digunakan para
penjaga untuk menyerangnya, kini tergenggam di tan-
gan. Dua lainnya mental dan patah.
Dengan tangan kiri dan kanan menggenggam
tombak, Pendekar Mata Keranjang 108 melangkah ke
arah para penjaga disertai senyum manis. Agak dekat, diangsurkannya tombak-
tombak itu pada para penjaga.
"Ambil tombak kalian. Dan, antarkan aku me-
nemui Paman Patih! Ada sesuatu yang harus kusam-
paikan padanya!" perintah Pendekar Mata Keranjang 108. Untuk beberapa saat
kedelapan orang penjaga
terkesima. Mereka saling memandang dengan tubuh
agak gemetar. "Kalian tentunya mendengar perkataan ku, bu-
kan..."!" tegur Aji saat para penjaga itu masih tegak memandang.
Seorang laki-laki berkumis lebat yang tampak-
nya menjadi kepala jaga melangkah maju. Dengan raut
yang tak bisa menyembunyikan rasa takut, diambilnya
tombak-tombak dari tangan Aji. Lalu tubuhnya sedikit menjura.
"Kalau boleh tahu, kami sedang berhadapan
dengan siapa...?" tanya laki-laki berkumis lebat ini.
"Ah...!" desah Aji seakan-akan terkejut, lalu tersenyum. "Aku hanyalah seorang
pengelana jalanan yang tak ada juntrungannya! Dan aku ingin bertemu
Paman Patih! Ada sesuatu yang harus kusampaikan!"
"Tingkah para pendekar memang aneh-aneh...!"
bisik salah seorang penjaga.
"Tapi yang ini aneh! Orangnya muda, tampan,
berilmu tinggi dan tingkahnya seperti orang sinting!"
timpal yang lain.
"Nah, Penjaga. Bawa aku menghadap Paman
Patih!" ulang Aji.
"Baik, Pendekar!" jawab kepala jaga, mantap.
Diiringi kepala jaga, Aji melangkah memasuki
istana. Sejenak mata Pendekar Mata Keranjang 108
dibuat terpana oleh kemegahan bangunan istana.
*** "Tampaknya baru kali ini aku melihatmu, Anak
Muda! Ada perlu apa...?" tanya Mahapatih Gagak Rimang, ketika menerima
kedatangan Aji. Sikapnya ter-
lihat penuh wibawa.
"Hamba Aji, Lengkapnya Aji Saputra, Mahapa-
tih! Hamba memerlukan beberapa keterangan...!"
"Hm.... Keterangan" Keterangan apa..."!" tanya Mahapatih Gagak Rimang agak
heran. 'Tentang.... Sri Baginda yang telah terguling!"
jawab Aji singkat tanpa tedeng aling-aling.
Mahapatih Gagak Rimang terperanjat. Lama di-
pandanginya Aji dengan dahi berkernyit.
"Ada hubungan apa kau dengan mendiang Sri
Baginda Alam Jaya Paksu?"
"Hamba tak ada hubungan apa-apa, Mahapa-
tih! Hamba hanyalah rakyat biasa. Namun akhir-akhir
ini, kudengar banyak orang yang membicarakannya.
Lebih-lebih tentang putrinya! Kalau boleh tahu, bagaimana cerita yang
sebenarnya...?"
Agak lama, Mahapatih Gagak Rimang terdiam.
"Anak muda!" kata Mahapatih Gagak Rimang, akhirnya. "Sebenarnya masalah ini
menyangkut rahasia kerajaan. Namun karena masalah ini telah bocor, bahkan jadi
buah bibir, maka tak ada salahnya jika kau men-getahuinya. Barangkali, kau nanti
bisa menolong!"
Sejenak Mahapatih menarik napas, mencari ka-
ta-kata yang tepat untuk melanjutkan.
"Tujuh tahun yang lalu, Sri Baginda Alam Jaya
Paksu yang waktu itu memerintah, berhasil diguling-
kan Sri Baginda Kerta Bumi yang saat ini memerintah.
Sri Baginda Kerta Bumi adalah saudara lain ibu den-
gan Sri Baginda Alam Jaya Paksu. Sri Baginda Kerta
Bumi terpaksa melakukan perebutan kekuasaan, ka-
rena di bawah tangan Sri Baginda Alam Jaya Paksu
keadaan kerajaan selalu kacau-balau. Pembunuhan
dan perampokan terjadi di mana-mana. Hukum tak ja-
lan. Sementara, beberapa pemberontak telah mengga-
lang persatuan. Namun di pihak lain. Sri Baginda Alam Jaya Paksu sepertinya tak
ambil peduli. Hingga, tim-bullah beberapa kelompok yang menentang. Sebagian
kelompok yang paling keras adalah dari golongan silat kerajaan, yang waktu itu
di bawah pimpinan Pendekar
Lembah Seribu Bunga. Menginjak saat genting, Sri Ba-
ginda Alam Jaya Paksu masih juga tak ambil peduli.
Sehingga, habislah kesabaran orang-orang yang me-
nentangnya. Pada waktu itu, Pendekar Lembah Seribu
Bunga menawarkan peralihan kekuasaan dengan jalan
damai. Tapi, tawaran itu tak mendapat jawaban. Hing-
ga, terjadilah pengambilalihan kekuasaan dengan jalan kekerasan. Namun rupanya
Sri Baginda Alam Jaya
Paksu tak mau begitu saja menyerahkan tahta kera-
jaan. Ia membuat perlawanan. Terjadilah perang sau-
dara. Hingga pada akhirnya Sri Baginda Alam Jaya
Paksu harus tewas beserta seluruh kerabatnya...."
Kembali Mahapatih Gagak Rimang menghenti-
kan penuturannya. Wajahnya tampak membersit kese-
dihan. Dia menarik napas panjang.
"Namun ternyata, tidak seluruh kerabat Sri Ba-
ginda Alam Jaya Paksu yang tewas pada waktu itu. Sa-
lah seorang putri Sri Baginda yang bernama Lintang
Sari, berhasil diselamatkan seorang pengasuhnya yang bernama Restu Palaran.
Selain dikenal sebagai pengasuh putra-putri Sri Baginda, Restu Palaran juga
diken-al sebagai tokoh silat kerajaan yang handal. Tahun-
tahun pertama pemerintahan Sri Baginda Kerta Bumi,
Restu Palaran dibantu beberapa adipati mencoba men-
gadakan pemberontakan, dan menuntut agar mahkota
kerajaan diserahkan pada Lintang Sari. Namun pem-
berontakan itu dapat dipadamkan. Sejak itulah, Restu Palaran dan Lintang Sari
tak terdengar lagi kabar beri-tanya. Hanya saja, akhir-akhir ini beberapa
penyelidik kerajaan telah berhasil menemukan tempat persembunyian Restu Palaran
dan Lintang Sari. Namun, bebera-
pa utusan kerajaan yang melacak kesana hingga saat
ini belum juga kembali. Tentu saja ini menimbulkan
beberapa dugaan dan keresahan di kalangan istana.
Dan keresahan ini memuncak, saat beberapa hari yang
lalu ditemukan penggalan kepala seorang tokoh sesat
yang telah sadar. Julukannya, Iblis Penggali Kubur.
Kemudian terdengar pula kabar tentang terbunuhnya
bekas pimpinan silat kerajaan, yakni Pendekar Lembah Seribu Bunga.
Mendengar keterangan Mahapati Gagak Ri-
mang, Aji mengangguk-angguk Agaknya dia ingin jadi
pendengar yang baik, sehingga tak pernah memotong
sampai Mahapati Gagak Rimang menuntaskan ceri-
tanya. "Lantas soal keresahan kalangan istana itu, apa ada hubungannya dengan
Restu Palaran dan Lintang
Sari?" tanya Aji, semakin tertarik.
"Benar! Bahkan sebagian kalangan istana
menghubungkan kematian Iblis Penggali Kubur den-
gan Pendekar Lembah Seribu Bunga. Kematian mereka
pasti dilakukan oleh Restu Palaran atau Lintang Sari.
Guru dan murid itu memang termasuk orang keras
kepala. Karena pada waktu itu sebenarnya Sri Baginda Kerta Bumi telah menawarkan
damai padanya. Bahkan menyuruh mereka berdua tinggal di istana. Tapi,
mereka berdua menolak. Malah mengadakan pembe-
rontakan. Hingga mau tak mau, kerajaan mengumum-
kan mereka berdua sebagai buronan. Namun di samp-
ing itu, ada hal lain yang sebenarnya membuat Restu
Palaran dan Lintang Sari terus diburu dan dicari pihak kerajaan!"
"Apa itu, Mahapatih!" selak Aji cepat.
"Lambang kerajaan, yang serupa Cincin Aswagi-
tha telah lenyap! Dan diduga kuat, cincin itu berhasil dicuri Restu Palaran dan
Lintang Sari!" papar Mahapatih Gagak Rimang.
Aji tersentak dan termangu-mangu.
"Nah, Anak Muda! Eh..., Aji! Sudah cukup jelas
bukan keteranganku?" tanya Mahapatih Gagak Ri-
mang seraya bergerak memanggil prajurit.
"Tunggu, Mahapatih! Ada satu hal lagi. Menu-
rut Mahapatih, cincin lambang kerajaan itu diduga
kuat di curi Restu Palaran atau Lintang Sari. Kalau boleh tahu, bagaimana bentuk
cincin itu...?"
Sesaat lamanya Mahapatih terdiam.
"Cincin itu berupa permata bulat berwarna hi-
jau Selain lambang kerajaan, cincin itu juga merupa-
kan sebuah senjata sakti yang mungkin sulit dicari
tandingnya! Maka dari itu, kerajaan saat ini sedang
memusatkan perhatian kesana! Apalagi, kalangan is-
tana mulai resah dengan beberapa kejadian yang ak-
hir-akhir ini timbul!" jelas Mahapatih Gagak Rimang.
"Ngg.... Terima kasih atas waktu dan keteran-
gan yang telah Mahapatih berikan pada hamba. Seka-
rang, hamba mohon diri...," ucap Aji, seraya menjura.
"Sebentar, Aji! Kalau kau sewaktu-waktu me-
nemukan hal yang berkaitan dengan keterangan tadi,
harap lapor padaku!"
"Tentu, Mahapatih...!"
*** Setelah keluar dari istana, Aji duduk bersila di
bawah sebatang pohon besar di pinggiran kotaraja. Di tempat ini Pendekar Mata
Keranjang memikirkan keterangan mahapatih yang langsung dihubung-
hubungkan dengan ucapan Pendekar Lembah Seribu
Bunga. "Mahapatih mengatakan, Iblis Penggali Kubur tewas terpenggal kepalanya.
Hm..., bukan tak mungkin ini juga dilakukan Lintang Sari. Apa mungkin Restu
Palaran dan Lintang Sari merencanakan ulang sebuah
pemberontakan..." Kalau benar begitu, kenapa harus
menewaskan tokoh-tokoh silat" Kenapa tidak kalangan
istana" Kalau terhadap Pendekar Lembah Seribu Bun-
ga, mungkin ada unsur balas dendam. Namun dengan
Iblis Penggali Kubur yang dari tokoh sesal..." Apa pentingnya bagi Lintang Sari"
Tapi di atas itu semua, aku yakin bahwa cincin yang dikenakan Lintang Sari tempo
hari adalah Cincin Aswagitha. Cincin lambang kerajaan!" Aji tersenyum sendiri
jika ingatannya melayang pada Lintang Sari.
"Hm..., Lintang Sari. Siapa pun dia adanya,
yang telah pasti adalah seorang gadis cantik Dan tu-
buhnya, hemmm..., memang sayang dilewatkan untuk
dipandang. Dia mungkin masih sebaya dengan...."
Aji tak meneruskan kata hatinya. Ingatannya
langsung melayang pada Ajeng Roro.
"Ajeng Roro.... Sudah sekian lama kita tak jum-
pa. Dan mungkin kita belum dapat berjumpa, sebelum
aku kembali dengan berhasil mendapatkan kipas dan
kitab kedua seperti yang ditugaskan Eyang Selaksa...
Ajeng Roro...."
Belum habis ingatan pemuda ini pada Ajeng
Roro, tiba-tiba terdengar derap ladam kaki kuda
menghentak pelan menuju arah tempatnya berada.
"Sekarang keadaan sedang genting. Siapa pun
juga orang asing pasti dicurigai! Daripada....
Tanpa sempat menuntaskan kata-katanya, Aji
cepat berdiri. Tubuhnya langsung menyelinap di balik pohon besar tempat dia
duduk Saat penunggang kuda melintas, kening Aji se-
dikit berkernyit dengan sepasang mata membesar.
"Hm.... Seorang gadis muda dan cantik. Tapi..., aku sepertinya mengenali
wajahnya...! Ya! Aku sepertinya pernah bertemu dengan gadis itu. Tapi, di ma-
na..." Seperti.... Ah, tak mungkin dia! Gadis ini berpakaian indah. Dan
sepertinya, dari kalangan istana! Ta-pi... kalau dari kalangan istana, mengapa
pergi tanpa dikawal" Jangan-jangan...."
Berpikir begitu, Aji diam-diam mengikuti gadis
penunggang kuda yang dilihatnya dari belakang.
"Gila! Ke mana tujuan gadis ini" Sepertinya, dia menghindari jalan besar dan
jalan umum. Dan melihat
tingkahnya, paham betul dengan daerah sini!" kata Aji dalam hati seraya terus
mengikuti. Hingga cukup jauh dari kotaraja. gadis pe-
nunggang kuda itu terus memacu kuda tunggangan-
nya. Bahkan ketika sampai di tempat sepi di luar wi-
layah kotaraja, gadis ini mempercepat lari kudanya.


Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mau tak mau, Pendekar Mata Keranjang 108 harus
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya agar tidak
kehilangan jejak.
Namun hingga matahari hampir terbenam di
bentangan kaki langit sebelah barat, gadis penunggang kuda ini tak juga
menghentikan tunggangannya. Kudanya terus dipacu, seakan diburu waktu.
"Edan, gila! Perjalanannya seperti tak berujung.
Salahku sendiri, kenapa harus mengikuti" Tapi, apa
boleh buat" Sudah kepalang basah!" umpat Aji panjang pendek dalam hati, sambil
matanya terus menga-
wasi gadis yang diikuti. Jubah hijau dan sekujur ba-
dannya telah basah bersimbah keringat.
Baru setelah gelap penuh melingkupi bumi dan
memasuki sebuah daerah yang agak ramai, gadis itu
memperlambat lari kudanya. Dan ketika tiba di depan
sebuah bangunan megah yang dikelilingi pagar tembok
tinggi, gadis itu menghentikan lari kuda tunggangan-
nya. Melihat papan nama yang terpampang di depan
bangunan megah, Aji bisa segera mengetahui tempat
itu. "Kediaman adipati yang memerintah daerah
Bumi Rejo," gumam Aji perlahan, membaca papan na-ma di depan bangunan tempat
gadis itu berhenti.
Melihat seorang penunggang kuda berpakaian
kerajaan, dua orang penjaga di pintu depan bangunan
menjura hormat. Lalu salah seorang penjaga menun-
tun kuda yang ditunggangi sang gadis, masuk ke da-
lam bangunan megah tempat adipati.
"Bagaimana sekarang..." Apa aku harus ikut-
ikutan masuk" Ah, sudah telanjur. Aku juga harus
ikut masuk!"
Aji lantas berkelebat memutar, menuju arah be-
lakang bangunan. Dengan mengendap-endap dan mala
dipasang tajam-tajam. Pendekar Mata Keranjang 108
sejenak diam mengawasi. Dan ketika merasa aman,
kakinya langsung menjejak tanah.
"Hup!"
Seketika tubuh Pendekar Mata Keranjang 108
melenting, melewati pagar tembok bagian belakang
bangunan. Begitu kakinya mendarat di pelataran ba-
gian belakang, kembali matanya jelalatan. Dan dia melihat tiga orang penjaga
masing-masing di sebelah kanan dan kiri bangunan. Mereka mondar-mandir berke-
liling dengan tangan memegang senjata golok panjang.
Aji lantas membungkuk. Diambilnya dua buah
batu kecil. Secepat kilat dua batu itu dilemparkan ke arah kanan dan kiri
bangunan. Klotar! Para penjaga serentak terkejut dan berlarian.
"Ada apa...?" teriak salah seorang.
"Ada orang yang melempar batu!" jawab penjaga satunya dengan pandangan memutar
ke arah atas. "Mungkin anak-anak kecil yang usil!" sahut yang lain.
"Tak mungkin! Lemparannya keras. Lihat! Ta-
nah itu amblas sampai sedalam satu jari kelingking!"
"Ya! Mungkin saja tanahnya yang gembur, se-
hingga terkena lemparan begitu saja amblas. Lagi pula.
sejak lima tahun terakhir di sini tak pernah terjadi ke-kacauan. Kenapa kita
sekarang harus pusing-pusing
dengan sebuah batu kecil...?" timpal yang lain lagi sambil berbalik dan kembali
ke tempat semula. Temannya lantas ikut-ikutan berlalu ke tempat masing-
masing. Sementara itu Aji kini telah berada di atap bangunan dan mengendap-endap
dengan mata menyapu
ke seluruh halaman bangunan di bawahnya. Merasa
tak ada yang melihat, lantas digesernya dua genting.
Lalu perlahan-lahan tubuhnya masuk.
"Sial! Di sini gelap...!" omel Aji seraya meraba-raba. Pemuda ini lantas jongkok
dengan berpijak pada kayu langit-langit bangunan. Sepasang matanya terus
jelalatan, mengawasi suasana. Sementara telinganya
dipasang baik-baik.
"Terdengar suara di sebelah sana!" kata Aji dalam hati, sambil merambat pelan ke
arah sumber sua-
ra. Di atas langit-langit sebuah ruangan yang terle-
tak agak ke dalam. Pendekar Mata Keranjang duduk
sambil mencuri dengar percakapan di bawahnya.
"Aku tak menduga jika Gusti Ayu muncul sece-
pat ini! Aku Adipati Bulu Kumba, pemegang kendali
wilayah Bumi Rejo menghaturkan hormat dan mengu-
capkan selamat datang pada Gusti Ayu...."
Terdengar suara seorang laki-laki. Suaranya
berat dan sedikit bergetar.
"Paman Adipati! Kuharap Paman tidak usah
bersikap demikian, untuk sekarang ini. Belum wak-
tunya, Paman!" ujar suara seorang perempuan.
"Hm..., itu pasti suara gadis penunggang tadi!"
kata Aji dalam hati.
"Harap maafkan aku. Gusti Ayu. Aku..., aku
terkejut dan tak menduga. Sehingga, aku lupa akan
kerahasiaan ini! Tapi, Gusti Ayu tak usah khawatir.
Seluruh warga wilayah Bumi Rejo telah berada di ba-
wah barisan kita. Mereka tinggal menunggu perintah
dan menunggu saat yang tepat!" tambah suara laki-laki, yang rupanya Adipati Bulu
Kumba, yang meme-
rintah daerah Bumi Rejo.
"Aku gembira sekali mendengar hal itu. Paman!
Kelak jasa Paman pasti terbalas. Namun begitu, kuha-
rap Paman tidak gegabah. Dinding, langit-langit, jende-
la biasanya mempunyai telinga tersembunyi!"
"Sontoloyo! Apa dia tahu aku berada di sini?"
rutuk batin Aji. Tengkuknya kontan merinding. "Kalau mereka sampai tahu, ah...!
Mungkin tak ada ampun
lagi bagiku. Karena yang mereka bicarakan rupanya
sebuah rahasia!"
Untuk beberapa saat, tidak terdengar lagi sua-
ra. Dada Aji lebih keras berdetak. Lututnya bergetar.
Namun, segera ditariknya napas panjang pertanda le-
ga. setelah terdengar lagi suara di bawahnya.
"Aku lihat, Gusti Ayu tidak..."
Suara adipati itu tidak diteruskan karena....
"Hal itu tak usah menjadi pikiran, Paman," potong suara perempuan itu. "Paman
sekarang tinggal memperkuat barisan dan menggalang persatuan. Kalau bisa, tarik
perhatian para tokoh-tokoh silat. Sementara Paman bergerak menggalang bala
tentara, aku bergerak dengan caraku sendiri. Jika saatnya tiba, aku akan mengirimkan
utusan untuk menemui Paman. Karena, sudah tak mungkin bagiku datang ke si-
ni sendiri. Maka dari itu, kuharap sejak malam ini Paman bersiap-siap!"
"Segala petunjuk Gusti Ayu akan kulaksana-
kan!" "Dan satu hal lagi, Paman...," sela suara perempuan itu lagi. Namun suara
itu berbisik-bisik hing-ga Aji tidak bisa mendengar.
"Tiga hari di muka, malam hari, Pangeran Muda
Cakra Manggala ku nanti di Gua Tetes!"
Hanya itu kata-kata terakhir yang terdengar
Pendekar Mata Keranjang 108.
"Baik, Gusti Ayu! Hal itu akan secepatnya ku-
laksanakan!"
"Ngg..., Paman! Apakah Paman tahu tentang
seorang pemuda berjubah ketat...."
Suara perempuan itu tidak diteruskan.
"Pemuda berjubah ketat..." Yang Gusti Ayu
maksud...?"
"Ah! Soal itu lain waktu saja kita bicarakan.
Sekarang, aku harus segera kembali. Selamat malam,
Paman...."
"Silakan, Gusti Ayu. Selamat jalan...."
Tak berselang lama, terdengar pintu berderit.
Dan sesaat kemudian, terdengar derap ladam kuda ke-
luar-dari bangunan megah.
"Mendengar percakapan, rupanya mereka be-
rencana jahat! Aku akan mengorek keterangan dari
gadis itu!" kata batin Aji seraya merambat perlahan-lahan ke atap genting yang
terbuka tadi. Setelah keluar dan menaruh genting pada tem-
patnya semula. Pendekar Mata Keranjang 108 men-
gendap-endap menelusuri atap. Merasa aman, tubuh-
nya segera melayang turun. Dan sekali menjejak ta-
nah, tubuhnya melesat melewati tembok bangunan
dan berkelebat menyusul arah terdengarnya derap ku-
da. *** "Akan ku hadang di tempat agak sepi!" kata Aji dalam hati, ketika telah berlari
mengejar gadis yang tadi dilihatnya.
Saat itu juga Pendekar Mata Keranjang 108
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
sangat tinggi. Sehingga larinya bagaikan kelebatan
bayangan setan saja. Bahkan sebentar saja, matanya
telah melihat gadis penunggang kuda di depannya da-
lam jarak sekitar dua puluh tombak.
Begitu sampai di tempat agak sepi, Aji semakin
menambah kecepatan larinya. Dan kini jaraknya ting-
gal tujuh rombak lagi.
"He! Tunggu...!" teriak Aji, dari belakang. Sedikit terperanjat, gadis
penunggang kuda itu menarik tali kekang. Seketika kuda tunggangannya berhenti,
setelah mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. "Siapa kau..."!" bentak gadis
itu, garang. Aji yang masih berkelebat, segera menghentikan larinya. Dia kini
berdiri di hadapan gadis penunggang kuda yang ternyata Lintang Sari
Saat itu juga paras gadis ini berubah. Sepasang
matanya membesar mengawasi dengan tatapan galak.
Bahunya sedikit terangkat.
"Manusia satu ini sulit diduga, apa tujuan se-
benarnya. Saat bertemu di Lembah Seribu Bunga, dia
sepertinya tak punya urusan apa-apa dengan kera-
jaan. Sekarang, tahu-tahu berada di sini. Apakah dia tahu segalanya" Untuk
sementara, aku harus menghindar. Kelihatannya dia berilmu tinggi. Apalagi
waktuku terlalu mendesak! Hm.". Sebenarnya aku...."
"Siapa kau sebenarnya..."!" tanya Pendekar Ma-
ta Keranjang 108, memotong pertanyaan Lintang Sari
dalam hati. Sambil menahan rasa terkejut, gadis itu terse-
nyum. Namun sesaat kemudian sepasang matanya
mendelik "Anak manusia! Tanpa bertanya, semestinya
kau telah tahu dari pakaian yang ku kenakan! Dan ju-
stru aku yang seharusnya bertanya padamu! Siapa
kau!" bentak Lintang Sari.
Aji tersenyum lebar.
"Aku Aji! Dan aku tahu, apa yang telah kau bi-
carakan!" jawab Aji terus terang, dengan mata menatap
lekat-lekat gadis di depannya.
Sengaja Pendekar Mata Keranjang berterus te-
rang, berharap agar gadis itu terkejut.
Namun, harapan Aji meleset. Ternyata gadis ini
tak menampakkan rasa keterkejutannya.
"Jangkrik! Gadis ini pemain sandiwara yang
baik!" rutuk Aji dalam hati.
"Lantas...?" Lintang Sari balik bertanya. Bibirnya tersenyum.
Sementara Aji tampak kebingungan. "Aku akan
membawamu menghadap mahapatih!" pancing Aji.
"Ha... ha... ha...!" Lintang Sari tertawa panjang.
"Apakah mahapatih begitu mudah mempercayai uca-
panmu...?"
Selesai bicara, Lintang Sari loncat turun. Perla-
han-lahan, kakinya melangkah mendekati Aji.
"Aji!" sebut Lintang Sari perlahan, agak mendesah. "Bawalah aku jika kau
menginginkan...." Aji semakin kebingungan.
"Sial! Bagaimana ini?" kata batin Aji dengan tetap tegak. Bahkan tatkala Lintang
Sari memegang tan-
gannya, Aji diam saja.
"Aji, lupakan masalah itu...," bisik Lintang Sari.
Kepalanya sedikit mendongak.
Dan tahu-tahu, gadis ini menggerakkan kepa-
lanya ke depan. Seketika bibirnya cepat memagut bibir Aji yang masih tampak
melongo kebingungan, bercam-pur keheranan.
Namun keterkejutan Aji hanya berlangsung se-
bentar. Bibir Lintang Sari yang seakan melenakan,
membuat Aji tanpa sadar mulai membalas kehanga-
tannya. Saat itulah tiba-tiba saja kedua tangan Lintang Sari bergerak cepat ke
belakang. Sementara Aji mengi-
ra tangan gadis ini akan bergerak merangkul. Namun
ternyata gerakan tangan Lintang Sari yang cepat tahu-tahu menggedor dadanya. Tak
ada waktu lagi untuk
menghindar, sehingga...
Des! "Aaakh...!"
Tubuh Aji kontan terlempar hingga satu tom-
bak ke belakang disertai jerit tertahan. Dan keras sekali tubuhnya mencium
tanah. Dari mulutnya terden-
gar erangan panjang
Sementara Lintang Sari hanya tersenyum me-
nyeringai. Lalu tubuhnya berbalik dan meloncat ke
atas punggung kuda.
"Hei, Aji! Jangan coba-coba mencampuri masa-
lah ini! Itu jika kau masih sayang nyawa!" gertak Lintang Sari, seraya
menghentak tali kekang kudanya.
Seketika kuda itu telah berderap di kegelapan malam.
Karena hantaman tangan Lintang Sari berisi
tenaga dalam dan dilakukan jarak dekat, membual
Pendekar Mata Keranjang 108 agak lama baru bisa
merambat bangkit. Dari mulutnya terdengar umpatan
panjang pendek. Dia terbatuk-batuk, disertai percikan darah sedikit kehitaman.
"Ah, bodohnya aku. Kenapa aku bisa ditipu"
Namun rupanya dia tak menginginkan kematianku!
Karena seandainya mau, tentunya dia telah melaku-
kannya waktu aku tak berdaya..." gumam Joko sambil memandang sekeliling. "Aku
harus bertindak lebih ha-ti-hati!" Pendekar Mata Keranjang 108 lantas memejamkan
kedua matanya. Kedua tangannya menakup di
depan dada. Dicobanya menyalurkan hawa murni ke
dada yang terasa sesak dan nyeri.
*** 8 Bulan setengah lingkaran menggantung di lan-


Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

git, dikelilingi bongkahan-bongkahan awan putih. Se-
hingga cahaya bintang-bintang tertutup tak mampu
menembus awan. Namun cahaya lembut sang rembu-
lan yang hanya setengah itu masih mampu menerangi
sebuah bangunan megah yang terletak agak jauh dari
lingkungan istana. Tapi melihat dari megahnya bangu-
nan dan atribut yang dipasang di depannya, bisa mu-
dah diterka kalau bangunan ini dihuni salah satu ke-
rabat istana. Dan kenyataannya memang demikian. Bangu-
nan megah itu adalah kediaman putra Sri Baginda
Kerta Bumi, yakni Pangeran Muda Puja Manggala.
Konon, Sri Baginda Kerta Bumi memang mem-
punyai enam orang anak. Dua di antaranya adalah la-
ki-laki yang berasal dari selir. Mereka adalah Pangeran Puja Manggala dan
Pangeran Cakra Manggala. Sementara dari permaisuri sendiri, Sri Baginda tidak
mem- punyai anak. Karena anak-anak Sri Baginda telah de-
wasa, maka mereka pun dibuatkan rumah sendiri-
sendiri. Di malam yang baru saja melingkupi bumi, dari bangunan megah kediaman
Pangeran Muda Puja
Manggala ini sayup-sayup terdengar lantunan syair
yang bersumber pada salah satu ruangan berjendela
terbuka. Dengan cahaya lampu dari dalam ruangan, ter-
nyata yang melantunkan syair adalah seorang gadis
berparas cantik jelita. Rambutnya panjang tergerai.
Kulitnya putih bersih. Bentuk tubuhnya bagus. Den-
gan pakaian ketat dan tipis, lekukan tubuhnya sangat mempesona. "Lantunan syair
mu indah dan bagus, Kumala Dewi!"
Mendadak terdengar kata memuji. Begitu me-
noleh, gadis berparas cantik bernama Kumala Dewi
yang baru saja melamunkan syair, sedikit terkejut. Bu-ru-buru dia menjura hormat
saat tahu siapa gerangan
yang mengeluarkan kala pujian.
"Ah, Pangeran. Kau terlalu memuji...." desah
Kumala Dewi, seraya menunduk.
Dan Kumala Dewi buru-buru mau bergerak ke
dalam saat orang yang dipanggil pangeran menatap
tubuhnya tanpa berkedip. Karena saat itu, pakaian
yang dikenakan Kumala Dewi memang pakaian tidur.
Namun langkah Kumala Dewi tertahan keti-
ka.... "Bagaimana perjalananmu ke Dusun Kepatihan kemarin, Kumala Dewi?" tanya
orang yang dipanggil pangeran. Dia tak lain dari Pangeran Puja Manggala.
"Baik. Pangeran...." jawab Kumala Dewi, singkat. "Waktu kau pergi, aku sedikit
cemas. Jangan-jangan kau
akan mendapat halangan di jalan. Apalagi kau meno-
lak untuk dikawal...!" kata Pangeran Puja Manggala sambil tersenyum.
"Maafkan hamba. Pangeran. Jika kemarin
hamba menolak tawaran itu, terus terang karena ma-
sih rikuh dengan hal-hal begitu. Maklum, hamba ha-
nyalah seorang perempuan dusun...," ucap Kumala Dewi. "Kau terlalu merendah,
Kumala Dewi. Namun meski orang dusun, aku yakin kecantikanmu tiada
tanding di wilayah kotaraja ini!" puji laki-laki berpakaian kebesaran itu lagi.
"Ngg.... Maaf, Pangeran.... Bisakah Pangeran
keluar sebentar" Hamba..., hamba akan ganti pa-
kaian...," pinta Kumala Dewi, tergagap.
"Kumala Dewi.... Di mataku, kau lebih cantik
mengenakan pakaian begitu!"
Paras Kumala Dewi jadi bersemu merah. Se-
mentara, sepasang mata pangeran itu mulai nakal,
menelusuri lekukan tubuh Kumala Dewi.
"Kumala Dewi.... Dua hari aku merenung. Dan,
baru sore tadi bisa memutuskan...!" susul pangeran ini dengan sorot mata tak
beranjak dari dada Kumala De-wi.
Kumala Dewi tersentak. Keningnya berkernyit.
"Tentang apa. Pangeran...?" tanya gadis itu
"Tentang kau...!" jawab Pangeran Puja Manggala, singkat.
'Tentang hamba...?" ulang Kumala Dewi perla-
han. Dadanya berdegup lebih kencang. Gadis ini jadi
bertanya dalam hati, apakah pangeran itu tahu keper-
giannya ke Bumi Rejo menemui Adipati Bulu Kum-
ba...?" Memang, sebenarnya Kumala Dewi adalah Lintang Sari. Waktu ditemukan
Pangeran Puja Manggala,
gadis itu memang sudah mengatur rencananya. Yakni,
saat Lintang Sari membuntuti Pangeran Puja Manggala
dan rombongan pengawal saat pergi berburu di Hutan
Wonosari. "Aku telah memutuskan untuk mengambilmu
sebagai istri!"
Kumala Dewi terlonjak. Dilarik napas lega. Na-
mun sebenarnya bukan karena tahu kalau mau diam-
bil sebagai istri. Tapi karena dugaannya yang mengira pangeran tahu ke mana
kemarin ia pergi, meleset!
"Ah, Pangeran agaknya suka bergurau. Bukan-
kah masih banyak gadis cantik yang melebihi ham-
ba...". Hamba hanyalah orang dusun. Hamba tak pan-
tas mendampingi Pangeran. Hamba...."
"Apakah aku terlihat seperti orang bergurau,
Kumala Dewi?" tukas Pangeran Puja Manggala memotong kalimat Kumala Dewi. "Dengar
baik-baik, Kumala Dewi! Aku telah memutuskan untuk mengambilmu sebagai istri!
Soal lain-lain, itu tak akan menghalangi ke-putusanku!"
"Pangeran.... Apakah Pangeran telah memikir-
kan hal itu masak-masak" Hamba kira...."
"Kumala Dewi...!" tukas pangeran itu lagi-lagi.
"Aku tak ingin lagi mendengar alasan! Aku hanya ingin mendengar, bagaimana
pendapat mu!"
"Secepat itukah. Pangeran...?"
"Lebih cepat, menurutku lebih baik!" tandas pangeran itu sambil melangkah
mendekati Kumala
Dewi. Gadis yang sebenarnya Lintang Sari ini menun-
duk. Namun tangan Pangeran Puja Manggala cepat
menahan dengan menyentuh ujung dagunya. Ditenga-
dahkannya kepala Kumala Dewi. Kini sepasang mata
pangeran itu menusuk tajam pada bola mata bulat
Kumala Dewi. Sementara bibirnya menyungging se-
nyum. "Kau tidak menolak, bukan...?" tanya pangeran ini. Sementara tangan
satunya telah bergerak ke pundak Kumala Dewi.
Kumala Dewi tidak menjawab. Dia hanya tegak
termangu, sambil balas menatap. Bahkan sepertinya
tidak terusik oleh tangan nakal sang pangeran yang
mulai bergerak turun dari pundaknya. Perlahan-lahan
matanya meredup. Sementara dari mulutnya terdengar
desahan perlahan. Napasnya berhembus panjang, se-
hingga dadanya tampak lebih membusung kencang.
Dan ini membuat Pangeran Puja Manggala tambah
terkesima. Sementara tangannya pun bertambah nak-
al. "Pangeran...," bisik Kumala Dewi perlahan seperti mendesah.
Pangeran Puja Manggala seperti tak menden-
gar. Tampaknya dia lebih asyik menikmati lekukan tu-
buh Kumala Dewi dengan tangannya yang menjalar ke
mana-mana. "Pangeran...," panggil Kumala Dewi kembali.
Kali ini suaranya agak keras, sehingga pangeran itu
menghentikan gerakan tangannya.
"Hm.... Kau ingin mengutarakan sesuatu" Ka-
takanlah!" ujar Pangeran Puja Manggala sambil kembali menggerakkan tangannya.
"Apakah kau yakin, hamba tidak menolak ta-
waran mu...?" tanya Kumala Dewi dengan kedua tangan saling meremas.
"Apakah berarti kau menolak tawaranku...?"
Pangeran ini balik bertanya dengan sedikit terkejut.
Matanya menatap mata Kumala Dewi.
Gadis itu tersenyum.
"Boleh hamba mengutarakan sesuatu...?" tanya Kumala Dewi lagi.
"Tentu! Apa yang ingin kau utarakan" Apa ada
hubungannya dengan keputusan ku mengambilmu se-
bagai istri"!"
"Betul, Pangeran! Bahkan menyangkut masa
depan Pangeran! Seandainya Pangeran tak mengambil
keputusan demikian, hamba tak akan mengutarakan
hal ini...!"
Mendengar kata-kata Kumala Dewi, serentak
Pangeran Puja Manggala menarik tangannya dari tu-
buh Kumala Dewi. Dahinya berkerut, menyiratkan ra-
sa penasaran. "Katakanlah, Dewiku...," susul laki-laki berpakaian indah ini.
"Apakah Pangeran tahu, apa lambang Kerajaan
Malowopati?" tanya Kumala Dewi perlahan.
"Ah! Kau aneh, Kumala Dewi. Tadi kau katakan
akan mengutarakan sesuatu yang menyangkut masa
depan. Sekarang, balik bertanya soal lambang kera-
jaan. Memangnya apa hubungannya...?"
"Jawab saja dahulu. Pangeran!" desak Kumala Dewi cepat, sambil tersenyum.
Agak lama Pangeran Puja Manggala terdiam,
masih lak mengerti arah pembicaraan Kumala Dewi.
Dia tampak ragu-ragu.
"Cincin Aswagitha," jawab pangeran itu, pelan.
"Apakah sekarang pewaris yang memegang Cin-
cin Aswagitha yang nantinya berhak menggantikan Sri
Baginda dan berhak menyandang gelar raja?" susul Kumala Dewi cepat.
"Benar...! Tapi, Cincin Aswagitha telah lenyap
sejak terjadinya peralihan kekuasaan. Dan hingga kini cincin itu belum bisa
ditemukan. Jadi hingga saat ini Sri Baginda dan pembesar istana belum bisa
menentukan. Siapa nantinya yang berhak naik menggantikan
Sri Baginda. Hm.... Ada apa kau menanyakan masalah
itu...?" Pangeran Puja Manggala balik bertanya.
"Cincin itu sebenarnya tidak lenyap, Pangeran!"
kata Kumala Dewi tandas.
Pangeran Puja Manggala terkejut mendengar-
nya. Namun sejenak kemudian tawanya meledak.
"Ha... ha... ha...! Siapa pun warga Kerajaan Malowopati telah tahu, bahwa Cincin
Aswagitha telah lenyap tak tentu rimbanya. Bahkan Sri Baginda sendiri
telah menugaskan Mahapatih Gagak Rimang untuk
membentuk pasukan khusus yang mengemban lugas
melacak cincin itu. Sekarang, lantas kau mengatakan
bahwa Cincin Aswagitha tidak hilang. Kau tentunya
bergurau, Kumala Dewi...."
Kumala Dewi tersenyum.
"Pangeran.... Kau ingat cerita tentang paman ku kemarin...?"
"Pamanmu yang tidak berhasil ditemukan
itu...?" "Pangeran.... Paman ku adalah seorang ahli permata dan batu-batuan.
Sebelum kepergiannya yang
hingga saat ini tak tentu rimbanya dia cerita pada-
ku...." "Cerita apa...?"
"Dia pernah didatangi seorang pemuda yang
menunjukkan sebuah cincin berwarna hijau. Paman
waktu itu terkejut setelah meneliti. Karena menurut-
nya cincin itu yang dicari-cari pihak kerajaan adalah cincin lambang kerajaan.
Waktu itu, paman berusaha
mengatakan hal yang tidak sebenarnya pada pemuda
itu. Namun begitu pemuda itu mengatakan bahwa di-
rinya adalah Pangeran Kerajaan Malowopati dengan
menunjukkan bukti-bukti, akhirnya paman mengata-
kan hal yang sebenarnya. Yakni bahwa benda itu ada-
lah Cincin Aswagitha. Pemuda yang mengaku sebagai
pangeran itu lantas memberi hadiah pada paman. Na-
mun, dengan syarat. Paman harus bisa menyimpan
rahasia ini, dan harus meninggalkan kotaraja hingga
terjadi pengangkatan raja baru...! Makanya, walau aku telah berusaha mencari
paman di seluruh kotaraja, dia lak kutemukan. Ini berarti, apa yang dikatakan
paman adalah benar!" papar Kumala Dewi panjang lebar.
Mendengar keterangan Kumala Dewi, Pangeran
Puja Manggala ternganga. Matanya mendelik, hampir
tak percaya. "Jadi...?"
"Siapa lagi pangeran yang datang pada paman,
kalau bukan Pangeran Cakra Manggala yang juga sau-
dara pangeran lain ibu itu...?" potong Kumala Dewi dengan wajah memberengut.
"Hm.... Jadi, Cakra Manggala...," gumam Pangeran Puja Manggala.
"Pangeran Cakra Manggala mungkin menunggu
saat yang lepat. Atau, dia mungkin saja mempunyai
rencana tertentu, bila sampai saat ini merahasiakan
cincin itu!" sambung Kumala Dewi.
Wajah Pangeran Puja Manggala merah padam.
Rahangnya terangkat. Sepasang matanya tampak me-
nyala-nyala tanda menyimpan kemarahan.
"Jahanam! Berarti dia ingin melangkahi akui"
desis pangeran ini. "Hm.... Lantas menurutmu, apa yang harus kulakukan, Kumala
Dewi?" "Pangeran jangan tanyakan soal itu pada ham-
ba.... Hamba...!"
"Kumala Dewi!" potong Pangeran Puja Manggala lagi. "Kau sudah ku putuskan
menjadi calon pendam-pingku. Jadi, mau tak mau aku juga harus minta pen-
dapatmu. Bukankah ini juga berarti masa depan kita
berdua...?"
Kumala Dewi tersenyum. Kakinya lantas me-
langkah satu tindak ke depan. Digenggamnya tangan
laki-laki yang mengepal menahan marah.
"Pangeran! Pangeran Cakra Manggala mungkin
tidak hanya ingin melangkahi mu. Lebih dari itu,
mungkin dia merencanakan untuk menyingkirkan mu!
Karena hanya kaulah batu sandungan yang dapat
menghalangi niat Pangeran Cakra Manggala untuk
naik tahta sebagai raja menggantikan Sri Baginda Ker-ta Bumi. Maka kalau
menurutku, sebelum hal ini ter-
jadi, Pangeran harus bertindak lebih dahulu!"
"Maksudmu...?" tanya sang pangeran.
"Menyingkirkan adalah lebih baik dari dising-
kirkan. Pangeran!"
Sejenak mata Kumala Dewi memandang lekat-
lekat kepada Pangeran Puja Manggala. Dan ingin
meyakinkan, apakah usulnya disetujui. Namun sampai
saat ini laki-laki itu hanya diam termangu.
"Dan masalah itu, Pangeran tentu bisa menga-
turnya. Atau kalau Pangeran tak keberatan, aku bisa
mengaturnya!" lanjut Kumala Dewi, tegas.
Sambil berkata, tangan lentik Kumala Dewi
bergerak melingkar ke pinggang sang pangeran. Dan
Pangeran Puja Manggala pun melingkarkan tangannya


Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada leher gadis ini. Ditariknya wanita itu ke depan, sehingga wajah mereka
saling menempel Sesaat kemudian, bibir laki-laki ini telah memagut dan melumat
bibir Kumala Dewi. Agak lama mereka saling melepas
kehangatan lewat permainan bibir, membuat nafsu
Pangeran Puja Manggala makin terbakar. Sementara tan-
gannya sudah berkeliaran meremas ke sana kemari.
Perlahan-lahan, Kumala Dewi melepaskan pa-
gutannya. Bibirnya lantas tersenyum manis sambil
menarik napas panjang.
"Pangeran, bagaimana...?" tanya Kumala Dewi
"Apanya...?" tanya sang pangeran seraya menggerakkan wajahnya ke arah leher
Kumala Dewi. Gadis itu menggelinjang. Namun, tak berusaha
menolak. "Tentang Pangeran Cakra Manggala! Apakah
Pangeran setuju jika hamba yang mengatur...?"
"Kau adalah seorang perempuan, Kumala Dewi!
Biarlah masalah ini aku dan orang-orang keper-
cayaanku yang mengurusnya!"
"Pangeran tadi mengatakan, bahwa ini demi
masa depan kita berdua...! Apakah salah jika hamba
ikut andil dalam menyelesaikan hal ini" Hamba tidak
mau hanya mengambil enaknya saja, Pangeran...!"
"Hm.... Lantas, apa yang akan kau lakukan...?"
"Itu urusanku, Pangeran. Pangeran tahu beres
saja! Hanya saja, hamba minta untuk sementara ini
kehadiranku di sini dirahasiakan. Ini untuk menjaga
hal-hal yang tidak diinginkan. Juga, untuk menjaga
kebersihan nama Pangeran...!" kilah Kumala Dewi memberi alasan. Dan suaranya
mendadak terputus,
karena saat itu tangan pangeran ini telah mulai melepas kancing-kancing baju
Kumala Dewi. "Tapi kau memerlukan orang lain, Kumala De-
wi! Aku takut...."
"Maaf, Pangeran- Jika dibantu orang lain, itu
akan menimbulkan kecurigaan. Aku ingin bertindak
yang tidak menimbulkan kecurigaan, sekaligus berha-
sil!" "Kau ternyata perempuan cerdik, Kumala Dewi!
Tak salah aku memilihmu! Jika demikian maksudmu,
baiklah. Lakukan apa yang ingin kau lakukan!
Tapi satu hai, aku tak rela jika siapa pun juga, apalagi pangeran bangsat itu
menyentuh mu!" desis Pangeran Puja Manggala, tandas.
Kumala Dewi tersenyum. Wajahnya langsung
berbinar. "Masalah itu tak perlu dicemaskan. Pangeran.
Hamba hanyalah milik Pangeran. Dan..."
Belum sampai Kumala Dewi meneruskan kata-
katanya, Pangeran Puja Manggala telah menutup bibir
Kumala Dewi dengan bibirnya. Sementara kancing-
kancing baju Kumala Dewi telah terlepas semua. Hing-
ga dengan leluasa, tangan pangeran ini menelusup di
balik baju Kumala Dewi.
"Astaga! Pangeran.... Pintu dan jendelanya be-
lum tertutup. Jangan-jangan...."
Kumala Dewi segera melepaskan diri dari reng-
kuhan tubuh Pangeran Puja Manggala. Sedangkan
pangeran ini tampak kesal, karena keasyikkannya ter-
potong. "Tolong tutup pintu dan jendelanya, Pangeran.
Setelah itu, Pangeran bisa mendapatkan yang di inginkan...," ujar Kumala Dewi
lembut, membuat laki-laki ini tersenyum.
Bergegas Pangeran Puja Manggala melangkah
ke pintu. Dan dengan sekali jejakkan tumitnya, pintu itu tertutup. Lantas
kakinya melangkah ke arah jendela. Kali ini sebentar matanya menebar pandangan
ke- luar. Tampak tiga orang penjaga di luar. Dia mengangguk, lalu menutup jendela.
Sementara Pangeran Puja Manggala menutup
jendela, Kumala Dewi melangkah ke arah meja. Ditua-
ngkannya air ke dalam dua gelas. Dan tanpa diketa-
hui, diam-diam wanita ini memasukkan sebuah benda
kecil bulat berwarna putih pada salah satu gelas. Saat itu juga benda itu
langsung larut di dalam air.
Begitu jendela telah tertutup, Pangeran Puja
Manggala cepat meloncat ke arah Kumala Dewi. Dari
belakang, tangannya langsung dilingkarkan. Kumala
Dewi sepertinya sengaja tak mengancingkan bajunya
lagi. Hingga untuk ke sekian kalinya, tangan pangeran muda ini bergerak liar di
balik bajunya. Sambil mendesah perlahan, Kumala Dewi me-
narik tangan kanan laki-laki itu dan mengangkatnya.
Segera diletakkannya gelas di genggaman tangan sang
pangeran. "Pangeran, minumlah dahulu. Kulihat kau ba-
sah berkeringat. Air ini mungkin bisa membantu sedi-
kit kegerahan...."
Tanpa banyak bicara, Pangeran Puja Manggala
langsung menarik tangannya, meminum tuntas isi ge-
las. Lalu dengan melemparkan gelas begitu saja, tan-
gannya bergerak kembali ke balik baju Kumala Dewi.
Kumala Dewi hanya mendesah. Namun karena
pangeran yang ada di belakangnya ini sedang diamuk
nafsu, tanpa diketahui sepasang mata Kumala Dewi te-
lah berkilat-kilat merah dengan senyum menyeringai.
Mungkin karena sudah tak tahan oleh gejolak
birahi, tangan Pangeran segera bergerak ke pinggul
Kumala Dewi. "Dan dengan sekali angkat, tubuh gadis ini telah berada di
bopongannya. Dengan tawa bergerai, Pangeran Puja Manggala
melangkah sambil membopong tubuh Kumala Dewi
menuju tempat tidur.
Namun baru saja tangan pangeran ini menaruh
tubuh Kumala Dewi di atas tempat tidur, tubuhnya
mendadak terasa lemah. Sepasang matanya meredup.
Dan tak lama kemudian tubuhnya tergolek di sebelah
Kumala Dewi yang telah telentang.
Kumala Dewi terdiam sejenak, kemudian segera
meraba kening dan membuka kelopak mata pangeran
di sebelahnya. Lalu dengan cekatan tangannya mele-
pas kancing-kancing dan melepas baju laki-laki itu.
Pakaian itu dibiarkan berserakan begitu saja. Dengan cekatan pula diambilnya
selimut dan di tutupinya tubuh Pangeran Puja Manggala yang polos!
Dengan cepat, Kumala Dewi langsung turun
dari tempat tidur. Cepat dibukanya jendela. Sebentar,
lalu ditutupnya kembali. Sepasang matanya yang bulat mengawasi wajah pangeran
ini. Saat itu juga senyumnya menyeringai.
Dengan masih tersenyum, Kumala Dewi me-
langkah ke pojok tempat tidur. Segera diambil sebuah kotak kecil dan dibukanya.
"Aswagitha! Kau rupanya begitu berarti!" gumam Kumala Dewi perlahan, seraya
menutup kotak kecil itu dan meletakkannya di tempat semula.
"Pangeran cabul! Kau akan merasakan akibat-
nya...!" gumam Kumala Dewi, seraya melepas bajunya sendiri. Dengan tubuh tanpa
sehelai benang pun, Kumala Dewi meloncat melewati tubuh Pangeran Puja
Manggala. Lalu ditariknya selimut menutupi tubuhnya
yang mulus menggairahkan. Langsung direbahkan tu-
buhnya di samping Pangeran Puja Manggala.
*** 9 "Gila! Apa rencana itu tidak jadi...?" gerutu Pendekar Mata Keranjang 108 di
atas sebuah pohon
belakang rumah kediaman Pangeran Cakra Manggala.
Memang, setelah mencuri dengar pembicaraan
antara Lintang Sari dengan Adipati Bulu Kumba, Aji
berniat menunggu di kediaman Pangeran Cakra Mang-
gala pada hari yang ditentukan, yakni hari ini, Pendekar Mata Keranjang menduga,
akan terjadi sesuatu
terhadap putra Sri Baginda Kerta Bumi dari selir yang lain itu. Berdasarkan
keterangan para penduduk, Aji
tak menemukan kesulitan untuk mencari kediaman
Pangeran Cakra Manggala. Tak heran kalau sebelum
keberangkatan pangeran itu, dia sudah bertengger di atas pohon, belakang rumah
saudara tiri Pangeran Pu-ja Manggala ini. Namun setelah ditunggu sekian lama.
apa yang harapkan belum juga nampak
"Hm.... Apa aku salah dengar..." Kurasa tidak.
Atau ada rencana lain di luar itu, yang tidak kuketahui.,." Atau...."
Aji tidak meneruskan kata hatinya ketika meli-
hat dua orang berkuda keluar meninggalkan kediaman
Pangeran Cakra Manggala.
"Hm..., meski aku belum jelas betul tampang
Pangeran Cakra Manggala, aku yakin dia pasti salah
satu penunggang itu. Dan tujuan mereka berdua ada-
lah Gua Tetes!"
Berpikir begitu, Aji langsung melayang turun.
Begitu mendarat, tubuhnya berkelebat menuju arah
dua penunggang kuda yang baru saja keluar dari tem-
pat kediaman Pangeran Cakra Manggala.
"Hm akan kuikuti dari jarak dekat, biar aku
dapat mencuri dengar percakapan mereka...!" gumam Aji sambil mempercepat
larinya. Dua penunggang itu mula-mula melarikan, ku-
da masing-masing dengan perlahan-lahan. Namun ke-
tika keluar dari perbatasan kotaraja, mereka memacu
kencang-kencang.
Aji jadi menggerutu panjang pendek. Segera
disusulnya kedua penunggang kuda itu disertai penge-
rahan ilmu meringankan tubuhnya. Karena jalan yang
dilalui masih banyak rumah penduduk, Aji tak bisa
langsung mendekati kedua penunggang itu.
Baru setelah memasuki kawasan yang jarang
rumah penduduk dan di kanan kirinya banyak ditum-
buhi pohon besar, Aji bisa mendekati dua penunggang
itu. Dua penunggang ini ternyata dua orang laki-
laki. Yang di sebelah kanan tampak masih muda. Wa-
jahnya tampan dan bertubuh tegap. Meski memakai
pakaian biasa, namun gaya priyayinya dalam berkuda
lak dapat disembunyikan.
Sementara di sebelah pemuda ini adalah laki-
laki berusia sudah tampak lanjut. Rambutnya panjang
dan memutih. Memasuki sebuah kawasan lembah, dua pe-
nunggang ini memperlambat jalannya.
"Paman Rangkujang! Menurut Paman, apa ke-
terangan Adipati Bulu Kumba bisa dipegang kebena-
ran-nya?" tanya pemuda yang menunggang kuda di
sebelah kanan. "Soal itu aku masih belum bisa menjawab den-
gan pasti, Pangeran. Berpuluh tahun aku hidup di
daerah sini, baru kali ini aku mendengar jika di Gua Tetes hidup seorang petapa
perempuan yang bisa meramal seseorang dan menebak sesuatu! Tapi karena
yang membawa kabar adalah seorang adipati, maka
sedikit banyak kata-katanya bisa dipercayai. Tidak
mungkin seorang adipati mengatakan hal yang tidak
benar. Apalagi yang diberi kabar adalah Pangeran. Apa dia ingin dicopot jika
berdusta" Namun jawaban yang
pasti baru kita dapatkan, setelah nanti bertemu orang yang diceritakan adipati
itu!" jawab penunggang yang berusia lanjut, yang dipanggil Paman Rangkujang.
"Tapi aku merasa heran. Kenapa adipati berpe-
san, jika aku benar-benar datang ke Gua Tetes, hanya diperbolehkan membawa satu
orang kepercayaan-ku...?" tanya pemuda yang tak lain memang Pangeran Cakra
Manggala. "Adipati itu berpikir, mungkin karena yang
akan kita tanyakan adalah menyangkut rahasia kera-
jaan yang tak boleh diketahui banyak orang...! Tapi Pangeran tak perlu cemas.
Sebelum berangkat aku telah berpesan pada kepala pengawal, jika aku dan Pan-
geran belum kembali sampai esok pagi, dia kuperin-
tahkan datang dengan membawa bala bantuan ke Gua
Tetes. Ini untuk berjaga-jaga jika kita mendapat halangan!" Setelah itu, tak
terdengar lagi ucapan dari dua orang penunggang ini. Ketika sampai di sebuah
gundukan batu besar yang berlobang, mereka menghenti-
kan kuda tunggangannya.
Di bawah temaram cahaya sinar rembulan, se-
jenak dua penunggang ini saling berpandangan. Dan
saat Paman Rangkujang akan turun dari atas kuda
tunggangannya, mendadak....
"He...! Dua orang berkuda! Apa perlu kalian
mengusik kesendirianku?"
Terdengar suara dari dalam gua yang memba-
hana, seakan-akan keluar dari sebuah ruangan yang
tertutup. Sehingga suara itu bergaung dan menggema
panjang, sebelum akhirnya perlahan lenyap mening-
galkan kesan yang membual bulu kuduk mengkirik,
"Jangkrik! Suara itu bukan suara manusia
sembarangan. Siapa pun yang bersuara, dia pasti
mempunyai tenaga dalam sempurna...!"' rutuk Aji da-
lam hati ketika juga telah sampai di tempat itu, dan langsung berkelebat
bersembunyi di samping gua.
Hingga untuk beberapa saat tenaga dalamnya dikerah-
kan untuk menangkis gema suara yang terasa menu-
suk telinga. Saat ini Aji berada di balik batu yang berada
tak jauh dari Rangkujang dan Pangeran Muda Cakra
Manggala. 'Tapi aneh, kenapa suara dari dalam gua itu
hanya mengetahui kedatangan dua orang ini" Hm...,
mungkin aku tidak dianggap manusia. Tapi itu sebuah
keuntungan. Bukankah jika suara itu menyebut tiga
orang, maka kehadiranku akan ketahuan..." He....
He...!" kata hati Aji seraya cengengesan. Sementara matanya tetap mengawasi dua
orang yang tak jauh
tempatnya. Di lain pihak, mendengar suara dari dalam gua,
Pangeran Cakra Manggala dan Paman Rangkujang ter-
kejut selengah mati. Bahkan dua kuda tunggangan itu
sampai menaikkan kaki depan masing-masing tinggi-
tinggi. Dan dari mulut binatang-binatang itu keluar
ringkikan keras. Lembah itu seketika bagai tersentak dari kesunyian.
Pangeran Cakra Manggala dan Paman Rangku-
jang kembali saling berpandangan. Tubuh pangeran


Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu tampak sedikit gemetar. Sementara Paman Rangku-
jang tampak bersikap tenang-tenang, meski raut wa-
jahnya tak bisa menyembunyikan rasa was-was,
"Apakah kami boleh masuk, Nek..?" seru Rangkujang setelah menarik napas dalam-
dalam untuk menenangkan hatinya. "Kami ada keperluan sangat mendesak dan sangat penting yang
harus disampaikan
padamu...!"
Sejenak suasana jadi hening. Ketika belum ada
jawaban dan dalam gua.
"Masuklah!" ujar suara itu akhirnya.
Pangeran Cakra Manggala dan Paman Rangku-
jang masih berdiri tegak di atas kuda masing-masing.
Wajah mereka seperti diselimuti rasa khawatir dan ra-gu-ragu.
"Kalau kalian ragu-ragu, cepat tinggalkan tem-
pat ini! Aku pun sebenarnya lak mau diusik!" terdengar kembali suara dari dalam
gua. Mendengar teguran ini secepat kilat Pangeran
Cakra Manggala dan Paman Rangkujang turun dari
ku-da masing-masing. Sebentar saja. mereka sudah
melangkah menuju mulut gua dan masuk ke dalam-
nya. Aji segera keluar dari balik batu. Dan perlahan-lahan tubuhnya merambat di
samping mulut gua.
Dengan gerakan kilat, tubuhnya langsung berkelebat
dan masuk. *** Pangeran Cakra Manggala dan Paman Rangku-
jang melangkah pelan dengan mata melirik liar. Na-
mun sekian lama, kedua orang itu tak menemukan
seorang pun dalam ruangan gua yang sempit ini. Yang
tampak hanyalah gunduk-gundukan batu yang ber-
bentuk tak teratur.
"Cepat katakan, apa maksud kalian...!" tiba-tiba terdengar suara bagai geledek.
Pangeran muda dan Paman Rangkujang tersen-
tak. Mereka sama-sama menoleh ke arah sumber sua-
ra. Seketika dua orang ini menyurutkan langkah mas-
ing-masing, dengan mata membesar seakan tak per-
caya. Sepasang mata Aji yang lelah bersembunyi di
tempat yang terlindung ikut-ikutan memandang ke
arah sumber suara.
Dan memang, tak jauh dari tempat Pangeran
Cakra Manggala dan Paman Rangkujang tampak se-
seorang menggelantung membelakangi. Kedua kakinya
diikat seutas tali. Sementara ujung tali menjulur ke
alas, dan ditancapkan begitu saja pada langit-langit gua dengan menggunakan
sebuah ranting. Kedua tangan orang menggelantung ini menakup sejajar dada.
Hebatnya, meski menggantung terbalik, pakaiannya
tak menyingkap. Bahkan rambutnya yang panjang lak
terurai ke bawah!
"Nek...! Kami datang menanyakan tentang...."
"Beradanya Cincin Aswagitha..."!"
Suara Paman Rangkujang yang parau dan ber-
getar langsung terputus oleh suara sosok perempuan
tua yang menggelantung.
Pangeran Cakra Manggala dan Paman Rangku-
jang mendelik tak percaya. Sementara, Aji terus men-
gawasi dengan dahi berkerut.
"Aneh orang tua ini. Tahu sebelum orang ngo-
mong! Apa juga berarti tahu tentang kehadiranku...?"
gumam Aji dalam hati.
"Betul. Nek...!" kali ini yang menjawab Pangeran Cakra Manggala.
"Sebenarnya cincin itu tidak hilang. Cincin itu sekarang dipegang oleh Pangeran
Puja Manggala. Dan kelak, dia akan memberikannya padamu. Kembalilah
besok pagi. Dia akan menunggumu di sini!" papar perempuan tua itu.
Mendengar hal ini. Pangeran Cakra Manggala
dan Paman Rangkujang terbengong. Dan mereka ham-
pir tak percaya dengan pendengarannya.
"Kukira hanya itu keperluan kalian datang ke-
mari. Nah, sekarang lekaslah tinggalkan tempat ini!"
ujar nenek itu, memecah keterpakuan Pangeran Cakra
Manggala dan Paman Rangkujang.
"Tapi, Nek. Untuk keterangan yang kau beri-
kan, kami membawakan untukmu...."
"Pangeran! Aku tak membutuhkan imbalan!
Yang kubutuhkan adalah kesunyian...!" tukas nenek yang menggelantung.
"Kalau demikian, kami mengucapkan terima
kasih. Dan kami mohon diri!"
Tak ada jawaban dari nenek yang menggelan-
tung. Pangeran Cakra Manggala dan Paman Rangku-
jang segera berbalik. Bergegas mereka melangkah ke-
luar gua. Dan tak lama kemudian, terdengar derap ka-
ki kuda yang dipacu cepat, meninggalkan tempat ini.
Sementara itu Aji masih tetap di tempat per-
sembunyiannya. Pendekar Mala Keranjang terus men-
gawasi orang yang menggantung. Dan baru beberapa
tarikan napas Aji mengawasi...
"Ha... ha... ha... hi... hi...!"
Tiba-tiba saja dari mulut orang yang mengge-
lantung terdengar tawa kekehan panjang. Dan sekali
sentak, tali yang menjulur ke atas putus. Lalu dengan membuat gerakan berputar
satu kali di udara, tubuh
orang yang menggelantung telah berdiri tegak.
"Benar-benar seorang nenek tua! Siapa geran-
gan dia...?" tanya Aji dalam hati.
Dengan langkah lebar-lebar dan ringan sekali,
nenek tua ini melangkah ke mulut gua. Sejenak pan-
dangan di lebar keluar, lalu tiba-tiba tangannya bergerak ke wajah. Dengan
cekatan sekali, tangan itu men-
gupas kulit wajahnya sendiri, yang ternyata sebuah topeng! Sebuah topeng yang
mirip wajah seorang nenek
berusia ratusan tahun!
Begitu topeng terlepas, tampaklah wajah asli di
baliknya. Ternyata, wajah itu milik gadis yang tak lain Lintang Sari. Sebentar
kemudian gadis itu telah melepas rambut palsunya, serta pakaiannya.
Kembali Lintang Sari memandang ke sekeliling,
sebelum akhirnya berkelebat meninggalkan Gua Tetes
ini. "Jangkrik! Sandiwara apa ini?" rutuk Aji tak mengerti, di tempat
persembunyiannya....
Pendekar Mata Keranjang 108 langsung pula
berkelebat mengikuti arah yang ditempuh Lintang Sari.
Dan hampir-hampir pemuda ini tak percaya. Ilmu me-
ringankan tubuh gadis yang diikutinya begitu sempur-
na. Sehingga untuk beberapa saat, dia sempat tertinggal Namun dengan mengerahkan
seluruh tenaga, ak-
hirnya Pendekar Mala Keranjang 10S tak sampai kehi-
langan buruan. "Aneh! Dia sepertinya menuju arah istana! Ta-
pi..., tidak! Dia terus.... Eh, mau ke mana dia...?" tanya Aji dalam hati.
Dan sampai di sebuah bangunan agak megah.
Lintang Sari berbelok dan menghilang. Aji ternganga
tak percaya. "Dia berbelok dan menghilang di sini. Hm...
Bukankah ini kediaman Pangeran Puja Manggala...?"
kata Aji masih hampir tak percaya. "Aku masih belum jelas dengan semua ini...!
Hm.... Aku menduga pasti
ada orang yang mengadu domba kedua pangeran itu!
Dan mungkin mencari keuntungan di baliknya! Mung-
kinkah gadis itu" Hm.... Ini harus segera dicegah. Aku besok akan mulai bergerak
Sekarang, tubuhku sangat
capek. Aku akan pergi ke penginapan dan istirahat!"
Aji langsung berbalik dan berkelebat menuju
penginapan. *** 10 "Hm.... Benar kata Adipati Bulu Kumba. Puja
Manggala ternyata memang telah menungguku. Apa
gerangan yang membuatnya rela memberikan cincin
itu padaku" Apakah ini hanya tipu muslihatnya saja"
Tapi kulihat, ia datang sendirian...."
Gumaman ini meluncur dari mulut seorang
pemuda berpakaian indah. Sepasang mata tak berke-
dip menatap ke arah sosok yang telah berdiri tenang di depan mulut Gua Tetes.
"Maaf, Puja Manggala! Aku datang terlambat...!"
ucap pemuda yang di atas punggung, ketika lelah be-
rada lima tombak dari sosok yang menunggu dan tak
lain dari Pangeran Puja Manggala.
"Ah, tak apa Cakra Manggala. Waktu tidak
menjadi soal jika dibandingkan dengan ketulusanmu
yang akan memberikan cincin itu padaku! Aku berte-
rima kasih sekali padamu. Aku pun tak akan begitu
saja melupakan ketulusan mu. Kelak kau pun akan ku
beri kedudukan yang pantas!" kata Pangeran Puja Manggala seraya tersenyum.
Mendengar kata-kata Pangeran Puja Manggala,
pemuda di atas kuda yang tak lain Pangeran Cakra
Manggala jadi terkejut. Keningnya berkernyit dengan
matanya menyipit. Tapi lantas bibirnya tersenyum.
"Kau jangan bercanda! Bukankah cincin itu ada
padamu. Dan sekarang akan kau berikan padaku...!"
kata Pangeran Cakra Manggala, seraya turun dari ku-
danya. Pangeran Puja Manggala ganti berkernyit. Se-
pasang matanya membelalak.
"Kau yang rupanya bercanda. Cakra!" desis
Pangeran Puja Manggala.
"Bercanda?" ulang Pangeran Cakra Manggala
heran. "Kau jangan berpura-pura. Puja! Lekas serahkan cincin itu padaku!"
"Aneh! Bukankah cincin itu ada padamu. Dan,
kau akan memberikannya padaku" Mana cincin itu...?"
ujar Pangeran Puja Manggala agak jengkel.
"Kau akan mempermainkan aku rupanya, Pu-
ja!" hardik Pangeran Cakra Manggala agak geram. "Cepat serahkan cincin itu,
sebelum habis kesabaranku!"
Puja Manggala terdiam. Rahangnya tampak
mengeras. Giginya saling menggetal. Dadanya terasa
panas, mendengar hardikan Pangeran Cakra Mangga-
la. "Bedebah! Kau yang sengaja mempermainkan
aku! Sebaiknya, tak usah berpanjang lebar. Jika kau
tak ingin menyerahkan cincin itu, terpaksa aku akan
bertindak kasar!" gertak Pangeran Puja Manggala.
"Kau terlalu mencari-cari alasan!" dengus Pangeran Cakra Manggala sambil
melangkah menghampiri
Pangeran Puja Manggala. Kini jarak mereka terpaut setengah tombak saja. Kedua
tangannya telah mengepal,
sehingga otot-ototnya tampak bertonjolan.
Melihat sikap Pangeran Cakra Manggala, Pan-
geran Puja Manggala segera bersiap diri. Sepasang matanya menatap tajam bola
mata saudara tirinya itu.
"Kau memang lak bisa dikasih hati!" bentak Pangeran Cakra Manggala.
Begitu kata-katanya selesai. Pangeran Cakra
Manggala langsung mengibaskan tangannya ke arah
kepala Pangeran Puja Manggala.
Pangeran Puja Manggala terkejut, namun buru-
buru merunduk. Sehingga hantaman tangan Pangeran
Cakra Manggala lewat di atas kepalanya.
Dan ketika serangan lewat tubuhnya diputar.
Sementara kaki kanannya diangkat dan diterjangkan
ke perut Pangeran Cakra Manggala.
Wuttt..." Disertai dengusan keras, Pangeran Cakra
Manggala cepat memapak serangan kaki Pangeran Pu-
ja Manggala yang menerjang ke arahnya dengan tan-
gan kiri. Plak! Terdengar benturan keras ketika tendangan
Pangeran Puja Manggala berhasil ditangkis. Bahkan
tubuh Pangeran Puja Manggala langsung terbanting ke
tanah. Sementara Pangeran Cakra Manggala ter-
huyung dua langkah ke belakang. Tangannya terasa
ngilu dan kesemutan setelah menangkis tadi.
Tanpa bisa dihalangi lagi, dua saudara seayah
ini terlibat perkelahian sengit. Hingga tak disadari, tak jauh dari tempat
mereka dua pasang mata tengah
mengawasi tanpa berkedip dengan senyum kepuasan.
Karena dua pangeran ini tak banyak mengerti
tentang ilmu silat, maka perkelahian di antara keduanya berlangsung jarak dekat.
Dan mereka hanya men-
gandalkan kekuatan otot masing-masing.
Setelah beberapa gebrakan, Pangeran Puja
Manggala tampak terdesak. Bibir dan hidungnya telah
tampak mengeluarkan darah. Di bawah mata kirinya
tampak kebiru-biruan, terkena hantaman tangan Pan-
geran Cakra Manggala.
Sementara Pangeran Cakra Manggala sendiri
tak jauh berbeda. Hanya Saja dia tampak di atas an-
gin. Pada suatu kesempatan, Pangeran Puja Mang-
gala terhantam dagunya. Tubuhnya terbanting ke
samping. Dari mulutnya terdengar pekikan tertahan.
"Baiklah, Cakra! Kita tuntaskan masalah ini.
Dan siapa pun yang masih hidup, berarti dialah kelak yang berhak naik tahta!"
desis Pangeran Puja Manggala seraya bangkit dan mencabut keris dari pinggang-
nya. Melihat Pangeran Puja Manggala cabut senjata,
Pangeran Cakra Manggala segera pula mencabut ke-
risnya. Dua pasang mata yang mengawasi tak jauh da-
ri mereka, tambah membesar. Bahkan tak berkedip
barang sejenak pun.
Tanpa menunggu lama, Pangeran Puja Mangga-
la segera meloncat dan menghantamkan kerisnya ke
arah bahu Pangeran Cakra Manggala.
Namun dengan cepat Pangeran Cakra Manggala
berkelit dengan miringkan sedikit tubuhnya. Sementa-
ra kakinya diangkat tinggi-tinggi secara nyamping memapak tangan Pangeran Puja
Manggala. Plak! Tubuh Pangeran Puja Manggala terhuyung, be-
gitu tangannya yang terpapak terpental oleh kaki Pangeran Cakra Manggala. Saat
itulah tiba-tiba Pangeran Cakra Manggala menusukkan kerisnya ke pinggang
Pangeran Puja Manggala.
Crap!

Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aaakh...!"
Pangeran Puja Manggala menjerit melengking.
Tubuhnya langsung limbung. Namun belum sampai
tubuhnya roboh ke tanah, Pangeran Cakra Manggala
menusukkan kembali kerisnya ke punggung saudara
tirinya itu. Crap! "Aaa...!"
Pangeran Puja Manggala langsung roboh ke ta-
nah bersimbah darah. Sebentar terdengar erangan ter-
sendat dari mulutnya. Tapi tak lama kemudian eran-
gan itu terhenti, tepat ketika napasnya tuntas.
Pangeran Cakra Manggala beberapa lama men-
gawasi tubuh Pangeran Puja Manggala, lalu melangkah
mendekat. Parasnya sedikit berubah melihat keadaan
Pangeran Puja Manggala. Tangannya gemetar.
Namun baru saja akan jongkok menggapai tubuh sau-
dara tirinya itu mendadak...
Werrr...! Tiba-tiba dari arah belakang menderu angin
kencang disertai suara menggemuruh dahsyat. Pange-
ran Cakra Manggala terkejut dan berpaling. Namun,
dia tak sempat lagi menghindarinya. Dan....
Splash...! "Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi pukulan angin menderu
menghantam. Tubuh Pangeran Cakra Manggala kon-
tan terpental hingga dua tombak ke belakang, lalu bergulingan di atas tanah.
Dari mulutnya mengalir darah hitam. Sepasang matanya memejam merasakan sakit
dan nyeri yang tak terperikan mendera dadanya.
Pangeran Cakra Manggala tadi sempat melihat,
kalau orang yang menyerangnya adalah seorang gadis
cantik yang entah dari mana datangnya. Tahu-tahu,
gadis itu telah berada tak jauh darinya, dan langsung melepaskan serangan.
Karena memang pemuda itu tak
banyak memiliki kepandaian, apalagi serangan da-
tangnya juga demikian cepat, tak ayal lagi tubuhnya
mudah sekali dijadikan sasaran.
Dengan meringis menahan sakit, Pangeran Ca-
kra Manggala coba bangkit. Tapi baru saja bergerak,
selarik gelombang sinar merah melesat ke arahnya.
Tak mungkin lagi dia menghindar. Selain tubuhnya
lemah, serangan itu juga demikian cepat sehingga....
Plash....! "Aaa...!"
Selarik sinar merah itu langsung menghantam
tubuh Pangeran Cakra Manggala. Terdengar jeritan
panjang, begitu tubuhnya terpental. Begitu terkapar di tanah. Pangeran Cakra
Manggala sudah tidak lagi bergerak! Seluruh pakaiannya hangus, dan sekujur tu-
buhnya membiru!
Sejenak gadis yang tak lain Lintang Sari itu
memandangi mayat Pangeran Cakra Manggala. Lalu
tatapannya beralih pada sebuah celah balu yang tak
jauh dari tempat ini.
"Paman! Urusan disini telah selesai! Kita tinggalkan tempat ini!" ujar Lintang
Sari. Dari celah balu melesat sesosok tubuh, lang-
sung berdiri di hadapan Lintang Sari. Dia adalah seorang laki-laki setengah
baya. Berpakaian putih-putih.
Rambutnya kelimis. Kumis dan jenggotnya tampak te-
rawat rapi. "Paman Bulu Kumba! Paman segeralah kemba-
li, dan tunggu kabar dariku! Perjalanan kita sudah
sampai pada pertengahan!" ujar Lintang Sari lagi pada laki-laki di depannya yang
ternyata Adipati Bulu Kumba.
"Baiklah, Gusti Ayu...," ucap Adipati Bulu Kumba seraya menjura hormat, lalu
berkelebat meninggalkan tempat itu.
Lintang Sari kembali mengawasi mayat Pange-
ran Puja Manggala dan Pangeran Cakra Manggala. Bi-
birnya tersenyum puas. Lantas perlahan dilepaskan-
nya cincin berwarna hijau yang dikenakannya. Dan
perlahan-lahan pula, cincin itu diletakkan di samping tubuh Pangeran Puja
Manggala. Dan dia kembali tersenyum, lalu berkelebat pergi.
Pendekar Mala Keranjang 108memacu cepat
kudanya menuju arah Gua Tetes. Karena sudah per-
nah ke sana, lak sulit baginya untuk tiba di sana. Namun di tengah perjalanan
Aji mendapati banyak orang
lalu-lalang. Dan mereka kebanyakan berpakaian kera-
jaan Dengan sedikit curiga, Aji lebih cepat memacu larinya Ketika Pendekar Mata
Keranjang 108 sampai di
lembah di mana terdapat Gua Tetes, kecurigaannya
bertambah besar. Di sana ternyata sudah banyak ke-
rabat istana dan juga para pembesar istana. Terma-
suk, Sri Baginda dan Permaisuri.
Terlambat.... Sial! Ini gara-gara aku terlalu le-
lah, sehingga tertidur pulas. Dan aku jadi kesiangan!"
gerutu Aji seraya mendekati salah seorang prajurit.
"Apa yang terjadi...!?" tanya Aji, kepada salah seorang prajurit yang
ditemaninya. "Pangeran Puja Manggala dan Pangeran Cakra
Manggala...."
Prajurit itu tak meneruskan kata-katanya. "Ke-
napa dengan pangeran itu...?"
"Mereka berdua mangkat bersama-sama...!" jawab prajurit itu lirih.
Lemaslah tubuh Aji mendengar keterangan pra-
jurit itu. Matanya membeliak, seakan tak percaya. Lantas kakinya melangkah,
menyeruak kerumunan kera-
bat istana. Matanya melirik ke sana kemari, seakan-
akan ada yang dicari.
"Seandainya aku bangun lebih pagi mungkin
hal ini tak akan terjadi," gumam Pendekar Mata Keranjang 108. "Hm, jadi jelas.
Agaknya memang gadis itu yang telah mengadu domba antara dua putra mahkota
Kerajaan Malowopati. Sayang, aku terlambat mence-
gahnya." Aji kembali menyapukan pandangannya pada
orang-orang yang masih berkerumun.
Sementara itu jenazah dua pangeran putra Sri
Baginda Kerta Bumi telah dimasukkan dalam peti, dan
diangkut sebuah kereta istana untuk dibawa menuju
istana. Setelah kereta pembawa jenazah meninggalkan
Gua Tetes, satu persatu kerabat dan prajurit serta
pembesar istana juga meninggalkan tempat ini. Seben-
tar saja, tempat ini telah sunyi kembali. Sementara Aji masih terpaku, belum
bisa berbual apa-apa. Dan baru
saja kakinya hendak melangkah.
"Kau menunggu seseorang...?"
Tiba-tiba terdengar suara seseorang di belakang
Pendekar Mata Keranjang. Begitu menoleh. Aji tersen-
tak. Sepasang matanya membesar, melihat seorang
gadis cantik kini telah berdiri. Rambutnya panjang tergerai, berpakaian kerabat
istana. "Nona...! Bukankah kau...."
"Namaku Kumala Dewi!" potong gadis yang ternyata Lintang Sari. "Kau menunggu
seseorang"
Atau...?" "Ah, tidak. Aku hanya kebetulan lewat...," jawab Aji disertai senyum.
Sebenarnya, Pendekar Mata Keranjang 108 ya-
kin betul kalau yang dilihatnya adalah Lintang Sari.
Bukan Kumala Dewi. Namun karena gadis ini memakai
pakaian kebesaran kerajaan. Aji tak berani gegabah
menduga. Apalagi berusaha menangkapnya, karena
gadis itulah yang membunuh Pendekar Lembah Seribu
Bunga. Untuk sementara ini Pendekar Mata Keranjang
108 memang lak ingin bertindak ceroboh.
"Kalau boleh tahu, kau, eh...! Kumala Dewi ini
sebenarnya siapa?"
Gadis di depannya yang memperkenalkan diri
sebagai Kumala Dewi tak segera menjawab. Malah se-
pasang matanya menyorot tajam, memandang ke arah
Aji. "Aku adalah adik dari Pangeran Puja Manggala!
Kau sendiri siapa"!" Kumala Dewi balik bertanya.
Aji pun tak segera menjawab. Dia bertingkah
seperti Kumala Dewi waktu ditanya Aji.
Dalam hati Kumala Dewi yang tak lain adalah
Lintang Sari berkata kalau pemuda itu memang aneh!
Dan memang cocok jika disebut Pendekar Mata Keran-
jang. "Tapi dia memang menarik. Seandainya..., ah!
Tapi itu tak mungkin! Eh, kenapa aku berpikir sejauh itu" Jangan-jangan aku...."
Kumala Dewi cepat membuang pikiran itu jauh-
jauh. "Lantas kau hendak ke mana...?" tanya Kumala Dewi menyelidik.
"Ya, namanya saja sinting. Jadi aku tak punya
tujuan, tak punya juntrung. Aku hanya berjalan ke
mana kakiku melangkah.-." jawab Aji, seenaknya.
"Hm.... Jadi benar-benar sinting manusia ini!"
gumam Kumala Dewi, lantas bergegas melangkah me-
lewati Aji. Gadis itu melangkah menuju arah selatan. Jika
dia terus menuju arah selatan, maka akan sampai di
jalan umum yang menuju kotaraja.
"Tunggu!" tahan Aji.
Kumala Dewi menghentikan langkahnya. Tu-
buhnya berbalik menghadap Aji.
Sejenak Pendekar Mata Keranjang 108 menga-
mati wajah gadis di depannya lekat-lekat.
"Ada apa...?" tanya Kumala Dewi.
"Kau mengingatkan ku pada seseorang...'' gu-
mam Aji perlahan., ingin berusaha mengungkapkan
dugaannya. "Banyak orang yang berbuat begitu sebelum
kau...! Dan sekali menebak, pasti benar.... Kau akan mengatakan kalau aku
Lintang Sari bukan...?" tebak Kumala Dewi tersenyum.
Aji terperanjat.
'Tadi sudah kukatakan. Banyak orang sebelum
kau yang berbuat begitu. Mereka mengatakan, wajah-
ku mirip Lintang Sari, si buronan kerajaan itu!"
Aji hanya manggut-manggut.
"Bisa saja itu terjadi, karena kami sebenarnya adalah saudara. Tidak ada lagi
yang perlu kau tanyakan...?" tanya Kumala Dewi seraya tersenyum.
"Jangkrik! Gadis ini memang enak dipandang.
Apalagi bila tersenyum. Seandainya..., dia bukan kerabat istana, mau rasanya
aku...! Edan...."
Aji jadi merutuk sendiri dalam hati. "Kalau
memang kau menuju arah istana, bagaimana kalau ki-
ta jalan sama-sama...?" kata Aji, menawarkan.
Kumala Dewi tak menjawab. Dia malah terse-
nyum, membuat Aji semakin berani. Pendekar Mata
Keranjang 108 lantas melangkah mendekat.
"Orang sinting sekali-kali jalan dengan kerabat istana" kan asyik!" kata Aji
seenaknya. "Manusia satu ini konyol, tapi menyenangkan.
Tapi..., aku tak boleh lengah. Tugasku belum sele-
sai...," kata batin Kumala Dewi yang memang Lintang Sari seraya mengangguk.
*** 11 Hingga malam menjelang, tamu-tamu yang in-
gin melayat atas mangkatnya Pangeran Puja Manggala
dan Pangeran Cakra Manggala masih saja terus berda-
tangan. Sedangkan Sri Baginda Kerta Bumi sendiri
tengah berusaha menenteramkan kedua selirnya, yak-
ni ibu dari masing-masing pangeran itu di ruang khu-
sus. Sementara para kerabat istana melakukan pe-
nyambutan pada beberapa tamu yang datang, lak jauh
dari situ para pembesar istana dan tokoh-tokoh silat kerajaan mengadakan
pertemuan untuk mengetahui
duduk persoalan sebenarnya tentang kejadian menye-
dihkan di Istana Kerajaan Malowopati ini.
"Melihat cincin yang berada di dekat mayat, du-
gaan kalau Pangeran Puja Manggala dan Pangeran Ca-
kra Manggala saling bertempur untuk memperebutkan
cincin adalah dugaan yang paling mungkin. Tapi yang
menjadi pertanyaan, dari mana datangnya cincin
ini...?" urai Mahapatih Gagak Rimang seraya menunjukkan cincin berwarna hijau
pada para tokoh yang
hadir dalam pertemuan ini.
"Apa cincin itu memang cincin yang selama ini
kita cari, Mahapatih?" tanya seorang dari tokoh silat kerajaan.
"Cincin ini, bentuk dan warnanya memang sa-
ma dengan Cincin Aswagitha. Namun jika dilihat lebih teliti, ada perbedaannya.
Dan yang lebih mencolok,
cincin ini tak mengandung daya sedot. Jadi, cincin ini palsu!" jelas Mahapatih
Gagak Rimang. "Berarti ada pihak ketiga yang berada di balik
semua ini!" simpul salah seorang.
"Benar! Berarti ada pihak ketiga yang berkepala dua! Selain memihak pada
Pangeran Puja Manggala,
juga ikut mempengaruhi Pangeran Cakra Manggala.
Lantas, siapa gerangan pihak ketiga ini..." Yang pasti, orang itu pasti dekat
dengan mereka berdua..!"
"Jika demikian, pihak ketiga itu pasti ada di
lingkungan kerabat istana kerajaan!" ujar seseorang, yang sepertinya dari
kalangan pembesar istana
"Untuk sekarang ini, kita belum bisa memasti-
kan. Dan hal itu, kalau bisa jangan membuat para ka-
langan istana saling mencurigai. Karena jika hal ini terjadi, musuh dalam
selimut ini akan lebih leluasa
bergerak! Jadi untuk sementara waktu, penyelidikan
diutamakan pada orang-orang yang sering berhubun-
gan langsung dengan dua pangeran itu...!" kata Mahapatih Gagak Rimang berwibawa.
Namun baru saja kata-kata patih ini tuntas,
mendadak.... "Aaa...!" "Aaak...!"
Dari luar istana tiba-tiba terdengar pekik kema-
tian yang berturut-turut, ditingkahi suara-suara pertarungan. Bahkan itu pun
masih ditambah oleh suara
derap rombongan berkuda.
Belum juga para pembesar dan para tokoh silat
kerajaan bergerak, mendadak seorang prajurit tergo-
poh-gopoh masuk pendopo.
"Mahapatih Gagak Rimang! Pasukan bersenjata
yang jumlahnya belum bisa ditentukan telah bergerak


Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memasuki kotaraja! Benteng pertahanan di luar kota-
raja telah mereka kuasai...! Kami minta petunjuk lebih lanjut...!" lapor
prajurit itu. "Tutup semua jalan menuju istana...! Kerahkan
semua prajurit yang berada di Istana untuk membantu
di depan pintu gerbang...!"
"Segala perintah akan kami laksanakan!"
Setelah menjura, prajurit tadi berbalik dan ber-
gegas berlalu. "Semua yang hadir di istana, kami harap me-
masuki ruangan darurat yang telah dipersiapkan! Se-
mua harap tidak cemas...!" ujar Mahapatih Gagak Rimang, menenangkan para
pelayat. Namun belum sampai para pelayat bergerak
memasuki ruangan yang telah ditentukan....
"Biar angin bangun dan mengintai menggalang iringan awan
Sibak timbunan dunia dengan darah!
Kaulah panjang tanganku!
Kaulah lidah merahku!
Genggamlah semuanya, agar mereka tahu
Darah adalah lambang kematian.!"
Tahu-tahu saja terdengar sebuah lantunan
syair. "Kerta Bumi! Malam ini hari kekuasaanmu telah usai! Kau harus turun
tahta! Akulah pewaris sah
atas tahtamu. Kedatanganku sekarang adalah untuk
mengambil hakku! Dan bagi para patih dan huluba-
lang kerajaan. perintahkan pada pasukan kalian untuk menyerah, agar tidak
terjadi pertumpahan darah! Jika kalian tak menyambut tawaran kami, terpaksa
istana ini akan dihancurkan!"
Belum juga gema lantunan syair itu lenyap, su-
dah terdengar kembali suara bernada ancaman.
Begitu menoleh, orang-orang yang berada da-
lam pendopo istana terkejut. Tahu-tahu saja seorang
perempuan cantik berambut panjang tergerai telah
berdiri di atas tembok yang mengelilingi istana.
"Lintang Sari!" seru Mahapatih Gagak Rimang, tersentak.
"Benar! Aku Lintang Sari, pewaris sah Kerajaan
Malowopati datang untuk mengambil hakku!
Mahapatih Gagak Rimang, perintahkan pada bawa-
hanmu untuk menyerah! Istana ini telah terkepung!"
ujar gadis muda yang memang Lintang Sari seraya
berkacak pinggang.
"Kau lak berhak memerintahku, Lintang Sari!
Kau adalah pemberontak!" dengus patih ini. "Ha... ha...
ha...!" Lintang Sari tertawa panjang berderai disertai tenaga dalam tinggi.
Hingga para pelayat yang lak
mempunyai ilmu tenaga dalam langsung menjerit, ka-
rena telinga mereka akan seperti tertusuk duri.
"Dengar, Gagak Rimang! Akulah pewaris yang
berhak atas tahta kerajaan! Lambang kerajaan ada di
tanganku!" teriak Lintang Sari lagi.
Sementara itu, di luar pintu istana telah terjadi
pertempuran. Karena pasukan istana dalam keadaan
berkabung dan tak terkendali, maka sedikit demi sedikit mulai terdesak.
"Lumpuhkan dulu gembongnya!" perintah Ma-
hapatih Gagak Rimang.
Serentak, empat orang tokoh silat kerajaan ba-
risan ketiga melesat ke arah Lintang Sari. Namun baru saja tubuh mereka
melenting ke udara, gadis itu telah melayang turun.
Prak! Prak! "Aaa...!"
Dua orang yang tak sigap langsung terkapar
terkena kibasan Lintang Sari. Sementara dua orang
lainnya, hendak berbalik. Namun baru saja tubuh dua
orang itu bergerak, Lintang Sari telah menggebraknya dengan pukulan jarak jauh.
Wesss...! "Heh"!"
Karena tak menyangka, dua orang ini terkejut
dan cepat menghindar dengan membuat lompatan di
udara. Tapi, Lintang Sari tak memberi kesempatan.
Begitu tubuh dua orang ini akan mendarat, cepat diki-rimkannya pukulan jarak
jauh kembali. Wesss...! Splash...! "Aaa...!"
Salah seorang yang tak sempat menyelamatkan
diri, langsung terpental dengan dada hangus. Begitu
mencium tanah, tubuhnya tak bergerak lagi.
Sementara orang satunya yang selamat, lang-
sung menggebrak. Langsung dilepaskannya satu ten-
dangan ke arah dada Lintang Sari.
Namun dengan miringkan tubuh, Lintang Sari
berhasil menghindarinya. Bahkan secepat itu pula
tangannya terayun dari arah bawah. Dan....
Desss! "Aaakh...!"
Tubuh orang ini kontan melambung ke udara.
Dan sebelum sempat menghantam tanah, Lintang Sari
telah melenting ke atas. Di udara sambil memutar tu-
buhnya, sepasang kakinya menghujam ke kepala
orang yang sudah tak berdaya ini. Sehingga....
Prak! "Aaa...!"
Dengan jeritan menyayat orang itu jatuh di atas
tanah dengan kepala pecah!
"Biadab!" seru tertahan Mahapatih Gagak Rimang.
"Mundur semua! Biar aku yang menghadapi
pemberontak ini!" teriak Mahapatih Gagak Rimang saat melihat tiga orang dari
barisan utama tokoh silat kerajaan akan maju melangkah.
"Bagus! Itulah yang kutunggu, Mahapatih! Biar
urusan ini selesai malam ini juga!" desis Lintang Sari, tersenyum mengejek.
Sementara itu para pelayat dan para pembesar
yang tidak punya ilmu silat hanya cepat-cepat mundur menjauhi arena pertarungan.
"Lintang Sari, dengar baik-baik! Saat ini aku
sebagai wakil kerajaan masih menawarkan padamu
dua pilihan. Menyerah secara baik-baik, atau harus
tewas dengan mimpi besarmu itu!" gertak patih ini.
Lintang Sari tersenyum mengejek.
"Gagak Rimang! Seharusnya aku yang mena-
warkan dua pilihan padamu! Berlutut dan mengangkat
sumpah padaku, atau mampus bersama pangeranmu
itu!" balas Lintang Sari, tak kalah gertak.
"Hm.... Jadi, kaulah biang keresahan selama
ini...!" desis patih ini.
Lintang Sari tertawa tergelak-gelak.
"Manusia-manusia bodoh memang pantas
membayar mahal kebodohannya! Gagak Rimang! Sebe-
lum malam bertambah larut, berlututlah!"
Mahapatih Gagak Rimang tersentak. Wajahnya
langsung merah padam.
"Kau terlalu dengan mimpi besarmu, Bocah!"
Mendengar ucapan Mahapatih Gagak Rimang,
Lintang Sari segera menghentakkan tangannya ke de-
pan. Wesss...! Gelombang sinar merah segera melesat ke arah
Mahapatih Gagak Rimang. Namun secepat itu patih ini
segera menghindar dengan melompat satu tombak ke
samping sambil cepat memutar tubuhnya. Begitu
mendarat, tubuhnya melesat cepat dengan tangan me-
nyambar ke arah kepala Lintang Sari.
Lintang Sari sedikit terkejut. Namun dia segera
menekan rasa terkejutnya. Lalu secepat kilat kepa-
lanya menunduk. Namun tiba-tiba saja, Mahapatih
Gagak Rimang telah menyapukan kakinya ke arah pe-
rut, tanpa dapat dicegah lagi. Sehingga....
Desss! Tubuh Lintang Sari kontan terpelanting, bergu-
lingan di atas tanah. Secepat kilat dia bangkit, seraya mengatupkan tangannya
sejajar dada. "Heaaa...!"
Disertai teriakan melengking, gadis ini mendo-
rong tangannya ke depan. Wesss...!
Gelombang angin merah segera kembali mela-
brak. Pada saat yang sama. tubuh Lintang Sari melon-
cat. Lintang Sari menduga, Mahapatih Gagak Ri-
mang pasti akan melompat menghindar ke samping.
Dan ternyata dugaannya tidak meleset. Begitu gelom-
bang sinar merah menyambar, patih itu menghindari
ke samping. Dan pada saat itulah kakinya menghujam
dada laki-laki ini.
Desss! "Aaakh...!"
Kali ini tubuh Mahapatih Gagak Rimang yang
terpelanting, mencium tanah. Sementara Lintang Sari
seperti tak memberi kesempatan sedikit pun. Begitu
Mahapatih Gagak Rimang mau bangkit, kakinya lang-
sung kembali menghantam.
Desss! "Aaakh...!"
Untuk kedua kalinya tubuh Mahapatih Gagak
Rimang harus bergulingan di atas tanah. Namun kali
ini, darah segar telah muncrat dari mulutnya dan
membasahi seluruh pakaian.
Sementara orang yang ada di dalam pendopo is-
tana hanya menjerit tak tahan. Namun tak satu pun
yang berani bergerak.
Mahapatih Gagak Rimang mencoba merambat
bangkit. Namun tiba-tiba tubuhnya goyah dan ambruk
lagi di atas tanah.
Lintang Sari tersenyum mengejek. Sementara
dari luar gedung istana terdengar pekik yang mengu-
mandangkan nama Lintang Sari.
Lintang Sari rupanya ingin segera menghabisi
Mahapatih Gagak Rimang. Buktinya dia kembali men-
gatupkan kedua tangannya sejajar dada. Lalu pelan-
pelan didorong ke depan, ke arah Mahapatih Gagak
Rimang yang terduduk tak berkutik.
Wesss...! Kembali gelombang sinar merah melesat ke
arah laki-laki ini. Semua mata yang ada di pendopo telah memejam tak tega
menyaksikan kejadian ini.
Satu tombak sinar merah melabrak tubuh Ma-
hapatih Gagak Rimang, mendadak....
Werrr...! Blarrr...! Pendopo istana bagai terguncang gempa.
"Ahhh...!"
Terdengar kembali keluh ketakutan dari orang-
orang di pendopo. Semua mata kembali membuka in-
gin melihat tubuh Mahapatih Gagak Rimang yang di-
duga telah binasa. Namun, semua mata jadi terbelalak saat melihat tubuh
Mahapatih Gagak Rimang tetap seperti semula. Hanya saja dia agak bergeser ke
bela- kang. "Jahanam!" umpat Lintang Sari seraya menoleh.
Dan semua mata ikut memandang ke arah
pandangan gadis itu.
Lintang Sari tercengang dan hampir tak per-
caya. Demikian juga orang-orang yang ada di pendopo.
*** Tahu-tahu seorang pemuda berjubah ketat
berwarna hijau dan berambut gondrong dikuncir ekor
kuda tampak berdiri di samping Mahapatih Gagak Ri-
mang sambil senyum-senyum.
"Aji! Hm... Jangan-jangan kau yang sering diju-
luki Pendekar Mata Keranjang!" duga Lintang Sari tertahan. "Begitulah orang
menjuluki aku," sahut pemuda yang telah menyelamatkan Mahapatih Gagak Ri-
mang dengan pukulan jarak jauhnya. Dia tak lain me-
mang Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108.
"Pendekar Mata Keranjang...?" orang-orang
yang ada di pendopo ikut-ikutan terkejut. Mereka saling menatap.
"Pendekar Mata Keranjang! Jangan campuri
masalah ini! Ini masalah kerabat kerajaan...!" bentak Lintang Sari dengan mata
menyengat. "Kumala Dewi! Aku tahu, kau sebenarnya, Lin-
tang Sari. Dan aku tak ikut campur masalah kerajaan, tapi hanya menginginkan
kedamaian. Jika masalah ini
terus berlanjut, aku kira orang-orang di sini tak akan merasa damai. Mereka akan
selalu dihantui kecema-san dan ketakutan! Maka dari itu, sebelum segalanya
telanjur, urungkan niatmu!" ujar Aji, disertai senyum.
"Ha... ha... ha...!"
Lintang Sari tertawa.
"Pendekar Mata Keranjang! Kau ternyata juga
seorang pemimpi yang ingin diakui orang-orang ini sebagai pahlawan!
Kuperingatkan, tinggalkan tempat ini kalau ingin selamat!" ancam Lintang Sari
tak kalah gertak. "Sayang, Lintang Sari. Aku lebih suka di sini, untuk mencegah
tindakanmu!"
"Baik kalau itu keinginanmu...!"
Selesai berkata, Lintang Sari cepat mena-
kupkan tangan dan mendorongkannya ke depan.
Wesss...! Gelombang sinar merah saat itu juga mengge-
brak ke arah Aji.
Namun Pendekar Mata Keranjang 108 tidak
menghindar, tapi malah memapak dengan mengerah-
kan pukulan 'Gelombang Prahara'. Sehingga...
Glarrr...! Terdengar gelegar hebat saat dua pukulan sakti
bertenaga dalam tinggi itu bertemu.
Lintang Sari tampak terpental lima langkah ke
belakang. Sedangkan Aji terjajar tiga langkah.
Sementara pertarungan antara Lintang Sari
dan Aji berlangsung, dari arah luar tampak pasukan
istana tambah terdesak.
Lintang Sari sadar kalau yang dihadapi adalah
tokoh berkepandaian tinggi. Dari keterangan yang ba-
ru-baru ini didapatnya, dia baru tahu kalau Pendekar Mata Keranjang 108 adalah
tokoh yang selama ini telah menggegerkan dunia persilatan. Sejak pertemuan-


Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya beberapa kali dengan pemuda ini, hatinya juga
sudah waswas. Jangan-jangan, pemuda itu adalah ba-
tu sandungan yang akan menjegalnya dalam merebut
tahta Kerajaan Malowopati. Dan ternyata dugaannya
tak meleset! Menyadari hal ini, Lintang Sari bertekad untuk
membunuh Pendekar Mata Keranjang 108. Kini mata-
nya berkilat-kilat. Kemudian dia memutar sesuatu di
jarinya. Semua mata yang ada di pendopo membelalak
tak percaya. "Cincin Aswagitha!" seru salah seorang.
Tanpa bicara lagi, Lintang Sari segera mendo-
rongkan telapak tangan yang memakai Cincin Aswa-
githa. Sementara, tangan satunya menakup di dada.
Wesss,..! Selarik sinar merah dan hijau segera bergerak
ke arah Aji. Kali ini, Pendekar Mata Keranjang 108 tak be-
rani memapak. Dia ingat betul akan nasihat Pendekar
Lembah Seribu Bunga.
"Heaaa...!"
Disertai bentakan, Pendekar Mata Keranjang
108 melenting ke atas, menghindari sinar-sinar yang
datang. Melihat serangannya tak lagi dipapak, Lintang Sari tambah merangsek
maju. Sementara orang-orang
di pendopo terheran-heran melihat tingkah Aji yang
hanya menghindar, tanpa berani menyerang.
Hingga beberapa lama, Pendekar Mata Keran-
jang 108 masih bergerak menghindar, walau sesekali
tubuhnya terserempet gelombang sinar merah dan hi-
jau, membuat jubah hijaunya tampak koyak dan han-
gus di sana sini.
"Bagaimana aku harus melumpuhkannya...?"
kata batin Aji sambil memutar otak. Dia takut tena-
ganya akan tersedot Cincin Aswagitha.
Namun tiba-tiba Pendekar Mata Keranjang 108
sedikit tersenyum. Agaknya baru menyadari, bagaima-
na caranya melumpuhkan senjata Cincin Aswagitha.
Maka waktu Lintang Sari mengirimkan pukulan den-
gan mendorongkan telapak tangannya, cepat diambil-
nya kipas dari balik baju dan langsung membentang-
kannya di depan dada.
Melihat hal ini, Lintang Sari tak ambil peduli
Rupanya gadis itu ingin cepat menyudahi pertarungan.
"Shiaaa...!"
Dengan teriakan keras, Lintang Sari mendo-
rongkan kedua tangannya ke depan. Wesss...!
Segelombang angin dan sinar merah langsung
melesat dari telapak gadis ini. Namun tanpa mengeluarkan tenaga sedikit pun. Aji
menyapukan kipasnya ke
depan. Wuttt! Splash...! Gelombang sinar dan angin yang menghantam
ke arah Pendekar Mata Keranjang 108, mendadak
membalik. Bahkan kini bergerak ke arah Lintang Sari.
Gadis itu jadi terkejut. Mau tak mau, ia harus
menghindar dari pukulannya sendiri.
"Aneh! Kenapa tenaganya tidak tersedot cincin
ini?" kata Lintang Sari, dalam hati.
"Hm.... Tanpa mengeluarkan tenaga, berarti
cincin itu tak akan bisa berbuat banyak...! He... he..
he...!" gumam Aji dalam hati sambil melangkah mendekati Lintang Sari yang telah
siap dengan serangan
kembali. Satu tombak di depan. Lintang Sari segera me-
nyentakkan tangannya.
Wesss...! Kembali gelombang angin dan sinar merah ber-
gerak, mengancam Pendekar Mata Keranjang 108.
Wuttt...! Tanpa mengeluarkan tenaga pula Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 mengebutkan kipasnya, membuat si-
nar dan angin itu kembali berbalik. Karena kali ini jaraknya terlalu dekat, maka
Lintang Sari lak bisa lagi menghindar dari serangannya sendiri yang membalik.
Hingga.... Splash! "Aaakh...!"
Tubuh Lintang Sari kontan terpental ke bela-
kang sejauh tujuh tombak disertai jeritan menyayat.
Begitu menyentuh tanah, darah kehitaman langsung
meluncur dari mulutnya. Pakaiannya tampak hangus
seperti kain terbakar. Sekujur tubuhnya membiru.
Dengan langkah perlahan Aji mendatangi. Na-
mun, tiba-tiba saja.....
"Biar angin-angin bangun dan mengintai
menggalang iringan awan
Sibak timbunan dunia dengan darah
Kaulah panjang tanganku
Kaulah lidah merahku
Genggamlah semuanya, agar mereka tahu
Darah adalah lambang kematian!"
Tiba-tiba saja Lintang Sari melantunkan syair.
Pelan saja suaranya. Lalu dengan sisa-sisa tenaganya, tubuhnya menelentang di
atas tanah. Dan seketika,
tangannya mendorong ke depan, ke arah Aji yang se-
dang melangkah mendatangi.
Wesss...! Seketika gelombang sinar meluncur datang le-
bih dahsyat. Pendekar Mata Keranjang l08 terkejut. Namun
secepat itu pula memalangkan kipasnya di depan da-
da. Gelombang sinar itu bagai menghantam kipas
Aji, dan mental balik ke arah Lintang Sari yang telentang tak berdaya. Begitu
cepat serangan balik itu meluncur, membuat Lintang Sari tak dapat lagi menghin-
dar. Dan.... Splash..."
"Aaakh-..!"
Tubuh Lintang Sari tersapu serangannya sendi-
ri. Disertai jeritan menyayat, tubuhnya kontan mem-
bumbung ke udara dengan keadaan mengenaskan.
Kulitnya yang semula putih, berubah menjadi agak
kehitaman. Pakaiannya telah hangus. Dan begitu jatuh kembali ke tanah, di sela
bibirnya tampak menggenang darah berwarna hitam.
Melihat hal ini Mahapatih Gagak Rimang segera
melangkah ke arah Aji.
"Terima kasih. Pendekar Mala Keranjang! Kau
telah menyelamatkan kerajaan. Sulit dibayangkan, apa yang akan terjadi jika kau
lak segera menolong," ucap Mahapatih Gagak Rimang.
"Masalah itu kita pikirkan nanti saja. Mahapa-
tih. Sekarang beritahu pada para pemberontak itu ka-
lau pimpinan mereka telah tewas. Dengan demikian,
mereka akan ciut nyalinya. Sehingga pertumpahan da-
rah lebih lanjut, dapat dicegah...," ujar Aji kalem.
Mahapatih Gagak Rimang menganggukkan ke-
pala. Sejenak kakinya melangkah ke arah Lintang Sari.
Lalu pelan-pelan diambilnya cincin berwarna hijau
yang dikenakan gadis itu.
Dengan cincin di tangan, Mahapatih Gagak Ri-
mang berkelebat cepat keluar istana, tempat pertem-
puran sedang berlangsung. Lalu seketika dia melompat ke atas tembok istana.
"Hentikan pertempuran! Hai, para pemberon-
tak! Lihat! Cincin Aswagitha telah berada di tanganku!
Pimpinan kalian. Lintang Sari telah tewas! Kalian menyerahlah, jika masih ingin
hidup...," teriak Mahapatih Gagak Rimang.
Serentak para prajurit pemberontak yang se-
dang bertempur menghentikan pertarungan dan men-
dongak. Begitu melihat cincin berwarna hijau lambang kerajaan, mereka membuang
senjata dan menyerah.
Seketika, para prajurit kerajaan meringkus pra-
jurit yang menyerah. Lalu, mereka digiring menuju halaman istana.
Pada saat itulah dari dalam istana keluar seo-
rang laki-laki mengenakan pakaian kebesaran. Dan
para yang hadir di pendopo segera menjura hormat.
"Sri Baginda Kerta Bumi...."
Sri Baginda Kerta Bumi mengangguk perlahan.
Wajahnya masih tampak murung dan kedua matanya
tampak sembab. Sementara Mahapatih Gagak Rimang
segera turun dari alas tembok dan bergegas ke arah Sri Baginda Kerta Bumi.
"Sri Baginda.... Para pemberontak telah menye-
rah. Lintang Sari sebagai pimpinannya juga telah da-
pat di lumpuhkan...," jelas Mahapatih Gagak Rimang seraya menjura hormat, begitu
tiba di depan laki-laki berwibawa ini.
Sri Baginda Kerta Bumi tersenyum, walau terli-
hat seperti dipaksakan.
"Sri Baginda, inilah Cincin Aswagitha. Dan ha-
rap Sri Baginda sudi mengenakannya!" kala patih itu lagi sambil memberikan
Cincin Aswagitha.
Dengan tangan gemetar Sri Baginda menerima
cincin itu. Sebentar matanya mengawasi cincin ber-
warna hijau itu. Dan matanya pun kembali berkaca-
kaca. Lantas dengan tangan gemetar, diangkatnya cin-
cin itu ke atas kepala. Lalu perlahan-lahan dikenakannya. Seluruh tamu segera
menjura. Suasana men-
dadak lengang dan hikmat.
"Sri Baginda, kalau tadi tidak ada seorang pen-
dekar yang melumpuhkan Lintang Sari, mungkin ceri-
tanya akan lain...." lapor Mahapatih Gagak Rimang la-gi.
"Mana pendekar itu, Paman Patih?" tanya Sri Baginda, pelan.
Mahapatih Gagak Rimang berdiri dan memutar
pandangan. Namun orang yang dicari tak ditemukan.
"Pendekar itu telah pergi, Mahapatih...," kata salah seorang yang berada di
pendopo. Mahapatih Gagak Rimang menggeleng-geleng,
lalu kembali menjura pada Sri Baginda.
"Dia telah meninggalkan tempat ini, Sri Bagin-
da...," jelas patih ini.
Sri Baginda mengangguk perlahan.
"Itulah watak seorang pendekar sejati. Berjuang tanpa pamrih. Hm..., siapa nama
pendekar itu. Paman...?" tanya Sri Baginda, lirih.
"Aji, Sri Baginda. Tapi dia terkenal sebagai Pendekar Mata Keranjang...."
"Pendekar Mata Keranjang.... Hm.... Pendekar
Mata Keranjang....," gumam Sri Baginda berulang-ulang. Sri Baginda Kerta Bumi
lantas menebar pan-
dangan ke depan. Keningnya tampak berkerut.
"Dari mana Lintang Sari mendapat prajurit se-
banyak itu, Patih?" tanya laki-laki tua ini.
"Menurut telik sandi, prajurit-prajurit itu be-
rasal dari Kadipaten Bumi Rejo. Seperti Sri Baginda
ketahui, Adipati Bulu Kumba memang gemar men-
gumpulkan banyak prajurit. Hamba semula heran. Ba-
ru setelah kejadian ini, hamba sadar kalau semua itu justru untuk membantu
pemberontakan Lintang Sari,"
papar Mahapatih Gagak Rimang.
"Hm.... Baru aku sadar, ternyata adipati itu tidak sepenuhnya berpihak padaku.
Ya, dia memang masih ada hubungan saudara dengan Lintang Sari.
Kalau tak salah, hubungan antara paman dan kepo-
nakan, walaupun dari lain keturunan," gumam penguasa Kerajaan Malowopati.
Suasana jadi hening ketika Sri Baginda Kerta
Bumi didatangi para kerabat kerajaan untuk mengu-
capkan duka cita alas kejadian yang menimpa Kera-
jaan Malowopati.
SELESAI Tunggu serial Pendekar Mala Keranjang 108 selanjut-
nya dalam episode:
RATU PETAKA HIJAU
E-Book by Abu Keisel
Pedang Golok Yang Menggetarkan 1 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Aji Wisa Dahana 2
^